Percobaan i

31
PERCOBAAN I KAPASITAS DAPAR DAN LARUTAN ISOTONIS A. Tujuan 1. Mengetahui dan mempraktekkan pembuatan larutan dapar untuk sediaan farmasi. 2. Mengetahui dan memahami cara menghitung kapasitas dapar pada suatu sediaan farmasi. 3. Mengetahui dan memahami cara menentukan tonisitas suatu sediaan farmasi. 4. Mengetahui dan memahami cara menentukan osmolaritas suatu sediaan farmasi. B. Dasar Teori Tonisitas larutan dapat ditentukan dengan menggunakan beberapa cara seperti dengan menggunakan metode hemolisis, pengaruh berbagai larutan obat diperiksa berdasarkan efek yang timbul ketika disuspensikan dengan darah. Dalam menentukan pengukuran tonisitas, disimpulkan bahwa suatu larutan yang hipotonis akan membebaskan oksihemoglobin dalam perbandingan yang sama dengan jumlah sel-sel yang dihemolisisnya. Atas dasar tersebut dapat ditentukan factor van’t Hoff, I, untuk kemudian dibandingkan dengan nilai yang diperoleh dari data krioskopik, koefisien keaktifan dan koefisien osmosis. Metode untuk menentukan sifat koligatif larutan, metode ini didasarkan atas

description

farmasi fisik larutan dapar dan isotonis

Transcript of Percobaan i

PERCOBAAN I

KAPASITAS DAPAR DAN LARUTAN ISOTONISA. Tujuan

1. Mengetahui dan mempraktekkan pembuatan larutan dapar untuk sediaan

farmasi.

2. Mengetahui dan memahami cara menghitung kapasitas dapar pada suatu

sediaan farmasi.

3. Mengetahui dan memahami cara menentukan tonisitas suatu sediaan

farmasi.

4. Mengetahui dan memahami cara menentukan osmolaritas suatu sediaan

farmasi.

B. Dasar Teori

Tonisitas larutan dapat ditentukan dengan menggunakan beberapa cara

seperti dengan menggunakan metode hemolisis, pengaruh berbagai larutan

obat diperiksa berdasarkan efek yang timbul ketika disuspensikan dengan

darah. Dalam menentukan pengukuran tonisitas, disimpulkan bahwa suatu

larutan yang hipotonis akan membebaskan oksihemoglobin dalam

perbandingan yang sama dengan jumlah sel-sel yang dihemolisisnya. Atas

dasar tersebut dapat ditentukan factor van’t Hoff, I, untuk kemudian

dibandingkan dengan nilai yang diperoleh dari data krioskopik, koefisien

keaktifan dan koefisien osmosis. Metode untuk menentukan sifat koligatif

larutan, metode ini didasarkan atas pengukuran perubahan temperature yang

naik dari perbedaan tekanan uap sampel terisolasi yang ditempatkan dalam

sebuah ruang kelembapan yang tetap (Martin, 1990).

Suatu larutan dikatakan isotonis terhadap cairan lainnya bila memiliki

tekanan tekanan osmosa yang sama. Bila cairan yang satu tekanan osmosanya

lebih tinggi daripada yang lain, maka cairan yang lebih tinggi dikatakan

hipertonis terhadap yang lebih rendah. Sebaliknya cairan yang memiliki

tekanan osmosa yang lebih rendah disebut hipotonis terhadap cairan yang

lebih tinggi tekanan osmosanya (Mirawati, 2014).

Tampak difusi pelarut ke dalam larutan pekat, karena perubahan volume

akan terjadi. Dengan cara yang sama, jika dua konsentrasi yang berbeda

dipisahkan oleh sebuah membran, pelarut akan bergerak dari larutan

konsentrasi zat terlarut rendah ke larutan zat terlarut yang berkonsentrasi

tinggi, difusi ini pelarut melalui membran semi permeable disebut osmosis.

(Gennaro, 1990)

Osmosis dalam melaksanakan percobaan tidak dapat membedakan antara

difusi zat terlarut dan pelarut. Namun, dengan memisahkan larutan dan

pelarut melalui suatu membran yang permeable terhadap pelarut, tapi tidak

terlarut (membrane seperti itu dirujuk sebagai membran semipermabel),

adalah mungkin untuk menunjukkan sifat koligatif larutan juga dapat

digunakan dalam menentukan berat molekul zat terlarut atau dalam kasus

elektrolit, tingkat zat terlarut ionisasi.

Zat terlarut menentukan berat molekul tergantung pada fakta bahwa

setiap sifat koligatif diubah oleh nilai konstan ketika sejumlah tertentu

molekul zat terlarut ditambahkan ke pelarut. Sifat larutan tergantung pada

jumlah partikel zat terlarut tidak tergantung pada sifat kimia zat terlarut

dikenal sebagai sifat koligatif. Semua properti saling terkait. Tekanan osmotik

adalah properti koligatif terkait dengan kesesuaian fisiologis hidung, mata,

dan larutan. Sebagai tekanan osmotik yang nyaman untuk dibawa mengukur,

sifat koligatif lainnya sering diukur selama perumusan farmasi dan

berhubungan dengan tekanan osmotik.

(Parrot, 1970).

Tekanan osmotik difusi adalah proses dimana zat terlarut dan molekul

pelarut bermigrasi. Osmosis ini proses dimana molekul pelarut melalui

membran semi permeable dari larutan encer kelarutan yang lebih pekat.

Tekanan harus diterapkan pada larutan yang lebih pekat untuk hanya

mencegah aliran pelarut murni ke dalam larutan diketahui larutannya dikenal

sebagai tekanan osmotik dari larutan. Tekanan osmotic tidak tergantung pada

sifat membran semipermeabel. Jika ada zat terlarut berdifusi ke membran, itu

bukan membran semipermeabel, dan proses tersebut tidak menjadi

permasalahan dengan osmosis. Dalam ekperimental membran yang berbeda

muncul untuk memberikan tekanan yang berbeda. Namun, jika membran

tidak bocor dan waktu yang cukup diperbolehkan untuk pencapaian

keseimbangan, tekanan osmotik akan sama. Sifat dan luas membran

semipermeabel menentukan kecepatan osmosis (Parrot, 1970).

Tekanan zat terlarut menjadi konstan sedangkan tekanan hidrostatik

dalam larutan terus meningkat, fluks permeasi harus meningkat secara linear

dengan tekanan. Situasi ini secara skematik diwakili, dimana zat terlarut

penolakan dan laju permeasi telah diplot dengan tekanan TMP untuk

membran zat terlarut-permeabel dan zat terlarut-kedap (Wayne, 1995).

Hemolisis dapat juga terjadi ketika tekanan osmotik cairan dalam eritrosit

lebih besar dibandingkan dengan larutan dalam wadah ketika sel

ditangguhkan. Tetapi reaktivitas kimia tertentu dari zat terlarut dalam larutan

seringkali jauh lebih penting dalam memproduksi hemolisis daripada efek

osmotik. Proses ini melibatkan faktor-faktor seperti pH, kelarutan lipid,

ukuran molekul dan ion zat diukur selama dan berhubungan dengan tekanan

osmotik (Parrot, 1970).

Beberapa peneliti menguji tonisitas injeksi dengan mengamati variasi

volume sel darah merah yang dihasilkan oleh larutan ini. Metode ini

tampaknya lebih sensitif terhadap perbedaan-perbedaan kecil dalam tonisitas

yang didasarkan pada observasi efek homolitik. Banyak informasi berguna

mengenai pengaruh berbagai zat terlarut pada eritrosit telah diperoleh dengan

prosedur ini dari ringkasan beberapa data (Gennaro, 1990).

Setiap kali larutan dipisahkan dari pelarut oleh membran yang permeable

hanya untuk pelarut molekul (disebut sebagai membran semipermeabel), ada

bagian pelarut melintasi membran ke dalam larutan. Ini adalah fenomena

osmosis. Jika solusinya adalah benar-benar dibatasi oleh membran

semipermeabel dan direndam dalam pelarut, kemudian mengembangkan

perbedaan tekanan melintasi membran yang dirujuk sebagai tekanan osmotik.

Pelarut melewati membran karena ketimpangan potensi kimia dipihak

membran. Karena potensi kimia dari molekul pelarut dalam larutan kurang

dari itu dalam pelarut murni, pelarut secara spontan akan memasuki larutan

sampai ketidaksetaraan ini akan dihapus. Persamaan yang berhubungan degan

tekanan osmotik, dengan konsentrasi larutan adalah van’t Hoff.

(Florence, 1989)

Ketika larutan air elektrolit yang administrasi, volume yang diperlukan

besar dan rute intravena harus digunakan menjadi diterima secara fisiologis,

solusi agar kompatibel dengan jaringan dan khususnya eritrosit. Larutan yang

kompatibel dikatakan isotonic. Istilah ini menggambarkan dua larutan yang

dipisahkan oleh sebuah membran semipermeabel sehingga transfer bersih

bahan dari satu sisi ke sisi yang lain dalam kesetimbangan adalah iso-

osmotik. Fisiologis adalah membran sel eritrosit. Sel darah bias dilakukan

dengan pengecilan sebagian isi sel pindah ke lingkungan luar, sebuah proses

yang disebut krenasi, atau menyerap air dan membengkak atau pecah atau

hemolisis (Groves, 1988).

C. Alat dan Bahan

1. Alat

a. Batang pengaduk

b. Corong kaca

c. Erlenmeyer 250 mL

d. Gelas kimia 50 mL ; 100 mL

e. Kaca arloji

f. Labu ukur 100 mL

g. pH meter

h. Timbangan analitik

2. Bahan

a. Alumunium foil

b. Aquades

c. Aqua Pro Injection

d. KH2PO4

e. Larutan NaCl 0.9%

f. NaCl

g. N a2HPO4

h. Na2HPO4 anhidrat

i. Ranitidin HCL

D. Prosedur Kerja

1. Pembuatan larutan dapar

a. Disiapkan alat dan bahan yang digunakan.

b. Dibuat larutan dapar pH 7 dan kapasitas dapar 0,01 (tiga kali

replikasi), dengan cara :

1) Dipilih asam lemah yang memiliki pKa dekat dengan pH yang

diinginkan.

2) Ditentukan perbandingan gram dan asam yang diperlukan untuk

menghasilkan pH 7.

3) Dihitung nilai konsentrasi total C = [ garam ] + [ asam ].

4) Dihitung masing-masing garam dan asam yang ditimbang. untuk

menghasilkan dapar pH 7 dan kapasitas dapar 0,01.

5) Dicampurkan asam dan garam dalam 100 mL aquades.

c. Diukur pH larutan dapar dengan menggunakan pH meter.

2. Pembuatan formula isotonis

a. Disiapkan alat dan bahan.

b. Ditimbang bahan-bahan sebagai berikut :

R/ Ranitidin HCl 27,9 mg

Na2HPO4 anhidrat 0,98 mg

K2HPO4 1,5 mg

Aqua pro injection 1 mL

c. Dihitung tonisitas sediaan.

d. Dihitung NaCl yang ditambahakan pada sediaan.

e. Dihitung osmolaritas NaCl yang digunakan.

f. Dilarutkan bahan-bahan dalam gelas kimia.

g. Diukur pH sediaan.

E. Hasil Pengamatan

1. Pembuatan larutan dapar

a. Tabel hasil pengamatan

b. Perhitungan

1) Kapasitas dapar

β = 2.303 C Ka [ H3 O+ ](Ka+ [ H3O+ ]2

0.01 = 2.303 C 6.2 × 10-8 × 10-7

(0.62 × 10-7 + 10-7 )2

0.01 = 2.303 C 6.2 × 10-15

(1.62 × 10-7 )2

0.01 = 2.303 C 6.2 × 10-15

2.62 × 10-14

0.01 = 2.303 C × 2.366 × 10-1

C = 0.010.54

C = 0.018

C = [ garam ]+ [ asam ]

0.018 = 0.62 asam + asam

0.018 = 1.62 asam

asam = 0.0181.62

asam = 0.01 M

garam = 0.018 – 0.01 = 6.8 × 10-3 M

2.) Massa asam

No. Asam lemah Garam pH βNama Berat Nama Berat1 KH2 PO4 0.14 g Na2HP O4 0.09 g 6.48 0.012 KH2 PO4 0.14 g Na 2HP O4 0.09 g 6.68 0.013 KH2 PO4 0.14 g Na2HP O4 0.09 g 6.66 0.01

Masam = MassaMr × 1000

V

0.01 M = Massa136 × 1000

100 ml

0.01 M = Massa136

× 10

1.36 = 10 × Massa

Massa = 1 .3610

Massa = 0.136 gram

3.) Massa garam

Mg a ram = MassaMr × 1000

V

6.8 × 10-3 M = Massa142 × 1000

100 ml

6.8 × 10-3 M = 10 × Massa142

0.96 = 10 × Massa

Massa = 0.9610

Massa = 0.096 gram

2. Tonisitas

a. Tabel hasil pengamatan

Nama Bahan Berat/Volume pH SediaanRanitidin HCl 27.9 mg/ml 6.7 – 7.6

Na 2HP O4 anhidrat 0.98 mg/ml 6.7 – 7.6

KH2 PO4 1.5 mg/ml 6.7 – 7.6

b. Perhitungan

1.) Liso

a) Liso Ranitidin HCl

Liso× 11L

350.84 =

3.4 0.161L

58.45

Liso 0.0028 = 0.0093

Liso = 3.32

b) Liso Na2HP O4 anhidrat

Liso× 11L

141.98 =

3.4 0.441L

58.45

Liso 0.007 = 0.025

Liso = 3.5

c) Liso KH2 PO4

Liso× 11L

136.13 =

3.4 0.441L

58.45

Liso 0.0073 = 0.025

Liso = 3.82

2) Metode Liso

a) Ranitidin HCl

∆ Tf=LisoBerat × 1000BM × V

∆ Tf=¿ 3.32 × 0.027 g × 1000350.84 × 1L

∆ Tf=¿ 0.25

b) Na2HP O4 anhidrat

∆ Tf=LisoBerat × 1000BM × V

∆ Tf=¿ 3.57 × 0.00098 g × 1000141.98 × 1L

∆ Tf=¿ 0.024

c) KH2 PO4

∆ Tf=LisoBerat × 1000BM × V

∆ Tf=¿ 3.82 × 0.00158 g × 1000136.13 × 1L

∆ Tf=¿ 0.042

Ɛ∆ Tf ¿ 0.25 + 0.024 + 0.042

Ɛ∆ Tf ¿ 0.316

3) Metode Krioskopis

NaCl = 1% → 0.58℃NaCl = 0.9%→ 0.52℃0.52℃ - 0.31℃ = 0.21℃NaCl 1%X

=0.58℃0.21℃

x = 0.362%

x = 0.0036 g

4) Metode ekivalensi NaCl

a) Ranitidin HCl

1000 mg Ranitidin27.9 mg =

160 mg NaClx

x = 4.46 mg

b) Na2HP O4 anhidrat

1000 mg Na2 HPO4 0.98 mg

= 440 mg NaClx

x = 0.43 mg

c) KH2 PO4

1000 mg KH2PO4 1.5 mg

= 480 mg NaClx

x = 0.72 mg

Ɛx = 4.46 mg + 0.431 mg + 0.72 mg

Ɛx = 5.61 mg

Ɛx = 5.61 × 10-3 g

NaCl 0.9% = 0.9 g100 ml =

x1 ml

x = 0.009 g

NaCl yang ditimbang = 0.00561 g – 0.009 g

= 0.18 g

5) Metode White-Vincent

a) Ranitidin HCl

V = w × E × 111.1

V = 0.027 g × 0.16 × 111.1

V = 0.495 ml

b) Na 2HP O4 anhidrat

V = w × E × 111.1

V = 0.00098 g × 0.44 × 111.1

V = 0.047 ml

c) KH2 PO4

V = w × E × 111.1

V = 0.0015 g × 0.48 × 111.1

V = 0.079 ml

ƐV = 0.495 ml + 0.047 ml + 0.079 ml

ƐV = 0.62 ml

NaCl 0.9% = 1 ml – 0.62 ml

NaCl 0.9% = 0.38 ml

6) Metode Sprowl

a) Ranitidin HCl

V = E × 33.33 ml

V = 0.16 × 33.33 ml

V = 5.33 ml

5.33 mlx

= 300 mg27.9 mg

x = 0.495 ml

b) Na2HP O4 anhidrat

V = E × 33.33 ml

V = 0.44 × 33.33 ml

V = 14.66 ml

14.66 mlx

= 300 mg0.9 8 mg

x = 0.047 ml

c) KH2 PO4

V = E × 33.33 ml

V = 0.48 × 33.33 ml

V = 15.99 ml

15.99 mlx

= 300 mg1.5 mg

x = 0.079 ml

ƐV = 5.33 ml + 14.66 ml + 15.99 ml = 35.98 ml

Ɛx = 0.495 ml + 0.047 ml + 0.079 ml = 0.621 ml

NaCl 0.9% = 1 ml – Ɛx

NaCl 0.9% = 1 ml – 0.621 ml =0.379 ml

7) Osmolaritas

a) Ranitidin HCl

M osmole/liter = g / liter zat terlarutBM zat terlarut × 1000 × jumlah ion

M osmole/liter = 27.9 g

L

350.84 × 1000 × 2

M osmole/liter = 159.046 osmole/liter

b) Na 2HP O4 anhidrat

M osmole/liter = g / liter zat terlarutBM zat terlarut × 1000 × jumlah ion

M osmole/liter = 0.98 g

L

141.98 × 1000 × 4

M osmole/liter = 27.609 osmole/liter

c) KH2 PO4

M osmole/liter = g / liter zat terlarutBM zat terlarut × 1000 × jumlah ion

M osmole/liter = 1.5 g

L

136.13 × 1000 × 4

M osmole/liter = 44.075 osmole/liter

ƐM osmole/liter =159.046 + 27.609 + 44.075

ƐM osmole/liter = 230.73 osmole/litern (Hipotonis)

M osmole/liter = g / liter zat terlarutBM zat terlarut × 1000 × jumlah ion

M osmole/liter = 3.39 g

L

58.45 × 1000 × 2

M osmole/liter = 116 osmole/liter

Dibutuhkan 154 osmole/liter untuk isotonis

154 osmole/liter = x g

L

58.45 × 1000 × 2

9001.3 = 2000 x

x = 4.5 g/L = 4.5 mg/ml

Jumlah NaCl = 4.5 mg + 3.39 mg = 7.9 mg

M osmole/liter = g / liter zat terlarutBM zat terlarut × 1000 × jumlah ion

M osmole/liter = 7.9 g

L

58.45 × 1000 × 2

M osmole/liter = 270.31 osmole/liter (isotonis)

F. Pembahasan

Percobaan ini membahas tentang kapasitas dapar dan larutan isotonis,

dengan tujuan untuk mengetahui dan memahami cara pembuatan larutan

dapar, mengetahui dan memahami cara menentukan kapasitas dapar, tonisitas,

dan osmolaritas pada suatu sediaan farmasi.

Dapar adalah senyawa-senyawa atau campuran senyaa yang dapat

meniadakan perubahan pH terhadap penambahan sedikit asam atau basa.

Kombinasi asam lemah dengan basa konjugasinya yaitu garamnya atau basa

lemah dengan asam konjugasinya bertindak sebagai dapar. Faktor-faktor yang

mempengaruhipH larutan dapar yaitu penambahan garam-garam netral ke

dalam larutan dapar dapat mengubah pH larutan dengan berubahnya kekuatan

ion. Perubahan kekuatan ion dan pH dapar dapat pula disebabkan oleh

pengenceran.

Kapasitas dapar adalah kemampuan tidak berubahnya pH dengan

penambahan sedikit asam atau sedikit basa. Pengaruh kapasits dapar dan pH

pada iritasi jaringan yaitu larutan yang dipakai untuk jaringan atau yang

dipakai secara parenteral dapat menyebabkan iritasi bila pH larutan itu

berbeda jauh dari pH tubuh yang bersangkutan. Untuk itu kapasitas dapar dari

cairan tubuh harus dipertimbangkan. Iritasi jaringan akan minimal jika cairan

yang dimasukkan ke dalam tubuh memiliki kapasitas yang lebih rendah dari

kapasitas dapar tubuh, maka iritasi yang terjadi akan minimal, karena tubuh

bisa dengan mudah menyesuaikan diri dengan cairan yang

dimasukkan tersebut. Sebaliknya jika cairan yang dimasukkan ke dalam

tubuh memiliki kapasitas yang lebih tinggi dari kapasitas dapar tubuh, maka

iritasi yang terjadi akan lebih besar, karena tubuh kesulitan untuk

menyesuaikan diri dengan cairan yang dimasukkan tersebut. Yang kedua

yaitu jika volume dengan jumlah atau konsentrasi tertentu makin kecil

dimana makin sedikit jumlah cairan yang dimasukkan maka iritasi jaringan

juga makin kecil. Jika cairan yang dimasukkan makin banyak, tentu saja

iritasi jaringan nya juga semakin besar. Yang ketiga yaitu volume dan

kapasitas dapar fisiologis makin besar. Kita bisa meminimalkan iritasi

jaringan jika cairan fisiologis dalam tubuh kita yang ditambah atau cairan

yang dimasukkan dalam tubuh kita diperkecil. Untuk itu perlu pertimbangan

seorang farmasis mengenai hal tersebut dalam pembuatan sediaan, agar

keseimbangan pH larutan tidak jauh berbeda dengan pH cairan tubuh,

sehingga iritasi dapat seminimal mungkin terjadi.

Manfaat dapar dalam bidang farmasi yaitu dapat meningkatkan stabilitas

obat dimana pada pH tertentu penguraian obat menjadi minimal, untuk

mengurangi rasa nyeri, iritasi, nekrosis saat penggunaannya (untuk sediaan

parenteral), dapat membantu dalam menghambat pertumbuhan

mikroorganisme, serta dapat meningkatkan aktivitas fisiologis obat.

Larutan-larutan sediaan farmasi yang diperuntukkan bagi membran tubuh

yang halus harus mempunyai tekanan osmosis yang sama dengan cairan

tubuh. Larutan yang isotonis tidak akan menyebabkan suatu jaringan

membengkak atau berkontraksi bila mereka berkontak dan juga tidak

menyebabkan rasa tidak enak bila diteteskan ke mata, saluran hidung, darah

atau jaringan tubuh lainnya. Salah satu contoh sediaan farmasi yang isotonis

adalah larutan natrium klorida isotonis.

Osmolaritas adalah konsentrasi larutan atau partikel terlarut perliter

larutan, diukur dalam miliosmol. Osmolaritas ditentukan oleh jumlah partikel

terlarut per kilogram air, dengan demikian osmolaritas menciptakan tekanan

osmotik sehingga mempengaruhi pergerakan cairan. Osmolalitas adalah

rasio antara jumlah solut dan air. Kalau jumlah solut bertambah, osmolalitas

juga naik, begitupun sebaliknya. Perbedaan osmolalitas dan osmolaritas yakni

pada satuannya. Osmolalitas adalah jumlah solut dalam 1 kg air,

sedangkan Osmolaritas adalah jumlah solut dalam 1 liter larutan.

Tonisitas adalah kemampuan suatu larutan dalam memvariasikan ukuran

dan bentuk sel dengan mengubah jumlah air dalam sel tersebut. Tonisitas

merupakan osmolaritas yang menyebabkan pergerakan air dari kompartemen

ke kompartemen yang lain. Tonisitas adalah perbandingan jumlah solut

impermeabel dan air. Dengan adanya perbedaan ini, air berpindah dari

kompartemen dengan tonisitas rendah ke tonisitas tinggi. Solut impermeabel

adalah solute yang tidak bebas melintas membran sel, efektif mempengaruhi

tekanan osmotik dan dapat menyebabkan perpindahan air. Contoh: natrium,

glukosa, mannitol, sorbitol. Solut permeable adalah solute yang bebas

melintas seluruh membran sel, tidak efektif mempengaruhi tekanan osmotik,

dan tidak menyebabkan perpindahan air. Contoh solut permeabel adalah urea.

Jika ada larutan obat ditambah ke sel darah merah, maka bisa terjadi tiga

kemungkinan. Sel darah merah akan menjadi hipotonis, isotonis, atau

hipertonis. Ketiga peristiwa tersebut terjadi pada prinsipnya karena adanya

perbedaan di dalam sel darah merah dan diluar sel darah merah. Larutan

isotonis adalah larutan yang memiliki tonisitas yang sama dengan tubuh. Pada

larutan isotonis tidak mengalami perubahan pada sel (cairan sitoplasma

seimbang dengan kondisi lingkungannya) . Kondisi ini merupakan kondisi

yang paling ideal. Larutan hipotonis adalah keadaan dimana sel memiliki

kerapatan air rendah (sitoplasma pekat), jika berada pada kondisi ini akan

kemasukan air hingga tekanan osmosis tinggi. Halini akan memecahkan sel

tersebut. Hancurnya sel karena rusaknya membrane plasma disebut lisis.

Hipertonis adalah keadaan dimana sel memiliki kerapatan air tinggi

(sitoplasma encer), jika berada pada kondisi ini akan mengeluarkan air hingga

tekanan osmosis rendah, maka sel akan mengalami osmosis ke luar. Sehingga

akan menyebabkan sel keriput karena kekurangan air (krenasi).

Tujuan mengapa suatu larutan perlu isotonis yaitu untuk mengurangi

kerusakan jaringan dan iritasi, untuk mengurangi hemolisis sel darah, untuk

mencegah ketidakseimbangan elektrolit, serta untuk mengurangi sakit pada

daerah injeksi.

Metode pengukuran tonisitas dibagi dalam dua golongan yaitu golongan I

dan golongan II. Pada metode golongan I ditambahkan natrium klorida atau

zat lain agar tercapai titik beku larutan sebesar -0,52° dan larutan menjadi

isotonis dengan cairan tubuh. Golongan I terdiri dari metode krioskopik dan

metode ekuivalen natrium klorida. Metode krioskopik berdasarkan pada

penurunan titik beku sejumlah obat, sedangkan metode ekuivalen natrium

klorida berdasarkan pada ekuivalen tonisitas dari larutan obat yaitu

banyaknya natrium klorida yang ekuivalen atau mempunyai pengaruh

osmotik yang sama dengan 1 gram obat tersebut. Pada metode golongan II,

sejumlah air ditambahkan ke larutan obat agar larutan tersebut isotonis.

Setelah mencapai volume akhir, dapat ditambahkan larutan pengencer

isotonis atau larutan pengencer dapar isotonis. Golongan II terdiri dari metode

White-Vincent dan metode Sprowls.

Hubungan antara osmolaritas dan tonisitas yaitu jika osmolaritas berkisar

antara 0-249 Osmol/L maka tonisitasnya bersifat hipotonis. Jika

osmolaritasnya berkisar antara 250-269 Osmol/L maka tonisitasnya bersifat

sedikit hipotonis. Jika osmolaritasnya berkisar antara 270-328 Osmol/L maka

tonisitasnya bersifat isotonis. Jika osmolaritasnya berkisar antara 329-350

Osmol/L maka tonisitasnya bersifat sedikit hipertonis. Jika osmolaritasnya

lebih besar dari 350 Osmol/L maka tonisitasnya bersifat hipertonis.

Percobaan pertama yaitu pembuatan larutan dapar dengan pH 7 dan

kapasitas dapar 0,01 dengan tiga replikasi. Cara pembuatannya yaitu dipilih

asam lemah yang memiliki pKa dekat dengan pH yang diinginkan. Kemudian

ditentukan perbandingan asam dan garam yang diperlukan untuk

menghasilkan pH sama dengan 7, selanjutnya dihitung masing-masing garam

dan asam yang ditimbang untuk menghasilkan dapar pH 7 dan kapasitas

dapar 0,01, dicampurkan asam dan garam dalam 100 mL aquades dan diukur

pH larutan dapar dengan menggunakan pH meter. Prinsipnya pengukuran

suatu pH dengan menggunakan pH meter adalah didasarkan pada  potensial

elektro kimia yang terjadi antara larutan yang terdapat didalam elektroda

gelas (membrane gelas) yang telah diketahui dengan larutan yang terdapat

diluar elektroda gelas yang tidak diketahui. Hal ini dikarenakan lapisan tipis

dari gelembung kaca akan berinteraksi dengan ion hydrogen yang ukurannya

relative kecil dan aktif, elektroda gelas tersebut akan mengukur potensial

elektrokimia dari ion hidrogen atau diistilahkan dengan potential of hydrogen.

Untuk melengkapi sirkuit elektrik dibutuhkan suatu elektroda pembanding.

Sebagai catatan, alat tersebut tidak mengukur arus tetapi hanya mengukur

tegangan. Tujuan pembuatan tiga replikasi adalah untuk meminimalisir

kesalahan sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih akurat. Dapar yang

digunakan adalah dapar fosfat karena dapar fosfat memiliki pKa yang

mendekati pH sama dengan 7, dimana pKa buffer fosfat adalah 7,21. Dapar

fosfat terdiri dari asam lemah yaitu KH2PO4 dan garamnya yaitu Na2HPO4.

Berdasarkan hasil percobaan diperoleh pH larutan pada replikasi 1 yaitu 6,48,

pH larutan pada replikasi 2 yaitu 6,68, dan pH larutan pada replikasi 3 yaitu

6,66. Dari hasil tersebut pH yang dihasilkan kurang sesuai, dimana

seharusnya pH yang dihasilkan adalah 7. Hal ini kemungkinan dapat

disebabkan karena aquades yang digunakan mengandung CO2 sehingga dapat

membentuk H2CO3, dimana H2CO3 bersifat asam. Selain itu CO2 yang

dihasilkan juga dapat berasal dari udara yang dikeluarkan dari sistem

respirasi.

Percobaan kedua yaitu pembuatan larutan isotonis, caranya yaitu

ditimbang semua bahan yang akan digunakan. Dihitung tonisitas dari sediaan,

dihitung NaCl yang ditambahkan pada sediaan, dan dihitung osmolaritas

NaCl yang digunakan. Kemudian dilarutkan bahan-bahan dalam gelas kimia

dan diukur pH sediaan. Berdasarkan hasil perhitungan tonisitas metode

krioskopik dibutuhkan penambahan NaCl sebesar 0,0036 g, pada metode

ekuivalensi NaCl dibutuhkan penambahan NaCl sebesar 0,00339 g, pada

metode White-Vincent dibutuhkan penambahan NaCl 0,9% sebesar 0,38 mL,

pada metode Sprowls dibutuhkan penambahan NaCl sebesar 0,379 mL. Dan

berdasarkan hasil perhitungan osmolaritasnnya diperoleh osmolaritas

ranitidine HCl sebesar 159,04 Osmol/L, osmolaritas Na2HPO4 sebesar 27,60

Osmol/L, dan osmolaritas KH2PO4 sebesar 44,07 Osmol/L. Dari hasil tersebut

diperoleh nilai osmolaritas total sebesar 230.71 Osmol/L, dimana nilai

tersebut masuk dalam rentang tonisitas yang hipotonis. Untuk mencapai

tonisitas yang isotonis dengan cairan tubuh dibutuhkan nilai osmolaritas

sebesar 40 Osmol/L. Dimana berdasarkan metode ekivalensi NaCl

dibutuhkan penambahan NaCl sebesar 7,9 g/L untuk memperoleh cairan yang

isotonis. Selanjutnya dilakukan pengukuran pH terhadap sediaan, dimana pH

untuk sediaan ranitidine adalah 6,7- 7,6.

G. Kesimpulan

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan

bahwa :

1. Nilai osmolaritas total dari sediaan ranitidin sebesar 230,71 Osmol/L.

2. Berdasarkan metode ekivalensi NaCl dibutuhkan penambahan NaCl

sebesar 7,9 g/L untuk memperoleh cairan yang isotonis pada sediaan

ranitidin.

3. pH sediaan ranitidin adalah 6,7- 7,6.

DAFTAR PUSTAKA

Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan RI:

Jakarta.

Florence, A. T. dan D. Attwood. 1998. Physicochemical Principle Of Pharmacy

Part III. London.

Gennaro, A. R., et all. 1990. Remington’s Pharmaceutical Sciensces: Edisi 18th.

Marck Publishing Company: Easton, Pensylvania.

Groves, Michael J. 1988. Parental a Technology Manual Part II. USA.

Martin, Alfred, dkk. 1993. Farmasi Fisika: Dasar-dasar Farmasi Fisika dalam

Ilmu Farmasetika Edisi III. Universitas Indonesia Press: Jakarta.

Mirawati. 2014. Penuntun Farmasi Fisika 1. Universitas Muslim Indonesia Press:

Makassar.

Olson, Wayne P. 1995. Separation Technology. Interpharm Press Inc: USA.

Parrot, Eugene L, Ph.D. 1970. Pharmaceutical Technology. Lowa City.

LAPORAN PRAKTIKUM FARFIS II

KAPASITAS DAPAR DAN LARUTAN ISOTONIS

DISUSUN OLEH :

ANASDA AMAL FATHULLAH (1413015013)

ANA NUR YASIN ANWAR (1413015025)

NILA AYUANJI (1413015003)

LANDY HARTINA (1413015015)

MARWAH ULFAH SYURGANA (1413015027)

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

2016