PERGESERAN BAHASA DAERAH MUNA PADA MASYARAKAT …
Transcript of PERGESERAN BAHASA DAERAH MUNA PADA MASYARAKAT …
PERGESERAN BAHASA DAERAH MUNA PADA
MASYARAKAT MAWASANGKA KABUPATEN
BUTON TENGAH
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Sosiologi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh
LULU
Nim. 105381102816
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI
2020
vi
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Ketika telah melakukan yang terbaik yang kita bisa,
Maka kegagalan bukan sesuatu yang harus disesalkan,
Tapi jadikanlah pelajaran atau motivasi diri
Jangan pernah bertanya tantang “apa yang sudah diberikan orang,
masyarakat, bangsa, negara dan agama kepada kita?”
Tetapi bertanya lah kepada diri kita “apa yang sudah kita berikan
kepada orang lain, masyarakat, bangsa, negara dan agama?”
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan hasil karya sederhana ini buat kedua orang tuaku tercinta, adik-
adikku, teman-temanku dan seluruh keluarga besarku, atas keikhlasan dan doanya
serta perhatian dan motivasinya dalam setiap langkahku, pengorbanan kalian
membangkitkan semangatku untuk meraih kesuksesan.
vii
ABSTRAK
Lulu, 2020, Pergeseran Bahasa Daerah Muna Pada Masyarakat Mawasangka
Kabupaten Buton Tengah. Skripsi. Jurusan Pendidikan Sosiologi, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Muhammadiyah Makassar.
Pembimbing 1 Sitti Fatimah Tola dan Pembimbing 2 Sulvahrul Amin.
Bahasa dalam kehidupan manusia merupakan suatu kebutuhan dasar
sebagaimana halnya dengan bernafas, makan, minum, dan kegiatan lainnya yang
bersifat alamiah. Bahasa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
Pergeseran Bahasa kadang-kadang mengakibatkan kepunahan Bahasa. Hal ini
terjadi manakala guyub bergeser ke bahasa baru secara total sehingga bahasa
terdahulu jarang di pakai.
Tujuan penelitian ini adalah pergeseran bahasa daerah Muna pada
masyarakat Mawasangka Kabupaten Buton Tengah. Jenis penelitian dengan
pendekatan studi kasus yang bertujuan untuk mengungkap pergeseran bahasa
daerah Muna pada masyarakat Mawasangka Kabupaten Buton Tengah. Informan
ditentukan secara purposive sampling, berdasarkan karakteristik informan yang
telah ditetapkan yaitu pemerintah desa, tokoh masyarakat, masyarakat desa. Teknik
pengumpulan data, penyajian data, reduksi data dan pengambilan kesimpulan.
Sedangkan teknik keabsahan data menggunakan triangulasi sumber, teknik waktu.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga cara yaitu, observasi,
wawancara, dan dokumentasi
Hasil penelitian ini menunjukan bahasa daerah Muna desa Balobone
dikalangan remaja dan anak-anak hampir dalam setiap berkomunikasi tidak
menggunakan bahasa daerah baik lingkungan keluarga, masyarakat, maupun
lingkungan pendidikan, mereka mayoritas menggunakan bahasa Indonesia
sehingga kaku berkomunikasi menggunakan bahasa daerah karena ketidakbiasaan.
Kosa kata dalam bahasa daerah Muna masyarakat Mawasangka desa Balobone
banyak yang mengalami pergeseran atau penyerapan ke dalam bahasa Indonesia,
dalam bertutur masyarakat terpengaruh oleh kata-kata dari penutur sebelumnya
yang menghasilkan kata-kata baru, dan merasa nyaman dalam bertutur.
Kata Kunci: Pergeseran Bahasa Daerah, dan Masyarakat Mawasangka
viii
ABSTRACT
Lulu, 2020, Muna Regional Language Shift in the Mawasangka Community of
Central Buton Regency. Essay. Department of Sociology Education, Faculty of
Teacher Training and Education. Muhammadiyah University of Makassar.
Supervisor 1 Sitti Fatimah Tola and Supervisor 2 Sulvahrul Amin.
Language in human life is a basic need as well as breathing, eating, drinking,
and other natural activities. Language cannot be separated from human life.
Language Shift sometimes results in Language extinction. This happens when
guyub completely shifts to a new language so that the previous language is less
used.
The purpose of this study is to shift the regional language of Muna in the
Mawasangka community of Central Buton Regency. This type of research uses a
case study approach that aims to reveal the shift in the Muna regional language in
the Mawasangka community of Central Buton Regency. Informants are determined
by purposive sampling, based on the characteristics of the informants who have
been determined, namely the village government, community leaders, and village
communities. Data collection techniques, data presentation, data reduction and
conclusion. Meanwhile, the data validity technique used source triangulation and
time technique. Collecting data in this study using three ways, namely, observation,
interviews, and documentation.
The results of this study indicate the local language of Muna, Balo Bone
village among adolescents and children, almost every time they communicate they
do not use regional languages, both family, community, and educational
environments, they mostly use Indonesian so they are stiff communicating using
regional languages because of unfamiliarity. Many of the vocabulary in the Muna
regional language of the people of Mawasangka, Balo Bone village, have
experienced a shift or absorption into Indonesian, in speaking the community is
influenced by the words of previous speakers which produce new words, and feel
comfortable in speaking.
Keywords: Regional Language Shift, and Mawasangka Society
ix
KATA PENGANTAR
حيم حمن الره الره بسم الله
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan proposal ini. Shalawat serta salam
tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga dan sahabatnya. Selanjutnya,
penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang tak terhingga kepada semua
pihak yang membantu kelancaran penulisan proposal ini, baik berupa dorongan
moril maupun materil. Karena penulis yakin tanpa bantuan dan dukungan tersebut,
sulit rasanya bagi penulis yakin tanpa bantuan dan dukungan tersebut, sulit rasanya
bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan proposal ini. Disamping itu, izinkan
penulis untuk menyampaikan ucapan terimakasih kepada kedua orang tuaku dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: Bapak Prof. DR. H. Ambo Asse., M.
Ag. Selaku rektor Unismuh Makassar, Bapak Erwin Akib, S.Pd., M.Pd., Ph.D
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah
Makassar, Bapak Drs. H. Nurdin, M.Pd. Ketua Jurusan Pendidikan Sosiologi dan
Bapak Kaharuddin, S.Pd.,M.Pd.,Ph.D, Sekertaris Jurusan Pendidikan Sosiologi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar,
Ibu Dra. Hj. St. Fatimah Tola, M.Si sebagai pembimbing I, dan Bapak Sulvahrul
Amin, S.Pd.,M.Pd selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk
membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, Segenap Dosen Jurusan
Pendidikan Sosiologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Makassar atas bekal ilmu yang telah diberikan kepada penulis
sejak pertama menjadi mahasiswa.
viii
Penulis berharap skripsi ini dapat menjadi masukan yang bermanfaat, khususnya
bagi penulis selaku calon pendidik dan pembaca pada umumnya. Semoga segala
jerih payah serta kerja keras kita bernilai ibadah disisih Allah S.W.T. Amiin….
Makassar, November 2020
Penulis
1
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... iii
SURAT PERNYATAAN .................................................................................. iv
SURAT PERJANJIAN ...................................................................................... v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ..................................................................... vi
ABSTRAK BAHASA INDONESIA ................................................................ vii
ABSTRAK BAHASA INGGRIS ..................................................................... viii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ix
DAFTAR ISI ........................................................................................................ x
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 3
A. Latar Belakang .......................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ................................................................................... 6
E. Definisi Operasional.................................................................................. 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................................. 8
A. Kajian Konsep ........................................................................................... 8
B. Kajian Teori ............................................................................................ 25
C. Penelitian Terdahulu ............................................................................... 29
D. Kerangka Pikir ......................................................................................... 30
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 31
2
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian.............................................................. 31
B. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 31
C. Informan Penelitian ................................................................................. 31
D. Fokus Penelitian ...................................................................................... 33
E. Instrumen Penelitian................................................................................ 33
F. Jenis dan Sumber Data ............................................................................ 35
G. Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 35
H. Teknik Analisis Data ............................................................................... 37
I. Teknik Keabsahan Data .......................................................................... 37
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN.............................. 38
A. Sejarah Lokasi Penelitian ........................................................................ 38
B. Keadaan Geografis .................................................................................. 41
C. Keadaan Penduduk .................................................................................. 43
D. Keadaan Pendidikan ................................................................................ 45
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................. 51
A. Hasil Penelitian ....................................................................................... 51
1. Pergeseran Bahasa Daerah Muna Pada Masyarakat Mawasangka
Kabupaten Buton Tengah .................................................................. 51
a) Penggunaan Bahasa Daerah Masyarakat Mawasangka Kabupaten
Buton Tengah
2. Faktor-faktor Pergeseran Bahasa Daerah Muna Pada Masyarakat
Mawasangka Kabupaten Buton Tengah............................................ 70
B. Pembahasan ............................................................................................ 72
1. Pergeseran Bahasa Daerah Muna Pada Masyarakat Mawasangka
Kabupaten Buton Tengah ................................................................ 72
Kesesuaian Teori
2. Faktor-faktor Pergeseran Bahasa Daerah Muna Pada Masyarakat
Mawasangka Kabupaten Buton Tengah ........................................... 75
Kesesuaian Teori
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 76
A. Kesimpulan ............................................................................................ 76
B. Saran ....................................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 78
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, melainkan juga
sebagai proses berpikir manusia dalam usaha memahami dunia luar, baik secara
objektif maupun secara imajinatif (Kaelan, 2002:17). Oleh sebab itu, bahasa
selain memiliki fungsi komunikatif, juga memiliki fungsi kognitif dan emotif.
Fungsi komunikatif setiap bahasa pada umumnya memiliki struktur yang tertata,
termasuk struktur bahasa daerah.
Bahasa daerah adalah khazanah penting yang selalu siap untuk
dimanfaatkan sebagai sumber perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Suatu
ancaman terhadap bahasa daerah, jika tidak memengaruhi bahasa Indonesia
(Masinanbow dan Haenen, 2002:28). Salah satu hal yang dapat mengancam
bahasa daerah adalah jumlah penuturnya yang sedikit karena bahasa yang
demikian adanya akan terancam punah sehingga kemungkinan semakin kecil
peranannya terhadap bahasa Indonesia.Bahasa daerah sangat besar peranannya
dalam memperkaya khasanah bahasa Indonesia. Peran bahasa daerah sebagai
pemerkaya khazanah bahasa Indonesia dianggap sebagai suatu hal yang wajar
dan positif.
Dalam rangka meralisasikan hasil seminar politik Bahasa Nasional,
upaya yang dapat yaitu memantapkan bahasa daerah sebagai kekayaan budaya
iv
4
saat ini. misalnya dengan pembinaan dan pengembangan. (Masinanbow dan
Haenan, 2002:28). Bahasa daerah Muna merupakan salah satu bahasa daerah
yang patut mendapatkan pembinaan dan pengembangan tersebut. Di sisi lain,
dokumentasi bahasa daerah termasuk bahasa muna adalah langkah ekstensif
untuk tetap mempertahankan bahasa daerah agar tetap dilestarikan.
Salah satu langkah konkret dalam pembinaan, pengembangan, dan
dokumentasi bahasa muna adalah dengan penyusunan kaidah atau aturan
kebahasaan dengan diadakannya penelitian-penelitian lanjutan untuk
memperkaya kaidah-kaidah bahasa Muna walaupun beberapa penelitian dalam
bahasa muna telah dilakukan.
Bahasa daerah yang masih banyak digunakan oleh pemakainya hingga
saat ini sebagai alat menuangkan segala pikiran maupun perasaan dalam
kehidupan sehari-hari, yaitu bahasa daerah Muna yang merupakan salah satu
kebudayaan yang berada di Sulawesi Tenggara. Oleh sebab itu, bahasa Muna
dianggap sebagai salah satu penunjang kebudayaan masyarakat. Namun, bahasa
Muna sendiri kian hari semakin menurun dikarenakan generasi milenial tidak
lagi menggunakan bahasa daerah dalam kesehariannya. Keresahan tersebut
dipandang perlu pendekumentasian pada bahasa daerah Muna.
Penutur bahasa Muna meliputi seluruh Kabupaten Muna yang luasnya
427.500Ha. Selain di Kabupaten Muna, penutur bahasa muna juga dapat
dijumpai di Kabupaten Buton, Buton tengah Buton Utara, Bombana, dan Kota
Baubau (Pusat Bahasa, 2008:86). Secara geografis, Kabupaten Muna dibatasi
oleh Selat Tiworo dan Selat Wawonii di sebelah Utara, Laut Banda di sebelah
Timur, Kabupaten Buton Utara di sebelah Selatan, dan Selat Muna di sebelah
5
Barat. Bukan hanya di Sulawesi Tenggara, penutur bahasa muna juga tersebar di
berbagai daerah di Indonesia (Sukmawati, 2006:15).
Dialek Tongkuno dan dialek Gu Mawasangka merupakan bagian dari
bahasa Muna (Yatim dalam Munarika, 2002:1). BM dialek Tongkuno yang
mana penuturnya mendiami wilayah Katobu, Bata Laiworu, Lasalepa,
Napabalano, Duruka, Lohia, Kabawo, Lawa, Kusambi, Watuputih, Kontunaga,
Tongkuno, Maligano, Pasir Putih, serta Wakorumba Selatan. Di sisi lain, BM
dialek Gu Mawasangka, penuturnya mendiami wilayah Muna Selatan yang
meliputi Gu, Lakudo, Mawasangka, Siompu, dan Talaga.
Burhanudin (1979) berpendapat bahwasanya bahasa muna memilki lima
dialek, diantaranya Wuna (dengan tiga subdialek: Wuna, Bombonawula, dan
Mawasangka), dialek Gu (Lakudo), dialek Katobengke, dialek Kadatua, dan
dialek Siompu (Pusat Bahasa, 2008:87). Di lain pihak, Kaseng (1987:7),
membagi Bahasa muna menjadi tiga, diantaranya (1) bahasa Kulisusu yang
terdapat di sebagian Kecamatan Kulisusu, (2) bahasa Kambowa yang sebagian
terdapat di Kecamatan Kulisusu, dan (3) bahasa muna yang terdapat di
Kecamatan Katobu, Lawa, Tiworo Kepulauan, Kabawo, Tongkuno,
Wakorumba, dan sebagian kecil di Kecamatan Kulisusu.
Berbagai pendapat diutarakan mengenai jumlah dialek dalam bahasa
Muna, diantaranya menyebutkan dua dialek, lima dialek serta tiga dialek. (Yatim
dalam Munarika, 2002:1; Burhanudin, 1979; Kaseng, 1987:7). Meskipun
demikian, apabila dilihat secara umum BM hanya memiliki dua dialek, yaitu
dialek Tongkuno dan dialek Gu Mawasangka. Dalam penelitian ini difokuskan
pergeseran bahasa daerah muna pada masyarakat kabupaten buton tengah. dialek
6
Tongkuno sebagai objek penelitian. Penetapan dialek Tongkuno sebagai objek
penelitian karena dialek ini memiliki jumlah penutur lebih banyak tersebar pada
beberapa kecamatan.
Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian sebelumnya
terhadap bahasa muna pada umumnya dan penelitian sintaksis pada khususnya.
Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber
informasi, seperti yang diungkapkan oleh Samarin (1988:17) bahwa penelitian
bahasa sebagai penelitian lapangan sangat penting untuk menunjang
perkembangan bahasa Nusantara.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka peneliti perlu melakukan
penelitian dengan judul “Pergeseran Bahasa Daerah Muna Pada Masyarakat
Mawasangka Kabupaten Buton Tengah”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pergeseran bahasa daerah muna pada masyarakat mawasangka
kabupaten buton tengah?
2. Bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran bahasa daerah
muna pada masyarakat mawasangka kabupaten buton tengah?
C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pergeseran bahasa daerah muna pada masyarakat
mawasangka kabupaten buton tengah?
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran bahasa
daerah muna pada masyarakat mawasangka kabupaten buton tengah?
D. Manfaat Penelitian
7
Manfaat yang diharapkan penelitian ini yaitu:
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah referensi terhadap kajian sosiologi, terkait dengan pergeseran
bahasa daerah muna pada masyarakat mawasangka kabupaten buton
tengah
b. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan
atau acuan bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan penelitian ini.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian dapat digunakan oleh masyarakat muna dan mawasangka.
untuk mengetahui pergeseran bahasa daerah muna pada masyarakat
Mawasangka kabupaten Buton Tengah.
E. Definisi Operasional
1. Pergeseran adalah ketidaksesuaian unsur-unsur kebudayaan dalam suatu
masyarakat menimbulkan keadaan yang fungsinya tidak serasi bagi
kehidupan masyarakat.
2. Bahasa adalah bagian dari kebudayaan dan bahasalah yang memungkinkan
pengembangan kebudayaan sebagaimana kita kenal sekarang.
3. Masyarakat adalah sekelompok individu yang tinggal dalam suatu tempat
tertentu, saling berinteraksi dalam waktu yang relatif lama, mempunyai adat
istiadat dan aturan-aturan tertentu dan lambat laun membentuk sebuah
kebudayaan.
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Konsep
1. Definisi Pergeseran
Pergeseran adalah ketidaksesuaian unsur-unsur kebudayaan dalam
suatu masyarakat menimbulkan keadaan yang fungsinya tidak serasi bagi
kehidupan masyarakat. Dalam kamus besar bahasa Indonesia modern dijelaskan
bahwa pergeseran berasal dari kata geser yang berarti:
a. Bergeser, beringsut,beralih tempat
b. Pergantian, pindah tempat
Beberapa pengertian pergeseran yang lain dalam kamus besar bahasa
Indonesia yaitu:
a. Bergesekan
b. Peralihan, perpindahan, pergantian
Dilihat dari kata, pergeseran mengandung pengertian perubahan posisi
atau perubahan sosial.
Perubahan struktur maupun tatanan didalam masyarakat yang meliputi
pola pikir, sikap, serta kehidupan sosial demi mendapatkan penghidupan yang
lebih layak merupakan proses dari pergeseran.
Perubahan kehidupan masyarakat yang berlangsung terus-menerus dan
tidak akan berhenti, dikarenakan tidak ada masyarakat yang berhenti pada
satu titik sepanjang masa. Hal tersebut merupakan definisi dari perubahan
9
sosial. Para sosiolog memberikan tanggapan mengenai masyarakat dinamis
serta masyarakat statis. Yang mana masyarakat statis merupakan masyarakat
yang sedikit sekali mengalami perubahan di dalamnya serta prosesnya
berjalan lambat. Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan dibekali akal budi
untuk meningkatkan potensi di dalam dirinya serta menjadi pembeda dengan
makhluk lainnya. Untuk memecahkan masalah hidup, manusia menggunakan
akalnya untuk berpikir. Agar dapat membedakan antara yang baik dan buruk
akal dan budi harus dipadukan. Budi adalah bagian dari kata hati yang berupa
paduan akal dan perasaan.
Untuk menciptakan, mengkreasi, memperlakukan, memperbaharui,
memperbaiki, mengembangkan, serta meningkatkan segala hal, merupakan
tujuh kemampuan yang dimiliki oleh setiap manusia yang telah dibekali akal-
budi agar dapat berinteraksi dengan alam maupun manusia lainnya.
(Herimanto dan Winarno, 2009). Tujuh kemampuan yang telah disebutkan di
atas merupakan potensi yang dimiliki oleh setiap manusia yang dapat
membantu kepentingannya dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya,
seperti mempertahankan dan meningkatkan derajat kehidupannya,
mengembangkan sisi kemanusiaannya, dengan cara menciptakan kebudayaan
(selanjutnya manusia juga mengkreasi, memperlakukan, memperbarui,
memperbaiki, mengembangkan dan meningkatkan kebudayaan).
Perubahan sosial tidak terlepas dari adanya perubahan kebudayaan.
Kebudayaan ini sendiri dihasilkan dari akal-budi manusia. Kingsley Davis
(Soerjono Soekanto, 2000) berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan
bagian dari perubahan kebudayaan. Adapun menurut PB Horton dan CL Hunt
10
(1992), tidak sedikit perubahan besar yang terjadi mencakup aspek sosial
budaya. Oleh sebab itu, apabila menggunakan istilah baik istilah perubahan
sosial maupun perubahan budaya, perbedaan keduanya tidak terlalu
diperhatikan. Bahkan, kedua istilah tersebut seringkali ditukar pakaikan,
kadang kala digunakan istilah perubahan sosial budaya (socio cultural
change) agar dapat mencakup kedua jenis perubahan tersebut. Asalkan
perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai satu aspek yang
sama yaitu kedua-duanya bersangkut-paut dengan suatu penerimaan cara-
cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi
kebutuhan – kebutuhannya. Adapun masyarakat dinamis adalah masyarakat
yang mengalami berbagai perubahan yang cepat.
Definisi Perubahan sosial yang diutarakan oleh para ahli:
1. Macionis (Sztompka, 2010:5) perubahan sosial adalah transformasi dalam
organisasi masyarakat, dalam pola berfikir dan dalam perilaku pada waktu
tertentu.
2. Parsell (Sztompka, 2010 : 5)
Perubahan sosial adalah modifikasi atau transformasi dalam organisasi
masyarakat.
3. Ritzer (Sztompka, 2010 : 5)
Perubahan sosial merupakan perubahan yang mengacu pada variasi
hubungan antara individu, kelompok, organisasi, kultur dan masyarakat
pada waktu tertentu.
11
4. Farley (Sztompka, 2010:5) perubahan sosial adalah perubahan pola
prilaku, hubungan sosial, lembaga, dan struktur sosial pada waktu tertentu.
Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan
sosial terjadi karena ketidaksesuaian antara unsur-unsur sosial di kalangan
masyarakat, maka berakibat menghasilkan pola kehidupan yang baru atau
berbanding terbalik dengan pola kehidupan sebelumnya. Perubahan nilai-
nilai sosial, norma-norma sosial, susunan lembaga kemasyarakatan, pelapisan
sosial, kelompok sosial, interaksi sosial, pola-pola perilaku, kekuasaan dan
wewenang, serta berbagai segi kehidupan masyarakat lainnya merupakan
bagian dari perubahan sosial itu sendiri.
Pergeseran nilai, norma, sikap atau pola dalam masyarakat
merupakan definisi dari perubahan sosial. Perubahan berkaitan dengan
inovasi. Yogi dalam LAN (2007:115), inovasi sangat erat kaitannya dengan
lingkungan yang berkarakteristik dinamis serta berkembang. Apabila dilihat
dari berbagai perspektif Pengertian inovasi sendiri sangat beragam. Menurut
Rogers dalam LAN (2007:115) mendefinisikan bahwa inovasi adalah sebuah
ide, praktek, atau objek yang dianggap baru oleh individu satu unit adopsi
lainnya. Agar dapat memiliki manfaat yang lebih bagi masyarakat dibutuhkan
proses pembaharuan dari berbagai sumber daya dalam hal ini inovasi. Dengan
memfungsikan teknologi, maka dapat memudahkan dalam hal memproduksi
berbagai produk baru. Akan tetap hal tersebut sangat berpengaruh terhadap
inovasi.
Keberadaan bahasa saat ini dalam kehidupan manusia mempunyai
peranan yang sangat penting. Yang mana bahasa merupakan alat yang
digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari. Bahasa juga menjadi kunci
12
penentu proses perubahan. Tetapi, hal tersebut terkadang kurang begitu
dipahami oleh penuturnya. Sehingga sebuah peradaban tidak terasa, termasuk
bahasa di dalamnya, yang telah mengalami pergeseran. Dalam hal inilah
faktor penutur bahasa menjadi penentu keberadaan suatu bahasa di dalam
kehidupan. Keadaan tersebut tak jarang dapat ditemukan pada setiap bahasa,
terkhusus bahasa daerah itu sendiri.
Setiap anggota masyarakat wajib memilih salah satu bahasa yang
akan digunakan nantinya dalam berkomunikasi. Persamaan dalam tulisan ini
adalah meneliti tentang pergeseran bahasa yang ada di daerah muna dan
mawasangka. Penggunaan bahasa yang dilakukan oleh masyarakat yang
harus memilih bahasa daerah yang multilingual. Lokasi tempat pergeseran
sama-sama terjadi di daerah muna dan mawasangka. Perbedaannya adalah
pergeseran Bahasa daerah yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan oleh
kalangan remaja. Dalam penelitian ini pola hubungan yang terjadi dalam
ranah keluarga di daerah muna yang yang dilakukan anggota keluarga dan
pergeseran yang terjadi dalam bahasa daerah ini adalah bahasa muna yang
mulai bergeser ke mawasangka.
2. Pengertian Bahasa
Bahasa tidak hanya milik perorangan melainkan milik sosial.
Apabila bahasa dituturkan secara perorangan, artinya orang tersebut
berperilaku secara individu seperti individu lainnya. Mereka dapat
menuturkan bahasa, dialek, atau ragam bahasa yang sama yaitu menggunakan
kode yang sama, dan berhubungan dengan kelompok masyarakat tutur yang
sama. Bahasa merupakan milik sosial dalam studi ilmu sosiolinguistik,
13
artinya studi tentang penggunaan bahasa di antara kelompok tutur.
“Kelompok” merupakan konsep yang sulit untuk dijelaskan tetapi harus kita
pahami. Orang dapat membentuk kelompok berdasar satu atau lebih alasan
yaitu; alasan sosial, agama, politik, budaya, keluarga, pekerjaan dan lain lain.
Kelompok bias bersifat temporer maupun semi temporer dan tujuan
anggotanya dapat diubah. Bentuk kelompok sosiolinguistik secara umum
telah mencoba mempelajari studi yang disebut masyarakat tutur. Lyon (1970)
dalam Wardhaugh (2002) menawarkan definisi yang disebut masyarakat tutur
yang “sebenarnya”; semua orang yang menggunakan bahasa (atau dialek).
Tetapi hal itu kemudian mengubah dari isu menjadi membuat definisi tentang
bahasa (dialek) juga sekaligus definisi tentang bahasa masyarakat tutur. Apa
yang diuraikan sebelumnya menyampaikan secara tidak langsung bahwa
bahasa akan dituturkan dengan berbeda berdasarkan kategori sosial. Oleh
karena itu, organisasi sosial alam mengelompokkan ragam bahasa yang
mereka tuturkan. Meskipun ada perbedaan dalam istilah sebagai masyarakat
tutur dan pembuat tutur, pada dasarnya mereka memiliki tujuan yang sama.
Mereka membahas tentang bahasa yang digunakan dalam masyarakat dimana
mereka dapat dikelompokkan dalam beberapa kelompok seperti; usia, jenis
kelamin, pendidikan, kelas sosial, politik, dan sebagainya.
Kecenderungan masyarakat tutur ketika berinteraksi dengan yang
lainnya adalah menuturkan bahasa yang dapat dimengerti satu sama lain atau
dengan kata lain bahasa memiliki kejelasan (intelligibility) untuk membuat
mereka mereka menjadi bagian dari komunitas tersebut. Hal itu juga
membuat mereka tidak bisa menuturkan hanya satu bahasa saja tanpa
14
mengetahui bahasa lainnya. Jika seseorang tidak pernah meninggalkan daerah
asalnya, hal ini menyebabkan mereka hanya mengetahui satu bahasa saja
yaitu bahasa daerahnya. Dia tidak akan tahu bahasa lain kecuali bahasanya
sendiri. Masyarakat seperti itu disebut masyarakat tertutup yang tidak pernah
membangun kontak dengan masyarakat tutur lainnya. Biasanya ini
disebabkan daerah yang sangat terisolasi atau memang tidak ingin
berkomunikasi dengan masyarakat lainya. Oleh karena itu bentuk masyarakat
seperti ini dikenal sebagai masyarakat tutur statis yang akan tetap menjaga
kondisi sebagai masyarakat monolingual. Akan tetapi masyarakat yang hanya
menuturkan satu bahasa jarang ditemukan sekarang ini, sedikitnya mereka
mengetahui dua bahasa meskipun tidak menguasai bahasa kedua sebaik
bahasa pertamanya.
Sebaliknya, masyarakat tutur terbuka akan membangun hubungan
dengan masyarakat lainnya dimana mereka akan mengalami kontak bahasa
beserta semua fenomena bahasa yang ada. Ada beberapa fenomena bahasa
yang terjadi sebagai akibat dari kontak bahasa seperti; diglosia, campur kode,
alih kode, interferensi, integrasi, konvergensi, dan pemertahanan bahasa
(Chaer dan Leoni) Sebagaimana masyarakat terbuka yang dapat berinteraksi
dengan masyarakat lainnya, mereka akan tahu bahasa lain selain bahasa
ibunya. Jika seorang dapat menguasai dua bahasa dia akan dikenali sebagai
bilingualism. Istilah bilingualisme masih menjadi debat diantara para ahli
linguistic kaitannya dengan penguasaan dua bahasa jika dikaitkan dengan
bilingual.
15
Ahli linguistic berpendapat bahwa orang yang dikategorikan sebagai
bilingual jika dia menguasai dua bahasa meskipun dia tidak menguasai bahasa
kedua sebaik bahasa pertamanya. Ada juga ahli yang berpendapat bahwa
seperti apapun kemampuan kedua bahasa yang dimiliki, tidak perlu memiliki
penguasaan yang sama pada kedua bahasa, orang tersebut sudah bisa
dikatakan bilingual.
a. Pemertahanan Bahasa dan Pergeseran Bahasa
Jika membahas tentang pergeseran bahasa maka secara otomatis
berhubungan dengan pemertahanan bahasa dan kepunahan bahasa.
Fenomena bahasa ini adalah kumpulan pengaruh dari adanya pilihan
bahasa. Pergeseran bahasa semata-mata berarti penggunaan bahasa yang
sangat terbatas baik dari segi penutur maupun tempat dimana dituturkan.
Sebaliknya pemertahanan bahasa yaitu jika bahasa tersebut tetap
digunakan meskipun dalam kondisi sebagai bahasa minoritas yang jumlah
penuturnya tidak banyak karena dituturkan di antara bahasa yang
mayoritas. Kepunahan bahasa akan terjadi jika bahasa tersebut tidak ada
lagi penuturnya dan posisinya diganti oleh bahasa yang sebagian besar
dituturkan oleh masyarakat yang mayoritas.
Pada kenyataannya, istilah ‘maintenance’ dan ‘shift’ yang
diajukan oleh artikel yang pertama kali ditulis oleh Joshua Fishman in
1964. Pemertahanan bahasa berarti penggunaan bahasa yang berkelanjutan
dalam menghadapi persaingan dengan bahasa yang lebih banyak memiliki
kekuatan secara sosial dan regional. Sebaliknya, istilah pergeseran bahasa
artinya pergantian satu bahasa oleh bahasa lainnya sebagai bahasa utama
16
dalam berkomunikasi dan sosialisasi dalam masyarakat. Adapun istilah
kepunahan bahasa digunakan jika komunitas pengguna bahasa itu tinggal
satu bahkan tidak ada lagi. Penelitian tentang gejala bahasa tersebut telah
lama dilakukan oleh Fishman’s (1966) dan Kloss (1966) yang memberikan
solusi dan upaya-upaya untuk pemertahanan bahasa. Dua studi klasik
tentang pergeseran bahasa dilakukan oleh Nancy Dorian (1981) dan Susan
Gal (1979) pada bahasa Gael di Skotlandia Timur bagian Laut yang
bergeser dari bahasa Hungaria ke bahasa Jerman pada komunitas
Oberwart, Austria. Hingga sekarang, banyak studi yang fokus pada isu-isu
bahasa tersebut sebagai lingkup sosiolinguistik macro (Mesthrie, et, all).
b. Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Pergeseran Bahasa
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi bahasa dapat
dipertahankan oleh penuturnya. Faktor-faktor tersebut juga menjadi alasan
mengapa bahasa dapat bergeser atau sebaliknya dapat dipelihara. Faktor
yang paling jelas yang dapat mempengaruhi pergeseran bahasa adalah
sikap penutur terhadap bahasa daerahnya sendiri. Hal ini dibutikan oleh
berbagai studi yang mengkaji bagaimana sikap dapat mempengaruhi
penggunaan bahasa daerah secara berkelanjutan dari generasi ke generasi.
Pada umumnya, suatu daerah dimana struktur masyarakatnya multi etnis
maka kecenderungan menggunakan satu bahasa (bahasa nasional) sebagai
alat interaksi di antara para masyarakat yang berasal dari berbagai macam
suku. Penggunaan bahasa yang dapat berfungsi sebagai media komunikasi
secara otomatis akan mengurangi tingkat penggunaan bahasa daerah
masing masing secara konstan.
17
Apa yang dibahas oleh Holmes nampaknya jelas bahwa
pergeseran bahasa secara normal terjadi dalam kelompok bahasa minoritas
yang berpindah ke tempat yang jauh dari tanah kelahirannya. Masyarakat
ini cenderung sering menggunakan bahasa mereka dengan tujuan untuk
menunjukkan identitas diri. Oleh karena itu mereka juga lebih menyukai
tinggal bersama secara berkelompok untuk memudahkan mereka untuk
selalu bertemu dan juga mempertahankan bahasanya karena digunakan
sehari-hari untuk berinteraksi satu sama lain. Faktor lain yang
mempengaruhi pemertahanan bahasa adalah mobilitas atau frekuensi
kunjungan ke tanah kelahiran atau ke daerah lain baik yang lokasinya
terdapat mayoritas suku mereka maupun yang minoritas bermukim di
daerah tersebut. Arus imigran atau pengujung baru secara tetap
membutuhkan penggunaan bahasa yang terus berlanjut. Sebagai contoh
Bahasa daerah Muna mulai bergeser ke daerah Mawasangka.
Holmes 8(1991) juga menambahkan faktor lain yaitu dukungan
institusi yang memberikan perbedaan antara sukses dan gagal dalam
mempertahankan kelompok bahasa minoritas. Pendidikan, hukum. dan
administrasi, agama dan media adalah ranah yang penting yang berkenaan
dengan masalah ini. Kelompok minoritas yang memberdayakan institusi
ini untuk mendukung berhasilnya upaya untuk pemertahanan bahasa. Jika
pemerintah suatu negara bertekad untuk menyelamatkan atau memelihara
bahasa daerah, memberikan peluang untuk melegalisasikan penggunaan
bahasa daerah dalam semua ranah tersebut.
18
c. Karakteristik Bahasa
Setiap kebudayaan manusia memiliki berbagai macam bahasa,
akan tetapi, karakteristik umum bahasa yaitu sebagai alat untuk
berkomunikasi dan adanya daya cipta individu yang kreatif (Santrock,
1995). Bahasa merupakan suatu sistem simbol untuk berkomunikasi
dengan orang lain. Fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatic
merupakan bagian dari sistem aturan bahasa. Fonologi adalah studi tentang
sistem bunyi-bunyian bahasa. Morfologi berkenaan dengan ketentuan-
ketentuan pengombinasian morfem. Morfem adalah rangkaian bunyi-
bunyian terkecil yang memberi makna pada apa yang diucapkan dan
didengarkan individu. Sintaksis mencakup cara kata-kata dikombinasikan
untuk membentuk ungkapan dan kalimat yang dapat diterima. Semantik
mengacu pada makna kata dan kalimat. Pragmatik sendiri adalah
kemampuan untuk melibatkan diri dalam percakapan yang sesuai dengan
maksud dan keinginan.
Beberapa karakteristik bahasa yang menjadikan bahasa sebagai
aspek khas komunikasi yaitu:
1) Sistematis, adalah suatu cara yang menggabungkan bunyi-bunyian
maupun tulisan dan bersifat teratur, standar, dan konsisten. Setiap
bahasa memiliki tipe konsistensi yang bersifat khas. Bahasa Inggris
memiliki sejumlah variasi pola konsisten yang jumlahnya jauh lebih
banyak dibandingkan pola yang tidak konsisten. Bahasa Indonesia juga
memiliki jenis pola keteraturan tertentu.
19
2) Arbiter, adalah bahasa yang terdiri dari hubungan antara berbagai
macam suara dan visual, objek, maupun gagasan. Setiap bahasa
memiliki kata-kata yang berbeda dalam memberi simbol pada angka-
angka tertentu. Sebagai contoh kata satu dalam bahasa Indonesia dan
kata one dalam bahasa Inggris merupakan simbol yang memiliki
kesamaan konsep. Beberapa bahasa di dunia memiliki dua puluh enam
jenis huruf alfabet, tetapi negara seperti Cina menggunakan sistem
yang berbeda yang memiliki sekitar tiga ribu karakter. Keputusan yang
bersifat arbitrer (mana suka) akan menentukan cara membaca suatu
bahasa. Dalam membaca bahasa tertentu, Anda harus membacanya
berdasarkan kolom dari atas halaman ke bawah halaman, dari kanan
halaman ke kiri halaman, ataupun dari kiri halaman ke kanan halaman.
3) Fleksibel, memiliki arti bahasa dapat berubah sesuai dengan
perkembangan zaman. Kosa kata terus bertambah mengikuti kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Penambahan ribuan kosa kata tersebut
terdiri atas berbagai kata baru yang berkenaan dengan istilah teknologi,
berbagai singkatan, maupun bahasa jargon yang cukup banyak
digunakan oleh kelompok tertentu.
4) Beragam artinya dalam hal pengucapan, bahasa memiliki berbagai
variasi dialek atau cara. Perbedaan dialek terjadi dalam pengucapan,
kosa kata, dan sintaks. Semula, perbedaan dialek ditentukan oleh
daerah geografisnya, namun sekarang ini kelompok sosial yang
berbeda dalam suatu masyarakat menggunakan dialek yang berbeda
pula. Sebagai contoh Indonesia dengan berbagai budayanya memiliki
20
ratusan dialek yang digunakan oleh masyarakat. India memiliki lebih
dari dua puluh bahasa dan delapan puluh dialek.
5) Kompleks, yaitu bahwa kemampuan berpikir dan bernalar dipengaruhi
oleh kemampuan menggunakan bahasa yang menjelaskan berbagai
konsep, ide, maupun hubungan-hubungan yang dapat dimanipulasikan
saat berpikir dan bernalar.
Bahasa bukan merupakan prasyarat dalam kemampuan berpikir
yang luas. Akan tetapi, bahasa membantu kemampuan berpikir karena
keduanya berkembang bersama. Misalnya, anak usia kurang dari dua tahun
yang belum memiliki kemampuan bahasa yang baik, anak tersebut sudah
memiliki kemampuan bernalar.Untuk menciptakan pengetahuan dan
konsep kita menggunakan dan memanipulasi bahasa. Anda mungkin
pernah mengalami suatu kejadian dimana Anda memiliki ide, tetapi belum
menyadarinya hingga Anda mengungkapkannya dalam bentuk ucapan
maupun tulisan.
d. Aspek Bahasa
Anak usia dini memperoleh serta mempelajari bahasa agar dapat
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari sudut pandang
sosialisasinya, bahasa merupakan suatu cara untuk merespon orang lain.
Menyimak, berbicara, membaca, dan menulis merupakan empat
aspek bahasa (Bromley: 1992). Kemampuan berbahasa sendiri berbeda
dengan kemampuan berbicara. Yang mana bahasa merupakan suatu sistem
tata bahasa yang relatif rumit dan bersifat semantik, sedangkan
kemampuan berbicara merupakan suatu ungkapan dalam bentuk kata-kata.
21
Bahasa ada yang bersifat reseptif (dimengerti, diterima) maupun ekspresif
(dinyatakan). Contoh dari bahasa reseptif adalah mendengarkan dan
membaca suatu informasi, sedangkan contoh bahasa ekspresif adalah
berbicara dan menuliskan informasi untuk dikomunikasikan kepada orang
lain.
Berbagai cara dilakukan oleh seorang anak untuk
mengekspresikan bahasa. Keterampilan menyimak dan membaca
merupakan keterampilan bahasa reseptif karena dalam keterampilan ini
makna bahasa diperoleh dan diproses melalui simbol visual dan verbal. Di
saat seorang anak menyimak maupun membaca, mereka akan memahami
bahasa berdasarkan konsep pengetahuan serta pengalaman mereka masing-
masing. Proses pemahaman (comprehending process) adalah bagian dari
menyimak dan membaca. Berbicara dan menulis merupakan keterampilan
bahasa ekspresif yang melibatkan pemindahan arti melalui simbol visual
dan verbal yang diproses dan diekspresikan anak. Ketika anak berbicara
dan menulis, mereka menyusun bahasa dan mengkonsep arti. Dengan
demikian, berbicara dan menulis adalah proses penyusunan (composing
process).
Dasar bagi seorang anak untuk belajar adalah dengan
mengembangkan keterampilan pemahaman serta penyusunan.
Perkembangan sosial, emosional, fisik, serta kognitif bergantung pada
acara anak itu sendiri dalam menggunakan bahasa dalam kesehariannya.
Keberhasilan anak dalam berbagai area, seperti ilmu
pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, dan matematika tergantung
22
pada kemampuan anak untuk memahami dan menyusun bahasa. Thaiss
(dalam Bromley, 1992) mengemukakan bahwa anak dapat memahami dan
mengingat suatu informasi jika mereka mendapat kesempatan untuk
membicarakannya, menuliskannya, menggambarkannya, dan
memanipulasi-nya. Anak belajar membaca dan menyimak jika mereka
mendapat kesempatan untuk mengekspresikan pemahaman mereka dengan
membicarakannya maupun menuliskannya untuk diri mereka sendiri
maupun ditujukan pada orang lain. Belajar terjadi jika ada diskusi antara
guru dan anak, anak dan anak, anak dan buku, anak dan lingkungannya.
Bahasa dan belajar tidak dapat dipisahkan. Kemampuan menggunakan
bahasa secara efektif sangat berperan penting terhadap kemampuan belajar
anak.
Menyimak, berbicara, membaca, dan menulis melibatkan proses
kognitif (berpikir) dan kosa kata yang sama. Namun demikian, ada
beberapa perbedaan keempat aspek bahasa tersebut sebagai berikut.
1) Anak menerima dan mengekspresikan bahasa dengan cara yang unik
dan bersifat individual. Perbedaan tersebut meliputi kosa kata dan
intonasi suara yang digunakan anak.
2) Penerimaan dan pengekspresian bahasa terjadi dengan kecepatan yang
berbeda. Menulis memakan waktu relatif lebih lama dibandingkan
menyimak, berbicara, dan membaca.
3) Aspek bahasa berbeda sesuai dengan daya tahan relatifnya. Membaca
dan menulis melibatkan tinta yang dapat dibaca kembali, diperbaiki,
dan direfleksikan dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan
23
dengan berbicara. Menyimak dan berbicara bersifat sementara, kecuali
direkam atau difilmkan untuk dapat dipergunakan lagi. Dengan
demikian, pemahaman terhadap bahasa ekspresif melalui menyimak
berbeda dengan pemahaman bahasa tertulis melalui membaca.
4) Aspek bahasa berbeda dalam kandungan dan fungsinya. Bahasa yang
digunakan dalam diskusi secara verbal seringkali berbeda dengan
bahasa yang digunakan dalam tulisan. Pilihan kata yang dipakai dalam
berbicara akan berbeda dengan yang dipakai dalam menulis. Ekspresi
wajah, bahasa tubuh, dan intonasi suara dalam berbicara dapat
mengubah arti bahasa yang akan disampaikan. Bahasa tertulis bersifat
lebih permanen dibandingkan bahasa lisan sehingga bersifat lebih
formal. Sintaks dalam tulisan juga dapat bersifat lebih akurat daripada
sintaks dalam bahasa lisan. Dalam berbicara sering kali muncul gagasan
baru di tengah kalimat yang belum terselesaikan sehingga bahasa yang
diucapkan merupakan kalimat yang begitu panjang.
Gambar. 2.1 Aspek Bahasa
24
3. Pengertian Masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok individu yang tinggal dalam suatu
tempat tertentu, saling berinteraksi dalam waktu yang relatif lama,
mempunyai adat-istiadat dan aturan aturan tertentu dan lambat laun
membentuk sebuah kebudayaan. Masyarakat juga merupakan sistem sosial
yang terdiri dari sejumlah komponen struktur sosial yaitu: keluarga, ekonomi,
pemerintah, agama, pendidikan, dan lapisan sosial yang terkait satu sama
lainnya, bekerja secara bersama-sama, saling berinteraksi, berelasi, dan saling
ketergantungan (Jabrohim, 2004: 167).
Menurut Mac Iver dan Page dalam Soekanto masyarakat adalah
suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerja sama
antara berbagai kelompok dan penggolongan dan pengawasan tingkah laku
serta kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini
kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial,
dan masyarakat selalu berubah (Soekanto, 2007: 22).
Menurut Mac Iver dan Charles dalam Soekanto unsur-unsur
perasaan masyarakat antara lain adalah seperasaan, sepenanggungan dan
saling memerlukan, sedangkan tipe-tipe masyarakat menurut Kingsley Davis
dalam Soekanto (2007 134-135) ada empat kriteria yaitu:
a. Jumlah penduduk.
b. Luas, kekayaan dan kepadatan penduduk daerah pedalaman.
c. Fungsi-fungsi khusus masyarakat setempat terhadap seluruh masyarakat.
d. Organisasi masyarakat yang bersangkutan.
25
B. Kajian Teori
1. Perubahan sosial
Di kalangan remaja khususnya, untuk menganalisis penggunaan
Bahasa Muna maka perlu menggunakan konsep perubahan sosial oleh Piotr
Sztompka. Yang mana konsep perubahan itu disebut juga konsep keselarasan
sosial, penggunaan konsep perubahan sosial milik Sztompka dapat menjadi
alat untuk menganalisis permasalahan yang ingin dijawab oleh peneliti.
Perubahan sosial yang meliputi atom terkecil dari dinamika sosial,
perubahan sistem sosial maupun perubahan dari segi aspek. Namun, keadaan
yang terisolasi merupakan bagian dari perubahan tunggal jarang terjadi.
perubahan itu biasanya berkaitan dengan aspek lain.Yang terpenting adalah
pemikiran tentang “proses sosial” yang melukiskan rentetan perubahan yang
saling berkaitan (Sztompka:2004).
Perubahan yang saling mengikuti satu sama lain dan berhubungan
sebab akibat serta mengacu pada sistem sosial yang sama maupun berbagai
perubahan merupakan bagian dari proses sosial.
Pergantian sosial mencangkup 3 gagasan ialah perbandingan, pada
waktu berbeda, serta di antara kondisi sistem sosial yang sama. Bagi Hawley
dalam piotz( 2004: 3) pergantian sosial merupakan tiap pergantian yang tidak
terulang dari sistem bagaikan satu kesatuan.
Pada tingkatan makro, terjalin pergantian ekonomi, politik, sebaliknya
di tingkatan meso terjalin pergantian kelompok, komunitas, serta organisasi,
serta tingkatan mikro sendiri terjalin pergantian interaksi, serta sikap
26
individual. Warga bukan suatu kekuatan raga (entity), namun seperangkat
proses yang silih terpaut bertingkat ganda (Sztompka, 2004).
Alfred (dalam Sztompka, 2004), mengatakan warga tidak boleh
dibayangkan bagaikan kondisi yang senantiasa, namun bagaikan proses,
bukan objek seluruh yang kaku namun bagaikan aliran kejadian selalu tiada
henti. Diakui kalau warga ( kelompok, komunitas, organisasi, bangsa) cuma
bisa dikatakan terdapat sepanjang serta sepanjang terjalin suatu didalamnya,
semacam terdapatnya aksi, pergantian, serta proses tertentu yang tetap
bekerja. Sebaliknya Farley mendefinisikan pergantian sosial bagaikan
pergantian pola perilaku, ikatan sosial, lembaga, serta struktur sosial pada
waktu tertentu. Pergantian sosial bisa dibayangkan bagaikan pergantian yang
terjalin di dalam maupun mencakup sistem sosial. Oleh karena itu, ada
perbandingan antara kondisi sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan.
Bahasa bagaikan kontak kebudayaan bisa menimbulkan pergantian
sosial. Pergantian bahasa Jawa Banyumas di golongan anak muda menjadikan
bahasa jadi tidak baku serta ada percampuran bahasa lain. Perpindahan bahasa
wilayah Muna yang terjalin pada golongan anak muda di Mawasangka terjalin
disebabkan letak daerahnya yang terletak di Sulawesi tenggara kabupaten
buton tengah.
2. Sosiolinguistik dan Etnolinguistik
Pergeseran bahasa daerah muna pada masyarakat dan remaja
Mawasangka dapat juga dilihat dengan sosiolinguistik dan etnolnguistik.
Sosiolinguistik ialah cabang ilmu linguistik yang bertabiat interdisipliner
27
dengan ilmu sosiologi, dengan objek riset ikatan antara bahasa dengan faktor-
faktor sosial di dalam sesuatu warga tutur. Sebaliknya etnolinguistik ialah
ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk ikatan aneka konsumsi bahasa
dengan pola kebudayaan dalam warga tertentu ataupun ilmu yang berupaya
mencari ikatan antara bahasa, pemakaian bahasa serta kebudayaan pada
biasanya.
Sosio merupakan warga, serta linguistik merupakan kajian bahasa. Jadi
sosiolinguistik merupakan kajian tentang bahasa yang berhubungan dengan
keadaan kemasyarakatan. Sosiolinguistik ialah kajian interdisipliner yang
menekuni pengaruh budaya terhadap metode sesuatu bahasa digunakan.
Dalam perihal ini bahasa berhubungan erat dengan warga sesuatu daerah
bagaikan subyek ataupun pelakon berbahasa bagaikan perlengkapan
komunikasi serta interaksi antara kelompok yang satu dengan yang lain.
Etnologi menekuni bahasa dalam kaitannya dengan aspek etnis. Dalam
kamus linguistic (Kridalaksana, 1983: 42) dinyatakan jika etnolinguistik ialah
cabang linguistik yang menyelidiki ikatan antara bahasa serta warga pedesaan
maupun warga yang belum memiliki tulisan ataupun cabang linguistik yang
menyelidiki ikatan bahasa serta perilaku bahasawan terhadap bahasa.
Etnolinguistik membagikan uraian tentang masalah- masalah yang
menyangkut ikatan timbal- balik antara struktur bahasa serta kebudayaan,
ialah bahasa bagaikan sistem kognitif serta manifestasinya dalam penyusunan
area sosial budaya serta biofisik.
Lee Whorf dalam Haviland (1985: 394) bahasa memastikan metode
orang berpikir serta berperan. Ahli- ahli lain berpikiran bahasa mencerminkan
28
realita kebudayan serta jika kebudayaan berganti, bahasa juga hendak
berganti. Bahasa pada biasanya fleksibel serta gampang menyesuaikan diri
namun sekalipun mapan, suatu sebutan cenderung bertahan serta
mencerminkan dan mengatakan struktur sosial dan persepsi- persepsi
universal serta kepentingan- kepentingan sesuatu kelompok. Bahasa manusia
mulai bagaikan sistem gerakan serta bukan vokal. Macam- macam aspek area
bersama dengan perubahan- perubahan biologis yang terjalin pada homida
ialah latar balik lahirnya bahasa. Pemikiran serta uraian tiap hari, manusia
memastikan urutan logis pengalaman- menciptakan dunia terpilah- pilah serta
logis dalam pemikiran dalam cara-cara yang secara resmi mirip dengan
lapisan tata bunyi.
Bahasa bagaikan perlengkapan komunikasi dalam berhubungan mulai
alami kepudaran pada golongan anak muda. Para anak muda lebih banyak
memakai bahasa- bahasa kombinasi yang berasal dari budaya lain. Anak
muda di Muna perbatasan Mawasangka. Oleh sebab itu Bahasa wilayah Muna
mulai terkontaminasi di Mawasangka.
Alasan menggunakan konsep sosiolinguistik dan etnolinguistik adalah
penelitian ini membahas tentang pergeseran bahasa daerah Muna ke
Mawasangka yang digunakan oleh kalangan remaja, sehingga konsep ini lebih
tepat untuk membahas tentang penelitian ini. Konsep ini membahas tentang
interaksi dan komunikasi oleh masyarakat supaya lebih mengetahui
pergeseran Bahasa daerah Muna yang digunakan oleh remaja dan masyarakat
di Mawasangka.
29
C. Penelitian Terdahulu
Peneliti yang pertama adalah peneliti yang dilakukan oleh lukman (2014)
yang berjudul “Pergeseran Bahasa-Bahasa Daerah di Sulawesi Selatan: kasus
pergeseran Bahasa Bugis, Makassar, Toraja Dan Enrekang. Penelitian –
penelitian tersebut menunjukan pergeseran Bahasa meskipun pada tingkat yang
berbeda-beda. Bahkan Lukman mengungkapkan bahwa pergeseran Bahasa di
Sulawesi Selatan sudah waktunya untuk mendapat perhatian khusus.
Penelitian yang kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Sulis
Triyono (2006) yang menjelaskan bahwa “Pergeseran Bahasa Daerah Akibat
Kontak Bahasa Melalui Pembauran”. Tulisan ini membahas tentang empat hal
permasalahan, yaitu: (1) Situasi kebahasaan dan pergeseran mother language
(Bahasa ibu) warga 13 transmigran asal jawa yang bermukim di desa Sukamaju,
Luwu Timur, (2) Faktor yang berpengaruh terhadap pergeseran Bahasa di
kalangan masyarakat transmigran, (3) Perbedaan pergeseran Bahasa antara
wilayah permukiman yang homogen dan heterogen, dan (4) Faktor yang
dominan berpengaruh terhadap pergeseran Bahasa.
Peneliti yang ketiga adalah peneliti yang dilakukan oleh Suartini (2012)
yang berjudul “Pergeseran Bahasa Bali di Lokasi Transmigrasi Desa Raharja
Kecamatan Wonosari Kabupaten Boalemo”. Masalah yang dikaji dalam
penelitian ini, yaitu: (1) Bagaimana pola pergeseran Bahasa masyarakat Bali di
lokasi transmigrasi desa Raharja Kecamatan Wonosari Kabupaten Boalemo?,
(2) Bagaimana karakteristik pergeseran Bahasa masyarakat Bali di lokasi
Transmigrasi desa Raharja Kecamatan Wonosari Kabupaten Boalemo?, (3)
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pergeseran Bahasa masyarakat Bali
30
di lokasi transmigrasi desa Raharja Kecamatan Wonosari Kabupaten Boalemo.
Hasil penelitian menunjukan pergeseran Bahasa masyarakat Bali dalam ranah
keluarga diasumsikan dapat dibuktikan dengan pemerolehan data penelitian
yaitu percakapan masyarakat Bali dalam ranah keluarga yang berbeda-beda
kasta semua Bahasa yang digunakan tidak sesuai dengan tingkatan kasta
sehingga Bahasa yang digunakan dominan menggunakan Bahasa indonesia dan
Bahasa Melayu dialek Gorontalo.
D. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir ialah wujud kerangka yang di analogi oleh periset buat
melaksanakan riset bersumber pada kasus serta tujuan yang hendak dicapai,
tidak hanya itu pula berperan bagaikan peta konsep dalam riset ini. Kerangka
berfikir ini buat menolong biar tidak terjalin penyimpangan dalam riset.
Kemajuan era serta teknologi membuat anak muda lebih maju dalam
kehidupannya. Banyak anak muda yang mulai terbawa- bawa dengan teknologi,
yang membuat remaja- remaja pula mulai belajar bahasa Asing semacam
bahasa Inggris, apalagi dalam dunia pembelajaran bahasa Inggris ialah perihal
yang lebih berarti dibanding belajar bahasa lokal. Sehingga Bahasa wilayah
Muna di golongan anak muda mulai hadapi perpindahan ke Mawasangka.
Penelitian ini terdiri dari dua variabel, dimana variabel X yaitu pergeseran
Bahasa Muna sebagai variabel independen sedangkan variabel Y yaitu Faktor
yang mempengaruhi pergeseran Bahasa daerah Muna sebagai variabel
dependent. Dalam penelitian ini penulis mendefinisikan pergeseran bahasa
sebagai suatu tanggapan atau penilaian masyarakat terhadap Pergeseran Bahasa
Daerah Muna pada Masyarakat Mawasangka Kabupaten Buton Tengah.
31
Penelitian ini diawali oleh semakin banyaknya pergeseran Bahasa daerah
muna pada masyarakat mawasangka tersebut, objek penelitiannya adalah
masyarakat yang ada di daerah muna kabupaten buton tengah.
Pergeseran Bahasa Daerah Muna Pada Masyarakat Mawasangka
Kabupaten Buton Tengah
Gambar 1. Skema Kerangka Pikir
Masyarakat Mawasangka
Pergeseran Bahasa Daerah Muna
Pada Masyarakat Mawasangka
Faktor-faktor yang mempengaruhi
Pergeseran Bahasa Daerah Muna
Pada Masyarakat Mawasangka
Faktor Sosial Faktor Migrasi
Hasil/ Temuan
31
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif, dengan pendekatan studi
kasus. Peneliti menggunakan penelitian kualitatif tersebut untuk memperoleh
jawaban atas permasalahan yang akan diteliti. Pendekatan studi kasus
merupakan rangkaian kegiatan yang sistematik. Apabila dilihat dari jenis dan
objek yang diteliti maka penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian studi
kasus dengan maksud memberikan gambaran tentang Pergeseran bahasa daerah
muna pada masyarakat mawasangka kabupaten buton tengah.
B. Waktu dan tempat Penelitian
Penelitian ini berlangsung selama kurang lebih dua bulan terhitung
setelah diterbitkannya surat izin penelitian. Pelaksanaannya di kabupaten buton
tengah.
C. Informan Penelitian
Hal-hal yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah pergeseran
bahasa daerah muna pada masyarakat mawasangka kabupaten buton tengah.
Untuk mengetahui informasi dari beberapa informan dengan teknik purposive
sampling (pengambilan sampel berdasarkan tujuan).
Dalam penelitian ini, ada beberapa informan yang dipilih oleh peneliti
sendiri yang mana informan tersebut memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Kriteria informan dalam penelitian ini meliputi pemerintah yang berperan
sebagai informan kunci yang berjumlah 2 orang.
33
2. Masyarakat yang tidak memiliki pergeseran Bahasa dan masyarakat yang
memiliki pergeseran bahasa daerah yang berperan sebagai informan utama
masing-masing berjumlah 4 orang.
3. Objek yang akan diambil peneliti di Daerah Muna Mawasangka Kabupaten
Buton Tengah yaitu 10 informan. Informan merupakan bagian dari
masyarakat yang akan dimintai keterangan lebih lanjut di Daerah Muna
Mawasangka Kabupaten Buton Tengah, dimana 10 informan ini dipilih
dengan sengaja dikarenakan sesuai dengan kriteria penelitian.
D. Fokus Penelitian
Adanya fokus penelitian sangat penting sebab dengan adanya fokus
penelitian kita dapat melihat batas dalam mengumpulkan data sehingga akan
lebih terarah pada hal yang akan diteliti nantinya.
Miles dan Hubermas (1999:30) memberikan tanggapan bahwa untuk
menghindari data yang berlimpah maka harus melakukan pembatasan dalam
pengumpulan data dengan reduksi data sehingga variabel-variabel yang tidak
berkaitan akan lebih mudah dikesampingkan.
Titik fokus penelitian ini yaitu Pergeseran Bahasa Daerah Muna pada
Masyarakat Mawasangka Kabupaten Buton Tengah serta factor-faktor yang
mempengaruhi pergeseran Bahasa Daerah Muna Pada masyarakat mawasangka
kabupaten Buton Tengah.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian erat kaitanya dalam penelitian. Menurut Suharsimi
Arikunto (2013:203), instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang
digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaanya lebih
34
mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis
sehingga lebih mudah diolah. Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi
instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri, namun selanjutnya
setelah fokus penelitian menjadi jelas, maka kemungkinan akan dikembangkan
instrumen penelitian sederhana yang diharapkan dapat melengkapi data dan
membandingkan data yang telah ditemukan melalui observasi, wawancara, dan
dokumentasi.
Alat yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah: alat tulis menulis,
perekam, (voice recorder), alat potret (kamera) serta alat penunjang lainnya.
1. Melakukan observasi terlebih dahulu di masyarakat Mawasangka
Kabupaten Buton Tengah supaya bisa menyesuaikan dan beradaptasi
dengan lingkungan tempat dimana meneliti nantinya. Alat yang
digunakan peneliti yaitu alat tulis menulis seperti, buku dan pulpen
untuk menulis informasi atau data-data yang didapatkan pada saat
observasi.
2. Pada saat wawancara peneliti mempersiapkan terlebih dahulu hal-hal
apa saja yang mau ditanyakan terkait informasi yang dibutuhkan, supaya
pertanyaan yang disampaikan peneliti tidak melenceng dari apa yang
mau diteliti. Alat yang digunakan peneliti yaitu alat perekam suara
seperti handphone untuk merekam hasil wawancara dengan informan.
3. Peneliti mempersiapkan alat dokumentasi berupa kamera untuk
memotret keadaan dan lingkungan di masyarakat Mawasangka
Kabupaten Buton Tengah.
35
F. Jenis dan Sumber Data
Pada penelitian ini jenis data serta sumber data yang digunakan yaitu:
1. Data Primer
Data primer merupakan data yang didapatkan oleh peneliti secara langsung
atau tanpa perantara di lapangan. Data primer diperoleh dari sumber
informan yaitu individu atau perorangan seperti hasil wawancara yang
dilakukan oleh peneliti. Data primer ini antara lain:
a. Catatan hasil Wawancara
b. Hasil observasi lapangan
c. Data mengenai informan
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung baik
dari buku jurnal, dan lain-lain. Data ini digunakan sebagai pendukung data
primer.
G. Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi
Agustang: 2011: 131 mengartikan observasi sebagai pengamatan
langsung dan pencatatan yang dilakukan oleh peneliti secara sistematis dari
fenomena-fenomena yang akan diselidiki. Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini menggunakan observasi dan wawancara mendalam. Observasi
ini dilakukan agar dapat mengumpulkan informasi yang sesuai dengan
masalah pergeseran dan bentuk pengaruh bahasa daerah muna pada
masyarakat mawasangka. Observasi diartikan lebih spesifik, dimana
36
pengamatan ini lebih menekankan pada indera penglihatan yang berarti
melibat pergeseran bahasa daerah muna pada masyarakat mawasangka
kabupaten buton tengah.
2. Wawancara (Interview)
Mengajukan pertanyaan secara lisan serta dijawab secara lisan merupakan
definisi dari wawancara (Hadari Nawawi: 2005:111). Wawancara dilakukan
untuk mencari informasi mendalam dan lebih jauh tentang apa yang
dirasakan informan serta apa yang dilihat mengenai pergeseran bahasa muna
pada masyarakat mawasangka. Informasi yang diberikan informan
kemudian diolah, ditafsirkan serta dianalisis oleh peneliti sendiri sehingga
nantinya melahirkan pandangan peneliti tentang data yang akan diolah
tersebut.
Wawancara ini dilakukan dalam bentuk percakapan antara peneliti
dengan informan, menggunakan pedoman wawancara atau daftar
pertanyaan yang meliputi: Bagaimana pergeseran bahasa daerah muna pada
masyarakat mawasangka kabupaten buton tengah serta Bagaimana faktor-
faktor yang mempengaruhi pergeseran bahasa daerah muna pada
masyarakat mawasangka kabupaten buton tengah.
3. Dokumentasi
Dokumentasi dilakukan untuk memperoleh dan melengkapi data
penelitian selama proses penelitian berlangsung.
37
H. Teknik Analisis Data
Analisis informasi merupakan proses menyusun informasi supaya
informasi tersebut ditafsirkan. Menyusun informasi berarti menggolongkannya
ke dalam pola, tema ataupun jenis. Tafsiran ataupun interpretasi maksudnya
memberikan arti kepada analisis, menerangkan pola ataupun jenis, ikatan antara
bermacam konsep. Analisis informasi ini dicoba dengan metode: (1) Reduksi
informasi, ialah informasi yang diperoleh dilapangan ditulis dalam wujud
penjelasan yang sangat lengkap serta banyak. Informasi tersebut direduksi,
dirangkum, diseleksi perihal yang pokok serta difokuskan pada hal- hal yang
berarti serta berkaitan dengan permasalahan. Informasi yang sudah direduksi
bisa berikan cerminan yang lebih jelas dari hasil pengamatan serta wawancara
mendalam. Reduksi bisa menolong dalam membagikan kode untuk aspek-
aspek yang diperlukan, (2) Display informasi, analisis ini digunakan mengingat
informasi yang terkumpul sangat banyak. Informasi yang banyak bisa
memunculkan kesusahan dalam menggambarkan perinci secara totalitas serta
susah pula buat mengambil kesimpulan. Kesukaran ini bisa diatasi dengan
metode membuat model ataupun pola sehingga totalitas informasi serta bagian-
bagian detailnya bisa dipadukan dengan jelas.
I. Teknik Keabsahan Data
Mentriangulasi kan tiga dara baik itu data observasi, wawancara
maupun dokumentasi merupakan definisi dari Teknik keabsahan data.
Di bawah ini langkah-langkah triangulasi, yaitu:
38
1. Triangulasi sumber data, yang dilakukan dengan cara mencari data dari
banyak sumber informan, yaitu orang yang terlibat langsung dengan objek
kajian.
2. Triangulasi pengumpul data (dilakukan dengan cara mencari data dari
banyak sumber informan.
3. Triangulasi metode, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
bermacam-macam metode pengumpulan data (observasi interview, studi
dokumentasi, focus group dan
4. Triangulasi teori, dilakukan dengan cara mengkaji berbagai teori relevan,
sehingga dalam hal ini tidak digunakan teori tunggal tapi dengan teori yang
jamak.
Berdasarkan pengertian tersebut maka penulis dapat menyimpulkan bahwa
teknik keabsahan adalah data proses atau langkah-langkah mentriangulasi kan
data.
38
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Lokasi Penelitian
Desa Balobone sebagai salah satu Desa dari 17 Desa dan 2
Kelurahan yang ada diwilayah Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton
Tengah dengan luas wilayah 7,2 Km², yang terletak 1 kilometer ke arah selatan
dari ibu kota Kecamatan Mawasangka. Pada tahun 1967, Desa Balobone masih
merupakan tanah pertanian yang digarap oleh masyarakat yang berasal dari
Desa Wambuloli sehingga pada saat itu desa Balobone masih berstatus sebagai
Desa wambuloli.
Pemerintah Kecamatan melihat adanya perkembangan terutama dari
segi pangan sehingga pada tahun 1974 tanah pertanian tersebut dibentuk
menjadi sebuah Desa yang diberi nama Desa Balobone dengan Kepala Desa
Balobone yaitu Bapak H. Syahid Pada tahun 1974 sekaligus menjadi Kepala
Desa pertama di Desa Balobone sampai dengan tahun 1987.
Seiring berkembang nya waktu dan masyarakat yang menduduki
wilayah tersebut pada tahun 1998 dibawah Kepemimpinan Bapak H. Dullah
Tou, S.IP sebagai kepala Desa, Desa Balobone dimekarkan menjadi dua Desa
yakni Desa Balobone dan Desa Napa, sehingga pada tahun yang sama diadakan
Pemilihan Kepala Desa dan yang terpilih adalah Bapak H. Muhammad Ismail,
SE selaku kepala desa definitif. Konon cerita di desa ini juga terdapat sebuah
40
benteng kerajaan yang bernama benteng Parigi terletak di dusun balobone di
bagian tenggara Desa Balobone.
Berikut sejarah pemerintahan Desa Balobone :
Tabel 1. Sejarah Pemerintahan Desa
No Periode Nama Keterangan
1 1974-1987 H. Syahid Kepala Desa Definitif
2 1987-1990 Muis Kepala Desa Definitif
3 1990-1998 H. La Dullah Tou, S.IP Kepala Desa Definitif
4 1998-2012 H. Muhammad Ismail, SE Kepala Desa Definitif
5 2012-2018 M. Uzulim Akbar, SE Kepala Desa Definitif
6 2019 Erika Anzarsari, S.IP Pelaksana Kepala Desa
7 2020-Sekarang Sabandia, S.Pd. SD Kepala Desa Definitif
Sumber : Data PKD Desa Balobone Januari 2020
Tabel 2. Sejarah Pembangunan Desa
No Tahun Kegiatan Pembangunan
Keterangan
1 1974 Kantor Desa Swadaya
2 2001 MCK PPK
3 2001 Gedung TK PPK
4 2002 Posyandu PPK
5 2006 Jalan Lingkungan PIP
6 2008 Gedung VCO Dinas Perkebunan
Provinsi Sultra
7 2009 Jalan Lingkungan PPK
8 2013 Beton Penghambat Ombak Laut PPK
9 2017 Jalan Lingkungan Dana Desa
10 2017 Pagar Seragam Desa Alokasi Dana Desa
11 2018 Jalan Lingkungan Dana Desa
12 2019 Pagar Seragam Desa Alokasi Dana Desa
13 2019 Gedung Sanggar Seni Dana Desa
Sumber : Data PKD Desa Balobone Januari 2020
41
B. Letak Geografi
Kabupaten Buton Tengah sebagai daerah otonomi baru pemekaran
dari Kabupaten Buton yang terbentuk berdasarkan undang-undang nomor 15
tahun 2014 terletak di jazirah tenggara pulau Sulawesi yang sebagian
wilayahnya berada di pulau muna sebagian lainya kepulauan talaga dan bila
ditinjau dari peta provinsi sulawesi tenggara. Secara geografis terletak dibagian
selatan garis khatulistiwa, memanjang dari utara keselatan diantara 5,15º lintang
selatan dan membentang dari barat dari barat ke timur diantara 122,33º Bujur
Timur.
Kabupaten buton tengah di sebelah utara berbatasan dengan
kabupaten muna, di sebelah selatan berbatasan dengan laut flores, di sebelah
timur berbatasan dengan selat buton dan sebelah barat berbatasan dengan teluk
bone. Kabupaten buton memiliki wilayah daratan seluas ±837,08 km²,
kabupaten buton terdiri dari 7 kecamatan, yaitu:
1. Kecamatan Lakudo;
2. Kecamatan Mawasangka Timur;
3. Kecamatan Mawasangka Tengah;
4. Kecamatan Mawasangka;
5. Kecamatan Talaga Raya;
6. Kecamatan Gu;
7. Kecamatan Sangia Mambulu;
Kecamatan yang paling luas wilayahnya adalah kecamatan
mawasangka dengan luas 229,02 km², Lakudo 204,3 km² serta mawasangka
tengah dengan luas 121,99 km² atau masing-masing sebesar 27,36%, 24,41%
42
serta 14,57% terhadap total luas wilayah kabupaten buton tengah. Sedangkan
wilayah yang paling kecil adalah kecamatan Sangia Mambulu dengan luas
wilayah 5,91 km² atau 0,71% dari total luas wilayah kabupaten buton tengah.
Tabel 3.
Luas Kecamatan Dan Ibu Kota
Kecamatan Ibu Kota Luas (km²)
Talaga Raya Talaga Satu 89,36
Mawasangka Mawasangka 229, 02
Mawasangka Lanto 121,99
Mawasangka Tengah Lasori 93,35
Mawasangka Timur Lakudo 204,30
Lakudo Watulea 93,15
Gu Tolandona 5,91
Desa Balobone terletak kurang lebih 50 KM dari Ibu kota Kabupaten
Buton Tengah atau kurang lebih 1 KM dari Ibu Kota Kecamatan Mawasangka
Desa Balobone sebagian besar dihuni suku Wambuloli, Lagili, Langkomu,
Mawasangka dll yang telah lama tinggal dan menetap. Batas-batas Desa
Balobone yakni:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan : Kelurahan Watolo
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan : Desa Napa
3. Sebelah Barat berbatasan dengan : Laut Muna
4. Sebelah Timur berbatasan dengan : Desa Wasilomata II
Sedangkan luas wilayah Desa 7,2 Km² mencapai ± 7200 Ha yang terdiri dari :
1. Lahan Pemukiman : 20 Ha
2. Lahan perkebunan/Pertanian : 7852 Ha
43
3. Kawasan Perkantoran Desa : 1 Ha
4. Lahan Peternakan : 120 Ha
5. Lahan Pekarangan : 1 Ha
Masyarakat mawasangka desa balo bone sebagian besar mata
pencarian penduduknya bergerak di bidang pertanian pertenakan dan kelautan
baik nelayan tangkap maupun sebagai pembudidaya rumput laut dan sebaliknya
adalah pertukangan, pedagang, pegawai negeri sipil dan lain sebagainya.
Iklim masyarakat mawasangka desa balobone adalah sebagaimana
iklim desa-desa lain di wilayah Indonesia memiliki iklim kemarau dan iklim
penghujan, biasanya dimulai pada bulan November sampai dengan bulan April
tahun berikutnya, sedangkan iklim penghujan dimulai dari dari bulan mei
sampai dengan bulan oktober. Iklim tersebut secara langsung mempengaruhi
pola tanam serta mata pencaharian masyarakat.
C. Keadaan penduduk
Jumlah penduduk bertambah setiap tahun, tidak diimbangi dengan
pemerataan penyebaran penduduk. Terlihat bahwa dari 88.378 jiwa penduduk.
Kabupaten Buton Tengah, sebanyak 22.660 jiwa atau 8,66 persen berada di
kecamatan mawasangka, dengan demikian kecamatan Mawasangka merupakan
kecamatan yang paling banyak penduduknya dibandingkan dengan kecamatan
lain. Kecamatan yang juga memiliki penduduk paling besar adalah kecamatan
lakudo sebesar 20.718 jiwa atau 7,92 persen, sedangkan kecamatan terkecil
penduduknya adalah kecamatan sangia mambulu sebanyak 5.140 jiwa atau
hanya 1,96 persen dari total penduduk kabupaten Buton Tengah.
44
Tabel. 4
Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Per Tahun
2010-2019
No
Kecamatan
Jumlah penduduk Laju pertumbuhan
penduduk per tahun
(2010/2019)
1 Talaga raya 9,02 9,07
2 Mawasangka 22,05 22,13
3 Mawasangka tengah 9,15 9,17
4 Mawasangka timur 4,84 4,86
5 Lakudo 20,21 20,28
6 Gu 15,84 15,88
7 Sangia wambulu 5,00 5,02
8 Buton tengah 86,11 86,41
Tabel. 5
Jumlah penduduk dan rasio jenis kelamin menurut Kecamatan di
Kabupaten Buton Tengah, 2019/2020
No Kecamatan Laki-laki Perempuan
1 Talaga raya 600 836 6 619
2 Mawasangka 14 740 14 822
3 Mawasangka tengah 6 580 6 497
4 Mawasangka timur 3 229 3 367
5 Lakudo 13 608 13 481
6 Gu 11 089 10 820
7 Sangia wambulu 3 166 3 212
8 Buton tengah 59 248 58 818
45
D. Keadaan Sosial
Perspektif Budaya Masyarakat mawasangka di Desa Balobone
masih sangat kental dengan budaya lokal.Dari latar belakang budaya, dapat
dilihat aspek budaya dan sosial yang berpengaruh dalam kehidupan
masyarakat.Hubungannya dengan agama yang dianut misalnya, Islam sebagai
agama mayoritas dianut masyarakat, dalam menjalankan ibadah nya masih
kental dengan tradisi adat dan budaya yang terkadang diselingi dalam bahasa
Lokal. Tradisi budaya Di Desa ini sendiri berkembang dan banyak dipengaruhi
ritual-ritual agama atau kepercayaan masyarakat. Contoh yang bisa kita lihat
adalah kasou, kaombo, poganda.
System kepercayaan masyarakat mawasangka desa balo bone yaitu
semua penduduknya beragama islam, namun masih ada masyarakat yang
mempercayai roh nenek moyang, animisme, dinamisme, kekuatan ghaib, akan
tetapi mereka tetap menjalankan syariat islam.
E. Keadaan Pendidikan
Target pembangunan pembelajaran dititik beratkan pada kenaikan
kualitas serta ekspansi peluang belajar di seluruh jenjang pembelajaran, diawali
dari aktivitas pra sekolah( halaman anak- anak) hingga dengan akademi besar.
Upaya kenaikan kualitas pembelajaran yang mau dicapai tersebut dimaksudkan
buat menciptakan manusia bermutu. Sebaliknya ekspansi peluang belajar
dimaksudkan supaya penduduk umur sekolah yang tiap tahun hadapi kenaikan
sejalan dengan laju perkembangan penduduk bisa mendapatkan peluang belajar
yang seluas- luasnya.
46
Pelaksana pembangunan pembelajaran di kabupaten buton hadapi
kenaikan dari tahun ketahun. Penanda yang bisa mengukur tingkatan
pertumbuhan pembelajaran di kabupaten buton semacam banyaknya sekolah
serta guru, pertumbuhan bermacam rasio serta sebagainya.
1. Tidak/ belum sempat sekolah merupakan mereka yang tidak sempat ataupun
belum sempat terdaftar serta tidak sempat ataupun belum sempat aktif
menjajaki pembelajaran suatu jenjang pembelajaran resmi, nonformal
(paket/ A/ B/ C) tercantum pula yang tamat/ belum tamat halaman anak-
anak namun tidak melanjutkan sekolah dasar.
2. Masih bersekolah merupakan mereka yang terdaftar serta aktif menjajaki
pembelajaran di sesuatu jenjang pembelajaran resmi maupun nonformal
(paket A/ B/ C) yang terletak dibawah pengawasan kemendiknas,
departemen agama (kemenag) lembaga negara lain ataupun swasta, baik
pembelajaran dasar, menengah ataupun pembelajaran besar. Untuk
mahasiswa yang lagi cuti dikira masih bersekolah.
3. Tidak bersekolah lagi adalah mereka yang pernah terdaftar dan aktif
mengikuti pendidikan di suatu jenjang pendidikan formal maupun
nonformal, tetapi pada saat pencacahan tidak lagi terdaftar dan tidak aktif
mengikuti pendidikan.
4. Tamat sekolah adalah menyelesaikan pelajaran yang ditandai dengan lulus.
Tingkat akhir di suatu jenjang pendidikan formal maupun ujian akhir pada
kelas atau nonformal (paket A/B/C) di sekolah negeri maupun swasta
dengan mendapatkan tanda tamat belajar/ijazah. Seseorang yang belum
47
mengikuti peljaran pada kelas tertinggi tetapi telah mengikuti ujian dan
lulus dianggap tamat sekolah.
5. Bisa membaca serta menulis maksudnya sanggup membaca serta menulis
perkata/ kalimat simpel dengan sesuatu aksarat tertentu.
6. Sekolah merupakan lembaga pembelajaran resmi yang diawali dari
pembelajaran dasar, menengah, serta besar. Pembelajaran yang dicatat
merupakan pembelajaran resmi berdasar kurikulum departemen
pembelajaran nasional, tercantum pembelajaran yang diselenggarakan oleh
pondok pesantren dengan mengenakan kurikulum departemen
pembelajaran nasional, semacam madrasah ibtidaiyah( MI), madrasah
tsanawiyah( MTs), serta madrasah Aliyah( MA). Pondok pesantren/
madrasah diniyah merupakan sekolah yang tidak mengenakan kurikulum
dari kementrian pembelajaran nasional.
7. Madrasah ibtidayiah merupakan lembaga pembelajaran berciri khas islam
pada jenjang sekolah dasar. Madrasah sanawiah merupakan lembaga
pembelajaran berciri khas islam pada jenjang sekolah menengah awal,
madrasah ahliyah merupakan lembaga pembelajaran berciri khas islam pada
jenjang sekolah menengah atas( SMA).
Tabel. 6
Jumlah sekolah, guru, dan murid dan Taman Kanak-kanak (TK) dibawah
kementrian pendidikan dan kebudayaan yang menurut Kecamatan di
Kabupaten Buton Tengah, (2019/2020)
Kecamatan Negeri Swasta Jumlah
Talaga Raya - 12 12
Mawasangka 6 63 69
Mawasangka Tengah - 36 36
48
Mawasangka Timur - 20 20
Lakudo - 31 31
Gu - 47 47
Sangia Wambulu - 18 18
Buton Tengah 6 227 233
Tabel. 7
Jumlah sekolah, guru, dan murid sekolah Dasar (SD) dibawah kementrian
pendidikan dan kebudayaan kecamatan di Kabupaten Buton Tengah, (2019)
Kecamatan Negeri Swasta Jumlah
Talaga Raya 9 - 9
Mawasangka 22 3 25
Mawasangka Tengah 9 1 10
Mawasangka Timur 8 - 8
Lakudo 20 - 20
Gu 16 - 16
Sangia Wambulu 7 - 7
Buton Tengah 91 4 95
Tabel. 8
Jumlah sekolah, guru, dan murid sekolah Dasar (SD) dibawah kementrian
pendidikan dan kebudayaan kecamatan di Kabupaten Buton Tengah, (2020)
Kecamatan Negeri Swasta Jumlah
Talaga Raya 86 - 86
Mawasangka 262 13 275
Mawasangka Tengah 90 8 98
Mawasangka Timur 86 - 68
Lakudo 200 - 200
Gu 181 - 181
Sangia Wambulu 70 - 70
Buton Tengah 957 21 978
49
Tabel.9
Jumlah sekolah, guru, dan murid sekolah menengah pertama (SMP) dibawah
kementrian pendidikan dan kebudayaan menurut Kecamatan di Kabupaten Buton
Tengah, (2019)
Kecamatan Negeri Swasta Jumlah
Talaga Raya 4 1 5
Mawasangka 9 3 12
Mawasangka Tengah 4 1 5
Mawasangka Timur 4 - 4
Lakudo 7 - 7
Gu 4 - 4
Sangia Mambulu 2 - 2
Buton Tengah 34 5 39
Tabel. 10
Jumlah sekolah, guru, dan murid sekolah menengah pertama (SMP) dibawah
kementrian pendidikan dan kebudayaan menurut Kecamatan di Kabupaten Buton
Tengah, (2020)
Kecamatan Negeri Swasta Jumlah
Talaga Raya 61 2 63
Mawasangka 159 23 182
Mawasangka Tengah 50 12 62
Mawasangka Timur 44 - 44
Lakudo 124 - 124
Gu 66 - 66
Sangia Wambulu 27 - 27
Buton Tengah 531 37 568
50
Tabel. 11
Jumlah sekolah, dan murid sekolah menengah atas di bawah kementerian
pendidikan dan kebudayaan menurut Kecamatan di Kabupaten Buton Tengah,
(2019)
Kecamatan Negeri Swasta Jumlah
Talaga Raya 2 - 2
Mawasangka 3 - 3
Mawasangka Tengah 2 - 2
Mawasangka Timur 2 - 2
Lakudo 4 - 4
Gu 3 - 3
Sangia Wambulu 1 1 2
Buton Tengah 17 1 18
Tabel. 12
Jumlah sekolah , dan murid sekolah menengah atas di bawah kementerian
pendidikan dan kebudayaan menurut Kecamatan di Kabupaten Buton Tengah,
(2020)
Kecamatan Negeri Swasta Jumlah
Talaga Raya 8 - 8
Mawasangka 6 - 6
Mawasangka Tengah 402 - 402
Mawasangka Timur 27 - 27
Lakudo 76 - 76
Gu 83 - 83
Sangia Wambulu 9 15 24
Buton Tengah 339 15 354
Pendidikan masyarakat mawasangka desa BaloBone mempunyai
tingkatan seperti sekolah dasar (SD) Sekolah menengah pertama (SMP) sekolah
menengah atas (SMA) diploma hingga strata satu (S1), dari pencapaian tingkat
pendidikan desa balo bone banyak masyarakat menamatkan pendidikan sekolah
51
dasar, sekolah menengah pertama, dan hanya sedikit dan hanya sedikit yang
melanjutkan pendidikan sekolah menengah atas, apalagi melanjutkan ke
perguruan tinggi. Jadi, masyarakat mawasangka desa BaloBone tingkat
pendidikanya masih rendah.
51
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Pergeseran Bahasa Daerah Muna Pada Masyarakat Mawasangka
Kabupaten Buton Tengah
a. Penggunaan Bahasa Daerah Masyarakat Mawasangka Kabupaten
Buton Tengah
Kecamatan mawasangka memiliki beberapa desa salah satunya
yaitu desa Balobone, yang memiliki berbagai dialek yang berbeda-beda
setiap desa yang ada di Kecamatan Mawasangka, sehingga dalam
berkomunikasi atau berbicara dari desa satu dengan desa yang lain
melibatkan individu yang belum saling kenal mengenal, maka mereka bisa
saling mengidentifikasi satu sama lain melalui dialek yang diungkapkan
masing-masing individu. Sehingga masyarakat mawasangka desa Balobone
mempunyai identitas keunikan khas tersendiri masing-masing desa.
Bahasa daerah mawasangka adalah alat yang digunakan untuk
berkomunikasi sehari-hari oleh masyarakat desa, bahasa daerah
mawasangka merupakan dialek dari Bahasa muna, namun yang
membedakannya hanya diakses dan beberapa unsur kota kata, ketika
masyarakat mawasangka berkomunikasi dengan masyarakat muna mereka
saling memahami maksud dari ungkapan komunikasi dengan hal itu bisa
disebut masyarakat Bahasa. Bahasa mawasangka merupakan keidentitasan,
simbol, kekayaan budaya daerah, namun Bahasa daerah Mawasangka Desa
53
Balobone kian hari tertekan dengan Bahasa Indonesia dikarenakan
tingginya mobilitas penuturnya, hal ini seperti yang dinyatakan oleh seorang
nenek (63 tahun) sebagai berikut:
“ane awoha ana’1 loituini minamo damandea
pugauotomuinia hampano minamo sia’e dae pakeapugau
liwua, ane do bisaha sese oleowa tasa bisahamo pugau
malau, atududa daku mala daumalakanau Sonia landoa siga
minamo damande anea ni pugau kuinia, danomo pugau
ntomuinia nati oho ane ana’1 umendeno mbuhumai paemo
damande anea tamo pugau malau” (SU 63 Tahun tanggal 14-
09-2020).
Artinya : saya melihat anak-anak sekarang sudah tidak bisa menggunakan
Bahasa kita sendiri karena jarang menggunakan Bahasa kampung, kalau
mereka berbicara selalu menggunakan Bahasa Indonesia dan saya suruh
mereka mengambil sesuatu sudah tidak mengerti apa yang saya katakana.
Jadi bahasa daerah kita ini akan punah, generasi sekarang dan yang akan
datang bahasa kampung sudah tidak pintar lagi”.
Hasil wawancara diatas menunjukan bahwa dia melihat anak-anak
sekarang mereka tidak bisa berbahasa daerah karena yang berkomunikasi
menggunakan bahasa di kampung. Ketika berada di lingkungan keluarga,
masyarakat, maupun pendidikan, alat komunikasi yang mereka gunakan
bahasa Indonesia, sehingga pada saat berkomunikasi bersama mereka untuk
mengerjakan sesuatu mereka bingung atau tidak paham apa yang saya
ucapkan. Untuk membaca realitas yang ada Bahasa daerah, Bahasa yang
sudah mendarah daging di tubuh kami kian hari akan tergeser menuju pada
kepunahan, dan generasi selanjutnya tidak akan mengenal lagi identitas
budaya. Dalam konteks kajian ilmu sosiologi hasil wawancara diatas dapat
kita lihat dari pandangan teori. Teori evolusi dipahami oleh pemikiran
54
Darwin yang kemudian dijadikan patokan teori perubahan oleh Herbert
spencer, dan selanjutnya dikembangkan oleh Emile Durkheim dan
Ferdinand tonnies. Dalam konteks teoritis yang dikemukakan oleh para ahli
ini dinyatakan bahwa evolusi mempengaruhi cara pengorganisasian
masyarakat, utamanya adalah yang berhubungan dengan pemikiran ini
tonnies memandang bahwa masyarakat berubah dari tingkat peradaban
sederhana dari tingkat peradaban yang lebih kompleks. Transformasi
antarfase ini dilihat dari tingkat hubungan sosial dimana dalam struktur
masyarakat tradisional lebih banyak diwarnai oleh pola-pola sosial komunal
ke arah pola-pola yang lebih kompleks para ahli sejarah, filsafat, ekonomi,
dan para sosiologi telah mencoba untuk merumuskan prinsip hukum-hukum
tentang perubahan sosial. Banyak yang berpendapat bahwa kecenderungan
terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan gejala wajar yang timbul
dari pergaulan hidup manusia.ada yang berpendapat bahwa perubahan-
perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang
mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti perubahan dalam
unsur-unsur geografis, biologis, ekonomis, atau kebudayaan. Kemudian ada
pula yang berpendapat bahwa perubahan-perubahan social ada yang bersifat
periodic dan nonperiodik.
Intinya, berbagai pendapat tersebut pada umumnya merupakan
menyatakan bahwa perubahan tersebut merupakan lingkaran dari kejadian-
kejadian. Pitirim A Sorokin berpendapat, bahwa ada suatu kecenderungan
yang tertentu dan tetap dalam perubahan-perubahan sosial tidak akan
berhasil baik. Ia meragukan kebenaran akan adanya lingkaran perubahan-
55
perubahan sosial. Akan tetapi, dia juga berpendapat bahwa perubahan-
perubahan tetap ada yang terpenting adalah lingkaran terjadinya gejala-
gejala sosial harus dipelajari, karena dengan jalan ini dapat diperoleh
generalisasi tentang persoalan tersebut.
Hal ini seperti dinyatakan oleh bidan (23 tahun) sebagai berikut:
“saya tetap berkomunikasi sesama keluarga selalu
menggunakan Bahasa Indonesia, bahkan di lingkungan
masyarakat, tetangga, teman-teman juga menggunakan
Bahasa Indonesia. Walaupun menggunakan Bahasa daerah
Cuma sekedar ikut-ikutan, bahkan untuk sekarang ini saya
juga lebih senang belajar Bahasa inggris, karena Bahasa
inggris juga Bahasa lebih sangat mengglobal ke seluruh
pelosok dan syarat paling wajib dalam melamar pekerjaan
maupun lanjut pendidikan yang lebih tinggi lagi”
(Wawancara/ SE/ 23 tahun tanggal 14-09-2020).
Hasil wawancara diatas menyatakan bahwa pada setiap
berkomunikasi selalu menggunakan Bahasa Indonesia terutama di
lingkungan keluarga. Ini sudah menjadi kebiasaan dalam menuturkan
Bahasa Indonesia karna jarang pembelajaran, bahkan dalam masyarakat,
tetangga, teman-teman, lebih tinggi penuturnya disebabkan beragamnya
karakter dan banyaknya perbedaan, untuk menuturkan Bahasa daerah
hanya sebagai sarana mengikuti orang lain untuk berbahasa dikarenakan
ketidakseriusan, dan saat ini lebih senang mempelajari alat komunikasi
dari luar karena mempunyai banyak manfaat dan peluang besar dalam
mencapai tujuan. Seperti dalam mempelajari Bahasa inggris untuk
mendapatkan pekerjaan atau melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi
harus menguasainya dan dianggap sakral, hal ini bisa kita minat untuk
mempertahankan Bahasa daerah masing-masing terkategori rendah.
56
Dalam konteks kajian ilmu sosiologi hasil wawancara diatas dapat
kita lihat dan pandangan para ahli. Selo soemardjan melihat segala
perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu
masyarakat, yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya
nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola kelakuan diantara kelompok dalam
masyarakat, karena itu adanya kesadaran diri dari setiap individu atau
kelompok orang akan kekurangan kebudayaan. Kesadaran akan
kekurangan kebudayaan yang ada pada kelompok masyarakat ditandai
dengan adanya sikap yang memandang kebudayaan kelompok lain lebih
baik kebudayaan yang ada pada kelompoknya. Suatu kenyataan yang
tidak bisa dipungkiri yaitu adanya gejala masyarakat Indonesia sebagian
selalu berorientasi pada kebudayaan luar yang lebih anggap unggul.
Kenyataan inilah yang mendorong sebagian anggota masyarakat untuk
melakukan perubahan-perubahan yang memacu dirinya untuk tidak
ketinggalan dengan peradaban masyarakat lain. Hal ini juga dikatakan
oleh WM (60 Tahun) sebagai berikut:
“ana’1 loituini pata kapande ando pugau liwu hampano
dohatano damanino sikola jadi andoa dobisaha sedia malau
do fetingke giyagi nae guhundo sikola, sabangka indo nae
sikola, nopo Alamo damani mani insodia se’1
nawo.(Wawancara/WM/60 Tahun tanggal 15-09-2020).
Artinya: anak-anak sudah kaku menggunakan Bahasa daerah karena
saat ini sudah jaman nya sekolah jadi ketika berbicara selalu
menggunakan Bahasa Indonesia dan mendengarkan gurunya, teman
sekolah, berbicara bahkan hari ini sangat berbeda dengan jaman nya kami
dulu”. (WM 60 Tahun)
57
Berdasarkan wawancara diatas bahkan dalam persektif fenomena
sekarang mayoritas anak-anak sudah kaku mengucapakan Bahasa daerah.
Unsur kosa kata tidak sesuai lagi dengan sesunggunya dalam menuturkan,
dan zamanya perkembangan pendidikan begitu pesat dalam masyarakat
yang menghadirkan pengetahuan baru, dalam lingkungan pendidikan alat
komunikasi menggunakan Bahasa nasional membuat anak-anak begituh
jaun perbedaan pengetahuan diperoleh dibandingkan penegetahun yang
didapatkan saat ini, karena keterbatasan sarana pendidikan untuk
mengembangkan diri.
Dalam konteks ilmu kajian sosiologi hasil wawancara diatas dapat
kita lihat dari pandangan teori. Teori siklus menggambarkan bahwa
perubahan sosial budaya bagaikan roda yang sedang berputar, yang
artinya perputaran zaman merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dialek
oleh siapa pun dan tidak dikendalikan oleh siapapun. Bangkit dan
mundurnya sebuah peradaban merupakan dari sebuah sifat alam yang
tidak dikendalikan oleh manusia. Selain itu, perubahan sosial tidak
selamanya membawa akibat yang baik. Penganut-penganut teori ini
diantaranya Arnold Toynbee yang diperkuat oleh teori ibnu khaldun
dalam karyanya yang berjudul mukadimah. Kebangkitan dan kemunduran
peradaban suatu bangsa memiliki hubungan korelasional antara satu dan
lainya, yaitu tantangan dan tanggapan. Dalam hal ini jika kehidupan
masyarakat mampu merespon tantangan- tantangan kehidupan dan
menyesuaikan diri atau mengendalikan tantangan ini maka masyarakat
tersebut akan mengalami perkembangan dan kemajuan, tetapi sebaliknya
58
jika masyarakat ini tidak memiliki kemampuan merespon maka
masyarakat ini akan mengalami kemunduran bahkan mengalami
kehancuran. Akan tetapi, jika tantangan ini sudah berhasil maka
kebangkitan masyarakat untuk menuju kemajuan akan timbul lagi. Dalam
teori ini dinyatakan bahwa setiap masyarakat akan senantiasa berkembang
melalui empat tahapan yaitu masa kanak-kanak remaja, dewasa dan masa
tua. Hal ini juga ditegaskan oleh saudara SU aparat desa (27 tahun) dalam
wawancara sebagai berikut:
“Ketika saya melihat sekarang ini mayoritas berbicara
menggunakan Bahasa Indonesia, jarang sekali berbahasa
daerah bahkan remaja, anak-anak kaku dalam berbahasa
daerah meskipun mereka sedikit mengerti kalimat-kalimat
diucapkan oleh anggota masyarakat setempat”.
(Wawancara/SU 27 tahun tanggal 15-09-2020)
Dari penuturan diatas membaca realitas bahwa Bahasa daerah
kurang digunakan sebagai komunikasi baik dikalangan dewasa, remaja,
terlebih anak-anak hamper aktifitas keseharian berkomunikasi bersama
teman-temanya memakai Bahasa Indonesia saat mengucapkan Bahasa
daerah kosakata tidak beraturan atau kaku dalam penyebutan, apabila
mereka mendengarkan berbicara menggunakan bahasa daerah masih
dipahami maksud dari percakapan tersebut dari anggota masyarakat.
Dalam konteks kajian ilmu sosiologi hasil wawancara diatas dapat
kita lihat dari pandangan teori perubahan sosial. Dahrendorf
mengemukakan teorinya bahwa sebagaimana stabilitas struktur sosial,
perubahan-perubahan dalam struktur kelas sosial akan berdampak pada
dua perintah, yaitu normatif ideologis (nilai) dan factual institusional,
59
kepentingan dapat menjadi nilai-nilai tetapi menjadi realitas.Hal ini sama
dikatakan oleh seorang aparat desa bapak UM (29 tahun) sebagai berikut:
“ melalui pengamatan yang saya lakukan Bahasa daerah
mawasangka sangat tergeser dan kurang digunakan
dikalangan remaja dan anak-anak, sehingga ketika
berkomunikasi dengan orang tua yang lanjut usia mereka
kurang mengerti, dan saat membandingkan dengan desa
tetangga mereka masih berkomunikasi menggunakan
Bahasa daerah baik dari kalangan anak-anak hingga orang
dewasa “. (Wawancara/UM/29 tahun tanggal 16-09-2020).
Hasil wawancara diatas mengatakan bahwa melalui pengamatan
saya lakukan, Bahasa daerah mawasangka mulai tergeser karena Bahasa
keseharian yang dipakai mayoritas Bahasa Indonesia terutama berusia
remaja. Anak-anak fasih dalam percakapan bersama orang lain dengan
menggunakan Bahasa Indonesia, sehingga melakukan percakapan bersama
orang tua banyak unsur kata-kata tidak dimengerti, dan membandingkan
dengan desa yang lain alat komunikasi digunakan sehari-hari masih Bahasa
daerah baik berusia remaja dan anak-anak.
Dalam konteks kajian ilmu sosiologi hasil wawancara diatas dapat
kita lihat dari pandangan para ahli Selo soemardjan melihat segala
perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu
masyarakat, yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya
nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola peri kelakuan diantara kelompok-
kelompok dalam masyarakat,karena itu adanya kesadaran diri dari setiap
individu atau kelompok orang akan kekurangan kebudayaan. Kesadaran
akan kekurangan kebudayaan yang ada pada kelompok masyarakat ditandai
dengan adanya sikap yang memandang kebudayaan kelompok lain lebih
60
baik dari kebudayaan yang ada pada kelompoknya. Suatu kenyataan yang
tidak dapat dipungkiri yaitu adanya gejala masyarakat Indonesia yang
sebagian selalu berorientasi pada kebudayaan luar yang dianggap lebih
unggul. Kenyataan inilah yang mendorong sebagian anggota masyarakat
untuk melakukan perubahan-perubahan yang pacu dirinya untuk tidak
ketinggalan dengan peradaban masyarakat lain. Hal ini juga dikatakan oleh
saudara AS (22 Tahun) sebagai berikut:
Sejak kecil hingga sekarang ketika berkomunikasi selalu
menggunakan Bahasa Indonesia karena di lingkungan
pergaulan teman-teman juga berbahasa Indonesia sehingga
menerjemahkan kata atau kalimat tidak pahami lagi
(Wawancara/AS/ 16-09-2020).
Berdasarkan hasil wawancara diatas menunjukan bahwa pada saat
usia anak-anak dia telah biasa berkomunikasi menggunakan Bahasa
Indonesia sebagai Bahasa pengantar pertama dalam hidupnya hingga
berusia dewasa sekarang sulit mengucapkan Bahasa daerah karena
kebiasaan sejak kecil, apabila ada anggota masyarakat melakukan
percakapan fasih dalam berbahasa daerah sangat sulit untuk
menerjemahkan kata atau kalimat maksud dalam percakapan. Dalam
konteks kajian ilmu sosiologi hasil wawancara atas dapat kita lihat dari
pandangan para ahli Gillin sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang
telah diterima, yang disebabkan baik karena perubahan kondisi geografis,
kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun adanya difusi
penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tersebut. Seperti yang
diungkapkan siswa SMA AD (17 tahun) sebagai berikut:
61
“Di lingkungan sekolah Bahasa sehari-hari kami gunakan
Bahasa Indonesia jika bertemu dengan teman yang dari
desa tetangga saya mencoba berbahasa daerah
mawasangka, setelah berada di lingkungan keluarga saya
berbahasa Indonesia lagi” (Wawancara/AD/ siswa SMA 17
tahun, tanggal 17-09-2020).
Hasil wawancara diatas bahwa setiap aktivitas sehari-hari disekolah
komunikasi yang digunakan yaitu Bahasa Indonesia, karena itu hal yang
diharuskan dalam percakapan. Hal ini juga siswa SMA AD ketika
berkerumunan dengan teman-teman di lingkungan sekolah khususnya yang
dari desa tetangga menggunakan komunikasi dengan menggunakan Bahasa
daerah. Dia mencoba mengikuti berbahasa daerah meskipun penuturnya
kurang fasih dalam mendiskusikan sesuatu, setelah berada dalam
lingkungan keluarga alat komunikasi yang digunakan bahasa Indonesia
meskipun orang tuanya melakukan percakapan dengan menggunakan
Bahasa daerah dia membalas percakapan dengan Bahasa Indonesia.
Dalam konteks ilmu kajian sosiologi hasil wawancara diatas dapat
kita lihat dari pandangan teori. Teori siklus menggambarkan bahwa
perubahan sosial budaya bagaikan roda yang sedang berputar, yang artinya
perputaran zaman merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dialek oleh siapa
pun dan tidak dikendalikan oleh siapa pun. Bangkit dan mundurnya sebuah
peradaban merupakan dari sifat alam yang tidak dikendalikan oleh manusia.
Selain itu, perubahan sosial tidak selamanya membawa akibat yang baik.
Penganut-penganut teori ini diantaranya Arnold Toynbee yang diperkuat
oleh teori ibnu khaldun dalam karyanya yang berjudul mukadimah.
Kebangkitan dan kemunduran peradaban suatu bangsa memiliki hubungan
korelasional antara satu dan lainya, yaitu tantangan dan tanggapan. Dalam
62
hal ini jika kehidupan masyarakat mampu merespon tantangan-tantangan
kehidupan dan menyesuaikan diri atau mengendalikan tantangan ini maka
masyarakat tersebut akan mengalami perkembangan dan kemajuan, tetapi
sebaliknya jika masyarakat ini tidak memiliki kemampuan merespon maka
masyarakat maka masyarakat ini akan mengalami kemunduran bahkan
mengalami kehancuran. Akan tetapi, jika tantangan ini sudah berhasil maka
kebangkitan masyarakat untuk menuju kemajuan akan timbul lagi. Dalam
teori ini dinyatakan bahwa setiap masyarakat akan senantiasa berkembang
melalui empat tahapan yaitu masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan masa
tua. Seperti diungkapkan juga bapak LA (50 tahun) sebagai berikut:
“Anak saya dirumah ini berkomunikasi menggunakan
bahasa daerah mawasangka sangat kaku untuk
mengucapkan karena ketidakbiasaan, namun pada saat
berbicara dengan ibunya menggunakan Bahasa daerah
mawasangka dia bisa memahami arti dari pembicaraan”
(Wawancara/LA/50 tahun tanggal 17-09-2020).
Dari hasil wawancara diatas menyatakan menggambarkan situasi
yang terjadi pada anaknya dalam setiap bertutur dengan anggota keluarga
mayoritas menggunakan Bahasa Indonesia kalapun bertutur dengan bahasa
daerah terasa berat lida dalam hal ini kaku saat mengucapkan kata, karena
faktor kebiasaan dalam berbahasa akan tetapi kalau salah satu anggota
keluarga berbahasa daerah dia masih memahami terjemahan. Dalam
konteks ilmu kajian ilmu sosiologi hasil wawancara diatas dapat kita lihat
dari pandangan para ahli William ogburn menyatakan batasan ruang lingkup
perubahan sosial budaya, mencakup unsur-unsur kebudayaan baik yang
bersifat materiil maupun yang tidak bersifat material (immaterial) dengan
menekankan pengaruh yang besar dari unsur-unsur kebudayaan materiil
63
terhadap unsur-unsur material. Hal ini dipertegas oleh salah seorang tokoh
masyarakat BA (45 tahun) sebagai berikut:
“Bahasa daerah mawasangka harus pertahankan dan
membiasakan berbicara kepada anak-anak di lingkungan
keluarga memakai Bahasa daerah mawasangka, dan
pemerintah daerah harus berupaya mempertahankan karena
itu simbol daerah” (Wawancara/BA/45 tahun, tokoh
masyarakat tanggal 17-09-2020).
Berdasarkan wawancara diatas menegaskan bahwa turut prihatin
melihat kondisi Bahasa daerah sekarang yang mulai memudar di lingkungan
masyarakat dan kata demi kata mulai terhapus di memory anggota
masyarakat. Hal ini dia berupaya untuk selalu mempertahankan jati diri,
identitas daerah agar tidak terlepas dari genggaman budaya masyarakat serta
membiasakan penggunaan bahasa pertama kepada anak-anak, remaja,
dalam keluarga sebagai sarana alat komunikasi. Selain itu, pemerintah
setempat senantiasa berupaya mempertahankan Bahasa daerah melalui
program-program kerja, organisasi, lembaga sosial serta mengajak anggota
masyarakat turut berpartisipasi dalam pemertahan Bahasa, karena itu bentuk
pengenalan budaya kepada daerah lain.
Dalam konteks kajian ilmu sosiologi hasil wawancara diatas dapat
kita lihat dari pandangan teori interaksi simbolik blumer mengembangkan
teori tentang makna sosial dari suatu interaksi melalui perantara simbol-
simbol. Pemikiranya memiliki pengaruh yang cukup luas dalam lintasan
penelitian sosiologi. Interaksionisme Simbolik sebagaimana yang
dipopulerkan oleh blumer memiliki tiga premis utama. Pertama, manusia
bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada
64
sesuatu itu. Kedua, makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang
dilakukan dengan orang lain. Ketiga, makna-makna tersebut kemudian
direvisi, diubah, dan disempurnakan melalui proses interaksi. Seperti
dikatakan oleh seorang pedagang WA (55 tahun) sebagai berikut:
“Bahasa daerah itu pusaka dari leluhur nenek kita, tidak bisa
pudar untuk generasi yang akan datang tetap dipertahankan
karena itu adalah kekayaan budaya daerah sebagai identitas,
namun saat ini Bahasa daerah mawasangka mulai mengalami
pemudaran mulai dari anak-anak hingga yang berusia remaja
(Wawancara/WA/55 tahun, tanggal 17-09-2020).
Dari penuturan wawancara diatas yaitu berasumsi Bahasa daerah
pusaka atau warisan dari orang tua terdahulu mereka sangat menghargai dan
menjaganya agar tetap lestari di kalangan keluarga dan masyarakat, hal itu
menekankan selalu membiasakan diri menggunakan Bahasa daerah untuk
tetap terjaga, karena sebagian kekayaan budaya identitas, namun dia melihat
saat ini Bahasa daerah mulai mengalami pergeseran seiring dengan
perkembangan zaman.
Dalam teori interaksionisme simbolik yang juga dikemukakan oleh
blumer mengandung beberapa root image pertama, masyarakat terdiri dari
manusia yang dimana interaksi tersebut sangat memiliki kesesuaian melalui
tindakan bersama, membentuk struktur sosial. Kedua, interaksi terdiri dari
berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia
lain. Interaksi secara simbolis yang terjadi senantiasa mencakup penafsiran
tindakan-tindakan. Ketiga, objek-objek (fisik, sosial, dan abstrak) tidak
mempunyai makna intrinsic. Makna merupakan produk interaksi simbolis.
Keempat, manusia tidak hanya mengenal objek eksternal, melainkan juga
65
mereka dapat melihat dirinya sebagai objek. Kelima, tindakan manusia
adalah tindakan interpretative yang dibuat oleh manusia itu sendiri.
Keenam, tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-
anggota kelompok.
Seorang ibu rumah tangga WO (31 tahun) mengungkapkan bahwa
“kami sebagai ibu rumah tangga yang memberikan
pendidikan pertama kepada anak-anak sebelum menduduki
bangku pendidikan formal, harus mengajarkan Bahasa
daerah lebih baik lagi agar tetap bertahan dan tidak
mengalami kepudaran seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi’ (WO 31 tahun, tanggal 18-09-
2020).
Berdasarkan hasil wawancara di atas seorang ibu rumah tangga
merasakan apa yang terjadi sekarang mengenai pergeseran Bahasa, hal yang
paling utama dia mengajak ibu-ibu rumah tangga yang lain agar
memberikan pendidikan pertama sebelum menduduki pendidikan formal
yaitu membiasakan penggunaan Bahasa daerah dimulai dari lingkungan
keluarga agar tidak mengalami pergeseran seiring dengan perkembangan
ilmu pengetahuan. Hal tersebut senada dengan penuturan salah satu
informan yaitu bapak LS ( 60 tahun) sebagai berikut :
“saya sebagai orang tua selalu memberikan motivasi dan
dorongan kepada anak saya dan cucu setiap berkomunikasi di
lingkungan keluarga dengan berbahasa daerah mawasangka
untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Bahasa agar tidak
mengalami kepunahan”.(LS 60 tahun, tanggal 18-09-2020).”
Dari uraian wawancara di atas dengan bapak LS bahwa dia sangat
peduli terhadap Bahasa dan merasa khawatir, sehingga terus memotivasi
anak-anak, cucu, agar tetap menggunakan Bahasa daerah setiap
berkomunikasi baik di lingkungan keluarga terlebih lagi dalam masyarakat
66
karena besar kemungkinan factor pengaruhnya lebih kuat, dan untuk
memelihara nilai-nilai budaya agar tetap berkesan dalam kehidupan sosial.
Pendapat lain juga dikemukakan oleh salah satu informan yaitu AM
(45 tahun) sebagai berikut:
“Bahasa mawasangka itu sangat penting karena mempunyai
ciri khas dan bermanfaat ketika kita berada didaerah orang
lain untuk membicarakan sesuatu yang bersifat rahasia dapat
menggunakan Bahasa mawasangka agar tidak diketahui oleh
orang lain, namun saat ini Bahasa mawasangka perlahan-
lahan tergeser (AM 45 tahun, tanggal 19-09-2020) .”
Dari pendapat wawancara diatas menyatakan bahwa Bahasa daerah
penting dan bermanfaat sebagai penanda identitas daerah, mempunyai ciri
khas keunikan saat berada di daerah lain kita bisa menggunakan bahasa
daerah untuk menuturkan sesuatu yang bersifat rahasia agar tidak diketahui
oleh orang lain sinilah bahwa Bahasa daerah sangat bermanfaat. Pendapat
lain juga dikemukakan oleh seorang guru 50 tahun sebagai berikut:
“Wajar jika anak-anak sekarang, berbahasa Indonesia karena
perkembangan zaman dan modernisasi ditambah lagi dengan
perkembangan pendidikan sehingga penutur Bahasa nasional
lebih mayoritas dibanding Bahasa daerah (LH 50 tahun,
tanggal 20-09-2020).
Dari penuturan bapak LH maka dapat disimpulkan bahwa hal yang
sangat wajar jika generasi sekarang fasih menggunakan Bahasa Indonesia
karena mereka mengikuti perkembangan massa. Hal ini sesuai yang
dikemukakan oleh seorang mahasiswa yang mengatakan bahwa:
“Bahasa daerah sekarang kita cukup mengetahui saja dan tidak
usah dikembangkan cukup sebagai penanda identitas karena
masih ada yang lebih utama yaitu Bahasa persatuan yang wajib
kita mengetahui apa lagi dalam masa sekarang yang
mengglobal “. (Wawancara/TA/22 tahun, tanggal 21-09-2020)
67
Dari pendapat saudara tamsir mengatakan bahwa saat ini Bahasa
daerah cukup saja sebagai identitas daerah tidak usah mengembangkan
karena kita menghadapi perkembangan massa yang membuat orang selalu
melakukan perubahan, ketika kita tidak mengikuti perubahan maka
dianggap ketertinggalan massa, jadi persaingan budaya dari luar terus
menghantam budaya lokal dengan perlahan-lahan mengalami
keterpinggiran.
Dari kedua penuturan informan LH dan TA diatas, maka dapat
digunakan dengan pendekatan sosiologi menggunakan teori fungsionalis,
teori ini memandang penyebab dari perubahan adalah adanya ketidakpuasan
masyarakat karena kondisi sosial yang berlaku pada masa ini yang
mempengaruhi pribadi mereka. Dalam hal ini kesinambungan antara unsur
sosial satu dan yang lain, namun dalam perubahan ternyata masih ada
sebagian yang mengalami perubahan tetapi sebagian yang lain masih dalam
keadaan tetap (statis), dengan demikian, setiap perubahan tidak selalu
membawa perubahan pada semua unsur sosial, sebab masih ada sebagian
yang tidak ikut berubah. Unsur yang tidak mengikuti perubahan ini
dikatakan mengalami ketertinggalan yang berakibat pada ketimpangan atau
kesenjangan kebudayaan. Ogburn selanjutnya menyatakan, bahwa
perubahan teknologi akan berjalan lebih cepat dibanding dengan perubahan-
perubahan budaya, pemikiran, kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma yang
menjadi alat untuk mengatur kehidupan manusia.
Masyarakat desa Balobone mawasangka kabupaten buton tengah
memiliki banyak unsur kosakata yang menjadi sebuah alat komunikasi
68
masyarakat sebagai penyambung hubungan interaksi sosial dan makhluk
sosial yang hidup saling ketergantungan sesama, akan tetapi unsur kosa kata
tersebut mulai mengalami perubahan dan pergeseran seiring waktu berjalan
mampu mempengaruhi nya. Berikut daftar kata-kata yang mengalami
pergeseran dalam masyarakat mawasangka desa balobone.
Tabel. 13 Kata-kata yang mengalami pergeseran
No Bahasa Asli Bahasa Pergeseran Bahasa Indonesia
1 Kalampini Sandali Sendal
2 Kapangkoha Gusi Guci
3 Kai’i Jeregeni Jergen
4 Pante Loya Loyang
5 Tonde Galasi Gelas
6 Sohonga Peti Peti
7 Kulusi Kupasi Kupas
8 Kalumpi Dompe Dompet
9 Kakao Tali Tali
10 Bungke Tasi Tas
11 Lada-lada Kahondomi Dinding
12 Panggulo Bani Ban
13 Kalampesi Pea Tikar
14 Kantalea Lampu Lampu
15 Kapunto Kosu ae’e Koa kaki
16 Bosu Sehe Cerek
69
17 Kapsuli Lap Lap
18 Kabia-bia Sapu tangan Sapu tangan
19 Sodi Barani Berani
20 Lawa Foninto Pintu
Berdasarkan tabel diatas, maka dapat dideskripsikan sebagai berikut
:
Pada data 1 bahasa asli masyarakat desa balobone tidak digunakan
dalam berkomunikasi dan mengalami penyerapan pada Bahasa Indonesia.
Sedangkan pada adata 2 juga menunjukan kata kapangkoha kata asli dari
masyarakat mawasangka balobone juga menghasilkan penyerapan dari
Bahasa Indonesia. Data 3 kata kai’I dari Bahasa asli mampu tergeserkan ke
penyerapan dan pergeseran Bahasa Indonesia. Data 4 terjadi pergeseran dan
penyerapan kata dalam berbicara. Data 5 mengalami hal yang serupa seperti
data yang lain yaitu penyerapan dan pergeseran ke Bahasa Indonesia. Data
6 masyarakat Mawasangka desa Balobone tidak mengenal lagi kata asli
sohon gayang terjadi hanya kata peti. Data 7 masyarakat telah melakukan
penyerapan saat berbicara dari kata bergeser kupasi terhadap kata kupas
Bahasa Indonesia. Data 8 kata asli kalumpi tidak digunakan lagi pada
masyarakat yang biasa disebut yaitu dompe hasil penyerapan. Data 9 pada
data 9 ini masyarakat mengganti kata asli kakao dengan Bahasa Indonesia
tali. Data 10 yaitu masyarakat mengganti Bahasa asli menjadi Bahasa
Indonesia dari kata bungke menjadi kata tasi namun ada penambahan huruf
“1”. Data 11 pada data sebelas ini kata asli ’lada-lada masyarakat
mawasangka balobone menghasilkan kata baru kahondomi namun kata ini
70
bukan hasil dari penyerapan Bahasa Indonesia. Data 12 kata panggoloini
kata asli dari masyarakat, namun yang sering disebut sekarang yaitu kata
bani penyerapan dari Bahasa Indonesia dan penambahan huruf ‘I’.
Data 13 kalampesi yaitu Bahasa asli dari masyarakat mawasangka
sudah tidak lagi dituturkan lagi oleh anggota masyarakat dan menghasilkan
Bahasa baru yaitu pe'a.data 14 penuturan kata kantalea dalam masyarakat
tidak dikenal lagi mayoritas anggota menyerap Bahasa Indonesia yaitu kata
lampu. Data 15 pada data ini masyarakat telah memadukan penyebutan
Bahasa daerah dengan Bahasa Indonesia sebagaimana ‘kos’ dari Bahasa
Indonesia dan penambahan huruf ‘u’ dan a’e Bahasa asli. Data 16 kata asli
bosu mengalami pergeseran dalam masyarakat menjadi Bahasa sehe tetapi
bukan dari penyerapan Bahasa Indonesia. Data 17 kata kapusuli dalam
anggota masyarakat telah diganti dengan kata lap hasil dari penyerapan.
Data 18 ka bia-bia yaitu kata asli masyarakat yang mengalami pergantian
Bahasa menjadi sapu tangan hasil penyerapan Bahasa Indonesia. Data 19
pada data ini kata sodi adalah Bahasa asli dari anggota masyarakat seiring
pergantian waktu mengalami pergeseran dan penyerapan pada Bahasa
Indonesia menjadi kata ‘barani’. Dan data 20 mengalami akulturasi Bahasa
pada anggota masyarakat yaitu dari kata lawa menghasilkan Bahasa baru
menjadi foninto.
2. Faktor-faktor Pergeseran Bahasa Daerah Muna Pada Masyarakat
Mawasangka Kabupaten Buton Tengah
Pergeseran bahasa daerah khususnya bahasa daerah Muna
dikarenakan masalah pemakaian Bahasa Indonesia oleh seorang penutur
71
atau sekelompok penutur yang disebabkan oleh perpindahan dari satu dari
satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur yang baru. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh peneliti, yang menyebabkan terjadinya
pergeseran bahasa masyarakat Mawasangka Kabupaten Buton Tengah ada
dua faktor, yaitu faktor sosial dan faktor migrasi. Perihal tersebut sejalan
dengan yang dikatakan oleh Holmes dalam (Suandi, 2014) yang berkata jika
faktor- faktor pendorong perpindahan bahasa merupakan aspek ekonomi,
sosial, politik, demografis, sikap, serta migrasi.
a. Aspek Migrasi
Aspek migrasi Bersumber pada hasil riset, aspek migrasi
ataupun perpindahan penduduk ialah salah satu aspek yang
menimbulkan terbentuknya perpindahan bahasa Wilayah Muna Pada
Warga Mawasangka Kabupaten Buton Tengah.. Hal tersebut dapat
dilihat pada data berikut:
“Bahasa mawasangka itu sangat penting karena mempunyai ciri
khas dan bermanfaat ketika kita berada didaerah orang lain
untuk membicarakan sesuatu yang bersifat rahasia dapat
menggunakan Bahasa mawasangka agar tidak diketahui oleh
orang lain, namun saat ini Bahasa mawasangka perlahan-lahan
tergeser (AM 45 tahun, tanggal 19-09-2020)
Dari data tersebut, dilihat bahwa jika leluhur nenek moyang selalu
menjaga tutur bahasa daerah yang mereka gunakan setiap hari dalam
berinteraksi dengan sesama asal daerahnya. Menjaga bahasa daerah perlu
karena itu merupakan bahasa yang melambangkan identitas daerah tersebut.
Komentar dari salah satu warga yang diutarakan seorang AM 45 tahun
cukup jelas terlihat bahwa terbukti factor migrasi merupakan salah satu
yang mempengaruhi pergeseran bahasa.
72
b. Aspek Sosial
Selain aspek migrasi, aspek sosial juga mampu menyebabkan
terjadinya pergeseran bahasa. Seperti pemaparan hasil penelitian,
masyarakat Daerah Muna pada Masyarakat Mawasangka Kabupaten
Buton Tengah memandang sangat perlu untuk mempelajari bahasa. Hal
tersebut dapat dilihat pada data berikut:
“saya sebagai orang tua selalu memberikan motivasi dan
dorongan kepada anak saya dan cucu setiap berkomunikasi di
lingkungan keluarga dengan berbahasa daerah mawasangka
untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Bahasa agar tidak
mengalami kepunahan”.(LS 60 tahun, tanggal 18-09-2020).”.
Dari data di atas, dapat dilihat bahwa jawaban dari seorang LS 60 tahun
menuturkan faktor yang berhubungan dengan faktor sosial yaitu dari
generasi ke generasi berikutnya (orang tua, ke anaknya sampai cucu). Data
tersebut menunjukan faktor sosial juga sangat berpengaruh dalam
pergeseran bahasa. Sosial merupakan salah satu cara berinteraksi antara
manusia satu dengan manusia yang lain.
B. Pembahasan
Ulasan hasil riset dijabarkan cocok dengan permasalahan yang ditetapkan.
Kasus yang diartikan merupakan faktor- faktor yang menimbulkan
terbentuknya perpindahan bahasa serta akibat.
Bersumber pada hasil riset, faktor- faktor yang menimbulkan
terbentuknya perpindahan bahasa warga Mawasangka kabupaten Buton Tengah
terdapat 3. Ketiga aspek tersebut merupakan aspek migrasi, aspek sosial, serta
aspek ekonomi. Perihal tersebut sejalan dengan yang dikatakan oleh Holmes
dalam (Suandi, 2014) yang berkata kalau faktor- faktor pendorong perpindahan
73
bahasa merupakan aspek ekonomi, sosial, politik, demografis, sikap, serta
migrasi.
a. Faktor Migrasi
Dilihat dari hasil penelitian, penyebab terjadinya pergeseran bahasa
pada masyarakat mawasangka di Kabupaten Buton Tengah salah satunya
faktor migrasi yang mana factor migrasi ini merupakan perpindahan
penduduk. Seperti pada contoh di bawah ini:
1) A: Dari mana, Pak?
B: Pulang dari pasar, Koh.
2) A: maimo maaso poo. (Ayo makan mangga)
B: indau mongare. (Nggak mau)
Berdasarkan data di atas, kita dapat melihat bahwasanya bahasa ibu
yang selama ini mereka gunakan tidak lagi berfungsi di daerah/tempat yang
baru, dikarenakan masyarakat Mawasangka Kabupaten Buton Tengah lebih
mendominankan penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa muna ketika
berinteraksi dengan masyarakat sekitar.
Tanpa mereka sadari bahasa ibu yang selama ini dipertahankan
lambat laun mulai tergeser fungsinya oleh bahasa Indonesia. Solusi yang
ditawarkan agar dapat berdampingan dengan masyarakat mawasangka yaitu
mempelajari bahasa masyarakat di lingkungan tersebut tanpa terkecuali.
74
b. Faktor Sosial
faktor sosial juga menjadi salah satu penyebab terjadinya pergeseran
bahasa. Apabila dilihat dari hasil penelitian, masyarakat yang bermukim di
Mawasangka kabupaten Buton Tengah mereka memandang bahwa perlu
untuk mempelajari bahasa kedua yakni bahasa yang hidup dipergunakan
masyarakat di sana.
Untuk meningkatkan status sosial serta memperlancar kegiatan sosial,
masyarakat pendatang lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia dan
bahasa Muna secara berselang-seling ketika berinteraksi dengan masyarakat
setempat, sehingga bahasa ibu mereka sudah tidak terdengar lagi. Apabila
mereka tidak melakukan hal tersebut atau lebih mempertahankan bahasa
asalnya, bukan tidak mungkin masyarakat pendatang ini lambat laun akan
terisolasi dari pergaulan serta kehidupan sosial bermasyarakat di
Mawasangka.
c. Faktor Ekonomi
pada faktor ini masyarakat terkhusus masyarakat Mawasangka
Kabupaten Buton Tengah memandang bahwa di antara kedua faktor yang
telah dipaparkan di atas, yaitu faktor migrasi dan faktor sosial masih ada lagi
yaitu faktor ekonomi yang mana faktor ini melihat bahwa mempelajari
bahasa kedua sangatlah penting untuk meningkatkan taraf ekonomi. Dibawah
ini ada beberapa contoh yang ditemukan dilapangan.
A: Ko, dompet ini berapa?
B: Model yang itu 45 ribu aja. A: Tiga lima aja, Ko.
75
A: Weli au? (Beli apa?)
B: Weli rongko (Beli rokok).
Apabila dilihat dari pemaparan di atas maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa, pada bidang perdagangan lebih memilih untuk menggunakan bahasa
Indonesia ketimbang bahasa Muna dikarenakan mereka menganggap bahasa
tersebut mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi ketimbang dengan
bahasa ibu mereka. Masyarakat tidak memandang bahasa ibu dalam sistem
perdagangan sebab, pembeli tidak tertarik. Tanpa mereka sadari bahasa ibu
telah digeserkan posisinya oleh bahasa lain.
Dampak Pergeseran Bahasa Daerah Muna Masyarakat Mawasangka
Kabupaten Buton Tengah
Hasil penelitian dari pergeseran bahasa daerah Muna pada masyarakat
mawasangka menimbulkan beberapa dampak diantaranya dampak positif
serta dampak negatif. Yang mana dampak positifnya yaitu:
1) Memudahkan masyarakat lokal (mawasangka) berinteraksi dengan
masyarakat pendatang yang berasal dari luar daerah; 2) status sosial didalam
masyarakat meningkat; serta 3) meningkatnya pendapatan yang dapat
digunakan sebagai sarana mencari nafkah dan meningkatkan nilai ekonomi.
Sedangkan dampak negatifnya sendiri yaitu jumlah pemakainya
semakin berkurang atau bahkan tidak ada. Hal tersebut dapat menyebabkan
terjadinya kematian bahasa atau punahnya bahasa (language death/language
loss). Hal di atas sejalan dengan pemaparan Krauss dalam (Ibrahim, 2011).
Akan tetapi pergeseran bahasa ibu yang terjadi di daerah Mawasangka
tidak sepenuhnya terjadi dikarenakan pergeseran bahasa berlangsung bukan
di daerah bahasa ibu itu digunakan.
76
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisisnya mengenai pergeseran
bahasa daerah Muna pada masyarakat Mawasangka Kabupaten Buton Tengah,
peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa:
1. Bahasa daerah dikalangan remaja dan anak-anak hampir dalam setiap
berkomunikasi tidak menggunakan bahasa daerah baik lingkungan
keluarga, masyarakat, maupun lingkungan pendidikan, mereka mayoritas
menggunakan bahasa Indonesia, dengan bahasa asli karena ketidak biasaan
menggunakan bahasa daerah. Kosa kata dalam bahasa daerah masyarakat
desa Balobone banyak yang mengalami pergeseran atau penyerangan ke
dalam bahasa Indonesia, dalam bertutur masyarakat terpengaruh oleh kata-
kata penutur sebelumnya yang menghasilkan kata-kata baru.
2. Penggunaan bahasa daerah Muna pada masyarakat Mawasangka Kabupaten
Buton Tengah oleh kalangan remaja dan anak-anak telah bergeser, yang
mana pergeseran disebabkan oleh para anak muda desa BaloBone yang
lebih mengutamakan bahasa Indonesia baku yang diperoleh semasa di
bangku sekolah. Penyebabnya yaitu ada dua faktor utama yakni (a) faktor
migrasi serta (b) faktor sosial.
77
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian tentang pergeseran bahasa
daerah Muna pada masyarakat Mawasangka Kabupaten Buton Tengah,
dikemukakan saran sebagai berikut:
1. Kepada pemerintah kabupaten maupun pemerintah desa agar
memperhatikan kondisi budaya bahasa daerah sekarang yang kian hari
tergeser karena tingginya mobilitas penutur bahasa Indonesia dan
mensosialisasikan kepada masyarakat pentingnya melestarikan bahasa
daerah, sebagai identitas, kekayaan budaya.
2. Para orang tua hendaknya membimbing dan mengajarkan dan setiap
berkomunikasi di lingkungan keluarga menggunakan bahasa daerah agar
para anak-anak menjadi terbiasa berbahasa daerah dan tetap melestarikan
kearifan budaya lokal
78
DAFTAR PUSTAKA
Andika, Wayan. 2019. Pergeseran Kehidupan Guru Sebelum dan Sesudah
Sertifikasi. Skripsi.
Bromley, K.D. 1992. Language Arts: Exploring Connection ( 2𝑛𝑑 ed). Boston:
Allyn and Bacon.
Chaer, Abdul, and Leonie Agustina. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2004.
Horton, P.B. & Hunt, C.L. 1992. Sosiologi. Jakarta: Erlangga.
Jabrohim. 2004. Menggapai Sejahtera Menuju Masyarakat Utama. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Lembaga Pengembangan Masyarakat UAD.
Kaseng, Syahrudin dkk. 1987. Pemetaan Bahasa-Bahasa di Sulawesi Tenggara.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Nasional.
Kaelan. 2002. Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia.
Yogyakarta: Paradigma.
Lukman. 2014. “Pergeseran Bahasa-bahasa Daerah di Sulawesi Selatan: Kasus
Pergeseran Bahasa Bugis, Makassar, Toraja, dan Enrekang”. Makalah.
Makassar: Universitas Hasanuddin.
Munarika., Siti. 2002. “Afiks Pembentuk Aktif Bahasa”. Kendari: FKIP Unhalu.
Masinambow, E.K.M. dan Paul Haenen. 2002. Bahasa Indonesia dan Bahasa
Daerah. Jakarta: Kanisius.
Pusat Bahasa. 2008. Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional.
Samarin, William J. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. Yogyakarta: Kanisius.
Santrock, J.W. 1995. Live Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jakarta:
Erlangga.
Sulis Triyono. 2006. “Pergeseran Bahasa Daerah Akibat Kontak Bahasa Melalui
Pembauran” https://lib. Unnes.ac.id/17894/1/3401409011.pdf (diunduh, 26
Juli 2020)
Sztompka. 2010 Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media Group.
(Terjemahan Alimandan)
Suartini. 2012. “Pergeseran Bahasa Bali di Lokasi Transmigrasi Desa Raharja
Kecamatan Wonosari Kabupaten Boalemo”.https://eprints.ung.ac.id/.pdf
(diunduh, 26 Juli 2020).
RIWAYAT HIDUP
LULU. Di lahirkan di Wambongi Kabupaten Buton
Selatan pada tanggal 11 Januari 1997, anak pertama dari
pasangan Ayahanda Almarhum Saharudin dan Ibunda
Nuridah. Penulis masuk sekolah dasar pada tahun 2005
di SDN 1 Wambongi Kabupaten Buton Selatan dan
tamat pada tahun 2011. Pada tahun yang sama peneliti
melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Batuatas dan tamat pada tahun 2014
kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 3 Bau-Bau pada
tahun 2014 dan tamat pada tahun 2016. Dengan tahun yang sama peneliti
melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi, tepatnya di Universtitas
Muhammadiyah Makassar (Unismuh) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
pada Program Studi Pendidikan Sosiologi. Peneliti menyelesaikan kuliah strata satu
(S1) pada tahun 2020.
DOKUMENTASI
Kegiatan wawancara bersama aparat Desa dan Masyrakat
pada tanggal 14 September 2020
Kegiatan wawancara bersama sekertaris Desa dan Masyrakat
pada tanggal 16 September 2020
Kegiatan wawancara bersama apparat Desa dan Masyrakat
pada tanggal 14 & 16 September 2020
Scanned by TapScanner