PERAN WALIKOTA BEKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK...
Transcript of PERAN WALIKOTA BEKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK...
PERAN WALIKOTA BEKASI DALAM PENYELESAIAN
KONFLIK ANTAR KELOMPOK UMAT BERAGAMA
(Studi Konflik Pembangunan Gereja Santa Clara, Bekasi Utara)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Cahyo Eko Pambudi
1113112000023
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1438 H/2017 M
PERAI\ WALIKOTA BEKASI DALAM PENYELESAIAN
KONFLIK ANTAR KELOMPOK UMAT BERAGAMA
(Studi Konflik Pembangunan Gereja Santa Clara, Bekasi Utara)
Diaj ukan Untuk Memenuhi P ersyaratan Memperol ehGelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Cahvo Eko PamudiNIM: 1113112000023
Dosen Pembirnbing,
PROGRAM STT]DI ILMU POLITIK
F'AKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
IJNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARTF HIDAYATULLAH JAKARTA
1438 IJl20t7 M
9680801 200003 1 001
Nama
Nim
Progran Studi
PERSETUJUAN BIMBINGAil{ SKRIPSI
Dengan ini pernbimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
: Cahyo Eko Parnbudi
:1113112000023
: IlmuPolitik
Telah menyelesaikan penulisan skripsi, dengan judul:
PERAN WALIKGTA BEKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK
ANTAR KELOMPOK UMAT BERAGAMA (Studi Konflik Pembangunan
Gereja Santa Clara, Bekasi Utara)
dan telah diuji.
J,Mengetahui,
Ketua Program Studi
Dr.Idine RosYidin Hasan. M.SiNIP. 19701013 200s01 1 003
Jakarta, 11 Desember 2017
Menyetujui,Dosen Pembimbing
111
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
PERA}I WALIKOTA BEKASI DALAM PENYELESAIAIAN KONFLIK
ANTAR KELOMPOK UMAT BERAGAMA (Studi Konflik Pembangunan
Gereja Santa Clara, Bekasi Utara)
Oleh.
CahYo Eko Pambudi
ii13112000023
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ihnu
Politik universitas Islam Negeri (Un| Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal
11 Desember Z0l7. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi ilmu Politik'
Ketua,
afltuDr. Idine Rosvidin. M.SiNrP. 19701013 20050L 1 003
NIP. 1972010s 200112 1. 003
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat
20t7,
Ketua Program Studi Ilmu Politik
FISIP UIN Jakarta
NIP. 197704242007L0 2 003
NrDN.2010018601
keluiusan pada tanggal 11 Desember
,-7k"Dr. Idine Rosvidin. M.SiNrP. 19701013 200501 1 003
n..'liarryAu/ddin- MANIP. 19720105 200112 L
iv
v
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisis peran Walikota Bekasi, Rahmat Effendi, dalam
penyelesaian konflik antar umat beragama terkait pembangunan rumah ibadah di
Kota Bekasi. Dalam penelitian ini rumah ibadah yang mendapat penolakan yaitu
Gereja Santa Clara yang berlokasi di Bekasi Utara. Persoalan penolakan rumah
ibadah yang pada akhirnya mengakibatkan konflik antar kelompok umat
beragama adalah hal yang sangat mengancam kestabilan dan ketentraman antar
umat beragama di Kota Bekasi. Dengan kemajemukan agama di Kota Bekasi
berdampak langsung kepada ingin dipenuhinya fasilitas rumah ibadah umat
beragama minoritas di Kota Bekasi. Terkadang antara minoritas dengan mayoritas
umat beragama berbeda pandangan mengenai pembangunan rumah ibadah dan
pada akhirnya terjadi konflik. Karena itu, diperlukannya peran kepala daerah
dalam penyelesaian konflik antar kelompok umat beragama berdasarkan peraturan
yang berlaku, dikarenakan kepala daerah mempunyai wewenang dan tanggung
jawab kepada masyarakatnya.
Teori yang digunakan yaitu teori konflik dialektik dari Ralf Dahrendorf
untuk mengetahui penyebab terjadinya konflik Gereja Santa Clara. Kemudian
menggunakan teori peranan kepala daerah dalam upaya penyelesaian konflik
berdasarkan peraturan yang berlaku yaitu Peraturan Bersama Menteri (PBM)
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006. Penelitian
ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian diawali dengan teknik
pengumpulan data. Pada teknik pengumpulan data akan dilakukan dokumentasi,
wawancara, dan teknik analisis data. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan
hasil yaitu peran Walikota Bekasi dalam penyelesaian konflik antar umat
beragama terkait penolakan pembangunan Gereja Santa Clara, Bekasi Utara sudah
sesuai peraturan yang berlaku, yaitu PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
Kata Kunci: Peran Walikota Bekasi, Konflik Pembangunan Rumah Ibadah,
Konflik Antar Umat Beragama.
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya
yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini
dengan baik. Rasa syukur tiada henti penulis ucapkan tatkala dapat menyelesaikan
salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Program Studi Ilmu
Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi yang berjudul “Peran Walikota Bekasi dalam Penyelesaian Konflik
Antar Kelompok Umat Beragama, Studi Konflik Pembangunan Gereja Santa
Clara, Bekasi Utara” memberikan gambaran secara umum tentang teori peranan
Walikota Bekasi sebagai kepala daerah dalam menyelesaikan konflik yang terjadi
di masyarakat. Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam menyusun skripsi ini
bukan semata-mata karena kemampuan individu penulis saja, melainkan karena
tuntunan Allah SWT dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu melalui skripsi
ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, beserta seluruh staf dan jajarannya.
2. Prof. Dr. Zulkifli, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta staf dan jajarannya.
3. Dr. Iding Rosyidin, M.Si, selaku Kepala Program Studi Ilmu Politik FISIP
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Suryani, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
5. Dr. Agus Nugraha, M.A, selaku dosen pembimbing yang bersedia
meluangkan waktu dan arahannya untuk membimbing penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
6. Seluruh dosen dan staf pengajar Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak ilmu, wawasan selama
masa perkuliahan.
7. Alm. Nizam Haikal selaku Kepala Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik.
Terima kasih atas satu bundle data pembangunan Gereja Santa Clara beserta
waktu dan kesempatannya untuk penulis dapat langsung bertemu sapa untuk
mendapatkan data penelitian. Semoga amal ibadah almarhum diterima di
sisi-Nya. Aamiin.
8. Budi Setiawan, selaku Staf Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik. Terima
kasih karena telah membantu penulis dalam memperoleh data-data yang
dibutuhkan untuk penelitian ini dan telah meluangkan waktunya untuk
melakukan wawancara dengan penulis.
9. Jarnuji, selaku Kepala Bidang Wasnas. Terima kasih karena sudah
meluangkan waktunya untuk melakukan wawancara dengan penulis.
10. Samwani, selaku Sekretaris 2 FKUB Kota Bekasi. Terima kasih telah
mengizinkan penulis memperoleh data di kantor FKUB Kota Bekasi dan
meluangkan waktunya untuk melakukan wawancara dengan penulis.
11. Orang tua tercinta, Djoko Susilo dan Sarweni. Tanpa do‟a dan dukungan
beliau berdua, penulis tidak akan sampai di titik ini.
viii
12. Sahabat yang selalu memberikan warna lain dalam kehidupan penulis yaitu,
Yuni Purwanti, Guntur Indrayana, M. Himawan Adi Nugroho, Allenia
Kimalaksmy, Riza Abdul Aziz, dan Gunawan Muhammad. Terima kasih
atas segala keikhlasan kalian dalam menerima segala sifat buruk penulis
ketika dalam masa sulit, khususnya dalam dinamika proses penyusunan
skripsi ini.
13. Teman-teman yang berkontribusi membantu skripsi penulis yaitu, Ghayda
Putri, Annisa Suciati, Quwatul Mudrikatiz, Istiqomah, Bang Kunto, dan
Bang Azhim
14. Sahabat sekosan penulis Ade Rahman Hakim, Muhammad Yusup, dan
Imaddudin Afiyan yang sudah menemani hari-hari penulis selama berkuliah
di UIN .
15. Untuk teman-teman KKN Mahatma, Gessy, Fidot, Amel, Desta, Mase, Ael,
Acil, Bowo, Bang Wah, dan Mia yang sudah memberikan penulis
pengalaman hidup yang berharga selama menjalani masa KKN.
16. Teman-teman Program Studi Ilmu Politik, kelas A, angkatan 2013 yang
tidak dapat penulis tuliskan satu-satu. Terima kasih telah memberi warna di
kehidupan kelas selama perkuliahan berlangsung empat tahun ini.
Jakarta, 07 November 2017
Cahyo Eko Pambudi
ix
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ............................................................ ii
PERSETUJUAN BIMBINGAN SKRIPSI ............................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ...................................... iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Pernyataan Masalah .................................................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian .................................................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................... 7
D. Tinjauan Pustaka ......................................................................................... 7
E. Metode Penelitian...................................................................................... 12
E.1. Jenis Penelitian ................................................................................... 12
E.2. Sumber dan Jenis Data ........................................................................ 13
E.3. Teknik Pengumpulan Data.................................................................. 14
E.4. Teknik Analisis Data .......................................................................... 15
F. Sistematika Penulisan ............................................................................... 15
BAB II KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL .................................... 17
A. Teori Konflik ............................................................................................. 17
A.1. Definisi Konflik .................................................................................. 17
A.2. Faktor-faktor Penyebab Konflik ......................................................... 19
A.3. Penyelesaian Konflik .......................................................................... 21
B. Peranan Kepala Daerah dalam Penyelesaian Konflik ............................... 24
B.1. Definisi Peranan .................................................................................. 24
B.2. Definisi Kepala Daerah ......................................................................... 26
B.3. Peranan Kepala Daerah dalam Penyelesaian Konflik......................... 27
BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN ...................................... 31
A. Keberagaman Umat Beragama di Kota Bekasi ......................................... 31
x
B. Walikota Bekasi ........................................................................................ 39
C. Pembangunan Gereja Santa Clara ............................................................. 41
C.1. Persyaratan Pembangunan Rumah Ibadah .......................................... 41
C.2. Gereja Santa Clara .............................................................................. 45
D. Panitia Pembangunan Gereja Santa Clara ................................................. 47
E. Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi ................................................... 48
BAB IV ANALISIS PERAN WALIKOTA BEKASI DALAM PENYELESAIAN
KONFLIK PEMBANGUNAN GEREJA SANTA CLARA ................................ 51
A. Penyebab Konflik Pembangunan Gereja Santa Clara ............................... 51
A.1. Lokasi Pembangunan Gereja Berada di Tengah-tengah Pesantren .... 53
A.2. Indikasi Manipulasi dalam Persyaratan Perizinan .............................. 54
A.3. Menambah Rumah Ibadah Agama Katolik ........................................ 55
B. Peran Walikota Bekasi dalam Penyelesaian Konflik ................................ 57
B.1. Konsiliasi yang dilakukan oleh FKUB Kota Bekasi .......................... 58
B.2. Mediasi yang dilakukan oleh Walikota Bekasi................................... 62
B.3. Penyelesaian Konflik Melalui Pengadilan .......................................... 74
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 82
A. Kesimpulan ............................................................................................... 82
B. Saran .......................................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 85
xi
DAFTAR TABEL
Tabel III.1. Jumlah Penduduk Kota Bekasi .......................................................... 32
Tabel III.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama .............................................. 33
Tabel III.3. Jumlah Rumah Ibadah ........................................................................ 34
Tabel III.4. Jumlah Masjid dan Musholla ............................................................. 34
Tabel III.5. Jumlah Gereja Protestan .................................................................... 35
Tabel III.6. Jumlah Gereja Katolik ....................................................................... 36
Tabel III.7. Jumlah Pura ........................................................................................ 37
Tabel III.8. Jumlah Vihara .................................................................................... 37
Tabel III.9. Jumlah Klenteng ................................................................................ 38
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar III.1. Alur Perizinan Khusus Persyaratan Pembangunan Rumah Ibadah 44
Gambar III.2. Proses Pembangunan Gereja Santa Clara....................................... 46
Gambar IV.1. Surat Pernyataan Panitia Pembangunan Gereja Santa Clara ......... 57
Gambar IV.2. Unjuk Rasa di Depan Kantor Walikota Bekasi .............................. 62
Gambar IV.3. Aksi Unjuk Rasa Berakhir Ricuh ................................................... 79
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk. Hal itu dibuktikan dari
berbagai nuansa kemajemukan yang terwujudkan dalam kelompok-kelompok di
masyarakat dengan keunikan suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa dan
agama yang tersebar di seluruh pelosok nusantara dari pulau yang besar hingga
pulau yang kecil. Kemajemukan ini menjadikan Bangsa Indonesia negeri yang
unik, menarik, kaya akan tradisi (multikultural), dan multireligius. Kemajemukan
di Indonesia khususnya dalam bidang keagamaan terjadi jauh sebelum Indonesia
merdeka dan terus berkembang dari waktu ke waktu hingga sekarang. Kenyataan
ini merupakan bukti sejarah kemajemukan dalam beragama tidak menjadi
halangan untuk hidup berdampingan walaupun berbeda keyakinan.1
Walaupun dengan berbagai kemajemukan tersebut, Bangsa Indonesia secara
keseluruhan tetap merasa sebagai satu kesatuan karena disatukan oleh berbagai
bentuk kepahitan dan kegetiran pengalaman sejarah yang sama dalam perjuangan
panjang menentang kolonialisme. Hingga akhirnya Indonesia memproklamasikan
kemerdekaan dan menyatakan sebagai satu bangsa. Simbol kebangsaan secara
jelas diekspresikan oleh para pendiri republik ini dalam suatu slogan terkenal
yaitu “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda, tetapi satu juga.2
Kemajemukan Bangsa Indonesia di satu sisi memang merupakan sumber potensi
1 Asry M. Yusuf, “Merajut Kerjasama Antar Umat Beragama di Indonesia“, Jurnal
Harmoni Multikultural dan Multireligius, Vol. VIII, No. 30 (April-Juni 2009), h. 6. 2 Ismail, Pijar-pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur (Jakarta: Badan Litbang
Agama dan Diklat Keagamaan, 2002), h. 230.
2
kekayaan budaya dan kekuatan bangsa yang sangat berharga, tetapi di sisi lain
kemajemukan Bangsa Indonesia juga dapat menjadi sumber potensi ketegangan
dan konflik sosial. Di antara potensi konflik yang sangat mengancam ketentraman
nasional adalah konflik sosial yang bernuansa keagamaan.3
Keberadaan konflik dalam setiap bangsa merupakan sesuatu yang normal,
karena konflik merupakan hukum alam yang menjadi salah satu sumber
perubahan dan pembaharuan sosial. Akan tetapi konflik yang tidak terkendali
dalam skala tertentu dapat menjadi sumber disintegrasi sosial yang dapat
mengancam integrasi nasional. Karena itu yang diperlukan dalam menghadapi
potensi konflik dalam masyarakat adalah kewaspadaan dengan cara melakukan
pengendalian terhadap dinamika kelompok-kelompok sosial agar tidak terjadi
benturan sosial yang diluar kendali.4
Pasca Orde Baru, kekerasan kolektif antar umat agama, seperti yang terjadi
di Poso, Ambon, dan Maluku Utara sudah berhenti. Di sisi lain, beberapa laporan
menunjukan peningkatan insiden konflik antar umat agama berskala rendah.
Dalam konflik berskala rendah tersebut, salah satu faktor yang menyebabkan
terjadinya konflik adalah sengketa tempat ibadah, seperti pembangunannya,
perizinannya, penggunannya, peruntukannya, dan lain-lain. Konflik ini paling
sering melibatkan antara umat Muslim dan Kristiani (Katolik dan Protestan) di
Indonesia.5 Sedangkan Indonesia sebagai negara yang berasaskan “Ketuhanan
3 Iman Tholkhah, Mewaspadai dan Mencegah Konflik Antar Umat Beragama, (Jakarta:
Departemen Agama RI Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Hidup Umat Beragama,
2001), h. 1. 4 Tholkhah, Mewaspadai dan Mencegah Konflik Antar Umat Beragama, h. 2.
5 Ihsan Ali Fauzi, Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia (Jakarta: PUSAD
Paramadina, 2013), h. 2.
3
Yang Maha Esa” memberikan jaminan kebebasan kepada seluruh masyarakatnya
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut
agamanya dan kepercayaannya masing-masing.6
Indonesia memiliki peraturan terkait kerukunan antar umat beragama yaitu
Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri yang
selanjutnya disingkat PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang “Pedoman
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan
Kerukunan Umat Beragama.” Peraturan ini merupakan pengganti dari Surat
Keputusan Bersama (SKB) 1/Ber/MDN-MAG/1969. Peraturan ini lebih rinci
mengatur kewenangan kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan antar umat
beragama.7 Dalam PBM tersebut, selain membahas mengenai peran kepala daerah
dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, juga dibahas mengenai
mekanisme pendirian rumah ibadah beserta izin sementara bangunan gedung
untuk tempat ibadah, dan peran kepala daerah dalam penyelesaian perselisihan
apabila terjadi konflik antar umat beragama yang dilatarbelakangi pembangunan
rumah ibadah.8 Walaupun sudah ada peraturan yang mengatur mengenai
pemeliharaan kerukunan antar umat beragama, namun nyatanya tetap ada
beberapa konflik yang terjadi antar umat beragama, khususnya disebabkan oleh
pembangunan rumah ibadah.
Konflik pembangunan rumah ibadah yang terjadi di sejumlah daerah
biasanya disebabkan adanya pemahaman yang bertolak belakang antara kelompok
6 Shanti Rachmadsyah, “Ham dan Kebebasan Beragama di Indonesia”, dalam
http://www.hukumonline.com/, diunduh 17 September 2016. 7 Ihsan Ali Fauzi, Kontroversi Gereja di Jakarta (Yogyakarta: CRCS, 2011), h. 36.
8 Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, Pedoman Kerukunan Hidup
Umat Beragama (Bekasi: CV. Atina Bulan Cahaya, 2012), h. 7.
4
mayoritas dengan kelompok minoritas umat beragama. Pada saat kelompok
minoritas melakukan pembangunan rumah ibadahnya, biasanya ada sebagian dari
kelompok mayoritas yang tidak menyetujui dibangunnya rumah ibadah bagi
kelompok minoritas tersebut. Hal ini terjadi karena kedua belah pihak mempunyai
pandangan berbeda mengenai pembangunan suatu rumah ibadah, sehingga
memunculkan konflik di antara mereka.9
Pada tahun 2016 terjadi konflik antar kelompok umat beragama akibat
pembangunan rumah ibadah yaitu penolakan pembangunan Gereja Santa Clara
yang berlokasi di jalan Lingkar Utara Rt 02, Rw 06, Kelurahan Harapan Baru,
Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Konflik berawal dari
adanya gabungan dari berbagai organisasi masyarakat (ormas) Islam di Kota
Bekasi yang mengatasnamakan diri mereka sebagai Aliansi Majelis Silaturahim
Umat Islam Bekasi menolak pembangunan Gereja Santa Clara yang dinilai telah
melanggar persyaratan pendirian rumah ibadah.10
Menurut Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi ada beberapa alasan
mengapa mereka menolak pembangunan Gereja Santa Clara. Pertama, lokasi
pembangunan Gereja berada di tengah-tengah pesantren, yaitu pesantren An-Nur
dan pesantren At-Taqwa.11
Kedua, adanya indikasi manipulasi dalam persyaratan
9 Khamami Zada, “Konflik Rumah Tuhan: Prakarsa Perdamaian Antarumat Beragama di
Indonesia”, Dialog Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan, Vol. 37, No. 2 (Desember 2014),
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, h. 163. 10
Joko Sadewo, “Masih Ada Konflik Pembangunan Gereja Santa Clara Bekasi”, dalam
http://www.republika.co.id, diunduh 27 maret 2017. 11
Pemerintah Kota Bekasi, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, “Laporan Hasil Peninjauan
Lokasi Rencana Pembangunan Gereja Katolik Paroki Santa Clara Kelurahan Harapan Baru
Kecamatan Bekasi Utara”, 15 Mei 2015.
5
perizinan.12
Ketiga, menambah rumah ibadah agama Katolik. Dikarenakan
menurut Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi, sudah banyak rumah dan ruko
yang digunakan untuk beribadah agama Katolik di Bekasi Utara.13
Pada tanggal
07 Maret 2016 ratusan massa Aliansi Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi
melakukan unjuk rasa menolak pembangunan Gereja Santa Clara. Unjuk rasa
dilakukan di depan kantor Pemerintah Kota Bekasi, Jalan Ahmad Yani. Massa
yang berkisar antara 600-1.000 orang mengajukan tuntutan kepada Walikota
Bekasi, Rahmat Effendi, agar surat izin pembangunan Gereja Santa Clara Bekasi
Utara dicabut. Rute aksi berawal dari Pesantren At Taqwa Bekasi Utara menuju
Kantor Pemerintah Kota Bekasi. Kemudian massa melanjutkan aksi ke kantor
DPRD Kota Bekasi. Massa dipimpin oleh K.H Amien Noer dan K.H Ishomuddin
Muchtar.14
Kemudian puncaknya pada tanggal 24 Maret 2017, Majelis Silaturahim
Umat Islam Bekasi melakukan aksi unjuk rasa penolakan untuk yang kedua
kalinya. Pada aksi unjuk rasa kali ini, dilaksanakan seusai Shalat Jumat dengan
titik aksi di depan area pembangunan Gereja Santa Clara. Pada aksi ini
mengharuskan lalu lintas sejumlah ruas jalan di Bekasi Utara dialihkan.15
Pada
aksi kali ini, massa sempat meminta masuk ke lokasi pembangunan gereja namun
12
Joko Sadewo, “Masih Ada Konflik Pembangunan Gereja Santa Clara Bekasi”, dalam
http://www.republika.co.id, diunduh 20 Desember 2017. 13
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, “Notulen Rapat Pleno Khusus
Muslim FKUB Kota Bekasi”, 20 Desember 2015. 14
Joko Sadewo, “Masih Ada Konflik Pembangunan Gereja Santa Clara Bekasi”, dalam
http://www.republika.co.id, diunduh 27 maret 2017. 15
Aziza Fanny Larasati, “Demo Menolak Gereja Santa Clara diwarnai Lemparan Batu”,
dalam http://nasional.republika.co.id, diunduh 24 Maret 2017.
6
dihadang pihak kepolisian.16
Demonstrasi ini pada akhirnya menyebabkan
bentrokan antara massa dengan pihak kepolisian. Massa melempari polisi dengan
benda keras seperti batu dan pot, kemudian pihak kepolisian akhirnya
menembakan gas air mata ke kerumunan massa. Akibat bentrokan ini tiga anggota
kepolisian mengalami luka-luka.17
Melihat konflik antar kelompok umat beragama tersebut, yaitu massa yang
menolak pembangunan gereja, Aliansi Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi
dengan para pihak yang terlibat dengan pembangunan Gereja Santa Clara, maka
menarik untuk diteliti upaya penyelesaian konflik yang dilaksanakan oleh
Walikota Bekasi sesuai dengan peraturan yang berlaku yang mempunyai tugas
serta kewajiban sebagai kepala daerah untuk ikut andil dalam penyelesaian
konflik.18
Berdasarkan permasalahan di atas, maka akan diteliti mengenai peran
Walikota Bekasi dalam menyelesaikan konflik antar kelompok umat beragama
dan alasan penyebab terjadinya konflik antara Majelis Silaturahim Umat Islam
Bekasi dengan panitia pembangunan Gereja Santa Clara. Oleh karena itu, judul
penelitian yang diambil adalah: “Peran Walikota Bekasi dalam Penyelesaian
Konflik Antar Kelompok Umat Beragama, Studi Konflik Pembangunan
Gereja Santa Clara, Bekasi Utara”.
16
Aditya Fajar Indrawan, “Dilempari Batu, Polisi Lepaskan Gas Air Mata ke Pendemo
Gereja”, dalam https://news.detik.com, diunduh 24 Maret 2017. 17
Indrawan, “Bentrok Pendemo Gereja”. 18
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani,
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2003), h. 217.
7
B. Pertanyaan Penelitian
1. Mengapa konflik antar Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi dengan
panitia pembangunan Gereja Santa Clara terkait pembangunan Gereja
Santa Clara dapat terjadi?
2. Bagaimana peran serta Walikota Bekasi dalam menyelesaikan konflik
antar Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi dengan Panitia
Pembangunan Gereja terkait penolakan pembangunan Gereja Santa
Clara?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Untuk mengetahui mengapa konflik antar Majelis Silaturahim Umat
Islam Bekasi dengan Panitia Pembangunan Gereja terkait penolakan
pembangunan Gereja Santa Clara dapat terjadi.
2. Untuk mengetahui peran serta Walikota Bekasi dalam penyelesaian
konflik antar Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi dengan Panitia
Pembangunan Gereja terkait penolakan pembangunan Gereja Santa
Clara.
D. Tinjauan Pustaka
Pertama adalah penelitian dari Adi Ridwan Syam mahasiswa Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014,
yang berjudul “Peran FKUB Kota Tangerang Selatan Dalam Menangani Konflik
Tempat Ibadah, Studi Kasus Pembangunan Gereja Protestan Indonesia Bagian
8
Barat (GPIB) Obor Banten Serpong Utara”. Penelitian ini membahas bagaimana
konflik pembangunan GPIB di Kelurahan Pondok Jagung Timur, Tangerang
Selatan berlangsung. Bagaimana peran dan pendekatan yang dilakukan FKUB
Kota Tangerang Selatan dalam menangani konflik pembangunan GPIB di
Kelurahan Pondok Jagung Timur, Tangerang Selatan. Metode penelitian yang
dugunakan adalah metode kualitatif. Temuan penelitian tersebut adalah bahwa
konflik pembangunan GPIB Obor Banten mulai terjadi ketika ada sosialisasi
rencana pembangunan tempat ibadah. Di sini peran FKUB Tangerang Selatan
sangat suprtif dan tegas. FKUB Tangerang Selatan dalam menangani konflik
pembangunan GPIB Obor Banten menggunakan pendekatan dialog dan tetap
berpegang pada PBM 2006. Bagi FKUB Kota Tangerang Selatan semua
keputusan pemerintah terkait GPIB Obor Banten sudah final. Jika pihak
penentang menginginkan keputusan dibatalkan maka melalui jalur hukum.
Kedua adalah penelitian dari Dyhna Fithriya mahasiswa Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah jakarta tahun 2009, yang berjudul
“Peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Dalam Mengatasi Kristenisasi
yang Terjadi dikalangan Masyarakat Muslim Kota Depok”. Penelitian ini
membahas pola kristenisasi yang terjadi di Kota Depok. Bagaimana FKUB
mengatasi Kristenisasi yang terjadi di Kota Depok. Dan bagaimana peran FKUB
dalam menghadapi kasus seperti itu. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode kualitatif. Temuan penelitian tersebut adalah bahwa FKUB mempunyai
peranan yang sangat penting didalam kehidupan beragama. Dalam kasus ini
FKUB berperan sebagai mediator atau jembatan antara kedua belah pihak yang
9
bersengketa. FKUB berusaha membantu tiap pihak untuk melanjutkan kasus
tersebut ke Walikota dan pihak kepolisian, dengan tujuan agar kasus tersebut
cepat menemukan titik terang dan juga FKUB bertugas menjembatani atau
sebagai mediasi masyarakat yang merasa terganggu dengan kenyamanan
kehidupan beragamanya. Serta sebisa mungkin FKUB menjaga agar masyarakat
hidup rukun.
Ketiga adalah penelitian dari Abdul Kirom mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2015, yang
berjudul “Peranan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Dalam Merawat
Kehidupan Umat Beragama: Studi Atas FKUB Bantul Yogyakarta”. Penelitian ini
membahas bagaimana kehidupan masyarakat Bantul dan peran FKUB Bantul
terhadap kerukunan umat beragama? Bagaimana penyelesaian kasus intoleransi
dan konstruksi kerukunan umat beragama di kabupaten bantul? dan bagaimana
mempertahankan dan menjaga kerukunan umat beragama yang diaktualisasikan
FKUB Bantul? Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif.
Temuan penelitian tersebut adalah bahwa kondisi sosial masyarakat Bantul
sebagaimana kehidupan masyarakat di daerah lain di Indonesia, religius, multi
agama, dan organisasi keagamaan yang cukup mewarnai kehidupan umat
beragama. Kondisi sosial keagamaan di Bantul relatif kondusif dan penuh dengan
persaudaraan. Kondisi demikian tidak lepas dari peran FKUB yang berfungsi
sebagai media kerukunan di tengah kehidupan umat beragama yang plural. FKUB
dalam menyelesaikan kasus intoleransi beragama, mengajak masyarkat untuk
dialog dan mencari titik permasalahannya agar tidak memperkeruh keadaan yang
10
sudah dalam kehidupan masyarakat yang harmonis. FKUB dalam menyelesaikan
masalah intoleransi beragama mengedepankan dialog dan klarifikasi dan terjun ke
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar-benar akurat dan dapat di
pertanggungjawabkan serta tidak terjadi diskriminasi antar sesama umat
beragama.
Keempat adalah penelitian dari Syaefullah mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014, yang
berjudul “Cilvil Society dan Kebebasan Beragama di Indonesia: Studi Kasus The
Wahid Institute. Penelitian ini membahas bagaimana The Wahid Institute sebagai
civil society memperjuangkan kebebasan beragama di Indonesia. Tantangan apa
saja dari The Wahid Institute dalam memperuangkan kebebasan beragama di
Indonesa. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Temuan
penelitian tersebut adalah The Wahid Institute banyak melakukan advokasi
hukum dan politik, diantaranya dengan melakukan press conference sebagai
bentuk protes kepada pemerintah, pendekatan ke tokoh masyarakat sekitar, serta
ke tokoh partai politik, lalu melakukan pembelaan melalui jurnalis brefing kepada
media massa, pendekatan ke Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
kabupaten, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, dan Ombudsman RI. Dalam
perjalanannya, The Wahid Institute mengalami tantangan dalam memperjuangkan
kebebasan beragama di Indonesia. Sebut saja seperti lemahnya sikap Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menangani kasus kekerasan agama,
rumah ibadah, dan kekerasan terhadap kelompok minoritas.
11
Kelima adalah Penelitian dari Rahmat Hidayat mahasiswa Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013,
yang berjudul “Politik Lokal dan Minoritas Agama: Studi Kasus Konflik
Ahmadiyah di Kabupaten Bogor”. Skripsi ini membahas penyebab terjadinya
konflik Ahmadiyah di Kabupaten Bogor? dan upaya pemerintah Kabupaten Bogor
dalam penyelesaian konflik? Metode penelitian yang digunakan adalah metode
kualitatif. Temuan penelitian tersebut adalah konflik ini terjadi dikarenakan
didasari oleh sikap fanatisme yang berlebihan dari para kelompok yang
berkonflik, yang masing-masing mengklaim bahwa apa yang dipahami olehnya
adalah sebuah kebenaran yang mutlak tanpa mau menghormati atau menghargai
perbedaan itu. Upaya pemerintah Kabupaten Bogor dalam penyelesaian konflik
adalah, dengan secara tegas menyatakan pelarangan terhadap segala bentuk
kegiatan Ahmadiyah di wilayah administrasinya.
Perbedaan antara penelitian penulis dengan lima penelitian terdahulu di atas
adalah pada penelitian yang pertama, fokus pembahasannya terdapat pada peran
FKUB dalam penyelesaian konflik umat beragama, studi kasus: Pembangunan
Gereja Protestan Obor Banten serpong utara, dan yang membedakan dengan
penelitian ini adalah berbeda di peran FKUB-nya yaitu penulis mengambil peran
Walikota Bekasi dengan studi kasus pembangunan Gereja Santa Clara, Bekasi
Utara. Sedangkan perbedaan pada penelitian yang kedua adalah pada fokus
pembahasannya terdapat pada Peran FKUB dalam mengatasi Kristenisasi yang
terjadi dikalangan masyarakat Muslim Kota Depok. Dan yang membedakan
dengan penelitian ini adalah berbeda di peran FKUBnya yaitu penulis mengambil
12
peran Walikota Bekasi sebagai penyelesaian konflik antar umat beragama. Pada
penelitian yang ketiga, fokus pembahasannya terdapat pada Peranan FKUB dalam
merawat kehidupan umat beragama: Studi FKUB Bantul Yogyakarta. Dan yang
membedakan dengan penelitian ini adalah berbeda di peran FKUBnya yaitu
penulis ingin membahas peran Walikota Bekasi sebagai penyelesaian konflik
antar umat beragama. Pada penelitian yang ke empat, fokus pembahasannya
terdapat pada The Wahid Institute dan kebebasan beragama di Indonesia. Dan
yang membedakan dengan penelitian ini adalah berbeda di studi kasusnya, yaitu
penulis ingin membahas kemajemukan dan kebebasan beragama di Kota Bekasi
dan pada penelitian yang ke lima, yang membedakan dengan penelitian ini adalah
berbeda pada subjek minoritasnya yaitu para umat Katolik yang mendukung
pembangunan Gereja Santa Clara.
E. Metode Penelitian
E.1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif analisis. Pendekatan
kualitatif ini menurut Creswell dalam buku metode penelitian kualitatif: jenis,
karateristik dan keunggulannya karangan J.R. Raco adalah “suatu pendekatan atau
penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami suatu gejala sentral”.19
Untuk mengeksplorasi dan memahami gejala sentral tersebut penulis
melakukan telaah terhadap data-data atau dokumen-dokumen terkait dengan
19
J.R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karateristik dan Keunggulannya (Jakarta:
PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010), h. 7.
13
gejala sentral penelitian. Selain itu, penulis melakukan wawancara dengan
narasumber yang berkompeten dengan masalah penelitian. Dari data yang berupa
kata-kata atau teks tersebut kemudian dianalisis untuk menangkap arti terdalam
yang dituangkan dalam bentuk laporan tertulis.
E.2. Sumber dan Jenis Data
Sumber data diperoleh dari dokumen-dokumen yang penulis masukan serta
hasil dari observasi dan wawancara yang akan dilakukan oleh penulis. Sebelum
digunakan dalam proses analisis, data dikelompokan terlebih dahulu sesuai
dengan jenis dan karakteristik yang menyertainya. Berdasarkan sumber
pengambilannya, data dibedakan dalam dua macam, yaitu data primer dan data
sekunder.
Data primer adalah data yang diperoleh dan dikumpulkan langsung di
lapangan dari sumber asli oleh orang yang melakukan penelitian.20
Data primer
berupa bukti wawancara dengan narasumber terkait dengan penelitian ini.
Kemudian data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang
yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada.21
Data sekunder
berupa buku-buku dan jurnal yang terkait dengan peran Walikota Bekasi dalam
penyelesaian konflik antar umat beragama.
20
Pupuh Fathurahman, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011),
h. 146. 21
Fathurahman, Metode Penelitian Pendidikan, h. 147.
14
E.3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Wawancara
Wawancara adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan
secara langsung oleh pewawancara (interviewer) kepada yang diwawancarai
(narasumber) dan jawaban-jawaban narasumber dicatat atau direkam
dengan alat perekam.22
Wawancara berarti proses memperoleh keterangan
untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab bertatap muka antara
penanya atau pewawancara dengan penjawab atau narasumber. Dalam
penelitian ini, penulis mewawancarai narasumber sebagai berikut:
1. Nizam Haikal selaku Kepala Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik
(Kesbangpol) Kota Bekasi.
2. Budi Setiawan selaku staf Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik
(Kesbangpol).
3. Jarnuji selaku Kepala Bidang Wasnas Kota Bekasi.
4. Samwani selaku Sekretaris 2 Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) Kota Bekasi.
b. Dokumentasi
Dokumentasi yang digunakan berupa buku-buku, surat kabar, berita
acara rapat maupun media elektronik yang secara langsung membahas peran
Walikota Bekasi dalam penyelesaian konflik antar umat beragama.
Dokumentasi diperlukan untuk mempermudah penulis menemukan jawaban
22
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011),
h. 67.
15
dari permasalahan yang ingin diteliti dan juga penulis dapat menjelaskan
secara detail dan jelas mengenai konflik antar umat beragama yang
disebabkan pembangunan Gereja Santa Clara di Bekasi Utara.
E.4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik deskriptif analisis, yaitu
suatu metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran
terhadap objek yang diteliti melalui data yang telah terkumpul sebagaimana
adanya melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum.
Dengan kata lain penelitian despkriptif analisis mengambil masalah atau
memusatkan perhatian kepada masalah-masalah sebagaimana adanya saat
penelitian dilaksanakan, hasil penelitian yang kemudian diolah dan dianalisis
untuk diambil kesimpulannya.23
Maka dengan demikian dapat menghasilkan
jawaban yang sesuai dari topik yang dibahas. Dengan menggunakan teknik
analisis kualitatif ini penulis berharap bahwasannya dapat memberikan gambaran
secara sistematis dan akurat mengenai penelitian ini.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini, penulis menyusun pembahasan menjadi beberapa
bagian dari sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I. Pendahuluan, pada bab ini penulis berusaha menguraikan
permasalahan yang melatar belakangi penelitian dengan pembahasan dan
perumusan masalah serta tujuan terkait peran Walikota Bekasi dalam penyelesaian
23
Sugiono, Metode Penelitian Bisnis: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D
(Bandung: Alfabeta, 2009), h. 29.
16
konflik antar umat beragama, studi konflik pembangunan Gereja Santa Clara di
Bekasi Utara berdasarkan metode penelitian kualitatif.
Bab II. Bab ini membahas mengenai teori-teori sebagai pendekatan yang
menjelaskan pokok permasalahan penelitian ini yaitu, bagaimana peran Walikota
Bekasi dalam penyelesaian konflik antar umat beragama. Teori yang penulis
gunakan dalam penelitian ini adalah teori konflik dan teori peranan.
Bab III. Bab ini membahas sekilas profil dari Kota Bekasi khususnya Bekasi
Utara sebagai lokasi terjadinya konflik antar umat beragama. Kemudian penulis
membahas profil Walikota Bekasi, yaitu Bapak Rahmat Effendi sebagai pihak
yang bertugas untuk menyelesaikan konflik antar umat beragama di Kota Bekasi.
Bab IV. Bab ini merupakan bagian terpenting dari penelitian, karena
berisikan tentang permasalahan yang penulis angkat. Pada bagian ini penulis
menjelaskan penyebab terjadinya konflik antar umat beragama terkait
pembangunan Gereja Santa Clara, Bekasi Utara, dan menelaah peran serta
Walikota Bekasi sebagai penyelesaian konflik antar kelompok umat beragama.
Bab V. Bab ini penulis berupaya untuk menyimpulkan pembahasan
mengenai penelitian ini sekaligus menjadi penutup pada pokok permasalahan
peran Walikota Bekasi dalam penyelesaian konflik antar umat beragama. Dan
selanjutnya di bab penutup ini terdapat saran dan kritik bagi para pembaca.
17
BAB II
KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL
A. Teori Konflik
A.1. Definisi Konflik
Konflik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti
percekcokan, perselisihan dan pertentangan.1 Menurut Johnson, dalam buku
tinjauan psikologis komunikasi antarpribadi karangan A. Supratiknya,
berpendapat bahwa “konflik adalah situasi di mana tindakan salah satu pihak
berakibat menghalangi, menghambat atau mengganggu tindakan pihak lain”.2
Konflik sebagai proses sosial melibatkan minimal dua pihak yang saling
bertentangan. Konflik disebabkan adanya perbedaan kepentingan antara kedua
belah pihak atau lebih.3 Konflik dapat diartikan sebagai suatu proses sosial, di
mana pihak yang satu berusaha mengalahkan pihak lain dengan cara
menghancurkan atau membuat mereka tidak berdaya. Konflik adalah persaingan
dan pertentangan untuk memenangkan kepentingan dan sumber-sumber daya
yang ada dalam masyarakat. Konflik bersumber dari perbedaan kepentingan antar
beberapa pihak. Dari setiap konflik ada beberapa di antaranya yang dapat
1 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 746. 2 A. Supratiknya, Tinjauan Psikologis: Komunikasi Antarpribadi (Yogyakarta: Kanisius,
1995), h. 94. 3 Rini Fidiyani, “Dinamika Pembangunan Rumah Ibadah Bagi Warga Minoritas di Jawa
Tengah”, Penelitian Strategi Nasional DIKTI, (Juli 2016), h. 6.
18
diselesaikan, akan tetapi ada juga yang tidak dapat diselesaikan sehingga
menimbulkan aksi kekerasan.4
Sedangkan teori konflik adalah suatu teori di dalam kajian ilmu sosiologi
yang memandang masyarakat sebagai suatu sistem sosial yang terdiri dari bagian-
bagian/ komponen-komponen yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda
di mana komponen yang satu berusaha untuk menaklukan komponen yang lain
guna memenuhi kepentingannya/memperoleh kepentingan dan keuntungan
sebesar-besarnya.5 Sebagai proses sosial, konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan
yang agaknya sulit didamaikan atau ditemukan kesamaannya. Perbedaan tersebut
antara lain menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat,
kedudukan, dan keyakinan. Teori konflik yang dikemukakan Ralf Dahrendorf
dalam buku teori sosiologi modern karangan Bernard Raho sering kali disebut
teori konflik dialektik, yang artinya adalah “masyarakat mempunyai dua wajah,
yakni konflik dan konsensus. Masyarakat tidak mungkin mengalami konflik kalau
sebelumnya tidak ada konsensus”. Dahrendorf juga menyebutkan bahwa
“distribusi otoritas atau kekuasaan yang berbeda-beda merupakan faktor yang
menentukan bagi terciptanya konflik yang sistematis. Berbagai posisi yang ada di
dalam masyarakat memiliki otoritas atau kekuasaan dengan intensitas yang
berbeda-beda”6.
Otoritas atau kekuasaan di dalam suatu perkumpulan bersifat dialektik.
Dalam setiap perkumpulan hanya akan terdapat dua kelompok yang bertentangan,
4 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2013), h. 53. 5 Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prestasi Pustaka Raya, 2007), h. 71.
6 Raho, Teori Sosiologi Modern, h. 78.
19
yakni kelompok yang mayoritas dan kelompok yang minoritas. Kedua kelompok
ini mempunyai kepentingan yang berbeda. Mereka yang berada pada kelompok
dominan (mayoritas) ingin tetap mempertahankan status quo sedangkan mereka
yang berada di bawah (minoritas) ingin supaya adanya perubahan. Konflik seperti
ini pasti selalu ada dalam setiap kehidupan bersama atau perkumpulan di
masyarakat suatu negara walaupun mungkin secara tersembunyi.7
A.2. Faktor-faktor Penyebab Konflik
Dalam buku Pengantar Sosiologi karangan Elly M. Setiadi dan Usman
Kolip, faktor penyebab konflik terbagi menjadi dua, yaitu kemajemukan vertikal
dan kemajemukan horizontal.8 Yang dimaksud dengan kemajemukan vertikal
adalah struktur masyarakat yang terpolarisasi secara ketidak sederajatan yang
didasarkan pada perbedaan beberapa faktor, diantaranya adalah kekuasaan,
kekayaan, pendidikan, dan jabatan.9 Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan
konflik di masyarakat dikarenakan adanya sekelompok kecil masyarakat yang
memiliki kekuasaan, pendidikan, kekayaan, dan jabatan yang berlebih. Sementara
sebagian masyarakat merasa kurang dibandingkan kelompok tersebut,
mengingkan adanya kesederajatan atau peningkatan dalam aspek kekuasaan,
pendidikan, kekayaan, atau jabatan.10
Kemajemukan horizontal adalah struktur masyarakat yang majemuk secara
sosial dalam perbedaan etnis, ras, agama, maupun pekerjaan dan profesi, seperti
petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri sipil (PNS), militer,
7 Raho, Teori Sosiologi Modern, h. 79.
8 Setiadi dan Kolip, Pengantar Sosiologi Politik, h. 59.
9 Setiadi dan Kolip, Pengantar Sosiologi Politik, h. 60.
10 Setiadi dan Kolip, Pengantar Sosiologi Politik, h. 61.
20
wartawan, tokoh agama (alim ulama), sopir, cendekiawan, dan lain-lain.
Kemajemukan horizontal menimbulkan konflik karena masing-masing unsur
tersebut mempunyai karateristik sendiri-sendiri dan adanya keinginan dari
masing-masing unsur tersebut untuk mempertahankan karateristik budaya yang
dianutnya tersebut. Konflik kemajemukan horizontal adalah kemajemukan yang
ditimbulkan oleh adanya unsur-unsur sosiopolitik dalam kesederajatan yang
didasarkan atas perbedaan etnis, kultur, agama, ras, dan lainnya. Masing-masing
unsur atau kelompok masyarakat mempunyai kepentingan dan tujuan yang
berbeda bahkan tidak jarang pula yang saling bertentangan.11
Dalam setiap konflik yang disebabkan kemajemukan horizontal, khususnya
konflik antar umat beragama, hanya akan terdapat dua kelompok yang
bertentangan, yakni kelompok yang dominan yaitu kelompok mayoritas dengan
kelompok minoritas. Kedua kelompok ini mempunyai kepentingan yang berbeda.
Mereka yang berada pada kelompok mayoritas (dominan) ingin tetap
mempertahankan status quo sedangkan mereka yang berada di bawah (minoritas)
ingin supaya ada perubahan. Konflik ini pasti selalu ada dalam setiap kehidupan
masyarakat beragama yang majemuk.12
Kemajemukan agama (Religious Plurality) di suatu daerah mempunyai
potensi untuk melahirkan atau membangkitkan konflik di tengah-tengah
kehidupan masyarakat. Konflik terjadi bukan dikarenakan agama tersebut,
melainkan biasanya terjadi karena adanya kesalahpahaman antar penganut agama
11
Setiadi dan Kolip, Pengantar Sosiologi Politik, h. 60. 12
Setiadi dan Kolip, Pengantar Sosiologi Politik, h. 79.
21
tersebut.13
Kelompok mayoritas dengan kelompok minoritas umat beragama di
suatu daerah dapat menciptakan konflik di masyarakat. Dari sekian banyak
konflik antar umat beragama, rata-rata akar penyebab konfliknya adalah adanya
penolakan kelompok mayoritas dengan pembangunan rumah ibadah kelompok
minoritas.
A.3. Penyelesaian Konflik
Penyelesaian konflik atau biasa disebut integrasi konflik bukan selalu dua
hal yang berlawanan di dalam ilmu sosial, keduanya juga saling melengkapi satu
sama lain. Maurice Duverger dalam buku sosiologi politik, berpendapat bahwa
“konflik dan integrasi tidaklah berlawanan, akan tetapi keduanya menjadi bagian
tak terpisahkan dari proses yang sama, bahwa konflik secara alami akan menuju
integrasi.”14
Menurut vocabulaire philosophique, dalam buku sosiologi politik karangan
Maurice Duverger, Lalande memberikan definisi integrasi sebagai “dibangunnya
interdepedensi yang lebih rapat antara bagian-bagian dari organisme hidup atau
antara anggota-anggota dalam masyarakat”. Integrasi adalah proses
mempersatukan masyarakat yang cenderung membuatnya menjadi masyarakat
yang harmonis yang didasarkan pada tatanan yang menurut anggota-anggotanya
dianggap sama harmonisnya. Mempersatukan masyarakat dalam integrasi berarti
menghilangkan antagonisme yang membagi-baginya dalam masyarakat yang
mengalami konfik. Akan tetapi suatu masyarakat yang berkonflik akan sulit
13
Ulfah Fajarini, “Konflik dan Integrasi Faham Keagamaan Islam: Studi Kasus Masarakat
Sawangan, Depok Jawa Barat”, Laporan Hasil Penelitian Lembaga UIN Syarif Hidayatullah,
(Oktober 2003), h. 2. 14
Maurice Duverger, Sosiologi Politik (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), h. 251.
22
berintegrasi bilamana individu-individu yang menjadi unsur-unsurnya tetap
berdiri pada satu pihak dan tidak mau menbuka diri dengan pihak lainnya.
Integrasi bukan hanya untuk menyelesaikan konflik, akan tetapi juga sebagai
ajang pengembangan solidaritas.15
Menurut Ralf Dahrendorf dalam buku memahami ilmu politik karangan
Ramlan Subakti, berpendapat bahwa pengaturan penyelesaian konflik yang efektif
bergantung pada tiga faktor. Pertama, kedua pihak harus mengakui kenyataan dan
keadaan konflik yang terjadi di antara mereka (adanya pengakuan atas
kepentingan yang diperjuangkan oleh pihak lain). Kedua, kepentingan-
kepentingan yang diperjuangkan harus terorganisir secara terstruktur, tidak
tercerai-berai, dan terkotak-kotak sehingga masing-masing pihak memahami
dengan jelas lingkup tuntutan pihak lain. Ketiga, kedua pihak menyepakati aturan
yang menjadi landasan dan pegangan dalam hubungan dan interaksi di antara
mereka. Kemudian Dahrendorf menyebutkan tiga bentuk pengaturan penyelesaian
konflik, yaitu:16
a. Konsiliasi, yaitu mempertemukan kedua belah pihak yang berkonflik di
tempat yang netral, di mana semua pihak berdiskusi dan berdebat secara
terbuka. Dalam mencapai kesepakatan, tidak ada pihak-pihak yang
memonopoli pembicaraan atau memaksakan kehendak. Kebanyakan
konflik diatur dengan bentuk konsiliasi.
b. Mediasi, yaitu kedua belah pihak yang berkonflik sepakat mencari
solusi dari pihak ketiga (seorang mediator berupa tokoh, ahli, atau
15
Duverger, Sosiologi Politik, h. 310. 16
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 204.
23
lembaga tertentu yang dipandang memiliki pengetahuan dan keahlian
yang mendalam mengenai hal yang dipertentangkan).
c. Arbitrase, yaitu kedua belah pihak sepakat untuk mendapatkan
keputusan akhir yang bersifat legal sebagai jalan keluar konflik pada
pihak ketiga yaitu arbiter sebagai pemberi keputusan.
Arbitrase berbeda dengan pengadilan, pengadilan adalah lembaga atau
badan yang bertugas menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan. Pengadilan dalam menyelesaikan suatu perkara dilakukan
oleh hakim, baik tunggal maupun majelis.17
Sedangkan arbitrase dalam
penyelesaian suatu perkara dilakukan oleh arbiter tunggal atau majelis arbiter.
Arbiter dapat dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Umumnya arbiter tersebut
tidak semata-mata ahli hukum, tetapi juga memiliki keahlian di bidang yang
disengketakan. Sedangkan dalam pengadilan, hakim dipilih oleh ketua pengadilan
dan merupakan hakim yang menguasai bidang hukum secara umum.18
Dalam konflik pembangunan Gereja Santa Clara, bentuk penyelesaian
konflik yang digunakan adalah dengan cara mediasi. Mediasi digunakan karena
penyelesaian berupa konsiliasi sudah dilakukan dan tidak dapat menyelesaikan
konflik tersebut. Pada akhirnya mediasi digunakan karena adanya pihak ketiga
sebagai mediator yang memiliki pengetahuan dan keahlian yang mendalam
mengenai hal yang dipertentangkan.19
Dalam konflik penolakan pembangunan
17
Barzah Latupuno dkk, Buku Ajar Hukum Islam (Yogyakarta: Deepublish, 2017), h. 100. 18
Josie Susilo Hardianto, “Ribut-ribut Freeport, Ini Perbedaan Arbitrase dan Pengadilan”,
dalam http://www.kompas.com, diunduh 24 Februari 2017. 19
Gatot Soemartono, Arbitrasi dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2006), h. 119.
24
Gereja Santa Clara, Walikota Bekasi sebagai kepala daerah yang menjadi
mediator antara pihak-pihak yang bertentangan.
B. Peranan Kepala Daerah dalam Penyelesaian Konflik
B.1. Definisi Peranan
Peranan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah tindakan
yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa.20
Sedangkan definisi
peranan menurut Debby Natasia Kere dalam jurnal eksekutif Unsrat berpendapat
bahwa “peranan adalah aktivitas yang dilakukan seseorang. Apabila individu
melaksanakan kewajibannya sesuai kedudukannya maka individu tersebut sudah
melakukan peranan. Semakin tinggi kedudukan seseorang, maka semakin tinggi
pula peranan yang harus dijalankan”.21
Peranan juga dilaksanakan oleh badan
lembaga atau organisasi, peranan yang harus dijalankan oleh badan lembaga atau
organisasi biasanya diatur dalam suatu peraturan yang merupakan fungsi dari
lembaga tersebut. Peranan terbagi menjadi dua macam yaitu peranan yang
diharapkan (expected role) dan peranan yang dilakukan (actual role). Dalam
melaksanakan peranan, terdapat faktor pendukung dan penghambat.22
Dengan
demikian yang dapat disimpulkan dari beberapa pengertian peranan di atas adalah
peranan merupakan tindakan yang seharusnya dilakukan oleh seseorang/individu
maupun kelompok sesuai dengan norma, aturan dan status yang dimiliki. Setiap
20
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, h. 1155. 21
Debby Natasia Kere, “Peran Walikota dalam Mengatasi Konflik Pembangunan Masjid
Asy-Syuhada di Kelurahan Girian Permai Kota Bitung”, Jurnal Eksekutif Unsrat, h. 4. 22
Kustini, Peranan Forum Kerukunan Umat Beragama dalam Pelaksanaan Pasal 8, 9,
dan10 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006
(Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI,
2010), h. 7.
25
individu memungkinkan untuk menjalankan beberapa peranan sesuai dengan
status yang melekat pada dirinya.
Menurut teori peranan (role theory) Ralph Linton dalam buku sosiologi
suatu pengantar karangan Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, berpendapat
bahwa “peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang
atau suatu lembaga melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan”.23
Peranan harus dibedakan
dengan posisi dalam kehidupan kemasyarakatan. Posisi dalam masyarakat (social
position) merupakan unsur statis yang menunjukan tempat individu pada
organisasi masyarakat. Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian
diri, dan sebagai suatu proses. Jadi, seseorang menduduki suatu posisi dalam
masyarakat serta menjalankan suatu peranan. Peranan mencakup tiga hal, yaitu: 24
a. Peranan dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur
sosial masyarakat
b. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan
oleh individu dalam masyarakat sebagai lembaga/organisasi.
c. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau
tempat seseorang atau lembaga/ organisasi dalam masyarakat. Peranan
dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang
membimbing seseorang atau lembaga/ organisasi dalam kehidupan
kemasyarakatan.
23
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2014), h. 210. 24
Soekanto dan Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 211.
26
B.2. Definisi Kepala Daerah
Dalam buku otonomi daerah dan kepala daerah memasuki abad XXI, Andi
Mustari mendefinisikan kepala daerah sebagai “pejabat yang menjalankan hak,
wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintahan daerah atau pejabat yang
memimpin penyelenggaraan dan bertanggung jawab sepenuhnya tentang jalannya
pemerintahan daerah”.25
Selain itu, dalam ketentuan Undang-Undang Republik
Indonesia No. 23 Tahun 2014 mengenai “Pemerintahan Daerah” Pasal 24
disebutkan bahwa “jabatan tingkat I adalah Kepala Wilayah Provinsi atau Ibukota
Negara yang dipimpin oleh Gubernur sedangkan Kepala Daerah Tingkat II adalah
Kepala Wilayah Kabupaten yang dipimpin oleh Bupati dan Kotamadya yang
dipimpin oleh Walikota”.26
Kepala daerah sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Pemerintahan daerah merupakan penyelenggaraan urusan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) dengan pemerintah daerah dalam hal ini yaitu kepala
daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya.27
Prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang
menjadi urusan pemerintah pusat yang ditetapkan dalam undang-undang.28
Jadi
pada intinya kepala daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah
25
Andi Mustari, Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1999), h. 50. 26
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 27
Siti Herawati, “Pemakzulan Kepala Daerah Menurut Perspektif Fiqih Siyasah dan
Hukum Positif, Studi Kasus Pemberhentian Bupati Bogor Rahmat Yasin”, (Skripsi S1 Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015), h. 1. 28
Iswan Kaputra, dkk. Dampak Otonomi Daerah di Indonesia: Merangkai Sejarah Politik
dan Pemerintahan Indonesia (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013), h. 66.
27
yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah otonomnya.
B.3. Peranan Kepala Daerah dalam Penyelesaian Konflik
Peranan kepala daerah adalah kekuasaan kepala daerah yang dirinci secara
jelas menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang wajib dikerjakan
atau dilaksanakan oleh kepala daerah. Termasuk dalam tugas ini adalah hak-hak
kepala daerah yang disebutkan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.29
Berhasil tidaknya tugas-tugas daerah sangat bergantung kepada peranan
kepala daerah. Kemudian berhasil tidaknya seseorang yang menjabat sebagai
kepala daerah dalam menjalankan tugas-tugasnya tergantung kepada kualitas yang
dimilikinya.30
Dalam pemerintahan kotamadya, dipimpin oleh seorang walikota sesuai
dengan ketentuan Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2014
mengenai “Pemerintahan Daerah”, BAB III, Pasal 4 disebutkan bahwa “Kepala
Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara yang dipimpin oleh Gubernur sedangkan
Kepala Wilayah Kabupaten yang dipimpin oleh Bupati dan Kotamadya yang
dipimpin oleh Walikota”.31
Walikota bertugas melaksanakan kebijakan daerah
kotamadya dan peraturan perundangan lain yang menjadi kewajibannya. Walikota
dipilih oleh masyarakat melalui pemilihan kepala daerah (pilkada) secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Karena itu, walikota bertanggung
29
Mustari, Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah, h. 51. 30
Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia: Identifikasi
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraan Otonomi Daerah (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2007), h. 71. 31
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
28
jawab penuh kepada masyarakat.32
Peranan walikota sebagai kepala daerah adalah
untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat, dan menjaga
kestabilan dalam masyarakat.33
Menurut Undang-undang No. 23 Tahun 2014 BAB IV mengenai “Urusan
Pemerintahan” Pasal 12 disebutkan bahwa ada 6 tugas wajib kepala daerah yang
berkaitan dengan pelayanan dasar, Tugas wajib tersebut adalah berkaitan
dengan:34
a. Pendidikan.
b. Kesehatan.
c. Pekerjaan umum dan penataan ruang.
d. Perumahan rakyat dan kawasan pemukiman.
e. Ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat
f. Sosial.
Kemudian disebutkan bahwa ada 18 tugas wajib kepala daerah yang tidak
berkaitan dengan pelayanan dasar. Tugas tersebut adalah berkaitan dengan:35
a. Tenaga kerja.
b. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
c. Pangan.
d. Pertanahan.
e. Lingkungan hidup.
f. Administrasi kependudukan dan pencatatan sipil.
g. Pemberdayaan masyarakat dan desa.
h. Pengendalian penduduk dan keluarga berencana.
i. Perhubungan.
j. Komunikasi dan informatika.
k. Koperasi, usaha kecil, dan menengah.
32
Hanif Nurcholis, Teori Dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah (Jakarta:
Grasindo, 2007), h. 219. 33
Bungaran Antonius Simanjuntak dkk, Dampak Otonomi Daerah Di Indonesia:
Merangkai Sejarah Politik Dan Pemerintahan Indonesia (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2013), h. 66. 34
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 35
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
29
Menurut Undang-undang No. 23 Tahun 2014 bab IV pasal 12 poin C,
kepala daerah wajib menjaga ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Jika
terjadi konflik di masyarakat khususnya konflik berlatar belakang agama yang
sangat sensitif dan rawan menimbulkan perpecahan, sangatlah diperlukan peran
kepala daerah sebagai wadah untuk penyelesaian konflik.
Selain Undang-undang No. 23 Tahun 2014, peranan walikota sebagai kepala
daerah juga diatur dalam peraturan seperti Keputusan Presiden (Keppres),
Peraturan Menteri (Permen), Peraturan Daerah (Perda), dan lain-lain. yang
berlaku bagi kepala daerah tersebut.36
Peraturan-peraturan tersebut secara garis
besar dibuat untuk dapat mensejahterakan masyarakat, menciptakan ketertiban
dalam masyarakat, dan menyelesaikan masalah atau konflik yang terjadi di
masyarakat agar kestabilan dalam masyarakat terjaga.37
Peran walikota sebagai kepala daerah dalam penyelesaian konflik antar
umat beragama diatur dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan
Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang “Pedoman Pelaksanaan
Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan
Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
Pendirian Rumah Ibadah.”38
Dalam PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, selain membahas peran walikota
dalam penyelesaian konflik, dibahas juga peran walikota dalam pemeliharaan
36
Samodra Wibawa, Politik Perumusan Kebijakan Publik (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011),
h. 9. 37
Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses (Yogyakarta: Media Presindo, 2007),
h. 77. 38
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, Pedoman Kerukunan Hidup
Umat Beragama (Bekasi: CV. Atina Bulan Cahaya, 2012), h. 8.
30
kerukunan umat beragama. Dalam bab II mengenai “Tugas Kepala Daerah dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama” pasal 6 disebutkan bahwa ada lima
tugas pokok walikota dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama:39
a. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat termasuk
memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di kota.
b. Mengkordinasikan kegiatan instansi vertikal di kota dalam
pemeliharaan kerukunan umat beragama.
c. Menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling
menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama.
d. Membina dan mengkordinasikan camat dan lurah dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketentraman dan
ketertiban dalam masyarakat dalam kehidupan beragama.
e. Menerbitkan IMB rumah ibadah.
Dalam bab VI mengenai “Penyelesaian Perselisihan” pasal 21 ayat 2
disebutkan bahwa peran walikota sebagai kepala daerah dalam penyelesaian
konflik dibantu kepala kantor departemen agama melalui musyawarah yang
dilakukan secara adil dan tidak memihak dengan mempertimbangkan pendapat
atau saran dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).40
Adapun peranan Walikota Bekasi dalam penyelesaian konflik pembangunan
Gereja Santa Clara salah satunya melakukan mediasi dengan pihak yang
berkonflik yaitu Majelis Silahturahim Umat Islam Bekasi dan panitia
pembangunan Gereja bertemu dalam satu forum.
39
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, Pedoman Kerukunan Hidup
Umat Beragama, h. 9. 40
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Buku Pedoman Kerukunan Hidup Umat Beragama
(Bekasi: Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Bekasi, 2015), h. 27.
31
BAB III
GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
A. Keberagaman Umat Beragama di Kota Bekasi
Kota Bekasi adalah kota administratif yang terletak di bagian barat Provinsi
Jawa Barat. Berdasarkan UU RI No. 22 tahun 1999, pemerintahan kotamadya
daerah tingkat II Bekasi berubah nama menjadi Pemerintah Kota Bekasi. Kota
Bekasi memiliki luas wilayah seluas 210,49 km2,1 terletak di bagian utara Jawa
Barat yang terletak antara 106o 28‟ – 107
o 27‟ 29” bujur timur dan 6
o 10‟ 6” – 6
o
30‟ 6” lintang selatan.2 Jarak antara Kota Bekasi dengan ibukota provinsi Jawa
Barat yaitu Kota Bandung sejauh kurang lebih 140km dan jarak antara Kota
Bekasi dengan ibukota negara yaitu provinsi DKI Jakarta sejauh kurang lebih
18km.3 Secara administratif Kota Bekasi berbatasan dengan:
4
1. Utara : Berbatasan dengan Kabupaten Bogor.
2. Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Bekasi
3. Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Bogor.
4. Barat : Berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta.
Berdasarkan Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2004, wilayah Kota Bekasi
memiliki dua belas wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi
Selatan, Bekasi Timur, Bekasi Utara, Pondok Gede, Jati Asih, Bantar Gebang,
1 Kota Bekasi, “Pusat Data dan Analisa Pembangunan Jawa Barat”, dalam
http://pusdalisbang.jabarprov.go.id, diunduh 11 April 2017. 2 Badan Pusat Statistik Kota Bekasi, “Kota Bekasi dalam Angka 2017” (Bekasi: BPS Kota
Bekasi, 2017), h. 3. 3 Andi Sopandi, Sejarah dan Budaya Kota Bekasi: Sebuah Catatan Perkembangan Sejarah
dan Budaya Masyarakat Bekasi (Bekasi: Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan
Kepariwisataan Kota Bekasi, 2011), h. 171. 4 Sopandi, Sejarah dan Budaya Kota Bekasi, h. 172.
32
Jatisampurna, Medan Satria, Rawa Lumbu, Mustika Jaya, dan Pondok Melati5.
Jumlah penduduk Kota Bekasi tercantum dalam tabel di bawah ini.
Tabel III.1. Jumlah Penduduk Kota Bekasi
NO Kecamatan Jumlah Penduduk
1 Bekasi Barat 314.601 jiwa
2 Bekasi Selatan 210.991 jiwa
3 Bekasi Timur 270.562 jiwa
4 Bekasi Utara 312.066 jiwa
5 Pondok Gede 277.100 jiwa
6 Jati Asih 208.767 jiwa
7 Bantar Gebang 97.331 jiwa
8 Jatisampurna 104.776 jiwa
9 Medan Satria 169.850 jiwa
10 Rawa Lumbu 186.907 jiwa
11 Mustika Jaya 138.776 jiwa
12 Pondok Melati 157.032 jiwa
Jumlah Penduduk 2.448.759 jiwa
Sumber: Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, “Data Jumlah
Penduduk dan penganut Ajarann Agama di Kota Bekasi”, Juli 2016.
Dengan demikian terlihat bahwa berdasarkan data dari FKUB Kota Bekasi,
jumlah penduduk Kota Bekasi berjumlah 2.448.759 jiwa yang tersebar di dua
belas kecamatan.
Fokus studi konflik penelitian ini berlokasi di Kecamatan Bekasi Utara.
Kecamatan Bekasi Utara terletak di bagian utara Kota Bekasi. Kecamatan ini di
bagian timur berbatasan dengan Kecamatan Bekasi Timur, di bagian barat
berbatasan dengan Kecamatan Medan Satria Kota Bekasi, di bagian utara
berbatasan dengan Kecamatan Babelan dan Tarumajaya Kabupaten Bekasi, dan di
bagian selatan berbatasan dengan Kecamatan Bekasi Selatan dan Bekasi Barat
Kota bekasi.6 Menurut data dari FKUB Kota Bekasi, jumlah penduduk di
5 Sopandi, Sejarah dan Budaya Kota Bekasi, h. 154.
6 Kecamatan Bekasi Utara, “Profil Kecamatan Bekasi Utara”, dalam
http://bekasiutara.bekasikota.go.id, diunduh 20 April 2017.
33
kecamatan Bekasi Utara berjumlah 312.066 jiwa. Kecamatan Bekasi Utara terdiri
dari enam kelurahan, yaitu Kelurahan Kaliabang Tengah, Teluk Pucung, Harapan
Jaya, Marga Mulya, Perwira, dan Harapan Baru.7 Terjadinya konflik
pembangunan Gereja Santa Clara berlokasi di Kelurahan Harapan Baru.
Untuk agama yang diakui oleh negara terdapat enam agama, yaitu Islam,
Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu. Sedangkan
jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianutnya menurut data dari FKUB
Kota Bekasi adalah seperti yang tercantum pada tabel di bawah ini.
Tabel III.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama
NO Kecamatan
Penganut Agama
Islam Protesta
n Katolik Hindu Budha Konghuchu
1 Bekasi Barat 279.497 23.222 8.730 2.515 603 34
2 Bekasi Selatan 181.078 20.001 7.644 1.724 534 10
3 Bekasi Timur 233.295 21.701 7.945 7.109 498 14
4 Bekasi Utara 274.512 24.876 7.958 4.019 687 14
5 Pondok Gede 246.087 20.979 7.652 1.574 783 25
6 Jati Asih 186.994 15.234 4.614 1.452 449 24
7 Bantar Gebang 93.596 2.437 791 426 70 11
8 Jatisampurna 93.498 7.522 2.926 533 286 11
9 Medan Satria 141.349 16.716 7.470 3.867 433 15
10 Rawa Lumbu 158.890 19.365 5.661 2.512 466 13
11 Mustika Jaya 125.976 9.125 2.801 629 234 11
12 Pondok Melati 130.675 15.622 9.032 1.122 572 9
JUMLAH 2.145.447 196.800 73.224 27.482 5.615 191
Sumber: FKUB Kota Bekasi, “Data Jumlah Penduduk dan Penganut Ajaran Agama di
Kota Bekasi”.
Dengan demikian dari terlihat bahwa dari dua belas kecamatan, Kota Bekasi
mempunyai keberagaman beragama, ini dibuktikan dengan adanya enam agama
yang diakui pemerintah yang masing-masing agama memiliki jumlah penganut
7 Tim BPS Kota Bekasi, Kota Bekasi dalam Angka: Data Primer Kota Bekasi 2011
(Bekasi: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapedda) Kota Bekasi, 2012), h. 10.
34
yang banyak. Agama Islam sebagai mayoritas agama yang dianut oleh masyarakat
Kota Bekasi dengan jumlah penganutnya sebesar 2.145.447 jiwa.
Dari segi jumlah rumah ibadah, menurut data dari FKUB Kota Bekasi, total
2.422 jumlah rumah ibadah dari enam agama yang diakui pemerintah dan tersebar
di dua belas kecamatan di Kota Bekasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel III.3. Jumlah Rumah Ibadah
No Agama Jumlah Rumah Ibadah
1 Islam 2.202
2 Kristen Protestan 200
3 Kristen Katolik 7
4 Hindu 1
5 Budha 11
6 Konghuchu 1
JUMLAH 2.422
Sumber: FKUB Kota Bekasi, “Data Jumlah Penduduk dan Penganut Ajaran Agama di
Kota Bekasi”.
Kemudian menurut data dari FKUB Kota Bekasi, jumlah bangunan Masjid
dan Musholla yang tersebar di dua belas kecamatan Kota Bekasi tercantum dalam
tabel di bawah ini.
Tabel III.4. Jumlah Masjid dan Musholla
NO Kecamatan Masjid Musholla Jumlah
1 Bekasi Barat 78 170 248
2 Bekasi Selatan 76 97 173
3 Bekasi Timur 114 161 275
4 Bekasi Utara 93 149 243
5 Pondok Gede 89 120 209
6 Jati Asih 85 78 163
7 Bantar Gebang 25 111 136
8 Jati Sampurna 50 63 113
9 Medan Satria 41 69 110
10 Rawa Lumbu 101 95 196
11 Mustika Jaya 64 121 185
12 Pondok Melati 65 86 151
JUMLAH 881 1.320 2.202
35
Sumber: FKUB Kota Bekasi, “Data Jumlah Penduduk dan Penganut Ajaran Agama di
Kota Bekasi”.
Dengan demikian jumlah Masjid dan Musholla yang tersebar di dua belas
kecamatan Kota Bekasi berjumlah 2.202 dengan rincian 881 jumlah bangunan
Masjid dan 1.320 jumlah bangunan Musholla. Jumlah Masjid terbanyak berada di
Kecamatan Bekasi Timur dengan total 114 Masjid. Sedangkan jumlah Musholla
terbanyak berada di Kecamatan Bekasi Barat dengan total 170 Musholla.
Kemudian untuk jumlah bangunan Gereja Protestan menurut data dari
FKUB Kota Bekasi yang tersebar di dua belas kecamatan Kota Bekasi tercantum
dalam tabel di bawah ini.
Tabel III.5. Jumlah Gereja Protestan
NO Kecamatan Gereja Protestan Ruko / Rumah Jumlah
1 Bekasi Barat 11 6 17
2 Bekasi Selatan 13 8 22
3 Bekasi Timur 16 22 38
4 Bekasi Utara 4 17 21
5 Pondok Gede 1 4 5
6 Jati Asih 3 6 9
7 Bantar Gebang - - -
8 Jati Sampurna 7 12 19
9 Medan Satria 15 15
10 Rawa Lumbu 3 21 24
11 Mustika Jaya - 4 4
12 Pondok Melati 23 3 26
JUMLAH 81 118 200
Sumber: FKUB Kota Bekasi, “Data Jumlah Penduduk dan Penganut Ajaran Agama di
Kota Bekasi”.
Dengan demikian jumlah bangunan Gereja Protestan yang tersebar di dua
belas Kecamatan di Kota Bekasi berjumlah 200 bangunan dengan rincian 81
bangunan Gereja tetap dan 118 bangunan yang masih berbentuk ruko atau rumah.
Jumlah Gereja Protestan yang berbentuk bangunan terbanyak berada di
Kecamatan Pondok Melati, dengan jumlah 23 bangunan Gereja. Kemudian,
36
jumlah ruko/ rumah yang dijadikan rumah ibadah agama Protestan terbanyak
berada di Kecamatan Bekasi Timur, dengan jumlah 22 ruko/rumah.
Kemudian untuk jumlah bangunan Gereja Katholik menurut data dari
FKUB Kota Bekasi yang tersebar di dua belas kecamatan Kota Bekasi tercantum
dalam tabel di bawah ini.
Tabel III.6. Jumlah Gereja Katolik
NO Kecamatan Gereja Katolik Ruko / Rumah Jumlah
1 Bekasi Barat 1 - 1
2 Bekasi Selatan 1 - 1
3 Bekasi Timur 1 - 1
4 Bekasi Utara - 2 2
5 Pondok Gede - - -
6 Jati Asih - - -
7 Bantar Gebang - - -
8 Jati Sampurna - - -
9 Medan Satria 1 - 1
10 Rawa Lumbu - - -
11 Mustika Jaya - - -
12 Pondok Melati 1 - 1
JUMLAH 5 2 7
Sumber: FKUB Kota Bekasi, “Data Jumlah Penduduk dan Penganut Ajaran Agama di
Kota Bekasi”.
Dengan demikian jumlah bangunan Gereja Katolik yang tersebar di dua
belas Kecamatan Kota Bekasi berjumlah 7 bangunan dengan rincian 5 bangunan
Gereja tetap dan 2 bangunan yang masih berbentuk ruko atau rumah. Kecamatan
yang memiliki bangunan Gereja Katolik tetap yaitu, Bekasi Barat, Bekasi Selatan,
Bekasi Timur, Medan Satria, dan Pondok Melati. Kemudian, kecamatan yang
memiliki 2 bangunan gereja yang masih berbentuk ruko atau rumah yaitu Bekasi
Utara.
Kemudian untuk jumlah bangunan Pura menurut data dari FKUB Kota
Bekasi yang tersebar di dua belas kecamatan Kota Bekasi tercantum dalam tabel
di bawah ini.
37
Tabel III.7. Jumlah Pura
NO Kecamatan Pura
1 Bekasi Barat 1
2 Bekasi Selatan -
3 Bekasi Timur -
4 Bekasi Utara -
5 Pondok Gede -
6 Jati Asih -
7 Bantar Gebang -
8 Jati Sampurna -
9 Medan Satria -
10 Rawa Lumbu -
11 Mustika Jaya -
12 Pondok Melati 1
JUMLAH 1
Sumber: FKUB Kota Bekasi, “Data Jumlah Penduduk dan Penganut Ajaran Agama di
Kota Bekasi”.
Dengan demikian jumlah bangunan Pura yang tersebar di dua belas
Kecamatan Kota Bekasi berjumlah1 bangunan.
Kemudian, jumlah bangunan Vihara menurut data dari FKUB Kota Bekasi
yang tersebar di dua belas kecamatan Kota Bekasi tercantum dalam tabel di
bawah ini.
Tabel III.8. Jumlah Vihara
NO Kecamatan Vihara
1 Bekasi Barat -
2 Bekasi Selatan -
3 Bekasi Timur 4
4 Bekasi Utara 2
5 Pondok Gede -
6 Jati Asih 1
7 Bantar Gebang -
8 Jati Sampurna -
9 Medan Satria -
10 Rawa Lumbu 3
11 Mustika Jaya -
12 Pondok Melati 1
JUMLAH 11
Sumber: FKUB Kota Bekasi, “Data Jumlah Penduduk dan Penganut Ajaran Agama di
Kota Bekasi”.
38
Dengan demikian jumlah bangunan Vihara yang tersebar di dua belas
Kecamatan Kota Bekasi berjumlah 11 bangunan. Jumlah bangunan vihara
terbanyak berada di Kecamatan Bekasi Timur dengan jumlah 4 bangunan vihara.
Terakhir, untuk jumlah bangunan Kelenteng menurut data dari FKUB Kota
Bekasi, yang tersebar di dua belas kecamatan Kota Bekasi tercantum dalam tabel
di bawah ini.
Tabel III.9. Jumlah Klenteng
No Kecamatan Klenteng
1 Bekasi Barat -
2 Bekasi Selatan -
3 Bekasi Timur 1
4 Bekasi Utara -
5 Pondok Gede -
6 Jati Asih -
7 Bantar Gebang -
8 Jati Sampurna -
9 Medan Satria -
10 Rawa Lumbu -
11 Mustika Jaya -
12 Pondok Melati -
JUMLAH 1
Sumber: FKUB Kota Bekasi, “Data Jumlah Penduduk dan Penganut Ajaran Agama
di Kota Bekasi”.
Dengan demikian jumlah bangunan Klenteng yang tersebar di dua belas
Kecamatan Kota Bekasi berjumlah 1 bangunan yang berlokasi di Kecamatan
Bekasi Timur.
Dengan keberagaman agama beserta tempat ibadahnya, wajar saja jika
konflik yang berlandaskan agama rawan terjadi di Kota Bekasi. Salah satu studi
konflik antar umat beragama di Kota Bekasi yaitu tentang konflik penolakan
pembangunan Gereja Santa Clara yang berlokasi di Kecamatan Bekasi Utara.
39
B. Walikota Bekasi
Dr. H. Rahmat Effendi, S.Sos., M.Si, atau yang lebih dikenal dengan
panggilan Bang Pepen adalah Walikota Bekasi periode saat ini. Lahir pada
tanggal 3 Februari 1964 di Kota Bekasi. Riwayat pendidikan beliau ditempuh dari
SD Negeri Pekayon tahun 1979, SMPN 2 Kota Bekasi Tahun 1982, kemudian
melanjutkan SMA Negeri 52 Jakarta tahun 1985. Beliau kemudian melanjutkan
pendidikan sarjana S1 di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Bagasasi
Tahun 2000 hingga meraih gelar sarjana sosial (S.Sos). Kemudian beliau
melanjutkan pendidikan sarjana S2 di STIA Bagasasi Tahun 2006 hingga
mendapatkan gelar M.Si. Pada tahun 2010 beliau menempuh pendidikan sarjana
S3 di Universitas Pasundan.8
Karir Rahmat Effendi sebelum terjun ke dunia politik dan akhirnya
menjabat sebagai Walikota Bekasi dimulai dari asisten pergudangan dan
supervisor logistik di PT. Halliburton Indonesia. Beliau juga merupakan Direktur
PT. Rampita Aditama Rizki. Beliau juga pernah menduduki beberapa jabatan
seperti Ketua Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) Pekayon Jaya,
Ketua Pengurus Kecamatan (PK) Partai Golkar Bekasi Selatan, Ketua Dewan
Pimpinan Daerah (DPD) Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR)
Kota Bekasi, Ketua DPD Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) Kota
Bekasi, Wakil Sekjen DPD MKGR, Pengurus Koni Kota Bekasi, Ketua Persatuan
Bola Basket Seluruh Indonesia (perbasi) Kota Bekasi, Pengurus Daerah PSSI
8 “Profil & Biografi Dr. H. Rahmat Effendi, S.Sos., M.Si”, tp. https://bacabekasi.com,
2016.
40
Jawa Barat, Anggota Rapi Kota Bekasi, Penasehat Orari Kota Bekasi (Yg1bks),
dan Dewan Penasehat Pekat Indonesia Bersatu Bekasi.9
Untuk karir politiknya, Rahmat Effendi memulainya dari bawah dengan
proses yang panjang dan berliku. Rahmat Effendi adalah kader dari Partai Golkar.
Pada tahun 1999 beliau dicalonkan oleh Golkar sebagai anggota legislatif pada
pemilu 1999 dan pada akhirnya beliau terpilih. Sejak menjadi anggota legislatif
Kota Bekasi, karir politik Rahmat Effendi semakin meningkat, bahkan beliau
berhasil terpilih menjadi ketua DPRD Kota Bekasi pada pemilu tahun 2004.10
Karir Rahmat Effendi menjabat sebagai Walikota Bekasi dimulai sejak
tanggal 3 Mei 2013 menggantikan walikota sebelumnya, H. Mochtar Muhammad,
S.Sos, yang menjadi terpidana kasus korupsi dan dikenakan hukuman penjara
selama enam tahun. Rahmat Effendi kemudian terpilih kembali dalam pemilihan
kepala daerah (pilkada) Kota Bekasi dan menjadi Walikota Bekasi periode 2013-
2018 berpasangan dengan Akhmad Syaikhu. Pada pilkada Walikota Bekasi 2013,
Rahmad Effendi yang maju bersama Akhmad Syaikhu berhasil menang satu
putaran dengan perolehan suara sebesar 43%, mengalahkan pasangan nomor urut
3 yakni Dadang Mulyadi dan Lukman Hakim yang memperoleh suara 22,9%.
Sedangkan diposisi ketiga ditempati oleh pasangan nomor urut 2, yakni Sumiyati
dan Anim Imamuddin dengan suara 18%. Posisi ke 4 ditempati oleh pasangan
nomor urut 5, yakni Awing Asmawi dan Andi Zabidi dengan perolehan suara
10,8%. Dan yang terakhir diposisi kelima, ditempati oleh pasangan nomor urut 1
9 “Profil & Biografi Dr. H. Rahmat Effendi, S.Sos., M.Si”.
10 “Dinasti Politik Rahmat Effendi”, tp. http://klikbekasi.com, diunduh 03 Agustus 2016.
41
yakni Shalih Mangara Sitompul dan Anwar Anshori dengan perolehan suara
5,3%.11
C. Pembangunan Gereja Santa Clara
C.1. Persyaratan Pembangunan Rumah Ibadah
Pembangunan rumah ibadah didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-
sungguh umat beragama dengan mempertimbangkan jumlah komposisi penganut
agama tersebut. Pembangunan rumah ibadah dilakukan dengan tetap menjaga
kerukunan umat beragama di lingkungan tersebut, tidak mengganggu ketertiban
umum, dan mematuhi persyaratan dan peraturan yang berlaku.
Berdasarkan PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, pasal 14 ayat 1 bab IV
mengenai “Pendirian Rumah Ibadah” dijelaskan bahwa pendirian suatu rumah
ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis
bangunan gedung. Selain kedua persyaratan tersebut, ada persyaratan khusus
untuk pembangunan rumah ibadah.12
Selain PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, ada
peraturan lebih rinci lagi mengatur pembangunan rumah ibadah khususnya di
Kota Bekasi, yaitu Peraturan Walikota Bekasi No 16 Tahun 2006 mengenai “Tata
Cara Pemberian Izin Pendirian Rumah Ibadah di Kota Bekasi.”13
Persyaratan administratif bangunan gedung menurut Peraturan Walikota
Bekasi No 16 Tahun 2006, Bab III mengenai “Tata Cara Penyelesaian
Persetujuan” Pasal 3 dijelaskan bahwa ada beberapa persyaratan administratif
11
“Rekam Jejak Rahmat Effendi”, tp. http://klikbekasi.co, diunduh 29 Agustus 2014. 12
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Buku Pedoman Kerukunan Hidup Umat Beragama
(Bekasi: Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Bekasi, 2015), h. 23. 13
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Buku Pedoman Kerukunan Hidup Umat Beragama,
h. 35.
42
yang harus dipenuhi panitia pembangunan rumah ibadah, diantaranya adalah
mempunyai status hak atas tanah atau izin pemanfaatan berbadan hukum dari
pemegang hak atas tanah yang tanahnya akan dijadikan rumah ibadah.
Mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB) gedung dari pemerintah daerah.
Kemudian adanya susunan panitia pembangunan rumah ibadah yang terdiri dari
warga masyarakat setempat di daerah tersebut. Membuat gambar rencana
pembangunan dan perhitungan rencana biaya. Siteplan dari pengembang untuk
mendirikan rumah ibadah di lingkungan komplek perumahan. Surat pengantar
dari lurah yang diketahui oleh camat. Advis planning dari Kepala Bapedda untuk
pendirian rumah ibadah di atas tanah fasilitas sosial/ fasilitas umum di lingkungan
komplek perumahan. Surat pertimbangan Kepala Dinas Sosial, Perlindungan dan
Pemberdayaan Masyarakat (Kadis Soslinbermas). Mendapatkan rekomendasi dari
Kepala Kantor Departemen Agama (Kakan Depag). Dan mendapatkan
rekomendasi dari FKUB Kota Bekasi.14
Persyaratan teknis bangunan gedung terbagi menjadi dua, yaitu persyaratan
tata bangunan dan persyaratan keadaan bangunan gedung. Persyaratan tata
bangunan gedung diantaranya, jelasnya peruntukan dan intensitas bangunan
gedung, arsitektur bangunan gedung yang memenuhi syarat yaitu bangunan
gedung harus mempertimbangkan terciptanya ruang terbuka hijau yang seimbang,
serasi, dan selaras dengan lingkungannya. Juga adanya dampak pengendalian
lingkungan jika bangunan sudah dibangun.15
Sedangkan persyaratan keandalan
14
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Buku Pedoman Kerukunan Hidup Umat Beragama,
h. 41. 15
Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
43
bangunan gedung meliputi, bangunan gedung haruslah kuat dan kokoh, kemudian
bangunan gedung memiliki pengaman terhadap bahaya kebakaran dan petir.16
Kemudian persyaratan khusus pembangunan rumah ibadah diantaranya
adalah harus ada minimal 90 daftar nama beserta kartu tanda penduduk (KTP)
jamaat rumah ibadah yang sudah disahkan oleh pejabat setempat dalam hal ini
yaitu kelurahan. Kemudian harus ada daftar nama dukungan beserta KTP dari
masyarakat di lingkungan pembangunan rumah ibadah dengan jumlah dukungan
minimal 60 orang yang diketahui oleh RT dan RW. Jika dua persyaratan tersebut
sudah dipenuhi, panitia pembangunan rumah ibadah mengajukan permohonan
kepada Kelurahan setempat, kemudian kelurahan akan melakukan verifikasi
langsung ke rumah-rumah jamaat yang akan menggunakan rumah ibadah dan ke
rumah-rumah masyarakat yang mendukung. Jika sudah diferivikasi dan benar
adanya, kemudian kelurahan memberikan rekomendasi dengan diketahui oleh
Camat ke FKUB kabupaten/ kota. Kemudian persyaratan berikutnya adalah
panitia pembangunan rumah ibadah harus mendapatkan rekomendasi tertulis dari
FKUB kabupaten/ kota. Persyaratan berikutnya panitia pembangunan rumah
ibadah harus mendapatkan rekomendasi tertulis dari Kepala Kantor Departemen
Agama kabupaten/ kota. Kemudian panitia pembangunan rumah ibadah harus
mendapatkan surat pertimbangan dari Kepala Dinas Sosial Perlindungan dan
Pemberdayaan Masyarakat. Persyaratan administratif pembangunan rumah ibadah
yang terakhir adalah mendapatkan rekomendasi tertulis dari bupati/walikota
16
Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
44
melalui Kepala Bagian Kesejahteraan Sosial.17
Alur proses persyaratan khusus
izin pendirian rumah ibadah adalah sebagai berikut:
Gambar III.1. Alur Perizinan Khusus Persyaratan
Pembangunan Rumah Ibadah
Sumber: Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, Pedoman Kerukunan
Hidup Umat Beragama, CV. Atina Bulan Cahaya, 2012.
Rekomendasi persyaratan khusus walikota/bupati berlaku paling lama enam
bulan dan dapat diperpanjang sebanyak satu kali untuk jangka waktu enam bulan
berikutnya.18
Rekomendasi persyaratan khusus merupakan salah satu persyaratan
untuk memperoleh IMB. Untuk memperoleh IMB, panitia pembangunan rumah
17
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, Pedoman Kerukunan Hidup
Umat Beragama (Bekasi: CV. Atina Bulan Cahaya, 2012), h. 14. 18
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Buku Pedoman Kerukunan Hidup Umat Beragama,
h. 43.
45
ibadah harus memenehui persyaratan yang lainnya yaitu persyaratan administrasi
gedung dan persyaratan teknis bangunan gedung.19
C.2. Gereja Santa Clara
Sejarah pembangunan Gereja Santa Clara sudah dimulai sejak tahun 1998
dengan dibentuknya Panitia Pembangunan Gereja (PPG). Panitia ini bertugas
untuk mengurus semua izin dan persyaratan pembangunan Gereja Santa Clara
berdasarkan peraturan yang berlaku. Pada tahun 2004 panitia mengajukan
permohonan untuk pembangunan Gereja Santa Clara, akan tetapi karena tidak
memenuhi persyaratan sesuai dengan SKB Nomor 1 Tahun 1969 dan SK
Walikota No. 19 Tahun 1999 maka permohonan tersebut tidak dapat diproses.
Panitia mengajukan permohonan kembali pada tahun 2014 dengan Surat
Nomor: 005/PPG/SantaClara/08/2014 bulan Agustus 2014. Selanjutnya
ditindaklanjuti oleh Kelurahan Harapan Baru selaku kelurahan dimana lokasi
pembangunan gereja akan dibangun. Kelurahan melakukan verifikasi terhadap
masyarakat pendukung di Rw 06 pada tanggal 28 dan 29 Oktober 2014 dan
hasilnya adalah sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Agama No. 9 dan 8 Tahun 2006 pada Pasal 14 ayat 2 poin B.20
Gereja Santa Clara adalah Gereja Katolik yang saat ini masih dalam tahap
pembangunan, beralamatkan di jalan Lingkar Utara Rt 02, Rw 06, Kelurahan
Harapan Baru, Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi. Rencananya di tanah seluas
6.500 meter kubik ini akan dibangun bangunan gereja dengan rincian luas
19
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Buku Pedoman Kerukunan Hidup Umat Beragama,
h. 41. 20
Walikota Bekasi, “Kronologis Perizinan Rumah Ibadah Gereja Santa Clara Kota Bekasi”,
18 Maret 2016.
46
bangunan gereja utama seluas 1.600 meter kubik, bangunan sarana penunjang
seluas 600 meter kubik, rumah tinggal pastur seluas 200 meter kubik, jalan seluas
1.875 meter kubik, dan area parkir seluas 2.275 meter kubik. Gereja Santa Clara
memiliki dasar hukum peraturan daerah No.16 tahun 2006 tentang tata cara
pemberian izin pendirian rumah ibadah di Kota Bekasi. Gereja Santa Clara
memiliki no SIMB 503/ 0535/ 1.B BPPT.2.21
Gambar III.2. Proses Pembangunan Gereja Santa Clara
Sumber: Teguh Firmansyah, “Gereja Santa Clara Sudah Ajukan Izin Pembangunan 4
Kali”, republika.co.id, 2015.
Dalam proses pembangunannya, Gereja Santa Clara mendapatkan
penolakan. Pada tanggal 10 Agustus 2015 Gereja Santa Clara diinstruksikan oleh
Walikota Bekasi berstatus status quo. Status quo adalah keadaan tetap
21
Walikota Bekasi, “Kronologis Perizinan Rumah Ibadah Gereja Santa Clara Kota Bekasi”.
47
sebagaimana keadaan sekarang atau sebagaimana keadaan sebelumnya.22
Jadi
dalam status quo pembangunan Gereja Santa Clara berarti mempertahankan
keadaan bangunan saat ini dan menghentikan sementara proses pembangunan.
Status quo diinstruksikan Pemerintah Kota Bekasi dikarenakan adanya aksi unjuk
rasa yang menamakan diri mereka Majelis Silahturrahmi Umat Islam Bekasi yang
memprotes izin pembangunan Gereja Santa Clara dikarenakan izinnya bermasalah
dan adanya indikasi manipulasi. Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi berharap
proses pembangunan Gereja Santa Clara dihentikan.
D. Panitia Pembangunan Gereja Santa Clara
Panitia Pembangunan Gereja Santa Clara dibentuk pada tahun 1998.23
Sekretariat Panitia Pembangunan Gereja Santa Clara berlokasi di Jalan Duta
Bulevard Barat, Perumahan Duta Harapan, Blok AE 3/7, Kelurahan Harapan
Baru, Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi.24
Panitia Pembangunnan Gereja
Santa Clara bertugas untuk mengajukan permohonan pendirian Gereja Santa Clara
untuk mendapatkan persetujuan permohonan Walikota Bekasi dan untuk
mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Panitia Pembangunan Gereja
Santa Clara dalam melaksanakan tugasnya berpedoman berdasarkan peraturan
22
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa, “Status Quo, Klarifikasi, Kondusif, Modus Operandi, dan Provokator”,
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id, 23
Walikota Bekasi, “Kronologis Perizinan Rumah Ibadah Gereja Santa Clara Kota Bekasi”. 24
Panitia Pembangunan Gereja, “Permohonan Rekomendasi”, 26 Januari 2015.
48
yang berlaku, yaitu Peraturan Bersama Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006 dan
Peraturan Walikota Bekasi No. 16 Tahun 2006.25
Pada tahun 2004 Panitia Pembangunan Gereja Santa Clara mengajukan
permohonan untuk pembangunan Gereja Santa Clara, namun dikarenakan tidak
memenuhi persyaratan sesuai peraturan yang berlaku saat itu, yaitu Surat
Keputusan Bersama (SKB) No. 1 Tahun 1969 dan Surat Keputusan (SK)
Walikota Bekasi No. 19 Tahun 1999 maka permohonan pembangunan Gereja
Santa Clara tidak dapat diproses. Pada bulan Agustus tahun 2014, Panitia
Pembangunan Gereja Santa Clara mengajukan permohonan kembali dengan surat
nomor: 005/PPG/SantaClara/08/2014. Selanjutnya permohonan tersebut
ditindaklanjuti oleh Kelurahan Harapan Baru dan Kecamatan Bekasi Utara. Untuk
proses selanjutnya, Panitia Pembangunan Gereja mengajukan permohonan kepada
Ketua FKUB Kota Bekasi dengan Surat Nomor : 013/PPG-SCC/l/2015 tanggal 26
Januari 2015 dan kepada Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Bekasi dengan
Surat Nomor : 014/PPG-SCC/l/2015 pada tanggal 26 Januari 2015. Kemudian
pada tanggal 17 Juni 2015, Panita Pembangunan Gereja Santa Clara mengajukan
permohonan kepada Walikota Bekasi dengan surat permohonan Nomor :
018/PPG-STC/VI/2015.26
E. Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi
Sejarah pembentukan Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi berawal dari
gabungan dari berbagai organisasi masyarakat (ormas) Islam di Kota Bekasi yang
25
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, Pedoman Kerukunan Hidup
Umat Beragama, h. 27. 26
Walikota Bekasi, “Kronologis Perizinan Rumah Ibadah Gereja Santa Clara Kota Bekasi”.
49
mengatasnamakan diri mereka sebagai Aliansi Majelis Silaturahim Umat Islam
Bekasi. Mereka menolak pembangunan Gereja Santa Clara yang dinilai telah
melanggar persyaratan pendirian rumah ibadah.27
Sekretariat Majelis Silaturahim
Umat Islam Bekasi berlokasi di jalan KH. Muchtar Thabrani No. 01 Perwira,
Kelurahan Harapan Baru, Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi. Dengan ketua
Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi yaitu KH. Ishomudin Muchtar, Lc.28
Ada beberapa faktor yang menjadi alasan Majelis Silaturahim Umat Islam
Bekasi menolak pembangunan Gereja Santa Clara. Pertama, lokasi pembangunan
Gereja berada di tengah-tengah pesantren di wilayah Bekasi Utara, yaitu pesantren
An-Nur dan pesantren At-Taqwa. Dikarenakan menurut Majelis Silaturahim Umat
Islam Bekasi pembangunan Gereja Santa Clara tidak sesuai dengan kearifan lokal
sebagian besar penduduknya yang beragama Muslim.29
Kedua, adanya indikasi
manipulasi dalam persyaratan perizinan pembangunan Gereja Santa Clara.
Manipulasi tersebut terkait adanya tujuh orang pemulung yang bukan bertempat
tinggal di lingkungan pembangunan gereja dimasukan ke dalam daftar masyarakat
sebagai pihak yang mendukung dan tidak keberatan atas pembangunan gereja
tersebut.30
Ketiga, menambah rumah ibadah agama Katolik. Dikarenakan menurut
27
Joko Sadewo, “Masih Ada Konflik Pembangunan Gereja Santa Clara Bekasi”, dalam
http://www.republika.co.id, diunduh 19 desember 2017. 28
“Tolak Berdirinya Gereja Terbesar di Asia Tenggara, Ulama Undang Umat Islam Bekasi
Raya Demo Walikota Bekasi” http://www.panjimas.com, diunduh 19 desember 2017. 29
Pemerintah Kota Bekasi, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, “Laporan Hasil Peninjauan
Lokasi Rencana Pembangunan Gereja Katolik Paroki Santa Clara Kelurahan Harapan Baru
Kecamatan Bekasi Utara”, 15 Mei 2015. 30
Joko Sadewo, “Masih Ada Konflik Pembangunan Gereja Santa Clara Bekasi”, dalam
http://www.republika.co.id, diunduh 20 Desember 2017.
50
Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi, sudah banyak rumah dan ruko yang
digunakan untuk beribadah agama Katolik di Bekasi Utara.31
Pada tanggal 07 Maret 2016 ratusan massa Aliansi Majelis Silaturahim
Umat Islam Bekasi melakukan unjuk rasa menolak pembangunan Gereja Santa
Clara. Unjuk rasa dilakukan di depan kantor Pemerintah Kota Bekasi, Jalan
Ahmad Yani. Massa yang berkisar antara 600-1.000 orang mengajukan tuntutan
kepada Walikota Bekasi, Rahmat Effendi, agar surat izin pembangunan Gereja
Santa Clara Bekasi Utara dicabut. Pada tanggal 24 Maret 2017, Majelis
Silaturahim Umat Islam Bekasi melakukan aksi unjuk rasa penolakan
pembangunan Gereja Santa Clara untuk yang kedua kalinya. Titik aksi di depan
area pembangunan Gereja Santa Clara dimulai seusai Shalat Jumat. Dalam aksi
ini, Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi meminta pihak Pemerintah Kota
Bekasi segera mencabut IMB Gereja Santa Clara dan menghentikan proses
pembangunan Gereja Santa Clara.
31
Aziza Fanny Larasati, “Demo Menolak Gereja Santa Clara diwarnai Lemparan Batu”,
dalam http://nasional.republika.co.id, diunduh 24 Maret 2017.
51
BAB IV
ANALISIS PERAN WALIKOTA BEKASI
DALAM PENYELESAIAN KONFLIK
PEMBANGUNAN GEREJA SANTA CLARA
A. Penyebab Konflik Pembangunan Gereja Santa Clara
Konflik pembangunan rumah ibadah yang terjadi di sejumlah daerah
biasanya disebabkan adanya pemahaman yang bertolak belakang antara kelompok
mayoritas dengan kelompok minoritas umat beragama. Pada saat kelompok
minoritas melakukan pembangunan rumah ibadahnya, biasanya ada sebagian dari
kelompok mayoritas yang tidak menyetujui dibangunnya rumah ibadah bagi
kelompok minoritas tersebut. Hal ini terjadi karena kedua belah pihak mempunyai
pandangan berbeda mengenai pembangunan suatu rumah ibadah, sehingga
memunculkan konflik di antara mereka.1
Gereja Santa Clara yang saat ini proses pembangunannya mendapatkan
penolakan berlokasi di Jalan Lingkar Utara Rt 02, Rw 06, Kelurahan Harapan
Baru, Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Konflik
pembangunan gereja ini melibatkan dua kelompok, yaitu kelompok yang
menamakan diri mereka sebagai Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi
(kelompok ini menolak pembangunan Gereja Santa Clara), dengan para pihak
panitia pembangunan Gereja Santa Clara.2
1 Khamami Zada, “Konflik Rumah Tuhan: Prakarsa Perdamaian Antarumat Beragama di
Indonesia”, Dialog Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan, Vol. 37, No. 2 (Desember 2014),
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, h. 163. 2 Walikota Bekasi, “Kronologis Perizinan Rumah Ibadah Gereja Santa Clara Kota Bekasi”,
18 Maret 2016.
52
Secara garis besar, konflik pembangunan Gereja Santa Clara termasuk ke
dalam konflik kemajemukan horizontal. Konflik kemajemukan horizontal adalah
konflik dalam struktur masyarakat yang majemuk secara sosial dalam perbedaan
etnis, ras, agama, maupun pekerjaan dan profesi. Kemajemukan horizontal
menimbulkan konflik dikarenakan masing-masing pihak mempunyai karateristik
sendiri-sendiri serta adanya keinginan dari masing-masing pihak untuk
mempertahankan karateristik budaya yang mereka anut.3 Dalam konflik
kemajemukan horizontal, terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
mayoritas dan kelompok minoritas, di mana dalam konflik ini kelompok minoritas
menginginkan adanya kesetaraan dengan kelompok mayoritas di lingkungan
masyarakat.4
Kronologi terjadinya konflik pembangunan Gereja Santa Clara menurut
Samwani, selaku sekretaris 2 Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota
Bekasi, dimulai dengan adanya penolakan dari Majelis Silatuhrahim Umat Islam
Bekasi. Samwani mengatakan, “penolakan Gereja Santa Clara itu awalnya berasal
dari pihak luar, dalam artian pihak-pihak ini bukanlah masyarakat setempat.
Mereka menamakan diri mereka Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi. Nah
ketika izin rekomendasi sudah turun, tiba-tiba mereka merasa bahwa tidak boleh
dibangun gereja di lokasi tersebut”.5
3 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2013), h. 60. 4 Maurice Duverger, Sosiologi Politik (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), h. 226.
5 Wawancara dengan Samwani, Bekasi, 13 Juli 2017.
53
Adapun penyebab penolakan pembangunan Gereja Santa Clara yang
muncul dari pendapat Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi dijelaskan sebagai
berikut:
A.1. Lokasi Pembangunan Gereja Berada di Tengah-tengah Pesantren
Majelis Silatuhrahim Umat Islam Bekasi melarang didirikannya Gereja
Santa Clara dikarenakan lokasi pembangunan gereja berada di tengah-tengah
pesantren di wilayah Bekasi Utara. Hal tersebut tidak sesuai dengan kearifan lokal
sebagian besar penduduknya yang beragama Muslim. Sebagaimana penuturan
Samwani yang mengatakan bahwa: “...menurut guru mereka, untuk wilayah
tersebut tidak boleh dibangun gereja dikarenakan wilayah pembangunan gereja
dekat dengan pesantren, yaitu pesantren An-Nur dan pesantren At-Taqwa.”6
Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
No. 9 dan 8 Tahun 2006 tidak disebutkan bahwa ada larangan membangun rumah
ibadah untuk agama minoritas di lingkungan agama mayoritas. Jadi dapat
dikatakan bahwa alasan dari penolakan yang disampaikan oleh Majelis
Silaturahim Umat Islam Bekasi tidak relevan.
Menurut Nizam Haikal, selaku Kepala Bidang Kesbangpol Kota Bekasi,
menyebutkan bahwa faktor utama penyebab Majelis Silaturahim Umat Islam
Bekasi menolak pembangunan Gereja Santa Clara adalah masih kurangnya
pemahaman mengenai perizinan pembangunan rumah ibadah menurut peraturan
yang berlaku dan kurangnya pemahaman tentang toleransi antar umat beragama,
sebagaimana penuturannya:
6 Wawancara dengan Samwani, Bekasi, 13 Juli 2017.
54
“Faktor utama konflik ini dikarenakan adanya kelompok-kelompok yang tidak
menginginkan dibangunnya Gereja di lokasi tersebut. Ya kalau kata mereka tidak
boleh dibangun gereja ya tidak boleh. Pemikiran mereka ini dikarenakan
kurangnya pemahaman mengenai toleransi antar umat beragama. Kami sebagai
bagian dari pemenerintah melakukan sosialisasi untuk memberikan pemahaman
mengenai pentingya toleransi antar umat beragama“.7
A.2. Indikasi Manipulasi dalam Persyaratan Perizinan
Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi juga berpendapat bahwa adanya
manipulasi dalam persyaratan perizinan pendirian Gereja Santa Clara. Manipulasi
tersebut terkait adanya tujuh orang pemulung yang bukan bertempat tinggal di
lingkungan pembangunan gereja dimasukan ke dalam daftar masyarakat sebagai
pihak yang mendukung dan tidak keberatan atas pembangunan gereja tersebut.8
Dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) No. 9 dan 8 Tahun 2006 BAB IV
Pasal 14 Ayat 2 Poin b disebutkan bahwa salah satu persyaratan pendirian rumah
ibadah harus mendapatkan dukungan masyarakat paling sedikit 60 orang yang
dibuktikan dengan daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) domisili dan
disahkan oleh lurah/kepala desa setempat.9 Adapun persyaratan perizinan
pembangunan Gereja Santa Clara, pihak panitia pembangunan Gereja Santa Clara
mendapatkan dukungan sebanyak 64 orang.10
Ini berdasarkan pada Surat
Pengantar No. 450/265-KL.HB dan Berita Acara No. 453.2/264-KLHB yang
menyatakan bahwa hasil verifikasi dukungan masyarakat RT 002 sebanyak 27
orang dan RT 003 sebanyak 37 orang di RW 006 Kelurahan Harapan Baru,
7 Wawancara dengan Nizam Haikal, Bekasi, 20 Juli 2017.
8 Joko Sadewo, “Masih Ada Konflik Pembangunan Gereja Santa Clara Bekasi”, dalam
http://www.republika.co.id, diunduh 7 Maret 2017. 9 Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, Pedoman Kerukunan Hidup
Umat Beragama (Bekasi: CV. Atina Bulan Cahaya, 2012), h. 14. 10
Panitia Pembangunan Gereja, “Permohonan Rekomendasi”, 26 Januari 2015.
55
Kecamatan Bekasi Utara. Hasil verifikasi tersebut juga telah disahkan oleh Lurah
Harapan Baru dan dilaporkan kepada Camat Bekasi Utara.11
Berdasarkan laporan di atas, pendapat Majelis Silahturahim Umat Islam
Bekasi terkait manipulasi tujuh orang pemulung itu tidak benar adanya. Ini dapat
dilihat dari lampiran Surat Pengantar No. 450/265-KL.HB yang menampilkan
tabel ke 64 masyarakat yang memberikan dukungan dan izin atas pembangunan
Gereja Santa Clara menuliskan alamat lengkap dan Nomor Induk
Kependudukannya. Jadi dapat dikatakan bahwa pendapat yang disampaikan
Majelis Silahturahim Umat Islam tidak terlepas pada kepentingan kelompok
mayoritas yang tidak menginginkan di wilayahnya ada rumah ibadah dari
kelompok minoritas.
A.3. Menambah Rumah Ibadah Agama Katolik
Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi juga berpendapat bahwa mereka
keberatan dengan dibangunnya gereja di kawasan Bekasi Utara, dikarenakan jika
dibangun Gereja Santa Clara akan menambah rumah ibadah agama Katolik. Hal
ini dikarenakan sudah banyak rumah dan ruko yang digunakan untuk beribadah
agama Katolik di Bekasi Utara.12
Samwani menyebutkan faktor utama penyebab Majelis Silaturahim Umat
Islam Bekasi menolak pembangunan Gereja Santa Clara adalah kurangnya
sosialisasi mengenai perizinan rumah ibadah dan pemahaman mengenai toleransi
antar umat beragama mengenai pembangunan rumah ibadah agama lain.
11
Berkas Kronologi Pembangunan Gereja Santa Clara yang diperoleh pada 20 Juli 2017
dari Kesbangpol Kota Bekasi. 12
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, “Notulen Rapat Pleno Khusus
Muslim FKUB Kota Bekasi”, 24 Maret 2015.
56
“Penolakan ini diakibatkan karena mereka kurang mendapat sosialisasi mengenai
perizinan pembangunan rumah ibadah dan kurang bisa menerima pemahaman dari
kelompok lain untuk membuat satu rumah ibadah yang tetap.”13
Sehingga, Majelis
Silaturahim Umat Islam Bekasi mempertanyakan apakah dapat menjamin bahwa
apabila Gereja Santa Clara akhirnya dibangun, tidak ada lagi gereja-gereja yang
tidak berizin seperti di ruko dan di rumah tinggal.
Sehubungan dengan pernyataan tersebut, pada akhirnya panitia
pembangunan Gereja Santa Clara mengeluarkan pernyataan bahwa umat Paroki
Santa Clara tidak akan mengadakan kebaktian (ibadat) lagi di rumah/ruko selain
di Gereja Santa Clara apabila sudah selesai dibangun. Pernyataan ini dibuat
panitia pembangunan Gereja Katolik Paroki Santa Clara – Bekasi Utara, pada 22
Januari 2015 yang ditandatangani oleh Ketua, Sekretaris, Ketua Dewan Pembina
dan disetujui oleh Dewan Paroki Harian/Pengurus Gereja dan Dana Papa Paroki
Santa Clara – Bekasi Utara. Seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini:
13
Wawancara dengan Samwani, Bekasi, 13 Juli 2017.
57
Gambar IV.1. Surat Pernyataan Panitia Pembangunan Gereja Santa Clara
Sumber: Kesbangpol Kota Bekasi, „Berkas Kronologi Pembangunan Gereja Santa Clara‟,
2017.
B. Peran Walikota Bekasi dalam Penyelesaian Konflik
Penyelesaian konflik atau yang biasa disebut integrasi konflik adalah hal
yang tidak dapat dipisahkan dari konflik itu sendiri, dua aspek tersebut tidak
selalu berlawanan di dalam ilmu sosial, keduanya juga saling melengkapi satu
sama lain. Banyak yang berpendapat bahwa konflik dan integrasi tidaklah
berlawanan, akan tetapi keduanya menjadi bagian tak terpisahkan dari proses yang
sama, bahwa konflik secara alami akan menuju integrasi.14
Penyelesaian konflik sangat tergantung pada otoritas yang dimiliki individu.
Otoritas adalah relasi yang eksis di antara individu yang dirawat dengan sebuah
14
Duverger, Sosiologi Politik, h. 25.
58
legitimasi. Legitimasi adalah formula yang mengakibatkan individu menerima
kekuasaan dan menganggap kepatuhan mereka adalah komitmen yang memang
seharusnya. Legitimasi menekankan aspek simbolis dan kepatuhan. Tidak semua
individu dapat dengan mudah melakukan upaya penyelesaian konflik karena akan
sangat ditentukan efektivitasnya. Penyelesaian konflik biasanya dilakukan oleh
elit, tokoh, atau pemimpin, karena merekalah yang memiliki otoritas dan
mendapatkan legitimasi dari masyarakat.15
Penyelesaian konflik yang efektif bergantung pada tiga faktor. Pertama,
kedua pihak harus mengakui kenyataan dan keadaan konflik yang terjadi di antara
mereka (adanya pengakuan atas kepentingan yang diperjuangkan oleh pihak lain).
Kedua, kepentingan-kepentingan yang diperjuangkan harus terorganisir secara
terstruktur, tidak tercerai-berai, dan terkotak-kotak sehingga masing-masing pihak
memahami dengan jelas lingkup tuntutan pihak lain. Ketiga, kedua pihak
menyepakati aturan yang menjadi landasan dan pegangan dalam hubungan dan
interaksi di antara mereka. Kemudian dikenal tiga bentuk pengaturan penyelesaian
konflik, yaitu konsiliasi, mediasi, dan adjudikasi yang dalam penelitian ini
Walikota Bekasi memiliki perannya masing-masing.16
B.1. Konsiliasi yang dilakukan oleh FKUB Kota Bekasi
Konsiliasi adalah usaha untuk mempertemukan kedua belah pihak yang
berkonflik di tempat yang netral. Semua pihak berdiskusi dan berdebat secara
terbuka. Dalam mencapai kesepakatan, tidak ada pihak-pihak yang memonopoli
15
Zada, “Konflik Rumah Tuhan”, h. 167. 16
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 204.
59
pembicaraan atau memaksakan kehendak.17
Dalam konflik penolakan rumah
ibadah, upaya konsiliasi tertulis dalam PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 Bab IV
Pasal 21 Ayat 1 tentang “penyelesaian perselisihan” yang berisi, “perselisihan
akbiat rumah ibadah diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat
setempat”.18
Untuk dapat mempertemukan kedua belah pihak, harus ada pihak ketiga
sebagai penengah yang bersifat netral dan tidak mengintervensi keputusan
penyelesaian perselisihan. Dalam konflik pembangunan Gereja Santa Clara, pihak
penengah konsiliasi yaitu FKUB Kota Bekasi. FKUB adalah singkatan dari
Forum Kerukunan Umat Beragama yaitu forum yang dibentuk oleh masyarakat
dan difasilitasi oleh pemerintah daerah dalam rangka membangun, memelihara,
dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.19
FKUB Kota Bekasi sebagai forum yang mewadahi terciptanya kerukunan
antar umat beragama, salah satu tugasnya adalah memberikan rekomendasi
tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadah dalam hal ini Gereja Santa
Clara. Kemudian pihak FKUB Kota Bekasi memberikan pendapatnya mengenai
pembangunan Gereja Santa Clara.20
Samwani memberikan pendapatnya mengenai
perizinan pendirian Gereja Santa Clara, yaitu:
“Kan sudah jelas ya dalam perizinan pembangunan suatu rumah ibadah harus ada
persyaratannya. Dimulai dari pembuatan kepanitiaan pembangunan rumah ibadah.
Setelah kepanitiaan sudah dibentuk mereka haruslah membuat proposal yang berisi
permohonan izin pendirian rumah ibadah dan harus dilampirkan KTP beserta
17
Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 204. 18
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Buku Pedoman Kerukunan Hidup Umat Beragama
(Bekasi: Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Bekasi, 2015), h. 27. 19
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Pedoman Kerukunan Hidup Umat Beragama, h.
100. 20
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, Pedoman Kerukunan Hidup
Umat Beragama, h. 12.
60
tandatangan minimal 60 masyarakat sekitar dan memiliki jamaat minimal 90 orang.
Sehabis itu harus mendapat persetujuan dimulai dari tingkat RT, RW, Kelurahan
hingga Kecamatan. Selanjutnya panitia mengajukan perizinan untuk mendapatkan
surat rekomendasi dimulai dari FKUB, kemudian ke Kemenag, selanjutnya ke
Kesbangpol dan terakhir ke Walikota. Untuk pengajuan perizinan Gereja Santa
Clara, kami dari pihak FKUB juga sudah mensurvei ke lokasi pembangunan dan
ternyata semua data sudah benar, begitupun juga dari pihak kesbangpol dan
walikota juga sudah meninjau lokasi pembangunan, maka dikeluarkanlah izin
rekomendasi.”
Dalam konflik penolakan pembangunan Gereja Santa Clara, tahapan
konsiliasi sudah dilaksanakan pada 24 Maret 2015, yaitu diadakan rapat pleno
oleh FKUB Kota Bekasi bersama dengan para pihak yang berkonflik di kantor
FKUB Kota Bekasi. Dalam rapat pleno tersebut menghasilkan keputusan bahwa
panitia pembangunan gereja beserta Paroki Santa Clara diminta untuk membuat
surat pernyataan di atas materai yang diketahui oleh Camat Bekasi Utara,
Koramil, dan Polsekta Bekasi Utara bahwa Gereja Santa Clara jika sudah selesai
dibangun akan menjadi satu-satunya tempat ibadah bagi agama katolik di Bekasi
Utara. Kemudian pihak panitia pembangunan gereja pada keesokan harinya
membuat surat pernyataan yang diminta.21
Isi surat tersebut adalah jika pada
akhirnya Gereja Santa Clara dibangun dan sudah selesai pembangunannya, gereja
tersebut adalah satu-satunya Gereja Katolik yang ada di Bekasi Utara. Seluruh
tempat ibadah agama Katolik yang selama ini ada di ruko dan di rumah tinggal
dipindahkan. Semua aktivitas peribadatan disatukan di Gereja tersebut. Ini
berdasarkan pada permintaan dari perwakilan Majelis Silaturahmi Umat Islam
Bekasi yang merasa keberatan atas pembangunan gereja tersebut.22
21
Panitia Pembangunan Gereja, “Surat Pernyataan”, 25 Maret 2015. 22
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, “Notulen Rapat Pleno Khusus
Muslim FKUB Kota Bekasi”, 24 Maret 2015.
61
Namun Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi berpendapat agar perizinan
pembangunan Gereja Santa Clara ditinjau kembali karena dinilai adanya
manipulasi dari pihak panitia pembangunan Gereja. FKUB Kota Bekasi dalam
rapat pleno tersebut mengutarakan bahwa izin pembangunan Gereja Santa Clara
sudah memenuhi persyaratan sesuai PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. Selanjutnya,
FKUB Kota Bekasi akan melakukan kordinasi dengan Kemenag Kota Bekasi dan
Kesbangpol untuk melakukan pendataan tempat ibadah seperti rumah dan ruko,
agar nantinya jika Gereja Santa Clara selesai dibangun, maka tempat ibadah di
rumah dan ruko tersebut ditutup dan seluruh jamaat dipindahkan ke Gereja Santa
Clara.23
Kemudian dalam rapat pleno tersebut juga dibahas mengenai adanya tujuh
pemulung yang bukan berasal dari lingkungan pembangunan Gereja Santa Clara.
Setelah dilakukan peninjauan langsung ke lokasi pada 10 Maret 2015 dengan
bertemu warga dan Ketua RT 03, RW 06, Kelurahan Harapan Baru, ternyata tidak
ditemukan adanya tujuh pemulung tersebut.24
Pada kenyataannya, walaupun sudah diadakan penyelesaian secara
konsiliasi yang diawasi oleh FKUB Kota Bekasi dan sudah dihasilkan keputusan-
keputusannya, aksi penolakan masih saja berlangsung. Pada Senin 10 Agustus
2015, Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi melakukan aksi unjuk rasa menolak
pembangunan Gereja Santa Clara. Aksi tersebut dilaksanakan di depan kantor
Walikota Bekasi. Dalam aksinya, massa menuntut beberapa hal, yaitu menolak
23
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, “Notulen Rapat Pleno Khusus
Muslim FKUB Kota Bekasi”, 24 Maret 2015. 24
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, “Undangan Rapat Pengurus
Khusus Muslim”, 20 Maret 2015.
62
dengan tegas surat rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
Kota Bekasi terhadap pemberian izin pembangunan gereja dan medesak agar
FKUB mencabut dan membatalkan surat rekomendasi yang telah dikeluarkan
tersebut. Kemudian massa juga mendesak Walikota Bekasi untuk tidak
mengeluarkan surat persetujuan atau surat rekomendasi dan surat terkait lainnya,
termasuk izin mendirikan bangunan (IMB) gereja Santa Clara.
Gambar IV.2. Unjuk Rasa di Depan Kantor Walikota Bekasi
Sumber: Dennis Destryawan, “Penolakan Pembangunan Gereja Santa Clara di Bekasi”,
tribunnews.com, 2017.
B.2. Mediasi yang dilakukan oleh Walikota Bekasi
Dalam konflik pembangunan Gereja Santa Clara, salah satu bentuk
penyelesaian konflik yang digunakan adalah dengan cara mediasi. Mediasi
digunakan karena penyelesaian berupa konsiliasi sudah dilakukan dan tidak dapat
menyelesaikan konflik tersebut. Pada akhirnya mediasi digunakan dengan adanya
pihak ketiga sebagai mediator yang memiliki pengetahuan dan keahlian yang
63
mendalam mengenai hal yang dipertentangkan.25
Dalam konflik penolakan
pembangunan Gereja Santa Clara, Walikota Bekasi yaitu Rahmat Effendi sebagai
kepala daerah menjadi mediator antara pihak-pihak yang bertentangan.
Selain Walikota Bekasi, upaya penyelesaian konflik penolakan
pembangunan Gereja Santa Clara secara garis besar dilakukan oleh dua kelompok,
yaitu kelompok struktural dan kelompok kultural. Kelompok struktural adalah
instansi resmi yang memiliki keahlian dan wawasan mengenai konflik yang
sedang terjadi di masyarakat. Kelompok ini diwakili oleh Pemerintah Daerah
Kota Bekasi, khususnya Walikota Bekasi, Badan Kesbangpol, dan Pengadilan
Kota Bekasi. Sedangkan kelompok kultural adalah kelompok yang tidak memiliki
legalitas yang resmi akan tetapi memiliki kemampuan dan wawasan mengenai
konflik yang sedang terjadi. Kelompok ini diwakili oleh pemimpin masyarakat,
seperti tokoh masyarakat, tokoh adat, dan pemimpin agama. Salah satu contoh
kelompok kultural dalam upaya penyelesaian konflik pembangunan Gereja Santa
Clara adalah FKUB Kota Bekasi.26
Dalam suatu konflik di masyarakat perkotaan yang masyarakatnya
majemuk, sudah seharusnya segera diadakan proses penyelesaiannya supaya
ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat terjaga dan tidak terjadi konflik
yang lebih besar dan anarkis. Maka dari itu diperlukan peran walikota sebagai
kepala daerah yang mewakili semua elemen masyarakat harus dapat
menyelesaikan permasalahan pihak-pihak yang berselisih.27
25
Gatot Soemartono, Arbitrasi dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2006), h. 119. 26
Zada, “Konflik Rumah Tuhan”, h. 168. 27
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah..
64
Dalam penyelesaian konflik antar umat beragama yang dilakukan oleh
kepala daerah dikarenakan penolakan pembangunan rumah ibadah sudah diatur
dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah
Ibadah.” PBM ini menggantikan Surat Keputusan Bersama (SKB) No. 1 Tahun
1969 tentang “Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadah Agama oleh Pemeluk-
pemeluknya.” Dengan adanya PBM ini diharapkan dapat mengurangi bahkan
mencegah konflik antar umat beragama. Bahkan jika konflik sudah terjadi, dapat
dilaksanakan penyelesaiannya mengacu pada PBM ini.28
Dalam PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 terdapat bab yang mengatur secara
jelas peran kepala daerah dalam penyelesaian konflik antar umat beragama yang
disebabkan oleh penolakan pembangunan rumah ibadah agama tertentu, yaitu bab
VI pasal 21 yang berjudul “Penyelesaian Perselisihan”.29
Pada bab VI ini terdiri
dari 3 ayat yang masing-masing ayat adalah tahapan-tahapan dalam penyelesaian
konflik yang terjadi antar umat beragama.
Pada PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 bab VI pasal 21 ayat 1 tertulis bahwa
penyelesaian konflik akibat pendirian rumah ibadah awalnya diselesaikan secara
musyawarah oleh kedua belah pihak yang berselisih dengan diawasi oleh Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Penyelesaian konflik ini disebut juga
28
Zada, “Konflik Rumah Tuhan”, h. 164. 29
FKUB Kota Bekasi, Pedoman Kerukunan Hidup Umat Beragama, h. 17.
65
konsiliasi, yaitu usaha mempertemukan pihak-pihak yang berselisih untuk dapat
menyelesaikan permasalahannya.30
Kemudian pada ayat 2 pasal 21 PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 tertulis
bahwa dalam penyelesaian konflik secara musyawarah yang dilakukan oleh pihak-
pihak tersebut belum menemukan solusi, maka penyelesaian konflik dilakukan
oleh bupati/walikota sebagai kepala daerah dibantu kepala kantor Departemen
Agama kabupaten/kota melalui musyawarah yang dilakukan secara adil dan tidak
memihak dengan mempertimbangkan pendapat atau saran dari FKUB
kabupaten/kota.31
Penyelesaian konflik ini disebut juga mediasi, yaitu proses
penyelesaian perselisihan dengan meminta bantuan pihak ketiga. Peranan pihak
ketiga adalah dengan melibatkan diri untuk membantu para pihak yang berselisih
untuk mengidentifikasi masalah dan memberikan solusi. Pihak ketiga adalah
pihak yang memiliki kemampuan dan wawasan mengenai konflik yang sedang
terjadi dan diharapkan dapat memberikan solusi kepada para pihak yang
berkonflik.32
Ada beberapa tahapan mediasi yang dilaksanakan Walikota Bekasi untuk
dapat menyelesaikan konflik penolakan pembangunan Gereja Santa Clara.
Tahapan mediasi konflik Pemerintah Kota Bekasi dimulai dengan badan
Kesbangpol Kota Bekasi melaksanakan rapat kordinasi untuk membahas
mengenai penolakan pembangunan Gereja Santa Clara dari masyarakat beserta
solusinya. Rapat tersebut diadakan pada 30 April 2015 bertempat di ruang rapat
30
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum dalam Ekonomi (Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2008), h. 201. 31
FKUB Kota Bekasi, Pedoman Kerukunan Hidup Umat Beragama, h. 17. 32
Soemartono, Arbitrasi dan Mediasi di Indonesia, h. 119.
66
badan Kesbangpol Kota Bekasi. Rapat tersebut dihadiri oleh perwakilan dari
FKUB Kota Bekasi, Kemenag, Sekretaris Kelurahan Harapan Baru, staf Intel
Polsek Kecamatan Bekasi Utara yaitu Brigadir Ilham, dan Babinsa yaitu Serka
Erwin.
Dalam rapat tersebut, FKUB Kota Bekasi berpendapat bahwa secara
administrasi perizinan pembangunan Gereja Santa Clara sudah sesuai ketentuan
PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. FKUB Kota Bekasi berharap agar semua instansi
terkait melakukan kajian mendalam mengenai penolakan ini dan melakukan
pendekatan terhadap warga yang menolak agar tidak terjadi konflik anarkis yang
dapat memperkeruh kerukunan hidup antar umat beragama di Kota Bekasi.
Kemenag juga berpendapat bahwa perizinan pembangunan Gereja Santa Clara
juga sudah sesuai administrasi dengan memenuhi ketentuan PBM No. 9 dan 8
Tahun 2006.33
Rapat ini juga membahas mengenai persaratan pendirian Gereja Santa
Clara. Berdasarkan PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 bab IV pasal 14 ayat 2 tertulis
bahwa persyaratan pendirian rumah ibadah harus dengan dukungan minimal 90
orang pengguna rumah ibadah dengan dilampirkan fotokopi Kartu Tanda
Penduduk (KTP) disertai dengan tanda tangannya. Serta harus adanya dukungan
minimal 60 masyarakat setempat juga dengan dilampirkan fotokopi KTP disertai
tanda tangan dan disahkan oleh kelurahan setempat.34
Berdasarkan hasil verifikasi
lapangan yang dilaksanakan Kelurahan Harapan Baru pada 28 dan 29 Oktober
33
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Bekasi, “Matrik Telaahan Hasil
Rapat Koordinasi Pendirian Gereja Katolik Paroki Santa Clara Kelurahan Harapan Baru
Kecamatan Bekasi Utara”, 30 April 2015. 34
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Pedoman Kerukunan Hidup Umat Beragama, h. 23.
67
2014 didapatkan hasil 64 masyarakat sekitar yang memberikan dukungan.35
Kemudian pada 14 dan 15 November 2014 didapatkan hasil 175 jamaat Katolik
yang terdaftar dalam jamaat Gereja Santa Clara.36
Dengan demikian menurut
pihak Kelurahan Harapan Baru bahwa persyaratan perizinan pembangunan gereja
sudah memenuhi persyaratan.
Sekretaris Kelurahan Harapan Baru berpendapat bahwa kondisi di
lingkungan pembangunan Gereja sampai hari dilaksanakannya pertemuan masih
kondusif dan tidak ada tekanan baik telepon maupun surat tertulis. Untuk proses
verifikasi perizinan pembangunan Gereja secara administrasi sudah selesai.
Kemudian Staf Intel Polsek Kecamatan Bekasi Utara yaitu Brigadir Ilham
berpendapat bahwa perumahan Prima Harapan yang lokasinya berdekatan dengan
pembangunan Gereja Santa Clara rata-rata warganya sepakat untuk menolak
dibangunnya Gereja. Tokoh-tokoh masyarakat Islam menolak dibangunnya
Gereja Santa Clara kecuali Front Pembela Islam (FPI). FPI menyetujui untuk
dibangunnya Gereja Santa Clara dengan catatan jika Gereja Santa Clara selesai
dibangun, semua kegiatan ibadah agama Katolik disatukan di Santa Clara dan
ibadah seperti ruko dan rumah tinggal ditutup. Serka Erwin dari Babinsa
berpendapat bahwa pihak panitia pembangunan gereja Santa Clara setiap ada
kegiatan tidak pernah memberitahukan Babinsa, kemudian jika ada masalah
35
Kelurahan Harapan Baru, “Berita Acara Verifikasi Dukungan Warga”, 20 November
2014. 36
Kelurahan Harapan Baru, “Berita Acara Verifikasi Jemaat”, 20 November 2014.
68
langsung melaporkan. Hal ini seharusnya bisa dikordinasikan dari awal agar pihak
keamanan dapat melakukan antisipasi.37
Dengan banyaknya warga yang keberatan dengan rencana dibangunnya
Gereja Santa Clara juga harus menjadi bahan pertimbangan. Adanya penolakan
dari masyarakat di RW lain dan penolakan dari tokoh agama di Bekasi Utara juga
harus disampaikan kepada panitia pembangunan gereja agar mereka bisa
menyikapi hal tersebut dengan baik. Kemudian akan diadakannya pendekatan
terhadap warga yang melakukan penolakan, langkah yang ditempuh melalui
pendekatan terhadap tokoh agama yang melakukan penolakan dan memberikan
CD mengenai kehidupan beragama masyarakat Bekasi yang dibuat oleh Badan
Investigasi Front DPW FPI Bekasi Raya. Pertemuan ini menghasilkan keputusan
bahwa perizinan pembangunan Gereja Santa Clara sudah memenuhi persyaratan
berdasarkan PBM No. 9 dan 8 tahun 2006. Dengan terpenuhinya semua
persyaratan tersebut, secara administrasi Pemerintah Kota Bekasi dapat
memberikan rekomendasi. Dengan masih adanya penolakan dari sebagian warga,
hal ini dapat dipahami karena setiap adanya kebijakan pasti ada pro dan kontra.
Jika menurut mayarakat yang menolak ada perizinan yang palsu dan dimanipulasi,
dapat diselesaikan melalui jalur hukum yaitu melalui Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN). Dengan demikian hasil dari pertemuan tersebut seluruhnya
37
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Bekasi, “Matrik Telaahan Hasil
Rapat Koordinasi Pendirian Gereja Katolik Paroki Santa Clara Kelurahan Harapan Baru
Kecamatan Bekasi Utara”, 30 April 2015.
69
diserahkan kepada Walikota Bekasi untuk dapat dijadikan bahan pertimbangan
keputusan walikota selanjutnya.38
Kemudian pada 8 Mei 2015, badan Kesbangpol Kota Bekasi melaksanakan
pertemuan dengan perwakilan massa yang menolak pembangungan Gereja Santa
Clara. Pertemuan tersebut berlokasi di Masjid Al Hidayah RW 018 Kelurahan
Harapan Baru. Pertemuan tersebut dilaksanakan untuk memantau kondusifitas
lingkungan dan meminta pendapat dan tanggapan mengenai pembangunan Gereja
Santa Clara.39
Dalam pertemuan tersebut, menurut Totok Baskara selaku ketua Dewan
Kemakmuran Masjid (DKM) sekaligus sekretaris RW 018 Kelurahan Harapan
Baru mengutarakan pendapatnya bahwa dari tahun 2012-2013 panitia
pembangunan gereja meminta persetujuan pembangunan gereja dari warga RW
06, sedangkan lingkungan yang terdekat dengan lokasi pembangunan gereja
adalah RW 011. Seharusnya warga yang dimintai persetujuan adalah warga
terdekat yaitu warga dari RW 011 yang terletak di lingkungan pembangunan
gereja bukannya warga dari RW lain.40
Kemudian menurut Ustad Zaelani selaku perwakilan Front Pembela Islam
(FPI), berpendapat bahwa “jika sudah dibangun gereja Santa Clara di Bekasi
Utara, apakah dapat menjamin bahwa tidak ada lagi gereja-gereja yang tidak
38
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Bekasi, “Matrik Telaahan Hasil
Rapat Koordinasi Pendirian Gereja Katolik Paroki Santa Clara Kelurahan Harapan Baru
Kecamatan Bekasi Utara”, 30 April 2015. 39
Pemerintah Kota Bekasi, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, “Laporan Hasil Peninjauan
Lokasi Rencana Pembangunan Gereja Katolik Paroki Santa Clara Kelurahan Harapan Baru
Kecamatan Bekasi Utara”, 15 Mei 2015. 40
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, “Notulen Rapat Pleno Khusus
Muslim FKUB Kota Bekasi”, 24 Maret 2015.
70
berizin seperti di ruko dan di rumah tinggal”41
. Kemudian Totok Baskara
mengutarakan pendapat bahwa “Pemerintah Kota Bekasi seharusnya bijaksana
karena sejak tahun 2005 sudah banyak warga sekitar yang menolak, jadi lebih
baik jangan dilanjutkan izin pembangunan Gereja Santa Clara di lingkungan ini.
lebih baik bisa dialihkan ke lokasi lain seperti di Perumahan Summarecon.”
Kemudian menurut Amir pengurus DKM berpendapat bahwa “jika rekomendasi
akhirnya jadi diterbitkan, dikhawatirkan akan terjadi aksi penolakan dari
masyarakat yang lebih besar.” Sedangkan Ketua RW 09 berpendapat bahwa
“pihak panitia pembangunan Gereja Santa Clara belum pernah ada yang datang
untuk melakukan sosialisasi mengenai akan dibangunnya gereja di lingkungan
tersebut.”42
Kemudian pada 11 Mei 2015 Badan Kesbangpol Kota Bekasi melakukan
pertemuan di Perumahan Duta Harapan yang dihadiri oleh mantan Ketua RW 011
dan beberapa tokoh masyarakat. Dalam pertemuan tersebut didapatkan beberapa
aspirasi peserta pertemuan diantaranya, panitia pembangunan gereja belum pernah
memberikan sosialisasi atau penjelasan akan dibangunnya Gereja Santa Clara
kepada warga setempat. Warga juga belum memahami PBM No. 9 dan 8 Tahun
2006, karena itu diharapkan adanya sosialisasi peraturan tersebut oleh instansi
41
Pemerintah Kota Bekasi Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, “Laporan Hasil Peninjauan
Lokasi Rencana Pembangunan Gereja Katolik Paroki Santa Clara Kelurahan Harapan Baru
Kecamatan Bekasi Utara”, 15 Mei 2015. 42
Pemerintah Kota Bekasi Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, “Laporan Hasil Peninjauan
Lokasi”.
71
terkait, dalam hal ini kementerian agama, FKUB Kota Bekasi, dan Pemerintah
Kota Bekasi kepada masyarakat yang di lingkungannya akan dibangun gereja.43
Peserta yang hadir juga menanyakan apakah dengan berdirinya Gereja Santa
Clara apakah akan menjamin jika semua gereja yang berada di ruko dan rumah di
Bekasi Utara akan menjadi satu. Kemudian diperlukan adanya kejelasan apakah
Gereja Santa Clara jika dibangun nantinya akan menjadi gereja terbesar di Asia
Tenggara. Kemudian diharapkan agar panitia pembangunan gereja untuk dapat
duduk bersama tokoh agama Islam Kota Bekasi agar tumbuh rasa toleransi
kerukunan umat beragama. Dengan melihat kondisi dilapangan, dan pendapat
pihak yang menolak maka pertemuan ini dapat disimpulkan diperlukan kehati-
hatian Pemerintah Daerah Kota Bekasi dalam memberikan rekomendasi dengan
melakukan antisipasi terhadap berbagai kemungkinan yang akan muncul di
lapangan. Dengan demikian hasil dari pertemuan tersebut seluruhnya diserahkan
kepada Walikota Bekasi untuk dapat dijadikan bahan pertimbangan keputusan
walikota selanjutnya.44
Pada 10 Agustus 2015, Aliansi Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi
melakukan unjuk rasa untuk menolak pembangunan Gereja Santa Clara dengan
titik aksi di Kantor Walikota Bekasi. Pada pukul 12.30 Rahmat Effendi mengajak
20 perwakilan demonstran beserta para ulama, Wakapolres Kota Bekasi,
Kemenag Kota Bekasi, dan FKUB Kota Bekasi untuk melakukan pertemuan dan
43
Pemerintah Kota Bekasi, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, “Laporan Hasil Peninjauan
Lokasi”. 44
Pemerintah Kota Bekasi Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, “ Laporan Hasil Peninjauan
Lokasi”.
72
pembahasan di kantor Walikota mengenai maksud dan tujuan para demonstran
dan pembahasan mengenai perizinan pembangunan Gereja Santa Clara.
Pada pertemuan tersebut, perwakilan majelis silahturahim umat Islam
Bekasi mengutarakan aspirasinya yaitu memohon kepada Walikota Bekasi untuk
mencabut semua rekomendasi perizinan yang berkenaan dengan pembangunan
Gereja Santa Clara, mereka juga mempunyai bukti bahwa ada kekeliruan dalam
proses perizinan pembangunan Gereja Santa Clara, dan mereka berpendapat
bahwa dikarenakan proses pembangunan belum dilaksanakan, mereka memohon
untuk pihak Walikota Bekasi, Kesbangpol Kota Bekasi, dan FKUB Kota Bekasi
untuk memverifikasi ulang proses perizinan pembangunan gereja.45
Wakapolres Kota Bekasi, AKBP Wijanarko mengutarakan pendapatnya
bahwa “bila pembangunan gereja tidak sesuai dengan ketentuan dan undang-
undang yang berlaku dan bagi pihak yang menemukan ada unsur pidana, silahkan
dilaporkan kepada pihak kepolisian.” Beliau juga menghimbau agar semua pihak
menjaga iklim Kota Bekasi agar tetap kondusif. Kemudian dari perwakilan FKUB
Kota Bekasi, yaitu Abdul Manan selaku ketua FKUB Kota Bekasi berpendapat
bahwa “FKUB mengeluarkan rekomendasi izin pembangunan rumah ibadah
mengikuti prosedur peraturan yang berlaku, yaitu PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.”
Dari pihak Kementrian Agama Kota Bekasi berpendapat bahwa “pihaknya sudah
melakukan verifikasi data yang sudah ditanda tangani oleh RT, RW, Lurah, dan
45
Pemerintah Daerah Kota Bekasi,”Berita Acara Rapat Tokoh Ulama Masyarakat dengan
Walikota dan Muspida Tentang Pembangunan Gereja Santa Clara”, 10 Agustus 2015.
73
Camat kemudian mengunjungi 64 warga lingkungan sekitar yang mendukung dan
hasilnya semua persyaratannya lengkap.”46
Walikota Bekasi dalam pertemuan tersebut memutuskan bahwa sebagai
seorang kepala daerah dan sebagai seorang yang beragama Muslim dirinya akan
melakukan segala sesuatunya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam izin pembangunan Gereja Santa Clara, Rahmat Effendi
berpedoman dengan PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, khususnya Bab IV mengenai
“Pembangunan Rumah Ibadah”. Di dalam bab IV membahas mengenai
persyaratan perizinan pembangunan rumah ibadah.
Dalam pertemuan tersebut, Walikota Bekasi mengambil keputusan status
quo bagi pembangunan Gereja Santa Clara.47
Status quo adalah keadaan saat ini
dan mempertahankan keadaan tersebut dengan cara menolak perubahan
(change).48
Jadi dengan demikian pembangunan Gereja Santa Clara proses
pembangunannya terhenti hingga status quo dicabut dan proses pembangunan
Gereja Santa Clara dapat dilanjutkan kembali. Menurut Rahmat Effendi jika
pembangunan Gereja dianggap ada hal yang membuat intervensi, yang pada
akhirnya akan membuat suasana menjadi tidak kondusif akhirnya keputusan
status quo diambil. “keputusan menjadi status quo, artinya pembangunan Gereja
Santa Clara dihentikan sementara. Karena saya juga menjaga nama baik
Pemerintahan Kota Bekasi, dan menjaga kerukunan umat di Kota Bekasi yang
46
Pemerintah Daerah Kota Bekasi,”Berita Acara Rapat Tokoh Ulama Masyarakat”. 47
“Protes Izin Rumah Ibadah, Pemkot Dikepung”, Radar Bekasi, 11 Agustus 2015, h. 7. 48
Yasraf Amir Piliang, Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial (Solo: Tiga Serangkai,
2003), h. 115.
74
saya pimpin, kita hargai dan hormati aspirasi orasi para umat Islam yang hadir di
kantor Walikota”, ujar Rahmat Effendi49
B.3. Penyelesaian Konflik Melalui Pengadilan
Kemudian pada ayat 3 pasal 21 PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 tertulis
bahwa dalam hal penyelesaian konflik yang dilakukan oleh kepala daerah dibantu
kepala kantor Departemen Agama dengan hasil keputusannya masih ada pihak
yang tidak terima dengan keputusan tersebut, maka penyelesaian konflik
dilakukan dengan proses hukum melalui pengadilan setempat. Pengadilan adalah
lembaga atau badan yang bertugas menerima, memeriksa, mengadili, dan
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan. Pengadilan dalam menyelesaikan
suatu perkara dilakukan oleh hakim, baik tunggal maupun majelis. Keputusan
pengadilan bersifat final dan mengikat berdasarkan hukum yang berlaku dengan
tidak membeda-bedakan alias semua pihak sama di mata hukum.50
Keputusan status quo pembangunan Gereja Santa Clara diambil setelah
melalui proses mediasi yang cukup rumit. Meskipun demikian, Rahmat Effendi
menegaskan, bila ada pihak yang merasa ada yang tidak benar dengan proses
administrasi seperti merasa bahwa izin pembangunan gereja tersebut palsu dan
dimanipulasi. Kemudian pihak tersebut menginginkan izin rekomendasi dicabut
silahkan pihak tersebut melakukan gugatan dengan prosedur yang baik dan benar,
yaitu diselesaikan dengan proses Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Jika
ada yang tidak benar, silahkan dilakukan gugatan dengan proses yang baik dan
49
“Pembangunan Gereja Santa Clara Disoal Warga: Massa Pendemo Desak Walikota
Cabut Izinnya”, Berita Bekasi, 11 Agustus 2015, h. 7. 50
Barzah Latupuno dkk, Buku Ajar Hukum Islam (Yogyakarta: Deepublish, 2017), h. 100.
75
benar, yaitu diselesaikan dengan proses PTUN”.51
Pengadilan Tata Usaha Negara
atau biasa yang disingkat dengan PTUN adalah badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung. PTUN adalah wadah pengadilan bagi masyarakat untuk
mencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara. Gugatan ke PTUN
merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan masyarakat atas perbuatan yang
dilakukan oleh pemerintah. Keputusan PTUN bersifat konkrit, individual, dan
final.52
Selain mengambil keputusan status quo, Walikota Bekasi menyatakan
bahwa pihaknya dan FKUB Kota Bekasi akan menjaga kestabilan dan
ketentraman antar umat beragama di Kota Bekasi, selain itu pihak yang menolak
disarankan memverifikasi periizinan pembangunan gereja dengan data yang dapat
diperoleh dari instansi terkait ataupun melalui masyarakat yang terlibat dalam
proses perizinan pembangunan Gereja Santa Clara. Walikota Bekasi memohon
agar semua pihak dapat menahan diri agar menjaga iklim Kota Bekasi agar tetap
aman dan kondusif.53
Akan tetapi, menurut Budi Setiawan, staf dari badan Kesbangpol Kota
Bekasi menjelaskan bahwa sampai hari ini pihak Majelis Silaturahim Umat Islam
Bekasi belum ada yang membawa kasus penolakan Gereja Santa Clara ke ranah
hukum yaitu PTUN. Seperti yang tertera di bawah ini:
51
Endro Yuwanto, “Memprotes Rencana Pembangunan Gereja Terbesar di Bekasi”,
Republika, 11 Agustus 2015, h. 10. 52
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Panduan Bantuan Hukum Di
Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2007), h. 335. 53
Pemerintah Kota Bekasi, “Berita Acara Rapat Tokoh Ulama Masyarakat dengan
Walikota dan Muspida Tentang Pembangunan Gereja Santa Clara”, 10 Agustus 2015.
76
”Dalam PBM No 9 dan 8 Tahun 2006 kan dijelaskan mengenai tahap-tahapan
dalam penyelesaian penolakan pembangunan rumah ibadah, pada saat unjuk rasa
penolakan pembangunan Gereja Santa Clara Bapak Walikota mengajak para
perwakilan pengunjuk rasa masuk ke dalam kantor untuk membahas mengenai
Gereja Santa Clara dan didapatkan hasil yaitu status quo untuk pembangunan
gereja santa clara kemudian para pengunjuk rasa dianjurkan melaporkan ke pihak
yang terkait yaitu PTUN, akan tetapi sampai saat ini tidak ada laporan dari pihak
yang menolak.”54
Dalam upaya penyelesaian konflik lanjutan, menurut Jarnuji, selaku Kepala
Bidang Wasnas dari Badan Kesbangpol Kota Bekasi menjelaskan bahwa setelah
terjadi aksi demonstrasi yang dilakukan oleh Majelis Silaturahim Umat Islam
Bekasi, Walikota Bekasi menugaskan kepada Tim Kominda (Komunitas Intelijen
Daerah) untuk melakukan pengawalan terhadap fase status quo Gereja Santa
Clara. Anggota Kominda terdiri dari Kesbangpol, FKUB, BIN, Kepolisian,
Kodim, Kejaksaan, Intel, Satpol PP, dan Imigrasi. Tugas pokok dari Tim
Kominda adalah mendeteksi dini konflik-konflik yang akan terjadi di Kota
Bekasi. Jika konflik sudah terjadi di masyarakat, peran kominda dibutuhkan untuk
membantu peran walikota dalam penyelesaian konflik, seperti yang
disampaikannya:
“Di badan kesbangpol ini, khususnya bidang wasnas, ada yang namanya tim
kominda, kominda itu singkatan dari komunitas intelijen daerah. Tugas kominda
yaitu untuk mendeteksi dini konflik-konflik yang akan terjadi di Kota Bekasi dan
jika konflik semakin besar di masyarakat, peran kominda dibutuhkan untuk
membantu peran walikota untuk penyelesaian konflik. Anggota kominda terdiri
dari Kesbangpol, FKUB, BIN, Kepolisian, Kodim, Kejaksaan, Intel, Satpol PP, dan
Imigrasi. Pada konflik Penolakan Gereja Santa Clara. Peran kominda dalam
penyelesaian konflik dimulai dengan mengadakan rapat membahas mengenai
penolakan Gereja Santa Clara. Setelah status quo ditetapkan oleh Walikota,
kemudian kominda melakukan pengawalan terhadap fase status quo agar situasi
tetap kondusif dan aman. Tim kominda ditugaskan agar mendeteksi dini konflik
penolakan pembangunan Gereja Santa Clara agar tidak menjurus ke arah anarkis
agar kestabilan dan keamanan antar umat beragama di Kota Bekasi dapat
terjaga.”55
54
Wawancara Pribadi dengan Budi Setiawan, Bekasi, 23 Oktober 2017. 55
Wawancara dengan Jarnuji, Bekasi, 31 Juli 2017.
77
Tanggal 18 Mei 2016 bertempat di Kantor Walikota Bekasi, Rahmat Effendi
memutuskan mengizinkan kembali proses pembangunan Gereja Santa Clara.
“Selama belum ada putusan pengadilan yang menyatakan adanya manipulasi
dalam perizinan pembangunan Gereja Santa Clara di, semestinya tahapan
pembangunan terus berjalan”. Dikarenakan pihak Majelis Silaturahim Umat Islam
Bekasi tidak membawa kasus penolakan pembangunan Gereja Santa Clara ke
PTUN, maka Walikota Bekasi tetap bersikukuh dengan keputusan awal yaitu
memberikan rekomendasi dan Surat Perintah Izin Mendirikan Bangunan (SPIMB)
kepada panitia pembangunan Gereja Santa Clara. Dengan demikian Pemerintah
Kota Bekasi mengizinkan kelanjutan pembangunan gereja hingga memperoleh
izin mendirikan bangunan (IMB) yang nantinya akan dikeluarkan oleh pemerintah
daerah.56
Dengan adanya keputusan ini maka status quo Gereja Santa Clara
dihapus dan panitia pembangunan gereja dapat kembali melanjutkan perizinan
pendirian gereja Santa Clara.
Dengan dihapusnya status quo izin pembangunan Gereja Santa Clara,
Aliansi Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi melakukan aksi unjuk rassa
penolakan untuk yang kedua kalinya di depan area pembangunan Gereja Santa
Clara pada 24 Maret 2017, aksi unjuk rasa dimulai seusai Shalat Jumat. Pada aksi
ini mengharuskan lalu lintas sejumlah ruas jalan di Bekasi Utara dialihkan.57
Pada
aksi tersebut, massa sempat meminta masuk ke lokasi pembangunan gereja namun
56
Mikael Niman, “Bekasi Izinkan Pembangunan Gereja Santa Clara Dilanjutkan”, dalam
http://www.beritasatu.com, diunduh 18 Mei 2017. 57
Aziza Fanny Larasati, “Demo Menolak Gereja Santa Clara diwarnai Lemparan Batu”,
dalam http://nasional.republika.co.id, diunduh 24 Maret 2017.
78
dihadang pihak kepolisian.58
Demonstrasi ini pada akhirnya menyebabkan
bentrokan antara massa dengan pihak kepolisian. Massa melempari polisi dengan
benda keras seperti batu dan pot, kemudian pihak kepolisian akhirnya
menembakan gas air mata ke kerumunan massa. Akibat bentrokan ini tiga anggota
kepolisian mengalami luka-luka.59
Kepala Majelis At-Taqwa sekaligus kordinator aksi mengutarakan bahwa
massa pengunjuk rassa yang hadir berjumlah ribuan orang. “Yang hadir mencapai
ribuan orang, ini adalah gabungan umat Muslim se-Bekasi, tidak hanya Bekasi
Utara saja”. Para pengunjuk rasa masih menunggu tanggapan dari pemerintahan
Kota Bekasi dan pihak Gereja. “Aksi ini adalah bentuk penolakan masyarakat
terhadap pembangunan Gereja Santa Clara”. Massa meminta pihak Pemerintah
Kota Bekasi segera mencabut IMB Gereja Santa Clara dan menghentikan
pembangunan Gereja Santa Clara. Pada sore hari, massa pengunjuk rasa akhirnya
membubarkan diri dengan tertib, namun mereka akan kembali lagi dengan jumlah
yang lebih banyak bila tuntutan pencabutan izin dan penghentian pembangunan
gereja tidak dilaksanakan.60
58
Aditya Fajar Indrawan, “Dilempari Batu, Polisi Lepaskan Gas Air Mata ke Pendemo
Gereja”, dalam https://news.detik.com, diunduh 24 Maret 2017. 59
Indrawan, “Bentrok Pendemo Gereja”. 60
Aditya Fajar Indrawan, “Pendemo Pembangunan Gereja Membubarkan Diri dengan
Tertib”, dalam https://news.detik.com, diunduh 24 Maret 2017.
79
Gambar IV.3. Aksi Unjuk Rasa Berakhir Ricuh
Sumber: Adi Warsono, “Seusai Demo Ricuh, Kapolda Metro Sambangi Gereja Santa
Clara”, metro.tempo.co, 2017.
Terkait dengan IMB Gereja Santa Clara, menurut Rahmat Effendy sudah
sesuai dengan prosedur menurut perundang-undangan yang berlaku dan
merupakan produk legal hukum. Sedangkan tuntutan dari para demonstran untuk
mencabut IMB Gereja Santa Clara tidak bisa dilakukan oleh Walikota, melainkan
harus mengikuti prosedur, melalui jalur hukum yaitu PTUN. Penetapan status quo
oleh Walikota tidak bisa menghentikan pembangunan Gereja Santa Clara secara
keseluruhan, melainkan hanya sementara. Jika status quo sudah dicabut, maka
pembangunan Gereja Santa Clara dilanjutkan kembali.61
Pada tanggal 30 Maret 2017, diadakan musyawarah pimpinan daerah
(muspida) yang dihadiri oleh Walikota Bekasi, Kapolres Kota Bekasi, FKUB
Kota Bekasi, Kemenag Kota Bekasi, perwakilan 64 masyarakat yang memberikan
61
KOMPASTV, “Walkot Sebut Pembangunan Gereja Bekasi Sesuai Aturan” dalam
https://www.youtube.com, diunduh 20 Desember 2017.
80
izin pembangunan Gereja Santa Clara, perwakilan jamaat Gereja Santa Clara,
perwakilan Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi, dan perwakilan Panitia
Pembangunan Gereja Santa Clara. Pada musyawarah tersebut Walikota Bekasi
menegaskan bahwa dirinya tidak pernah memberikan perintah pemberhentian
pembangunan Gereja Santa Clara.62
“Betul memang ada kesepakatan status quo yang ditanda tangani, saya
bilang kesepakatan itu tidak akan mengubah izin pembangunan Gereja
Santa Clara. Jika Walikota mencabut izin tersebut buat apa ada izin tersebut.
Kan izin tersebut produk hukum negara. Itu hanya bisa dibatalkan melalui
pengadilan”.
Walikota Bekasi juga berpendapat jika ada permasalahan yaitu manipulasi
atau penipuan dalam persyaratan pembangunan Gereja Santa Clara, seharusnya
Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi melapor melalui lembaga hukum dan
tidak main hakim sendiri.63
“Kalau ada penipuan menurut aliansi itu kan bisa lapor, laporkan saja ke PTUN.
Karena yang dipermasalahkan itu manipulasi dan penipuan. Kan manipulasi dan
penipuan itu ada ranah hukumnya. Kalo 64 orang ini sampai saat ini tidak ada yang
merasa ditipu, tidak ada yang merasa dipalsukan maka kejadian yang kemarin itu
sangat bertolak belakang dengan kejadian aslinya”.
Dalam rapat tersebut Walikota Bekasi berpendapat bahwa sebagai kepala
daerah, dirinya harus bisa berdiri di semua golongan umat beragama. Dengan
adanya musyawarah ini, diharapkan dapat menyelesaikan masalah pembangunan
62
Official iNews, “Diskusi Muspida Terkait Penolakan Pembangunan Tempat Ibadah di
Bekasi Part 01 - Special Report 30-03” dalamhttps://www.youtube.com, diunduh 20 Desember
2017. 63
Official iNews, “Diskusi Muspida Terkait Penolakan Pembangunan Tempat Ibadah di
Bekasi Part 02 - Special Report 30-03” dalamhttps://www.youtube.com, diunduh 20 Desember
2017.
81
Gereja Santa Clara dan masyarakat kembali menjaga persatuan dan kesatuan antar
umat beragama di Kota Bekasi.64
“Inilah yang ingin saya sampaikan, silahkanlah nilai kalau Walikotanya
plin plan, walikotanya penipu, walikotanya PKI silahkan, yang penting 2,6
juta warga masyarakat Kota Bekasi saya harus bisa berdiri di semua kaki
golongan umat yang ada karena itu tugas saya. Oleh karena itu saya bersama
Kapolres, Dandim dan lembaga lainnya menjaga betul kondusivitas ini. Kita
bangun kembali kedamaian ,rajut kebersamaan jaga persatuan dan kesatuan
antar umat beragama di Kota Bekasi”
Peran Walikota Bekasi dalam penyelesaian konflik pembangunan Gereja
Santa Clara sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu Peraturan Bersama
Menteri No.9 dan 8 Tahun 2006. Jika masyarakat yang menolak ingin mecabut
izin pendirian bangunan Gereja Santa Clara, maka melalui proses hukum yang
berlaku yaitu PTUN. Pada penetapan status quo Walikota Bekasi tidak
mempunyai hak untuk mencabut izin pendirian bangunan Gereja Santa Clara.
Proses status quo hanya bisa menghentikan proses pembangunan Gereja Santa
Clara sementara. Jika status quo dicabut maka proses pembangunan Gereja Santa
Clara dapat berjalan kembali.
Sampai saat ini, Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi tidak membawa
kasus penolakan pembangunan Gereja Santa Clara ke PTUN, dikarenakan tidak
adanya proses hukum PTUN mengenai pembangunan Gereja Santa Clara, maka
proses pembangunan Gereja Santa Clara tetap berlanjut.
64
Official iNews, “Diskusi Muspida Terkait Penolakan Pembangunan Tempat Ibadah di
Bekasi Part 02 - Special Report 30-03” dalamhttps://www.youtube.com, diunduh 20 Desember
2017.
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Faktor penyebab konflik pembangunan Gereja Santa Clara sesuai dengan
teori konflik dialektik yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf bahwa distribusi
otoritas yang berbeda-beda di masyarakat merupakan salah satu faktor penyebab
konflik. Perbedaan distribusi otoritas di masyarakat menghasilkan dua kelompok,
yaitu kelompok mayoritas dengan kelompok minoritas. Dalam konflik
pembangunan Gereja Santa Clara, dua kelompok yang berkonflik yaitu Majelis
Silaturahim Umat Islam Bekasi dengan para Panitia Pembangunan Gereja Santa
Clara.
Kemudian ada beberapa alasan penyebab konflik pembangunan Gereja
Santa Clara adalah sebagai berikut. Pertama, kurangnya pemahaman masyarakat
yang menolak mengenai perizinan pembangunan rumah ibadah menurut peraturan
yang berlaku yaitu Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam
Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006. Kedua, kurangnya pemahaman masyarakat
tentang toleransi antar umat beragama mengenai pembangunan rumah ibadah
kaum minoritas. Dan ketiga, kurangnya sosialisasi dari pemerintah Kota Bekasi
terlebih dahulu kepada warga setempat mengenai akan dibangunnya gereja di
lingkungan tersebut.
Kemudian, adapun peranan dari Walikota Bekasi dalam penyelesaian
konflik penolakan pembangunan Gereja Santa Clara yaitu peran Walikota dalam
penyelesaian konflik sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu Peraturan
83
Bersama Menteri No. 9 dan 8 tahun 2006. Adapun tahapan penyelesaian konflik
yang dilakukan oleh Walikota Bekasi adalah sebagai berikut. Pertama,
menugaskan badan Kesbangpol Kota Bekasi untuk melaksanakan rapat kordinasi
yang dihadiri oleh perwakilan dari FKUB Kota Bekasi, Kemenag, Sekretaris
Kelurahan Harapan Baru, Staf Intel Polsek Kecamatan Bekasi Utara, dan
perwakilan dari Babinsa. Kedua, walikota Bekasi mengajak 20 perwakilan
demonstran beserta para ulama, Wakapolres Kota Bekasi, Kemenag Kota Bekasi,
dan FKUB Kota Bekasi untuk melakukan pertemuan dan pembahasan di kantor
Walikota mengenai maksud dan tujuan para demonstran dan pembahasan
mengenai perizinan pembangunan Gereja Santa Clara. Ketiga, Walikota Bekasi
mengambil keputusan status quo bagi pembangunan Gereja Santa Clara.
Keempat, Walikota Bekasi menugaskan kepada tim kominda (komunitas intelijen
daerah) untuk melakukan kajian mengenai perizinan pembangunan Gereja Santa
Clara. Hasil dari kajian tim kominda ini selanjutnya diberikan kepada Walikota
untuk dijadikan bahan pertimbangan selanjutnya. Kelima, Walikota Bekasi
memutuskan mencabut status quo dan mengizinkan kembali proses pembangunan
Gereja Santa Clara.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka penulis dapat memberikan saran
yaitu, diharapkan Pemerintah Daerah Kota Bekasi lebih banyak mengadakan
sosialisasi kepada masyarakat Kota Bekasi mengenai toleransi antar umat
beragama, sosialisasi mengenai proses perizinan pembangunan rumah ibadah, dan
84
sosialisasi mengenai Peraturan Bersama Menteri No 9 dan 8 Tahun 2006. Agar di
masa yang akan datang tidak terjadi lagi konflik penolakan rumah ibadah yang
mengganggu keharmonisan antar umat beragama di Kota Bekasi.
Kemudian, jika ada upaya penyelesaian konflik di masa yang akan datang.
Diharapkan para pihak yang berkonflik dapat menahan emosinya dan mengikuti
semua prosedur penyelesaian konflik dari instansi terkait yang memiliki
pengetahuan dan keahlian yang mendalam mengenai hal tersebut agar kestabilan
dan ketentraman di masyarakat dapat terjaga.
85
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Duverger, Maurice. Sosiologi Politik. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Fathurahman, Pupuh. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia,
2011.
Fauzi, Ihsan Ali. Kontroversi Gereja di Jakarta. Yogyakarta: CRCS, 2011.
______. Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia. Jakarta: PUSAD
Paramadina, 2013.
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi. Pedoman Kerukunan
Hidup Umat Beragama. Bekasi: CV. Atina Bulan Cahaya, 2012.
Ismail, Faisal. Pijar-pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur. Jakarta: Badan
Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2002.
Kaho, Josef Riwu. Prospek Otonomi Daerah Di Negara Republik Indonesia:
Identifikasi Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penyelenggaraan Otonomi
Daerah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Kustini. Peranan Forum Kerukunan Umat Beragama Dalam Pelaksanaan Pasal
8, 9, dan10 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010.
Mustari, Andi. Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI.
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Nurcholis, Hanif. Teori Dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah.
Jakarta: Grasindo, 2007.
Piliang, Yasraf Amir. Hantu-hantu Politik Dan Matinya Sosial. Solo: Tiga
Serangkai, 2003.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
Raco, J.R. Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karateristik dan Keunggulannya.
Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010.
Raho, Bernard. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Raya, 2007.
86
Sari, Elsi Kartika dan Advendi Simanunsong. Hukum Dalam Ekonomi. Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008.
Setiadi, Elly M dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2013.
Simanjuntak, Bungaran Antonius dkk. Dampak Otonomi Daerah Di Indonesia:
Merangkai Sejarah Politik Dan Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2013.
Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2011.
Soekanto, Soerjono dan Budi Sulistyowati. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2014.
Soemartono, Gatot. Arbitrasi dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2006.
Sopandi, Andi. Sejarah dan Budaya Kota Bekasi: Sebuah Catatan Perkembangan
Sejarah dan Budaya Masyarakat Bekasi. Bekasi: Dinas Pemuda, Olahraga,
Kebudayaan, dan Kepariwisataan Kota Bekasi, 2011.
Subakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo, 2010.
Sugiono. Metode Penelitian Bisnis: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta, 2009.
Supratiknya, A. Tinjauan Psikologis: Komunikasi Antarpribadi. Yogyakarta:
Kanisius, 1995.
Tholkhah, Iman. Mewaspadai dan Mencegah Konflik Antar Umat Beragama.
Jakarta: Departemen Agama RI Badan Litbang Agama dan Diklat
Keagamaan Hidup Umat Beragama, 2001.
Tim BPS Kota Bekasi. Kota Bekasi dalam Angka: Data Primer Kota Bekasi 2011.
Bekasi: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapedda) Kota Bekasi,
2012.
Ubaedillah, A dan Abdul Rozak. Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat
Madani. Jakarta: Indonesian Center For Civic Education (ICCE), 2003.
Wibawa, Samodra. Politik Perumusan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2011.
Winarno, Budi. Kebijakan Publik: Teori Dan Proses. Yogyakarta: Media
Presindo, 2007.
87
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Panduan Bantuan
Hukum Di Indonesia: Pedoman Anda Memahami Dan Menyelesaikan
Masalah Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
DOKUMEN
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Bekasi. “Matrik Telaahan
Hasil Rapat Koordinasi Pendirian Gereja Katolik Paroki Santa Clara
Kelurahan Harapan Baru Kecamatan Bekasi Utara”. 30 April 2015.
Badan Pusat Statistik Kota Bekasi, “Kota Bekasi Dalam Angka 2017”, Katalog
BPS: 1102001.3275. 16 Agustus 2017,
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi. “Berita Acara III:
Pemeriksaan Dokumen/Administrasi Pembangunan Gereja Katolik Paroki
Santa Clara Bekasi Utara”. 12 Maret 2015.
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, “Data Jumlah
Penduduk dan Penganut Ajaran Agama di Kota Bekasi”, Juli 2009.
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi. “Notulen Rapat Pleno
Khusus Muslim FKUB Kota Bekasi”. 24 Maret 2015.
Kelurahan Harapan Baru. “Berita Acara Verifikasi Dukungan Warga”. 20
November 2014.
Kelurahan Harapan Baru. “Berita Acara Verifikasi Jemaat”. 20 November 2014.
Panitia Pembangunan Gereja, “Permohonan Rekomendasi”, 26 Januari 2015.
Panitia Pembangunan Gereja. “Surat Pernyataan”. 25 Maret 2015.
Pemerintah Kota Bekasi Badan Kesatuan Bangsa dan Politik. “Laporan Hasil
Peninjauan Lokasi Rencana Pembangunan Gereja Katolik Paroki Santa
Clara Kelurahan Harapan Baru Kecamatan Bekasi Utara”. 15 Mei 2015.
Pemerintah Kota Bekasi. “Berita Acara Rapat Tokoh Ulama Masyarakat Dengan
Walikoa Dan Muspida Tentang Pembangunan Gereja Santa Clara”. 10
Agustus 2015.
“Pembangunan Gereja Santa Clara Disoal Warga: Massa Pendemo Desak
Walikota Cabut Izinnya”. Berita Bekasi, 11 Agustus 2015.
“Protes Izin Rumah Ibadah, Pemkot Dikepung”. Radar Bekasi, 11 Agustus 2015.
88
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
Walikota Bekasi. “Kronologis Perizinan Rumah Ibadah Gereja Santa Clara Kota
Bekasi”. 18 Maret 2016.
Yuwanto, Endro. “Memprotes Rencana Pembangunan Gereja Terbesar Di
Bekasi”. Republika, 11 Agustus 2015.
INTERNET
Firmansyah, Teguh. “Gereja Santa Clara Sudah Ajukan Izin Pembangunan 4
Kali”. http://www.republika.co.id.
Hardianto, Josie Susilo. “Ribut-ribut Freeport, Ini Perbedaan Arbitrase dan
Pengadilan”. http://www.kompas.com.
Indrawan, Aditya Fajar. “Bentrok Pendemo Gereja, Kapolres Bekasi: 3 Anggota
Alami Luka-luka”. https://news.detik.com.
Indrawan, Aditya Fajar. “Dilempari Batu, Polisi Lepaskan Gas Air Mata ke
Pendemo Gereja”. https://news.detik.com.
Indrawan, Aditya Fajar. “Pendemo Pembangunan Gereja Membubarkan Diri
Dengan Tertib”. https://news.detik.com.
iNews Official. “Diskusi Muspida Terkait Penolakan Pembangunan Tempat
Ibadah di Bekasi Part 01 - Special Report 30-03”. https://www.youtube.com.
iNews Official. “Diskusi Muspida Terkait Penolakan Pembangunan Tempat
Ibadah di Bekasi Part 02 - Special Report 30-03”. https://www.youtube.com.
Kecamatan Bekasi Utara. “Peta Wilayah Bekasi Utara”.
http://bekasiutara.bekasikota.go.id.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, “Status Quo, Klarifikasi, Kondusif,
Modus Operandi, dan Provokator”. http://badanbahasa.kemdikbud.go.id.
KOMPASTV. “Walkot Sebut Pembangunan Gereja Bekasi Sesuai Aturan”
https://www.youtube.com.
Kota Bekasi, “Pusat Data dan Analisa Pembangunan Jawa Barat”,
http://pusdalisbang.jabarprov.go.id.
Larasati, Aziza Fanny. “Demo Menolak Gereja Santa Clara diwarnai Lemparan
Batu”. http://nasional.republika.co.id. .
89
Niman, Mikael. “Bekasi Izinkan Pembangunan Gereja Santa Clara Dilanjutkan”.
http://www.beritasatu.com.
Rachmadsyah, Shanti. “Ham dan Kebebasan Beragama di Indonesia”.
http://www.hukumonline.com.
TP., “Dinasti Politik Rahmat Effendi”. http://klikbekasi.co.
TP., “Profil & Biografi Dr. H. Rahmat Effendi, S.Sos., M.Si”.
https://bacabekasi.com.
TP., “Rekam Jejak Rahmat Effendi”, klikbekasi.co.
Sadewo, Joko. “Masih Ada Konflik Pembangunan Gereja Santa Clara Bekasi”.
http://www.republika.co.id.
Warsono, Adi. “Gereja Santa Clara Bekasi Klaim Telah Penuhi Semua
Persyaratan”. https://m.tempo.co.
Warsono, Adi “Seusai Demo Ricuh, Kapolda Metro Sambangi Gereja Santa Clara”,
http://metro.tempo.co.
WAWANCARA
Samwani, Sekretaris 2 Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi.
Bekasi, 13 Juli 2017.
Budi Setiawan, Staff Badan Kesbangpol Kota Bekasi. Bekasi, 23 Oktober 2017.
Jarnuji, Kepala Bidang Wasnas Badan Kesbangpol Kota Bekasi. Bekasi, 13 Juli
2017
Nizam Haikal, Kepala Bidang Badan Kesbangpol Kota Bekasi. Bekasi, 27 Juli
2017
SKRIPSI DAN JURNAL
Fajarini, Ulfah. “Konflik Dan Integrasi Faham Keagamaan Islam: Studi Kasus
Masarakat Sawangan, Depok Jawa Barat”. Laporan Hasil Penelitian
Lembaga UIN Syarif Hidayatullah. 2003.
Fidiyani, Rini. “Dinamika Pembangunan Rumah Ibadah Bagi Warga Minoritas Di
Jawa Tengah”. Penelitian Strategi Nasional DIKTI. 2016.
90
Kere, Debby Natasia. “Peran Walikota Dalam Mengatasi Konflik Pembangunan
Mesjid Asy-Syuhada Di Kelurahan Girian Permai Kota Bitung”. Jurnal
Eksekutif Unsrat.
Prasetya, Farid Agus. “Problematika Pendirian Rumah Ibadah Dalam Perspektif
Ketatanegaraan: Studi Kasus Atas Pembangunan Komplek Padmasambhava
Stupa Di Dusun Bejen Desa Wanurejo Kecamatan Borobudur Kabupaten
Magelang”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga. 2014.
Yusuf, Asry M. “Merajut Kerjasama Antar Umat Beragama di Indonesia“, Jurnal
Harmoni Multikultural dan Multireligius. vol. VIII. no. 30. 2009.
Zada, Khamami. “Konflik Rumah Tuhan: Prakarsa Perdamaian Antarumat
Beragama Di Indonesia”, Dialog Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan,
Vol. 37, No. 2 (Desember 2014), Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI.