PERBEDAAN BOBOT POTONG TERHADAP BOBOT ISI RONGGA DADA SAPI ...eprints.unram.ac.id/11268/1/JURNAL...
Transcript of PERBEDAAN BOBOT POTONG TERHADAP BOBOT ISI RONGGA DADA SAPI ...eprints.unram.ac.id/11268/1/JURNAL...
PERBEDAAN BOBOT POTONG TERHADAP BOBOT ISI RONGGA
DADA SAPI BALI YANG DI PELIHARA SECARA TRADISIONAL
PUBLIKASI ILMIAH
Untuk Memenuhi Persyaratan Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Peternakan pada
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
Oleh
SRI ERMAWATI
B1D 013 247
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2018
PERBEDAAN BOBOT POTONG TERHADAP BOBOT ISI RONGGA
DADA SAPI BALI YANG DIPELIHARA
SECARA TRADISIONAL
PUBLIKASI ILMIAH
Oleh
SRI ERMAWATI
B1D013247
Untuk Memenuhi Persyaratan Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Peternakan pada
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
Disetujui
Pembimbing Utama
Dr.Ir. Tahyah Hidjaz, MP
NIP. 19610214 198703 2001
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2018
PERBEDAAN BOBOT POTONG TERHADAP BOBOT ISI RONGGA
DADA SAPI BALI YANG DIPELIHARA SECARA TRADISIONAL
INTISARI
Oleh
Sri Ermawati
B1D013247
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bobot potong terhadap bobot isi
rongga dada sapi Bali yang di pelihara secara tradisional di Lombok. Penelitian
ini dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2017, bertempat di RPH Gubug
Mamben Sekarbela Mataram. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
20 ekor sapi Bali yang terdiri dari 10 ekor dengan bobot badan rendah yaitu 200-
250 kg dan 10 ekor dengan bobot badan tinggi yaitu 251-300 kg. Variabel yang
diamati meliputi bobot potong, bobot jantung, bobot hati, bobot paru-paru, bobot
limpa dan bobot diapragma. Data yang terkumpul ditabulasi dan dihitung
menggunakan Mean ± standart deviasi. Untuk mengetahui perbedaan bobot
potong terhadap bobot isi rongga dada sapi Bali dianalisis dengan T-test. Hasil
analisis menunjukan bahwa bobot potong tinggi dan bobot potong rendah
tidaberbeda nyata (p<0,05) terhadap bobot jantung, bobot paru-paru, bobot limpa
dan bobot diapragma, kecuali bobot hati yang berbeda nyata (p>0,05).
Kata Kunci : Sapi Bali, Bobot Potong, Organ Dalam Dada.
Difference of Slaughter Weight On Red offal Weight of Bali Cattle
Which Is Traditionally Maintained.
ABSTRACT
By
Sri Ermawati
B1D013247
The aim of this study to determine slaughter on red offal weight of Bali
cattle which is traditionally maintained in Lombok. This research was conducted
in September-October 2017, located at RPH Gubug Mamben Sekarbela Mataram.
The material used in this study was 20 head of Bali cattle consisting of 10 animals
with low body weight of 200-250 kg and 10 animals with a high body weight of
251-300kg. The variables included slaughter weight, heart weight, liver weight,
lung weight, spleen weight and diaphragma weight. The collected data were
tabulated and calculated using mean ± standard deviation. To find out the
difference in slaughter weight on the weight content of Bali cattle chest cavity
was analyzed T-test. The results showed that high slaughter weight 280,40 kg and
low slaughter weight 215,35 kg were not significantly different (p<0.05) on heart
weight, lung weight, spleen weight and diaphragma weight, except for liver
weights that were significantly different (p>0.05).
Keywords: Bali cattle, Slaughter weight, Red offal.
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan permintaan daging secara Nasional semakin meningkat
seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi yang semakin baik, pembangunan
pendidikan yang lebih maju, kesadaran kebutuhan nutrisi asal ternak semakin
meningkat, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut menyebabkan
pemotongan berbagai bangsa sapi juga semakin meningkat (Suswono, 2009).
Tingkat konsumsi daging masyarakat pada tahun 2014 sebesar 2,56 kg per
kapita per tahun atau meningkat 8,5% dibandingkan pada tahun 2013 sebesar
2,36 kg per kapita/tahun (BAPPENAS, 2014). Produksi daging sapi nasional
diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya (Apfindo, 2010).
Sapi Bali adalah jenis sapi lokal yang memiliki kemampuan beradaptasi
dengan lingkungan baru. Kemampuan tersebut merupakan faktor pendukung
keberhasilan budidaya sapi Bali. Salah satu provinsi yang menjadi penghasil
daging sapi terbesar adalah Nusa Tenggara Barat (NTB). Hal ini karena di
NTB potensi lahan pengembangan sapi cukup luas. Berdasarkan perhitungan
ketersediaan pakan, NTB memiliki potensi kapasitas tampung ternak 2
juta ekor pertahun, dimana yang dimanfaatkan baru sekitar 34,79 % sehingga
memiliki peluang pengembangan peternakan sebesar 63,21 %. Populasi
ternak sapi Bali di NTB dari 2014 s/d 2016 mengalami peningkatan 7,9 %
(KEMENTAN, 2016).
Ternak sapi khususnya sapi Bali adalah penghasil daging yang potensial
dan merupakan salah satu komoditi yang bernilai tinggi dengan mengandung
bahan gizi yang relatif seimbang antara satu dengan lainnya serta sangat
2
berguna bagi pertumbuhan manusia. Sapi Bali termasuk jenis ternak asli
Indonesia yang tergolong kedalam tipe potong dan kerja yang menjadi ternak
unggulan di provinsi NTB yang dikenal sebagai gudang ternak sapi Bali.
Salah satu parameter penting dari subsektor peternakan adalah
pemotongan ternak. Pemotongan ternak sapi sangat terasa di Provinsi NTB
yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Perayaan Hari Besar umat
Islam seperti Idul Fitri dan Idul Adha menyebabkan tingginya konsumsi
daging sapi yang berdampak pada tingginya permintaan daging.
Secara garis besar kegiatan pemotongan ternak menghasilkan output
berupa karkas, jeroan, kulit basah, dan produk lainnya seperti kepala, kaki
atas, ekor, dan tanduk. Kotoran ternak tidak dicatat dalam Laporan
Pemotongan Ternak Triwulanan meskipun kotoran ternak tersebut bernilai
ekonomi karena bisa digunakan sebagai biogas atau sebagai pupuk. Dengan
demikian, berat ternak hidup per ekor pasti lebih besar dibandingkan dengan
penjumlahan berat karkas, jeroan, kulit basah, dan hasil lainnya (Badan pusat
Statistik NTB, 2016).
Hasil ikutan dari proses untuk mendapatkan karkas adalah bagian non
karkas meliputi kulit, kepala, kaki maupun jeroan. Menurut Herman (2005)
bagian non karkas masih mempunyai nilai ekonomi. Sedangkan menurut
Da Silva et al. (2011) nilai ekonomi non karkas cukup untuk menutupi biaya
pemotongan. Non karkas sendiri terdiri dari bagian yang layak dimakan
(edible portion) dan tidak layak dimakan (inedible portion). Non karkas yang
tidak layak dimakan banyak dimanfaatkan menjadi barang ekonomi tinggi,
sedangkan bagian yang dapat dimakan seperti jeroan sudah banyak digunakan
3
sebagai bahan makanan karena nilai gizinya cukup tinggi dan harganya relatif
murah. Selain karkas, produktivitas bagian non karkas yang layak dimakan
dapat menunjukkan keberhasilan produksi ternak. Oleh sebab itu penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui “Perbedaan Bobot Potong Terhadap
Bobot Isi Rongga Dada Sapi Bali Yang Dipelihara Secara Tradional”.
B. Rumusan Masalah
1. Berapakah bobot potong dan bobot isi rongga dada sapi Bali yang
dipelihara secara tradisional.
2. Apakah ada perbedaan antara isi rongga dada sapi Bali pada bobot potong
tinggi dan bobot potong rendah.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bobot isi rongga dada pada bobot potong yang
berbeda.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
Dapat mengetahui perbedaan bobot isi rongga dada pada bobot
potong berbeda.
TINJUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Sapi Bali
Sapi Bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah
didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi Bali yaitu Bos
javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus (Hardjosubroto dan Astuti, 1993).
4
Sapi Bali telah mengalami domestikasi sejak zaman dahulu dan sekarang
banyak diternakkan oleh peternak khususnya peternakan rakyat. Sapi Bali
berkerabat dengan banteng maka bentuk fisik sapi Bali menyerupai banteng
khususnya pada warna kulit, sedangkan ukuran tubuh sapi Bali lebih kecil
dibandingkan banteng. Sapi Bali menyebar dan berkembang hampir ke
seluruh pelosok Nusantara. Penyebaran sapi Bali di luar Pulau Bali yaitu
Sulawesi Selatan pada tahun 1920 dan 1927, ke Lombok pada abad ke-19, ke
Pulau Timor pada tahun 1912 dan 1920. Selanjutnya sapi Bali berkembang
sampai ke Malaysia, Philipina dan Ausatralia bagian Utara. Sapi Bali juga
pernah diintroduksi ke Australia antara tahun 1827-1849 (Tonra, 2010).
Payne dan Rollinson (1973), menyatakan bangsa sapi ini diduga berasal
dari Pulau Bali, karena pulau ini merupakan pusat distribusi sapi di Indonesia
yang telah didomestikasi sejak jaman prasejarah 3500 SM. Menurut Tonra
(2010), keunggulan sapi Bali adalah subur (cepat berkembang biak/ fertilitas
tinggi), mudah beradaptasi dengan lingkungannya, dapat hidup di lahan kritis,
mempunyai daya cerna yang baik terhadap pakan, persentase karkas yang
tinggi, kandungan lemak karkas rendah, fertilitas sapi Bali berkisar 83-86%,
lebih tinggi dibandingkan sapi Eropa yaitu 60 %. Selanjutnya dinyatakan pula
bahwa beberapa kelemahan sapi Bali antara lain pertumbuhan yang lambat,
tekstur daging yang alot dan warna yang gelap sehingga kurang baik
digunakan sebagai steak, slice-beef, sate dan daging asap. Menurut Sukanata
(2010), bahwa sapi Bali peka terhadap beberapa penyakit seperti penyakit
Jembrana/Ramadewa dan MCF (Malignant Chatarral Fever).
5
1. Ciri-Ciri Sapi Bali
Menurut Hardjosubroto (1994), sapi Bali mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut :
a. Warna sapi jantan coklat ketika muda, kemudian warna ini berubah
agak gelap pada umur 12-18 bulan sampai mendekati hitam pada saat
dewasa, kecuali sapi jantan yang dikastrasi akan tetap berwarna
coklat. Pada kedua jenis kelamin terdapat warna putih pada bagian
belakang paha (pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki bawah
(white stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam telinga, dan pada
pinggiran bibir atas.
b. Kaki di bawah persendian telapak kaki depan (articulatio carpo
metacarpeae) dan persendian telapak kaki belakang (articulatio
tarco metatarseae) berwarna putih. Kulit berwarna putih juga
ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam kulit
berwarna putih tersebut berbentuk oval (white mirror). Bulu sapi
Bali dapat dikatakan bagus (halus) pendek-pendek dan mengkilap.
c. Ukuran badan berukuran sedang dan bentuk badan memanjang.
d. Badan padat dengan dada yang dalam.
e. Tidak berpunuk dan seolah-olah tidak bergelambir.
f. Kakinya ramping, agak pendek menyerupai kaki kerbau.
g. Pada tengah-tengah punggungnya selalu ditemukan bulu hitam
membentuk garis memanjang dari gumba hingga pangkal ekor.
h. Cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekornya berwarna hitam.
i. Tanduk pada sapi jantan tumbuh agak ke bagian luar kepala,
6
sebaliknya untuk jenis sapi betina tumbuh ke bagian dalam.
2. Produktivitas Sapi Bali
Pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi Bali pra-sapih
antara 0,33-0,48 Kg, sedangkan PBBH pasca-sapih sebesar 0,20-0,75
kg (Panjaitan et al., 2003). Ditambahkan oleh Sukanata (2010) bahwa
secara umum sapi induk betina dapat melahirkan anak satu ekor per
periode melahirkan, dengan bobot lahir anak sekitar 16,5 ± 1,54 kg
untuk anak jantan, dan 15,12 ± 1,44 kg untuk anak betina. Sedangkan
bobot sapihnya (umur 205 hari) sekitar 87,6 ± 7,23 kg untuk yang
jantan, dan 77,9 ± 7,53 kg untuk yang betina. Umur pubertas sapi Bali
jantan 21 bulan sedangkan sapi Bali betina 15 bulan, namun umur
betina yang dianjurkan saat kawin pertama minimal 18 bulan. Lama
bunting sekitar 285,59 ± 14,72 hari. Ball dan Peters (2004)
menyatakan bahwa produksi sapi potong, reproduksi yang baik sangat
penting untuk efisiensi manajemen dan keseluruhan produksi.
Selanjutnya dinyatakan bahwa reproduksi terbaik adalah seekor induk
menghasilkan satu anak setiap tahun.
Pane (1990) menyatakan bobot rata-rata sapi Bali jantan umur 2
tahun yaitu 210 kg dan sapi Bali betina 170 kg. Lingkar dada sapi Bali
jantan 181,4 cm sedangkan sapi Bali betina 160 cm. Bobot lahir anak
sapi Bali berdasarkan hasil penelitian Prasojo et al. (2010) yaitu antara
10,5-22 kg dengan rataan 18,9±1,4 kg untuk anak sapi jantan,
sedangkan anak sapi betina memiliki kisaran bobot lahir antara 13-26
kg dengan rataan 17,9±1,6 kg.
7
B. Sistem Pemeliharaan Ternak Sapi Di NTB
Potensi sapi potong lokal sebagai penghasil daging belum dimanfaatkan
secara optimal melalui perbaikan manajemen pemeliharaan. Sapi potong lokal
memiliki beberapa kelebihan, yaitu daya adaptasi tinggi terhadap lingkungan
setempat, mampu memanfaatkan pakan berkualitas rendah dan mempunyai
daya reproduksi yang baik (Suryana, 2009).
Sistem pemeliharaan sapi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu sistem
pemeliharaan ekstensif, semi intensif dan intensif. Sistem ekstensif semua
aktivitasnya dilakukan di padang penggembalaan. Sistem semi intensif adalah
memelihara sapi untuk digemukkan dengan cara digembalakan dan pakan
disediakan oleh peternak, atau gabungan dari sistem ekstensif dan intensif.
Sedangkan sistem intensif adalah pemeliharaan sapi dengan cara
dikandangkan dan seluruh pakan disediakan oleh peternak (Susilorini, 2008).
Di daerah pertanian intensif, sebagian peternak memelihara sapi dalam
kandang permanen, namun ada juga yang kandang sederhana. Kapasitas
kandang bervariasi sesuai dengan jumlah sapi yang dipelihara. Peternakan
yang memproduksi bibit umumnya menggunakan sistem kereman sehingga
sapi induk cepat menjadi gemuk (Hadi dan Ilham, 2002).
C. Bobot Potong Sapi Bali
Sapi yang memiliki bobot hidup yang tinggi tidak selalu menunjukkan
persentase karkas yang tinggi. Persentase karkas dipengaruhi bobot potong
pada saat disembelih. Indeks perdagingan menentukan seberapa banyak
proporsi daging terhadap karkas sapi. Karkas yang memiliki panjang karkas
sama dengan bobot karkas yang berbeda maka karkas yang lebih berat akan
8
mempunyai indeks perdagingan lebih tinggi begitu juga sebaliknya. Efisiensi
produksi usaha sapi potong tercermin dari produksi karkas yang memiliki
bobot dan persentase tinggi dan kualitas karkas yang baik (Yosita dkk., 2011).
Bobot hidup merupakan hasil penimbangan bobot badan ternak
sewaktu masih hidup (Saladin,1972). Dijelaskan lebih lanjut bahwa setiap
individu berbeda ukuran dan bobot badannya, karena bobot hidup erat
kaitannya dengan bobot karkas. Bowker et al. (1978) menyatakan bahwa
pengaruh bobot hidup terhadap bobot karkas bisa mencapai 80%. Ternak
yang gemuk karkasnya lebih berat dari pada ternak yang kurus, maka faktor
umu, kondisi tubuh dan jenis kelamin lebih berpengaruh terhadap bobot
hidup dan bobot karkas dibanding faktor lainnya.
Farlis (1981), mengemukakan bahwa pertumbuhan dapat diamati
berdasarkan peningkatan bobot dan ukuran tubuh karena adanya hubungan yang
erat dengan pertumbuhan dari organ-organ tubuh. Bentuk tubuh ternak ketika
masih hidup merupakan petunjuk untuk menilai kemampuan menghasilkan
daging. Umumnya setiap individu ternak berbeda ukuran tubuhnya sehingga
akan berbeda pula bobot karkas yang dihasilkannya, meningkatnya bobot hidup
maka bobot masing-masing bagian karkas juga akan meningkat.
Faktor yang mempengaruhi bobot potong yaitu: umur, genetik,
lingkungan dan sistem pemeliharaan. komponen utama karkas terdiri atas
jaringan otot (daging), dan tulang dimana kecepatan pertumbuhan tulang dan
daging sapi akan terjadi pada umur 1–3 tahun dan berhenti pada umur 3
tahun. Kecepatan pertumbuhan inilah yang akan mempengaruhi bobot badan
sapi dimana terdapat hubungan antara bobot hidup, bobot karkas dan
9
persentase karkas. Semakin tinggi bobot hidup maka semakin tinggi bobot
karkasnya (Soeparno, 1992).
D. Karekteristik Non Karkas.
Karkas merupakan hasil utama dari suatu penyembelihan ternak dan
mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi dari pada non karkas. Sisa
karkas dibagi menjadi dua bagian, yaitu “Edible offal” dan ―Inedible offal”
(Gerrard, 1997). ―Edible offal” adalah bagian sisa karkas yang masih layak
dimakan, seperti kepala, hati, jantung, paru-paru, ginjal, limpa, ekor dan
darah. Sedangkan “Inedible offal” adalah bagian sisa karkas yang tidak layak
dimakan, misalnya tanduk, bulu, saluran kantong kemih, kulit, tulang dan
oseophagus. Komponen sisa karkas terdiri dari organ internal dan organ
eksternal. Organ internal terdiri dari hati, jantung, paru-paru, sedangkan yang
termasuk organ eksternal yaitu kepala, dan kaki.
Menurut Adiwinarti et al. (1999) persentase non karkas adalah 57%,
sedangkan hasil penelitian Hudallah et al. (2007) persentase non karkas
berkisar antara 53.05- 55.58% (bruto) dan 34.34- 44.43% (netto). Selanjutnya
dinyatakan bahwa makin tinggi bobot non karkas maka makin rendah nilai
ekonomisnya.
E. Non Karkas Bagian Rongga Dada Sapi Bali
Rongga dada dilapisi oleh membran serosa, tetapi tidak termasuk cairan
tipis (serum). Bagian dari rongga dada disebut pleura parietal. Membran ini
terus menutupi paru-paru dan dikenal sebagai pleura visceral. Jantung,
10
kerongkongan dan pembuluh darah besar juga ditutupi oleh membran yang
dikenal sebagai pleura mediastinal (Anonim, 2017) semua organ tubuh yang
terdiri atas hati, limpa, ginjal, jantung, paru-paru dan tenggorokan termasuk
dalam organ rongga dalam dada.
a. Jantung.
Jantung adalah suatu struktur muskular berongga yang bentuknya
menyerupai kerucut. Dasarnya mengarah dorsal atau kraniodorsal dan
melekat pada struktur-struktur torasik lainnya dengan perantara arteri
besar, vena dan kantung peri kardial (Frandson, 1996). Menurut Mc
Cornick (1994) otot jantung (miokardium) memiliki bagian pergerakan
(kontraktil) sehingga modelnya mirip dengan otot rangka, otot jantung
memilki penampakan melintang yang menyebabkan terorganisasinya
miofibril. Tidak seperti otot rangka, otot jantung merupakan otot yang
berkerja dibawah sadar (involunter).
Jantung sapi merupakan hasil pemotongan ternak yang memiliki nilai
gizi walaupun penggunaannya dalam pengolahan daging masih terbatas
yang disebabkan oleh sifat fungsinya proteinnya yang rendah seperti
kemampuan mengikat air dan daya mengikat emulsinya (Wang et al.,
1997). Jantung sapi umumnya dikonsumsi dalam bentuk produk campuran
tepung hamburger dengan pelabelan yang sesuai permintaan jantung untuk
konsumsi rumah tangga relatif kecil. Jantung sapi memiliki kadar protein
dan kadar lemak yang lebih rendah dibandingkan pada daging sapi bagian
paha belakang Schweigert (1987).
11
b. Hati
Hati tersusun dari sel-sel hati, dihubungkan oleh pembuluh darah dan
barisan epitel sinusoid yang terletak diantara sel-sel hati. Sel hati tersusun
sedemikian rupa dalam lobus poligon yang saling melekat dengan bantuan
jaringan penghubung. Hati melekat pada bagian anterior dinding
abdominal dan diafragma oleh ligamen, serta melekat pada lambung di
bagian omasum. Ketika hati akan dipisahkan maka semua ligamen
tersebut harus dipotong beserta kantong empedu. Warna hati digunakan
untuk menentukan kualitas hati. Hati dengan kualitas baik biasanya
berwarna merah kecoklatan sampai coklat tua, sedangkan untuk kualitas
yang buruk biasanya berwarna biru sampai kehitaman (Pearson dan
Dutson,1988).
Pada saat sapi lahir, bobot hati mencapai ± 2,2% dari bobot hidupnya,
sedangkan pada saat umur dewasa bobot hati mencapai ± 1,3-1,45% dari
bobot hidupnya. Pada sapi dengan bobot hidup 300-400 kg, perkiraan
bobot hati sekitar 3.000-4.600 g, sedangkan sapi dengan bobot hidup 450-
600 kg maka perkiraan bobot hati akan mencapai 4000-8600 g. Bobot
tersebut dapat berkurang hingga 8% jika sapi diistirahatkan selama 24 jam
(Portillo, 2000).
Komposisi dan kandungan gizi hati menyerupai komposisi dan
kandungan gizi daging, yaitu dengan kandungan terbesar adalah air dan
protein. Oleh sebab itu, hati merupakan pangan yang sangat baik sebagai
sumber protein yang dibutuhkan oleh manusia (Samuel et al.,1980).
12
c. Limpa
Struktur histologi limpa secara umum terdiri dari kapsula , pulpa
merah dan pulpa putih. Kapsula tersusun jaringan ikat pada bagian luar
dan otot polos pada bagian dalam. Pulpa merah, terdiri dari arteriol,
kapiler, venula, dan bingkai limpa, sedangkan pulpa putih mengandung sel
dan serabut retikuler membentuk jalinan stroma yang mengandung
limfosit, makrofag dan sel aksesoris lain yang mirip dengan sel-sel yang
ditemukan pada kelenjar getah bening (Dellmann dan Brown, 1989).
Limpa memiliki warna merah dan merupakan sebuah masa limfoid
terbesar di dalam tubuh ternak. Limpa bentuknya lonjong dan ukurannya
tergantung ukuran tubuh ternak. Limpa memiliki banyak fungsi bagi tubuh
ternak, namun bukan merupakan organ vital b dan tidak begitu berarti
untuk kelangsungan hidup ternak (ternak masih mampu bertahan hidup
tanpa adanya limpa) (Anonim 2012).
Pada ternak organ limpa merupakan organ yang menjadi penanda
bahwa ternak tersebut telah terjangkit penyakit antraks yang ditandai
dengan terjadinya peradangan pada limpa. Penyebab penyakit ini adalah
Bacillus anthracis, yakni sejenis bakteri berbentuk basil (batang) dengan
ujung siku-siku dan bersifat gram positif. Secara in vitro, basil membentuk
rantai, tetapi secara in vivo berbentuk tunggal dan berpasangan. Pada
udara terbuka, kuman antraks dapat membentuk spora yang mampu
bertahan hidup berpuluh tahun di tanah, relatif tahan terhadap kondisi
lingkungan yang panas dan bahan kimia maupun desinfektan. Oleh sebab
itu, hewan yang terkena antraks dilarang untuk disembelih agar tidak
13
membuka peluang bagi organisme untuk membentuk spora (Zidani et al.,
2000).
d. Paru-paru
Paru-paru sapi merupakan salah satu hasil samping dari proses
pemotongan ternak yang merupakan jeroan selain hati, jantung dan ginjal.
Konsumsi paru atau jeroan sapi bagi masyarakat cenderung dikaitkan
dengan pemicu berbagai macam penyakit degeneratif, karena jumlah
kolesterol, senyawa purin, dan senyawa yang merugikan jika mengendap
dalam tubuh manusia. Paru mengandung purin 434 mg per 100 g bahan.
Ambang batas kandungan purin dalam bahan pangan adalah 100-400 mg
per 100 g bahan. Paru sapi memiliki kadar protein yang cukup tinggi
dibanding bagian jeroan lain, kadar air 77%, 4,2% lemak, 18% protein dan
1% abu. Kandungan air dan protein yang tinggi mengakibatkan paru segar
mudah rusak jika tidak segera diolah atau disimpan dalam lemari
pendingin (Campos and Areas, 1993).
Menurut Anonim (2004), nilai komposisi kimia paru sapi segar
mengandung 77% air, 4,2% lemak, 18% protein dan 1% abu. Kandungan
bahan dari paru-paru sapi matang setelah dikeringkan dengan oven terdiri
dari 14% air, 16,3% lemak, 74,8% protein dan 4,5% abu. Sedangkan
menurut Lawrie (1995), berat paru-paru sapi berkisar antara 2-2,5 kg dari
bobot hidupnya atau berarti sekitar 0,5% dari bobot hidupnya.
e. Otot Diapragma
Otot diafragma adalah lembaran otot yang penting untuk manusia dan
mamalia bernapas, berbentuk kubah yang berada di bawah paru-paru, dari
14
rongga dada bagian atas dan rongga perut (lambung) (Small et al., 2002).
2.1. Faktor Yang Mempengaruhi Non Karkas Bagian Rongga Dada
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi karkas dan nonkarkas antara
lain bobot potong, bangsa, umur dan pakan. Di antara beberapa faktor
tersebut, faktor yang sangat mempengaruhi proporsi karkas dan komponen
nonkarkas adalah pakan (Berg dan Butterfield, 1976; Soeparno, 2005). Lebih
lanjut Soeparno (2005) menjelaskan bahwa pada sapi dengan bobot potong
tertentu, level nutrisi mempengaruhi bobot beberapa komponen non karkas.
Konsumsi nutrisi yang tinggi meningkatkan bobot hati dan bobot total saluran
pencernaan, tetapi menurunkan bobot kepala, kaki dan limpa.
Dengan bertambahnya umur dan bobot badan, maka bobot karkas
mengalami peningkatan yang lebih besar dari pada bobot non karkas.
Selanjutnya dinyatakan oleh Soeparno (2005) pakan dapat mempengaruhi
pertambahan komponen non karkas, sedangkan bangsa dan jenis kelamin
hanya mempunyai pengaruh yang kecil. Perlakuan nutrisional, spesies dan
pastura mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap berat non karkas internal
(hati dan paru-paru), sedangkan bobot komponen non karkas eksternal
(kepala dan kaki) tidak terpengaruh.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Potong Hewan (RPH) Gubug
Mamben Sekarbela Mataram. Penelitian dimulai pada bulan September s/d
Oktober 2017.
15
B. Materi Penelitian
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20 ekor sapi Bali
jantan dikelompokan menjadi dua yaitu sapi Bali bobot potong rendah dan
bobot potong tinggi. Sapi Bali bobot potong rendah sebanyak 10 ekor dengan
bobot potong mulai dari 200 kg - 250 kg umur I₁ tahun dan sapi Bali bobot
potong tinggi sebanyak 10 ekor dengan bobot potong 251 kg - 300 kg umur I₂
tahun.
C. Alat yang Digunakan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Timbangan digital merk CAS kapasitas 1000 kg dengan kepekaan 0,1 Kg.
2. Timbangan digital merk CAS kapasitas 20 kg dengan kepekaan 0,05 kg.
3. Ember plastik ukuran sedang.
4. plastik.
5. Seperangkat alat pemotongan atau penyembelihan.
D. Metode Penelitian
Sebelum pemotongan terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan kesehatan
ternak untuk mengetahui kelayakan sapi untuk dipotong (pemeriksaan
antemortem).
Proses Pemotongan sapi Bali sebagai berikut :
1. Proses pnyembelihan sapi dilakukan secara halal menurut ajaran agama
islam denggan menggunakan pisau tajam memutus arteri carotis, vena
jugularis dan esophagus (Soeparno,1994).
16
2. Persiapan selanjutnya adalah memberikan celah antara leher dan lantai
dengan meletakan wadah yang terbuat dari kayu untuk menampung darah
pada bagian bawah leher ternak untuk selanjutnya dilakukan
penyembelihan.
3. Selanjutnya dilakukan pengulitan, eviscerasi (pengeluaran jeroan) dan
pengkarkasan (dressing).
4. Isi rongga dada dipisahkan mulai dari jantung, hati, limpa, paru-paru dan
otot diafragma.
5. Masing- masing organ tersebut ditimbang untuk mengetahui beratnya.
E. Variabel yang Diamati
Adapun variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Bobot potong.
Bobot potong merupakan bobot ternak sapi sesaat sebelum dilakukan
pemotongan dan dinyatakan dalam satuan kilogram (Boggs dan Merkel
1984)
2. Bobot isi rongga dada
Bobot organ dalam dada yang ditimbang masing-masing adalah:
a. jantung (kg)
b. paru-paru (kg)
c. hati (kg)
d. limpa (kg)
e. diapragma (kg) .
17
F. Analisis Data
Data yang terkumpul diolah menggunakan program exel. Dilakukan
secara deskriptif menggunakan rataan dan simpangan baku (Aritmatic Mean ±
Standart Deviasi) dan dianalisis menggunakan Uji t (Steel and Torrie 1993).
Model matematik t-tes adalah:
𝑡 𝑡
√ ( ) ( )
( )
Keterangan:
t-hitung : Nilai t
: Rata-Rata
N : Jumlah Data
Std : Standar Deviasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH) Gubug Mamben
Sekarbela, Mataram pada bulan September-Oktober 2017. Penelitian ini
menggunakan 20 ekor sapi Bali yang dikelompokan berdasarkan bobot
potong, yaitu bobot potong rendah 10 ekor dan bobot potong tinggi 10 ekor.
Rata-rata bobot potong, bobot jantung, bobot hati, bobot paru-paru, bobot
limpa dan bobot diapragma sapi Bali hasil penelitian tercantum pada
Tabel 1.
18
Tabel 1: Rata-rata Bobot Potong, Bobot Jantung, Bobot Hati, Bobot Paru-
paru, Bobot Limpa dan Bobot Diapragma Sapi Bali.
No Variabel Bobot Potong
Rendah (%)
Bobot Potong
Tinggi (%)
1. Bobot Potong (kg) 215,35 ± 15,94 280,35 ± 18,67
2. Bobot Jantung (kg) 0,99 ± 0,30a 0,45 1,01 ± 0,42 a 0,36
3. Bobot Hati(kg) 2,03 ± 0,64 a 0,94 2,91 ± 0,17 b 1,04
4. Bobot Paru-Paru (kg) 1,74 ± 0,22 a 0,80 2,03 ± 0,26 a 0,72
5. Bobot Limpa (kg) 0,70 ± 0,05 a 0,32 0,72 ± 0,10 a 0,26
6. Bobot Diapragma (kg) 0,82 ± 0,17a 0,38 1,00 ± 0,12 a 0,36
Sumber : Data Primer diolah (2018)
Keteragan : a. Bobot potong rendah (200-250 kg)
b. Bobot potong tinggi (251-300 kg)
c. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
berbeda nyata ( P<0,05)
B. Bobot Potong
Pada Tabel 1. tercantum hasil penelitian bobot potong sapi Bali dengan
bobot potong tinggi 280,35±18,67 kg sedangkan bobot potong rendah
215,35±15,94 kg. Perbedaan rata-rata bobot potong rendah dan bobot
potong tinggi di pengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan seperti pakan,
jenis kelamin, bangsa, umur hormon dan kesehatan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Lestari et al. (2017) bahwa umur sangat mempengaruhi bobot
potong dan produksi karkas sapi Bali. Selain umur bobot potong di
pengaruhi juga oleh sistem pemeliharaan dan kondisi lingkungan ternak itu
sendiri.
19
C. Bobot Jantung
Rata-rata bobot jantung sapi Bali terter pada Table 1. Rrata-rata bobot
jantung sapi Bali dengan bobot potong rendah yaitu 0,99±0,30 kg dan
bobot bobot potong tinggi yaitu 1,01±0,42 kg. Persentase bobot jantung
sapi Bali dengan bobot potong rendah 0,45% dan bobot potong tinggi 0,36%
lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Suparyanto, (2002) pada
ternak besar yaitu dengan persentase 0,91% dan bobot jantung1,99 kg
Berdasarkan analisis uji-t menunjukkan bahwa bobot potong tidak
berbeda nyata tehadap bobot jantung (P<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
bangsa ternak besar akan mempunyai bobot lahir, kecepatan tubuh dan
bobot saat dewasa yang lebih besar dari bangsa yang kecil dan juga
memiliki bobot yang berat pada umur yang sama.
D. Bobot Hati
Pada Table 1. tercantum hasil penelitian bobot hati sapi Bali dengan
bobot potong rendah rata-rata 2,03±0,64 kg dengan persentase 0,94 % dan
sapi Bali dengan bobot potong tinggi 2.91±0,17 kg dengan persentase
1,04%. Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dinyatakan oleh Portillo
(2000) yaitu pada saat sapi lahir, bobot hati mencapai ± 2.2% dari bobot
hidupnya, sedangkan pada saat usia dewasa berat hati mencapai ± 1.3-
1.45% dari bobot hidupnya. Pada sapi dengan bobot hidup 300-400 kg,
perkiraan bobot hati sekitar 3000-4600 g, sedangkan sapi dengan bobot
hidup 450-600 kg maka perkiraan berat hati akan mencapai 4000-8600 g.
20
Bobot tersebut dapat berkurang hingga 8% jika sapi di istirahatkan selama
24 jam.
Berdasarkan hasil analisis uji-t menunjukan bahwa sapi dengan bobot
potong rendah dan bobot potong tinggi berbeda nyata (p>0,05). Bobot hati
ternak sapi menurun dengan bertambahnya umur. Hal ini sesuai dengan
pendapat Likadja (2009), persentase bobot hati menurun pada umur yang
lebih tua, terjadi kecendrungan pertumbuhan hati dan paru-paru termasuk
organ masak dini.
E. Bobot Paru-paru
Pada Tabel 1. tercantum hasil rata-rata bobot paru-paru sapi bobot
potong rendah adalah 0,80 % dengan rata-rata bobot potong adalah
1,74±0,22 kg dan rata-rata bobot paru-paru sapi Bali bobot potong tinggi
adalah 2,03±0,26 kg dengan persentase 0,72 %. Penelitian ini mendekati
dari hasil penelitian Lawrie (1995), memperhitungkan Berat paru-paru sapi
berkisar antara 2-2,5kg dari bobot hidupnya atau berarti sekitar 0,5% dari
bobot hidupnya.
Hasil analisis uji -t menunjukan bahwa berbeda nyata antara sapi
bobot potong rendah dengan sapi bobot potong tinggi tidak berbeda nyata
(P<0,05). Hal ini di karenakan pertumbuhan paru-paru memiliki laju
pertumbuhan yang sama dengan organ tubuh yang lain dimana jika umur
ternak lebih muda maka pertumbuhan paru-paru akan meningkat sehingga
pada pertumbuhan mencapai dewasa menurun. Hal ini sesuai dengan
pendapat Soeparno (2005), pertumbuhan yang menyatakan bahwa paru-paru
ternak besar hampir sama dengan laju pertumbuhan tubuh, paru-paru
21
berkembang mulai dari lahir dan menurun pada saat mencapai kedewasaan.
Persentase bobot paru-paru menurun pada umur yang lebih tua, terjadi
kecendrungan pertumbuhan hati dan paru-paru yang masuk pada golongan
masak dini (Likadja, 2009).
F. Bobot Limpa
Pada Tabel 1. tercantum hasil rata-rata bobot limpa sapi Bali dengan
bobot potong rendah yaitu 0,70 ±0,05 kg dan bobot limpa sapi Bali dengan
bobot potong tinggi adalah 0,72 ±0,10 kg. Adapun persentase dari bagian
limpa pada bobot potong rendah yaitu 0,32% dan pada bobot potong tinggi
yaitu 0,26% dari bobot potong.
Berdasarkan analisis uji-t menunjukkan bahwa bobot potong tidak
berpengaruh dan tidak berbeda nyata (P<0,05) terhadap bobot limpa. Hal ini
membuktikan bahwa produktivitas limpa pada sapi dapat diukur melalui
pertambahan bobot potong. Produktivitas tersebut tidak terlepas pada dua
faktor yaitu genetik dan lingkungan (Djajanegara, dkk, 1992). Faktor
genetik merupkan potensi yang dimiliki oleh ternak itu sendiri, sedangkan
faktor lingkungan faktor yang mempengaruhi produktifitas ternak. Faktor
lingkungan terdiri dari pakan, manajemen dan iklim (suhu dan kelembaban).
G. Bobot Diapragma
Tabel 1. Menunjukkan rata-rata bobot diapragma sapi Bali potong
rendah yaitu 0,82±0,17 kg dengan persentase 0,38 % dari bobot potong
sedangkan sapi Bali dengan bobot potong diapragma tinggi 1,00±0,12 kg
dengan persentase 0,36 % dari bobot potong. Berdasarkan analisis uji-t
22
bahwa sapi Bali bobot potong rendah dan sapi Bali bobot potong tinggi
tidak berbeda nyata (p<0,05).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2004. https://blogerinrda/hhd/ffo/jaringanototdalampadahewanbesar.com
diakses pada 12 maret 2018.\
Anonim, 2012. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung : Universitas
Pendidikan Indonesia.
Anonim, 2017. Indeks LQ 45. https://www.sahamok.com/bei/indeks-bursa/indeks-
Iq-45/. Diakses pada tanggal 15 November 2018.
Adiwinarti, R., C.M.S. Lestari, E. Purbowati, E. Rianto dan J.A. Prawoto, 1999.
Karakteristik Karkas dan Non Karkas Domba yang Diberi Pakan
Tambahan Limbah Industri Kecap dengan Aras yang Berbeda. J.
Pengembangan Peternakan Tropis. 24(4): 127 – 134.
[Apfindo]Asosiasi Pengusaha Feedlot Indonesia. 2010. Menuju swasembada
daging tahun 2014. Makalah disampaikan pada pertemuan koordinasi
komisi bibit dan pakar, Direktorat Jenderal Peternakan Departemen
Pertanian Republik Indonesia. Bandung: 8-10 Juni 2010.
Ball, H. & A. R. Peters. 2004. Reproduction in Cattle. 3𝑟𝑑 Ed. Blackwell
Publishing Ltd., Oxford
[BAPPENAS] 2014 Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium
diIndonesia 2014. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional .
[BPS] Badan Pusat Statistik NTB. 2016. Statistik Rumah Potong Hewan Provinsi
Nusa Tenggara Barat 2016. Download:http;//ntb.bps.go.id (diakses
tanggal 5 Maret 2018).
Berg, R.T. dan R.M. Butterfield, 1976. New Concepts of Cattle Growth. 1𝑠𝑡 Ed.
Sidney University Press, Sidney.
Bowker, W.A.T., R.G. Dumsday, J.E. Frisch, R.A. Swan and N.M. Tulloh. 1978. Beef Cattle Management and Economics. AVCC-AACC, Camberra.
Campos, M. A. and J. G. Areas. 1993. Protein nutritional value of extrusion
cooking defatted lung flour. Food Chesmistry 47 : 61- 66. dalam :
Gusyana, Ramdani. 2002. Pembuatan tepung paru 10 sapi menggunakan
Batch Fludized Solid Dryer pada berbagai tingkat suhu pengeringan.
23
Skripsi Jurusan Ilmu Produksi Ternak Fakultas Peternakan . Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Da Silva, AS, DA. Furtado , AN.De Medeiros, RG. Costa , MF. Cezar , JMP.
Filho . 2011. Characteristics of carcass and non-carcass components in
feedlot native in the Brazilian Semiarid Region. R. Bras. Zootec
[Internet]. [diunduh 2013 Mar 14]; 40:1815-1821.
http://dx.doi.org/10.1590/S1516-35982011000800027
[Ditjen PKH] Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. Statistik
Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta (ID) : Direktorat Jendral
Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementrian Pertanian.
Dellmann. D. dan E. Brown. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner I. Penerjemah
Hartono. Ed 3. Penerbit Univ Indonesia. Hal 246-275
Djajanegara, A.; I.K. Sutama dan M. Sabrani, 1992. Ragam Kinerja Domba Ekor
Gemuk. Prosiding Seminar Agroindustri Peternakan di Pedesaan, pp.
530-235. BPT Ciawi, Bogor.
Farlis, J. 1981. Penentuan Berat Karkas Berdasarkan Berat Hidup Pada Berbagai
Kondisi Terhadap Sapi Lokal di Rumah Potong Kodya Padang. Fakultas
Peternakan Universitas Andalas.
Frandson, R. D., 1996, Anatomi Dan Fisiologi Ternak, edisi ke -7, diterjemahkan
oleh Srigandono, B Dan Praseno, k, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta
Gerrard, F. 1997. Meat technology. 5th Ed. Northwood Publication Ltd.
Hardjosubroto, W dan J.M. Astuti. 1993. Buku Pintar Peternakan. Jakarta : PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Hadi, P. U. dan Ilham, N. 2002. Problem dan Prospek Pengembangan Usaha
Pembibitan Sapi Potong. Jurnal Litbang Pertanian, volume 4 Nomor 21 :
149. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
Bogor. Hanggana, S. 2008.
Hartono, 2008. Spss 16.0 Analisis data statistik dan penelitian edisi ke I, cetakan I.
Pustaka belajar. yogyakarta
Herman R. 2005. Produksi karkas dan non karkas domba priangan dan ekor
gemuk pada bobot potong 17,5 dan25,0 Kg. Med. Pet.. Med. Pet...
28(1):8-12.
24
Hudallah C.M., E lestari E dan purbowati. 2007. Persentase karkas dn non aras
domba loal jantan dengan metode pemberian pakan yang berbeda.
didalam Darmono DKK, penyunting akselerasi agribisnis peternakan
nasional melalui pengembangan daan penerapan IPTEK . Prosidding
Seminar Nasional Tekhnologi Peternakan Dan Veterine: bogor, 21-22
agustus 2007, hlm 487-494
[KEMENTAN], (Ditjen PKH) Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan
Hewan. 2016. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta (ID) :
Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementrian
Pertanian.
Lawrie, R A. 2003, Ilmu Daging. Edisi kelima. Terjemahan: Parakkasih, A.
Universitas Indonesia. Jakarta
Lestari, C. M. S, purbowowati, S. Dartosukarno dan E. Rianto. 2014 Sistem
Produsi Dan Produtivitas Sapi Jawa-Brebes Dengan Pemeliharaan
Traditional. Jurnal Peternakan.
Likadja, J.C. 2009. Persentase Non Karkas dan Jeroan Kambing Kacang pada
Umur dan Ketinggian Wilayah Berberda di Sulawesi Selatan. Buletin
Ilmu Peternakan Dan Perikanan, 13 (:29-35).
Mc Cornick,R.J.1994, structure dan properties of tisue. In D.M. kinsman,
A.W.kotula, and B.C breidenstein (Eds). Muscle foods, meat, poultry and
Seadfood technology. Chapman and Hall, Inc., New York.
Payne, W.J.A. and D.H.L. Rollinson. 1973. Bali cattle from World Animal
Review. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Via
Delle Terme. Italy
Panjaitan, T., G. Fordyce, & D. Poppi. 2003. Bali Cattle Performance in the Dry
Tropics of Sumbawa. Jurnal. Ilmu Ternak dan Veteriner. Vol. 8. No. 3 :
183—188
Pane, I. 1990. Pemuliabiakan Ternak Sapi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Prasojo, G., I. Arifiantini, dan K. Mohamad. 2010. Korelasi Antara Lama
Kebuntingan, Bobot Lahir dan Jenis Kelamin Pedet Hasil Inseminasi
Buatan pada Sapi Bali. Jurnal Veteriner. Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor. Bogor. Vol. 11. No. 1 : 41- 45
Pearson AM, TR. Dutson. 1988. Edible Meat by Products - Advences in Meat
Research Vol.5. London and New York: Elsevier Applied Science.
Portillo, F.G. 2000. Molecular and cellular biology of Salmonella pathogenesis in
microbial foodborne disease: Mechanisms of pathogenesis and toxin
synthesis Ed-1. (Eds: J.W. Cary, J.E. Linz, D. Bhatnagar). Technomic
25
Publishing Company., Inc. 851 New Holland Avenue Box 3535.
Lancester, Pennysylvania 17604 USA, pp 3-7..\
Saladin, R. 1972. Ilmu Tilik Hewan. Fakultas Peternakan Universitas Andalas,
Padang.
Schweiger, B. S. 1987. The nutritional content and valueof mead and meat science
of meat products..In; prince J.P. and B.S. Schweiger(eds). The Science of
Meat and meat produck food and Nutrition press, inc., connecticut.
Samuel JL, O’boyle DA, Mathers WJ, Frost AJ. 1980. The contamination with
Salmonella of bovine livers in an abattoir. Aus Vet J 56:526–528.
Small A, Reid CA, Avery SM, Karabasil N, Crowley C, Buncic S. 2002.Potensial
for the spread of Escherichia coli O157, Salmonella, and Campylobacter
in the lairage environment at abattoirs. J Food Protect 65:931-936.
Soeparno, 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi I. Gadjah Mada University
PressYogyakarta.
Soeparmo, 1994. Ilmu dan tekhnologi daging. Gajah mada university, yogyakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke-4. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Sukanata, W. 2010. Sapi Bali. Http://staff.unud.ac.id/~sukanata/?p=4. Diakses
pada : 18-03-2018.
Suparyanto, A. 2002. Mengenal Ekspresi dan Karakteristik Gen Callipyge pada
Kambing, Balai Penelitian Ternak Bogor.
Suryana. 2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi Agribisnis
dengan Pola Kemitraan. Jurnal Litbang Pertanian 28(1): 29-37
Susilorini, E. T. 2008. Budi Daya 22 Ternak Potensial. Penebar Swadaya, Jakarta.
Stell, R.G.D dan Torrie, J.H. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu
Pendekatan Biometrik. Cetakan ke-2. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Suswono. 2009. Pemotongan sapi lokal produktif. Departemen Pertanian. Jakarta.
Tonra, A.W. 2010. Mengenal Sapi Bali. Http://andi wawantonra.blogspot.com
/2010/02/ mengenal-sapi-bali.html. Diakses pada: 22-10-2012
Wang, B., Y. L. Xiong and S.srinivasan 1997. Chemichal Stability of antioxidant-
washed beef heart Surimi during storage. Journal of food science.
62:939-945.
26
Yosita, M. U, Santosa, dan E. Y, Setyowati. 2011. Persentase karkas, tebal lemak
punggung dan indeks perdagingan sapi bali, peranakan ongole dan
Australian commercial cross. Jurnal Ilmiah. Fakultas Peternakan.
Universitas Padjadjaran, Sumedang.
Zidani, M.,Kasemi, A., Dougbag, A., El Ghazzaw, E., El Aziz, M. A., and
REINHARD Pabst, R. 2000. The Spleen of the One Humped Camel
(Camelus dromedarius) has a Unique Histological Structure. J. Anat.
(2000) 196, pp. 425-432