Perbandingan Skema Parameterisasi Dalam Simulasi Cuaca Numerik Menggunakan Model Wrf-Arw

8
1 PERBANDINGAN SKEMA PARAMETERISASI DALAM SIMULASI CUACA NUMERIK MENGGUNAKAN MODEL WRF-ARW (STUDI KASUS HUJAN EKSTRIM DI BALIKPAPAN TANGGAL 5 JULI 2008) Dias Rizkiana, Josephine, Muhshonati Syahidah, Piala Ameldam, Vera Arida Program Studi Meteorologi – Institut Teknologi Bandung Labtek XI Lantai 2 Jl. Ganesha No. 10 Bandung 40132 ABSTRAK Pola hujan di provinsi Kalimantan dipengaruhi oleh posisinya yang berada di ekuator. Pola hujan ekuatorial setiap bulan selalu ada hujan dengan intensitas yang beragam. (Bambang Hargiyono). Dalam penelitian ini, akan dikaji kasus hujan ekstrim yang memicu banjir di Balikpapan pada tanggal 5 Juli 2008 menggunakan Model Simulasi Cuaca Numerik (Numerical Weather Prediction Model) WRF-ARW dengan skema parameterisasi kumulus, PBL (Planetary Boundary Layer) dan mikrofisis yang berbeda-beda untuk mengetahui ketepatan skema terhadap kejadian curah hujan ekstrim. Dari hasil verifikasi secara statistic dengan diagram Taylor, skema2 (WSM6 BMJ YSU) lebih dapat merepresentasikan keadaan atmosfer pada saat kejadian. Selain itu dengan menggunakan data citra satelit MTSAT dapat dikaji proses pertumbuhan awan diatas daerah tersebut yang memicu terjadinya hujan. Plot evolusi CAPE dapat digunakan untuk menganalisa proses pertumbuhan awan konvektif. Kata kunci: Numerical Weather Prediction Model, Parameterisasi konveksi, Parameterisasi PBL, Parameterisasi mikrofisis, CAPE, hujan ekstrim I. PENDAHULUAN Pada sabtu 5 juli 2008 sedikitnya 1000 rumah di lima kelurahan di Balikpapan, Kalimantan Timur terendam banjir sejak pukul 07.00. Banjir di Kecamatan Balikpapan Selatan itu terjadi di Kelurahan Batu Ampar, Gunung Sari, Sumber Rejo, Gunung Bahagia, dan Damai. Namun, yang paling parah terjadi di Kelurahan Damai karena permukiman di 16 RT terendam satu hingga dua meter. Menurut penduduk, banjir ini terjadi karena debit air sangat besar dan sungai ampal tidak sanggup menampungnya. Sementara itu, daerah resapan air di sepanjang sungai juga berubah menjadi kawasan permukiman.Akibat luapan Sungai Ampal itu, Jalan MT Haryono yang merupakan jalur menuju kawasan elite Balikpapan Baru terputus karena ketinggian air di jalan mencapai dua meter. (sumber:http://kompas.com) Pada saat itu tercatat curah hujan dengan intensitas cukup tinggi dimana dilaporkan oleh stasiun meteorologi Balikpapan sekitar 50 mm/jam. Kondisi fisis atmosfer pada daerah tropis sangat tidak menentu yang mengakibatkan kesulitan simulasi cuaca pada daerah tropis. Oleh sebab itu dibutuhkan metode simulasi cuaca skala meso yang mampu mendekati kondisi atmosfer sebenarnya. Dalam penelitian ini digunakan model simulasi numeric WRF-ARW. Weather Research and Forecasting – Advanced Research WRF (WRF-ARW) merupakan model generasi lanjutan sistem simulasi cuaca numerik skala meso yang didesain untuk melayani simulasi operasional dan kebutuhan penelitian atmosfer. Model ini mempunyai keistimewaan inti dinamik yang berlipat, variasi 3-dimensional (3DVAR) sistem asimilasi data dan arsitektur perangkat lunak yang mengijinkan untuk melakukan komputasi secara paralel dan sistem ekstensibel. WRF cocok untuk aplikasi yang luas dari skala meter sampai ribuan meter (NCAR Technical Note, 2005). Usaha untuk mengembangkan WRF merupakan kerjasama kolaborasi, yang pada prinsipnya antara National Center for Atmospheric Reasearch (NCAR), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), National centers for Environmental Prediction (NCEP) dan Forecast systems Laboratory (FSL), dan Air Force Weather Agency (AFWA), Naval Reasearch Laboratory, Universitas Oklahoma dan Federal Aviation Administration (FAA) dengan versi pertamanya WRF versi 1.0 yang di-release Desember 2000. Saat ini versi terbaru dari WRF adalah WRF-ARW V3.1.1 yang di-release bulan April 2009 yang dipakai sebagai tool dalam penelitian kali ini. II. DATA DAN EKSPERIMEN Initial dan boundary condition dari model digunakan data FNL (Final Analysis) tanggal 1 – 8 Juli 2008 00 UTC dengan interval waktu 3 jam. Untuk verifikasi terhadap hasil simulasi di setiap skema model digunakan citra satelit MTSAT IR1-IR3 tiap 3 jam dengan resolusi spasial 4 km x 4 km dari http://weather.is.kochi-u.ac.jp/sat/GAME serta data observasi cuaca sinoptik dari BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) untuk titik - titik stasiun di Balikpapan dan Samarinda diperoleh dari http://ogimet.com/displaysynop tanggal 1 – 8 Juli 2008 00 UTC dengan interval waktu 3 jam. Dilakukan dua tahapan langkah pengerjaan, yaitu running (menjalankan program) WRF-ARW dengan 2 (dua) skema terpilih dan selanjutnya dilakukan verifikasi hasil dan analisis. Model WRF-ARW dijalankan dalam 2 (dua) domain. Domain 1 (D01) dengan wilayah meliputi 3.530075 o LU hingga 15.88973 o LS serta 96.95513 o BT hingga 116.5849 o BT dengan resolusi 27 km, domain 2 (D02) meliputi 9.77201 o LS hingga 7.26662 o LS serta 108.347 o BT hingga 125.453 o BT dengan resolusi 9 km. (Gambar.1)

description

xcvb

Transcript of Perbandingan Skema Parameterisasi Dalam Simulasi Cuaca Numerik Menggunakan Model Wrf-Arw

Page 1: Perbandingan Skema Parameterisasi Dalam Simulasi Cuaca Numerik Menggunakan Model Wrf-Arw

1

PERBANDINGAN SKEMA PARAMETERISASI DALAM SIMULASI CU ACA NUMERIK MENGGUNAKAN MODEL WRF-ARW

(STUDI KASUS HUJAN EKSTRIM DI BALIKPAPAN TANGGAL 5 JULI 2008)

Dias Rizkiana, Josephine, Muhshonati Syahidah, Piala Ameldam, Vera Arida

Program Studi Meteorologi – Institut Teknologi Bandung

Labtek XI Lantai 2 Jl. Ganesha No. 10 Bandung 40132

ABSTRAK

Pola hujan di provinsi Kalimantan dipengaruhi oleh posisinya yang berada di ekuator. Pola hujan ekuatorial setiap bulan selalu ada hujan dengan intensitas yang beragam. (Bambang Hargiyono). Dalam penelitian ini, akan dikaji kasus hujan ekstrim yang memicu banjir di Balikpapan pada tanggal 5 Juli 2008 menggunakan Model Simulasi Cuaca Numerik (Numerical Weather Prediction Model) WRF-ARW dengan skema parameterisasi kumulus, PBL (Planetary Boundary Layer) dan mikrofisis yang berbeda-beda untuk mengetahui ketepatan skema terhadap kejadian curah hujan ekstrim. Dari hasil verifikasi secara statistic dengan diagram Taylor, skema2 (WSM6 BMJ YSU) lebih dapat merepresentasikan keadaan atmosfer pada saat kejadian. Selain itu dengan menggunakan data citra satelit MTSAT dapat dikaji proses pertumbuhan awan diatas daerah tersebut yang memicu terjadinya hujan. Plot evolusi CAPE dapat digunakan untuk menganalisa proses pertumbuhan awan konvektif.

Kata kunci: Numerical Weather Prediction Model, Parameterisasi konveksi, Parameterisasi PBL, Parameterisasi mikrofisis, CAPE, hujan ekstrim

I. PENDAHULUAN

Pada sabtu 5 juli 2008 sedikitnya 1000 rumah di lima kelurahan di Balikpapan, Kalimantan Timur terendam banjir sejak pukul 07.00. Banjir di Kecamatan Balikpapan Selatan itu terjadi di Kelurahan Batu Ampar, Gunung Sari, Sumber Rejo, Gunung Bahagia, dan Damai. Namun, yang paling parah terjadi di Kelurahan Damai karena permukiman di 16 RT terendam satu hingga dua meter. Menurut penduduk, banjir ini terjadi karena debit air sangat besar dan sungai ampal tidak sanggup menampungnya. Sementara itu, daerah resapan air di sepanjang sungai juga berubah menjadi kawasan permukiman.Akibat luapan Sungai Ampal itu, Jalan MT Haryono yang merupakan jalur menuju kawasan elite Balikpapan Baru terputus karena ketinggian air di jalan mencapai dua meter. (sumber:http://kompas.com)

Pada saat itu tercatat curah hujan dengan intensitas cukup tinggi dimana dilaporkan oleh stasiun meteorologi Balikpapan sekitar 50 mm/jam.

Kondisi fisis atmosfer pada daerah tropis sangat tidak menentu yang mengakibatkan kesulitan simulasi cuaca pada daerah tropis. Oleh sebab itu dibutuhkan metode simulasi cuaca skala meso yang mampu mendekati kondisi atmosfer sebenarnya. Dalam penelitian ini digunakan model simulasi numeric WRF-ARW.

Weather Research and Forecasting – Advanced Research WRF (WRF-ARW) merupakan model generasi lanjutan sistem simulasi cuaca numerik skala meso yang didesain untuk melayani simulasi operasional dan kebutuhan penelitian atmosfer. Model ini mempunyai keistimewaan inti dinamik yang berlipat, variasi 3-dimensional (3DVAR) sistem asimilasi data dan arsitektur perangkat lunak yang mengijinkan untuk melakukan komputasi secara paralel dan sistem ekstensibel. WRF cocok untuk aplikasi yang luas dari skala meter sampai ribuan meter (NCAR Technical Note, 2005).

Usaha untuk mengembangkan WRF merupakan kerjasama kolaborasi, yang pada prinsipnya antara National Center for Atmospheric Reasearch (NCAR), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), National centers for Environmental Prediction (NCEP) dan Forecast systems Laboratory (FSL), dan Air Force Weather Agency (AFWA), Naval Reasearch Laboratory, Universitas Oklahoma dan Federal Aviation Administration (FAA) dengan versi pertamanya WRF versi 1.0 yang di-release Desember 2000. Saat ini versi terbaru dari WRF adalah WRF-ARW V3.1.1 yang di-release bulan April 2009 yang dipakai sebagai tool dalam penelitian kali ini.

II. DATA DAN EKSPERIMEN

Initial dan boundary condition dari model digunakan data FNL (Final Analysis) tanggal 1 – 8 Juli 2008 00 UTC dengan interval waktu 3 jam.

Untuk verifikasi terhadap hasil simulasi di setiap skema model digunakan citra satelit MTSAT IR1-IR3 tiap 3 jam dengan resolusi spasial 4 km x 4 km dari http://weather.is.kochi-u.ac.jp/sat/GAME serta data observasi cuaca sinoptik dari BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) untuk titik - titik stasiun di Balikpapan dan Samarinda diperoleh dari http://ogimet.com/displaysynop tanggal 1 – 8 Juli 2008 00 UTC dengan interval waktu 3 jam.

Dilakukan dua tahapan langkah pengerjaan, yaitu running (menjalankan program) WRF-ARW dengan 2 (dua) skema terpilih dan selanjutnya dilakukan verifikasi hasil dan analisis.

Model WRF-ARW dijalankan dalam 2 (dua) domain. Domain 1 (D01) dengan wilayah meliputi 3.530075o LU hingga 15.88973oLS serta 96.95513oBT hingga 116.5849o BT dengan resolusi 27 km, domain 2 (D02) meliputi 9.77201oLS hingga 7.26662o LS serta 108.347oBT hingga 125.453oBT dengan resolusi 9 km. (Gambar.1)

Page 2: Perbandingan Skema Parameterisasi Dalam Simulasi Cuaca Numerik Menggunakan Model Wrf-Arw

2

Gambar 1. Domain Penelitian

Pada domain 2 inilah berbagai skema parameterisasi telah dijalankan hingga menghasilkan keluaran yang paling mendekati observasi.

Tabel 1 Daftar Eksperimen

Nama eksperimen P.mikrofisis P.kumulus P. PBL

EKS 1 Kessler Kain YSU

EKS 2 WSM6 BMJ YSU

Pada penelitian ini kami menggunakan 2 skema

parameterisasi mikrofisis, yaitu Kessler dan WSM 6. Skema Kessler biasa digunakan dalam studi model awan ideal yang meliputi uap air, cloud water dan hujan. Proses mikrofisis yang disediakan meliputi: produksi, turunnya serta evaporasi air hujan, akresi dan konversi cloud water, dan produksi cloud water dari kondensasi . Skema WSM6 adalah Skema dengan proses pembentukan es, salju, dan batu es yang cocok untuk simulasi beresolusi tinggi. Skema WSM3, WSM5, dan WSM6 bekerja tidak jauh berbeda pada grid skala meso yang kasar, tetapi perilaku ketiga skema tersebut sangat berbeda untuk skala grid awan. Dari ketiga skema, WSM6 paling cocok untuk skala grid awan.

Skema WSM6 merupakan pengembangan dari skema WSM5 dengan menambahkan proses yang berhubungan dengan graupel. Penambahan proses graupel ini berdasarkan laporan dari Lin dkk (1983) dan Rutledge dan Hobbs (1984). Sehingga variabel prognostik dalam skema ini terdiri dari mixing ratio uap air (qv), tetes awan (qc), awan es (qi), salju (qs), hujan (qr), dan graupel (qg).

Skema parameterisasi cumulus yang digunakan ada 2 yaitu kain-Fritsch dan Betts-Miller-Janjic. Skema Kain-Fritsch merupakan skema yang dirancang untuk menyusun ulang massa di dalam kolom udara sehingga CAPE dapat digunakan. Model awan diformulasikan menjadi dettrainment-entrainment dengan parsel bouyancy yang dihitung sebagai fungsi dari parsel yang tercampur dengan lateral antara lingkungan dan updraft. Skema ini didesain untuk ukuran grid 20-25km. Skema ini memuat proses fisik awan yang sangat lengkap dalam parameterisasi konvektif dan memiliki parameter downdraft sehingga memungkinkan simulasi lebih baik untuk respon skala meso dan memungkinkan untuk sebagian besar skema. Kekurangan skema ini adalah batas CAPE tidak sesuai untuk lingkungan tropis dan dapat menyebabkan konveksi yang sangat kuat.

Kelebihan skema BMJ adalah mixing line didesain untuk laut tropis grid yang kasar dan kasus-kasus yang

mempengaruhi lingkungan. Sangat sempurna untuk berbagai variasi aplikasi dan dapat mengadaptasi untuk mesoscale dengan penyesuaian beberapa parameter. Hal tersebut digunakan dalam operasional NCEP Eta Model. Kelemahan skema ini adalah tidak memasukkan parameter downdraft konvektif dan batas mixing line muncul kurang tepat dalam kasus konvektif dalam yang eksplosif dan tidak langsung menimbulkan skala tinggi dan rendah dari meso. (kadarsah.wordpress.com)

Skema parameterisasi lapisan batas atmosfer yang digunakan adalah Yonsei University Scheme. Skema ini adalah skema penyempurnaan dari skema MRF. Skema ini memasukkan unsur-unsur profil K parabolik dalam lapisan pencampuran yang tidak stabil, kedalaman PBL ditentukan dari profil temperatur , perlakuan eksplisit untuk entrainment,dan difusi vertikal Simulasi dari 2 sensitivitas yang berbeda kombinasi dari skema meteorology. Skema ini bergantung pada bilangan Bulk Rihardson. Jumlah counter gradient yang lebih sedikit di YSU PBL menghasilkan sebuah profil lapisan batas yang well mixed mengingat adanya struktur yang kelewat stabil di bagian atas dari lapisan campuran pada skema MRF PBL.Dalam penelitian ini dilakukan pengujian beberapa skema parameterisasi kumulus, PBL dan mikrofisis yang berbeda - beda untuk memsimulasi hujan ekstrim di daerah Balikpapan. Dari kombinasi beberapa skema paramerisasi diharapkan dapat diperoleh skema mana yang lebih mendekati kejadian sebenarnya.

Setelah semua eksperimen dijalankan kemudian dilakukan analisis untuk mengetahui skema mana yang terbaik untuk merepresentasikan keadaan atmosfer sebenarnya. Untuk memverifikasi hasil model, kami menggunakan diagram taylor yang dapat digunakan untuk membandingkan nilai korelasi, RMSE, dan standar deviasi antar skema. Parameter yang kami analisis adalah parameter yang berhubungan dengan curah hujan yaitu parameter suhu, titik embun, kelembapan, CAPE dan presipitasi itu sendiri.

Analisis secara spasial dilakukan dengan 2 (dua) titik stasiun pengamatan hujan, masing- masing adalah stasiun meteorologi Balikpapan (1.27 oLS, 116.89 oBT) dan stasiun meteorologi Samarinda (0.62 oLS, 117.15 oBT).

Selain melakukan verifikasi dengan diagram taylor, kami juga akan mendeskripsikan keadaan fisis di daerah tersebut dengan menggunakan hasil citra satelit MTSAT untuk melihat tutupan awan diatas daerah yang bersangkutan.

Page 3: Perbandingan Skema Parameterisasi Dalam Simulasi Cuaca Numerik Menggunakan Model Wrf-Arw

3

III. HASIL DAN ANALISIS

Perbandingan Eksperimen

Tabel 2. perbandingan data citra satelit MTSAT IR1 dengan hasil model WRF (per 3 jam)

waktu MTSAT (IR1-IR3) Skema 1 Skema 2

4 Juli 2008

15.00 UTC

4 Juli 2008 18.00 UTC

4 Juli 2008 21.00 UTC

5 Juli 2008 00.00 UTC

Page 4: Perbandingan Skema Parameterisasi Dalam Simulasi Cuaca Numerik Menggunakan Model Wrf-Arw

4

5 Juli 2008 03.00 UTC

5 Juli 2008 06.00 UTC

5 Juli 2008 09.00 UTC

6 Juli 2008 03.00 UTC

6 Juli 2008 12.00 UTC

Page 5: Perbandingan Skema Parameterisasi Dalam Simulasi Cuaca Numerik Menggunakan Model Wrf-Arw

5

Tabel 3. Metode Cloud Indexing

Ice Mixed Water

TIR1 – IR3 < 10 K 10 K< TIR1 – IR3 < 29 K TIR1 – IR3 ≥ 46 K

Dengan menggunakan metode cloud indexing maka fasa awan yang dihasilkan dari data citra satelit MTSAT dapat dengan mudah dibedakan.

Pada Table.2 di atas menunjukkan perbandingan antara data citra satelit MTSAT (IR1-IR3) yang merupakan pergerakan awan cumulunimbus, dengan gambar curah hujan dari skema 1 dan 2. Terlihat bahwa hasil model dari kedua skema tidak menunjukkan keadaan hujan ekstrim di tanggal 4 juli 2008,2 UTC – 5 juli 2008,3 UTC. Sedangkan dari hasil citra satelit menunjukkan pertumbuhan awan cumulunimbus yang ditandai dengan warna biru tua yang meluas pada tanggal 5 juli 2008 pukul 00 UTC dan awan tersebut menyebar pada pukul 03 UTC.

Tabel 4. Diagram Taylor

Parameter Balikpapan Samarinda

RH

Tc

Td

Gambar 3 Diagram Taylor Data Permukaan 1. RH, 2. Tc, 3. Td (Ket : A=Skema1, B=Skema2)

Dari hasil pengolahan data dalam diagram taylor di atas, maka dapat dinyatakan bahwa pada setiap parameter tersebut korelasi, rmse (root mean square), dan standar deviasi dari kedua skema kurang dapat merepresentasikan data observasi pada kedua daerah tersebut. Kedua skema dalam model ini kurang cocok diaplikasikan untuk pengamatan di wilayah Balikpapan dan Samarinda. Namun dari kedua skema

tersebut, skema 2 lebih baik. Skema ini menggunakan parameterisasi mikrofisis WSM6, parameterisasi cumulus BMJ, dan parameterisasi PBL YSU.

Kemungkinan kedua skema secara keseluruhan kurang dapat merepresentasikan simulasi dengan baik karena keduanya menggunakan skema PBL YSU. Skema PBL YSU hanya

Page 6: Perbandingan Skema Parameterisasi Dalam Simulasi Cuaca Numerik Menggunakan Model Wrf-Arw

6

memperhitungkan faktor non lokal (sumber: Noh et (2004,BLM) al dan hasil kumulatif dari algoritma Pan dan Hong), sedangkan untuk daerah Balikpapan dan Samarinda cuaca banyak dipengaruhi oleh faktor lokal karena posisinya berdekatan dengan laut.

Parameterisasi WSM6 dapat merepresentasikan dengan baik karena parameterisasi ini menyertakan proses pembentukkan es, salju, dan batu es yang cocok untuk resolusi tinggi. Parametersisasi BMJ dapat merepresentasikan simulasi dengan baik karena batas didesain untuk laut tropis, sedangkan daerah pengamatan berada mixing line di dekat laut tropis.

Skema 1 terdiri atas parameterisasi Kain-Frisch dan Kessler. Skema ini kurang dapat merepresentasikan simulasi dengan

baik dibandingkan skema 2. Skema mikrofisis Kain-Frisch merupakan skema yang didesain untuk ukuran grid 20-25 km dimana hal itu bertujuan untuk pertama, memuat proses fisik awan yang sangat lengkap dalam parameterisasi konvektif. Kedua, parameter downdraft memungkinkan simulasi lebih baik untuk respon skala meso. Karena Grid yang kami gunakan dalam simulasi ini adalah 9 km, maka kedua tujuan diatas tidak tercapai. Hal ini membuat skema Kain-Frisch kurang baik merepresentasikan simulasi ini. Kedua wilayah ini memiliki pengaruh lebih besar dari lautan, posisi geografis keduanya terletak dekat laut dan berhadapan dengan Samudra Pasifik. Sedangkan untuk skema Kessler memiliki parameter hidrometeorologi yang sangat sederhana sehingga kurang dapat merepresentasikan simulasi dengan baik.

Tabel 5. Evolusi CAPE

STASIUN Skema 1 Skema 2

Balikpapan

Samarinda

CAPE merupakan area dimana suatu parsel udara lebih panas daripada lingkungannya. Area tersebut menunjukkan jumlah energi yang tersedia untuk parsel udara tersebut bergerak ke atas. CAPE dinyatakan dengan J/Kg. CAPE adalah salah satu indikator yang kuat untuk mengindikasi adanya potensi intensitas konvektif dan dapat digunakan untuk mengukur kelabilan atmosfer. Dalam Meteorologi, CAPE disebut sebagai APE ( Available Potential Energy ) yaitu jumlah energi suatu parsel saat terangkat pada jarak tertentu secara vertikal di atmosfer. (Ameka, 2005)

TABEL 5. Index stabilitas atmosfer – CAPE

CAPE (J/Kg) STABILITAS

0 Stable

0 – 1000 Marginally Stable

1000 – 2500 Moderately Stable

2500 - 3500 Very Unstable

> 3500 Extremely Unstable

www.meted.ucar.edu

Page 7: Perbandingan Skema Parameterisasi Dalam Simulasi Cuaca Numerik Menggunakan Model Wrf-Arw

7

Kejadian hujan dapat diidentifikasi dengan menggunakan analisis CAPE. Dari pengertian di atas maka kita dapat mengalisis pertumbuhan awan melalui proses konvektif. Dari gambar CAPE yang di plot tanggal 1 Juli 2008 pukul 00 UTC - 8 Juli 2008 pukul 00 UTC di dua stasiun yaitu Stasiun Samarinda dan Balikpapan dan menggunakan dua skema, yang menunjukkan adanya perubahan CAPE signifikan adalah hasil plot CAPE menggunakan skema 2. Skema pada model terlambat mensimulasikan sebesar 24 jam apabila dibandingkan dengan data observasi.

Kondisi atmosfer di wilayah Balikpapan pada tanggal 5 Juli 2008 yaitu kelabilan sedang (moderately stable), ditandai dengan nilai CAPE lebih besar dari 1000 J/Kg, terlihat pada tanggal 5 Juli 2008 pukul 15.00 UTC atau 23.00 WITA. Nilai tersebut menunjukkan adanya konvektif yang cukup

besar di wilayah tersebut. Nilai CAPE yang besar menyebabkan terbentuknya awan konvektif yang berpotensi menimbulkan hujan lebat.

Dapat dilihat adanya selisih waktu dari gambar CAPE yang menunjukkan nilai rendah dengan data hujan pada observasi. Dilihat dari hasil model dan data observasi, kejadian hujan lebat terjadi pada tanggal 5 Juli 2008 pukul 05.30 – 10.30 WITA dan ditandai dengan adanya nilai CAPE rendah sebesar 311,49 J/Kg pada tanggal 6 Juli 2008 pukul 03.00 UTC atau sesungguhnya tanggal 5 Juli 2008 pukul 08.00 WITA. Pada saat terjadi hujan, terjadi downdraft dan updraft melemah, sehingga proses konvektif ikut melemah dan CAPE menurun.

IV. AKURASI DATA

Tabel 6. Perbandingan hasil akurasi kedua model

Perbandingan kedua model pada table 6 dilihat dari korelasi dan rmse (root mean square) dengan data observasi, maka kedua model ini kurang baik merepresentasikan data observasi dari kedua daerah yang diamati di antara ketiga parameter ( temperatur, titik embun, dan kelembaban).

Tabel 7. Perbandingan data curah hujan dari kedua skema dengan data observasi

Presipitasi

(mm)

THREAT SCORE

0 5 10 15 20 25

KKY 0.274 0.171 0.25 0 0 0

WBY 0.297 0.157 0 0 0 0

Presipitasi

(mm)

BIAS

0 5 10 15 20 25

KKY 3.642 5.833 1.5 0.6 0.25 0

WBY 3.357 2.666 0.8 0.6 0.75 1

Presipitasi

(mm)

Accuracy

0 5 10 15 20 25

KKY 0.339 0.482 0.839 0.857 0.910 0.94

WBY 0.410 0.714 0.839 0.857 0.875 0.89

Untuk data presipitasi dilakukan verifikasi menggunakan THREAT SCORE, BIAS, dan ACCURACY. Verifikasi ini menggunakan threshold 0 mm, 5 mm, 10 mm, 15 mm, 20 mm, dan 25 mm. Melalui tabel 7 ketepatan prakiraan curah

hujan dengan data observasi dapat diamati dari nilai threatscorenya. Jika nilai threatscore samadengan 1, maka model dapat dikatakan tepat. Dari kedua skema yang digunakan maka terlihat bahwa semakin nilai threshold dinaikkan maka ketepatan model semakin buruk. Dengan menggunakan metode threatscore ini kedua skema tersebut kurang tepat dalam menyimulasikan hujan.

Melalui metode Bias dapat ditentukan bagaimana model tersebut menyimulasikan presipitasi, yaitu jika bias kurang dari 1 maka hasil model underprediction dan jika bias lebih dari 1 maka hasil model overprediction. Dari tabel di atas didapatkan bahwa semakin threshold dinaikkan maka skema WBY lah yang hasil biasnya sama dengan 1. Hal ini menunjukkan bahwa model WBY lebih tepat dibandingkan KKY.

Jika dilihat dari hasil metode accuracy, keakuratan model semakin baik bila nilai thresholdnya semakin dinaikkan.

V. KESIMPULAN

Model cuaca merupakan representasi yang lebih sederhana dari cuaca yang sesungguhnya, dalam bentuk persamaan-persamaan matematis dari fisika dan dinamika yang saling berhubungan, yang merepresentasikan proses-proses di dalam atmosfer. Rangkaian persamaan ini biasanya diselesaikan dengan bantuan komputer. Dari hasil simulasi menggunakan model cuaca Weather Reseacrh and Forecasting (WRF) pada domain daerah Balikpapan dan sekitarnya menunjukkan skema 1 dan 2 kurang dapat merepresentasikan data observasi. Dari kedua skema ini maka skema terbaik adalah skema 2, yaitu skema WSM6-BMJ-YSU.

Page 8: Perbandingan Skema Parameterisasi Dalam Simulasi Cuaca Numerik Menggunakan Model Wrf-Arw

8

VI. DAFTAR PUSTAKA Choi, Yong-Sang and Ho, Chang-Hoi. 2009. 'Validation of cloud property retrievals from MTSAT-1R imagery using MODIS observations',International Journal of Remote Sensing,30:22,5935 — 5958.

Hong, You Song and Lim, Jeong Ock Jade.2006. The WRF Single Moment 6-Class Microphysics Scheme(WSM6).Global Environment Laboratory, Department of Atmospheric Sciences, Yonsei University, Seoul, Korea.

Tjasyono HK, Bayong. 2004. ‘Klimatologi edisi ke-2’.

Bandung: Penerbit ITB

Ameka, I. (2005). Analisis Pertumbuhan Awan Konvektif

untuk Informasi Penerbangan. Bandung: Program Studi

Meteorologi ITB.

Source:

http://www.mit.edu/~yscindex.files/Choi2009IJRS.pdf

http://meted.ucar.edu

http://amsglossary.allenpress.com/glossary/search?id=bulk-richardson-number1

http://kadarsah.wordpress.com/2008/04/01/beberapa-skema-parameterisasi-awan-kumulus-/

NCAR Technical Note