Peran Konseling Lintas Budaya Dalam Konflik Suami Istri Di...
Transcript of Peran Konseling Lintas Budaya Dalam Konflik Suami Istri Di...
i
Peran Konseling Lintas Budaya Dalam Konflik Suami Istri Di GPIB Jemaat
Tamansari Salatiga
Oleh:
SANTI ERLANDA MAGDALENA LETELAY
712012095
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana
Sains Teologi
(S.Si-Teol)
Program Studi Teologi
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Peran Konseling Lintas Budaya Dalam Konflik Suami Istri Di GPIB Jemaat
Tamansari Salatiga
oleh:
SANTI ERLANDA MAGDALENA LETELAY
712012095
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana
Sains Teologi
(S.Si-Teol)
Disetujui oleh,
Pembimbing I Pembimbing II
Pdt. Dr. Jacob Daan Engel, M.Si Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo
Diketahui oleh, Disahkan oleh,
Ketua Program Studi Dekan
Pdt. Izak Y.M. Lattu, Ph.D Pdt. Dr. Retnowati, M.Si
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2017
iii
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Santi Erlanda Magdalena Letelay
NIM : 712012095 Email : [email protected]
Fakultas : Teologi Program Studi : Teologi
Judul tugas akhir : Peran Konseling Lintas Budaya Dalam Konflik Suami Istri
Di GPIB Jemaat Tamansari Salatiga
Pembimbing : 1. Pdt. Dr. Jacob Daan Engel, M.Si
2. Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Hasil karya yang saya serahkan ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar kesarjanaan baik di Universitas Kristen Satya Wacana maupun di
institusi pendidikan lainnya.
2. Hasil karya saya ini bukan saduran/terjemahan melainkan merupakan gagasan,
rumusan, dan hasil pelaksanaan penelitian/implementasi saya sendiri, tanpa bantuan
pihak lain, kecuali arahan pembimbing akademik dan narasumber penelitian.
3. Hasil karya saya ini merupakan hasil revisi terakhir setelah diujikan yang telah
diketahui dan disetujui oleh pembimbing.
4. Dalam karya saya ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali yang digunakan sebagai acuan dalam naskah
dengan menyebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terbukti ada
penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya bersedia menerima
sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya saya ini,
serta sanksi lain yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Kristen Satya
Wacana.
Salatiga, 31 Januari 2017
Santi Erlanda Magdalena Letelay
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Santi Erlanda Magdalena Letelay
NIM : 712012095 Email: [email protected]
Fakultas : Teologi Program Studi: Teologi
Judul tugas akhir : Peran Konseling Lintas Budaya Dalam Konflik Suami Istri Di
GPIB Jemaat Tamansari Salatiga
Dengan ini saya menyerahkan hak non-eksklusif* kepada Perpustakaan Universitas –
Universitas Kristen Satya Wacana untuk menyimpan, mengatur akses serta melakukan
pengelolaan terhadap karya saya ini dengan mengacu pada ketentuan akses tugas akhir
elektronik sebagai berikut (beri tanda pada kotak yang sesuai):
a. Saya mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori
PerpustakaanUniversitas, dan/atau portal GARUDA
b. Saya tidak mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori
Perpustakaan Universitas, dan/atau portal GARUDA**
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Salatiga, 31 Januari 2017
Santi Erlanda Magdalena Letelay
Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II
Pdt. Dr. Jacob Daan Engel, M.Si PPdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo
* Hak yang tidak terbatashanya bagi satu pihak saja. Pengajar, peneliti, dan mahasiswa yang
menyerahkan hak non-ekslusif kepada Repositori Perpustakaan Universitas saat mengumpulkan hasil
karya mereka masih memiliki hak copyright atas karya tersebut.
** Hanya akan menampilkan halaman judul dan abstrak. Pilihan ini harus dilampiri dengan penjelasan/ alasan
tertulis dari pembimbing TA dan diketahui oleh pimpinan fakultas (dekan/kaprodi).
v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang
bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Santi Erlanda Magdalena Letelay
NIM : 712012095
Program Studi : Teologi
Fakultas : Teologi
Jenis Karya : Jurnal
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
UKSW hak bebas royalti non-eksklusif (non-exclusive royalty free right) atas
karya ilmiah saya berjudul:
Peran Konseling Lintas Budaya Dalam Konflik Suami Istri Di GPIB Jemaat
Tamansari Salatiga
beserta perangkat yang ada (jika perlu).
Dengan hak bebas royalti non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan,
mengalihmedia/mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data,
merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis/pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Salatiga
Pada tanggal: 31 Januari 2017
Yang menyatakan,
Santi Erlanda Magdalena Letelay
Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II
Pdt. Dr. Jacob Daan Engel, M.Si Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena
atas berkat, kasih dan anugerah-Nya yang begitu melimpah dalam kehidupan
penulis. Secara khusus, penulis mengucapkan syukur karena tuntunan dan
penyertaanNya yang tidak pernah berhenti bagi penulis selama penulis menjalani
masa pendidikan di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW)
hingga pada akhirnya penulis mampu menyelesaikan perkuliahan dan Tugas
Akhir dengan baik.
Tugas Akhir ini ditulis untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk
mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si.Teol). Tugas Akhir ini
disusun dengan harapan karya tulis ini dapat membantu warga Gereja dan bagi
warga jemaat GPIB Tamansari Salatiga secara khusus yang mana menjadi tempat
penelitian penulis, untuk lebih memahami tentang konseling lintas budaya dan
mengaplikasikan teori konseling lintas budaya dalam penerapan pada pelayanan
khususnya di bidang konseling dengan sebagaimana mestinya sehingga tidak
terjadi bias dalam proses konseling. Penulis juga berharap tugas akhir ini dapat
berguna di kemudian hari guna referensi atau sekedar menambah pengetahuan
bagi warga jemaat dan pekerja gereja dalam memperlakukan dan memahami
peran konseling lintas budaya. Dalam seluruh rangkaian tulisan ini, penulis
menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan sehingga diperlukan kritik
dan saran agar tulisan ini juga dapat terus dikembangkan menjadi lebih baik.
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................. ii
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ................................................... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ........................................ iv
PERNYATAAN BEBAS ROYALTI DAN PUBLIKASI .................. v
KATA PENGANTAR ........................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................... vii
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................ ix
MOTTO ................................................................................................. xiii
ABSTRAK ............................................................................................. xiv
1. Pendahuluan ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
2. Konseling Lintas Budaya ................................................................. 6
2.1 Definisi Konseling Lintas Budaya ............................................ 7
2.2 Identifikasi hubungan Konselor dan Konseli ......................... 8
2.3 Bias dalam konseling lintas budaya ...........................................9
2.4 Pendekatan perilaku dalam konseling lintas budaya ..............11
2.5 Sensitifitas budaya dalam konseling lintas budaya .................12
2.6 Pengertian, Fungsi, Bentuk dan Peran Keluarga ....................13
2.7 Konseling Lintas Budaya dalam Konflik Suami Istri .............14
viii
3. Peran Konseling Lintas Budaya dalam Konflik Suami Istri ...... 15
3.1 Gambaran Umum Tempat Penelitian ..................................... 15
3.2 Konflik Suami Istri Bernuansa Budaya ................................. 17
3.3 Pandangan Pendeta Mengenai Peran Konseling .................... 19
3.4 Pandangan Warga Jemaat Mengenai Peran Konseling ........ 23
4.Kesimpulan .........................................................................................24
Daftar Pustaka ...................................................................................... 25
ix
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam proses penulisan Tugas Akhir ini penulis banyak mendapatkan
bantuan baik dalam bentuk kritik, saran serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Tuhan Yesus Kristus yang oleh karena kasih dan kemurahan cintaNya
yang selalu menolong penulis dalam menjalani studi di Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana.
2. Kepada kedua Orang Tua terhebat yang sangat penulis cintai dan kasihi
dengan segenap hati. Papa dan Mama terima kasih untuk semua doa,
nasehat dan dukungan dalam setiap suka maupun duka, terima kasih untuk
semua usaha dan kerja keras dari papa dan mama. Anty paling sayang
papa dan mama. Doa minta TeteManis kasih umur panjang buat papa dan
mama sampe Anty pakai Toga di Mimbar.
3. Kepada anak Tercinta Simon Hentje Letelay (Anangku) yang selalu jadi
semangat hidup penulis selama menjalani perjalanan yang panjang di
tempat perkuliahan. Cinta untuk Anang seluas dan sebanyak semua jumlah
butiran pasir di seluruh muka bumi.
4. Semua keluarga besar, Alm. Tete S.H dan Nene Mia, semua yang dari
Amaya, Alm.A.D.Umkeketony, Alm. Simon Petrus Umkeketony. Nene
Gonda Umkeketony, Mama Novi Umkeketony, Bapa Tom Kunu, , Kaka
Inay, Kaka Oyang, Kaka Nyong, Ade Rudi, Ade Kenna, Ade Koti yang
setia menjadi pengawal dan kadang jadi malaikat tak bersayap bagi
penulis, Ade Indari, Ade Dinda, Ade Elisa, Ade Kunu, Ade Olin, Ade
Bitha yang selalu ada saat suka dan duka dalam rentan waktu serta jarak
yang berbeda.
5. Pdt. Dr. Jacob Daan Engel dan Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo yang
telah menjadi dosen pembimbing penulis selama masa penulisan Tugas
Akhir ini. Terima kasih atas waktu, motivasi, saran dan kritik yang
diberikan kepada penulis. Mohon maaf jika ada perilaku yang kurang
berkenan selama masa bimbingan, teriring doa Tuhan Yesus Memberkati.
x
6. Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo selaku dosen wali penulis. Terima
kasih untuk segala perhatian, dukungan dan motivasi yang diberikan
selama masa perkuliahan hingga penulis mampu untuk menyelesaikan
studi.
7. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Teologi. Terima kasih sudah membagi
ilmu pengetahuan kepada penulis, mendukung dan memotivasi penulis
untuk terus belajar agar penulis dapat terus berkembang. Buat Bu Budi
yang selalu setia membantu segala keperluan mahasiswa dan tidak bosan
untuk menerima kami dikantornya terima kasih banyak Bu. Kepada ibu
dekan, terima kasih ibu sudah bersedia menjadi ibu bagi penulis selama
masa perkuliahan di tanah rantau, teriring doa Tuhan Yesus Memberkati
bapak dan ibu beserta keluarga.
8. Lembaga Kemahasiswaan Fakultas Teologi yang sudah memberikan saya
kesempatan untuk mengasah kreatifitas dan mental yang lebih baik untuk
saya gunakan di kehidupan saya kedepan.
9. Jemaat GPIB Tamansari Salatiga, Ibu Pdt. Miss Pelletimu Sono Bogar
yang sangat baik kepad penulis saat proses penelitian tugas akhir, Bapak
Sekretaris Gereja, semua responden. Terima Kasih atas bantuannya bagi
saya selama masa penelitian. Tuhan memberkati kita semua
10. Midel Selanno pacar kini dan terakhir yang selalu setia untuk mendoakan,
memberikan motivasi, mendukung serta menghibur penulis selama masa
studi. Mohon maaf apabila dalam kebersamaan kita ada hal-hal yang
kurang berkenan, karena nona kadang keras kepala. Sukses untuk masa
depannya sayang (masa depan kita) love you.
11. Buat kehadiran Oboss, sukacitaku ,kebahagian serta motivasi yang Tuhan
kasih luar biasa baik dan indah pada waktunya. Mutter Liebst Du
12. Kaka AN Karatem yang tegas dan serius dengan segala yang dia pikirkan
kaka semangaaaatttt, Rafael Stefan Salakory (Reffilinaaa) yang baik hati
dan tidak sombong tapi sampai saat ini masih terus jomblo, Cristo ketua
angkatan terakhir dan seumur hidup para sapi-sapi 2012, Candra,
Hendrick,Icho,Ivan, Endang sayangku semangat dek kamu pasti bisa,
xi
Ivon, Ziel,Mey dan semua teman-teman angkatan 2012 yang penulis
sangat kasihi dalam Tuhan Kita Yesus Kristus karena sudah seharusnya
kita saling mengasihi. Percayalah aku sangat merindukan masa kuliah dulu
bersama kalian. Teologi 2012 SAPIIIIIIIIIIIIII Teologi 2012 bagian dari
warna kehidupanku dulu, kini, dan di masa depan. Terima kasih untuk
kebersamaan kita, untuk perkenalan kita dan untuk suka serta duka yang
telah kita lewati bersama.
13. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada semua orang yang tidak bisa
penulis sebutkan satu demi satu. Terimakasih sudah hadir dan memberi
warna dalam kehidupan penulis. Terimakasih untuk semua orang yang
membantu penulis dalam proses penulisan Tugas akhir ini. Tuhan
memberkati Kalian semua
xii
MOTTo
Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan,
Amsal 1 : 7a
Roma 8:28
Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam
segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi
meeka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang
terpanggil sesuai dengan rencana Allah.
Nyanyian KJ. 40
Ajaib Benar Anugerah pembaruh hidupku! Ku hilang
buta,bercela; olehNya ku sembuh,dst.
Matius 21 : 22
Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh
kepercayaan, kamu akan menerimanya.
1
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan peran konseling lintas budaya dalam menyelesaikan konflik suami
istri. Penelitian ini dimotivasi oleh fakta masalah yang saat ini berkembang di jemaat, yaitu konflik suami istri
yang berbeda latar belakang budaya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Teknik pengumpulan data Wawancara dan observasi. Manfaat dari penelitian ini adalah pertama
secara teoritis guna memahami dan melengkapi penelitian yang terkait dengan pelayanan konseling lintas
budaya pada konteks gereja dalam pengembangan ilmu Konseling. Kedua secara praktis sebagai salah satu
upaya penulis dalam memahami dan memberikan kontribusi pemikiran baru dalam upaya memahami dan
melakukan konseling lintas budaya bagi kehidupan berjemaat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara
teroritis konseling lintas budaya dan konseling pastoral terpisah, namun penelitian ini cenderung menemukan
bahwa konseling lintas budaya dan konseling pastoral sering dianggap berhubungan sehingga mengakibatkan
bias-bias dalam proses konseling karena hanya memperhatikan sisi spiritualnya saja dan mengabaikan sisi
budaya dari konseli. Konseling lintas budaya dipahami sebagai konseling pastoral yang secara umum berperan
untuk menguatkan,membimbing, mendamaikan suami istri yang berkonflik. Saran untuk penelitian lanjutan
dicantumkan.
Kata Kunci: Konseling Lintas Budaya, Konflik Suami Istri.
I. LATAR BELAKANG
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) merupakan salah satu gereja
misioner yang hadir di tengah masyarakat Indonesia.1 Konteks kemiskinan, penderitaan,
kerusakan ekologi, pluralitas religius, krisis sosial tentunya juga menjadi bagian dari
pergumulan gereja GPIB Taman Sari Salatiga sebagai bagian dari gereja-gereja yang hadir di
Indonesia, dan bagian dari masyarakat Indonesia. GPIB Taman Sari Salatiga memiliki jemaat
yang multikultural sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa antara jemaat satu dengan lainnya
memiliki perbedaan yang sangat prinsip, salah satunya adalah budaya. Perbedaan budaya
inilah yang bisa ditemukan pada pasangan suami istri yang juga berbeda latar belakang
budayanya, nilai-nilai, keyakinan, serta perilaku .
Pada konteks tersebut yang menjadi permasalahan yang tidak dapat terhindarkan adalah
sering terjadi kesalahpahaman antara satu dengan yang lainnya.2
Suatu masalah yang
berkaitan dengan lintas budaya, latar belakang yang berbeda-beda ini cenderung melahirkan
konflik-konflik internal yang terjadi dalam jemaat seperti masalah keluarga yaitu konflik
antara suami dan istri atau orangtua dengan anak dan lain sebagainya. Ada berbagai faktor
yang mendasari konflik-konflik tersebut. Latar belakang yang berbeda tentu menjadi faktor
utama konflik.3
Dalam sebuah keluarga pasti memiliki perbedaan-perbedaan tertentu.
Perbedaan tersebut dapat dilihat ketika adanya startifikasi sosial dalam keluarga. Secara
spesifik lintas budaya yang dimaksudkan bukan hanya berfokus pada perbedaan etnis
1 Pokok-pokok Kebijakan Umum Panggilan dan Pengutusan Gereja GPIB Jangka panjang II (2006-2026) hlm.
iv 2 Paul B Pedersen, Counseling Across Cultures (Madrid: Editorial Trotta 1998),4
3 Paul B Pedersen, Counseling Across Cultures (Madrid: Editorial Trotta 1998),5
2
melainkan juga perbedaan usia, perbedaan status sosial antara suami dan istri, perbedaaan
ekonomi atau penghasilan antara suami dan istri.
Faktor-faktor inilah yang sering menjadi penyebab utama konflik antara suami istri
dalam keluarga. Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut para pendeta
hadir sebagai konselor yang bertugas untuk mendampingi keluarga atau jemaat yang
mengalami konflik. Mengingat suami istri yang berkonflik dalam keluarga di satu sisi
mereka adalah makhluk sosial tetapi di sisi lain mereka juga adalah makhluk budaya, oleh
karena itu pendekatan konseling yang digunakan perlu memperhatikan sisi budaya juga.
Konseling dilakukan sebagai contoh salah satu upaya pendekatan para pendeta dengan jemaat
atau keluarga dalam hal ini adalah suami dan istri untuk sebuah pendampingan konseling. 4
Konseling lintas budaya adalah suatu proses konseling antara konselor dan konseli yang
dibentuk oleh latar belakang lingkungan budaya yang berbeda, jenis kelamin, ras, usia,
ekonomi dan sebagainya.5
Fakta di lapangan, konseling yang digunakan di jemaat GPIB Taman sari Salatiga
adalah konseling pastoral. Namun tidak semua konflik suami istri adalah konflik persoalan
spiritual sehingga terjadi benturan-benturan dalam proses konseling, karena konflik pastoral
adalah persoalan spiritual, akibatnya ada kegagalan dalam proses konseling. Oleh karena itu
penulis mau melihat bahwa konselor belum melihat sisi budaya bahwa setiap orang adalah
mahkluk yang berbudaya. Dalam teori Paul B Pedersen yang menemukan bahwa konseling
lintas budaya menjadi salah satu cara pendampingan terhadap jemaat namun temuan fakta di
lapangan menunjukkan bahwa sejauh ini proses konseling yang dilakukan hanya terbatas
pada konseling pastoral dalam mengatasi konflik suami istri.6 Adapun banyak benturan-
benturan antara suami istri yang berkonflik karena penghasilan ekonomi, status sosial, usia
yang berbeda.7 Bahkan ada juga konflik suami istri yang belum terselesaikan.
8
Pada kenyataanya persoalan yang mereka hadapi adalah persoalan yang berhubungan
dengan latar belakang budaya, persepsi, pekerjaan yang berbeda contohnya istri punya
kedudukan, penghasilan lebih besar dari suami.9 Ketika ada perbedaan persepsi, perbedaan
4 Kathryn Geeldard dan David Geldard, Konseling Keluarga:Membangun relasi untuk saling memandirikan
antaranggota keluarga (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2011),361 5
Pedersen,P.B.The culture inclusiveness of counseling, In P.B.Pedersen. J.G.Draguns, W.J.Lonner &
J.E.Trimble(Eds), Counseling across cultures (rev. and expanded ed.), Honolulu: Universitas Press of
Hawai,1981,131. 6 MP,Salatiga,wawancara pada tanggal 17 November 2015, pukul 10.40 WIB
7 FP,Salatiga,wawancara pada tanggal 17 November 2015, pukul 16.00
8 MM,Salatiga,wawancara pada tanggal 17 November 2015, pukul 18.00
9 AS,Salatiga,wawancara pada tanggal 17 November 2015,pukul 19.00
3
pandangan mengenai penghasilan, ekonomi, latar belakang persoalan-persoalan ini
menempatkan kita pada konseling lintas budaya.
Ada banyak benturan dalam proses konseling karena konseling yang dilakukan lebih
dominan pada pastoral yang terlalu menekankan pada spiritualnya saja, contohnya ketika ada
suami atau istri yang mengutarakan persoalan mereka kepada konselor dalam hal ini adalah
pendeta, selalu menghubungkan dengan ayat-ayat Alkitab (Efesus 5 : 25), atau anjuran untuk
saling mengasihi, hanya memberikan kekuatan untuk tetap sabar. Sedangkan persoalan
mereka bukan hanya dapat diselesaikan ketika dikuatkan dengan ayat-ayat Alkitab atau sabar
dan lainnya, sedangkan persoalan mereka di sini adalah perbedaan persepsi, persoalan lintas
budaya bahkan ada yang sampai pada tingkat persoalan yang tidak dapat terselesaikan
sehingga ada istri yang mengambil keputusan untuk meninggalkan suaminya.10
Persoalan-
persoalan seperti inilah harus diselesaikan dengan pendekatan konseling lintas budaya.
Konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara
konselor dan konseli.11
Keterampilan konselor lintas budaya harus selalu mengembangkan
keterampilan untuk berhubungan dengan individu yang berasal dari latar belakang etnis
yang berbeda. Dengan cara banyaknya berlatih untuk berhubungan dengan masyarakat luas,
maka konselor akan mendapatkan keterampilan (perilaku) yang sesuai dengan kebutuhan.
Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai
perbedaan.12
Konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar.
Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya.13
Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan layanan
konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak memberikan layanan
konseling pada klien yang berasal dari Ambon. Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai
yang berlaku secara umum.
Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya
akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal.14
Persamaan
pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melakukan
konseling. Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut Pedersen
10
AJ,Salatiga,wawancara pada tanggal 18 November 2015,pukul 09.00 11
Paul B Pedersen, Counseling Across Cultures (Madrid: Editorial Trotta 1998),8 12
Kathryn Geeldard dan David Geldard, Konseling Keluarga:Membangun relasi untuk saling memandirikan
antaranggota keluarga (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2011),83 13
Paul B Pedersen, Counseling Across Cultures (Madrid: Editorial Trotta 1998),9 14
Paul B Pedersen, Counseling Across Cultures (Madrid: Editorial Trotta 1998), 10
4
(1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu: kompetensi,
pengetahuan dan keterampilan.15
Berdasarkan latar belakang inilah maka penulis memilih
judul:
“Peran Konseling Lintas Budaya dalam Konflik Suami Istri di GPIB Tamansari
Salatiga”
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka masalah pokok
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peran konseling lintas budaya dalam konflik suami istri di GPIB
Tamansari Salatiga?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi Gereja tentang
pemahaman mengenai Konseling Lintas Budaya. Sehingga tujuan dari diadakannya
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan dan menganalisa peran konseling lintas budaya dalam konflik suami
istri di GPIB Tamansari Salatiga.
Manfaat Penelitian
Secara Teoritis
Melalui karya ilmiah yang diharapkan dapat menjadi sumber pustaka yang bermanfaat
bagi kalangan intelektual, para pendeta dan warga gereja.
Secara Praktis
Bagi peneliti sendiri hasil penelitian ini menambah pengetahuan kepada gereja yang
terkait dengan permasalahan keluarga dalam hal ini konflik lintas budaya antara
suami dan istri.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Metode penelitian kualitatif pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu secara sistematis, faktual dan akurat
15
Sumarwiyah, Kompetensi lintas budaya dalam pelayanan konseling,...7
5
mengenai fenomena atau hubungan antara fenomena yang diselidiki.16
Pengumpulan data
bertumpu pada dua sumber yaitu hasil wawancara terkait dengan persoalan penelitian dan
didukung dengan hasil observasi peneliti. Cara pengambilan sampel dengan menggunakan
purposive sampling dan snowball sampling.17
a. Teknik Wawancara
Wawancara adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu. Ini
merupakan proses tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih saling berhadapan secara
fisik. Komunikasi yang dilakukan secara langsung berguna untuk mendapatkan keterangan
atau data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.18
Tipe wawancara bersifat terbuka
dan intens demi memperoleh informasi yang representatif dan valid tentang pokok
penelitian.19
Menggunakan purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan
pertimbangan tertentu untuk memilih informan kunci dalam penelitian ini adalah pendeta
atau konselor dan snowball sampling yang adalah teknik penetuan sampel yang mula-mula
jumlahnya kecil,kemudin membesar. Pertama-tama dipilih satu atau dua keluarga, tetapi
karena dengan dua keluarga ini belum merasa lengkap terhadap data yang diberikan, maka
penulis mencari orang lain yang dipandang lebih tahu dan dapat melengkapi data yang
diberikan dua keluarga sebelumnya.20
Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan
yang akan ditanyakan-mengacu pada perumusan masalah.21
Dalam wawancara ini peneliti
memberikan kebebasan kepada informan (subyek penelitian) dan mendorongnya untuk
berbicara secara luas dan mendalam.
Unit Analisis dan Unit Pengamatan:
Unit Analisis dalam penelitian ini adalah peran konseling lintas budaya dalam konflik
suami istri di GPIB Tamansari Salatiga. Unit pengamatan dalam penelitian ini adalah pendeta
atau konselor dan keluarga-keluarga yang bermasalah.
16
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
2003), 136-137. 17
Sugiono,Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D(Bandung: Penerbit Alfabeta,2016),85 18
Ibid,86 19
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta : Penerbit PT.Gramedia Pustaka
Utama,1997),129 20
Sugiono,Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D(Bandung: Penerbit Alfabeta,2016),87 21
Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif (Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2002), 131
6
Lokasi penelitian adalah wilayah pelayanan GPIB Taman Sari Salatiga. Alasan
penulis memilih GPIB Tamansari Salatiga karena penulis adalah aktivis di jemaat dan juga
menjumpai adanya kesulitan dalam proses konseling.
b. Sistematika Penulisan
Penulisan tugas akhir ini dideskripsikan dalam empat bagian yaitu bagian pertama
yang berisi latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian, serta sistematika penulisan yang menjadi tolak ukur dari penulisan tugas
akhir ini. Pada bagian kedua tentang peran konseling lintas budaya yang meliputi definisi
tentang konseling lintas budaya menurut pemahaman Paul B Pedersen, peran konseling lintas
budaya dalam pelayanan menyelesaikan konflik suami istri. Pada bagian ketiga berisi temuan
hasil penelitian dan pembahasan yang meliputi deskriptif dan analisis peran konseling lintas
budaya dalam konflik suami istri di GPIB Tamansari Salatiga. Bagian keempat tentang
penutup yang meliputi kesimpulan berupa temuan-temuan dari hasil penelitian dan saran
yang berupa kontribusi dan rekomendasi untuk penelitian lanjutan.
II. KONSELING LINTAS BUDAYA
Pada bagian ini membahas tentang definisi konseling lintas budaya, identifikasi
hubungan konselor dan konseli dalam konseling budaya, bias konseling dalam konseling
lintas budaya, pendekatan perilaku dalam konseling lintas budaya, hambatan-hambatan dalam
konseling lintas budaya, sensitivitas budaya dalam konseling lintas budaya, pengertian fungsi
dan bentuk keluarga, konseling lintas budaya dalam konflik suami istri.
A. Defenisi Konseling Lintas Budaya
Konseling lintas budaya adalah suatu proses konseling antara konselor dan konseli yang
dibentuk oleh latar belakang lingkungan budaya yang berbeda, jenis kelamin, ras, usia,
ekonomi dan sebagainya.22
Dalam memahami perbedaan budaya antara konselor dan konseli
ini ada hal yang perlu diperhatikan sebagai acuan dalam proses konseling. Konselor dan
konseli berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam
latar belakang budaya (tempat) klien. Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya
yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) konselor.
22
Pedersen,P.B.The culture inclusiveness of counseling, In P.B.Pedersen. J.G.Draguns, W.J.Lonner &
J.E.Trimble(Eds), Counseling across cultures (rev. and expanded ed.), Honolulu: Universitas Press of
Hawai,1981,131.
7
Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan
konseling di tempat yang berbeda pula. 23
Konseling Lintas Budaya merupakan suatu proses konseling antara konselor dan
konseli dengan latar belakang lingkungan budaya yang berbeda, jenis kelamin, ras, usia,
ekonomi dan sebagainya.24
Perbedaan-perbedaan ini menjadi hal terutama yang harus
diperhatikan untuk menghindari konsekuensi yang mengakibatkan proses konseling tidak
berjalan secara efektif.
Dalam memahami perbedaan budaya antara konselor dan konseli ini ada tiga elemen
yang perlu diperhatikan sebagai acuan dalam proses konseling.25
Pertama, konselor dan
klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar
belakang budaya (tempat) klien. Kedua, konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya
yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) konselor.
Ketiga, konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan
konseling di tempat yang berbeda pula.
B. Identifikasi Hubungan Konselor dan Konseli dalam Konseling Lintas Budaya
Pertama-tama yang perlu diperhatikan sebelum melakukan proses konseling ialah
konselor harus terlebih dahulu mempelajari atau mencari tahu informasi sebanyak mungkin
tentang budaya dari klien.26
Sehingga atas pengetahuan konselor terhadap budaya klien ini
sangat mempermudah konselor untuk memahami klien. Meskipun dalam kenyataannya
budaya bukan hanya sebagai salah satu faktor yang signifikan dapat mempengaruhi proses
konseling. Hal ini dikarenakan adanya faktor-faktor lain yang bisa menyebabkan pengaruh
dalam proses konseling seperti keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur, tempat
tinggal serta variabel status seperti pendidikan, politik dan ekonomi, serta yang penting
adalah agama, adat serta sistem nilai.27
Adapun kriteria seorang konselor dalam konseling lintas budaya yang efektif adalah
konselor mampu memahami nilai-nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan
23
Paul B Pedersen. Counseling Across Cultures. (Madrid: Editorial Trotta, 1998), 10. 24 Dedi Supriadi, Konseling Lintas Budaya Isu-Isu Dan Relevansinya Di Indonesia (Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia, 2001) ,5
25 Paul B Pedersen. Counseling Across Cultures. (Madrid : Editorial Trotta, 1998), 10
26 Paul B.Pedersen. Counseling Across Cultures(Madrid : Editorial Trotta, 1998),128
27 Abu Bakar M.Luddin, Dasar-dasar Konseling : Tinjauan Teori dan Praktik (Bandung: Citapustaka Media
Perintis,2010) 28
8
mengenali bahwa tiap manusia berbeda.28
Menurut penulis dalam melaksanakan konseling
dengan klien, konselor harus sadar penuh terhadap nilai-nilai yang dimilikinya. Konselor
harus sadar bahwa dalam melaksanakan konseling, konselor tidak bisa lepas dari nilai-nilai
yang dibawa dari lingkungan di mana dia berada, juga nilai-nilai yang sesuai dengan tugas
perkembangannya. Pedersen menyatakan bahwa konselor lintas budaya harus mempunyai
kompetensi kesadaran, pengetahuan dan keterampilan.29
Menyadari hal tersebut, konselor
sebaiknya juga menyadari bahwa klien yang dibantunya juga berasal dari latar belakang
budaya yang berbeda dan tentunya akan membawa seperangkat nilai-nilai yang berbeda
pula.30
Kebudayaan sebagai latar belakang kehidupan keluarga tentu sangat mempengaruhi
perkembangan keluarga tersebut.31
Sehingga kompetensi yang dikehendaki untuk menunjang
pelaksanaan konseling lintas budaya dibutuhkan konselor yang mempunyai spesifikasi
tertentu.
C. Bias dalam Konseling Lintas Budaya
Lintas budaya bukan lagi menjadi sesuatu yang baru karena isu-isu tentang antara atau
lintas budaya yang disebut juga multibudaya telah meningkat dalam dekade 1960-an, yang
selanjutnya menjadi dasar kesadaran bangsa Amerika pada dekade 1980-an. Namun, rupanya
kesadaran itu disertai dengan kemunculan kembali sikap-sikap rasialis yang memecah-belah
secara meningkat pula.32
Hal ini menjelaskan pandangan, bahwa dibutuhkan pendekatan baru
untuk kehidupan pada abad-21, baik yang melingkup pendidikan bagi orang biasa maupun
profesional dalam bidang lintas serta keragaman budaya. Pendidikan yang dimaksud
hendaknya menegaskan dimensi-dimensi keragaman dan perbedaan. Dengan kata lain,
kecenderungan pendidikan yang berwawasan lintas budaya sangat dibutuhkan dalam
kehidupan manusia dalam abad 21.
Dengan demikian dalam memasuki situasi konseling, yang menjadi perhatian utama
adalah individu, bukan budayanya; dan oleh karena itu konselor tidak berurusan dengan
28
Arredondo, Patricia., Gonsalves, John. Preparing Culturally Effective Counselors. (The Presonnel and
Guidance Journal. 1980), 6.
29 McRae, Mary., Johnson, Samuel. 1991. Toward Training for Competence in Multicultural Counselor
Education. Journal of Counseling & development. 70 (1): 131
30
McRae, Mary., Johnson, Samuel. 1991. Toward Training for Competence in Multicultural Counselor
Education. Journal of Counseling & development. 70 (1) :135 31
Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, Teori-Teori Kebudayaan(Yogyakarta: Kanisius, 2005), 259
32
Hansen, L. S. Integrative Life Planning; Critical Tasks for Career Development and Changing Life Patterns
(San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1997), 41
9
budaya klien, tidak juga budaya konselor, melainkan dengan individu klien.33
Hal ini
disebabkan karena mereka terlalu percaya pada universalitas dan generalisasi teori-teori dan
prinsip-prinsip konseling yang dapat melintasi batas-batas kultur. Cara pandangan ini sangat
berbahaya bagi proses konseling, karena akan melahirkan konselor yang tidak peka-budaya
(culturally insentive counselor), tidak empatik, dan sangat mungkin untuk memaksakan nilai-
nilai budaya sendiri kepada klien yang dilayaninya.34
Dengan demikian pandangan ini terlalu
menekankan segi etik dalam konseling dan mengabaikan budaya. Namun perlu diingat bahwa
pada sisi lain ada yang terlalu percaya pada keunikan klien dan budayanya yang berbeda satu
sama lain, sehingga mengabaikan adanya kesamaan di antara klien. Tetapi pandangan ini
pun mengandung kelemahan, karena terlalu menekankan segi kebudayaan dan mengabaikan
etika dalam konseling.35
Perlu diperhatikan bahwa dalam proses konseling ada batasan-
batasan etika yang perlu diperhatikan oleh konselor.
Mengingat kembali bahwa konseling lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang
berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, oleh karena itu proses konseling sangat
rawan terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak
berjalan efektif.36
Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan
budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi
diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural.
Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural
encounter) antara konselor dan klien.37
Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika antara
konselor dan klien mempunyai perbedaan dan bagaimana konselor dapat memahami
perbedaan tersebut. Apalagi terutama dalam konteks suami istri pada proses konseling.
Seluruh unsur budaya akan meliputi berbagai konsep dan asosiasi, sikap kepercayaan,
harapan, pendapat, presepsi, stereotipe dan sebagainya.
Adanya keragaman budaya merupakan realitas hidup yang tidak dapat dipungkiri
mempengaruhi perilaku individu dan seluruh aktivitas manusia, yang termasuk di dalamnya
adalah aktivitas konseling.38
Ketika konselor menyadari nilai-nilai yang berlaku secara umum
33
Howard Clinebell,Tipe-tipe Dasar pendampingan dan konseling pastoral: sumber-sumber untuk pelayanan
penyembuhan dan pertumbuhan(Yogyakarta : Kanisius,2002),125 34
Davenport,Donna,Yurich,John.1991.Multicultural Gender Issues.Journal of Counseling & Development. 70
(1) :64-71 35
Davenport,Donna,Yurich,John.1991.Multicultural Gender Issues.Journal of Counseling & Development. 70
(1) : 72 36
Paul B Pedersen, Counseling Across Cultures (Madrid :Editorial Trotta,1998),10 37
Dedi Supriadi, Konseling Lintas Budaya Isu-Isu dan Relevansinya di Indonesia (Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia, 2001),6 38
Koentjaraningrat.Manusia dan Kebudayaan di Indonesia(Jakarta: Penerbit Djambatan, 1988),191
10
yaitu nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat
konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Kebudayaan merupakan
pandangan hidup dari sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai dan
simbol-simbol yang mereka terima tanpa sadar atau tanpa dipikirkan yang semuannya
diwariskan melalui proses komunikasi dan peniruan dari satu generasi kepada generasi
berikutnya.39
Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk
melaksanakan konseling. Maka untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
kaitannya dengan konseling lintas budaya.40
Pertama, latar belakang budaya yang diimiliki
oleh klien, Kedua, asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling,
dan ketiga nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan
hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
D. Pendekatan Perilaku dalam Konseling Lintas Budaya
Dengan dapat dipahami bahwa proses-proses konseling yang demikian akan juga
dilihat dari perilaku. Pendekatan perilaku kognitif yang memungkinkan individu
mengembangkan pola perilaku untuk menangani berbagai masalah.41
Tujuan utama dari
pemecahan masalah adalah menemukan alternatif yang paling efektif untuk menangani
situasi permasalahan dan memberikan latihan yang sistematik tentang keterampilan-
keterampilan kognitif dan perilaku yang dapat membantu klien untuk secara mandiri
menangani situasi permasalahan dalam dunia yang sesungguhnya.42
Konselor pertama-tama berusaha membantu klien mengalihkan perubahan yang telah
diperoleh klien kepada keadaan yang sebenarnya dalam lingkungan sehari-hari (self-
detachment).43
Dalam proses konseling perlu melaksanakan pendekatan perilaku. Suami istri
diajak untuk mengenal lebih dalam perasaan mereka pribadi, merefleksikan setelah itu
meminta untuk mencoba memahami perasaan pasangan mereka atau perasaan anggota
keluarga. Kemudian konselor memberikan kesempatan bagi suami istri untuk
mengekspresikan apa yang mereka rasakan sebagai titik permasalahan dalam keluarga.
39
Alo Liliweri, M.S, Makna Budaya dalam Komunikasi antar Budaya(Yogyakarta: Lkis,2002), 8 40
Yeo Anthony.Konseling: Suatu Pendekatan Pemecahan-Masalah(Jakarta: GunungMulia,2007),89 41
A.B.M.Luddin.Dasar-dasar konseling : Tinjaun Teori dan Praktik (Bandung : Citapustaka Media
Perintis,2010), 117
42
Mulyarto, Teori dan Praktik dari Konseling dan Psikoterapi(Semarang: IKIP Semarang Press,1995), 419 43
J.D.Engel.Nilai Dasar Logo Konseling(Yogyakarta: Kanisius,2014),21
11
E. Hambatan-Hambatan dalam Konseling Lintas Budaya
Adapun setelah suami istri mampu menemukan titik permasalahan yang mereka hadapi,
terdapat faktor-faktor yang dapat menjadi hambatan dalam proses konseling.44
Konseling
lintas budaya relatif belum memiliki konsep, teknik dan praktik yang mapan seperti gerakan
konseling sebelumnya sehingga sering dijumpai berbagai masalah dan kendala dalam
pelaksanaannya.45
Betapa pentingnya untuk memisahkan perbedaan atas latar belakang
budaya dengan perbedaan kemiskinan ataupun status sehingga menghindari salah persepsi
dan reaksi masyarakat sebagai diskriminasi berpola kultural. Sumber hambatan dan
kegagalan dalam konseling lintas budaya antara lain:46
1. Program pendidikan dan latihan konselor
Umumnya program pendidikan dan latihan konselor yang masih memiliki kekurangan,
sehingga para konselor kurang memiliki pemahaman, kesadaran, ketrampilan dan
pengalaman konseling yang memiliki budaya berbeda.
2. Kesehatan mental
Program pendidikan dan latihan konselor umumnya menghasilkan konselor yang cultur
encapsulation. Mereka berpandangan monokultural tentang kesehatan mental dan
pandangan stereotype yang negatif terhadap budaya lain.
3. Praktik Konseling
Pelaksanaan konseling profesional yang selama ini dilakukan menggunakan pendekatan
ilmiah, yang mengacu pada budaya empiristik, individualistik, kebebasan dan sebagainya,
dan kurang memperhatikan aspek-aspek budaya lain dari subyek yang dilayani, sehingga
terjadi ketidakefektifan, saling berlawanan, dan ketidakcocokan dengan budaya klien.47
Dengan demikian bekerjanya faktor-faktor tersebut juga dapat menjadi penghambat
konseling lintas budaya. Berikut dijelaskan secara rinci faktor-faktor tersebut. Perbedaan
bahasa merupakan penghambat besar yang perlu diperhatikan dalam konseling lintas-
budaya. Hal ini mengingat bahwa percakapan merupakan alat yang paling mendasar yang
digunakan oleh konselor dalam konseling. Hambatan ini bisa dijumpai jika konselor
menghadapi klien yang kemungkinan menguasai bahasa lain, tingkat penguasaannya
44
A.B.M.Luddin.Dasar-dasar konseling : Tinjaun Teori dan Praktik (Bandung : Citapustaka Media
Perintis,2010), 120 45
Glading, Samuael T. Konseling Profesi yang Menyeluruh(Jakarta: Indeks, 2012),7 46
A.B.M.Luddin.Dasar-dasar konseling : Tinjaun Teori dan Praktik (Bandung : Citapustaka Media
Perintis,2010), 126 47 M. Jumarin. Dasar-Dasar Konseling Lintas Budaya. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002),43
12
kurang, miskin dalam kosa kata, miskin dalam ungkapan-ungkapan, atau menggunakan
dialek yang berbeda.48
F. Sensitivitas Budaya dalam Konseling Lintas Budaya
Dengan penekanannya ada pada komunikasi dan bahasa dalam pemaknaannya
ditemukan adanya sensitivitas secara umum dalam konseling lintas budaya. 49
Konseling antar
budaya akan berhasil apabila telah mengembangkan 3 dimensi kemampuan yaitu dimensi
keyakinan, dan sikap pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan konseli antar budaya
yang akan dilayani. Konselor tidak dipersiapkan secara khusus untuk menangani klien-klien
yang latar belakang budaya, suku atau ras, dan kelompok- Kelompok sosial ekonomi tertentu,
akan tetapi menangani klien yang bersifat antar budaya atau bahkan multibudaya. Perlu
mengingat bahwa kebudayaan memiliki 3 tingkatan perbedaan yaitu: (1) budaya tingkat
interpersonal,(2) budaya dalam tingkat kelompok etnis, dan yang ke (3) adalah sosial budaya
yang terdapat didalam satu etnis terkecil dan ada 5 macam sumber hambatan yang nuncul
dalam komunikasi dan penyesuaian diri antar budaya di antaranya (1). Sumber-sumber
berkenaan dengan perbedaan bahasa (2). komunikasi non verbal (3). Stereotipe (4).
Kecenderungan menilai, dan (5) Kecemasan.
Supaya konseling bisa berjalan efektif konselor hendaknya mempunyai kompetensi
atau kemampuan yang luas dan karakteristik sebagai berikut:50
Pertama, konselor lintas
budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan asumsi-asumsi terbaru tentang
perilaku manusia. Kedua, konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling
secara umum. Ketiga, konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan suami
istri, dan mereka harus mempunyai perhatian terhadap lingkungannya. Keempat, konselor
lintas budaya tidak boleh mendorong seseorang (klien) untuk dapat memahami budayanya
(nilai-nilai yang dimiliki konselor), Kelima, konselor lintas budaya dalam melaksanakan
konseling harus mempergunakan pendekaten eklektik.
G. Pengertian, Fungsi, Bentuk dan Peran Keluarga
Keluarga adalah suatu sistem atau unit. Orang tua yang menjadi poros dari sistem
tersebut.51
Keluarga merupakan persekutuan sosial yang paling kecil. “The familly is the
48
Yeo Anthony.Konseling: suatu pendekatan pemecahan-masalah(Jakarta: GunungMulia,2007),102 49
Ibid,103 50
A B M Luddin, Dasar-dasar konseling : Tinjaun Teori dan Praktik (Bandung : Citapustaka Media
Perintis,2010),173 51
Julianto Simanjuntak, Perlengkapan Seorang Konselor (Tangerang: Layanan Konseling Keluarga dan
Karir,2007),74
13
basic social institution”. Keluarga adalah sekelompok manusia yang terdiri, dari suami, istri,
anak-anak (bila ada) yang terkait dan didahului dengan pernikahan.52
Keluarga adalah
kelompok sosial yang terdiri atas dua orang atau lebih yang mempunyai ikatan darah,
perkawinan atau adopsi. Kendatipun pengertian keluarga dikemukakan dengan cara dan gaya
yang berbeda-beda, namun di antara berbagai rumusan itu terdapat beberapa kesamaan.
Kesamaan itu menyangkut ciri-ciri pokok berikut ini: Pertama, keluarga merupakan
persekutuan sosial yang paling kecil. Kedua, keluarga terbentuk apabila ada ikatan darah,
perkawinan atau adopsi. Ketiga, keluarga itu suatu persektuan yang awalnya dari dua orang
yang berbeda jenis kelamin.53
Sebuah keluarga perlu mendapatkan bimbingan konseling
keluarga yang merupakan suatu proses usaha yang dilakukan oleh pembimbing atau konselor
secara sengaja dan terencana untuk membantu anggota dan atau keluarga agar mampu
menghadapi serta memecahkan permasalahan psikologis keluarga sehingga akhirnya semua
anggota keluarga merasakan kebahagiaan.54
Dalam proses konseling lintas budaya yang
diterapkan di dalam keluarga, perlu melihat peranan keluarga yang menggambarkan
seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam
posisi dan situasi tertentu.55
Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola
perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat. Berbagai peranan yang terdapat di dalam
keluarga adalah sebagai berikut:56
Peranan Ayah: sebagai suami dari istri dan bapa dari anak-
anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai
kepala keluarga. Sebagai anggota dari kelompok sosialnya, serta sebagai anggota masyarakat
dari lingkungannya. Peranan Ibu: Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya. Ibu mempunyai
peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya,
pelindung dan sebagai salah satu anggota kelompok dari peranan sosial serta sebagai anggota
masyarakat dari lingkungannya. Ibu juga dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan
dalam keluarganya jika diperlukan. Peranan Anak: Anak-anak melaksanakan peranan
psikosial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.
Anak-anak yang sudah dewasa juga bisa membantu pekerjaan ibu atau ayah di rumah,
sehingga adanya kerja sama yang terjalin antara semua anggota keluarga.
52
Kristiana Tjandrarini, Bimbingan Konseling Keluarga:Terapi Keluarga (Salatiga: Widya Sari Press ,2004),7 53
Kristiana Tjandrarini, Bimbingan Konseling Keluarga:Terapi Keluarga (Salatiga: Widya Sari Press ,2004) ,8 54
Julianto Simanjuntak, Perlengkapan Seorang Konselor (Tangerang:Layanan Konseling Keluarga dan
Karir,2007),75 55
Kathryn Geeldard dan David Geldard, Konseling Keluarga:Membangun relasi untuk saling memandirikan
antaranggota keluarga (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2011),81
56
Ibid,85
14
H. Konseling Lintas Budaya dalam Konflik Suami Istri
Kaitan antara Konseling Lintas Budaya dalam keluarga adalah keluarga dibentuk dalam
sebuah kebudayaan tertentu, sehingga jika ingin melakukan konseling lintas budaya yang
efektif, maka perlu seorang konselor memiliki keahlian-keahlian yang harus diperhatikan
seperti bahasa dan prosedur pendekatan lainnya yang seperti telah dijelaskan dalam konteks
fungsi-fungsi konseling keluarga.57
Konselor memerlukan penggunaan keterampilan
manajemen perilaku yang tepat, seperti yang dibutuhkan saat satu atau kedua pasangan
berhenti mendengar, gagal untuk berusaha saling memahami satu sama lain, dan sebagai
gantinya jatuh ke dalam pola-pola interaksi yang sudah terbiasa dan bermasalah.58
Konselor harus mengetahui bahwa pada saat satu atau kedua pasangan membuat
keputusan untuk datang ke konseling, relasi mereka biasanya frustasi oleh ketidakmampuan
mereka dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi.59
Jika kebutuhan masing-
masing pasangan tidak dipenuhi akan ada ketegangan dalam relasi.60
Bagi sebagian besar
pasangan, agar kebutuhan inti tiap pasangan terpenuhi, penghargaan untuk kebersamaan dan
independensi harus ada dalam relasi. Mendorong komunikasi langsung di antara pasangan
adalah suatu strategi yang digunakan oleh konselor atau pendamping yang berguna dalam
proses konseling.61
Dalam proses konseling di gereja, pendeta atau pendamping perlu mampu
mengenali problem-problem keluarga serta apa yang menjadi kebutuhan-kebutuhan inti
masing-masing pasangan suami istri. Konselor menyediakan sarana atau strategi komunikasi
yang efektif, memberi label “eksperiment” kepada keputusan-keputusan dalam mengubah
perilaku serta mengabaikan perasaan gagal dari setiap pasangan suami istri.
III. HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN DAN ANALISA
Pada bagian ini menguraikan hasil penelitian yang terdiri atas gambaran umum tempat
penelitian, pandangan pendeta mengenai peran konseling lintas budaya dalam menyelesaikan
konflik suami istri dan pandangan warga jemaat tentang peran konseling lintas budaya dalam
menyelesaikan konflik suami istri.
57
Julianto Simanjuntak, Perlengkapan Seorang Konselor (Tangerang: Layanan Konseling Keluarga dan
Karir,2007),82 58
A.B.M.Luddin, Dasar-dasar konseling : Tinjaun Teori dan Praktik (Bandung : Citapustaka Media
Perintis,2010),174 59
A.B.M.Luddin, Dasar-dasar konseling: Tinjaun Teori dan Praktik (Bandung : Citapustaka Media
Perintis,2010),175 60
Kathryn Geeldard dan David Geldard, Konseling Keluarga:Membangun relasi untuk saling memandirikan
antaranggota keluarga (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2011),107 61
Ibid,109
15
A. Gambaran Umum Tempat Penelitian
Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, Kota Salatiga meskipun kecil, keadaan
sekitarnya indah dan berhawa sejuk sehingga dipilih sebagai tempat pemukiman dan dikenal
sebagai “De Schoonste Stad Van Midden Java” (kota termudah di jawa tengah).62
Kota yang
dikelilingi perkebunan ini pada posisi seolah-olah dipagari oleh Gunung Merbabu,
Pegunungan Telomoyo, Gajah Mungkur dan Gunung Ungaran. Kota yang terletak pada
ketinggian sekitar 600 meter di atas permukaan laut dan berhawa sejuk ini tidak hanya dipilih
sebagai kota pemukiman, tetapi juga sebagai tempat istirahat. Di pusat Kota Salatiga inilah
terdapat gedung gereja yang dibangun pemerintah Hindia Belanda dengan nama De Indische
Kerk (Gereja Hindia) atau De Protestant Kerk in Indonesia (Gereja Protestan di Indonesia).
Setelah pemerintahan Hindia Belanda, termasuk jemaat De Indische Kerk kembali ke
Belanda 1949, gedung gereja tersebut digunakan untuk kegiatan kurcaci atau kepanduan
(sekarang pramuka) selama setahun.63
Pada tahun 1950, karena gedung tersebut tidak
digunakan untuk ibadah, ada upaya memanfaatkannya untuk kepentingan tertentu.
Menghadapi situasi semacam ini, Pdt Probowinoto (pada waktu itu menjabat sebagai ketua
DPRD Salatiga) berhasil meyakinkan Walikota Salatiga, bahwa gereja tersebut masih
digunakan untuk ibadah umat Kristen. Untuk itu, Pdt Probowinoto mengajak keluarga
Martodirjo, keluarga Th.A.Van Emmerick dan beberapa dari luar pulau Jawa untuk beribadah
di gereja tersebut dan upaya ini ternyata membuahkan hasil.64
Setelah segala sesuatu yang menjadi syarat pembentukan jemaat GPIB di Salatiga,
disiapkan dan disetujui oleh klasis GPIB Jawa Tengah, termasuk di dalamnya Majelis Jemaat
sebagai pimpinan jemaat baru tersebut, maka diadakanlah ibadah peresmian jemaat GPIB
Tamansari Salatiga dan pelantikan Majelis Jemaat baru pada tanggal 15 Februari 1956.65
Seiring berjalannya waktu, jumlah jemaat GPIB Tamansari Salatiga semakin bertambah.
Kemudian majelis-majelis pada saat itu diangkat dari tentara-tentara dari Indonesia bagian
Timur yang sedang ditempatkan di Salatiga. Sebelum pendewasaan, GPIB Tamansari terdiri
dari tiga sektor atau jemaat yaitu, jemaat Ambarawa, Tambakrejo dan Kebondowo atau yang
lebih sering disingkat dengan nama ATK. Jemaat ATK ini sudah ada sejak 30 tahun yang
62
Joel Ch.Zacharias,GPIB Jemaat TamanSari Salatiga menuju jemaat Misioner (Salatiga: Widya Sari
Press,2012), 12. 63
Joel Ch.Zacharias,GPIB Jemaat TamanSari Salatiga menuju jemaat Misioner (Salatiga: Widya Sari
Press,2012),21 64 Ibid, 22 65
Ibid, 23
16
lalu.66
Namun jemaat ini telah dilembagakan pada tanggal 14 januari 2007, sehingga
sekarang mereka telah berdiri sendiri. Pelayanan Kategorial yang diadakan antara lain
Pelayanan BPK PA (Sekolah Minggu), PT (Persekutuan Taruna), Gerakan Pemuda, PKP
(Persekutuan Kaum Perempuan), PKB (Persekutuan Kaum Bapak), dan Lansia. Secara
khusus untuk ibadah minggu GPIB Tamansari Salatiga saat ini dilayani oleh ketua Majelis
Jemaat Ibu Pdt. Miss Pelletimu-Sono Bogar, Vikaris Nicholas F. Napitupulu dan beberapa
pendeta dari denominasi gereja lainnya yang berdomisili di Salatiga.67
B. Konflik Suami Istri Bernuansa Budaya di GPIB Tamansari Salatiga
....Konflik antara suami dan istri....68
Alasannya, karena beberapa permasalahan keluarga yang diketahui konselor tetapi
sejauh ini belum mampu memberikan pendampingan yang baik bagi keluarga-keluarga
tersebut. Ada keluarga yang sebagai sampel dari keluarga yang berbeda latar belakang
budaya, suami yang berasal dari Maluku dan istri yang berasal dari Semarang. Latar belakang
budaya inilah yang membuat sering terjadi beda pendapat.69
Ada juga keluarga yang sering
mengalami konflik karena suami dan istri tidak satu agama, meskipun mereka tetap tinggal
serumah tetapi beda keyakinan ini sering menjadi pemicu mereka tidak mau mengalah dalam
berpendapat.
Selain itu, ada juga konflik antara suami dan istri karena faktor ekonomi, suami yang
adalah kepala keluarga namun karena harus pensiun dini sehingga mempengaruhi kebutuhan
ekonomi keluarga. Istri sering menuntut apa yang kebutuhan keluarga. Hal ini dapat menjadi
salah satu faktor ketidakharmonisan dalam keluarga yang mengakibatkan konflik antara
suami istri. Dalam proses konseling lintas budaya sangat rentan mengalami bias karena
konselor hanya menerapkan konseling pastoral sehingga tidak memahami bahwa sebenarnya
permasalahan yang terjadi ini bukan masalah spiritual tetapi mengenai permasalahan beda
persepsi, nilai-nilai dan budaya yang mengakibatkan konseling lintas budaya tidak berjalan
dengan efektif.70 Dengan demikian, konselor atau pendeta dalam proses konseling tidak bisa
66
Data diperoleh dari Laporan Akhir PPL 1 Christian Petrus Ohoirat mahasiswa teologi berdasarkan wawancara
dengan Pnt. Alex da Costa (Majelis Jemaat GPIB Tamansari periode 2007-2012). 67
Data diperoleh berdasarkan wawancara dengan Miss Pelletimu-SonoBogar (Ketua Majelis Jemaat Tamansari
Salatiga). Tahun 2015 68
MP,Salatiga,wawancara pada tanggal 17 November 2015,pukul 10.48 WIB 69
Paul B.Pedersen,Counseling Across Cultures(Madrid:Editorial Trotta 1998),7 70
Davenport,Donna,Yurich,John.1991.Multicultural Gender Issues. Journal of Counseling & Development. 70
(1) : 72
17
hanya memperhatikan sisi pastoral tetapi budaya daripada jemaat atau suami istri juga perlu
diperhatikan.
.... Suami selalu bicara dengan suara yang besar, nada tinggi dan suka membentak istri....71
Melalui pernyataan di atas maka konseptual pandangan ini menitikberatkan pada
identifikasi latar belakang budaya yang berbeda antara suami istri. Dalam teori Pedersen yang
mengatakan bahwa kebudayaan sebagai latar belakang kehidupan keluarga tentu sangat
mempengaruhi perkembangan keluarga tersebut.72
Meskipun budaya tidak semata-mata
menjadi alasan konflik.
....akibat pensiun dini, istri selalu marah bahkan meninggalkan suami....73
Pernyataan ini menjadi fokus utama kepada konselor bahwa masalah seperti ini harus
diselesaikan sesuai dengan pendekatan konseling lintas budaya dimana telah dikatakan bahwa
faktor ekonomi juga bisa menjadi salah satu penyebab konflik antara suami istri. Pandangan
ini sejalan dengan Luddin yang berpendapat bahwa betapa pentingnya memisahkan
perbedaan latar belakang budaya dengan perbedaan kemiskinan ataupun status sosial
sehingga menghindari salah persepsi dan reaksi masyarakat sebagai diskriminasi berpola
kultural.74
Pemahaman ini, secara langsung membenarkan bahwa pendekatan konseling lintas
budaya sangat penting dalam menyelesaikan konflik suami istri karena perbedaan persepsi.
..... Malu karena istri yang menjadi kepala keluarga.....75
Adapun perubahan status sosial juga dapat menjadi faktor pemicu konflik. Istri yang
menjadi kepala keluarga, memiliki kedudukan dan jabatan terkadang ingin menjadi penguasa
di dalam keluarga, tidak menghargai suami dan kurang memberikan waktu serta kasih kasih
sayang kepada keluarga. Pada keadaan seperti inilah peran konselor untuk berusaha
membantu klien mengalihkan perubahan yang telah diperoleh klien kepada keadaan yang
sebenarnya dalam lingkungan sehari-hari. Pandangan ini lebih menekankan pada peran
keluarga yaitu istri atau ibu juga dapat berperan sebagai pencari nafkah dalam keluarga jika
diperlukan.76
71
RM, Salatiga,wawancara pada tanggal 13November 2015,pukul 15.00 WIB 72
Paul B Pedersen,Counseling Across Cultures(Madrid:Editorial Trotta 1998), 8 73
PF,Salatiga,wawancara pada tanggal 13 November 2015, pukul 16.20 WIB 74
A.B.M.Luddin.Dasar-dasar konseling:Tinjauan Teori dan Praktik (Bandung:Citapustaka Media
Perintis,2010),126 75
YH,Salatiga,wawancara pada tanggal 13 November 2015, pukul 17.00 WIB 76
Kristian Tjandrarini, Bimbingan Konseling Keluarga:Terapi Keluarga(Salatiga:Widya Sari Press,2004),7
18
C. Pandangan Pendeta dan Warga Jemaat Mengenai Peran Konseling Lintas
Budaya dalam Konflik Suami Istri.
…Pelayanan konseling lintas budaya merupakan salah satu bentuk pelayanan gereja yang
sudah lama ada namun tidak berjalan secara efektif...77
Melalui pernyataan di atas maka pada tataran konseptual pandangan ini
menitikberatkan pembagiannya secara teoritis dan praktiknya sehingga hal ini dipahami
sebagai sebuah kendala dalam pelayanan. Tentu menjadi konselor dalam hal ini pendeta
harus mampu memiliki kemampuan dan keterampilan dalam proses konseling.78
Adapun
ketidakefektifan ini dapat menjadi hambatan dalam proses konseling.79 Pendeta dalam hal ini
bertindak sebagai konselor harus mengikuti pelatihan program konseling serta mendalami
latar belakang budaya dari jemaatnya. Sehingga konselor di sini dapat mengerti sifat atau
tradisi jemaat tertentu guna mempermudah proses konseling.
....Pelayanan konseling lintas budaya belum diberdayakan secara maksimal....80
Menurut responden, pelayanan konseling lintas budaya adalah salah satu bentuk
pelayanan dari sekian banyak aspek pelayanan yang ada namun masih belum mendapat
perhatian khusus dalam pelayanan bergereja. Dengan cara diwartakan kepada anggota jemaat
yang membutuhkan pelayanan konseling dapat datang ke kantor gereja sesuai jam
kerja.81
Konseling di gereja belum berjalan secara efektif, karena ini hanya satu dari banyak
cara. Tampak jelas bahwa bias-bias budaya terjadi pada proses konseling lintas budaya
dikarenakan ada jemaat yang bisa terbuka tetapi ada juga yang tidak bisa terbuka untuk
datang dan menceritakan permasalahan kehidupan mereka.82
Oleh karena itu, gereja perlu
memikirkan tentang bagaimana proses konseling ini dapat dilakukan secara efektif,
mengingat dalam kehidupan berjemaat ada kepelbagaian budaya dan identitas jemaat yang
multikultural yang dapat menjadi salah satu hambatan dalam proses konseling lintas
budaya.83
77
OS,Salatiga,wawancara pada tanggal 13 November 2015, pukul 17.30 WIB 78
McRae, Mary., Johnson, Samuel. 1991. Toward Training for Competence in Multicultural Counselor
Education. Journal of Counseling & development. 70 (1) :135 79
Glading, Samuael T, Konseling Profesi yang Menyeluruh(Jakarta: Indeks, 2012),7 80
OS,Salatiga,wawancara pada tanggal 13 November 2015, pukul 17.30 WIB 81
OS,Salatiga,wawancara pada tanggal 13 November 2015, pukul 17.30 WIB 82
OS,Salatiga,wawancara pada tanggal 13 November 2015,pukul 17.30 WIB 83
A.B.M.Luddin. Dasar-dasar konseling : Tinjaun Teori dan Praktik (Bandung : Citapustaka Media
Perintis,2010), 120
19
....Meskipun pelayanan konseling lintas budaya sudah diwartakan, respon dari jemaat hanya
sedikit yang datang ke gereja....84
Alasannya, karena tidak semua jemaat memiliki sifat terbuka atas permasalahan atau
pergumulan yang sedang dihadapi. Untuk itu perlu tinjauan kembali berdasarkan teori
Pedersen maka konselor harus benar-benar memperhatikan latar belakang budaya dari jemaat
atau konseli.85
Dengan demikian konselor yang memiliki kemampuan mampu berkreatifitas
menciptakan ide-ide atau teknik dalam melaksanakan proses konseling sehingga konseling
dapat terlaksana dengan baik.86
....Sejauh ini pendeta ataupun konselor belum langsung mendalami proses konseling lintas budaya itu
sendiri sehingga tidak terlalu memahami kondisi atau permasalahan keluarga dalam jemaat.....87
Pandangan ini, menekankan pada kesadaran konselor yang dilihat dari perannya.88
Seorang pelayan mempunyai tugas untuk membimbing, menasihati, serta menopang secara
etis. Peran itu dalam praktiknya melalui pelayanan konseling karena ini merupakan sebuah
kesadaran akan tanggungjawab dalam melayani serta membantu jemaat untuk menemukan
jalan keluar atas permasalahan atau pergumulan jemaat. Kurangnya fokus pelayanan di
bidang konseling ini sehingga mengakibatkan kurangnya informasi permasalahan konflik
suami istri.
Pandangan warga jemaat merupakan bagian penting guna memperkuat peran konseling
lintas budaya dalam menyelesaikan konflik suami istri.
....Wadah pelayanan menjadi tempat untuk membagi sebagian pergumulan hidup antara suami
istri....89
Pernyataan di atas inilah yang dapat dicermati sebagai kesempatan atau ruang untuk
saling berbagi. Inilah yang menjadi moment di mana sebagian ibu-ibu dapat berani untuk
mencurahkan isi hati, keluh kesah mereka.90
Mereka bercerita tentang masalah keluarga,
masalah antara suami dan anak-anak. Namun adapun juga yang masih tertutup dan tidak bisa
berbagi cerita pengalaman kehidupan mereka atau masalah yang sedang digumuli. Pandangan
ini sejalan dengan pemahaman tentang hambatan dalam konseling lintas budaya yang perlu
84
MP,Salatiga,wawancara pada tanggal 17 November 2015,pukul 10.48 WIB 85
Paul B Pedersen, Counseling Across Cultures (Madrid :Editorial Trotta,1998),10 86
A.B.M.Luddin, Dasar-dasar konseling:Tinjauan Teori dan Praktik (Bandung:Citapustaka Media
Perintis,2010),126 87
MP,Salatiga,wawancara pada tanggal 17 November 2015,pukul 10.48 WIB 88
Arredondo, Patricia., Gonsalves, John. Preparing Culturally Effective Counselors. (The Presonnel and
Guidance Journal. 1980), 6 89
MP,Salatiga,wawancara pada tanggal 17 November 2015,pukul 10.48 WIB 90
MK, Salatiga,wawancara pada tanggal 18November 2015, pukul 19.20 WIB.
20
diperhatikan guna akan membuat konseling lintas budaya dapat meyakinkan dan menarik
perhatian.91
....Dalam ibadah , selain menyampaikan firman Tuhan, ada juga diberikan kesempatan untuk bapak-
bapak agar bisa memberikan pendapat mereka tentang firman Tuhan, apakah sudah sesuai dengan
perbuatan mereka sehari-hari.....92
Nampaknya para pelayan hanya fokus kepada pemberitaan Injil saja sehingga
mengesampingkan pelayanan konseling yang mengakibatkan terjadi bias-bias dalam proses
konseling lintas budaya. Konseling yang diterapkan hanya berfokus kepada spiritual
sedangkan permasalahan-permasalahan yang sedang dialami keluarga-keluarga ini tidak
hanya dapat diselesaikan dengan doa ataupun firman Tuhan tetapi menggunakan pendekatan
konseling lintas budaya.93
.....Pelayanan di rumah Jemaat menjadi sarana menuju konseling lintas budaya.....94
Adapun jemaat-jemaat tertentu yang karena sakit sehingga meminta kehadiran Pelayan:
Pendeta dan atau Majelis untuk memimpin ibadah di rumah mereka. Dalam kesempatan
inilah sering mereka : suami dan atau istri mengungkapkan apa yang menjadi beban
pergumulan kehidupan rumah tangga mereka.95
Pada proses ini tentu akan ada benturan-
benturan yang dihadapi dalam proses konseling. Hal ini disebabkan oleh cara melakukan
konseling yang hanya berpusat pada pastoral yang menekankan aspek spiritual sehingga
mengabaikan nilai-nilai budaya yang ada, perbedaan persepsi dan faktor-faktor lain yang
adalah penyebab konflik suami istri.96
.... Perlu ada Program Konseling lintas budaya secara khusus....97
Konseling lintas budaya sangat dibutuhkan dalam pelayanan di jemaat yang
multikultural dan bukan hanya itu konseling lintas budaya juga mampu memahami dan
mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang ada dalam kehidupan suami istri.98
91
A.B.M.Luddin. Dasar-dasar konseling:Tinjauan Teori dan Praktik (Bandung:Citapustaka Media
Perintis,2010),127 92
MK.Salatiga,wawancara pada tanggal 18 November 2015, pukul 19.20 WIB. 93
Davenport,Donna,Yurich,John.1991.Multicultural Gender Issues. Journal of Counseling & Development. 70
(1) :64-71 94
MK,Salatiga,wawancara pada tanggal 18 November 2015, pukul 19.20 WIB 95
MK,Salatiga,wawancara pada tanggal 18 November 2015, pukul 19.20 WIB 96
Paul B Pedersen, Counseling Across Cultures (Madrid :Editorial Trotta,1998),11 97
IL, Salatiga, wawancara pada tanggal 19 November 2015, pukul 18.00 WIB 98
Paul B.Pedersen, Counseling Across Cultures (Madrid :Editorial Trotta,1998),12
21
....dibutuhkan seorang pendamping khusus di bidang konseling untuk dapat menjadi pengontrol
berjalanlah konseling lintas budaya dalam keluarga dan berjemaat dengan baik dan efektif....99
Melalui pernyataan di atas dapat dipahami bahwa kurangnya tenaga konselor dapat
menjadi satu alasan konseling tidak berjalan dengan efektif. Seorang konselor dalam
pelayanan konseling lintas budaya harus mempunyai kompetensi kesadaran, pengetahuan
dan keterampilan.100
Pandangan ini menekankan kepada pendamping konseling yang terdiri
dari pendeta dan majelis jemaat.101
Pendamping konseling atau konselor haruslah memiliki
kemampuan untuk bisa mengerti konselinya. Mengerti budaya dan latar belakang kehidupan
keluarga juga adalah faktor utama.102
Pendamping mempunyai fungsi, yaitu fungsi kontrol
dan pendampingan. Fungsi ini diberikan oleh gereja kurang maksimal, karena hanya
memberikan tugas pendampingan yaitu kepada pendeta dan majelis pendamping.
Dalam hal ini dilihat dari teori Paul Pedersen yang memberikan pemikiran bagaimana
seorang pendamping atau konselor lintas budaya harus mempunyai kompetensi kesadaran,
pengetahuan dan keterampilan.103
Dalam hal ini gereja yang siap menerima anggota jemaat
yang datang untuk konseling dan tugas ini seuntuhnya diberikan kepada Pendeta jemaat.
Lebih lanjut seharusnya, koordinasi yang dilakukan dalam pendampingan seharusnya
dibangun dalam perannya sebagai pendamping terutama untuk memberikan perhatian kepada
keluarga dalam hal ini suami istri yang sedang mengalami konflik, agar dapat sejalan dengan
apa yang diungkapkan oleh Pedersen mengenai pendampingan dalam pendekatan konseling
lintas budaya.104
IV. PENUTUP
Bagian ini meliputi kesimpulan berupa temuan-temuan dari hasil penelitian secara
keseluruhan dan saran berupa kontribusi dan rekomendasi untuk penelitian lanjutan dan
untuk gereja GPIB Jemaat Taman Sari Salatiga.
99
IL, Salatiga, wawancara pada tanggal 19 November 2015, pukul 18.00 WIB 100
McRae, Mary., Johnson, Samuel. 1991. Toward Training for Competence in Multicultural Counselor
Education. Journal of Counseling & development. 70 (1): 136.
101 TH,Salatiga,wawancara pada tanggal 22 November 2015,Pukul 10.20 WIB
102 TH,Salatiga, wawancara pada tanggal 22 November 2015, pukul 10.20 WIB
103 McRae, Mary., Johnson, Samuel. 1991. Toward Training for Competence in Multicultural Counselor
Education. Journal of Counseling & development. 70 (1): 131-135.
104 Pedersen,P.B.The culture inclusiveness of counseling, In P.B.Pedersen. J.G.Draguns, W.J.Lonner &
J.E.Trimble(Eds), Counseling across cultures (rev. and expanded ed.), Honolulu: Universitas Press of
Hawai,1981,133
22
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan analisa, penulis mendapatkan temuan-temuan baru dalam
proses konseling lintas budaya. Adapun temuan-temuan baru yang dimaksudkan adalah
dalam proses konseling lintas budaya terdapat bias-bias karena dalam pelaksanaannya yang
pendeta terapkan adalah konseling pastoral. Pendeta belum memahami bahwa sebenarnya
permasalahan yang sedang dihadapi pasangan suami istri bukan masalah spiritualnya tetapi
masalah permahaman persepsi yang berbeda, nilai-nilai, ras, usia, status sosial, pendapatan
ekonomi yang berbeda sehingga jika konseling lintas budaya diterapkan dalam program
pelayanan gereja maka dapat menjawab konflik antara suami dan istri dalam keluarga.
Dalam hal ini gereja kurang memberikan perhatian yang khusus untuk pelayanan dan
pendampingan konseling di jemaat GPIB Tamansari Salatiga hanya mengontrol dan
mewartakan. Sedangkan hal pendampingan atau konseling menjadi tanggung jawab pendeta
jemaat GPIB Tamansari Salatiga. Konseling perlu diperhatikan bahwa tidak hanya berfokus
kepada pastoral yang berdimensi spiritual saja melainkan mempertimbangkan sisi budaya
dari konseli.
B. Saran
Saran, dalam hal ini penulis ingin memberikan saran kepada pihak-pihak yang terkait:
Bagi Gereja GPIB Taman Sari Salatiga
Dapat memberi perhatian khusus pada pelayanan konseling lewat program pelayanan di
gereja. Mempersiapkan tenaga konselor yang baik sebagai pendamping konseling di jemaat.
Konseling dapat dilaksanakanakan dengan cara yang kreatif dan inovatif.
Bagi fakultas Teologi
Agar dapat mengembangkan integrasi ilmu konseling, dengan memperhatikan konteks
budaya melalui penelitian ini.
Bagi Penelitian Lanjutan
Keterbatasan dari penelitian ini adalah belum menganalisis bagaimana permasalahan
suami istri secara konkret untuk menjadi bahan konseling dan pendampingan konseling
secara berkesinambungan. Untuk itu peneliti selanjutnya dapat meneliti tentang unsur konflik
suami istri. Serta meneliti perkembangan proses konseling di dalam aktifitas pelayanan
bergereja.
23
Daftar Pustaka
A. Jurnal
Sumarwiyah, Kompetensi Lintas Budaya Dalam Pelayanan Konseling, Universitas
Muria Kudus, 2012.
Beek Aart M. Van, A Cross-Cultural Case for Convergence in Pastoral
Thinking and Training, Published online: 17 March 2009.
Hook Joshua N. & Davis Don E, Integration, Multicultural Counseling, and Social
Justice, Journal Of Psychology & Theology 2012, Vol. 40, No. 2, 102-106.
McRae, Mary., Johnson, Samuel. 1991. Toward Training for Competence in
Multicultural Counselor Education. Journal of Counseling & development. 70
(1): 131-135.
Patricia. Arredondo, Gonsalves, John. Preparing Culturally Effective Counselors.
(The Presonnel and Guidance Journal. 1980
Davenport, Donna,Yurich,John.1991.Multicultural Gender Issues.Journal of
Counseling & Development. 70 (1) : 72
B. Buku
Anthony Yeo, Konseling: suatu pendekatan pemecahan-masalah. Jakarta: Gunung
Mulia, 2007.
Clinebell Howard,Tipe-tipe Dasar pendampingan dan konseling pastoral: sumber-
sumber untuk pelayanan penyembuhan dan pertumbuhan.Yogyakarta :
Kanisius, 2002
Creswell, John W. Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches. Jakarta:
KIK Press, 2002.
David Geldard & Kathryn Geeldard. Konseling Keluarga:Membangun relasi untuk
saling memandirikan antaranggota keluarga.Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011.
Engel. J.D.Nilai Dasar Logo Konseling.Yogyakarta: Kanisius,2014.
Engel J D, Model Logo Konseling untuk memperbaiki Low Spiritual Self-Esteem.
Yogyakarta: Kanisius, 2014.
Geeldard Kathryn & David Geldard, Konseling Keluarga:Membangun relasi untuk
saling memandirikan antaranggota keluarga.Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011.
Gintings,E.P, Gembala dan Pastoral Klinis.Bandung:Bina Media Informasi, 2007.
Jumarin M, Dasar-Dasar Konseling Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002.
24
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1997.
Koentjaraningrat.Manusia dan Kebudayaan di Indonesia(Jakarta: Penerbit
Djambatan, 1988.
Luddin A.B.M, Dasar-dasar konseling : Tinjaun Teori dan Praktik. Bandung :
Citapustaka Media Perintis, 2010.
Lontoh S. W, Bahtera Guna Dharma GPIB. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982.
O’Collins, Gerald & Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. Yogyakarta: Kanisius,
1996.
M.S Liliweri Alo, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta:
Lkis,2002
Mulyana, D. & J. Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi
dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: Rosdakarya, 2006.
Mulyarto, Teori dan Praktik dari Konseling dan Psikoterapi. Semarang: IKIP
Semarang Press, 1995.
Pedersen. Paul B, Counseling Across Cultures. Madrid: Editorial Trotta, 1998.
Pedersen,P.B.The Culture Inclusiveness of Counseling, In P.B.Pedersen. J.G.Draguns,
W.J.Lonner & J.E.Trimble(Eds), Counseling across cultures (rev. and
expanded ed.), Honolulu: Universitas Press of Hawai, 1981.
S.L. Hansen. Integrative Life Planning; Critical Tasks for Career Development and
Changing Life Patterns .San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1997
Sanapiah, Faisal. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003.
Samuel T. Glading, Konseling Profesi yang Menyeluruh. Jakarta: Indeks, 2012.
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.Bandung: Penerbit
Alfabeta, 2016.
Sutrisno Mudji & Hendar Putranto, Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius,
2005
Supriadi Dedi, Konseling Lintas Budaya Isu-Isu dan Relevansinya di Indonesia.
Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2001
Suprayogo Imam dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya, 2003
Septiawan Santana, Menulis Ilmiah: Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta:
YayasanObor Indonesia, 2007.
25
Simanjuntak Julianto, Perlengkapan Seorang Konselor. Tangerang: Layanan
Konseling Keluarga dan Karir, 2007.
Tjandrarini Kristiana, Bimbingan Konseling Keluarga:Terapi Keluarga.Salatiga:
Widya Sari Press, 2004.
Trimble. J.E. (Eds), Counseling across cultures (rev. and expanded ed.), Honolulu:
Universitas Press of Hawai, 1981.
Wiryasaputra Totok S. Pengantar Konseling Pastoral. Salatiga: Asosiasi Konselor
Pastoral Indonesia, 2013.
Wiryasaputra Totok S. Ready to Care: Pendampingan dan Konseling Psikologi.
Yogyakarta: Galangpress, 2006.
Zacharias. Joel Ch.GPIB Jemaat TamanSari Salatiga menuju jemaat Misioner.
Salatiga: Widya Sari Press, 2012.