Perjalanan Pemikiran Hukum Asy-Syafi'idigilib.uin-suka.ac.id/8297/1/ENDAH TRIE MULYOSARI...

16
PERJALANAN PEMIKIRAN HUKUM ASY-SYAFI'I <Endafi Trie MuCyosari Abstrak Tulisan tentang perjalanan pemikiran hukum al-Syafi'i ini dimaksudkan untuk menelusuri jejak kesejarahan pemikiran- nya sebagai salah seorang tokoh utama di bidangnya Beber- apa hal yang menarik pada diri al-Syafi'i untuk diungkapkan kembali adalah kenyataan bahwa dia tokoh yang pernah mengalami pendadaran di dua wilayah geografis dengan kultur pemikiran yang diametris, untuk kemudian berdikari di wilayah yang tidak dikenal sebagai basis kaum tradisional ataupun basis kaum rasional, yakni Mesir. Dari luasnya per- jalanan dalam menggali berbagai pemikiran hukum dan perpindahannya dari satu wilayah ke wilayah lain inilah gagasan al-Syafi'i muncul sehingga dia dikenal memiliki mazhab qadim dan mazhab jadid. Perbedaan lingkungan geografis dan kultural antara Irak dan Mesir, ternyata membawa dampak perubahan beberapa produk pemikirannya yang telah lalu. Hal ini dilakukannya tidak saja karena di Mesir sudah pernah berkembang pemikiran hukum al-Lais, tetapi juga karena keinginannya untuk menawarkan gagasan hukum yang historis dan sesuai dengan tuntutan sosialnya. A. Pendahuluan Bagi umat Islam Indonesia pada umumnya, mazhab Syafi'i telah menyatu dalam kehidupannya secara pribadi ataupun sosial. Sedemikian lekatnya, sehingga umat merasa tidak perlu lagi mengenal sumber dan proses penetapan hukum-hukum keagamaan. Akibatnya hubungan umat dengan ajaran mazhab lebih tampak sebagai ikatan emosional daripada ikatan intelek- tual rasional. Implikasi praktis dari sikap historis terhadap 251

Transcript of Perjalanan Pemikiran Hukum Asy-Syafi'idigilib.uin-suka.ac.id/8297/1/ENDAH TRIE MULYOSARI...

PERJALANAN PEMIKIRAN HUKUMASY-SYAFI'I

<Endafi Trie MuCyosari

Abstrak

Tulisan tentang perjalanan pemikiran hukum al-Syafi'i inidimaksudkan untuk menelusuri jejak kesejarahan pemikiran-nya sebagai salah seorang tokoh utama di bidangnya Beber-apa hal yang menarik pada diri al-Syafi'i untuk diungkapkankembali adalah kenyataan bahwa dia tokoh yang pernahmengalami pendadaran di dua wilayah geografis dengankultur pemikiran yang diametris, untuk kemudian berdikaridi wilayah yang tidak dikenal sebagai basis kaum tradisionalataupun basis kaum rasional, yakni Mesir. Dari luasnya per-jalanan dalam menggali berbagai pemikiran hukum danperpindahannya dari satu wilayah ke wilayah lain inilahgagasan al-Syafi'i muncul sehingga dia dikenal memiliki mazhabqadim dan mazhab jadid. Perbedaan lingkungan geografis dankultural antara Irak dan Mesir, ternyata membawa dampakperubahan beberapa produk pemikirannya yang telah lalu.Hal ini dilakukannya tidak saja karena di Mesir sudah pernahberkembang pemikiran hukum al-Lais, tetapi juga karenakeinginannya untuk menawarkan gagasan hukum yanghistoris dan sesuai dengan tuntutan sosialnya.

A. Pendahuluan

Bagi umat Islam Indonesia pada umumnya, mazhab Syafi'itelah menyatu dalam kehidupannya secara pribadi ataupunsosial. Sedemikian lekatnya, sehingga umat merasa tidak perlulagi mengenal sumber dan proses penetapan hukum-hukumkeagamaan. Akibatnya hubungan umat dengan ajaran mazhablebih tampak sebagai ikatan emosional daripada ikatan intelek-tual rasional. Implikasi praktis dari sikap historis terhadap

251

doktrin hukum semacam itu. Seringkali muncul ke permukaanketika muncul gagasan baru di bidang hukum. Mereka kurangmenyadari bahwa pemikiran hukum lebih banyak dikedepan-kan adalah dalam rangka memenuhi tuntutan historis komuni-tas dan masa tertentu. Satu hal diantara yang menumbuhkansikap semacam ini adalah kurangnya studi historis sosiologistentang hukum Islam, yang lebih sering hanya disesali belakaketimbang merupakan pendorong dan penggugah untuk meng-isi kekurangan ini.

Disamping untuk memenuhi tugas akademik, tulisansederhana tentang perjalanan pemikiran hukum al-Syafi'i inidimaksudkan untuk menelusuri jejak kesejarahan pemikirannyasebagai salah seorang tokoh utama di bidangnya. Beberapa halyang menarik pada diri al-Syafi'i untuk diungkapkan kembaliadalah kenyataan bahwa dia tokoh yang pernah mengalami pen-dadaran di dua wilayah geografis dengan kultur pemikiran yangdiametris, untuk kemudian berdikari di wilayah yang tidak di-kenal sebagai basis kaum tradisional ataupun basis kaumrasional, yakni Mesir. Dari luasnya perjalanan dalam menggaliberbagai pemikiran hukum dan perpindahannya dari satuwilayah ke wilayah Iain inilah gagasan al-Syafi'i muncul sehinggadia dikenal memiliki mazhab qadim dan mazhab jadid.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa yangmenarik al-Syafi'i untuk tidak tinggal di Hijaz tempat keluarga-nya berada atau tidak tinggal di Irak yang pada saat itu meru-pakan tempat yang paling menjanjikan, karena merupakanibukota negara? Lalu mengapa dengan kepindahannya ini mem-bawa konsekuensi perubahan kerangka pemikiran hukumnya?Pertanyaan inilah yang akan dicoba untuk dijawab dalamtulisan yang serba sederhana ini dengan harapan dapat meng-gugah kesadaran kita untuk memahami historisitas sebuahpemikiran di bidang hukum, sehingga kita tidak terjebak untukmenganggapnya sebagai sesuatu yang permanen dan kebalterhadap segala upaya perubahan.

252

B Riwayat Hidup dan Aktifitas Keilmuannya

1. KelahiranNama lengkapnya adalah Muhammad bin Idris bin al-

Abbas bin Syafi'i bin al-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid binHasyim bin al-Muthalib bin Abdi manaf.1 Dari pihak ibu al-Syafi'i adalah cucu saudara perempuan ibu sahabat Ali bin AbiThalib AS. Jadi ibu dan bapak al-Syafi'i adalah dari suku Quraisy.Bapak beliau berkenala dari Makkah untuk mendapatkankelapangan penghidupan ke Madinah, lalu bersama dengan ibual-Syafi'i meninggalkan Madinah menuju ke Gaza untukakhirnya beliau wafat di sana setelah dua tahun kelahiran al-Syafi'i.2 Dalam catatan yang lain al-Syafi'i lahir dalam keadaanyatim,3 pada bulan Rajab tahun 150 H. (767 M) di Gaza, Palestina.

Beratnya kehidupan di sana bagi seorang janda, membuatibu Syafi'i tidak mampu bertahan hidup di sana. Sang ibu lalumembawanya ke Asqalan dan kemudian ke Makkah kembalidengan maksud agar al-Syafi'i bisa hidup di tengah-tengahkeluarga dan nenek moyangnya dengan kehidupan yang cukup.Kenyataannya kehidupan di Makkah tidak lebih baik dari ke-hidupan yang kasar, tetapi dengan kesadaran akan penderitaanhidup inilah al-Syafi'i mulai mengawali aktifitas keilmuannya.

2. PendidikanAktifitas pendidikannya dimulai dengan studi al-Qur'an

dalam hal tilawah, tajwid dan tafsirnya dengan guru-guru yangada di masjid al-Haram. Kesungguhan dan ketekunannya dalammenghafal al-Qur'an terlihat ketika pada usia sembilan tahun

1 Muhammad Ibn Idris al-Syafi'I, Kitab al-'Um, Mesir: Maktabah al-Kulliyatal-Azhariyah, 1961,1; Alif.

2 Abdurrahman al-Syarqawi, Aimmah al-Figh al-Tis'ah (Beirut: Dar Iqra,1981), him. 129.

3 H. Abu Zahroh, Tarikh al-Mazahib al-lslamiyah; (Kairo: Dar al-Fikr al-' Arabi, t.t), him. 228. Biografi imam al-SyafTI juga bisa dibaca dlam MuhammadIbn yasin ibn Abdillah, al-Kaukah al-Azharfi FiqhtiAkbar li imam al-SyafTl, Makkah:al-Maktabah al-Tijariyah, tt.

253

beliau telah mampu menghafal al-Qur'an dan beberapa hadisdi luar kepala. Hafalannya terhadap banyak hadis lebihmerupakan akibat dari kurangnya sarana untuk menulis pelajar-an yang diterimanya. Di masjid al-Haram inilah dia pernahberguru kepada Muslim bin Khalid (w. 180 H), Sufyan bin 'Uyainahdi bidang hadis dan figh, Isma'il bin Qasthantin dalam ilmu al-Qur;an, juga pernah bertemu dengan al-Lais bin Sa'ad, ahli fighyang ahli juga dalam bidang sastra dan bahasa. Al-Lais ini ada-lah Mujtahid Mesir yang kemudian hari kelak diikuti jejaknyaoleh al-Syafi'i.4

Dalam satu kesempatan di masjid al-Haram saat itu, al-Syafi'i mendengar al-Lais menganjurkan agar para siswanyamemperdalam pengetahuan bahasa Arab, balaghahnya, danberbagai cabang sastaranya. Al-Lais juga berpesan agar merekamenghafal syair kuno dan yang sezaman dengan turunnya al-Qur'an, sebagai alat pokok untuk memahami bahasa al-Qur'andan hadis dengan baik.5 Atas konspirasi inilah al-Syafi'i kemu-dian pergi ke daerah pedalaman Arab guna mempelajari danmendalami bahasa Arab yang masih bersih dari pengaruhbangsa luar. Al-Syafi'i hidup bersama suku Huzeil, suatu sukuyang terkenal paling fasih berbahasa dan syair-syairnya saratdengan ilmu bahasa. Dalam waktu kurang lebih sepuluh tahunini al-Syafi'i bolak balik antara desa suku Huzeil untuk belajarbahasa, sastra, olah raga dan ke Makkah untuk meminta nasihatdari ibundanya sekaligus belajar ilmu al-Qur'an dan al-hadisdari guru-gurunya di Masjid Al-Haram.

Dalam bidang hadis, di Makkah dia belajar dan bahkansampai menghafal kitab al-Muwatha' karya Imam Balik kepadaSufyan bin 'Uyainah. Menginjak usianya yang kedua puluh diamendengar kebesaran nama Imam Malik penulis buku yang

4 Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhad (Jakarta: BulanBintang, 1955), him. 153.

5 Al-Syarqawi, Aimmah, him. 130.

254

telah dia hafal. Dengan berbekal do'a dari ibu dan surat peng-antar dari walikota Makkah berangkatlah al-Syafi'i muda keMadinah untuk memasuki jenjang pendidikan tahap selanjutnyadi bawah bimbingan langsung Imam Malik bin Anas. DiMadinah ini beliau ditanggung kehidupannya oleh Imam Maliksebagai seorang ulama yang kaya, dan seperti kebiasaannyayang dulu al-Syafi'i sering-sering mengunjungi daerahpedesaan untuk mempelajari kehidupan mereka sehari-hari,sehingga disinyalir al-Syafi'i tidak bisa selalu bersama ImamMalik.6 Namun demikian tugas pokoknya untuk belajar lang-sung kitab al-Muwatha' dari Imam Malik dapat terlaksanabahkan hanya dalam beberapa hari saja.

Masih dalam asuhan Imam Malik, al-Syafi'i dengan izindan rekomendasinya pergi ke Irak untuk pertama kalinyadengan tujuan mempelajari ilmu figh dari Muhammad binHasan dan Abu Yusuf sebagai pewaris figh Imam Hanafi yangterkenal rasional.7 Selama dua tahun al-Syafi'i di Irak, telahberhasil mendalami metoda diskusi, metoda instimbat hukumdan keluasan produk figh Abu Hanifah melalui kedua rnurid-nya serta beberapa tokoh dari Irak, Baghdad, bahkan Anatolia(Asia Kecil) dan Harran.8 Al-Syafi'i pulang dari perlawatannyaitu ke Madinah dengan penghargaan yang tinggi kepada ImamAbu Hanifah. Di Madinah beliau kembali hidup bersama ImamMalik dengan membantu mengajarkan kitab Muwatha'nya.Setiap kali para pengagum figh Hijaz melontarkan tuduhan kepadaImam Hanafi, maka al-Syafi'ilah yang membelanya sekaligusmengajarkan pada mereka bahwa siapapun yang berminatdalam studi figh maka tidak bisa lepas dari peran Imam AbuHanifah. Sejak saat itu pula al-Syafi'i membuka acara diskusi dan

' Abu Zahroh, Tarikh, Mm. 231.7 Khudori Blk Tari, kh al-Tasyri' al-Islami (Jakarta: Maktabah Salim Nabhan,

tt.), him. 253.8 Al-Syarqawi, Aimmali, him. 103-104.

255

adu argumentasi sebagai satu metoda belajar baru yang belumpernah dibuka Imam Malik.

Profesinya yang baru sebagai wakil Imam Malik, yangmerupakan awal karirnya di bidang pemikiran hukum ataupengajar kajian hukum, terasa cukup melupakan al-Syafi'i daribeban kehidupan juga membuatnya terkenal ke seluruh penjurudunia Islam. Karena yang mengunjungi madrasah Imam Malikadalah tokoh-tokoh dari berbagai kota. Akan tetapi ini tidakberjalan lama, karena pada tahun 179 H., Imam Malik meningaldunia. Sepeninggal Imam Malik, al-Syafi'i kembali memikirkankeperluan hidupnya, setelah selama sembilan tahun menjadimurid Imam Malik dia tidak pernah memikirkan masalahpenghidupan. Karena inilah kemudian al-Syafi'i menerimatawaran Walikota Yaman untuk diangkat menjadi sekretarisnyadalam usia 29 tahun.'

3. Perjalanan ke Irak Yang KeduaSelama lebih dari lima tahun al-Syafi'i mengabdi kepada

pemerintah sebagai sekretaris Walikota Yaman, dia tetapbersikap sebagai seorang ilmuwan yang suka berdiskusi dengansiapapun sepanjang untuk mencari kebenaran dan bertam-bahnya ilmu pengetahuan. Di sini dia bergaul dengan berbagaitokoh ahli dari kalangan Syi'ah dan bersahabat dengan seorangahli figh murid al-Lais bin Sa'ad. Dalam kapasitasnya sebagaiilmuwan al-Syafi'i tidak pernah menutup mata dari segalaperilaku politik para penguasa di Yaman yang banyak diantara-nya bertindak korup. Akibatnya dia sering sekali melontarkankritik terhadap para pejabat daerah ini sehingga al-Syafi'i justrudituduh bertindak makar terhadap pemerintah dan dianggapmemimpin gerakan Syi'ah yang saat itu sudah menjadi musuh

9 Ahmad Jamil, Seratus Muslim Terkemuka 0akarta: Pustaka Firdaus, 1987),him. 89.

256

pemerintah. Atas tuduhan inilah al-Syafi'i dikirim ke Baghdadmenghadap Khalifah Harun al-Rasyid.

Melalui dialog langsung dengan al-Rasyid serta ataskesaksian dari Muhammad bin Hasan, yang saat itu menjabat Qadipusat, al-Syafi'i akhirnya dibebaskan dari tuduhan, tetapi masihtetap dalam pengawasan. Karena inilah al-Syafi'i oleh Khalifahal-Rasyid dititipkan kepada Muhammad bin Hasan. Kesempat-an ini oleh al-Syafi'i justru digunakan sebagai jalan untukkembali menekuni kitab-kitab f igh Muhammad bin Hasan yangdia tulis dari pendapat Imam Hanafi. Selain menulis al-Syafi'ijuga mendiskusikannya secara langsung dengan Ibn Hasan inidisamping juga dengan tokoh-tokoh lain bahkan dalam bidangilmu empirik dan logika, sehingga menjadi lengkaplahpengetahuan al-Syafi'i tentang tradisi pemikiran hukum Irak,disamping menambah pengetahuan al-Syafi'i terhadap hadisyang banyak beredar di kalangan penduduk Irak tetapi tidakdikenal di kalangan masyarakat Hijaz melalui Muhammad binHasan.10

4. Kembali ke HijazSetelah dengan jelas dia tunjukkan kepada al-Rasyid bahwa

dia tidak terlibat dengan gerakan makar, bahkan dia berhasilmenunjukkan keahliannya di hadapan al-Rasyid melaluidialognya dengan para ahli dari berbagai bidang yang diundangoleh Al-Rasyid ke istana, al-Rasyid justru tertarik untuk meng-angkatnya sebagai qadli. Namun permintaan ini oleh al-Syafi'iditolak dengan alasan ingin menjadi ahli figh yang benar-benarbebas dan karena penolakannya ini lalu al-Rasyid memberinyahadiah yang besar yang dia gunakan untuk kembali ke Makkah.Dengan hadiah ini al-Syafi'i memiliki bekal untuk memusatkanseluruh tenaga dan waktunya guna menekuni bidang ilmusepulangnya ke Makkah.

0 Abu Zahroh, TariUi, him. 230.

257

Sejak ini al-Syafi'i telah menjadi seorang ahli dan mem-bentuk majlis di Masjid al-Haram untuk berfatwa dan mengajardengan pendirian yang teguh, wawasan yang dalam dan jiwayang tenang dengan semakin bertambahnya ilmu dan usia. Sisawaktu mengajarnya dia gunakan secara khusus untuk berpikir,merenung dan mencari metoda istimbat hukum yang tepat.Dengan bekal ilmu pengetahuannya yang luas dan dalam, selainmengajar al-Syafi'i menggunakan waktunya untuk meluangkanhasil renungannya dalam bentuk tertulis. Hasil renungannya,tentang kaidah-kaidah universal untuk mengambil hukum danprinsip penggalian hukum dia tuangkan dalam kitab al-Risalahnya.11

Kalau pada masa-masa sebelumnya al-Syafi'i sekedarmengajarkan hasil ijtihad Imam Malik dan hasil ijtihad ImamAbu Hanifah maka sekarang al-Syafi'i telah menjadi seorangmujtahid yang mandiri, melakukan berbagai mazhab terdahulu-nya lalu mengkritik keduanya dan hasil studi kritis itu dia tulisdalam kitab tersendiri yang disebutnya dengan Khilaf Malik dankitab Khilaf al-'lraqiyin.12 Walau jangka waktu untuk menulisdan mengulasnya kembali di Makkah cukup lama, tetapibelumlah dirasa cukup oleh al-Syafi'i. Beliau masih inginmerevisinya kembali setelah dia kemukakan ke berbagai pihak.Itulah sebabnya al-Syafi'i kembali ingin pergi ke Baghdad gunamendiskusikan hasil ijtihadnya sendiri dengan para sahabatAbu Hanifah.

Akhirnya pada tahun 198 Hijriyah al-Syafi'i berangkat keIrak untuk yang ketiga kalinya. Kali ini kedatangannya bukanlagi untuk belajar, tetapi untuk melontarkan gagasan-gagasan

" Al-Syarqawi, Aimmah, him. 138. Judul kitab ar-Risalah awalnya adalahal-kitab. Menurut Abid al-Jabiri, Syafi'l meminjamnya dari ahli nahwu yangbernama Sibawaih, sebab Syafi'l lahir setelah Sibawaih, al-Turas wa al-hadasah,Markaz Saqafi al-'Arabi, 1991. him. 156 dan menururt Wael B Hallaq namaarrisalah merupakan peralihan dari al-Kitab yang terjadi setelah al-Syafi'Imerubah mazhabnya dari qaul qadim ke qaul jadid, Sejarah Teori Hukum Islam:Pengantar Usul Fiqh Mazhab Sunni, Jakarta : Raja GrafindoPersada, 2000. hlm.31

12 Abu Zahroh, Tarikh, him. 237.

258

barunya baik dalam bidang metodologi ataupun dalam bidangfuru' atau detil-detil hukum hasil ijtihadnya. Namun Baghdadsaat itu sudah berubah tidak seperti ketika al-Syafi'i di sanabelasan tahun yang lalu. Sahabat sekaligus guru yang sangatbeliau kagumi, Muhammad bin Hasan kini telah tiada. Khalif ahHarun al-Rasyid telah wafat dan digantikan oleh putranya al-Amin tetapi kemudian digantikan oleh al-Makmun. Baghdadbaru saja diguncang perang saudara akibat perebutan kekuasa-an. Teman diskusinya yang paling akrab inilah al-Syafi'i me-lakukan dialog dengan para ahli yang masih terisa di Bahgdadhanya dalam waktu kurang lebih dua bulan, atau bahkan hanyasatu bulan.13

Selanjutnya dia memutuskan untuk menggunakan sisahidupnya di Mesir, tempat yang tidak jauh berbeda denganBaghdad dalam hal kekayaan ilmu dan peradabannya danwilayahnya yang subur membuat iklim berpikir di sana terasalebih tenang jika dibandingkan dengan Baghdad sebagai kotametropolitan kala itu. Al-Syafi'i cukup sadar bahwa di Mesirterdapat beragam kemajuan terutama warisan peradabankunonya yang telah mewarnai karakteristik manusia Mesir,mengajari mereka cinta keadilan dan kemerdekaan berpikiruntuk mencari kebenaran. Di Mesir inilah al-Syafi'i dapatbersyair dengan bebas tanpa kesulitan tidak seperti dikalanganahli hadis yang membenci syair, karena lingkungan pemikiran-nya yang ramah.

Di Mesir al-Syafi'i banyak menemukan tradisi dan kebu-dayaan yang sama sekali baru baginya karena belum pernahdikenalinya baik di Makkah, di Madinah, Yaman. Suria bahkandi Irak. Untuk inilah usaha yang pertama kali dilakukan al-Syafi'i di Mesir adalah melacak sejarah pemikiran dan pan-dangan hidup masy arakat Mesir secara umum dan melacak jejakpemikiran hukum Imam al-Lais yang terkenal telah berhasil

13 Munawar Khalil, Biografi, Mm. 196.

259

menjembatani jurang perbedaan antara Mazhab Madinag(Hijaz) dan mazhab Irak.14 Akibat konkrit dari pelacakan ter-hadap tradisi pemikiran dan kondisi sosial geografis Mesir inidalam bidang pemikiran hukumnya adalah berbagai perubahanterhadap hasil karyanya yang telah penulis di Makkah dan Irak.

Selarna enam tahun sisa hidupnya di Mesir ini al-Syafi'iyang telah menyandang gelar Imam mujtahid, menghabiskanwaktunya untuk mengajar di Marjid Jami' Fustat dan merevisiseluruh karyanya. Mula-mula beliau meninjau kembali kitabal-Risalah untuk yang kesekian kalinya, menyaring ushul fighyang dikandungnya dan menambah beberapa masalah yangdirasanya masih kurang. Selanjutnya beliau menganalisis pen-dapat-pendapatnya yang mengikuti Imam Malik dan menelitiseluruh figh Imam Malik secara khusus dengan pertimbanganpengetahuan yang diperolehnya di Irak dan Mesir. Dalam per-temuan khususnya, dia lontarkan kritiknya terhadap figh ImamMalik dan figh Abu Hanifah, yang menurutnya terlalu mene-kankan pada masalah-masalah partikular.

Setelah selesai menulis ulang seluruh karyanya al-Syafi'ikemudian mengumumkan bahwa pendapatnya yang finaladalah yang tertulis di Mesir, yang dikembangkan dengan kajianilmiyah yang baru. Dan setelah melalui perjalanan panjangdalam memperjuangkan ilmu dan agama akhirnya Imam al-Syafi'i pada tanggal 28 Rajab tahun 204 Hijriyah berpulang kehadirat Allah SWT, dalam usia lima puluh empat tahun.

C. Sumbangan pemikirannya Terhadap Hukum Islam

Dari uraian di atas, tampak bahwa al-Syafi'i muncul padatitik balik sejarah yurisprodensi Islam, yang membawa nafasbaru dalam perkembangan teori hukum. Di atas terlihat nama-nama pemikir hukum yang mewakili daerah-daerah yangberbeda-beda. Seperti telah disebut-sebut nama Abu Hanifah,

14 Al-Syarqawi, Aimmah, him. 123.

260

Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan sebagai wakil alirankedaerah Irak, sementara Imam Malik bin Anas sebagai wakilaliran kedaerahan Hijaz. Umumnya orang mengira bahwamereka memperoleh ketenaran karena ijtihad bebas merekayang didasarkan pada penalaran murni dalam lingkup hukum.Ini tampaknya membuat kita mempercayai bahwa para ahlihukum ini tidak dipengaruhi oleh lingkungan di mana merekamasing-masing. Hal ini teritu saja tidak benar, mengingat merekadipengaruhi baik oleh praktek maupun pemikiran daerahmereka masing-masing. Ini nyata sekali dari penalaran mereka.Di Madinah misalnya, sebelum tampilnya Malik di atas gelang-gang pemikiran, kecenderungan pendapat khusus telah adasebelumnya.

Sebelum Malik, di Madinah telah hidup sejumlah sahabatmaupun tabi'in yang memiliki wawasan luas dalam ilmuhukum. Mereka umumnya dikenal dengan tujuh ahli figh dariMadinah, yang telah banyak menyumbangkan pemikiranterhadap pembentukan pendapat hukum di Madinah. Parapendahulu Malik ini meninggalkan warisan pendapatan hukumyang melimpah di samping tradisi yang melekat dalam masya-rakat yang mengakibatkan terkendalinya perkembangan pemi-kiran ijtihad dengan mengandalkan rasio. Inilah mengapakemudian alirannya begitu mengamalkan praktek yang hidupdi lingkungan Madinah saja.

Kondisi serupa juga terjadi di Irak. Suatu kecenderunganpendapat di Irak sudah terbentuk sebelum tampilnya Abu Hanifah.Tokoh-tokoh seperti Ibn Mas'ud, Ibrahim al-Nakha'i, al-Sya'bidan Iain-lain adalah orang-orang yang banyak meninggalkanwarisan keputusan hukum. Hanya saja karena sebagai kotametropolitan kala itu, Irak memiliki problematika yang lebihkomplek sesuai dengan mobilisasi dan interaksi sosial masya-rakat yang telah maju. Sementara tradisi awal sebelum masuk-nya Islam di sana tidak banyak yang perlu dipertahankan sebagai

261

sunnah, maka mereka banyak mengandalkan rasio yangdiaplikasikannya dalam Qiyas dan Istihsan.

Sementara proses kristalisasi pendapat hukum dalam ber-bagai mazhab berjalan, al-Syaf i'i tampil ke permukaan. la mem-pelajari karya-karya para pendahulunya, berkelana ke berbagaiwilayah, melakukan diskusi panjang dengan para ahli hukumMadinah dan Irak dan akhirnya mengambil jalan mengkom-promikan kedua kecenderungan yang telah ada sebelumnya.Kemudian al-Syafi'i mengembangkan teori hukumnya sendiridan mencoba untuk konsisten dengan metodologi istimbathukum yang dia gariskan dalam al-Risalahnya. Karena langkahinilah maka kemudian al-Syafi'i dikenal sebagai pembaharuabad kedua Hijriyah.15

Di antara konsep pembaharuan al-Syafi'i, yang lebihmerupakan upaya merujukkan kedua aliran yang mendahului-nya, adalah rumusan tentang sistimatika sumber hukum setelahal-Qur'an.16 Yakni:

1. al-SunnahBerbeda dengan pandangan kaum rasionalis ekstrim yang

menolak sunnah sebagai sumber hukum, tetapi juga berbeda

15 DB. McDonald, Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Con-stitutional Theory, (New York, ttp., 1903), him. 104. Nasr Hamid Abu Zaid, SyafiT:Moderatisme, Eklektisisme, Arabisme, Yogyakarta: LkiS, 1997. lihat juga Wael BHallaq, Sejarah Teori.., him. 31-44. Noel J Coulson,Kon/Zjfc Dalam YurisprudensiIslam, Yogyakarta: NAVILA, 2001, him. 4-9.

16 Menurut al-Syafi'I bahwa wahyu Tuhan (al-qur'an) memuat segalaseseuatu yang ada diluar dirinya karena itu wahyu harus dijadikan rujukanprimer dalam segala hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia baik didunia maupun di akherat, bahkan metode yang digunakan harus pula lahirdari wahyu tersebut. Oleh karena bahasa wahyu menggunakan bahasa Arabmaka pendekatan yang harus digunakan dalam memahami wahyu harus pulamenggunakan bahasa Arab, khusussnya bahsa arab yang dipilih dalammembahasakan wahyu al-Qur'an, dengan demikian Penguasaan bahasa Arabdengan baik adalah syarat memahami wahyu. Wael B hallaq, Sejarah teori...,him. 33-35 dan 43. Bahkanmenurut asl-Syafi'I perbedaan pendapat dalammemahami al-Qur'an bakal terjadi jika seorang pemikir meninggalkan bahasaarab dan beralih pada logika Aristoteles. 'Abid al-jabiri, al-turas wa al-hadasah,him. 149

262

dengan konsep sunnah mazhab Malik yang terlalu longgar, al-Syafi'i menawarkan konsep sunnah yang betul-betul otentik dariNabi.17 Jika di dalam al-Qur'an tidak ditemukan secara normatifteks yang relevan untuk menjawab persoalan tersebut, syafi'Imenawarkan hadis sebagai sumber kedua Hukum Islam, Tetapiposisi hadis tidak sebagaimana al-Qur'an, ia hanya berfungsisebagai penjelas apa yang terdapat secara samar dalam al-Qur'an, memerinci yang global dan memutuskan yang tidakdisinggung secara normatif aleh al-Qur'an18.

2. Ijma'Urutan ketiga sumber hukum yang dikemukakan al-Syaf i'i

adalah ijma' umat. Dia menolak konsep ijma'nya Imam Malikyang hanya terbatas pada kesepakatan Ulama. Menurutnyaumat tak mungkin bersepakat dalam kesalahan.19

3. QiyasBerbeda dengan kaum rasionalis yang menempatkan qiyas

dalam urutan di atas ijma' atau bahkan hadis ahad, juga berbedadengan ahli hadis yang menolak penggunaan qiyas, maka al-Syafi'i berpednapat bahwa qiyas dapat digunakan dalam kon-disi tidak ditemukannya ijma' atau nas. Konsep ini sesungguh-nya dikemukakan untuk menolak penggunaan ro'y yang takterbatas yang menurutnya bersifat arbriter dan subyektif .20

" Al-SyaB'i, al-Um, him. VII: 179, 274.13 Al-qur'an dan hadis biasa disebut sebagai sumbe rmateriil. Sedangkan

Ijma' dan qiyas sebagai sumber prinsipil.19 Al-Syafl'i, al-Risalah, terj, Ahmadie Toha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986),

Mm. 66.20 A. Hassan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, (Islamabad,

Islamic Research Institute, 1970), him. 51. Menurut al-jabiri dan Abu Zaid, modelberfikir al-Syafi'I seperti di atas inilah yang menyebabkan pemikiran Islamyang bersumber pada al-Qur'an terlepas dari realitas empiris dan teks menjadipemegang otoritas yang terkenal denga istilah otoritarianisme teks Sehinggamuncullah apa yang disebut dengan Islam Arab. Prinsip seperti ini padahakikarnya menjadikan budaya arab sebagai sumber otoritatif bagi wacana Is-lam, karena penggunaan akal masih sebatas pada analog!, dan ini tentunyamembuat akal tidak independen dan bergantung pada wacana Islam Arab.

263

Sedangkan illustrasi-ilustrasi tentang perubahan produkijtihad beliau dalam masalah partikular, yang disebabkan olehkondisi sosio historis yang berbeda di antaranya dapat kitatemukan dalam ijtihadnya mengenai air. Imam Syafi'i semulasependapat dengan Imam Malik bahwa pemilik tanah yang adasumurnya boleh menjual sumur itu. Untuk kondisi daerah yangair terlalu berharga karena langkanya seperti di daerah Hijaztentu saja pendapat ini bisa dibenarkan. Akan tetapi di daerahsungai Nil yang subur dan air tidak terlalu merisaukan, makapendapatnya di atas kurang tepat. Itulah sebabnya buru-buruia merubah pendapatnya dengan menyatakan bahwa pemiliktanah itu tidak berhak menjual sumurnya, tetapi dia mendapatprioritas untuk menggunakan airnya.21

Demikian halnya dalam masalah saksi, dimana ketika diIrak al-Syafi'i berpendapat bahwa satu orang laki-laki cukupsaksi ditambah dengan sumpah. Tetapi ketika di Mesir pendapatini kemudian dirubahnya dan kembali pada pendapat bahwasaksi harus dua laki-laki.22 Jika dilacak secara sosio historis,pendapat yang pertama diajukan lebih disebabkan oleh kondisimasyarakat Irak yang individualistis sebagai cerminan masya-rakat kota, sedangkan ketika di Mesir kondisi serupa itu tidaklagi menonjol sesuai dengan karakteristik masyarakat Mesiryang kaya dengan peradaban dan cinta keadilan.

D. Kesimpulan

Dari uraian di atas, menjadi jelaslah historisitas pemikiranhukum seorang mujtahid. Al-Syafi'i yang muncul sebagai

Sehingga kreasi intelektual para mujtahid abad pertengahan seperti tafsir, fiqh,tasawuf dan teologi juga adalah wacana Islam histioris yang dikreasikan denganpola dan prinsip analog! seperti ini. Metode seperti ini menjadikan wacanapemikiran Islam hanya bersumber pada kekuasaan budaya Arab yangbersembunyi dibalik teks. Al-jabiri, Postradisiotialisme, Yogyakarta: IkiS, 2000,him. 6. Abu zaid, al-tajkirfi Zamm al-Takfir, Mesir: Sina li al-Nasr,1990, him. 135.

21 Al-Syarqawi, Aimmah, him. 130.22 Ibid, him. 132.

264

seorang mujtahid ketika di dunia Islam telah mengenaldikhotomi hadis-ro'y atau tradisional-rasional yang dalambanyak hal seringkali menimbulkan pertentangan yang tidaklogis. Oleh karena kemunculan al-Syaf i'i setelah melewati masapengembaraannya yang lama di pusat-pusat studi hukum,dengan hasil perolehan pengetahuan yang mendalam tentangaliran pemikiran yang berkembang lebih merupakan upayasintesis. Suasana yang dilaluinya ini memberikan andil yangcukup besar dalam membentuk perkembangan pemikirannya.Itulah sebabnya, al-Syafi'i terkenal sebagai mujtahid yangmemiliki mazhab qadim dan mazhab jadid. Lebih dari itu mengingatal-Syafi'i menyaksikan ketidakpastian metoda istambat dalammazhab-mazhab sebelumnya, sehingga dia merasa perlu mena-warkan metoda berpikir yang sistematis yakni melalui Ushul figh.

Kepindahannya dari Hijaz ke Irak adalah dalam rangkausahanya menawarkan gagasan barunya yang bersifat sintesis,karena pertentangan ro'y versus hadis, di Irak relatif lebih me-nonjol. Akan tetapi ternyata di Irak sedang terjadi pergolakanpemikiran terutama pemaksanaan teologi Mu'tazilah olehpemerintah al-Makmun sehingga al-Syafi'i memilih menghindardari konflik yang bakal ditimbulkan oleh upaya ini. Alasan lainkepindahan al-Syafi'i dari Irak ke Mesir adalah juga upaya al-Makmun mengangkat dominasi Persia atas Arab. Sehingga al-Syafi'i sebagai seorang Arab merasa terpojok di Irak, sedang Mesirmasih tetap dipimpin oleh wali yang berbangsa Arab yakniAbbas bin Musa.

Perbedaan lingkungan geografis dan kultural antara Irakdan Mesir, ternyata membawa dampak perubahan beberapaproduk pemikirannya yang telah lalu. Hal ini dilakukannyatidak saja karena di Mesir sudah pernah berkembang pemikiranhukum al-Lais, tetapi juga karena keinginannya untuk mena-warkan gagasan hukum yang historis dan sesuai dengan tun-tutan sosialnya. Demikianlah sedikit yang dapat disimpulkandari perjalanan pemikiran hukum al-Syafi'i.

265

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahroh, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Kairo, Dar al-Fikral-Arabi, tt.

Abu zaid, Nasr Hamid, Syafi'I Moderatisme, Eklektisisme,Arabisme, yogyakarta: LkiS, 1997

. al-Ta/kirfi Zaman al-Takfir, Mesir: Sinali al-Nasr, 1990

Bik, Khudori, Tarikh al-Tasyri al-Islami. Jakarta, Maktabah SalimNabhan, tt.

Coulson, Noel ]., Konflik dalam Yurisprudensi Islam, terj.H. Fuad,Yogyakarta : NAVILA, 2001

Hasan A., The Early Development of Islamic Jurisprudence,Islamabad, Islamic Research Institute, 1970.

Hallaq, Wael B., Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar Untuk UhulFiqh Mahab Sunni, Jakarta: Raja Graf indo Persada, 2000

Jabiri, Muhammad Abid., Postradisonalisme Islam, Yogyakarta:LkiS, 2001

. al-Turas wa al-Hadasah: Dirasat wa Munaqasyat, Markazsaqafial-'Arabi, 1991.

Jamil, Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta, PustakaFirdaus, 1987.

Khalil Munawar, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta,Bulan Bintang, 1955.

McDonald, DB. Development of Muslim Theology, Jurisprudenceand Constitutional Theory, New York, Tnp., 1903.

Al-Syafi'i, Muhammad Ibn Idris, al-Um, Mesir, Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, 1961.

. al-Risalah, terj. A. Thaha, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1986.

Al-Syarqawi, Abdurrahman, A'immah al-Figh al-Tis'ah, Beirut,Dar al-Iqra, 1981.

Endah Trie Mulyosari: Alumni Fakultas Syari'ah UINSunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 1999

266