Perilaku Delinkuensi Berdasarkan Atass

47
Perilaku delinkuensi berdasarkan atas, Identitas, Usia, Jenis kelamin khususnya laki-laki, Pengaruh teman sebaya berikut Keinginan meniru dan ingin konfrom dengan lingkungannya, jadi tidak ada motivasi, kecemasan, atau konflik batin yang tidak dapat diselesaikan. Proses keluarga, pada umumnya berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis, dan mengalami banyak frustasi. Sebagai jalan keluarnya, remaja memuaskan semua kebutuhan dasarnya di tengah lingkungan kriminal. Dalam hal pola asuh menjadi bagian penting dari suatu terjadinya penyimpangan pada anak remaja. Dimana masa remaja ini masih membutuhkan perhatian yang besar dari lingkungan keluarga untuk mendapatkan kasih sayang, pendidikan agama maupun norma-norma yang berlaku dilingkungan masyarakat. Keberhasilan remaja dalam membentuk tingkah laku secara tepat di masyarakat adalah ditentukan oleh peranan lingkungan. keluarga khususnya orang tua dalam mengarahkan serta mengembangkan kemampuan anak membentuk tingkah lakunya. Mengenai hal ini Hurlock (1999) mengemukakan bahwa pengertian mengenai nilai-nilai tingkah laku serta kemampuan anak untuk membentuk tingkah laku dikembangkan dalam lingkungan.

description

lapsus

Transcript of Perilaku Delinkuensi Berdasarkan Atass

 Perilaku delinkuensi berdasarkan atas, Identitas, Usia, Jenis kelamin khususnya laki-laki,

Pengaruh teman sebaya berikut Keinginan meniru dan ingin konfrom dengan lingkungannya,

jadi tidak ada motivasi, kecemasan, atau konflik batin yang tidak dapat diselesaikan. Proses

keluarga, pada umumnya berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis, dan mengalami

banyak frustasi. Sebagai jalan keluarnya, remaja memuaskan semua kebutuhan dasarnya di

tengah lingkungan kriminal. Dalam hal pola asuh menjadi bagian penting dari suatu terjadinya

penyimpangan pada anak remaja. Dimana masa remaja ini masih membutuhkan perhatian yang

besar dari lingkungan keluarga untuk mendapatkan kasih sayang, pendidikan agama maupun

norma-norma yang berlaku dilingkungan masyarakat. Keberhasilan remaja dalam membentuk

tingkah laku secara tepat di masyarakat adalah ditentukan oleh peranan lingkungan. keluarga

khususnya orang tua dalam mengarahkan serta mengembangkan kemampuan anak membentuk

tingkah lakunya. Mengenai hal ini Hurlock (1999) mengemukakan bahwa pengertian mengenai

nilai-nilai tingkah laku serta kemampuan anak untuk membentuk tingkah laku dikembangkan

dalam lingkungan.

Pola asuh orang tua adalah pola perilaku orang tua yang diterapkan pada anak yang

bersifat relatif dan konsisten dari waktu kewaktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak

dari segi negatif maupun positif. Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan dengan seluruh cara

perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak. Pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses

Interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi tersebut mancakup perawatan seperti dari

mencukupi kebutuhan makan. Cara orang tua mendidik anaknya disebut sebagai pola

pengasuhan dalam Interaksinya dengan orang tua, anak cenderung menggunakan cara-cara

tertentu yang dianggap paling baik bagi dirinya. Pola asuh yang dilakukan oleh orangtua kepada

anaknya umumnya dilakukan melalui pola asuh otoriter, demokratis, permisif, dan pola asuh

dialogis. Pola asuh otoriter dicirikan dengan orang tua yang cenderung menetapkan standart yang

mutlak harus dituruti, biasanya bersamaan dengan ancaman-ancaman. Anak akan mengalami

suatu penyimpangan apabila anak tersebut tidak merasa nyaman dalam keluarga sehingga anak

tersebut harus melampiaskannya di luar rumah dengan mengikuti hal-hal atau kegiatan yang

menjurus ke arah kenakalan remaja. Maka daripada itu, menghubungkan antara pola asuh dengan

terjadinya tingkat Delinqency (kenakalan pada remaja). Sejauh mana pola asuh orang tua dapat

mempengaruhi delinquency. Pola asuh yang dilakukan oleh orangtua kepada anaknya umumnya

dilakukan melalui pola asuh otoriter, demokratis, permisif, dan pola asuh dialogis. Masing-

masing pola asuh ini mempunyai karakter yang berbeda yang tentu akan membawa pengaruh

yang berbeda pula terhadap pembentukan perilaku anak. Karena pembentukan perilaku ini terjadi

melalui proses interaksi antar anggota keluarga dalam proses pengasuhan dengan demikian

buruknya perilaku anak juga tergantung dari cara dan norma atau nilai yang

ditanamkan/dikenalkan oleh orangtua kepada anak-anaknya. Remaja adalah sosok yang unik

dengan karakter yang khas, yang labil dan masih tergantung kepada orangtua sangat berbeda

dengan orang dewasa. Perbedaan tersebut mengandung konsekuensi pada perbedaan tanggung

jawab. Maka masa remaja adalah masa transisi dimana seorang remaja akan mencari identitas

diri (siapa aku?), kurangnya perhatian dan kurang tepatnya pengasuhan dapat membuat sang

remaja kurangnya dalam mengontrol diri. Sehingga rendahnya kontrol diri remaja yang dapat

menyebabkan juga remaja jadi lebih sering ikut-ikutan dengan teman sebayanya.

perilaku delinkuensi adalah perilaku yang dipelajari secara negatif, berarti perilaku

tersebut tidak diwarisi. Perilaku delinkuensi ini dipelajari dalam interaksi dengan orang lain,

khususnya orang-orang dari kelompok terdekat seperti orang tua, saudara kandung, sanak

saudara atau masyarakat di sekitar tempat tinggal. Keluarga sebagai unit sosial yang memberi

pengaruh besar terhadap perkembangan anak, seperti interaksi negatif antar saudara kandung

dapat menjadi dasar munculnya perilaku negatif pada anak.

Faktor pribadi, seperti faktor bawaan yang mempengaruhi temperamen (menjadi pemarah,

hiperaktif, dan lain-lain), cacat tubuh, serta ketidakmampuan menyesuaikan diri. Santrock

(2003), berdasarkan teori perkembangan identitas Erikson mengemukakan faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku delinkuensi pada remaja yaitu pengaruh orang tua dan keluarga.

Seseorang berperilaku nakal seringkali berasal dari keluarga, di mana orang tua menerapkan pola

disiplin secara tidak efektif, memberikan mereka sedikit dukungan, dan jarang mengawasi anak-

anaknya sehingga terjadi hubungan yang kurang harmonis antar anggota keluarga, antara lain

hubungan dengan saudara kandung dan sanak saudara. Hubungan yang buruk dengan saudara

kandung di rumah akan cenderung menjadi pola dasar dalam menjalin hubungan sosial ketika

berada di luar rumah. Pola asuh orang tua adalah pola perilaku orang tua yang diterapkan pada

anak yang bersifat relatif dan konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan

oleh anak dari segi negatif maupun positif.

Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua serta pengalaman sangat berpengaruh

dalam mengasuh anak. Peranan orangtua atau pendidik amatlah besar dalam memberikan

alternatif jawaban dari hal – hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya. Orangtua yang

bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa berpikir

lebih jauh dan memilih yang terbaik. Sebaliknya orangtua yang tidak mampu memberikan

penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat remaja tambah bingung. Remaja

tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orangtua dan nilai yang dianutnya. Ini bisa

menjadi berbahaya jika “lingkungan baru” memberi jawaban yang tidak diinginkan atau

bertentangan dengan yang diberikan oleh orangtua. Konflik dengan orangtua mungkin akan

terjadi dan semakin buruk.

C.Remaja

2.8 Definisi Remaja

Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa.

Istilah adolensence mempunyai arti yang luas lagi yang mencakup kematangan mental,

emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992). Pada masa ini sebenarnya tidak mempunyai tempat

yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi juga golongan dewasa atau tua.

Hurlock dalam bukunya Psikologi Perkembangan mendefinisikan masa remaja sebagai masa

penuh kegoncangan, taraf mencari identitas diri dan merupakan periode yang paling berat

(Hurlock, 1993). Masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa ini anak

mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya maupun perkembangan

psikisnya. Mereka bukanlah anak-anak baik bentuk badan ataupun cara berfikir atau bertindak,

tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang.

Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa

yang umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia belasan tahun atau

awal dua puluhan tahun. Hurlock (1990) membagi masa remaja awal dari 13 tahun – 16 tahun

atau 17 tahun, dan masa remaja akhir dari 17 tahun atau 18 tahun – 20 tahun. Masa remaja awal

dan akhir dibedakan oleh hurlock karena pada masa remaja akhir telah mencapai transisi

perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa.

2.9     Perkembangan Masa Remaja

2.9.1  Perkembangan fisik

Yang dimaksud dengan perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak,

kapasitas sensoris dan ketrampilan motorik (Papalia & Olds, 2001). Perubahan pada tubuh

ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dan

kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi. Tubuh remaja mulai beralih dari tubuh kanak-

kanak yang cirinya adalah pertumbuhan menjadi tubuh orang dewasa yang cirinya adalah

kematangan. Perubahan fisik otak sehingga strukturnya semakin sempurna meningkatkan

kemampuan kognitif (Piaget dalam Papalia dan Olds, 2001).

2.9.2  Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget (dalam Santrock, 2001), seorang remaja termotivasi untuk memahami dunia

karena perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam pandangan Piaget, remaja secara aktif

membangun dunia kognitif mereka, di mana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima

begitu saja ke dalam skema kognitif mereka. Remaja sudah mampu membedakan antara hal-hal

atau ide-ide yang lebih penting dibanding ide lainnya, lalu remaja juga menghubungkan ide-ide

tersebut. Seorang remaja tidak saja mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati, tetapi

remaja mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga memunculkan suatu ide baru.

Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar,

berpikir, dan bahasa. Piaget (dalam Papalia & Olds, 2001) mengemukakan bahwa pada masa

remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan

lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir

abstrak. Piaget menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal (dalam

Papalia & Olds, 2001).

Tahap formal operations adalah suatu tahap dimana seseorang sudah mampu berpikir secara

abstrak. Seorang remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual, serta pengalaman yang

benar-benar terjadi. Dengan mencapai tahap operasi formal remaja dapat berpikir dengan

fleksibel dan kompleks. Seorang remaja mampu menemukan alternatif jawaban atau penjelasan

tentang suatu hal. Berbeda dengan seorang anak yang baru mencapai tahap operasi konkret yang

hanya mampu memikirkan satu penjelasan untuk suatu hal. Hal ini memungkinkan remaja

berpikir secara hipotetis. Remaja sudah mampu memikirkan suatu situasi yang masih berupa

rencana atau suatu bayangan (Santrock, 2001). Remaja dapat memahami bahwa tindakan yang

dilakukan pada saat ini dapat memiliki efek pada masa yang akan datang. Dengan demikian,

seorang remaja mampu memperkirakan konsekuensi dari tindakannya, termasuk adanya

kemungkinan yang dapat membahayakan dirinya.

Pada tahap ini, remaja juga sudah mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, dimana mereka

sudah mulai membayangkan sesuatu yang diinginkan di masa depan. Perkembangan kognitif

yang terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih

logis. Remaja sudah mulai mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana mereka mampu

membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock, 2001).

Pendapat Elkind bahwa remaja memiliki semacam perasaan invulnerability yaitu keyakinan

bahwa diri mereka tidak mungkin mengalami kejadian yang membahayakan diri, merupakan

kutipan yang populer dalam penjelasan berkaitan perilaku berisiko yang dilakukan remaja

(Beyth-Marom, dkk., 1993). Umumnya dikemukakan bahwa remaja biasanya dipandang

memiliki keyakinan yang tidak realistis yaitu bahwa mereka dapat melakukan perilaku yang

dipandang berbahaya tanpa kemungkinan mengalami bahaya itu.

Beyth-Marom, dkk (1993) kemudian membuktikan bahwa ternyata baik remaja maupun orang

dewasa memiliki kemungkinan yang sama untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku yang

berisiko merusak diri (self-destructive). Mereka juga mengemukakan adanya derajat yang sama

antara remaja dan orang dewasa dalam mempersepsi self-invulnerability. Dengan demikian,

kecenderungan melakukan perilaku berisiko dan kecenderungan mempersepsi diri invulnerable

menurut Beyth-Marom, dkk., pada remaja dan orang dewasa adalah sama.

2.9.3  Perkembangan kepribadian dan sosial

Yang dimaksud dengan perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu berhubungan

dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik; sedangkan perkembangan sosial berarti

perubahan dalam berhubungan dengan orang lain (Papalia & Olds, 2001). Perkembangan

kepribadian yang penting pada masa remaja adalah pencarian identitas diri. Yang dimaksud

dengan pencarian identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang

penting dalam hidup (Erikson dalam Papalia & Olds, 2001).

Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding

orang tua (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dibanding pada masa kanak-kanak, remaja

lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstra kurikuler dan

bermain dengan teman (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dengan demikian, pada masa

remaja peran kelompok teman sebaya adalah besar.

Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun

remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan

tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh

tekanan dari kelompok teman sebaya (Conger, 1991).

Kelompok teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang

remaja tentang perilakunya (Beyth-Marom, et al., 1993; Conger, 1991; Deaux, et al, 1993;

Papalia & Olds, 2001). Conger (1991) dan Papalia & Olds (2001) mengemukakan bahwa

kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan

sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Bagi remaja, teman-teman menjadi sumber informasi

misalnya mengenai bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik atau film apa yang bagus,

dan sebagainya (Conger, 1991).

2.10   Ciri-ciri Masa Remaja

Masa remaja adalah suatu masa perubahan. Pada masa remaja terjadi perubahan yang cepat baik

secara fisik, maupun psikologis. Ada beberapa perubahan yang terjadi selama masa remaja.

2.10.1    Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal

dengan sebagai masa storm & stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan

fisik terutama hormon yang terjadi pada masa remaja. Dari segi kondisi sosial, peningkatan

emosi ini merupakan tanda bahwa remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda dari masa

sebelumnya. Pada masa ini banyak tuntutan dan tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya

mereka diharapkan untuk tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, mereka harus lebih mandiri

dan bertanggung jawab. Kemandirian dan tanggung jawab ini akan terbentuk seiring berjalannya

waktu, dan akan nampak jelas pada remaja akhir yang duduk di awal-awal masa kuliah.

2.10.2 Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai kematangan seksual. Terkadang

perubahan ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan kemampuan mereka sendiri.

Perubahan fisik yang terjadi secara cepat, baik perubahan internal seperti sistem sirkulasi,

pencernaan, dan sistem respirasi maupun perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan,

dan proporsi tubuh sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja.

2.10.2    Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain.

Selama masa remaja banyak hal-hal yang menarik bagi dirinya dibawa dari masa kanak-kanak

digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang. Hal ini juga dikarenakan adanya

tanggung jawab yang lebih besar pada masa remaja, maka remaja diharapkan untuk dapat

mengarahkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam

hubungan dengan orang lain. Remaja tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis

kelamin yang sama, tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa.

2.10.3         Perubahan nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak

menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa.

2.10.4         Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi.

Di satu sisi mereka menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain mereka takut akan tanggung

jawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan kemampuan mereka sendiri untuk

memikul tanggung jawab tersebut.

2.11   Tugas perkembangan remaja

Tugas perkembangan remaja menurut Havighurst dalam Gunarsa (1991) antara lain :

        Memperluas hubungan antara pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa

dengan kawan sebaya, baik laki-laki maupun perempuan.

    Memperoleh peranan sosial.

    Menerima kebutuhannya dan menggunakannya dengan efektif.

o     Memperoleh kebebasan emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya.

o     Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri.

Erikson (1968, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2001) mengatakan bahwa tugas utama remaja

adalah menghadapi identity versus identity confusion, yang merupakan krisis ke-5 dalam tahap

perkembangan psikososial yang diutarakannya. Tugas perkembangan ini bertujuan untuk

mencari identitas diri agar nantinya remaja dapat menjadi orang dewasa yang unik dengan sense

of self yang koheren dan peran yang bernilai di masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2001).

Untuk menyelesaikan krisis ini remaja harus berusaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa

perannya dalam masyarakat, apakah nantinya ia akan berhasil atau gagal yang pada akhirnya

menuntut seorang remaja untuk melakukan penyesuaian mental, dan menentukan peran, sikap,

nilai, serta minat yang dimilikinya.

 

 

 

 

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

 

 

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif sifatnya non-ekperimental, karena peneliti tidak

memberi perlakuan (kontrol) terhadap sampel penelitian. Hal ini sesuai dengan yang

dikemukakan Karlinger (dalam Arikunto 2006) bahwa penelitian non-eksperimental dilakukan

ketika variable bebasnya tidak dapat dikontrol secara langsung. Hakikat variable tersebut

menutup kemungkinan untuk dimanipulasi. Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini

termasuk dalam penelitian korelasional, karena ingin mengetahui hubungan antar variable, yaitu

antara variable pola asuh dan variable delinquency pada remaja yang mengikuti tawuran di

SMA-X Jakarta Barat.

3.1            Variable Penelitian

Terdapat dua variable dalam penelitian ini yaitu variable Pola Asuh dan Variable delinquency

pada remaja yang mengikuti tawuran.

1. Pola Asuh

Definisi konseptual dari pola asuh adalah perilaku yang patut dicontoh menurut Baumrind (1997)

memberikan arti setiap perilakunya tidak sekedar perilaku yang bersifat mekanik, tetapi harus

didasarkan pada kesadaran bahwa perilakunya akan dijadikan lahan peniruan dan identifikasi

bagi anak-anaknya. Sementara itu kesadaran diri orangtua juga harus ditularkan pada anak-

anaknya dengan mendorong mereka agar perilaku kesehatannya taat kepada nilai-nilai moral.

Oleh karena itu, orang tua senantiasa membantu mereka agar mampu melakukan observasi diri

melalui komunikasi dialogis, baik secara verbal maupun non verbal tentang perilaku. Tidak kalah

pentingnya yang perlu disiapkan oleh orangtua menurut Baumrind (1997) adalah pola

komunikasi orangtua, dimana komunikasi dialogis yang terjadi antara orang tua dan anak-

anaknya, terutama yang berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk memecahkan

masalahnya. Pendidikan dalam keluarga memiliki nilai strategis dalam pembentukan kepribadian

anak. Semua sikap dan perilaku anak yang telah dipolesi dengan sifat/pola asuh dari orang tua

akan mempengaruhi perkembangan jiwa anaknya. Pola asuh orang tua berhubungan dengan

masalah tipe kepimpinan orang tua dalam keluarga. Tipe kepimpinan orang tua dalam keluarga

itu bermacam-macam, sehingga pola asuh orang tua bersifat demokratis / otoriter. Pada sisi lain,

bersifat campuran antara demokratis & otoriter.

Definisi operasional pola asuh merupakan skor total yang didapat dari pengukuran indikator pola

asuh pada variasi asuh otoriter, demokratis, permisif, dan pola asuh dialogis.   Semakin tinggi

skor pada dimensi berarti pola asuh yang sangat mempengaruhi delinquency pada remaja yang

mengikuti tawuran.

1. Delinquency

Definisi konseptual dari delinquency adalah “Perilaku delinkuensi merupakan suatu bentuk

perilaku ilegal yang mencerminkan peran kenakalan yang terus-menerus, dimana perilaku

tersebut oleh masyarakat dianggap sebagai penyimpangan yang sangat serius. Perilaku

menyimpang tersebut diartikan oleh orang lain sebagai ancaman terhadap norma legitimasi

masyarakat.”(Bynum & Thompson, 1996) .

Definisi operasional dari delinquency adalah Definisi operasional Delinquency ini ialah

merupakan skor total yang didapat dari pengukuran indikator delinquency pada dimensi status

offenses dan index offenses. yang menunjukan semakin tinggi skor maka terlihat delinquency

yang negatif. Sebaliknya, semakin rendah skor maka semakin positif  delinquencynya.

3.3   Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai

kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian

ditarik kesimpulannya. (Sugiyono, 2009). Penelitian ini akan meneliti mengenaik hubungan

antara pola asuh dengan delinquency pada remaja yang mengikuti tawuran di SMA-X Jakarta

barat. Oleh karena itu, populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA-X Jakarta Barat.

1. Karakteristik Sampel

Adapun yang menjadi kriteria sampel dalam penelitian ini adalah remaja yang berstatus siswa

SMA-X Jakarta Barat Kelas XI dan XII. Remaja laki-laki yang masuk dalam kategori remaja

tengah (13-17 tahun).

1. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sample yang dilakukan adalah menggunakan Probability Sampling dengan

teknik Simple Random Sampling. Simple Random Sampling adalah teknik pengambilan sampel

secara acak dari anggota populasi untuk dijadikan sample penelitian tanpa memperhatikan strata

(sugiyono,2009). Sample yang digunakan dalam penelitian adalah seluruh siswa SMA-X di

Jakarta Barat.

3.4  Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat duaalat ukur, yaitu alat ukur pola asuh dan alat ukur delinquency

remaja yang mengikuti tawuran.

1. Pola Asuh

Metode pengumpulan data yang digunakan berbentuk kuestioner. Kuestioner merupakan teknik

pengumpulan data yang efisiensi bila peneliti tahu dengan pasti variable yang diukur dan tahu

apa yang bisa diharapkan dari responden (Sugiyono,2009). Pada pola asuh alat ukurnya

menggunakan teori dari Baumrind (1997) berdasarkan skala likert. Kuestioner ini berisi 108

item, terdiri dari 54 item favorable dan 54 item unfavorable.

Item-item tersebut berisikan pernyataan-pernyataan berdasarkan empat variasi yaitu asuh

otoriter, demokratis, permisif, dan pola asuh dialogis.

1. Teknik Skoring Skala Pola Asuh

Dalam pengukuran pola asuh pada penelitian ini menggunakan skala pola asuh dari likert, yaitu

jawaban setiap item instrumen mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif,

yang dapat berupa kata-kata sangat sesuai, sesui,ragu-ragu,tidak sesuai sampai sangat tidak

sesuai (Sugiyono,2009).

Rentang penilaian disetiap pernyataan, disediakan sejumlah alternatif tanggapan yang berjenjang

atau bertingkat. Namun dalam penelitian ini skala yang digunakan tidak menggunakan pilihan

jawaban yang bersifat ragu-ragu, dengan maksud untuk menghindari kecendenrungan untuk

memilih pilihan yang berada ditengah-tengah atau netral.

Terdapat empat pilihan alternatif jawaban dalam setiap pernyataan, yaitu: sangat sesuai (SS),

sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai dengan diri anda (STS). Jawaban Sangat

Sesuai (SS) dipilih bila subyek sepenuhnya mengalami dan merasakan isi pernyataan serta

menggambarkan keadaan dirinya. Jawaban Sesuai (S) dipilih bila mengalami dan merasakan

sebagian besar isi pernyataan. Jawaban Tidak Sesuai (TS) bila tidak mengalami dan merasakan

sebagian besar isi pernyataan. Jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS) bila sepenuhnya tidak

mengalami dan tidak merasakan isi pernyataan tersebut serta tidak menggambarkan keadaan

dirinya.

Penilaian terhadap item favorable adalah SS (Sangat Sesuai) = 4, S (Sesuai) = 3, TS (Tidak

Sesuai) = 2, STS (Sangat Tidak Sesuai) = 1. Penilaian terhadap item unfavorable adalah SS

(Sangat Sesuai) = 1, S (Sesuai) = 2, TS (Tidak Sesuai) = 3, STS (Sangat Tidak Sesuai = 4. Skor

pola asuh adalah skor total dari seluruh dimensi pola asuh. Semakin tinggi skornya berarti subjek

tersebut memiliki pola asuh yang positif. Sebaliknya, semakin rendah skornya berarti subyek

memiliki pola asuh yang negatif. Skoring skala pola asuh dapat dilihat pada tabel  3.1 berikut

ini :

 

Tabel 3. 1 Skoring  Skala Pola Asuh

Respon Favorable Unfavorable

Sangat Sesuai 4 1

Sesuai 3 2

Tidak Sesuai 2 3

Sangat Tidak Sesuai 1 4

2. Kisi-Kisi Skala Pola Asuh

Skala Pola Asuh berisi 108 item yang terdiri dari 54 item favorable yang menunjukkan

pernyataan positif dan 54 item unfavorable yang menunjukkan pernyataan negatif. Berikut ini

kisi-kisi skala pola asuh pada tabel 3.2.

Tabel.3.2 Kisi-kisi Skala Pola Asuh

Variasi Aspek Deskriptor Fav Unfav Total

Otoriter -Tuntutan

terhadap tingkah

laku yang

matang.

-Kendali dari

orang tua.

-Menentukan

tingkah laku yang

harus dilakukan

anak

-Orangtua yang

ketat dalam

1,2,3

 

 

 

29,30,31

 

 

 

6

 

 

 

 

 

 

 

 

–Komunikasi

antara orang tua

dan anak.

-Cara

pengasuhan atas

pemeliharaan

orang tua

terhadap anak

mengontrol anak

-Menggunakan

hukuman dalam

membentuk

perilaku anak.

-Komunikasi

berpusat pada

orangtua

-Orang tua

cenderung menjaga

jarak dengan anak.

-Orang tua kurang

responsif terhadap

kebutuhan anak.

 

4,5

 

 

6,7

 

 

 

8,9,10

 

 

11,12

 

 

13,14

32,33

 

 

34,35

 

 

 

36,37,38

 

 

39,40

 

 

41,42

 

4

 

 

4

 

 

 

6

 

 

4

 

 

4

 

 

 

Demokrati

s

-Tuntutan

terhadap tingkah

laku yang

matang.

 

 

-Kendali dari

orang tua.

 

 

 

 

 

 

-Menghargai

keputusan anak

untuk mandiri dan

mengharapkan

anak bertingkah

laku yang

bertanggung

jawab.

-Membuat aturan

yang jelas,

konsisten disertai

penjelasan.

-Orang tua

mendorong,

mengawasi anak

untuk mematuhi

peraturan  yang

telah ditetapkan

15,16,17

 

 

 

 

 

18,19

 

 

20,21

 

 

 

43,44,45

 

 

 

 

 

46,47

 

 

48,49

 

 

 

6

 

 

 

 

4

 

 

4

 

 

 

 

 

 

-Komunikasi

antara orang tua

dan anak.

 

 

-Cara

pengasuhan atau

pemeliharaan

orang tua

terhadap anak.

bersama.

 

-Orang tua

mendengar

pendapat anak dan

mengikutsertakan

anak dalam

diskusi.

- Orang tua

mendukung minat

dan kegiatan anak.

- Pendekatan pada

anak untuk

memilih dan

melakukan suatu

pendekatan pada

anak bersifat

hangat.

 

 

 

22,23,24

 

 

 

 

25,26

 

 

27,28

 

 

 

 

 

 

50,51,52

 

 

 

 

53,54

 

 

55,56

 

 

 

 

6

 

 

 

4

 

4

 

 

   

 

Permisif -Tuntutan

terhadap tingkah

laku yang

matang.

 

 

 

 

-Kendali dari

orang tua

 

 

 

 

-Komunikasi

-Orang tua tidak

menuntut anak

untuk

menampilkan

perilaku tertentu

dan anak dibiarkan

menentukan sendiri

apa yang

dianggapnya baik.

-Toleran terhadap

perilaku dan

kehendak anak

-Orangtua

menuruti kehendak

dan perilaku anak.

-komunikasi lebih

berpusat pada

anak.

57,58,59

 

 

 

 

 

 

 

60,61

 

 

62,63

 

83,84,85

 

 

 

 

 

 

 

86,87

 

 

88,89

 

6

 

 

 

 

 

 

4

 

4

 

 

6

antar orang tua

dan  anak

-Cara

pengasuhan atau

pemeliharaan

orang tua

terhadap anak.

 

-Orang tua

menerima anak apa

adanya.

-Orang tua kurang

berminat pada

aktivitas dan

pengalaman anak.

 

 

 

64,65,66

 

 

67,68

 

 

69,70

 

 

 

 

 

 

90,91,92

 

 

93,94

 

 

95,96

 

 

 

 

 

4

 

 

4

 

 

Dialogis -Tuntutan

terhadap tingkah

laku yang

matang

-Menghargai

keputusan anak 

dan melatih anak

untuk

71,72,73

 

97,98,99

 

6

 

 

 

-Kendali orang

tua.

 

 

-Komunikasi

antara orang

tuadan anak.

-Cara

pengasuhan atau

pemeliharaan

orang tua

terhadap anak.

menyelesaikan

persoalan.

-Orang tua ikut

serta meyelesaikan

persoalan dalam

kehidupan anak.

-Orang tua saling

berdialog dengan

anak.

-orang tua

mengajak anak

agar terbiasa

menerima

konsekuensi secara

logis dalam setiap

tindakannya.

-orang tua melatih

anak untuk dapat

menyelesaikan

persoalan .

 

 

 

74,75,76

 

 

 

77,78,79

 

 

80,81,82

 

 

 

100,101,

102

 

 

103,104,

105

 

106,107,

108

 

 

 

 

 

6

 

 

 

6

 

 

6

   

 

 

 

Jumlah     54 54 108

 

1. Delinquency

Metode pengumpulan data yang digunakan berbentuk kuestioner. Metode pengumpulan data

yang digunakan berbentuk kuestioner. Kuestioner merupakan teknik pengumpulan data yang

efisiensi bila peneliti tahu dengan pasti variable yang diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan

dari responden (Sugiyono,2009). Pada delinquency alat ukurnya menggunakan teori

dari .”(Bynum & Thompson, 1996) berdasarkan skala likert. Kuestioner ini berisi 60 item, terdiri

dari 30 item favorable dan 30 item unfavorable.

Item-item tersebut berisi pertanyaan-pertanyaan berdasarkan Variable delinquency terdiri dua

dimensi yaitu Index Offenses dan Status Offensis, memiliki lima aspek yaitu Violen

Offenses,Property Crimes, Drug/ liquor and Public, Runaway and Truancy, dan

Ungovernability, underage liquor Violations and Miscellaneous category.

1. Teknik Skoring Skala Delinquency

Dalam pengukuran Delinquency pada penelitian ini menggunakan skala Delinquency dari likert,

yaitu jawaban setiap item instrumen mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat

negatif, yang dapat berupa kata-kata sangat sesuai, sesui,ragu-ragu,tidak sesuai sampai sangat

tidak sesuai (Sugiyono,2009).

Rentang penilaian disetiap pernyataan, disediakan sejumlah alternatif tanggapan yang berjenjang

atau bertingkat. Namun dalam penelitian ini skala yang digunakan tidak menggunakan pilihan

jawaban yang bersifat ragu-ragu, dengan maksud untuk menghindari kecendenrungan untuk

memilih pilihan yang berada ditengah-tengah atau netral.

Terdapat empat pilihan alternatif jawaban dalam setiap pernyataan, yaitu: sangat sesuai (SS),

sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai dengan diri anda (STS). Jawaban Sangat

Sesuai (SS) dipilih bila subyek sepenuhnya mengalami dan merasakan isi pernyataan serta

menggambarkan keadaan dirinya. Jawaban Sesuai (S) dipilih bila mengalami dan merasakan

sebagian besar isi pernyataan. Jawaban Tidak Sesuai (TS) bila tidak mengalami dan merasakan

sebagian besar isi pernyataan. Jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS) bila sepenuhnya tidak

mengalami dan tidak merasakan isi pernyataan tersebut serta tidak menggambarkan keadaan

dirinya.

Penilaian terhadap item favorable adalah SS (Sangat Sesuai) = 4, S (Sesuai) = 3, TS (Tidak

Sesuai) = 2, STS (Sangat Tidak Sesuai) = 1. Penilaian terhadap item unfavorable adalah SS

(Sangat Sesuai) = 1, S (Sesuai) = 2, TS (Tidak Sesuai) = 3, STS (Sangat Tidak Sesuai = 4. Skor

Delinquency adalah skor total dari seluruh dimensi Delinquency. Semakin tinggi skornya berarti

subjek tersebut memiliki Delinquency yang positif. Sebaliknya, semakin rendah skornya berarti

subyek memiliki pola asuh yang negatif. Skoring skala delinquency dapat dilihat pada tabel  3.3

berikut ini :

Tabel 3. 3 Skoring  Skala Delinquency

Respon Favorable Unfavorable

Sangat Sesuai 4 1

Sesuai 3 2

Tidak Sesuai 2 3

Sangat Tidak Sesuai 1 4

1. Kisi-Kisi Skala Delinquency

Skala delinquency berisi 60 item yang terdiri dari 30 item favorable yang menunjukkan

pernyataan positif dan 30 item unfavorable yang menunjukkan pernyataan negatif. Berikut ini

kisi-kisi skala Delinquency pada tabel 3.4.

Tabel.3.4 Kisi-kisi Skala Delinquency

Dimensi Aspek Deskriptor Fav Unfav Total

 

Index

Offenses

1.Violent Offenses Yang

menimbulka

n korban

fisik pada

orang lain

1,2,3,4,5,6 13,14,15,

16,17,18

12

2. Property Crimes Kenakalan 7,8,9,10, 19,20,21, 12

yang

menimbulka

n korban

materi

11,12,

22,23,24

3.Drug/ liquor and

Public

Kenakalan

sosial yang

tidak

menimbulka

n korban di

pihak orang

Lain

25,26,27

28,29,30

37,38,39,

40,41,42

12

 

Status 

Offenses

 

1. Runaway and

Truancy

Mengingkari

status

sebagai

pelajar dan

mengingkari

status orang

tua

31,32,33,

34,35,36

43,44,45,

46,47,48

12

2.Ungovernability,  

underage liquor

     Violations and

Melanggar

aturan atau

tata tertib

sekolah dan

49,50,51,

52,53,54

55,56,57,

58,59,60

12

Miscellaneous

category

aturan

orang tua

Jumlah   30 30 60

 

E. Data Penunjang

Pada penelitian ini alat pengumpulan data yang digunakan adalah kuestioner penelitian ini

dilakukan dengan teknik skala untuk mengambil data penelitia.Data yang akan di ambil :

1) Usia, munculnya tingkah laku antisosial di usia dini (anak-anak) berhubungan dengan perilaku

delinkuensi yang lebih serius nantinya di masa remaja.

2) Jenis kelamin (laki-laki), anak laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku antisosial

daripada anak perempuan.

3) Pekerjaan Orang tua, yang terdiri dari pekerjaan ayah dan ibu, untuk mengetahui siswa berasal

dari orang tua yang berlatarbelakang jenis pekerjaan seperti apa karena akan mempengaruhi pola

asuh terhadap anak.

4)Pendidikan Orang tua, yang terdiri dari pendidikan ayah dan ibu, untuk mengetahui siswa

berasal dari orang tua yang berlatarbelakang pendidikan seperti apa karena akan mempengaruhi

pola asuh terhadap anak.

F. Pengujian Alat Ukur

Sebelum digunakan alat ukur harus memiliki kualitas yang baik. Kualitas alat ukur yang dapat

diketahui dari validitas dan reliabilitasnya. Berikut adalah penjebaran mengenai teknik validitas

dan reliabilitas dalam penelitian ini :

1. Uji Validitas

Kuesioner sebelum digunakan untuk memperoleh data-data penelitian, terlebih dahulu dilakukan

uji coba agar diperoleh alat ukur yang valid dan reliabel. Uji validitas dilakukan untuk

mengetahui apakah instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya

diukur (Sugiyono, 2009).

Validitas yang digunakan adalah Validitas Konstruksi ( Construct Validity ) karena untuk

menguji validitas konstruksi, dapat digunakan pendapat dari ahli (judgement experts). Dalam hal

ini setelah instrumen dikonstruksikan tentang aspek-aspek yang akan diukur dengan berlandasan

teori tertentu, maka selanjutnya dikonsultasikan dengan ahli. Para ahli diminta pendapatnya

tentang instrumen yang disusun itu (Sugiyono, 2009). Untuk menguji validitas kuesioner

digunakan rumus statistika Koefisien Korelasi Product Moment dari Pearson dengan rumus

sebagai berikut :

 

 

 

 

 

 

Keterangan :

r   = Indeks Korelasi

x  = Skor Item Alat Ukur

y  = Skor Total

N = Jumlah Seluruh Subjek Penelitian

Besarnya korelasi untuk dianggap suatu item dikatakan valid adalah r ≥ 0,3. Jadi jika korelasi

antara item pernyataan dengan skor kurang dari 0,3 maka item pernyataan tersebut dinyatakan

tidak valid (Sugiyono, 2007). Uji validitas ini akan menggunakan alat bantu uji statistik progam

SPSS versi 15.0.

2. Uji Reliabilitas

 

rxx  =      k            å Si ²

k-1          Sx ²

Uji reliabilitas dimaksudkan untuk melihat sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya.

Pengujian reliabilitas ini dimaksudkan agar instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk

mengukur objek yang sama, akan menghasilkan data yang sama (Sugiyono, 2007). Rumus yang

digunakan untuk menguji reliabilitas adalah Cronbach Alpha, dengan rumus sebagai berikut:

 

 

 

 

Keterangan :

rxx       = Koefisian Reliabilitas

k          = Jumlah Item

Si ²       = Varians Skor Item

Sx²       = Varians Skor Total

∑Si²     = Jumlah Varians Skor Item

Menurut Murphy dan Davidshofer (Yulianto,2005) suatu alat ukur dapat dikatakan memiliki

koefisien yang tinggi jika nilai koefisiennyadiatas 0,90 antara 0,80 hingga 0,90, termasuk

kategori sedang, reliabilitas rendah apabila koefisien yang diperoleh sekitar 0,70 dan tidak

reliable jika nilai koefisiennya di bawah 0,60.

Tabel 3.5 Kaidah Klasifikasi Uji Reliabilitas

NILAI KRITERIA

>0.90 Sangat Reliabel

0.70-0.90 Reliabel

0.40-0.70 Cukup Reliabel

0.20-0.40 Kurang Reliabel

<0.20 Tidak Reliabel

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Bynum dan Thompson. 1996. Artikel Perilaku Delinquency. Http://google.com. Di download

pada Maret 2012.

Feldman, Papalia Old.2008. Human Development Edisi 10. Jakarta : Salemba Humanika.

http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/1672827018_abs.pdf

http://aminurs-catatanpribadi.blogspot.com/2009/02/makalah-kenakalan-remaja.html)

http://eprints.undip.ac.id/13551/1/2004MH5961.pdf

http://library.um.ac.id/free-contents/download/pub/pub.php/33290.pdf)

Hurlock, E.B. 1991. Psikologi Perk

 (Edisi kelima). Terjemahan : Penerbit Erlangga.

Santrock. John W.2002. Life-Span Development Edisi Kelima . Jakarta : Erlangga.

Sugiyono. 2009. Metodelogi Penelitian Bisnis. Bandung : CV. Alfabeta.

This entry was posted in Uncategorized by . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Name *

Email *

Website

CAPTCHA Code *

Comment

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym

title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite="">

<strike> <strong>

Proudly powered by WordPress