Perayaan Hari Lahan Basah Sedunia di Teluk Banten: Lahan ... · khususnya ekosistem mangrove dan...

5
PRESS RELEASE Perayaan Hari Lahan Basah Sedunia di Teluk Banten: Lahan Basah bagi Pengurangan Risiko Bencana Serang, 16 Februari 2016 Pengelolaan Lahan Basah secara Kolaboratif Kondisi lahan basah (wetlands) di Indonesia terus menjadi sorotan dunia dan menjadi perhatian serius para pemangku kepentingan di Indonesia dalam perbaikan pengelolaannya. Sebagai negara dengan lahan basah terluas di Asia setelah China, yaitu seluas 40.5 juta hektar, lahan basah di Indonesia dipandang memiliki arti sangat penting. Tidak hanya itu, Indonesia merupakan negara yang memiliki mangrove terluas di dunia, yaitu seluas 3.2 juta hektar. Oleh sebab itu, lahan basah di Indonesia harus dilestarikan karena berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan, menjadi sumber air, sumber pangan, menjaga kekayaan keanekaragaman hayati, serta berperan sebagai pengendali iklim global dan pengurang risiko bencana. Begitu pula dengan ekosistem mangrove, harus dipertahankan dengan tidak dialihfungsikan keberadaannya. Dalam rangka perayaan Hari Lahan Basah Sedunia (World Wetlands Day / WWD), Wetlands International Indonesia bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyelenggarakan serangkaian kegiatan pada 16 Februari 2017 di Teluk Banten, Desa Sawah Luhur, Serang, Banten. Acara ini melibatkan sekitar 200 orang dari berbagai unsur, yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, akademisi, mahasiswa, siswa sekolah, serta masyarakat lainnya. Rangkaian kegiatan yang bertema "Lahan Basah untuk Pengurangan Risiko Bencana" ini terdiri dari: kunjungan ke lokasi rehabilitasi mangrove dengan teknik inovatif hybrid engineering berupa pembangunan pemerangkap lumpur / sediment trapping, pengamatan burung di Cagar Alam Pulau Dua (Pulau Burung), penelusuran jalur ekowisata mangrove dan pertambakan, penanaman mangrove, lomba menggambar siswa SD, pameran berbagai kegiatan dan produk masyarakat setempat berbahan mangrove serta kegiatan lainnya. Dalam sambutan pembukaannya, Hilman Nugroho, Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup menyampaikan bahwa kondisi ekosistem lahan basah di Indonesia saat ini terus mengalami penurunan peran dan fungsi. Menyadari pentingnya peran dan fungsi lahan basah tersebut, maka perlu upaya pengelolaan lahan basah secara tepat dan terpadu. Diperlukan upaya bersama dengan melibatkan secara aktif masyarakat, lembaga (instansi) pemerintahan, instansi keilmuan, serta pemangku kepentingan lainnya untuk mempertahankan dan merestorasi ekosistem lahan basah, tak terkecuali ekosistem lahan basah di wilayah pesisir Teluk Banten. Lebih lanjut Hilman Nugroho mengatakan, “Kami mengapresiasi kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Wetlands International bersama masyarakat serta pihak- pihak lain dalam pengelolaan lahan basah, baik melalui kegiatan rehabilitasi pesisir, pemberdayaan ekonomi masyarakat, serta pengembangan ekowisata di Teluk Banten,” Beliau juga menyampaikan komitmennya untuk mendukung kegiatan masyarakat di Desa Sawah Luhur. “Kami akan berikan bantuan pendanaan untuk kegiatan rehabilitasi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di Desa Sawah Luhur senilai 50 juta rupiah,” tambahnya. Beliau pun menekankan bahwa proses serta praktek- praktek rehabilitasi harapannya dapat mengikuti pola dan pendekatan yang telah diatur oleh pemerintah, seperti pola tanam sylvofishery yang ramah lingkungan. Pada kesempatan yang sama, Wakil Walikota Kota Serang, Sulhi Choir menyampaikan pentingnya kegiatan perbaikan ekosistem mangrove di Desa Sawah Luhur. “Kami mengapresiasi seluruh pihak yang telah bekerja keras dalam rehabilitasi pesisir Teluk Banten, terutama di Kota Serang. Semoga kegiatan ini dapat direplikasi oleh masyarakat di sekitarnya, baik di Teluk Banten maupun di seluruh Indonesia”. Teluk Banten dengan berbagai dinamika biofisiknya telah menyebabkan terjadinya perubahan bentang alam terutama di wilayah bagian timur. Abrasi dan banjir rob merupakan beberapa ancaman yang mengancam ekosistem pesisir Teluk Banten. Wetlands International Indonesia selama lebih dari satu dekade terakhir ini telah melaksanakan kegiatan restorasi pesisir terpadu di

Transcript of Perayaan Hari Lahan Basah Sedunia di Teluk Banten: Lahan ... · khususnya ekosistem mangrove dan...

Page 1: Perayaan Hari Lahan Basah Sedunia di Teluk Banten: Lahan ... · khususnya ekosistem mangrove dan gambut di beberapa lokasi di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan.” Pada kesempatan

PRESS RELEASE

Perayaan Hari Lahan Basah Sedunia di Teluk Banten:

Lahan Basah bagi Pengurangan Risiko Bencana Serang, 16 Februari 2016

Pengelolaan Lahan Basah secara Kolaboratif

Kondisi lahan basah (wetlands) di Indonesia terus menjadi sorotan dunia dan menjadi perhatian serius para pemangku kepentingan di Indonesia dalam perbaikan pengelolaannya. Sebagai negara dengan lahan basah terluas di Asia setelah China, yaitu seluas 40.5 juta hektar, lahan basah di Indonesia dipandang memiliki arti sangat penting. Tidak hanya itu, Indonesia merupakan negara yang memiliki mangrove terluas di dunia, yaitu seluas 3.2 juta hektar. Oleh sebab itu, lahan basah di Indonesia harus dilestarikan karena berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan, menjadi sumber air, sumber pangan, menjaga kekayaan keanekaragaman hayati, serta berperan sebagai pengendali iklim global dan pengurang risiko bencana. Begitu pula dengan ekosistem mangrove, harus dipertahankan dengan tidak dialihfungsikan keberadaannya.

Dalam rangka perayaan Hari Lahan Basah Sedunia (World Wetlands Day / WWD), Wetlands International Indonesia bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyelenggarakan serangkaian kegiatan pada 16 Februari 2017 di Teluk Banten, Desa Sawah Luhur, Serang, Banten. Acara ini melibatkan sekitar 200 orang dari berbagai unsur, yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, akademisi, mahasiswa, siswa sekolah, serta masyarakat lainnya. Rangkaian kegiatan yang bertema "Lahan Basah untuk Pengurangan Risiko Bencana" ini terdiri dari: kunjungan ke lokasi rehabilitasi mangrove dengan teknik inovatif hybrid engineering berupa pembangunan pemerangkap lumpur / sediment trapping, pengamatan burung di Cagar Alam Pulau Dua (Pulau Burung), penelusuran jalur ekowisata mangrove dan pertambakan, penanaman mangrove, lomba menggambar siswa SD, pameran berbagai kegiatan dan produk masyarakat setempat berbahan mangrove serta kegiatan lainnya.

Dalam sambutan pembukaannya, Hilman Nugroho, Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan

Hidup menyampaikan bahwa kondisi ekosistem lahan basah di Indonesia saat ini terus mengalami penurunan peran dan fungsi. Menyadari pentingnya peran dan fungsi lahan basah tersebut, maka perlu upaya pengelolaan lahan basah secara tepat dan terpadu. Diperlukan upaya bersama dengan melibatkan secara aktif masyarakat, lembaga (instansi) pemerintahan, instansi keilmuan, serta pemangku kepentingan lainnya untuk mempertahankan dan merestorasi ekosistem lahan basah, tak terkecuali ekosistem lahan basah di wilayah pesisir Teluk Banten.

Lebih lanjut Hilman Nugroho mengatakan, “Kami mengapresiasi kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Wetlands International bersama masyarakat serta pihak-pihak lain dalam pengelolaan lahan basah, baik melalui kegiatan rehabilitasi pesisir, pemberdayaan ekonomi masyarakat, serta pengembangan ekowisata di Teluk Banten,” Beliau juga menyampaikan komitmennya untuk mendukung kegiatan masyarakat di Desa Sawah Luhur. “Kami akan berikan bantuan pendanaan untuk kegiatan rehabilitasi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di Desa Sawah Luhur senilai 50 juta rupiah,” tambahnya. Beliau pun menekankan bahwa proses serta praktek-praktek rehabilitasi harapannya dapat mengikuti pola dan pendekatan yang telah diatur oleh pemerintah, seperti pola tanam sylvofishery yang ramah lingkungan.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Walikota Kota Serang, Sulhi Choir menyampaikan pentingnya kegiatan perbaikan ekosistem mangrove di Desa Sawah Luhur. “Kami mengapresiasi seluruh pihak yang telah bekerja keras dalam rehabilitasi pesisir Teluk Banten, terutama di Kota Serang. Semoga kegiatan ini dapat direplikasi oleh masyarakat di sekitarnya, baik di Teluk Banten maupun di seluruh Indonesia”.

Teluk Banten dengan berbagai dinamika biofisiknya telah menyebabkan terjadinya perubahan bentang alam terutama di wilayah bagian timur. Abrasi dan banjir rob merupakan beberapa ancaman yang mengancam ekosistem pesisir Teluk Banten. Wetlands International Indonesia selama lebih dari satu dekade terakhir ini telah melaksanakan kegiatan restorasi pesisir terpadu di

Page 2: Perayaan Hari Lahan Basah Sedunia di Teluk Banten: Lahan ... · khususnya ekosistem mangrove dan gambut di beberapa lokasi di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan.” Pada kesempatan

kawasan Teluk Banten. Kegiatan tersebut dilaksanakan untuk memperbaiki kondisi lingkungan pesisir di Desa Sawah Luhur, Banten, melalui kegiatan penanaman mangrove di lahan tambak. Kegiatan restorasi dilaksanakan bekerja sama dengan masyarakat setempat, di mana masyarakat melakukan penanaman dan pada saat yang sama masyarakat memperoleh penghasilan dari tambak yang mereka pelihara. Berbagai kegiatan ini juga akan mendukung upaya pengurangan bencana di wilayah pesisir.

I Nyoman Suryadiputra, Direktur Wetlands International Indonesia, menyampaikan bahwa pola kerja kolaboratif tersebut terbukti telah memotivasi masyarakat untuk tidak hanya menanam, tetapi juga memelihara tanaman mangrove dengan sangat baik. Dalam jangka panjang, selain mata pencaharian masyarakat yang meningkat, kegiatan restorasi juga diharapkan dapat memberikan kontribusi jasa lingkungan, seperti penyerapan dan penyimpanan karbon, menyediakan habitat yang memadai untuk hidupan liar dan menyediakan ruang bagi masyarakat untuk berekreasi di tengah lahan tambak yang telah direstorasi.

Berdasarkan hasil kajian Wetlands International Indonesia, dari tahun 1970-an hingga saat ini teridentifikasi jangkauan abrasi dari garis pantai ke daratan mencapai satu kilometer, dengan laju jangkauan maksimum 25 meter per tahun dan luas areal terabrasi mencapai 714,97 ha. I Nyoman Suryadiputra mengatakan, “ Permasalahan di Teluk Banten, terlepas dari adanya abrasi, adalah kondisi hamparan pertambakan seluas 500-an hektar yang gersang. Perlu diupayakan agar tambak-tambak ini dihijaukan, misal melalui penerapan sylvofishery (tambak tumpang sari dengan tanaman mangrove). Untuk mencapai tujuan ini, penerapan sistem insentif dapat diberikan kepada pemilik tambak berupa keringanan/pengurangan biaya PBB (Pajak Bumi Bangunan); tapi jika tambak dibiarkan gersang, kepada mereka dikenakan PBB lebih tinggi .”

Menanggapi dukungan berbagai pihak dalam pengelolaan ekosistem mangrove Teluk Banten, Kasrudin, Ketua Kelompok Pencinta Alam Pesisir Pulau Dua, mengatakan, “Kami sangat berterimakasih atas pihak-pihak yang telah mendukung kegiatan di sini. Termasuk rencana bantuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar kami dapat memperluas kegiatan rehabilitasi mangrove dan meningkatkan pemberdayaan ekonomi di (Desa) Sawah Luhur””

Diperlukan Pendekatan yang Inovatif

Pada 2012, bangunan pemerangkap sedimen mulai dibangun oleh Wetlands International Indonesia bersama masyarakat untuk tujuan memperluas habitat tumbuh mangrove di Daerah Penyangga (depan pantai) Cagar Alam Pulau Dua, Desa Sawah Luhur, Serang, Banten. Awalnya, pemerangkap sedimen berskala kecil, dibangun dengan

membentangkan jaring bekas dan menggunakan tumpukan karung sejauh 40 meter dari garis pantai yang terabrasi sepanjang 200 meter dan setinggi 1,5 meter. Di atas lumpur yang terperangkap ini kemudian ditumbuhi mangrove secara alami yang bibit-bibitnya berasal dari lantai hutan Cagar Alam Pulau Dua yang hanyut saat air surut. Bangunan ini ternyata berhasil sukses dan di atas lumpur kini telah tumbuh ribuan pohon Avicennia sp secara alami dengan ketinggian sekitar 2 – 6 meter, umur sekitar 4 tahun . Upaya ini dilakukan oleh Kelompok Pencinta Alam Pesisir Pulau Dua (KPAPPD) bekerja sama dengan Wetlands International Indonesia, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), serta beberapa pihak terkait lainnya.

Dengan dukungan program Mangrove for the Future, inovasi ini dikembangkan lebih jauh, yaitu dengan membangun struktur pemerangkap sedimen dengan menggunakan bahan-bahan yang tersedia di sekitar lokasi kegiatan (seperti cerucuk bambu dan ranting/cabang pohon). Gabungan antara penggunaan jaring bekas dan tumpukan karung berisikan lumpur, ditambah dengan penggunaan cerucuk bambu, akhirnya akan menambah habitat mangrove di depan Cagar Alam Pulau Dua dan ini akan menjadikan sabuk hijau pantai desa sawah luhur bertambah luas, ujar Nyoman.

“Dengan kata lain, perluasan sabuk hijau (green belt), akan mendukung keanekaragaman hayati, melindungi kawasan Cagar Alam Pulau Dua, melindungi pertambakan serta meningkatkan ketahanan pemukiman pesisir Desa Sawah Luhur yang terletak di belakang cagar alam Pulau Dua dari adanya kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim. Upaya ini juga memiliki nilai strategis dalam kerangka kegiatan pengurangan risiko bencana di daerah pesisir”.

Kegiatan rehabilitasi di Teluk Banten juga mendukung keberlangsungan kawasan Cagar Alam Pulau Dua, yaitu kawasan yang bernilai penting bagi keberadaan burung air di dalamnya. Ribuan ekor burung dari sekitar 100 jenis burung sangat bergantung kehidupannya pada kawasan yang disebut pula sebagai Pulau Burung ini. Kondisi ini pun sangat potensial dikembangkan sebagai lokasi berbagai kajian pengembangan ilmu pengetahuan sehingga penting dipertahankan. Dalam rangkaian kegiatan pengamatan dan penghitungan burung air di Cagar Alam Pulau Dua bersama Universitas Ageng Tirtayasa (Untirta), Yus Rusila Noor, Program Manajer Wetlands International Indonesia yang juga merupakan pakar burung air di Indonesia, mengatakan, “Kerjasama penelitian dan monitoring habitat burung air di Cagar Alam Pulau Dua sangat penting melibatkan institusi penelitian seperti Untirta. Sehingga dasar-dasar ilmiah dapat menjadi pertimbangan pengelolaan kawasan”

Page 3: Perayaan Hari Lahan Basah Sedunia di Teluk Banten: Lahan ... · khususnya ekosistem mangrove dan gambut di beberapa lokasi di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan.” Pada kesempatan

Pengarusutamaan Pengelolaan Risiko Terpadu

Sebagai upaya untuk mengurangi risiko bencana di tengah meningkatnya perubahan iklim dan semakin terdegradasinya lingkungan, Wetlands Internasional Indonesia saat ini tengah menerapkan sebuah pendekatan inovatif untuk mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketahanan masyarakat rentan bencana yang dikenal dengan pendekatan Integrated Risk Management (IRM)/Pengelolaan Risiko Terpadu. IRM merupakan pendekatan yang memadukan Pengurangan Risiko Bencana (PRB), Adaptasi Perubahan Iklim (API), serta Manajemen dan Restorasi Ekosistem (MRE) secara bersamaan. Delapan prinsip utama IRM: partisipatif, multidisiplin, kemitraan, pendekatan lanskap, penguatan sumber-sumber penghidupan, pembelajaran yang berkelanjutan, bekerja pada skala waktu yang beragam dan penguatan kelembagaan. Dalam penerapannya, pendekatan ini bekerjasama dengan masyarakat, sektor swasta dan pemerintah dan mengintegrasikannya ke dalam kebijakan, praktek investasi dan praktek pembangunan di Indonesia.

Programme Manager Resilience Projects, Yus Rusila Noor, menyampaikan bahwa penerapan IRM bukanlah hal yang baru. Antara tahun 2011-2015, WII melalui program Partners for Ressilience telah berhasil mengembangkan kegiatan di lapangan yang terbukti tahan terhadap risiko dan sesuai dengan prinsip-prinsip IRM, salah satunya

adalah kegiatan rehabilitasi pesisir dan penguatan ekonomi masyarakat pesisir yang dilakukan di Kabupaten Ende dan Sikka, NTT. Yus Rusila Noor mengatakan, “Saat ini babak baru telah dimulai di mana program lanjutan dilakukan untuk mendorong aplikasi IRM yang lebih luas dalam agenda pembangunan di Indonesia, melalui kegiatan advokasi dan dialog kebijakan IRM. Untuk Wetlands International Indonesia, babak baru ini difokuskan pada program pengarusutamaan IRM dalam rencana pembangunan ekosistem dataran rendah khususnya ekosistem mangrove dan gambut di beberapa lokasi di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan.”

Pada kesempatan yang sama, Cherryta Yunia, Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial, KLHK, juga menyampaikan pentingnya pendidikan dan penyadartahuan lingkungan kepada masyarakat dan anak usia dini sebagai bagian dari pengarusutamaan IRM. Di sela kegiatan lomba menggambar siswa-siswa SD, Cherryta mengatakan, “Hubungan antara anak dengan alam sekitarnya merupakan landasan yang penting untuk membangun hubungan yang baik antara manusia dengan alam atau lingkungan hidup sekitarnya. Sehingga, kesadaran lingkungan tercermin dalam berbagai perilaku kehidupan di masyarakat.”

*Informasi tambahan: Brosur Profil Hari Lahan Basah Sedunia (World Wetlands Day) 2017 disampaikan dalam lembar terpisah

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:

I Nyoman Suryadiputra Cherryta Yunia Direktur Wetlands International Indonesia Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial [email protected] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [email protected]

Kegiatan Perayaan Hari Lahan Basah Sedunia ini memperoleh dukungan dari:

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Pemerintah Provinsi Banten dan Kota Serang

Pemerintah Kecamatan Kasemen dan Kelurahan Sawah Luhur

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Serang

Asian Waterbird Census

Kemitraan Partners for Resilience

Kelompok Pencinta Alam Pesisir Pulau Dua

Program Mangroves for the Future

Page 4: Perayaan Hari Lahan Basah Sedunia di Teluk Banten: Lahan ... · khususnya ekosistem mangrove dan gambut di beberapa lokasi di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan.” Pada kesempatan

Peringatan Hari Lahan Basah Sedunia

Apa itu Hari Lahan Basah Sedunia? Setiap tanggal 2 Februari diperingati sebagai hari Lahan Basah Sedunia, sebagai tindak lanjut telah disepakati dan ditandatanganinya suatu Konvensi Internasional (Perjanjian Internasional) tentang lahan basah, tepatnya tanggal 2 Februari 1971 di kota Ramsar, Iran. Konvensi tersebut kemudian kita kenal sebagai: Konvensi Ramsar.

Konvensi pada awalnya fokus pada masalah burung air termasuk burung air migran, lalu berkembang kepada konservasi ekosistem lahan basah termasuk keanekaragaman hayati di dalamnya. Bahkan saat ini lebih bermulti fokus menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. Melihat kenyataan tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa lahan basah adalah penyangga kehidupan.

Lahan basah menurut Konvensi Ramsar merupakan definisi yang luas, yaitu ”Daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan: alami atau

buatan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir, tawar, payau atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu air surut”.

Indonesia masuk menjadi anggota Konvensi Ramsar pada tahun 1991 dengan diterbitkannya Keppres 48 th 1991 yang merupakan Ratifikasi Konvensi Ramsar di Indonesia. Pada tahun 1996, sebagai salah satu hasil pertemuan para anggota Konvensi Ramsar, ditetapkan bahwa tanggal 2 Februari adalah Hari Lahan Basah Sedunia. Pada tahun 1997, Hari Lahan Basah Sedunia untuk pertama kalinya diperingati di seluruh dunia oleh negara-negara anggota Konvensi Ramsar.

Tema tahun 2017 ini adalah ”Wetlands for Disaster Risk Reduction - Lahan Basah bagi Pengurangan Risiko bencana”. Kegiatan manusia yang tidak melindungi, tidak menjaga, bahkan merusak demi beberapa alasan (terutama berlatar belakang ekonomi) adalah faktor utama penyebab terjadinya berbagai kerusakan dan bencana di muka bumi. Beberapa dekade terakhir bahkan bencana meningkat secara drastis, seiring dengan semakin parahnya perubahan iklim yang berkontribusi terhadap cuaca yang lebih ekstrim dan semakin tidak terduga. Degradasi dan kerusakan ekosistem turut meningkatkan kerawanan ekosistem terhadap bencana. Ditambah dengan tingginya tingkat kemiskinan masyarakat di sekitar ekosistem, maka risiko bencana semakin meningkat. Lahan basah yang kondisinya masih baik haruslah dijaga dan dipertahankan, sementara lahan basah yang telah terdegradasi dan rusak harus segera dipulihkan dan dikembalikan fungsi serta manfaatnya, agar ekosistem kembali menjadi kuat. Ekosistem lahan basah yang kuat akan mengurangi risiko bencana bagi ekosistem itu sendiri dan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

Frekuensi bencana di hampir seluruh belahan dunia terus meningkat, bahkan dalam 35 tahun terakhir frekuensinya meningkat lebih dari dua kali lipat (Sumber: Ramsar). Penyebab utamanya adalah rusaknya lingkungan akibat ulah dan kelalaian manusia, diperparah lagi dengan fenomena perubahan iklim yang terjadi. Kondisi demikian menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan, sehingga lingkungan dan bahkan kehidupan masyarakat di dalamnya menjadi semakin terancam dan rentan. Badan dunia yang membidangi masalah Air memperkirakan bahwa 90% dari semua bencana alam terkait dengan air. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memprediksikan bahwa peristiwa ekstrim ke depan akan jauh lebih parah lagi. Kerusakan lingkungan serta bencana yang terus menerpa, menjadikan ekosistem lingkungan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat (terutama masyarakat miskin) semakin rentan. Ramsar menyatakan bahwa 90% kematian akibat bencana terdapat di negara-negara miskin dan berpendapatan yang rendah.

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar yang terletak diantara dua lempeng benua yang menjadikan negara kepulauan ini memiliki risiko bencana gempa, letusan gunung berapi, tsunami, banjir dan tanah longsor 10 kali lebih besar dibandingkan dengan negara lainya. Kondisi ini diperparah dengan predikat Indonesia sebagai negara tropis yang memiliki tingkat kerentanan terhadap dampak perubahan iklim yang cukup tinggi. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa tren bencana Indonesia dari 2002 hingga 2015 cenderung meningkat. Pada tahun 2002, tercatat 143 bencana terjadi di Indonesia, meningkat hingga 1.681 bencana pada 2015 (Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2016/02/10/15560681/15.

Tahun.Terakhir.Tren.Bencana.di.Indonesia.Meningkat). Sembilan puluh lima persen diantaranya merupakan bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, puting beliung, cuaca ekstrim, dan kekeringan. Semuanya akibat tingginya kerusakan lingkungan, meningkatnya dampak perubahan iklim dan tidak terintegrasinya program pengurangan risiko bencana kedalam ranah kerja sektoral (dan sebaliknya).

Page 5: Perayaan Hari Lahan Basah Sedunia di Teluk Banten: Lahan ... · khususnya ekosistem mangrove dan gambut di beberapa lokasi di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan.” Pada kesempatan

Sebagai upaya untuk mengurangi risiko bencana ditengah meningkatnya perubahan iklim dan semakin terdegradasinya lingkungan, Wetlands Internasional Indonesia (WII) saat ini tengah menerapkan sebuah pendekatan inovatif untuk mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketahanan masyarakat rentan bencana yang dikenal dengan pendekatan Integrated Risk Management (IRM)/Pengelolaan Risiko Terpadu. IRM merupakan pendekatan yang memadukan Pengurangan Risiko Bencana (PRB), Adaptasi Perubahan Iklim (API, serta Manajemen dan Restorasi Ekosistem (MRE) secara bersamaan. Delapan prinsip utama IRM : partisipatif, multidisiplin, kemitraan, pendekatan landscape, penguatan sumber-sumber penghidupan, pembelajaran yang berkelanjutan, bekerja pada skala waktu yang beragam dan penguatan kelembagaan. Dalam penerapannya, WII bekerjasama dengan masyarakat, sektor swasta dan pemerintah, dalam mengintegrasikan Integrated Risk Management (IRM)/ pengelolaan risiko terpadu kedalam kebijakan, praktek investasi dan praktek pembangunan di Indonesia.

Penerapan IRM bukanlah hal yang baru. Antara tahun 2011-2015, WII melalui program Partners for Ressilience telah berhasil mengembangkan kegiatan di lapangan yang terbukti tahan terhadap risiko dan sesuai dengan prinsip-prinsip IRM, salah satunya adalah kegiatan rehabilitasi pesisir dan penguatan ekonomi masyarakat pesisir yang dilakukan di Kabupaten Ende dan Sikka, NTT. Saat ini babak baru telah dimulai dimana program lanjutan dilakukan untuk mendorong aplikasi IRM yang lebih luas dalam agenda pembangunan di Indonesia, melalui kegiatan advokasi dan dialog kebijakan IRM. Untuk WII, babak baru ini difokuskan pada program pengarus utamaan IRM dalam rencana pembangunan ekosistem dataran rendah khususnya ekosistem mangrove dan gambut di beberapa lokasi di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan.

Kembalikan peran dan fungsi Lahan Basah, agar risiko bencana semakin berkurang. ”Ekosistem lahan basah sehat, Bencana terhambat, Masyarakat menjadi kuat”

Selamat hari Lahan Basah Sedunia 2017 ”Wetlands for Disaster Risk Reduction -

Lahan Basah bagi Pengurangan Risiko Bencana”

Informasi lebih lanjut silakan hubungi: Wetlands International Indonesia

Jl. Bango No. 11 Bogor 16161 Tel. 0251 8312189; E-mail: [email protected]