Peristiwa 10 NOVEMBER

13
Angela Agatha berperan sebagai Mr. Ploegman Diana Pramesnandha berperan sebagai Sidik Hana Rifdah Ramadhany berperan sebagai Hariyono mencakup rakyat berserta para pejuang Lisa Fitri Dewi berperan sebagai Soedirman Thufailah Mujahidah berperan sebagai Bung Tomo

Transcript of Peristiwa 10 NOVEMBER

Angela Agatha berperan sebagai Mr. Ploegman

Diana Pramesnandha berperan sebagai Sidik

Hana Rifdah Ramadhany berperan sebagai Hariyono mencakup

rakyat berserta para pejuang

Lisa Fitri Dewi berperan sebagai Soedirman

Thufailah Mujahidah berperan sebagai Bung Tomo

Peristiwa 10 November

Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara

Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia

dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya

Hotel Oranye di Surabaya tahun 1911.

Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih

dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje

Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.

Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada sore

hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya

dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan

pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.

Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah

Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Haryono

Di Hotel Yamato

Soedirman : “Ayo, cepat kita masuk!”

Di dalam hotel, Soedirman berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawan

Soedirman : “Hei, Ploegman! Aku ingin kita berunding.”

Mr. Ploegman : “Baik. Memangnya apa yang harus kita rundingkan?”

Soedirman : “Tidakkah kau lihat kerumunan massa di luar? Itu semua karena ulah kau

Ploegman!

Mr. Ploegman : “Apa maksudmu Soedirman? Aku rasa aku tidak bersalah atas insiden ini.”

Soedirman : “Halah, tidak usah banyak bicara! Aku minta sekarang juga turunkan

bendera negaramu di atas hotel ini!”

Mr.Ploegman : “Tentara Sekutu telah menang perang, dan karena Belanda adalah anggota

Sekutu, maka sekarang Pemerintah Belanda berhak menegakkan kembali pemerintahan Hindia Belanda. Republik Indonesia? Itu tidak kami akui."

Soedirman : “Kurang ajar kau Plogman!” Sambil mengangkat revolver, Ploegman memaksa Soedirman untuk segera pergi dan

membiarkan bendera Belanda tetap berkibar. Melihat gelagat tidak menguntungkan itu, pemuda Sidik dan Hariyono yang mendampingi Sudirman mengambil langkah taktis. Sidik

menendang revolver dari tangan Ploegman. Revolver itu terpental dan meletus tanpa mengenai siapapun.

Mr. Ploegman : “Hei, gila kau, Sidik! Apa yang kau lakukan?”

Sidik : “Hariyono, cepat bawa Soedirman keluar! Biar si kepala batu ini aku yang urus!”

Hariyono : “Ayo, Soedirman! Kita tinggalkan tempat ini!

Setelah Hariyono dan Soedirman meninggalkan ruangan, Sidik bertarung dengan Ploegman. Dalam pertarungan itu, Sidik mencekik Ploegman hingga tewas. Tiba-tiba, beberapa tentara

Belanda pun menyerobot masuk karena mendengar letusan pistol dan sambil menghunus pedang panjang lalu disabetkan ke arah Sidik, ia pun tersungkur. . Di luar hotel, para pemuda

yang mengetahui kejadian itu langsung merangsek masuk ke hotel dan terjadilah perkelahian di ruang muka hotel. Sebagian yang lain, berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman turut terlibat dalam pemanjatan

tiang bendera. Akhirnya ia bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang kembali.

Kematian Brigadir Jenderal Mallaby

Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby

Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun

begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada

30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan

Merah.

Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan

granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan

pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.

10 NOVEMBER

Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert

Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang

ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.

Mayjen. Robert Mansergh : “ Hey kalian semua, baik pemimpin maupun orang biasa,

aku perintahkan bagi yang bersenjata untuk melapor kepadaku dan menyerahkan seluruh senjata yang kalian miliki di tempat yang telah aku tentukan! Ingat, jangan lewat

sampai pukul 6 pagi tanggal 10 November. Mengerti? ”

Para pejuang : “ Apa-apaan kau Robert? Seenaknya saja memerintah kami! Memangnya kau itu siapa? Kami menolak perintahmu itu. Ingatlah! sekarang, Bangsa Indonesia sudah berdiri, itu

artinya, tidak ada lagi yang berhak memerintah kami, termasuk kau! “

Mayjen. Robert Mansergh : “ Ya sudah kalau kalian membantahku. Aku akan

memberikan kejutan untuk Negara kalian. Kejutan yang

akan membuat kalia semua menangis darah. “

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar,

yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.

Inggris kemudian membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat.

Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan

ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal maupun terluka.

Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo

yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.

Bung Tomo : “ Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama

itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga. Kita tunjukken bahwa kita ini benar-benar orang-orang yang ingin merdeka. Dan untuk kita

saudara-saudara, lebih baik hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap ‘ Merdeka atau Mati ‘. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar !! Merdeka !! ”

Rakyat : “ Allahu Akbar !! Merdeka !! Hidup Indonesia ! “

Setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 - 2000 tentara. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut

telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang

menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.

Foto – Foto Terkait dengan Peristiwa 10 November 1945