PERBANDINGAN KARAKTERISTIK RESPON IMUN ADAPTIF …
Embed Size (px)
Transcript of PERBANDINGAN KARAKTERISTIK RESPON IMUN ADAPTIF …

UNIVERSITAS INDONESIA
PERBANDINGAN KARAKTERISTIK RESPON IMUN ADAPTIF
SELULAR ANTARA IBU HAMIL TERINFEKSI CACING WUCHERERIA BANCROFTI DENGAN IBU HAMIL SEHAT
SKRIPSI
DARA INDIRA DINIARTI 0806315036
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN UMUM JAKARTA JUNI 2012
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

i Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
PERBANDINGAN KARAKTERISTIK RESPON IMUN ADAPTIF
SELULAR ANTARA IBU HAMIL TERINFEKSI CACING WUCHERERIA BANCROFTI DENGAN IBU HAMIL SEHAT
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran
DARA INDIRA DINIARTI 0806315036
FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM STUDI KEDOKTERAN UMUM
JAKARTA JUNI 2012
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

ii Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Dara Indira Diniarti
NPM : 0806315036
Tanda tangan :
Tanggal : 11 Juni 2012
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

iii Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh Nama : Dara Indira Diniarti NPM : 0806315036 Program Studi : Pendidikan Dokter Umum Judul Skripsi : Perbandingan Karakteristik Respon Imun Adaptif Selular
antara Ibu Hamil Terinfeksi Cacing Wuchereria bancofti dengan Ibu Hamil Sehat
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar sarjana pada Program Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI Pembimbing : DR. Drs.Heri Wibowo, M. Biomed Penguji : DR. Drs.Heri Wibowo, M. Biomed
Penguji : Dr. Isabella Kurnia Liem, M. Biomed, Ph.D, PA Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 11 Juni 2012
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

iv Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala berkat,
rahmat, dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan
skripsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana
kedokteran pada Program Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Penulis merasa sangat terbantu oleh berbagai pihak yang
telah memberikan bantuan, bimbingan dan dukungan selama penyusunan skripsi
ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Drs. Heri Wibowo, M. Biomed sebagai dosen pembimbing yang telah
membimbing dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. Isabella Kurnia Liem, M. Biomed, Ph.D, PA sebagai penguji dari modul
riset yang memberikan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
3. Dr. dr. Saptawati Bardosono, MSc. selaku ketua modul riset Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia yang telah memberikan izin sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Keluarga penulis, Ayah Ir. Arsal Chandra, Ibu Rahmi Nusayanti, Kakak
Aviadi Fitrah Nusaputra dan Meili Harti yang selalu memberikan dukungan
baik material maupun moril dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Kelompok riset penulis, Nola Rizal, Rara Agung Rengganis, Febriani, Rana
Katina Fiola, dan Mahrani yang memberikan bantuan dan dukungan kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Segenap teman - teman angkatan 2008 Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, keluarga Bursa Kedokteran BEM – IKMFKUI, dan staf
Departemen Parasitologi yang turut memberikan bantuan dan dukungan dalam
penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penyusunan skripsi
ini. Penulis berharap semoga skripsi dapat memberikan manfaat bagi
pengembangan ilmu kedokteran dan masyarakat.
Jakarta, 11 Juni 2012
Dara Indira Diniarti
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

v Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama : Dara Indira Diniarti
NPM : 0806315036
Program Studi : Pendidikan Dokter Umum
Fakultas : Kedokteran
Jenis karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive
Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: ”Perbandingan
Karakteristik Respon Imun Adaptif Selular antara Ibu Hamil Terinfeksi Cacing
Wuchereria bancofti dengan Ibu Hamil Sehat” beserta perangkat yang ada (jika
diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini Universitas Indonesia
berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk
pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama
tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak
Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 11 Juni 2012
Yang menyatakan,
Dara Indira Diniarti
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

vi Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Dara Indira Diniarti Program Studi : Pendidikan Dokter Umum Judul : Perbandingan Karakteristik Respon Imun Adaptif Selular antara
Ibu Hamil Terinfeksi Cacing Wuchereria bancofti dengan Ibu Hamil Sehat
Filariasis (infeksi oleh cacing filaria) memiliki angka kejadian tinggi dan dampak cukup serius di dunia. Indonesia merupakan salah satu negara endemik filariasis. Penyebab filariasis tersering dan dengan sebaran terluas di dunia adalah Wuchereria bancrofti. Pada filariasis, tubuh memberikan respon imun adaptif selular berupa peningkatan aktivitas sel Th2 dan supresi sel Th1. Pada kehamilan terjadi perubahan regulasi sistem imun, namun respon imun adaptif selular terhadap cacing ini belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik respon imun adaptif selular pada ibu hamil yang terinfeksi Wuchereria bancrofti dibandingkan dengan ibu hamil sehat. Desain yang digunakan adalah Cross – Sectional dengan data sekunder dari penelitian induk berjudul “Pola Respon terhadap Antigen Tetanus Toxoid dari Bayi yang Lahir dari Ibu dengan Infeksi Cacing”, yang dilakukan di Kelurahan Jati Sampurna dan Jati Karya, Jawa Barat. Subjek penelitian adalah ibu hamil trimester ketiga (n = 63). Dasar penentuan status infeksi Wuchereria bancrofti adalah pemeriksaan Immunochromatography. Respon imun selular yang dianalisa adalah kadar IFN – γ (sel Th1) dan IL – 5 (sel Th2). Pengukuran kadar IFN – γ dilakukan dengan Luminex dan IL – 5 dengan ELISA. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kadar IFN – γ dan IL - 5 pada ibu hamil dengan infeksi Wuchereria bancrofti lebih tinggi secara bermakna (p = 0,01 untuk kadar IFN – γ; p = 0,015 untuk kadar IL-5) dibanding ibu hamil sehat. Setelah stimulasi antigen filaria, tampak bahwa kadar IL - 5 lebih tinggi secara bermakna dibandingkan IFN – γ (p=0,00). Disimpulkan bahwa terjadi peningkatan respon imun adaptif selular pada ibu hamil dengan infeksi Wuchereria bancrofti dibandingkan pada ibu hamil sehat, dengan kadar IL - 5 cenderung lebih tinggi daripada IFN – γ. Kata kunci: Filariasis, Respon Imun Adaptif Selular, Wuchereria bancofti, Ibu
Hamil
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

vii Universitas Indonesia
ABSTRACT Name : Dara Indira Diniarti Study Program : General Medicine Title : Comparison of Adaptive Cellular Immune Response
Profile in Pregnant Women with Wuchereria bancofti Infection and Healthy Pregnant Women
Filariasis (infection caused by filarial) have a high prevalence and quite serious impact in the world. Indonesia is one of endemic country. Wuchereria bancrofti is the most frequent in causing infection and the most widely distributed in world. The adaptive cellular immune response in filariasis shows that Th2 cell’s activity is stimulated and the Th1 cell’s is suppressed. There is a change in regulation of immune response during pregnancy and cellular adaptive immune response toward Wuchereria bancrofti infection during pregnancy has not been discovered yet. This study aimed was to know the profile of adaptive cellular immune response in pregnant women with Wuchereria bancrofti infection compared to healthy pregnant women. This study used Cross – Sectional design with secondary data from the parent study, entitled “Immune Response Against Tetanus Vaccination in Worms Infected Pregnant Women.”, which was done at Jati Sampurna and Jati Karya Village, West Java. Subject of this study was pregnant women in third trimester (n=63). Wuchereria bancrofti infection status defined by Immunochromatography test. Cellular immune response was analized based on level of IFN – γ (Th1 cell) and IL – 5(Th2 cell). Level of IFN – γ counted with Luminex and IL – 5 counted with ELISA. The result showed the level of IFN – γ and IL – 5 in pregnant women with Wuchereria bancrofti infection is significantly higher than healthy pregnant women (with p = 0,01 for IFN – γ; p = 0,015 for IL – 5). After stimulated by filarial antigen, appeared that level of IL - 5 is significantly higher than IFN – γ (p = 0,00). In conclusion, there is a significant elevation of adaptive cellular immune response in pregnant women with Wuchereria bancrofti infection than healthy pregnant women, with level of IL - 5 is higher than IFN – γ. Keywords: Filariasis, Adaptive Cellular Immune Response, Wuchereria bancofti,
Pregnant Women
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

viii Universitas Indonesia
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS .............................................. v ABSTRAK ......................................................................................................... vi ABSTRACT ........................................................................................................ vii DAFTAR ISI .................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ............................................................................................... x DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………..xi DAFTAR SINGKATAN………………………………………………………...xii 1.PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 3 1.3 Hipotesis ............................................................................................... 3 1.4 Tujuan Umum ...................................................................................... .3 1.5 Tujuan Khusus ..................................................................................... .3 1.6 Manfaat Penelitian .............................................................................. ..3
1.6.1 Manfaat bagi Masyarakat/Pengembangan Ilmu Pengetahuan .... .3 1.6.2 Manfaat bagi Perguruan Tinggi .................................................. 4 1.6.3 Manfaat bagi Peneliti ................................................................. 4
2.TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 6
2.1 Filariasis Limfatik ................................................................................. 6 2.1.1 Pendahuluan ............................................................................. .6 2.1.2 Epidemiologi Filariasis Limfatik ................................................ 6 2.1.3 Morfologi Wuchereria bancrofti ............................................... 8 2.1.4 Siklus Hidup Wuchereria bancrofti ...... …………………………9 2.1.5 Patogenesis dan Gejala Klinis Filariasis Limfatik...... …………11
2.1.5.1 Fase Asimtomatik ...................................................... 11 2.1.5.2 Fase Inflamatorik (Akut) ........ ……….……………...12 2.1.5.3 Fase Obstruktif.. .......... ................................................13
2.1.6 Diagnosis Filariasis Limfatik……………..… ....... ……………14 2.1.7 Penatalaksanaan Filariasis Limfatik….…… ............................ .15
2.2 Eosinofilia Pulmoner Tropikal …………………………………………16 2.3 Respon Imun Adaptif Selular ............................................................. .17
2.3.1 Sel T Naif ................................................................................ 17 2.3.2 Sel T CD4+ (Sel Th1 dan Th2) ............................................... 17
2.3.2.1 Sel Th1 ...................................................................... 18 2.3.2.2 Sel Th2 ...................................................................... 18
2.3.2 Sel T CD8+ (Sel T Sitotoksik) ................................................ 18 2.3.3 Sel T Regulator (Sel Treg) ....................................................... 19
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

ix Universitas Indonesia
2.4 Respon Imun Adaptif Selular terhadap Filariasis ................................. 19 2.5 Respon Imun dalam Kehamilan ........................................................... 22 2.6 Kerangka Teori ................................................................................... 23 2.7 Kerangka Konsep ................................................................................ 23
3.METODOLOGI PENELITIAN ................................................................... 24
3.1 Desain Penelitian ................................................................................. 24 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 24 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ........................................................... 24
3.3.1 Populasi Target ....................................................................... 24 3.3.2 Populasi Terjangkau ............................................................... 24 3.3.3 Sampel Terpilih ...................................................................... 25 3.3.4 Besar Sampel .......................................................................... 25
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ............................................................... 26 3.4.1 Kriteria Inklusi........................................................................ 26 3.4.2 Kriteria Eksklusi ..................................................................... 26
3.5 Cara Kerja ........................................................................................... 26 3.6 Identifikasi Variabel ............................................................................ 27 3.7 Analisis Data ....................................................................................... 27 3.8 Batasan Operasional ............................................................................ 27 3.9 Masalah Etika ..................................................................................... 28
4.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................................. 29
4.1 Karakteristik Subyek .......................................................................... 29 4.2 Perbandingan Kadar Sitokin pada Plasma ........................................... 29 4.3 Perbandingan Kadar Sitokin dengan Stimulasi Antigen Filaria ........... 32 4.4 Perbandingan Kadar Sitokin Sebelum dan Sesudah Stimulasi Antigen Filaria ................................................................................... 35
5. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 39
5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 39 5.2 Saran .................................................................................................. 39
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 40 LAMPIRAN
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

x Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Karakteristik subjek pada penelitian ………...…………...………29 Tabel 4.2 Hasil analisis uji Mann – Whitney pada kadar IFN – γ dan IL - 5 pada
plasma ………………………………………………………………..30 Tabel 4.3 Hasil analisis uji Wilcoxon antara kadar IFN – γ dengan kadar IL – 5
plasma subjek dengan infeksi Wuchereria bancrofti ………………...30 Tabel 4.4 Hasil analisis uji Mann – Whitney pada kadar IFN – γ dan IL – 5
dengan stimulasi antigen filaria ………………………….…………..33 Tabel 4.5 Hasil analisis uji Wilcoxon antara kadar IFN – γ dengan IL – 5 dengan
stimulasi antigen filaria ……………….……………………………..34 Tabel 4.6 Hasil analisis uji Wilcoxon antara kadar IFN – γ dengan kadar IL-5
sebelum dan sesudah stimulasi antigen filaria pada kelompok dengan infeksi Wuchereria bancrofti ………………………………………...36
Tabel 4.7 Hasil analisis uji Wilcoxon antara kadar IFN – γ dengan kadar IL-5 sebelum dan sesudah stimulasi antigen filaria pada kelompok sehat ..36
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

xi Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Distribusi cacing filaria di Indonesia ………………………………7 Gambar 2.2 Distribusi vektor filariasis di Indonesia ……………………………7 Gambar 2.3 Siklus hidup Wuchereria bancrofti ………………………………10 Gambar 2.4 Respon imun selular dan humoral terhadap cacing .......................20 Gambar 2.5 Respon imun terhadap cacing ……………………………………..21 Gambar 4.1 Grafik hasil pengukuran dan analisis kadar sitokin IFN – γ dan IL
– 5 pada plasma …………………………………………………….32 Gambar 4.2 Grafik hasil pengukuran dan analisis kadar sitokin IFN – γ dan IL
– 5 pada hasil kultur darah dengan stimulasi antigen filaria ……….35 Gambar 4.3 Grafik hasil pengukuran dan analisis kadar sitokin IFN – γ dan IL
– 5 sebelum dan sesudah stimulasi antigen filaria ............................38
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

xii Universitas Indonesia
DAFTAR SINGKATAN
AP : Alkaline phosphatase
APC : Antigen Presenting Cells
BB : Berat badan
BmA : Brugia malayi Antigen
BSA : Bovine Serum Albumin
cc : cubic centimeters
CD : Cluster of Differentiation
CLB : Central Laboratory of the Netherlands Red Cross Blood
Transfusion Service
CO2 : Karbon Dioksida
CTL : Cytotoxic T Lymphocyte
DEA : Diethinolamine
DNA : Deoxyribonucleic Acid
ELISA : Enzyme-linked Immunosorbent Assay
FL : Filariasis Limfatik
GM – CSF : Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor
ICT : Immunochromatography (ICT)
IFN-γ : Interferon gamma
IgE : Imunoglobulin E
IgG4 : Imunoglobulin G4
IL - 10 : Interleukin 10
IL - 13 : Interleukin 13
IL - 2 : Interleukin 2
IL - 4 : Interleukin 4
IL - 5 : Interleukin 5
IL - 9 : Interleukin 9
IU : International Unit
kg : Kilo gram
L1 : Larva tahap 1
L2 : Larva tahap 2
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

xiii Universitas Indonesia
L3 : Larva tahap 3
Mf : Mikrofilaria
MHC ; Molecul Histocompatibilitas Complex
ml : Mili liter
NIBSC : National Institute for Biological Standards and Control
NKT : Natural Killer T oC : Derajat selsius
PBS : Phosphate buffered saline
PCR : Polymerase Chain Reaction
pg : Piko gram
PHA : Phytohaemagglutinin
RPMI : Roswell Park Memorial Institute
STAT : Signal Transducers and Activators of Transcription
STH : Soil Transmitted Helminthes
T Reg : T Regulator
Tc : T cytotoxic
TGF-β : Transforming Growth Factor beta
Th1 : T helper 1
Th2 : T helper 2
TNFα : Tumor Necrosis Factor alfa
USA : United State of America
USG : Ultrasonography
Wb : Wuchereria bancrofti
WHO : World Health Organization
μg : Mikro gram
μl : Mikro liter
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Filariasis merupakan infeksi pada manusia ataupun hewan yang
disebabkan oleh parasit cacing yang disebut filaria. Dari delapan jenis parasit
yang menginfeksi manusia, Brugia malayi, Brugia timori, dan Wuchereria
Bancrofti dapat menghambat sistem limfatik dan menyebabkan filariasis
limfatik (FL).1
Namun, parasit yang merupakan penyebab tersering dan
dengan sebaran terluas di seluruh dunia adalah Wuchereria bancrofti.2
Lebih
dari 90% filariasis di dunia disebabkan oleh Wuchereria bancrofti.3 Di
Indonesia, Wuchereria bancrofti tersebar di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara
Barat, dan Papua.4
Filariasis Limfatik (FL) merupakan penyakit karena parasit yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk.2 Walaupun tidak langsung menyebabkan
kematian, FL merupakan masalah kesehatan yang serius.1
FL merupakan
penyakit keempat terbanyak dalam menyebabkan kecacatan di dunia dan
secara tidak langsung dapat memengaruhi ekonomi dalam negara berkembang
yang endemik.2
Kementerian Kesehatan RI tahun 2009 memperkirakan
penyakit filariasis ini dapat memberikan kerugian ekonomi hingga 43 trilyun
rupiah jika tidak ditangani.4 Penyakit ini menyebabkan morbiditas akut berupa
adenolimfangitis dan kronik yang permanen serta berkepanjangan. Manifestasi
kronik berupa limfoedema, elefantiasis pada ekstremitas, komplikasi
urinogenital, limfe skrotum dan hidrokel, kyluria dan adenopati.1
Selain
masalah kecacatan dan kerugian ekonomi, FL juga memberikan dampak
psikologis pada para penderitanya.5
World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 120 juta
orang terinfeksi dan lebih dari 1 miliar beresiko, yang tersebar dalam 83
negara.2
Penyakit ini endemik pada daerah tropis dan subtropis, seperti Afrika,
Asia, India, Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik, Amerika Selatan, dan Amerika
Tengah. Namun, dari seluruh dunia, kejadian FL paling tinggi terjadi di India,
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

2
Universitas Indonesia
Indonesia, dan Nigeria.1 Dari keseluruhan kasus FL, yaitu 49,2% dari 120 juta
kasus, terjadi di daerah Asia. Sedangkan 34,1% dari kasus terjadi di daerah
Afrika. Dari 120 juta kasus FL, sekitar 83,63 juta merupakan karier, 16,02 juta
dengan limfoedema, dan 26,79 juta dengan hidrokel.3
Menurut WHO, sekitar
66% dari populasi beresiko hidup pada daerah Asia Tenggara dan 33% pada
daerah Afrika.6
Diperkirakan sekitar 15 juta orang dengan FL hidup di daerah Asia
Tenggara. Daerah endemik yang terdapat pada wilayah Asia Tenggara, yaitu
Kamboja, Laos, Filipina, Indonesia, Thailand, dan Timor-Leste.7 Sedangkan
untuk Indonesia sendiri, berdasarkan data Departemen Kesehatan RI tahun
2009, terdapat sekitar 40 juta orang penderita kronis filariasis yang tersebar di
386 kabupaten/kota.8 Sedangkan berdasarkan hasil penelitian lain pada
Kabupaten Banyuasin, Indonesia, tercatat sebanyak 125 kasus filariasis pada
tahun 2002-2005.5
Pada filariasis, dalam tubuh terjadi respon imun adaptif baik humoral
maupun selular. Respon imun adaptif humoral yang terjadi pada tubuh ketika
terinfeksi filaria didominasi oleh peningkatan IgE dan aktivasi eosinofil.
Sedangkan, respon imun adaptif selular terhadap filariasis berupa peningkatan
aktivitas sel Th2 (ditandai dengan tingginya kadar sitokin yang dihasilkan oleh
sel Th2)9 dan supresi Th1 (ditandai dengan rendahnya kadar sitokin yang
dihasilkan oleh sel Th1, yaitu IFN – γ).9,10
Pada kehamilan, terdapat perubahan regulasi sistem imun yang
kompleks. Berkaitan dengan perubahan tersebut, maka respon imun terhadap
patogen selama masa kehamilan masih belum diketahui secara pasti.11
Saat ini
telah diketahui bahwa respon imun humoral pada ibu hamil dengan filariasis
ditandai dengan ekspresi IgE total yang lebih tinggi daripada ekspresi IgE total
pada ibu hamil sehat.12
Namun respon imun adaptif selular terhadap filariasis
selama kehamilan masih belum diketahui.
Berdasarkan keadaan yang telah dijabarkan tersebut, terdapat empat
hal penting yang dapat disimpulkan. Pertama, filariasis memiliki angka
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

3
Universitas Indonesia
kejadian tinggi dan dampak cukup serius di dunia. Kedua, Indonesia
merupakan salah satu negara endemik filariasis dengan angka kejadian yang
tinggi. Ketiga, cacing Wuchereria bancrofti merupakan cacing filaria yang
paling banyak menyebabkan infeksi di seluruh dunia dan mendominasi
distribusi cacing untuk Pulau Jawa. Keempat, walaupun respon imun adaptif
selular terhadap filariasis sudah diketahui, namun respon imun selama
kehamilan masih belum diketahui. Oleh karena itu, menarik untuk diteliti
bagaimana karakteristik respon imun adaptif selular terhadap infeksi filarial,
yaitu cacing Wuchereria bancrofti khususnya, selama kehamilan dan
dibandingkan dengan respon imun adaptif selular pada ibu hamil sehat.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah terdapat perbedaan karakteristik sitokin sebagai respon imun adaptif
selular antara ibu hamil yang terinfeksi cacing Wuchereria bancrofti dengan
pada ibu hamil sehat?
1.3 Hipotesis
Terdapat perbedaan karakteristik sitokin sebagai respon imun adaptif selular
antara ibu hamil yang terinfeksi cacing Wuchereria bancrofti dengan ibu
hamil sehat.
1.4 Tujuan Umum
Mengetahui karakteristik sitokin sebagai respon imun adaptif selular pada ibu
hamil yang terinfeksi cacing Wuchereria bancrofti.
1.5 Tujuan Khusus
a. Membandingkan kadar IFN - γ (sitokin Th1) dan IL – 5 (sitokin Th2) pada
plasma antara ibu hamil yang terinfeksi Wuchereria bancrofti dengan ibu
hamil sehat.
b. Membandingkan kadar IFN - γ dengan kadar IL – 5 pada plasma ibu hamil
dengan infeksi Wuchereria bancrofti.
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

4
Universitas Indonesia
c. Membandingkan kadar IFN - γ dan kadar IL – 5 setelah distimulasi
antigen filaria antara ibu hamil dengan infeksi Wuchereria bancrofti
dengan ibu hamil sehat.
d. Membandingkan kadar IFN - γ dengan kadar IL – 5 setelah distimulasi
antigen filaria pada ibu hamil dengan infeksi Wuchereria bancrofti dan ibu
hamil sehat.
e. Membandingkan kadar IFN - γ dan kadar IL – 5 sebelum dan setelah
distimulasi antigen filaria pada ibu hamil dengan infeksi Wuchereria
bancrofti dan ibu hamil sehat.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat bagi Masyarakat/Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian dapat membantu dalam pengembangan ilmu imunitas
dan parasitologi yang kemudian dapat diaplikasikan kepada masyarakat.
1.6.2 Manfaat bagi Perguruan Tinggi
a. Sebagai realisasi tridarma perguruan tinggi.
b. Turut berperan serta dalam mewujudkan Universitas Indonesia
sebagai universitas riset berkualitas internasional dalam ilmu dan
teknologi kedokteran dan mewujudkan visi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia 2014.
c. Turut berperan dalam meningkatkan kerjasama serta komunikasi
yang baik antara mahasiswa dan staf pengajar Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
1.6.3 Manfaat bagi Peneliti
a. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk dapat
menyelesaikan studi di S1 regular Pendidikan Dokter Umum,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

5
Universitas Indonesia
b. Sebagai sarana untuk mendapatkan pelatihan, pembelajaran, serta
pengalaman melakukan penelitian langsung di bidang kedokteran.
c. Mengembangkan minat, logika, kemampuan analisis, serta
keterampilan dalam bidang penelitian.
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Filariasis Limfatik
2.1.1 Pendahuluan
Filariasis berarti infestasi oleh filaria, yaitu cacing dari
superfamili filarioidea. Filariasis limfatik merupakan istilah umum yang
terdiri dari filariasis bancroftian dan filariasis brugian.13
Filariasis
limfatik (FL) adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit berupa
cacing mikroskopik yang berbentuk seperti benang.13,14
Infeksi ini
disebabkan oleh infestasi cacing filarial pada sistem limfatik
manusia.13,15
FL dapat ditularkan dari orang ke orang dengan perantara
nyamuk. Penderita FL dapat mengalami limfangitis rekuren, limfedema,
elefantiasis, dan bila terjadi pada pria, dapat menimbulkan hidrokel pada
skrotum. FL termasuk penyebab utama kecacatan permanen di seluruh
dunia. Keadaan ini diperparah dengan kecenderungan komunitas yang
mengucilkan penderita FL.14
2.1.2 Epidemiologi Filariasis Limfatik
Terdapat tiga spesies filarial yang dapat menyebabkan FL pada
manusia, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia
timori.1,14
Namun, penyebab infeksi tersering di seluruh dunia adalah
Wuchereria bancrofti, yaitu sekitar 90% kasus.3,14,15
Di Indonesia,
setiap cacing memiliki daerah persebaran tertentu (Gambar 2.1).
Wuchereria bancrofti tersebar di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara
Barat, dan Papua. Cacing Brugia timori tersebar di Indonesia Timur.
Sedangkan Brugia malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan
Sulawesi.4
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

7
Universitas Indonesia
Gambar 2.1 Distribusi cacing filaria di Indonesia.4
Infeksi ini dapat menyebar melalui gigitan nyamuk. Di Afrika,
vektor pembawa tersering adalah Anopheles. Sedangkan di Amerika,
vektor tersering adalah Culex quinquefasciatus. Untuk daerah Pasifik
dan Asia, vektor yang dapat mentransmisikan penyakit ini adalah
nyamuk Aedes dan Mansonia.14
Di Indonesia, terdapat 23 spesies dari 5
genus nyamuk yang merupakan vektor filariasis, yaitu Mansonia,
Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres (Gambar 2.2).4
Gambar 2.2 Distribusi vektor filariasis di Indonesia.4
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

8
Universitas Indonesia
Pasca gigitan nyamuk sampai berkembang menjadi penyakit FL
biasanya membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan tahunan.
Penduduk daerah tropis dan subtropis memiliki risiko terbesar
mengalami infeksi ini.14
FL menginfeksi sekitar 120 juta orang pada 80 negara tropis dan
subtropis di seluruh dunia. Wilayah endemik penyakit ini meliputi Asia,
Afrika, Pasifik barat, dan Amerika Selatan dan Tengah.14
Selain itu, FL
yang disebabkan oleh W. Bancrofti terjadi pada daerah Afrika tengah,
Delta sungai Nil, Turki, India, Asia Tenggara, East-Indies, Filipina dan
Kepulauan Pasifik, Australia, dan Amerika Selatan, yang memberikan
gambaran ikat pinggang ekuator yang luas. Penyebaran ke daerah lain
kemungkinan disebabkan oleh kegiatan perbudakan.15
Angka kejadian
FL paling tinggi di India, Indonesia, dan Nigeria.1
Sekitar 49,2% dari
120 juta kasus FL terjadi di Asia, sedangkan sisanya terjadi di daerah
Afrika. Dari 120 juta kasus tersebut, sekitar 83,63 juta merupakan
karier FL, 16,02 juta dengan limfoedema, dan 26,79 juta dengan
hidrokel.3 Berdasarkan WHO, sekitar 66% populasi beresiko hidup di
wilayah Asia Tenggara dan 33% hidup di Afrika.6 Berdasarkan data
DEPKES RI tahun 2009, tercatat sekitar 40 juta orang penderita
filariasis yang tersebar di 386 kabupaten/kota.8
Sedangkan dari salah
satu penelitian di Indonesia, yaitu di daerah Banyuasin, didapatkan 125
kasus filariasis yang disebabkan Brugia malayi pada tahun 2002-2005.5
2.1.3 Morfologi Wuchereria bancrofti
Cacing dewasa berbentuk panjang dan ramping dengan kutikula
halus dan ujung membulat yang tumpul. Bagian kepala sedikit bengkak
dengan dua lingkaran papilla, mulut kecil, dan tidak ada kapsul bukkal.
Cacing jantan berukuran 40 mm dan memiliki lebar 100μm dengan ekor
seperti jari. Cacing betina berukuran sekitar 6-10 cm dan memiliki lebar
300 μm. Cacing dewasa hidup di duktus limfatikus manusia. Biasanya
cacing dapat ditemukan di saluran limfe aferen dekat dengan kelenjar
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

9
Universitas Indonesia
limfe mayor pada bagian bawah tubuh. Cacing ini jarang menginvasi
vena. Cacing betina merupakan ovoviviparus, yang dapat memproduksi
jutaan mikrofilaria.15
Mikrofilaria (mf) diperkirakan seperti tahap lanjut dari embrio.
Mikrofilaria mengandung membran telur sebagai selubung luar yang
halus. Selubung luar ini dapat membantu membedakan spesies filarial
ketika diwarnai.15
Mikrofilaria beredar di sirkulasi darah atau bermigrasi
melalui kulit.1
2.1.4 Siklus Hidup Wuchereria bancrofti
Ketika vektor nyamuk menghisap darah manusia, nyamuk yang
terinfeksi akan membawa larva tahap 3 (L3) filarial ke kulit pejamu.
Larva ini kemudian dapat berpenetrasi ke luka bekas gigitan. Larva
kemudian berkembang menjadi cacing dewasa yang biasanya berdiam di
sistem limfatik. Cacing dewasa memproduksi mikrofilaria, yang
berselubung dan memiliki periode nokturnal (Gambar 2.3).16
Mikrofilaria dapat masuk ke jaringan sekitar limfe, namun umumnya
disapu masuk ke dalam aliran darah melalui duktus torakikus. Periode
nokturnal mikrofilaria muncul di dalam darah tepi tergantung dari
distribusi geografis. Periode nokturnal ini merupakan keadaan dimana
mikrofilaria dapat ditemukan dalam jumlah banyak di dalam darah tepi
pada saat malam hari. Pada umumnya, mikrofilaria dengan jumlah
tertinggi dapat ditemukan sekitar pukul 22.00 – 02.00.15
Namun
demikian, disebutkan di Nigeria, mikrofilaria terbanyak ditemukan
sekitar pukul 00.00 – 04.00. Selain dari periode tersebut, mikrofilaria
hampir atau hilang sama sekali dari peredaran darah tepi.1
Tetapi untuk
mikrofilaria daerah Pasifik Selatan, dilaporkan tidak memiliki periode
nokturnal.16
Berdasarkan periode nokturnal daerah pejamu, maka
nyamuk yang menghisap darah pada malam hari merupakan vektor
primer penyebaran FL pada daerah tersebut. Selama siang hari,
mikrofilaria terkonsentrasi pada pembuluh darah di jaringan dalam
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

10
Universitas Indonesia
tubuh, terutama pada kapiler paru. Namun demikian, terdapat beberapa
faktor yang dapat memengaruhi periode nokturnal ini. Disebutkan bahwa
perubahan jadwal tidur pejamu dapat menyebabkan perubahan periode,
sehingga menyebabkan mikrofilaremia diurnal. Pengetahuan akan
periode mikrofilaremia ini penting dalam penegakkan diagnosis.15
Gambar 2.3 Siklus hidup Wuchereria bancrofti.16
Mikrofilaria yang masuk ke dalam aliran darah tepi dapat
terhisap oleh nyamuk. Setelah terhisap oleh nyamuk, mikrofilaria
kehilangan selubungnya dan menembus usus untuk mencapai otot
torakik nyamuk.16
Kemudian pada tempat tersebut mikrofilaria
berkembang menjadi larva tahap satu (L1) dalam 8 hari menjadi larva
tahap 2 (L2). L2 ini berukuran pendek dan berbentuk seperti sosis.
Setelah 2-4 hari, perkembangan usus mikrofilaria telah sempurna, dan
L2 menjadi memanjang dan lebih ramping, menjadi larva tahap tiga (L3)
yang infektif.15
L3 infektif ini kemudian bermigrasi melalui hemokoel
mencapai prosbosis nyamuk. Kemudian L3 dapat menginfeksi manusia
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

11
Universitas Indonesia
lain ketika nyamuk menghisap darah pejamu tersebut.16
Mikrofilaria ini
dapat masuk ke kulit melalui luka yang disebabkan oleh nyamuk.15
2.1.5 Patogenesis dan Gejala Klinis Filariasis Limfatik
Patogenesis FL sangat tergantung dari respon imun dan inflamasi
pejamu terhadap cacing dewasa di sistem limfatik atau limfe nodus.15,17
Efek dari infeksi Wuchereria bancrofti menunjukkan gejala klinis
dengan spektrum yang luas, meliputi silent-infection yang tidak
menunjukkan gejala, ringan sampai berat inflamasi granulomatosa
limfatik kronik, hingga reaksi obstruksi granulomatosa. Beberapa
peneliti menyatakan keadaan ini merupakan perjalanan dari awal infeksi
hingga akhirnya menjadi penyakit obstruktif. Namun, peneliti lain
menyatakan bahwa perkembangan gejala klinis ini dapat dihindari dan
bahkan memiliki respons plastisitas. Setelah gigitan nyamuk yang
infeksius, cacing membutuhkan waktu 6-12 bulan untuk matang dan
untuk cacing betina memulai produksi mikrofilaria. Mikrofilaria dapat
baru dikeluarkan hingga 10 tahun pada tidak adanya reinfeksi.15
2.1.5.1 Fase Asimtomatik
Pada fase ini biasanya pasien menunjukkan
mikrofilaremia yang tinggi. Pada pasien, terjadi supresi sel Th1
akibat dari sitokin IL - 4 yang dikeluarkan oleh sel Th2 dan
terjadi depresi IFN-γ. Namun, setelah beberapa tahun,
hiporesponsifitas ini menurun dan reaksi inflamasi dapat
meningkat. Maka dari itu, dua fase FL adalah hiporesponsifitas
dan penyakit limfatik kronik. Responsifitas sel T kembali setelah
adanya keberhasilan penggunaan obat. Banyak orang pada daerah
endemik tidak menunjukkan gejala ataupun mikrofilaremia, hal
ini disebut sebagai endemik normal. Tetapi, tidak adanya gejala
ataupun amikrofilaremia bukan berarti tidak terinfeksi.15
Walaupun keadaan mikrofilaremia biasanya asimtomatik, namun
pada keadaan dimana kadar mikrofilaremia sangat tinggi, dapat
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

12
Universitas Indonesia
terjadi inflamasi granuloma akut atau kronik akibat destruksi
limpa.17
2.1.5.2 Fase Inflamatorik (Akut)
Pada fase ini, terjadi respons inflamasi akibat antigen
yang dikeluarkan oleh cacing dewasa, khususnya cacing betina.
Selain itu, inflamasi juga terjadi akibat invasi dari bakteri yang
ada di permukaan tubuh cacing, yaitu antigen Wolbachia.15
Cacing dewasa yang hidup dalam sistem limfatik atau di
limfe nodus menyebabkan terjadinya dilatasi limfa dan gangguan
aliran limfa. Hal ini menyebabkan terjadinya limfedema. Pasien
dengan limfedema memiliki serangan periodik berupa
adenolimfangitis (inflamasi pada kanal limfa) dan limfadenitis
(inflamasi dari nodus limfa). Serangan ditandai dengan demam
dan menggigil, pembengkakan akut, kulit ekstremitas yang
mengalami limfedema terasa hangat dan nyeri, rasa nyeri
disepanjang jalur limfatik superfisial, dan limfe nodus yang
sakit.15
WHO membagi edema menjadi tiga tingkat berdasarkan
derajat keparahan, yaitu: 18
a. Tingkat 1 : Edema pitting pada tungkai yang bersifat
reversibel jika dilakukan elevasi tungkai.
b. Tingkat 2 : Edema nonpitting yang bersifat ireversibel
jika dilakukan elevasi tungkai.
c. Tingkat 3 : Edema parah yang disertai dengan
sklerosis dan perubahan kulit.
Serangan ini bisa terjadi selama 5-7 hari dan dapat
berulang.15,17
Gejala tambahan lain yang dapat menyertai pada
fase akut adalah orkitis, epididimitis, dan hidrokel.15
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

13
Universitas Indonesia
2.1.5.3 Fase Obstruktif
Cacing dalam sistem limfatik menyebabkan dilatasi
pembuluh dan penebalan pembuluh limfa. Adanya infiltrasi sel
plasma, eosinofil, dan makrofag disekeliling pembuluh limfa
disertai dengan proliferasi sel endotel dan jaringan ikat
menyebabkan kegagalan sistem limfatik dan kerusakan atau
inkompetensi dari katup limfe. Respon inflamasi tubuh terhadap
cacing filaria menyebakan terjadinya proses granulomatosa dan
proliferasi yang dapat menyebabkan obstruksi sistem limfatik.
Selama ini diyakini bahwa pembuluh limfe akan tetap paten jika
cacing masih hidup dan bergerak. Namun, cacing yang mati akan
meningkatkan reaksi granulomatosa dan terjadinya fibrosis. Hal
inilah yang menimbulkan terjadinya obstruksi limfatik.17
Pada fase ini, terjadi varises limfe, limfe skrotum, hidrokel,
kyluria, dan elefantiasis. Varises limfe terjadi akibat dari adanya
varises pada duktus limfatikus, yang disebabkan oleh gangguan
arus balik limfe karena obstruksi. Hal ini menyebabkan duktus
yang terlibat berdilatasi. Hal ini menyebabkan kyluria, atau adanya
limfe pada urin. Kyle, yang merupakan campuran limfe dengan
emulsi lemak, memberikan penampakan urin yang seperti susu.
Selain itu, dapat terlihat adanya infiltrasi diikuti pembentukan
jaringan ikat atau jaringan parut pada daerah yang terinfeksi. 15
Pada beberapa kasus, serangan inflamasi limfatik akut
berulang diduga menyebabkan terjadinya elefantiasis. Keadaan ini
merupakan limfedema kronik yang disertai dengan infiltrasi
jaringan ikat masif dan penebalan kulit. Pada pria, biasanya terjadi
di skrotum, tungkai kaki, dan lengan. Sedangkan pada wanita,
biasanya terjadi pada tungkai kaki dan lengan, dan lebih jarang
terjadi pada vulva dan mammae. Organ elefantoid terutama terdiri
dari jaringan ikat fibrosa, jaringan granulomatosa, dan lemak. Kulit
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

14
Universitas Indonesia
menjadi menebal dan kering. Adanya invasi bakteri atau jamur
dapat memperburuk masalah. Pada keadaan ini, biasanya tidak
dijumpai mikrofilaria. Elefantiasis merupakan hasil dari respon
imun yang kompleks dan berjalan lama. Setelah cacing mati, maka
gejala mulai menghilang.15
2.1.6 Diagnosis Filariasis Limfatik
Diagnosis filariasis dapat ditegakkan dengan menemukan
mikrofilaria dari sedian apus darah tebal ketika periode mikrofilaremia
di darah tepi.15,19,20
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengambil
darah vena pada malam hari. Darah sediaan kemudian difiltrasi
menggunakan membran filtrasi millipore sehingga dapat dideteksi
adanya mikrofilaria dan menentukan kuantitas infeksi. Pemeriksaan
mikrofilaria ini biasa dilakukan pada tahap awal sebelum timbul gejala
klinis. Jika sudah terjadi limfedema, biasanya mikrofilaria tidak
ditemukan lagi pada darah tepi.19
Pemeriksaan radiografi, seperti USG
dan sinar X, deteksi antigen, dan deteksi DNA dengan PCR juga dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis filariasis.15,19,20
Pada pemeriksaan radiografi, seperti USG pada limfatik skrotum
akan terlihat pergerakan cacing dewasa yang disebut dengan “filaria
dance sign”.15,19
Sedangkan pemeriksaan sinar X dapat mendeteksi
cacing mati yang telah terkalsifikasi.15
Pemeriksaan antigen
menggunakan Immunochromatographic test (ICT) sangat sensitif dan
spesifik untuk mendeteksi antigen filarial. Pemeriksaan dengan ICT ini
dapat mendeteksi penyakit pada tahap awal ketika cacing dewasa hidup.
Pemeriksaan ini akan negatif jika cacing dewasa sudah tidak ada lagi.
Pemeriksaan antigen ini sangat berguna karena banyaknya orang yang
terinfeksi filariasis namun ternyata amikrofilaria.15,19
Pemeriksaan
antigen lain adalah menggunakan antibodi monoklonal Og4C3-enzyme-
linked immunosorbent assay (ELISA) pada sediaan darah tepi yang
diambil pada malam hari atau cairan hidrokel. Pemeriksaan ini lebih
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

15
Universitas Indonesia
sensitif dibandingkan dengan pemeriksaan mikrofilaria.21
Berdasarkan
penelitian pada tahun 2009 yang membandingkan tingkat kesensitifan
antara pemeriksaan USG dan deteksi antigen ( ICT dan Og4C3 ELISA),
diketahui bahwa pemeriksaan deteksi antigen lebih sensitive (96,69%)
daripada USG (73,44%). Sedangkan diantara pemeriksaan antigen
sendiri, pemeriksaan ICT merupakan pemeriksaan yang paling nyaman
untuk mendiagnosis filariasis.22
Pemeriksaan DNA menggunakan teknik PCR sangat spesifik
dalam mendiagnosis filariasis walaupun tingkat sensitifitasnya dibawah
pemeriksaan antigen. Teknik ini dapat membedakan antara parasit pada
manusia, hewan, ataupun vektor pembawa.23
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah
Lymphoscintigraphy. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menginjeksi
albumin atau dekstran yang telah dilabeli secara radioaktif dan kemudian
dipantau menggunakan kamera gamma. Pemeriksaan ini dapat melihat
dilatasi limfatik.19
Pemeriksaan lain adalah mendeteksi antibodi IgG4
terhadap antigen filarial Bm14 menggunakan ELISA. Namun, adanya
onkoserkiasis, askariasis, atau strongyloidasis dapat menunjukkan hasil
yang positif pula.24
Untuk pemeriksaan mikrofilaria, antigen filarial,
antibodi terhadap filarial, serta pemeriksaan DNA parasit tidak perlu
menggunakan darah vena dalam volume besar. Berdasarkan penelitian
pada tahun 2008, pemeriksaan menggunakan sediaan bervolume kecil
(150 mikroliter) dari ujung jari sudah cukup untuk pelaksanaan
pemeriksaan tersebut.25
2.1.7 Penatalaksanaan Filariasis Limfatik
Pengobatan filariasis menggunakan dietilkarbamazepin (DEC) yang
mengeliminasi mikrofilaria dari darah dan dapat membunuh cacing dewasa.
Dosis penggunaan yaitu 6 mg/kg berat badan selama 7 – 12 hari, dengan
target dosis akumulatif total 72 mg/kg berat badan. Selain itu, penggunaan
bersama dengan ivermektin da DEC atau albendazole memiliki efek
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

16
Universitas Indonesia
penunjang. Pada ekstremitas yang mengalami edema, dapat ditangani
dengan memberikan pressure bandage untuk menekan aliran limfa.
Tindakan operasi pada jaringan elefantoid juga dapat dilakukan untuk
menganani elephantiasis.15,17
Tindakan pencegahan filariasis yang paling baik adalah pencegahan
terkena gigitan nyamuk bagi orang yang tinggal di daerah endemik.
Pencegahan dapat dengan menggunakan obat anti serangga atau kelambu.15
2.2 Eosinofilia Pulmoner Tropikal
Eosinofilia pulmoner tropical (Tropical Pulmonary Eosinophilia) atau
disingkat TPE merupakan bagian dari occult filariasis. Occult filariasis
merupakan keadaan dimana terjadi infeksi filaria namun tidak ditemukannya
mikrofilaria di dalam darah. Namun, mikrofilaria dapat ditemukan dalam
cairan atau jaringan tubuh lainnya. TPE biasanya terkait dengan infeksi
Wuchereria bancrofti dan Brugia malayi. TPE dapat terjadi pada orang yang
tinggal pada daerah endemik filariasis. Gejala klinis TPE yaitu batuk kering
paroksismal, mengi pada malam hari, sesak napas, anoreksia, malaise,
penurunan berat badan, demam derajat rendah, adenopati, dan eosinofilia
(>3000/µL). Pada foto Rontgen Thorax, dapat terlihat adanya corakan
bronkovaskular, lesi milier difus, atau bercak – bercak opak pada lapang
tengah dan bawah paru. Pada pemeriksaan fungsi paru, terdapat kelainan atau
defek obstruksi. Terjadi peningkatan kadar IgE serum dan peningkatan titer
antibodi antifilarial.17,18
Pada TPE, terjadi pembersihan mikrofilaria dan antigen parasit dari
darah secara cepat oleh paru. Gejala klinis yang muncul terjadi akibat adanya
reaksi inflamasi dan alergi (hiperresponsif) terhadap infeksi cacing filaria.
Pada paru, dapat terjadi infiltrasi eosinodil intraalveolar yang menyebabkan
pelepasan protein granular proinflamasi sitotoksik yang memediasi
patogenesis TPE. Pengobatan TPE menggunakan DEC dengan dosis 4 – 6
mg/kg berat badan per hari selama 14 hari. Gejala umumnya menghilang
dalam 3 – 7 hari.17,18
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

17
Universitas Indonesia
2.3 Respon Imun Adaptif Selular
Respon imun adaptif selular diperankan oleh limfosit T atau Sel T. Sel
T dibentuk di dalam sumsum tulang, tetapi mengalami proliferasi dan
diferensiasi pada kelenjar timus. Sel T terdiri dari beberapa sel, yaitu sel
CD4+ (Th1, Th2), CD8+ (CTL atau Tc), sel T naif, NKT, dan Treg. Sistem
imun adaptif selular terutama berperan dalam pertahanan terhadap bakteri
intraselular, virus, jamur, parasit, dan keganasan. Sel T berperan dalam proses
inflamasi, aktivasi fungsi fagositosis makrofag, aktivasi dan proliferasi sel B
dalam memproduksi antibodi. Selain itu, sel T juga mengenali dan
menghancurkan sel yang terinfeksi oleh virus. Sel T naif akan terpajan dengan
kompleks antigen MHC (Molecul Histocompatibilitas Complex) dan
dipresentasikan APC (Antigen Presenting Cell) akan berkembang menjadi
CD4+ dan CD8+ dengan fungsi yang berlainan.26
2.3.1 Sel T naif
Sel ini merupakan sel limfosit matang yang meninggalkan timus
tetapi belum berdiferensiasi dan belum pernah terpajan antigen. Sel T
naif dibawa dari timus menuju organ limfoid perifer. Sel T naif yang
terpajan antigen akan berkembang menjadi sel Th0 yang dapat
berkembang menjadi Sel Th1 dan Th2. Sel Th0 memproduksi sitokin IL-
2, IFN, dan IL-4.26
2.3.2 Sel T CD4+ (Sel Th1 dan Th2)
Sel Th merupakan subset sel T yang penting dalam menginduksi
respons imun terhadap antigen asing. Antigen dipresentasikan makrofag
dalam konteks MHC-II ke sel CD4+ yang mengaktifkan dan merangsang
proliferasi dan diferensiasi sel CD4+ menjadi sel Th1 atau Th2.
Perubahan menjadi sel Th1 atau Th2 ini dipengaruhi oleh sitokin yang
diproduksi oleh respon imun nonspesifik terhadap mikroba atau respons
imun spesifik yang dini. 26
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

18
Universitas Indonesia
2.3.2.1 Sel Th1
Pembentukan sel Th1 ini diinduksi oleh pelepasan IL-12
oleh makrofag dan sel dendritik melalui jalur STAT4 dependen.
Selain itu, faktor transkripsi T-bet yang dilepaskan sebagai
respons terhadap IFN-γ juga meningkatkan respons Th1. IFN-γ
dan IL-12 yang diproduksi APC merangsang sel CD4+
berdiferensiasi menjadi Th1 yang berperan dalam reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Sel Th1 ini berperan untuk
mengerahkan makrofag dan memacu reaksi sitotoksik.
Diferensiasi ini merupakan respons terhadap infeksi mikroba,
bakteri intraselular, beberapa parasit, serta virus. Sel Th1
memproduksi sitokin INF-γ, IL-10, dan IL-3. 26
2.3.2.2 Sel Th2
Diferensiasi dari Sel CD4+ menjadi Th2 dipengaruhi oleh
sitokin IL-4, IL-5, IL-10, IL-13 yang dilepaskan oleh sel mast.
IL-4 yang terutama diproduksi sel T berfungsi untuk
meningkatkan induksi Th2 melalui jalur STAT6 dependen.
Pelepasan sitokin ini disebabkan oleh pajanan dengan antigen.
Sel Th2 yang terbentuk kemudian akan merangsang sel B untuk
meningkatkan produksi antibodi. Sel Th2 mengeluarkan sitokin
IL-4, IL-5, IL-13, IL-10, dan IL-3.26
2.3.3 Sel T CD8+ (Sel T Sitotoksik)
Sel T CD8+ naif keluar dari timus disebut sebagai CTL/Tc. Sel
ini mengenali kompleks antigen MHC-I oleh APC. Fungsi utama sel ini
adalah menyingkirkan sel yang terinfeksi virus dan menghancurkan sel
ganas. Sel ini juga dapat menghancurkan bakteri intraselular yang
menginfeksi suatu sel dengan menggunakan sitolisis melalui perforin
atau granzim, induksi apoptosis, TNF-α, dan memacu produksi sitokin
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

19
Universitas Indonesia
Th1 dan Th2. Sel Tc membunuh sel dengan cara langsung maupun
dengan menginduksi apoptosis.26
2.3.4 Sel T Regulator (Sel Treg)
Sel ini disebut juga sebagai sel Th3 atau Tr. Sel ini berperan
dalam toleransi oral dan regulator imunitas mukosa, imunoregulasi
dengan menekan sejumlah respons imun. Treg mengekspresikan dan
melepaskan TGF-β dan IL-10 yang bersifat supresif. TGF-β berfungsi
menekan proliferasi sel T dan aktivasi makrofag. Sedangkan, IL-10
berfungsi menekan fungsi APC dan aktivasi makrofag.26
2.4 Respon Imun Adaptif Selular terhadap Filariasis
Infeksi cacing biasanya bersifat kronik. Selain itu, kematian pejamu
ternyata akan merugikan cacing itu sendiri. Respons imun terhadap cacing
biasanya lebih kompleks (Gambar 2.4 dan Gambar 2.5). Hal ini disebabkan
karena parasit berukuran besar dan tidak bisa dimakan oleh fagosit. Infeksi
cacing lebih banyak menginduksi aktivasi sel Th2 yang melepas IL-4 dan IL-
5. IL-4 akan menginduksi proliferasi sel B dan merangsang produksi IgE dan
IgG4. Sedangkan IL-5 akan menginduksi perkembangan dan aktivasi dari
eosinofil.9,26
Kemudian, IgE yang berikatan dengan antigen cacing akan diikat
oleh eosinofil. Eosinofil akan teraktivasi dan mensekresi granul enzim yang
dapat membunuh parasit. Granul eosinofil lebih toksik dibandingkan neutrofil
dan makrofag. Selain itu, eosinofil juga bersifat sitotoksik serta dapat
menghancurkan patogen multiselular yang berukuran besar. Namun demikian,
yang baru diketahui saat ini fungsi sitolitik eosinofil hanyalah terhadap fase
larva parasit yang bermigrasi ke jaringan.26
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

20
Universitas Indonesia
Gambar 2.4 Respon imun selular dan humoral terhadap cacing.26
Sel Th2 juga melepaskan sitokin yang dapat memediasi aktivasi
makrofag. Namun, dalam hal ini,fungsi makrofag yang ditingkatkan adalah
fungsi sintesis protein matriks ekstraselular yang penting dalam proses
perbaikan jaringan. Sitokin IL – 4, IL – 10, dan IL – 13 yang dikeluarkan oleh
sel Th2 memiliki fungsi supresi terhadap imunitas yang diperantarai oleh sel
Th1. Hal ini ditandai dengan rendahnya kadar sitokin IFN – γ. 9,10
Dengan
demikian, maka aktivitas mikrobisidal makrofag dihambat.9
Filariasis Limfatik (FL) dapat menimbulkan respons imunitas selular
kronis, fibrosis, dan limfedema berat. Munculnya mikrofilaria dalam darah
menyebabkan sitokin Th2 menjadi dominan, menghilangnya respons sel T,
dan peningkatan sintesis IgG4 spesifik parasit. Induksi toleransi sel T diduga
terjadi pada sel Th1, dimana terjadi supresi pada sel Th1 yang disebabkan oleh
pengeluaran sitokin IL-4 oleh sel Th2.15,26
Respons Th1 dan Th2 terhadap
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

21
Universitas Indonesia
filariasis terjadi pada individu yang kebal terhadap infeksi ulang. Respons
kedua Th ini berperan penting dalam proteksi pejamu dan patogenesis
filariasis.26
Gambar 2.5 Respon imun terhadap cacing.26
Selain respons imun, pada FL juga dijumpai anergi sel T, walaupun
mekanismenya belum jelas. Defisiensi imun pada filariasis kemungkinan
disebabkan akibat rusaknya kelenjar getah bening oleh parasit.26
Selain itu,
toleransi sel T terhadap filariasis diduga terjadi pada infeksi yang kronis. Pada
keadaan tersebut, didapatkan kadar IFN – γ dan IL – 5 rendah. Hal ini
menunjukkan rendahnya aktivitas sel CD4+, baik Th1 maupun Th2.27,28,29
Pada daerah endemis filariasis ditemukan tiga respon yang berbeda
terhadap filariasis. Respon tersebut terbagi dalam individu yang rentan
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

22
Universitas Indonesia
terhadap infeksi, individu yang resisten terhadap infeksi (silent infection), dan
individu dengan gejala klinis. Respon imun terhadap setiap individu tersebut
sebagai berikut.30
a. Individu yang rentan terhadap infeksi. Pada individu ini ditemukan
respons Th2 yang lebih tinggi daripada Th1, tingginya kadar IL – 10
(Treg), serta tingginya kadar IgG4 dan kadar IgE relatif rendah.
b. Individu yang resisten terhadap infeksi (silent infection). Pada individu ini
ditemukan respons Th1 dan Th2 yang seimbang, yang dikontrol oleh Treg,
kadar IgG4 rendah, dan kadar IgE meningkat.
c. Individu dengan gejala klinis. Pada individu ini ditemukan respons Th1
yang tinggi, kadar IgE yang lebih tinggi dari IgG4. Pada keadaan ini
diduga aktivitas Treg rendah. Pada keadaan ini, terjadi inflamasi kuat yang
memicu keadaan patologi.
2.5 Respon Imun dalam Kehamilan
Selama kehamilan, terjadi perubahan regulasi respon imun yang
kompleks. Selama ini diyakini bahwa terjadi supresi respon imun selama
kehamilan, yang ditandai dengan tingginya kadar sel Th2 sebagai sitokin anti-
inflamasi serta adanya progesteron yang merupakan supresor imun alami.
Namun, Mor G dan Cardenas I (2010) menyatakan bahwa selama kehamilan,
respon imun bukanlah disupresi, melainkan terjadi suatu perubahan regulasi
respon yang kompleks dan unik. Hal ini dikarenakan selama kehamilan
dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang baik terhadap ancaman patogen dari
luar tubuh, agar ibu dan proses tumbuh kembang janin dapat berjalan dengan
baik. Regulasi imun yang kompleks ini didukung dengan temuan bahwa
adanya mekanisme lain yang turut berperan dalam sistem pertahanan tubuh,
seperti sel trofoblas yang memproduksi peptida anti – mikroba serta plasenta
dan fetus yang dapat berperan sebagai organ imunologis tambahan yang
mempengaruhi respon tubuh ibu terhadap infeksi patogen.11
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

23
Universitas Indonesia
2.6 Kerangka Teori
2.7 Kerangka Konsep
Keterangan:
: Variabel yang diteliti dalam penelitian ini
: Variabel yang tidak diteliti dalam penelitian ini
Infeksi
Cacing
Antigen
Presenting
Cell (APC)
Cacing
Polarisasi Respon Imun
Selular (Kadar Sitokin)
Kadar IFN γ (Th1) ↓
Kadar IL – 5 (Th2) ↑
Kadar IL -10 (Treg) ↑
Respon Imun
Humoral
Sel B IgE
Infeksi Wuchereria
bancrofti pada Ibu
Hamil
Respon Imun Adaptif
Selular
Kadar IFN γ (Th1)
Kadar IL – 5 (Th2)
Penyakit Autoimun Penyakit
Imunodefisiensi
Infeksi Bakteri
Infeksi Virus
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

24
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain studi Cross – Sectional dari
penelitian utama studi kohor dengan judul “Pola Respon terhadap Antigen
Tetanus Toxoid dari Bayi yang Lahir dari Ibu dengan Infeksi Cacing”.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian utama penelitian ini dilakukan di dua kelurahan, yaitu
Kelurahan Jati Sampurna dan Kelurahan Jati Karya, Kecamatan Pondok Gede,
Bekasi, Jawa Barat. Studi pendahuluan yang dilakukan pada tahun 2001
menunjukkan bahwa kedua desa tersebut merupakan daerah endemik
nematoda jaringan,yaitu Wuchereria bancrofti. Penelitian ini dilakukan selama
bulan Januari – Juni tahun 2012 berdasarkan data sekunder dari penelitian
utama yang dilakukan pada tahun 2001 - 2008.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi Target
Populasi target penelitian adalah ibu hamil.
3.3.2 Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau penelitian ini adalah data sekunder dari
penelitian utama, yaitu ibu hamil yang melakukan pemeriksaan
kehamilan di Puskesmas, Puskemas Pembantu dan rumah praktek bidan
di desa Jati Sampurna dan Jati Karya, Kecamatan Pondok Gede, Bekasi,
Jawa Barat.
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

25
Universitas Indonesia
3.3.3 Sampel Terpilih
Sampel terpilih pada penelitian ini dipilih berdasarkan teknik
consecutive sampling dari penelitian utama yang memenuhi kriteria
pemilihan hingga jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi.
3.3.4 Besar Sampel
Pada penelitian ini, besar sampel ditentukan menggunakan rumus
uji hipotesis terhadap rerata dua populasi independen. Untuk
memperkirakan besar sampel (n) diperlukan informasi utama, yaitu :
a. Simpang baku kedua kelompok, s (berdasarkan studi pustaka),
ditetapkan 2670,991
b. Perbedaan klinis yang diinginkan, X1-X2, yaitu rerata kadar IL – 5
antara ibu hamil terinfeksi Wuchereria bancrofti dengan ibu sehat
(yang diperoleh dari penelitian utama, yaitu 2725,85 - 1065,312)
c. Kesalahan tipe I, α (ditetapkan sebesar 1,960)
d. Kesalahan tipe II, β (ditetapkan sebesar 0,842)
Rumus besar sampel :
Zα = 1,96; Zβ = 0,842; s = 2670,991; X1= 2725,85; X2= 1065,312
2
21
21 2
XX
sZZnn
2
21312,106585,2725
991,2670842,096,12
nn
n = 40
Keterangan:
Dari rumus tersebut didapat total besar sampel (n) yang dibutuhkan
adalah 40 subjek yang terdiri dari dua populasi dengan jumlah sama besar.
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

26
Universitas Indonesia
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.4.1 Kriteria Inklusi
Penelitian ini menggunakan data yang didapatkan pada penelitian utama.
Adapun kriteria inklusi pada penelitian utama, yaitu:
- Ibu dengan kehamilan berusia trimester ketiga
- Riwayat atau status kehamilan sehat
- Tinggal di Kelurahan Jati Sampurna dan Jati Karya
- Tidak pernah minum obat anti-cacing selama dalam masa kehamilan
3.4.2 Kriteria Eksklusi
- Pasien dengan penyakit autoimun
- Pasien dengan keadaan imunodefisiensi
- Data subjek tidak lengkap
3.5 Cara Kerja
Penelitian ini menggunakan sampel dari data penelitian utama yang
memenuhi kriteria penelitian (cara kerja penelitian utama terlampir). Setelah
data yang dibutuhkan terpenuhi, kemudian data dibagi menjadi dua kelompok
subjek, yaitu kelompok ibu hamil terinfeksi Wuchereria bancrofti dan
kelompok ibu hamil sehat. Data kemudian diolah menggunakan program
SPSS 16.0 dan kemudian dilakukan verifikasi data.
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

27
Universitas Indonesia
3.6 Identifikasi Variabel
Variabel bebas : Ibu hamil dengan infeksi Wuchereria bancrofti
Variabel tergantung : Respon imun adaptif selular (karakteristik
sitokin).
3.7 Analisis Data
Kadar sitokin, yaitu IFN - γ (sitokin Th1) dan IL - 5 (sitokin Th2),
antara ibu hamil terinfeksi Wuchereria bancrofti dan ibu hamil sehat
dibandingkan. Data tersebut dianalisis menggunakan uji Mann - Withney
pada taraf signifikansi 5% karena data tidak terdistribusi normal.
3.8 Batasan Operasional
a. Infeksi filaria pada penelitian ini adalah infeksi oleh cacing Wuchereria
bancrofti.
b. Status infeksi filaria positif adalah subjek dengan hasil pemeriksaan ICT
positif.
c. Status infeksi STH positif adalah subjek dengan hasil pemeriksaan telur
cacing pada tinja positif.
Data dari Penelitian Utama
Pemilihan Sampel Terpilih
sesuai Kriteria Penelitian
Pengolahan Data
Analisis Data
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

28
Universitas Indonesia
d. Status sehat ditegakkan pada subjek tanpa infeksi filarial, infeksi STH,
serta memiliki kadar IgE dan IgG4 rendah.
e. Karakteristik respon imun adaptif selular yang diteliti adalah kadar
sitokin IFN - γ untuk menunjukkan aktivitas Th1 dan IL-5 untuk
menunjukkan aktivitas Th2 yang didapat dari pengukuran supernatan
hasil kultur darah plasma dan setelah distimulasi antigen filarial (BmA)
dengan teknik ELISA dan Luminex.
3.9 Masalah Etika
Data pada penelitian ini diperoleh dari penelitian utama. Penelitian
utama dengan judul tersebut sebelumnya telah dikaji dan disetujui oleh
Panitia Tetap Penilai Etik Penelitian, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia (terlampir).
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

29
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Subjek
Subjek pada penelitian ini merupakan bagian dari subjek yang menjadi
sampel pada penelitian utama. Penelitian utama dilakukan di daerah endemik
cacing Wuchereria bancrofti di wilayah Bekasi yang melibatkan 2 desa, yaitu
Jati Karya dan Jati Sempurna. Subjek pada penelitian utama berjumlah 286
orang. Dari subjek pada penelitian utama tersebut, terdapat 63 ibu hamil yang
benar diteliti pada penelitian ini. Karakteristik subjek dan status infeksi tertera
pada Tabel 4.1. Umur subjek termuda pada penelitian ini adalah 16 tahun dan
umur subjek tertua adalah 42 tahun. Umur rata – rata responden adalah 24,71
± 6,39. Pada penelitian ini, terlihat bahwa jumlah subjek dari masing – masing
desa dan kelompok status kasus hampir seimbang.
Tabel 4.1. Karakteristik subjek pada penelitian
Karakteristik n %
Jumlah Subjek 63 100
Sebaran Desa
Jati Karya 31 49,2
Jati Sampurna 32 50,8
Status Kasus
Infeksi Wb+ 26 41,2
Sehat 37 58,7
4.2 Perbandingan Kadar Sitokin pada Plasma
Pengukuran respon imun subjek melalui kadar sitokin plasma
dilakukan pada penelitian utama. Kadar sitokin diukur dari supernatan hasil
kultur darah subjek tanpa diberikan stimulus apapun. Distribusi data hasil
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

30
Universitas Indonesia
pengukuran kadar sitokin pada plasma ternyata tidak terdistribusi normal dan
tetap tidak normal setelah dilogaritma. Maka dari itu, uji hipotesis yang
dilakukan pada data ini adalah uji Mann – Whitney. Hasil analisis tertera pada
Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Hasil analisis uji Mann – Whitney pada kadar IFN – γ dan
IL - 5 pada plasma
Sitokin n Median
(Minimum – Maximum)
Uji
Mann–
Whitney
(p)
IFN – γ
Infeksi Wb+ 26 3,3 (1,4 – 53,4) 0,01
Sehat 37 1,4 (1,4 – 80,1)
IL - 5
Infeksi Wb+ 26 3,73 (1,4 – 29,5) 0,015
Sehat 37 1,4 (1,4 – 57,1)
Untuk menguji perbedaan antara kadar IFN – γ dengan IL – 5 plasma
pada subjek dengan infeksi Wuchereria bancrofti, dilakukan uji hipotesis
Wilcoxon untuk data dua kelompok berpasangan dengan distribusi tidak
normal. Hasil analisis tertera pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Hasil analisis uji Wilcoxon antara kadar IFN – γ dengan
kadar IL – 5 plasma subjek dengan infeksi Wuchereria bancrofti
Sitokin n Median
(Minimum – Maximum)
Uji
Wilcoxon
(p)
IFN – γ 26 3,3 (1,4 – 53,4) 0,485
IL - 5 26 3,73 (1,4 – 29,5)
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

31
Universitas Indonesia
Kadar sitokin IFN – γ dan IL – 5 pada plasma beserta analisisnya
diilustrasikan pada Gambar 4.1. Berdasarkan data tersebut, didapatkan kadar
IFN – γ (sel Th1) dan IL – 5 (sel Th2) pada plasma yang lebih tinggi dan
berbeda bermakna pada subjek dengan infeksi Wuchereria bancrofti
dibandingkan dengan ibu sehat. Hal ini menunjukkan bahwa pada keadaan
infeksi Wuchereria bancrofti pada ibu hamil terdapat peningkatan aktivitas sel
Th1 dan Th2. Hal ini tidak sesuai dengan teori dan temuan sebelumnya bahwa
infeksi filaria akan menyebabkan peningkatan aktivitas sel Th2 dan menekan
aktivitas sel Th1.9,10,15,26
Dalam analisis statistika antara kadar IFN – γ (sel Th1) dengan IL – 5
(sel Th2) pada plasma subjek dengan infeksi Wuchereria bancrofti,
ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kadar
sitokin tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
bermakna antara tingkat aktivitas sel Th1 dengan sel Th2 pada ibu hamil
dengan filariasis. Hasil ini juga tidak sesuai dengan teori infeksi filaria dimana
cacing akan lebih mengaktivasi sel Th2 dan menekan aktivitas sel Th1. 9,10,15,26
Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Putri DF (2009), respon
imun selular terhadap infeksi filaria berbeda sesuai dengan tahap perjalanan
penyakit. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa pada individu yang
tinggal di daerah endemis dengan keadaan silent infection, dapat terjadi
aktivitas sel Th1 dan Th2 yang seimbang.30
Penemuan terdahulu ini mungkin
dapat menjelaskan fenomena yang ditemukan sekarang, dimana tidak terdapat
polarisasi tertentu pada aktivitas Th1 maupun sel Th2 pada infeksi Wuchereria
bancrofti. Terdapat kemungkinan subjek yang berpartisipasi dalam penelitian
ini sedang dalam keadaan silent infection. Dalam penelitian ini, subjek tidak
secara khusus diperiksa mengenai fase infeksi Wuchereria bancrofti.
Selain itu dari temuan bahwa terdapat perbedaan respon imun pada
setiap tahapan penyakit filariasis, diketahui bahwa adanya infeksi lain oleh
bakteri atau virus juga dapat meningkatkan aktivitas sel Th1.9 Adanya faktor
lain seperti infeksi bakteri ataupun virus yang tidak dapat dikontrol, dapat
menyebabkan tingginya aktivitias sel Th1 dalam penelitian ini.
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

32
Universitas Indonesia
Dari hasil analisis data ini, diketahui bahwa terdapat perbedaan
karakteristik respon imun antara ibu hamil dengan ibu hamil sehat. Perbedaan
ini ditandai dengan peningkatan kadar IFN – γ dan IL – 5 pada ibu hamil
dengan infeksi Wuchereria bancrofti. Temuan ini menjawab pertanyaan
penelitian dan sesuai dengan hipotesis yang diajukan.
Gambar 4.1. Grafik hasil pengukuran dan analisis kadar sitokin IFN – γ dan
IL – 5 pada plasma
4.3 Perbandingan Kadar Sitokin dengan Stimulasi Antigen Filaria
Stimulasi kadar sitokin darah dengan antigen filaria (BmA) dilakukan
untuk memperbesar respon imun. Diharapkan respon yang terukur akan
menjadi lebih spesifik terhadap antigen filaria saja. Pengukuran kadar sitokin
dilakukan pada penelitian utama, yaitu diukur dari supernatan hasil kultur
darah subjek yang ditambahkan dengan antigen BmA.
Distribusi data pada hasil pengukuran kadar sitokin setelah distimulasi
dengan antigen filaria ternyata tidak terdistribusi normal dan tetap tidak
Uji Mann – Whitney
*Uji Wilcoxon
p = 0,01
p = 0,015
p =
0,48
5*
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

33
Universitas Indonesia
normal setelah dilogaritma. Maka dari itu, uji hipotesis yang dilakukan pada
data ini adalah uji Mann – Whitney. Hasil pengukuran tertera pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Hasil analisis uji Mann – Whitney pada kadar IFN – γ dan
IL – 5 dengan stimulasi antigen filaria
Sitokin n Median
(Minimum – Maximum)
Uji
Mann–
Whitney
(p)
IFN – γ
Infeksi Wb+ 26 8,1 (1,4 – 152,9) 0,07
Sehat 37 28,2 (1,4 – 731,3)
IL - 5
Infeksi Wb+ 26 233,0 (5,5 – 4.000) 0,87
Sehat 37 80,1 (1,4 – 3.000)
Berdasarkan hasil pengukuran tersebut, diketahui bahwa tidak terdapat
perbedaan bermakna antara kadar sitokin IFN – γ setelah distimulasi antigen
filaria pada subjek dengan infeksi Wuchereria bancrofti dengan subjek sehat.
Demikian pula antara kadar sitokin IL - 5 setelah distimulasi antigen filaria
pada subjek dengan infeksi Wuchereria bancrofti dengan subjek sehat, tidak
menunjukkan perbedaan bermakna secara statistika.
Pada kelompok subjek dengan infeksi Wuchereria bancrofti maupun
subjek sehat, ditemukan kadar IL - 5 yang lebih tinggi daripada kadar IFN – γ.
Perbedaan antara kadar IFN – γ dengan IL – 5 setelah stimulasi antigen filaria
pada subjek dengan infeksi Wuchereria bancrofti dan subjek sehat dianalisis
menggunakan uji Wilcoxon (Tabel 4.5). Hasil analisis menunjukkan terdapat
perbedaan bermakna pada perbedaan kadar sitokin IFN – γ dengan IL – 5
setelah stimulasi antigen filaria pada subjek dengan infeksi Wuchereria
bancrofti. Sedangkan untuk perbedaan kadar IFN – γ dengan IL – 5 setelah
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

34
Universitas Indonesia
distimulasi antigen filaria pada subjek sehat, menunjukkan tidak terdapat
perbedaan bermakna.
Tabel 4.5 Hasil analisis uji Wilcoxon antara kadar IFN – γ dengan IL-
5 dengan stimulasi antigen filaria
Sitokin n Median
(Minimum – Maximum)
Uji
Wilcoxon
(p)
Infeksi Wb+
IFN – γ 26 8,1 (1,4 – 152,9) 0,00
IL - 5 26 233,0 (5,5 – 4.000)
Sehat
IFN – γ 37 28,2 (1,4 – 731,3) 0,05
IL - 5 37 80,1 (1,4 – 3.000)
Kadar sitokin IFN – γ dan IL – 5 pada hasil kultur darah setelah
distimulasi antigen filaria beserta analisisnya diilustrasikan pada Gambar 4.2.
Berdasarkan pengukuran ini, terlihat bahwa aktivitas sel Th1 pada kelompok
terinfeksi Wuchereria bancrofti lebih rendah daripada subjek sehat. Selain itu
juga terlihat bahwa aktivitas sel Th2 pada kelompok terinfeksi Wuchereria
bancrofti lebih tinggi daripada subjek sehat. Walaupun kedua perbedaan ini
tidak bermakna setelah dianalisis secara statistika. Hal ini dapat menunjukkan
secara umum respon imun adaptif selular ketika dipajankan terhadap cacing.
Temuan pada kelompok terinfeksi, dimana kadar IL – 5 yang lebih tinggi dan
kadar IFN – γ yang lebih rendah dibandingkan kelompok tidak terinfeksi
dapat disebabkan oleh adanya mekanisme memori pada sistem imun.9
Pada penelitian ini, terlihat pula tingkat aktivitas sel Th2 lebih tinggi
secara signifikan daripada Th1 setelah stimulasi antigen filaria pada subjek
dengan infeksi positif. Pada subjek sehat juga ditemukan pola peningkatan
aktivitas sel Th2 yang lebih tinggi daripada sel Th1, walaupun tidak
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

35
Universitas Indonesia
signifikan. Namun, dapat dilihat dari sebaran data bahwa terdapat perbedaan
antara aktivitas sel Th2 dan sel Th1 disertai dengan nilai kemaknaan yang
hampir bermakna. Oleh karena itu, nilai uji kemaknaan mungkin dapat
berubah jika jumlah sampel yang digunakan untuk analisis kedua data tersebut
ditambah. Berdasarkan pengukuran ini, dapat terlihat bahwa paparan antigen
filaria lebih potensial menginduksi aktivasi sel Th2 daripada sel Th1. Temuan
ini sesuai dengan teori bahwa infeksi cacing filaria lebih mengaktivasi sel
Th2.9,10,15,26
Gambar 4.2 Grafik hasil pengukuran dan analisis kadar sitokin IFN – γ dan
IL – 5 pada hasil kultur darah dengan stimulasi antigen filaria
4.4 Perbandingan Kadar Sitokin Sebelum dan Sesudah Stimulasi Antigen
Filaria
Kadar sitokin pada plasma (sebelum distimulasi antigen filaria) dan
setelah distimulasi dengan antigen filaria dibandingkan dengan
membandingkan antara kedua kelompok subjek dan kemudian dianalisis
Uji Mann Whitney
*Uji Wilcoxon
p = 0,87
p = 0,07
p =
0,00
*
p =
0,05
*
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

36
Universitas Indonesia
menggunakan uji hipotesis Wilcoxon. Hasil pengukuran tertera pada Tabel
4.6 dan Tabel 4.7.
Tabel 4.6 Hasil analisis uji Wilcoxon antara kadar IFN – γ dengan kadar IL-5
sebelum dan sesudah stimulasi antigen filaria pada kelompok dengan infeksi
Wuchereria bancrofti
Sitokin n
Median
(Minimum –
Maximum)
Uji
Wilcoxon
(p)
IFN – γ
Sebelum stimulasi antigen filaria 26 3,3 (1,4 – 53,4) 0,192
Sesudah stimulasi antigen filaria 26 8,1 (1,4 – 152,9)
IL - 5
Sebelum stimulasi antigen filaria 26 3,73 (1,4 – 29,5) 0,00
Sesudah stimulasi antigen filaria 26 233,0 (5,5 – 4.000)
Tabel 4.7 Hasil analisis uji Wilcoxon antara kadar IFN – γ dengan kadar IL-5
sebelum dan sesudah stimulasi antigen filaria pada kelompok sehat
Sitokin n
Median
(Minimum –
Maximum)
Uji
Wilcoxon
(p)
IFN – γ
Sebelum stimulasi antigen filaria 37 1,4 (1,4 – 80,1) 0,00
Sesudah stimulasi antigen filaria 37 28,2 (1,4 – 731,3)
IL - 5
Sebelum stimulasi antigen filaria 37 1,4 (1,4 – 57,1) 0,00
Sesudah stimulasi antigen filaria 37 80,1 (1,4 – 3.000)
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

37
Universitas Indonesia
Pada kelompok dengan infeksi Wuchereria bancrofti, hasil analisis
didapatkan perbedaan kadar sitokin IFN – γ pada subjek sebelum dan sesudah
stimulasi antigen filaria tidak bermakna secara statistika. Sedangkan hasil
analisis untuk kadar sitokin IL – 5 sebelum dan sesudah distimulasi BmA pada
subjek dengan infeksi Wuchereria bancrofti menunjukkan perbedaan yang
bermakna. Hal ini menunjukkan peningkatan aktivitas sel Th2 yang signifikan
dan peningkatan aktivitas sel Th1 yang tidak signifikan pada kelompok
dengan infeksi Wuchereria bancrofti.
Pada kelompok sehat, hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan
yang bermakna antara kadar IFN – γ dan kadar IL – 5 sebelum dan sesudah
stimulasi antigen filaria. Pada perbandingan ini menunjukkan peningkatan
aktivitas sel Th1 dan sel Th2 yang signifikan pada subjek sehat setelah
distimulasi antigen filaria. Keadaan ini tidak sesuai dengan teori bahwa
paparan antigen filaria lebih mengaktivasi sel Th2 dan menekan sel
Th1.9,10,15,26
Pada penelitian ini, mungkin terjadi intervensi terhadap respon sel Th1
oleh infeksi lain (bakteri atau virus) pada kontrol kelompok infeksi positif
yang kemudian menyebabkan peningkatan aktivitas sel Th1. Namun, dengan
stimulasi antigen filaria, terlihat bahwa tidak terjadi peningkatan aktivitas sel
Th1 yang bermakna pada kelompok dengan infeksi Wuchereria bancrofti .
Dapat disimpulkan bahwa antigen filaria tidak terlalu menginduksi aktivitas
sel Th1. Keadaan pada kelompok dengan infeksi positif membuktikan bahwa
antigen filaria lebih potensial untuk meningkatkan respon sel Th2
dibandingkan dengan respon sel Th1.9,10,15,26
Kadar sitokin IFN – γ dan IL –
5 sebelum dan sesudah stimulasi antigen filaria beserta analisisnya
diilustrasikan pada Gambar 4.3.
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

38
Universitas Indonesia
Gambar 4.3 Grafik hasil pengukuran dan analisis kadar sitokin IFN – γ dan
IL – 5 sebelum dan sesudah stimulasi antigen filaria
Uji Wilcoxon
p =
0,192
p =
0,00
p =
0,00
p =
0,00
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

39
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Kadar IFN - γ (sitokin Th1) dan IL – 5 (sitokin Th2) pada plasma ibu
hamil terinfeksi Wuchereria bancrofti lebih tinggi dibandingkan dengan
pada ibu hamil sehat.
2. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kadar IFN - γ dengan IL – 5
pada plasma ibu hamil dengan infeksi Wuchereria bancrofti.
3. Kadar IFN - γ setelah distimulasi antigen filaria pada ibu hamil dengan
infeksi Wuchereria bancrofti cenderung lebih rendah dibandingkan dengan
ibu hamil sehat, namun perbedaan tersebut tidak bermakna.
4. Kadar IL – 5 setelah distimulasi antigen filaria pada ibu hamil dengan
infeksi Wuchereria bancrofti cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan
ibu hamil sehat, namun perbedaan tersebut tidak bermakna.
5. Stimulasi antigen filaria lebih berpotensi untuk mengaktivasi sel Th2
dibandingkan dengan sel Th1 pada ibu hamil, ditandai dengan kadar IL – 5
yang lebih tinggi daripada kadar IFN – γ.
5.2 Saran
1. Diperlukan penelitian lain yang membandingkan antara respon imun
adaptif selular Wuchereria bancrofti pada ibu hamil dan ibu tidak hamil.
2. Penelitian lebih lanjut mengenai respon imun adaptif selular pada setiap
fase perjalanan penyakit filariasis pada ibu hamil.
3. Penelitian lebih lanjut mengenai imunologi terhadap parasit lainnya.
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

40
DAFTAR PUSTAKA
1. Nwoke BEB, Nwoke EA, Ukaga CN, Nwachukw MI. Epidemiological
Characteristics of Bancroftian filariasis and the Nigerian Environment.
Journal of Public Health and Epidemiology. 2010; 2(6):113-117.
2. Bhullar N, Maikere J. Challenges in Mass Drug Administration for Treating
Lymphatic Filariasis in Papua, Indonesia. Parasit Vectors. 2010;3:70.
3. Pani SP, Kumaraswami V, Das LK. Epidemiology of Lymphatic Filariasis
with Special Reference to Urogenital - Manifestations. Indian J Urol.
2005;21:44-9.
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Rencana Nasional Program
Akselerasi Eliminiasi Filariasis di Indonesia 2010 - 2014. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2010
5. Santoso, Ambarita LP, Oktarina R, Sudomo M. Epidemiologi Filariasis di
Desa Sungai Rengit Kecamatan Talang Kelapa Kabupaten Banyuasin Tahun
2006. Buletin Penelitian Kesehatan [Internet]. 2008 [cited 2011 May 10]:
36(2). Available from: http://www.litbang.depkes.go.id/~djunaedi/
documentation/360208pdf/santoso.pdf
6. World Health Organization. Lymphatic Filariasis : Epidemiology [Internet].
c2012. [cited 2011 May 19]. Available from:
http://www.who.int/lymphatic_filariasis/epidemiology/en/
7. Sudomo M, Chayabejara S, Duong S, Hernandez L, Wu WP, Bergguist R.
Elimination of Lymphatic Filariasis in Southeast Asia. Adv Parasitol. 2010;
72: 205-33.
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Penderita Filariasis Tersebar di
386 Kabupaten/Kota [Internet]. [cited 2011 May 19]. Available from:
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/453-penderita-
filariasis-tersebar-di-386-kabupatenkota.html
9. Abbas AK, Lichtman AH. Cell Mediated Immune Responses. In: Basic
Immunology: Functions and Disorders of the Immune System. 3rd
ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. P. 104 - 7
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

41
Universitas Indonesia
10. Babu S, Blauvelt CP, Kumaraswami V, Nutman TB. Cutting Edge:
Diminished T Cell TLR Expression and Function Modulates the Immune
Response in Human Filarial Infection. J Immunol. 2006; 176 (7):3885 – 9.
11. Mor G, Cardenas I. The Immune System in Pregnancy: A Unique Complexity.
Am J Reprod Immunol. 2010; 63(6): 425–433.
12. Alamsyah BA. Perbandingan Titer IgE pada Penduduk yang Terinfeksi Filaria
dan Penduduk Atopi di Daerah Endemis Kecacingan [Script]. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.
13. Kamus Kedokteran Dorland. 29th
ed. Jakarta: EGC; 2002. Filariasis. P.834.
14. Centers for Diseases Control and Prevention. Parasites – Lymphatic Filariasis
[Internet]. Atlanta (USA): Centers for Disease Control and Prevention; c2011
[updated 2010 Nov 12; cited 2011 May 19]. Available from:
http://www.cdc.gov/parasites/lymphaticfilariasis/epi.html
15. Roberts LS, Janovy jr J.Nematodes: Filaroidea, Filarial Worms.In: Gerald D
Schmmidt & Larry S Robert’s Foundations of Parasitology, 7th
ed. Boston:
McGraw-Hill; 2006. P. 461 – 6.
16. Centers for Diseases Control and Prevention. Filariasis [Internet]. [updated
2009 Jul 20; cited 2011 May 19]. Available from :
http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/frames/a-
f/filariasis/body_Filariasis_w_bancrofti.htm
17. Nutman TB, Weller PF. Filarial and Related Infections. In: Kasper DL, et al
[ed.]. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th
ed. New York: McGraw
– Hill; 2005. p.1260 – 3.
18. Wayangankar S. Filariasis Treatment & Management [Internet]. c1994 –
2012. [updated 2012 May 30; cited 2012 Jun 3 ]. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/217776-clinical
19. Palumbo E. Filariasis : Diagnosis, Treatment, and Prevention. ACTA
BIOMED. 2008; 79: 109 – 9.
20. Mendoza N, Li A, Gill A, Tyring S. Filariasis: Diagnosis and Treatment.
Dermatol Ther. 2009; 22(6):475-90.
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

42
Universitas Indonesia
21. Shah AP, Mulla SA. Circulating Filarial Antigen in Serum and Hydrocele
Fluid from Individuals Living in an Endemic Area for Bancroftian Filariasis.
Indian J Med Microbiol. 2007; 25(3):253-5.
22. Rocha A, et al. Comparison of Tests for the Detection of Circulating Filarial
Antigen (Og4C3-ELISA and AD12-ICT) and Ultrasound in Diagnosis of
Lymphatic Filariasis in Individuals with Microfilariae. Mem Inst Oswaldo
Cruz. 2009; 104(4):621-5.
23. Nuchprayoon S. DNA-based Diagnosis of Lymphatic Filariasis. Southeast
Asian J Trop Med Public Health. 2009;40(5):904-13.
24. Weil GJ, et al. A Multicenter Evaluation of a New Antibody Test Kit for
Lymphatic Filariasis Employing Recombinant Brugia malayi Antigen Bm-14.
Acta Trop. 2011; 120 (1): S19-22.
25. Hoti SL, et al. A Method for Detecting Microfilaraemia, Filarial Specific
Antigens and Antibodies and Typing of Parasites for Drug Resistance and
Genotypes Using Finger Prick Blood Sample. Acta Trop. 2008; 107(3):268-
71.
26. Baratawidjaja K, Rengganis I. Imunologi Dasar. 9th
ed. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2010. P. 40. 112 – 26. 433 – 40.
27. Babu S, Blauvelt CP, Kumaraswami V, Nutman TB. Regulatory Networks
Induced by Live Parasites Impair Both Th1 and Th2 Pathways in Patent
Lymphatic Filariasis: Implications for Parasite Persistence. J Immunol. 2006;
176 (5): 3248 – 56.
28. Taylor MD, et al. CTLA-4 and CD4+CD25
+ Regulatory T Cells Inhibit
Protective Immunity to Filarial Parasites In Vivo. J Immunol. 2007; 179 (7):
4626 – 34.
29. Babu S, Blauvelt CP, Kumaraswami V, Nutman TB. Diminished Expression
and Function of TLR in Lymphatic Filariasis: A Novel Mechanism of Immune
Dysregulation. J Immunol. 2005;175 (2): 1170 – 6.
30. Putri DF. Penurunan IgG4 Anti Filaria dengan Bm14-ELISA pada Penduduk
di Daerah Endemis Filariasis Brugia timori setelah Pengobatan Massal DES –
Albendazol [Thesis]. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2009.
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

43
Universitas Indonesia
31. Wibowo H, et al. Cytokine and Total IgE Responses in Pregnant Women
Living in Helminth Endemic Area in Bekasi Distric, Indonesia. Trans R Soc
Trop Med Hyg [submitted].
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

Lampiran : Cara Kerja Penelitian Utama
CARA KERJA31
1. Pengambilan sediaan
a. Kuesioner
Kuesioner untuk mengetahui informasi dari ibu hamil mengenai, umur
riwayat kehamilan, riwayat penyakit, riwayat tempat tinggal, dan status
sosial ekonomi.
b. Sediaan tinja ibu hamil
Sediaan tinja diambil dari ibu pada usia kehamilan 34 minggu. Sediaan
diambil menggunakan batang kayu (ice cream stick) sebanyak +1 gram
tinja. Sediaan dimasukkan kedalam tabung plastik yang telah diberi 1 cc
formalin 10 %.
Perlakuan
Kultur
Darah + Stimulasi
BmA
Mikroskopik
Filtrasi dan ICT
ELISA dan Luminex
Ibu Hamil
Ibu Hamil Infeksi Wuchereria
bancrofti (+)
Ibu Hamil Sehat
Analisis Sediaan
Kadar IFN γ Kadar IL - 5
Analisis Sediaan
Kadar IFN γ Kadar IL-5
Sediaan
Kuesioner
Darah
Tinja
Pencarian Sampel
Kultur Darah
ELISA dan Luminex
Perlakuan pada Penelitian Utama
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

c. Sediaan darah ibu hamil
Sediaan darah di ambil dari ibu pada usia kehamilan 34 minggu. Sediaan
diambil dengan menggunakan syringe, sebanyak 5 ml darah vena diambil
pada malam hari (pada pukul 20.00-21.00) dan dimasukkan kedalam
tabung vacutainer yang mengandung antikoagulan heparin. Sediaan
kemudian dikirim ke laboratorium. Sediaan dibagi menjadi 1 ml darah
digunakan untuk pemeriksaan filaria berdasarkan teknik filtrasi; 2 ml
darah digunakan untuk kultur; dan 2 ml darah diendapkan untuk diambil
plasma.
2. Analisa Sediaan
2.1.Penetapan Status Infeksi Parasit pada Ibu Hamil
2.1.1 Status Infeksi Parasit Usus berdasarkan Pemeriksaan Sediaan
Tinja
Sampel tinja disimpan dalam tabung yang mengandung
formalin 10%. Pemeriksaan secara mikroskopik untuk menemukan
adanya infeksi parasit dalam usus. Status infeksi cacing usus
ditetapkan dengan ditemukannya telur.
2.1.2 Status Infeksi Parasit Jaringan (Wuchereria bancrofti)
berdasarkan Pemeriksaan Sediaan Darah
Status infeksi Wuchereria bancrofti ditetapkan berdasarkan 2
metode, berdasarkan adanya mikrofilaria dalam darah dengan filtrasi
dan antigen berdasarkan teknik ICT.
a. Deteksi mikrofilaria berdasarkan teknik filtrasi
Pemeriksaan mikrofilaria dengan teknik filtrasi.
Pemeriksaan ini menggunakan siring 1 ml. Filtrasi dilakukan
dengan menyaring darah menggunakan membran Millipore®
yang berdiameter pori 5m. Membran kemudian dikeringkan dan
dilanjutkan dengan fiksasi dengan meneteskan metanol pada
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

membran. Setelah membran kering, kemudian dilakukan
pewarnaan Giemsa. Keberadaan mikrofilaria kemudian diperiksa
menggunakan mikroskop
b. Deteksi antigen filaria Wuchereria bancrofti berdasarkan
teknik Immunochromatography test (ICT)
Pemeriksaan antigen filaria menggunakan metode ICT
seperti yang telah digambarkan oleh produsen (Binnax, USA), 50
μl plasma diteteskan pada tatakan absorban, plasma kemudian
bergerak melalui tangkai yang telah mengandung sepasang
poliklonal dan monokonal antibodi yang akan berikatan dengan
antigen filaria pada darah atau plasma seseorang yang terinfeksi
filaria. Setelah 15 menit kemudian uji dibaca sesuai instruksi dari
produsen, yaitu adanya garis pada area T (test area) maka
sampel yang di uji positif tersebut mengandung antigen filaria.
Sampel dinyatakan positif jika garis yang tertera pada area T
lebih tipis atau lebih tebal dari garis yang terdapat pada area
kontrol (Area C).
2.2 Analisa Respon Imun pada Ibu Hamil
a. Kultur darah (whole blood culture)
Kultur darah dilakukan untuk melihat respon sitokin tehadap
antigen filaria (BmA; Brugian malayi Adult worm) dan kontrol
(medium). Sediaan 1 ml darah diencerkan 5 kali dengan menambahkan 4
ml RPMI. Sebagai media kultur RPMI, sebelumnya telah ditambahkan
antibiotik (natrium penicillin, streptomycine) dan pyruvate-glutamate.
Kemudian 100 µl darah yang telah diencerkan dimasukkan kedalam
setiap sumur pada plate kultur (Nunc, Roskilde Plates). Kultur pada
sumur plate dilakukan duplo untuk tiap jenis antigen. Stimulasi
dilakukan dengan menambahkan 100 µl antigen BmA (konsentrasi 12.5
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

µg/ml) dan 100 µl medium sebagai kontrol negatif masing-masing
kedalam sumur yang bebeda. Kultur dilakukan 2 ulangan dan tiap
ulangan dilakukan pada masing-masing plate yang berbeda. Kemudian
plate kultur dimasukkan ke dalam inkubator (5% CO2 dan 370C). Kultur
pada plate pertama diinkubasi selama 1x24 jam, dan kultur pada plate
kedua diinkubasi selama 6x24. Kemudian sitokin hasil kultur diambil
dari supernatan. Kemudian supernatan untuk pengukuran IL-10 dan
TNF dilakukan dari plate kultur yang diinkubasi selama 1x24 jam.
Sedangkan, pengukuran IL5, IL13, IFN-γ dilakukan dari plate kultur
yang diinkubasi selama 6x24 jam. Pengukuran kadar semua sitokin
diukur secara simultan dengan Luminex, kecuali untuk IL - 5.
Pengukuran kadar IL-5 akan diukur terpisah dengan ELISA.
b. Pengukuran sitokin berdasarkan Luminex (bead based multiplex
cytokine assay)
Kadar IL-10 dan TNF- dalam supernatan kultur darah 1x24 jam
diukur secara simultan, sedangkan kadar IL-13 dan IFN-γ dalam
supernatan kultur darah 6x24 jam. Bead yang digunakan dengan
diameter 5 µm sebagai pengganti solid phase pada metode ELISA,
sebelumnya dilapisi dengan antibodi anti sitokin. Pada setiap macam
sitokin digunakan bead dengan fluoresensi yang berbeda-beda. Setelah
proses pelapisan, kemudian jumlah bead dihitung dengan kamar hitung
untuk mendapatkan konsentrasi bead per ml. Kemudian supernatan
diletakkan pada sumur round-bottomed plate kultur (Nunc, Roskilde
Plates) dan ditambahkan buffer HPE untuk pengenceran dua kali.
Kemudian campuran standard sitokin (IL-10 & IFN-γ: CLB-Sanquin,
TNF-: Biosource, IL-13: NIBSC) dipersiapkan dan diengencerkan tiga
kali secara bertingkat, kemudian diletakkan pada sumur. Kemudian
campuran bead dan biotinylated antibody (CLB-Sanquin) anti sitokin
dipersiapkan dan diteteskan ke dalam setiap sumur yang telah berisi
supernatan atau standar sitokin. Kemudian plate kultur yang telah diisi
dibungkus dengan kertas aluminium. Hal ini dilakukan karena bead
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

sensitif terhadap cahaya. Kemudian plate kultur diletakkan pada shaker
dan diinkubasi semalaman pada suhu ruangan. Kemudian dilajutkan
dengan sentrifugasi pada plate dan cairan dibuang, lalu ditambahkan
larutan PBS-Tween 0.05%. Pencucian dilakukan dua kali dan kemudian
ditambahkan streptavidine phyco-erythrine (yang diencerkan 25 kali).
Selanjutnya plate kultur dibungkus dengan kertas aluminium kembali,
diletakkan pada shaker, dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu
ruangan. Kemudian plate kultur dicuci sekali dengan PBS-Tween
0.05%. Kemudian pengukuran mean fluorescence intensity dari masing-
masing sitokin dilakukan dengan menggunakan mesin Luminex IS100.
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

Lampiran : Analisis Data SPSS
1. Sebaran Data Kadar IFN - γ dan IL – 5 pada Plasma
Case Processing Summary
ICT
positivity
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
mother IFNg
control day 6
positive 26 70.3% 11 29.7% 37 100.0%
negative 37 66.1% 19 33.9% 56 100.0%
mother IL5 control
day 6
positive 26 70.3% 11 29.7% 37 100.0%
negative 37 66.1% 19 33.9% 56 100.0%
Descriptives
ICT positivity Statistic Std. Error
mother IFNg
control day 6
positive Mean 8.819307E0 2.4568169E0
95% Confidence
Interval for Mean
Lower
Bound 3.759397E0
Upper
Bound 1.387922E1
5% Trimmed Mean 6.997870E0
Median 3.298800E0
Variance 156.935
Std. Deviation 1.2527357E1
Minimum 1.4000
Maximum 53.4155
Range 52.0155
Interquartile Range 9.5503
Skewness 2.361 .456
Kurtosis 5.944 .887
negativ Mean 6.100709E0 2.4447031E0
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

e 95% Confidence
Interval for Mean
Lower
Bound 1.142621E0
Upper
Bound 1.105880E1
5% Trimmed Mean 3.184265E0
Median 1.400000E0
Variance 221.133
Std. Deviation 1.4870549E1
Minimum 1.4000
Maximum 80.0652
Range 78.6652
Interquartile Range .0000
Skewness 4.109 .388
Kurtosis 18.219 .759
mother IL5 control
day 6
positive Mean 6.212069E0 1.3002012E0
95% Confidence
Interval for Mean
Lower
Bound 3.534255E0
Upper
Bound 8.889884E0
5% Trimmed Mean 5.351385E0
Median 3.734600E0
Variance 43.954
Std. Deviation 6.6297514E0
Minimum 1.4000
Maximum 29.5070
Range 28.1070
Interquartile Range 7.4925
Skewness 2.040 .456
Kurtosis 5.051 .887
negativ
e
Mean 4.552811E0 1.5881025E0
95% Confidence
Interval for Mean
Lower
Bound 1.331990E0
Upper
Bound 7.773632E0
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

5% Trimmed Mean 2.824105E0
Median 1.400000E0
Variance 93.317
Std. Deviation 9.6600506E0
Minimum 1.4000
Maximum 57.0670
Range 55.6670
Interquartile Range 1.0018
Skewness 4.797 .388
Kurtosis 25.543 .759
2. Test Uji Distribusi Normal IFN - γ dan IL – 5 pada Plasma
Tests of Normality
ICT
positivity
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig.
mother IL5 control
day 6 dimension1
positive .234 26 .001 .751 26 .000
negative .372 37 .000 .367 37 .000
mother IFNg
control day 6 dimension1
positive .280 26 .000 .660 26 .000
negative .443 37 .000 .368 37 .000
a. Lilliefors Significance Correction
3. Uji Nonparametrik Mann – Whitney untuk Kadar IFN - γ dan IL – 5 Plasma
antara Ibu Hamil Terinfeksi dengan Ibu Hamil Sehat
Test Statisticsa
mother IFNg
control day 6
mother IL5
control day 6
Mann-Whitney U 326.000 324.000
Wilcoxon W 1029.000 1027.000
Z -2.579 -2.430
Asymp. Sig. (2-tailed) .010 .015
a. Grouping Variable: ICT positivity
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

4. Uji Nonparametrik Wilcoxon untuk Kadar IFN - γ dan IL – 5 Plasma Ibu
Hamil Terinfeksi Filaria
Test Statisticsb,c
mother IL5
control day 6 -
mother IFNg
control day 6
Z -.698a
Asymp. Sig. (2-tailed) .485
a. Based on positive ranks.
b. ICT positivity = positive
c. Wilcoxon Signed Ranks Test
5. Sebaran Data Kadar IFN - γ dan IL – 5 pada Stimulasi BmA
Case Processing Summary
ICT
positivity
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
mother IFNg
BmA day 6
positive 26 70.3% 11 29.7% 37 100.0%
negative 37 66.1% 19 33.9% 56 100.0%
mother IL5 BmA
day 6
positive 26 70.3% 11 29.7% 37 100.0%
negative 37 66.1% 19 33.9% 56 100.0%
Descriptives
ICT positivity Statistic Std. Error
mother IFNg BmA
day 6
positive Mean 2.424479E1 8.0041020E0
95% Confidence
Interval for Mean
Lower
Bound 7.760038E0
Upper
Bound 4.072955E1
5% Trimmed Mean 1.850926E1
Median 8.093575E0
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

Variance 1.666E3
Std. Deviation 4.0813072E1
Minimum 1.4000
Maximum 1.5295E2
Range 1.5155E2
Interquartile Range 27.7058
Skewness 2.449 .456
Kurtosis 5.450 .887
negativ
e
Mean 7.024484E1 2.1037926E1
95% Confidence
Interval for Mean
Lower
Bound 2.757795E1
Upper
Bound 1.129117E2
5% Trimmed Mean 5.072885E1
Median 2.822450E1
Variance 1.638E4
Std. Deviation 1.2796871E2
Minimum 1.4000
Maximum 7.3129E2
Range 7.2989E2
Interquartile Range 86.1001
Skewness 4.086 .388
Kurtosis 20.257 .759
mother IL5 BmA
day 6
positive Mean 5.612378E2 1.8892032E2
95% Confidence
Interval for Mean
Lower
Bound 1.721491E2
Upper
Bound 9.503265E2
5% Trimmed Mean 4.138684E2
Median 2.329500E2
Variance 9.280E5
Std. Deviation 9.6330839E2
Minimum 5.5352
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

Maximum 4.0000E3
Range 3.9945E3
Interquartile Range 4.3196E2
Skewness 2.743 .456
Kurtosis 7.251 .887
negativ
e
Mean 3.102088E2 9.1146779E1
95% Confidence
Interval for Mean
Lower
Bound 1.253546E2
Upper
Bound 4.950631E2
5% Trimmed Mean 2.279953E2
Median 8.005800E1
Variance 3.074E5
Std. Deviation 5.5442421E2
Minimum 1.4000
Maximum 3.0000E3
Range 2.9986E3
Interquartile Range 4.4805E2
Skewness 3.475 .388
Kurtosis 15.236 .759
6. Test Uji Distribusi Normal IFN - γ dan IL – 5 pada Stimulasi BmA
Tests of Normality
ICT
positivity
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig.
mother IL5 BmA
day 6 dimension1
positiv
e
.340 26 .000 .577 26 .000
negativ
e
.289 37 .000 .586 37 .000
mother IFNg BmA
day 6 dimension1
positiv
e
.288 26 .000 .606 26 .000
negativ
e
.295 37 .000 .537 37 .000
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

Tests of Normality
ICT
positivity
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig.
mother IL5 BmA
day 6 dimension1
positiv
e
.340 26 .000 .577 26 .000
negativ
e
.289 37 .000 .586 37 .000
mother IFNg BmA
day 6 dimension1
positiv
e
.288 26 .000 .606 26 .000
negativ
e
.295 37 .000 .537 37 .000
a. Lilliefors Significance Correction
7. Uji Nonparametrik Mann – Whitney untuk Kadar IFN - γ dan IL – 5 Darah
dengan Stimulasi BmA antara Ibu Hamil Terinfeksi dengan Ibu Hamil Sehat
Test Statisticsa
mother IFNg
BmA day 6
mother IL5 BmA
day 6
Mann-Whitney U 354.000 358.500
Wilcoxon W 705.000 1061.500
Z -1.812 -1.710
Asymp. Sig. (2-tailed) .070 .087
a. Grouping Variable: ICT positivity
8. Uji Nonparametrik Wilcoxon untuk Kadar IFN - γ dan IL – 5 pada Darah Ibu
Hamil dengan Stimulasi BmA
Test Statisticsb,c
mother IFNg
BmA day 6 -
mother IL5 BmA
day 6
Z -4.407a
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Based on positive ranks.
b. ICT positivity = positive
c. Wilcoxon Signed Ranks Test
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

Test Statisticsb,c
mother IFNg
BmA day 6 -
mother IL5 BmA
day 6
Z -2.834a
Asymp. Sig. (2-tailed) .005
a. Based on positive ranks.
b. ICT positivity = negative
c. Wilcoxon Signed Ranks Test
9. Uji Nonparametrik Wilcoxon untuk Kadar IFN – γ Sebelum dan Setelah
Stimulasi BmA
Test Statisticsb
mother IFNg
BmA day 6 -
mother IFNg
control day 6
Z -4.649a
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Based on negative ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test
10. Uji Nonparametrik Wilcoxon untuk Kadar IL – 5 Darah Sebelum dan Setelah
Stimulasi BmA
Test Statisticsb,c
mother IL5 BmA
day 6 - mother
IL5 control day 6
mother IFNg
BmA day 6 -
mother IFNg
control day 6
Z -4.457a -1.303a
Asymp. Sig. (2-tailed) .000 .192
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

a. Based on negative ranks.
b. ICT positivity = positive
c. Wilcoxon Signed Ranks Test
Test Statisticsb,c
mother IL5 BmA
day 6 - mother
IL5 control day 6
mother IFNg
BmA day 6 -
mother IFNg
control day 6
Z -4.976a -4.345a
Asymp. Sig. (2-tailed) .000 .000
a. Based on negative ranks.
b. ICT positivity = negative
c. Wilcoxon Signed Ranks Test
Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012

Perbandingan karakteristik..., Dara Indira Diniarti, FK UI, 2012