PERAN PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT DI ACEH (Studi … AISYAH.pdf · PERAN PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT...
Transcript of PERAN PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT DI ACEH (Studi … AISYAH.pdf · PERAN PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT...
PERAN PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT
DI ACEH
(Studi Kasus Terhadap Pandangan Aktifis Pusat Studi Wanita UIN Ar-
Raniry Banda Aceh)
SKRIPSI
Diajukan Oleh:
SITI AISYAH
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Prodi Aqidah dan Filsafat Islam
NIM: 311303511
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2018 M / 1429 H
ii
iii
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta kesehatan kepada penulis sehingga
penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa pula shalawat dan salam
penulis sampaikan ke pangkuan Alam yakni Nabi besar Muhammad SAW,
beserta keluarga dan sahabat beliau yang telah mengorbankan pikiran, tenaga
bahkan nyawa dalam membela dan mempertahankan agama Allah yang dicintai
ini sehingga dapat membina dan mengembangkan hukum Allah sebagai pedoman
hidup umat manusia.
Dengan segala kelemahan dan kekurangan akhirnya penulis dapat
menyelesaikan sebuah karya ilmiah ini yang berjudul “Peran Perempuan Dalam
Masyarakat Di Aceh (Studi Kasus Terhadap Pandangan Aktifis PSW UIN Ar-
Raniry)”. Skripsi ini ditulis untuk menyelesaikan tugas akhir yang merupakan
salah satu syarat dalam rangka menyelesaikan studi sekaligus untuk memperoleh
gelar kesarjanaan (S1) dalam Aqidah dan Filsafat Islam pada Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat UIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh.
Bersama ini pula dengan segala kerendahan hati, rasa haru, dan bahagia,
penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan, motivasi serta doa selama proses penyusunan hingga tidak
akan selesai tanpa bantuan pihak lain, sebab itu dalam kesempatan ini dengan
segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
ix
1. Ibu Dr. Husna Amin, M. Hum selaku pembimbing I dan Ibu
Musdawati, M.A selaku pembimbing II, yang telah berkenan
meluangkan waktu dan menyempatkan diri untuk memberikan
bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai
dengan baik.
2. Bapak Lukman Hakim, S.Ag, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat UIN Ar-Raniry.
3. Bapak Happy Saputra, S.Ag., M.Fil.I selaku Ketua Jurusan Aqidah dan
Filsafat Islam.
4. Ibu Dr. Husna Amin, M. Hum selaku Penasehat Akademik (PA), serta
kepada seluruh bapak/ibu dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
khususnya bapak/ibu dosen Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam.
5. Responden pada penelitian ini (Ex-ketua PSW Uin Ar-Raniry, ketua
PSW Uin Ar-Raniry, serta seluruh anggota dan pengurus PSW Uin Ar-
Raniry).
6. Teristimewa, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ayahanda
Mahyuddin dan Ibunda Lainian, S.pd tercinta yang senantiasa
memberikan banyak dukungan moril maupun materil kepada penulis
untuk melanjutkan penulisan skripsi ini hingga selesai.
7. Kepada kedua abang tercinta M.Zulfadlin dan Farid Akbar, S.H, dan
kakak tercinta Putri Fazhida yang selalu mendukung penulis
menyelesaikan kuliah hingga hari ini.
x
8. Kepada para sahabat tersayang sekaligus keluarga masa KPM di
Gampong Tengah Pisang Luvi, Eli, Nani, Yayang, Mama Ira, Isna,
Qazwini, Athailah, Mustafa, dan Nurdin. Dan kepada kedua sahabat
yang selalu bersama-sama Mauri dan Sari yang selalu memberi
semangat untuk penulis agar tetap fokus dan sabar di saat mulai jenuh
dan lemah dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna yang dikarenakan terbatasnya pengetahuan dan pengalaman penulis.
Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari berbagai pihak guna memperbaiki kekurangan yang ada di waktu mendatang
dan mampu memberikan konstribusi yang bernilai positif dalam bidang ilmu.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL. ..................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN. ....................................................................... ii
LEMBARAN PENGESAHAN. ..................................................................... iii
ABSTRAK. ..................................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI. .................................................................. vi
KATA PENGANTAR. ................................................................................... viii
DAFTRA ISI. .................................................................................................. xi
DAFTAR TABEL........................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah. .......................................................... 1
B. Rumusan Masalah. ................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian. .................................................................... 8
D. Kajian Pustaka. ......................................................................... 9
E. Landasan Teori. ........................................................................ 13
F. Metode Penelitian..................................................................... 17
G. Sistematika Pembahasan. ......................................................... 20
BAB II KONTRUKSI PERAN GENDER DALAM ISLAM
A. Peran Laki-Laki dan Perempuan Dalam Al-Quran. ................. 22
B. Praktik Kesetaraan Gender di Masa Rasul................................ 26
C. Wacana Hak-Hak Perempuan dalam Islam............................... 32
BAB III SEJARAH DAN KIPRAH PSW UIN AR-RANIRY BANDA
ACEH
A. Sejarah Perkembangan Pusat Studi Wanita UIN Ar-Raniry..... 42
B. Program dan Kegiatan Pusat Studi Wanita UIN Ar-Raniry...... 48
C. Visi dan Misi.............................................................................. 51
D. Struktur Kepengurusan PSW..................................................... 52
BAB IV PANDANGAN AKTIFIS PSW TERHADAP PERAN
PEREMPUAN
A. Peran Perempuan dalam Masyarakat Aceh dalam Pandangan
Aktifis PSW.............................................................................. 54
B. Program dan Kegiatan yang Dilakukan PSW Terhadap Pencapaian
Kesetaraan Gender.................................................................... 77
C. Tantangan/ Hambatan Perempuan Bekerja................................86
xii
D. Alasan Argumentasi Yang Melatar Belakangi Pemikiran Aktifis
Pusat Studi Wanita UIN Ar-Raniry..........................................92
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................94
B. Saran.........................................................................................95
DAFTAR KEPUSTAKAAN........................................................................ 96
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ......................................................................
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Struktur Kepengurusan PSW Periode 2015-2018 ............................ 52
v
TRANSLITERASI
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K
Nomor: 158 Tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987
1. Konsonan
No Arab Latin Ket No Arab Latin Ket
ا 1
Tidak
dilamban
gkan
ṭ ط 16
t dengan
titik di
bawahnya
B ب 2
ẓ ظ 17
z dengan
titik di
bawahnya
‘ ع T 18 ت 3
ṡ ث 4s dengan titik
di atasnya g غ 19
f ف j 20 ج 5
ḥ ح 6h dengan titik
di bawahnya q ق 21
k ك kh 22 خ 7
l ل d 23 د 8
ż ذ 9z dengan titik
di atasnya m م 24
n ن r 25 ر 10
w و z 26 ز 11
h ه s 27 س 12
’ ء sy 28 ش 13
sh ص 14s dengan titik
di bawahnya y ي 29
ḍ ض 15d dengan titik
di bawahnya
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
a. Vokal Tunggal
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harkat,
transliterasinya sebagai berikut:
vi
Tanda Nama Huruf Latin
Fatḥah A
Kasrah I
Dammah U
b. Vokal Rangkap
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara
harkat dan huruf, transliterasinya gabungan huruf, yaitu:
Tanda dan
Huruf Nama GabunganHuruf
ي Fatḥah dan ya Ai
و Fatḥah dan wau Au
Contoh:
haula : هول kaifa : كيف
3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
H Harkat dan
Huruf Nama Huruf dan tanda
ا/ي Fatḥah dan alif
atau ya Ā
ي Kasrah dan ya Ī
ي Dammah dan waw Ū
Contoh:
qāla : قال
ramā : رمى
qīla : قيل
yaqūlu : يقول
vii
4. Ta Marbutah (ة)
Transliterasi untuk ta marbutah ada dua:
a. Ta marbutah (ة) hidup
Ta marbutah (ة) yang hidup atau mendapat harkatfatḥah, kasrah dan
dammah, transliterasinya adalah t.
b. Ta marbutah (ة) mati
Ta marbutah (ة) yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya
adalah h.
c. Kalau pada suatu kata yang akhir katanya ta marbutah (ة) diikuti
oleh kata yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata
itu terpisah maka ta marbutah (ة) itu ditransliterasikan dengan h.
Contoh:
rauḍah al-aṭfāl/ rauḍatul aṭfāl : روضةالاطفال
/al-Madīnah al-Munawwarah : المدينةالمنورة
al-Madīnatul Munawwarah
ṭalḥah: طلحة
Catatan:
Modifikasi
1. Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulis seperti biasa tanpa
transliterasi, seperti M. Syuhudi Ismail. Sedangkan nama-nama
lainnya ditulis sesuai kaidah penerjemahan. Contoh: Hamad Ibn
Sulaiman.
2. Nama negara dan kota ditulis menurut ejaan bahasa Indonesia,
seperti Mesir, bukan Misr; Beirut, bukan Bayrut; dan sebagainya.
3. Kata-kata yang sudah dipakai (serapan) dalam kamus bahasa
Indonesia tidak ditransliterasikan. Contoh: Tasauf, bukan Tasawuf.
v
Nama : Siti Aisyah
Nim : 311303511
Tebal Skripsi : 98 Halaman
Pembimbing I : Dr. Husna Amin, M. Hum
Pembimbing II : Musdawati, M.A
ABSTRAK
Keterlibatan perempuan di dua sektor, sektor domestik (rumah) dan sektor publik
(pekerjaan) melahirkan apa yang disebut dengan peran ganda. Dengan status
peran ganda yang dipikul, jelas akan menimbulkan dampak positif, sekaligus
negatif dalam kehidupan perempuan itu sendiri. Salah satu dampak positif adalah
dari segi peningkatan dana keluarga. Berdasarkan latar belakang masalah yang
telah dijelaskan, maka rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini
adalah bagaimana pandangan aktifis Pusat Studi Wanita UIN Ar-Raniry terhadap
peran perempuan dalam masyarakat di Aceh, apa program dan kegiatan Pusat
Studi Wanita UIN Ar-Raniry terhadap kesetaraan gender, dan apa tantangan atau
hambatan yang dihadapi bagi perempuan pekerja. Penelitian ini adalah mengikuti
model penelitian lapangan (Field Research), penelitian ini menggunakan
pendekatan deskriptif analisis. Adapun hasil penelitian yang penulis peroleh di
lapangan adalah menurut aktifis PSW UIN Ar-Raniry, peran perempuan
sebenarnya tidak hanya terbatas pada ranah domestik saja, tetapi perempuan dapat
berperan di ranah publik. Perempuan akan membawa manfaat besar bagi
masyarakat dan terutama bagi keluarganya, untuk membantu perekonomian
rumah tangga. PSW UIN Ar-Raniry sebagai organisasi yang peduli perempuan,
telah melakukan berbagai kegiatan baik dalam berbagai program dalam bidang
kesetaraan gender, seperti workshop, training, capacity building, penelitian,
baseline studies dan penulisan buku, dan melakukan pembinaan majelis taklim
yang ada di Aceh. Tantangan yang dihadapi perempuan sebagai perempuan yang
memainkan peran ganda berupa berkurangnya waktu untuk keluarga dan membagi
waktu antara pekerjaan domestik dan publik.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam era globalisasi pembangunan nasional dalam konteks sumber daya
manusia, keterlibatan perempuan merupakan hal yang esensial. Oleh sebab itu,
kepedulian yang holistik yang melihat sumber daya perempuan dengan peran
kekhalifahannya di muka bumi dengan acuan pada nilai-nilai agama dan nilai
luhur budaya bangsa, perlu disinergiskan dalam dimensi publik dan domestik
sekaligus. Dimensi publik menyangkut aspek perempuan di bidang iptek,
ekonomi, ketenagakerjaan, politik dan ketahanan nasional. Dimensi domestik
mencakup aspek kesejahteraan keluarga, kesehatan hubungan keluarga, yang
simetris dan lain-lain.1
Perempuan adalah sosok yang kerap kali menjadi perbincangan yang tiada
habisnya. Sesuatu yang menyangkut perempuan akan terus mendapat perhatian
untuk dibicarakan.2 Sekarang, hampir tidak terlihat lagi perbedaan antara laki-laki
dan perempuan, keduanya memiliki status, kesempatan, dan peranan yang luas
untuk berkembang dalam struktur masyarakat modern. Orang tidak janggal lagi
melihat seorang perempuan bekerja di ranah publik.
Berbicara masalah gender, Aceh dapat dijadikan sebagai salah satu kajian
yang menarik untuk melihat partisipasi perempuan dalam masyarakat. Sejarah
1 Jumatil Huda, Peran Wanita Dalam Ranah Domestik dan Publik Dalam Pandangan
Islam, (Studi Pandangan Aktivis PSW UIN-Yogyakarta dan Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia),
(Tesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015), 1. 2 Amirullah Syarbani, Islam Agama Ramah Perempuan, (memahami tafsir agama
dengan perspektif keadilan gender), (Jakarta: Prima Pustaka, 2013), 5.
2
panjang yang dimiliki masyarakat Aceh membuktikan bahwa perempuan Aceh
telah mengambil bagian dalam berbagai bidang, baik sebagai pemimpin di tingkat
paling rendah sampai dengan pemimpin tertinggi di masyarakat. Dalam struktur
masyarakat, perempuan mempunyai otonomi yang luas, yang mana tampak pada
sebutan po rumoh bagi perempuan. Di bidang lain terlihat dari adanya perempuan
yang menjadi Sultanah (wanita kepala pemerintahan Kerajaan Aceh), laksamana
(pemimpin angkatan perang), ulee balang (kepala kenegerian) dan tidak sedikit
yang berperan sebagai pemimpin perlawanan terhadap penjajah.3
Peran perempuan di Aceh dalam peperangan secara panjang lebar telah
diuraikan oleh H.C. Zentgraff. Zentgraff menyebutkan perempuan Aceh sebagai
“de leidster van het verzet” (pemimpin perlawanan) dan grandes dames
(perempuan-perempuan besar). Keberanian dan kesatriaan perempuan Aceh
melebihi segala perempuan yang lain, lebih-lebih dalam mempertahankan cita-cita
kebangsaan dan keagamaannya, dan ia berada baik di belakang layar maupun
secara terang-terangan menjadi pemimpin perlawanan tersebut.4
Jauh sebelum Ratu Safiatuddin berkuasa, yang merupakan masa-masa di
mana perempuan Aceh sangat menonjol dalam memegang tampuk kekuasaan. Hal
ini sekaligus membantah bahwasanya akar budaya Aceh adalah patrilineal (garis
keturunan yang ditarik dari pihak bapak), karena selama hampir 200-an tahun
perempuan mendapatkan tempat yang proporsional dalam pengambilan keputusan
di Aceh.
3 Rusdi Sufi, Muhammad Ibrahim, Thamrin Z, dkk, Aceh Tanah Rencong, cet I
(Yogyakarta: Multi Media Press, 2008), 86. 4 Ibid.
3
Pada awal tahun 1400-an, sejarah juga menceritakan bahwa Aceh pernah di
pimpin oleh sosok perempuan dari kalangan Sultanah yang gencar
memperjuangkan konsep isu kesetaraan gender seperti Nahrasiah, ratu pertama di
Aceh yang memimpin Kerajaan Samudra Pasai. Masa Kerajaan Aceh Darussalam,
perempuan diberi peran cukup besar dalam angkatan perang kerajaan. Dapat
disebutkan di sini pembentukan pasukan inong balee pada masa Sultan Alaudin
Riayat Syah (1589–1604) yang terdiri dari janda-janda prajurit yang mati dalam
pertempuran. Pasukan ini dipimpin oleh Laksamana Malahayati, yang juga
menonjol dalam menyusun strategi-strategi perang. Bahkan pada masa ini Ketua
Dewan Rahasia Kerajaan mirip dengan Badan Intelijen Negara dipegang oleh
perempuan yaitu Po Cut Limpah.
Banyak posisi yang pernah diraih oleh perempuan Aceh, bahkan menduduki
hingga level otoritas kekuasaan. Baik pada masa kesultanan, kolonial Hindia dan
Belanda, hingga dalam konteks negara kesatuan Indonesia. Hal tersebut
merupakan manifestasi perempuan dalam upayanya membela hak-hak masyarakat
Aceh, secara umum, juga pembelaan terhadap penganiayaan dan pelanggaran atas
hak perempuan. Bahwa sejak dari dulu perempuan Aceh memiliki derajat yang
tinggi, dan mempunyai hak-hak yang sama dengan laki-laki dalam hal
memperjuangkan negara.5 Selama kerajaan-kerajaan Aceh silih berganti, nama
dan pusat pemerintahannya, terdapat banyak perempuan Aceh menjadi sebagai
politikus atau anggota Mahkamah Rakyat dan sebagai pejuang panglima perang
(pahlawan/ srikandi).
5 Muhammad Umar, Peradaban Aceh Kilasan Sejarah Aceh dan Adat, (Banda Aceh:
Yayasan Busafat, 2006), 42.
4
Hal ini terdorong oleh fakta sejarah yang mencatat bahwa Aceh memiliki
sederet nama-nama tokoh perempuan terkemuka yang mempunyai peran nyata
dalam kontribusi politik yang sangat penting dalam sejarahnya. Dapat dikatakan
bahwa di Aceh sebenarnya tidak ada persoalan dalam kehidupan perempuan,
perempuan telah cukup diapresiasi dan diberi ruang gerak yang leluasa di ranah
publik seperti halnya laki-laki. Generalisasi ini terkadang melupakan adanya
perubahan sosial, modernitas, kebijakan politik yang ikut mempengaruhi
kehidupan masyarakat, termasuk perempuan dari waktu ke waktu.6
Di masa konflik, kesempatan untuk meneliti di Aceh penuh risiko. Setelah
bencana tsunami, Aceh menjadi daerah yang terbuka luas untuk dunia luar,
terlebih lagi ketika kondisi keamanan di Aceh semakin kondusif setelah perjanjian
damai RI dan GAM yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di
Helsinki, Finlandia. Pemerintahan Aceh baru pasca MoU Helsinki turut
memberikan warna tersendiri terhadap peran dan status perempuan Aceh masa
kini baik dalam arti positif maupun negatif.7
Sementara itu dinamika kehidupan sosial politik perempuan Aceh juga
berubah secara cepat. Kegiatan Duk Pakat Inong Aceh, Piagam Hak-hak
Perempuan Aceh dan kemunculan berbagai lembaga yang terlibat dalam isu-isu
perempuan dalam konteks Aceh kekinian adalah bahagian dari dinamika yang
sedang terjadi.8
6 Eka Srimulyani dan Inayatillah (ed), Perempuan Dalam Masyarakat Aceh: Memahami
Beberapa Persoalan Kekinian (Darussalam, Banda Aceh: Logica-Arti, 2009), 1. 7 Ibid., 2.
8 Ibid.
5
Sampai sekarang ada beberapa daerah di Aceh yang menunjukkan dominasi
perempuan dalam pengolahan sawah, seperti di daerah Aceh Besar. Pada saat
perempuan mengolah sawah, sang suami merantau untuk mencari nafkah di
tempat lain. Ini adalah bentuk keseimbangan “mikro kosmos” yang dilakukan
oleh masyarakat Aceh. Selain itu, pada tradisi meudagang yang dilakoni oleh para
laki-laki Aceh. Dalam bukunya Siegel (1969) menuliskan bahwa perempuan bisa
“protes” jika suami tidak pulang dengan membawa hasil yang diinginkan.
Hal yang demikian ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki posisi tawar
dalam relasi rumah tangga, posisi tawar perempuan dalam keluarga relatif tinggi,
hal ini bisa jadi perempuan Aceh telah memiliki kemandirian secara ekonomi
sejak awal pernikahannya atau tradisi lokal yang memberikan ruang relatif
leluasa. Pemahaman yang dibentuk bahwa laki-laki merantau dan perempuan
tinggal di gampong menunjukkan tanggung jawab perempuan yang tinggi dalam
management keluarganya, di luar urusan domestik semata.
Seperti dijelaskan di atas bahwa peran dan posisi Perempuan Aceh pernah
mengalami masa keemasannya pada abad ke-13 hingga ke-16. Bukti-bukti
dokumentasi menunjukkan bahwa beberapa perempuan Aceh menjadi pemimpin
kerajaan, pemimpin perang, pemimpin wilayah di bawah kerajaan dan lain-lain
yang bersifat penguasaan. Penyempitan peran dan pembungkaman suara terjadi
disebabkan pergolakan yang menghasilkan peperangan yang terus-menerus, yang
kemudian menyebabkan dampak negatif terhadap perempuan.
6
Peran laki-laki dan perempuan secara sosial, bukanlah sesuatu yang given dan
kodrati sifatnya. Namun konstruksi peran sesungguhnya telah dibentuk jauh
sebelum budaya dan perkembangan masyarakat mencapai titik didih kemajuan.
Isu-isu mengenai kiprah perempuan di sektor publik nampaknya tidak pernah
sepi dari perbincangan. Hal ini memungkinkan dikarenakan permasalahan
perempuan dalam lintasan sejarah merupakan permasalahan sosial yang belum
berimbang dalam memandang kaum perempuan masih sangat kuat. Dalam
masyarakat yang mengaku modern dan demokratis sekalipun, masih dijumpai
pandangan yang menganggap bahwa perempuan merupakan warga kelas dua dan
pelengkap sehingga kiprahnya di sektor publik perlu dipertanyakan.
Keterlibatan perempuan di sektor publik sebenarnya juga tidak terlepas dari
tuntutan ekonomi keluarga. Karena kesulitan ekonomi, yang telah mendorong
perempuan untuk ikut serta berperan aktif dalam mengatasi permasalahan
ekonomi keluarga dengan melakukan ikut bekerja di ranah publik
Terlibatnya perempuan di kedua sektor, sektor domestik (rumah) dan sektor
publik (pekerjaan) ini kemudian melahirkan apa yang disebut dengan peran
ganda. Dengan status peran ganda yang dipikulnya, jelas akan menimbulkan
dampak positif dan sekaligus negatif dalam kehidupan perempuan itu sendiri.
Salah satu dampak positif keuntungan utama tentu saja dari segi keuangan. Di
samping keuntungan keuangan, pernikahan dengan peran ganda juga dapat
memberikan kontribusi pada hubungan yang lebih setara antara suami dan istri,
serta meningkatkan harga diri bagi perempuan. Sebaliknya, di antara kerugian
yang mungkin dialami oleh perempuan berperan ganda adalah tuntutan adanya
7
waktu dan tenaga ekstra, konflik antara peran pekerjaan dan peran keluarga, dan
jika keluarga itu memiliki anak-anak, perhatian terhadap anak menjadi lebih
berkurang.
Bila ditelaah secara dalam dan objektif, sejarah telah menyimpan catatan
mengenai performa positif kaum perempuan yang melompati wilayah
domestiknya. Namun karena alasan kodrati, perempuan sering disudutkan pada
keadaan yang tidak menguntungkan, hal yang kerap kali menghilangkan
kesempatan mereka untuk membuktikan kapasitas dan kapabilitas. Dan agama
pun sering dijadikan alasan untuk melegitimasi atas diskriminasi dan
ketidakadilan terhadap perempuan. Berkaitan dengan perkembangan zaman,
masyarakat sekarang membutuhkan peran perempuan dalam segala aspek,
pendidikan, sosial ekonomi, hukum, politik, dan lain-lain. Hal tersebut juga
dipengaruhi oleh tuntutan bangsa-bangsa atas nama masyarakat global bahwa
kemajuan suatu bangsa ditentukan bagaimana bangsa tersebut peduli dan memberi
akses yang luas bagi perempuan untuk beraktivitas di ranah publik.9 Faktor
sejarah dan budaya pun sering dijadikan alasan untuk melegitimasi atas
diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan.
Problematika ketidakseimbangan gender dan persoalan peran perempuan
pada ranah domestik dan publik inilah yang melahirkan penelitian dilakukan dan
persoalan pembagian tugas kerumahtanggaan, di mana laki-laki ikut membantu
tugas-tugas kerumahtanggaan yang ada.
9 Indah Ahdiah, Peran-Peran Perempuan Dalam Masyarakat, dalam Jurnal Academica
Fisip Untad Vol.05, Nomor 2, (2013), 1085.
8
Untuk menguraikan permasalahan ini, penelitian ini mencoba
menguraikannya dengan meneliti gerakan, yaitu aktifis Pusat Studi Wanita (PSW)
UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Berdasarkan latar belakang di atas penelitian ini diberi judul “Peran
Perempuan Dalam Masyarakat di Aceh (Studi Terhadap Pandangan Aktifis PSW
UIN Ar-Raniry Banda Aceh)”.
B. Rumusan Masalah
Adapun objek material dalam penelitian ini adalah pandangan aktifis dari
PSW UIN Ar- Raniry Banda Aceh.
Berdasarkan latar belakang masalah dan penegasan istilah yang telah
dijelaskan diatas, maka rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana pandangan aktifis Pusat Studi Wanita UIN Ar-Raniry terhadap
peran perempuan dalam masyarakat di Aceh?
2. Apa program dan kegiatan Pusat Studi Wanita UIN Ar-Raniry terhadap
kesetaraan gender?
3. Apa tantangan atau hambatan yang dihadapi bagi perempuan bekerja?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dilakukan dalam rangka mendeskripsikan secara rinci
pandangan dari beberapa pandangan tokoh dan ketua aktifis tersebut tentang peran
perempuan dalam ranah masyarakat.
9
1. Untuk mengetahui pandangan dari Pusat Studi Wanita UIN Ar-Raniry
terhadap peran perempuan dalam masyarakat di Aceh.
2. Untuk mengetahui program dan kegiatan Pusat Studi Wanita terhadap
kesetaraan gender.
3. Untuk mengetahui tantangan dan hambatan bagi perempuan yang bekerja.
D. Kajian Pustaka
Setelah meninjau beberapa tulisan para tokoh akademis, penulis menawarkan
beberapa buku yang berkaitan dengan objek penelitian, buku yang membahas
tentang kiprah wanita pada ranah domestik dan publik dan buku mengenai gender
yang juga membahas tentang kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki,
adalah di antaranya:
Eka Srimulyani dan Inayatillah, yang berjudul “Perempuan Dalam
Masyarakat Aceh: Memahami Beberapa Persoalan Kekinian” terbitan LOGICA –
ARTI–PUSLIT IAIN AR-RANIRY Banda Aceh. Buku tersebut menjelaskan
tentang keadaan perempuan Aceh dalam konteks kekinian yang didasarkan pada
penelitian lapangan, dan tentang beragam persoalan yang dihadapi oleh
perempuan Aceh seperti, persoalan kesehatan, reproduksi, angka kematian ibu,
kepemimpinan perempuan, perempuan di mata institusi penegakan hukum,
pernikahan sirri dan keadaan perempuan di pedesaan serta solusi keadilan dan
kesejahteraan.
Buku yang ditulis oleh Hj. Mufidah Ch., (2010) dengan judul Bingkai Sosial
Gender (Strukturasi, dan Kontruksi Sosial). Di dalam buku ini dikatakan bahwa
pemberian peran sosial untuk anak laki-laki yang dibedakan dengan anak
10
perempuan menjadi dasar sebuah keyakinan bahwa anak laki-laki berbeda dengan
anak perempuan dalam segala hal, misalnya menyapu untuk anak perempuan,
memperbaiki sepeda untuk anak laki-laki. Memasak dianggap khusus untuk ibu,
sedangkan bapak bekerja di kantor. Trilogi peran tersebut pada intinya berkutat
pada tugas pelayanan terhadap suami sebagai representasi laki-laki. Dari sinilah,
konsep dan citra diri laki-laki dan perempuan dibangun dan dipengaruhi oleh
budaya yang dikuatkan pula oleh legitimasi agama, dan proses domestifikasi itu
masih berlanjut hingga saat ini.
Dalam buku ini juga dijelaskan perbedaan jenis kelamin digunakan sebagai
dasar pemberian peran sosial yang tidak sekedar dijadikan dasar pembagian kerja,
namun lebih dari itu menjadi instrumen dalam pengakuan dan pengingkaran
sosial, ekonomi, politik, serta menilai peran dan hak-hak dasar keduanya.
Buku yang ditulis oleh Umi Sumbulah (2008) dengan judul Spektrum Gender
(Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi). Di mana dalam buku ini
memaparkan adanya teori peran laki-laki dan perempuan dimana terdapat dua
teori peran penting, yang dapat digunakan untuk melihat peran laki-laki dan
perempuan. Tentu saja, yang dimaksud peran dalam konteks ini adalah peran
sosial, yang dikontruksi oleh masyarakat. Dua teori dimaksud adalah teori nature
dan teori nurture. Kedua teori peran ini, pada tahap berikutnya senantiasa berjalan
secara berlawanan. Laki-laki atau perempuan, tidak didefinisikan secara alamiah
namun kedua jenis kelamin ini dikonstruksikan secara sosial. Berdasarkan teori
ini, anggapan bahwa laki-laki yang dikatakan kuat, tegas, rasional, dan seterusnya,
sebagai kodrat laki-laki, sesungguhnya merupakan rekayasa masyarakat
11
patriarkhi. Demikian juga sebaliknya, anggapan bahwa perempuan lemah,
emosional dan seterusnya, sebagai kodrat perempuan, sesungguhnya juga hanya
diskenario oleh kultur patriarkhi. Berdasarkan perdebatan, diperlukan pemosisian
apakah pemosisian apakah identitas jenis kelamin perempuan dan laki-laki itu
merupakan identitas kodrati atau konstruksi. Hal ini penting didudukkan
mengingat implikasi dari konsep yang berbeda tersebut sangat besar bagi
kehidupan sosial, laki-laki dan perempuan dalam lingkup sosio-kultural yang
lebih luas. Di samping itu, perdebatan ini kemudian juga berdampak pada adanya
pembatasan “gerak” yang wajar dan pantas atau yang tidak wajar dan tidak pantas
untuk dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.
Buku yang ditulis oleh Yusuf Qardlawi, dkk (2004) dengan judul Ketika
Wanita Menggugat Islam. Di dalam buku ini dikatakan, perdebatan wanita
kaitannya dengan pembangunan dan kiprah di kancah publik senantiasa terus
menarik perhatian. Sepanjang sejarahnya masalah wanita itu sendiri dari dulu
memang diperdebatkan banyak kalangan. Misalnya, dari aspek sejarah keberadaan
dalam peradaban dan agama-agama pra-Islam, wanita mendapat stigma yang
demikian hina dan tak terhormat. Namun semua kondisi itu berubah sejak
hadirnya agama Islam. Justru hadirnya Islam sangat menghormati dan menghargai
hak-hak wanita. Semua hak, hingga hak publik, diatur oleh Islam dengan
ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh agama terakhir ini. Perubahan
mendasar berkaitan dengan peran wanita di bidang publik terus bergulir. Kini,
banyak kaum wanita berkiprah dalam peran-peran publik, termasuk di dunia
12
politik. Malah sejak 20 tahun terakhir ini, tercatat nama-nama wanita menjadi
kepala pemerintahan.
Buku yang ditulis oleh Amirullah Syarbani (2013) dengan judul Islam Agama
Ramah Perempuan (Memahami Tafsir Agama dengan Perspektif Keadilan
Gender). Di dalam buku ini dikatakan, Islamlah yang membebaskan perempuan
dari anggapan buruk dan terhina karena memiliki anak perempuan pada masa
jahiliyah. Pada masa budaya Arab jahiliyah anak perempuan rela dikuburkan agar
tidak mendapatkan malu. Islam pulalah yang mengajarkan kedua orang tua untuk
merawat dan mendidik anak perempuannya bila keduanya ingin masuk surga.
Dalam Islam, perempuan bukanlah musuh atau lawan kaum laki-laki.
Sebaliknya, perempuan adalah bagian dari laki-laki, demikian pula laki-laki
adalah bagian dari perempuan, dan keduanya bersifat resiprokal (saling
membutuhkan). Dalam Islam juga tidak pernah diperbolehkan adanya
pengurangan hak atau pendzaliman terhadap perempuan demi kepentingan laki-
laki. Ini membuktikan bahwa Islam bukanlah agama yang menyudutkan atau
memasung kreativitas perempuan, dan selalu memberikan ruang kepada
perempuan untuk mengartikulasikan potensi dirinya, baik pada ruang domestik
maupun publik. Bahwa sekarang, kiprah perempuan di dunia publik, tidak lagi
menjadi pemandangan yang langka. Diberbagai sektor, termasuk sektor yang pada
umumnya didominasi laki-laki pun, kita menemukan keterlibatan para perempuan.
Terbukanya lapangan dan peluang kerja yang tidak lagi ketat dengan kriteria
gender, kemajuan di bidang pendidikan, kemiskinan yang dialami sebagian besar
keluarga, dan lain-lain, merupakan faktor-faktor yang sangat berperan
13
meningkatkan jumlah perempuan yang berkiprah di ranah publik. Menariknya,
kesuksesan perempuan dalam menjalankan tugasnya tidak kalah dengan laki-laki.
Tentu saja, ini menjadi bukti bahwa kesuksesan diranah publik tidak terkait
dengan kriteria gender.
Sebelumnya tesis saudari Jumiatil Huda Mahasiswi program pasca sarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2015 telah memberi gambaran mengenai
peran perampuan dalam ranah domestik dan publik. Tesis tersebut berjudul
“Peran Wanita dalam Ranah Domestik dan Publik dalam Pandangan Islam (Studi
Pandangan Aktivis Pusat Studi Wanita-UIN Yogyakarta Dan Aktivis Hizbut
Tahrir Indonesia)”. Tulisan ini secara umum memfokuskan pembahasan pada
peran wanita dalam ranah domestik dan publik. Di mana pada realitanya,
ditemukan kesenjangan peran wanita baik pada ranah domestik maupun publik.
Sebenarnya dalam tulisan tesis Jumiatil Huda secara umum membahas tentang
hak dan kewajiban perempuan.
Dari hasil pemeriksaan di perpustakaan sejauh kemampuan penulis, ternyata
belum ada yang melakukan penelitian tentang Peran Perempuan Dalam
Masyarakat Di Aceh (Studi TerhadapPandangan Aktifis PSW Uin Ar-Raniry
Banda Aceh)”.
E. Landasan Teori
Amina Wadud menjelaskan ketidakadilan peran perempuan dalam kehidupan
sosial dan kesetaraan martabat antara laki-laki dan perempuan, timbulnya budaya
patriarki, struktur sosial masyarakat, sehingga mempengaruhi penafsiran dari
ayat-ayat Al-Quran tentang perempuan. Amina Wadud ada beberapa aspek
14
penting dalam menentukan relasi gender dalam kehidupan sosial. Yakni pertama,
perspektif yang lebih demokratis mengenai hak dan kewajiban individu baik laki-
laki ataupun perempuan di dalam masyarakat. Kedua, dalam pembagian peran
tersebut hendaknya tidak keluar dari prinsip umum Al-Quran tentang keadilan
sosial, penghargaan atau martabat manusia, persamaan hak di hadapan Allah, dan
keharmonisan dengan alam. Ketiga, relasi gender hendaknya secara gradual turut
membentuk etika dan moralitas bagi manusia. Ketiga aspek relasi gender ini
menjadi prinsip utama sebuah „relasi fungsional‟ yang tujuannya tidak lain adalah
merealisasikan misi penciptaan manusia di dunia.
Dalam rangka mengeluarkan perempuan dari kekangan endrosentrisme (nilai
dominan yang didasarkan pada norma dan cara pandang laki-laki), Amina Wadud
melanjutkan pemikiran yang memfokuskan kajian lebih ke aspek kultur, tidak
sama antara Islam dengan Arab. Harus bisa dipisahkan antara budaya Arab dan
konsep ajaran Islam, Islam tidak sama dengan Arab. Penafsiran terhadap relasi
laki-laki dan perempuan banyak dipengaruhi oleh tradisi masyarakat dan
celakanya hal itu dikira bahwa itulah Islam. Islam punya pedoman hidup yang
bernilai Universal, jangan melihat Islam secara partikular sesuai dengan nalar
masing-masing suku atau bangsa.10
Wacana tentang perempuan yang berlaku dalam komunitas Arab telah
dibentuk sedemikian rupa oleh kultur dominasi laki-laki. Apalagi didukung oleh
konstruksi para ulama dengan memanipulasi teks untuk kepentingan laki-laki
menjadi masyarakat yang patriarkhi. Fatima Mernisi menjumpai adanya
10
Http://Jurnalpamel‟s. blog.html/Metode Penelitian Gender Amina Wadud (Inside the
Gender Jihad). Diakses September 2013.
15
ketimpangan peran sosial antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat,
sehingga yang nampak adalah masyarakat patriarkhi.
Fatima Mernissi berpendapat bahwa perempuan dalam sejarah Islam
mempunyai peran yang sama dengan laki-laki. Banyak terdapat ratu-ratu
pemimpin Islam yang muncul di panggung sejarah Islam Tradisi perempuan
menjadi pemimpin dalam Islam, bukanlah merupakan hal yang baru, tetapi sudah
ada sejak dahulu. pada dasarnya konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan
tersebut sebenarnya telah tersurat dalam teks agama (wahyu dan sunnah). Hanya,
karena peranan otoritas ulama mendominasi penafsiran teks-teks agama, sehingga
lebih mengutamakan kepentingan laki-laki dan menjastifikasi atas dominasinya,
serta mampu menciptakan masyarakat patriarkhi.
Pendekatan hermeneutik adalah sebuah upaya untuk reinterpretasi terhadap
teks-teks agama dalam kaitannya relasi antara laki-laki dan perempuan. pada
dasarnya konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan tersebut sebenarnya telah
tersurat dalam teks agama (wahyu dan sunnah). Hanya, karena peranan otoritas
ulama mendominasi penafsiran teks-teks agama, sehingga lebih mengutamakan
kepentingan laki-laki dan menjustifikasi atas dominasinya, serta mampu
menciptakan masyrakat patriarkhi. Pendekatan hermeneutik adalah sebuah upaya
untuk reinterpretasi terhadap teks-teks agama dalam kaitannya relasi antara laki-
laki dan perempuan.11
Sebuah penelitian yang baik harus memiliki kerangka teori penelitian yang
sesuai dengan objek yang ingin diteliti, sehingga alur penelitian tersebut mudah
11 file:///G:/teoriaminawadud/Nur Mukhlish Z Pemikiran Fatima Mernissi. Diakses
Februari 2012.
16
dipahami.12
Untuk lebih mudah dalam memahami pembahasan ini, maka penulis
lebih dahulu menjelaskan beberapa istilah teori yang terdapat dalam judul skripsi
ini, sehingga pembaca terhindar dari kesalahpahaman dalam memahaminya.
Berikut istilah-istilah yang perlu dijelaskan:
1. Dalam teori sosial Person, peran didefinisikan sebagai harapan-harapan yang
diorganisasi terkait dengan konteks interaksi tertentu yang membentuk
orientasi motivasional individu terhadap yang lain.13
Peran adalah aspek
dinamis dari status yang sudah terpola dan berada di sekitar hak dan
kewajiban tertentu.14
Peran ganda dalam kamus besar bahasa Indonesia
merumuskan kata peran dalam pengertiannya adalah sebagai pemain
sandiwara atau perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang
berkedudukan dalam masyarakat. Menurut Abu Ahmadi (1982) peran adalah
suatu kompleks pengharapan manusia terhadap caranya individu harus
bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu yang berdasarkan status dan
fungsi sosialnya.15
Sedangkan kata ganda berarti kali (tentang hitungan),
berbayang (seakan-akan ada dua), berpasangan (terdiri atas dua). Jadi dari
dua kata tersebut dapat disimpulkan bahwa kata peran ganda berarti
perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh seseorang untuk
membawakan dua peranan.
12
Bahdin Nur Tanjung, Ardial, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, (Jakarta: Kencana
Predana Media Grup, 2005), 168. 13
Indah Ahdiah, Peran-Peran Perempuan Dalam Masyarakat, dalam Jurnal Academica
Fisip Untad...., 1087. 14
Ibid. 15
Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan: Membahas Gejala Pendidikan Dalam Konteks
Struktur Sosial Masyarakat, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982), 20.
17
2. Pengertian perempuan secara etimologis dalam bukunya Zaitunah Subhan.
Perempuan berasal dari kata empu yang artinya dihargai.16
3. Koenjaranigrat (2009) secara etimologis, pengertian masyarakat dalam
bahasa Inggris masyarakat di sebut society asal kata socius yang berarti
“kawan”. Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab “syaraka”
yang berarti “ikut serta, berpartisipasi”. Masyarakat adalah sekumpulan
manusia yang saling “bergaul” atau dengan istilah ilmiah, saling
“berinteraksi”.17
F. Metode Penelitian
Pada setiap penelitian ilmiah, metode penelitian sangat dibutuhkan untuk
mengarahkan peneliti agar penelitian yang dilakukan tersusun secara sistematis.
Sedangkan untuk mendapatkan data yang obyektif bagi suatu penelitian, maka
setiap penelitian ilmiah harus menggunakan suatu metode penelitian tertentu.
Mengenai metodologi pembahasan yang digunakan dalam peneliti ini dibagi
dalam beberapa sudut pandang. Setiap sundut pandang mempunyai metodologi
yang dijabarkan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, termasuk penelitian kualitatif yaitu penelitian lapangan
(Field Research), yang dimaksudkan dengan penelitian penelitian lapangan (Field
Research), yaitu pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti guna
16
Zaitunah Subhan, Kodrat Perempuan: Takdir atau Mitos?, (Yogyakarta: LKiS Pelangi
Aksara, 2004), 32. 17
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 116.
18
mendapatkan data yang relevan18
dengan cara mewawancarai ibu Soraya Devi
selaku mantan ketua Pusat Studi Wanita tahun 2006-2010, ibu Rasyidah selaku
ketua Pusat Sudi Wanita sekarang dan anggota Pusat Studi Wanita UIN Ar-Raniry
untuk mendapatkan data yang dapat membantu melengkapi bahan yang
dibutuhkan. Di samping itu penulis juga mengumpulkan data dari berbagai
literatur baik itu buku, serta karya-karya lain, yang dinilai memiliki hubungan dan
dapat mendukung dalam penulisan skripsi ini.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupakan suatu tempat yang dipilih sebagai tempat yang
ingin diteliti untuk memperoleh data yang diperlukan dalam hal penulisan skripsi.
Adapun hal dalam penulisan skripsi ini, lokasi penelitiannya adalah Pusat Studi
Wanita UIN Ar-Raniry.
3. Sifat penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik. Di mana penulis akan
menggambarkan terlebih dahulu pendapat para aktivis gerakan tersebut dalam
memandang peran ganda perempuan.
4. Sumber Data
Ada dua bentuk sumber data dalam penelitian yang penulis jadikan sebagai
pusat informasi pendukung data yang dibutuhkan dalam penelitian, yaitu
sumber data primer dan sumber data sekunder.19
18
Sugiono, Metode Penelitian Bisnis, (Bandung: Alfabeta, 2008), 17. 19
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2009), 225.
19
a. Data primer dalam penelitian ini merupakan data yang diperoleh dari hasil
wawancara dengan para subjek penelitian atau sumber data yang langsung
memberikan data kepada pengumpulan data.20
b. Data sekunder merupakan sumber yang menjadi bahan penunjang dan
melengkapi suatu analisis.21
Sumber data sekunder yang akan digunakan
dalam skripsi ini diambil dari bahan-bahan kepustakaan, seperti buku-
buku, jurnal dan hal lain yang relevan dengan judul skripsi ini.
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi, yaitu pengumpulan data dengan cara mengadakan peninjauan
secara langsung terhadap objek penelitian,22
dimana peneliti terjun
langsung ke tempat penelitian yaitu di kampus UIN Ar-raniry di jalan
Darussalam Banda Aceh.
b. Wawancara (Interview) yaitu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan
informasi dengan komunikasi secara langsung dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepada responden, dilakukan dengan cara
mewawancarai ketua dan beberapa orang anggota PSW UIN Ar-Raniry.
c. Teknik Dokumentasi, teknik ini digunakan sebagai kajian terhadap
peristiwa, objek atau tindakan yang di rekam dalam bentuk foto. Melalui
studi dokumentasi ini bertujuan untuk memperoleh data-data yang tidak
dapat dengan observasi, dan wawancara, melainkan hanya dapat di peroleh
dengan beberapa gambar.
20
Ibid. 21
Saifudin Azwar, Metodelogi Penelitian, (Yogyakarta: Pusaka Pelajar Offset, 1998), 91. 22
Goris Keraf, Komposisi, cet. Ke-9, (Flores: Nusa Indah, 1993), 163.
20
6. Populasi dan Sampel
Dalam suatu penelitian, populasi menyebutkan seluruh elemen atau anggota
dari suatu lembaga aktifis yang menjadi sasaran penelitian atau merupakan
keseluruhan dari objek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah orang-
orang yang terlibat dalam lembaga PSW UIN Ar-Raniry.
7. Langkah-Langkah Analisis Data
Setelah data yang dibutuhkan terkumpul dan tersaji, selanjutnya penulis akan
mengadakan pengelolaan data dan menganalisis data untuk dapat ditentukan
dengan data yang aktual dan faktual. Setelah semua data penelitian didapatkan,
kemudian diolah menjadi suatu pembahasan untuk menjawab persoalan yang ada
dengan didukung oleh data lapangan dan teori. Penulisan skripsi ini juga
mengikuti buku Panduan Penulisan Skripsi Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry
tahun 2013.
Setelah diperoleh data dari hasil interview, dokumentasi, dan observasi,
kemudian data-data tersebut dikumpulkan, langkah selanjutnya ialah menganalisa
dengan menggunakan metode induksi sehingga memungkinkan temuan-temuan
penelitian muncul dari keadaan umum, tema-tema yang dominan dan signifikan
yang ada dalam data, tanpa mengabaikan hal-hal yang muncul dalam metode
penelitian yang dilakukan.
G. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan yaitu rangkaian pembahasan yang tercakup dalam isi
penelitian, di mana yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan dengan
21
sebagai satu kesatuan yang utuh, yang merupakan urutan-urutan tiap babnya
terbagi dalam lima bab, yang terdiri dari:
Bab satu pendahuluan yang merupakan penjelasan singkat dan gambaran
secara umum mengenai penelitian ini. Adapun gambaran umum ini terdiri dari
uraian latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian
pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab dua membahas konstruksi peran gender dalam Islam, terdiri dari peran
laki-laki dan perempuan dalam Al-Quran, praktek kesetaraan gender di masa
rasul, wacana hak-hak perempuan dalam Islam (tokoh-tokoh yang membicarakan
perempuan).
Bab tiga adalah sejarah dan kiprah Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Ar-
Raniry, terdiri dari sejarah singkat atau perkembangan PSW, program dan
kegiatan yang dilakukan dan visi dan misi PSW.
Bab empat adalah pandangan aktifis PSW UIN Ar-Raniry terhadap peran
perempuan dalam masyarakat, terdiri dari peran perempuan dalam masyarakat
Aceh (ranah domestik dan publik), program dan kegiatan yang dilakukan PSW
terhadap pencapaian kesetaraan gender, tantangan/hambatan perempuan bekerja,
alasan atau argumentasi yang melatar belakangi pemikiran para aktifis PSW.
Bab lima yang merupakan bab terakhir, dimana dalam bab ini berisikan
kesimpulan dan saran-saran yang dianggap perlu berdasarkan penelitian di atas.
22
BAB II
KONTRUKSI PERAN GENDER DALAM ISLAM
A. Peran Laki-Laki dan Perempuan Dalam Al-Quran
Ketika Islam berbicara relasi antara laki-laki dan perempuan, maka Islam
bersikap egaliter tanpa ada ketimpangan dan unsur tinggi rendah. Islam telah
menawarkan konsep gender dengan menempatkan perempuan dan laki-laki dalam
hubungan partnership yang keberadaannya diakui sederajat dengan hak dan
kewajiban masing-masing.1 Hal ini terlihat dengan jelas dalam ungkapan ayat
berikut ini.
ان المسلمي والمسلمات والمؤمني والمؤمنت والقنتي والقنت والصدقي والص دقت والص
قت والصآئمي والص قي والمتصد ات والشعي والشعت والمتصد ئمت والفظي ف روجهم والص
غفرة واجرا عظيما اكرت اعد الله لم م را والذ اكر الله كثي والفظت والذ
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan
yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan
yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan
perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang
banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka
ampunan dan pahala yang besar, yang dimaksud dengan muslim di sini ialah
orang-orang yang mengikuti perintah dan larangan pada lahirnya, sedang
yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini ialah orang yang
membenarkan apa yang harus dibenarkan dengan hatinya”.2
Kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan merupakan konsep hubungan yang
meletakkan laki-laki dan perempuan sebagai relasi yang dapat saling
mempengaruhi secara positif. Kemitrasejajaran dapat berarti persamaan status
1 Ernita Dewi, Kesetaraan Gender Dalam Islam: Sudut Pandang Al-Quran Dan Hadis,
dalam Jurnal Substantia, Vol. 16, Nomor 2, (2014), 272. 2 Q.S Al -Ahzab Ayat: 35.
23
laki-laki dan perempuan dalam masyarakat yang tercermin dalam sikap saling
menghargai, menghormati, mengisi, dan membantu.3
Islam adalah agama yang sangat menghargai perempuan. Hal ini terbukti
dengan adanya ayat-ayat dalam Al-Quran yang menjelaskan pentingnya peran
perempuan dalam kehidupan. Al-Quran secara tegas memandang laki-laki dan
perempuan secara sama akan keberadaannya. Sehingga eksistensi perempuan
merupakan kekuatan penyeimbang bagi laki-laki. Namun yang terjadi dalam
masyarakat, khususnya dalam masyarakat Islam adanya penindasan dan
pengekangan terhadap kaum perempuan masih tetap saja terjadi. Hal ini
disebabkan adanya budaya patriarki dan bias gender dalam penafsiran Al-Quran
yang kebanyakan didominasi kaum laki-laki.4
Diakui atau tidak, selama ini kecenderungan masyarakat menempatkan laki-
laki di dunia publik dan perempuan di dunia domestik terjadi di setiap peradaban
manusia. Praktek semacam ini telah melahirkan kesenjangan sosial yang
berkepanjangan antara dua jenis kelamin. Perempuan dianggap bertanggung
jawab dalam aktivitas rumah tangga (wilayah domestik), sementara laki-laki
dianggap paling bertanggung jawab dalam wilayah publik. Jika mengkaji ayat-
ayat Al-Quran secara mendalam, ditemukan bahwa Al-Quran banyak
mengisahkan perempuan-perempuan yang aktif dan sukses di wilayah domestik
dan publik, di antaranya dalam ayat berikut ini.5
3 Ibid., 273.
4 Ernita Dewi, Pemikiran Amina Wadud Tentang Rekonstruksi Penafsiran Berbasis
Metode Hermeneutika, dalam Jurnal Substantia Vol. 15, Nomor 2, (2013), 149. 5 Amirullah Syarbani, Islam Agama Ramah Perempuan: Memahami Tafsir Agama
dengan Perspektif Keadilan Gender...., 49.
24
ىء ولا عرش عظيم.ان وجدت امرأة تلكهم وأوتيت م كل ش
“Sungguh, kudapati ada seorang perempuan yang memerintah kaumnya dan
dia dianugerahi segala sesuatu serta memiliki sianggasana yang besar.”6
Ayat ini mengisyaratkan bahwa ada seorang perempuan yang sangat cakap
memegang kekuasaan, dia adalah Ratu Bilqis. Ini terbukti dalam sejarah bahwa
Ratu Balqis mendapatkan surat dari Nabi Sulaiman. Dalam menyikapi hal
tersebut, Ratu Balqis tidak langsung memutuskan apa solusi yang hendak di
ambil, tapi Ratu Bilqis memusyawarahkannya dengan para menteri dan staf
ahlinya. Setelah bermusyawarah, ditemukanlah solusi yang sangat bijaksana. Dari
peristiwa itu, bisa dikatakan bahwa kinerja yang dilakukan Ratu Bilqis di wilayah
publik sangatlah kompeten. Ratu Balqis mampu menghasilkan output yang sangat
besar dengan memberikan salah satu kebijakan yang merupakan masukan (input)
dalam memutuskan satu problem, sehingga memberikan manfaat nyata untuk
banyak orang.7
Sedangkan telaah historis, dilihat dari kondisi perempuan pada masa Nabi
SAW. Pada masa itu, kaum perempuan memperoleh kemerdekaan. Rasa percaya
mereka semakin kuat, sehingga di antara mereka mencatat prestasi gemilang, baik
dalam sektor domestik maupun dalam sektor publik. Tidak diragukan lagi bahwa
terdapat perempuan yang sukses di wilayah domestik dan publik pada masa Nabi
SAW. Pada masa Rasulullah, studi keagamaan merupakan bidang terfavorit bagi
kaum perempuan, sehingga banyak perempuan muslim yang menjadi tokoh
terkemuka di kalangan para ahli hadis dan ahli hukum. Peringkat pertama teratas
6 An-Naml ayat: 23.
7 Ibid.
25
adalah Aisyah, istri Nabi SAW. Aisyah dipercaya memiliki ribuan hadis yang
diterima langsung dari Nabi SAW dan sampai hari ini tetap dinilai memiliki
otoritas yang tinggi dalam yurisprudensi Islam.8
Dalam hal bisnis, kaum perempuan juga banyak andil di dalamnya.
Contohnya adalah Khadijah binti Khuwailid yang terkenal sebagai komisaris
perusahaan, Zainab binti Jahsh sebagai pengusaha tekstil, dan al-Shifa sebagai
sekretaris Hisbah dan pernah ditugasi oleh Umar bin Khattab mengelola pasar
kota Madinah. Demikian banyak data sejarah yang menuliskan bahwa kaum
perempuan juga ikut bergabung dalam peperangan, perempuan bertempur
berdampingan dengan laki-laki dan memainkan peran yang sangat penting.
Diantaranya adalah Nusaibah, istri Zaid bin Asim, yang terjun dalam perang Uhud
untuk melindungi Nabi SAW.
Dari data-data sejarah di atas, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya
perempuan sangat berperan di wilayah ganda, domestik dan publik secara
maksimal. Bahkan peran perempuan dalam wilayah domestik dan publik tersebut
kadang-kadang mengalahkan laki-laki, baik dari segi kualitas maupun
kuantitasnya. Sebagai bukti, perempuan dapat mengatur keperluan rumah tangga
di pagi hari, kemudian bekerja di luar sampai sore hari, dan sepulang kerja di
malam hari masih mampu mengurus keperluan rumah tangga.
Sebagai makhluk yang sama (manusia), laki-laki dan perempuan memiliki
hak dan kewajiban yang sama, namun sejatinya memiliki kodrat yang berbeda, di
mana antara laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dalam hal reproduksi.
8 Ibid.
26
Dari perbedaan itu dapat ditarik makna bahwa perempuan dan laki-laki memiliki
peran yang saling melengkapi. Dalam perbedaan peran ini bukan berarti
perempuan harus menggantikan peran laki-laki ataupun sebaliknya, karena
masing-masing memiliki proporsi yang berbeda sesuai dengan kodratnya.
Contohnya, perempuan memungkinkan mengandung calon keturunannya karena
perempuan memiliki rahim yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Demikian juga
dalam hal pengasuhan dan keberlangsungan bayi saat masih kecil, perempuan
dianugerahi kemampuan untuk menyusui dan perasaan kasih sayang dan
ketahanan tubuh yang lebih dibandingkan dengan laki-laki.
Pada dasarnya semangat hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam
Islam bersifat adil (equal). Oleh karena itu subordinasi terhadap kaum perempuan
merupakan suatu keyakinan yang berkembang di masyarakat yang tidak sesuai
atau bertentangan dengan semangat keadilan yang diajarkan Islam. Menurut
Nasaruddin Umar, Islam memang mengakui adanya perbedaan (distincion) antara
laki-laki dan perempuan, tetapi bukan pembedaan (discrimination). Perbedaan
tersebut didasarkan atas kondisi fisik-biologis perempuan yang ditakdirkan
berbeda dengan laki-laki, namun perbedaan tersebut tidak dimaksudkan untuk
memuliakan yang satu dan merendahkan yang lainnya.9
B. Praktik Kesetaraan Gender Di Masa Rasul
Pembawa islam, Muhammad SAW, adalah tokoh sejarah yang telah berhasil
membawa perubahan besar bagi peradaban umat manusia. Muhammad SAW
berjuang untuk meningkatkan aspek rohaniah dan moral suatu bangsa yang
9 Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan dalam Islam, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama
dan Gender, 1999), 23.
27
tenggelam dalam kebiadaban. Di antara misi pokok yang diemban Muhammad
SAW ialah menjunjung tinggi derajat dan martabat perempuan. Beliau telah
melakukan proses awal dalam membebaskan kaum perempuan dari cengkeraman
teologi, mitos dan budaya Jahiliah. Dalam budaya Jahiliah, kaum perempuan
dianggap membawa sial, oleh karenanya setiap lahir bayi perempuan harus
dikubur hidup-hidup. Muhammad SAW datang dengan membawa wahyu dari
Allah intinya mengutuk keras setiap pelanggaran atas hak hidup setiap manusia,
khususnya perempuan.10
Rasulullah adalah suri teladan yang tiada bandingannya. Pribadinya sangat
agung. Kasihnya dapat memberi kedamaian dan ketenteraman di antara umat
manusia, dan tak diragukan lagi kecintaannya pada semua makhluk hidup.
Keberpihakannya pada kaum para budak, kaum perempuan dan anak-anak
menambah pesona pribadinya yang mengagumkan, sebagaimana diabadikan
dalam Al-Quran:11
وانك لعلى خلق عظيم
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar mempunyai budi pekerti
yang agung.”12
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, nilai keadilan dan kebersamaan
selalu dijunjung Rasulullah, baik dalam kehidupan berumah tangga maupun
bermasyarakat. Dalam banyak kisah disebutkan bahwa rumah tangga, Rasulullah
tidak segan-segan melakukan pekerjaan yang pada saat itu, bahkan juga pada saat
10
Musdah Mulia, Indahnya Islam (Menyuarakan Kesetaraan & Keadilan Gender),
(Yogyakarta: SM & Naufan Pustaka, 2014), 37. 11
Ibid. 12
Q.S. al-Qalam: 4.
28
ini, dianggap sebagai “kewajiban” perempuan, seperti menyapu, menjahit baju
yang sobek, atau memeras susu kambing. Bahkan, sudah menjadi kebiasaannya
mengasuh anak dan cucu-cucunya.
Para istri Rasul (ummahat al-mu‟minin) diberikan kebebasan untuk
mengeluarkan pendapat dan mengembangkan daya kreasinya sesuai dengan
minatnya. Ini menandakan bahwa hubungan yang setara dengan para istrinya
benar-benar dipraktekkan. Ketika para istri Rasul dililit oleh kehidupan yang sulit
dalam menjalani bahtera rumah tangga, Rasulullah memberi kebebasan pada para
istrinya untuk menjatuhkan pilihan, apakah bercerai atau tetap setia
mendampinginya.13
Perilakunya ini diabadikan dalam Al- Quran: ع ن يا وز نت ها ف ت عالي امت زواجك ان كنت تردن اليوة الد يل ا ها النب قل ل ك واسرحك سراحا ج
ار الخرة فان الله اع 82) (. 82د للمحسنت منك اجرا عظيما )( وان كنت تردن الله ورسوله والد
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: : Jika kamu menginginkan
kehidupan dunia dan perhiasan-perhiasannya, marilah akan kuberikan
kepadamu mut‟ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika
kamu menghendaki Allah dan Rasul-Nya serta negeri akhirat, sesungguhnya
Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang
besar”.14
Perjuangan kaum perempuan dalam keikutsertaan menegakkan dakwah Islam
tak dapat dihapus dalam untaian panjang sejarah Islam. Di masa Nabi,
sumbangsih perempuan untuk menyebarkan syiar Islam dipelopori oleh para istri
Nabi sendiri. Betapa sangat dikenal sosok Khadijah sebagai seorang saudagar
perempuan yang sumbangan finansialnya sangat penting bagi tegaknya dakwah
Islam. Bisa dikatakan bahwa kala itu Khadijah berperan sebagai pencari nafkah
13
Ibid. 14
Q.S. al-Ahzab: 28-29.
29
utama, karena sebagai kesibukan dakwah Nabi. Rasulullah mengajarkan
kemandirian bagi perempuan untuk mempunyai keterampilan, kepada istrinya Siti
Khadijah dikenal sebagai pembisnis yang handal dan konglomerat yang sukses
pada zamannya. Khadijah dikenal sebagai wanita mandiri, ulet berkepribadian
tinggi dan mempunyai kepekaan sosial.15
Kisah ini sekaligus menandakan bahwa di masa Nabi perempuan dapat
bekerja dan mengembangkan inisiatifnya. Menjadi tidak dapat dipahami bila
sekarang muncul satu pandangan dari sementara kalangan, bahwa Islam tidak
memberi tempat bagi perempuan bekerja, hanya karena keterikatan dengan
seorang muhrim. Bahkan, untuk kondisi-kondisi tertentu seorang istri justru
diwajibkan bekerja, misalnya karena kewajiban menanggung biaya hidupnya
sendiri dan keluarganya, karena suaminya tidak mampu menafkahinya. Dalam
kehidupan perkawinan Rasul dengan Khadijah, Khadijah berperan besar dalam
mengatasi ekonomi keluarga. Hal tersebut dibenarkan oleh Islam, karena alasan
kerja sama dan sikap saling berbagi tanggung jawab.16
Diisyaratkan dalam Al-
Quran: نكم م ذكر أو أن ثى ب عضك م م ب عض... ...ان ل أضيع عمل عامل م
“Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amalan orang-orang yang
beramal di antara kamu, laki-laki dan perempuan. Sebagian kamu adalah
dari sebagian yang lain...”17
Di masa Rasul, keterlibatan perempuan dalam kancah peperangan telah
ditunjukkan oleh beberapa perempuan, termasuk para istri Rasul. Dalam bagian
15
Ibid., 37-38. 16
Ibid. 17
Q.S. Ali Imran: 195.
30
yang lain, sejarah juga mencatat keterlibatan Ummu Umarah dalam Perang Uhud
bersama suami dan anak-anaknya. Kemahirannya menggunakan senjata yang
melebihi kebanyakan kaum laki-laki diakui oleh Rasul. Contoh lain adalah
keberanian prajurit perempuan Asma binti Yazid al-Anshariyah yang berhasil
membunuh sembilan tentara dalam beberapa peperangan dengan prajurit
perempuan bernama Naseebah al-Maziniah dan Azdah binti al-Harits.18
Nabi juga memberikan peluang yang terbuka bagi kaum perempuan untuk
terlibat dalam kegiatan publik. Sejarah mencatat masjid pertama yang dibangun
nabi di kota Madinah saat itu menyatu dengan tempat tinggal para istri nabi.
Bahkan kamar Aisyah r.a bersebelahan langsung dan memiliki pintu penghubung
dengan masjid tersebut. Saat itu masjid tidak saja menjadi tempat shalat,
melainkan juga tempat menjalankan berbagai aktivitas lainnya.
Ini menandakan bahwa Nabi sangat mendukung keterlibatan perempuan,
tidak saja dalam kehidupan rumah tangga, tetapi juga kehidupan politik. Aisyah
r.a adalah istri Nabi yang memiliki banyak kelebihan, selain terkenal sebagai guru
para sahabat, ahli ilmu agama, perawi hadis dan pemimpin perang Jamal. Aisyah
r.a adalah istri yang sangat mendapat tempat di hati Nabi dan Nabi sangat
meninggikan derajatnya. Nabi mengatakan: “Ambil setengah dari agamamu pada
perempuan bermuka segar kemerahan ini”.19
Kehadiran perempuan dalam Fathu Makkah secara jelas disebutkan dalam
peperangan ini, tidak hanya dilihat dari kehadirannya untuk berjihad, tapi juga
dalam aktivitas politik lainnya, seperti ke-Islaman sekian banyak perempuan
18
Ibid. 19
Ibid., 39.
31
musyrikah di Makkah, seperti Fathimah binti Utbah bin Rabi‟ah, saudari Hindun,
Fathimah binti Al-walid, Aminah binti Affan dan Salafah binti Sa‟id bin Asy-
Syahid.20
Semenjak permulaan kemunculan Islam, para perempuan sudah memahami
peranannya dalam mengemban tanggung jawab secara timbal balik antara dirinya
dengan kaum laki-laki. Masing-masing sesuai dengan kekhususan yang telah
dianugerahkan kepadanya dan apa yang diciptakan baginya.21
Kehadiran wanita dalam peperangan senantiasa berkaitan dengan aktivitas
masyarakat secara keseluruhan, yang disesuaikan dengan fitrah pembentukan
kemanusiaan, sehingga seruan ke medan pertempuran tidak diwajibkan bagi
perempuan. Perintah jihad ini diserahkan sepenuhnya kepada batasan kemampuan
yang dapat dilakukan wanita. Kehadiran wanita tidak tergantung kepada usia yang
bersangkutan atau kondisi keluarga tertentu. Sebab yang pernah ikut dalam
peperangan ada yang masih muda belia pada usia baligh dan ada pula yang sudah
tua, bahkan perempuan yang hamil. Dengan kata lain, tidak ada aturan dalam
masalah jihad perempuan.22
Dalam berbagai peperangan, perempuan melakukan kegiatan jihad, meski
tidak terlalu banyak diungkapkan dalam sejarah, yang membuat penegakan
masyarakat ini menjadi teladan dalam menegakkan kehidupan manusia secara
utuh. Tugas-tugas perempuan dan gambaran yang terjadi pada diri perempuan
ialah: menyediakan makanan bagi pasukan, memberi minum para mujahidin dan
20
Asma‟ Muhammad Ziyadah, Peran Politik Wanita (Dalam Sejarah Islam), Terj.
Kathur Suhardi, cet. I, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), 165. 21
Ibid., 177. 22
Ibid., 178.
32
gandum disela-sela peperangan, menyiapkan senjata, menjaga punggung pasukan
dan mengawasi tanda-tanda pengkhianatan dan agar tidak ada yang melarikan diri,
mengobati orang-orang yang terluka, membawa jasad orang-orang yang gugur
untuk dikuburkan, terjun di kancah peperangan layaknya yang dilakukan kaum
laki-laki kalau memang keadaan memaksa harus mengikuti peperangan.23
Dalam kapasitasnya sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi
hamba ideal. Hamba ideal dalam Al-Quran biasa diistilahkan dengan orang-orang
yang bertakwa (muttaqun).
Berbagai kisah di atas menjelaskan bahwa nabi meletakkan sekaligus
mempraktekkan hubungan yang setara antara laki-laki dengan perempuan.
Penghormatan dan keberpihakannya pada kaum perempuan tidak diragukan lagi.
Di tempat tidur, di hari-hari terakhir menjelang wafatnya, nabi mengulangi kata-
kata penghormatannya pada perempuan: “aku mendesakmu untuk
memperlakukan perempuan secara baik, mereka adalah amanah di tanganmu,
takutlah pada Allah dalam menjaga amanah-Nya.”
C. Wacana Hak-Hak Perempuan dalam Islam
Islam datang antara lain untuk melarang dan melenyapkan kezaliman
terhadap perempuan, artinya pada saat Allah mengangkat Muhammad sebagai
Rasul, Allah membebaskan kaum perempuan secara benar dan rasional. Allah
memberikan hak-hak perempuan secara sempurna sesuai dengan fitrah dan
23
Ibid., 179.
33
kodratnya. Perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan laki-
laki, kecuali dalam beberapa hal yang harus disesuaikan dengan nalurinya.24
Dalam masyarakat, pembagian jenis kelamin antara lelaki dan perempuan
bukan hanya secara biologis saja, tetapi lelaki dan perempuan juga dilihat dari
segi prilaku, jenis pekerjaan, sifat-sifat yang umumnya dilakukan oleh lelaki dan
perempuan serta selera, model dan berbagai kebiasaan. Pembagian jenis kelamin
yang kedua ini tidak berdasarkan biologis melainkan suatu pembagian lelaki dan
perempuan menurut kebiasaan, adat atau kebudayaan suatu masyarakat. Jadi ada
pembedaan dan pembagian jenis kelamin secara biologis, dan ada juga pembedaan
dan pembagian lelaki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya yang dalam
kepustakaan disebut dengan gender.
Menurut Nasaruddin Umar, gender adalah suatu konsep yang digunakan
untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial
budaya. Gender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut
non-biologis.25
Perbedaan dan pembagian ini jelas hanya berdasarkan sifat, peran
dan watak yang dibuat oleh masyarakat di suatu tempat pada suatu masa. Oleh
karena itu gender bukanlah kodrat, atau ketentuan Tuhan. Misalnya keyakinan
bahwa lelaki itu kuat, kasar dan rasional, sedangkan perempuan lemah lembut dan
emosional.
Pembagian peran, sifat maupun watak perempuan dan lelaki itu dapat
dipertukarkan dan berubah dari masa ke masa, dari satu tempat ke tempat lain dan
satu adat satu ke adat yang lain dan dari kelas orang kaya ke kelas orang miskin.
24
Uswatun Hasanah, Perempuan Dan Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hukum
Islam, dalam jurnal Perempuan dan HAM dalam Perspektif Hukum Islam Nomor 4, (2010), 451. 25
Ibid., 452.
34
Oleh karena itu, gender sangat berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana
seharusnya lelaki dan perempuan diharapkan berpikir dan bertindak sesuai dengan
ketentuan sosial dan budaya di mana laki-laki dan perempuan itu berada. Dengan
demikian pembedaan tersebut ditentukan oleh aturan masyarakat dan bukan
karena perbedaan biologi, sehingga pembagian gender tersebut juga berbeda-beda
antara satu bangsa dengan bangsa yang lain dalam kurun waktu yang berbeda.26
Perempuan di dalam Islam mendapat perhatian istimewa. Pembicaraan
tentang perempuan disinggung dalam sembilan surah, yaitu al-Baqarah, an-Nisa‟,
al-Ma‟idah, an-Nur, al-Ahzab, al-Mujadalah, al-Mumtahanah, ath-Thalaq dan at-
Tahrim. Belum lagi ayat-ayat yang menceritakan kebesaran perempuan sebagai
tokoh yang patut diteladani, antara lain Maryam ibunda nabi Isa as, tertulis dalam
surah Ali Imran, surah Maryam dan surah at-Tahrim; Ratu Balqis dalam surah an-
Naml; dan istri Fir‟aun yang terkenal teguh imannya dalam surah at-Tahrim, dan
lain sebagainya.27
Islamlah yang membebaskan perempuan dari anggapan buruk dan terhina
karena memiliki anak perempuan pada masa jahiliyah. Kisah Umar bin Khattab
menjelaskan bagaimana budaya Arab jahiliyah terhadap perempuan, rela
menguburkan anak perempuannya agar tidak mendapat malu. Pada saat itu,
perempuan menjadi harta warisan bila ayahnya wafat. Islam pulalah yang
mengajarkan kedua orang tua untuk merawat dan mendidik anak perempuannya
bila keduanya ingin masuk surga.28
26
Ibid. 27
Ibid., 41-42. 28
Amirullah Syarbani, Islam Agama Ramah Perempuan: Memahami Tafsir Agama
dengan Perspektif Keadilan Gender...., 6.
35
Dalam Islam, perempuan bukanlah musuh atau lawan kaum laki-laki.
Sebaliknya, perempuan adalah bagian dari laki-laki, demikian pula laki-laki
adalah bagian dari perempuan, dan keduanya bersifat resiprokal (saling
membutuhkan). Islam telah menjadikan perempuan sebagai satu dari dua sisi jiwa
yang menyatu “naf al-wahidah”. Perempuan bukanlah separuh lelaki dari segi
asal penciptaannya.29
Dalam Islam juga tidak pernah diperbolehkan adanya pengurangan hak atau
penzaliman terhadap perempuan demi kepentingan laki-laki, karena Islam adalah
syariat yang diturunkan untuk melindungi semua jenis kelamin, laki-laki maupun
perempuan. Akan tetapi, ada pemikiran keliru tentang perempuan yang
menyelusup ke dalam benak “sekelompok umat Islam”, sehingga memiliki
persepsi dan stigma negatif terhadap perempuan. Stigma negatif itu muncul
dikarenakan kesalahan penafsiran mereka terhadap ajaran pokok Islam, Al-Quran
dan Hadis.30
Perbincangan tentang gender atau persamaan antara laki-laki dan perempuan
menjadi salah satu bagian penting yang dibahas dalam ajaran Islam. Aturan
hukum tentang perlakuan yang sama terhadap laki-laki dan perempuan telah
ditetapkan secara sempurna dalam Islam, sehingga tidak ada alasan untuk
mendiskriminasikan antara satu orang dengan orang lainnya hanya karena
persoalan beda jenis kelamin. Kedatangan Islam di tengah krisis akhlak dan
peradaban, menjadikan Islam sebagai agama yang memberikan begitu banyak
keadilan dan jalan keluar bagi permasalahan yang dihadapi masyarakat jahiliah
29
Ibid. 30
Ibid.
36
waktu itu, khususnya terhadap perlakuan semena-mena kaum laki-laki terhadap
perempuan.31
Islam memberikan kebebasan yang begitu besar kepada perempuan, sehingga
tidaklah mengherankan jika pada masa Nabi ditemukan sejumlah perempuan yang
memiliki kemampuan dan prestasi cemerlang seperti yang dimiliki kaum laki-laki.
Dalam jaminan Al-Quran, perempuan dengan leluasa memasuki semua sektor
kehidupan masyarakat, termasuk politik, ekonomi, dan berbagai sektor publik
lainnya.32
Perempuan adalah ibu umat manusia, juga ibu umat manusia pilihan Tuhan.
Itulah sebabnya, secara mendasar dan dari akarnya, Islam menolak pandangan
negatif tentang perempuan. Perempuan dalam pandangan Islam adalah manusia
yang utuh dengan martabat yang sama mulianya dengan lelaki.33
1. Fatima Mernissi
Yang menjadi pokok pemikiran Fatima Mernissi adalah berusaha melakukan
kajian-kajian terhadap teks-teks keagamaan yang di dalamnya terdapat sikap
antipati terhadap perempuan (misoginis). Melalui pemahaman atas teks-teks
keagamaan itulah disinyalir akan menimbulkan sikap bias terhadap perempuan
terutama mengenai hak-hak perempuan di ruang publik. Perempuan tidak ubahnya
sebagai makhluk yang derajatnya lebih rendah dari laki-laki. Sehingga ada
anggapan yang melekat bagi perempuan yang tidak bisa tidak bukan merupakan
31
Ernita Dewi, Kesetaraan Gender Dalam Islam: Sudut Pandang Al-Qur‟an Dan Hadis,
dalam Jurnal Substantia...., 269. 32
Siti Musdah Mulia dan Anik Farida, Perempuan dan Politik, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2005), 49. 33
Masdar F. Mas‟udi, Islam & Hak-Hak Reproduksi Perempuan (Dialog Fiqih
Perempuan), (Bandung: Mizan, 1996), 45.
37
kawasan dari seorang perempuan. Misalnya dalam urusan menjadi pemimpin, dan
lain sebagainya, dalam hal ini laki-lakilah yang pantas menjabatnya.34
Hal ini juga didukung oleh sebuah hadis yang menyatakan bahwa „suatu
kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan maka tidak akan
memperoleh kemakmuran‟. Melalui pemahaman hadis di atas, banyak orang yang
menganggap bahwa kepemimpinan seorang perempuan tidaklah sah (boleh).35
Pemahaman seperti inilah yang ingin diluruskan atau dikritik oleh Fatima
Mernissi, yaitu dengan cara mengkritik teks-teks keagamaan yang
mengindikasikan akan sikap antipati terhadap perempuan (misoginis). Dalam
usahanya mengkritik teks-teks tersebut Fatima Mernissi melakukan penelitian
ganda−secara historis dan metodologis–mengenai hadis ini dan perawinya,
terutama dalam kondisi bagaimana hadis ini pertama kali diucapkan, siapa yang
mengucapkannya, di mana, kapan, mengapa, dan kepada siapa hadis itu
ditujukan.36
Fatima Mernissi mengungkapkan bahwa agama harus dipahami secara
progresif untuk memahami realitas sosial dan kekuatan-kekuatannya, karena
agama telah dijadikan sebagai pembenar kekerasan. Menghindari hal-hal yang
primitif dan irasional adalah cara untuk menghilangkan penindasan politik dan
kekerasan. Menurutnya, bahwa campur aduknya antara yang profan dan yang
34
file:///H:/teori amina wadud/Langkah Bahru_Fatimah Mernissi.html, diakses Mei 2015. 35
Ibid. 36
Ibid.
38
sakral, antara Allah dan kepala negara, antara Al-Quran dan fantasi-fantasi imam
harus di dekonstruksi.37
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap data-data sejarah yang
mempunyai otoritas seperti tersebut di atas, Mernissi berpendapat bahwa
perempuan dalam sejarah Islam mempunyai peran yang sama dengan laki-laki.
Banyak terdapat ratu-ratu pemimpin Islam yang muncul di panggung sejarah
Islam. Tradisi perempuan menjadi pemimpin dalam Islam, bukanlah merupakan
hal yang baru, tetapi sudah ada sejak dahulu.38
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa usaha Mernissi untuk
memperjuangkan kesetaraan laki-laki dan perempuan, bukan hanya didasarkan
atas pengaruh dari feminisme Barat. Akan tetapi, pada dasarnya konsep
kesetaraan laki-laki dan perempuan tersebut sebenarnya telah tersurat dalam teks
agama (wahyu dan sunnah). Hanya, karena peranan otoritas ulama mendominasi
penafsiran teks-teks agama, sehingga lebih mengutamakan kepentingan laki-laki
dan menjustifikasi atas dominasinya, serta mampu menciptakan masyarakat
patriarkhi. Pendekatan hermeneutik adalah sebuah upaya untuk reinterpretasi
terhadap teks-teks agama dalam kaitannya relasi antara laki-laki dan perempuan.39
2. Riffat Hasan
Menurut Riffat Hassan, penyebab perempuan dipandang inferior dalam
berbagai hal berakar dari teologi yang selama ini hanya ditafsirkan oleh laki-laki.
Menyatakan bahwa saat ini sangat penting sekali untuk mengembangkan teologi
37
file:///H:/teori amina wadud/Nur Mukhlish Z._Pemikiran Fatima Mernissi.html, diakses
Februari 2012. 38
Ibid. 39
Ibid.
39
feminis dalam konteks keislaman, sebagaimana di barat telah dikembangkan
teologi feminis dalam konteks Kristen dan Yahudi.40
Bagi Riffat Hassan, teologi feminisme dalam konteks keislaman perlu
dikembangkan, walaupun berasal dari Barat. Riffat Hassan beralasan, baik di barat
maupun dunia Islam, perempuan tertindas dan dianggap tidak setara dengan laki-
laki, sehingga dianggap makhluk sekunder yang berada di bawah laki-laki.
Dengan itu, teologi feminis perlu dikembangkan untuk membebaskan, bukan
hanya struktur-struktur dan undang-undang yang tidak adil yang tidak
memungkinkan terjadinya hubungan yang hidup antara laki-laki dan perempuan.41
Adanya diskriminasi dan segala macam bentuk ketidakadilan gender yang
menimpa kaum perempuan dalam lingkungan Umat Islam berakar dari
pemahaman yang keliru dan bias terhadap Al-Quran. Oleh sebab itu, Riffat Hasan
menyerukan untuk melakukan dekonstruksi pemikiran teologis tentang
perempuan, terutama mengenai konsep penciptaan hawa sebagai perempuan
pertama.42
Sebagai pandangannya terhadap penciptaan perempuan, Riffat dalam
membicarakan tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan mengkritisi dengan
sumber Al-Quran. Dihadapan Allah laki-laki dan perempuan adalah sama. Dalam
ibadah keduanya mempunyai pahala yang sama. Kepemimpinan perempuan
40
file:///H:/toko-tokoh wacana perempuan/Riffat Hassan dan Wacana Baru Penafsiran
(PDFDownloadAvailable).htm, diakses Maret 2018. 41
Ibid. 42
Ibid.
40
dalam shalat juga sama pahalanya dengan kepemimpinan laki-laki. Islam bukan
agama yang mengutamakan hubungan dengan Allah, tapi juga dengan manusia.43
Gaya hidup patriarkhi, telah menimbulkan penderitaan bagi kaum
perempuan. Banyak keadilan dan kasih sayang Tuhan yang tercermin dalam Al-
Quran tentang perempuan, tetapi itu semua bertolak belakang ketika melihat
ketidakadilan dan perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan perempuan
muslim yang lazim terjadi dalam kehidupan nyata. Dalam sejarah Islam telah
mencatat adanya para perempuan yang mejadi tokoh terkemuka, diantaranya
adalah Sayyidah Khadijah, „Aisyah (isteri Nabi Saw.) dan Rabiah al-Bashri
(seorang sufi perempuan terkenal).44
Namun tradisi Islam bahkan saat ini masih cenderung bersifat kaku dan
patriarchal, yang menghalangi tumbuhnya kesarjanaan di kalangan perempuan.
Al-Quran, sunnah, kepustakaan hadis dan fiqh hanya ditafsirkan oleh laki-laki
Muslim yang rata-rata tidak bersedia melakukan tugas-tugas mendefinisikan
status ontologis, teologis, sosiologis dan eskatologis perempuan Muslim.
Kenyataan seperti inilah yang dalam pandangan Riffat, membuat perempuan
menjadi sekunder, subordinatif dan inferior terhadap laki-laki.45
Sampai saat ini mayoritas perempuan Muslim menerima keadaan ini secara
pasif, hampir tidak menyadari tingkat pelanggaran terhadap perikemanusiaan
(juga terhadap Islam, dalam pengertian yang ideal) dalam masyarakat yang
berpusat pada, dominasi laki-laki terhadap perempuan dengan mencari legitimasi
43
file:///H:/tokoh-tokoh wacana perempuan/Pemikiran Modern Riffat Hasan.htm, diakses
April 2012. 44
Ibid. 45
Ibid.
41
agama dan menegaskan bahwa Islam telah memberikan kepada perempuan hak
yang lebih banyak ketimbang tradisi agama lain. Banyak sekali perempuan yang
terjerumus dalam perbudakan fisik, mental dan emosi serta tersingkir dari
kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi kemanusiaan mereka.46
Pemikiran Riffat Hassan tentang kesetaraan gender dilatarbelakangi oleh
lingkungan disekitarnya, Riffat melihat perempuan tidak mempunyai kebebasan
dalam menentukan hidupnya. Oleh karena itu, Riffat ingin menjunjung tinggi
perempuan dari keterkungkungan kaum laki-laki atau dominasi laki-laki, atas
perempuan. Kekuasaan yang cenderung mempertahankan sistem patriarkhi.
Menurut Riffat Hassan semua itu berakar dari pemahaman yang keliru tentang
penciptaan perempuan yang berasal dari tulang rusuk laki-laki. Riffat Hassan
ingin mendobrak dengan memulai penelitiannya dan mencari sumber yang
berakar tentang asal mula ayat Al-Quran dan hadis yang menjelaskan tentang ayat
tersebut.
46
Ibid.
42
BAB III
SEJARAH DAN KIPRAH PSW UIN AR-RANIRY BANDA ACEH
A. Sejarah Perkembangan Pusat Studi Wanita UIN Ar-Raniry
Pusat Studi Wanita di Perguruan Tinggi di Indonesia pembentukannya
diprakarsai oleh Menteri Negara Peranan Wanita (Sekarang bernama Kementrian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), serta Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia bersama sama dengan sejumlah rektor perguruan
tinggi negeri, swasta dan UIN pada Rapat Nasional Peningkatan Peranan Wanita
dalam Pembangunan, bulan Januari 1990. Keberadaan PSW dipandang perlu
dalam upaya menyukseskan program pemerintah dibidang pemberdayaan
perempuan.1
Selanjutnya untuk menjamin pembinaan PSW ini, dibentuk kesepakatan
bersama antara Menteri pendidikan Nasional, Menteri Agama dan Menteri Urusan
Peranan Wanita pada tahun 1998, guna mendukung terwujudnya sistem yang adil
bagi perempuan dengan mendorong pemikiran dan prilaku sosial yang sensitif
gender di segala bidang kehidupan. Komitmen tersebut diperbaharui kembali pada
kesepakatan ini dituangkan dalam Naskah Kerjasama Menteri Negara Peranan
Wanita, Menteri pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Agama, tanggal 24
November 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan PSW.2
Pada tahap awal pembentukan hanya terdapat 8 PSW diseluruh Indonesia.
Namun jumlah ini berkembang cepat hingga pada tahun 2003 telah tercatat
sejumlah PSW diberbagai perguruan Tinggi Negeri dan Swasta dengan tingkat
1 Profil PSW UIN Ar-Raniry.pdf-Adobe Reader, 2.
2 Ibid.
43
perkembangan yang berbeda beda. Dan banyak perguruan tinggi negeri dan
swasta yang berkeinginan dan dalam proses persiapan mendirikan PSW ini.3
Pusat Studi Wanita merupakan lembaga non-struktural di bawah UIN Ar-
Raniry yang membinangi pemberdayaan perempuan. PSW UIN Ar-Raniry komit
dalam pengarusutamaan gender dalam komunitas dengan tetap mengedepankan
nilai-nilai budaya lokal dan kecenderungan pemahaman agama masyarakat Aceh.4
PSW UIN Ar-Raniry telah berdiri sejak tahun 1989 berdasarkan Surat
Keputusan Rektor UIN Ar-Raniry. PSW sebagai lembaga riset dan advokasi isu-
isu perempuan dan anak yang berbasis perguruan tinggi. PSW bertujuan
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender melalui penguatan kesempatan,
partisipasi, manfaat dan kontrol terhadap proses pembangunan bagi perempuan
dan anak.5
Di lain pihak ditingkat internasional sejak tahun 1975 juga telah mulai
berkembang kajian-kajian untuk rekomendasi kebijakan dalam rangka
meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan, yang direspons oleh Presiden
Soeharto dan jajarannya dengan membentuk Kantor Menteri Muda Urusan
Peningkatan Peran Wanita pada tahun 1978. Peningkatan peran perempuan masuk
dalam garis-garis besar haluan negara sejak 1988, dan ditingkat perguruan tinggi
dan kemudian dibentuk Pusat Studi Wanita, yang memiliki tugas menyediakan
data dan melaksanakan penelitian di tingkat daerah, bekerjasama dengan
3 Ibid.
4 Membangun Komunitas Berkesadaran Gender, psw-arraniry.blogspot.co.id diakses 28
Juli 2008. 5 Profil PSW UIN Ar-Raniry.pdf-Adobe Reader, 3.
44
Pemerintah Daerah, dalam rangka menyediakan rekomendasi pembangunan
khususnya untuk memajukan kualitas hidup dan peran perempuan.6
Pusat Studi Wanita UN Ar-Raniry didirikan yaitu pada masa kepemimpinan
rektor alm. Safwan Idris. Pusat Studi Wanita pada mulanya berawal dari inisiatif
dua orang dosen UIN Ar-Raniry yang bernama Raihan Putry dan Fatimah Anis,
mereka terinisiatif untuk ingin mendirikan Pusat Studi Wanita di IAIN, sebelum
transformasi IAIN menjadi UIN pada tahun 2013.
Melihat perkembangan pesat dalam keilmuan Women’s Studies dan isu-isu
terhadap perempuan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang cukup sering
bersifat andro-sentris (berpusat pada telaah dan kepentingan laki-laki) yang
kemudian digeneralisasi pada situasi perempuan yang membuat perempuan sering
berbeda yang cenderung menyulitkan perempuan untuk dapat mengaktualisasikan
diri berkiprah.7
Sejak berdirinya hingga saat ini PSW telah empat kali mengalami pergantian
pengurus. Dalam rentang waktu ini PSW telah aktif mengupayakan terwujudnya
kesetaraan di UIN Ar-Raniry dan juga di masyarakat. Berbagai program PSW
yang disinergiskan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, diarahkan melalui tiga
fokus alur kegiatan yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.8
Jadi, pembentukan Program Studi Wanita, dimaksudkan untuk dapat
memenuhi dua hal yakni terkait kepentingan nasional adalah untuk memastikan
peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan melalui penelitian dan
rekomendasi kebijakan, dan terkait produksi pengetahuan di tingkat perguruan
6 file:///G:/sejarahPSW/SejarahProdiKajianGender.html
7 Ibid.
8 Profil PSW UIN Ar-Raniry.pdf-Adobe Reader, 3.
45
tinggi adalah untuk memastikan masuknya perspektif perempuan dan pemahaman
mengenai kompleksitas relasi gender dalam pengetahuan yang dibangun oleh ilmu
pengetahuan, mengingat perempuan adalah setengah dari jumlah penduduk
global.9
Dalam perkembangan lebih lanjut, dievaluasi bahwa kondisi perempuan tidak
dapat dilepaskan dari relasi gender. Bahwa tujuan peningkatan kualitas hidup dan
peran perempuan sesungguhnya adalah untuk tujuan pembangunan nasional dan
masyarakat global yang setara dan adil gender. Sementara itu, makin disadari
bahwa konstruksi gender yang bias juga tidak selalu berdampak positif bagi laki-
laki, misalnya laki-laki lebih rentan pada perilaku berisiko akibat sosialisasi
maskulinitas yang lekat dengan penaklukan dan agresi. Di lain pihak, perempuan
tetap perlu dipahami secara lebih khusus, mengingat karakteristik dan fungsi
peran reproduksi dan menyusui, yang memberikan situasi biologis dan kebutuhan
berbeda, belum lagi sering dijadikan alasan untuk mendiskriminasi perempuan.
Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Ar-Raniry merupakan salah satu lembaga
kajian dan aksi di UIN Ar-Raniry yang fokus pada isu-isu gender, keluarga dan
anak. Salah satu usaha yang dilakukan PSW UIN Ar-Raniry dalam konteks
mewujudkan kesetaraan adalah melakukan penguatan dan pemberdayaan
perempuan di kampus dengan melakukan diskusi, training dan sosialisasi kepada
masyarakat kampus mengenai kesetaraan. Berbeda dengan komunitas sosial lain
dalam masyarakat, masyarakat kampus adalah masyarakat akademik yang
cenderung memiliki pengetahuan dasar mengenai berbagai masalah sosial dan
9 file:///G:/sejarahPSW/SejarahProdiKajianGender.html
46
keilmuan dan juga memiliki akses yang mudah pada perkembangan ilmu
pengetahuan. Kondisi ini satu sisi dapat menjadi peluang dalam usaha perwujudan
kesetaraan, di sisi lain dapat pula menjadi tantangan karena akan mendapatkan
tantangan dari sesama akademis yang memiliki pandangan yang berbeda.10
Sebagai salah satu usaha dalam meningkatkan dan mensosialisasikan gender
dalam masyarakat akademik.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 2000 tentang program
Pembangunan Nasional dan hasil Rakornas Ketua PSW se-Indonesia dengan
Kementrian Pemberdayaan Perempuan tahun 2003, bahwa tugas-tugas Pusat Studi
tidak hanya membawahi bidang pemberdayaan perempuan saja melainkan
mengkaji masalah-masalah gender dan perlindungan anak.11
Pusat Studi Wanita tersebut tujuannya sebagai basis akademik di Perguruan
Tinggi dalam berbagai kajian, sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap
lembaga-lembaga perancang dan pelaksana kebijakan strategis. Pusat Studi
Wanita adalah Pusat Studi yang telah dibentuk sejak tahun 1995. Kegiatan di
Pusat Studi Wanita dimaksud diarahkan untuk mengkaji berbagai faktor yang
menyebabkan terjadinya kesenjangan-kesenjangan gender (gender gap) dalam
berbagai disiplin ilmu. Kajian secara inter-disipliner ini sangat bermanfaat
mengingat masalah gender adalah bahagian dari masalah sosial yang sangat
kompleks dan saling terkait.12
10
Rasyidah et al, Soraya Devi (ed), Potret Kesetaraan Gender di Kampus, (Pusat Studi
Wanita, 2008), viii. 11
Humas.unimed.ac.id/psgpa-pusat-studi-gender-dan-perlindungan-anak/diakses 12
Raihan Putry, Manifestasi Kesetaraan Gender Di Perguruan Tinggi dalam Jurnal
Edukasi Vol, 2 Nomor 2, (2006), 176.
47
Berdirinya Pusat Studi Wanita UIN Ar-Raniry dan Pusat Studi Wanita
lainnya di Indonesia maupun lembaga-lembaga LSM yang lain misalnya,
merupakan respon dari berbagai tuntutan global terhadap kesetaraan dan keadilan
relasi antara laki-laki dan perempuan. Pusat Studi Wanita di Perguruan Tinggi
diharapkan dapat mengkaji secara ilmiah dengan pendekatan multidisiplin ilmu
dan mampu memberi jawaban secara ilmiah pula terhadap berbagai persoalan
perempuan dalam proses pembangunan dan pemberdayaan kualitas perempuan.
Pusat ini berfungsi dan berusaha mewujudkan kegiatan-kegiatan ilmiah yang
bernuansa islami guna mendukung program pemerintah terutama dalam usaha
meningkatkan kedudukan dan peranan wanita.
Lebih jauh Pusat Studi Wanita diharapkan juga dapat memberi masukan bagi
lembaga-lembaga pengambilan keputusan terutama Lembaga Kementrian
Pemberdayaan Perempuan. Selanjutnya Perguruan Tinggi Negeri yang ada di
Aceh, kuota perempuan masih jauh dari harapan, misalnya Rektor, Wakil Rektor,
Dekan dan sebagai anggota Senat. Oleh karena itu, agenda yang harus dilakukan
bagi Pusat Studi Wanita untuk melakukan berbagai kajian dan masukan bagi
perbaikan posisi perempuan di Perguruan Tinggi dan masyarakat pada
umumnya.13
Solusi ke depan mungkin Pusat Studi Wanita yang ada di Perguruan
Tinggi harus lebih giat mengembangkan misinya untuk meningkatkan sensitivitas
gender baik secara manajerial maupun secara akademik.
Untuk sampai pada posisi praktek manajerial misalnya, upaya yang mungkin
dapat dilakukan adalah dengan sosialisasi gender mainstreaming melalui berbagai
13
Ibid., 177.
48
workshop manajemen. Dalam instruksi Presiden Republik Indonesia No. 9 tahun
2000 tanggal 19 Desember 2000 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan gender
mainstreaming atau pengarusutamaan gender adalah strategi yang dibangun untuk
mengintegrasikan gender menjadi suatu dimensi integral dari perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program
pembangunan Nasional (poin 1, Inpres No. 9/ 2000). Selanjutnya dalam poin 2
dijelaskan pula bahwa yang dimaksud gender adalah konsep yang mengacu pada
peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari
berubahnya keadaan sosial dan budaya masyarakat.14
B. Program dan Kegiatan
Kegiatan-kegiatan yang diprogramkan oleh Pusat Studi Wanita ini sangat
terkait dengan kegiatan penelitian tentang permasalahan perempuan baik dari segi
agama maupun umum, pengabdian masyarakat terutama dalam usaha peningkatan
kedudukan, peran perempuan dalam pembangunan, peningkatan kualitas sumber
daya perempuan, pelatihan, kursus dan diklat bagi anggota Pusat Studi Wanita
dan para pemerhati masalah-masalah yang dihadapi perempuan, penerbitan hasil
penelitian dan hasil pengabdian kepada masyarakat, seminar-seminar serta
menjalin kerja sama dengan pihak-pihak terkait baik di daerah maupun nasional.
Pusat Studi Wanita melalui IAIN Indonesia Social Equity Project (IISEP),
yang didanai oleh pemerintah Indonesia melalui Departemen Agama RI dan
pemerintah Kanada melalui Canadian Internasional Development Agency
(CIDA), telah melaksanakan berbagai program dalam bidang kesetaraan gender,
14
Ibid.
49
seperti workshop, training, capacity building, penelitian, baseline studies dan
penulisan buku di kampus IAIN Ar-Raniry.15
Penelitian berjudul “Potret
Kesetaraan Gender Di IAIN Ar-Raniry, Baseline dan Analisa Institusional
Pengarusutamaan gender pada IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh Tahun
2004-2006”.16
Ada beberapa program yang dilakukan sangat mendasar yaitu membuat
perspektif gender kepada dosen-dosen di UIN dari mata kuliah, mengumpulkan
dosen-dosen perempuan dan menanyakan permasalahan yang terjadi pada mereka.
Dan melatih dosen-dosen untuk harus pengarusutamaan gender, mengundang
pemateri-pemateri dari luar untuk ikut bergabung dan mulai mensosialisasikan
memperkenalkan gender mainstreaming di kalangan dosen. Dan tidak hanya
dosen perempuan saja yang ikut berpartisipasi dalam hal isu gender akan tetapi
dosen laki-laki juga ikut andil dalam permasalahan tersebut. Sampai tahun 2010
semua program yang ingin dilakukan oleh dosen-dosen UIN dapat dilakukan,
termasuk DEPKER (tempat penitipan anak) yang dibangun oleh bantuan dari
CIDA, tujuan adanya DEPKER untuk mempermudahkan dosen-dosen perempuan
dalam menjaga dan mengasuh anaknya.
Pusat Studi Wanita juga menggelar Cerdas Cermat tentang pola asuh anak
Islami bagi ibu-ibu peserta majelis taklim Lambateung Aceh Besar. Kegiatan ini
merupakan program Pusat Studi Wanita UIN Ar-Raniry yang telah berjalan sejak
2014 lalu.17
Kegiatan ini didukung oleh Kementrian Agama RI, ini merupakan
15
Rasyidah et al, Soraya Devi (ed), Potret Kesetaraan Gender di Kampus...., viii. 16
Ibid. 17
file:///G:/PSWUINACEH/PSW UIN Gelar Cerdas Cermat Pola Asuh Anak_ar-
raniry.ac.id.html diakses Juni 2015.
50
bagian dari kegiatan PAR (Participatory Action Research), diawali dengan
pelatihan manajemen majelis taklim untuk Banda Aceh dan Aceh Besar, lebih
kurang 100 orang telah dilatih oleh Pusat Studi Wanita UIN Ar-Raniry.18
Ini
merupakan sebagai puncak dari pengabdian Pusat Studi Wanita UIN Ar-Raniry
bersama jamaah majelis taklim ini menggelar cerdas cermat pola asuh anak
Islami, sebelumnya mereka telah dibekali dengan berbagai materi selama dua
bulan, diantaranya tentang pengasuhan anak dalam Islam, komunikasi efektif
dalam keluarga, pembiasaan shalat dalam keluarga dan bagaimana pengasuhan
anak-anak. Dalam cerdas cermat ini, suatu kegiatan yang diharapkan mereka
dapat memahami dengan baik bagaimana pola mengasuh anak dengan baik.19
Selanjutnya Pusat Studi Wanita UIN Ar-Raniry Banda Aceh meluncurkan
buku “Kiprah Perempuan dalam Mewujudkan dan Memelihara Perdamaian di
Aceh”, buku tersebut merupakan kumpulan tulisan hasil penelitian sembilan
peneliti Pusat Studi Wanita UIN yang tergabung dalam tim peneliti senior. Bahwa
selama ini Pusat Studi Wanita UIN Ar-Raniry telah melakukan penelitian terkait
dengan kiprah perempuan Aceh dan hasilnya telah terwujud dalam bentuk buku
yang diberi judul “Kiprah Perempuan Dalam Mewujudkan dan Memelihara
Perdamaian Di Aceh”,20
ini diharapkan dapat berkontribusi untuk pembangunan
damai di Aceh bahkan lebih khusus untuk akademik dan masyarakat banyak.
Peran Pusat Studi Wanita di UIN Ar-Raniry sangat penting, selain untuk
meningkatkan pengembangan SDM bagi dosen dan karyawan khususnya
18
Ibid. 19
Ibid. 20
file:///G:/PSWUINACEH/PSW Launching Buku Kiprah Perempuan Eks Kombatan-
SerambiIndonesia.html diakses Juli 2017.
51
perempuan, juga dapat menjalin hubungan dengan lembaga lainnya baik tingkat
provinsi Aceh maupun nasional. Tujuan dari Pusat Studi Wanita UIN Ar-Raniry
melatih dan membantu mengaktifkan majelis taklim adalah untuk menjadikan
wadah ini sebagai media atau sekolah yang dapat mencerdaskan kaum ibu dalam
segala hal, terutama dalam mengurus rumah tangga dan mendidik anak sehingga
akan menjadi keluarga yang sakinah. Pusat Studi Wanita UIN Ar-Raniry dengan
programnya menjadi pusat pelayanan terpadu dalam masyarakat. Di bidang
keluarga, penguatan keluarga terhadap pola asuh Islami.
C. Visi Dan Misi
1. Visi
1. Menjadikan PSW UIN Ar-Raniry sebagai institusi terdepan dalam
penelitian, pengkajian masalah pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak berwawasan kesetaraan dan keadilan gender.
2. Membangun kehidupan setara antara laki-laki dan perempuan dalam
perspektif Islam, dan
3. mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender sesuai dengan nilai-nilai
keislaman (Al-Quran dan Hadis).21
2. Misi
1. peningkatan kualitas civitas akademika secara berimbang dan profesional
berlandaskan syariat Islam.22
2. Peningkatan dan perluasan kualitas dan kuantitas kajian dan riset
keislaman yang responsive gender.23
21
Rasyidah et al, Soraya Devi (ed), Potret Kesetaraan Gender di Kampus...., 46. 22
Profil PSW UIN Ar-Raniry.pdf-Adobe Reader, 3.
52
3. Mengembangkan studi yang dapat mengungkapkan permasalahan-
permasalahan bagi terwujudnya kesejahteraan perempuan, keluarga dan
masyarakat.
4. Meningkatkan penelitian serta pengabdian masyarakat.24
D. Struktur Kepengurusan PSW
Tabel 1.1
STRUKTUR KEPENGURUSAN PSW
PERIODE 2015-2018
No. NAMA JABATAN
1. Prof.Dr.Farid Wajdi Ibrahim, MA Penanggung Jawab
2. Dr. H. Muhibutthabrri, MA Wakil Penanggung Jawab
PENGURUS HARIAN
3. Rasyidah, M.Ag
Kepala
4. Dr. Husna M Amin, M.Hum
Wakil
5. Nashriyah, S.Ag, MA
Sekretaris
6. Ade Irma B.H.Sc., MA
Bendahara
7. Dra. Mustabsyirah, M.Ag
Divisi Pengabdian Masyarakat
8. Dr. Analiansyah, M.Ag
Anggota
9. Dra. Nurmasyithah Syamaun,
M.Ag Divisi Pendidikan dan Pelatihan
10. Dr. Yuni Roslaili, MA
Anggota
11. Khairani, M.Ag Divisi Penelitian dan
Pengembangan
12. Ismiati, M.Ag
Anggota
13. Fatimah Ibda, S.Ag.,M.Si
Anggota
23
Ibid. 24
Rasyidah et al, Soraya Devi (ed), Potret Kesetaraan Gender di Kampus...., 46.
53
14. T. Lembong Misbah, MA
Divisi Data dan Publikasi
15. Intan Qurratulaini, MSI
Anggota
16. Dwi Dendi, S.Sos.I
Anggota
TIM AHLI
17. Prof. Eka Sri Mulyani, Ph.D
Tim Ahli
18. Prof. Dr. Syahrizal , MA
Tim Ahli
19. Prof.Dr. Al Yasa Abu Bakar, MA
Tim Ahli
20. Drs.Luthfi Aunie, MA
Tim Ahli
CONSULTAN
21. Dr. Syamsul Rijal, M.Ag
Consultan
22. Dra. Soraya Devy, M.Ag
Consultan
23. Dr. Nurjannah Ismail, M.Ag
Consultan
24. Dra.Raihan Putri, M.Pd
Consultan
54
BAB IV
PANDANGAN AKTIFIS PSW TERHADAP PERAN PEREMPUAN
A. Peran Perempuan dalam Masyarakat
1. Peran Perempuan dalam Ranah Domestik
a. Peran sebagai Kepala Rumah Tangga
Wanita (istri) adalah pemimpin dalam urusan rumah tangga, sedangkan suami
adalah pemimpin dalam urusan keluarga, hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah:
“Setiap manusia keturunan Adam adalah kepala, maka seorang pria adalah
kepala keluarga, sedangkan wanita adalah kepala rumah tangga” (HR. Abu
Hurairah).
Dalam prakteknya, kepemimpinan dan tugas-tugas keluarga itu lebih banyak
dilakukan oleh pihak perempuan. Dengan kelemahlembutannya, seorang
perempuan sebagai ibu rumah tangga dapat berperan sebagai faktor penyeimbang
kaum pria dalam kehidupan keluarga. Perempuan dapat mengerjakan apa yang
tidak dapat (sempat) dikerjakan oleh pria, seperti mengatur urusan rumah tangga,
memasak, mengasuh, mendidik anak-anak, menyiapkan keperluan suami maupun
anak-anaknya.
Fungsi dan tugas dalam urusan rumah tangga ini bisa saja didelegasikan
kepada orang lain (pembantu), namun tetap berada dalam koordinasi dari sang
istri. Firman Allah: رج الجاهلية الأولى وأقمن الصلوة وأتين الزكوة و رجن ت ب ن وق رن فى ب ي وتكن ول ت ب الله أ
ورسوله.
55
“Dan hendaklah kamu (wanita) tetap di rumahmu dan janganlah kamu
berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah dahulu;
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat, taatilah Allah dan Rasul-Nya”.1
Ayat di atas menganjurkan kepada perempuan untuk menjaga kehormatan
dirinya dengan akhlak mulia, sekaligus berhias diri hanya untuk menyenangkan
suami, sehingga suami merasa senang berada di sisinya. Selain menunaikan hak
untuk suami, sang istri juga diwajibkan untuk menunaikan hak untuk Allah, yaitu
dengan melaksanakan ibadah mahdhah, seperti shalat, puasa dan zakat. Taat
menjalankan perintah agama, niscaya perilaku seorang istri, akan memantul
melalui akhlak al-kharimah (perilaku terpuji).
Hal ini dimaksudkan agar setiap istri terhindar dari perilaku yang kurang baik
selama suami di luar rumah. Karena, sesuai kodratnya, perempuan bertanggung
jawab untuk mengatur urusan rumah tangga, sedangkan suami bekerja di luar
rumah untuk mencari nafkah. Namun, di dalam masyarakat perkotaan tidak
sedikit perempuan karier yang ikut sibuk bekerja di luar rumah sebagaimana
suaminya. Hal ini tentunya tidak menjadi masalah asalkan sang istri bisa
mendelegasikan tugas-tugas kerumahtanggaannya kepada pembantu atau
familinya.
b. Peran Sebagai Ibu dari Anak-Anaknya
Sebagai Ibu yang bertanggung jawab berkewajiban secara terus-menerus
memperhatikan kesehatan rumah, lingkungan dan tata laksana rumah tangga,
mengatur segala sesuatu dalam rumah tangga untuk meningkatkan mutu hidup.
Keadaan rumah tangga harus mencerminkan suasana aman, tenteram dan damai
1 QS. Al-Ahzab: 33
56
bagi seluruh anggota keluarga. Sebagai Ibu seorang perempuan juga harus dapat
mendidik anaknya, menanamkan rasa hormat, cinta kasih kepada Tuhan Yang
Maha Esa, serta kepada orang tua, masyarakat dan bangsa yang kelak tumbuh
menjadi warga negara yang tangguh.
Sebagai seorang perempuan, belum sempurna statusnya sebagai seorang istri,
bila belum memiliki anak. Hamil dan melahirkan anak-anak adalah anjuran
agama. Rasulullah akan gembira melihat lebih banyak umatnya ketimbang umat
lainnya di hari kiamat nanti. Karena itulah, salah satu kriteria dalam mencari istri
adalah memperhatikan keturunannya (nasab), terutama bagi mereka yang
berpotensi memiliki keturunan (subur). Hal ini seperti anjuran Rasulullah:
“Kawinilah wanita-wanita yang penyayang dan banyak anaknya.”
Namun, disaat umat Islam sudah banyak, maka hadis tersebut harus dimaknai
secara kualitatif, yaitu tidak sekedar banyak secara kuantitatif tetapi lemah secara
kualitatif. Lebih baik sedikit kualitas daripada banyak tetapi tidak berkualitas.
Hamil dan melahirkan anak adalah kodrat setiap perempuan yang tidak mudah
dijalani, karena dibutuhkan perjuangan dan kesabaran dari perempuan. Ketika
hamil, perempuan menanggung beban berat di dalam kandungannya, saat
melahirkan perempuan merasakan sakit yang tak terperihkan sambil bertarung
nyawa antara hidup dan mati.
Sebagaimana ditegaskan bahwa hamil dan melahirkan adalah kodrat
perempuan yang sangat mulia. Kemuliaan semakin bertambah manakala
perempuan berhasil mendidik anak-anaknya menjadi generasi yang shaleh dan
shalehah. Tanggung jawab seorang ibu dan ayah tidak hanya memiliki anak,
57
namun mendidiknya menjadi anak yang sehat, cerdas, berakhlak, dan taat dalam
menjalankan ajaran agamanya. Maka, perlu ada “keseimbangan” antara kuantitas
anak sebagaimana anjuran Rasulullah dalam sebuah keluarga dengan kualitas
anak atau kemampuan para orang tua untuk menyiapkan pendidikan dan
pembinaannya di kemudian hari.
Dengan demikian, sesuai kodratnya, perempuan tidak cukup hanya hamil dan
melahirkan. Perempuan juga ikut bertanggung jawab untuk mendidik anak-
anaknya dengan baik, agar cerdas dan berakhlak baik, sehingga menjadi manusia
yang berkualitas.
2. Peran Dalam Ranah Publik
a. Sebagai anggota masyarakat
Posisi dan kedudukan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara sudah sangat jelas yakni sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga
negara yakni memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Tidak ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan. Secara kodrati, perempuan sebagai manusia tidak dapat
melepaskan diri dari keterikatan dengan manusia lain. Seperti kita ketahui bahwa
pada dasarnya berhubungan dengan individu lain merupakan suatu usaha manusia
untuk memenuhi kebutuhan sosialnya.
Laki-laki dan perempuan merupakan esensi kemanusiaan yang satu, hanya
perbedaan satu-satunya adalah perbedaan yang ada kaitannya dengan fisik.
Berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan bertemu dengan kaum pria merupakan
sunnah kehidupan manusia dan menjadi karakter kehidupan masyarakat. Sejak
dahulu Allah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk memakmurkan bumi
58
secara bersama-sama yang akhirnya lahir kehidupan yang berjalan dalam suasana
mantap. Oleh sebab itu, sudah seharusnya perempuan dilihat sebagai pendorong
kemajuan bangsa atau kemajuan bangsa.
Hal ini didasarkan pada sebuah pemahaman bahwa jika perempuan-
perempuan yang selama ini ditempatkan “secara agak paksa” hanya sebagai
pengurus anak, pengatur keuangan keluarga, pengatur jadwal suami dan pemberi
semangat anak-anak dan suami. Layaknya kaum laki-laki, maka kaum perempuan
tidak lepas dari kehidupan bermasyarakat. Perempuan memiliki hak penghargaan
dan sebaliknya. Perempuan memiliki hak yang sama dalam lapangan pekerjaan,
hukum, sosial dan pendidikan. Sebagaimana yang disampaikan pernyataan dari
salah satu pengurus PSW:
“Dari awal pada masa nabi sebenarnya perempuan sudah berkiprah, Nabi
tidak pernah melarang istri-istrinya. Allah tidak membeda-bedakan antara
laki-laki dan perempuan, mereka berhak mendapatkan kehidupan yang lebih
baik. Dalam Islam sudah terselesaikan dalam hal persoalan kesetaraan gender
dan keadilan bagi perempuan. Bisa dilihat bahwa sekarang peran perempuan
dalam masyarakat Aceh sendiri sudah bagus dan adil, sekarang kita lihat
perempuan sangat banyak berkiprah pada ranah publik (perempuan sebagai
pekerja). Dan dalam pendidikan perempuan juga mendapatkan keadilan,
kecuali sebagian orang yang bermasalah dalam berpandangan bahwa
perempuan seharusnya dalam ranah domestik bukan di publik.”2
“Di Aceh semua lini pekerjaan bisa dilihat perempuan sudah ikut andil dalam
hal publik bahkan tidak jarang, di perkantoran maupun pada ranah pekerjaan
publik lainnya perempuan sudah mulai berkembang, dan sebenarnya tidak
ada lagi permasalahan, perempuan sudah cukup berkiprah pada ranah publik
sama halnya dengan laki-laki. Dilihat secara mayoritas perempuan di Aceh
sudah cukup bagus dan di beri ruang aktivitas di masyarakat (publik).”3
Istilah gender yang semakin sering terdengar dan terucap dalam berbagai
diskusi dan pembahasan perencanaan dan pengembangan pembangunan,
2 Hasil wawancara dengan Ibu Mubtasyirah, sebagai pengurus PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 15 Desember 2017. 3 Hasil wawancara dengan Ibu Mubtasyirah, sebagai pengurus PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 15 Desember 2017.
59
menimbulkan beragam tanggapan dan penilaian terhadap persoalan ini. Di
lingkungan masyarakat luas istilah gender masih menjadi hal yang sering
diperdebatkan, baik terhadap maknanya maupun terhadap substansi keutamaan
membahas persoalan ini. Di kalangkan sebagian masyarakat Aceh, pembahasan
isu gender dianggap sebagai pembahasan yang mengancam kearifan lokal dan
nilai-nilai keislaman.
Dalam konteks sosial, sesungguhnya peran perempuan dalam masyarakat
Aceh tidak sebesar peran perempuan dalam kesejarahan Aceh, bahkan perbedaan
ini terlihat sangat kontras. Jika dalam kesejarahan perempuan tampak mempunyai
posisi tawar yang kuat, dalam konteks sosial sehari-hari perempuan sangat
powerless. Tidak menyebutkan ini sebagai kemunduran terhadap perempuan,
karena ketika berbicara antara sejarah realita sosial, sesungguhnya kita berbicara
pada dua konteks yang berbeda.
Konteks yang signifikan dalam membicarakan kepemimpinan perempuan
dimasa lalu adalah kepentingan politik yang ada yang ada pada saat itu. Jika
dibincangkan secara lebih dalam, maka akan terlihat bahwa peran kepemimpinan
perempuan bahkan tidak lepas dari statusnya sebagai identitas seksual perempuan.
Artinya, perempuan menjadi pemimpin karena faktor hubungan keluarga dengan
tokoh tertentu (laki-laki). Namun ketika kita bicara realita sosial, perempuan
secara umum di Aceh berada dalam posisi subordinat terhadap laki-laki. Hal ini
karena peran dan kedudukan perempuan dalam masyarakat Aceh merupakan
konstruksi sosial yang terbangun atas dasar pemahaman masyarakat atas nilai-
nilai kultural dan interpretasi agama Islam. Keduanya, nilai kultural dan
60
interpretasi Islam, yang lebih mengutamakan laki-laki dari pada perempuan.
Perempuan sangat dibatasi fungsinya hanya sebagai pembawa keturunan. Adapun
sebagaimana pernyataan lain dari salah satu akademisi UIN Ar-raniry:
“Melihat keterlibatan perempuan di masyarakat sudah mengalami banyak
peningkatan misalnya keterlibatan perempuan dalam aktivitas di gampong-
gampong sudah mewakili salah satu misalnya dalam bidang pemerintahan
desa, sebagai jabatan Tuha Peut sudah adanya keterlibatan perempuan.
Kemudian dalam hal aktivitas masyarakat misalnya sekarang di gampong-
gampong sudah banyak melibatkan kaum perempuan misalnya menjadi
sebagai bendahara atau yang mengatur keuangan di gampong itu banyak
perempuan yang dilibatkan, suatu hal yang positif bahwa saat ini masyarakat
Aceh sudah mau menerima keterlibatan perempuan di bidang publik, bukan
hanya domestik. Mungkin sebelumnya urusan perempuan itu hanya dikaitkan
pada urusan masak-memasak (domestik) dan mengikuti pengajian di
Meunasah, kalau hal-hal mengenai rapat di gampong terkadang perempuan
memang tidak dilibatkan. Jadi sekarang bisa kita lihat sudah adanya diberi
ruang bagi perempuan, walaupun angkanya masih belum terlalu signifikan
tapi sudah mulai ada perwakilan perempuan untuk kegiatan-kegiatan di
masyarakat.”4
Sedangkan menurut salah satu pernyataan yang diungkapkan dari mantan
ketua PSW, yang hampir sama dengan pendapat responden yang di atas. Akan
tetapi memiliki sedikit perbedaan dengan yang diungkapkan oleh responden
sebelumnya. Wawancara dengan mantan ketua PSW sebagai berikut:
“Peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakat mempunyai peran dan
memiliki hak yang sama, akan tetapi ketika dalam penglihatan gender
perempuan akan jauh berbeda fungsi dengan laki-laki. Menggambarkan
bahwa perempuan hanya mengurus urusan rumah tangga. Kalau melihat
kesecaraan umum dapat dilihat dalam beberapa fakta bahwa adanya
kelompok yang memang seperti liberal ataupun sekunder, dan ada pula yang
memang merumahkan kembali perempuan, yakni perempuan hanya
melakukan pekerjaan domestik saja sebagai tanggung jawab perempuan
sebagai seorang istri ataupun kodrat mereka sebagai perempuan. Banyak
sekali pemahaman-pemahaman masyarakat itu dimunculkan kembali, bahwa
perempuan tidak harus sama perannya dengan laki-laki”.5
4 Hasil wawancara dengan Ibu Ernita Dewi, sebagai Akademisi UIN Ar-Raniry pada
tanggal 22 Desember 2017. 5 Hasil wawancara dengan Ibu Soraya Devi, mantan ketua PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 25 oktober 2017.
61
Contoh ketika perempuan mempunyai kualitas dan kemampuan, akan tetapi
tidak di manfaatkan. Memberi peluang dalam ranah publik kepada perempuan
agar membuat mereka itu lebih baik dengan mereka ikut berperan dalam
publik. Agar mereka mempunyai identitas dan jati diri membuat mereka akan
lebih percaya diri bagi perempuan. Ketika keterlibatan perempuan dalam
ranah publik, sebenarnya mereka tidak menggeser para laki-laki, mereka
hanya menunjukkan bahwa mereka berkualitas perempuan juga mampu
seperti halnya laki-laki. Ketika mengatakan perempuan tidak boleh bekerja
ataupun melebihi laki-laki, pada saat itu secara negatif laki-laki merasa
terancam karena sudah sangat nyaman menikmati pekerjaan publik mereka
tanpa ada saingan bukan hanya saingan sesama lelaki. Akan tetapi jika
perempuan mampu belajar, perempuan akan lebih hebat dari pada laki-laki,
perempuan mampu mengerjakan pekerjaan sekaligus. Sebenarnya inilah yang
menjadi tantangan bagi perempuan, ketika mereka dihadapkan dengan
berbagai persoalan hak peran bekerja.6
Adapun berdasarkan wawancara lain dengan salah seorang anggota dari PSW
sebagai berikut:
“Ketika kita melihat perempuan dalam masyarakat Aceh pada saat ini sangat
berperan dalam kehidupan bermasyarakat, karena tidak mungkin dalam hidup
atau dalam masyarakat tanpa adanya peran perempuan dalam masyarakat,
tidak mungkin semua pekerjaan dikerjakan oleh laki-laki ada bagian-bagian
yang memang harus perempuan itu dilibatkan dalam terutama dalam ranah
publik, jika perempuan tidak dilibatkan maka banyak hal yang memang
terkadang bisa dilihat banyaknya kaum laki-laki khususnya di Aceh yang
tidak semua mengetahui tentang problematika yang dihadapi oleh perempuan,
dengan keikutsertaan perempuan di dalam masyarakat artinya mereka bisa
menguak apa-apa yang dibutuhkan oleh perempuan, seperti halnya untuk
memastikan bahwa laki-laki tidak semuanya menyentuh aspek perempuan.
Setelah Tsunami bisa dilihat banyak peranan perempuan yang tidak
mendapatkan bantuan-bantuan.”7
Berdasarkan wawancara dengan pengurus PSW, yang sebelumnya sudah
dikatakan di atas bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki maupun perempuan
di ranah publik, keduanya memiliki persamaan hak. Adapun pernyataan lain
dikatakan sebagai berikut:
6 Hasil wawancara dengan Ibu Soraya Devi, mantan ketua PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 25 oktober 2017. 7 Hasil wawancara dengan Ibu Ade Irma, sebagai anggota PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 10 November 2017.
62
“Banyaknya keterlibatan perempuan dalam masyarakat (publik), bisa dilihat
bahwa tidak ada lagi permasalahan gender bagi perempuan. Jadi apakah
permasalahan yang dialami oleh perempuan? Ketika mengenai persoalan
tidak mampunya seorang perempuan terjun dalam publik, ini merupakan
persoalan dirinya. Kalau perempuan tersebut tidak bisa berdiri sendiri, tidak
adanya kemandirian dalam dirinya maka ketidakmampuannya itu harus di
tunjang oleh kemampuan yang lain.”8
Sebenarnya pemahaman-pemahaman yang mengatakan bahwa perempuan
hanya melakukan aktivitas domestik saja menjadi problem dalam masyarakat
Aceh. Pertama mengenali Islam secara komprehensif belum begitu kuat,
seolah-olah perempuan itu pekerjaannya hanya dalam domestik saja,
bukankah rumah juga merupakan ruang publik terbatas. Dalam domestik juga
memiliki lingkup sosial, adanya keluarga inti, keluarga dari pihak suami,
keluarga dari pihak sang istri. Ini merupakan termasuk masyarakat.”9
Dalam bidang pemerintahan maupun dibidang lainnya, keterlibatan
perempuan sudah sangat berkiprah, seperti pada ranah politik adanya kuota 30%
bagi perempuan. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu akademisi UIN Ar-
Raniry:
“Tetapi jika kita melihat aktivitas publik dalam artian di bidang pemerintahan
baik dalam bidang pendidikan dan kesehatan, misalnya sebut saja jumlah
perempuan di ranah publik sudah hampir 30%, seperti halnya banyak
keterlibatan perempuan berprofesi sebagai guru pengajar. Jika diperhatikan,
kiprah dalam bidang pemerintahan sudah cukup signifikan, kalau menurut
saya mungkin lebih dari 30%, tapi kalau untuk di masyarakat dalam hal
pemerintahan gampong ini sudah adanya perwakilan perempuan walaupun
tidak seberapa, tergantung disetiap gampongnya.”10
Dalam kajian ilmu sosial, perbedaan jenis kelamin melahirkan dua teori besar
yaitu teori nature dan teori nurture. Teori nature menganggap perbedaan “peran”
laki-laki dan perempuan bersifat kodrati (nature). Karena secara fisik laki-laki
dianggap lebih kuat, lebih potensial, dan lebih produktif. Anggapan-anggapan
8 Hasil wawancara dengan Ibu Mubtasyirah, sebagai pengurus PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 15 Desember 2017. 9 Hasil wawancara dengan Ibu Mubtasyirah, sebagai pengurus PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 15 Desember 2017. 10
Hasil wawancara dengan Ibu Ernita Dewi, sebagai Akademisi UIN Ar-Raniry pada
tanggal 22 Desember 2017.
63
tersebut telah mengakibatkan pada berkembangnya stereotype bahwa laki-laki
sebagai aktor utama yang memainkan peran penting dalam masyarakat.
Perkembangan selanjutnya terkondisilah bahwa peran publik adalah peran yang
sesuai untuk laki-laki dan peran domestik sebagai peran yang sesuai untuk
perempuan.
Teori kedua yaitu nurture, yang beranggapan bahwa perbedaan peran laki-
laki dan perempuan tidak ditentukan oleh faktor biologis melainkan ditentukan
oleh konstruksi masyarakat. Dengan kata lain, perbedaan kerja sosial yang muncul
bukan dilihat sebagai kodrat dari Tuhan melainkan sebagai hasil rekonstruksi
sosial. Bahwa hal ini menyimpulkan tentang adanya realitas pola hubungan laki-
laki dan perempuan yang selanjutnya menimbulkan ketidakadilan. Akibat yang
timbul adalah terjadinya diskriminasi, beban ganda, dan ada yang malah menjadi
sangat permisif dengan kondisi yang mengondisikannya sebagai pihak yang
lemah.
Bahwa kenyataan biologis yang membedakan dua jenis kelamin manusia
telah melahirkan dua teori, yaitu teori nature dan teori nurture. Teori ini
beranggapan bahwa perbedaan peran laki-laki dan perempuan bersifat kodrati
(nature), anatomi laki-laki yang berbeda dengan perempuan menjadi faktor utama
dalam penentuan peran sosial kedua jenis kelamin tersebut. Laki-laki memerankan
peran utama di dalam masyarakat karena dianggap lebih potensial, lebih kuat dan
lebih produktif. Sedangkan perempuan karena memiliki organ reproduksi, maka
perannya berada di sektor domestik.
64
Teori nurture beranggapan bahwa perbedaan relasi gender laki- laki dan
perempuan tidak ditentukan oleh faktor biologis melainkan oleh konstruksi sosial,
artinya susunan budaya yang telah lama sekali memberikan status dan peran
perempuan lebih dominan di sektor domestik rumah tangga, sehingga perempuan
kehilangan waktu dan kesempatan untuk meningkatkan potensi diri melalui
membaca, menulis dan belajar, kondisi ini sangat berpengaruh pada kemampuan
menduduki posisi manajerial. Hal seperti ini yang diungkapkan oleh salah seorang
dari akademisi UIN Ar-Raniry sebagai beriku:
“Dalam hal peroleh keadilan ketika mereka bergerak di bidang publik
pertama di pemerintahan itu juga kembali kepada perempuan apakah
perempuan memiliki kemampuan secara intelektualitas, yang kedua kalau di
dalam pemerintahan adanya sistem lobi. Ini juga tergantung pada
perempuannya apakah dia memiliki kemampuan melobi, karena suatu jabatan
tidak mungkin diperoleh dengan begitu saja tanpa ada pelobian.”11
“Mengenai koneksi, apakah perempuan mempunyai koneksi yang bagus, jika
perempuan ini memiliki tiga syarat itu yakni memiliki kemampuan secara
tektualitas, melobi, dan koneksi artinya dia memiliki semua yang baik
membangun jaringan-jaringan dengan pimpinannya bisa jadi perempuan ini
akan mendapatkan posisi yang lumayan bagus di kantor. Tetapi ketika ia
tidak memiliki koneksi, hanya mengharapkan pada aspek kemampuannya
akan sulit perempuan mendapatkan posisi. Tetapi dari aspek keadilan saya
pikir dalam sistem pemerintahan gaji perempuan tidak ada perbedaannya
dengan laki-laki. Dalam hal pekerjaan pun laki-laki dan perempuan tidak
dibedakan dijabatkan mereka, misalnya seorang guru mengajar, maka jam
mengajar seorang pengajar perempuan dan pengajar laki-laki akan sama, jadi
tidak ada perbedaan-perbedaan.
Bisa dilihat pada aspek pemberian posisi itu masih terdapat ketidakadilan
bagi perempuan, dan masih ada juga laki-laki yang beranggapan perempuan
tidak perlu mendapatkan jabatan masih ada orang-orang yang belum memiliki
perspektif gender yang bagus. Banyak laki-laki yang
masih menganggap bahwa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin. Hanya
saja kebanyakan perempuan terkadang banyak memiliki kemampuan akan
tetapi tidak memiliki koneksi, ada juga perempuan yang memiliki
kemampuan biasa saja tetapi dia mempunyai kemampuan melobi dan koneksi
yang bagus sehingga dia mendapatkan jabatan. Jadi jika membicarakan
11
Hasil wawancara dengan Ibu Ernita Dewi, sebagai akademisi UIN Ar-Raniry pada
tanggal 22 Desember 2017.
65
keadilan dalam aspek bekerja itu perempuan memiliki hak yang sama dengan
laki-laki, sedangkan pada aspek penempatan seorang perempuan dengan
posisi yang menjadi pimpinan itu masih belum terlihat bagus.12
Dengan memahami konteks bahwa kondisi yang dialami perempuan
merupakan dampak dari konstruksi sosial budaya yang telah lama terbentuk.
Proses budaya diskriminasi yang selama ini diterima perempuan, menyebabkan
perempuan belum tentu dapat memasuki suatu situasi dengan basis yang sama
dengan laki-laki.
b. Sebagai Pekerja
Sebagai pekerja perempuan harus memiliki profesionalisme yang tinggi
terhadap pekerjaan yang dijalankannya. Namun perempuan tidak boleh hanya
mementingkan kariernya saja dan tidak mementingkan keadaan rumah khususnya
mengurus suami dan anak. Menurut salah satu wawancara dengan salah satu
mantan ketua PSW yaitu sebagai berikut:
“Sebenarnya perempuan di Aceh sudah banyak yang berkiprah dalam ranah
publik, bahkan kita tidak asing lagi melihat mereka bekerja di ranah publik.
Akan tetapi, saat perempuan bekerja mereka masih dianggap sebagai second.
Bukan orang yang utama dan bukan orang yang bisa dimintai pendapat.”13
Peluang dan kesempatan bagi perempuan untuk mengembangkan potensinya
dewasa ini semakin terbuka, namun untuk bisa memanfaatkan peluang itu guna
meraih apa yang sesungguhnya diinginkan perempuan tidaklah mudah.
Dibutuhkan kesabaran, kerja keras dan rasa tanggung jawab yang besar.
Nampaknya emansipasi perempuan yang terus digaungkan, kini sudah mulai
menampakkan hasilnya. Di era sekarang ini, perempuan juga bisa berkarya dan
12
Hasil wawancara dengan Ibu Ernita Dewi, sebagai akademisi UIN Ar-Raniry pada
tanggal 22 Desember 2017. 13
Hasil wawancara dengan Ibu Soraya Devi, mantan ketua PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 25 Oktober 2017.
66
berkarier sesuai bakat dan minatnya. Meskipun beberapa perusahaan yang masih
terpaku pada konsep ini lebih mengutamakan pria dibandingkan wanita.
Dalam beberapa hal tertentu, perempuan juga sudah berani bersaing dengan
pria dan diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan diri. Di
beberapa tempat hal ini sudah berjalan, semuanya berubah di mana kesetaraan
gender terus berkembang dan semakin banyak wanita yang bekerja baik itu
kantor, industri maupun lapangan atau bahkan di dunia pertambangan. Hal seperti
ini yang diungkapkan oleh salah seorang anggota PSW yaitu sebagai berikut:
“Kalau saya tidak membatasi, meskipun perempuan itu disebut sebagai rumah
tangga tidak harus dia berkecimpung di domestik jadi bisa melakukan dalam
hal-hal di bidang sosial bergabung di organisasi masyarakat bisa membantu
orang-orang yang membutuhkan, dia bisa melakukan seperti mengajar atau
dia bisa membuka program-program keterampilan menjahit dan sebagainya.
Dan saya pikir tidak akan mengganggu ranah domestik bahkan dia akan lebih
bermanfaat jika dia mampu menjadi ibu rumah tangga yang baik dan
memiliki manfaat hidupnya untuk masyarakat yang lain dengan berbagai
kemampuan yang dia miliki, tidak harus menjadi pengawai atau karyawan. Di
rumah pun perempuan bisa bekerja membantu orang lain.14
Sedangkan menurut pernyataan yang lain dari salah seorang pengurus PSW
yaitu sebagai berikut:
“Faktor atau keterlibatan perempuan terjun di ranah publik, mereka ingin
memberi banyak manfaat untuk orang lain. Perempuan mempunyai
kemampuan dan suka berbagi. Adapun faktor lain disebabkan karena faktor
ekonomi yang merasa belum cukup, sehingga mengharuskan perempuan
untuk ikut bekerja.”15
Adapun yang diungkapkan oleh salah seorang akademisi UIN Ar-Raniry,
yang menanggapi pendapat wawancara di atas yaitu sebagai berikut:
14
Hasil wawancara dengan Ibu Ade Irma sebagai anggota PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 10 November 2017. 15
Hasil wawancara dengan Ibu Mubtasyirah, sebagai pengurus PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 15 Desember 2017.
67
“Salah satunya mungkin secara keuangan sudah mampu, tetapi ia ingin
mewujudkan eksistensi dirinya agar ia bermanfaat bagi orang lain. Akan
tetapi di sisi lain bisa disebabkan oleh perekonomian keluarga yang kurang.
Tetapi yang pasti menurut saya pekerjaan itu adalah untuk membuat
perempuan bisa melakukan hal bermanfaat untuk orang lain, dengan bekerja
perempuan bisa memberikan sesuatu pada orang lain yang bermanfaat.”16
Al-Quran menyoroti perempuan sebagai individu. Dalam hal ini terdapat
perbedaan antara perempuan dalam kedudukannya sebagai individu dengan
perempuan sebagai anggota masyarakat. Al-Quran memperlakukan baik individu
perempuan dan laki-laki adalah sama, karena hal ini berhubungan antara Allah
dan individu perempuan dan laki-laki tersebut, sehingga terminologi kelamin
(sex) tidak diungkapkan dalam masalah ini. Islam memandang perempuan adalah
sama dengan laki-laki dari segi kemanusiaannya. Islam memberi hak-hak kepada
perempuan sebagaimana yang diberikan kepada kaum laki-laki dan membebankan
kewajiban yang sama kepada keduanya.
Pernyataan yang diungkapkan oleh salah seorang akademisi UIN Ar-Raniry
di atas berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh mantan ketua PSW.
Wawancara dengan responden tersebut adalah sebagai berikut:
“Ketika melihat perempuan yang bekerja di ranah publik masih belum
mendapatkan keadilan dan belum selesai persoalan perempuan. Perempuan
masih di tempatkan hanya sebagai pelengkap saja. Mengenai pengarus utama
gender atau gender mainstreaming harus selalu disosialisasikan meng-update
perkembangannya. Karena zaman sekarang pemahaman terhadap ajaran-
ajaran keagamaan masih kental dengan pemahaman bahwa perempuan itu
hanya boleh melakukan pekerjaan domestik saja. Ajaran budaya yang sudah
dijadikan doktrin. Di dalam Al-Quran dan Hadis tidak ada dijelaskan
perempuan tidak boleh ikut andil dalam ranah publik, bahkan Islam sendiri
16
Hasil wawancara dengan Ibu Ernita Dewi, sebagai akademisi UIN Ar-Raniry pada
tanggal 22 Desember 2017.
68
menyuruh perempuan untuk bekerja dan menuntut ilmu sama seperti halnya
lelaki tidak adanya perbedaan.”17
Adapun persoalan perempuan yang lainnya adalah persoalan biologis seputar
fungsi reproduksi perempuan. Fungsi reproduksi merupakan fungsi kemanusiaan
yang harus mendapat dukungan kebijakan untuk perlindungannya dan tidak
diposisikan sebagai kendala apalagi menjadi stereotype bagi perempuan yang
dapat menghambat jenjang kariernya. Jadi keadilan itu merupakan bagaimana
mengimplementasikan kebijakan yang ditentukan berdasarkan kebutuhan yang
berbeda.
Ada tiga hal yang berkaitan dengan akibat konflik di Aceh terhadap
perempuan. Pertama, perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam bentuk
seperti pelecehan seksual, perkosaan, penyiksaan, dan pembunuhan. Kedua,
perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga, karena suami yang terbunuh,
secara otomatis beban pemenuhan nafkah keluarga menjadi tanggung jawab
perempuan. Pada masa konflik, ekonomi turut berpengaruh, dan perempuan sering
terpaksa melakukan upaya alternatif untuk membangun perekonomian yang
hancur tersebut. Ketiga, perempuan juga menjadi pengungsi, yang bisa
dibayangkan betapa susahnya kehidupan dalam pengungsian yang dialami oleh
seorang perempuan.
Berdasarkan dari salah satu wawancara dengan responden yaitu sebagai
berikut:
“Sebenarnya keterlibatan perempuan dalam publik, tergantung seperti
sekarang menganggap bahwa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin dan
ini yang menjadi persoalan ada yang sepakat ada yang tidak, dengan rujukan
17
Hasil wawancara dengan Ibu Soraya Devi, mantan ketua PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 25 Oktober 2017.
69
yang beragam. Ada yang mengatakan bahwa perempuan tidak dilibatkan
dalam ranah publik memang terkadang kebutuhan atau kepentingan tertentu
misalnya perempuan ingin menjadi seorang pemimpin karena ada satu
keyakinan bahwa perempuan itu tidak bisa memimpin, akhirnya itulah yang
menjadi persoalan mengapa perempuan kurang terlibat dalam ranah publik.
Bisa kita lihat perempuan sekarang sudah sangat cerdas, artinya bahwa
mereka ingin ada di dunia publik ingin berbuat sesuatu hal yang banyak.”18
Banyak perempuan Aceh yang berkualitas dan mampu membuat kebijakan
dan keputusan tetapi sampai saat ini kurang diakui kemampuannya. Hal lainnya
menjadi persoalan tersendiri ketika perempuan itu sendiri meragukan
kemampuannya. Sehingga ketika perempuan ditawarkan kedudukan yang lebih
tinggi dari kedudukan awal sering tidak percaya diri. Hal ini dikarenakan
pelabelan bahwa perempuan sebagai pengambil keputusan tidak tegas dan lebih di
nomor duakan.
Peran politik perempuan di Aceh pasca tsunami dan konflik telah
memberikan pengaruh yang luar biasa bagi perempuan. Selain sebagai korban
terbanyak, tsunami telah menyisakan pula berbagai persoalan bagi perempuan
sehingga menjadikan mereka secara umum lebih menderita dibandingkan kaum
laki-laki. Hal ini karena perempuan tidak memiliki akses ke berbagai sumber daya
di samping berbagai fasilitas yang disediakan untuk mengatasi akibat bencana
alam kurang dan bahkan tidak memperhatikan kebutuhan-kebutuhan perempuan.
Berdasarkan dari salah satu wawancara dengan responden yaitu sebagai
berikut:
“Saya mendukung perempuan di ranah politik selama mereka bisa mewakili
suara perempuan dan bekerja dengan bagus sebagai seorang muslim mungkin
dia berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan bagaimana kalau kita orang
muslim bertindak di luar harus mengikuti aturan-aturan agama Islam yang
18
Hasil wawancara dengan Ibu Ade Irma, sebagai anggota PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 10 November 2017.
70
benar, berakhlak mulia. Saya mendukung sekali silakan mereka berada dalam
ranah publik asalkan berpegang teguh pada hukum Islam yang benar
berakhlak mulia tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan Islam dan
mereka berjuang untuk hak perempuan mampu menyuarakan aspirasi
perempuan dan tidak hanya perempuan tetapi aspirasi semua masyarakat
silakan kalau saya mendukung asal dia mampu dan sanggup menjalankan
amanah yang diberikan pada diri kita.”19
Marginalisasi perempuan di Aceh, sebenarnya bukan hanya terjadi di tingkat
masyarakat di desa atau di tingkat akar rumput. Kondisi ini juga ditemui di
berbagai level dan tingkat pemerintahan, dan secara tradisional telah terjadi lama
sebelum tsunami. Hal ini terbukti misalnya sangat sulit kita temui perempuan
yang menduduki posisi-posisi pengambil keputusan.
Di seluruh provinsi Aceh tidak perempuan yang menjadi Ghecik, Camat,
Bupati atau Wali Kota apalagi Gubernur. Kondisi keberwakilan perempuan dalam
legislatif juga tidak menunjukkan kemajuan berarti. Ini terlihat pada posisi
perempuan di Aceh yang menjadi anggota dewan perwakilan rakyat di tingkat
provinsi maupun kabupaten/kota sangat sedikit. Keengganan perempuan masuk
ke dalam bursa politik dipengaruhi oleh banyak hal seperti masih rendahnya
kesadaran/tradisi di kalangan perempuan untuk memilih politik sebagai
karier/profesi, rendahnya kesadaran perempuan akan pentingnya keterlibatan
dalam politik, tidak adanya iklim di masyarakat untuk mendukung perempuan
berpolitik, juga adanya pendapat-pendapat dari pemuka agama yang menganggap
bahwa kepemimpinan perempuan bertentangan dengan agama sehingga
menimbulkan tafsir dan pemahaman yang merugikan perempuan.
19
Hasil wawancara dengan ibu Ernita Dewi, sebagai akademisi UIN Ar-Raniry pada
tanggal 22 Desember 2017.
71
Selain itu, di partai nasional juga tidak ada iklim untuk mendorong
keterlibatan perempuan seperti tidak adanya peraturan/kebijakan yang mendukung
perempuan untuk menjadi pemimpin, atau setidaknya duduk pada posisi yang
strategis dalam kepengurusan partai. Posisi perempuan adalah dalam kepanitiaan
acara-acara seremonial, yang dapat dilihat dari minimnya kemunculan kader
partai dari kaum perempuan, baik sebagai pemimpin di partai atau sebagai
kandidat sebagai calon anggota legislatif atau calon kepala daerah. Kebijakan
yang tidak berpihak pada perempuan ikut menjadi penghambat tercipta semacam
role model kepemimpinan perempuan. Berdasarkan wawancara dengan salah
seorang dari pengurus PSW sebagai berikut:
“Perempuan dan laki-laki mempunyai wilayah untuk menjadi seorang
pemimpin, Tidak ada batasan bagi perempuan. Mengenai perempuan yang
berkiprah dalam politik tidak ada masalah. Perempuan juga mampu menjadi
sama halnya seperti laki-laki.20
“Perempuan mempunyai kesulitan menempatkan kursi jabatan yang paling
tinggi. Di sini berarti ada kekurangan yang perlu dibenahi, penyebab interes
perempuan di dunia politik juga tidak terlalu banyak muncul dalam politik
atau seimbang dengan laki-laki. Sebenarnya di ranah politik kita juga harus
memahami, pelajari, kenali dan kita ikut masuk ke dalam politik. Karena
ketika seorang perempuan yang mukmin memasuki ranah politik, pasti politik
itu tidak akan menjadi jelek atau kotor, akan tetapi dia berupaya menjadikan
politik itu baik. Politik yang islami dengan memasukkan nilai-nilai
keislaman.”21
Meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik merupakan suatu upaya
pemenuhan hak-hak dasar perempuan. Tanpa adanya perempuan pada instansi-
instansi politik dan kekuasaan berarti melemahkan perkembangan prinsip-prinsip
demokrasi dalam kehidupan publik serta mencegah terjadinya perkembangan
20
Hasil wawancara dengan Ibu Mubtasyirah, sebagai pengurus PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 15 Desember 2017. 21
Hasil wawancara dengan Ibu Mubtasyirah, sebagai pengurus PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 15 Desember 2017.
72
sendi-sendi pokok kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh anggota PSW yaitu sebagai berikut:
“Kiprah perempuan dalam ranah politik, beliau mengatakan masih
berpandangan positif, sangat penting perempuan ikut kiprah dalam ranah
politik. Kalau tidak maka yang terjadi adalah kekhawatiran. Banyak hal-hal
yang memang dirasakan oleh kaum perempuan. Jika mereka sudah
mengambil bagian itu paling tidak banyak aspek untuk memberdayakan
perempuan, dengan masuknya perempuan dalam ranah politik perempuan
tersebut bisa menyuarakan hak-hak perempuan yang harus mendapatkan hak
yang sama.”22
Hal yang harus dilakukan adalah bagaimana memposisikan perempuan secara
adil dan setara dalam politik, karena pada kenyataannya banyak laki-laki yang
tidak lebih baik dari perempuan, tetapi sebagian besar perempuan dipandang
sebagai pihak yang lemah ketika masuk ranah politik. Pandangan ini tentu tidak
adil terhadap perempuan, karena harus disingkirkan. Adapun ungkapan dari
responden yang lain dari akademisi UIN Ar-Raniry:
“Faktor yang membuat perempuan ikut kiprah dalam politik mungkin salah
satunya adalah untuk menyuarakan suara perempuan, sebab kalau kita
berharap pada laki-laki mungkin mereka tidak terlalu ingat apa kebutuhan apa
kita sebagai seorang perempuan. Jadi kalau perempuan sendiri mungkin dia
lebih bisa untuk menyuarakan aspirasi kaum perempuan. Di samping itu
mungkin karena kita mendapatkan kuota 30% untuk memenuhi kapasitas di
ranah politik, banyak juga perempuan terkadang dia tidak memiliki koneksi di
politik tetapi perempuan di ajak untuk masuk dalam ranah politik, tetapi ini
merupakan positif selama perempuan yang diangkat itu memang memiliki
kemampuan karena kita di sini tidak memandang perbedaan antara
perempuan dan laki-laki akan tetapi berbicara mengenai kemampuan.
Perempuan dan laki-laki boleh kiprah di dunia politik, asal mampu dan
berpegang teguh pada hukum Islam dan tidak melakukan hal-hal yang
bertentangan.”23
22
Hasil wawancara dengan Ibu Ade Irma, sebagai anggota PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 10 November 2017. 23
Hasil wawancara dengan Ibu Ernita Dewi, sebagai akademisi UIN Ar-Raniry pada
tanggal 22 Desember 2017.
73
Peran perempuan sebenarnya tidak hanya terbatas pada ranah domestik saja,
menurut saya laki-laki juga harus memainkan perannya di domestik atau urusan
rumah tangga. Tidak selamanya urusan domestik selalu dikaitkan dengan
perempuan, sering kita melihat anggapan-anggapan yang seperti itu. Urusan
rumah tangga menjadi tugas dan tanggung jawab bersama, dan tergantung
bagaimana kesepakatan antara keduanya. Ketika perempuan ikut andil dalam
pekerjaan publik, mereka ingin membantu perekonomian rumah tangga. Pada
prinsipnya perempuan itu untuk mendukung, pertama persoalan perekonomian,
kedua persoalan eksistensi diri. Karena perempuan juga mampu dalam bekerja di
publik dan ingin dianggap oleh masyarakat.24
Seperti yang sudah diungkapkan oleh anggota PSW dan Akademisi UIN Ar-
Raniry di atas tersebut, berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh mantan ketua
PSW:
“Adapun faktor lain yang membuat perempuan ikut bekerja dalam ranah
publik disebabkan karena mereka juga memiliki hak untuk mengembangkan
diri jadi harus diberikan akses dan ruang gerak bagi perempuan.25
Kesepakatan, kesepahaman, saling mendukung dan saling memotivasi sangat
penting dalam rumah tangga. Jadi menurut saya perempuan untuk saat ini
memang tidak semestinya harus tinggal di domestik saja akan tetapi juga
harus berkiprah di publik.26
Tidak jauh berbeda dari pernyataan yang disampaikan oleh mantan ketua
PSW di atas, sedangkan menurut ketua PSW yaitu:
“Kalau budaya sekarang bisa dilihat memang di mana-mana perempuan ada
di ranah publik. Banyak perempuan yang sebenarnya mereka ingin tampil ada
24
Hasil wawancara dengan Ibu Ade Irma, sebagai anggota PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 10 November 2017. 25
Hasil wawancara dengan Ibu Soraya Devi, mantan ketua PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 25 Oktober 2017. 26
Hasil wawancara dengan Ibu Soraya Devi, mantan ketua PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 25 Oktober 2017.
74
dalam masyarakat. Tapi karena tidak adanya peluang dan kesempatan. Dan
ketika mereka sudah di ranah publik, kurangnya apresiasi terhadap
perempuan itu sendiri. Dan ini menyebabkan perempuan tidak pernah terlihat
pada ranah publik.27
Ketika perempuan ikut berkiprah dalam politik, tidak
adanya larangan bagi perempuan, mereka juga mempunyai hak seperti
halnya laki-laki. Perempuan tidak boleh menghilangkan sisi nilainya sebagai
perempuan, dan tetap pada politik yang berlandaskan islami. Sebenarnya
alasan perempuan untuk harus memainkan peran atau bekerja di publik
merupakan karena keinginan perempuan, dan mereka mau bekerja.28
Fenomena yang terjadi di Aceh khususnya, menggambarkan bahwa
perempuan yang berpendidikan di tingkat perguruan tinggi dapat dikatakan lebih
dari 50%, tetapi apakah kesempatan untuk dapat diterima bekerja baik pada
instansi pemerintah ataupun swasta masih dapat dikatakan relatif. Walaupun ada
yang mengatakan bahwa perempuan sudah relatif tinggi dalam peluang untuk
bekerja tetapi masih berada pada posisi yang tidak strategis, dalam arti kata bukan
pada posisi atau jenjang yang bisa mengambil keputusan. Hal ini masih banyak
terjadi di instansi-instansi pemerintah maupun di Perguruan Tinggi.
Undang-undang Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada
Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, konvensi PNN tentang penghapusan segala
bentuk diskriminasi terhadap perempuan, konvensi PBB tentang hak-hak anak dan
berbagai instrumen internasional lain yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia.
Materi undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan masyarakat dan
pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan TAP
MPR RI Nomor XVII/MPR/1998.
27
Hasil wawancara dengan Ibu Rasyidah, sebagai ketua PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 21 November 2017. 28
Hasil wawancara dengan Ibu Rasyidah, sebagai ketua PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 21 November 2017.
75
Hak-hak yang tercantum dalam undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang berhubungan dengan topik penelitian ini adalah:
1. Hak Atas Kesejahteraan. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan
dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta
mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan,
kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi
melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.
2. Hak Turut Serta Dalam Pemerintahan. Setiap warga negara berhak turut
serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantara wakil yang
dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan
pemerintahan.
3. Hak Wanita. Seorang wanita berhak memilih, dipilih, diangkat dalam
jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan
perundang-undangan. Di samping itu berhak mendapatkan perlindungan
khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang
dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.
Mengenai kebijakan publik dan perempuan, setelah lebih dari dua dasawarsa
pembangunan peningkatan peran perempuan dilaksanakan, kini kita melihat
kiprahnya di Aceh melalui duduknya perempuan dalam berbagai peran dan posisi
strategis, meskipun disadari bahwa porsi tersebut masih kecil dibandingkan
dengan porsi yang diperoleh oleh kaum pria. Melihat fakta yang ada ternyata
perempuan Indonesia mampu, dan merupakan sumber daya yang potensial jika
76
ditingkatkan kualitasnya serta diberikan peluang yang sama untuk berperan
dengan laki-laki di sektor pendidikan dan publik.
Kajian budaya menjadi fokus utama dalam menganalisa pendidikan dalam
perspektif perempuan di mana disadari bahwa kendala yang dihadapi oleh
perempuan dalam pendidikan merupakan persoalan attitude masyarakat yang
didominasi oleh nilai laki-laki terhadap perempuan. Budaya sangat tergantung
pada kelompok-kelompok sosial dalam menciptakan dan mentransmisikan nilai-
nilai tertentu. Adapun hal sama yang diungkapkan oleh salah seorang dari
akademisi UIN Ar-Raniry yaitu sebagai berikut:
“Ini bisa disebut bahwa pandangan yang salah terhadap perempuan,
sebenarnya perempuan dan laki-laki itu memiliki kemampuan yang sama
tetapi kesempatannya yang tidak diberikan asal dia memiliki pendidikan yang
tinggi artinya dia memiliki kemampuan silahkan berikan posisi yang bagus
untuk perempuan. Tapi karena kaum laki-laki masih beranggapan bahwa
perempuan ini tidak mampu maka kesempatan itu tidak pernah diberikan itu
hanya berdasarkan persepsi-persepsi laki-laki, persepsi-persepsi orang yang
menganggap bahwa perempuan itu lemah. Tapi tidak bisa dibuktikan secara
ilmiah dan tidak pernah terbukti bahkan banyaknya perempuan diberi jabatan
mereka bisa bekerja dengan sangat baik.”29
Keterkaitan pendidikan perempuan di tingkat perguruan tinggi dan
kesempatan kerja dapat dikatakan sangat berpengaruh artinya semakin banyak
jumlah perempuan yang dihasilkan dari universitas maka penerimaan perempuan
sebagai pegawai instansi pemerintah juga perempuan lebih banyak dibandingkan
laki-laki.
29
Hasil wawancara dengan Ibu Ernita Dewi, sebagai akademisi UIN Ar-Raniry pada
tanggal 22 Desember 2017.
77
B. Program Dan Kegiatan Yang Dilakukan PSW Terhadap Pencapaian
Kesetaraan Gender
Konsep pemberdayaan perempuan ini muncul setelah konferensi perempuan
sedunia IV di Beijing. Selain itu, pada tahun 2000 konferensi PBB menghasilkan
TheMillenium Development Goals’ (MDGs) yang mempromosikan kesetaraan
gender dan pemberdayaan perempuan sebagai cara efektif untuk memerangi
kemiskinan, kelaparan,dan penyakit serta menstimulasi pembangunan yang
sungguh-sungguh dan berkelanjutan.
Kebijakan pemberdayaan perempuan diarahkan secara bertahap dan
berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan praktis dan strategis perempuan.
Pemenuhan kebutuhan praktis meliputi kebutuhan perempuan agar dapat
menjalankan peran-peran sosial untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek,
seperti perbaikan taraf kehidupan, perbaikan pelayanan kesehatan, penyediaan
lapangan kerja,pemberantasan buta aksara dan sebagainya.
Dengan kata lain kebutuhan praktis perempuan merupakan program
intervensi untuk mengejar ketertinggalan perempuan yang umumnya berada di
tingkat individu. Kebutuhan strategis, di antaranya berupa kebutuhan perempuan
yang berkaitan dengan perubahan sub-ordinasi perempuan terhadap laki-laki,
seperti perubahan pembagian peran, pembagian kerja, kekuasaan, kontrol terhadap
sumber daya dan lain-lain. Kebutuhan strategis gender juga meliputi perubahan
hak-hak hukum,penghapusan kekerasan dan diskriminasi, persamaan upah, dan
sebagainya. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan strategis merupakan
program pemberdayaan perempuan dalam mematangkan potensi yang
78
memungkinkan perempuan dapat memanfaatkan hak dan kesempatan yang sama
dengan laki-laki di peran publik.
Salah satu strategi kebijakan yang ditempuh untuk memenuhi kebutuhan
praktis dan strategis perempuan adalah melalui Program Pengarusutamaan
Gender/PUG(Gender Mainstreaming). Perempuan dan laki-laki secara kodrat
memang memiliki perbedaan. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam konteks
perbedaan untuk mencapai kesetaraan melalui strategi pengarusutamaan gender
yaitu persoalan sosial budaya dan biologis. Konstruksi sosial budaya yang selama
ini ada, telah menempatkan perempuan pada posisi yang kurang beruntung.
Kondisi ini kemudian memberi dampak terhadap munculnya sikap pesimis
perempuan yang memposisikan dirinya sebagai makhluk kelas dua setelah laki-
laki. Perempuan cenderung untuk membatasi diri dalam ambisi positif terhadap
pengembangan karir pribadi. Selain itu konstruksi sosial budaya juga telah
memposisikan perempuan sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam
pengasuhan anak dan urusan rumah tangga, sehingga perempuan memiliki
keterbatasan ruang dan waktu untuk berkiprah di luar ranah domestik. Ketika
persoalan ini dihadapkan dengan tuntutan perkembangan institut melalui
peningkatan kinerja dan kualitas sumber dayanya, maka sangat tidak bijaksana
bila dikatakan bahwa hal ini adalah persoalan pribadi masing-masing yang
seharusnya diselesaikan sendiri.
Dalam proses pengambilan keputusan, umumnya keputusan-keputusan
penting berkaitan dengan pembangunan ataupun dalam skala yang lebih kecil
program-program maka yang memiliki kekuasaan untuk pengambilannya adalah
79
otoritas dari lembaga/institusi bersangkutan maupun kelompok-kelompok
berpengaruh lainnya. Contoh, pengambilan keputusan di tingkat desa,maka kepala
desa dan perangkat desa-lah yang memiliki peranan dan kontrol dalam
pengambilan keputusan.
Keterlibatan kelompok masyarakat miskin, kelompok perempuan dan
kelompok rentan lainnya dalam proses pengambilan keputusan berkaitan dengan
pelaksanaan pembangunan, baik di tingkat desa maupun pada tingkat yang lebih
tinggi masih sangat minim. Hal ini menyebabkan perempuan dan kelompok
rentan lainnya masih dianggap sebagai objek pembangunan bukan pelaku
pembangunan. Masyarakat dan pemerintah belum menyadari bahwa ada
ketimpangan relasi gender yang berbasis kekuasaan yang berlangsung seperti ini.
Hal ini berdampak pada semakin kecilnya peran dan fungsi perempuan dalam
pelaksanaan pembangunan sehingga kualitas hidup perempuan tidak menjadi
lebih baik dan bahkan jumlah perempuan miskin dan permasalahan lainnya yang
dihadapi oleh perempuan semakin bertambah.
Inilah yang akan mengawali pembahasan terkait dengan strategi
pengarusutamaan gender yang dilakukan oleh Pusat Studi Wanita. Observasi awal
terkait dengan hal ini, ada beberapa hal yang dilakukan oleh PSW dalam
melakukan upaya-upaya pengarusutamaan gender atau kesetaraan gender.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh mantan ketua PSW yaitu:
“Pengarusutamaan gender (PUG) merupakan kesetaraan antara perempuan
dan laki-laki kesetaraan di sini bukan berarti perempuan mempunyai
80
tingkatan yang sama dengan laki-laki akan tetapi mempunyai keadilan yang
sama memberikan kesempatan dan di beri akses kepada perempuan.”30
Konsep PUG pertama kali saat konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB)untuk Perempuan IV di Beijing tahun 1995. Pada saat itu berbagai area
kritis yang perlu menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat di seluruh dunia
untuk mewujudkan kesetaraan gender mulai dipetakan.
PUG secara formal diadopsi dalam Beijing Platform forAction (BPFA) yang
menyatakan bahwa pemerintah dan pihak-pihak lain harus mempromosikan
kebijakan gender mainstreaming secara aktif dan nyata terlihat dalam semua
kebijakan dan program, sehingga sebelum keputusan diambil, analisis tentang
dampak kebijakan terhadap perempuan dan laki-laki telah dilakukan.
Perguruan Tinggi, baik agama maupun umum seperti UIN Ar-Raniry Banda
Aceh, idealnya harus memposisikan diri untuk menyaring dan menerima
perubahan, tidak saja karena perkembangan keilmuan yang terus mengalami
perubahan dan pengayaan, tetapi juga bertanggung jawab terhadap pemberdayaan
kualitas masyarakat serta eksistensinya dalam mengkhalifahi bumi ini. Hal itu
berarti “Perguruan Tinggi sebagai wadah bagi umat Islam untuk meningkatkan
kualitas pendidikannya”. Adapun pernyataan sama yang diungkapkan sebelumnya
di atas oleh mantan ketua PSW, responden tersebut menambahkan tanggapannya
sebagai berikut:
“pada masa kepemimpinan saya, masih internal yaitu memainstreamingkan
diawali dari kampus UIN. Yang mana perlu di mainstreamingkan adalah
stetma-stetma masyarakat, dan seperti yang dilakukan oleh anggota-anggota
30
Hasil wawancara dengan Ibu Soraya Devi, mantan ketua PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 25 Oktober 2017.
81
PSW melanjutkan kurikulum, dimasukkan gender perspektif pada
pembelajaran di kampus.”31
Pengarusutamaan gender di Kementrian diamanatkan melalui Keputusan
Presidenno. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender. Kemendiknas merupakan
salah satu Kementrian yang pertama kali dilibatkan dalam pengembangan rencana
pengarusutamaan gender dan menunjukkan focalpoint gender. Tahun 2005
dihasilkan dokumen yang berisi ketentuan pengarusutamaan gender, yang
kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri No.84/2008.
Keberhasilan pembangunan dan keberhasilan dalam menjalani proses historis
kehidupan dalam semua tingkatan akan sangat tergantung pada peran serta laki-
laki dan perempuan secara bersamaan sebagai pelaku dan pemanfaatnya.
Ketidakseimbangan serta peminggiran terhadap peran serta dari salah satu elemen
tersebut bisa berakibat pada ketimpangan dan ketidakadilan. Oleh karena itu,
semua program pemberdayaan harus memperhatikan dan diorientasikan pada
pencapaian dan optimalisasi peran yang setara antara laki-laki dan perempuan.
Kenyataan di lapangan sampai saat ini masih menunjukkan bahwa kedudukan
dan peran perempuan di Aceh walaupun sudah diupayakan dengan berbagai
strategi dan pendekatan belum menunjukkan hasil yang memadai karena
pendekatan pembangunan yang dikembangkan belum mempertimbangkan
manfaat yang merata dan adil bagi laki-laki dan perempuan sehingga
mengakibatkan terciptanya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender yang lebih
dikenal dengan kesenjangan gender (gender gap) yang akan mengakibatkan pula
pada berbagai permasalahan gender.
31
Hasil wawancara dengan Ibu Soraya Devi, mantan ketua PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 25 Oktober 2017.
82
Pengarusutamaan gender (Gender Mainstreaming) adalah suatu strategi untuk
mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui perencanaan dan penerapan
kebijakan yang berperspektif gender pada organisasi dan institusi.
Pengarusutamaan gender merupakan strategi alternatif bagi usaha pencepatan
tercapainya kesetaraan gender karena nuansa kepekaan gender menjadi salah satu
landasan dalam penyusunan dan perumusan strategi, struktur, dan sistem dari
suatu organisasi atau institusi, serta menjadi bagian dari nafas budaya di
dalamnya. Strategi ini merupakan strategi integrasi kesamaan gender secara
sistemik ke dalam seluruh sistem dan struktur, termasuk kebijakan, program,
proses dan proyek, budaya, organisasi atau sebuah agenda pandangan dan
tindakan yang memprioritaskan kesamaan gender berdasarkan Inpres No.9 Tahun
2000 yaitu Presiden menginstruksikan untuk melaksanakan pengarusutamaan
gender guna terselenggaranya penyusunan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan
dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang
berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi serta kewenangan
masing-masing. Pelaksanaan dan implementasi PUG juga didukung oleh UUD
1945 pasal 27 ayat 1 dan UU Nomor 7 tahun 1985 mengenai segala bentuk
diskriminasi.
Bagi kelompok perempuan, paradigma peradilan keadilan sosial sering kali
tidak cukup untuk mengangkat persoalan yang dihadapi selama ini. Ini karena
keadilan sosial sering kali direduksi semata-mata sebagai persoalan kelas
(ekonomi) semata, sehingga tidak melihat pada persoalan relasi-relasi kekuasaan
yang timpang yang disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti persoalan perbedaan
83
jenis kelamin atau gender yang melahirkan berbagai bentuk diskriminasi dan
kekerasan terhadap perempuan. Begitu pun wacana HAM secara umum sering
kali luput memperhitungkan faktor-faktor sosial budaya atau norma serta nilai-
nilai di masyarakat yang menyebabkan perempuan tidak mudah untuk mengakses
serta menikmati hak-hak asasinya sebagai manusia sebagaimana telah dijamin
dalam konstitusi.
Seperti yang dikatakan oleh ibu Rasyidah bahwa “Pusat Studi wanita dalam
hal melakukan pencapaian kesetaraan gender di kalangan perempuan yaitu
melakukan kemitraan dengan banyak lembaga untuk membawa kesetaraan
gender, melakukan kegiatan seperti workshop hasil penelitian yang dilakukan
PSW, dan dengan pendampingan program, pelatihan-pelatihan qanun mengenai
perempuan, pelatihan-pelatihan gender di perguruan tinggi dan di masyarakat
akan tetapi pelatihan dalam masyarakat tidak disebutkan pelatihan gender tetapi
lebih ke bagaimana membangun keluarga yang harmonis”.32
Karena itu diperlukan advokasi kebijakan yang pro perempuan atau memiliki
perspektif perempuan untuk melihat apakah kebijakan-kebijakan yang ada sudah
sensitif terhadap kepentingan perempuan, atau justru melanggengkan serta
melahirkan kekerasan dan bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Demikian pula dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan demokratis sebagai
indikator dari perubahan sosial yang diharapkan, harus juga dilihat dari sejauh
mana mengubah pola relasi kekuasaan yang ada di masyarakat terutama dalam
32
Hasil wawancara dengan Ibu Rasyidah, sebagai ketua PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 21 November 2017.
84
relasi gender/jenis kelamin, apakah menjadi lebih setara dan adil gender atau tetap
timpang.
Advokasi kebijakan merupakan salah satu strategi atau mekanisme yang
dapat digunakan oleh perempuan dalam rangka menuntut akuntabilitas yang lebih
besar dari negara, yakni memastikan kebijakan-kebijakan yang dibuat benar-benar
menyasar pada kepentingan strategi pemberdayaan perempuan untuk menegakkan
hak-haknya. Advokasi secara luas dipahami sebagai upaya sistematik dan
terorganisasi untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan
kebijakan publik dalam masyarakat, advokasi kebijakan juga dipahami sebagai
proses keterlibatan dengan badan pembuat undang-undang baik di parlemen atau
pemerintah untuk mendesakkan perubahan kebijakan ke arah yang diharapkan.
Sejauh berkaitan dengan perempuan, sistem hukum yang berlaku masih
cenderung diskriminatif terhadap perempuan. Dari sisi substansi hukum,
ketentuan mengenai HAM serta jaminan penegakan/perlindungannya oleh negara
telah ditegaskan baik dalam amandemen konstitusi maupun dalam UU No.
39/1999 tentang HAM.
Dalam deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan PBB, kekerasan
terhadap perempuan didefinisikan sebagai setiap perbuatan berdasarkan perbedaan
jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau
penderitaan perempuan, secara fisik, seksual, psikologis, atau ancaman perbuatan
tertentu, pemaksaan dan perampasan kemerdekaan yang terjadi baik di ranah
publik maupun privat/domestik.
85
Kekerasan terhadap perempuan pada dasarnya adalah bentuk diskriminasi dan
merupakan bentuk pelanggaran HAM fundamental yakni hak untuk hidup dengan
rasa aman dan bebas dari segala bentuk ancaman dan ketakutan. Kenyataannya
tidak mudah untuk membebaskan perempuan dari ancaman situasi kekerasan
tersebut, karena pada dasarnya hal tersebut juga didukung oleh ideologi tertentu
yang terdiri dari seperangkat norma, nilai-nilai dan keyakinan yang diskriminasi
terhadap perempuan.
Agenda untuk adanya kebijakan-kebijakan yang lebih progresif dan sekaligus
kebijakan yang mengoreksi ketentuan-ketentuan lama yang masih cenderung
diskriminatif terhadap perempuan sebenarnya merupakan tanggung jawab negara
yang harus segera diwujudkan. Negara pada dasarnya terkait pada komitmen
untuk melakukan hal tersebut selain atas dasar Amandemen Konstitusi, juga
berdasarkan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan (CEDAW) PBB yang telah diratifikasi pemerintah melalui UU No. 7
tahun 1984, konvensi tersebut menegaskan kewajiban Negara untuk mengambil
semua langkah yang tepat termasuk legislasi untuk mengubah atau menghapuskan
hukum, peraturan, kebiasaan dan praktek yang mendiskriminasi perempuan.
Meski konvensi telah diratifikasi pemerintah Indonesia sejak tahun 1984,
namun sampai saat ini belum banyak langkah nyata yang dilakukan khususnya
dalam membuat kebijakan baru atau kebijakan yang mengoreksi hukum yang
masih diskriminatif.
86
C. Tantangan/ Hambatan Perempuan Bekerja
Berkaitan dengan kerja, pada setiap masyarakat telah terbentuk pembagian
kerja secara seksual antara pria dan wanita, ini kemudian dikenal dengan peran
gender. Secara biologis wanita dianugerahi alat reproduksi berupa vagina, ovum,
rahim dan payudara. Dengan demikian tugas reproduksi mengandung,
melahirkan, dan menyusui telah ditakdirkan untuk dijalani oleh wanita. Hanya
saja, tugas reproduksi itu berkembang lebih lanjut dalam masyarakat menjadi
peran gender, peran ”utama” wanita adalah sebagai perawat dan pendidik anak.
Konsekuensi logis dari peran tadi, pekerjaan di rumah tangga merupakan tugas
dan kewajiban pokok perempuan.
Mencermati kondisi sosial wanita saat ini, di mana semakin banyak wanita
yang mencapai taraf pendidikan yang tinggi, tentu mereka membutuhkan wadah
untuk berkarya. Jika seandainya rumah sudah dianggap terlalu sempit bagi ruang
gerak sosial wanita, kenapa ketika mereka mempunyai kesempatan untuk
memberikan kontribusi langsung untuk pembangunan justru dibatasi dengan
menggunakan alasan agama. Masih terbuka luas peluang bagi wanita untuk
berkarya, tidak hanya pada bidang-bidang yang selama ini diidentikkan dengan
wanita
Keterlibatan perempuan yang semakin besar pada sektor publik, tentu saja
merupakan kemajuan. Hanya saja globalisasi membawa konsekuensi bagi
kehidupan perempuan. Bagi mereka yang berstatus single, situasi ini memberi
ruang yang selebar-lebarnya untuk mengaktualisasikan diri. Meraih cita, mengukir
prestasi adalah hal utama yang ingin diwujudkan. Ukuran sukses ditandai dengan
87
adanya posisi yang mapan dan prestasi. memiliki gaji yang besar, jaringan kerja
internasional, jam kerja yang semakin padat. Hal ini yang diungkapkan oleh salah
satu dari pengurus PSW yaitu sebagai berikut:
“Namun bagi perempuan berstatus ibu rumah tangga. Kecenderungan untuk
eksis di sektor publik, menjadi semacam dilema. Terkait dengan posisi
mereka sebagai istri dan ibu dalam rumah tangga. Posisi ini mengharuskan
mereka untuk berperan di sektor domestik, sementara mereka umumnya
bekerja dan berkarier di sektor publik. Menjaga keseimbangan antara sektor
domestik dan publik menjadi sulit, manakala globalisasi menggiring mereka
semakin eksis di sektor publik. Kekhawatiran yang muncul jika perempuan
bekerja di luar rumah akan menyebabkan pendidikan anak terabaikan dan itu
bisa berimplikasi kepada kemerosotan moral karena keluarga adalah wadah
pembinaan inti masyarakat, seharusnya tidak perlu terjadi jika masyarakat
memahami bahwa dalam kehidupan rumah tangga peran yang dijalankan pria
dan wanita bukanlah bernuansa dikotomis atau bahkan kontradiktif. Akan ada
tantangan dan hambatan bagi perempuan yang berkarier, di mana skala
prioritas harus jelas bagi perempuan yang mempunyai pekerjaan di publik,
setiap perempuan yang berkarya, orang mempunyai kreativitas dalam
masyarakat mereka betul-betul harus bisa mengagendakan jadwal-jadwal
mereka. Kalau mereka mampu mengagendakan dengan baik tidak menjadi
persoalan bagi perempuan itu sendiri. Jadi agenda dan waktu itu harus ada
komunikasi antara kedua belah pihak yang penerima manfaat dan yang
memberi manfaat, agar tidak menjadi kendala.”33
Pada umumnya keterlibatan perempuan pada ranah publik pasti akan
memiliki kendala, seperti membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga.
Pernyataan yang sama diungkapkan oleh akademisi UIN Ar-Raniry seperti yang
di ungkapkan sebelumnya di atas oleh pengurus PSW. Adapun wawancara dengan
akademisi UIN Ar-Raniry tersebut adalah sebagai berikut:
“Tantangan dan hambatan lain dihadapi oleh perempuan yang bekerja, selama
ini bisa kita lihat pada saat membagi waktu terkadang ada prioritas misalkan
ketika anak sakit dan pekerjaan kantor juga tidak dapat ditinggalkan. Pada sisi
itu memang terkadang ada dilematis tapi juga kembali pada kemampuan
perempuan artinya kalau memang urusan pekerjaan publik bisa kita tunda
atau kita tinggalkan sebentar karena anak sakit, jadi yang kita harus
prioritaskan pertama yakni mengurus anak terlebih dahulu, meminta izin pada
33
Hasil wawancara dengan Ibu Mubtasyirah, sebagai pengurus PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 15 Desember 2017.
88
atasan artinya tidak boleh adanya yang kita korbankan tapi kedua-duanya bisa
kita jalankan dengan baik, dengan komunikasi yang baik dan melihat mana
skala prioritas mana yang harus kita utamakan terlebih dahulu.”34
Suasana kebersamaan dalam membangun dan menciptakan rumah tangga
yang sakinah mawaddah warahmah tidak menjadi tanggung jawab kaum laki-laki
saja. Akan tetapi menjadi tanggungan laki-laki dan perempuan, keduanya
mempunyai peran dan fungsi yang sama dan setara. Bahkan Al-Quran
menegaskan bahwa keduanya harus terjalin kerja sama dan saling bantu
membantu. Adanya saling kerja sama dengan suami dalam hal mengurus rumah
tangga. Adanya keterbukaan atau komunikasi antara istri dan suami.35
Perempuan, meski punya kesempatan yang sama untuk bekerja, dan
berkontribusi secara finansial terhadap keluarga, tetap saja dihadapkan pada
pilihan terkait peran gandanya. Perempuan bekerja tetap dihadapkan pada
tantangan besar yakni membagi waktu dan perhatian antara pekerjaan dan
keluarga.
Selain itu, di dalam lingkungan bekerja, kesetaraan dan keadilan gender
belum sepenuhnya terlaksana. Kesetaraan dan keadilan gender bukan semata
memberikan kesempatan pada perempuan untuk berkiprah di ranah publik, atau
mendapatkan kesempatan seperti pembinaan atau pemberdayaan. Dalam konteks
perempuan bekerja, kesetaraan dan keadilan gender juga bermakna terciptanya
suasana kerja dinamis dan kompetitif bagi perempuan bekerja. Dengan tetap
34
Hasil wawancara dengan Ibu Ernita Dewi, sebagai akademisi UIN Ar-Raniry pada
tanggal 22 Desember 2017. 35
Hasil wawancara dengan Ibu Rasyidah, sebagai ketua PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 21 November 2017.
89
menawarkan kemudahan pada perempuan bekerja agar mereka mampu
mengaktualisasikan diri dan mencapai tujuan profesionalnya.
Cara memaksimalkan peran ketika perempuan bekerja di domestik dan
publik:
1. Keikhlasan dalam bekerja yakni ikhlas di dalam batin, karena tidak ikhlas
akan pasti akan merasa tidak senang dan terpaksa ketika melakukan
pekerjaan. Akhirnya terjadi kemarahan terhadap suami ataupun terhadap
anak. tantangan tersebut akan menjadi suatu hambatan dalam pekerjaan
jika tidak dicintai dan dijalani dengan sepenuh hati.
2. Secara naluri ibu dengan keluarga khususnya nak mempunyai keterikatan
yang sangat luar biasa. Seorang ibu tidak mungkin mengabaikan anak-
anaknya untuk bebas begitu saja
3. Paham manajemen yang sangat penting yaitu manajemen waktu, bisa
mengatur waktu dengan baik. Wanita cerdas adalah wanita yang bisa
membagi waktunya dengan baik. Segala sesuatunya tidak mudah, jadi
jangan menyerah dan harus memberikan pengertian kepada suami dan
anak-anak agar bisa memahami pekerjaan yang di jalani.36
Bagaimana yang diungkapkan kembali oleh anggota PSW sebagai berikut:
“Orang yang bekerja biasanya memiliki manajemen waktu yang lebih baik,
karena ada batasan waktu dalam dunia pekerjaan yang harus dipatuhi.
Seorang workingmom harus mampu menghitung dengan baik waktu yang
mereka miliki di rumah setiap harinya dimulai sejak bangun tidur. Jika jarak
dari rumah ke kantor menghabiskan waktu sekitar satu jam, maka dirinya
juga harus bisa juga menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
mengurus rumah di pagi hari. Membuat segala persiapan di pagi hari menjadi
36
Hasil wawancara dengan Ibu Ade Irma, sebagai anggota PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 10 November 2017.
90
lebih ringkas. Di akhir Minggu misalnya, buatlah beberapa jenis makanan
yang bisa di simpan di dalam lemari pembeku, sehingga saat akan disajikan
tinggal dipanaskan saja, dan sudah mempersiapkan kebutuhan keluarga untuk
beberapa hari ke depan.37
Sudah saatnya pekerjaan domestik dilakukan
bersama-sama, seorang suami harus ikut membantu, atur kesepahaman,
adanya komunikasi dan negosiasi peran antara suami dan istri agar bisa
membantu dalam ranah domestik.38
Seperti halnya dengan pendapat di atas, ungkapan yang sama juga
diungkapkan oleh mantan ketua PSW adalah sebagai berikut:
“Sebagai perempuan yang memainkan peran ganda (Double Garden) pasti
akan mempunyai tantangan, tantangan itu berupa berkurangnya waktu untuk
keluarga dan membagi waktu antara pekerjaan domestik dan publik. Ibu
Soraya Devi selaku mantan ketua PSW mengatakan bahwa “terikat dengan
jam kerja kantor setiap harinya membuat waktu menjadi permasalahan yang
cukup besar bagi para ibu yang bekerja, kalau saya sendiri adanya manajemen
waktu, komunikasi bersama suami, mengajak suami ikut membantu dan turut
andil dalam pekerjaan domestik.”39
Adapun pernyataan lain dari akademisi UIN Ar-Raniry, wawancara dengan
akademisi tersebut adalah sebagai berikut:
“tergantung pada kemampuan seorang perempuan dalam memanajemen
waktu, bahwa mempunyai keluarga di rumah harus mengurus suami dan
anak. Bagaimana kita membagi, misalnya waktu kerja kita sebelum kita kerja
menyiapkan sarapan terlebih dulu. Setelah itu sama-sama berangkat kerja
bersama-sama. Kalau saya melihat suami-suami yang istrinya bekerja
biasanya memiliki pemahaman yang bagus tidak memaksa istrinya harus
memasak. Berkomunikasi baik dengan keluarga di samping itu kalau kita
mempunyai waktu di malam hari kita bisa mengerjakan pekerjaan kantor
yang tertunda. Dan itu sebenarnya adalah kemampuan dari perempuan, dan
sejauh yang saya tahu tidak ada pertentangan waktu antara domestik dan
publik tapi yang pasti adalah kemampuan perempuan itu untuk bisa membagi
waktu. Dan saling pengertian antara suami dan istri, suami harus mendukung
karier istri dan istri juga harus mendukung karier suami. Di dalam domestik
37
Hasil wawancara dengan Ibu Ade Irma, sebagai anggota PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 10 November 2017. 38
Hasil wawancara dengan Ibu Ade Irma, sebagai anggota PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 10 November 2017. 39
Hasil wawancara dengan Ibu Soraya Devi, mantan ketua PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 25 Oktober 2017.
91
harus juga seperti itu, jadi harus saling pengertian kalau istrinya tidak
memasak suaminya ya harus mau kalau membeli makanan.”40
Selanjutnya juga diungkapkan oleh salah satu pengurus PSW adalah sebagai
berikut:
“Sebenarnya adanya kerja sama yang baik dalam keluarga (domestik). Ketika
ingin memasak, sebagai seorang suami juga harus membantu istrinya, tidak
hanya menjadi tanggung jawab perempuan saja tetapi melakukan pekerjaan
domestik dengan bersama-sama. Cara ketika kita ingin mengajak suami ikut
andil dalam ranah domestik, adanya faktor kebiasaan keluarga dari awal,
adanya negosiasi. Faktor pembinaan dari keluarga itu kita harus di
perkenalkan untuk mendapatkan nilai-nilai yang baik, nilai-nilai yang baik itu
tidak hanya di luar rumah saja akan tetapi di dalam rumah (domestik) juga,
saling membantu antara istri dan suami merupakan suatu ibadah, ketika
keduanya melakukan bersama-sama. Kerja sama yang baik, relasi yang baik
di dalam keluarga itu sungguh-sungguh nyaman untuk setara dan adil.”41
Seperti yang telah diungkapkan di atas oleh pengurus PSW, ada sedikit
perbedaan antara apa yang diungkapkan oleh akademisi UIN Ar-Raniry. Adapun
wawancaranya sebagai berikut:
“Menurut saya yang penting terlebih dahulu adalah sebelum kita menikah
memiliki visi yang sama jadi artinya ketika kita seorang aktivis misalnya kita
juga mencari suami yang memiliki latar belakang aktivis supaya dia mengerti
tugas-tugas kita tapi kalau kita tidak dapat yang seperti itu paling kurang kita
bisa berkomunikasi dengan suamu artinya membangun komunikasi yang baik
supaya dia bisa membuka diri untuk menerima kita karena kita adalah
seorang pekerja di samping kita adalah ibu rumah tangga, suami harus bisa
terima. Saya pikir kita bangun dengan komunikasi. Dan yang terpenting
adalah pembangunan visi misi dari awal sebelum menikah. Adanya konsep
keluarga yang saling pengertian, saling membantu tidak saling menganggap
yang lain lebih rendah tetapi sistem (eqqualiti) persamaan, suami istri adalah
sama akan tetapi fungsi dari keduanya yang berbeda akan tetapi perempuan
dan laki-laki itu sama, saling bekerja sama antara suami dan istri, tidak boleh
adanya saling merendahkan satu sama yang lain.”42
40
Hasil wawancara dengan Ibu Ernita Dewi, sebagai akademisi UIN Ar-Raniry pada
tanggal 22 Desember 2017. 41
Hasil wawancara dengan Ibu Mubtasyirah, sebagai pengurus PSW UIN Ar-Raniry pada
tanggal 15 Desember 2017. 42
Hasil wawancara dengan Ibu Ernita Dewi, sebagai akademisi UIN Ar-Raniry pada
tanggal 22 Desember 2017.
92
Bila dicermati dengan seksama maka pendapat-pendapat tersebut dapat
digolongkan kepada paham fungsionalistik, yang mengutamakan keseimbangan,
keharmonisan dan kestabilan, karena itu agar tidak terjadi konflik dalam keluarga
akibat persaingan karier (suami dan istri) dan terabainya pekerjaan domestik.
Maka harus ada pembagian tugas yang sedemikian rupa yang menempatkan suami
dalam fungsi instrumental dan istri dalam fungsi ekspresif. Karena budaya kita
sekarang pekerjaan rumah tangga merupakan pekerjaan perempuan saja. Agar
pekerjaan rumah tangga dapat dijalankan bersama, tidak hanya perempuan saja
yang harus mengurus ranah domestik, akan tetapi harus adanya kerja sama dalam
pekerjaan rumah tangga.
D. Alasan Argumentasi Yang Melatar Belakangi Pemikiran Aktifis Pusat
Studi Wanita UIN Ar-Raniry
Latar belakang adanya argumen dari para aktifis PSW adalah terhadap
pemahaman ajaran-ajaran agama dan ajaran budaya yang sudah dijadikan doktrin
pada sekarang ini. Mengatakan bahwa perempuan hanya melakukan pekerjaan
dalam ranah domestik saja, tidak harus mengerjakan pekerjaan publik seperti
halnya laki-laki. Kaum perempuan sering kali dihadapkan pada tantangan budaya
maupun nilai-nilai agama yang menghambat gerak dan dinamika mereka.
Variabel pertama berasal dari pemahaman terhadap nilai-nilai ajaran agama
Islam. Pemahaman semacam ini disebut fiqh, yang sifatnya temporal dan
kontekstual. Karena sifatnya yang demikian, fiqh sangat berpotensi untuk diubah,
ditinjau kembali, bahkan disuaikan dengan konteks yang berbeda. Adapun
variabel kedua adalah yang bersifat universal, eternal (abadi), dan tidak bisa
93
diubah. Itu disebut syariat yang merupakan hal-hal pokok dengan dalil-dalil yang
tegas dalam Al-Quran dan Hadis.
Jadi, jika selama ini terdapat berbagai keluhan bahwa terdapat nilai-nilai
agama (Islam) yang menghambat perempuan dalam menikmati pemenuhan hak-
hak sipilnya, pastilah terletak pada bagian pertama, yakni variabel fiqh yang
merupakan pemahaman manusia dalam konteks zamannya.
Ketika besarnya peran yang diemban perempuan dalam pekerjaan di sektor
publik tidak bisa lepas dari faktor kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat.
Perempuan dalam panggung sejarah manusia, selalu diposisikan minor dan
dipandang negatif oleh struktur budaya, praktek, dan peradaban. Hanya sedikit
masyarakat yang memberikan ruang yang baik bagi perempuan. Dominasi laki-
laki terhadap perempuan adalah realitas yang hidup dalam hampir setiap elemen
masyarakat.
Perempuan oleh laki-laki didefinisikan sebagai makhluk yang lemah baik
secara fisik maupun psikis. Definisi itu kemudian diwariskan secara turun-
temurun pada anak cucu. Hal inilah yang memberikan pelabelan dan perlakuan
yang khusus bagi perempuan, yang biasanya lebih banyak membatasi dan
merugikan perempuan. Citra perempuan, dengan berbagai aspek negatifnya,
akhirnya mengalir dengan begitu saja sejalan dengan sejarah manusia dan
kemanusiaan itu sendiri. Memahami masih kuatnya pandangan tradisional bahwa
“laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan”.
94
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Menurut aktifis Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Ar-Raniry, perempuan
dalam masyarakat di Aceh pada saat ini sangat berperan dalam kehidupan
masyarakat. Bahkan perempuan dan laki-laki dalam masyarakat di Aceh
mempunyai peran dan hak yang sama. Menurut aktifis PSW UIN Ar-
Raniry, peran perempuan sebenarnya tidak hanya terbatas pada ranah
domestik saja, ketika perempuan ikut andil dalam ranah publik, perempuan
bermaksud untuk membantu perekonomian rumah tangga. Perempuan di
Aceh sudah banyak berkiprah dalam ranah publik, tetapi perempuan masih
dianggap sebagai second bukan orang yang utama.
2. Salah satu strategi kebijakan yang ditempuh untuk memenuhi kebutuhan
praktis dan strategis perempuan adalah melalui Program Pengarus utama
Gender/PUG(Gender Mainstreaming). Adapun kegiatan PSW UIN Ar-
Raniry telah melaksanakan berbagai program dalam bidang kesetaraan
gender, seperti workshop, training, capacity building, penelitian, baseline
studies dan penulisan buku. Ada beberapa program yang dilakukan sangat
mendasar yaitu membuat perspektif gender kepada dosen-dosen di UIN
dari mata kuliah, mengumpulkan dosen-dosen perempuan dan
menanyakan permasalahan yang terjadi pada mereka. Dan melatih dosen-
dosen untuk harus pengarus utama gender.
95
3. Sebagai perempuan yang memainkan peran ganda (Double Garden) pasti
akan mempunyai tantangan dan hambatan, tantangan itu berupa
berkurangnya waktu untuk keluarga dan membagi waktu antara pekerjaan
domestik dan publik.
2. Saran
1. Perempuan seharusnya tidak hanya berperan di ranah domestik saja, tetapi
perempuan juga bisa memaikan perannya di ranah publik. Tetapi
perempuan juga harus selalu mengingat kodratnya sebagai wanita dan ibu
yang bertanggungjawab pada suami dan anak-anaknya.
2. Sebaiknya program dan kegiatan PSW tidak hanya sekedar memberikan
teori dan membuat hasil penelitian, tetapi juga langsung terjun ke lapangan
untuk melihat dan menyelesaikan serta memberikan solusi terhadap
permasalahan-permasalahan perempuan yang ada di Aceh.
3. Sebagai perempuan yang memiliki peran ganda, seharusnya perempuan
bisa mengatur waktu antara keluarga dan pekerjaan.
96
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ahdiah Indah, Peran-Peran Perempuan Dalam Masyarakat, dalam Jurnal
Academica Fisip Untad Vol.05, Nomor 2, 2013.
Ahmadi Abu, Sosiologi Pendidikan: Membahas Gejala Pendidikan Dalam
Konteks Struktur Sosial Masyarakat, Surabaya: Bina Ilmu, 1982.
Amirullah Syarbani, Islam Agama Ramah Perempuan, (memahami tafsir agama
dengan perspektif keadilan gender), Jakarta: Prima Pustaka, 2013.
Azwar Saifudin, Metodelogi Penelitian, Yogyakarta: Pusaka Pelajar Offset, 1998.
Dyah Putranti Basilica dan Asnath Niwa Natar (ed), Perempuan, Konflik dan
Rekonsiliasi, cet. I Yogyakarta: Pusat Studi Feminis Universitas Kristen
Duta Wacana, 2004.
Dewi Ernita, Kesetaraan Gender Dalam Islam: Sudut Pandang Al-Quran Dan
Hadis, dalam Jurnal Substantia, Vol. 16, Nomor 2, 2014.
Dewi Ernita, Pemikiran Amina Wadud Tentang Rekonstruksi Penafsiran Berbasis
Metode Hermeneutika, dalam Jurnal Substantia Vol. 15, Nomor 2, 2013.
Huda Jumatil, Peran Wanita Dalam Ranah Domestik dan Publik Dalam
Pandangan Islam, (Studi Pandangan Aktivis PSW UIN-Yogyakarta dan
Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia), Tesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2015.
Hasanah Uswatun, Perempuan Dan Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hukum
Islam, dalam Jurnal Perempuan dan HAM dalam Perspektif Hukum Islam
Nomor 4, 2010.
Keraf Goris, Komposisi, cet. Ke-9, Flores: Nusa Indah, 1993.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Mulia Musdah Siti dan Farida Anik, Perempuan dan Politik, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2005.
Mas’udi Masdar F., Islam & Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dialog Fiqih
Perempuan, Bandung: Mizan, 1996.
Mulia Musdah, Indahnya Islam (Menyuarakan Kesetaraan & Keadilan Gender),
Yogyakarta: SM & Naufan Pustaka, 2014.
Putry Raihan, Manifestasi Kesetaraan Gender Di Perguruan Tinggi dalam Jurnal Edukasi
Vol, 2 Nomor 2, 2006,
97
Sufi Rusdi, Ibrahim Muhammad, Thamrin Z, dkk, Aceh Tanah Rencong, cet I
Yogyakarta: Multi Media Press, 2008.
Sugiono, Metode Penelitian Bisnis, Bandung: Alfabeta, 2008.
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta,
2009.
Subhan Zaitunah, Kodrat Perempuan: Takdir atau Mitos?, Yogyakarta: LKiS
Pelangi Aksara, 2004.
Srimulyani Eka, Perempuan Dalam Masyarakat Aceh: Memahami Beberapa
Persoalan Kekinian Darussalam, Banda Aceh: Logica-Arti, 2009.
Tanjung Nur Bahdin, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Jakarta: Kencana
Predana Media Grup, 2005.
Umar Muhammad, Peradaban Aceh Kilasan Sejarah Aceh dan Adat, Banda
Aceh: Yayasan Busafat, 2006.
Umar Nasaruddin , Kodrat Perempuan dalam Islam, Jakarta: Lembaga Kajian
Agama dan Gender, 1999.
Ziyadah Muhammad Asma’ Peran Politik Wanita (Dalam Sejarah Islam), Terj.
Kathur Suhardi, cet. I, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
Weblog
file:///H:/tokoh-tokoh wacana perempuan/PEMIKIRAN MODERN RIFFAT
HASAN.htm,
diakeses April 2012.
file:///H:/toko-tokoh wacana perempuan/Riffat Hassan dan Wacana Baru
Penafsiran (PDFDownloadAvailable).htm, diakses Maret 2018.
Http://Jurnalpamel’s. blog.html/Metode Penelitian Gender Amina Wadud (Inside
the Gender Jihad). Diakses September 2013.
file:///G:/teoriaminawadud/Nur Mukhlish Z Pemikiran Fatima Mernissi. Diakses
Februari 2012.
file:///H:/teori amina wadud/Langkah Bahru_Fatimah Mernissi.html, diakses Mei
2015.
96
Membangun Komunitas Berkesadaran Gender, psw-arraniry.blogspot.co.id
diakses 28 Juli 2008.
file:///G:/sejarahPSW/SejarahProdiKajianGender.htm
Humas.unimed.ac.id/psgpa-pusat-studi-gender-dan-perlindungan-anak/diakses l
file:///G:/PSWUINACEH/PSW UIN Gelar Cerdas Cermat Pola Asuh Anak_ar-
raniry.ac.id.html diakses Juni 2015.
file:///G:/PSWUINACEH/PSW Launching Buku Kiprah Perempuan Eks
Kombatan-SerambiIndonesia.html diakses Juli 2017.
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : SK Pembimbing Skripsi
Lampiran II : Surat pengantar penelitian
Lampiran III : Surat izin telah melakukan penelitian
Lampiran IV : Instrumen wawancara
Lampiran V : Daftar nama wawancara
Lampiran VI : Dokumentasi
Lampiran IV:
INSTRUMEN WAWANCARA
1. Bagaimana latar belakang berdirinya PSW?
2. Di bawah naungan siapa PSW berdiri?
3. Tujuan didirikannya aktivis PSW bagi masyarakat?
4. Bagaimana pandangan ibu mengenai peran perempuan masyarakat
khususnya di Aceh?
5. Bagaimana pandangan ibu tentang perempuan dalam ranah politik?
6. Bagaimana cara ibu memaksimalkan peran ganda yaitu domestik dan
publik?
7. Apakah peran perempuan hanya terbatas dalam ruang domestik atau
perempuan harus mampu memainkan dua perannya?
8. Apa alasan perempuan untuk harus bekerja di ranah publik?
9. Apa sebenarnya tantangan/hambatan perempuan yang bekerja?
10. Bagaimana caranya agar laki-laki atau suami ikut membantu dalam tugas-
tugas rumah tangga yang ada?
Lampiran V:
DAFTAR NAMA TERWAWANCARA
NO. NAMA KETERANGAN
1. Dra. Soraya Devi, M. Ag Ketua Pusat Studi Wanita UIN Ar-RAniry
periode 2006-2010
2. Rasyidah, M. Ag Ketua Pusat Studi Wanita UIN Ar-Raniry
3. Ade Irma B.H.Sc., MA Anggota
4. Dra. Mustabsyirah, M.Ag Pengurus Divisi Pengabdian Masyarakat
5. Ernita Dewi, S. Ag
M.Hum
Akademisi UIN Ar-Raniry
Lampiran VI:
DOKUMENTASI
Gambar 1: Wawancara bersama ibu Rasyidah sebagai ketua Pusat Studi
Wanita (PSW)
Gambar 2: Wawancara bersama ibu Ade Irma sebagai anggota Pusat Studi
Wanita (PSW)
Gambar 3: Wawancara bersama ibu Ernita Dewi sebagai Akademisi UIN
Ar-Raniry
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. Identitas Diri :
Nama : Siti Aisyah
Tempat/Tgl Lahir : Banda Aceh/16 Agustus 1995
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan/Nim : Mahasiswi/311303511
Agama : Islam
Kebangsaan/suku : Indonesia/Aceh
Status : Belum Kawin
Alamat : Gp. Tanjong Kec. Ingin Jaya Kab. Aceh Besar
2. Otang Tua/Wali :
Nama Ayah : Mahyuddin
Pekerjaan : -
Nama Ibu : Lainian, S.pd
Pekerjaan : PNS
3. Riwayat Pendidikan :
a. SDN 42 Banda Aceh Tahun Lulus 2007
b. MTsN 2 Banda Aceh Tahun Lulus 2010
c. MAS Darussyari’ah Banda Aceh Tahun Lulus 2013
d. UIN Ar-Raniry Banda Aceh Tahun Lulus 2018
4. Pengalaman Organisasi :
a. HMI (Himpunan Mahasiswa Islam)
Banda Aceh, 27 Desember 2017
Siti Aisyah
NIM: 311303511