kadar sitokin pro inflamasi dan jumlah neutrofil pada stroke iskemik akut
Peranan Sitokin ProInflamasi Pada Stroke Iskemik
-
Upload
dian-laras-suminar -
Category
Documents
-
view
48 -
download
9
description
Transcript of Peranan Sitokin ProInflamasi Pada Stroke Iskemik
1
PENDAHULUAN
Stroke merupakan salah satu penyakit dengan angka morbilitas dan mortalitas yang tinggi.
Selain itu stroke juga penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit jantung dan kanker,
serta penyebab kecacatan pada negara-negara industri. Di amerika serikat jumlah kematian
akibat stroke 90.000 wanita dan 60.000 pria setiap tahun. Di indonesia sendiri diperkirakan
setiap tahun terdapat 8 dari 1000 orang menderita stroke. Stroke telah menjadi beban
global dalam bidang kesehatan (Wijaya, 2011).
Sekitar 80% sampai 85% stroke adalah stroke iskemik, yang terjadi akibat obstruksi atau
bekuan di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan
oleh bekuan (trombus) yang terbentuk dalam suatu pembuluh darah otak atau pembuluh
atau organ distal. Pada trombus vaskular distal, bekuan dapat terlepas, atau mungkin
terbentuk didalam suatu organ seperti jantung, dan kemudian dibawa melalui sistem arteri
ke otak sebagai suatu embolus. Terdapat beragam penyebab stroke trombotik dan emboli
primer, termasuk aterosklerotik, arteritis, keadaan hiperkoagulasi, dan penyakit jantung
struktural. Namun, trombosis yang menjadi penyulit aterosklerosis merpakan penyebab
pada sebagian besar kasus stroke trombotik, dan embolus dari pembuluh darah besar atau
jantung merupakan penyebab tersering stroke embolik (price and wilson, 2006).
Sumbatan aliran di arteria karotis interna sering merupakan penyebab stroke pada orang
berusia lanjut, yang sering mengalami pembentukan plak aterosklerotik di pembuluh darah
2
sehingga terjadi penyempitan atau stenosis. Pangkal arteria karotis interna( tempat arteri
karotis komunis bercabang menjadi arteri karotis interna dan eksterna) merupakan tempat
tersering terbentuknya aterosklerosis. Atrosklerosis arteri serebri media atau anterior lebih
jarang menjadi tempat pembentukan aterosklerosis. Darah terdorong melalui sistem
vaskular oleh gradien tekanan, tetapi pada pembuluh darah yang menyempit, aliran darah
yang lebih cepat melalui lumen yang lebih kecil akan menurunkan gradien tekanan
ditempat kontriksi tersebut. Apabila stenosis mencapai suatu tingkat krisis tertentu, maka
meningkatnya turbulensi disekitar penyumbatan akan menyebabkan penurunan tajam
kecepatan aliran.
Penyebab lain stroke iskemik adalah vasospasme, yang sering merupakan respons vaskular
reaktif terhadap peradarahan ke dalam ruang antara lapisan araknoid dan piamater
meningen. Sebagian besar stroke iskemik otak tidak menimbulkan nyeri, karena jaringan
otak tidak peka terhadap nyeri. Namun pembuluh darah dileher dan batang otak memiliki
banyak reseptor nyeri, dan cedera pembuluh-pembuluh ini saat serangan iskemik akan
menimbulkan nyeri kepala. Dengan demikian, pada pasien dengan stroke iskemik disertai
gambaran klinis berupa nyeri kepala perlu dilakukan uji-uji diagnostik yang dapat
mendeteksi cedera kepala seperti aneurisma disekans di pembuluh leher dan batang otak.
Sitokin pro inflamasi merupakan sitokin yang sering didapati meningkat pada suatu proses
inflamasi. Pada stroke iskemik akut timbul respons inflamasi yang memperngaruhi
progresivitas stroke. Respon inflamasi pada stroke iskemik merupakan suatu proses
penting yang mempengaruhi perjalanan stroke pada fase akut, karena dapat memperberat
perjalanan stroke iskemik, yaitu dengan mempercepat berkembangnya penumbra menjadi
3
infark. Sitokin yang sering terlibat dalam suatu proses inflamasi yang sering disebut adalah
TNF alfa (Tumor Nekrosis Faktor), interleukin 1 beta dan interleukin 6 (Vila et al, 2000).
Beberapa sitokin pro inflamasi dilepaskan segera setelah onset iskemia otak. Pada 25%
sampai 40% pasien dengan stroke iskemik gejala-gejala neurologis berkembang selama
beberapa jam pertama. Perburukan klinis pada awal kejadian menyebabkan peningkatan
angka mortalitas dan kecacatan. Peningkatan sitokin pro inflamasi telah dideteksi pada
iskemik korteks satu jam setelah terjadinya oklusi arteri serebri media pada model
percobaan dengan iskemia otak (Suroto, 2002). Permasalahan yang timbul adalah apakah
peranan dari sitokin pro inflamasi pada stroke iskemik.
4
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Menurut WHO, stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat
gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama
24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas
selain vaskuler. Stroke merupakan penyebab kematian utama pada semua umur, dengan
proporsi sebesar 15,4%. Stroke dapat dibagi menjadi dua, yaitu stroke non hemoragik dan
stroke hemoragik. Sebagian besar stroke disebabkan oleh stroke non hemoragik yaitu
mencapai 80%.
Stroke non hemoragik dapat disebabkan oleh trombus dan emboli. Stroke non hemoragik
akibat trombus terjadi karena penurunan aliran darah pada tempat tertentu di otak melalui
proses stenosis. Mekanisme patofisiologi dari stroke bersifat kompleks dan menyebabkan
kematian neuronal yang diikuti oleh hilangnya fungsi normal dari neuron yang terkena.
Memahami patofisiologi stroke non hemoragik akibat trombus penting dalam
penatalaksanaan pasien, khususnya dalam memberikan terapi secara tepat (wijaya, 2011).
Diagnosis Stroke
Pengetahuan tentang neuroanatomy dan anatomi pembuluh darah penting untuk
mendiagnosis klinis stroke dan serangan iskemik SSP transient. Cedera otak disebabkan
oleh vaskular hampir selalu fokal, kecuali mereka menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial yang menyebabkan hipoperfusi serebral secara global, seperti dalam
5
perdarahan subarachnoid, atau infark besar dan perdarahan intraserebri. Pertimbangan
dimana Proses tersebut terjadi di dalam otak bermanfaat untuk menentukan apakah
penyebabnya adalah pembuluh darah dan untuk identifikasi pembuluh darah potensial
yang terlibat. Untuk diagnosis klinis, terdapat 3 pertanyaan berikut harus terjawab: (1)
Adakah gangguan vaskular seperti stroke? Jika ada gangguan vaskular, maka (2) di
manakah kelainannya di dalam SSP dan pembuluh darah apa yang memasok darah di
daerah itu? dan (3) bagaimanakah mekanisme terjadinya penyakit (misalnya, iskemia atau
perdarahan)? Sebelum membedakan antara mekanisme stroke, dokter pertama-tama harus
menanyakan adakah kemungkinan penyakit tersebut disebabkan oleh proses nonvascular
seperti tumor otak, gangguan metabolisme, infeksi, demielinisasi, intoksikasi, atau cedera
traumatis yang menyerupai stroke.
Pengalaman dan pengetahuan mengenai penyakit sistemik umum membantu dokter
mengetahui patofisiologinya; Pemeriksaan neurologis memberikan informasi di mana
proses penyakit berada. Data yang berbeda yang digunakan untuk menjawab pertanyaan
apa dan dimana. Diagnosis lokasi stroke yang paling sering dilakukan dengan
mengintegrasikan semua informasi yang tersedia dari gejala neurologis dan temuan dari
pemeriksaan radiologi. Dalam menentukan mekanisme stroke, data-data ini perlu
diketahui: riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, dan riwayat penyakit
keluarga, keberadaan dan sifat stroke di masa lalu dan / atau TIA, kegiatan pada awal
stroke, perkembangan gejala fokal, dan gejala penyerta seperti sakit kepala, muntah, dan
penurunan tingkat kesadaran. Informasi ini diperoleh dari anamnesis menyeluruh dari
pasien, review catatan, dan data yang dikumpulkan dari pengamat, anggota keluarga.
Pemeriksaan fisik umum, yang mungkin mengungkap temuan tidak diketahui dari riwayat,
menambah data yang digunakan untuk mendiagnosis mekanisme stroke. Tekanan darah
6
tinggi, pembesaran jantung atau murmur, dan bruit vaskular adalah contoh temuan fisik
bahwa identifikasi pengaruh mekanisme stroke. Infark retina adalah diagnosis klinis pada
pasien dengan hilangnya penglihatan akut menyakitkan, biasanya terkait dengan iskemik
whitening retina diamati pada pemeriksaan funduskopi.
Radiografi Diagnosis
Pencitraan radiografi dan pengujian laboratorium lainnya bertujuan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini dalam evaluasi akut Stroke: (1) Apakah lesi (s) dalam SSP yang
disebabkan oleh iskemia atau perdarahan, ataukah gangguan nonvascular yang menyerupai
stroke? (2) Dimana lesi ? Apa ukuran, bentuk, dan batas? (3) Bagaimana sifat dan tingkat
keparahan lesi vaskular, dan bagaimana lesi vaskular dan kelainan perfusi otak
berhubungan dengan lesi ? dan (4) Apakah kelainan konstituen darah yang menyebabkan
atau memberikan kontribusi terhadap iskemia atau perdarahan? Konfirmasi bahwa pasien
telah mengalami stroke atau tidak sangat tergantung pada pencitraan otak. Pencitraan
dengan CT atau MRI dapat melokalisasi daerah infark otak dan perdarahan. Pencitraan
arteri leher rahim dan intrakranial dan vena, dengan fokus pada yang memasok wilayah
cedera vaskular, dapat mengidentifikasi lesi vaskular oklusif dan menunjukkan malformasi
vaskular dan aneurisma. Pencitraan pembuluh darah dapat dilakukan menggunakan
ultrasound (pencitraan Doppler dupleks darah pembuluh di leher dan transcranial Doppler
studi dari intrakranial arteri), atau dengan CT atau magnetic resonance angiography atau
dengan kateter angiography (Sacco et al, 2013).
Berdasarkan kelainan patologisnya, stroke dapat dibagi menjadi:
a. Stroke hemoragik
i. Perdarahan intra serebral
ii. Perdarahan ekstra serebral (sub-arakhnoid)
7
b. Stroke non-hemoragik
i. Trombosis serebri
Stroke trombotik yaitu stroke yang disebabkan karena adanya penyumbatan lumen
pembuluh darah otak karena trombus yang makin lama makin menebal, sehingga
aliran darah menjadi tidak lancar. Penurunan aliran darah ini menyebabkan
iskemia. Trombosis serebri adalah obstruksi aliran darah yang terjadi pada proses
oklusi satu atau lebih pembuluh darah lokal.
ii. Emboli serebri
Infark iskemik dapat diakibatkan oleh emboli yang timbul dari lesi ateromatus yang
terletak pada pembuluh yang lebih distal. Gumpalan-gumpalan kecil dapat terlepas
dari trombus yang lebih besar dan dibawa ke tempat-tempat lain dalam aliran
darah. Bila embolus mencapai arteri yang terlalu sempit untuk dilewati dan
menjadi tersumbat, aliran darah fragmen distal akan terhenti, mengakibatkan infark
jaringan otak distal karena kurangnya nutrisi dan oksigen. Emboli merupakan 32%
dari penyebab stroke non hemoragik.
Faktor Resiko
Kelompok faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi merupakan kelompok faktor risiko
yang ditentukan secara genetik atau berhubungan dengan fungsi tubuh yang normal
sehingga tidak dapat dimodifikasi. Yang termasuk kelompok ini antara lain usia, jenis
kelamin, ras, riwayat stroke dalam keluarga, serta riwayat serangan transient ischemic
attack atau stroke sebelumnya.2 Kelompok faktor risiko yang dapat dimodifikasi
merupakan akibat dari gaya hidup seseorang dan dapat dimodifikasi, yang meliputi
hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, penyakit jantung, merokok, alkohol, obesitas,
dan penggunaan kontrasepsi oral.
8
Fisiologi Otak
Jumlah aliran darah ke otak disebut sebagai cerebral blood flow (CBF) dan dinyatakan
dalam satuan cc/menit/100 gram otak. Nilainya tergantung pada tekanan perfusi
otak/cerebral perfusion pressure (CPP) dan resistensi serebrovaskular/cerebrovascular
resistance (CVR).6,11 Dalam keadaan normal dan sehat, rata-rata aliran darah otak adalah
50,9 cc/100 gram otak/menit. Hubungan antara ketiga variabel ini dinyatakan dalam
persamaan berikut:
Komponen CPP ditentukan oleh tekanan darah sistemik /mean arterial blood pressure
(MABP) dikurangi dengan tekanan intracranial/intracranial pressure (ICP), sedangkan
komponen CVR ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu tonus pembuluh darah otak,
struktur dinding pembuluh darah, viskositas darah yang melewati pembuluh darah otak.
Ambang batas aliran darah otak ada tiga, yaitu:
a. Ambang fungsional : batas aliran darah otak 50-60 cc /100 gram/menit. Bila tidak
terpenuhi akan menyebabkan terhentinya fungsi neuronal, tetapi integritas sel-sel saraf
masih utuh.
b. Ambang aktivitas listrik otak: batas aliran darah otak sekitar 15 cc/100 gram/menit,
yang bila tidak tercapai akan menyebabkan aktivitas listrik neuronal berhenti. Ini berarti
sebagian struktur intrasel telah berada dalam proses disintegrasi.
c. Ambang kematian sel, yaitu batas aliran darah otak yang bila tidak terpenuhi akan
menyebabkan kerusakan total sel-sel otak. CBF dibawah 15 cc/100 gram/menit.
Faktor yang mempengaruhi aliran darah ke otak antara lain:
a. Keadaan pembuluh darah, dapat menyempit akibat stenosis atau ateroma atau tersumbat
oleh trombus/embolus.
9
b. Keadaan darah, viskositas darah yang meningkat, hematokrit yang meningkat akan
menyebabkan aliran darah ke otak lebih lambat, anemia yang berat dapat menyebabkan
oksigenasi otak menurun.
c. Tekanan darah sistemik yang memegang peranan tekanan perfusi otak.
Trombus
Trombus adalah pembentukan bekuan platelet atau fibrin di dalam darah yang dapat
menyumbat pembuluh vena atau arteri dan menyebabkan iskemia dan nekrosis jaringan
lokal. Trombus ini bisa terlepas dari dinding pembuluh darah dan disebut tromboemboli.
Trombosis dan tromboemboli memegang peranan penting dalam patogenesis stroke
iskemik. Lokasi trombosis sangat menentukan jenis gangguan yang ditimbulkannya,
misalnya trombosis arteri dapat mengakibatkan infark jantung, stroke, maupun claudicatio
intermitten, sedangkan trombosis vena dapat menyebabkan emboli paru.8,11 Trombosis
merupakan hasil perubahan dari satu atau lebih komponen utama hemostasis yang meliputi
faktor koagulasi, protein plasma, aliran darah, permukaan vaskuler, dan konstituen seluler,
terutama platelet dan sel endotel. Trombosis arteri merupakan komplikasi dari
aterosklerosis yang terjadi karena adanya plak aterosklerosis yang pecah.
Trombosis diawali dengan adanya kerusakan endotel, sehingga tampak jaringan kolagen
dibawahnya. Proses trombosis terjadi akibat adanya interaksi antara trombosit dan dinding
pembuluh darah, akibat adanya kerusakan endotel pembuluh darah. Endotel pembuluh
darah yang normal bersifat antitrombosis, hal ini disebabkan karena adanya glikoprotein
dan proteoglikan yang melapisi sel endotel dan adanya prostasiklin (PGI2) pada endotel
yang bersifat vasodilator dan inhibisi platelet agregasi. Pada endotel yang mengalami
kerusakan, darah akan berhubungan dengan serat-serat kolagen pembuluh darah, kemudian
akan merangsang trombosit dan agregasi trombosit dan merangsang trombosit
10
mengeluarkan zat-zat yang terdapat di dalam granula-granula di dalam trombosit dan zat-
zat yang berasal dari makrofag yang mengandung lemak. Akibat adanya reseptor pada
trombosit menyebabkan perlekatan trombosit dengan jaringan kolagen pembuluh darah.
Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisetemia, anemia sickle sel, defisiensi
protein C, displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan vasokonstriksi yang
berkepanjangan akibat serangan migrain. Setiap proses yang menyebabkan diseksi arteri
serebral juga dapat menyebabkan terjadinya stroke trombotik.
Patofisiologi Stroke Non-Hemoragik Akibat Trombus
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar (termasuk sistem
arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus Willisi dan sirkulus posterior).
Tempat terjadinya trombosis yang paling sering adalah titik percabangan arteri serebral
utamanya pada daerah distribusi dari arteri karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat
menyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah. Energi yang diperlukan untuk
menjalankan kegiatan neuronal berasal dari metabolisme glukosa dan disimpan di otak
dalam bentuk glukosa atau glikogen untuk persediaan pemakaian selama 1 menit. Bila
tidak ada aliran darah lebih dari 30 detik gambaran EEG akan mendatar, bila lebih dari 2
menit aktivitas jaringan otak berhenti, bila lebih dari 5 menit maka kerusakan jaringan otak
dimulai, dan bila lebih dari 9 menit manusia dapat meninggal.
Bila aliran darah jaringan otak berhenti maka oksigen dan glukosa yang diperlukan untuk
pembentukan ATP akan menurun, akan terjadi penurunan Na+ K+ ATP-ase, sehingga
membran potensial akan menurun. K+ berpindah ke ruang ekstraselular, sementara ion Na
dan Ca berkumpul di dalam sel. Hal ini menyebabkan permukaan sel menjadi lebih negatif
sehingga terjadi membran depolarisasi. Saat awal depolarisasi membran sel masih
11
reversibel, tetapi bila menetap terjadi perubahan struktural ruang menyebabkan kematian
jaringan otak. Keadaan ini terjadi segera apabila perfusi menurun dibawah ambang batas
kematian jaringan, yaitu bila aliran darah berkurang hingga dibawah 10 ml / 100 gram /
menit.
Akibat kekurangan oksigen terjadi asidosis yang menyebabkan gangguan fungsi enzim
enzim, karena tingginya ion H. Selanjutnya asidosis menimbulkan edema serebral yang
ditandai pembengkakan sel, terutama jaringan glia, dan berakibat terhadap mikrosirkulasi.
Oleh karena itu terjadi peningkatan resistensi vaskuler dan kemudian penurunan dari
tekanan perfusi sehingga terjadi perluasan daerah iskemik
Respon imun merupakan mekanisme endogen yang penting yang diaktivasi sebagai respon
dalam menanggapi iskemia serebral. Sementara beberapa aspek aktivasi imun setelah
iskemia serebral fokal, seperti produksi sitokin dan infiltrasi sel inflamasi ke dalam
jaringan otak iskemik, telah dikenal selama bertahun-tahun, beberapa kompleksitas dari
mekanisme molekuler yang bertanggung jawab untuk aktivasi imun sekarang sedang
diteliti (Dinorello, 2000).
Respon inflamatorik pada stroke iskemik merupakan suatu proses penting yang
mempengaruhi perjalanan stroke pada fase akut karena dapat memperberat perjalanan
stroke iskemik yaitu dengan mempercepat berkembangnya penumbra menjadi infark.
Unsur inflamasi berapa unsur seluler seperti neutrofil dan unsur molekuler seperti sitokin.
Efek dari leukosit dalam patogenesis kerusakan iskemik serebral di postulasikan sebagai
berikut : pertama penurunan aliran darah serebral dengan plugging atau pelepsan mediator
vasokontriktif seperti endotelin, dan kedua eksaserbasi kerusakan blood brain barier atau
parenkim melalui pelepasan enzim hidrolitik, produksi oksigen radikal, dan lipid
peroksidase.
12
Neutrofil berperan dalam maturasi dari reperfusi cedera yang timbul segera setelah
iskemik serebral fokal, yaitu berperan dalam lokal no reflow, pembentukan edema,
peningkatan post capilary venous endotelial permeability, pembentukan radikal bebas
superoksida, gangguan integritas jaringan dan akhirnya infark berkembang.
Respon imun terhadap stroke
Rentetan peristiwa yang terjadi akibat kekurangan oksigen, glukosa dan nutrisi yang
penting untuk otak menyebabkan disfungsi dari neurovaskular. Saat iskemia glutamat
tersimpan dalam sel-sel otak dan dikeluarkan ketika sel-sel menjadi hiperaktif atau mati
sebagai hasil dari ekstotoksisitas. Selain itu sel-sel otak dan sel imun menghasilkan reaktif
spesies oksigen dan pemulihan aliran darah di pembuluh darah yang tersumbat
menghasilkan ROS tambahan. ROS mengaktivasi sel endotel dan menyebabkan stres
oksidatif. Stres oksidatif dan induksi kaskade inflamasi menyebabkan hancurnya sawar
darah otak yang memungkinkan diaktifkannya sel-sel imun seperti neutrofil dan sel T
untuk menginfiltrasi dan terakumulasi di jaringan iskemik otak. Sepanjang akumulasi sel
imun yang teraktivasi dari perifer, mikroglia dalam otak menjadi teraktivasi setelah
iskemia serebri karena peningkatan ATP ekstra seluler dari depolarisasi neuron dan glia
dan juga pelepasan sel-sel yang mati atau rusak. Mikroglia yang aktif mensekresi mediator
pro inflamasi seperti sitokin dan mengembangkan fagosit dan MHC klas II. Aktivasi
mikroglia dapat bermanfaat dengan memproduksi growth factor seperti brain derived
neurotrophic factor dan pembersihan jaringan yang mati setelah iskemia. Bagaimanapun
pelepasan sitokin pro inflamasi seperti TNF alfa dan produksi ROS dan nitrit oksida
setelah aktivasi sel mikroglia adalah merugikan. ATP merupakan sinyal bahaya dini
meningkatkan inflamasi tetapi saat sel mati sinyal molekular memanggil bahaya
berhubugan dengan molekular pattern molekul dihasilkan dan mengaktivasi reseptor
13
seperti Toll like reseptor (TLRs). Pola pengenalan reseptor ini ditemukan pada sel endotel
dan mikroglia diotak bersamaan dengan infitrasi leukosit dari perifer dan aktivasi pola
pengenalan reseptor meningkatkan pelepasan sitokin. Saat neuron mati setelah iskemia
interaksi sel-sel dengan mikroglia menjadi hilang dan lebih lanjut lagi meningkatkan sinyal
inflamasi terjadi secara akut setelah iskemia, hipoksia dan stres osidatif menginduksi
sintesis nuklear faktor kB, hipoksia dapat menginduksi faktor 1 dan faktor transkripsi
lainnya yang meningkatkan ekspresi dari sitokin pro inflamasi dan anti inflamasi. Saat sel
mati dan jaringan otak rusak sinyal bahaya molekul selanjutnya berpotensial terhadap
respon inflamasi dengan mengaktivasi lebih banyak mikroglia dan leukosit yang
menginfiltrasi sebagai respon terhadap sitokin pro inflamasi. Hal ini meningkatkan
ekspresi sitokin lebih jauh meningkatkan ekspresi molekul adesi pada sel endotel yang
menghasilkan rekruitmen tambahan leukosit dari perifer. Perubahan inflamasi ini setelah
iskemia menyebabkan peningkatan sel neuron yang mati sehingga volume infark semakin
besar dan hasil neurologis memburuk. Inflamasi merupakan pemeran utama dalam
kerusakan otak selama iskemik serebri. Namun inflamasi membantu dalam penyembuhan
dan pemulihan setelah iskemik serebri. Pemahaman mekanisme lebih jauh tentang
bagaimana inflamasi berkontribusi terhadap cidera atau perbaikan stetlah iskemia
merupakan hal penting untuk menemukan target terapi potensial untuk stroke dan untuk
menggunakan mediator inflamasi seperti sitokin sebagai biomarker untuk prognosis.
14
Perubahan sitokin setelah stroke
Sitokin merupakan glikoprotein terlarut yang diproduksi oleh sel-sel diotak sebagai respon
terhadap kerusakan jaringan setelah iskemia dan bertanggung jawab untuk mengatur
respon imun alami dan adaptif. Mikroglia, astrosit, sel endotel, dan neuron di otak mampu
mengeluarkan sitokin pro inflamasi dan anti inflamasi. Peningkatan produksi sitokin pro
inflamasi dan penurunan produksi sitokin anti inflamasi berkorelasi dengan ukuran infark
yang lebih besar pada hewan percobaan dan memperburuk hasil klinis. TNF alfa,
interleukin 1 beta, IL 6, dan IL 10 merupakan sitokin-sitokin inflamasi yang ditemukan
memiliki hubungan dengan stroke iskemik dan telah terlibat sebagai target terapi dan
biomarker untuk prognosis. Respon inflamasi terhadap perubahan iskemia dengan waktu
dan mengetahui waktu ketika sitokin ini meningkat atau menurun dan bagaimana sitokin
15
ini mempengaruhi volume infark adalah penting dalam memahami bagaimana sitokin
dapat dimanfaatkan secara klinis.
TNF alfa
Tumor nekrosis faktor alfa prekursor adalah membran yang diikat dan dipecah oleh TNF
alfa konverting enzim (TACE) untuk melepaskan bentuk larut yang dapat berikatan
dengan TNFR1 atau TNFR2. Sebagaian besar sel dalam otak mengekspresikan TNFR1
(Doll et al, 2014).
Interleukin 6
Bukti-bukti penelitian menerangkan bahwa inflamasi merupakan faktor kunci dalam
respon patologi stroke. Mayoritas reaksi inflamasi menjadi iskemik serebral akut dimediasi
oleh sitokin yang meningkat di sistem saraf pusat dan sirkulasi sistemik pada pasien
dengan akut iskemik stroke. Interleukin 6 merupakan faktor inflamatori penting yang mana
peningkatan signifikannya diobservasi pada pasien stroke jangka pendek setelah kejadian
stroke iskemik dan memiliki peranan penting sebagai molekul massenger antara leukosit,
endotel vaskular, dan sel-sel parenkim. Interleukin 6 kemungkinan akan membawa
berbagai efek dan bersaing meliputi anti apoptosis pro proliferasi penghambatan
pertumbuhan, dan efek merangsang deferensiasi tergantung pada konteks seluler. Prediksi
kematian atau cacat (hasil yang buruk) setelah stroke iskemik menjadi area yang menarik
bagi ahli saraf.
Dalam beberapa tahun terakhir terjadi kecenderungan memahami peran faktor inflamasi
terutama interleukin 6 pada stroke. Penelitian shaafi et al menilai hubungan interleukin 6
dengan keparahan dan prognosis pasien dengan stroke iskemik akut, dan menunjukan
16
bahwa peningkatan tingkat inflamasi ini pertanda dalam fase stroke akut dikaitkan dengan
derajat kerusakan neurologis baik klinis atau aspek pencitraan. Penelitian ini juga
menunjukan bahwa peningkatan kadar IL 6 pada hari pertama dan hari keenam
berhubungan dengan angka kematian, cacat fungsional, dan kinerja status (bulan 3 dan
tahun 1). Hubungan ini sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhi lainnya dalam hal
ini seperti usia, gangguan neurologis atau volume infark pada pemeriksaan radiologi.
Sejumlah besar literatur telah menyantunkan peran tanda inflamasi di stroke.
Lee et al telah merangkum bukti terbaru menunjukkan bahwa mikroglia memiliki fungsi
penting selama stroke iskemik. Peradangan yang terkait dengan mikroglia memainkan
penting peran dalam patogenesis stroke iskemik. Meskipun beberapa percobaan untuk
pengobatan anti-inflamasi telah terbukti efektif untuk mengobati stroke akut pada model
17
binatang, mereka memiliki sayangnya tidak efektif dalam uji klinis. Semakin berrtambah
bukti menunjukkan bahwa respon inflamasi sebuah pedang bersisi dua, karena tidak hanya
memperburuk cedera otak sekunder dalam tahap akut stroke, tetapi juga memberikan
kontribusi menguntungkan ke otak pemulihan setelah stroke (Gambar 2). Mikroglia bisa
melayani target seluler sebagai kuat pada stroke iskemik. Keberhasilan terapi penggantian
mikroglial mendorong sejak manipulasi mikroglia mungkin efektif untuk mengobati
kondisi neurologis. Namun, masih banyak yang harus dilakukan dalam rangka untuk
menerjemahkan temuan praklinis menjanjikan dalam praktek klinis. Penelitian lebih lanjut
harus mempertimbangkan respon pro dan anti-inflamasi microglia, tidak terpisah tetapi
secara keseluruhan. Meningkatkan pemahaman kita tentang keseimbangan dinamis antara
pro dan respon anti-inflamasi dan mengidentifikasi perbedaan antara studi praklinis dan uji
klinis dapat menyebabkan desain terapi yang lebih efektif. Pada beberapa hasil penelitian
lain juga menunjukan adanya perbedaan yang bermakna dalam hal kadar sitokin IL 1, TNF
alfa, dan IL 8 maupun jumlah neutrofil dalam darah tepi antara kasus stroke iskemik akut
dan kontrol non stroke. Dimana dalam empat variabel kasus tersebut pada kelompok kasus
lebih tinggi dari pada kontrol. Hal ini memperkuat adanya dugaan bahwa adanya peran
sitokin pro inflamasi dan neutrofil pada penderita stroke iskemik akut. Analisis juga
menunjukan bahwa ada korelasi positif yang bermakna antara sitokin IL 8 dengan jumlah
neutrofil darah tepi. Ini menunjukan bahwa pada penderita stroke iskemik akut, ada kaitan
antara peningkatan jumlah neutrofil dengan peningkatan kadar IL 8.
18
Pengaruh Sitokin pada Stroke Outcome
Respon inflamasi terhadap iskemia memainkan peran penting dalam patofisiologi stroke,
dan menggunakan penanda inflamasi seperti sitokin yang dijelaskan di atas dapat berguna
untuk memprediksi hasil setelah stroke. Peningkatan mortalitas dan kecacatan fungsional
terjadi pada pasien stroke yang menunjukkan gejala-gejala neurologis yang berkembang
akut setelah onset stroke. Penumbra iskemik adalah jaringan yang mengelilingi inti infark
dan dapat bertahan atau berubah menjadi jaringan nekrotik dan menjadi bagian dari
jaringan infark akibat berkurangnya aliran darah dan gangguan fungsi saraf. Transformasi
penumbra hasil jaringan infark dalam memburuknya gejala neurologis. Peningkatan kadar
IL-6 di CSF dan serum telah dikaitkan dengan memburuknya gejala neurologis,
peningkatan ukuran infark dan outcome fungsional yang buruk. Hal ini mengejutkan
bahwa IL-6 dikaitkan dengan hasil fungsional yang buruk pada manusia karena dalam
penelitian stroke yang eksperimental IL-6 ditemukan bersifat neuroprotektif. Namun,
Ormstad, et al. tidak menemukan korelasi antara IL-6 dan ukuran infark, dan Sotgiu, et al.
menemukan korelasi terbalik dari IL-6 dengan ukuran infark dan hasil yang buruk. IL-6
dapat menyebabkan pelepasan prostaglandin E2 di otak, dan prostaglandin E2 bekerja
pada hipotalamus mengakibatkan peningkatan suhu tubuh. Sejumlah penelitian Stroke
manusia dan eksperimental telah menunjukkan bahwa demam berkorelasi dengan
peningkatan ukuran infark dan hasil yang buruk; dengan demikian, kenaikan awal IL-6 dan
elevasi berkepanjangan IL-6 dalam CSF dan darah kemungkinan besar berkorelasi dengan
peningkatan risiko suhu tinggi yang meningkatkan peradangan dan kerusakan jaringan
setelah stroke. Selain itu, ada temuan yang saling bertentangan saat menggunakan TNF-α
sebagai mediator inflamasi untuk memprediksi hasil dan infark ukuran. Peningkatan kadar
TNF-α dalam serum dan CSF pasien stroke berkorelasi dengan memburuknya gejala
neurologis, peningkatan ukuran infark dan hasil yang buruk pada 3 bulan dalam studi
19
termasuk stroke berat dan pasien dengan kerusakan white matter lession. Namun, dalam
penelitian lain TNF-α tidak berkorelasi dengan hasil atau ukuran infark. Meskipun IL-1β
adalah neurotoksik dalam semua studi hewan percobaan iskemik, IL-1β hanya ditemukan
berkorelasi dengan hasil yang buruk dalam plasma pasien dalam satu studi yang paling
mungkin karena peran lokal dari IL-1β dan rendahnya tingkat IL-1β dalam darah atau
CSF. Efek anti-inflamasi IL-10 memainkan peran penting dalam mencegah kematian
neuronal; dengan demikian, tidak mengherankan bahwa rendahnya tingkat IL-10 awal
setelah onset stroke berkorelasi dengan hasil yang buruk dan peningkatan ukuran infark.
Namun, kecenderungan peningkatan kadar IL-10 hari setelah stroke dan bahkan saat
masuk berkorelasi dengan hasil yang buruk dan peningkatan risiko infeksi. Peningkatan
IL-10 turut mengatur TNF-α dan menghambat produksi IFN-γ yang dapat bermanfaat
dalam tahap awal perkembangan infark setelah stroke; Namun, peningkatan IL-10 dapat
menyebabkan imunosupresi perifer mengakibatkan infeksi pasca-stroke dan infeksi adalah
penyebab utama kematian pada pasien stroke.
Variabilitas data sitokin perifer pada stroke manusia kemungkinan besar karena
heterogenitas stroke pada manusia. Keparahan Stroke, lokasi stroke, usia, penyakit
penyerta, dan peradangan sistemik sebelum stroke mungkin faktor utama yang
berkontribusi terhadap tingkat sitokin perifer terlihat pasca stroke. Selain itu, peserta
kontrol yang tepat penting untuk menginterpretasikan data sitokin. Dalam studi Stroke
manusia menilai IL-10, TNF-α, IL-1β, IL-6, dan mediator inflamasi lainnya, sebagian
besar studi memiliki kontrol usia yang sama namun beberapa penelitian telah kontrol
subyek sehat sementara penelitian lain telah kontrol dengan co -morbidities seperti
hipertensi atau diabetes. Selain itu, penelitian lain dibandingkan tingkat sitokin
berdasarkan keparahan stroke. Dengan demikian, penting untuk mengontrol penyakit
20
penyerta dan faktor risiko untuk menentukan dan ketika sitokin meningkat karena stroke.
Akibatnya, penggunaan hanya satu mediator inflamasi untuk memprediksi hasil atau
ukuran infark tidak berguna secara klinis karena heterogenitas sitokin respon perifer. Oleh
karena itu, pemahaman lebih lanjut tentang kapan sitokin tersebut meningkat dan
bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain dapat membantu menjelaskan bagaimana
sitokin ini dapat digunakan secara klinis sebagai biomarker untuk membantu memprediksi
hasil (Doll et al, 2014).