Periwayatan Hadits Secara Lafadz Dan Makna

22
Periwayatan Hadits Secara Lafadz dan Makna Oleh : H. Agus Jaya PENDAHULUAN Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam yang kedua setelah al- Qur'an, yang di dalamnya terkandung ajaran yang terkait dengan umat zaman Nabi sampai kepada umat era globalisasi sekarang ini, oleh karena itu perlu bagi umat manusia untuk memahami, mengkaji teks hadits lebih dalam, baik yang tersurat maupun yang tersirat, dan mengaflikasikannya dalam kehidupan nyata, serta mentaatinya, sehingga tercapai kehidupan yang penuh dengan ridho Allah swt. Hadits 1 yang dapat diartikan sebagai laporan sesuatu yang dihubungkan kepada Nabi saw. berupa pernyataan, perbuatan, penetapan, dan persifatan atau perilaku Nabi, merupakan dokumen penting ajaran keagamaan dan sekaligus sumber ajaran keagamaan Islam bagi kehidupan. 2 1 Penggunaan kata Hadits tanpa dibedakan dengan penggunaan kata sunnah, karena keduanya merujuk pada perkataan Nabi, yang berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan Nabi secara umum, namun dalam segi penggunaannya, seringkali perkataan keduanya digunakan secara bergantian. Tanpa membedakan mana yang betul dan salah, keduanya sama. 2 Moh. Erfan Soebahar, Respon Muhadditsun Menghadapi Tantangan Kehidupan Umat, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hadits IAIN Wali Songo, 1

Transcript of Periwayatan Hadits Secara Lafadz Dan Makna

Page 1: Periwayatan Hadits Secara Lafadz Dan Makna

Periwayatan Hadits Secara Lafadz dan

Makna

Oleh : H. Agus Jaya

PENDAHULUAN

Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam yang kedua setelah al- Qur'an,

yang di dalamnya terkandung ajaran yang terkait dengan umat zaman Nabi

sampai kepada umat era globalisasi sekarang ini, oleh karena itu perlu bagi umat

manusia untuk memahami, mengkaji teks hadits lebih dalam, baik yang tersurat

maupun yang tersirat, dan mengaflikasikannya dalam kehidupan nyata, serta

mentaatinya, sehingga tercapai kehidupan yang penuh dengan ridho Allah swt.

Hadits1 yang dapat diartikan sebagai laporan sesuatu yang dihubungkan

kepada Nabi saw. berupa pernyataan, perbuatan, penetapan, dan persifatan

atau perilaku Nabi, merupakan dokumen penting ajaran keagamaan dan

sekaligus sumber ajaran keagamaan Islam bagi kehidupan.2

Periwayatan Hadits Secara Lafadz dan Makna

Defenisi periwayatan Hadits secara lafadz adalah periwayatan yang

disampaikan sesuai dengan redaksi yang dikatakan oleh nabi Muhammad saw

secara persis. Akan tetapi dalam kenyataannya periwayatan secara lafadz

jumlahnya sangat sedikit.3

1Penggunaan kata Hadits tanpa dibedakan dengan penggunaan kata sunnah, karena keduanya merujuk pada perkataan Nabi, yang berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan Nabi secara umum, namun dalam segi penggunaannya, seringkali perkataan keduanya digunakan secara bergantian. Tanpa membedakan mana yang betul dan salah, keduanya sama.

2Moh. Erfan Soebahar, Respon Muhadditsun Menghadapi Tantangan Kehidupan Umat, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hadits IAIN Wali Songo, Semarang, 31 Agustus 2005, hlm. 57

3 Ensikloedi Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2003. Cet. 11 hal. 55

1

Page 2: Periwayatan Hadits Secara Lafadz Dan Makna

Adapun Periwayatan Hadits secara Makna : adalah meriwayatkan sesuatu

hadits yang sesuai dengan makna lafadznya yang pernah didengarnya.4 Atau

hadits yang diriwayatkan dengan makna yang dimaksud oleh nabi Muhammad

saw, meskipun dari segi redaksi terdapat perubahan. Dan realitanya mayoritas

hadits nabi Muhammad saw diriwayatkan dalam bentuk makna, karena Memang

Rasulullah saw memberikan isyarat bahwa meriwayatkan hadits dengan makna

diperbolehkan.

Walau meriwayatkan hadits dengna ma’na diperbolehkan, namun tetap harus

memenuhi kriteria berikut ;

a. perawi harus paham betul isi dan kandungan hadits dimaksud

b. perawi harus memahami secara luas perbedaan-perbedaan lafadz

sinonim (murodif) dalam bahasa Arab.

c. Perawi tersebut hanya lupa lafadz hadits yang disampaikan Rasulullah

saw sementara maknanya diingat secara persis

d. Muslim

e. Baligh

f. Adil

g. Dhabit (cermat dan kuat)5

Adapun periwayatan hadits yang dilakukan oleh para sahabat, tabi’in dan tabi’

tabi’in dilakukan dengan dua cara, yaitu :

1. periwayatan dengan lafadz (riwayah bi al-lafzi)

2. periwayatan dengan ma’na (riwayat bi al-ma’na)

Diantara kategori hadits yang diriwayatkan dengan lafadz antara lain :

1. Hadits-hadits tentang do’a

2. Dalam bentuk muta’abbad seperti tentang azan dan syahadat

3. Tentang jawami’ al-kalimah

4 Muhammad Shoddin al-Munshowi, Kamus Mustholah al-Hadits Nabawi, Dar al-Fadhilah, Hal. 62

5 Ensiklopedi Islam , PT Ichtir Baru Van Hoeve, Jakarta. 2003, Cet. 11 Hal. 55

2

Page 3: Periwayatan Hadits Secara Lafadz Dan Makna

Menyikapi hal diantas sebagian ahli hadits, ahli fiqh, dan ahli ushul

bersikap ketat, mereka mewajibkan periwayatan hadits dengan lafadz dan tidak

memperbolehkan meriwayatkan dengan makna sama sekali.6

Disisi lain mayoritas ulama cendrung berpendapat bahwa seorang

muhaddits boleh meriwayatkan dengan makna tidak hanya dengan lafadz, hal

inipun tetap mengacu pada persyaratan yang sangat ketat yaitu mampu

memahami bahasa Arab dengan segala seluk beluknya dan mengerti makna-

makna dan kandungan hadits serta memahami kata yang bisa berubah makna

dan kata yang tidak merubahnya, Jika syarat-syarat tersebut telah terpenuhi

maka seorang muhaddits diperbolehkan untuk meriwayatkan dengan makna.

6 Ajaj al-Khotib, Assunnah qobla at-Tadwin, Beiru, Dar al-Fikr, 1997, hal 126

3

Periwayatan secara lafadz

Periwayatan secara makna

Cara Periwayatan

Hadits

Hadits-Hadits Do’a

Hadits dalam bentuk

Muta’abbad

Jawami’ al Kalim

Page 4: Periwayatan Hadits Secara Lafadz Dan Makna

Karena dengan pemahamannya yang kuat seorang muhaddits bisa menghindari

perubahan makna dan pergeseran hukum-hukum yang terkandung didalamnya.7

Namun bila seorang perawi tidak mengerti dan tidak memahami kata-kata

yang bisa merubah makna, maka ia tidak diperbolehkan untuk meriwayatkan

hdits dengan makna. Para ulama sependapat dalam hal penyampaian sebuah

hadits hendaklah sesuai dengan yang didengarnya, dalam hal ini imam as-Syafi’i

mengatakan ”orang yang meriwayatkan hadits haruslah kukuh agamanya,

mengetahui dengan benar haditsnya, memahami apa yang diriwayatkannyadan

mengerti betul kata-kata yang bisa berubah makna. Disamping itu, ia juga harus

menyampaikan hadits dengan huruf-hurufnya seperti yang ia dengar, tidak

meriwayatkannya dengna makna. Karena bila demikian (bila ia tidak mengerti

kata-kata yang dapat merubah makna) ia akan tidak menyadari barangkali ia

telah merubh yang halal menjadi haram. Jika ia menyampaikan hadits dengan

lafadz akan menutup kemungkinan terjadinya pergeseran pengertian hadits yang

bersangkutan. Perawi juga harus hafal betul seandainya ia akan meriwayatkan

dengna hafalannya dan mengerti betul tulisannya jika ia akan meriwayatkan

dengan tulisannya.8

Jelaslah bahwa orang yang mengerti betul kata-kata yang bisa merubah

makna boleh meriwayatkan hadits dengan makna bila ia tidak ingat redaksinya,

karena ia telah menerima kata dan makna. Namun karena ia tak mampu

menyampaikan keduanya maka bolehlah baginya dalam menyampaikan hadits

untuk memilih salah satu diantara keduanya. Maka tidak ada halangan

meriwayatkan hadits secara makna selama ia aman dari keterpelesetan dan

kekeliruan. Bahkan imam Mawardi mewajibkan seseorang menyampaikan

dengan makna bila ia telah lupa akan lafadznya, karena bila tidak ia sampaikan

maka ia termasuk golongn orang ang menyembunyikan hukum. Kemudian

Beliau berkata ”namun bila ia tidak lupa lafadznya maka tidak boleh baginya

menyampaikan selainnya, karena kalam Nabi saw mengandung fashahah yang

tidak dimiliki oleh kalam lainnya.9 Bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa

7 Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Jakarta, Gaya Media Pratama, Cet. 3 hal. 2168 Kutipan Ajjaj dari Arrisalah. Hal. 370-2719 Kutipan Ajjaj dari Tadrib ar-Rawi, hal 313

4

Page 5: Periwayatan Hadits Secara Lafadz Dan Makna

periwayatan sebuah hadits dengna makana hanya diperbolehkan bagi ornag-

orang yang benar-benar mengerti, disamping dengan syarat yang

diriwayatkannya bukan kata-kata yang merupakan bacaan ibadah atau

ungkapan-ungkapan nabi saw yang padat makna (jami’)

Pada prakteknya para sahabat dan tabi’in serta ahli-ahli hadits setelah

mereka tidak beralih dari redaksi aslinya kecuali berkenaan dengan keterangan

mengenai keadaan peperangan atau peristiwa tertentu. Para sahabat, tabi’in dan

ahli hadits sesudah mereka sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits dan

setelah meriwayatkan sebuah hadits mereka mengatakan : atau seperti yang

disabdakan Nabi (au kama Qola), atau ungkapan sejenis (au nahwa haza) atau

ungkapan yang serupa (au Syibhahu) seperti yang diungkapkan oleh Abdullah

Ibnu Mas’ud, Abu Darda’, Anas Ibn Malik dan lain-lain10.

Demikian juga sebaliknya para ulama melarang seorang perawi untuk

meriwayatkan hadits secara makna apabila ia tidak ’Alim dan tidak mengetahui

apa maksud maknanya.

Kalangan sahabat Nabi saw sendiri ada yang dikenal dengan sungguh-

sungguh berusaha menghafal hadits secara lafadz, misalnya Abdullah bin Umar

bin al-Khattab. Hal ini memberi petunjuk adanya sabda Nabi yang diriwayatkan

secara lafadz.

Adapun hadits nabi yang tidak berupa sabda, periwayatan yang dilakukan

oleh sahabat sebagai saksi mata berlangsung secara makna (riwayat bi al-

makna), karena hadits yang non sabda ketika disampaikan oleh sahabat maka

rumusan kalimatnya berasal dari sahat itu sendiri bukan dari Nabi Muhammad

saw.

Para sahabat Nabi sendiri umunya memperbolehkan periwayatan hadits

dengna makna, diantara mereka itu adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin

Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, Abu Darda’, Abu Hurairoh, Aisyah.

Sebagian kecil saja diantara mereka yang cukup ketat berpegang teguh pada

periwayatan secara lafadz, diantaranya Umar bin Khattab dan Zid bin Arqom,

walaupun demikian mereka tidaklah melarang secara tegas kepada sahabat lain

10 Ajjaj al-Khatib, As-Sunnah Qobla at-Tadwin, Beirut, Dar al-Fikr, 1971, hal. 130

5

Page 6: Periwayatan Hadits Secara Lafadz Dan Makna

yang meriwayatkan secara makna. Para sahabat yang sangat ketat dalam

meriwayatkan secara lafadz sangat memahami semikian sulitny auntuk

meriwayatkan seluruh sabda nabi Muhammad saw secara lafadz.11

Urgensi Periwayatan Hadits secara Lafadz dan Makna

a. Secara Lafadz

- Menjaga keotentikan hadits sehingga tidak berubah walapun hanya dalam

bentuk kata.

- Menjaga kebenaran makna sehingga tidak ada perebedaan dari

dikeluarkannya hadits tersebut oleh Rasulullah saw hingga sampai

ketangan para pembaca.

- Membantu menghindari kesalahan dalam menafsirkan hadits

b. Secara Makna

- Membantu mempermudah menyampaikan maksud yang dikehendaki

- Mempermudah menyampaikan nilai-nilai yang terkandung dalam hadits

tanpa harus menghabiskan tenaga, waktu dan biaya untuk menelusuri

terlebih dahulu keotentikan lafadz hadits

- Mempermudah Proses tabligh al hadits kepada orang yang tidak terlalu

memahami bahasa Arab.

- Memudahkan para pelajar hadits terutama pemula untuk memahami

kandungan hadits.

Periwayatan Hadits Secara Makna Bagi Selain Sahabat.

Ulama mempermasalahkan boleh tidaknya selain sahabat Nabi

meriwayatkan hadits secara makna. Abu Bakar bin al-Araby (wafat 573 H/1148

M) berpendapat ”selain sahabat Nabi tidak diperkenalkan meriwayatkan hadits

secara makna. Menurut Ibnu al-Araby ’sahabat Nabi dibolehkan meriwayatkan

hadits secara makna, karena mereka itu :

c. memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi (al-Fashohah dan al-

Balaghah)

11 Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadits, Jakarta, PT Bulan Bintang 1988, hal. 98

6

Page 7: Periwayatan Hadits Secara Lafadz Dan Makna

d. menyaksikan langsung keadaan dan perbuatan nabi.12

Ulama lainnya yang dikenal sangat ketat berpegang pada periwayatan

secara lafadz ialah : Muhammad bin Sirin, Raja’ bin Haywah, Qoaim bin

Muhammad, Tsa’lab bin Nahwi dan Abu Bakar are-Razi.

Disisi lain mayoritas ulama hadits memperbolehkan periwayatan hadits

secara makna dengan beberapa ketentuan. Walau ketentuan tersebut cukup

beragam namun ada beberapa ketentuan yang disepakati, yaitu :

a. yang boleh meriwayatkan hadits secara makna hanyalah mereka yang

benarbenar memiliki pengetahuan bahasa Arab yang dalam. Dengan

demikian periwayatan matan hadits akan terhindar dari kekeliruan.

Misalnya menghalalkan yang haram dan sebaliknya.

b. Periwayatan dengan makna dilakukan karena sangat terpaksa misalnya

karena lupa susunan secara harfiah.

c. Yang diriwayatkan secara makna bukanlah sabda Nabi saw dalam bentuk

bacaan yang sifatnya ta’abbudi, misalnya zikir, do’a, azan, takbir, dan

syahadat serta sabda Nabi dalam bentuk jawami’ al-kalam.

d. Periwayat yang meriwayatkan hadits secara makna atau yang mengalami

keraguan akan susunan matan hadits yang diriwayatkan agar menambah

kata-kata ”au kama qola”, atau ”au nahwa haza”, atau yang semakna

dengannya setelah menyetakan hadits yang bersangkutan.

e. Kebolehan periwayatan hadits secara makna hanya terbatas pada masa

sebelum dibukukannya hadits-hadits secara resmi. Setelah masa

pembukuan hadits (tadwin al-Hadits) dimaksud, maka periwayatan hadits

harus secara lafadz.13

Ketentuan yang terakhir dikemukakan oleh kalangan al-Mmuta’akhirin,

sedang keempat ketentuan yang disebutkan pertama banyak disinggung bik oleh

kalangan ulama al-mutaqoddimin dan al-muta’akhirin.

Adanya berbagai ketentuan tersebut menandakan bahwa periwayatan

hadits secara makna walaupun oleh sebagian besar ulama hadits dibolehkan,

12 ibid.13 ibid.

7

Page 8: Periwayatan Hadits Secara Lafadz Dan Makna

tetapi prakteknya sangatlah selektif karena para perawi tidak begitu saja

diperbolehkan meriwayatkan secara makna akan tetapi mereka diikat oleh

ketentuan-ketentuan yang sangat ketat. Tapi karena ketentuan-ketentuan yang

mengikat para perawi tidaklah berstatus ijma’ maka keragaman susunan redaksi

matan untuk hadits-hadits yang semakna tetap sulit terhindarkan.

Contoh konkrit periwayatan hadits secara makna adalah kejadian seorang

badui yang kencing dalam masjid dan hal itu hanya tejadi sekali, namun dalam

kutub as-sittah kita temukan beberapa riwayat dengan yang dalam redaksinya

terdapat sedikit perbedaan.14

�ه رسول : قال قال أنس : عن البخارى صحيح . فى1��لى الل��ه ص� الل

15عليه. فصب ماء من بدلو دعا تزرموه, ثم : ال وسلم عليه

Dalam shohih Imam Bukhori dari Anas ia berkata bahwa Rasulullah saw

bersabda “Dan janganlah kamu mengusir oang Badui itu, kemudian Rasulullah

meminta seember air, dan air tersebut disiramkan ditempat kencingnya”.

�لى الله رسول قال هريرة أبى : عن . وفيه2��ه ص��ه الل��لم علي� : وس

16ماء. من سجال أو ماء من ذنوبا بوله على أهرقوا و دعوه

Demikian juga dari Abi Hurairoh ra, Rasulullah saw bersabda biarkan dia

dan siramlah tempat yang dikencangi a’raby tadi dengan setimba air.

�ال أنس عن مسلم صحيح . وفى3��ال ق��ول : ق��ه رس��لى الل��ه ص� الل

�ال تزرموه وال "دعوه وسلم عليه��ا "ق��رغ : فلم��ا ف��دلو دع��اء من ب� م

17عليه فصب

Dan pada shohih Imam Muslim diriwayatkan dari Anas ia berkata bahwa

Rasulullah saw bersabda biarkan dia dan janganlah kamu mengusirnya, ketia ia

14 Musfir ‘Azmillah ad-Daminy, Maqoyis Naqdi Mutun as-Sunnah, Riyadh, tanpa penerbit dan tt. hal. 20

15 Ibnu Hajar al-Asqolani, Fathul Bari bi syarhi Shohihi al-Bukhori, Kairo, Dar al-Hadits 1998. Hadits no. 625 jil. 10 hal 542

16 Ibid, Hadits no. 220 Jil. 1 Hal 40317 Imam Muhyiddin Abi Zakaria Yahya bin Syaraf an0Nawawi, Shohih Muslim bi Syarhi an-

Nawawi, Kairo, Dar al-Fajr li at-Turats, 1999 Jil. 1 hal. 98

8

Page 9: Periwayatan Hadits Secara Lafadz Dan Makna

(a’raby) selesai kencing, Rasulullah meminta seember air lalu Beliau menyirami

tempat nya (tempat kencing a’raby tersebut).

�ال أنس عن أيضا . وفيه4��اح ق��ه : فص��ال ب��اس, فق��ول الن��ه رس� الل

�رغ دعوه, فلما وسلم عليه الله صلى� الل�ه ص�لى الل�ه رس�ول أم�ر ف

18بوله على فصب بذنوب وسلم عليه

Dalam kitab yang sama dari Anas, ia berkata ketika orang-orang berbunyi

(untuk mengusirnya) Rasulullah saw bersabda biarkanlah, ketika ia selesai

kencing Rasulullah saw memerintahkan untuk supaya membawa seember air

dan Beliau menyiramkannya pada air kencingnya (tempat kencingnya).

�لم عليه اله صلى الله رسول : قال قال أيضا أنس عن . وفيه5� : وس

.... يزرموه, دعوه ال

Dalam kitab yang sama dari Anas, ia berkat abahwa Rasulullah saw

bersabda janganlah kalia usir dia dan biarkan ia.

�نن . وفى6��رة أبى : عن داود إبى س��ال هري��ال أن يلبث لم : ثم ق� ب

�لى النبى فنهاهم إليه الناس فأسرع المسجد ناحية فى��ه ص��ه الل� علي

�ا وقال وسلم��رين بعثتم : إنم��وا ولم ميس��رين تبعث��بوا معس��ه ص� علي

ماء من ذنوبا قال أو ماء من سسجال

Didalam Sunan Abi Daud, dari Abu Hurairoh ia berkata kemudian ia

(a’rabi) tidak lama berdiam dlaam masjid, lalu ia kencing dalam masjid sehingga

para sahabat segera menghampirinya (untuk mengusirnya), maka Rasulullah

saw bersabda sesungguhnya kamu diutus supaya mempermudah dan kamu

tidak di utus untuk mempersulit. Siramlah dengna seember air diatasnya atau

Beliau berkata atau dengan seember air

�ال هريرة أبى عن الترمذى سنن . وفى7��بى فق��لى الن��ه ص��ه الل� علي

ماء. من سجال عليه " أهرقوا وسلم

18 Ibid, Hal 100

9

Page 10: Periwayatan Hadits Secara Lafadz Dan Makna

Dalam kitab sunan at-tamizie dari Abu hurairoh ra Rasulullah saw

bersabda dalam hal ini ”siramlah diatasnya dengan setimba air atau seember air.

�ه صلى النبى : قال فقال أنس : عن النسائى سنن . وفى8��ه الل� علي

ماء من سجال عليه وصبوا يزرموه ال "دعوه وسلم

Dalam Sunan an-Nasa’i diriwayatkan dari Anas ia berkata Rasululah saw

bersabda, biarkan dia dan siramlah ditempat kencing dengan seember air.

وس�لم علي�ه الل�ه صلى الله رسول قال هريرة أبى عن أيضا . وفيه9

ميسرين. بعثتم إنما ماء من دلوا بوله على وأهرقوا دعوه

Di dalam kitab yang sama dari Abu Hurairoh, Rasulullah saw bersabda :

”biarkanlah dan siramilah tempat kencingnya dengan seember air.

Sesungguhnya kalian diutus untuk menciptakan keringanan.

Dengan pemaparan beberapa riwayat hadits ini, kita akan menemukan

bahwasanya periwayatan yagn mereka riwayatkan sebagaimana disabdakan

Rasulullah saw dengan menggunakan makna dan tidak meriwayatkan dengan

menggunakan lafadz. Dalam riwayat ini kita temukan ungkapan bahwa

Rasulullah kadang menggunakan kata دعوه dan pada kesempatan lain Beliau

menggunakan lafadz �وه ال ��تزرم atau �رزوه ��atau الت �وه ��,saja دع atau

menggabungkan keduanya دعوه تزرموه ال ,

Dari redaksi-redaksi di atas dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad saw

tidak mengucapkan redaksi-redaksi tersebut yang diriwayatkan pada beberapa

contoh diatas akan tetapi Beliau mengungkapkan dengan salah satu riwayat saja

dan perawi telah meriwayatkan dengan menggunakan makna bukan dengan

lafadz Rasulullah saw sebagaimana yang di ungkapkannya.

Pendapat lain mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda ……..

kemudian ada diantara para rawi tersebut yang cukup dengan menggunakan

sebagian kalimatnya, kemudian ada juga rawi yang mengatakan ........ atau

……… ada pula yang menggabungkan keduanya. Kemudian ada yang

menjelaskan riwayat dengan lafadz ……. Atau periwayatan lain ………, dengan

10

Page 11: Periwayatan Hadits Secara Lafadz Dan Makna

mendahulukan ...... atau dalam riwayat an-Nasai ........... ini adalah kalimat

bersambung yang masih memiliki hubungan. Dimana kalimat itu memuat makna

yang tidak dimuat dalam kalimat ........... atau ....... kemudian perawi tidak

menulisnya, hal ini berarti rawi menukil dari perkataan Nabi Muhammad saw dan

tidak persis redaksinya. Periwayatan hadits pada masa sahabat dan orang-orang

sesudahnya biasa menggunakan makna sehingga harus memunculkan banyak

lafadz yang memiliki kesesuain makna, keadaan seperti ini terjadi secara alami,

walau dalam perjalanan seorang perawi senantiasa memiliki motivasi dan

semangat untuk menyampaikan lafadz hadits Nabi muhammad

Ibnu Umar sangat melarang seseorang meriwayatkan hadits dengan

makna, beliau mengutip hadits nabi Muhammad saw : ”perumpamaan orang

munafik seperti kambing yang duduk bersimpuh diantara dua kambing.

Selanjutnya Ibnu Umar berkata : ”celakalah kamu, janganlah kamu mendustakan

Rasul. Disaat lawin Nabi Muhammad saw jug apernah bersabda : ”orang munafik

itu bagaikan seorang yang sakit kedua belah matanya yang berada dikedua

kambing yang sehat. Ambillah pelajaran dari perubahan dua lafadz ”.....” yang

asal katanya adalah ”...” ini adalah bentuk kedustaa terhadap Rasulullah saw,.

Diriwayatkan dari Muhammad bin Ali ia berkata ketika Ibnu Umar pernah

mendengar hadits maka Ibnu Umar tidak menambahnya, tidak mengurangi, tidak

melampaui batas dan juga tidak meringkasnya.19

Syarat yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadits :

1. Perawi hendaklah ’Alim (mengetahui lafadznya dan penunjukkan

maknanya)

2. Perawi mengetahui cakupan makna

3. Perawi mengetahui kadar perbedaan diantaranya (makna yang

tercakup hadits)

Mayoritas Ulama berpendapat bahwa boleh meriwayatkan hadits dengan

makna, namun kebolehan tersebut tetap di sertai persyarata-persyatan ketat

yang harus terpenuhi sehingga diharapkan periwayatan it sesuai dengan apa

yang dikehendaki oleh lafadz dari nabi Muhammad saw, dan jika seorang perawi

19 Musfir ‘Azmillah ad-Daminy, Maqoyisi Naqdi Mutun as-Sunannah, Kairo, Dar al-Waroq. Hal. 21

11

Page 12: Periwayatan Hadits Secara Lafadz Dan Makna

tidak memahami maksud yang terkandung dalam lafadz sebuah hadits maka

perawi tersebut tidak diperbolehkan untuk meriwayatkan hadits tersebut secara

makna.

Imam as-Sarahsi berkata bahwa khabar itu adakalanya muhkam

(jelas/sempurna), atau dhomir (bukan makna hakiki), atau musykil (sulit

dipahami), atau musytarak (memiliki makna lebih dari satu) atau mujmal (global),

atau mutasyabih (memiliki kesamaan), atau jawami’ al-kalim (sarat dengan

makna). Bagi seorang perawi boleh meriwayatkan khabar yang muhkam secara

makna dengan syarat bahwa sang perawi tersebut mengetahui aspek-aspek

bahasa. Adapan khabar yang dhomir hanya boleh diriwayatkan secara makna

bagi para perawi yang menguasai bahasa Arab dan memahami syariah. Sedang

khabr musykil dan musytarak tidak boleh diriwayatkan secara makna, karena

keduanya tidak bisa dipahami kecuali dnegan metode takwil, sedangkan takwil

itu sendiri memiliki sumber yang sama dengan qiyas yaitu akal, maka dengan

sendirinya tidak bisa dijadikan hujjah untuk penetapan yang lain. Begitu juga

khabar mutasyabih dan jawami’ al-kalim. Walaupun demukian masih ada

sebagian kecil ulama yang memperbolehjkan periwayatan hadits dengan makna.

Argumen kelompok yang melarang dan memperbolehkan periwayatan

hadits secara makna

Argumen kelompok yang menolak periwayatan hadits secara makna

adalah hadits nabi Muhammad saw yang berbunyi :

فحفظه حديثا منا سمع إمرأ الله نضر

Allah swt memuji orang yang menerima hadits dariku kemudian ia

menghafalnya lalu ia menyampaikannya kepada orang lain, karena bisa jadi

orang yang menerima hadits tersebut (dari perawi) lebih hafal dari yang

mendengan (perawi yang langsung mendenga hadits nabi tersebut).

Pada riwayat lain Nabi Muhammad saw bersabda :

أفقه هو من إلى فقه حامل رب و فقيه غير فقه حامل رب

12

Page 13: Periwayatan Hadits Secara Lafadz Dan Makna

”banyak orang yang menyampaikan fiqih namun bukan ahli fiqih, dan

banyak yang menyampaikan fiqih kepada orang yang ahli fiqih.

Hadits diatas walaupun dijadikan argumen bagi keompok yang menolak

periwayatan hadits tidak berarti penyampaian hadits harus dengan lafadz, justru

sebaliknya meriwayatkan hadits dengan makna atau maksud yang ada di dalam

lafadz tanpa mengurangi dan menambahi esensi isi hadits maka dipandang sah

atau benar dan hadits diatas juga menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan

khabar itu adalah mentransfer makna bukan lafadz. Oleh karena itu sering kita

temukan redaksi hadits yang berbeda-beda dengan makna yang sama.

Adapun argumen kelompok yang membolehkan seorang perawi

meriwayatkan hadits dengan makna adalah :

�ال وسلم علية الله صلى التبى سأل رجال أن مسعود إبن عن��ه وق��ا ل��ول ي� رس

�ه صلى النبى سمعناه, فقال كما نسوقه أن نقدر ال يحديث تحدثنا الله��ه الل� علي

فليحدث المعنى احدكم أصاب إذا وسلم

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa ada seorang laki-laki pernah

bertanya kepada Rasulullah saw, wahai Rasulullah : kami telah menerima

sebuah hadits, kami tidak mampu untuk menyebutkan dengna sempeurna

sebagaimana saya (saya mendengarnya), kemudian nabi Muhammad saw

bersabda : apabila salah seorang diantara kamu memperoleh makna hadits

maka sampaikanlah hadits itu kepada orang lain.

Dari segi sejarah as-Siba’i menjelaskan dapat dipastikan bahwa tidak pernah

terjadi dalam masa hidup Rasulullah saw seseorang yang berserah diri dan

menjadi sabahat Beliau kemudian memalsukan suatu ucapan dari sabda Beliau.

Penutup

13

Page 14: Periwayatan Hadits Secara Lafadz Dan Makna

Periwayatan hadits dengan makna hanya dapat dilakukan oleh mereka

yang telah memenuhi syaratnya dan dalam keadaan yang sangat mendesak

mereka untuk meriwayatkannya serta perawi tersebut benar-benar memahami

kandungan hadits yang diriwayatkannya dengan makna. Walaupun demikian

fokus utama bagi ahli hadits hendaklah meriwayatkan sesuai lafadznya, sebagai

upaya penjagaan hadits-hadits Rasulullah saw. Wallahu A’lam.

Daftar Pustaka

14

Page 15: Periwayatan Hadits Secara Lafadz Dan Makna

al-Asqolani, Ibnu Hajar, Fathul Bari bi syarhi Shohihi al-Bukhori, Kairo, Dar al-

Hadits 1998

ad-Daminy, ‘Azmillah, Musfir, Maqoyis Naqdi Mutun as-Sunnah, Riyadh, tanpa

penerbit dan tt.

Ensikloedi Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2003

An Nawawi, Syaraf, Yahya, Abi Zakaria, Muhyiddin, Imam, Shohih Muslim bi

Syarhi an-Nawawi, Kairo, Dar al-Fajr li at-Turats, 1999

Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadits, Jakarta, PT Bulan Bintang

1988

al-Khatib, Ajjaj, Muhammad, Ushul al-Hadits, Jakarta, Gaya Media Pratama

_______Assunnah qobla at-Tadwin, Beiru, Dar al-Fikr, 1997

al-Munshowi, Shoddin, Muhammad, Kamus Mustholah al-Hadits Nabawi, Dar al-

Fadhilah

Soebahar, Erfan, Moh, Respon Muhadditsun Menghadapi Tantangan Kehidupan

Umat, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hadits IAIN Wali

Songo, Semarang, 31 Agustus 2005

15