PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

94
PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE BUILDING DI ACEH TAHUN 2005-2006 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Citra Dea Gemala NIM 208083000023 PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014

Transcript of PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

Page 1: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM

UPAYA PEACE BUILDING DI ACEH TAHUN 2005-2006

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Citra Dea Gemala NIM 208083000023

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014

Page 2: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

ii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang berjudul :

PERAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA

PEACE BUILDING DI ACEH PADA TAHUN 2005 – 2006

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 8 Desember 2013

Citra Dea Gemala

Page 3: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

iii

PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA

PEACE BUILDING DI ACEH TAHUN 2005-2006

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Utnuk Memenuthi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

CITRA DEA GEMALA

NIM 208083000023

Dosen Pembimbing

Teguh Santosa MA,

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2014

Page 4: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

iv

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

SKRIPSI

PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA

PEACE BUILDING DI ACEH TAHUN 2005-2006

Oleh

CITRA DEA GEMALA

NIM 208083000023

Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 13 Januari 2014.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial

(S.Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional.

Ketua, Sekretaris,

Agus Nilmada Azmi, M.Si Agus Nilmada Azmi, M.Si NIP.197808042009121002 NIP.197808042009121002

Penguji I, Penguji II,

Drs. Aiyub Mochsin, MA, Agus Nilmada Azmi, M.Si

02001540 NIP.197808042009121002

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 16 Januari 2014.

Ketua Pogram Studi Hubungan Internasional

Kiky Rizky, M.Si

NIP 197303212008011002

Page 5: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

v

ABSTRAK

Pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinski, Finlandia, Pemerintah Republik Indonesia

dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani Nota Kesepahaman Untuk mengakhiri konflik

bersenjata yang telah berlangsung selama 30 tahun di Aceh. Perjanjian ini juga menjadi dasar

bagi Uni Eropa dan ASEAN untuk membentuk sebuah lembaga pemantau untuk mengawasi

implementasi Nota Kesepahaman di Aceh.

Aceh Monitoring Mission (AMM) menjalankan misi di Aceh selama 15 bulan. AMM

memainkan peran yang sangat penting bagi proses implementasi damai di Aceh. Diantara

beberapa keberhasilan peran dan tugas AMM, juga terdapat berbagai kelemahan atau

kegagalan. Kunci keberhasilan AMM sendiri adalah komposisi anggota-anggotanya yang

merupakan representasi dari dua organisasi regional yang sangat kredibel dan berpengaruh,

baik bagi GAM dan Pemerintah RI, yaitu Uni Eropa dan ASEAN.

Skripsi ini menganalisa tentang peran yang dilakukan Aceh Monitoring Mission

dalam upaya peacebuilding di Aceh pada periode tahun 2005-2006, melalui usaha-usahanya

sebagai mediator dan tim pemantau pelaksanaan MoU Helsinki dengan menggunakan

beberapa konsep yakni peranan, peace building, organisasi internasional dan teori resolusi

konflik. Dari hasil analisa yang menggunakan beberapa teori dan konsep dapat disimpulkan

bahwa lembaga pemantau dalam proses implementasi perjanjian perdamaian memang

diperlukan untuk menjaga kestabilan sistem pasca konflik.

Page 6: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

vi

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Puji syukur kehadirat Allah SWT, Sang Pencipta, atas segala bimbingan-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dengan judul "Peranan Aceh

Monitoring Mission dalam Upaya Peace Building di Aceh tahun 2005-2006".

Pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, Pemerintah Republik

Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani Nota Kesepahaman (MoU)

utnuk mengakhiri konflik bersenjata yang telah berlangsung selama 30 tahun di Aceh.

MoU ini juga menjadi dasar bagi Uni Eropa dan ASEAN utnuk membentuk lembaga

pemantau untuk mengawasi implementasi MoU di Aceh. Aceh Monitoring Mission

menjalanan misi di Aceh selama 15 bulan, banyak kalangan mulai dari sipil hingga

pengamat politik menilai bahwa AMM berhasil membawa kedua belah pihak unt

mengimplementasikan dengan baik MoU Helsinki. Namun, tidak sedikit juga yang

menilai bahwa faktor-faktor yang dapat menggangu jalannya perdamaian ini belum

seluruhnya dapat dihilangkan dan memiliki kemungkinan untuk muncul kembali pasca

kepergian AMM. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyusunan skripsi

ini baik secara langsung maupun tidak langsung, terutama Kepada bapak Teguh

Santosa MA selaku pembimbing, yang sangat sabar meluangkan waktunya untuk

berbagi pengetahuan dan juga saran serta koreksi kepada penulis; kepada seluruh staf

pengajar program studi Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta; dan juga kepada dosen penguji skripsi bapak Agus Nilmada Azmi

Msi dan bapak Drs. Aiyub Mochsin MA yang telah meluangkan waktunya untuk

menguji dan memberikan masukan pada skrips ini.

Page 7: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

vii

Secara khusus penulis ingin mempersembahkan skripsi ini kepada Ayahanda

dan Ibunda tercinta, M. Taufik Mandja SE dan Nurfauzi terimakasih atas cinta kasih,

kesabaran, dan dukungannya baik secara moril maupun materiil, yang telah diberikan

selama ini. Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. Satria Perwira & dr.

Erdiana beserta onah, Sandi Banta Hidayat S.Kom dan Nabilla Intan Medina atas

dukungan, canda tawanya. Kepada calon anakku dan suami terimakasih atas cinta kasih,

kesabaran , dukungan, dan pengertiannya selama penyelesaian skripsi ini.

Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada teman-teman seperjuangan

di program studi Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta ; HI2008c, HMI KomFISIP serta seluruh rekan-rekan mahasiswa yang tidak

dapat disebutkan satu per satu, pada program studi Hubungan Internasional Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 14 Januari 2014

CITRA DEA GEMALA

Page 8: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................................... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................ iii

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... iv

ABSTRAK ................................................................................................................. v

KATA PENGANTAR ............................................................................................... vi

DAFTAR ISI .............................................................................................................. vii

DAFTAR TABEL ...................................................................................................... ix

BAB I Pendahuluan ................................................................................................... 1

A. Latar belakang masalah .................................................................................... 1

B. Pertanyaan penelitian........................................................................................ 7

C. Kerangka pemikiran ......................................................................................... 7

D. Metode penelitian ............................................................................................. 14

E. Sistematika penulisan ....................................................................................... 15

BAB II Konflik Aceh ................................................................................................. 17

A. Identitas keacehan ............................................................................................ 17

B. Latar belakang konflik ...................................................................................... 20

C. Perlawanan kaum nasionalis Aceh ................................................................... 22

1. Pemberontakan Daud Beureureh.................................................................. 23

2. Pemberontakan Hasan Tiro dan lahirnya GAM ........................................... 29

D. Resolusi konflik oleh pemerintah RI ................................................................ 32

E. Upaya perdamaian dari Crisis Management Initiative ..................................... 38

Page 9: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

viii

BAB III Aceh Monitoring Mission ............................................................................ 42

A. Profil Aceh Monitoring Mission ..................................................................... 42

B. Struktur dan mekanisme kerja Aceh Monitoring Mission .............................. 44

C. Tugas dan mandat Aceh Monitoring Mission ................................................. 47

BAB IV Analisa peran Aceh Monitoring Mission dalam Peace Building Process di

Aceh ........................................................................................................................... 48

A. Demobilisasi dan Decommissioning persenjataan GAM................................ 48

B. Redeployment TNI dan Polri........................................................................... 53

C. Amnesti ........................................................................................................... 54

D. Reintegrasi GAM ............................................................................................ 58

E. Undang-undang Pemerintahan Aceh ............................................................... 63

F. Pengaturan keamanan dan hak asasi manusia .................................................. 69

G. Hambatan dan tantangan AMM ...................................................................... 73

BAB V Kesimpulan dan saran ................................................................................... 78

A.Kesimpulan ..................................................................................................... 78

B. Saran ............................................................................................................... 79

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ x

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 10: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

ix

DAFTAR TABEL

Tabel III.B.1 Personel Internasional di AMM .. ........................................................ 44

Tabel IV.A.1 Statistik perlucutan senjata GAM ....................................................... 50

Tabel IV.B.1 Statistik penarikan Pasukan Non-organik TNI/POLRI ....................... 53

Tabel IV.E.1 Perbandingan UUPA dan Nota Kesepahaman..................................... 65

Tabel IV.F.1 Rekapitulasi tabel kekerasan satu tahun perjanjian damai RI

dan GAM 15 Agustus 2005 – 15 Agustus 2006 ........................................................ 70

Page 11: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

1

BAB I

Pendahuluan

A. Latar belakang

Sejak berakhirnya perang dingin pada tahun 1990-an, isu keamanan non-

tradisional menjadi fokus utama dalam sistem perpolitikan internasional. Menurut

data yang ada, peperangan yang terjadi pasca Perang Dunia II tercatat dari awal tahun

1949 hingga 2001 terdapat sekitar 143 negara dunia diguncang 761 konflik di mana

diantaranya terdapat 457 kasus konflik yang melibatkan kekerasan. Dari 457 kasus

tersebut, 73.5% merupakan konflik internal yang sebagian besar terjadi di negara-

negara berkembang (the Post-Conflict Fund, 2003).

Isu-isu keamanan tradisional memang masih menyisakan masalah hingga kini

(Steans & Pettiford, 2009:436). meskipun isu keamanan non-tradisional seperti

masalah lingkungan, kemiskinan, populasi, migrasi, terorisme, intervensi

kemanusiaan, kejahatan yang terorganisir dan konflik separatis dapat mempengaruhi

keamanan suatu negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini pula

yang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Beragam konflik internal (intra-

state conflict) yang terjadi di negeri ini banyak dilatarbelakangi oleh isu-isu etnis,

agama ataupun gerakan separatisme (Abdullah, 2011:87). Hal ini juga menjadi isu

yang menimbulkan konflik Aceh dengan pemerintah Indonesia hingga memunculkan

pada gerakan separatisme Aceh yang bernama GAM (Gerakan Aceh Merdeka).

Jika dirunut ke belakang, sebetulnya gerakan separatisme Aceh telah

berlangsung sejak awal kemerdekaan RI dengan dimulainya pemberontakan rakyat

Page 12: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

2

Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureueh pada tahun 1957. Pemberontakan ini

didasari oleh rasa kekecewaan rakyat Aceh atas sikap sentralisasi pemerintah pusat

dengan menghapus provinsi Aceh dan memasukkan Aceh menjadi bagian dari

provinsi Sumatera Utara. Hal tersebut bertolak belakang dengan janji Presiden

Soekarno pasca perang kemerdekaan akan menjadikan Aceh menjadi daerah otonomi

khusus. Namun sebelum hal itu terjadi, pergolakan serta pemberontakan terhadap

gerakan separatis kembali mencuat. Gejolak yang kian memanas antara pemerintah

pusat dengan Aceh, maka cara praktis untuk melunakkan hati rakyat Aceh,

pemerintah pusat kemudian memberikan Aceh dengan status Daerah Istimewa pada

26 Mei 1959 melalui Keputusan Perdana Menteri RI No. 1/Missi/1959 (Kawilarang,

2010:159). Pemberontakan Daud Beureureh berakhir pada 9 Mei 1962, ketika

Kolonel M. Jasin Panglima Kodam Iskandar Muda berhasil membujuk Daud

Beureureh untuk turun gunung.

Pada tahun 1976 rakyat Aceh kembali bergolak dengan diproklamirkannya

kemerdekaan Aceh pada tanggal 4 Desember oleh Hasan Di Tiro. Gerakan serta

perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan yang disebut dengan Gerakan Aceh

Merdeka (GAM) ini muncul akibat akumulasi ketidakpuasan Aceh terhadap

pemerintah pusat yang dianggap telah berlaku tidak adil disetiap sektor kehidupan

pada masyarakat Aceh, terutama dalam sektor ekonomi (Fahri Ali dkk, 2008:112).

Pemberontakan GAM ini juga dibangun dengan landasan ideologi keacehan oleh

Hasan Tiro. Ideologi keacehan ini adalah hasil dari pertautan antara fakta sejarah

Aceh yang melihat wilayahnya sebagai “Serambi Mekkah” yakni daerah penyebaran

Page 13: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

3

agama Islam pertama di Asia Tenggara. Keyakinan Hasan Tiro dengan sejarah

kejayaan Aceh di masa lampau untuk berdiri sendiri dan didukung oleh melimpahnya

sumber daya alam tanpa harus tergantung pada pemerintah pusat.

Dari awal berdirinya, GAM telah mengalami tekanan dari pemerintah Orde

Baru dengan dilakukannya Daerah Operasi Militer (DOM), keadaan ini membuat

perjuangan serta kekuatan GAM melemah. Sekitar tahun 1980-an GAM mulai

kembali menemukan kekuatannya. Hal ini disebabkan sepanjang tahun 1986 hingga

1989 sebanyak 5000 personil GAM telah mendapat latihan militer di Libya. Aksi-aksi

militer anggota GAM dari alumni Libya ternyata lebih kuat dan lebih variatif (Fahri

Ali dkk, 2008:163). Keadaan ini membuat pemerintah pusat melancaran operasi

militer yang lebih keras dan ofensif, yang dikenal sebagai Operasi Jaring Merah dan

memjadikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer.

Seiring berjalannya waktu, penanganan konflik yang mengedepankan

pendekatan militer telah menyisakan pelanggaran HAM dalam skala besar, hal

demikian pula perlawanan GAM yang semain ofensif terhadap pemerintah pusat.

Pada akhirnya Pemerintah RI berinisiatif melakukan usaha untuk mewujudkan

perdamaian yakni dengan cara melakukan perudingan. Perundingan yang ditempuh

oleh RI dan GAM tergolong sebagai upaya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi

di Aceh.

Upaya menghadirkan pihak ketiga dalam bentuk perundingan belum pernah

dilakukan sebelumnya oleh pemerintah. Upaya penyelesaian konflik antara

Pemerintah RI dan GAM pun kemudian diprakarsai oleh Presiden Abdurrahman

Page 14: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

4

Wahid (1999-2001) dan diteruskan pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri

(2001-2005). Dari upaya keseriusan tersebut hadirlah NGO Hendry Dunant Centre

(HDC) sebagai pihak ketiga dan mediator. Hasil dari perundingan ini adalah Jeda

Kemanusiaan (Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh). Jeda

kemanusiaan ini adalah usaha untuk mencapai perdamaian dengan rentang waktu

penghentian konflik fisik. Dalam hal ini, Jeda Kemanusiaan I dimulai pada 2 Juni

hingga September 2000, namun dapat diperpanjang hingga 27 September 2000.

Asumsinya adalah bahwa rentang waktu itu cukup untuk mengambil langkah yang

lebih konstruktif dalam perdamaian. Ini dibuktikan dengan munculnya pelaksanaan

Jeda Kemanusiaan II yang berlangsung dari 16 September 2000 hingga 15 Januari

2001. (Hamid, 2008:61-64)

Setelah Jeda Kemanusiaan berlangsung kemudian diteruskan oleh Perjanjian

Penghentian Permusuhan atau yang dikenal sebagai Cessation of Hostilities

Agreement (CoHA) yang ditandatangani pada 9 Desember 2002. Akan tetapi,

perjanjian ini tidak berlangsung lama dikarenakan selama proses perjanjian

diterapkan berbagai kekerasan dan bentrokan antara Tentara RI dan GAM tidak

mengalami penurunan (Hamid; 141). Maka, melalui Keputusan Presiden Nomor 28

tahun 2003 yang ditandatangani pada 19 Mei, Presiden Megawati memberlakukan

Darurat Militer di Aceh dengan mengirimkan 40.000 pasukan Tentara Nasional

Indonesia dan 14.000 personel Polisi (Kawilarang, 2008;169)

Sejak berlangsungnya pernyataan Keadaan Bahaya oleh Megawati, pada

tanggal 26 Desember 2004 terjadi bencana gempa dan Tsunami di Aceh yang

Page 15: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

5

menggemparkan dunia internasional yang menyebabkan sekitar 230.000 jiwa

meninggal dunia, 36.786 jiwa hilang, dan 174.000 jiwa tinggal di tenda pengungsian.

Sekitar 120.000 rumah hancur, 800 km jalan dan 260 jembatan rusak, 639 fasilitas

kesehatan hancur serta 2.224 sekolah hancur. Sejak peristiwa itu pula organisasi-

organisasi international mulai masuk ke Aceh untuk memberikan bantuan kepada

korban Tsunami. Walaupun pada awalnya perhatian dunia internasional lebih tertuju

kepada bantuan kemanusiaan, akan tetapi lama kelamaan bantuan secara politik juga

menjadi sorotan dunia internasional, yaitu mengusahakan perdamaian antara RI dan

GAM yang berkonflik selama kurang lebih 30 tahun (Kawilarang, 2010:177).

Adapun salah satu organisasi internasional yang turut memberikan bantuan

baik sosial ataupun politik di Aceh adalah Uni Eropa. Kontribusi Uni Eropa terhadap

proses perdamaian Aceh, telah dimulai sejak terjadinya bencana Tsunami. Program

bantuan kemanusiaan ini dilanjutkan dengan komitmen Komisi Eropa dan negara

anggota Uni Eropa untuk mendukung terciptanya perdamaian dan pembangunan

Aceh setelah konflik yang telah berlangsung selama bertahun-tahun yaitu dengan

menghadirkan Crisis Management Initiative (CMI) sebagai mediator antara

pemerintah RI dan GAM untuk mencapai kesepakatan damai.

Setelah melalui proses negosiasi yang panjang, pada 15 Agustus

ditandatanganilah Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) di

Helsinski yang menghasilkan kesepakatan sebagai berikut ; a) Penyelenggaraan

Pemerintahan Khusus di Aceh, b) Menyelenggarakan Hak Azasi Manusia, C)

Page 16: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

6

Amnesti dan Reintegrasi Mantan Kombatan ke dalam Masyarakat, d) Pengaturan

Keamanan, e) Pembentukan Misi Monitoring Aceh, f) Penyelesaian Perselisihan.

Salah satu langkah mendesak yang dilaksanakan seusai ditandatanganinya

MoU Helsinski adalah pembentuan Aceh Monitoring Mission (AMM) atau Misi

Pemantau Aceh. AMM mendapat mandat untuk memantau pelaksanaan komitmen

para pihak yang bersepakat dalam MoU Helsinski. Dalam MoU Helsinski pasal 5

ayat 1 disebutkan : “Misi Pemantau Aceh (AMM) akan dibentuk oleh Uni Eropa dan

Negara-negara ASEAN yang ikut serta dengan mandat memantau pelaksanaan

komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini.”.

Ada beberapa Mandat yang harus dijalankan oleh AMM sesuai dengan Nota

Kesepahaman yaitu memantau proses perubahan peraturan perundang-undangan

daerah Aceh, reintegrasi mantan kombatan GAM, mengadakan pemilu daerah di

Aceh, penarikan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan POLRI, memberikan

bantuan dalam penangananhak asasi manusia, memutuskan kasus amnesty yang

disengketakan dan membentuk serta memelihara hubungan baik dengan pihak yang

bertikai.

Untuk lebih jauh dalam menganalisis beberapa peran AMM lainnya, maka

diperlukan analisis komprehensif terhadap peran AMM. Yaitu dengan menganalisa

mandatnya sesuai yang dituangkan dalam Nota kesepahaman (Mou) Helsinki. Di lain

pihak juga penelitian ini bertujuan untuk mengalisa peran AMM selama melakukan

tugasnya di Aceh dan juga faktor-faktor apa saja yang membuatnya berhasil

Page 17: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

7

menjadikan pihak-pihak yang terlibat konflik untuk mematuhi Nota Nesepahaman

Helsinski.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat ditarik sebuah pokok

permasalahan yaitu :

Bagaimana peranan yang dilakukan Aceh Monitoring Mission (AMM) dalam

upaya Peace building di Aceh pada tahun 2005-2006 ?

C. Kerangka pemikiran

Pada penelitian ini, analisa mengenai peran Aceh Monitoring Mission dalam

upaya peace building di Aceh tahun 2005-2006 akan menggunakan dua teori dan dua

konsep. Teori yang akan menjadi dasar penelitian ini adalah resolusi konflik dan

organisasi internasional. Sedangkan dua konsep yang akan menjadi pisau analisis

dalam penelitian ini adalah peranan dan peace building.

Konflik adalah situasi dan kondisi dimana terjadi pertentangan dan kekerasan

dalam menyelesaikan masalah antara sesama anggota masyarakat, antara masyarakat

dengan pemerintah maupun antara masyarakat dengan organisasi etnis di suatu

wilayah. Berakhirnya Perang Dingin, telah mengakibatkan perubahan dalam peta

konflik dunia, dimana konflik lebih banyak terjadi dalam negara (intrastate) daripada

antar negara (interstate).

Tipologi konflik di Indonesia dapat dilihat dalam realitas konflik yang cukup

menonjol selama ini terjadi di Indonesia yaitu :

Page 18: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

8

a) Konflik Horisontal, merupakan konflik yang terjadi antar kelompok agama,

kelompok pendatang dengan penduduk asli, kelompok etnis atau suku dan

organisasi bisnis yang berada di lokasi setempat.

b) Konflik Vertikal, merupakan konflik yang terjadi antara pemerintah dan

kelompok-kelompok sosial masyarakat tertentu. Asumsinya, konflik terjadi

karena merupakan akibat dari proses pembuatan kebijakan (policy)

pemerintah yang tidak partisipatif dan pada tahap berikutnya memunculkan

perbedaan pendapat, pertentangan, kekerasan serta separatisme (Hadi dkk

2005).

Dalam rangka mencari penyelesaian yang efektif dari sebuah konflik internal

maka perlu mengidentifikasikan sebab-sebab fundamental suatu konflik. Levy (Hadi

dkk 2007:24) berupaya menemukan variabel independen dari suatu konflik dengan

mengkaji sumber-sumber konflik dari empat level analisa yaitu level sistemik, sosial

kemasyarakatan, organisasi birokrasi dan individual. Penyelesaian konflik dapat

tercapai apabila sumber-sumber konflik disetiap level analisa yang berbeda dapat

ditangani secara optimal. Di pihak lain Burton melihat bahwa sumber-sumber utama

konflik berhubungan dengan keterkaitan yang berkesinambungan antara struktur

sosial, institusi sosial dan pemenuhan kebutuhan dasarmanusia. Identifikasi dari

kepentingan-kepentingan dari pihak-pihak yang terlibat konflik adalah hal yang

sangat penting. Berbagai macam sebab terjadinya konflik internal termasuk gerakan

separatisme, seperti perbedaan etnis, faktor historis, perbedaan agama dan

kebudayaan serta ketidak-adilan politik dan ekonomi.

Page 19: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

9

Resolusi konflik merupakan suatu proses penyelesaian masalah dalam

konflik. Pengambilan keputusan adalah bagian yang penting dalam resolusi konflik.

Sebelum meyimpulkan analisis pengambilan keputusan, ada beberapa hal yang perlu

dipertimbangkan, seperti mengenai perbedaan persepsi pihak yang bertikai,

perselisihan yang dinegosiasikan, isu-isu yang krusial untuk mencari penyelesaian.

Resolusi konflik sebagai alternatif untuk menyelesaikan permasalahan dalam konflik

dengan tidak adanya pemaksaan dan kekerasan dalam mengkontrol konflik (Bavly,

2002:6)

Tujuan paling mendasar dari resolusi konflik (Sukma, 2009) adalah

tercapainya perdamaian yang bukan hanya menyangkut masalah militer, politik dan

ekonomi saja, tetapi juga harus menyangkut pemenuhan dari berbagai kebutuhan

ekonomi, aspirasi dan hak dari pihak-pihak yang bertikai. Usaha menciptakan

perdamaian berarti usaha mengurangi tingkat permusuhan dan kekerasan,

memanusiakan pihak lain, membangun rasa saling percaya dan merespon kebutuhan

dan kepentingan dari pihak-pihak yang bertikai. J.Galtung menyatakan bahwa usaha

perdamaian terdiri dari, membuat perdamaian (peace making), memelihara

perdamaian (peacekeeping) dan membangun perdamaian (peacebuilding) (Bavly,

2002)

Peace building adalah kegiatan menciptakan perdamaian mulai dari bawah

sampai ketingkat para pemimpin (bottom up). Menurut Fisher, Peace Building

menyangkut usaha-usaha meningkatkan hubungan dari pihak-pihak yang bertikai

sampai tercapainya rasa saling percaya dan kerja sama yang lebih tinggi, membangun

Page 20: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

10

persepsi yanglebih akurat, menciptakan iklim yang lebih positif dan menciptakan

keinginan politik yang tidak bertahan lama karena perdamaian yang lebih kuat untuk

dapat melakukan perundingan-perundingan yang konstruktif ditengah adanya

perbedaan-perbedaan (Bavly 2002:8). Peace Making adalah usaha-usaha yang

dilakukan oleh negara-negara atau perwakilan-perwakilan resmi melalui kegiatan

diplomasi untukmencapai suatu penyelesaian dari pihak-pihak yang bertikai.

Sedangkan Peace Keeping adalah kegiatan intervensi dari pihak ketiga untuk

memisahkan pihak-pihakyang berperang dan menjaga agar tidak terjadi tindakan

kekerasan.

Konsep peace building mulai banyak digunakan setelah Sekretaris Jenderal

PBB Boutros Boutros-Ghali (1992: 11) mengeluarkan laporannya, An Agenda for

Peace, pada tahun 1992. Dalam laporan tersebut, peace building dipahami sebagai

serangkaian aktivitas yang dimaksudkan untuk “mengidentifikasikan dan mendukung

berbagai struktur yang bertujuan untuk memperkuat dan mempersolid perdamaian

sehingga dapat mencegah terulangnya kembali konflik”. Namun, dalam

perkembangannya, definisi peace building yang dikembangkan Boutros-Ghali

kemudian mencakup juga berbagai upaya untuk menanggulangi akibat-akibat yang

ditimbulkan oleh konflik, menghilangkan akar penyebab konflik (root causes of

conflict), dan membuat negative peace atau ketiadaan kekerasan berubah menjadi

positive peace dimana masyarakat merasakan keadilan social, kesejahteraan ekonomi

dan keterwakilan politik yang efektif (Galtung: 1975).

Page 21: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

11

Upaya penyelesaian suatu konflik dapat dapat dilihat dalam kerangka studi

mengenai resolusi konflik yang bertujuan untuk menelaah berbagai macam situasi,

pemerintahan atau kegiatan organisasi internasional yang dapat mencegah krisis

menjadi perang, atau jika perang sudah terjadi akan berupaya mengakhiri perang dan

melakukan upaya perdamaian hingga keakarnya.

Secara sederhana, Organisasi internasional adalah pihak yang berada di luar

konflik antara dua pihak atau lebih yang bertikai mencoba untuk membantu mereka

mencapai penyelesaian masalah melalui berbagai kesepakatan (Pruit dan Rubin,

2004:374). Tujuan masuknya organisasi internasional adalah merubah situasi konflik

destruktif dan menurunkan tingkat eskalasinya, mengalihkan para pelaku onflik

menuju ke arah penyelesaian konflik dan mendamaikannya.

Hal utama yang dituntut dari keterlibatan organisasi internasional adalah sikap

nertal untuk tidak memihak salah satu pihak yang bertikai. Pada awalnya, netralitas

atau impartial ini menjadi syarat mutlak keberhasilan resolusi konflik. Dalam

perjalanannnya kemudian, hal tersebut justru melahirkan dilema dan berjalan serba

salah. Di satu sisi diperlukan demi terlaksananya program secara fair, tetapi di sisi

lain tidak jarang netralitas itu sendiri justru membantu agresor atau pihak yang kuat

dalam memerangi pihak yang lemah. Netralitas organisasi internasional dituntut

dalam persoalan identitasi saja (Stedman, 1996:363). Keberpihakan terhadap

kelompok lemah dituntut dalam segala atifitas resolusi konflik, baik sejak pencegahan

sampai pada postconflict building, tidak hanya pada aktifitas militer tetapi juga

aktifitas politik dan kemanusiaan.

Page 22: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

12

Titik paling krusial dalam menjalankan perdamaian yang berkelanjutan tahap

implementasi dari kesepakatan damai. Dari sekian banyak perjanjian damai yang

berhasil dilaksanakan, sebagian besar juga gagal dalam tahap ini. Ini menunjukkan

bahwa tahap implementasi jauh lebih sulit daripada menghasilkan sebuah

kesepakatan. Keberhasilan implementasi menjadi suatu keharusan dari suksesnya

sebuah resolusi konflik yang bertujuan untuk menyelesaikan semua penyebab konflik

dan juga sangat tergantung dari kemampuan institusi-institusi yang ada dalam negara

dalam menjaga kestabilan sistem pasca konflik (Rasmussen, 1997:40). Institusi

tersebut adalah lembaga yang terlibat langsung dalam pelaksanaan dan monitoring

perdamaian yang dilakukan secara bersama oleh pihak-pihak yang terlibat konflik

atau melibatkan organisasi internasional.

Menurut Kriesberg (1998), implementasi akan berhasil manakala ada sebuah

organisasi internasional kuat yang bertugas mengontrol jalannya kesepakatan damai

dengan mengkombinasikan berbagai metode baik kekuatan militer maupun ekonomi

dan politik (h. 99). Dengan catatan, metode kekerasan atau penggunaan kekuatan

militer harus dibatasi dan tidak bersifat berpihak kepada salah satu pihak yang terlibat

konflik (Kriesberg, 1998:100). Hal ini menjelaskan bahwa sebelum perdamaian

benar-benar tercipta dengan baik dan stabil perlu ada lembaga monitor di area

konflik.

Dalam kaitanya dengan proses perdamaian yang terjadi di Aceh, NGO seperti

Aceh Monitoring Mission (AMM) merupakan sebuah organisasi internasional yang

berperan dalam Peace building process Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Nanggroe

Page 23: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

13

Aceh Darussalam. Peranan AMM dalam penyelesaian konflik tersebut merupakan

perilaku politik yang diharapakan dari pihak lain. Peran AMM dalam proses

perdamaian di Aceh merupakan peran yang di dapat karena permintaan dari kedua

belah pihak, yaitu GAM-RI. Dengan kata lain peran didapat karena diundang oleh

pihak lain bukan inisiatif sendiri.

Peranan merupakan aspek dinamis. Apabila seseorang melaksanakan hak dan

kewajibannnya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan.

Dari konsep peranan tersebut muncullah istilah peran. Peran adalah seperangkat

tingkat yang di harapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat.

Berbeda dengan peranan yang sifatnya mengkristal, peran bersifat insidental (Perwita

dan Yani, 2005:29).

Peranan (role) dapat didefinisikan sebagai berikut: Perilaku yang di harapkan

dari seseorang yang mempunyai status (Horton dan Hunt, 1987:132). Peranan dapat

dilihat sebagai tugas atau kewajiban atas suatu posisi sekaligus juga hak atas suatu

posisi. Peranan memiliki sifat saling tergantung dan berhubungan dengan harapan.

Harapan-harapan ini tidak terbatas hanya pada aksi (action), tetapi juga termasuk

harapan mengenai motivasi (motivation), kepercayaan (beliefs), perasaan (feelings),

sikap (attitudes) dan nilai-nilai (values) (Perwita dan Yani, 2005:30).

Teori peranan menegaskan bahwa perilaku politik adalah perilaku dalam

menjalankan peranan politik. Teori ini berasumsi bahwa sebagian besar perilaku

politik adalah akibat dari tuntutan atau harapan terhadap peran yang kebetulan

dipegang oleh aktor politik. Seseorang yang menduduki posisi tertentu di harapkan

Page 24: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

14

akan berperilaku tertentu pula. Harapan itulah yang membentuk peranan (Mas‟oed,

1989:45).

Mengenai sumber munculnya harapan tersebut dapat berasal dari dua sumber,

yaitu:

1. Harapan yang dimiliki orang lain terhadap aktor politik.

2. Harapan juga bisa muncul dari cara si pemegang peran menafsirkan peranan

yang dipegangnya, yaitu harapannya sendiri tentang apa yang harus dan apa

yang tidak boleh dilakukan, tentang apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan

(Mas‟oed, 1989:46-47).

Jadi, peranan dapat dikatakan sebagai pelaksanaan dari fungsi oleh struktur-

struktur tertentu. Peranan ini tergantung juga pada posisi atau kedudukan struktur itu

dan harapan lingkungan sekitar terhadap struktur tadi. Peranan juga di pengaruhi oleh

situasi dan kondisi serta kemampuan dari si pemeran.

D. Metode Penelitian

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah kajian pustaka berupa studi

literatur dengan memilih data yang relevan untuk mendukung penelitian yang diambil

dari buku referensi, artikel, jurnal, buku-buku ilmiah, internet, media massa dan

majalah.

Jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian kualitatif.Cara pengumpulan data

dilakukan melalui teknik pengumpulan data sekunder atau library research. Dalam

hal ini, data yang diperlukan akan dihimpun dari berbagai buku bacaaan/literatur,

arsip-arsip dan laporan tahunan dari Aceh Monitoring Mission, jurnal-jurnal dari

Page 25: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

15

lembaga penelitian bidang konflik, artikel media baik dari surat kabar maupun

majalah dan dari laman internet.

Dalam menganalisa data, penulis akan melakukan langkah-langkah sebagai

berikut : pertama, menghimpun literatur dan dokumen-dokumen yang relevan sebagai

sumber data dan informasi yang diperlukan. Kedua, memilah atau mengklasifikasikan

data atau informasi secara sistematis. Ketiga, mengadakan analisis dengan metode

dan teknik pengumpulan data yang tepat untuk dikaji berdasarkan kerangka dasar

teori. Keempat, pencapaian kesimpulan dari penelitian.

E. Sistematika Penulisan

Guna mempermudah penulisan, skripsi ini membagi pembahasan menjadi

beberapa BAB, Sub Bab, dan Sub-sub Bab yang diuraikan secara singkat dalam

sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

B. Pertanyaan Penelitian

C. Kerangka Teori

D. Metode Penelitian

E. Sistematika Penulisan

Bab II Konflik Aceh

A. Identitas Keacehan

B. Latar Belakang Konflik Aceh

C. Perlawanan Kaum Nasionalis Aceh

Page 26: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

16

1) Pemberontakan Daud Beureureh

2) Pemberontakan Hasan Tiro dan Lahirnya GAM

D. Resolusi Konflik Aceh Oleh Pemerintah RI

E. Upaya Perdamaian Dari Crisis Management Initiative

Bab III Profil Aceh Monitoring Mission

A. Profil AMM

B. Struktur dan Mekanisme kerja AMM

C. Tugas dan Mandat AMM

Bab IV Analis Peran Aceh Monitoring Mission dalam Peace Building Process di

Aceh

A. Demobilisasi dan Decommisioning persenjataan GAM

B. Redeployment TNI dan POLRI

C. Amnesti

D. Reintegrasi GAM

E. Undang-Undang Pemerintahan Aceh

F. Pengaturan keamanan dan Hak Asasi Manusia

G. Hambatan dan Tantangan AMM

Bab V Penutup

A. Kesimpulan

B. Saran

Daftar Pustaka

Lampiran-lampiran

Page 27: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

17

BAB II

KONFLIK ACEH

Sebelum membahas lebih jauh mengenai konflik Aceh sangatlah penting

dipaparkan terlebih mengenai identitas keacehan, guna mendapatkan pemahaman

menyeluruh (holistic) dari apa yang melatar-belakangi terjadinya konflik Aceh.

Untuk itu penting menelusuri identitas keacehan sebagai variable penelusuran guna

mengetahui Latar Belakang Konfilk Aceh. Setelah itu barulah menjelaskan

perlawanan Kaum Nasionalis Aceh serta upaya Pemerintah dalam Resolusi Konflik

dalam konflik Aceh yang menghasilkan Nota Kesepahaman Helsinski sebagai

landasan terbentuknya Aceh Monitoring Mission dalam membangun perdamaian di

Aceh.

A. Identitas Keacehan

Aceh merupakan sebuah provinsi di Indonesia, lebih tepatnya Aceh terletak di

ujung utara pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Ibu

kotanya adalah Banda Aceh. Jumlah penduduk provinsi ini sekitar 4.500.000 jiwa.

Letaknya dekat dengan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India dan terpisahkan

oleh Laut Andaman. Aceh berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah

utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera

Utara di sebelah tenggara dan selatan.

Page 28: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

18

Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan

memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Pada awal abad

ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di

kawasan Selat Malaka. Sejarah Aceh diwarnai oleh kebebasan politik dan penolakan

keras terhadap kendali orang asing, termasuk bekas penjajah Belanda dan pemerintah

Indonesia. Jika dibandingkan dengan dengan provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah

yang sangat menjunjung tinggi nilai agama (Time Magazine, 15 Februari 2007).

Persentase penduduk Muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia dan mereka

hidup sesuai syariah Islam (Islamic studies: 2013).

Aceh memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk minyak

bumi dan gas alam. Sejumlah analis memperkirakan cadangan gas alam Aceh adalah

yang terbesar di dunia. Aceh juga terkenal dengan hutannya yang terletak di

sepanjang jajaran Bukit Barisan dari Kutacane diAceh Tenggara sampai Ulu

Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional bernama Taman Nasional Gunung

Leuser (TNGL) didirikan di Aceh Tenggara.

Identitas daerah yang tersebar di Indonesia mempunyai ciri dan khas

tersendiri di setiap wilayahnya, salah satunya yaitu Aceh. Aceh merupakan suku

bangsa Indonesia yang dikenal memiliki identitas dan sejarah yang khas. Sebutan

sebagai Serambi Mekah bagi Aceh tidak hanya berarti sebagai pintu masuk pertama

penyebaran agama Islam di Indonesia, tetapi juga mempunyai konotasi tentang

tingginya pengaruh nilai-nilai Islam dalam adat istiadat dan semangat juang

masyarakat Aceh. Terkait dengan julukan Serambi Mekkah ini, ada dua pandangan

Page 29: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

19

dalam memaknai istilah Serambi Mekkah (Reid, 2006: 38-39). Pertama, pengertian

tersebut terindikasi pada naskah kuno karya Ar-Raniri, terminologi Serambi Mekkah

yang pertama ini merujuk dengan pengertian Aceh merupakan Mekkah-nya kawasan

Timur (Mecca of the East). Kedua, pengertian ini yang merujuk pada pandangan

Snouck Hurgronje (ICG 2001:17) , yang mengartikan istilah Serambi Mekkah

Sebagai “gerbang ke Tanah Suci” (The Gate to the Holy Land). Penyebutan ini

disebaban terdapatnya fakta bahwa daerah Aceh sering digunakan oleh para calon

jemaah haji dari kepulauan di Timur sebagai tempat persinggahan sebelum mereka

melanjutkan perjalanannya ke Mekkah.

Dari pengertian di atas, terdapat pemahaman yang sangat khas antara

pengertian Aceh dengan Serambi Mekkah yaitu identitas keislaman (Islamic Identity).

Pada akhirnya ketika kita mengucapkan istilah Aceh dengan Serambi Mekkah maka

timbul pula pemahaman bahwa Aceh merupakan kawasan Islam di wilayah timur. Di

lain pihak, julukan Serambi Mekkah yang melekat pada wilayah Aceh dengan mudah

pula diasosiasikan dengan identitas keislaman Aceh. Identitas Islam yang sudah

melekat jauh sebelum Indonesia merdeka inilah dalam perjalanannya ternyata

menjadi pemicu konflik antara Aceh dan Republik Indonesia. Identitas keislaman

Aceh tidak hanya digunakan oleh para elit politik aceh untuk membangun sentimen

kolektif masyarakat ketika berhadapan dengan kelompok lain, tetapi juga

dimanfaatkan pemerintah pusat sebagai pilihan bagi Aceh dalam kerangka kebijakan

desentralisasi dan pemberian otonomi khusus.

Page 30: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

20

B. Latar Belakang Konflk Aceh

Sejak berlangsungnya konflik Aceh melalui pemberontakan yang dipimpin

oleh Daud Beureueh pada tahun 1957 (Kawilarang, 2010:159), beragam dampak

yang ditimbulkan amatlah parah pada masyarakat sipil Aceh. Ribuan rakyat sipil tak

berdosa telah gugur, mengalami penyiksaan dan cacat, menjadi janda dan anak yatim.

Ribuan orang telah kehilangan tempat tinggal dan ribuan lainnya kehilangan

pekerjaan dan mata pencaharian. Ratusan sekolah terbakar, sehingga mengganggu

proses pendidikan. Lebih jauh dari itu, masyarakat sipil hampir tidak memiliki akses

terhadap hukum, sementara sebagian besar lembaga pengadilan tidak berfungsi lagi.

Kekecewaan masyarakat Aceh diawali ketika Teungku Daud Beureuh masuk

dalam “Daftar Hitam” yang ingin disingkirkan oleh Pemerintah Pusat. Seperti kita

ketahui Teungku Daud merupakan salah satu tokoh rakyat Aceh dalam mengusir

penjajah dengan ikut sertanya Teungku Daud bersama Republik dengan cara

mengumpulkan dana untuk melawan penjajah. Janji dari Presiden Soekarno untuk

memberikan kebebasan rakyat Aceh menerapkan syariat Islam tidak ditepati, semakin

membuat pedih rakyat Aceh. Kekecewaan rakyat Aceh yang tidak terbendung

akhirnya menimbulkan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Pada tahun 1953. pemberontakan ini dapat ditumpas pada tanggal 26 Mei 1959 ketika

Aceh diberikan otonomi luas, terutama dalam bidang agama, adat dan pendidikan.

Konflik yang terjadi di Aceh khususnya Gerakan Separatisme Aceh berlatar belakang

tentang perjanjian antara Inggris dan Kesultanan Aceh pada tahun 1819 dan

Perjanjian Anglo Dutch yang menyatakan bahwa Aceh merupakan Negara yang

Page 31: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

21

merdeka, hal inilah yang membuat GAM berusaha mengembalikan kedaulatan

tersebut kepada Kesultanan Aceh.

Aceh yang kita ketahui merupakan provinsi yang mempunyai ciri khas yakni

rakyat Aceh mempunyai identitas social-kultural dan religi yang kuat. Salah satu

alasan terjadinya pemberontakan Teungku Daud adalah keinginan Teungku Daud

untuk menerapkan syariat Islam di Aceh, yang pada saat itu disetujui oleh pemerintah

pada saat penumpasan pemberontakan DI/TII. Namun rezim Orde Baru membuat

sebuah keputusan yang lagi-lagi membuat kekecewaan di hati rakyat Aceh (Reid:

2006, 23).

Keputusan yang diambil oleh Rezim Orde Baru dengan model politik

sentralisme adalah melalui UU No. 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan

Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Desa, Orde

membuat penyeragaman di semua daerah tanpa memperhatikan nilai-nilai lokal (Tim

Peneliti LIPI, 2007, 54-55).

Akibat kedua UU tersebut, secara otomatis keistemewaan Aceh akan

tereliminasi. Syariat Islam yang sudah menjadi ciri khas dari rakyat Aceh menjadi

hilang karena lembaga-lembaga adapt yang ada sejak lama di Aceh harus digantikan

oleh struktur pemerintahan modern yang diinginkan oleh pemerintahan Orde Baru.

Hal inilah yang membuat kekcewaan rakyat Aceh terhadap pemerintahan pusat

semakin besar.

Faktor ekonomi juga turut serta menjadi penyebab terjadinya konflik yang

dilakukan oleh gerakan separatisme di Aceh (GAM). Pada masa Orde Baru kebijakan

Page 32: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

22

Pemerintah ditekankan pada pembangunan dengan didasarkan pada pertumbuhan

ekonomi dan stabilitas politik. Aset sumber daya alam di Aceh dieksploitasi dalam

konteks pembangunan ini. Pabrik LNG dan pupuk Iskandar Muda yang dibangun di

Aceh maju pesat. Bahkan Indonesia menjadi salah satu eksportir LNG terbesar dan

90% dari produksi pupuk ditujukan bagi ekspor.

Namun, berdasarkan kebijakan yang diambil pada masa rezim Orde Baru

yang sentralisasi, ekonomi Aceh terkonsentrasi oleh power dan otoritas yang berpusat

di Jakarta, maka pembangunan di Aceh tidak mengalami kemajuan yang signifikan

bila dibandingkan keuntungan pusat yang diperoleh dari wilayah Aceh. Akibat dari

pembangunan yang terlalu banyak di Jakarta adalah rakyat Aceh mengalami

kesengsaraan dan kesusahan dimana di wilayah Aceh Utara dan Aceh Timur tercatat

2.275 desa miskin pada tahun 1993 (Hadi 2007:50-51).

Hal itu semua membuat rakyat Aceh sadar bahwa yang seharusnya menikmati

hasil dari sumber daya alam adalah masyarakat Aceh sendiri bukan pusat. Hal inilah

yang membuat rakyat Aceh semakin kecewa dengan pemerintah pusat. Kesadaran

rakyat Aceh tentang ketidakadilan pusat terhadap Aceh dimanfaatkan oleh GAM,

dimana GAM memperoleh kekuatan setelah industri gas dan minyak di Aceh Utara

berdiri pada tahun 1970.

C. Perlawanan Kaum Nasionalis Aceh

Perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Aceh telah tercatat sebanyak dua kali

kepada Pemerintah Pusat. Pertama, pemberontakan yang dipimpin oleh Teuku M.

Daud Beureueh pada 1953 dan yang kedua oleh Hasan Tiro pada 1976. Daud

Page 33: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

23

Beureueh merupakan tokoh ulama terkemuka di Aceh yang mendirikan dan menjadi

ketua PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) pada tahun 1939 (Reid, 2005:275).

Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, PUSA berhadapan dengan kelompok

Uleebalang dalam upaya mereka menguasai setiap sektor kekuasaan dan

pemerintahan di Aceh.

Pertentangan kaum ulama dengan kaum Uleebalang tersebut menimbulkan

konflik yang belangsung dari 22 Desember 1945 sampai dengan 13 Januari 1946

yang dikenal dengan insiden Cumbok.

1. Pemberontakan Daud Beureueh

Setidaknya ada tiga alasan utama pemberontakan yang dipimpin oleh Daud

Beureueh ini. Pertama, terkait dengan konsep dasar kenegaraan, terutama yang

berhubungan dengan dasar dan bentuk negara, sebelum kemerdekaan 17 Agustus

1945, wacana politik yang berkembang di kalangan para tokoh pejuang kemerdekaan

saat itu adalah mengenai dasar negara yang akan didirikan (Latif, 2011:65). Para

tokoh yang tergabung dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia), yang juga diwakili oleh kelompok Islam, pada 18 Agustus

1945 akhirnya menyetujui Pancasila sebagai Dasar Negara (Latif, 2011: 67-95).

Dengan ditetapkannya Undang-undang Dasar 1945 yang dalam Mukadimah

tidak memuat tujuh kata dalam sila pertama seperti yang terdapat pada Piagam

Jakarta, yaitu “ dengan kewajiban menjalanan syariat Islam bagi pemeluknya” pada

18 Agustus 1945, kelompok Islam merasa aspirasi mereka tidak terakomodasi dengan

Page 34: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

24

baik dalam hal yang sangat prinsipil, yaitu dasar negara. Hal inilah yang menjadi

awal mula kekecewaan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan dari kelompok Islam.

Daud Beureueh sendiri pada mulanya dapat menerima realitas politik bahwa

Indonesia yang baru didirikan berdasarkan Pancasila. Sekalipun rakyat Aceh

menginginkan Negara yang berdasarkan Islam, para pemimpin Aceh mampu

meyakinkan rakyatnya bahwa untuk saat itu, ketika Indonesia yang baru lahir masih

menghadapi perjuangan fisik melawan Belanda, sebaiknya untuk sementara

menerima dahulu dan mendukung Indonesia yang berdasarkan Pancasila sampai nanti

diadakan pemilihan umum (Ibrahimy, 2001: 43).

Selain itu, kesediaan Daud Beureueh menerima konsep Negara Indonesia

yang berasaskan Pancasila lebih disebabkan oleh janji Presiden Soekarno yang

diucapkan pada kunjungannya yang pertamakali ke Aceh yakni memberikan

kebebasan kepada Aceh dalam menjalankan syariat Islam dan otonomi khusus sesuai

dengan syariat Islam (Santosa, 2006:142). Untuk menindaklanjuti janji Presiden

Soekarno tersebut, pada 1949 beberapa tokoh Aceh menghadap Wakil Perdana

Menteri Syafruddin Prawiranegara, yang saat itu juga menjadi Kepala Pemerintahan

Darurat Republik Indonesia/PDRI guna mendesak Pemerintah Pusat guna

membentuk Provinsi Aceh yang otonom dalam mengurus rumah tangganya sendiri.

Akhirnya permintaan ini dikabulkan dengan dikeluarkannya Peraturan Wakil Perdana

Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.

8/Des/WKPM 17 Desember 1949 yang menyataan Aceh sebagai Provinsi dan Daud

Beureueh sebagai Gubernur (Kawilarang, 2010:154).

Page 35: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

25

Keadaan berubah setelah Hindia Belanda resmi membubarkan diri pada 27

Desember 1945 dan RI berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam

pertemuan Dewan Menteri RIS pada 8 Agustus 1950 disepakati Indonesia terdiri dari

10 Provinsi hal ini menjadikan Aceh dan Sumatera Utara dijadikan 1 Provinsi. Pada

akhir tahun 1950, Mohammad Natsir yang pada saat itu menjabat sebagai Perdana

Menteri mengumumkan Provinsi Aceh dilebur menjadi satu dengan Provinsi

Sumatera Utara, sedangkan Daud Beureueh diangkat menjadi pejabat tinggi di

Kementerian Dalam Negeri di Jakarta. Keputusan ini sangat mengecewakan

masyarakat Aceh karena pusat pemerintahan daerah Aceh berubah bahkan peralatan

kantor dan mobil-mobil dinas pemerintahan yang berada di Banda Aceh dibawa ke

Medan. Padahal semua inventaris tersebut dibeli secara swadaya oleh masyarakat

Aceh.

Kekecewaan Daud Beureueh terhadap Pemerintah Pusat mencapai puncaknya

ketika Presiden Soekarno pada 27 Januari 1953 berpidato di Amuntai, Kalimantan

Selatan, yang menegaskan bahwa Indonesia tidak mungkin menggunakan Islam

sebagai dasar Negara. Pernyataan ini sekaligus menyatakan bahwa Negara Indonesia

berdasarkan pada Pancasila, bukan Islam. Dengan pernyataan Soekarno ini semakin

jelas bagi para tokoh Aceh bahwa Indonesia tidak memberikan peluang bagi Negara

untuk menggunakan Islam sebagai dasar Negara dan pupus juga harapan rakyat Aceh

utnuk menerapkan syariat Islam di Aceh. Hal ini telah membuat Daud Beureueh

kecewa, sehingga pada 21 September 1953 Daud Beureueh menyatakan Aceh

memisahkan diri dari Indonesia dan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia

Page 36: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

26

(NII) mengikuti Kartosoewirjo lalu membubarkan Divisi X TNI yang berada di Aceh.

Pernyataan ini terjadi setelah kongres ulama di Titeue Pidie. Setelah membubarkan

Divisi X TNI, sejumlah pasukan TNI bergabung menjadi tentara Islam di bawah

komando Daud Beureueh.

Kedua, terkait dengan politik sentralisasi yang dijalankan oleh Pemerintah

Pusat pada masa-masa awal Republik berdiri. Kebijakan setralisasi yang membawa

kembali Indonesia menjadi negara kesatuan ini dapat dipahami dalam konteks situasi

politik nasional saat itu, yaitu selama periode 1949 sampai 1950. Pada saat itu

Indonesia sedang menghadapi masa perjuangan fisik dalam mempertahankan

kemerdekaan. Dalam upaya mempertahankan kekuasaannya di Indonesia, Belanda

menjalankan politik pecah belah dengan membentuk negara-negara yang berdiri

sendiri dan tidak tergabung dalam federasi yaitu, Jawa Tengah, Kalimantan Barat,

Dayak Besar, Daerah Banjar, Federasi Kalimantan Tenggara, Negara Kalimantan

Timur, Bangka, Belitung, dan Riau (Awaludin 2009).

Di tengah situasi politik yang masih labil dan eksistensi RI yang sangat rapuh

itu menjadikan RI lebih mementingkan upaya konsolidasi nasional dan memperkuat

kesatuan wilayah RI ke dalam sistem kenegaraan yang solid. Di tengah situasi yang

penuh dengan semangat perjuangan mempertahanan kemerdekaan dan ditambah

dengan dominasi kaum nasionalis dalam percaturan politik saat itu, maka muncul

desakan membubaran Negara federasi dan membentuk Negara kesatuan. Namun,

dalam perspektif rakyat Aceh, justru semangat kesatuan dan persatuan pada saat itu

Page 37: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

27

harus dibayar mahal dengan hilangnya Provinsi Aceh yang dinilai sebagai

representatif identitas keislaman.

Alasan ketiga yang mendorong pemberontakan Daud Beureueh adalah tidak

terakomodasinya nilai Islam dalam pemerintahan di Aceh. Nilai-nilai Islam memang

telah lama berakar dalam kehidupan rayat Aceh dan mereka tetap mengharapkan

bahwa suatu saat Islam dapat kembali menjadi dasar dalam hidup berpemerintahan di

Aceh.

Aspirasi dan identitas Islam yang begitu mengakar di kalangan rakyat sejak

ratusan tahun, dan mencapai masa kejayaannya pada pemerintahan Sultan Iskandar

Muda (1607-1636), menemukan momentum baru untuk dimanifestasikan kembali

dalam tatanan kehidupan masyaraat Aceh ketika Indonesia memproklamasikan

kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 (Ibrahimy, 2001:43). Namun, ketika

Soekarno menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara nasional yang berasaskan

Pancasila bukan Islam, Daud Beureueh semakin yain bahwa pemimpin pusat telah

menyimpang dari jalan yang benar. Republik Indonesia tidak berkembang menjadi

Negara yang berdasarkan Islam, satu-satunya kemungkinan yang terkandung dalam

prinsip Ketuhanan Yang Masa Esa, sila pertama Pancasila (Santosa, 2006:152).

Pandangan seperti ini menunjukkan bahwa ide Islam yang diyakini oleh Daud

Beureueh tidak hanya pas dalam lingkup Aceh, namun lebih jauh dari itu. Daud

Beureueh menilai bahwa Indonesia pun secara keseluruhan mestinya berdasarkan

Islam. Pada titik inilah Daud Beureueh membentur kenyataan politik bahwa aspirasi

Negara nasional lebih dominan saat itu, sehingga menyadarkan dirinya bahwa

Page 38: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

28

Indonesia tidak mungkin akan mengakomodasi aspirasi Islam yang selama ini

menjadi identitas Aceh.

Dengan adanya kepastian bahwa Indonesia tidak akan menolerir bentuk

pemerintahan daerah yang berlandaskan Islam, pemimpin Aceh sudah dapat

memperkirakan bahwa pemerintah pusat akan menekan Aceh, baik dalam urusan

syariat Islam maupun dalam hal kepemerintahan. Kekhawatiran itulah yang akhirnya

memaksa banyak tokoh Islam di Aceh ikut mendukung pemberontakan Daud

Beureueh (Aguswandi & Large, 2009:3).

Pemberontakan Daud Beureueh tidak berhenti meski Pemerintah Pusat

akhirnya mengembalikan Aceh sebagai tersendiri yang terpisah dari Provinsi

Sumatera Utara dengan Undang-undang No. 24/1956. Undang-undang tersebut sama

sekali tidak menyebut pemberian otonomi Aceh dalam pemberlakuan syariat Islam

(Syukriy, 2009:3).

Seiring berjalannya waktu, tiga tahun setelah itu barulah perubahan status

mulai diberikan. Status “Daerah Istimewa” baru diberikan untuk Aceh pada 26 Mei

1959 melalui Keputusan Perdana Menteri RI No.1/Missi/1959, yang isinya antara lain

Daerah Istimewa Aceh dapat melaksakan otonomi daerah yang seluas-luasnya

terutama dalam bidang agama, pendidikan, dan peribadatan (Nurrohman, 2006:4).

Pemberontakan Daud Beureueh baru berakhir pada 9 Mei 1962, ketika Kolonel M.

Jasin, Panglima Kodam Iskandar Muda berhasil membujuk Daud Beureuh untuk

turun gunung.

Page 39: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

29

2. Pemberontakan Hasan Tiro dan Lahirnya GAM

Perbedaan kedua terkait tujuan pemberontakan. Berbeda dengan

pemberontakan Daud Beureueh yang mulanya hanya menginginkan otonomi di

bidang pendidikan dan penerapan syariat Islam tetapi masih dalam kerangka Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pemberontakan Hasan Tiro sejak awal

memang bertujuan untuk membentukan Negara Aceh yang merdeka dan terpisahkan

Republik Indonesia (Schulze, 2004:1).

Dalam ungkapan Sukma (2003:149), tujuan pemberontakan Daud Beureueh

sama dengan pemberontakan Darul Islam Aceh yang menginginkan Indonesia

menjadi Negara Islam dan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam. Sedangkan

pemberontakan Hasan Tiro bertujuan untuk memisahkan diri secara utuh dari

Indonesia. Aspirasi untuk merdeka yang memotivasi pemberontakan Hasan Tiro ini

diperkuat juga oleh adanya sentimen nasionalisme Aceh, terkait dengan konstruksi

identitas Aceh yang berdasarkan pada etnik, bahasa, kultur, sejarah dan geografi

(Miller, 2008:12).

Pemberontakan Hasan Tiro ini dipicu oleh ketidakadilan yang dirasakan oleh

rakyat Aceh dalam hal pengelolaan sumber daya alam Aceh oleh Pemerintah Pusat, di

samping didorong pula oleh sentimen nasionalisme etnik (ethno nasionalism) yang

bertumpu pada kekhasan Aceh dalam hal sejarah, etnisitas, kultur, dan geografi.

Sentiment nasionalisme etnik ini tercermin dari bagaimana Hasan Tiro menarik garis

perbedaan tegas antara Indonesia dan Aceh dengan cara menyebut rakyat Aceh

sebagai “bangsa Aceh”. Dengan frasa “bangsa Aceh” ini Hasan Tiro bermaksud

Page 40: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

30

memperkenalkan konsep bangsa Aceh sebagai lawan dari bangsa Indonesia

(Kawilarang, 2008:157).

Pemberontakan Hasan Tiro ini terjadi pada saat Pemerintahan Soeharto, yang

mana rezim ini terfokus pada masalah pembangunan ekonomi yang membutuhan

stabilitas politik, sehingga Pemerintah Pusat tidak pernah menolerir adanya aspirasi

daerah yang menuntut otonomi, apalagi memisahkan diri. Oleh karena itu, tidak lama

setelah Hasan Tiro memproklamasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Pemerintah

Pusat mengambil langkah tegas, yaitu dengan melancarkan tindakan militer atau hard

power.

Sejak Hasan Tiro melancarkan pemberontakan terhadap Pemerintahan Pusat

dengan mendeklasikan GAM dan sebelum tercapai perdamaian pada tahun 2005, ada

fase-fase penting yang dialami oleh GAM (Schulze, 2004:4).

Pertama, periode kelahiran (1976-1989), ketika GAM masih merupakan

sebuah kelompok kecil yang beranggotakan kira-kira 70 orang tetapi memiliki ikatan

ideologi yang kuat. Anggota GAM saat itu terdiri dari orang-orang terdidik, seperti

dokter, insinyur, akademi, dan pengusaha. Untuk mematahkan pemberontakan ini,

Soeharto melancarkan operasi militer, sehingga banyak anggota organisasi ini yang

tewas dan pemimpinnya banyak yang dipenjara atau melarikan diri. Pada periode ini,

akibat oprasi militer yang keras dari Pemerintah Pusat, pengikut GAM tercerai-berai

ke berbagai tempat dan mulai melakukan gerakan bawah tanah. Pada tahun 1986

banyak pemuda Aceh yang dikirim oleh Hasan Tiro untuk mengikuti pelatihan militer

di beberapa Negara asing termasuk Libya (Schulze, 2004:14). Hal ini dikarenakan

Page 41: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

31

Pemerintah Pusat mengirimkan ribuan pasukan ke Aceh dan tidak ada dukungan

internasional terhadap GAM, hingga pada akhirnya Hasan Tiro pindah ke Swedia dan

menjadi warganegara disana.

Kedua, periode kebangkitan GAM (1989-1998). Pada tahun 1989 banyak

pemuda Aceh yang telah mengikuti pelatihan militer di Libya kembali ke Aceh dan

bergabung dengan GAM. Dengan kembalinya pejuang-pejuang yang terampil secara

militer ini GAM mulai mengkonsolidasikan organisasinya, terutama penentuan

struktur dan garis komando organisasi di Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, dan Aceh

Timur. Para alumni Libya ini juga merekrut dan melatih ratusan anggota baru

mengenai kemiliteran, sehingga jumlah pengikut GAM bertambah banyak. Pada

tahun inilah perlawanan GAM secara militer menunjukkan peningkatan, sehingga

Pemerintah Pusat melancarkan Operasi Jaring Merah dan menjadikan Aceh sebagai

Daerah Operasi Militer (DOM). Selama DOM ini militer Indonesia menjalankan

operasi pembersihan terhadap penduduk atau desa yagn dicurigai memberikan

bantuan logistic dan tempat perlindungan bagi para gerilyawan GAM. Operasi seperti

ini dimaksudkan untuk memberikan efek jera bagi penduduk desa, agar tidak

memberikan dukungan kepada GAM (Schulze, 2004:4).

Ketiga, Periode kematangan GAM (1998-2005). Pada periode ini perlawanan

GAM berkurang secara signifikan pada 1991. Pada tahun ini, akibat operasi militer

Pemerintahan Pusat yang keras, dapat dikatakan GAM sebenarnya sudah habis.

Namun demikian, GAM masih bias eksis karena GAM masih memiliki pemimpin-

pemimpin mereka di pengasingan yang terus memperjuangkan kemerdekaan Aceh.

Page 42: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

32

Di samping itu, GAM masih bias menyuarakan kemerdekaan Aceh karena beberapa

pemimpin mereka melancarkan perjuangan dari Negara tetangga, Malaysiam dengan

dukungan orang Aceh yang tersebar di berbagai tempat di luar negeri. Sekalipun

secara fisik keberadaan GAM di Aceh jauh berjurang, tindak kekerasan yang

dilakukan tentara justru melahirkan generasi baru di Aceh yang bersimpati terhadap

GAM. Generasi baru inilah yang kelak, ketika Soeharto jatuh pada 1998, menjadi

motor penggerak bagi gerakan massa yang mendesak Pemerintah Pusat untuk

menyelesaikan konflik Aceh.

D. Resolusi Konflik Aceh Oleh Pemerintah RI

Resolusi konflik pada era Soeharto lebih banyak ditangani dengan pendekatan

keamanan (security approach) atau hard power daripada soft power. Pada era

Soeharto tidak pernah ada keinginan untuk menyelesaikan konflik Aceh melalui cara-

cara negosiasi atau soft power. Pemerintah Pusat juga berusaha untuk mencoba

mencari simpati rakyat (winning hearts and minds). Program simpatik seperti ini

dilakukan hanya dalam konteks untuk mencegah agar rakyat Aceh tidak ikut

bergabung dengan GAM. Aspinal dan Crouch (2003:3) mengungkapkan bahwa

hanya sebagian kecil dari elit TNI yang benar-benar memahami konsep

“memenangkan hati rakyat” itu. Bagi sebagian besar elit TNI, pemberian konsesi

kepada rakyat Aceh yang menginginkan merdeka hanya memicu perlawanan yang

lebih kuat.

Pasca jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, gelombang arus reformasi

melanda Indonesia telah mengubah landasan politik domestic. Dari yang berhaluan

Page 43: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

33

otoriter menjadi rezim demokratis. Perubahan sistem politik demokratis disertai juga

dengan tuntutan untuk penegakan hukum telah mengubah cara pandang pemerintah

baru. Presiden Habibie melihat bahwa Aceh tidak lagi dianggap sebagai musuh

bangsa Indonesia, melainkan saudara kandung Bangsa Indonesia (Ali, 2008:197).

Pada Mei 1998, muncul gerakan anti-militer dan anti-Jakarta. Di tengah

situasi politik yang tidak berpihak pada TNI dan di tengah derasnya tuntutan

pengungkapan tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan TNI di Aceh selama era

Soeharto, Panglima ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) Jendral

Wiranto berusaha untuk meraih kembali kepercayaan masyarakat dengan mencabut

status DOM di Aceh pada 7 Agustus 1998. Di samping pencabutan status DOM,

Jendral Wiranto juga meminta maaf atas perilaku individu TNI selama masa DOM.

Lalu setelah itu Presiden Habibie pun ketika berkunjung ke Aceh pada Maret 1999

juga meminta maaf atas apa yang telah dilakukan oleh TNI (Aspinal & Crouch,

2003:6). Perubahan dalam pendekatan untuk menyelesaikan konflik pada era Habibie

mengubah pendekatan penyelesaian konflik yang dilakukan pada Orde Baru yakni

security approach menjadi prosperity approach.

Presiden Habibie juga memberikan amnesti kepada sejumlah tahanan politik

yang terkait dengan GAM, menyalurkan bantuan dana untuk anak yatim dan janda

korban konflik serta memberikan kesempatan kepada anak-anak mantan anggota

GAM untuk menjadi pegawai negeri. Pada masa pemerintahan Habibie juga disahkan

Undang-undang No.44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi

Daerah Istimewa Aceh. Undang-undang tersebut memberikan otonomi dan

Page 44: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

34

kewenangan khusus kepada Aceh hanya di bidang pendidikan, agama, adat, dan

peran ulama. Pada masa pemerintahan Habibie inilah titik kebijakan soft power dalam

resolusi konflik di Aceh berawal yang kelak juga akan digunakan pada pemerintahan

setelah Habibie. Namun demikian, Habibie sendiri tidak pernah sempat

menindaklanjuti kebijakannya yang lebih menekankan pada kesejahteraan karena

masa kepemimpinannya yang singkat.

Pada Oktober 1999, Habibie digantikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid

atau yang akrab disapa Gus Dur, yang dikenal sebagai orang yang memiliki

komitmen kuat terhadap demokrasi dan pluralisme. Pada masa kepemimpinannya

Gus Dur menawarkan kepada Aceh tiga opsi, yakni otonomi total (total autonomy) ,

pembagian pendapatan 75% dan 25% antara Aceh dan Jakarta, dan status provinsi

istimewa (Aspinal & Crouch, 2003:9). Pada masa kepemimpinan Gus Dur untuk

pertama kalinya sejak konflik Aceh dimulai pada tahun 1976, Indonesia bersedia

mengadakan dialog dan perundingan dengan GAM yang difasilitasi oleh Henry

Dunant Center (HDC), sebuah lembaga swadaya masyarakat berkedudukan di

Jenewa, Swiss. Hasil dari perundingan tersebut berakhir dengan ditandatanganinya

dokumen Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh pada 12 Mei 2000

yang berisi antara lain kesepakatan kedua belah pihak untuk menghentikan kekerasan

di Aceh.

Terjadinya perundingan Jeda Kemanusiaan ini menghadirkan perkembangan

penting dalam konflik Aceh, baik bagi Indonesia maupun GAM. Bagi Indonesia

perundingan ini adalah yang pertama sejak 23 tahun resolusi konflik Aceh dilakukan

Page 45: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

35

dengan jalan militer. Karena adanya paradigm baru dalam resolusi konflik di Aceh

yakni melalui jalan perundingan, bagi Indonesia sendiri adalah pilihan politik yang

terbaik. Sementara bagi GAM, perundingan Jeda Kemanusiaan memberi tiga arti

penting bagi profil gerakan mereka. Pertama, dari tataran kelembagaan, perundingan

tersebut dinilai sebagai langkah strategis dalam konteks perlawanan terhadap

Pemerintah Pusat. Kenyataan GAM duduk satu meja dengan Pemerintah Indonesia

secara resmi menyodorkan suatu realitas politik baru yaitu eksistensi GAM sebagai

“entitas politik” diakui oleh pemerintah Indonesia. Kedua, dari tataran internasional.

GAM berharap perundingan Jeda Kemanusiaan dapat membangaun citra GAM di

mata dunia. Terlebih perundingan ini difasilitasi oleh lembaga internasional, GAM

berharap bahwa perundingan ini dapat dijadikan sebgai kendaraan untuk membuat isu

aceh mendunia, dengan harapan masyarakat internasional memberikan dukungannya

kepada GAM. Ketiga, dari tataran taktis. Jeda Kemanusiaan digunaan oleh GAM

untuk memperluas pengaruhnya di Aceh. Dengan diberhentikannya kekerasan, GAM

yang secara militer jauh lebih lemah dari TNI justru mendapat kesempatan untuk

memperluas basis dukungan di kalangan penduduk local dan mengkonsolidasikan

kekuatan militernya. (Huber, 2008 dalam Aguswandi & Large, 2008:17).

Ketika GAM memanfaatkan Jeda Kemanusiaan untuk konsolidasi organisasi

dan perluasan pengaruhnya, TNI dan Polri malah diimbau untuk tidak melakukan

tindakan ofensif. Sikap TNI dan Polri yang tidak ofensif sesuai dengan imbauan itu

dimanfaatkan GAM untuk meningkatkan kegiatan militernya. Hal inilah yang pada

akhirnya memicu kembali kekerasan antara TNI/Polri dan GAM, sehingga samapi

Page 46: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

36

pada akhir Jeda Kemanusiaan pada Januari 2001, kekerasan tetap saja terjadi. Dapat

dikatakan selama tahun 2000 implementasi Jeda Kemanusiaan mengalami kegagalan.

Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan gagalnya Jeda Kemanusiaan ini.

Pertama, karena tidak adanya kepercayaan dari kedua belah pihak yang berkonflik.

Kedua, Jeda Kemanusiaan ini hanya mengatur tentang aspek keamanan dari konflik

Aceh, yaitu penghentian kekerasan dan operasi militer. Dan ketiga, tidak adanya

komitmen pada level aparat di lapangan terhadap kesepakatan penghentian kekerasan.

Gagalnya implementasi Jeda Kemanusiaan meberikan indikasi bahwa perundingan

damai dengan GAM tidak aan berjalan baik tanpa ada dukungan dari TNI dan Polri.

Naiknya Megawati Soekarnoputri ke kursi Presiden pada Juli 2001

merupakan titik balik peran TNI dalam pentas politik nasional dalam konteks resolusi

konflik Aceh. Komitmen politik Presiden Megawati yang nasionalis dan sangat

menekankan pada integritas wilayah menjadikan resolusi konflik di Aceh pun

bergeser kembali menjadi hard power (operasi militer) dan soft power (pemberi

otonomi luas) secara bersamaan dalam periode yang sama. Kedua kebijakan itu

dijalankan secara berbarengan untuk menekan GAM mau menerima otonomi luas

seperti yang ditawarkan oleh pusat (Aspinal & Crouch, 2003:26).

Strategi pemerintah yang mengkombinasikan hard power dan soft power

dalam waktu yang bersamaan ternyata memang membuahkan hasil. Dapat dikatakan,

pendekatan kombinasi seperti ini, pada tingkat tertentu, telah “memaksa” GAM untuk

mau berunding lagi. Hal ini terlihat dari kesediaan GAM untuk berunding kembali

dengan Pemerintah Pusat untuk yang kedua kalinya. Pada 9 Desember 2002 tercapai

Page 47: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

37

kesepakatan Cessation of Hostilities Agreementi/COHA, yang isinya antara lain

mengatur tentang demiliterisasi kedua belah pihak, penyaluran bantuan kemanusiaan

dan pembangunan kembali fasilitas yang rusak akibat perang. Namun, kesepakatan

COHA ini juga tidak bertahan lama dikarenakan kedua belah pihak masing-masing

memiliki interpretasi tersendiri terhadap COHA.

Perbedaan interpretasi seperti ini membuat pelaksanaan di lapangan menjadi

sulit, sehingga mudah memancing kedua belah pihak kembali melakukan kekerasan.

Kesulitan implementasi ini diperparah lagi oleh tidak singkronnya sikap antara aparat

di lapangan dan elit TNI/Polri maupun antar petinggi TNI/Polri sendiri serta

minimnya dukungan politik dari militer (Tempo, 5 Juli 2009:66).

Presiden Megawati akhirnya menandatangani darurat militer di Aceh pada 19

Mei 2003. Hal ini yang mengawali hard power dalam resolusi konflik Aceh.

Keberanian Presiden Megawati dalam menerapkan darurat militer ini disebabkan oleh

dua hal. Pertama, pemerintahannya merasa sudah menunjukkan kepada khalayak

Indonesia dan dunia internasional bahwa Pemerintah sudah cukup banyak member

kesempatan kepada GAM untuk merundingkan kembali tuntutan merdeka dengan

menerima otonomi yang sudah sangat luas, namun GAM tidak menunjukkan tanda-

tanda untuk melepas tuntutan kemerdekaannya. Kedua, Megawati merasa “aman”

secara politik dengan keputusan darurat militernya karena keputusan tersebut

didukung oleh TNI/Polri, DPR, serta opini publik dan media massa (Aspinal &

Crouch, 2003:45).

Page 48: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

38

Perubahan pendekatan dalam resolusi konflik Aceh menemukan momentum

baru ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) memenangi

Pemilu Presiden pada 2004. Secara umum dapat dikatakan bahwa selama era SBY-

JK, resolusi konflik Aceh dilakukan dengan soft power atau dengan cara damai.

Setidanya ada dua faktor yang mendorong digunakannya soft power selama era SBY-

JK.

Pertama, faktor politik. Pemilu Presiden 2004 adalah pemilu presiden pertama

dalam sejarah politik Indonesia yang dilakukan secara langsung oleh rakyat. Naiknya

SBY-JK ke tampuk kekuasaan melalui pemilu langsung menandai mulainya era baru

dalam politik nasional Indonesia, yaitu sistem politik yang lebih demokratis. Sistem

politik yang demokratis ini memberi pengaruh yang signifikan dalam cara

Pemerintahan SBY-JK menyikapi konflik Aceh. SBY-JK yang terpilih melalui proses

demokrasi langsung menunjukkan sikap politik yang lebih mengedepankan cara-cara

damai dalam menyelesaikan konflik.

Kedua, faktor personal, yaitu terkait dengan sikap politik SBY-JK secara

pribadi dalam melihat konflik Aceh. Dimulainya pendekatan soft power dalam

resolusi konflik Aceh didorong oleh kenyataan yang diyakini SBY-JK yang percaya

bahwa konflik Aceh hanya bisa diselesaikan melalui dialog dan perundingan

(Aspinal, 2005:66).

E. Upaya Perdamaian Dari Crisis Management Initiative

Sejak berlangsungnya pernyataan Keadaan Bahaya oleh Megawati seperrti

yang dinyatakan di atas, sekitar satu tahun lebih setelah itu, lebih tepatnya 25

Page 49: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

39

Desember 2004 terjadi bencana gempa dan Tsunami di Aceh yang menggemparkan

dunia internasional yang menyebabkan sekitar 230.000 jiwa meninggal dunia,

36.786 jiwa hilang, dan 174.000 jiwa tinggal di tenda pengungsian. Sekitar 120.000

rumah hancur, 800 km jalan dan 260 jembatan rusak, 639 fasilitas kesehatan hancur

serta 2.224 sekolah hancur. Sejak peristiwa itu pula organisasi-organisasi

international mulai masuk ke Aceh untuk memberikan bantuan kepada korban

Tsunami. Walaupun pada awalnya perhatian dunia internasional lebih tertuju kepada

bantuan kemanusiaan, akan tetapi lama kelamaan dialihkan kepada bantuan secara

politik, yaitu mengusahakan perdamaian antara RI dan GAM yang berkonflik selama

kurang lebih 30 tahun (Kawilarang, 2010:177).

Adapun salah satu organisasi internasional yang turut memberikan bantuan

baik sosial ataupun politik di Aceh adalah Uni Eropa. Kontribusi Uni Eropa terhadap

proses perdamaian Aceh, telah dimulai sejak terjadinya bencana Tsunami. Dalam

kurun beberapa jam setelah terjadinya Tsunami, Uni Eropa segera merespon dengan

memberikan bantuan darurat, disusul beberapa hari kemudian dengan bantuan

tambahan untuk kesehatan dasar, sistem peringatan dini epidemik dan bantuan

psikososial bagi para korban. Sampai Januari tahun 2006, Komisi Eropa telah

menyediakan dana sebesar 60 juta Euro untuk bantuan kemanusiaan Aceh (Pardo,

2012).

Program bantuan kemanusiaan ini dilanjutkan dengan komitmen Komisi

Eropa dan negara anggota Uni Eropa untuk mendukung terciptanya perdamaian dan

pembangunan Aceh setelah konflik yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Page 50: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

40

Komisi Eropa dan negara-negara anggota Uni Eropa masing-masing telah

menjanjikan sebesar 285 juta Euro dan 670 juta Euro untuk digunakan sebagai

bantuan kemanusiaan, rekonstruksi dan proses perdamaian di Aceh (Pardo, 2012).

Dana tersebut antara lain diberikan kepada CMI (Crisis Management Initiative) untuk

membiayai perundingan damai di Helsinki antara Pemerintah RI dan GAM.

CMI adalah sebuah lembaga independen yang mempunyai misi meningkatkan

kapasitas manajemen komunitas internasional untuk pencegahan krisis dan

melakukan rehabilitasi pasca konflik. Dalam mediasi konflik Aceh ini dalam catatan

yang diterbitkan oleh CSIS oleh Hamid Awaluddin (2008), baik GAM maupun

Pemerintah RI yang yang sedang bersengketa bersama-sama sepakat untuk menunjuk

CMI sebagai mediator dalam proses perdamaian. Negosiasi yang menjadi pusat

perhatian internasional ini dilakukan dalam lima putaran yang terpisah selama

delapan bulan.

Setelah melalui proses negosiasi yang panjang, pada 15 Agustus

ditandatanganilah Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) di

Helsinski yang menghasilkan kesepakatan sebagai berikut ; a) Penyelenggaraan

Pemerintahan Khusus di Aceh, b) Menyelenggarakan Hak Azasi Manusia, C)

Amnesti dan Reintegrasi Mantan Kombatan ke dalam Masyarakat, d) Pengaturan

Keamanan, e) Pembentukan Misi Monitoring Aceh, f) Penyelesaian Perselisihan.

Salah satu langkah mendesak yang dilaksanakan seusai ditandatanganinya

MoU Helsinski adalah pembentuan Aceh Monitoring Mission (AMM) atau Misi

Pemantau Aceh. AMM mendapat mandat untuk memantau pelaksanaan komitmen

Page 51: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

41

para pihak yang bersepakat dalam MoU Helsinski. Dalam MoU Helsinski pasal 5

ayat 1 disebutkan

“Misi Pemantau Aceh (AMM) akan dibentuk oleh Uni Eropa dan Negara-

negara ASEAN yang ikut serta dengan mandat memantau pelaksanaan

komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini.”

Sebagai wujud kegembiraan terhadap perundingan damai, warga Aceh

melakukan pawai keliling sambil memukul rapa-i-pase sebagai simbol perang telah

dihentikan, sementara mantan anggota GAM melaukan konvoi keliling Aceh dengan

menggunakan kendaraan roda dua. Dari pihak pemerintah, meski penarikan pasukan

atau aparat keamanan non-organik dilakukan satu bulan setelah Nota Kesepahaman

ditandatangani, penarikan pasukan dilakukan lebih cepat bahkan sebagian telah

dipulangkan sebelum Nota Kesepahaman ditandatangani. Demikian juga dengan

pihak GAM. Puluhan anggota GAM memutuskan untuk turun gunung terlebih dahulu

begitu mendengar kesepakatan Nota Kesepahaman ditandatangani meskipun perintah

demobilisasi dilaksanakan tanggal 15 September 2005.

Page 52: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

42

BAB III

Aceh Monitoring Mission

A. Profil Aceh Monitoring Mission

Aceh Monitoring Mission (AMM) merupakan misi sipil yang terdiri dari para

pemantau dari Negara-negara Uni Eropa dan Negara-negara ASEAN serta Norwegia

dan Swiss. Sesuai dengan MoU Helsinski Pasal 5 butir 8, Anggota-anggotanya tidak

dipersenjatai dan terdiri dari orang-orang yang dianggap memiliki keahlian dan

kompetensi beragam yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas dalam misi

ini. Kendati misi sipil, bukan berarti AMM menolak keanggotaan militer. Anggota

yang memiliki keterkaitan dengan teknis kemiliteran.

AMM memiliki perbedaan dengan lembaga monitoring yang dibentuk Henry

Dunant Centre (HDC), untuk memantau implementasi damai, HDC membentuk Joint

Security Commitee (JSC) yang memiliki tugas : a) memformulasikan proses

implementasi kesepakatan. b) memonitor situasi keamanan di Aceh. c) melakukan

investigasi secara penuh terhadap kekerasan keamanan. d) memperbaiki situasi

keamanan dan memberikan sanksi. e) meyakinkan tidak adanya kekuatan paramiliter

baru. f) mendesain dan mengimplementasikan proses demiliterisasi. Struktur dari JSC

adalah pejabat-pejabat senior yang ditunjuk sebagai wakil Pemertintah dan GAM dan

seorang pihak ketiga (HDC) yang disetujui kedua belah pihak. Kemudian untuk

memutuskan perselisihan yang muncul di lapangan, dibentuk Joint Council (JC) yang

terdiri atas wakil-wakil senior Pemerintah dan GAM dan juga pihak ketiga (HDC).

Page 53: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

43

Berdasarkan pengalaman sebelumnya dari hasil HDC, Marti Ahtisari

memasukkan AMM dalam kesepakatan damai yang harus direalisasikan dan

menjadikan Uni Eropa sebagai lembaga monitoring yang juga mengikutsertakan

ASEAN. Karena itu kemudian dalam Nota Kesepahaman damai dibentuk kerjasama

Eropa – ASEAN sebagai pihak yang akan memonitor kesepakatan damai di Aceh.

Bentuk kerjasama tersebut dicantumkan dalam artikel 5 dalam Nota Kesepahaman

antara Pemerintah RI dan GAM.

Kerjasama yang terjalin antara Uni Eropa dan ASEAN dinilai sebagai sesuatu

hal yang tidak lazim, tetapi terbukti efektif (Grevi, 2005:5). Namun sebenarnya,

keterlibatan ASEAN harusnya dilihat sebagai institusi regional antara Negara-negara

di wilayah Asia Tenggara dan Indonesia adalah salah satu anggotanya. Keterlibatan

Uni Eropa karena ASEAN memiliki konsep kerjasama ASEAN Community Security

dengan beberapa negara, diantaranya Uni Eropa.

AMM memiliki mandat yang tercantum dalam MoU Helsinki pasal 5.2 yaitu

untuk : a) memantau demobilisasi GAM dan decommissioning persenjataannya, b)

memantau relokasi tentara dan polisi non-organik, c) memantau reintegrasi anggota-

anggota GAM yang aktif ke dalam masyarakat, d) memantau situasi hak asasi

manusia dan memberikan bantuan dalam bidang HAM, e) memantau proses

perubahan peraturan perundang-undangan, f) memutuskan kasus-kasus amnesti yang

disengketakan, g) menyelidiki dan memutuskan kasus-kasus amnesti yang

disengketakan, h) menyelidiki dan memutuskan pengaduan dan tuduhan pelanggaran

Page 54: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

44

terhadap MOU Helsinski, i) membentuk dan memelihara hubungan dan kerjasama

yang baik dengan para pihak.

Sesuai dengan mandat yang terdapat dalam MoU Helsinki, AMM seharusnya

sudah berada di Aceh sejak hari pertama MoU Helsinki diberlakukan yaitu pada

tanggal 15 Agustus 2005. Namun, karena ada keterlambatan dari Uni Eropa, AMM

baru berada di Aceh secara resmi pada tanggal 15 September 2005. Misi ini

berlangsung dari 15 september 2005 hingga 15 Juni 2006 (aceh-mm.org), dan

kemudian diperpanjang oleh Uni Eropa hingga pelaksanaan Pemilihan kepada daerah

(Pilkada), namun tidak melebihi 15 September 2006, seperti yang ditetapkan dalam

pertemuan Komisi Uni Eropa di Brussels, Kamis, 11 Mei 2006 (Kompas, 2006).

Namun terkait dengan tertundanya pelaksaan Pilkada, tugas AMM akhirnya

diperpanjang hingga 15 Desember 2006 (aceh-mm.org).

B. Struktur AMM

AMM diketuai oleh seorang warganegara Belanda, Pieter Feith. Anggota

AMM terdiri dari 220 orang, 120 orang dari Eropa dan sisanya dari Negara-negara

ASEAN (Brunei Darussalam, Malaysia, Philipina, Singapura, dan Thailand). Jumlah

total staf AMM adalah 231 orang. Ketua AMM dibantu oleh tiga deputi, masing-

masing dari Thailand, Finlandia dan India. Kepala staf AMM berasal dari Eropa,

sementara deputinya Philipina. Secara umum, struktur AMM, seperti departemen atau

unitdikepalai oleh anggota dari negara-negara Eropa dengan deputi dari negara

ASEAN. Penunjukan anggota dari negara Eropa debagai kepala unit atau departemen

Page 55: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

45

dimaksudkan sebagai upaya untuk menghadirkan rasa kepercayaan, terutama dari

pihak GAM, terhadap lembaga AMM. Pembagian kerja ini menunjukkan adanya

komitmen dan kerjasama yang baik antara Eropa dan ASEAN (Grevi, 2008). Untuk

jelasnya lihat tabel dibawah ini.

Tabel III.B.1 Personel Internasional di AMM

Ketua AMM didampingi empat penasehat, meliputi penasehat politik,

hukum, penasehat khusus dan seorang yang memiliki tanggung jawab sebagai liaison

dengan Presiden Uni Eropa. Departemen yang paling luas adalah departemen

operasional yang bertugas untuk menyusun segala laporan dan analisa kejadian di

ASEAN

Brunei 20

Malaysia 20

Philipina 17

Singapura 15

Thailand 21

Total 93

Eropa

Austria 3

Denmark 8

Finlandia 15

Perancis 5

Jerman 11

Irlandia 1

Italia 1

Lithuania 2

Belanda 9

Spanyol 10

Swedia 25

Ingggris 9

Uni Eropa 2

Norwegia 4

Swiss 2

Total 107

Page 56: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

46

lapangan. Departemen lainnya adalah departemen decommisioning, informasi dan

media, keamanan, kesehatan, juga pelayanan kesekretariatan yang mencakup

financial, accounting, dan logistic.

Jumlah pemantau AMM sekitar 80 orang pemantau internasional tidak

bersenjata dimana hampir 2/3 diantaranya berasal dari Negara-negara Uni Eropa,

Swiss, dan Norwegia. Selain itu sekitar 1/3 anggota pemantau berasal dari lima

negara ASEAN. AMM sendiri dalam situs resminya menegaskan bahwa merea

berstatus imparsial dan tidak memihak ataupun mewakili pihak manapun (Occasional

paper, 2005:28)

Komposisi struktural pimpinan di kantor pusat AMM sebagai berikut ;

Pieter Feith (Head of Mission), Lieutenant General nipat Thonglek (Principal Deputy

Head of Mission), Mayor General Rozi Baharom (Principal Deputy Head of

Mission), Mayor General Jaakko Oksanen (Deputy Head of Mission), Renata Tardioli

(Deputy Head of Mission for Amnesty, Reintegration, and Human Right), dan Justin

Davies (Chief of Staff) (AMM, 2006).

AMM bermarkas di Banda Aceh dan membentuk kapabilitas pemantauan

secara geografis melalui 11 kantor wilayah di beberapa penjuru provinsi Aceh, yaitu :

Sigli, Bireun, Lhokseumawe, Langsa, Tapak Tuan, Blang Pidie, Meulaboh, Lamno,

Banda Aceh, Kutacane dan Takengon.

Page 57: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

47

C. Tugas dan mandat AMM

AMM memainan peran yang sangat penting dalam membangun rasa

percaya antara pihak-pihak yang terlibat konflik di Aceh, sebagai lembaga yang

memiliki otoritas tinggi untuk menjaga konsistensi pihak-pihak yang berseteru untuk

tetap komitmen pada kesepakatan yang telah ada. Keberadaannya sangat penting

karena adanya transisi dari situasi konflik menjadi damai memerlukan waktu panjang

dan penuh dengan resiko (Grevi, 2005:27).

Tugas utama AMM dalam MoU Helsinki disebutkan membentuk dan

memelihara hubungan dan kerjasama yang baik dengan para pihak yang terlibat

dalam konflik, membantu pemerintah Indonesia dan GAM dalam melaksanakan Nota

Kesepahaman. Mandat yang diberikan kepada AMM yang tercantum dalam Nota

Kesepahaman meliputi demobilisasi dan decommissioning GAM, relokasi aparat

keamanan nonorganik, reintegrasi mantan anggota GAM ke dalam masyarakat,

pemantauan HAM, memantau transisi sosial politik yang diakibatkan adanya

kesepakatan damai serta penyelesaian sengketa.

Hal-hal lain yang tidak termasuk dalam mandat AMM sesuai dengan Nota

Kesepahaman, AMM tidak mengambil peran dalam hal negosiasi. Jika hal ini

dibutuhkan selama proses pelasanaan, adalah tanggung jawab dari kedua belah pihak

dan fasilitator awal yaitu Crisis Management Initiative (CMI).

Page 58: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

48

BAB IV

Peran Aceh Monitoring Mission (AMM)

dalam Upaya Peacebuilding di Aceh

Seperti yang telah dijelaskan dalam latar belakang masalah, bahwa salah satu

langkah mendesak yang dilaksanakan seusai ditandatanganinya MoU Helsinski

adalah pembentukan Aceh Monitoring Mission (AMM) atau Misi Pemantau Aceh.

AMM mendapat mandat untuk memantau pelaksanaan komitmen para pihak yang

bersepakat dalam MoU Helsinski. Dalam MoU Helsinski yang tertuang dalam pasal

5 ayat 1 yaitu : “Misi Pemantau Aceh (AMM) akan dibentuk oleh Uni Eropa dan

Negara-negara ASEAN yang ikut serta dengan mandat memantau pelaksanaan

komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini.”.

A. Demobilisasi dan Decommissioning GAM

Berdasaran MOU Helsinski, GAM harus melakukan demobilisasi 3000

pasukannya yang telah dilaksanakan pada tanggal 27 Desember 2005 dimana GAM

secara resmi membubarkan sayap militernya (Teuntara Nanggroe Aceh/TNA).

Berdasarkan MOU juga, GAM diharuskan untuk menyerahkan 840 pucuk senjata

yang pelaksanaannya dilakukan mulai satu bulan setelah MOU ditandatangani (15

September 2005) sampai dengan 31 Desember 2005 (MOU Helsinski, pasal 4.2-4.3).

Jumlah senjata termasuk berdasarkan hasil perhitungan dari kedua belah pihak,

Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan GAM. Setelah dilakukan Cross-check antara

Page 59: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

49

laporan intelegen TNI dengan laopran GAM, secara mengejutkan, menurut Hamid

Awaluddin (2006), perbedaannya hanya 14 pucuk senjata saja.

Inilah pertama kali dalam sejarah konflik Aceh, GAM bersedia menyerahkan

senjata. Bagi GAM, penyerahan senjata sebagai bagian dari isi Nota Kesepahaman

merupakan sebuah pengorbanan besar. Karena tanpa senjata, mereka tidak bisa

melakukan penyerangan ataupun mempertahankan diri dari serangan TNI. Ini

sekaligus menandakan terjadinya sebuah perubahan strategi perjuangan dari

perjuangan senjata menjadi perjuangan politik seperti apa yang dikatakan oleh Abrar

Muda, Mantan Panglima GAM Wilayah Lhok Tapak Tuan yang kini menjadi Ketua

Komite Peralihan Aceh (KPA) Tapak Tuan “kami tidak butuh lagi senjata,

seandainya hak-hak demokrasi dan politik kami tersalurkan dengan baik” (Dharmi,

2010:79)

Juru Bicara Militer GAM Sofyan Dawood juga mengatakan “Kalau tidak ada

senjata lagi, maka TNA akan dibubarkan, sementara organisasi GAM tetap, karena

TNA dan GAM tidak sama” (Kompas, 2005).

Proses ini sempat menimbulkan ketegangan diantara pihak pemerintah RI dan

GAM, karena dalam MOU tidak disebutkan dengan jelas proses dan mekanisme

penyerahan senjata GAM. Hal ini kemudian memunculkan penafsiran dari masing-

masing pihak. Pihak TNI meminta agar proses penyerahan senjata dilakukan secara

terbuka, tidak hanya melibatkan AMM dan GAM saja, dan TNI akan menerima

laporan. Permintaan TNI didasarkan pada MoU dimana Pemerintah Indonesia

Page 60: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

50

melaukan pengumpulan semua senjata ilegal, amunisi dan alat peledak yang dimiliki

setiap kelompok dan pihak-pihak ilegal manapun (MoU Helsinski, 4:9). TNI

menuntut agar tetap harus ada wakil TNI utnuk memastikan proses berjalan sesuai

prosedur. Perbedaan ini deselesaikan di tingkat COSA Meeting di AMM, disepakati

bahwa penyerahan senjata hanya dilakukan secara tertutup antara GAM dan AMM

dengan alasan untuk menghindarkan adanya kesalahpahaman yang memicu

kontroversi. Namun disepaati bahwa sebelum dihancurkan, senjata-senjata tersebut

lebih dahulu harus diverifikasi oleh TNI. Pada tahap ini AMM mendorong dan

memfasilitasi kedua pihak untuk menyelesaikan perbedaan pendapat antara pihak

yang berseteru. Disamping itu, ada suatu pemahaman yang sama diantara kedua pihak

untu mencari jalan keluar terhadap permasalahan yang tidak diatur dalam Nota

Kesepahaman (Seumike, 2007:14). Penyerahan senjata GAM ditangani empat tim

khusus AMM yang bertugas mengambil senjata di titik tertentu dan

mengumpulkannnya untuk kemudian didokumentasi, diverifikasi oleh wakil

Pemerintah RI dan dimusnahkan.

Tabel IV.A.1 Statistik perlucutan senjata GAM

Tahap Diserahkan

oleh GAM

Dikualifikasi Diterima Dipermasalahakan oleh

Pemerintah Indonesia

Jumlah senjata yang

tidak di permasalahkan

I (Sept, 05) 279 36 243 17 226

II (Okt. 05) 291 58 233 35 198

III (Nov. 05) 286 64 222 15 207

IV ( Des. 05) 162 20 242 4 138

TOTAL 1018 178 840 71 769

Sumber : http//www.aceh-mm.org/indo/headquarter_menu/decom.html

Page 61: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

51

Tahap pertama penyerahan senjata dibagi dalam tiga hari yaitu tanggal 15-17

September 2005 di tiga tempat berbeda yaitu Aceh Besar, Bireun, dan Pidie. Tahapan

penatikan senjata dilakuan seiring dengan penarikan pasukan TNI non-organis dari

Aceh. Pada tahap awal, GAM diharapkan menyerahkan 210 pucuk senjata atau

sebesar 25% dari total 840 pucuk senjata yang disepakati dalam MoU. Berdasarkan

laporan AMM, hingga hari ketiga penyerahan senjata tahap pertama, GAM telah

menyerahkan senjata sebanya 279 pucuk senjata. Dari jumlah itu setelah diverifikasi,

yang memenuhi penilaian standar sebanyak 226 pucuk senjata. Jumlah tersebut lebih

banyak 16 pucuk dari jumlah senjata yang ditargetkan semula yaitu 210 (Kompas,

2005).

Senjata-senjata tersebut kemudian diserahkan GAM kepada Misi Pemantau

Aceh (AMM). Sebelum dimusnahkan, seluruh senjata tersebut lebih dahulu diperiksa

ondisinya oleh AMM dan diverifikasi keabsahannya oleh TNI. Berdasarkan penilaian

TNI, beberapa senjata dianggap tidak lolos verifikasi karna dianggap senjata rakitan

atau karena tidak berfungsi. Mengenai senjata rakitan, GAM menolak keberatan TNI

karena tidak ada klausul dalam MoU yang melarang senjata rakitan.

Walau demikian, jumlah senjata yang harus diserahkan GAM ini memiliki

persoalan. Berdasarkan data intelegen dari Badan Intelejen Nasional (BIN),

persenjataan yang dimiliki GAM jauh lebih besar dari yang diisyaratkan MoU,

mencapai dua kali lipat atau sekitar 1600 pucuk senjata. Dalam Rapat dengar

pendapat antara BIN dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beredar informasi bahwa

AMM sendiri menghitung GAM memiliki senajta sekitar 1400 pucuk (Kompas,

Page 62: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

52

2005). Polisi juga menduga GAM masih memiliki banyak senjata yang disimpan di

berbagai tempat terutama ditanam di bawah tanah. Dugaan itu muncul berkenaan

dengan ditemukannya 12 pucuk senjata laras panjang dari dalam tanah di Ulee Lheu,

Kecamatan Meuraksa, Banda Aceh yang dibungkus dalam sebuah kantong terpal

kedap air dan disimpan dalam lubang berlapis semen (Kompas, 2005).

Peran AMM dalam mengumpulkan dan memusnahkan senjata di lapangan

Blang Padang relatif berjalan dengan baik. Walaupun sebelumnya terjadi perdebatan

baik dalam tataran penafsiran Nota Kesepahaman mengenai keterlibatan TNI secara

langsung maupun tidak serta perbedaan penilaian mengenai layak dan tidaknya

senjata yang dimusnahkan masuk dalam hitungan, secara keseluruhan prosesnya

berjalan dengan lancar.

Yang paling mungkin menggangu kelancaran proses ini yaitu Menteri

Pertahanan GAM yakni Zakaria Saman yang dikenal juga dengan sebutan Karim

Bangkok, seorang pemimpin yang memiliki pengaruh sangat kuat di kalangan militer

GAM. Ia bersikeras bahwa dalam Nota Kesepahaman menyebutkan GAM hanya

menyerahkan lebih dari 856 pucuk senjata, menurut Zakaria berarti GAM telah

memenuhi janjinya, dengan maupun persetujuan AMM atau TNI, dan tidak perlu

menyerahkan lebih banyak senjata lagi (ICG, 2005:1).

Peran AMM dalam proses ini adalah menjembatani perbedaan penafsiran

antara TNI dan GAM tentang mekanisme dan tempat pengumpulan senjata serta

penilaian kelayakan persenjataan itu sendiri. Ketentuan bahwa senjata yang

Page 63: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

53

diserahkan haruslah yang masih layak digunakan dan merupakan buatan pabrik, buan

rakitan sendiri, adalah hasil diskusi dari Komisi Pengaturan Keamanan AMM. Dalam

proses ini, AMM dapat dikatakan berhasil melakukan pendekatan kepada pihak TNI

dan GAM

B. Penarikan TNI dan POLRI dari Aceh

Sejalan dengan penyerahan senjata GAM, Pemerintah RI diharuskan menarik

semua elemen tenrata dan polisi non-organik dari Aceh yang akan dilaksanakan satu

bulan setelah penandatanganan Nota Kesepahaman, yaitu 15 September 2005.

Penarikan pasukan TNI/POLRI non-organik dilakukan dalam emapt tahap sejalan

dengan penyerahan senjata oleh GAM. Dengan penarikan pasukan non-organik itu,

jumlah personel aparat keamanan baik TNI maupun POLRI yang berada di Aceh

adalah sejumlah 14.700 personel TNI dan 9.100 personel POLRI (MoU Helsinski,

4.5-4.7).

Sebagai wujud komitmen, pemerintah menunjukkan keseriusannya dalam

tahap pelaksanaan penarikan pasukan ini. Penarikan dilakukan jauh sebelum jatuhnya

tanggal pelaksanaan

Tabel IV.B.1 Statistik penarikan Pasukan Non-organik TNI/POLRI

Tahapan TNI POLRI TOTAL

I (September ‟05) 6.671 1.300 7.971

II (Oktober ‟05) 6.097 1.050 7.147

III (November ‟05) 5.596 1.350 6.964

IV (Desember ‟05) 7.628 2.150 9.778

TOTAL 25.890 5.791 31.681

Sumber: http://www.aceh-mm.org/indo/headquarter_menu/decon.htm

Page 64: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

54

Pada tahap pertama, pada tanggal 15 Agustus 2005, pemerintah memulangkan

703 personel polisi. Menyusul berikutnya 1.300 personel Brigade Mobil pada tanggal

23 dan 25 Agustus 2005 (Kompas, 22 Agustus 2005). Demikian juga TNI

mempercepat proses penarikan pasukan non-organik dari Aceh. Penarikan pasukan

TNI tahap pertama dimulai hari minggu, 18 September 2005 di Pelabuhan Krueng

Geukueh, Lhokseumawe. Sekitar 800 personel TNI dari Komando Daerah Militer

(KODAM) Bukit Barisan dipulangkan (Kompas, 19 September 2005). Kemudian

sekitar 6.000 anggota TNI yang terdiri dari 10 batalyon atau 25% dari kekuatan TNI

di Aceh direncanakan keluar dari Aceh paling lambat tanggal 25 September 2005,

dua minggu lebih cepat dari agenda yang telah dijadwalkan semula yaitu 7 Oktober

2005. Pelepasan tersebut dipimpin oleh Panglima KODAM Iskandar Muda, Mayor

Jendral Supiadin AS, dan dihadiri ketua AMM Pieter Feith serta pelaksana harian

Senior Representative pemerintah RI Mayor Jendral Bambang Dharmono dan Senior

Representative GAM Irwandi Yusuf (Kompas, 26 September 2005). Jumlah

keseluruhan TNI non-organk yang direlokasi dalam empat tahap adalah 25.890

personel dan jumlah polisi non-organik sebanyak 5.791 personel.

C. Amnesti

Paling lambat 15 hari setelah MoU ditandatangani, pemerintah diwajibkan

memberikan amnesti kepada anggota GAM. Berkaitan dengan hal tersebut,

pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 2005 tentang

Amnesti dan Abolisi untuk GAM pada hari Selasa, tanggal 30 Agustus 2005.

Page 65: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

55

Menurut Pemerintah, sekitar 1877 GAM yang menjadi tahanan atau

narapidana akan diberikan amnesti. Dari sejumlah orang tersebut, 1.405 terdiri dari

1.219 narapidana dan 186 tahanan yang berada di Aceh. Sisanya adalah narapidana

yang ditahan di sejumlah Lembaga Permasyarakatan (LP) di luar Aceh, seperti di

Bengkulu (3 orang), LP Sukamiskin Jawa Barat (74 orang), Jawa Barat (224 orang)

dan Jawa Timur (171 orang) (Kompas,9 Agustus 2005). Mayoritas diantara mereka

divonis 15 sampai 16 tahun. Pemerintah juga secara otomatis memberikan amnesti

kepada semua anggota GAM lain yang berada di berbagai lokasi di luar tahanan.

Berapa tepatnya jumlah tanahan GAM tidak pasti. Jika memegang klaim TNI,

setahun setelah diberlakukannya darurat militer di Aceh yang telah menahan 2000

anggota GAM (Huber, 2004:2), maka hitungan jumlah tahanan GAM jauh melebihi

1877 orang seperti pernyataan pemerintah melalui Hamid Awaludin. Tidak menutup

kemungkinan apa yang dinyatakan TNI tersebut hanyalah kalim sebagai strategi

untuk melumpuhkan semangat juang GAM. Hal ini diperlihatkan dengan tidak

adanya data yang mendukung di lapangan bahwa para pejuang tersebut semuanya

berada di dalam tahanan.

Sejak penandatanganan Nota Kesepahaman di Helsinski pada tanggal 15

Agustus, 1.789 tahanan telah dibebaskan. Sebagian besar telah dilepaskan pada

tanggal 31 Agustus 2005 sebagai konsekuensi langsung dari pasal Nota Kesepahaman

tentang Amnesti. Pada tanggal 17 Agustus 2005 selang dua hari setelah

penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinski, 298 anggota GAM yang berada

dalam tahanan pemerintah dibebaskan dengan pemberian amnesti tahunan dalam

Page 66: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

56

rangka Hari Kemerdekaan Indonesia, ini juga termasuk para anggota GAM yang

ditahan di dalam daerah dan yang telah dipindahkan ke rumah-rumah tahanan di

Pulau Jawa (AMM, 2005). Ada insiden yang cukup menarik pada saat pembebasan

hendak dilakukan. Terjadi keributan di sebuah rumah tahanan Jantho antara aparat

kepolisian dengan anggota GAM. Saat itu aparat kepolisian meminta dengan paksa

anggota GAM untuk menurunkan atribut GAM berupa bendera, namun ditolak oleh

anggota GAM tersebut, aparat pun kemudian mengeluarkan senjata api. Insiden ini

kemudian menimbulkan kekhawatiran diantara anggota GAM mengenai keselamatan

mereka ketika keluar penjara. Lebih menarik lagi, insiden ini justru terjadi ketika

Nota Kesepahaman baru dua hari ditandatangani (Kompas, 18 Agustus 2005).

Tentang status tahananan GAM secara teratur didiskusikan pada pertemuan-

pertemuan antara kedua belah pihak pada COSA Meeting yang didorong dan

difasilitasi oleh AMM. Persoalan kunci pada kasus-kasus tersebut adalah

ketidaktentuan apakah mereka dituduh berhubungan dalam kegiatan GAM atau tidak.

Hal ini terkait dengan laporan GAM yang menerangkan bahwa masih ada 91

anggotanya yang belum dibebaskan dari penjara dan diberi amnesti. Menurut

pemerintah, mereka tidak dilepaskan karena vonis hukuman yang dijatuhkan kepada

mereka adalah vonis pidana.

Menurut pemerintah, amnesti hanya akan diberikan kepada mereka yang

terlibat dalam aktivitas politik saja. Amnesti tidak diberikan kepada anggota GAM

yang terlibat atau dipenjara karena kasus kriminal atau pidana. Pemilahan apakah

seorang anggota GAM itu melakukan tindak pidana atau kriminal atau aktivitas

Page 67: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

57

politik sangat kabur, dimana tindakan pidana bisa saja terjadi karena dorongan

politik. Sebagai contoh, seorang anggota GAM melakukan pemerasanl, perampokan

atau penculikan mungkin didasari oleh motif politik agar mereka mendapatkan uang

atau keuntungan politik lain yang akan digunakan untuk berjuang melawan

pemerintah.

Sebagai contoh kasus yang dipermasalahan yaitu kasus Teuku Ismuhadi bin

Jafar, seorang mantan Komandan GAM untuk daerah Jabodetabek, yang saat ini

sedang menjalankan hukuman seumur hidup di Lembaga Permasyarakatan Cipinang,

atas tuduhan mendalangi pengeboman gedung Bursa Efek Jakarta pada tanggal 13

September 2000. Ismuhadi dan seorang pelaku pengeboman yang lain semula tidak

masuk dalam daftar yang menerima amnesti. Pemerintah berargumentasi bahwa

kasus tersebut adalah kasus kriminal ditunjang oleh fakta bahwa selama proses

persidangan, Ismuhadi terus menyangkal bahwa ia adalah anggota GAM. Para

pemimpin GAM juga menyangkal tuduhan bahwa mereka terlibat, dan menyatakan

bahwa mereka tidak pernah memperluas jangkauan perjuangan bersenjata mereka

diluat Aceh. Namun setelah Nota Kesepahaman ditandatangani, mereka

berargumentasi bahwa pengadilan tidak berlaku adil dan informasi telah diambil

paksa lewat penyiksaan (ICG, 2005:4).

Banyak anggota GAM yang dilaporkan kecewa dengan berlanjutnya

penahanan rekan-rekan mereka. Seorang anggota GAM di Bireun mengatakan rasa

kecewa tersebut dapat mendorong mereka melakukan tindakan kriminal. Seperti yang

terjadi di Dumai, Provinsi Riau pada tanggal 22 Oktober 2005, ketika lima orang

Page 68: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

58

bersenjata menyerang ke dalam penjara dan membebaskan dua orang anggota GAM,

yaitu Taufik Ismail dan Samiun Fuadi. Dalam aksi pengejaran, Fuadi mencoba

melemparkan granat ke arah polisi, tetapi ia kemudian tertembak dan tewas. Polisi

berhasil menangkap salah seorang dari lima penyerang, tetapi yang lain, termasuk

Taufik berhasil melarikan diri. Kapolresta Dumai mengatakan bahwa para penyerang

bersenjata tersebut berasal dari Aceh, tetapi tidak jelas apakah mereka anggota GAM

atau bukan. Salah seorang dari dua tahanan yang dibebaskan tidak termasuk dalam

anggota GAM yang ditahan, baik yang disiapkan oleh pemerintah maupun yang

disiapkan oleh GAM. Namun juru runding GAM, M Nur Djuli, mengatakan kejadian

tersebut sebagai insiden kriminal murni dan tidak ada hubungannya dengan GAM

karena menurutnya, sudah tidak ada lagi anggota GAM yang bersenjata (ICG,

2005:4).

Untuk menjelasna beberapa kasus, AMM memfasilitasi proses pembahasan

terkait perbedaan persepsi antara Pemerintah RI dan GAM tentang status tahanan

dengan mendatangkan mantan Hakim Swedia yang berpengalaman secara

internasional dalam menangani persoalan-persoalan amnesti (AMM, 2006).

D. Reintegrasi GAM

Setelah mendapatkan amnesti dan bebas dari penjara, para tahanan GAM

emudian diberi dana jatah hidup dan dipulangkan kembali ke Aceh bagi sebagian

mantan tahanan yang ditahan di luar Aceh. Tidak semua mantan tahanan atau

narapidana GAM yang mendapat amnesti kembali ke Aceh. Sebagian ada juga yang

Page 69: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

59

ingin menetap di daerah lain, seperti di kota-kota Pulau Jawa (Kompas,18 Agustus

2005).

Setelah pulang ke Aceh, mereka diharapkan dapat membaur dan berintegrasi

serta menjalani hidup layaknya warga masyarakat biasa. Untuk memperlancar proses

tersebut, pemerintah diwajibkan memberikan bantuan berupa jatah hidup, lahan

pertanian dan dana rehabilitasi bagi para mantan anggota GAM, serta memberikan

kemudahan dalam pencarian pencarian seperti yang tertulis dalam Nota Kesepahaman

pad artikel 3.2.3 – 3.2.5. Pemerintah kemudian menetapkan dana integrasi untuk jatah

hidup setiap mantan anggota GAM sejumlah Rp.5000,- perhari selama tiga samapai

enam bulan. Dana itu diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

tahun 2005 serta bantuan dari donatur. Dana sejumlah itu sama besarnya dengan dana

jatah hidup yang diberikan kepada masyarakat korban gempa dan gelombang

tsunami. Untk bantuan lahan pertanian, pemerintah merencanakan akan memberikan

bantuan lahan kepada setiap mantan anggota GAM masing-masing seluas 2 hektar.

Untuk keseluruhan, setidaknya dibutuhkan lahan seluas 40.000 hektar.

Menurut Jusuf Kalla (2005), pemberian kompensasi lahan seluas 40.000

hektar utnuk GAM masih dalam batas kewajaran karena mereka adalah orang yang

baru turun gunung, tidak mempunyai lahan dan pekerjaan, sementara untuk warga,

pemerintah sendiri pernah memberikan bantuan melalui program transmigrasi yang

jumlahnya mencapai puluhan ribu hektar dan biaya trilyunan rupiah (Kompas, 18

Agustus 2005).

Page 70: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

60

Fasilitas ekonomi dalam Nota Kesepahaman diperuntukkan bagi mantan

prajurit, tahanan yang mendapat pengampunan dan masyarakat sipil yang terkena

dampak dari konflik. Dana reintegrasi akan diatur dalam kewenangan administrasi

Aceh. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk memberikan fasilitas ekonomi

untuk mantan anggota GAM, sementara GAM akan menghentikan pergerakan 3000

anggotanya. Pendistribusian dana jatah hidup tahap pertama sebesar Rp.1,000,000 per

orang untuk 3000 mantan anggota GAM telah selesai pada tanggal 12 Oktober 2005,

sedangkan tahap kedua selesai pada tanggal 18 November 2005, bantuan tahap ketiga

dalam jumlah dan sasaran yang sama juga berhasil dituntaskan pendistribusiannya

pada tahun 2005. Lembaga International Organization for Migration (IOM) telah

memberikan dan mendistribusikan paket awal reintegrasi untuk mantan tahanan,

terdiri dari uang Rp. 2,000,000 dan sejumlah paket barang pribadi. Bantuan ini

diberikan kepada tahanan GAM pada saat keluar dari penjara. Dalam ketentuan

reintegrasi, paket tambahan senilai Rp. 1,500,000 akan diberikan setelah 90 hari dan

135 hari setelah keluar dari penjara (AMM, 2005). Kesemua tahapan bantuan

tersebut, berhasil dituntaskan pada tahun 2006.

Selain itu, kompensasi yang diberikan pemerintah kepada GAM dinilai tidak

adil. Ada tuntutan agar kompensasi tidak hanya diberikan kepada GAM, tetapi juga

pada warga lain yang justru kerap menjadi korban konflik. Riswanda Imawan (2005),

Guru Besar Ilmu Politik dari UGM menilai kompensasi untuk GAM terlalu besar,

sementara untuk TNI/POLRI sangat minim.

Page 71: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

61

Proses reintegrasi ini bukan perkara mudah bagi anggota GAM ataupun bagi

warga yang menerimanya, terutama pada tahun pertama proses damai berlangsung.

Beberapa mantan anggota GAM memang mudah berbaur dengan masyarakat. Tetapi

itu lebih dikarenakan mereka bukan anggota penuh GAM, melainkan anggota GAM

“part time” saja. Banyak pertanyaan tentang jaminan keamanan dan keselamatan bagi

anggota GAM yang turun gunung dan masyarakat yang menerimanya. Proses

reintegrasi GAM dalam masyarakat majemuk sperti di Aceh memang rumit. Tidak

semua warga dan daerah di Aceh dengan begitu mudah mau menerima dan

berintegrasi kembali dengan para mantan GAM, terutama di beberapa daerah yang

memiliki sejarah atau basis perlawanan yang kuat terhadap GAM seperti di

Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah yaitu Front Pembela Merah Putih

(FPMP), yang dipimpin oleh Misriadi, seorang petani kopi. Diperkirakan anggota

GAM yang memiliki sejarah konfrontasi dengan masyarakat dan aparat pemerintah

akan sulit kembali bergabung dengan masyarakat yang sering menjadi korban

konflik. Salah seorang tokoh FPMP, Safrisyah alias Buyung (2005), mengatakan

bahwa FPMP memiliki sekitar enam anggota di setiap desa dan mereka dalam

keadaan siaga apabila proses perdamaian gagal. Tetapi, ia mengatakan, FPMP juga

telah melakukan langkah perdamaian dengan para anggota GAM setempat ke tengah

masyarakat mereka, pada waktu Nota Kesepahaman ditandatangani (ICG, 2005:7).

Berbeda dengan yang disampaikan Buyung, para anggota FPMP justru

mengaku sulit untuk berdamai dengan GAM. Mereka akan cepat berbalik jika

berpapasan dengan mantan anggota GAM. Bahkan Sofyan Ali (2005), pemimpin

Page 72: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

62

kelompok ini mengatakan setelah empat bulan Nota Kesepahaman ditandatangani, ia

menolak undangan untuk berbuka puasa di markas Polri bersama dengan Darwis

Jeunieb, Komandan GAM wilayah Batee Iliek (ICG, 2005:7).

Di Aceh Utara, Satria Insan Kamil pemimpin Benteng Rakyat Anti Deparatis

(Berantas) telah maporkan beberapa tindak penyerangan terhadap anggotanya kepada

kantor AMM setempat (ICG, 2005:7). Saat itu, anggotanya Herman Sulaiman telah

diculik oleh para mantan anggota GAM dikecamatan Nisam, tetapi berhasil

melolosan ditri. Perwakilan GAM kepada AMM menyebut kasus Sulaiman sebagai

“masalah pribadi” antara anggota GAM dan Berantas di wilayah dimana Berantas

pernah membakar rumah-rumah setempat pada masa darurat militer. Beberapa

anggota Berantas merasa takut untuk embali ke daerah itu sekarang karena khawatir

akan tindakan balas dendam dari mantan anggota GAM yang telah kembali. Para

penduduk di Kecamatan Nisam mengatakan mereka belum pernah melihat anggota

Berantas setempat sejak Nota Kesepahaman ditandatangani (ICG, 2005:8).

Gangguan langsung dalam proses reintegrasi memang tidak terjadi, baik oleh

TNI maupun milisi. Tetapi mantan anggota GAM ini merasakan adanya intimidasi

dari pihak TNI dan milisi yang mengunjungi rumah mereka untuk memperkenalkan

diri dan menunjukan rasa persahabtan. Namun para mantan anggota GAM merasa

tidak nyaman dengan kunjungan tersebut. Hal ini disebabkan oleh anggota TNI yang

masih membawa persenjataan sedangkan mereka tidak ada lagi senjata (ICG,

2005:8).

Page 73: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

63

Di kasus yang lain, GAM telah mencoba untuk memperbaiki reputasinya

dengan cara memberantas praktek kemungkinan pajak perang. GAM menangkap

Muammar Khadafi yang mengaku anggota GAM yang tengah menarik pajak dan

kemudian menyerahkan Khadafi kepada pihak kepolisian untuk di proses. Menurut

Irwandi Yusuf (2005) perwakilan senior GAM di AMM, sejak penandatanganan Nota

Kesepahaman pajak naggroe telah dihapuskan dan siapapun yang masih memungut

pajak tak resmi berarti ia telah melakukan tindakan kriminal dan harus dilaporkan

kepada AMM (ICG, 2005:8).

E. Undang-undang Pemerintahan Aceh

Diantara sekian banyak tugas dan peran AMM, perumusan Rancangan

Undang-undang Pemerintahan Aceh mungkin tugas yang paling pelik dan

problematik karena banyaknya kepentingan yang bermain di dalamnya, terutama

berkaitan dengan peraturan atau undang-undang nasional. Wewenang yang diberikan

kepada AMM dalam hal ini adalah memantau proses perubahan perundang-undangan

(MoU Helsinski, artikel 5.2), yaitu perubahan perundang-undangan yang

memungkinkan kedua belah pihak untuk mengimplementasikan hasil kesepakatan

damai yang telah ditandatangani. Pemerintah Indonesia menyiapkan suatu Undang-

undang sebagai landasan pelaksanaan pemerintahan di Aceh pasca penandatanganan

Nota Kesepahaman. Banyak aktivis Aceh serta pihak lain yang terlibat dalam proses

perancangan undang-undang baru telah beberapa kali berkunjung ke Jakarta dalam

rangka meminta dukungan dari pemerintah dan masyarakat sipil serta melobi para

Page 74: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

64

pembuat untang-undang di DPR agar sesuai dengan harapan rakyat Aceh dan tetap

mengacu pada Nota Kesepahaman.

UUPA ini dimaksudkan untuk menggantikan UU Otonomi Khusus 2001,

yang mewakili posisi konsensus masyarakat Aceh. Pada tanggal 5 Desember 2005,

sebuah delegasi dari DPRD Aceh menyerahkan salinan draf yang dihasilkan dari

konsultasi yang luas dengan masyarakat Aceh yang berada di Aceh maupun yang

berada di daerah lain di Indonesia, kepada Ketua DPR dan DPD. Proses konsultasi

atas draf ini bermula pada pertengahan bulan September, ketika pejabat sementara

(Pjs) Gubernur Azwar Abubakar mengundang tiga Universitas di Aceh yakni

Universitas Syiah Kuala, Universitas Malikussaleh dan IAIN Ar Raniry, untuk

menyusun UU Otonomi versi mereka dengan mempertimbangkan ketentuan-

ketentuan dalam Nota Kesepahaman Helsinski. Setelah draf-draf ini digabungkan dan

diolah menjadi sebuah dokumen, Pjs Gubernur kemudian menyerahkan proses

selanjutnya kepada DPRD, yang dibulan Oktober membentuk sebuah Panitia Khusu

(Pansus) yang beranggotakan 18 orang untuk menyatukan dan memperbaiki isi

dokumen tersebut. Dibantu oleh beberapa ahli teknis dan dengan bantuan dana dari

program Partnership for Governance Reform dari UNDP (United Nation

Development Program), panitia khusus tersebut terlibat dalam proses konsultasi

hingga selama satu bulan bersama dengan GAM, para tokoh agama, LSM para dosen

dan para anggota Pemerintahan Daerah. Draf akhir yang berisi hingga 209 pasal

merupakan gabungan dari banyak dokumen yang disusun oleh GAM, masyakat

madani, dan kantor gubernur. Teuku Kamaruzzaman (2005), ketua tim draf dari

Page 75: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

65

GAM mengatakan GAM tidak mendukung ataupun menolak hasil terakhir draf, tetapi

ini sudah sangat menampung aspirasi rakyat (ICG, 2005:10-11).

Setelah melalui proses pembahasan dengan pengawalan yang cuup ketat dari

wakil masyarakat Aceh dari berbagai pihak (GAM, DPRD, dan LSM). UUPA

akhirnya dapat diselesaikan. Presiden kemudian mensahkan Undang Undang

Pemerintahan Aceh (UUPA) dengan nomor 11 tahun 2006. Undang-undang tersebut

adalah revisi baru yang diajukan pemerintah dan mendapat beberapa revisi dari

Dewan.

Menanggapi UUPA tersebut, ratusan mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa

menolak revisi yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan menuntut agar Undang-

undang yang disahkan harus mengacu pada Nota Kesepahaman dan draf Undang-

undang versi masyarakat Aceh. Para demonstran mengusung spanduk yang antara

lain tertulis „Pemerintah Pusat jangan Mengkhianati Aspirasi Rakyat Aceh‟ (Burdock,

2006:1). Sementara itu pihak GAM meminta pemerintah merevisi sejumlah pasal

dalam UUPA karena dinilai tidak sesuai dengan Nota Kesepahaman. (lihat tabel

IV.E.1)

Tabel IV.E.1 Perbandingan UUPA dan Nota Kesepahaman

Nota Kesepahaman UUPA

Artikel 1.2.3 butir b, c, d

Pemerintah dan Legislatif Indonesia

dituntut untuk mendapat “persetujuan”

dari Legislatif dan Pemerintah Aceh

dalam beberapa perkara.

Pasal 8

Pemerintah dan Legislatif Indonesia

harus melakukan “konsultasi‟ dari

Legislatif dan Pemerintah Aceh dalam

beberapa perkara.

Page 76: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

66

Artikel 1.1.2 butir a

Disebutkan dengan jelas tentang

pemisahan wewenang antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Aceh.

Pasal 11

Menunjukkan masih ada intervensi

langsung dari Pemerintah Pusat

terhadap kewenangan Pemerintah

Aceh. Bahkan, GAM menganggap

pasal 11 ini menginfiltrasi pasal-pasal

124.3, 142.1, 147, 154.6, 165.8,

213.2-5, 214.1, 235 dan pasal 249.

Artikel 1.3.8

Disebutkan bahwa auditor yang

digunakan adalah auditor luar dan tidak

mengharuskan melalui BPK.

Pasal 194 ayat 2

Dalam melaksanakan prinsip

transparansi, Pemerintah Aceh dalam

menggunakan auditor independen

diharuskan menggunakan auditor

yang ditunjuk oleh Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK).

Artikel 1.4.5

Tidak disebutkan adanya pembatasan

waktu dalam UUPA

Pasal 228 ayat 1

Pengadilan Hak Azasi Manusia

(HAM) di Aceh hanya untuk

mengadili pelanggaran HAM yang

dilakukan setelah UUPA disahkan.

Artikel 1.3.7

Aceh akan menikmati akses langsung

dan tanpa hambatan ke negara-negara

lain melalui laut dan udara.

Tidak disebutkan

Artikel 4.7

Batas maksimum TNI organik di Aceh

adalah 14.700 personil dengan

fungsinya di bidang pertahanan luar

Tidak disebutkan

Diolah dari berbagai sumber

Page 77: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

67

Dari beberapa pasal yang dipermasalahkan, yang paling krusial adalah adanya

perbedaan antara Nota Kesepahaman poin 1.1.2 butir b.c. dan d dengan UUPA pasal

8. Dalam Nota Kesepahaman disebut bahwa Pemerintah dan Legislatif Indonesia

dituntut untuk mendapat “persetujuan” dari legislatif dan Pemerintah Aceh dalam

beberapa perkara. Sementara dalam UUPA pasal 8, berubah menjadi “konsultasi”.

Pasal 194 ayat 2 dalam UUPA, dijelaskan bahwa dalam melaksanakan prinsip

transparansi, Pemerintah Aceh dalam menggunakan auditor independen, diharuskan

menggunakan auditor yang ditunjuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Sedangkan dalam Nota Kesepahaman poin 1.3.8 disebutkan bahwa auditor yang

digunakan adalah auditor luar dan tidak mengharuskan melalui BPK.

Kemudian, dalam UUPA pasal 228 ayat 1 disebutkan, pengadilah Hak Azasi

Manusia (HAM) di Aceh hanya untuk mengadili pelanggaran HAM yang dilakukan

setelah UUPA disahkan. Sedangkan di dalam Nota Kesepahaman pasal 1.2.5 tidak

disebutkan adanya pembatasan waktu seperti tersebut dalam UUPA.

Pasal 11 UUPA adalah yang menunjukkan masih adanya intevensi langsung

dari Pemerintah Pusat terhadap kewenangan Pemerintah Aceh. Bahkan, GAM

menganggap Pasal 11 ini menginfiltrasi pasal-pasal 124.3, 142.1, 147, 154.6, 165.8,

213.2-5, 214.1, 235, dan pasal 249. Sedangkan dalam Nota Kesepahaman poin 1.1.2

butir a telah jelas menyebutkan pemisahan wewenang antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Aceh.

Page 78: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

68

Selain itu, pihak GAM juga mempertanyaan sejumlah isi Nota Kesepahaman

yang tidak ditemukan lagi dalam UUPA. Seperti, pion 1.3.7 yang menyatakan bahwa

Aceh akan menikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara lain

melalui laut dan udara. Emudian juga poin Nota Kesepahaman yang menyatakan

bahwa batas maksimum TNI organik di Aceh adalah 14.700 personil dengan

fungsinya di bidang pertahanan luar. Namun, di dalam UUPA ini tidak disebutkan

lagi jumlah dari batas maksimum dan fungsi dari TNI organik di Aceh (Kompas, 2

Agustus 2006).

Atas dasar penolakan tersebut, pemerintah bersikeras menyatakan bahwa

UUPA sama sekali tidak bertentangan dengan Nota Kesepahaman. Penambahan atau

penyebutan sesuatu serta tidak disebutkannya beberapa ketentuan dalam Nota

Kesepahaman bukan berarti pelanggaran karena UUPA dan Nota Kesepahaman

bukan dua hal yang saling menegasikan. GAM sendiri mengakui UUPA secara umum

sudah memuaskan (Abdurrahman, 2006). Menanggapi beberapa pasal yang

dipermasalahkan GAM, Ketua AMM Pieter Fieth (2006) menyampaikan kepada

GAM : “jika anda tidak puas, jalannya adalah Mahkamah Konstitusi. Jika anda

melakukan upaya lain itu tidak on the right track”.

Menurut Sidney Jones (2006), UUPA memang tidak dapat memuaskan semua

pihak. Tetapi itu tidak cukup uat untuk menggagalkan proses damai. “UUPA, meski

dianggap oleh sebagian kalangan belum menampung seluruh aspirasi masyarakat

Aceh, tetapi UU ini jauh lebih baik dibandingkan berbagai produk UU sebelumnya

Page 79: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

69

serta telah memberikan peluang pembentukan partai politik lokal dan penguatan

Pemerintah Daerah yang lebih demokratis.

F. Pengaturan keamanan dan hak asasi manusia

Hadirnya AMM sebagai lembaga yang memonitor perdamaian di Aceh sangat

berpengaruh terhadap peningkatan penghargaan terhadap Hak Azasi Manusia (HAM)

yang semakin menunjukkan pergerakan ke arah yang lebih baik atau positif, simana

kekerasan jarang terjadi lagi. Dalam laporannya, Crisis Group menemukan bahwa

tanggapan masyarakat terhadap proses perdamaian cukup positif, bahkan di wilayah-

wilayah yang GAM memiliki banyak pendukung dimana konflik paling parah terjadi,

seperti di Bireun, Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tengah. Ada upaya keras dari

pimpinan GAM dan TNI untuk mengendalikan pasukannya agar tidak terlibat konflik

(ICG, 2005:8).

Kendati demikian, bukan berarti pelanggaran HAM sama seali tidak terjadi,

hanya saja relatif berkurang sangat jauh.sejak ditandatanganinya Nota Kesepahaman,

koalisi NGO HAM di Aceh mencatat 75 kasus kekerasan berupa penganiayaan,

kontak senjata, pembunuhan dan perkosaan (Kontras, 2007:20). Kontras banyak

mencatat berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh dalam kurun waktu

satu tahun setelah penandatanganan Nota Kesepahaman (lihat tabel IV.F.1).

Page 80: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

70

Tabel IV.F.1 Rekapitulasi tabel kekerasan satu tahun perjanjian damai RI dan

GAM 15 Agustus 2005 – 15 Agustus 2006

No Kasus Event TNI POLRI OTK MILISI MANTAN

GAM

LK PR AA Mantan

GAM

Jumlah

1 Pembunuhan 8 2 2 4 0 0 9 1 1 3 14

2 Penghilangan

orang

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

3 Penyiksaan 26 13 6 4 1 2 54 0 5 1 60

4 Penangkapan 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1

5 Pembakaran

Rumah

0 00 0 0 0 0 0 0 0 0 0

6 Pengrebekan 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1

7 Pengrusakan 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1

8 Pemerasan 9 1 4 1 0 3 10 1 0 0 11

9 Intimidasi/teror 2 1 0 1 0 0 2 0 0 0 2

Jumlah 48 18 13 10 1 6 76 3 7 4 90

Sumber : Kontras 2008

Bandingkan misalnya dengan data kekerasan Huber (2004) dan The Jakarta

Post (2004) setahun pasca pelaksanaan darurat militer di Aceh dimana TNI

mengklaim telah membunuh 2.000 anggota GAM, menahan 2.100 orang dan sekitar

1.300 orang menyerahkan diri dan ratusan warga sipil tewas, 100.000 mengungsi

(Huber, 2004:2). Dibandingkan dengan suasana yang keruh dan paranoid setelah

Perjanjian Penghentian Permusuhan (CoHA) tahun 2003, dengan masa pasca

penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinski tumbuh rasa keyakinan dan harapan

di Aceh. Tanda kepercayaan dan komitmen terhadap proses perdamaian terlihat

dimana-mana. Warga Aceh yang melarikan diri akibat pertempuran sekarang merasa

Page 81: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

71

aman untuk kembali ke daerah lain di Indonesia, Malaysia, Eropa dan Amerika

Serikat. Masyarakat berani melakukan hal-hal yang sebelumnya dianggap berbahaya,

seperti membuat api di pantai dampai larut malam dan mendaki bukit di daerah

pegunungan (Burdock, 2006:4).

Dalam Nota Kesepahaman, AMM diberikan mandat untuk memonitor situasi

Hak Azasi Manusia dan memberikan bantuan dalam bidang ini, termasuk kepada para

mantan anggota GAM yang berintegrasi ke dalam masyarakat. AMM menangani

persoalan-persoalan melalui kasus-kasus individu maupun dalam bentuk investigasi

dan diskusi dengan pihak-pihak terkait. Ini juga bertujuan untuk menguatkan

masyarakat sipil dan lembaga-lembaga nasional dalam bidang Hak Azasi manusia.

Beberapa kasus insiden yang terjadi pasca penandatanganan Nota

Kesepahaman dikaji oleh AMM dengan mempertimbangkan alasan kedua belah

pihak dan hasil investigasi di lapangan. Kasus tersebut kemudian dibawa dalam

pertemuan Komisi Pengaturan Keamanan (COSA), baik pada level pusat maupun di

level distrik. Cosa cukup efektif sebagai forum yang mengangkat persoalan bersama

untuk diselesaikan secara bersama oleh pimpinan kedua belah pihak. Kantor-kantor

distrik secara rutin melaukan investigasi terhadap insiden-insiden seperti penggunaan

kekuasaan yang berlebihan, pemerasan dan intimidasi.

Bentrokan antara GAM dan TNI setelah Nota Kesepahaman ditandatangani

tanggal 15 Agustus memang tidak dapat dihindari seratus persen. Selalu terjadi

kesalapahaman diantara kedua belah pihak. Apabila terjadi insiden, sesuai dengan

Page 82: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

72

Nota Kesepahaman kewajiban AMM adalah mengusut setiap insiden dan

memutuskan siapa yang bersalah. Walaupun sejauh ini kedua belah pihak belum ada

yang merasa puas dengan keputusan tersebut.

Crisis group mencatat setidaknya terjadi sembilan kali insiden tembak

menembak antara TNI dan GAM yang mengakibatkan dua orang tewas. Tetapi, tak

satupun dari insiden tersebut begitu serius sehingga dapat mengancam perdamaian.

Salah satu peristiwa yang cukup menonjol adalah insiden Jeuram. Insiden ini terjadi

pada tanggal 12 Oktober 2006, di kabupaten Nagan Raya. Seorang anggota GAM

tewas tertembak ketika polisi mengambil tindakan atas sebuah laporan bahwa sebuah

kendaraan milik seorang karyawan PT Sucofindo, yaitu sebuah perusahaan Indonesia

yang cukup besar, dicuri. Polisi berusaha untuk menghentikan sebuah mobil yang

berisi empat orang penumpang, tetapi mereka menolak untuk memperlambat laju

kendaraan dan baru berhenti ketika polisi melepaskan tembakan ke arah mobil

tersebut dan menewaskan Syafruddin yang mana merupakan anggota GAM. Dalam

kasus ini, meskipun sangat disesalkan tindakan aparat yang dianggap tidak

proporsional, AMM menilainya sebagai peristiwa kriminal murni (ICG 2005:7).

Dalam merespon keputusan AMM, GAM pun tidak mempermasalahkan kejadian ini.

Representatif GAM di AMM, Irwandi Yusuf hanya mengkritik polisi yang langsung

menembak pengemudi, bukan rodanya. Padahal menurutnya kendaraan itu tidak

dicuri melainkan dipinjam saja (ICG, 2005:8).

Page 83: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

73

Namun tindakan kekerasan tidak hanya dilakukan oleh Polri/TNI saja. Para

mantan GAM, yang terwadahi dalam KPA, juga pernah melakukan tindak kekerasan.

Hanya saja, jumlah kekerasan yang mereka lakukan sangat jauh lebih rendah dari apa

yang telah aparat keamanan atau TNI lakukan dan merupakan tindakan reaktif atau

balas dendam atas apa yang telah mereka alami sebelumnya, yaitu dianiaya polisi

atau TNI. Sebagai contoh, di wilayah Aceh Barat Daya, pada 13 Oktober 2006,

puluhan anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) mengeroyok dua polisi sebagai aksi

balas dendam terhadap tindakan lima polisi yang memukuli dua anggota KPA dan

dua warga menjelang buka puasa (Kontras, 2006:4).

Untuk semakin mengeliminasi berbagai pelanggaran tersebut, pihak AMM

melakukan dialog dan berkomusikasi secara insentif dengan berbagai pihak atau

aparat yang berwenang, baik sipil maupun militer, untuk meningkatkan kesadaran

atau pemahaman mengenai standar penghormatan internasional terhadap hak asasi

manusia. Disamping itu, kehadiran AMM sebagai tim monitoring internasional,

sedikit banyak mendorong kedua belah pihak untuk saling menahan diri dari kegiatan

yang bisa dianggap melanggar kaidah HAM, yang selama masa konflik kerap mereka

lakukan.

G. Tantangan dan Hambatan AMM

Hasil kerja AMM yang pada umumnya cukup baik, telah membuat banyak

warga Aceh menginginkan agas masa tugas AMM di perpanjang dari masa tugas

enam bulan yang sebelumnya sampai selesai masa pilkada yaitu Desember 2006.

Page 84: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

74

Diantara beberapa keberhasilan peran dan tugas AMM yang telah dijabarkan diatas,

juga terdapat berbagai kelemahan atau kegagalan. Kedati skalanya lebih kecil

daripada keberhasilannya, jika diabaikan dan tidak diantisipasi, kendala tersebut

bukan tidak mustahil akan semakin membesar dan mengancam proses perdamaian.

Dalam kasus demobilisasi dan Decommissioning GAM, peran AMM dapat

berjalan mulus. Mudahnya proses tersebut sebenarnya bukan mutlak karena upaya

AMM, melainkan karena faktor GAM itu sendiri yang terlihat sudah merasa lelah dan

jenuh terlibat konflik terus menerus atau menemui jalan buntu dalam prospek

mencapai tujuannya, Aceh merdeka (Aspinal, 2007:7). Demikian juga dalam

tugasnya memonitor redeployemnt aparat TNI dan Polri. Keberhasilan AMM karena

TNI sendiri melalui Panglima TNI Endriartono (2005) secara tegas mendukung

perdamaian tersebut setelah sekian lama ternyata tidak mampu menumpas

pemberontakan dan perlawanan yang terjadi kendati mampu mengalahkan GAM.

Ketidakmampuan TNI tersebut menyiratkan perlunya comprehensive measures,

termasuk dilakukannya kembali perundingan (Aspinal, 2007:12).

Dalam kasus perlucutan senjata GAM, keberhasilan AMM patut

dipertanyakan mengingat pernyataan Zakaria Saman (2005) mengindikasikan bahwa

GAM masih memiliki senjata yang belum diserahkan pada AMM untuk

dimusnahkan. Ia bersikeras GAM hanya akan menyerahkan 840 senjata seperti

kesepakatan dalam MoU dan tidak perlu menyerahkan senjata lebih banyak lagi dari

apa yang telah dilakukan GAM (ICG, 2005:1). Dugaan ini bukan tanpa alasan.

Page 85: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

75

Terkait dengan kekecewaan beberapa mantan anggota GAM terhadap ketidakadilan

dalam penyaluran dana integrasi, salah seorang mantan anggota GAM membenarkan

apa yang dikatakan oleh Zakaria Saman tersebut (ICG, 2005:7).

Menurut data Kepolisian Daerah (Polda) Aceh, pasca MoU hingga April

2007, telah disita 46 senjata api ilegal dari orang yang tidak berhak menggunakannya.

Tuduhan itu sepertinya lebih banyak diarahkan kepada GAM. Dari senjata api itu, 18

pucuk diantaranya adalah laras panjang dan selebihnya laras pendek (pistol). Selain

itu, polisi juga mengamankan 1.134 butir peluru, lima magazen AK-56 dan tujuh

magazen M-16, 11 butir granat, 7 butir GLM dan 38 bom rakitan (Seumike, 2007).

Untuk amnesti, besarnya peran AMM terlihat menyelesaikan perdebatan-

perdebatan mengenai status tahanan GAM yang ditahan atas tuduhan tindak pidana

dengan mendatangkan seorang mantan hakim dari Swedia yang memiliki pengalaman

internasional. Tetapi pelaksanaan amnesti ini sangat terlambat. Dalam MoU butir

3.1.1. disebutkan bahwa Pemerintah RI harus sesegera mugnkin memberikan amnesti

kepada semua tahanan GAM tidak lewat dari 15 hari seja penandatanganan MoU.

Dalam kenyataannya hampir satu tahun MoU, sekitar 43 tahanan GAM di Sumatera

Utara baru dibebaskan, sementara 14 orang lainnya masih tertahan (Kompas, 2006).

Tantangan terbesar pasca kepergian AMM adalah reintegrasi GAM. Masih

ada banyak anggota GAM yang tersebar di luar negeri, seperti Malaysia, Swedia atau

Thailand. Menurut Norwegian Refugee Council, sampai tahun 2004, jumlah

pengungsi anggota GAM yang tersebar di luar negeri mencapai 125.000 orang yang

Page 86: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

76

sebagian besar berada di Malaysia dan Thailand (CSIS, 2006:128). Tidak ada jaminan

bahwa semua anggota GAM tersebut akan patuh kepada pimpinan GAM yang berada

di tanah air.

Bagi sebagian anggota GAM garis keras yang menamakan dirinya The

Preparatory Committee of the Free Acheh Democratic Movement atau Komite

Persiapan Aceh Merdeka Demokratik , apa yang telah terjadi mulai dari MoU sampai

dengan pilkada pertama yang dimenangkan oleh pasangan Irwandi Yusuf dan

M.Nazar, merupakan jebakan bagi GAM dan siapapun yang terlibat di dalamnya,

terutama mereka yang terlibat dalam proses pilkada adalah pengkhianat yang mudah

ditiou negara kolonialis jawa ( The Aceh Institute, 2007). komite ini juga berupaya

memboikot pilkada dan mnganjurkan agar para pengikutnya merusak surat suara

dengan cara memilih calon lebih dari satu sehingga surat suara tidak sah. Dengan

banyaknya surat suara yang tidak sah, komite ini ingin menunjukkan pada dunia

internasional bahwa MoU Helsinski dan juga pilkada bukanlah aspirasi mayoritas

rakyat Aceh. Kendati demikian upaya mereka untuk memboikot pilkada tidak

berhasil, ini merupakan indikasi bahwa tidak semua GAM tunduk dan patuh pada

MoU Helsinski (Tempo, 24 juli 2005). Walau Hasan Tiro sang proklamator Aceh

Merdeka pada tahun 1976 telah menyatakan diri bersedia berdamai dengan Indonesia

melalui penandatanganan MoU Helsinski, sebagian dari para pengikutnya justru

menentang perdamaian tersebut yang dinilai menciderai tujuan perjuangan Aceh

Merdeka 1976 (Mukadimah GAM).

Page 87: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

77

Dari beberapa kasus yang dijelaskan diatas, terlihat bahwa peran AMM tidak

mampu seratus persen bertindak secara adil dan mampu memutuskan persoalan

dengan cepat, baik dan memuaskan. Tetapi sangat tidak bijak jika menjadikan

sebagian kecil kegagalan itu untuk menilai AMM telah gagal dalam menjalankan

tugasnya.

Page 88: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

78

BAB V

Penutup

A. Kesimpulan

AMM memainkan peranan yang sangat penting bagi proses implementasi

damai di Aceh. Keberhasilan AMM ditunjang oleh kuatnya dorongan dari negara dan

organisasi regional, dalam hal ini Uni Eropa dan ASEAN. Tanpa Uni Eropa di

belakangnya, sangat suka bagi AMM untuk dapat secara maksimal memainkan

perannya tersebut. Ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh HDC yang hanya

melibatkna pihak-pihak yang berkonflik sebagai lembaga monitor dalam Joint

Security Committee (JSC). Faktor ASEAN dan Uni Eropa merupakan kunci utama

dibalik keberhasilan peran AMM, karena dari negara-negara Eropa (baik secara

individu maupun organisasi) dana untuk rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana

dan konflik mengalir.

Harus diakui bahwa peran AMM dalam memonitor jalannya kesepakatan

damai sangat besar. Atas keberhasilan itu, Pemerintah Indonesia memberikan

penghargaan kepada Ketua dan beberapa anggota AMM yang dinilai berjasa besar,

yaitu Ketua AMM Pieter Fieth yang dianugrahi Medali Bintang Jasa Utama, Wakil

Ketua (ex) Letjen Nipat Thongklek dari Thailand dan Penasehat AMM Juha

Christensen dari Finlandia yang mendapat penghargaan Bintang Jasa Pratama.

Penghargaan ini diberikan sebagai ucapan terima kasih atas upaya mereka yang telah

Page 89: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

79

mendukung terciptanya perdamaian di Aceh. Penghargaan ini diberikan oleh Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono pada hari Jumat tanggal 18 Agustus 2006 di Istana

Merdeka (Serambi Indonesia, 2006).

B. Saran

Bagi wilayah atau daerah yang tengah mengalami proses damai, keberadaan

pihak ketiga yang bertugas memonitor proses perdamaian sangatlah penting

keberadaannya banyak proses damai yang gagal akibat ketiadaan lembaga yang

mengontrol. Berbagai insiden di Aceh walaupun kecil bisa saja menjadi ancaman

yang serius jika tidak ada lembaga yang serius dalam menangani kasus yang ada.

Karena itulah sikap optimis terhadap keberlangsungan perdamaian di Aceh harus

tetap ditunjukkan.

Page 90: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

x

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Adli. 2011. Membedah Sejarah Aceh. Aceh: Bandar Publishing.

Aspinall, Edward. 2005. The Helsinski Agreement : A More Promising Basis for Aceh

Peace ? Policy Studies 20. Washington: East West Centre.

Awaludin, Hamid. 2008, Damai di Aceh, Catatan Perdamaian RI-GAM di Helsinki,

CSIS.

Bennet, Le Roy A. 1997. International Organizations : Principles and Issues. New

Jersey: Prentice Hall Inc.

Charles W . Kegley dan Eugene Wittkopf. 2004. World Politics: Trend and

Transformation. California: Wadsworth.

Fahri Ali, Suharso Monoarfa, & Bahtiar Effendi.2008.Kalla dan Perdamaian

Aceh.Jakarta: Lspeu.

Hadi, Syamsul dkk,. 2007. Disintegrasi Pasca Orde Baru. CIRes, FISIP UI: Yayasan

Obor. Jakarta.

Hass, Michael.1969. International Politics and Foreign Policy: A Reader in Research

and Theory.dalam James N Rosenau. Newyork: The Free Pers.

Hauss, Charles. 2001. International Conflict Resolution: International Relations for

the 21st Century. London & New York: Continum.

Hoffman, Stanley. 1998, “A World of Complexity” dalam Douglas J.Murray dan

Paul Viotti, The Defense Policies of Nations: A Comparative Study,

Lexington: Lexington Books.

Hugh Miall, Oliver Ramsbotham dan Tom Woodhouse, 1999. Contemporary

Conflict Resolution Cambridge: Polity Press.

Husain, Farid. 2011. Keeping Trust for Peace: Kisah dan Kiat

Menumbuhkembangkan Damai di Aceh. Jakarta: Rajut Publishing.

Ibrahimy, M. Nur El. 2001. Peranan Teungku M. Daud Beureureh dalam Pergolakan

Aceh. Aceh : Media Dakwah.

Page 91: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

xi

James A. Wall, Jr, Mediation, a Current Review and Theory Development

Columbia: University of Missouri.

Jill Steans & Lloyd Pettiford. 2009. International Relations: Perspective and Themes,

England: Pearson Education Limited.

John J.Marsheimer, 1995. The Promise of Liberalism, A Comparative Analysis of

Consensus Politics, London: Darmouth Publishing.

John W Creswell, 1994, Research Design Qualitative and Quantitative

Approaches. United Kingdom: Sage Publications.

J. Lewis Rasmussen, 1997. Peacemaking in the Twenty-First Century: New Rules,

New Roles, New Actors”. Washington D.C: USIP.

Kawilarang, Harry. 2008. Aceh Dari Sultan Iskandar Muda Ke Helsinki.Aceh:

Bandar Publishing.

Kriesberg, Louis. 1998. Constructive Conflict; From Escalation to Resolution.

Lanham: Rowman and Littlefield Publisher.

Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas

Pancasila. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Mas’oed, Mohtar, 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi

Dictionary, Jakarta:LP3ES.

M. Hasyim. 1995, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Lembaga Peneliti UI.

Paul R.Viotti dan Mark V.Kauppi. 1990, International Relations Theory: Realism,

Pluralism, Globalism, and Beyond. New York: Allyn & Bacon.

Reid, Anthony, 2005, Asal Mula Konflik Aceh, Dari Perebutan Pantai Timur

Sumatera hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19, Yayasan Obor, Jakarta.

R. Michael Feener & Partick Daly. 2011.Memetakan Masa Lalu Aceh. Jakarta:

Pustaka Larasan.

Santosa, Kholid O. 2011. Jejak-jejak Sang Pejuang Pemberontak, Pemikiran,

Gerakan dan Ekspresi Politik S.M. Kartosuwiryo dan Daud Beureureh,

SegaArsy.

Situmorang dalam Adre Pareira ed. 1999. Perubahan Global dan Perkembangan

Page 92: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

xii

Studi Hubungan Internasional. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Smith, Calvin. 2000. Facilitating „Perspectival Reciprocity‟ in Mediation: Some

Reflection on a Failed Case.Springer.

Syamsuddin Haris, et.al. 1999. Indonesia di Ambang Perpecahan ?. Jakarta:

Erlangga.

Laporan dokumen dan surat kabar

Awaludin, Hamid. 2008. Damai di Aceh, Catatan Perdamaian RI-GAM di Helsinski.

CSIS.

Boutros Boutros-Ghali, 1992. An Agenda for Peace. New York: United Nations.

BRR dan Mitra Internasional.”Aceh dan Nias Satu Tahun Setelah Tsunami, Upaya

Pemulihan dan Langkah ke Depan”, Desember 2005.

BRR dan Mitra Internasional “Aceh dan Nias Dua Tahun Setelah Tsunami”,

Desember 2006.

ICG Asia Report, Aceh : Kenapa Kekuatan Militer Tidak akan Membawa pada

Perdamaian Kekal, No. 17, 12 Juni 2001.

ICG Asia Report, Aceh : Perdamaian yang Rapuh. No. 17, 12 Juni 2001.

ICG Asia Report, Aceh : So Far So Good, No. 44, 3 Desember 2005.

Nurrohman. 2006. Hukum Islam di Era Demokrasi: Tantangan dan Peluang bagi

Formalisasi Syariat Islam di Indonesia. Islamic Studies. Bandung.

Nota Kesepahaman Pemerintah RI dan GAM

Schulze, Kristen E. 2004. The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist

Organization. Policy Studies 2. Washington.

Surat Kabar Harian Jakarta Post

Surat Kabar Harian Kompas

Surat Kabar Harian Republika

Surat Kabar Harian Serambi Indonesia

Tabloid Mingguan Kontras

Tabloid Seumike

The Post-conflict Fund

Page 93: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

xiii

Time Magazine

Tim Peneliti LIPI

INTERNET

46 senjata api ilegal berhasil disita pasca-MoU, Jumat 20 April 2007. Tersedia di

internet : diunduh tanggal 12 Februari 2013.

http://www.acehkita.com/?dir=news&file=detail&id=1793

Aspinal, Edward. Pada Akhirnya Perdamaian Terjadi ?. Tersedia di internet :

Diunduh tanggal 13 Februari 2013.

http://www.acheheye.org/data_files/bahasa_format/analysis_bhs/analysis_insi

deind/analysis_insideind_2006/analysis_insideind_2005_08_00_01.html

Burdock, Daniel. Prospek Perdamaian. Tersedia di internet : diunduh tanggal 4

Maret 2013.

http://www.acheheye.org/data_files/bahasa_format/analysis_bhs/analysis_insi

deind/analysis_insideind_2006/analysis_insideind_2006_04_06_01.html

GAM Menolak Sejumlah Pasal UUPA, 2 Agustus 2006. Tersedia di internet : diunduh

tanggal 3 Maret 2013. http://www.kompas.com

Herrberg, Ance. (2012), Brussels “di belakang layar‟ Proses Perdamaian Aceh,

tersedia di internet; diunduh tanggal 10 November 2012. http://www.c-

r.org/our-work/accord/aceh/bahasa/backstage.php

Kebijakan Uni Eropa dalam membentuk AMM, tersedia di internet; diunduh tanggal

9 Juni 2012. http://www.delidn.ec.europa.eu/en/newsroom/aricle-060227

ID.pdf

Mawardi, Dr.Ir.Moch.Ikhwanuddin, (2005), Strategi Dasar Penanganan Daerah

Konflik di Indonesia, tersedia di internet; diunduh tanggal 10 November 2012.

http://www.pda-undp.tripod.com/plenary52.pdf.

Pasca MoU, Kriminalitas meningkat. 1 Juni 2006, tersedia di internet : di unduh

tanggal 3 Maret 2013. http://www.acehkita.com

Pemantau Perdamaian Aceh, Januari 2007 Interpeace mulai bertugas, tersedia di

internet: di unduh tanggal 12 Februari 2013. http://www.acehkita.com

Situs resmi Aceh Monitoring Mission. Tersedia di Internet; diunduh pada tanggal

9 Juni 2012 http://www.aceh-mm.org/indo/amm_menu/about.html

Page 94: PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE ...

xiv

TNI Dukung Perundingan di Helsinski, Pernyataan Panglima TNI Endriartono, 13

April 2005. Tersedia di internet: di unduh tanggal 3 Maret 2013.

http://www.kompas.com

Kejayaan Aceh dan Politisasi Syariat Islam,Tersedia di internet: di unduh tanggal 3

Maret 2013. http://syukriy.wordpress.com/2009/09/24/kejayaan-aceh-dan-politisasi-

syariat-islam