“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN...

100
P R O S I D I N G SEMINAR NASIONAL PATPI 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” Dalam rangka Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) dan Perayaan Ulang Tahun PATPI yang ke 50 BANDAR LAMPUNG, 10-12 NOVEMBER 2017 Diselenggarakan Oleh Fakultas Pertanian Universitas Lampung PATPI Cabang Lampung Didukung oleh BUKU 1

Transcript of “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN...

Page 1: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

P R O S I D I N G

SEMINAR NASIONAL PATPI 2017

“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM

MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”

Dalam rangka

Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan

Indonesia (PATPI) dan Perayaan Ulang Tahun PATPI yang ke 50

BANDAR LAMPUNG, 10-12 NOVEMBER 2017

Diselenggarakan Oleh

Fakultas Pertanian

Universitas

Lampung

PATPI

Cabang

Lampung

Didukung oleh

BUKU 1

Page 2: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

PROSIDING SEMINAR NASIONAL PATPI 2017

“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN

KETAHANAN PANGAN NASIONAL”

Reviewer:

Siti Nurdjanah, Ph.D

Dr. Sussi Astuti

Ribut Sugiharto, M.Sc

Dian Wulandari, M.Si

Pramita Sari Anungputri, M.Si

Prof. Dr. Ir. Tirza Hanum, M.S.

Samsu Udayana Nurdin, Ph.D.

Sumber Gambar Cover:

http://infopedia.co.id/photo/infopedia-menara-siger.jpg

https://pbs.twimg.com/media/C7OVnYyV4AAhO_m.jpg

http://www.seratusinstitute.com/gambar/news/news-statistik-dan-statistika-78-l.jpg

Desain Grafis:

Ardiyanto

ISBN: 976-602-72006-3-0

Diterbitkan oleh:

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

Jln. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung 35145. Telp.

(0721)704946. Fax. (0721)770347. Email: [email protected].

Page 3: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” iii

PENGANTAR

Ketahanan pangan tercapai jika seluruh individu rakyat Indonesia mempunyai akses (secara fisik dan finansial) untuk mendapatkan pangan agar dapat hidup sehat dan produktif. Jika konsisten dengan ini, maka pembangunan pertanian/pangan harus lebih berorientasi pada upaya pemenuhan permintaan pasar domestik. Kemandirian dalam pemenuhan pangan domestik merupakan modal dasar dalam menangkal dampak krisis global.

Faktor penyebab kondisi ketahanan pangan sulit dicapai salah satunya adalah karena teknologi belum berkontribusi secara efektif. Hal ini terutama disebabkan karena teknologi yang dikembangkan belum selaras dengan kebutuhan dan persoalan nyata yang dihadapi para penggunanya, atau karena tidak mempertimbangkan kapasitas adopsi para peggunanya.

Berdasarkan persoalan pokok yang dihadapi dan dikaitkan dengan target dan prioritas nasional yang telah ditetapkan untuk bidang ketahanan pangan, maka program dan kegiatan prioritas untuk riset bidang pangan oleh anggota Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) harus dipetakan. Iklim riset yang ingin dibangun dimasa depan dalam rangka mencapai ketahanan pangan nasional adalah dengan mendorong agar penelitian yang berorientasi pada pencapaian ketahanan pangan Nasional menjadi arus utama riset pangan nasional, sehingga diharapkan mampu menghasilkan teknologi yang sesuai kebutuhan dan/atau mampu menjadi solusi bagi permasalahan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional. Sebagai salah satu bentuk komitmen PATPI terhadap perwujudan Ketahanan Pangan Nasional maka pada tanggal 10 – 12 November 2017 telah mengadakan Seminar nasional dengan tema “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” . Sebagai hasil dari kegiatan Seminar Nasional tersebut maka kami mengkompilasi berbagai makalah yang telah dipresentasikan dalam bentuk Prosiding.

Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada: Rektor Unila, Gubernur Provinsi Lampung, Dekan Fakutas Pertanian Univeritas Lampung, PATPI Pusat, Bapak Walikota Bandar Lampung, Direktur Politeknik Negeri Lampung, PT TCI-Bio, WHO Indonesia, PT Great Giant Pineaple dan seluruh pihak yang telah membantu terlaksananya acara ini. Secara khusus kami juga berterima kasih kepada narasumber pada Seminar Nasional ini yaitu: Dr. Seiichi Kasaoka dari Bunkyo University, Japan, Prof. Rindit Pambayun dari Patpi pusat, Prof. Yaya Rukayadi dari Universitas Putra Malaysia, dan Ir. Muhammad Nadjikh dari PT. Kelola Mina Laut. Terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada segenap panitia yang telah bekerja keras mempersiapkan acara ini. Semoga Allah SWT membalas bantuan dan kerja keras kita semua dengan balasan terbaik. Aamiin.

Bandar Lampung, Februari 2018

Ketua Panitia

Samsu Udayana Nurdin, Ph.D

Editor

Siti Nurdjanah, Ph.D

Dr. Sussi Astuti

Ribut Sugiharto, M.Sc

Dian Wulandari, M.Si

Pramita Sari Anungputri, M.Si

Page 4: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”iv

Page 5: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” v

DAFTAR ISI Mutu dan Keamanan Pangan ...................................................................................................... 1 KAJIAN PERAN JENIS PEMANTAP PADA KUALITAS NORI DARI RUMPUT LAUT (Gracilaria sp) Rosida, D, F., Susiloningsih, E, K, B., Ilmi, M, I, M, D., Hapsari, N ........................................... 3 ANALISIS ORGANOLEPTIK MIE SAGU DIPERKAYA DENGANTEPUNG JAMUR Donowati Tjokrokusumo ............................................................................................................. 10 STUDI PENGGUNAAN KULIT KAYU SINDU (Scorodocarpus borneensis Becc.) SEBAGAI PENGAWET ALAMI TERHADAP MUTU NIRA KELAPA Dwi Raharjo dan Yeni Hurriyani ................................................................................................. 18 EFEK KONSUMSI LIMBAH BERAS HITAM PADA PERUBAHAN KADAR ERITROSIT TOTAL, Hb, PCV, MCV, MCH, MCHC DAN TPP TIKUS ANEMIA Enny Purwati Nurlaili .................................................................................................................. 26 DISAIN KEMASAN DAN PENENTUAN UMUR SIMPAN (SELF LIFE) PUNDANG SELUANG Helmi Harris dan Neny Rochyani ................................................................................................ 34 DETEKSI CEMARAN E. coli, Salmonella sp., DAN L. monocytogenes PADA SOSIS SIAP SANTAP YANG DIJUAL DI DESA SAYANG KECAMATAN JATINANGOR Isfari Dinika, Tita Rialita dan Efri Mardawati ............................................................................. 42 SURVEY PROSES PENGOLAHAN WINE COFFEE ARABIKA DI GAYO Ismail Sulaiman, Irfan, Achmad Dairobbi ................................................................................... 51 RESIDU MINERAL Na DAN Ca DALAM MDAG YANG DIMURNIKAN DENGAN METODE CREAMING DEMULSIFICATION TECHNIQUE MENGGUNAKAN LARUTAN NaCl DAN CaCl2 Mursalin, Sahrial, Nur Wulandari ................................................................................................ 58 EFEK MICROWAVE TERHADAP MORTALITAS TRIBOLIUM CASTANEUM DAN PENGARUHNYA TERHADAP SIFAT FISIKO-KIMIA TEPUNG JAGUNG Nur Pratiwi Rasyid, Asniwati Zainuddin, Meta Mahendradatta, Abu Bakar Tawali ................... 64 UJI MUTU DAN KEAMANAN IKAN ASIN KERING (TERI DAN SEPAT) DI PASAR KOTA BANDAR LAMPUNG Otik Nawansih, Samsul Rizal, Azhari Rangga dan Eka Ayu ....................................................... 74

Page 6: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”vi

ANALISIS CEMARAN MIKROBA PADA JAJANAN ANAK SEKOLAH DI KOTA AMBON Sandriana J Nendissa .................................................................................................................... 84 PENGARUH RASIO DAUN/AIR TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA SNACK SEHAT BERBENTUK NORI DARI DAUN CINCAU HIJAU Soenar Soekopitojo, Budi Wibowotomo dan Laili Hidayati ........................................................ 90 KARAKTERISTIK SENSORI, KANDUNGAN KAFEIN, DAN ASAM KLOROGENAT KOPI BUBUK ROBUSTA (Coffea canephora L.) DI TANGGAMUS , LAMPUNG Sri Setyani, Subeki, dan Henrica Agustina Grace ........................................................................ 98 Penurunan Kandungan Sianida dan Protein Tepung Kacang Koro Pedang Dengan Variasi Air Perendam Menggunakan Metode Sirkulasi Berpengaduk (SIRUK) Tantan Widiantara, Yusman Taufik, Yudi Garnida .................................................................... 108 PENGARUH JENIS KEMASAN DAN KONDISI PENYIMPANAN TERHADAP KADAR FENOL, SIFAT FISIKOKIMIA, MIKROBIOLOGIS, DAN ORGANOLEPTIK MINUMAN BERAS KENCUR DARI BERAS HITAM VARIETAS JAWA DAN BERAS HITAM VARIETAS N790 (WAJALOKA) Thomas Indarto Putut Suseno, Ignasius Radix Astadi, Nancy Johan Kurniawan, Elizabeth Astrith Olivea .............................................................................................................. 117 PENURUNAN KOMPONEN TANNIN DAN ASAM FITAT PADA PROSES PENGOLAHAN TEPUNG SORGHUM TERMODIFIKASI Ulya sarofa, Murtiningsih, Yuniar Arianti .................................................................................. 129 ANALISA MUTU TERHADAP KETENGIKAN PADA KELAPA KERING (PLIEK U) DI PIDIE JAYA Vivi Amanda, Ismail Sulaiman, Dewi Yunita ............................................................................ 137 KAJIAN MUTU HEDONIK PEMPEK CERIA DENGAN PEWARNA NABATI Tri Widayatsih dan Fitra Mulia Jaya........................................................................................... 143 PENGEMBANGAN METODE ANALISIS MIGRASI DEHP DAN DBP DARI KEMASAN KERTAS & KARTON KE DALAM SIMULAN PANGAN KERING (TENAX) SECARA KROMATOGRAFI GAS SPEKTROMETER MASSA Wiwi Hartuti, Tanti Lanovia, Hary Wahyu T ............................................................................. 150 ANALISIS KUALITATIF SPESIES PADA PRODUK DAGING OLAHAN YANG TIDAK BERMEREK DI PASAR TRADISIONAL KOTA BANDUNG DENGAN MENGGUNAKAN MULTIPLEX-PCR Yelliantty ..................................................................................................................................... 159

Page 7: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” vii

ANALISIS CEMARAN MIKROBA PADA JAJANAN ANAK SEKOLAH DI KOTA AMBON Sandriana J Nendissa .................................................................................................................... 84 PENGARUH RASIO DAUN/AIR TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA SNACK SEHAT BERBENTUK NORI DARI DAUN CINCAU HIJAU Soenar Soekopitojo, Budi Wibowotomo dan Laili Hidayati ........................................................ 90 KARAKTERISTIK SENSORI, KANDUNGAN KAFEIN, DAN ASAM KLOROGENAT KOPI BUBUK ROBUSTA (Coffea canephora L.) DI TANGGAMUS , LAMPUNG Sri Setyani, Subeki, dan Henrica Agustina Grace ........................................................................ 98 Penurunan Kandungan Sianida dan Protein Tepung Kacang Koro Pedang Dengan Variasi Air Perendam Menggunakan Metode Sirkulasi Berpengaduk (SIRUK) Tantan Widiantara, Yusman Taufik, Yudi Garnida .................................................................... 108 PENGARUH JENIS KEMASAN DAN KONDISI PENYIMPANAN TERHADAP KADAR FENOL, SIFAT FISIKOKIMIA, MIKROBIOLOGIS, DAN ORGANOLEPTIK MINUMAN BERAS KENCUR DARI BERAS HITAM VARIETAS JAWA DAN BERAS HITAM VARIETAS N790 (WAJALOKA) Thomas Indarto Putut Suseno, Ignasius Radix Astadi, Nancy Johan Kurniawan, Elizabeth Astrith Olivea .............................................................................................................. 117 PENURUNAN KOMPONEN TANNIN DAN ASAM FITAT PADA PROSES PENGOLAHAN TEPUNG SORGHUM TERMODIFIKASI Ulya sarofa, Murtiningsih, Yuniar Arianti .................................................................................. 129 ANALISA MUTU TERHADAP KETENGIKAN PADA KELAPA KERING (PLIEK U) DI PIDIE JAYA Vivi Amanda, Ismail Sulaiman, Dewi Yunita ............................................................................ 137 KAJIAN MUTU HEDONIK PEMPEK CERIA DENGAN PEWARNA NABATI Tri Widayatsih dan Fitra Mulia Jaya........................................................................................... 143 PENGEMBANGAN METODE ANALISIS MIGRASI DEHP DAN DBP DARI KEMASAN KERTAS & KARTON KE DALAM SIMULAN PANGAN KERING (TENAX) SECARA KROMATOGRAFI GAS SPEKTROMETER MASSA Wiwi Hartuti, Tanti Lanovia, Hary Wahyu T ............................................................................. 150 ANALISIS KUALITATIF SPESIES PADA PRODUK DAGING OLAHAN YANG TIDAK BERMEREK DI PASAR TRADISIONAL KOTA BANDUNG DENGAN MENGGUNAKAN MULTIPLEX-PCR Yelliantty ..................................................................................................................................... 159

PENENTUAN UMUR SIMPAN CHEESE SPREADABLE ANALOGUE MENGGUNAKAN PERDEKATAN ARRHENIUS METODE ACCELERATED SHELF LIFE TESTING (ASLT) BERDASARKAN RESPON KADAR AIR Yudi Garnida, Yusman Taufik, Jaka Rukmana .......................................................................... 164 Pengolahan Teknologi Pangan ................................................................................................. 169 KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN FUNGSIONAL PATI AREN ASETAT PADA KONSENTRASI PATI AREN YANG BERBEDA Abdul Rahim dan Syahraeni Kadir ............................................................................................. 171 OPTIMASI PENCAMPURAN SARI JERUK NIPIS (Citrus aurantifolia) DAN MALTODEKSTRIN TERHADAP KARAKTERISTIK MUTU MINUMAN SERBUK MENGKUDU (Morinda citrifolia, L.) Aisman, Neswati, Mega Mustika ................................................................................................ 179 KARAKTERISTIK PEMPEK INSTAN DENGAN PENGOLAHAN PENGERINGAN OVEN DAN FREEZE DRYING Alhanannasir, Amin Rejo, Daniel Saputra, Gatot Priyanto ...................................................... 191 PENGARUH SUBSTITUSI EKSTRAK RUMPUT LAUT COKLAT TERHADAP KUALITAS PERMEN JELI Anni Faridah, Rahmi Holinesti, dan Wirnelis Syarif ................................................................. 201 KORELASI SUHU PASTEURISASI DAN PERBANDINGAN EKSTRAK ROSELLA (Hibiscus sabdariffa) DENGAN AIR KELAPA (Cocos nucifera) TERHADAP INTENSITAS WARNA DAN ANTIOKSIDAN Dede Zainal Arief, Yolanda Agustina, dan Nana Sutisna Achyadi ........................................... 211 PENAMBAHAN REMPAH-REMPAH (CENGKEH DAN KAYU MANIS) DALAM PEMBUATAN YOGHURT BERBAHAN BAKU SANTAN KELAPA (NIYOGHURT) Dewi Yunita, Raihan Dary, Syarifah Rohaya ............................................................................ 221 KARAKTER MIE SAGU (Metroxylon sp) DENGAN FORTIFIKASI TEPUNG JAMUR TIRAM (Pleurotus ostreatus) Donowati Tjokrokusumo, Galih Kusuma Aji, Purwa Tri Cahyana, Tantri Eka Putri ............... 227 PENGARUH PERLAKUAN PERENDAMAN DALAM ASAM SITRAT DAN BLANCHING TERHADAP MUTU FISIKOKIMIA TEPUNG UBI JALAR UNGU DAN PEMANFAATANNYA DALAM PEMBUATAN CAKE Elisa Julianti*, Mina Sonita Hutasoit, Herla Rusmarilin, Era Yusraini, Ridwansyah ................ 232 KUALITAS WARNA DAN CITARASA TELUR ITIK YANG DIINJEKSI BAWANG PUTIH (Allium sativum) DAN CABAI (Capsicum annum L) SELAMA PENYIMPANAN SUHU RUANG Endah Murpiningrum, Wahniyathi Hatta, Heru Setia ............................................................... 242

Page 8: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”viii

EKSTRAKSI PEKTIN BUAH PEDADA (Sonneratia caseolaris) DENGAN PELARUT DISODIUM PHOSPHATE Enny Karti Basuki S, Jariyah dan Rizky Mayadita Ayuninggar ................................................. 248 KARAKTERISTIK TEPUNG BIJI TALIPUK (Nymphaea pubescens WILLD) TERMODIFIKASI MENGGUNAKAN RAGI TAPE Fatimah, Ema Lestari dan Dwi Sandri ....................................................................................... 256 DIVERSIFIKASI NUGGET DARI SURIMI IKAN PATIN (Pangasius hypothalamus) DENGAN PENAMBAHANPUREE WORTEL (Daucus carota) TERHADAP SIFAT FISIK WARNA DAN SIFAT ORGANOLEPTIKNYA Fitra Mulia Jaya, Indah Anggraini yusanti .................................................................................. 263 TEKNOLOGI PROSES PENGOLAHAN DAN ANEKA OLAHAN PRODUK PUNDANG SELUANG Haris, H., Widayatsih, T., dan Asmawati ................................................................................... 273 KAJIAN PROSES PENGOLAHAN NUGGET TERUBUK (Saccharum Edule Hasskarl) Hasnelly, Neneng Suliasih, Puspita Yuni Anggorowati ............................................................. 284 KAJIAN PEMATANGAN BUAH MANGGA GEDONG (Mangifera indica, L) PENGARUH KONSENTRASI DAN LAMA PERENDAMAN CaCl2

Ina Siti Nurminabari, Tantan Widiantara, Faldi Adzikri ............................................................ 292 PENGARUH EKSTRAK WORTEL TERHADAP EMULSI VIRGIN COCONUT OIL MENGGUNAKAN CAMPURAN EMULSIFIER TWEEN 80 DAN SPAN 80 Lastri Wiyani, Andi Aladin, Setyawati Yani dan Rahmawati .................................................... 301 PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN MADU SEBAGAI SUPLEMEN MAKANAN Sumanto Pasally, Abu Bakar Tawali, Andi Dirpan, Meta Mahendradatta, Muhammad Asfar ............................................................................................................................................ 309 OPTIMASI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN TOTAL FENOL PADA TEH KULIT BUAH NAGA MENGGUNAKAN RESPONSE SURFACE METHODOLOGY DENGAN PERLAKUAN AWAL DAN PENGERINGAN Mulia W. Apriliyanti, M. Ardiyansyah, Agung Wahyono, Budi Santoso, Anang Febri ............ 313 KAJIAN KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN SENSORIS FRUIT & VEGETABLE LEATHER ASAM JAWA (Tamarindus indica) DAN TOMAT (Lycopersicum commune) DENGAN VARIASI KONSENTRASI SORBITOL Nur Her Riyadi P.,Ardhea Mustika Sari,Anang Darma Judanto ................................................ 323 PRODUKSI JAMUR TIRAM PUTIH DARI BEBERAPA LIMBAH PERTANI Nur Hidayat dan Titik Asiatun .................................................................................................... 333

Page 9: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” ix

EKSTRAKSI PEKTIN BUAH PEDADA (Sonneratia caseolaris) DENGAN PELARUT DISODIUM PHOSPHATE Enny Karti Basuki S, Jariyah dan Rizky Mayadita Ayuninggar ................................................. 248 KARAKTERISTIK TEPUNG BIJI TALIPUK (Nymphaea pubescens WILLD) TERMODIFIKASI MENGGUNAKAN RAGI TAPE Fatimah, Ema Lestari dan Dwi Sandri ....................................................................................... 256 DIVERSIFIKASI NUGGET DARI SURIMI IKAN PATIN (Pangasius hypothalamus) DENGAN PENAMBAHANPUREE WORTEL (Daucus carota) TERHADAP SIFAT FISIK WARNA DAN SIFAT ORGANOLEPTIKNYA Fitra Mulia Jaya, Indah Anggraini yusanti .................................................................................. 263 TEKNOLOGI PROSES PENGOLAHAN DAN ANEKA OLAHAN PRODUK PUNDANG SELUANG Haris, H., Widayatsih, T., dan Asmawati ................................................................................... 273 KAJIAN PROSES PENGOLAHAN NUGGET TERUBUK (Saccharum Edule Hasskarl) Hasnelly, Neneng Suliasih, Puspita Yuni Anggorowati ............................................................. 284 KAJIAN PEMATANGAN BUAH MANGGA GEDONG (Mangifera indica, L) PENGARUH KONSENTRASI DAN LAMA PERENDAMAN CaCl2

Ina Siti Nurminabari, Tantan Widiantara, Faldi Adzikri ............................................................ 292 PENGARUH EKSTRAK WORTEL TERHADAP EMULSI VIRGIN COCONUT OIL MENGGUNAKAN CAMPURAN EMULSIFIER TWEEN 80 DAN SPAN 80 Lastri Wiyani, Andi Aladin, Setyawati Yani dan Rahmawati .................................................... 301 PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN MADU SEBAGAI SUPLEMEN MAKANAN Sumanto Pasally, Abu Bakar Tawali, Andi Dirpan, Meta Mahendradatta, Muhammad Asfar ............................................................................................................................................ 309 OPTIMASI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN TOTAL FENOL PADA TEH KULIT BUAH NAGA MENGGUNAKAN RESPONSE SURFACE METHODOLOGY DENGAN PERLAKUAN AWAL DAN PENGERINGAN Mulia W. Apriliyanti, M. Ardiyansyah, Agung Wahyono, Budi Santoso, Anang Febri ............ 313 KAJIAN KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN SENSORIS FRUIT & VEGETABLE LEATHER ASAM JAWA (Tamarindus indica) DAN TOMAT (Lycopersicum commune) DENGAN VARIASI KONSENTRASI SORBITOL Nur Her Riyadi P.,Ardhea Mustika Sari,Anang Darma Judanto ................................................ 323 PRODUKSI JAMUR TIRAM PUTIH DARI BEBERAPA LIMBAH PERTANI Nur Hidayat dan Titik Asiatun .................................................................................................... 333

TESTUR, KUALITAS PEMASAKAN DAN SENSORI KARAKTERISTIK LAKSA KERING INSTAN BERBAHAN BAKU TEPUNG BERAS KERING GILING DENGAN SUBSTITUSI MOCAF (Modified Cassava Flour) Nura Malahayati, Hermanto ........................................................................................................ 337 KAJIAN TEKNOLOGI PENGEMASAN UNTUK MEMPERTAHANKAN MUTU DAN MEMPERPANJANG DAYA SIMPAN BUAH SALAK Nurdeana Cahyaningrum, Erni Apriyati, dan Nugroho Siswanto............................................... 347 PENGOLAHAN DAGING KELINCI MENJADI BAKSO, NUGGET DAN DENDENG DI BUMIAJI KOTA BATU Nurul Isnaini, Hari Dwi Utami dan Dedes Amertaningtyas ....................................................... 355 KARAKTERISASI RENGGINANG UBIKAYU YANG DIPERKAYA TEPUNG KEPALA IKAN GABUS (Channa striata) Parwiyanti, Hermanto ................................................................................................................. 360 PENGARUH PENAMBAHAN EKSTRAK RUMPUT LAUT COKLAT (Sargassum sp.) TERHADAP KUALITAS ES KRIM Rahmi Holinesti, Anni Faridah, dan Wirnelis Syarif .................................................................. 369 PEMBUATAN PERMEN JELLY DARI KELOPAK BUNGA ROSELLA DAN RUMPUT LAUT Raswen Efendi, Noviar Harun dan Robby Rahadian .................................................................. 376 EVALUASI KUALITAS DONAT TEPUNG KOMPOSIT MOCAF DAN TEPUNG TERIGU DENGAN PENAMBAHAN KUNING TELUR Ratna Yulistiani, Sri Winarti dan Retno Puspaningtyas ............................................................. 385 KAJIAN PEMBUATAN NORI DARI KOMBINASI DAUN SINGKONG (Manihot esculenta) DAN RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) Reni Indriyani dan Subeki .......................................................................................................... 392 KARAKTERISASI PROTEIN DAN LEMAK RENDANG MINANGKABAU Rini, Fauzan Azima, Kesuma Sayuti, Novelina ......................................................................... 404 PENGARUH PENCAMPURAN DAGING KERANG LOKAN (Geloina erosa) DAN IKAN TERI (Stolephorus sp.) TERHADAP KARAKTERISTIK NUGGET YANG DIHASILKAN Sahadi Didi Ismanto, Neswati dan Zakiah Mahaputri ................................................................ 414 ANALISIS SWOT PADA PENERAPAN TEKNOLOGI PEMBUATAN BIOGAS DAN PUPUK ORGANIK CAIR DARI POME DAN MANURE Sarono, Yana Sukaryana, dan Yatim R Widodo ......................................................................... 427

Page 10: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”x

KARAKTERISASI TEPUNG UBI KAYU TERMODIFIKASI DENGAN PERLAKUAN ALKALI Ca(OH)2

Siti Narsito Wulan, Al As’ari dan Simon B. Widjanarko ........................................................... 436 PENGARUH PERLAKUAN BLANCHING PADA TOTAL ANTOSIANIN, TOTAL FENOLIK DAN AKIVITAS ANTIOKSIDAN PADA PEMBUATAN TEPUNG UWI UNGU (Dioscorea alata L) Siti Tamaroh, Sri Raharjo ........................................................................................................... 446 KUALITAS ES KRIM DENGAN FORTIFIKASI SARI BUAH MURBEI (Morus alba L.) DAN PENAMBAHAN SUSU SKIM Sri Djajati, Jariyah, Anjani .......................................................................................................... 453 PENGARUH PENGECILAN UKURAN DAN LAMA FERMENTASI TERHADAP KUALITAS MOCAF (MODIFIED CASSAVA FLOUR) Sri Winarti, Sudaryati HP. dan Fathur Rachman Hakim ............................................................ 460 KARAKTERISTIK PHISIKOKIMIA COOKIES GLUTEN FREE PHYSICO-CHEMICAL CHARACTERISTIC OF GLUTEN-FREE COOKIES Sudaryati, Sri Winarti, Ardian Devi Gavetasari ......................................................................... 469 KAJIAN PENINGKATAN KUALITAS BERAS MERAH (Oryza nivara) INSTAN DENGAN CARA FISIK Sumartini, Hasnelly,Sarah .......................................................................................................... 475 PENGARUH STEAMING TERHADAP KARAKTERISTIK KIMIA DAN DAYA REHIDRASI TEPUNG KACANG NAGARA SEBAGAI BAHAN BAKU BREAKFAST CEREAL Susi, Lya Agustina dan Sasi Gendrosari .................................................................................... 486 PENGARUH TEPUNG KETAN DAN GULA PASIR PADA PEMBUATAN DODOL DARI AMPAS BELIMBING WULUH (AVERRHOA BILIMBI L.) Syahril Makosim, Muhami, Nissa Fitri Efilia ............................................................................. 497 KARAKTERISTIK KIMIA TEPUNG BIJI PALADO (Aglaia sp) YANG DIMODIFIKASI DENGAN METODE CROSS-LINKING DAN ASETILASI Syamsul Rahman, Awaluddin Rauf, dan Susilawaty Hardiani ................................................... 504 PENGARUH KONSENTRASI ENZIM PAPAIN (Carica papaya L) DAN SUHU FERMENTASI TERHADAP KARAKTERISTIK CRACKERS Thomas Gozali, Neneng Suliasih, Jaka Rukmana, Fitrianasari Budiman................................... 513

Page 11: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1

KARAKTERISASI TEPUNG UBI KAYU TERMODIFIKASI DENGAN PERLAKUAN ALKALI Ca(OH)2

Siti Narsito Wulan, Al As’ari dan Simon B. Widjanarko ........................................................... 436 PENGARUH PERLAKUAN BLANCHING PADA TOTAL ANTOSIANIN, TOTAL FENOLIK DAN AKIVITAS ANTIOKSIDAN PADA PEMBUATAN TEPUNG UWI UNGU (Dioscorea alata L) Siti Tamaroh, Sri Raharjo ........................................................................................................... 446 KUALITAS ES KRIM DENGAN FORTIFIKASI SARI BUAH MURBEI (Morus alba L.) DAN PENAMBAHAN SUSU SKIM Sri Djajati, Jariyah, Anjani .......................................................................................................... 453 PENGARUH PENGECILAN UKURAN DAN LAMA FERMENTASI TERHADAP KUALITAS MOCAF (MODIFIED CASSAVA FLOUR) Sri Winarti, Sudaryati HP. dan Fathur Rachman Hakim ............................................................ 460 KARAKTERISTIK PHISIKOKIMIA COOKIES GLUTEN FREE PHYSICO-CHEMICAL CHARACTERISTIC OF GLUTEN-FREE COOKIES Sudaryati, Sri Winarti, Ardian Devi Gavetasari ......................................................................... 469 KAJIAN PENINGKATAN KUALITAS BERAS MERAH (Oryza nivara) INSTAN DENGAN CARA FISIK Sumartini, Hasnelly,Sarah .......................................................................................................... 475 PENGARUH STEAMING TERHADAP KARAKTERISTIK KIMIA DAN DAYA REHIDRASI TEPUNG KACANG NAGARA SEBAGAI BAHAN BAKU BREAKFAST CEREAL Susi, Lya Agustina dan Sasi Gendrosari .................................................................................... 486 PENGARUH TEPUNG KETAN DAN GULA PASIR PADA PEMBUATAN DODOL DARI AMPAS BELIMBING WULUH (AVERRHOA BILIMBI L.) Syahril Makosim, Muhami, Nissa Fitri Efilia ............................................................................. 497 KARAKTERISTIK KIMIA TEPUNG BIJI PALADO (Aglaia sp) YANG DIMODIFIKASI DENGAN METODE CROSS-LINKING DAN ASETILASI Syamsul Rahman, Awaluddin Rauf, dan Susilawaty Hardiani ................................................... 504 PENGARUH KONSENTRASI ENZIM PAPAIN (Carica papaya L) DAN SUHU FERMENTASI TERHADAP KARAKTERISTIK CRACKERS Thomas Gozali, Neneng Suliasih, Jaka Rukmana, Fitrianasari Budiman................................... 513

Mutu dan Keamanan Pangan

Page 12: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”2

Page 13: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 3

KAJIAN PERAN JENIS PEMANTAP PADA KUALITAS NORI DARI RUMPUT LAUT ( Gracilaria sp)

THE STUDY OF STABILIZER TYPES OF NORI QUALITY FROM SEAWEED

(Gracilaria sp)

Rosida, D, F.*, Susiloningsih, E, K, B., Ilmi, M, I, M, D., Hapsari, N Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknik, UPN “ Veteran” Surabaya

*Email Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Nori is a traditional Japanese food made from red seaweed (Porphyra). Gracilaria sp. species is rarely used because of its brownish color and it is difficult to dissolve when heated. Gracilaria sp. has elastic characteristic, easy to form and its price is also relatively cheap compared to carrageenan The purpose of this research was to make nori from local seaweed of Glacilaria sp. with the addition of ingredients to improve the quality of the texture product Chitosan, gelatin and pectin were used as a functional component because of its ability to form dilute gels that can form strong, elastic, flexible and hard to tear products. Research method using Completely Randomized Design with the first factor was the type of ingredient (Chitosan, gelatin, pectin) and the second factor were (2%, 3%, 4%). The best nori result was obtained from the addition of 3% gelatin which produced with moisture content of 5.42% , Ash of 4.53%, protein content of 11.29%, Tensile strength 12,40 (N). Keywords: Chitosan, gelatin, Gracilaria sp., Nori, Pectin

ABSTRAK

Nori merupakan makanan tradisional Jepang yang terbuat dari rumput laut merah jenis (Porphyra) yang saat ini masih diimpor. Rumput laut jenisGracilaria sp .jarang sekali dimanfaatkan secara langsung karena warnanya yang agak kecoklatan dan sukar larut apabila dipanaskan. Tetapi Gracilaria sp. mempunyai sifat yang elastis, mudah dibentuk dan harganya juga relatif murah dibandingkan dengan karagenan Tujuan penelitian ini dilakukan pembuatan nori dari bahan baku rumput laut lokal dari jenis (Glacilaria sp. dengan penambahan bahan pemantap tekstur untuk memperbaiki kualitas produk. Kitosan, gelatin dan pektin digunakan secara luas sebagai komponen fungsional karena kemampuannya untuk membentuk gel encer yang dapat membentuk produk yang kuat, elastis, fleksibel dan sulit dirobek sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pemantap tekstur untuk memeperbaiki kualitas nori yang dihasilkan. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan faktor pertama adalah jenis bahan pemantap yang dipergunakan (kitosan, gelatin dan pektin) dan faktor kedua adalah konsentrasi bahan pemantap (2%, 3%, 4%). Hasil penelitian terbaik, diperoleh pada perlakuan penambahan bahan pemantap gelatin 3% yang menghasilkan nori dengan kadar air 5,42%, kadar abu 4,53%, kadar protein 11,29%, kuat tarik 12,40 (N). Kata kunci : gelatin, Gracilaria sp., kitosan, Nori, pektin

Page 14: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”4

PENDAHULUAN

Glacilaria sp. merupakan salah satu jenis rumput laut ekonomis penting di Indonesia yang belum termanfaatkan secara luas. Menurut Lahrech et al. (2005), Glacilaria sp. adalah salah satu jenis rumput laut penghasil agar-agar (agarofit), dan McHugh (2003) mengemukakan bahwa kandungan agar-agar pada Glacilaria sp. adalah 44%. Gracilaria sp. merupakan jenis rumput laut yang paling banyak digunakan dalam produksi agar-agar. Hal ini karena Gracilaria sp. mudah diperoleh, murah harganya dan juga lebih mudah dalam pengolahan.

Rumput laut jenis Gracilaria sp.jarang sekali dimanfaatkan secara langsung karena warnanya yang agak kecoklatan dan sukar larut apabila dipanaskan. Tetapi Gracilaria sp. mempunyai sifat yang elastis, mudah dibentuk dan harganya juga relatif murah dibandingkan dengan karagenan (Winarno, 1996). Di Jepang, pemanfaatan rumput laut tidak hanya berfungsi sebagai penghasil agar-agar, melainkan dikembangkan juga menjadi asinan, sayur, salad, wakame, kombu, dan nori.

Nori merupakan makanan tradisional dari rumput laut merah yang dikonsumsi setelah dikeringkan atau dipanggang (Kuda et al. 2004). Menurut Dawezynski et al.(2007), nori berasal dari Jepang, bahan baku pembuatannya adalah rumput laut merah jenis Porphyra. Nori merupakan sediaan yang memiliki nilai gizi tinggi, hal inilah yang menjadi alasan mengapa nori banyak diproduksi dan dikonsumsi di Jepang, China dan Korea. Produsen nori terbesar saat ini adalah negara Jepang, China dan Korea yaitu dengan total produksi mencapai 2 milyar lembar per tahun. Nori yang dikonsumsi saat ini masih diimpor dari Negara Jepang, Korea, China. Di Indonesia, nori banyak dibutuhkan terutama di restoran-restoran China dan Jepang yang menyajikan menu siap sajinya. Kebutuhan

nori yang demikian besar dan keterbatasan ketersediaan rumput laut jenis Phorphyra yang hanya dikembangkan secara intensif di Asia Timur, sehingga perlu dilakukan pembuatan noridari bahan baku rumput laut yang banyak terdapat di Indonesia, yaitu rumput laut jenis Glacilariasp.(Teddy, 2009).

Jenis-jenis bahan bahan pemantap tekstur yang memungkinkan digunakan pada pembuatan “Nori Gracilaria sp.” diantaranya : kitosan, gelatin dan pektin. Penambahan bahan bahan pemantap tekstur dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas tekstur nori melalui pembentukan gel sebagai pengikat, untuk memperoleh tekstur yang mirip dengan nori komersial pada umumnya. Pada penelitian ini telah dibuat nori dari bahan dasar rumput laut dari jenis Gracilaria sp.dengan penambahan 3 jenis bahan pemantap tekstur, yaitu:kitosan, gelatin dan pektin dengan tujuan meningkatkan kualitas produk, sehingga didapatkan produk nori dari rumput laut (Gracilaria sp.) dengan kualitas yang baik.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan dalam penelitian

ini antara lain rumput laut Gracilaria sp. dari BBAP Pasuruan, kitosan dari kulit udang, gelatin dari tulang sapi dan pektin dari kulit jeruk. Pada penelitian ini variabel berubah meliputi dua faktor, masing-masing terdiri dari tiga level. Faktor pertama merupakan jenis bahan pemantap/penstabil tekstur (Kitosan, Gelatin, pectin) dan faktor kedua merupakan konsentrasi bahan pemantap/penstabil ( 2%, 3%,4%).

Penelitian ini dilakukan menggunakan design RAL (Rancangan Acak Lengakap) dengan metode faktorial dua faktor dengan pengulangan. Selanjutnya data dianalisa dengan metode analisis sidik ragam. Untuk mengetahui adanya perbedaan diantara perlakuan digunakan uji DMRT. Prosedur Penelitian

Page 15: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 5

a. Pembuatan larutan bahan pemantap tekstur (kitosan, gelatin, pectin) Kitosan, gelatin dan pectin diformulasi dengan konsentrasi masing-masing 2%, 3% dan 4% untuk 2 liter air mineral. Pelarutan kitosan, gelatin dan pektin masing-masing dilarutkan dengan air mineral dengan suhu 30 oC untuk kitosan dan 90 oC untuk gelatin dan pektin sampai volume 3 liter air. Larutan yang sudah dilarutkan kemudian diaduk hingga homogen.

b. Pembuatan nori Rumput laut jenis gracilaria sp. Dibersihkan dari kotoran-kotoran yang menempel dengan mencuci menggunakan air biasa. Rumput laut yang sudah bersih dimasak dalam air yang sudah mendidih selama 3 menit atau sampai rumput laut terlihat layu. Rumput laut yang sudah dimasak, kemudian didinginkan pada suhu kamar selama 5 menit. Rumput laut yang sudah dingin, kemudian diblender selama 20 detik sampai menjadi bubur. Bubur rumput laut ditimbang dengan berat masing-masing 50 gr. Bubur rumput laut dicetak berbentuk lembaran tipis segi empat di dalam tikar bambu yang dibingkai dengan cetakan kayu persegi berukuran 14 x 12 x 3 cm di dalam masing-masing wadah bahan pemantap tekstur. Lembaran nori dikeringkan menggunakan cabinet dryer suhu 40°C selama 4 jam. Nori yang sudah kering,digoreng di dalam minyak goreng mendidih dengan cara dicelupkan selama 2 detik dengan 2 kali penggorengan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar air dan Abu Pada penambahan bahan pemantap tekstur

gelatin dan kitosan mempunyai kadar air yang relatif rendah. Hal ini diduga karena gelatin dan kitosan bersifat hidrogel yang hanya menyerap dan mudah melepaskan air dan nutrisi secara

proposional pada saat dibutuhkan, sehingga mengakibatkan nilai kadar air pada produk nori mempunyai nilai yang rendah. Menurut Rohindra et al. (2004), hidrogel merupakan jaringan dari cincin polimer yang mampu menyerap air dalam jumlah besar tanpa larut dalam air. Hidrogel kadang berbentuk gel koloid yang mampu mendispersi pada air. Hidrogel tidak larut dalam air tetapi dia hanya menyerap dan akan melepaskan air dan nutrisi secara proposional pada saat dibutuhkan. Menurut Kroschwitz (1992), sifat hidrofilik dari hidrogel dipengaruhi oleh adanya gugus hidroksil, gugus karboksilat, gugus amida dan gugus hidrosulfit. Sedangkan ketidaklarutan dalam air dipengaruhi oleh struktur tiga dimensi dari hidrogel. Kemampuan hidrogel untuk mengembang dalam air merupakan hasi dari keseimbangan antara kekuatan sebar pada rantai hidrat dengan kekuatan kohesi yang mencegah penetrasi air ke dalam hidrogel. Pada penelitian ini kadar air nori berada pada kisaran 7,32 – 9,35%

Nori dengan penambahan pektin terlihat mempunyai nilai kadar air paling tinggi. Hal ini diduga karena pektin merupakan senyawa polisakarida yang mampu menyerap air dan menahannya dalam struktur molekulnya sehingga mengakibatkan struktur molekul dapat saling berikatan kuat dengan air. Selain itu, pektin memiliki ion bebas OH- sehingga akan mengikat dan mempertahankan air bebas yang ada pada bahan lebih lama dan mengakibatkan kadar air pada produk nori mempunyai nilai kadar air paling tinggi. Menurut Estiasih (2006), karena kemampuannya berikatan hidrogen dan air, polisakarida mampu menyerap air dan menahannya dalam struktur molekulnya. Pada keadaan setimbang, polisakarida dapat menahan air 8 – 12%. Menurut Srivastava et al. (2011), pektin mampu mengikat air sehingga molekul-molekul air terperangkap dalam struktur gel yang terbentuk. Pernyataan ini juga diperkuat oleh Harijono dkk. (2001), pektin sebagai hidrokoloid memiliki ion bebas OH- yang mampu berikatan dengan H2O (air) sehingga ikatan menjadi kuat.

Page 16: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”6

Konsentrasi penambahan bahan pemantap tekstur semakin tinggi, maka semakin tinggi kadar air yang terkandung dalam nori. Peningkatan kadar air pada nori diduga karena molekul air saling berikatan dengan molekul bahan pemantap tekstur sehingga mengakibatkan molekul air terperangkap pada bahan dan tidak dapat menguap secara maksimalpada saat dilakukan proses pengeringan. Adapun pada pengamatan perbedaan jenis bahan pemantap tekstur juga turut mempengaruhi nilai kadar abu produk nori. Noridengan penambahan bahan pemantap tekstur gelatin mempunyai kadar abu yang paling rendah. Hal ini diduga karena sedikitnya kandungan mineral yang terdapat pada gelatin yang mengakibatkan sedikitnya kadar abu pada nori dengan penambahan bahan pemantap tekstur gelatin. Menurut Schieber dan Gareis (2007), kadar abu gelatin berkisar antara 2% - 4%.

Nori dengan penambahan bahan pemantap tekstur kitosan juga mempunyai kadar abu yang cukup rendah. Hal ini diduga karena kandungan mineral yang terkandung dalam kitosan yang dipakai sebagai bahan pemantap tekstur mempunyai nilai kadar abu yang cukup rendah sehingga dihasilkan nori dengan kadar abu yang rendah. Menurut Zulfikar dan Ratnadewi (2006) kadar abu kitosan berkisar antara 5% - 6%.

Nori berlapis bahanpemantap tekstur pektin mempunyai nilai kadar abu tertinggi hal ini diduga karena tingginya kandungan mineral yang terdapat pada komponen penyusun pektin yang digunakan sehingga dihasilkan nori dengankadar abu yang paling tinggi.Menurut Elizabeth et al. (2014) kadar abu pektin berkisar antara 6.5%-8.9%. Menurut Budiyanto dan Yulianingsih (2008), hidrolisis protopektin menyebabkan bertambahnya kandungan kalsium dan magnesium pada pektin. Kalsium dan megnesium merupakan mineral sebagai pembentuk komponen abu. Menurut Sudarmadji (1997), menuliskan bahwa kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan, mineral dapat berupa garam klorida, magnesium, kalsium dan sulfur.

Kadar protein

Perbedaan jenis bahan pemantap tekstur menunjukkan tingkat kadar protein yang cukup signifikan. Kadar protein pada nori berlapis bahan pemantap tekstur gelatin memiliki nilai kadar protein paling tinggi. Tingginya kadar protein pada nori berlapis bahan pemantap tekstur gelatin diduga karena berasal dari bahan penyusun gelatin tersebut yang berupa asam amino sehingga dapat meningkatkan nilai kadar protein dari nori yang berlapis bahan pemantap tekstur gelatin.

Tabel 1. Kadar protein nori

Perlakuan Kadar abu (%) Kadar Protein (%) Jenis Bahan Pemantap

Tekstur Konsentrasi(%)

Kitosan 2 4.41a ± 0.05 8.06c ± 0.01

Kitosan 3 4.91c ± 0.10 8.38d ± 0.03

Kitosan 4 5.41d ± 0.02 8.62e ± 0.01

Gelatin 2 4.24a ± 0.03 10.66f ± 0.07

Gelatin 3 4.53a ± 0.02 11.29g ± 0.02

Gelatin 4 4.61b ± 0.09 11.82h ± 0.05

Pektin 2 6.06e ± 0.08 6.53a ± 0.04

Pektin 3 6.45f ± 0.04 6.56a ± 0.03

Pektin 4 6.70g ± 0.13 6.59b ± 0.00

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang berbeda berarti berbeda nyata (p <0,05)

Page 17: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 7

Menurut Bourtoom (2008), gelatin merupakan salah satu jenis protein konversi yang diperoleh melalui proses hidrolisis kolagen dari kulit, tulang dan jaringan serat putih (white fibrous) hewan. Menurut Schieber and Gareis(2007), kadar protein gelatin berkisar 84% -86%.

Pada Tabel 1. menunjukkan bahwa kadar protein nori berkisar antara 6,53%-11,82%. Perlakuan jenis bahan pemantap tekstur pektin konsentrasi 2% menghasilkan kadar protein terendah yaitu 6,53%, sedangkan perlakuan jenis bahan pemantap tekstur gelatin konsentrasi 4% menghasilkan kadar protein tertinggi yaitu 11,82%. konsentrasi penambahan bahan pemantap tekstur semakin tinggi maka kadar protein pada nori akan semakin meningkat, hal ini disebabkan karena meningkatnya kadar asam amino yang terkandung dalam larutan bahan pemantap tekstur, sehingga meningkatkan nilai kadar protein pada nori pada saat dilapisi dengan bahan pemantap tekstur.

Adapun kadar protein nori berlapis bahan pemantap tekstur pektin memiliki nilai kadar

protein paling rendah. Hal ini diduga karena pektin merupakan senyawa polisakarida sehingga tidak terjadi penambahan nilai kadar protein pada nori. Menurut McCready (1965), pektin adalah polisakarida kompleks bersifat asam yang terdapat dalam jumlah yang bervariasi, terdistribusi secara luas dalam jaringan tanaman, umumnya terdapat di dalam dinding sel primer dan khususnya di sela-sela antar selulosa dan hemiselulosa.

Kuat Tarik Kuat tarik nori berkisar antara 10,20-

13,10 N. Perlakuan penambahan bahan pemantap teksturgelatin dengan konsentrasi 2% menunjukkan kuat tarik terendah yaitu 10.20 N, sedangkan perlakuan penambahan bahan pemantap tekstur gelatin dengan konsentrasi 4% menunjukkan kuat tarik tertinggi yaitu 13,10 N. Grafik hubungan antara penambahan bahan pemantap tekstur dan jumlah konsentrasi penambahan terhadap kuat tarik nori dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Hubungan antara jenis dan konsentrasi bahan pemantap tekstur terhadap kuat

tarik nori. Pada Gambar 1. menunjukkan

bahwasemakin tinggi konsentarsi panambahan bahan pemantap tekstur maka nilai kuat tarik pada nori akan semakin

meningkat.Hal ini diduga karena meningkatnya komponen hidrokoloid (kitosan, gelatin dan pektin)sebagai pembentuk gel yang terkandung didalam

Page 18: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”8

larutan bahan bahan pemantap tekstursehingga gaya interaksi antar matriks molekul yang terdapat dalam bahan pemantap tekstursemakin kuat, sehingga dapat meningkatkan nilai kuat tarik dari nori yang dihasilkan.Menurut Hasanah (2007), nilai kekuatan tarik film dipengaruhi oleh formulasi bahan pembentuk gel, semakin kuat gel terbentuk maka akan semakin tinggi nilai kuat tariknya. Pembentukan gel terjadi dengan adanya pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga membentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan dan jala ini dapat menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya sehingga membentuk struktur yang kuat dan kaku sehingga menyebabkan kuat tarik nori meningkat. Menurut Hirano et al.(1999); Ghanem dan Skonberg(2002), besarnya kandungan bahan pemantap tekstur mengakibatkan semakin meningkatnya kekuatan gel sehingga akan meningkatkan interaksi molekul yang berdampak pada meningkatnya nilai kuat tarik.

Perbedaan jenis bahan pemantap tekstur menunjukkan bahwa bahan pemantap tekstur gelatin mempunyai nilai kuat tarik tertinggi pertama yaitu 13,10 N. Hal ini diduga karena gelatin mempunyai nilai kekuatan gel yang tinggi sehingga dihasilkan nori dengan kuat tarik tertinggi. Menurut Wahyuni dan Peranginangin (2005), gelatin memiliki kekuatan gel sebesar 3,90 N.

Nori dengan penambahan bahan pemantap tekstur pektin mempunyai nilai kuat tarik lebih rendah daripada gelatin yaitu 12,60 N. Hal ini diduga karena pektin mempunyai tingkat kekuatan gel yang lebih rendah dari gelatin sehingga dihasilkan nori dengan kuat tarik yang lebih rendah daripada nori yang berlapis bahan pemantap tekstur gelatin. Menurut Wachida dan Yunianta (2013), kekuatan gel pada pektin kulit jeruk sebesar 3,22 N.

Nori dengan penambahan bahan pemantap tekstur kitosan mempunyai nilai kuat tarik terendah yaitu 11,70 N. Hal ini diduga karena kitosan mempunyai tingkat kekuatan gel terendah daripada gelatin dan pektin sehingga dihasilkan nori dengan kuat tarik yang paling rendah. Menurut Lauto et al.(2005) kekuatan gel pada kitosan kulit udang sebesar 2,4 N.

Menurut Wu (2008), nilai kuat tarik dipengaruhi oleh formulasi bahan. Menurut Gontard dan Guilbert (1995), faktor-faktor yang mempengaruhi kuat tarik suatu bahan adalah total padatan terlarut dan interaksi molekul di dalamnya.

KESIMPULAN

Hasil penelitian ini didapatkan perlakuan

terbaik pada penambahan bahan penstabil gelatin dan konsentrasi 3%,yang memiliki nilai kadar air 5,42%, kadar abu 4,53%, kadar protein 11,29% dan kuat tarik12,40 N

DAFTAR PUSTAKA

Bourtoom, T. 2008. ”Edible films and

coatings characteristics and properties”. International Food Research Journal 15(3): 237-248.

Budiyanto, A. dan Yulianingsih. 2008. “Pengaruh Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Karakter Pektin Dari Ampas Jeruk Siam (Citrus nobilis L.)”, Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian.

Dawezynski, C. Rainer, S. and Gerhard, J. 2007. ”Amino acids, fatty acids and dietary fibre in edible seaweed product”. J. Food Chem.Vol. 103:891-899.

Elizabeth, D. Shukla, R.N.Abraham, A. Jarpula,S. and Kaushik, U. 2014.“Optimized Extraction Condition and of Pectin from Orange Peel”. International Journal of Research in Engineering & Advanced Technology, Volume 2, Issue 2, Apr-May, ISSN: 2320 – 8791.

Estiasih, T. 2006. “Teknologi dan Aplikasi Polisakarida Dalam Pengolahan Pangan”. Jilid 1, Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.

Ghanem, A. and Skonberg, D. 2002. ”Effect of preparation method on the capture and release of biologically active

Page 19: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 9

molecules in chitosan gel beads”. J Appl. Polym. Sci. Vol. 84:405–413.

Gontard, N. and Guilbert, S. 1995. “Edible and biodegradable food packaging. In Foods and packaging materials chemical interactions”. P. Ackermann, M. Jägerstad, and T. Ohlsson (Eds.). The Royal Society of Chemistry, Cambridge, UK, pp. 159–168.

Harijono, Kusnadi,J. dan Mustikasari, S.A. 2001.“Pengaruh Kadar Pektin dan Total Padatan Terlarut Sari Buah Apel Muda terhadap Aspek Kualitas Permen Jelly”. Jurnal Teknologi Pertanian, 2(2): 110 – 116.

Hasanah, H. 2007. “Nori Imitasi dari Tepung Agar Hasil Ekstraksi Rumput Laut Merah (Gelidium sp.).Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Hirano, S. Nakahira, T. Nakagawa, M.and Kim, S.K. 1999. ”The preparation and applications of functional fibers from crab shell chitin”. J Biotechnol. Vol. 70:373–7.

Kroschwitz, J. 1992. “Polymer : Biomaterial and Medical Application”. New York. John Willey and Sons Inc. p. 228 – 248.

Kuda, T. Makiko, T. Hishi, T. and Araki, Y. 2004. “Antioxidant Properties of Dried “kayamo-nori” A Brown Alga Scytosiphon lomentaria (Scytosiphonales)”, Vinogradova. J. Food Chem.Vol. 89:617-622.

Lahrech, K. Safouane, A. and Peyrellasse, J. 2005. ”Sol State Formation and Melting of Agars Gels Rheological Study”. J. Physica A. 358:205-211.

Lauto, A. Hook, J. Doran, M. Camacho, F. Poole-Warren, L.A. Avolio, A. and Foster, L.J. 2005. “Chitosan Adhesive for Laser Tissue Repair: In Vitro Characterization”. Lasers in Surgery and Medicine 36:193 - 201.

McHugh,T.H. 2003. ”A Guide To The Seaweed Industry”. FAO Fisheries Technical Paper. Page: 441.

Rohindra, D.R. Ashveen, V. Nand, Jagjit, R. Khurma,. 2004. “Swelling Properties of Chitosan Hydrogel”. The South Pacific Journal of Natural Science 22(1), 32.35

Srivastava, P. andMalviya, R. 2011. “Sources of Pectin, Extraction and Its Applications in Pharmaceutical Industry - An Overview”. Indian Journal of Natural Products and Resources2 (1): 10-18.

Teddy, M.S. 2009, “Pembuatan nori Secara Tradisional Dari Rumput Laut Jenis Gracilaria sp.”. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Perairan. Fak. Perik. dan Ilmu Kelautan. IPB

Wachida, N. dan Yunianta, 2013. “Ekstraksi Pektin dari Kulit Jeruk Manis (Citrus sinensis Osbeck) Dengan Kajian Tingkat Kematangan dan Jenis Pengendap”. Skripsi. Teknologi Hasil Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.

Wahyuni, M. dan Peranginangin, R. 2005. “Perbaikan Daya Saing Industri Pengolahan Perikanan Melalui Pemanfaatan Limbah Non Ekonomis Ikan Menjadi Gelatin”. Http:// www.dkp.go.id. Diakses tanggal 3 November 2008).

Winarno, F.G. 1996. “Teknologi Pengolahan Rumput Laut”. PT.Gramedia Pustaka Utama.Jakarta Wu, R.Y. 2008. “Process for preparing a hand-held snack item, and the product”. United States Patent.

Zulfikar dan Ratnadewi I. 2006. “Isolasi dan Karakterisasi Fisikokimia-Fungsional Kitosan Udang Air Tawar (Macrobrachium sintangense de Man.)”. USU./ Jurnal Teknologi Proses 5 (2) Juli 2006: 129 - 137 ISSN 1412-7814.

Page 20: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”10

ANALISIS ORGANOLEPTIK MIE SAGU DIPERKAYA DENGANTEPUNG JAMUR

ORGANOLEPTIC ANALYSES OF SAGO NOODLE FORTIFIED WITH GROUNDED MUSHROOM

Donowati Tjokrokusumo

Center for Agroindustrial Technology Agency for the Assessment and Application of Technology

Laboratoria Teknologi Industri Agro dan Biomedika Email Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Noodle is a favorite type of food consumed by Indonesians from children to adults. The objective of this research is to know the organoleptic test of sago noodle mixed with mushroom starch (2%, 3%, and 4%). Parameters are observed in terms of color, aroma, texture, taste and overall performance received value. The test results of hedonic scale 1-9 were tested by statistical tests performed using Kruskall-Wallis and Mann-Whitney methods. The overall result indicated that sago noodles enriched with oyster mushroom starch is acceptable for all treatments (5.53 – 6, 73), including color (5,10-6,3), aroma (5,87 - 7.0), texture (5,38 - 6,07) and overall tested (5,50 - 6,50). The addition of ground oyster mushrooms in all concentration values indicated that the texture value differred considerably from the control. Keywords: Ground mushroom, noodles, organoleptic test, sago starch

ABSTRAK

Mie merupakan jenis makanan favorit yang dikonsumsi orang Indonesia dari anak-anak sampai orang dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui uji coba organoleptik terhadap mie sagu yang dicampur dengan tepung jamur (2%, 3%, dan 4%). Parameter yang diamati dalam hal ini adalah warna, aroma, tekstur, rasa dan nilai keseluruhan yang diterima. Hasil pengujian skala hedonik 1-9 diuji dengan uji statistik yang dilakukan dengan menggunakan metode Kruskall Wallis dan Mann-Whitney. Hasil keseluruhan bahwa mie sagu yang diperkaya dengan tepung jamur tiram dapat diterima untuk semua perlakuan dengan pola uji, seperti berturut-turut rasa (4,6-6,1), warna (5,6-6,3), aroma (4,8 - 7,0) dan tekstur (4,8-6,7), serta nilai keseluruhan (4,8 - 6.7). Penambahan jamur tiram dalam semua nilai konsentrasi menunjukkan tekstur yang berbeda sangat nyata terhadap kontrol. Hasil ini menyatakan bahwa pemberian tepung jamur memberikan efek terhadap produk mie dengan tekstur yang lebih baik. Kata kunci: Mie, tepung jamur, pati sagu, organoleptic test

Page 21: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 11

ANALISIS ORGANOLEPTIK MIE SAGU DIPERKAYA DENGANTEPUNG JAMUR

ORGANOLEPTIC ANALYSES OF SAGO NOODLE FORTIFIED WITH GROUNDED MUSHROOM

Donowati Tjokrokusumo

Center for Agroindustrial Technology Agency for the Assessment and Application of Technology

Laboratoria Teknologi Industri Agro dan Biomedika Email Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Noodle is a favorite type of food consumed by Indonesians from children to adults. The objective of this research is to know the organoleptic test of sago noodle mixed with mushroom starch (2%, 3%, and 4%). Parameters are observed in terms of color, aroma, texture, taste and overall performance received value. The test results of hedonic scale 1-9 were tested by statistical tests performed using Kruskall-Wallis and Mann-Whitney methods. The overall result indicated that sago noodles enriched with oyster mushroom starch is acceptable for all treatments (5.53 – 6, 73), including color (5,10-6,3), aroma (5,87 - 7.0), texture (5,38 - 6,07) and overall tested (5,50 - 6,50). The addition of ground oyster mushrooms in all concentration values indicated that the texture value differred considerably from the control. Keywords: Ground mushroom, noodles, organoleptic test, sago starch

ABSTRAK

Mie merupakan jenis makanan favorit yang dikonsumsi orang Indonesia dari anak-anak sampai orang dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui uji coba organoleptik terhadap mie sagu yang dicampur dengan tepung jamur (2%, 3%, dan 4%). Parameter yang diamati dalam hal ini adalah warna, aroma, tekstur, rasa dan nilai keseluruhan yang diterima. Hasil pengujian skala hedonik 1-9 diuji dengan uji statistik yang dilakukan dengan menggunakan metode Kruskall Wallis dan Mann-Whitney. Hasil keseluruhan bahwa mie sagu yang diperkaya dengan tepung jamur tiram dapat diterima untuk semua perlakuan dengan pola uji, seperti berturut-turut rasa (4,6-6,1), warna (5,6-6,3), aroma (4,8 - 7,0) dan tekstur (4,8-6,7), serta nilai keseluruhan (4,8 - 6.7). Penambahan jamur tiram dalam semua nilai konsentrasi menunjukkan tekstur yang berbeda sangat nyata terhadap kontrol. Hasil ini menyatakan bahwa pemberian tepung jamur memberikan efek terhadap produk mie dengan tekstur yang lebih baik. Kata kunci: Mie, tepung jamur, pati sagu, organoleptic test

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan konsumen mie instant tertinggi kedua di dunia, setelah China. Mie merupakan produk makanan dengan komponen terbesarnya adalah terigu. Sehingga tidak mengherankan bahwa Indonesia adalah negara pengimpor gandum dalam jumlah besar. Subtitusi tepung terigu dengan sumber karbohidrat lainnya telah banyak dilakukan oleh para penelitian. Salah satunya kegiatan di bidang pengkajian dan pengembangan bahan baku lokal pada Pusat Teknologi Agroindustri menggunakan sagu sebagai bahan dasar pembuatan mie.

Pati sagu yang berasal dari hasil ekstrasi batang sagu (Metroxylon sp) layak dikembangkan sebagai bahan makanan karena sagu kaya akan karbohidrat, meskipun kandungan protein dan seratnya rendah. Oleh karenanya produk mie yang terbuat dari pati sagu perlu ditambah dengan bahan lain yang bisa memperkaya nilai nutrisi mie yang dihasilkan. Sementara itu, jamur tiram putih merupakan jenis jamur kayu yang paling mudah dibudidayakan karena dapat tumbuh diberbagai macam substrat (tempat menempel jamur) dan mempunyai kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang tinggi. Kandungan protein jamur tiram putih rata-rata 3,5% sampai 4% dari berat basah. Jamur ini memiliki protein dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan asparagus dan kubis (Cahyana dan Mucrodji, 1999). Jamur tiram putih juga mengandung sembilan asam amino esensial yang tidak bisa disintesis dalam tubuh, yaitu lisin, metionin, triptofan, threonin, valin, leusin, isoleusin, histidin dan fenilalanin. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) dinamakan demikian karena bentuknya seperti tiram atau oyster mushroom. Jamur tiram adalah jamur kayu

yang tumbuh berderet menyamping pada batang kayu lapuk. Jamur ini memiliki tubuh buah yang tumbuh mekar membentuk corong dangkal seperti kulit kerang. Tetapi ada yang menyebut sebagai Jamur Barat. Ada beberapa jenis jamur tiram yaitu Jamur tiram putih susu, Jamur tiram merah jambu, Jamur tiram kelabu, dan jamur tiram coklat. Jamur tiram putih yang paling dikenal enak dan disukai masyarakat (Sumarmi, 2006).Jamur tiram putih juga mengandung sejumlah vitamin penting, diantarannya vitamin B, vitamin C dan provitamin D yang akan diubah menjadi vitamin D dengan bantuan sinar matahari. Jamur tiram putih merupakan sumber mineral yang baik. Kandungan mineral utama yang tertinggi adalah kalium (K), fosfor (P), natrium (Na), kalsium (Ca), dan magnesium (mg). Selain itu, jamur tiram putih juga merupakan sumber mineral yang baik karena mengandung seng, besi, mangan, molibdenum, kadmium, dan tembaga (Redin, dkk., 2009). Disamping itu jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan sumber protein sekaligus vitamin dan mineral serta sumber serat yang baik. Jamur tiram adalah tanaman budidaya yang banyak digunakn untuk memsuplai kandungan protein dan serat yang berguna untuk membuat mie dan biskuit serta sosis yang kaya akan vitamin dan mineral serta mengandung aktioksidan dan beta glukan yang berguna untuk menambah kesehatan karena mampu meningkatkan daya tahan tubuh. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan jamur konsumsi yang memiliki nilai bisnis tinggi, mangandung senyawa bermanfaat, dan luas penggunaannya. Bentuk tudungnya seperti cangkang tiram, rasanya sangat enak, dan kandungan gizinya cukup tinggi. Dengan adanya powder jamur tiram yang merupakan produk yang bermanfaat untuk menambah

Page 22: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”12

protein pada mie, maka tepung jamur timur dapat mudah dicampur dengan tepung sagu guna meningkatkan kadar protein, kadar serat serta vitamin serta mineral yang bterkandung dalam tepung jamur (Widyastuti dan Istini, 2004). Studi yang dilakukan oleh Widyastuti dkk (2015) bahwa jamur tiram putih dapat dikeringkan dengan tehnik pengeringan oven selama 48 jam, dan menghasilkanjamur kering dengan warna yang paling bagus dan berguna untuk meningkatkan kualitas penyimpanan dan peningkatan nilai ekonomi produk jamur tiram, terutama bila panen jamur melimpah.

Uji organoleptik atau uji sensori merupakan cara pengujian sebagai alat utamnya dengan menggunakan indera manusia untuk pengukuran daya penerimaan terhadap produk. Salah satu urgensi dalam pengujian organoleptik adalah dalam aplikasinya yang berkaitan dengan mutu serta selera. Pada umumnya seleradi setiap daerah memiliki kecenderungan berbeda terhadap satu produk.Oleh karena itu seringkali produk yang akan di launching pada masyarakat tertentu disesuaikan dengan selera daerah tersebut. Selain itu juga dipertimbangkan konsumen umumnya yang akan dijadikan target konsumennya sesuai gender atau target usia konsumen. Uji organoleptik merupakan salah faktor yang penting dilakukan dalam perbaikan produk, pengembangan produk serta perluasan jangkauan pasar. Setiap adanya reformulasi perubahan bahan baku atau perubahan dalam penggunaa peralatan disarankan sebelum me launching produk tersebut harus dilakukan uji atau test organoleptik. Menurut Soekarto (2008) bahwa Uji organoleptik memiliki kelebihan karena mudah dan cepat dilakukan serta mempunyai relevansi yang tinggi dengan mutu produk karena berhubungan langsung

dengan selera konsumen dan pengamatannya juga cepat diperoleh. Penilaian dengan indra menjadi bidang ilmu setelah prosedur penilaian dibakukan, dirasionalkan, dihubungkan dengan penilaian secara obyektif, analisa data mejadi lebih sistematis. Kemudian metoda statistik digunakan dalam analisa serta pengambilan keputusan. Penilaian Organoleptik sangat banyak digunakan untuk menilai mutu dalam industri pangan dan industri hasil pertanian lainnya. Adakalanya penilaian ini dapat memberi hasil penilaian yang sangat teliti. Dalam beberapa hal penilaian dengan indera bahkan melebihi ketelitian alat yang paling sensitive.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penilaan panelis terhadap mie sagu yang difortifikasi dengan tepung jamur tiram.

BAHAN DAN METODA

Pati sagu yang digunakan adalah pati sagu yang berasal dari Riau.Jamur tiram yang digunakan berasal dari salah satu pejamur di Cugenang Jawa Barat.

Tepung jamur dipersiapkan dengan cara jamur segar dibersihkan kemudian di suwir-suwir dan dikering oven (Merk Memmert UF 110) selama 20 jam pada temperature 45◦C. Jamur yang sudah kering kemudian di blender ( Merk Hitachi) disaring dengan saringan stainles stell dengan ukuran 80 mesh. Tepung jamur diukur kadar airnya dengan menggunakan (moisture analyzer AND MX-50). Detail perlakuan adalah sebagai berikut: I- pati sagu + 2% tepung jamur tiram II- pati sagu + 3% tepung jamur tiram III- pati sagu + 4% tepung jamur tiram IV- pati sagu + 0% tepung jamur tiram

Page 23: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 13

protein pada mie, maka tepung jamur timur dapat mudah dicampur dengan tepung sagu guna meningkatkan kadar protein, kadar serat serta vitamin serta mineral yang bterkandung dalam tepung jamur (Widyastuti dan Istini, 2004). Studi yang dilakukan oleh Widyastuti dkk (2015) bahwa jamur tiram putih dapat dikeringkan dengan tehnik pengeringan oven selama 48 jam, dan menghasilkanjamur kering dengan warna yang paling bagus dan berguna untuk meningkatkan kualitas penyimpanan dan peningkatan nilai ekonomi produk jamur tiram, terutama bila panen jamur melimpah.

Uji organoleptik atau uji sensori merupakan cara pengujian sebagai alat utamnya dengan menggunakan indera manusia untuk pengukuran daya penerimaan terhadap produk. Salah satu urgensi dalam pengujian organoleptik adalah dalam aplikasinya yang berkaitan dengan mutu serta selera. Pada umumnya seleradi setiap daerah memiliki kecenderungan berbeda terhadap satu produk.Oleh karena itu seringkali produk yang akan di launching pada masyarakat tertentu disesuaikan dengan selera daerah tersebut. Selain itu juga dipertimbangkan konsumen umumnya yang akan dijadikan target konsumennya sesuai gender atau target usia konsumen. Uji organoleptik merupakan salah faktor yang penting dilakukan dalam perbaikan produk, pengembangan produk serta perluasan jangkauan pasar. Setiap adanya reformulasi perubahan bahan baku atau perubahan dalam penggunaa peralatan disarankan sebelum me launching produk tersebut harus dilakukan uji atau test organoleptik. Menurut Soekarto (2008) bahwa Uji organoleptik memiliki kelebihan karena mudah dan cepat dilakukan serta mempunyai relevansi yang tinggi dengan mutu produk karena berhubungan langsung

dengan selera konsumen dan pengamatannya juga cepat diperoleh. Penilaian dengan indra menjadi bidang ilmu setelah prosedur penilaian dibakukan, dirasionalkan, dihubungkan dengan penilaian secara obyektif, analisa data mejadi lebih sistematis. Kemudian metoda statistik digunakan dalam analisa serta pengambilan keputusan. Penilaian Organoleptik sangat banyak digunakan untuk menilai mutu dalam industri pangan dan industri hasil pertanian lainnya. Adakalanya penilaian ini dapat memberi hasil penilaian yang sangat teliti. Dalam beberapa hal penilaian dengan indera bahkan melebihi ketelitian alat yang paling sensitive.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penilaan panelis terhadap mie sagu yang difortifikasi dengan tepung jamur tiram.

BAHAN DAN METODA

Pati sagu yang digunakan adalah pati sagu yang berasal dari Riau.Jamur tiram yang digunakan berasal dari salah satu pejamur di Cugenang Jawa Barat.

Tepung jamur dipersiapkan dengan cara jamur segar dibersihkan kemudian di suwir-suwir dan dikering oven (Merk Memmert UF 110) selama 20 jam pada temperature 45◦C. Jamur yang sudah kering kemudian di blender ( Merk Hitachi) disaring dengan saringan stainles stell dengan ukuran 80 mesh. Tepung jamur diukur kadar airnya dengan menggunakan (moisture analyzer AND MX-50). Detail perlakuan adalah sebagai berikut: I- pati sagu + 2% tepung jamur tiram II- pati sagu + 3% tepung jamur tiram III- pati sagu + 4% tepung jamur tiram IV- pati sagu + 0% tepung jamur tiram

Pembuatan mie. Mie yang difortifikasi dengan tepung jamur dipersiapkan dengan cara mencampur semua ingredient dengan masing-masing konsentrasi yang telah ditentukan. Semua ingredient dicampur kering kemudian ditambah air sebanyak 30 % dan dicampur merata kemudian adonan dikukus selama 30 menit. Selanjutnya adonan dimasukkan ke dalam alat ekstruder dengan ukuran d5ce 1x1,5 c sehingga terbentuk untaian mie. Mie dikeringkan pada cabinet selama 24 jam.Mie kering di simpan untuk kepentingan test organoleptik.

Test Organoleptik. Persiapan dalam pengujian organoleptik yaitu 200 gram mie direbus dengan air mendidih selama 5-10 menit, ditiriskan dan di diwadahi tempat kue mika tipis tertutup untuk menghindari evaporasi sebelum penyajian. Pengujian organoleptik dilakukan sebanyak 30 orang panelis semi terlatih. Karakter organoleptik yang dinilai meliputi warna, rasa, tekstur, penampakan dan penerimaan secara keseluruhan. Skala yang digunakan adalah 1-9 (satu sampai dengan sembilan) Skala uji untuk rating hedonik terdiri dari : Nilai 9 : Diterima sangat kuat; Nilai 8 : Diterima kuat;Nilai 7 : Diterima moderat; Nilai 6 : Diterima lemah; Nilai 5 : Netral ;Nilai 4 ; Tidak diterima lemah; Nilai 3 : Tidak diterima moderat; Nilai 2 : Tidak diterima kuat; Nilai 1 : Tidak diterima sangat kuat. Uji dilakukan secara non-parametrik (Kruskall Wallis dan Mann Whitney).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini diperoleh data yang menunjukkan bahwa secara keseluruhan mengatakan bahwa hasil uji organoleptik terhadap mie tepung sagu dengan penambahan tepung jamur tiram merupakan produk mie yang disukai oleh para panelis

terutama terhadap warna (5,1 – 6,3), aroma (5,8 -7), rasa (.5,5 – 6,5), dan tekstur (5,4 – 6.0). Namun hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rayanti (2010) menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan tongkol menghasilkan mie sagu instant terbaik dengan nilai kesukaan panelis terhadap warna (2,55), aroma (2,7), rasa (3,00) dan tekstur (3,05). Kesukaan Panelis Terhadap Rasa Mie Jamur Tiram Data hasil evaluasi analisa organoleptik mie sagu yang diperkaya dengan tepung jamur tiam memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap rasa mie Jamur tiram . Nilai rata-rata rasa dan data analisis ragam dari penambahan jamur tiram dengan berbagai konsentrasi disajikan dalam Table 1.

Tabel 1. Rata-rata Nilai kesukaan Rasa Mie Jamur Tiram Keterangan : Signifikansi a,b dan c menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

Data pada Tabel 1, diketahui bahwa penilaian panelis terhadap rasa mie jamur tiram yang paling disukai adalah mie dengan fortifikasi jamur tiram 4% dengan rata-rata penerimaan sebesar 6,50 sedangkan mie yang tidak disukai adalah mie yang tidak difortifikasi jamur tiram dengan penerimaan terendah sebesar rata-

Sampel Rata-rata Signi-fikansi SD SEM

I 6.13 a 1.74 0.32

II 5.50 b 1.74 0.32

III 6.50 a 1.43 0.26

IV 4.40 c 2.24 0.41

Page 24: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”14

rata 4,40. Penambahan tepung jamur tiram sebagai fortifikasi pembuatan mie meningkatkan nilai kesukaan panelis terhadap rasa mie jamur tiram.Hal ini diduga karena jamur tiram mengandung asam glutamate(Widyastuti dan Istini, 2004). MenurutSusanto dan Saneto (1999) bahwa panambahan bumbu yang sesuai akan meningkatkan rasa produk. Oleh karenanya bila sampel disajikan dengan penambahan bumbu bisa menanbah penilaian terhadap kesukaan rasa mie sagu. Tabel 2. Rata-rata Nilai kesukaan Warna Mie Jamur Tiram

Sampel Rata-rata

Signi-fikansi SD SEM

I 6.30 a 1.70 0.31

II 5.10 b 1.99 0.36

III 6.23 a 1.65 0.30

IV 6.03 ab 2.22 0.41

Keterangan : Signifikansi a,b dan c menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

Penilaian terhadap warna mie sampel pertama dengan fortifikasi 2% tepung jamur dapat diterima dengan nilai lebih besar dari 6. Sampel I dan sampel III tidak menunjukkan perbedaan nyata. Bila dibandingkan dengan kontrol, warna mie yang fortifikasi dengan jamur tiram masih dapat diterima oleh panelis. Dalam pengamatan fisik menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi tepung jamur yang ditambahkan menampakkan warna yang lebih gelap. Namun pada penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan tepung jamur pada pada konsentrasi tertinggi 4% masih bisa diterima oleh panelis.

Tabel 3. Rata-rata Nilai kesukaan Aroma Mie Jamur Tiram

Sampel Rata-rata

Signi-fikansi SD SEM

I 7.00 a 1.46 0.27

II 5.87 b 1.66 0.30

III 7.00 a 1.36 0.25

IV 6.47 ab 1.70 0.31

Keterangan : Signifikansi a,b dan c menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

Hasil peneilitian panelis terhadap Aroma mie menunjukkan bahwa sampel yang mengandung tepung jamur dengan penambahan tepung jamur tiram 2% dan 3% dapat diterima dengan score 7, namun pada fortifikasi tepung jamur sebanyak 4% penilaian panelis menurun (5,87) lebih rendah dibandingkan dengan mie jamur tanpa fortifikasi tepung jamur tiram (6,47). Penilaian aroma sangat subjektif, bagi sebagian orang aroma jamur adalah khas dan sebagian lain aroma nya sudah agak menyengat.

Kesukaan Panelis Terhadap Nilai Teksur Mie Jamur Tiram

Hasil penilaian panelis terhadap tekstur menunjukkan bahwa sampel yang mengandung tepung jamur mendapatkan nilai yang lebih tinggi dibanding kontrol, tanpa penambahan tepung jamur. Menurut panelis terhadap tekstur mie yang difortifikasi dengan tepung jamur tiram pada konsentrasi 2%,3% dan 4% tidak berbeda nyata. Ketiga sampel yang difotifikasi dengan tepumg jamur tiram berbeda nyata dengan kontrol semakin tinggi konsentrasi tepung jamur yang ditambahkan menurunkan nilai terhadap aroma mie fortifikasi jamur tiram.

Page 25: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 15

rata 4,40. Penambahan tepung jamur tiram sebagai fortifikasi pembuatan mie meningkatkan nilai kesukaan panelis terhadap rasa mie jamur tiram.Hal ini diduga karena jamur tiram mengandung asam glutamate(Widyastuti dan Istini, 2004). MenurutSusanto dan Saneto (1999) bahwa panambahan bumbu yang sesuai akan meningkatkan rasa produk. Oleh karenanya bila sampel disajikan dengan penambahan bumbu bisa menanbah penilaian terhadap kesukaan rasa mie sagu. Tabel 2. Rata-rata Nilai kesukaan Warna Mie Jamur Tiram

Sampel Rata-rata

Signi-fikansi SD SEM

I 6.30 a 1.70 0.31

II 5.10 b 1.99 0.36

III 6.23 a 1.65 0.30

IV 6.03 ab 2.22 0.41

Keterangan : Signifikansi a,b dan c menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

Penilaian terhadap warna mie sampel pertama dengan fortifikasi 2% tepung jamur dapat diterima dengan nilai lebih besar dari 6. Sampel I dan sampel III tidak menunjukkan perbedaan nyata. Bila dibandingkan dengan kontrol, warna mie yang fortifikasi dengan jamur tiram masih dapat diterima oleh panelis. Dalam pengamatan fisik menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi tepung jamur yang ditambahkan menampakkan warna yang lebih gelap. Namun pada penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan tepung jamur pada pada konsentrasi tertinggi 4% masih bisa diterima oleh panelis.

Tabel 3. Rata-rata Nilai kesukaan Aroma Mie Jamur Tiram

Sampel Rata-rata

Signi-fikansi SD SEM

I 7.00 a 1.46 0.27

II 5.87 b 1.66 0.30

III 7.00 a 1.36 0.25

IV 6.47 ab 1.70 0.31

Keterangan : Signifikansi a,b dan c menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

Hasil peneilitian panelis terhadap Aroma mie menunjukkan bahwa sampel yang mengandung tepung jamur dengan penambahan tepung jamur tiram 2% dan 3% dapat diterima dengan score 7, namun pada fortifikasi tepung jamur sebanyak 4% penilaian panelis menurun (5,87) lebih rendah dibandingkan dengan mie jamur tanpa fortifikasi tepung jamur tiram (6,47). Penilaian aroma sangat subjektif, bagi sebagian orang aroma jamur adalah khas dan sebagian lain aroma nya sudah agak menyengat.

Kesukaan Panelis Terhadap Nilai Teksur Mie Jamur Tiram

Hasil penilaian panelis terhadap tekstur menunjukkan bahwa sampel yang mengandung tepung jamur mendapatkan nilai yang lebih tinggi dibanding kontrol, tanpa penambahan tepung jamur. Menurut panelis terhadap tekstur mie yang difortifikasi dengan tepung jamur tiram pada konsentrasi 2%,3% dan 4% tidak berbeda nyata. Ketiga sampel yang difotifikasi dengan tepumg jamur tiram berbeda nyata dengan kontrol semakin tinggi konsentrasi tepung jamur yang ditambahkan menurunkan nilai terhadap aroma mie fortifikasi jamur tiram.

Tabel 4. Rata-rata Nilai kesukaan Tekstur Mie Jamur Tiram

Sampel Rata-rata

Signi-fikansi SD SEM

I 6.07 a 1.19 0.22

II 5.97 a 1.74 0.32

III 5.38 a 1.93 0.36

IV 3.90 b 2.04 0.38

Keterangan : Signifikansi a,b dan c menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) Kesukaan Panelis Terhadap Nilai Keseluruhan Mie Jamur Tiram

Hasil penilaian panelis terhadap nilai kesukaan keseluruhan mie jamur tiram menunjukkan bahwa sampel yang mengandung tepung jamur mendapatkan nilai yang lebih tinggi dibanding control atau tanpa penambahan tepung jamur. Menurut panelis semakin tinggi konsentrasi tepung jamur yang ditambahkan meningkatkan nilai keseluruhan terhadap kesukaan mie fortifikasi jamur tiram. Berdasarkan hasil analisa variansi atau anova dapat dijelaskan bahwa perlakukan penambahan tepung rumput jamur tiram (Pleurotus ostreatus) memberikan pengaruh nyata terhadap nilai rasa pada mie.

Tabel 5. Rata-rata Nilai kesukaan Keseluruhan Mie Jamur Tiram

Sampel Rata-rata

Signifikansi SD SEM

I 6.67 a 1.15 0.21

II 5.53 b 1.70 0.31

III 6.73 a 1.36 0.25

IV 5.03 b 2.17 0.40

Keterangan : Signifikansi a,b dan c menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) Gambar 1 dibawah ini memperkuat bahwa hasil uji organoleptik secara keeluruhan bahwa mie sagu dengan fortifikasi tepung jamur tiram dapat meningkatkan nilai kesukaan terhadap warna, rasa, tekstur dan aroma mie sagu. Walaupujn nilainya belum mencapai nilai 8 atau nilai yang paling tinggi. Dengan rata-rata nilai uji adalah nilai 6, artinya bahwa penambahan tepung jamur tiram pada mie sagu, dapat meningkatkan nilai kesukaan panelis terhadap mie sagu dengan fortifikasi tepung jamur tiram.

Gambar 1. DiagramHasil penilaian panelis terhadap mie sagu fortifikasi tepung jamur tiram. Keterangan: I = Mie jamur sagu dengan fortifikasi 2% tepung jamur ; II= Mie Sagu dengan fortifikasi 3 % tepung jamur; III= Mie Sagu dengan fortifikasi 4 % tepung jamur ; Kontrol = Mie sagu tanpa penambahan tepung jamur.

Berdasarkan penilaian panelis secara keseluruhan, fortifikasi jamur tiram pada mie sagu masih mendapatkan penilaian tertinggi. Data menunjukkan bahwa secara keseluruhan bahwa hasil uji organoleptik

0.

1.8

3.5

5.3

7.

8.8

HASIL NILAI

IIIIII

Page 26: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”16

mie sagu dengan penambahan tepung jamur tiram dapat diterima oleh panelis dengan nilai diatas 5 atau nilai rata-rata 6, walaupun masih diterima lemah. Hasil uji ini menunjukkan bahwa penerimaan panelis cukup tinggi, kecuali untuk nilai aroma. Namun hasil uji nilai aroma masih diatas kontrol. Artinya bahwa dengan penambahan tepung jamur tiram, penerimaan masyarakat masih jauh lebih baik dibandingkan dengan tanpa pemberian tepung jamur tiram. Hasil ini sangat mirip dengan yang dihasilkan oleh Rayanti (2010) dengan pemberian tepung ikan tongkol pada mie sagu, dimana hasil menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan tongkol menghasilkan mie sagu instant terbaik dengan nilai kesukaan panelis terhadap warna (2,55), aroma (2,7), rasa (3,00) dan tekstur (3,05). Namun demikian Ningtias (2015) menyatakan bahwa hasil uji organoleptik terhadap berbagai olahan jamur tiram putih pada mahasiswa dan siswa SD berdasarkan warna, mahasiswa dan siswa sama-sama menyukai olahan bakso jamur dengan nilai rata-rata pada mahasiswa 3,53 (putih keabuan-abuan) dan pada siswa SD 3,65 (putih keabuan-abuan), sedangkan pada tekstur mahasiswa lebih menyukai olahan nugget jamur dengan nilai rata-rata 3,41 (terlalu keras ) dan pada siswa SD lebih memilih crispi jamur dengan nilai rata-rata 4,00 (tidak keras dan tidak juga terlalu lunak). Dan berdasarkan hasil uji organoleptik terhadap berbagai olahan makanan jamur tiram putih berdasarkan rasa dan aroma mahasiswa dan siswa SD sama-sama menyukai sate jamur dengan nilai persentase tertinggi pada mahasiswa dan siswa SD yaitu 70,59% penelitian menunjukan bahwa olahan makanan yang paling banyak disukai oleh konsumen adalah olahan sate jamur. Sehingga diversifikasi produk olahan makanan jamur merupakan usaha untuk

mencintai makanan olahan jamur karena jamur meiliki rasa yang khas, vitamin yang banyak, dan memiliki kandungan beta glukan serta kaya mineral yang cukup dan baik untuk kesehatan (Tjokrokusumo, dkk., 2015; Tjokrokusumo, 2015; Widyastuti, dkk., 2015; dan Widyastuti, dkk.,2011).

Uji organoleptik juga memiliki kelemahan dan keterbatasan akibat beberapa sifat indrawi tidak dapat dideskripsikan. Manusia merupakan panelis yang kadang-kadang dapat dipengaruhi oleh kondisi fisik dan mental, sehingga panelis dapat menjadi jenuh dan menurun kepekaannya. Selain itu dapat terjadi pula salah komunikasi antara manajer dan panelis. Biasanya konsumen terlebih dahulu menguji dari produk tersebut untuk menilai layak tidaknya produk tersebut dimakan. Rasa yang enak dapat menarik perhatian konsumen lebih cenderung menyukai makanan dari rasa. Rasa atau cita rasa sangat sulit dimengerti secara ilmiah karena selera manusia yang sangat beragam. Rasa merupakan salah satu dalam menentukan mutu bahan makanan (Winarno, 2004). Dengan demikian uji organoleptik dapat menciptakan suasana awal terhadap penerimaan masyarakat agar produk yang akan dibuat memiliki nilai pasar yang tinggi karena sudah diuji terlebih dahulu.

KESIMPULAN

Dari hasil kajian awal fortifikasi tepung jamur tiram, dilihat dari hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa Mie sagu dengan fortifikasi tepung jamur masih dapat diterima baik rasa, warna, tekstur, dan aroma. Fortifikasi tepung jamur dalam pembuatan mie kering diharapkan dapat meningkatkan kandungan gizi dan sifat organoleptiknya. Sifat organoleptik meliputi warna, aroma, rasa, tekstur dan

Page 27: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 17

mie sagu dengan penambahan tepung jamur tiram dapat diterima oleh panelis dengan nilai diatas 5 atau nilai rata-rata 6, walaupun masih diterima lemah. Hasil uji ini menunjukkan bahwa penerimaan panelis cukup tinggi, kecuali untuk nilai aroma. Namun hasil uji nilai aroma masih diatas kontrol. Artinya bahwa dengan penambahan tepung jamur tiram, penerimaan masyarakat masih jauh lebih baik dibandingkan dengan tanpa pemberian tepung jamur tiram. Hasil ini sangat mirip dengan yang dihasilkan oleh Rayanti (2010) dengan pemberian tepung ikan tongkol pada mie sagu, dimana hasil menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan tongkol menghasilkan mie sagu instant terbaik dengan nilai kesukaan panelis terhadap warna (2,55), aroma (2,7), rasa (3,00) dan tekstur (3,05). Namun demikian Ningtias (2015) menyatakan bahwa hasil uji organoleptik terhadap berbagai olahan jamur tiram putih pada mahasiswa dan siswa SD berdasarkan warna, mahasiswa dan siswa sama-sama menyukai olahan bakso jamur dengan nilai rata-rata pada mahasiswa 3,53 (putih keabuan-abuan) dan pada siswa SD 3,65 (putih keabuan-abuan), sedangkan pada tekstur mahasiswa lebih menyukai olahan nugget jamur dengan nilai rata-rata 3,41 (terlalu keras ) dan pada siswa SD lebih memilih crispi jamur dengan nilai rata-rata 4,00 (tidak keras dan tidak juga terlalu lunak). Dan berdasarkan hasil uji organoleptik terhadap berbagai olahan makanan jamur tiram putih berdasarkan rasa dan aroma mahasiswa dan siswa SD sama-sama menyukai sate jamur dengan nilai persentase tertinggi pada mahasiswa dan siswa SD yaitu 70,59% penelitian menunjukan bahwa olahan makanan yang paling banyak disukai oleh konsumen adalah olahan sate jamur. Sehingga diversifikasi produk olahan makanan jamur merupakan usaha untuk

mencintai makanan olahan jamur karena jamur meiliki rasa yang khas, vitamin yang banyak, dan memiliki kandungan beta glukan serta kaya mineral yang cukup dan baik untuk kesehatan (Tjokrokusumo, dkk., 2015; Tjokrokusumo, 2015; Widyastuti, dkk., 2015; dan Widyastuti, dkk.,2011).

Uji organoleptik juga memiliki kelemahan dan keterbatasan akibat beberapa sifat indrawi tidak dapat dideskripsikan. Manusia merupakan panelis yang kadang-kadang dapat dipengaruhi oleh kondisi fisik dan mental, sehingga panelis dapat menjadi jenuh dan menurun kepekaannya. Selain itu dapat terjadi pula salah komunikasi antara manajer dan panelis. Biasanya konsumen terlebih dahulu menguji dari produk tersebut untuk menilai layak tidaknya produk tersebut dimakan. Rasa yang enak dapat menarik perhatian konsumen lebih cenderung menyukai makanan dari rasa. Rasa atau cita rasa sangat sulit dimengerti secara ilmiah karena selera manusia yang sangat beragam. Rasa merupakan salah satu dalam menentukan mutu bahan makanan (Winarno, 2004). Dengan demikian uji organoleptik dapat menciptakan suasana awal terhadap penerimaan masyarakat agar produk yang akan dibuat memiliki nilai pasar yang tinggi karena sudah diuji terlebih dahulu.

KESIMPULAN

Dari hasil kajian awal fortifikasi tepung jamur tiram, dilihat dari hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa Mie sagu dengan fortifikasi tepung jamur masih dapat diterima baik rasa, warna, tekstur, dan aroma. Fortifikasi tepung jamur dalam pembuatan mie kering diharapkan dapat meningkatkan kandungan gizi dan sifat organoleptiknya. Sifat organoleptik meliputi warna, aroma, rasa, tekstur dan

kesukaan secara keseluruhan sehingga akan mempengaruh daya terima masyarakat

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak-pihak yang telah membantu penelitian ini yang tidak dapat saya sebut satu persatu yang telah membantu terselenggaranya test organoleptik ini.

DAFTAR PUSTAKA

Cahyana dan B. Mucrodji. 1999. Jamur Tiram,Pembibitan, Pembudidayaan, Analisis Usaha. Penebar Swadaya. Jakarta. 94 Halaman.

Ningtias, W. (2015). Uji Organoleptik terhadap berbagai olahan makanan jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) pada Mahasiswa dan siswa SD. Skripsi. Diajukan Untuk Melengkapi Dan Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam. Program Studi Tadris Biologi. Jurusan Pendidikan MIPA, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN), Palangka Raya, Kalmantan Tengah.

Rayanti, N. (2010). Peningkatan kadar protein mie sagu instant dengan penambahan tepung ikan tongkol (Euthynnus affinis). Skripsi. Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.

Redin, dkk. 2009. Budi Daya Jamur Tiram. Jakarta: CV. Karya Mandiri Pratama.

Soekarto, S. T., 2008. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian . IPB -Press, Bogor.

Sumarmi, 2006. Botani dan Tinjauan Gizi Jamur Tiram Putih. Jurnal Inovasi Pertanian Vol. 4, No. 2, 2006 (124-130).

Tjokrokusumo, D. (2015). Diversitas jamur pangan berdasarkan kandungan beta-glukan dan manfaatnya terhadap kesehatan. Pros. Sem. Nas. Masy. Biodiv. Indon., Volume 1, Nomor 8, Desember 2015, Halaman: 1520-1523 Volume 1, Nomor 6, September 2015 ISSN: 2407-8050.

Tjokrokusumo, D., Widyastuti, N., dan , Giarni, R. (2015). Diversifikasi produk olahan jamur tiram (Pleurotus ostreatus) sebagai makanan sehat. Pros. Sem. Nas. Masy. Biodiv. Indon., Volume 1, Nomor 8, Desember 2015 Halaman: 2016-2020.5. ISSN: 2407-8050, DOI: 10.13057/psnmbi/m010828.

Widyastuti N, dan Istini S. 2004. Optimasi proses pengeringan tepung jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 2 (1): 1693-1831.

Widyastuti N, Tjokrokusumo D, dan Giarni R. (2015). Pasca panen jamur tiram putih (Pleurotus sp.) dengan teknik pengeringan oven. PROS. SEM. NAS. MASY. BIODIV. INDON., Volume 1, Nomor 7, Oktober 2015, Halaman: 1693-1697, ISSN: 2407-8050, DOI: 10.13057/psnmbi/m010729.

Widyastuti, N., Tjokrokusumo, D., dan Reni Giarni, R. (2011). Potensi Beberapa Jamur Basidiomycota Sebagai Bumbu Penyedap Alternatif Masa Depan. Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2011. ISBN: 978-602-7998-92-6.

Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Page 28: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”18

STUDI PENGGUNAAN KULIT KAYU SINDU (Scorodocarpus borneensis Becc.) SEBAGAI PENGAWET ALAMI TERHADAP MUTU NIRA KELAPA

STUDY OF USE OF Scorodocarpus borneensis Becc. Bark AS A NATURAL

PRESERVATIVE ON QUALITY OF COCONUT SAP

Dwi Raharjo1* dan Yeni Hurriyani2

1Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Tanjungpura 2Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Tanjungpura

*Email Korespondensi : [email protected]

ABSTRACT

Coconut sap was quickly damaged during the tapping sap. So it was added necessary to natural preservatives from plants to preserve the quality of coconut sap. The objective of this research was to find the best concentration of Scorodocarpus borneensis Becc. bark as preservative of coconut sap. The study was used a randomized block design pattern of one factor with dosage of bark Scorodocarpus borneensis Becc bark of 0,0 g; 0.5 g; 1.0 g; 1.5 g; 2.0 g; 2.5 g and 3.0 g. The parameters observed were pH sap, oBrix sap, acid total. The results showed that the best treatment was obtained from the addition of Scorodocarpus borneensis Becc bark with a dosage of 3,0 g of pH sap 4.45,obrix sap 15.87, total acid of 0.32%, and microbe total of 25.33 x 105 CFU/ml produced.

Keywords: coconut sap, natural preservative, quality, Scorodocarpus borneensis Becc bark,

ABSTRAK

Nira kelapa cepat mengalami kerusakan selama penyadapan nira. Sehingga perlu ditambahkan pengawet alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan untuk mempertahankan mutu nira kelapa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dosis kulit kayu sindu yang terbaik sebagai pengawet nira kelapa. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) pola satu faktor dengan dosis kulit kayu sindu 0,0 g; 0,5 g; 1,0 g; 1,5 g; 2,0 g; 2,5 g dan 3,0 g. Parameter yang diamati yaitu: pH nira, % Brix nira, total asam nira. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan terbaik diperoleh dari penambahan kulit kayu sindu dengan dosis sebanyak 3,0 g yang menghasilkan pH nira 4,45, obrix nira 15,87, total asam sebanyak 0,32%, dan total mikroba 25,33 x 105 CFU/ml.

Kata kunci: kulit kayu sindu, mutu, nira kelapa, pengawet alami

PENDAHULUAN

Nira kelapa merupakan cairan manis

yang diperoleh dari proses penyadapan bunga (mayang) tanaman kelapa yang bakal menjadi buah. Nira kelapa adalah bahan

baku dalam pembuatan gula kelapa cetak atau sering disebut gula merah. Nira mudah sekali mengalami kerusakan dimana penyebab utamanya adalah akibat adanya mikroorganisme khususnya khamir dan bakteri. Untuk mencegah proses kerusakan

Page 29: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 19

tersebut diperlukan adanya proses pengawetan selama proses penyimpanan nira, yaitu selama proses penyadapan hingga saat akan diolah menjadi gula kelapa.

Pada umumnya, masyarakat petani gula kelapa di Kalimantan Barat menggunakan pengawet alami yang berasal dari limbah penebangan pohon resak (Vatica leucocarpa) yang diperoleh dari hutan yang ada di Kalimantan Barat yaitu kulit kayu resak dan ada juga sebagian yang menggunakan pengawet kimia Natrium Metabisulfit. Sejauh ini, penggunaan kulit kayu resak oleh masyarakat diyakini dari dahulu dapat mencegah kerusakan nira kelapa. Raharjo (2009) telah mengindentifikasi kulit kayu resak yang terekstrak dalam nira kelapa bahwa mengandung 4’,5,6,7,8-pentamethoxyflavone dari turunan senyawa flavonoid berfungsi sebagai senyawa antimikroba.

Ketersediaan kulit kayu resak dirasakan sudah mengalami keterbatasan jumlahnya karena cara mendapatkannya dengan menebang pohon yang berada di hutan. Penggunaan tanaman resak selama ini diambil batang kayunya untuk membuat rumah dan limbahnya berupa kulit kayu digunakan untuk bahan pengawet nira. Pohon resak yang sering ditebang menyebabkan ketersediaan pohon tersebut akan semakin berkurang. Oleh karena itu perlu adanya pengganti bahan pengawet alami yang berpotensi sebagai pengawet nira yang mudah didapatkan dan murah sebagai pengganti pengawet dari kulit kayu resak dan untuk meminimalkan penggunaan pengawet kimia.

Bahan pengawet alami mengandung senyawa antimikroba yang berasal dari tanaman. Penelitian tentang senyawa antimikroba yang berasal dari tanaman telah banyak dilakukan, antara lain penggunaan kulit buah manggis (Noviardini, 2010), kulit buah jeruk keprok (Feriyanto, 2009), daun

jeruk keprok (Widyarto, 2009) dan daun cengkeh (Kusniati, 2009). Naufalin dkk (2013) menggunakan kulit buah manggis, daun jambu biji dan daun cengkeh dengan konsentrasi 1,5% dan 4,5% (b/v), dengan perlakuan terbaiknya adalah penggunaan 4,5% (b/v) kulit buah manggis menghasilkan kualitas nira dan gula kelapa sesuai dengan SNI yang berlaku. Raharjo (2009) menggunakan kulit kayu resak sebanyak 3% per liter nira (b/v) merupakan perlakuan terbaik.

Tanaman bawang hutan atau sindu (Scorodocarpus borneensis Becc) dikenal oleh masyarakat lokal Kalimantan Barat digunakan sebagai bumbu masakan, khususnya daun dan buahnya, sedangkan kulit kayunya tidak dimanfaatkan oleh masyarakat. Padahal kulit kayu tanaman sindu juga memiliki bau atau aroma seperti bawang putih. Menurut Kubota (1998) bahwa kulit bawang hutan memiliki aroma seperti bawang putih. Penyebab timbulnya bau pada kulit kayu bawang hutan mirip dengan bau bawang putih karena mengandung senyawa metiltiometil dan disisi lain kulit kayu tersebut juga memiliki aktivitas antimikroba. Sampai sejauh ini, kulit kayu Sindu belum pernah dimanfaatkan dan belum ada informasi untuk pengawetan pangan khususnya nira kelapa dan belum diketahui konsentrasi yang paling optimal sebagai bahan pengawet alami nira. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dosis kulit kayu sindu yang terbaik sebagai pengawet nira kelapa.

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan untuk

penyadapan nira kelapa adalah pisau sadap dan penampung nira. Sedangkan alat yang digunakan untuk analisis laboratorium adalah pH meter merk Hanna, Hand

Page 30: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”20

Refractometer merk Atago, buret dan statif. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah nira kelapa hibrida. Bahan yang digunakan untuk analisis laboratorium adalah indikator phenolphtalein (pp) 1%, NaOH 0,1 N, dan aquades.

Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian Lapangan dilaksanakan

pada bulan Mei – Agustus 2017 di Desa Sungai Kupah, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian laboratorium dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura Pontianak. Rancangan Percobaan

Pada penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan satu faktor perlakuan yaitu dosis kulit kayu sindu sebagai pengawet nira kelapa (P) terdiri dari 7 taraf perlakuan antara lain 0 g (p1), 0,5 g (p2), 1,0 g (p3), 1,5 g (p4), 2,0 g (p5), 2,5 g (p6) dan 3,0 g (p7) dalam 1 liter nira kelapa. Perlakuan ini diulang sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 21 unit percobaan. Tahapan Penelitian Pengumpulan Bahan Pengawet Alami Kulit Kayu Sindu

Kulit Kayu Sindu sebagai pengawet nira yang dikumpulkan dari daerah Kecamatan Batang Tarang Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat. Karakteristik kulit kayu sindu yang diambil adalah kulit dari batang bagian bawah, kulit tebal, dan warna kulit kuning kecokelatan. Pembuatan Pengawet Alami Kulit Kayu Sindu (Sulistyaningrum dkk., 2015)

Pembuatan bubuk bahan pengawet alami kulit kayu sindu dibersihkan dengan air dan ditiriskan, dipotong-potong kemudian dikeringkan dengan cabinet dryer pada suhu 50oC selama 20 jam atau hingga

kering patah. Selanjutnya kulit kayu sindu dihaluskan dengan blender dan diayak dengan saringan 60 mesh.

Aplikasi pengawet alami Kulit Kayu Sindu

Pengawet alami Kulit Kayu Sindu ditambahkan pada penampung nira sesuai perlakuan sebanyak 0 g; 0,5 g; 1 g; 1,5 g; 2 g; 2,5 g dan 3 g per liter nira. Pelaksanaan penyadapan nira hanya pada sore hari mulai pukul 16.00 wib selama ± 15 jam penyadapan. Setelah penyadapan berlangsung, pengambilan hasil sadapan pada esok harinya yaitu pagi hari mulai pukul 07.00 wib. Hasil penyadapan nira kelapa tersebut dilakukan pengamatan berupa pH, %brix nira kelapa, dan total asam. Variabel Pengamatan

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah pH (AOAC, 1995), total padatan terlarut (oBrix) (Obahiagbon dan Osagie, 2007), total asam (Sudarmadji, dkk., 1997), total plate count dan penentuan perlakuan terbaik dengan menggunakan metode Indeks Efektifitas (De Garmo, Sullivan and Canada, 1984).

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan uji sidik ragam (uji F) taraf 5% dan apabila hasil analisis memberikan pengaruh yang nyata maka data dianalisis lebih lanjut dengan uji BNJ pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Derajad Keasaman (pH) Nira Kelapa

Hasil analisis ragam 5% menunjukkan bahwa perlakuan dosis kulit kayu sindu terhadap derajad keasaman (pH) nira kelapa memberikan pengaruh nyata. Sehingga dilanjutkan uji BNJ 5%. Adapun data dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini

Page 31: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 21

Berdasarkan gambar 1 di atas bahwa

semakin tinggi dosis kulit kayu sindu yang ditambahkan maka derajad keasaman (pH) nira semakin meningkat. pH yang tertinggi terdapat pada penambahan kulit kayu sindu dengan dosis 3 g yaitu 4,45, sedangkan pH yang terendah terdapat pada nira yang tidak ditambahkan kulit kayu sindu atau tanpa pengawet yaitu sebesar 3,74. Perlakuan dosis 3 g kulit kayu sindu berbeda nyata dengan perlakuan dosis 0 – 2,5 g kulit kayu sindu, sedangkan perlakuan dosis 0 – 1 g kulit kayu sindu tidak berbeda nyata.

Peningkatan derajad keasaman (pH) nira kelapa seiring dengan peningkatan konsentrasi kulit kayu sindu. Hal ini diduga bahwa kulit kayu sindu mampu mencegah terjadinya fermentasi yang disebabkan oleh mikroba. Hasil penelitian Sulistyaningrum dkk. (2015) menyatakan bahwa semakin meningkatnya konsentrasi pengawet kulit buah manggis maka pH nira semakin meningkat. Hal ini dikarenakan kandungan senyawa bioaktif yang terdapat di dalamnya semakin meningkat, sehingga daya penghambatan semakin besar. Kandungan senyawa bioaktif yang terdapat dalam pengawet alami akan mencegah aktivitas mikroba sehingga reaksi fermentasi dapat dihambat. Hasil penelitian Kubota et al. (1999) dan Lim et al. (1998) menyatakan bahwa ekstrak kasar kulit kayu sindu atau bawang hutan mengandung sesquiterpen, saponin, steroid, flavonoid dan senyawa metiltiometil yang mempunyai aktivitas antimikroba.

Total Padatan Terlarut (oBrix) Nira Kelapa

Hasil analisis ragam 5% menunjukkan bahwa perlakuan dosis kulit kayu sindu terhadap total padatan terlarut (oBrix) nira kelapa memberikan pengaruh nyata. Sehingga dilanjutkan uji BNJ 5%. Adapun data dapat dilihat pada gambar 2 dibawah ini

Berdasarkan gambar 2 di atas menunjukkan bahwa penambahan dosis kulit kayu sindu yang semakin meningkat menyebabkan total padatan terlarut (oBrix) pada nira kelapa semakin meningkat. Hal ini terlihat jelas bahwa pada perlakuan tanpa penambahan kulit kayu sindu (0 g) menyebabkan kadar total padatan terlarut (oBrix) terjadi penurunan sebesar 14,27 sedangkan dengan perlakuan penambahan kulit kayu sindu sebanyak 3 g menyebabkan total padatan terlarut (oBrix) menjadi meningkat sebesar 15,87. Sehingga berdasarkan hasil uji BNJ 5% bahwa perlakuan dosis kulit kayu sindu sebanyak 3 g berbeda nyata dengan perlakuan 0 g, tetapi perlakuan dosis kulit kayu sindu sebanyak 3 g tidak berbeda nyata dengan perlakuan 0,5; 1,0; 1,5; 2,0 dan 2,5 g.

Peningkatan total padatan terlarut (oBrix) pada nira kelapa diduga disebabkan oleh kulit kayu sindu sebagai antimikroba dapat mencegah terjadinya inversi gula sukrosa menjadi gula pereduksi. Hasil penelitian Raharjo dkk. (2015) menyatakan bahwa penggunaan kulit kayu resak (Vatica leucocarpa) sampai 3g per liter nira dapat mempertahankan oBrix nira kelapa sampai

3.7433 3.8567 3.87

4.15 4.1767 4.24 4.45

3.38

3.60

3.83

4.05

4.28

4.50

4.73

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

pH N

ira K

elap

a

Dosis Kulit Kayu Sindu g/l nira

Gambar 1. Pengaruh Dosis Kulit Kayu Sindu Terhadap pH Nira Kelapa

14.2667

15.2 15.5333

15.7333 15.7667 15.8333 15.8667

13.00

13.50

14.00

14.50

15.00

15.50

16.00

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

Tota

l pad

atan

terla

rut (

oBrix

) Dosis Kulit Kayu Sindu (g/l nira)

Gambar 2. Pengaruh Dosis Kulit Kayu Sindu Terhadap Total Padatan Terlarut Nira Kelapa

Page 32: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”22

15,67%. Penelitian Lubis dkk. (2013) menyatakan bahwa penggunaan kayu nangka sampai 8% dapat mempertahankan oBrix nira aren 18,4%. Kayu nangka memiliki zat-zat antimikroba yang dapat mengganggu aktivitas mikroorganisme. Pada konsentrasi rendah bersifat bakteriostatik dan pada konsentrasi tinggi bersifat bakterisidal. Zat-zat ini diduga kuat berperan dalam penghambatan proses fermentasi nira aren sehingga total soluble solid nira aren tidak menurun. Total Asam (%) Nira Kelapa

Hasil analisis ragam 5% menunjukkan bahwa perlakuan dosis kulit kayu sindu terhadap total asam (%) nira kelapa memberikan pengaruh nyata. Sehingga dilanjutkan uji BNJ 5%. Adapun data dapat dilihat pada gambar 3 dibawah ini

Berdasarkan gambar 3 di atas menunjukkan bahwa penambahan dosis kulit kayu sindu yang semakin meningkat menyebabkan total asam (%) nira kelapa menjadi turun. Hal ini terlihat jelas bahwa pada perlakuan tanpa penambahan kulit kayu sindu (0 g) menyebabkan kadar total asam (%) terjadi peningkatan sebesar 0,39% sedangkan dengan perlakuan penambahan kulit kayu sindu sebanyak 3 g menyebabkan total asam (%) menjadi turun sebesar 0,32%. Sehingga berdasarkan hasil uji BNJ 5% bahwa perlakuan dosis kulit kayu sindu sebanyak 3 g berbeda nyata dengan perlakuan 0 g dan 1,5 g, tetapi perlakuan dosis kulit kayu sindu sebanyak 3 g tidak

berbeda nyata dengan perlakuan 0,5; 1,0; 2,0 dan 2,5 g.

Penurunan total asam pada nira kelapa diduga disebabkan oleh kulit kayu sindu sebagai antimikroba dapat mencegah terjadinya fermentasi nira kelapa yang menyebabkan perubahan nira menjadi rasa asam. Soritua dkk. (2015) menyatakan bahwa kandungan pada pengawet alami yang digunakan seperti kulit buah manggis dapat mencegah total asam pada nira tidak banyak mengalami peningkatan walaupun terjadi sedikit degradasi gula sukrosa. Wang (2004) menyatakan bahwa peningkatan jumlah asam sebagai hasil metabolisme mikroorganisme kontaminan dalam nira akan meningkatkan degradasi sukrosa walaupun tanpa keberadaan enzim invertase. Begitu juga sebaliknya, Lubis dkk. (2013) menyatakan bahwa adanya bahan pengawet alami seperti kayu nangka yang digunakan terdapat alkaloid, saponin, tannin dan flavonoid yang dapat menghambat proses fermentasi yang menghasilkan asam pada nira aren.

Total Mikroba Nira Kelapa (CFU/ml) Hasil analisis ragam 5%

menunjukkan bahwa perlakuan dosis kulit kayu sindu terhadap total Mikroba (CFU/ml) nira kelapa memberikan pengaruh nyata. Sehingga dilanjutkan uji BNJ 5%. Adapun data dapat dilihat pada gambar 4 dibawah ini

0.39

0.27

0.36 0.3833

0.2333 0.29

0.3233

0.00

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

Tot

al A

sam

(%)

Dosis Kulit Kayu Sindu (g/l nira)

Gambar 3. Pengaruh Dosis Kulit Kayu Sindu Terhadap Total Asam Nira Kelapa (%)

96.3333 86.

75.6667 63.3333

48.3333 36.3333

25.3333

0.00

25.00

50.00

75.00

100.00

125.00

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

Jum

lah

Mik

roba

(CFU

/ml)

Dosis Kulit Kayu Sindu (g/l nira)

Gambar 4. Pengaruh Dosis Kulit Kayu Sindu (g/l) Terhadap Jumlah Mikroba Nira Kelapa,

Pengenceran 10-5

Page 33: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 23

Berdasarkan gambar 4 di atas menunjukkan bahwa penambahan dosis kulit kayu sindu yang semakin meningkat menyebabkan total mikroba pada nira kelapa menjadi turun. Hal ini terlihat jelas bahwa pada perlakuan tanpa penambahan kulit kayu sindu (0 g) menyebabkan total mikroba terjadi peningkatan sebesar 96,33 x 105 CFU/ml, sedangkan dengan perlakuan penambahan kulit kayu sindu sebanyak 3 g menyebabkan total mikroba menjadi turun sebesar 25,33 x 105 CFU/ml. Sehingga berdasarkan hasil uji BNJ 5% bahwa perlakuan dosis kulit kayu sindu sebanyak 3 g berbeda nyata dengan semua perlakuan 0 g; 0,5; 1,0; 1,5; 2,0; dan 2,5 g.

Penurunan total mikroba pada nira kelapa diduga disebabkan oleh kulit kayu sindu sebagai antimikroba dapat mencegah mikroba didalam nira untuk berkembang. Tumbuhan dapat mensintesa berbagai jenis senyawa bioaktif yang dapat berperan sebagai anti mikroba, seperti senyawa fenol dan turunannya, terpena dan terpenoid, alkaloid, polipeptida dan steroid (Putra, 2014). Efek antimikroba muncul dengan menyebabkan kerusakan struktur dan fungsi membran sel (Tajkarimi et.al, 2010).

Kubota et. al (1994) menyatakan bahwa senyawa antimikroba dari kulit kayu sindu (Scorodocarpus borneensis Becc.) yaitu Methylthiomethyl (Methylsulfonyl) methyl Disulfide (MSO2) dapat menghambat pertumbuhan khamir Saccharomyces cerevisiae ATCC 9763 yang merupakan mikroba yang dapat menyebabkan terinversinya sukrosa menjadi gula pereduksi sehingga nira kelapa menjadi rusak. Menurut Tajkarimi et.al. (2010) zat-zat pada tanaman dapat mempengaruhi sel mikroba melalui berbagai macam mekanisme, termasuk menyerang fosfolipid bilayer dari membran sel, mengganggu sistem enzim, berinteraksi dengan material genetik dari bakteri, dan membentuk asam lemak hidroperoksidase yang disebabkan

oleh oksigenase dari asam lemak tidak jenuh. Adanya pengawet alami yang ditambahkan kedalam penampung nira dapat mencegah tingginya proses fermentasi nira kelapa dan peningkatan konsentrasi pengawet alami dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Penentuan Perlakuan Terbaik

Hasil analisis perlakuan terbaik menggunakan indeks efektivitas bahwa bahan pengawet kulit kayu sindu sebanyak 3 g merupakan perlakuan terbaik dengan nilai hasil perlakuan sebesar 0,87.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Dari hasil yang telah diperoleh, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dosis kulit kayu sindu yang terbaik

adalah pada perlakuan 3 g. 2. Karakteristik nira kelapa yang terbaik

dari dosis kulit kayu sindu sebanyak 3 g adalah pH nira 4,45, obrix nira 15,87, total asam sebanyak 0,32%, dan total mikroba 25,33 x 105 CFU/ml.

Saran Adapun saran yang diberikan untuk penelitian ini lebih lanjut adalah seberapa lama kulit kayu sindu ini dapat mencegah proses kerusakan nira dan perlu dilakukan lebih lanjut tentang kulit kayu sindu terhadap kualitas gula kelapa.

UCAPAN TERIMA KASIH

Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah memberikan dana penelitian melalui hibah penelitian dengan kontrak nomor 107/SP2H/LT/DRPM/IV/2017 tanggal 3 April 2017.

Page 34: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”24

DAFTAR PUSTAKA

AOAC, 1995. Official Methods of Analysis. Association of Official of Analytical Chemist. Washington.

De Garmo, E.P., W.G. Sullivan, and C.R. Canada, 1984. Enginering Economy 7th Ed. MacMillan Pub., New York.

Feriyanto, N. 2009. Uji Aktivitas Antibakteri Miyak Atsiri Kulit Buah Jeruk Keprok (Citrus nobilis Lour) Terhadap Staphylococcus aoreus dan Escherichia coli. Abstrak Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta. http://etd.eprints.ums.ac.id/6169/

Kusniati, 2009. Kajian Ekstrak Kencur, Daun Mimba, Daun Cengkeh dan Cara Aplikasinya Terhadap Insedensi Serangan Patogen Penyakit Busuk Pangkal Batang (BOB) (Phytophtora capsici Leoninemend Alizade dan Tsao) Tanaman lada. Abstrak (On-line). http://digilib.uns.ac.id/abstrak.pdf.php?

Kubota K., M.M. Shimojima, M. Ueda, dan A. Kobayashi. 1999. New Antimicrobial Compound from Scorodocarpus borneensis. Becc. Bioschi Bioetanol Biochem, 63(2):298-301.

Kubota K., M.M. Shimojima, M. Ueda, and A. Kobayashi. 1994. New Antimicrobial Compound From Scorodocarpus berneensi Becc. Biosci. Biotech. Biochem, 58 (2), 430-431.

Lubis, R.F., R.J. Nainggola dan M. Nurminah (2013). Pengaruh Penambahan Konsentrasi Bahan Pengawet Alami Pada Nira Aren Selama Penyimpanan Terhadap Mutu Gula Aren Cair. J.Rekayasa Pangan dan Pertanian. Vol.1 No.4.

Lim H., K. Kikue, K. Akio, Sugawara F., 1998. Sulfur Containing Compouds from Scorodocarpus borneessi and Their Antimicrobial Activy. Phytochemistry 48, 787-790.

Naufalin R., T. Yanto, dan A. Sulistyaningrum. 2013. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Pengawet Alami Terhadap Mutu Gula Kelapa. J. Teknologi Pertanian Vol. 14 No. 3 [Desember 2013]: 165-174.

Noviardini, P.U. 2010. Uji Aktivitas Antibakteri Alfa Mangoestin kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Terhadap Bakteri Escherichia coli Multiresisten Antibiotik dan Bakteri Streptococcus sp. Skripsi Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Abstrak (online). http://etd.eprints.ums.ac.id/9566/.

Obahiagbon, F.I and Osagie, A.U, 2007. Sugar and Macrominerals composition of Sap Produced by Raphia hookeri Palms. African Journal of Biotechnology, 6(6): 744-750.

Putra, I. N. K., (2014). Potensi Ekstrak Tumbuhan Sebagai Pengawet Produk Pangan. Media Ilmiah Teknologi Pangan. Vol. 1 (1): 81–95.

Raharjo D., S.B. Widjanarko, dan H. Purnomo. 2015. Karakteristik Nira dan Gula Kelapa Akibat Penambahan Kulit Kayu Resak (Vatica leucocarpa) dan Susu Kapur Selama Penyadapan Nira. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pangan dan Hasil Pertanian PATPI Cabang Yogyakarta. ISBN: 978-602-386-074-6

, 2009. Identifikasi Senyawa Kulit Kayu Resak Sebagai Pengawet Alami Nira Kelapa. Jurnal Agripura Vol. 5 No. 1. Universitas Tanjungpura Pontianak.

Soritua P., S. Ginting, dan H. Rusmarilin. 2015. Pengaruh Penambahan Berbagai Bahan Pengawet Alami dan

Page 35: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 25

Konsentrasinya Terhadap Mutu Nira Aren. J. Rekayasa Pangan dan Pertanian, Vol. 3 No. 4

Sulistyaningrum A., T. Yanto, dan R. Naufalin (2015). Perubahan Kualitas Nira Kelapa Akibat Penambahan Pengawet Alami. Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian. Vol. 12 No. 3 Desember 2015: 137 – 146.

Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi, 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta.

Tajkarimi, M.M., Ibrahim, S.A., Cliver, D.O., 2010. Review Antimicrobial

herb and spice compounds in food, Food Control 21: 1199–1218.

Widyarto, A.N. 2009. Uji Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Daun Jeruk Keprok (Citrus nobilis Lour.) Terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Abstrak. Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta (Online). http://etd.eprints.ums.ac.id/5929.

Wang, N.S. 2004. Enzyme Kinetic of Invertase Via Initial Rate Determination. Departement of Chemical Engineering, University of Maryland.

Page 36: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”26

EFEK KONSUMSI LIMBAH BERAS HITAM PADA PERUBAHAN KADAR ERITROSIT TOTAL, Hb, PCV, MCV, MCH, MCHC DAN TPP TIKUS ANEMIA

EFFECT of BLACK RICE WASTE CONSUMPTION in the LEVELS of TOTAL

ERYTHROCYTES, Hb, PVC, MCV, MCH, MCHC and TPP CHANGES ANEMIA RATS

Enny Purwati Nurlaili Fakultas Teknologi Pertanian UNTAG Semarang Email Korespondensi: enny.purwati @gmail.com

ABSTRACT

Iron Deficiency Anaemia (IDA), caused by essential iron deficiency that was necessary for the formation of red blood cells. The cause of the IDA because low bioavailability iron on food, through the increase in the number and quality of iron, with rice. One of the black rice bran waste containing iron of 109,02 ± 1,93 µ g/g db has not been much utilized. The general objective of this research is to know the changes in the levels of eritron after being given black rice waste in anemia rats. Male Wistar rats (Rattus norvegicus) 28, and the age of 3 weeks, weight 33-46 g random selected divided 4 groups, maintained 5 weeks. The basal diet was given the anaemia rats without iron (AIN-93M) and drink water ad libitum in deionitation. First control group (K); Second group iron bran (B); Thirth group iron residue extracts (R); Fourth group iron bran extracts (E); The results showed that all groups growth during maintenance, highest in E group. FCR results showed the value, lower (early), high (after induction), and lower (final). The results also showed: the levels of Hb, PVC and MCHC not difference between the treatment. Levels of erythrocytes total and MCH not difference between the treatment except in R Group. Levels of MCV and TPP not difference between the treatment, except E group (MCV) and K (TPP). Keywords: anaemia, black rice bran, erytrocyte, iron

ABSTRAK

Anemia gizi besi (AGB) merupakan penyakit kekurangan zat gizi esensial berupa zat besi yang sangat dibutuhkan untuk pembentukan sel-sel darah merah. Penyebab AGB karena bioavailabilitas zat besi pada makanan yang rendah yang dapat diatasi antara lain melalui peningkatan jumlah dan kualitas zat besi, dengan beras. Salah satu limbah beras hitam berupa bekatul mengandung zat besi sebesar 109,02±1,93 µg/g db belum banyak dimanfaatkan. Penelitian ini bertujuan mengetahui perubahan kadar eritron setelah diberikan limbah beras hitam pada tikus anemia. Tikus jantan Wistar (Rattus norvegicus) sebanyak 28 ekor, usia ± 3 minggu, berat badan 33-46 g dipilih random dibagi 4 kelompok, dipelihara 5 minggu. Tikus anemia diberi diet basal tanpa zat besi (AIN-93M) dan minuman air deionisasi secara ad libitum (periode replesi). Kelompok 1 kontrol (K); Kelompok 2 zat besi bekatul (B); Kelompok 3 zat besi residu ekstrak (R); Kelompok 4 zat besi ekstrak bekatul (E); Hasil penelitian menunjukkan semua kelompok mengalami pertumbuhan selama pemeliharaan, tertinggi pada kelompok E. Hasil analisis FCR menunjukkan nilai yang fluktuatif, rendah (awal), tinggi (setelah induksi), dan menurun (akhir). Hasil penelitian juga menunjukkan: kadar Hb, PCV dan MCHC tidak beda nyata antar perlakuan. Kadar eritrosit total dan MCH tidak beda nyata antar perlakuan kecuali

Page 37: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 27

EFEK KONSUMSI LIMBAH BERAS HITAM PADA PERUBAHAN KADAR ERITROSIT TOTAL, Hb, PCV, MCV, MCH, MCHC DAN TPP TIKUS ANEMIA

EFFECT of BLACK RICE WASTE CONSUMPTION in the LEVELS of TOTAL

ERYTHROCYTES, Hb, PVC, MCV, MCH, MCHC and TPP CHANGES ANEMIA RATS

Enny Purwati Nurlaili Fakultas Teknologi Pertanian UNTAG Semarang Email Korespondensi: enny.purwati @gmail.com

ABSTRACT

Iron Deficiency Anaemia (IDA), caused by essential iron deficiency that was necessary for the formation of red blood cells. The cause of the IDA because low bioavailability iron on food, through the increase in the number and quality of iron, with rice. One of the black rice bran waste containing iron of 109,02 ± 1,93 µ g/g db has not been much utilized. The general objective of this research is to know the changes in the levels of eritron after being given black rice waste in anemia rats. Male Wistar rats (Rattus norvegicus) 28, and the age of 3 weeks, weight 33-46 g random selected divided 4 groups, maintained 5 weeks. The basal diet was given the anaemia rats without iron (AIN-93M) and drink water ad libitum in deionitation. First control group (K); Second group iron bran (B); Thirth group iron residue extracts (R); Fourth group iron bran extracts (E); The results showed that all groups growth during maintenance, highest in E group. FCR results showed the value, lower (early), high (after induction), and lower (final). The results also showed: the levels of Hb, PVC and MCHC not difference between the treatment. Levels of erythrocytes total and MCH not difference between the treatment except in R Group. Levels of MCV and TPP not difference between the treatment, except E group (MCV) and K (TPP). Keywords: anaemia, black rice bran, erytrocyte, iron

ABSTRAK

Anemia gizi besi (AGB) merupakan penyakit kekurangan zat gizi esensial berupa zat besi yang sangat dibutuhkan untuk pembentukan sel-sel darah merah. Penyebab AGB karena bioavailabilitas zat besi pada makanan yang rendah yang dapat diatasi antara lain melalui peningkatan jumlah dan kualitas zat besi, dengan beras. Salah satu limbah beras hitam berupa bekatul mengandung zat besi sebesar 109,02±1,93 µg/g db belum banyak dimanfaatkan. Penelitian ini bertujuan mengetahui perubahan kadar eritron setelah diberikan limbah beras hitam pada tikus anemia. Tikus jantan Wistar (Rattus norvegicus) sebanyak 28 ekor, usia ± 3 minggu, berat badan 33-46 g dipilih random dibagi 4 kelompok, dipelihara 5 minggu. Tikus anemia diberi diet basal tanpa zat besi (AIN-93M) dan minuman air deionisasi secara ad libitum (periode replesi). Kelompok 1 kontrol (K); Kelompok 2 zat besi bekatul (B); Kelompok 3 zat besi residu ekstrak (R); Kelompok 4 zat besi ekstrak bekatul (E); Hasil penelitian menunjukkan semua kelompok mengalami pertumbuhan selama pemeliharaan, tertinggi pada kelompok E. Hasil analisis FCR menunjukkan nilai yang fluktuatif, rendah (awal), tinggi (setelah induksi), dan menurun (akhir). Hasil penelitian juga menunjukkan: kadar Hb, PCV dan MCHC tidak beda nyata antar perlakuan. Kadar eritrosit total dan MCH tidak beda nyata antar perlakuan kecuali

pada kelompok R. Kadar MCV dan TPP tidak beda nyata antar perlakuan, kecuali perlakuan E (MCV) dan perlakuan K (TPP).

Kata Kunci: anemia, eritrosit, limbah beras hitam

PENDAHULUAN

Indonesia masih menghadapi masalah

gizi kurang, yang paling banyak disebabkan oleh kekurangan zat besi sehingga disebut anemia gizi besi (AGB) (Almatsier, 2002). Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar oleh Kementerian Kesehatan tahun 2013, menunjukkan bahwa proporsi penduduk anemia pada balita dan anak sekolah (5-14 tahun) mencapai 26,40%-28,10%.

Penyebab AGB salah satunya karena bioavailabilitas zat besi pada makanan yang rendah. Akibatnya kandungan hemoglobin total turun di bawah normal (Hb < 12 µg/L) (Allen dkk., 2006).

Upaya mengatasi masalah AGB dapat dilakukan antara lain melalui peningkatan jumlah dan kualitas zat besi, fortifikasi zat besi pada produk makanan, penambahan makanan yang mengandung vitamin C. Untuk mengatasi masalah ini, perlu dicarikan alternatif bahan makanan yang dapat dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia, yaitu beras.

Beras merupakan makanan pokok untuk separo populasi di dunia. Hasil survai gizi yang telah dilakukan Gregorio dkk. (1999) di Philipina, menunjukkan bahwa sekitar 50% asupan zat besi antara lain berasal dari beras. Beras hitam belum menjadi bahan pangan pokok seperti halnya beras putih dan mengandung pigmen yang memproduksi antosianin secara genetik, akibat perbedaan gen yang mengatur warna aleuron, endosperm, dan komposisi pati pada endosperm.

Beras hitam mengandung zat besi yang tinggi yaitu sekitar 106,97±5,22 µg/g (Kaneda dkk., 2005). Zat besi dibutuhkan tubuh dalam pembentukan sel darah merah. Pengkayaan zat besi pada beras untuk mengatasi anemia perlu mulai mengganti pada beras hitam, karena kandungan zat besi yang lebih besar dibandingkan beras lainnya.

Bagian beras hitam terdiri dari beras pecah kulit, beras sosoh dan bekatul. Kandungan zat besi bekatul beras hitam sebesar 109,02±1,93 µg/g db (Kaneda dkk., 2007), sedangkan antosianin sebesar 10,70±0,03 mg/g (Kong dan Lee, 2010). Bekatul selama ini belum banyak dimanfaatkan untuk makanan. Pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan sumber zat besi dan antosianin terkendala adanya komponen penghambat absorpsi antara lain asam fitat, sehingga perlu dilakukan pengurangan komponen tersebut dengan cara ekstraksi.

Kandungan antosianin pada beras hitam sebesar 5,55 mg/g (Ono dkk., 2003). Antosianin merupakan antioksidan yang efektif untuk inaktivasi radikal hidroksil dan peroksil, dapat membentuk ikatan kompleks dengan ion logam misalnya zat besi dan menghambat inisiasi metal untuk melakukan oksidasi lipid. Antosianin paling efektif sebagai spesies penangkapan oksigen reaktif dan menghambat oksidasi lipoprotein serta agregasi platelet. Konsumsi antosianin dalam diet berfungsi baik sebagai penangkap ion Fe maupun sebagai senyawa yang mampu menghambat oksidasi lipoprotein dan penggumpalan platelet (Ghiseli dkk., 1998). Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui perubahan kadar eritron setelah diberikan limbah beras hitam pada tikus anemia.

BAHAN DAN METODE

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras hitam varietas Cibeusi. Bahan yang lain yaitu pakan tikus yang digunakan adalah AIN-93G dan AIN-93M dimodifikasi pada campuran mineral dengan AIN 76, kit untuk penentuan hemoglobin, air deionisasi.

Untuk keperluan penelitian ini akan digunakan beberapa jenis peralatan antara

Page 38: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”28

lain, alat-alat gelas, timbangan analitis, oven, eksikator, soxhlet, shaker water bath, muffle furnace, spektrometer UV-VIS, vortex, sentrifuse suhu 4ºC, rotary evaporator, freeze dryer, AAS (Atomic Absorption Spectrofotometer.)

Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus jenis Wistar jantan umur 3 minggu. Penelitian dilakukan secara in vivo. Penelitian dilakukan di beberapa tempat yaitu di Laboratorium Kimia Bahan Pangan, Pangan dan Gizi, serta Rekayasa Fakultas Teknologi Pertanian UGM Yogyakarta; di Laboratorium Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM Yogyakarta.

Dua puluh delapan tikus jantan Wistar (Rattus norvegicus) usia ± 3 minggu dengan berat badan 33-46 g yang dipilih secara random dibagi menjadi 4 kelompok, dan dipelihara selama 5 minggu dalam kandang individual, dengan pemberian diet basal tanpa zat besi dan minuman air deionisasi secara ad libitum (periode replesi). Kelompok 1 tikus anemia diberi makanan standar AIN-93M (kontrol = K); Kelompok 2 tikus anemia diberi makanan standar AIN-93M tanpa zat besi (Ferric sitrat), tetapi dipenuhi dari zat besi bekatul (B); Kelompok 3 tikus anemia diberi makanan standar AIN-93M tanpa zat besi (Ferric sitrat), tetapi dipenuhi dari zat besi residu ekstrak (R); Kelompok 4 tikus anemia diberi makanan standar AIN-93M tanpa zat besi (Ferric sitrat), tetapi dipenuhi dari zat besi ekstrak bekatul (E);

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap. Data dianalisis menggunakan minitab 17, jika terdapat perbedaan nyata akan diuji lanjut dengan uji Tukey’s pada α=0, 05.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berat Badan Tikus Berat badan awal tikus yang digunakan

dalam penelitian ini berkisar antara 33 g sampai 46 g. Gambar 1. menunjukkan perubahan berat badan tikus selama pemeliharaan dan perlakuan diet. Dari gambar tersebut dapat diketahui semua tikus percobaan mengalami pertumbuhan berat badan. Kelompok tikus yang mengkonsumsi diet

standar yang berat badan awalnya rata-rata 36 g tumbuh menjadi rata-rata 149 g, yang mengkonsumsi diet standar dan bekatul mengalami pertumbuhan dari rata-rata 39 g menjadi 152 g, yang mengkonsumsi diet standar dan residu ekstrak mengalami pertumbuhan dari rata-rata 37 g menjadi 154 g, dan yang mengkonsumsi diet standar dan ekstrak perubahan berat badannya dari rata-rata 37 g menjadi 160 g. Pertumbuhan berat badan tertinggi pada kelompok yang mengkonsumsi diet standar dan ekstrak sebesar 123 g (dari berat akhir-awal), sedangkan pertumbuhan yang paling kecil pada kelompok diet diet standar serta diet diet standar dan bekatul sebesar 113 g. Menurut Muchtadi (1989), tikus putih yang biasa digunakan untuk penelitian terus mengalami pertumbuhan berat badan sampai berumur 100 hari.

Gambar 1. Rata-rata berat badan tikus selama penelitian pada kelompok kontrol (K), bekatul (B), residu ekstrak bekatul beras hitam (R), ekstrak bekatul beras hitam (E).

Hasil analisis statistik terhadap pertumbuhan berat badan tikus menunjukkan tidak beda nyata antar kelompok (p ≤ 0,05). Dengan demikian dapat dikatakan perlakuan diet dan lama pemeliharaan tidak berpengaruh secara nyata terhadap pertumbuhan berat badan tikus.

Berdasarkan penjelasan di atas, semua tikus pada empat kelompok mengalami pertumbuhan selama pemeliharaan. Tikus yang pakannya mengandung ekstrak bekatul

Page 39: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 29

lain, alat-alat gelas, timbangan analitis, oven, eksikator, soxhlet, shaker water bath, muffle furnace, spektrometer UV-VIS, vortex, sentrifuse suhu 4ºC, rotary evaporator, freeze dryer, AAS (Atomic Absorption Spectrofotometer.)

Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus jenis Wistar jantan umur 3 minggu. Penelitian dilakukan secara in vivo. Penelitian dilakukan di beberapa tempat yaitu di Laboratorium Kimia Bahan Pangan, Pangan dan Gizi, serta Rekayasa Fakultas Teknologi Pertanian UGM Yogyakarta; di Laboratorium Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM Yogyakarta.

Dua puluh delapan tikus jantan Wistar (Rattus norvegicus) usia ± 3 minggu dengan berat badan 33-46 g yang dipilih secara random dibagi menjadi 4 kelompok, dan dipelihara selama 5 minggu dalam kandang individual, dengan pemberian diet basal tanpa zat besi dan minuman air deionisasi secara ad libitum (periode replesi). Kelompok 1 tikus anemia diberi makanan standar AIN-93M (kontrol = K); Kelompok 2 tikus anemia diberi makanan standar AIN-93M tanpa zat besi (Ferric sitrat), tetapi dipenuhi dari zat besi bekatul (B); Kelompok 3 tikus anemia diberi makanan standar AIN-93M tanpa zat besi (Ferric sitrat), tetapi dipenuhi dari zat besi residu ekstrak (R); Kelompok 4 tikus anemia diberi makanan standar AIN-93M tanpa zat besi (Ferric sitrat), tetapi dipenuhi dari zat besi ekstrak bekatul (E);

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap. Data dianalisis menggunakan minitab 17, jika terdapat perbedaan nyata akan diuji lanjut dengan uji Tukey’s pada α=0, 05.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berat Badan Tikus Berat badan awal tikus yang digunakan

dalam penelitian ini berkisar antara 33 g sampai 46 g. Gambar 1. menunjukkan perubahan berat badan tikus selama pemeliharaan dan perlakuan diet. Dari gambar tersebut dapat diketahui semua tikus percobaan mengalami pertumbuhan berat badan. Kelompok tikus yang mengkonsumsi diet

standar yang berat badan awalnya rata-rata 36 g tumbuh menjadi rata-rata 149 g, yang mengkonsumsi diet standar dan bekatul mengalami pertumbuhan dari rata-rata 39 g menjadi 152 g, yang mengkonsumsi diet standar dan residu ekstrak mengalami pertumbuhan dari rata-rata 37 g menjadi 154 g, dan yang mengkonsumsi diet standar dan ekstrak perubahan berat badannya dari rata-rata 37 g menjadi 160 g. Pertumbuhan berat badan tertinggi pada kelompok yang mengkonsumsi diet standar dan ekstrak sebesar 123 g (dari berat akhir-awal), sedangkan pertumbuhan yang paling kecil pada kelompok diet diet standar serta diet diet standar dan bekatul sebesar 113 g. Menurut Muchtadi (1989), tikus putih yang biasa digunakan untuk penelitian terus mengalami pertumbuhan berat badan sampai berumur 100 hari.

Gambar 1. Rata-rata berat badan tikus selama penelitian pada kelompok kontrol (K), bekatul (B), residu ekstrak bekatul beras hitam (R), ekstrak bekatul beras hitam (E).

Hasil analisis statistik terhadap pertumbuhan berat badan tikus menunjukkan tidak beda nyata antar kelompok (p ≤ 0,05). Dengan demikian dapat dikatakan perlakuan diet dan lama pemeliharaan tidak berpengaruh secara nyata terhadap pertumbuhan berat badan tikus.

Berdasarkan penjelasan di atas, semua tikus pada empat kelompok mengalami pertumbuhan selama pemeliharaan. Tikus yang pakannya mengandung ekstrak bekatul

beras hitam mengalami pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan lainnya dan ada kecenderungan konsumsi ekstrak bekatul beras hitam mempunyai pertumbuhan yang paling tinggi. Hal ini menunjukkan zat gizi yang terdapat di dalam ekstrak bekatul beras hitam berperan pada pertumbuhan tikus. Rasio Efisiensi Pakan (Feed Conversion Ratio)

Efisiensi pakan menggambarkan jumlah pakan yang dikonsumsi (kg) untuk mendapatkan pertambahan berat badan sebanyak 1 kg (USAID, 2011) yang dinyatakan dalam feed conversion ratio (FCR). Berdasarkan konsumsi pakan tikus dan berat badan tikus dapat dihitung efisiensi pakan dalam meningkatkan berat badan tikus. Semakin tinggi nilai FCR maka efisiensi pakan semakin rendah karena menunjukkan semakin banyaknya pakan yang harus dikonsumsi untuk dapat menaikkan berat badan (Siregar, 1994). Untuk mengetahui gambaran mengenai efisinsi pakan dapat dilihat pada Gambar 2.

Dari Gambar 2. dapat dilihat keterkaitan dengan konsumsi pakan selama penelitian relatif tidak berbeda antara keempat kelompok pada tiap minggu, yang menghasilkan berat badan dan FCR yang tidak berbeda pula.

Gambar 2. Rata-Rata Feed Conversion Ratio (FCR) Tikus Selama Penelitian Pada Kelompok Kontrol (K), Bekatul (B), Residu Ekstrak Bekatul Beras Hitam (R), Ekstrak Bekatul Beras Hitam (E)

Hasil analisis statistik terhadap efisiensi

pakan tikus menunjukkan tidak beda nyata antar kelompok (p ≤ 0,05). Dengan demikian dapat dikatakan perlakuan diet dan lama pemeliharaan tidak berpengaruh secara nyata terhadap efisiensi pakan tikus pada tiap minggunya.

Apabila dilihat perbandingan hasil analisis FCR pada awal, induksi anemia dan intervensi maka pada awal penelitian menunjukkan nilai FCR yang rendah, pada induksi memiliki nilai FCR yang tinggi, dan menurun kembali sampai masa penelitian berakhir. Hal ini menunjukkan bahwa pada induksi yang mempunyai nilai FCR tinggi maka efisiensi pakan semakin rendah karena menunjukkan semakin banyaknya pakan yang harus dikonsumsi untuk dapat menaikkan berat badan (Siregar, 1994). Profil Darah Rutin Selama Penelitian Profil Kadar Hemoglobin (Hb)

Pengamatan kadar Hb selama penelitian dilakukan untuk mengetahui perkembangan selama dikondisikan menjadi anemia dan pengaruhnya setelah dilakukan perlakuan dengan 4 kelompok perlakuan. Pada awal penelitian dilakukan analisis Hb dengan kadar sekitar 11,93 g/dl untuk semua kelompok. Kemudian pada analisis Hb yang kedua sampai yang keenam semua tikus dibuat menjadi anemia yang ditandai dengan kadar Hb menjadi 6,85 sampai 7,30 g/dl. Selanjutnya setelah perlakuan Hb menjadi rata-rata 13,97 g/dl (Kelompok K), 13,31 g/dl (Kelompok B), 14,11 g/dl (Kelompok R) dan 12,96 g/dl (Kelompok E). Hasil analisis kadar Hb selama penelitian tersaji pada Gambar 3.

Page 40: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”30

Gambar 3. Perubahan Kadar Hemoglobin

Selama Penelitian pada Kelompok Kontrol (K), Bekatul (B), Residu Ekstrak Bekatul Beras Hitam (R), Ekstrak Bekatul Beras Hitam (E)

Hasil analisis kadar hemoglobin dalam

darah (Gambar 3) pada semua perlakuan mengalami kenaikan. Jika dilihat pada hasil tersebut bahwa kecenderungan pada kadar Hb pada perlakuan R, mempunyai kadar hemoglobin yang tertinggi, kemudian diikuti oleh perlakuan K, perlakuan B dan perlakuan E.

Berdasarkan analisis statistik dengan metode Anova RAL (Rancangan Acak Lengkap) terhadap kadar Hb pada analisis keenam menunjukkan perlakuan K, B dan R tidak beda nyata, akan tetapi dengan perlakuan E berbeda nyata (p ≤ 0,05). Pada analisis yang kedelapan menunjukkan perlakuan K, B, R dan E beda nyata, tetapi dengan perlakuan R dan E tidak berbeda nyata (p ≤ 0,05). Analisis yang kesepuluh menunjukkan perlakuan K, B, dan R tidak beda nyata, sedangkan perlakuan B, R dan E tidak berbeda nyata serta perlakuan K dan E beda nyata (p ≤ 0,05). Untuk analisis yang kedua belas semua perlakuan tidak beda nyata. Profil Hematokrit (PCV), Profil MCV (Mean Corpuscular Volume: volume eritrosit rata-rata), Profil MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin: hemoglobin eritrosit rata-rata), Profil MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration: konsentrasi hemoglobin pada setiap eritrosit rata-rata), Profil TPP (Total Protein Plasma)

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan masa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity) (Sudoyo dkk., 2006). Pemeriksaan profil darah rutin tikus dibedakan menjadi 2 yaitu profil eritrosit dan leukosit, yang dilakukan pada akhir penelitian.

Analisis profil darah rutin yang dilakukan pada eritrosit pada akhir penelitian yang meliputi analisis total eritrosit, hemoglobin (sudah dibahas pada analisis kadar Hb), hematokrit (PCV), volume eritrosit rata-rata (Mean Corpuscular Volume = MCV), hemoglobin eritrosit rata-rata (Mean Corpuscular Hemoglobin = MCH), konsentrasi hemoglobin pada setiap eritrosit rata-rata (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration = MCHC) dan Total Protein Plasma (TPP). Gambaran tentang eritrosit tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.

Hasil analisis statistik terhadap eritrosit pada analisis akhir penelitian menunjukkan hasil Hb, PCV dan MCHC pada semua perlakuan K, B, R dan E tidak beda nyata. Pada analisis eritrosit total menunjukkan perlakuan K, B dan E serta B dan R tidak beda nyata, tetapi perlakuan K dan R berbeda nyata. Analisis MCV menunjukkan perlakuan K, B dan R berbeda nyata dengan perlakuan E. Untuk analisis MCH perlakuan K, B dan R berbeda nyata dengan perlakuan E. beda nyata.

Status besi dapat dilihat dengan parameter hematologi maupun biokimia, yang menggambarkan perubahan yang terjadi pada tiap-tiap kompartemen besi tubuh. Pemeriksaan hematologi merupakan pemeriksaan langsung untuk mengetahui cadangan besi tubuh berdasarkan gambaran eritrosit, sedangkan pemeriksaan biokimia berdasarkan metabolisme besi (meliputi: SI, TIBC, % saturasi dan SF). Uji hematologi umumnya lebih tersedia dan lebih murah daripada pemeriksaan biokimia tetapi kurang sensitif dan spesifik untuk menilai defisiensi besi (Wu dkk., 2002).

Page 41: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 31

Gambar 3. Perubahan Kadar Hemoglobin

Selama Penelitian pada Kelompok Kontrol (K), Bekatul (B), Residu Ekstrak Bekatul Beras Hitam (R), Ekstrak Bekatul Beras Hitam (E)

Hasil analisis kadar hemoglobin dalam

darah (Gambar 3) pada semua perlakuan mengalami kenaikan. Jika dilihat pada hasil tersebut bahwa kecenderungan pada kadar Hb pada perlakuan R, mempunyai kadar hemoglobin yang tertinggi, kemudian diikuti oleh perlakuan K, perlakuan B dan perlakuan E.

Berdasarkan analisis statistik dengan metode Anova RAL (Rancangan Acak Lengkap) terhadap kadar Hb pada analisis keenam menunjukkan perlakuan K, B dan R tidak beda nyata, akan tetapi dengan perlakuan E berbeda nyata (p ≤ 0,05). Pada analisis yang kedelapan menunjukkan perlakuan K, B, R dan E beda nyata, tetapi dengan perlakuan R dan E tidak berbeda nyata (p ≤ 0,05). Analisis yang kesepuluh menunjukkan perlakuan K, B, dan R tidak beda nyata, sedangkan perlakuan B, R dan E tidak berbeda nyata serta perlakuan K dan E beda nyata (p ≤ 0,05). Untuk analisis yang kedua belas semua perlakuan tidak beda nyata. Profil Hematokrit (PCV), Profil MCV (Mean Corpuscular Volume: volume eritrosit rata-rata), Profil MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin: hemoglobin eritrosit rata-rata), Profil MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration: konsentrasi hemoglobin pada setiap eritrosit rata-rata), Profil TPP (Total Protein Plasma)

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan masa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity) (Sudoyo dkk., 2006). Pemeriksaan profil darah rutin tikus dibedakan menjadi 2 yaitu profil eritrosit dan leukosit, yang dilakukan pada akhir penelitian.

Analisis profil darah rutin yang dilakukan pada eritrosit pada akhir penelitian yang meliputi analisis total eritrosit, hemoglobin (sudah dibahas pada analisis kadar Hb), hematokrit (PCV), volume eritrosit rata-rata (Mean Corpuscular Volume = MCV), hemoglobin eritrosit rata-rata (Mean Corpuscular Hemoglobin = MCH), konsentrasi hemoglobin pada setiap eritrosit rata-rata (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration = MCHC) dan Total Protein Plasma (TPP). Gambaran tentang eritrosit tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.

Hasil analisis statistik terhadap eritrosit pada analisis akhir penelitian menunjukkan hasil Hb, PCV dan MCHC pada semua perlakuan K, B, R dan E tidak beda nyata. Pada analisis eritrosit total menunjukkan perlakuan K, B dan E serta B dan R tidak beda nyata, tetapi perlakuan K dan R berbeda nyata. Analisis MCV menunjukkan perlakuan K, B dan R berbeda nyata dengan perlakuan E. Untuk analisis MCH perlakuan K, B dan R berbeda nyata dengan perlakuan E. beda nyata.

Status besi dapat dilihat dengan parameter hematologi maupun biokimia, yang menggambarkan perubahan yang terjadi pada tiap-tiap kompartemen besi tubuh. Pemeriksaan hematologi merupakan pemeriksaan langsung untuk mengetahui cadangan besi tubuh berdasarkan gambaran eritrosit, sedangkan pemeriksaan biokimia berdasarkan metabolisme besi (meliputi: SI, TIBC, % saturasi dan SF). Uji hematologi umumnya lebih tersedia dan lebih murah daripada pemeriksaan biokimia tetapi kurang sensitif dan spesifik untuk menilai defisiensi besi (Wu dkk., 2002).

Pada pemeriksaan hematologi, Hb merupakan komponen utama eritrosit yang berfungsi mengikat oksigen dan membuang karbondioksida. Besi juga penting untuk fungsi biologis dari sitokrom dan enzim lain pada respirasi seluler. Pemeriksaan Hb lebih sensitif dan merupakan pemeriksaan langsung untuk anemia. Meskipun kedua pemeriksaan ini murah tetapi tidak spesifik, merupakan late markers dan kurang bisa memprediksi kejadian ADB (Wu dkk., 2002). Menurut WHO, rentang normal untuk laki-laki dewasa 13-18 g/dL shg dikatakan anemia apabila kadar Hb < 13 g/dL. Rentang normal untuk wanita dewasa 12-16 g/dL shg dikatakan anemia apabila kadar Hb < 12 g/dL. Pada wanita hamil dan anak-anak 6 bulan sampai 5 tahun dikatakan anemia apabila Hb < 11 g/dL (WHO, 2001).

Mean Corpuscular Hemoglobin (MCV) didefinisikan sebagai rerata volume eritrosit dalam tes hematologi rutin. Parameter ini dihitung dari rasio Hmt terhadap jumlah eritrosit. Nilai cut-off 80 fl adalah batas bawah pada orang dewasa normal. Disebut mikrositik jika MCV di bawah 80 fl dan disebut makrositik jika lebih dari 100 fl. Penurunan nilai MCV terjadi pada saat defisiensi besi mulai memberat, kurang lebih pada saat anemia mulai berkembang. Indeks ini cukup spesifik untuk defisiensi besi apabila thalassemia dan penyakit kronis sudah bisa disingkirkan (Wu dkk., 2002). Pengertian adalah kandungan Hb dalam tiap sel eritrosit, yang merupakan pembagian kadar Hb dengan juml eritrosit. Nilai MCH yg rendah (<27 pg) ditemukan pada anemia hipokromik. Indeks Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC), merupakan hasil perhitungan konsentrasi Hb dibagi Hct yang ditampilkan dalam g/dL (Brown, 1993).

Metabolisme selular dari zat besi dilakukan oleh tiga protein yaitu transferin, reseptor transferin dan feritin. Zat besi adalah elemen yang sangat penting, merupakan komponen hemoglobin (Hb) yang berguna untuk transportasi oksigen ke jaringan. Zat besi bersama dengan protein (globin) dan

protoporfirin berperan dalam pembentukan Hb (Crichton, 2009).

Anemia merupakan keadaan menurunnya kandungan hemoglobin, hematokrit dan jumlah sel darah merah di bawah nilai normal untuk perorangan (Almatsier, 2002). Anemia sebagai keadaan dimana level hemoglobin rendah karena kondisi patologis. Defisiensi zat besi merupakan salah satu penyebab anemia, tetapi bukanlah satu-satunya penyebab anemia. Menurut Hoffbrand (2005), anemia adalah berkurangnya kandungan eritrosit (sel darah merah) dan kandungan hemoglobin (Hb) dalam setiap milimeter kubik darah dalam tubuh manusia. Hampir semua gangguan pada sistem peredaran darah disertai dengan anemia yang ditandai dengan warna kepucatan pada tubuh, penurunan kerja fisik, penurunan daya tahan tubuh.

Penyebab anemia bermacam-macam diantaranya adalah anemia gizi besi (AGB). Pada penderita anemia lebih sering disebut kurang darah, kandungan sel darah merah atau hemoglobin di bawah normal. Yang sering terjadi adalah anemia yang disebabkan karena kekurangan zat besi. Anemia gizi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga kebutuhan zat besi untuk eritropoesis tidak cukup, yang ditandai dengan gambaran sel darah merah hipokrom-mikrositer, kandungan zat besi serum dan jenuh transferin menurun, kapasitas ikat zat besi total meninggi dan cadangan zat besi dalam sumsum tulang serta di tempat yang lain sangat kurang atau tidak ada sama sekali. (Harmening, 2002)

Zat besi dalam sistem pangan dapat bertindak sebagai prooksidan, yang diketahui sebagai metal transisi karena mempunyai 2 bilangan oksidasi, yaitu Fe2+ atau Fe3+. Melalui reaksi Fenton, Fe2+ dapat bereaksi dengan ROOH (hidroperoksida), menghasilkan senyawa radikal (RO•) yang sangat reaktif,

Antosianin merupakan kelompok flavonoid yang merupakan antioksidan yang antara lain dapat menghambat penggumpalan keping-keping sel darah merah, berpotensi sebagai antioksidan dan penangkap radikal

Page 42: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”32

bebas (free radical scavenger), hepatoprotektif, antiinflamasi (Kong dkk., 2003). Senyawa antosianin yang termasuk dalam flavonoid ini memiliki afinitas yang sangat kuat terhadap ion Fe (Fe diketahui dapat mengkatalisis beberapa proses yang menyebabkan terbentuknya radikal bebas). Aktivitas antiperoksidatif flavonoid ditunjukkan melalui potensinya sebagai pengkelat metal (Morel dkk., 1993).

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

semua tikus pada empat kelompok mengalami pertumbuhan selama pemeliharaan. Tikus yang pakannya mengandung ekstrak bekatul beras hitam mengalami pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan lainnya. Hasil analisis feed conversion ratio (FCR) pada awal penelitian menunjukkan nilai FCR yang rendah, pada induksi memiliki nilai FCR yang tinggi, dan menurun kembali sampai masa penelitian berakhir. Kadar Hb pada akhir penelitian tidak beda nyata antar perlakuan. Hasil penelitian juga menunjukkan: kadar Hb, PCV dan MCHC tidak beda nyata antar perlakuan. Kadar eritrosit total dan MCH tidak beda nyata antar perlakuan kecuali pada kelompok R. Kadar MCV dan TPP tidak beda nyata antar perlakuan, kecuali perlakuan E (MCV) dan perlakuan K (TPP). Perlakuan kelompok yang menggunakan limbah beras hitam (E) menunjukkan tidak anemia pada akhir penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, L., Benoist, B.D., Dary, O. dan Hurrell, R. (ed.). 2006. Guidelines on Food Fortification with Micronutrients. World Health Organization (WHO) and Food and Agricultural Organization of the United Nations.

Almatsier, S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Brown, B.A. 1993. Hematology: principles and procedures. 6th ed. Philadelphia. Lea & febriger.

Crichton,R. 2009. Iron Metabolisme from Moleculer Mechanisms to Clinical Consequences, third edition. John Wiley & Sons. Belgium.

Ghiselli, A., Nardini, M., Baldi, A. dan Scaccini, C. 1998. Antioxidant Activity of Different Phenolic Fractions Separated from an Italian Red Wine. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 46 (2): 361-367.

Gregorio, G.B., Senadhira, D., Htut, T., Graham, R.D. 1999. Improving Iron and Zinc Value of Rice for Human Nutrients. Agricult develop. 23 (9): 68-87.

Harmening, D.M. 2002. Clinical Hematology and Fundamentals of Hemostasis. (4th ed.). F.A. Davis Company. Philadelphia.

Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E. dan Moss, P.A.H. 2005. Essential Hematology (4 th ed). Blackwell Science Ltd. Oxford.

Kaneda, I., Yasui, H., Adachi, Y., Takada, J. dan Sakurai, H. 2005. Determination of Trace Element Concentrations in Ancient Rices (Red and Black Rices) and a Present-day Rice (Koshihikari) : Relationship Among the Trace Element Concentrations, Species, Harvest Site and Rice Parts. Biomed Res Trace Elements. 16 (3) : 241-249.

Kaneda, I., Kubo, F. dan Sakurai. 2007. Nutrition: Relationship between Trace Metal Concentration and Antioxidative Activity of Ancient Rice Bran (red and black rice) and a Present-day Rice Bran (Koshihikari).

Page 43: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 33

bebas (free radical scavenger), hepatoprotektif, antiinflamasi (Kong dkk., 2003). Senyawa antosianin yang termasuk dalam flavonoid ini memiliki afinitas yang sangat kuat terhadap ion Fe (Fe diketahui dapat mengkatalisis beberapa proses yang menyebabkan terbentuknya radikal bebas). Aktivitas antiperoksidatif flavonoid ditunjukkan melalui potensinya sebagai pengkelat metal (Morel dkk., 1993).

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

semua tikus pada empat kelompok mengalami pertumbuhan selama pemeliharaan. Tikus yang pakannya mengandung ekstrak bekatul beras hitam mengalami pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan lainnya. Hasil analisis feed conversion ratio (FCR) pada awal penelitian menunjukkan nilai FCR yang rendah, pada induksi memiliki nilai FCR yang tinggi, dan menurun kembali sampai masa penelitian berakhir. Kadar Hb pada akhir penelitian tidak beda nyata antar perlakuan. Hasil penelitian juga menunjukkan: kadar Hb, PCV dan MCHC tidak beda nyata antar perlakuan. Kadar eritrosit total dan MCH tidak beda nyata antar perlakuan kecuali pada kelompok R. Kadar MCV dan TPP tidak beda nyata antar perlakuan, kecuali perlakuan E (MCV) dan perlakuan K (TPP). Perlakuan kelompok yang menggunakan limbah beras hitam (E) menunjukkan tidak anemia pada akhir penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, L., Benoist, B.D., Dary, O. dan Hurrell, R. (ed.). 2006. Guidelines on Food Fortification with Micronutrients. World Health Organization (WHO) and Food and Agricultural Organization of the United Nations.

Almatsier, S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Brown, B.A. 1993. Hematology: principles and procedures. 6th ed. Philadelphia. Lea & febriger.

Crichton,R. 2009. Iron Metabolisme from Moleculer Mechanisms to Clinical Consequences, third edition. John Wiley & Sons. Belgium.

Ghiselli, A., Nardini, M., Baldi, A. dan Scaccini, C. 1998. Antioxidant Activity of Different Phenolic Fractions Separated from an Italian Red Wine. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 46 (2): 361-367.

Gregorio, G.B., Senadhira, D., Htut, T., Graham, R.D. 1999. Improving Iron and Zinc Value of Rice for Human Nutrients. Agricult develop. 23 (9): 68-87.

Harmening, D.M. 2002. Clinical Hematology and Fundamentals of Hemostasis. (4th ed.). F.A. Davis Company. Philadelphia.

Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E. dan Moss, P.A.H. 2005. Essential Hematology (4 th ed). Blackwell Science Ltd. Oxford.

Kaneda, I., Yasui, H., Adachi, Y., Takada, J. dan Sakurai, H. 2005. Determination of Trace Element Concentrations in Ancient Rices (Red and Black Rices) and a Present-day Rice (Koshihikari) : Relationship Among the Trace Element Concentrations, Species, Harvest Site and Rice Parts. Biomed Res Trace Elements. 16 (3) : 241-249.

Kaneda, I., Kubo, F. dan Sakurai. 2007. Nutrition: Relationship between Trace Metal Concentration and Antioxidative Activity of Ancient Rice Bran (red and black rice) and a Present-day Rice Bran (Koshihikari).

Journal of Trace Element in Medicine and Biology. 21: 45-51.

Kong, J.M., Chia, L.S., Goh, N.K., Chia, T.F., Brouillard, R. 2003. Analysis and biological activities of anthocyanins. Phytochemistry. 64: 923–933

Kong, S. dan Lee, J. 2010. Short communication : Antioxidants in milling fractions of black rice cultivars. Food Chemistry. 120: 278–281.

Morel dkk., 1993. Antioxidant and Iron Chelating Activities of the Flavonoids Catechin, Quercetin and Diosmetin on Iron-Loaded rat Hepatocyte Culture. Dalam

Biochemistry and Pharmacology. 45: 13-19.

Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. PAU Pangan Dan Gizi. IPB Bogor.

Sudoyo, W., Setyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M. dan Setiati, S. 2006. Pendekatan terhadap pasien anemia. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Balai penerbit Fk UI Jakara. Jilid 2 edisi 3, hal: 632-636.

WHO, 2001. Iron deficiency anemia, asssment, prevention and control: a guide for programme managers. Geneva.

Wu, A.C., Lesperance, L., Bernstein, H. 2002. Screening for iron deficiency. Pediatrics in review 23 (5): 171-8.

Page 44: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”34

DISAIN KEMASAN DAN PENENTUAN UMUR SIMPAN (SELF LIFE) PUNDANG SELUANG

PACKAGING DESIGN AND DETERMINATION OF SHELF LIFE

PUNDANG SELUANG

Helmi Harris* dan Neny Rochyani

Program Studi Ilmu Perikanan, Fakultas Perikanan, Universitas PGRI Palembang *E-mail Korepondensi: [email protected]

ABSTRACT

Overall, the processed products of South Sumatera fishery products are more varied, both types and shapes, but to compete at the national level, our processed fishery products are still lagging behind in packaging techniques. This study aims to design packaging Pundang Seluang, resulting in packaging Pundang with a more attractive appearance, practical, hygienic, informative and with a longer shelf life. To get the packaging design, used Try and Error method, while for the determination of shelf life used Accelerated Shelf-life Testing (ASLT) method. The results showed that the Selective Parang packed with primary packaging mix (Polypropylene vacuum plastics) and secondary packaging (labeled carton box) provided more attractive, practical, hygienic, and informative protection with longer shelf life, ie with the mathematical model of the rate of increase Water content k = 0,4529.e0,322 (1 / T) or with rate of quality degradation k = 0,045% per day. Based on the calculation got the age of save Pajak Seluang Packaging for 113,78 days or 3,792 months Keywords: Accelerated Method, Packaging Design, Shelf Life, Try and Error Method

ABSTRAK

Secara keseluruhan produk olahan hasil perikanan Sumatera Selatan lebih bervariatif, baik jenis maupun bentuknya, tetapi untuk bersaing di tingkat nasional, produk olahan hasil perikanan kita masih tertinggal dalam teknik pengemasan. Penelitian ini bertujuan untuk mendisain kemasan Pundang Seluang, sehingga menghasilkan kemasan Pundang dengan penampilan yang lebih menarik, praktis, higienis, informatif dan dengan umur simpan yang lebih lama. Untuk mendapatkan disain kemasan, digunakan metode Try and Error, sedangkan untuk peentuan umur simpan digunakan metode Accelerated Shelf-life Testing (ASLT),. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pundang Seluang yang dikemas dengan gabungan pengemas primer (Plastik Poliprovilen vakum) dan pengemas sekunder (Kotak karton berlabel) memberikan perlindungan yang lebih menarik, praktis, higienis, dan informatif dengan umur simpan yang lebih lama, yaitu dengan model matematik laju peningkatan kadar air k= 0,4529.e0,322 (1/T) atau dengan laju penurunan mutu k= 0,045 % per hari. Berdasarkan perhitungan didapatkan umur simpan Pundang Seluang Kemasan selama 113,78 hari atau 3,792 bulan. Kata Kunci : Disain kemasan, Metode Akselerasi, Metode Try and Error, Umur simpan

Page 45: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 35

PENDAHULUAN Latar Belakang

Berdasarkan hasil evaluasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Selatan (2015), kelemahan produk olahan hasil perikanan Sumatera Selatan dibandingkan daerah lainnya adalah teknik pengemasan yang belum baik. Walaupun secara keseluruhan produk olahan hasil perikanan Sumatera Selatan lebih bervariatif, baik jenis maupun bentuknya, tetapi untuk bersaing di tingkat nasional apalagi mancanegara, produk olahan Sumatera Selatan masih jauh tertinggal dalam teknik pengemasan.

Menurut Syarief, R. dan H. Halid (1993) dan Haris, H. dan R. Syarief (2012), pengemas yang baik seyogyanya mempunyai tujuh fungsi utama, yaitu : 1) Menjaga produk bahan pangan agar tetap bersih dan merupakan pelindung terhadap kotoran dan kontaminasi lain, 2) Melindungi bahan pangan terhadap kerusakan fisik, perubahan kadar air dan penyinaran (cahaya), 3) Mempunyai fungsi yang baik, efisien dan ekonomis khususnya selama proses penempatan bahan pangan ke dalam wadah kemasan, 4) Mempunyai kemudahan dalam membuka dan menutup dan juga mempunyai kemudahan dalam tahap penanganan, pengangkutan dan pendistribusian, 5) Mempunyai ukuran, bentuk dan bobot yang sesuai dengan norma dan standar yang ada, mudah dibuang dan mudah bibentuk atau dicetak, 6) Menampakkan identifikasi , informasi dan penampilan yang jelas agar dapat membantu promosi atau pemasaran, dan 7) Ramah lingkungan (biodegradable) sehingga tidak mencemari lingkungan. Mengingat banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu jenis pengemas, maka penelitian ini penting dilakukan untuk dapat menerapkan teknik pengemasan yang lebih baik, sehingga Pundang Seluang yang dihasilkan mempunyai fungsi dan tampilan yang lebih menarik, praktis dalam penangannannya, higienis dan informatif, dengan umur simpan (Shelf life) yang lebih lama. Dengan demikian maka diharapkan daya tarik bagi pembeli akan semakin tinggi dengan jangkau pasar yang lebih luas.

Permasalahan Dari hasil pengamatan dilapangan

terhadap teknik pengemasan Pundang Seluang yang dilakukan oleh pengolah pundang masih sederhana, yaitu dengan mengemas Pundang Seluang dengan kantong plastik atau plastik mika. Sehingga cara pengemasan ini menimbulkan kesan bahwa Pundang Seluang yang dihasilkan masyarakat kurang bergengsi dan ada kesan murahan. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menghasilkan disain kemasan Pundang

Seluang yang dapat meningkatkan fungsi kemasan dan memberikan tampilan yang lebih menarik, higienis, praktis dalam penangannya dan informatif.

2. Menentukan berapa umur simpan (shelf life) Pundang Seluang yang dikemas.

Manfaat

Dengan dihasilkannya disain kemasan yang lebih menarik, higienis, praktis dalam penangannya, dan informatif dengan umur simpan yang lebih lama, maka akan meningkatkan minat konsumen terhadap Pundang Seluang dan jangkauan pemasaran akan semakin luas.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Workshop Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan (WTPHP) Fakultas Perikanan Universitas PGRI Palembang, yang sudah dimulai semenjak tahun 2014 dan terus disempurnakan sampai saat ini. Bahan dan Alat

Bahan baku dalam penelitian ini adalah Pundang Seluang yang diperoleh dari Pengolah Pundang di Kecamatan Sekayu Musi Banyuasin. Disamping itu juga bahan untuk rancangan disain kemasan, plastik PP, kertas kota karton, dan bahan pendukung lainnya. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah, sealer vacum, moisture tester, dan peralatan sablon.

Page 46: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”36

Prosedur Kerja Prosedur kerja dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut : 1. Penyiapan bahan baku dan peralatan yang

akan digunakan 2. Rancang bangun disain bentuk kemasan

yang akan dikembangkan dengan metode try and error.. Ada dua bentuk kemasan yang akan dikembangkan, yaitu plastik tebal PP bentuk standing pounch berlabel sebagai kemasan primer dan kemasan plastik PP tebal vakum sebagai kemasan primernya dan kemasan kotak karton berlabel sebagai kemasan sekunder.

3. Disain grafis label kemasan Pundang Seluang sesuai dengan Undang-undang Pangan No. 7 Tahun 1996 yang minimal berisikan : Nama produk dan merek dagang, komposisi bahan yang dikemas, isi netto, nama dan alamat produsen yang memproduksi, proses produksi, masa kadaluarsa, label halal.

4. Penentuan unur simpan (shelf life) dengan metode Akselerasi, dengan parameter Kadar Air bahan sebagai faktor penentu penurunan mutu produk.

Metodologi Disain Kemasan Untuk mendapatkan rancangan disain kemasan Pundang Seluang dilakukan percobaan secara berulang-ulang (Try and Error), sehingga didapatkan disain kemasan terbaik (Gomez dan Gomez, 1995). Ada dua bentuk kemasan yang akan dikembangkan, yaitu :

1. Kemasan primer berupa plastik tebal PP berlabel diberi bentuk standing pounch (berdiri)

2. Kemasan primer berupa plastik tebal PP vakum dikombinasikan dengan kotak karton berlabel sebagai kemasan sekunder.

Penentuan Umur Simpan (shelf life) Metode pendugaan umur simpan Accelerated Shelf-life Testing (ASLT), yaitu dengan cara menyimpan produk pangan pada lingkungan yang menyebabkannya cepat rusak, baik pada kondisi suhu atau kelembaban ruang penyimpanan yang lebih tinggi. Data perubahan mutu selama penyimpanan diubah dalam bentuk model matematika, kemudian umur simpan

ditentukan dengan cara ekstrapolasi persamaan pada kondisi penyimpanan normal. Metode akselerasi dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat dengan akurasi yang baik Syarief, R. et al (1991); (Arpah, 2001). Penentuan umur simpan menggunakan metode ASLT, dengan parameter Kadar Air bahan sebagai faktor penentu (mutu dominan) penurunan mutu produk. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang disusun secara faktor tunggal, yaitu variasi suhu (T), yang terdiri dari 3 taraf perlakuan yaitu :

T1 : Suhu 200C T2 : Suhu Ruang 300C T3 : Suhu 400C

Pengamatan dilakukan setiap 7 hari sekali, terdiri dari 6 kali pengamatan, yaitu : pengamatan hari ke-0, ke-7, ke-14, ke-21, ke-28 dan ke-35.

Dari hasil pengamatan mutu dominan, dari ketiga suhu pada masing – masing waktu pengamatan, dilakukan analisis regresi untuk mendapatkan persamaan garisnya, selanjutnya dari ketiga persamaan garis tersebut dilakukan interpolasi data yang merupakan gabungan dari ketiga persamaan garis tersebut untuk menentukan laju penurunan mutu (slope).

Dengan diketahuinya laju penurunan mutu (slope) ini maka berdasarkan titik kritisnya umur simpan dapat ditentukan dengan rumus Arhenius. Menurut Syarief dan Halid (1993), laju penurunan mutu (slope) dapat ditentukan dengan rumus arhenius yaitu : In k = A + B x 1/T apabila setiap nilai k dan 1/T diplotkan dalam sebuah grafik, maka didapat persamaan garis penurunan mutu. Apabila sudah didapatkan model tersebut, maka kita dapat menduga laju penurunan mutu Pundang seluang pada suhu yang telah ditentukan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Disain Kemasan Pundang Seluang Hasil disain kemasan Pundang Seluang yang sudah dikembangkan adalah sebagai berikut 1. Kemasan primer berupa plastik tebal PP berlabel diberi bentuk standing pounch (berdiri) Kemasan plastik PP berlabel yang dibentuk standing pounch K3) seperti terlihat pada Gambar 1. Isi nettonya adalah 500 gr/ kantong.

Page 47: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 37

Gambar 1. Plastik PP Berlabel Bentuk Standing Pounch (K2)

Gambar disain label bagian depan berisi

gambar Pundang Seluang berlatar belakang Jembatan Ampera, Logi dan alamat WSTPHP Fakultas Perikanan sebagai produsen, isi netto 500 gr, Label halal dan informasi lainnya. Sedangkan bagian belakang berisi alur proses produksi pengolahan Pundang Seluang, seperti terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Disain label bagian belakang

Kemasan primer berupa plastik tebal PP vakum dikombinasikan dengan kotak karton berlabel sebagai kemasan sekunder.

Kemasan gabungan antara kemasan primer (Plastik PP vakum) dan kemasan sekunder (Kotak karton berlabel) dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Gabungan Plastik PP Vakum dan Kotak Berlabel

Gambar disain label bagian depan berisi

gambar Pundang Seluang berlatar belakang Jembatan Ampera, Logi dan alamat WSTPHP Fakultas Perikanan sebagai produsen, isi netto 500 gr, Label halal dan informasi lainnya. Sedangkan bagian belakang berisi alur proses produksi pengolahan Pundang Seluang, sepertti terlihat pada Gambar 4.

Tampak Belakang Tampak Depan Gambar 4. Disain label bagian depan dan

belakang

Page 48: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”38

Dekorasi dan pelabelan yang digunakan sudah cukup lengkap seperti yang disyaratkan oleh Undang Undang Pangan Nomor 7 tahun 1996, yang berisikan : Nama produk dan merek dagang, komposisi, isi netto, nama dan alamat produsen yang memproduksi, proses produksi, masa kadaluarsa, label halal (Harris, H dan R. Syarief. 2012).

Saat ini Workshop TPHP Fakultas Perikanan Univ. PGRI Palembang sudah mulai mengembangkan teknologi proses pengolahan, teknik pengemasan dan penentuan umur simpan (shelf life) Pundang. Di workshop juga sudah ada beberapa contoh disain kemasan Pundang yang telah dilengkapi dengan informasi-informasi yang penting, sesuai dengan kaedah-kaedah pengemas yang baik, seperti yang disyaratkan oleh Undang-undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996 (Harris, H., et al, 2014).

Penentuan Umur Simpan (Shelf Life) Penentuan Titik Kritis Pundang Seluang

Produk yang digunakan dalam analisis ini adalah Pundang. Metode akselerasi, parameter kerusakan yang diamati sebagai penentuan umur simpan produk Pundang Seluang

menggunakan parameter kadar air. Pada Model arrhenius, suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perubahan mutu produk.

Hasil penelitian Pendahuluan yang telah dilakukan terhadap Pundang Seluang untuk mengetahui titik kritis mutu dominan Pundang Seluang pada uji sensoris berdasarkan pengujian yang dilakukan di suhu kamar 30°C selama pengamatan 36 hari dan diamati setiap 3 hari sekali dapat dilihat bahwa hasil pengamatan uji sensori (penampakan, pertumbuhan kapang, bau, warna dan tekstur) pada masing-masing pengamatan hari ke 0, 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, 24, 27, 30, 33 dan 36 ada perubahan pada hari ke 33 dan 36. Ini menunjukkan bahwa selama penyimpanan Pundang Seluang pada hari 30 ke atas sudah mengalami kerusakan baik dari penampakan, pertumbuhan kapang, bau, warna dan tekstur.

Penelitian pendahuluan pada titik kritis mutu pundang seluang dilakukan pada sampel hari ke 0 dan hari ke 33 Sampel Pundang seluang dianalisa secara sensori dan analisa Laboratorium. Adapun data hasil analisanya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Titik kritis mutu Pundang seluang

Hari ke- Pengamatan Sensoris Kadar Air (%) Keterangan

0 Pertumbuhan kapang negatif (-), bau ikan kering tawar, warna bening mengkilat, dan teksturnya elastis.

11,70 Kondisi awal

33 Pertumbuhan kapang positif (+), bau sudah tengik, warna coklat buram dan teksturnya lembek basah

16,80 Kondisi akhir (produk sudah mulai rusak)

Analisa Pundang seluang seperti tertera

di Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa mutu Pundang Seluang hari ke-0 secara sensori masih bagus sedangkan Pundang seluang hari ke-33 secara sensoris sudah rusak. Uji sensoris mutu Pundang Seluang mengacu pada kriteria mutu sensori yang digunakan hasil penelitian Liuhartana, R. dan Harris, (2011).

Nilai kadar air Pundang seluang pada pengamatan hari ke-0 (kadar air awal) adalah 11,70%, sedangkan kadar air Pundang seluang yang sudah rusak hari ke-33 adalah 16,82%. Peningkatan kandungan air dalam beberapa pangan olahan dapat menjadi indikasi penurunan mutu. Peningkatan kadar air melalui penyerapan uap air dari lingkungan menyebabkan produk pangan

Page 49: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 39

tersebut menurun mutunya. Penurunan mutu tersebut dapat diartikan bahwa produk pangan sudah mencapai batas umur simpannya karena sudah melewati batas kritis kadar airnya. Kandungan air dalam pangan memengaruhi pertumbuhan mikroba, termasuk mikroba pembusuk dan patogen maka pangan memiliki tingkat risiko keamanan pangan yang berbeda-beda. Pangan dengan kandungan air yang lebih besar umumnya lebih mudah ditumbuhi mikroba sehingga lebih berisiko dari segi keamanan pangan (Kusnandar, 2010). Penentuan Umur Simpan (Shelf Life)

Parameter yang diamati adalah mutu dominan Pundang seluang yang merupakan pengamatan terhadap Kadar Air serta pengamatan TPC sebagai data pendukung. a. Penyusunan Data Hasil Pengamatan Mutu

Dominan Rekapitulasi data hasil penelitian utama yang telah dilaksanakan pada bulan September – Oktober tahun 2014 terhadap Pundang seluang dengan tiga suhu ruang yang berbeda 20°C (T1), 30°C (T2) dan 40°C (T3) selama penyimpanan 35 hari berdasarkan pengujian yang dilakukan di Laboratorium Teknologi hasil Pertanian, Unsri Indralaya. Data rata-rata Kadar air dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai Rata-rata Kadar Air Pundang Seluang pada kemasan vakum berdasarkan masing-

masing suhu selama 35 hari penyimpanan. Penyimpanan

hari ke- Kadar Air

T1 T2 T3 0 11,70 11,70 11,70 7 11,175 9,595 9,36

14 17,3 10,885 16,975 21 10,49 16,65 10,02 28 11,455 19,33 10,385 35 8,18 9,925 3,495

Grafik persamaan regresi linear rata-rata

kadar air Pundang seluang pada kemasan vakum dengan masing-masing suhu dapat dilihat pada Gambar 6

Gambar 6. Nilai persamaan regresi linier rata-

rata Kadar Air Pundang seluang pada kemasan vakum dengan masing-masing suhu.

Persamaan kurva regresi linear, sebagai berikut :

- Suhu 20°C : y = 14,07 – 0,673 r = 0,174 k1 = - 0,673

- Suhu 30°C : y = 10,40 – 0,745 r = 0,120 k2 = - 0,745

- Suhu 40°C : y = 14,81 – 1,283 r = 0,307 k3 = - 1,283

Penentuan Nilai k dan T Nilai konstanta penurunan mutu (k) :

k1 = - 0,673 k2 = - 0,745 k3 = - 1,283

Nilai suhu mutlak (T) (C+273) yaitu : T1 (20°C) = 290°Kelvin T2 (30°C) = 303°Kelvin T3 (40°C) = 313°Kelvin

b. Menggambar Plotting Nilai ln k dan 1/T

Page 50: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”40

Nilai ln k penurunan mutu (k) :

ln k1 = ln -0,673 = -0,40 ln k2 = ln -0,745 = -0,29

ln k3 = ln -1,283 = 0,25 Nilai 1/T :

T1 = 1/(T) = 34,11 x10-4

T2= 1/(T) = 33,00 x10-4

T3 = 1/(T) = 32,00 x10-4

b. Penentuan Model Matematika Nilai k diterapkan dalam rumus arhenius, yaitu :

k=ko.e-E/RT atau ln k = ln k0 – E/RT

karena ln k0 = A dan –E/R = B merupakan bilangan konstanta maka persamaannya dapat dituliskan sebagai ln k=A+B.1/T. Perhitungan Persamaan Grafik hubungan antara suhu penyimpanan (0K) dengan ln k pada suhu penyimpanan yaitu : ln k = -0,792 + 0,322 (1/T) Nilai energi aktivasi (E) : -E/R = B -E/R = 0,322 °K R = Konstanta Gas, 1,986 kal/mol Jadi, E = 0,639492 kal/mol

Nilai Konstanta tidak tergantung pada suhu (k0) : ln k0 = A ln k0 = - 0,792 k0 = 0,4529380128 jadi, Nilai k0 = 0,4529 Berdasarkan hasil pengukuran rata-rata suhu harian di lokasi penelitian adalah sebesar 30 0C maka untuk menentukan laju peningkatan kadar air pada penelitian ini digunakan suhu harian 30 0C Sehingga dengan demikian model atau persamaan untuk laju penurunan mutu terhadap Kadar Air Pundang seluang adalah : k = k0.e-E/RT = 0,4529.e0,322 (1/T)

= 0,4529.e0,1322 (1/273+30

= 0,4529.e0,00106

= 0,4529 x 1,00106

k = 0,4533 Jadi laju penurunan mutu Pundang seluang berdasarkan perubahan kadar air = 0,4533 % per hari c. Perhitungan Umur Simpan Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan bahwa nilai kritis kadar air mulai terjadinya kerusakan Pundang seluang adalah sebesar 5,12 %, sedangkan laju penurunan mutunya adalah sebesar 0,4533 % per hari = 0,045 maka umur simpan Pundang seluang berdasarkan mutu dominan kadar air adalah : Kadar air titik kritis Umur simpan = -------------------------x 1 hari Laju penurunan mutu 5,12 = ------------x 1 hari 0,045 = 113, 7777 hari = 3,792 bulan

Laju peningkatan kadar air pada Pundang Seluang yang dikemas vakum adalah 0,4533 % per hari. Umur simpan Pundang Seluang yang dikemas vakum adalah 3,792 bulan. Hasil penelitian Curran (1984) dalam Syarief dan Halid (1993) menunjukkan bahwa ikan kering dengan kadar air yang lebih rendah (15%) memiliki umur simpan yang lebih panjang (lebih dari satu tahun) dari pada ikan kering dengan kadar air yang lebih tinggi (20% - 55%, umur simpan tiga minggu sampai kurang dari setengah minggu). Kusnandar (2010) mengemukakan bahwa kandungan air memiliki peranan penting dalam sistem pangan, yaitu : (1) memengaruhi kesegaran, stabilitas, dan keawetan pangan, (2) berperan sebagai pelarut universal untuk senyawa-senyawa ionic dan polar, seperti garam, vitamin, gula dan pigmen, (3) berperan dalam reaksi-reaksi kimia (misal pada reaksi polimerisasi pembentukan karbohidrat, protein, dan lemak), (4) memengaruhi aktivitas enzim, (5) factor penting untuk pertumbuhan mikroba, (6) menentukan tingkat resiko keamanan pangan

Page 51: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 41

dan (7) sebagai medium pindah tingkat resiko keamanan air dalam sistem pangan.

Hasil dari penelitian pendahuluan dengan suhu ruang 30 0C menunjukkan bahwa kurang dari 33 hari Pundang seluang sudah mengalami kerusakan baik dari penampakan, pertumbuhan kapang, bau, warna dan tekstur, sedangkan jika di bandingkan dengan penelitian penyimpanan dengan menggunakan kemasan vakum, umur simpannya (shelf life) adalah 113, 77 hari. Hal ini sesuai dengan penelitian Harris dan Liuhartana (2011) yang menyatakan bahwa kemasan vakum lebih efektif dalam mengurangi laju peningkatan kadar air selama penyimpanan karena pada perlakuan vakum semua uap air dan udara yang ada dalam kemasan telah dihisap keluar kemasan terlebih dahulu.

KESIMPULAN

Dari hasil pembahasan sebelumnya dapat

disimpulkan sebagai berikut : Disain kemasan yang dihasilkan dapat meningkatkan tampilan kemasan Pundang Seluang yang lebih menarik, praktis, higienis, dan informatif.

Berdasarkan pengamatan secara visual (uji sensoris) terhadap Pundang seluang selama 36 hari pengamatan pada suhu ruang 30 0C, mulai terjadi kerusakan pada pengamatan hari ke-33. Model matematik laju peningkatan kadar air pada kemasan vakum adalah k= 0,4529.e0,322 (1/T) dengan laju penurunan mutu k= 0,045 % per hari, dengan umur simpan selama 113,78 hari atau 3,792 bulan.

DAFTAR PUSTAKA

Arpah. 2001. Penentuan Kedaluwarsa Produk Pangan. Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan Bidang Bina Usaha. 2015. Buku Tahunan Statistik Perikanan Budidaya Tahun 2014. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan. Palembang.

Gomez, K.A. dan AA. Gomez. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian (Tere mahan Endang

Syamsudin dan Justika Baharsyah). Indonesia University Press. Jakarta.

Haris, H dan R. Liuhartana. 2011. Disain Kemasan Untuk Meningkatkan Fungsi dan Tampilan Seluang Kering (Pundang). Fakultas Perikanan Universitas PGRI Palembang. Palembang. 6 (1) : 27-40.

Harris, H., R. Liuhartana, F. Muliajaya dan E. Robiyardi. 2014. Perbaikan Teknologi Proses Pengolahan Untuk Meningkatkan Mutu Seluang Kering (Pundang) Sebagai Produk Unggulan Khas Sumatera Selatan. Fakultas Perikanan Universitas PGRI Palembang. Palembang.

Harris, H. Dan R. Syarief. 2012. Pengantar Teknologi Kemasan. Buku Ajar pada Fakultas Perikanan Universitas PGRI Palembang. Palembang.

Kusnandar, F. 2010. Kimia pangan Komponen Makro. Dian Rakyat. Jakarta.

Liuhartana, R dan H. Harris. 2011. Identifikasi Teknologi Proses Pengolahan dan Analisa Mutu Seluang Kering (pundang) pada Pengolahan secara Tradisional. Palembang. 6 (1) : 41-54.

Syarief, R., Santausa, S dan St. Isyana 1991. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan bekerjasama dengan PAU Pangan dan Gizi IPB Bogor. Bogor.

Syarief R. dan Halid Y. 1993. Teknologi Pengemasan Pangan. Arcan, Jakarta, Indonesia.

Page 52: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”42

DETEKSI CEMARAN E. coli, Salmonella sp., DAN L. monocytogenes PADA SOSIS SIAP SANTAP YANG DIJUAL DI DESA SAYANG KECAMATAN JATINANGOR

DETECTION OF E. coli, Salmonella sp., AND L. monocytogenes CONTAMINATION IN

READY-TO-EAT SAUSAGE THAT SOLD IN SAYANG VILLAGE, JATINANGOR DISTRICT

Isfari Dinika*, Tita Rialita dan Efri Mardawati

Departemen Teknologi Industri Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran

*Email korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Ready-to-eat sausage is one of processed meat product which have high protein value. This nutrition content may causes pathogenic bacteria contamination such as Escherichia coli, Salmonella sp., and Listeria monocytogenes that can cause health issues and death. Contamination of these bacteria can contaminate and grow due to poor storage conditions at store. Ready-to-eat sausage commonly sold through store, so the research did the observations of sausage that sold at store in Sayang Village, Jatinangor. The research was conducted by survey method with descriptive analysis, followed by physical, chemical and microbiological observation in laboratory. The result showed from 24 samples, E. coli was detected in 7 samples (29,17%) with range 9.2 – 240 APM/g, Salmonella was positive in 1 sample (4,16%), and L. monocytogenes was positive in 4 samples (16,67%) with further identification test showed negative results and suspected as Staphylococcus. Positive samples showed the characteristic of pH and aw that were close to optimum conditions of each pathogenic bacteria with pH near 7 and aw near > 0,95. Contamination occur suspected from direct contact from sellers and contaminants during sausage processing.

Keywords: maximum 5 keywords from paper

ABSTRAK

Sosis siap makan merupakan salah satu produk olahan daging yang memiliki nilai protein yang cukup tinggi. Kandungan gizinya yang tinggi menyebabkan sosis siap makan dapat terkontaminasi bakteri patogen seperti Escherichia coli, Salmonella sp., dan Listeria monocytogenes yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan hingga kematian. Kontaminasi dan pertumbuhan bakteri tersebut dapat terjadi akibat kondisi penyimpanan yang buruk pada saat penjualan. Sosis siap makan biasa dijual melalui toko, sehingga dilakukan pengamatan terhadap toko di Desa Sayang, Jatinangor. Penelitian dilakukan dengan metode survei dengan analisis deskriptif. Pengamatan karateristik fisik, kimia dan mikrobiologi dilakukan di laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan dari 24 sampel, E. coli terdeteksi pada 7 sampel (29,17%) dengan rentang nilai 9,2 – 240 APM/g, Salmonella sp. positif pada 1 sampel (4,16%), dan L. monocytogenes positif pada 4 sampel (16,67%) dengan pengujian lebih lanjut menunjukkan hasil negatif dan diduga merupakan Staphylococus. Sampel positif menunjukkan karakteristik pH dan aw yang mendekati kondisi optimum bakteri, yaitu pH 7,0-7,5 dan aw > 0,95. Kontaminasi diduga berasal dari kontak langsung penjual serta cemaran saat pengolahan.

Kata kunci: Bakteri patogen, Kontaminasi, Listeria monocytogenes, Sosis siap makan, Survei

Page 53: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 43

PENDAHULUAN

Produk olahan daging berupa sosis merupakan produk yang rentan terhadap kontaminasi mikroba patogen, terutama untuk produk sosis siap makan. Keberadaan mikroba patogen pada sosis siap makan perlu menjadi perhatian dikarenakan tidak dilakukannya proses pemasakan pendahuluan terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan tingkat keamanan pangan pada sosis siap makan sangat dipengaruhi dari kondisi penyimpanan produk sampai sanitasi yang baik selama pengolahan.

Keberadaan bakteri patogen pada produk pangan tersebut menjadi hal yang perlu diwaspadai. Penelitian yang dilakukan oleh Kartika, Khotimah dan Yanti (2014) dan Djoepri (2006) pada sampel sosis yang memerlukan pemasakan terlebih dahulu masih menunjukkan keberadaan bakteri patogen. Penelitian Kartika et al (2014) menunjukkan hasil positif bakteri Coliform, E. coli, S. aureus dan Salmonella sp. pada sosis dari pasar Flamboyan, Pontianak, sedangkan penelitian Djoepri (2006) menunjukkan 23 dari 39 sampel sosis dari pasar tradisional positif Coliform dan E. coli dengan nilai diatas SNI, yaitu > 1 x 102

CFU/g (BSN, 2015).

Kontaminasi Salmonella sp. dapat terjadi pada saat produksi, dimana spora Salmonella membutuhkan pemanasan pada suhu 121oC selama 15 menit (Setiowati dan Inanusantri, 2011), sedangkan menurut Kukuh (2015), pemasakan sosis siap makan dilakukan dengan suhu 121oC selama 10 menit.

Kontaminasi E. coli dapat terjadi pada lingkungan yang kurang bersih (Djoepri, 2006) dan dapat terjadi oleh pekerja akibat kontak langsung (Meliawati, 2009), sementara menurut Kukuh (2015), proses sortir dan packaging pasca pengemasan dilakukan secara manual menggunakan tangan.

Menurut Ariyanti (2010), sumber cemaran L. monocytogenes berasal dari

tumbuhan yang membusuk di tanah dan termakan oleh ternak, kemudian daging yang mengandung L. monocytogenes dapat membentuk lapisan lendir dan menempel pada alat pengolahan. Lendir yang terbentuk dapat membuat L. monocytogenes tahan terhadap pemanasan, bahan kimia, deterjen, biosida dan antibiotika. Karenanya, keberadaan lendir pada alat pengolahan serta kontaminasi silang pekerja dapat menimbulkan cemaran L. monocytogenes pada produk hasil.

Keberadaan bakteri patogen dapat didukung dengan kondisi tempat penjualan sosis siap makan yang tidak baik, seperti penjualan sosis pada suhu ruang serta adanya paparan sinar matahari langsung. Kemasan yang bocor dapat meningkatkan pertumbuhan L. monocytogenes, terkait dengan sifatnya yang menyukai kondisi dengan oksigen kurang, namun mati pada kondisi anaerob sempurna (Marlina et al, 2002). L. monocytogenes juga bersifat psikrofilik, yaitu dapat bertahan sampai suhu -5oC (Sukarminah et al, 2009).

Beberapa produsen sosis siap makan menjadikan anak-anak sebagai target konsumen. Hal ini ditunjukkan dari aspek kemasan sosis siap makan tersebut. Menurut Klimchuk dan Krasovec (2007), desain kemasan yang digunakan dapat memperlihatkan produk sekaligus menggambarkan konsumen target. Warna dan ilustrasi yang mencolok pada kemasan dapat menarik minat anak-anak dan remaja.

Penjualan sosis siap makan kepada anak-anak dilakukan secara langsung oleh toko-toko terutama di daerah sekitar perumahan maupun sekitar sekolah. Toko-toko biasa membeli produk sosis siap makan dalam toples untuk kemudian dijual secara eceran dengan harga terjangkau. Kondisi penjualan sosis siap makan oleh toko-toko seringkali tidak memperhatikan aspek kebersihan. Sosis yang dijual dengan kondisi penyimpanan pada suhu ruang dengan toples terbuka

Page 54: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”44

menimbulkan kemungkinan keberadaan bakteri patogen.

Peneliti melakukan pengamatan terhadap produk sosis siap makan yang dijual di Desa Sayang, Kecamatan Jatinangor. Berdasarkan data Kecamatan Jatinangor tahun 2015, Desa Sayang merupakan desa yang memiliki jumlah penduduk keempat terbanyak di Jatinangor, yaitu sebanyak 9.515 penduduk. Desa Sayang dipilih menjadi wilayah penelitian karena memiliki beberapa sekolah, yaitu SDN Sayang, SDN Mekarsari, SDIT Imam Bukhari, SMPIT Imam Bukhari, Pesantren Imam Bukhari, SMK Padjadjaran, dan terdapat dua perumahan, yaitu Komplek Kiara Asri dan Perumahan Ikopin (Anonim, 2015).

Kurangnya kewaspadaan penjual dalam mengatasi produk sosis siap makan dapat mendukung keberadaan kontaminasi bakteri patogen dalam produk yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat. Hal ini menyebabkan perlunya identifikasi tingkat keamanan produk sosis siap makan yang dijual. Permasalahan ini dapat diamati dengan metode survei pada toko-toko di wilayah Desa Sayang untuk mengamati secara langsung kondisi tempat penjualan dan kondisi produk saat dijual serta melakukan pengamatan karakteristik mikrobiologi di dalam laboratorium.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan bakteri patogen E. coli, Salmonella sp., dan L. monocytogenes pada sosis siap santap yang dipasarkan di Desa Sayang, Kecamatan Jatinangor.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel, NaCl-fisiologis 0,85% serta media untuk pengujian E. coli berupa LBDS (Lactose Broth Double Strain), LBSS (Lactose Broth Single Strain), dan EMB (Eosin Methylene Blue), pengujian

Salmonella berupa SSA (Salmonella-Shigella Agar), serta pengujian Listeria berupa BLEB (Buffered Listeria Enrichment Broth), dan OXA (Oxford Agar).

Metode yang digunakan adalah metode survei dengan analisis deskriptif. Survei dilakukan untuk mengetahui kondisi penyimpanan dan mengetahui kondisi mutu mikrobiologi dari sosis siap. Berdasarkan populasi toko yang ada di Desa Sayang, dilakukan pengamatan 24 sampel sosis yang diambil dari 12 toko, dimana setiap toko dilakukan pengambilan sampel sosis daging (SD) dan sosis ayam (SA).

Survei dilakukan pada tempat penjualan sampel dengan mengisi borang survei yang berisi informasi kondisi penyimpanan selama penjualan dan kondisi produk meliputi kondisi fisik, kimia, dan pengemasan. Analisis mutu kimia yang dilakukan adalah pengamatan pH dan aw dengan prosedur Sudarmadji (1984).

Analisis mutu mikrobiologi diawali dengan pengambilan sampel 30 gram dan dimasukkan ke dalam cool box berisi es untuk dibawa ke laboratorium. Masing-masing sampel dilakukan pengecilan ukuran secara aseptis dan ditimbang 25 gram untuk pengujian E. coli, 1 gram untuk Salmonella, dan 1 gram untuk L. monocytogenes. Pengujian dilakukan secara kuantitatif untuk E. coli dengan metode MPN (Most Probability Number) serta pengujian kualitatif untuk Salmonella sp., serta untuk L. monocytogenes dengan prosedur sesuai dengan SNI 2897:2008 (BSN, 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Survei Hasil survei mengenai kondisi dan letak

penyimpanan toples ditunjukkan pada Gambar 1.

Page 55: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 45

Gambar 1. Diagram Kondisi dan Letak

Penyimpanan Toples Kondisi toko yang tidak memiliki sekat

antara bagian dalam toko dengan lingkungan luar ditunjukkan pada semua toko. Hal ini menyebabkan kondisi lingkungan dapat dengan mudah masuk dan mempengaruhi kondisi bagian dalam tempat penjualan. Kondisi penyimpanan yang tidak sesuai anjuran penyimpanan yang tertera pada kemasan dilakukan 33,33% penjual (n = 4) dengan 16,67% (n = 2) diantaranya tidak melindungi produk dari paparan sinar matahari dan tidak sesuainya suhu penyimpanan. Sebanyak 8,3% penjual (n = 1) menyatukan produk dan kode prouksi yang berbeda ke dalam satu toples. Hasil pengamatan suhu tempat penjualan ditunjukkan oleh Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Suhu Tempat

Penjualan Produk Suhu Jumlah Penjual

< 20oC 0%

20-24oC 66,67%

24-26oC 33,33%

> 26oC 0%

Hasil pengamatan menunjukkan 66,67%

(n = 8) memiliki tempat penjualan dengan suhu sejuk dengan kisaran 20-24°C yang telah

sesuai anjuran penyimpanan. Sebanyak 33,33% (n = 4) memiliki suhu penjualan agak panas dengan kisaran 24-26°C. Penyimpanan pada suhu <20°C tidak dilakukan oleh semua penjual didukung dengan tidak adanya alat pendingin pada ruangan serta tidak dilakukan penyimpanan produk pada kulkas.

Semua toko yang diamati tidak terlihat adanya keberadaan serangga, cicak, kecoak, tikus dan hewan kecil lain. Sebanyak 8,33% toko (n = 1) menunjukkan kondisi yang kotor dengan adanya sampah kecil di sekitar toko yang berserakan di lantai serta permukaan showcase dan produk yang berdebu. Sebanyak 16,67% (n = 2) juga terlihat keberadaan hewan berkeliaran berupa ayam yang tidak berada dalam kandang, serta sebanyak 50,00% toko (n = 6) menunjukkan kondisi berdebu. Hasil pengamatan kondisi kebersihan penjual ditunjukkan dalam Gambar 3.

Gambar 3. Diagram Kondisi Kebersihan

Penjual

Hasil yang cukup baik ditunjukkan pada kondisi kebersihan penjual, dimana semua penjual tidak ada yang menggunakan pakaian yang kotor dan tidak ada penjual yang berambut panjang terurai. Sebanya 66,67% (n = 8) menyentuh produk secara langsung dimana 8,33% (n = 1) diantaranya memiliki kondisi tangan yang kotor dan merokok.

Tingkat pengetahuan penjual terhadap cara penyimpanan sosis dilakukan untuk mengetahui pengetahuan penjual akan cara penyimpanan serta pentingnya menyimpan

0.

25.

50.

75.

100.

a b c d e f g

Jum

lah

Penj

ual (

%)

Ya

0.

25.

50.

75.

100.

a b c d

Jum

lah

Penj

ual (

%)

Ya

Ket. : a = tidak sesuai anjuran penyimpanan, b = terpapar matahari, c = ruangan tidak bersekat, d = dekat dengan perishable food, e = menyatukan kode produksi, f = menyatukan produk, dan g = toples tidak tertutup

Ket. : a = menyentuh produk langsung, b = rambut panjang/tidak terikat, c = pakaian kotor, d = lainnya (tangan kotor)

Page 56: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”46

sosis dalam keadaan tertutup. Hasil pengamatan ditunjukkan Gambar 4.

Gambar 4. Diagram Tingkat Pengetahuan

Penjual terhadap Cara Penyimpanan Produk

Hasil pengamatan menunjukkan 58,33%

(n = 7) menyarankan produk disimpan pada kulkas, 33,33% (n = 4) menyarankan disimpan pada suhu ruang dan tempat sejuk, serta 8,33% (n = 1) menyatakan tidak mengerti. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa hampir semua penjual telah mengerti suhu penyimpanan sosis yang sesuai dengan anjuran kemasan, yaitu penyimpanan di bawah suhu 25°C.

Kondisi Sosis Siap Makan yang

Diamati Sampel sosis yang dijual pada 12 toko di

Desa Sayang terdiri atas 3 produsen, yaitu produsen A, B dan C. Sampel dengan produsen A terdiri atas 19 sosis (9 ayam, 10 sapi), produsen B 4 sosis (2 ayam, 2 sapi), dan produsen C 1 sosis (1 ayam). Semua sampel memiliki kondisi kemasan primer dalam kondisi baik, tersegel dengan rapat dan tidak ada yang mengalami kerusakan kemasan, robek ataupun menggelembung.

Ketiga produsen sosis memiliki kemasan primer dengan ciri-ciri warna, kelenturan dan ketebalan yang serupa sehingga diduga merupakan jenis plastik yang sama. Menurut Kukuh (2015), pengemas primer sosis siap makan adalah PVDC (Polivinyldene

Chloride). Pringer dan Baner (2008) menjelaskan bahwa PVDC memiliki karakteristik melindungi gas, air dan aroma yang baik serta ketahanan terhadap asam dan alkali yang tinggi. Kondisi fisik sosis ditunjukkan pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil Pengamatan Kondisi Fisik

Sampel

Sampel Kondisi Fisik Sampel

Tekstur Warna Aroma Rasa

A Ayam ✓ ✓ ✓ ✓

Sapi ✓ ✓ ✓ ✓

B Ayam ✓ ✓ ✓ ✓

Sapi ✓ ✓ ✓ ✓

C Ayam ✓ ✓ ✓ ✓

Keterangan : ✓ berarti normal/tidak ada penyimpangan

Kondisi fisik sosis dari aspek aroma, tekstur, rasa dan warna tidak mengalami penyimpangan sehingga masih dapat diterima oleh konsumen. Kondisi fisik tersebut telah sesuai dengan SNI 01-3820-2015 dimana sosis daging kombinasi yang baik memiliki bau, rasa dan warna yang normal. Pengamatan karakteristik kimia dan komposisi sampel terdapat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Pengamatan Kondisi Kimia

Sampel

Produsen Kondisi Kimia

Kisaran aw Kisaran pH

A Ayam 0,921-0,957 6,45-6,62

Sapi 0,914-0,953 6,36-6,61

B Ayam 0,965-0,971 6,50-6,58

Sapi 0,924-0,928 6,54-6,58

C Ayam 0,957 6,41

0.

25.

50.

75.

100.

Penyimpanan yangseharusnya

Pentingnya toplesditutup

Jum

lah

Penj

ual (

%)

a b c d e f

Ket. : a = di kulkas, b = suhu ruang, c = tidak mengerti, d = harus ditutup, e = tidak perlu, f = bebas

Page 57: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 47

Sebagian produk yang diamati dapat

menjadi media bagi L. monocytogenes, E. coli dan Salmonella sp. Kondisi optimum L. monocytogenes adalah pH 7 dengan rentang 4,5 – 9,2 (Ryser dan Marth, 2007), dan aw 0,90 – 0,93 (Kusumawati, 2000). Kondisi optimum bagi E. coli dan Salmonella sp. adalah pada aw minimal 0,95 untuk keduanya (Motarjemy dan Kaferstein, 1997) dengan pH optimum 7,0 – 7,5 untuk E. coli dan pH sekitar 7 untuk Salmonella sp (Soeparno, 2005).

Jumlah daging yang digunakan berbeda untuk setiap produsen. Produsen B menggunakan daging ayam 19% dan daging sapi 19%, sedangkan produsen C menggunakan daging ayam 25,8%. Produsen A hanya mencantumkan penggunaan daging ayam untuk sosis rasa ayam dan sapi tanpa mencantumkan persentase yang digunakan. Berdasarkan SNI 3820-2015, sosis produsen B dan C tidak dapat dikatakan sosis daging karena daging yang digunakan tidak sampai 35%. Sosis dengan kadar daging 20-35% adalah sosis daging kombinasi (BSN, 2015).

Jenis pengawet yang ada pada informasi kemasan adalah Na-askorbat dan Na-nitrit pada produsen B. Nitrit biasa digunakan untuk kuring daging yang akan memperbaiki warna, berkontribusi pada flavor, menginhibisi pertumbuhan bakteri seperti Clostridium botulinum dan efektif dalam menginhibisi oksidasi lemak (Pearson dan Gillet, 1996). Menurut Davidson, Sofos dan Branen (2005), nitrit bersifat antimikroba namun tidak terlalu efektif dalam mengendalikan bakteri patogen dengan gram negatif seperti Salmonella dan E. coli. Literatur tersebut menjelaskan bahwa kemungkinan bakteri patogen masih memungkinkan meski terdapat pengawet berupa nitrit.

Hasil Deteksi Bakteri Patogen

Hasil positif ditunjukkan dengan hasil yang lebih besar dari standar SNI, yaitu > 3,0 APM/g untuk E. coli, serta positif pada Salmonella dan Listeria (BSN, 2005). Hasil pengamatan keberadaan E. Coli, Salmonella dan Listeria ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Pengamatan Keberadaan Bakteri Patogen pada Sampel

Sampel Keberadaan Bakteri Patogen

E. coli (APM/g) Salmonella Listeria

SA1 0 Negatif Negatif

SA2 9.2` Negatif Negatif

SA3 29.0 Negatif Pos/Neg

SA4 16.0 Negatif Pos/Neg

SA5 0 Negatif Negatif

SA6 240.0 Negatif Negatif

SA7 0 Negatif Negatif

SA8 0 Negatif Negatif

SA9 0 Negatif Negatif

SA10 0 Negatif Negatif

SA11 0 Negatif Negatif

SA12 0 Negatif Negatif

SD1 0 Negatif Negatif

SD2 0 Negatif Negatif

SD3 29.0 Negatif Pos/Neg

SD4 240.0 Negatif Negatif

SD5 0 Negatif Pos/Neg

SD6 240.0 Positif Negatif

SD7 0 Negatif Negatif

SD8 0 Negatif Negatif

SD9 0 Negatif Negatif

SD10 0 Negatif Negatif

SD11 0 Negatif Negatif

SD12 0 Negatif Negatif

Total 7 1 4

Hasil pengamatan menunjukkan keberadaan positif bakteri patogen pada 5 dari 12 toko, yaitu toko 2, 3, 4, 5 dan 6. Berdasarkan hasil survei toko, toko 3 dan 4 memiliki kondisi penyimpanan dan kondisi

Page 58: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”48

toko yang kurang baik, ditunjukkan dengan kondisi tangan penjual yang kotor dan merokok serta kondisi toko yang kotor dan berdebu pada toko 3. Hal ini dapat memungkinkan terjadinya kontaminasi bakteri patogen akibat kontak langsung. Toko 4 melakukan penyimpanan yang mengenai paparan langsung matahari dan menyatukan beberapa produk dalam satu toples. Paparan matahari menyebabkan suhu produk meningkat dan dapat mendekati suhu optimum dari E. coli dan Salmonella, sehingga pertumbuhannya dapat semakin cepat. Hasil survei juga menunjukkan penjual melakukan penyentuhan produk secara langsung pada toko 2, 3, 4 dan 5. Toko 2, 3 dan 4 juga memiliki suhu toko yang agak panas (24-26°C).

Toko 6 memiliki kondisi penjualan yang sudah cukup baik dibandingkan dengan toko lain yang terdeteksi bakteri patogen, namun toko 6 menunjukkan jumlah bakteri E. coli tertinggi yaitu 240 APM/g untuk kedua sampel sosis. Kontaminasi bakteri patogen tersebut diperkirakan terjadi ketika proses pengolahan sosis siap makan.

Keberadaan E. coli

Hasil pengamatan E. coli menunjukkan hasil positif pada 7 dari 24 sampel (29,17%), yaitu sampel SA2, SA3, SA4, SA6, SD3, SD4 dan SD6. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan koloni hijau metalik pada media EMB, didukung dengan nilai APM yang tinggi serta keberadaan koloni berwarna pink pada media SSA ketika uji Salmonella yang menunjukkan E. coli (Acharya, 2016).

Hasil pengamatan aw dan pH menunjukkan kondisi yang sesuai dengan kondisi optimum E. coli pada sampel SA2, SA3, SA4, SA6 dan SD3, yaitu pada rentang aw di atas 0,95 dan pH mendekati 7. Sampel SD4 dan SD6 memiliki aw di bawah 0,95, yaitu 0,94 dan 0,946. Keberadaan E. coli masih ditemukan pada produk tersebut diperkirakan karena rentang jarak aw yang didapat tidak terlalu jauh dari 0,95.

Keberadaan E. coli pada produk diduga berasal dari kondisi pengolahan yang kurang baik. Kondisi sanitasi dan penggunaan air yang buruk saat pengolahan dapat menjadi salah satu penyebab, didasarkan atas

pernyataan Meliawati (2009) yang menyatakan pencemaran E. coli dapat terjadi oleh pekerja akibat kontak langsung dan air yang tercemar.

Keberadaan Salmonella

Hasil positif Salmonella ditemukan pada 1 dari 24 sampel (4,16%), yaitu pada sampel SD6. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan koloni hitam pada kedua ulangan. Keberadaan koloni Salmonella menunjukkan bahwa produk sosis siap makan dengan kode sampel SD6 tidak memenuhi batas standar karena keberadaaan Salmonella pada sosis siap makan harus negatif. Pengamatan Salmonella pada media SSA juga ditemukan keberadaan koloni dugaan E. coli pada sampel SA3, SD3 dan SA4.

Keberadaan Salmonella sp. diperkirakan terjadi akibat kontaminasi selama proses pengolahan, dimana Salmonella yang berasal dari bahan baku daging mentah telah menghasilkan spora. Spora dari Salmonella sp. dapat mengontaminasi sampai produk hasil karena sporanya masih mampu bertahan pada suhu tinggi. Sterilisasi terhadap spora bakteri dapat dilakukan dengan pemanasan 121°C selama 15 menit (Setiowati dan Inanusantri, 2011). Menurut Kukuh (2015), pemasakan sosis siap makan dilakukan menggunakan retort pada suhu 121°C selama 10 menit. Diperkirakan spora Salmonella masih ada yang belum musnah akibat dari pemasakan tersebut. Keberadaan L. monocytogenes

Hasil pengamatan menunjukkan dugaan positif L. monocytogenes terdapat pada 4 dari 24 sampel (16,67%), yaitu sampel SA3, SD3, SA4 dan SD5 yang ditunjukkan dengan hasil positif pada inkubasi 48 jam di kedua ulangan. Hal tersebut menyebabkan perlu dilakukan pengujian lebih lanjut untuk konfirmasi keberadaan L. monocytogenes.

Hasil pewarnaan gram menunjukkan bentuk bakteri berupa kokus dengan gram positif pada semua hasil positif dugaan Listeria. Hal ini tidak sesuai dengan literatur Marlina et al. (2002) yang menyebutkan bahwa Listeria memiliki morfologi batang. Bakteri yang tumbuh pada media OXA diduga merupakan Staphylococcus.

Page 59: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 49

Berdasarkan Acumedia (2013), mikroorganisme yang mungkin tumbuh pada OXA selain Listeria monocytogenes adalah Staphylococcus aureus.

Sukarminah (2009) menjelaskan bahwa Staphylococcus memiliki bentuk bulat, gram positif dan dapat ditemukan dalam bentuk berkelompok seperti anggur. Menurut Jawelz, Melnick dan Adelberg (2001), Staphylococcus berdiameter 1μm dan tersusun atas kelompok-kelompok yang tak beraturan, tidak membentuk spora, dan dapat lisis oleh obat-obatan seperti penisilin dapat bertahan hidup tanpa oksigen.

Bakteri S. aureus dapat tumbuh pada rentang pH 4,5 – 9,3 dengan pH optimum pada 7,0 – 7,5 dan kadar aw minimal 0,83 dengan aw optimum > 0,99 (FDA, 2012). Literatur tersebut menjelaskan kondisi pH dan aw dari sampel sosis siap makan termasuk ke dalam rentang pertumbuhan S. aureus meski tidak pada kondisi optimum. Hal ini menyebabkan bakteri S. aureus dapat tumbuh pada sosis meski dalam jumlah yang tidak banyak.

Staphylococcus aureus merupakan bakteri utama penyebab mastitis subklinis pada sapi di Indonesia (Wahyuni, Wibawan dan Wibowo., 2005). Bakteri ini dikenal sebagai bakteri komensal yang dapat diisolasi dari sebagian besar permukaan tubuh (Abrar, 2009). S. aureus biasa mengontaminasi daging dan produk daging, produk susu, salad, tuna, serta produk pastry (FDA, 2012). Literatur tersebut menjelaskan Staphylococcus dapat berasal dari bahan baku daging yang digunakan. Sumber kontaminasi juga dapat terjadi dari pekerja ketika proses produksi akibat kontak langsung, batuk, atau bersin, serta peralatan dan permukaan lingkungan juga dapat menjadi salah satu sumber kontaminasi S. aureus (FDA, 2012).

KESIMPULAN

Bakteri E. coli terdeteksi sebanyak 29,17% (7 dari 24 sampel), Salmonella sp. sebanyak 4,16% (1 dari 24 sampel), dan dugaan L. monocytogenes sebanyak 16,67% (4 dari 24 sampel) dimana hasil pewarnaan gram tidak menunjukkan ciri-ciri bentuk L.

monocytogenes, tapi Staphylococcus. Karakteristik kimia sosis siap makan yang didapat menunjukkan nilai aw pada rentang 0,914 – 0,971, sedangkan nilai pH 6,36 – 6,62.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut berupa survei jalur pembelian produk dari setiap toko dan kondisi transportasi dan kondisi transportasi dari setiap jalur transportasi serta serta pengamatan kondisi mikroorganisme antara produk dari gudang produsen dengan produk yang dijual di Desa Sayang agar dapat mengetahui pengaruh transportasi.

DAFTAR PUSTAKA

Acharya, T. 2016. Salmonella-Shigella (SS) Agar: Composition, Principle, Procedure and Results. microbeonline.com. Diunduh : 20 Juni 2017.

Acumedia. 2013. Oxford Agar. foodsafety.neogen.com. Diunduh : 31 Januari 2017.

Anonim. 2015. Data Base dan Profil Desa Tahun 2015. Pemerintah Kabupaten Sumedang, Kecamatan Jatinangor, Sumedang.

Badan Standarisasi Nasional. 2015. SNI 3820:2015. Sosis Daging. Badan Standarisasi Nasional Indonesia, Jakarta.

Davidson, P. M., J. N. Sofos dan A. L. Branen. 2005. Antimicrobials in Food. Third edition. CRC Press Taylor and Frances Group, Boca Raton.

Djoepri, M. R. 2006. Isolasi dan Identifikasi Mikroba Escherichia coli pada Makanan Sosis dan Nuget. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Jawetz, E., J. L. Melnick dan E. A. Adelberg. 2001. Medical Microbiology. 22nd edition. McGraw Hill Companies Inc. USA. 223 - 233, 317 – 326.

Kartika, E., S. Khotimah dan A. H. Yanti. 2014. Deteksi Bakteri Indikator Keamanan Pangan pada Sosis Daging Ayam di Pasar Flamboyan Pontianak. Jurnal Protobiont.

Page 60: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”50

http://jurnal.untan.ac.id/. Diunduh : 30 Januari 2017).

Klimchuk, M. R. dan S. A. Krasovee. Desain Kemasan: Perencanaan Merk Produk yang Berhasil Mulai dari Konsep Sampai Penjualan. Trans. Bob Sabran. Erlangga, Jakarta.

Kukuh, A. 2015. Analisa Proses Bisnis dengan Pendekatan Value Stream Mapping : Studi Kasus pada PT So Good Food, Sidoarjo. Jurnal Agora Vol 3, No. 1, 2015. https://media.neliti.com. Diunduh : Tanggal 20 Januari, 2017.

Kusumawati, N. 2000. Peranan Bakteri Asam Laktat dalam Menghambat Listeria monocytogenes pada Bahan Pangan. Jurnal Teknologi Pangan dan Gizi I (1): 14 - 28.

Marlina, Zadiar, E. Purwati dan Wendi. 2002. Identifikasi Cemaran Listeria spp dari Daging Sapi. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol 7 No. 1, 2002. 30-35. http://repo.unand.ac.id. Diunduh : 21 Oktober 2016

Meliawati, R. 2009. Escherichia coli dalam Kehidupan Manusia, J. Biotrends/Vol.4/No.1/Tahun2009.

Pearson, A.M. dan Gillet, T.A. 1996. Processed Meat. Chapman & Hail. New York.

Ryser, E. T., dan E. H. Marth. 2007. Listeria, Listerioris and Food Safety. 3rd Ed. Marcel Dekker, New York.

Setiowati, W.E. dan Inanusantri. 2011. Kajian Monitoring dan Surveilan Cemaran Mikroba. Australian Institute of Food Science and Technology Incorporated, NSW Branch.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan IV. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sudarmadji, S., 1984. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi Ketiga. Liberty, Yogyakarta.

Sukarminah, E., D. M. Sumanti, dan I. Hanidah. 2009. Mikrobiologi Pangan. Unpad, Jatinangor.

Wahyuni A.E.T.H., I. W. T. Wibawan dan M. H. Wibowo. 2005. Karakterisasi Hemaglutinin Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus penyebab Mastitis Subklinis pada Sapi Perah. Jurnal Sain Veteteriner Vol. 23 No. 2, Bagian Mikrobiologi FKH-UGM, Yogyakarta.

Page 61: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 51

SURVEY PROSES PENGOLAHAN WINE COFFEE ARABIKA DI GAYO

ARABICA WINE COFFEE PROCESSING SURVEY IN GAYO

Ismail Sulaiman*, Irfan, Achmad Dairobbi

Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala *E-mail Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Coffee drinks are one of the most popular beverages of all ages, these beverages are known throughout the world, a variety of drinks are made to produce an attractive taste in coffee drinks. One of them is wine coffee, which is made from the process of fermentation of arabica coffee beans before the process of processing into coffee. The process of processing coffee beans into wine coffee is an unexpected processing in the processing of coffee beans generally. Processing is growing and much in demand so some manufacturers make a special to produce wine products, this product is known for its taste like wine so it is named "wine coffee". Wine processing has been done for a long time with various methods, but does not produce the desired taste, with a longer fermentation process and also with some methods in the storage process and storage time in the processing of wine coffee so that the resulting products are favored by consumers. From the results of a survey conducted in Gayo Central Aceh which is the center of coffee producers in Aceh, found 6 companies that make wine coffee with different processing process, the processing will produce wine coffee products. The results of the survey will be generated processing of wine wine products that will be recommended as the best method based on organoleptic results conducted by Gayo Cuppers Team on aroma and flavor. Keywords : arabica, coffee, fermentation, survey, wine

ABSTRAK

Minuman kopi merupakan salah satu minuman yang sangat digemari dari segala umur, minuman ini dikenal di seluruh dunia, beragam minuman yang dibuat untuk menghasilkan cita rasa yang menarik dalam sajian minuman kopi. Salah satunya adalah wine coffee, yang dibuat dari proses fermentasi biji kopi arabika sebelum dilakukan proses pengolahan menjadi kopi. Proses pengolahan biji kopi menjadi wine coffee merupakan pengolahan yang tidak diharapkan dalam proses pengolahan biji kopi umumnya. Pengolahan ini terjadi karena proses panen yang berlebih sehingga biji kopi tidak dapat diolah dengan segera, dan terjadi penumpukan, pada proses penumpukan tersebut akan terjadi proses fermentasi. Pengolahan ini menjadi berkembang dan banyak diminati sehingga beberapa produsen membuat khusus untuk menghasilkan produk wine coffee, produk ini dikenal karena taste nya seperti wine sehingga diberi nama “wine coffee”. Pengolahan wine coffee ini sudah dilakukan sejak lama dengan berbagai metode, namun tidak menghasilkan taste yang diinginkan, dengan proses fermentasi yang lebih lama dan juga dengan beberapa metode dalam proses penyimpanan dan lama penyimpanan dalam proses pengolahan wine coffee sehingga dihasilkan produk yang disenangi oleh konsumen. Hasil survey yang dilakukan di Gayo Aceh Tengah yang merupakan pusat

Page 62: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”52

penghasil kopi di Aceh, ditemukan 6 pengusaha kopi yang membuat wine coffee dengan cara proses pengolahan yang berbeda, proses pengolahan tersebut akan menghasilkan produk wine coffee. Dari hasil survey dijadikan proses pengolahan produk wine coffee yang akan direkomendasikan sebagai metode terbaik berdasarkan hasil uji deskriptif pada organoleptik yang dilakukan oleh Gayo Cuppers Team terhadap aroma dan flavor. Kata kunci: arabika, kopi, fermentasi, survey, wine

PENDAHULUAN

Tanaman kopi merupakan salah satu tumbuhan yang dapat hidup didataran tinggi dan rendah, namun berdasarkan jenis kopi yang akan dihasilkan, pada umumnya semakin tinggi akan semakin bagus mutu kopi yang dihasilkan. Indonesia merupakan salah satu produsen kopi terbesar selain Brazil yang menduduki produsen utama terbesar di dunia terhadap kopi arabika, Brazil menghasilkan 2,9 juta ton kopi arabika di tahun 2017, sementara Indonesia menghasilkan 600 ribu ton pertahun (BPS 2016).

Produksi kopi yang meningkat dapat menghasilkan diversifikasi produk terhadap olahan kopi, peningkatan diversifikasi ini muncul karena adanya konsumen dan pencinta kopi menginginkan produk kopi yang lebih baik. Proses pengolahan kopi dapat dilakukan secara basah dan juga kering tergantung dari jenis kopi yang diinginkan. Perbedaan pengolahan dari cara tersebut yaitu pada penggunaan air yang dibutuhkan untuk pengupasan maupun pencucian buah kopi. Penggunaan air yang tidak optimal dapat menghambat penurunan kadar air biji kopi dan mempengaruhi mutu biji kopi yang dihasilkan (Yusianto, 2008).

Tahapan pengolahan cara basah kopi arabika yang sangat berpengaruh terhadap mutu seduhan akhir pada proses fermentasi. Fermentasi bertujuan untuk menghilangkan lapisan lendir rasa pahit dan membentuk kesan mild pada citarasa kopi. Penerapan proses fermentasi yang tidak tepat akan menghasilkan cacat citarasa. Cacat citarasa fermented atau stinker merupakan hasil yang tidak diinginkan. Secara fisik, biji kopi tampak normal tetapi memiliki warna

permukaan agak coklat dan adanya bau busuk. Proses fermentasi terjadi secara tidak terkendali yang ditandai dengan timbulnya panas dan cairan hasil fermentasi berbau busuk. Cairan hasil fermentasi tersebut sebagian akan menyerap ke dalam biji kopi dan menimbulkan stinker. Cacat fermentasi dapat dihindari dengan melakukan tahapan proses fermentasi secara tepat dan benar (Widyotomo dan Yusianto, 2013).

Proses pengolahan buah kopi tergantung dari jenis kopi yang dihasilkan, beberapa permasalahan dalam pengolahan kopi pada saat panen tiba yaitu terhambatnya proses pengolahan secara langsung sehingga buah kopi yang sudah dipetik akan tersimpan, proses tersimpannya biji kopi tersebut akan terjadi proses fermentasi yang akan menghasilkan taste yang berbeda dari pengolahan kopi biasa. Perubahan taste tersebut akan menghasilkan kelompok pencinta kopi yang baru terhadap konsumennya. Perubahan taste yang diakibatkan terlambatnya proses tersebut dapat menjadi nilai buruk terhadap pengolahan minuman kopi.

Taste kopi yang dihasilkan seperti taste wine; wine dikenal dengan produk minuman beralkohol yang sudah dikenal oleh negara Perancis sejak 6000 tahun SM. Wine dibuat melalui fermentasi gula yang ada di dalam buah anggur yang kemudian diubah menjadi alkohol (Pawignya, 2010). Pengolahan wine dengan bahan baku yang berbeda semakin banyak diterapkan oleh winemaker untuk menciptakan citarasa yang bervariasi dan memiliki daya saing pasar yang menjanjikan. Salah satu syarat bahan baku pada pembuatan wine yaitu memiliki kandungan gula yang tinggi (Moreno dkk, 2005). Pengolahan kopi menjadi taste wine

Page 63: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 53

merupakan proses pengolahan secara tidak sengaja dilakukan, hal ini merupakan menjadi salah satu penelitian yang akan dilakukan untuk mendapatkan informasi yang lengkap terhadap proses pengolahan kopi yang ber taste wine.

Wine memiliki senyawa polifenol yang terdiri dari dua kategori yaitu senyawa flavonoid dan senyawa nonflavonoid. Senyawa yang bersifat non flavonoid antara lain yaitu asam fenolik dan lignin. Di dalam wine, terdapat juga senyawa hidroksiflavonoid seperti flavonol, flavon, flavononols, flavanon, isoflavonones, katekin dan antosianidin. Komponen-komponen tersebut berperan sebagai antioksidan, antitrombosit, anti inflamasi, antialergi, anti mikroba dan virus, dan antikarsinogenik (Tsuchiya, 2011).

Wine dengan kandungan asam-asam volatile dalam jumlah yang tinggi merupakan penyebab kegagalan yang terjadi saat proses fermentasi. Kerusakan pada wine dapat terjadi secara mikrobial dan non mikrobial. Adapun kerusakan yang terjadi secara non mikrobial seperti logam, garam, enzim dan bahan-bahan yang digunakan pada saat proses penjernihan wine. Kekeruhan pada wine dapat disebabkan oleh kandungan timah dan tembaga. Enzim-enzim pengoksidasi seperti halnya peroksidase dari kapang dapat menyebabkan perubahan warna coklat pada white wine dan pengendapan warna merah pada red wine

Pada penelitian ini, dilakukan survey terhadap produsen pengolah kopi yang ada di dataran Gayo produsen “wine coffee” dan nantinya akan dijadikan dasar dalam penelitian wine coffee non alkohol.

BAHAN DAN METODE

Bahan Bahan yang digunakan adalah kopi

Arabika yang ada di dataran Gayo, Aceh Tengah, sampel yang diambil adalah pada produsen kopi yang membuat minuman wine

coffee, sampel yang dipilih berdasarkan proses pengolahan yang dilakukan.

Metode

Metode yang dilakukan adalah metode observasi; Pengumpulan data dilapangan dilakukan dengan cara mengamati dan mendata secara langsung objek penelitian. Pengamatan dilakukan mulai dari awal proses perlakuan buah kopi dengan kombinasi fermentasi dan penjemuran hingga menjadi wine coffee yang kemudian dijadikan sampel penelitian. Dokumentasi; Penggunaan dokumentasi merupakan salah satu pembuktian dalam melakukan penelitian. Dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini berupa foto dan data sebagai penunjang dari hasil observasi dan wawancara. Wawancara dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada produsen wine coffee di Kabupaten Aceh Tengah. Penyusunan pertanyaan secara terstruktur dibuat dalam bentuk kuisioner.

Analisis

Setelah hasil survey dan re-maapping terhadap produsen pengolahan wine coffee, kemudian dilakukan pengujian terhadap kadar air dan kadar alkohol serta kesukaan melalui cupping test yang dilakukan oleh Gayo Cuppers Team.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil survey yang dilakukan di

Gayo terhadap produsen pembuatan wine coffee maka didapati ada 6 produsen yang memproduksi wine coffee, seperti terlihat pada tabel 1, produsen pengolahan wine coffee ini merupakan produsen yang membuat wine coffee secara reguler dengan metode hampir sama.

Dari hasil penelitian yang dilakukan dilapangan dari enam sampel yang ditemukan dan dilakukan re-mapping pada proses pembuatan dari wine coffee, dihasilkan dengan dua katagori besar.

Page 64: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”54

Tabel 1. Lokasi pengambilan sampel kopi wine coffee arabica

No Kode Nama Pemilik

Jlh Produksi

Wine Coffee Per

Tahun

Luas Lahan (ha)

Lokasi Pembuatan Wine Coffee

Daerah Tanam

Lokasi Tumbuh

Ketinggian

1 A Robi 100kg 2 Uluh Kuning, Kec.

Kebayakan Mendale 1300 mdpl

2 B M. Hasan 600kg 5 Jl. Ninang 1001,

Takengon Bukit Sama

1400 mdpl

3 C Anjar 200kg 1,5 Jl. Angkup, Gunung

Angket Gelumpa

ng 1500 mdpl

4 D Windi 100kg 3 Jl. Pinangan,

Takengon Gelumpa

ng 1500 mdpl

5 E Win Ara 100kg 5 Jl. Pinangan,

Takengon Luang Toa

1350 mdpl

6 F Heri Alfianto 100kg 1

Panta Sile, Kec. Kute Panang

Pantan Sile

1500 mdpl

Proses Fermentasi 7 hari

Dari hasil pengamatan dan wawancara didapatkan yang melakukan proses fermentasi selama 7 hari adalah pada sampel E dan F, dengan pross pembuatan yang dilakukan sebagai berikut; Biji buah merah yang sudah matang disortasi secara manual dan kemudian dilakukan proses pencucian, biji yang tenggelam akan diambil sebagai sampel atau bahan baku wine coffee. Setelah disiapkan biji kopi merah maka dilakukan proses fermentasi selama 7 hari dan kemudian di jemur selama 24 hari pada waktu jam 9 s.d 11 pagi setiap harinya untuk menghindari panas matahari yang berlebihan. Setelah di keringkan kemudian dilakukan sortasi dan digiling dan disajikan sebagai wine coffee.

Proses Fermentasi 10 hari

Produsen yang melakukan fermentasi selama 10 hari adalah sampel A, B, C, dan D, keempat sampel ini melakukan proses pengolahan yang sama kecuali lama fermentasi dan masa penjemuran yang berbeda. Proses penjemuran yang dilakukan adalah selama 12 jam per hari dan penjemuran dilakukan dengan cara diangin-anginkan dan sebelumnya

dilakukan fermentasi selama 10 hari minimal. Setelah dikeringkan wine coffee di roasting dan disajikan dalam bentuk dingin.

Kadar Air

Pada proses pengolahan wine coffee dilakukan juga pengukuran kadar air berdasarkan sampel yang diamati. Kandungan air didalam bahan pangan sangat berpengaruh terhadap mutu dan pertumbuhan mikroorganisme pada bahan pangan (Winarno, 2004). Semakin rendah kadar air maka penyerapan uap air dari udara akan semakin lama. Hal ini menjaga ketahanan bahan dari kerusakan oleh mikroorganisme selama penyimpanan. Persentase jumlah kadar air produk wine coffee pada 6 produsen di Gayo, Kabupaten Aceh Tengah dapat dilihat pada gambar 1. Dari hasil pengujian kadar air produk wine coffee menunjukkan rata-rata sampel mempunyai kadar air 9,08% atau dibawah 12,5% (SNI biji kopi). Pada pengujian kadar air, sampel C menunjukkan persentase terendah yaitu 7,7%. Berdasarkan nilai rata-rata diatas, maka produk wine coffee didaerah Aceh Tengah memenuhi SNI mutu umum biji kopi.

Page 65: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 55

Gambar 1. Grafik Kadar Air Sampel Wine Coffee

Kadar Alkohol

Sejumlah jenis mikroba memiliki kemampuan untuk memfermentasikan alkohol, diantaranya yaitu khamir dan bakteri. Proses pembentukan alkohol dengan perantara mikroba tersebut berlangsung secara anaerob. Fermentasi etanol merupakan penguraian karbohidrat menjadi alkohol (etanol) dan gas karbondioksida (C ) dengan bantuan enzim. Pemisahan alkohol pada bahan pangan dilakukan dengan cara distilasi atau penyulingan, yaitu dengan memanaskan campuran air dan etanol pada suhu 78°C. Menurut Sari dan Mita (2009), titik didih etanol murni adalah 78°C sedangkan air adalah 100°C (kondisi standar). Pada suhu 78°C etanol lebih dulu menguap dari pada air.

Berdasarkan analisis kadar alkohol bahwa tidak ditemukannya kandungan alkohol pada sampel wine coffee yang dianalisis. Proses roasting pada penelitian dilakukan dengan temperatur 195ºC-200ºC. Hal ini memungkinkan tidak adanya sejumlah alkohol yang terkandung dalam wine coffee. Etanol akan menguap terlebih dahulu pada titik didih 78-80ºC lebih awal sebelum suhu roasting wine coffee tercapai.

Uji Deskriptif

Penilaian dalam menentukan mutu kopi dapat dilakukan dengan uji deskriptif. Uji deskriptif merupakan penilaian yang

bertujuan untuk mendeskripsikan seduhan kopi dengan beberapa kriteria berdasarkan standar mutu kopi. Penilaian seduhan berbeda dengan cara meminum kopi pada umumnya. Secara garis besar, proses penilaian dilakukan dengan beberapa tahap yaitu penghirupan (sniffing), penyeruputan (slurfing) dan pengecapan (swallowing). Pengujian deskriptif tersebut dapat dilakukan oleh sekelompok panelis terlatih atau panelis ahli (Mulato dan Suharyanto, 2012). Pengujian deskriptif pada penelitian ini dilakukan oleh panelis ahli dari Gayo Cuppers Team pada 6 sampel wine coffee di Kabupaten Aceh Tengah. Skor citarasa wine coffee yang yang dilakukan oleh panelis ahli dari Gayo Cuppers Team dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Pada uji deskriptif menunjukkan adanya variasi skor pada 6 sampel wine coffee di Kabupaten Aceh Tengah. Dari 6 sampel wine coffee tersebut hanya terdapat 2 sampel yang memiliki skor clean cups sempurna yaitu 10 pada sampel E dan F. Beberapa sampel lainnya menunjukkan tidak adanya nilai clean cup pada saat slurfing. Clean cup menunjukkan tidak adanya nilai negatif dari awal sampai aftertaste. Dalam menilai kriteria ini harus diperhatikan dari awal berupa citarasa sampai cairan kopi ditelan atau dibuang. Total keseluruhan nilai uji deskriptif wine coffee dapat dilihat pada Tabel 2.

9% 10%

8%

10% 10% 8%

0%

3%

5%

8%

10%

13%

A B C D E F

kada

r ai

r %

sampel wine coffee

Page 66: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”56

Tabel 2. Total Keseluruhan Nilai Cupping Test

Sampel

Total Keseluruhan Nilai Cupping Test

Frag/aroma

Flavor Aftertaste Acidit

y Body Balance

Uniformity

Clean cup

Sweetnese

Overall Final Score

A 7,50 7,50 7,25 7,00 7,00 7,00 10,00 - 10,00 7,00 70,25

B 7,50 7,50 7,25 7,25 7,50 7,25 10,00 - 10,00 7,50 71,75

C 7,75 8,00 7,25 7,50 7,50 7,25 10,00 - 10,00 7,50 72,75

D 8,00 7,50 7,00 7,50 7,75 7,00 10,00 - 10,00 7,00 71,75

E 7,75 8,00 8,00 7,50 7,50 7,00 10,00 10,00 10,00 8,00 83,75

F 7,50 7,50 7,50 7,75 7,75 7,50 10,00 10,00 10,00 7,50 83,00

Parameter skor citarasa tertinggi selain

parameter uniformity, clean cups dan sweetness dari 6 sampel wine coffee yang dianalisis terdapat pada parameter fragrance/aroma, flavor dan aftertaste. Pada parameter fragrance skor tertinggi ditunjukkan pada sampel D yaitu 8 dan parameter aftertaste skor tertinggi ditunjukkan pada sampel E yaitu 8. Sedangkan pada parameter flavor skor tertinggi ditunjukkan pada sampel C dan E yaitu 8.

Dari 6 sampel wine coffee yang dianalisis total skor terbaik ditunjukkan pada

sampel E yaitu 83,75 dan sampel F yaitu 83,00. Secara keseluruhan, 6 sampel wine coffee di Kabupaten Aceh Tengah terdapat perbedaan pada lamanya waktu fermentasi wine coffee yang dibutuhkan. Hal ini dibuktikan pada sampel E yaitu proses pembuatan wine coffee dilakukan dengan waktu fermentasi 7-10 hari pada suhu 55ºC.

Selain nilai skor, panelis juga mendeskripsikan karakteristik citarasa pada wine coffee. Karakteristik citarasa pada setiap sampel wine coffee dapat dilihat pada table 3.

Tabel 3. Karakteristik citarasa wine coffee

Sampel Wine Coffee Karakteristik Citarasa

A Tropical fruit, winey, tangerine like, stinkers, grassy, bad acid, dirty, strawy, med to good body and like acidity

B Soury, venegar, banana, black current, winey, grassy, gummy, stinkers, bad acid, beefy, med body and light acidity.

C Fruity soury, winey, bad acid stinkers like, spicy, banana, grafe fruit, strawy, dirty, med to light body and light acidity.

D Bad acid, venegar, tangerine, dirty, spicy, soury, tarty, sliky, gummy, raisin, med to good body and light acidity.

E Fruity raisin, dark choco, spicy, tobacco, soury, grassy, black tea, med body and light acidity.

F Bright nutty, herby, greenish, citruci lemon like, gummy, tarty, tea like, black current like, med to good body and light acidity.

Page 67: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 57

Berdasarkan tabel 3, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa dari 6 sampel wine coffee adanya persamaaan karakteristik citarasa. Karakteristik citarasa yang khas pada wine coffee yaitu venegar, winey, soury, dirty, herby, spicy, grassy dan strawy. Citarasa khas tersebut terdeteksi akibat adanya proses mulai dari pengolahan sampai roasting pada wine coffee. Winey merupakan rasa pahit dan asam seperti buah yang difermentasi. Soury merupakan rasa asam buah yang yang ditimbulkan pada seduhan kopi. Pada beberapa sampel wine coffee terdapat rasa dirty dan grassy yaitu rasa asam busuk dan aroma seperti rumput yang disebabkan pada biji kopi yang dipanen lebih awal. Spicy merupakan aroma atau rasa yang seperti rempah-rempah yaitu jahe, cengkeh dan kulit manis. Strawy pada seduhan kopi disebabkan oleh cemaran rasa seperti kayu lapuk atau bau kulit.

KESIMPULAN

Hasil survey wine coffee di Gayo

Kabupaten Aceh Tengah terdapat 6 produsen wine coffee. Adapun beberapa perbedaan proses pengolahan yaitu pada lamanya fermentasi wine coffee berkisar antara 7-10 hari dan suhu secara natural pada ruang tertutup. Kadar air yang dihasilkan adalah 7.7 s.d 9.08 % dan tidak mengandung alkohol. Pada pengujian deskriptif 6 sampel wine coffee menunjukkan total score terbaik pada sampel E yaitu 83,75 dan sampel F 83,00 serta proses fermentasi selama 10 hari menunjukkan tidak terdeteksinya nilai clean cup pada pengujian deskriptif 6 sampel wine coffee arabika Gayo.

DAFTAR PUSTAKA BPS, 2016. Produksi Kopi Aceh. Badan

Pusat Statistik, Diakses tanggal 18 Oktober 2016.

Erna C. 2012. Uji Aktivitas Antioksidan dan Karakteristik Fitokimia pada Kopi

Luwak Arabika dan Pengaruhnya terhadap Tekanan Darah Tikus Normal dan Tikus Hipertensi. Thesis. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Departemen Farmasi. Universitas Indonesia.

Moreno A,Rovira M, Bellacasa JP. 2005. Pulmonary Infiltrates in Immunosuppressed Patients: Analysis of a Diagnostic Protocol. 2002. J Clin Microbiol. 40(6): 2134–2140.

Mulato, S. 2002. Simposium Kopi 2002 dengan tema Mewujudkan perkopian Nasional Yang Tangguh melalui Diversifikasi Usaha Berwawasan Lingkungan dalam Pengembangan Industri Kopi Bubuk Skala Kecil Untuk Meningkatkan Nilai Tambah Usaha Tani Kopi Rakyat. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.

Mulato dan Suharyanto, 2012. Kopi, Seduhan dan kesehatan. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember.

Pawignya, H. 2010. Minuman Beralkohol. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sari, Mita T. 2009. Pengaruh Tekanan dan Temperatur Terhadap Pemurnian Etanol Dari Tetes Tebu Secara Distilasi Vakum. Jurusan Teknik Kimia. Politeknik Negeri Sriwijaya.

Tsuchiya, H. 2011. Effect Of Red Wine Flavonoid Components On Biomembranes and Cell Proliferation. International Journal Of wine Research 2011 : 3,9-17.

Widyotomo, S dan Yusianto, 2013. Optimasi Proses Fermentasi Biji Kopi Arabika

Dalam Fermentor Terkendali. Pelita Perkebunan Vol.29, No.1, 53-68.

Winarno, F. G, 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Yusianto, 2008. Panduan Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika Gayo. Pusat penelitian kopi dan kakao Indonesia (ICCRI).

Page 68: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”58

RESIDU MINERAL Na DAN Ca DALAM MDAG YANG DIMURNIKAN DENGAN METODE CREAMING DEMULSIFICATION TECHNIQUE MENGGUNAKAN

LARUTAN NaCl DAN CaCl2

Na and Ca Mineral Residue in MDAG which Purified with Creaming Demulsification

Technique Using NaCl And CaCl2

Mursalin1*, Sahrial1, Nur Wulandari2

1Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jambi 2Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB

*Email Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

The use of an electrolyte solution is very needed on creaming demulsification technique (CDT) in order to remove glycerol from Mono and di-acylglycerol (MDAG). Electrolyte solution serves to damage chemically the stability of W/O (glycerol-in-MDAG) emulsion. A 5% NaCl and CaCl2 solution has been shown to decrease MDAG glycerol content effectively, from 14.99% to 1.64% (for NaCl) and 0.70% (for CaCl2). The use of NaCl and CaCl2 solutions allows the increased mineral content of Na and Ca in the pure MDAG produced. This study aimed to determine the residual of Na and Ca minerals in MDAG purified by CDT using NaCl and CaCl2 solution. The results showed that the use of 5% NaCl electrolyte solution increased Na mineral content of MDAG by 25.54% (from 1324.04 ppm to 1662.16 ppm) while CaCl2 5% solution increased Ca mineral content of MDAG by 254% (from 55.34 ppm to 189.31 ppm).

Keywords: CaCl2, creaming demulsifikation, MDAG purification, NaCl

ABSTRAK

Penggunaan larutan elektrolit sangat diperlukan dalam metode creaming demulsification technique (CDT) untuk menghilangkan gliserol yang terikat secara emulsi dalam Mono dan di-asilgliserol (MDAG). Larutan elektrolit berfungsi untuk merusak kestabilan emulsi W/O (gliserol-dalam-MDAG) secara kimia. Larutan elektrolit NaCl dan CaCl2 5% terbukti efektif menurunkan kandungan gliserol MDAG dari 14.99% hingga tinggal 1,64% (untuk NaCl) dan 0,70% (untuk CaCl2). Penggunaan larutan NaCl dan CaCl2 diperkirakan akan meninggalkan residu dan menyebabkan peningkatan kandungan mineral Na dan Ca dalam MDAG murni yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan residu mineral Na dan Ca dalam MDAG yang dimurnikan secara CDT menggunakan larutan NaCl dan CaCl2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan larutan elektrolit NaCl 5% meningkatkan kandungan mineral Na dalam MDAG sebesar 25.54% (dari 1324.04 ppm menjadi 1662.16 ppm) sedangkan larutan CaCl2 5% meningkatkan kandungan mineral Ca MDAG sebesar 254% (dari 55.34 ppm menjadi 189.31 ppm). Kata kunci: CDT, demulsifikasi, elektrolit, MDAG, pembentukan krim, purifikasi

Page 69: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 59

RESIDU MINERAL Na DAN Ca DALAM MDAG YANG DIMURNIKAN DENGAN METODE CREAMING DEMULSIFICATION TECHNIQUE MENGGUNAKAN

LARUTAN NaCl DAN CaCl2

Na and Ca Mineral Residue in MDAG which Purified with Creaming Demulsification

Technique Using NaCl And CaCl2

Mursalin1*, Sahrial1, Nur Wulandari2

1Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jambi 2Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB

*Email Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

The use of an electrolyte solution is very needed on creaming demulsification technique (CDT) in order to remove glycerol from Mono and di-acylglycerol (MDAG). Electrolyte solution serves to damage chemically the stability of W/O (glycerol-in-MDAG) emulsion. A 5% NaCl and CaCl2 solution has been shown to decrease MDAG glycerol content effectively, from 14.99% to 1.64% (for NaCl) and 0.70% (for CaCl2). The use of NaCl and CaCl2 solutions allows the increased mineral content of Na and Ca in the pure MDAG produced. This study aimed to determine the residual of Na and Ca minerals in MDAG purified by CDT using NaCl and CaCl2 solution. The results showed that the use of 5% NaCl electrolyte solution increased Na mineral content of MDAG by 25.54% (from 1324.04 ppm to 1662.16 ppm) while CaCl2 5% solution increased Ca mineral content of MDAG by 254% (from 55.34 ppm to 189.31 ppm).

Keywords: CaCl2, creaming demulsifikation, MDAG purification, NaCl

ABSTRAK

Penggunaan larutan elektrolit sangat diperlukan dalam metode creaming demulsification technique (CDT) untuk menghilangkan gliserol yang terikat secara emulsi dalam Mono dan di-asilgliserol (MDAG). Larutan elektrolit berfungsi untuk merusak kestabilan emulsi W/O (gliserol-dalam-MDAG) secara kimia. Larutan elektrolit NaCl dan CaCl2 5% terbukti efektif menurunkan kandungan gliserol MDAG dari 14.99% hingga tinggal 1,64% (untuk NaCl) dan 0,70% (untuk CaCl2). Penggunaan larutan NaCl dan CaCl2 diperkirakan akan meninggalkan residu dan menyebabkan peningkatan kandungan mineral Na dan Ca dalam MDAG murni yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan residu mineral Na dan Ca dalam MDAG yang dimurnikan secara CDT menggunakan larutan NaCl dan CaCl2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan larutan elektrolit NaCl 5% meningkatkan kandungan mineral Na dalam MDAG sebesar 25.54% (dari 1324.04 ppm menjadi 1662.16 ppm) sedangkan larutan CaCl2 5% meningkatkan kandungan mineral Ca MDAG sebesar 254% (dari 55.34 ppm menjadi 189.31 ppm). Kata kunci: CDT, demulsifikasi, elektrolit, MDAG, pembentukan krim, purifikasi

PENDAHULUAN

Wardiyati dan Mitsuo (1995), melaporkan bahwa pemecahan emulsi W/O dapat dilakukan dengan cara fisika dan cara kimia. Cara fisika dapat dilakukan dengan pemusingan menggunakan alat setrifugasi kecepatan 3000-3500 rpm sedangkan cara kimia dengan penambahan larutan pemecah emulsi berupa asam 4-ethyl benzen sulfonat dan garamnya atau metanol. Pemecahan emulsi secara fisika memerlukan waktu lebih dari 8 jam, pemecahan emulsi secara kimia menggunakan larutan asam 4-ethyl benzen sulfonat dan garamnya memerlukan waktu 25 menit, menggunakan larutan metanol memerlukan waktu 6 menit. Hal ini menunjukkan bahwa emulsi lebih mudah dipecah secara kimia yaitu dengan penambahan larutan pemecah emulsi.

Creaming demulsification technique (CDT) adalah metode yang diaplikasikan pada proses pemurnian Mono dan di-asilgliserol (MDAG) yang diproduksi secara gliserolisis. Prinsip dari metode ini adalah merusak sistem emulsi yang ada dengan cara pembentukan krim dan skim. Metode CDT merusak stabilitas emulsi secara fisika melalui pemanasan dan pengadukan dan secara kimia melalui penambahan larutan elektrolit.

Metode yang mirip dengan CDT telah dikembangkan oleh Chetpattananondh dan Tongurai (2008) menggunakan larutan elektrolit berupa HCl 35% sebanyak 1 ml untuk 100 g produk MDAG. Penambahan HCl dilakukan pada suhu 80oC sambil terus diaduk. Setelah itu campuran dibiarkan hingga terbentuk 2 lapisan, lapisan bawah dibuang dan lapisan atas diambil untuk selanjutnya dicuci sebanyak 3 kali dengan air panas suhu 90oC. Campuran MDAG dan air panas ini dijaga suhunya agar tetap 80oC sambil terus diaduk. Kemudian campuran dibiarkan untuk beberapa saat hingga kembali terbentuk 2 lapisan fraksi, fraksi bawah dibuang dan fraksi atas diambil sebagai

produk MDAG yang bebas gliserol. Dengan cara ini dapat diturunkan kandungan gliserol bebas dari 11.2% hingga menjadi 1.01%.

Larutan elektrolit yang dapat digunakan untuk merusak kestabilan emulsi W/O (gliserol-dalam-MDAG) pada metode CDT dapat berupa asam, garam, gula, atau campuran dari dua atau lebih senyawa-senyawa tersebut. Dua jenis larutan elektrolit yang telah dianalisis pengaruhnya dalam menghilangkan gliserol dari MDAG yang diproduksi secara gliserolisis adalah NaCl dan CaCl2. Hasil penelitian membuktikan bahwa pemurnian MDAG dengan metode CDT lebih efektif menggunakan larutan elektrolit CaCl2

dibandingkan dengan NaCl. Proses pemurnian MDAG dengan larutan NaCl 5% dapat menurunkan gliserol bebas dari 14.99 % menjadi 1.64 %, sedangkan dengan larutan CaCl2 5% dapat menurunkan gliserol bebas dari 14.99 % menjadi 0.70 % (Mursalin et al., 2017, naskah sedang disiapkan untuk dipublikasikan pada prosiding seminar nasional FKPT-TPI 2017 di Kendari).

Penghilangan residu gliserol MDAG dengan metode CDT telah terbukti berhasil dengan baik, metode ini hampir sama efektifnya dengan penggunaan alat separasi short path destilation (SPD). Purifikasi MDAG menggunakan SPD dan CDT masing-masing dapat menghasilkan MDAG dengan kemurnian 99.8% dan 99.3%. SPD merupakan purifikator dengan harga dan teknologi tinggi yang belum bisa diadopsi secara luas oleh masyarakat (Duran et al. 2011; Marttinello et al. 2008). Oleh karena itu, untuk saat ini, CDT adalah alternatif terbaik untuk menghilangkan gliserol dan memurnikan MDAG.

Penggunaan larutan NaCl dan CaCl2 5% dalam aplikasi pemurnian MDAG dengan metode CDT diperkirakan akan meninggalkan residu dan menyebabkan peningkatan kandungan mineral Na dan Ca dalam MDAG murni yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung residu mineral

Page 70: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”60

Na dan Ca yang terdapat dalam MDAG murni yang dihasilkan.

METODE PENELITIAN

MDAG diperoleh dari SEAFAST

Center IPB yang diproduksi dalam skala pilot plant dari bahan baku FHPKO dengan metode gliserolisis. Rasio MDAG dengan larutan elektrolit yang digunakan adalah 1:1 dan rasio krim dengan air untuk pencucian juga 1:1. Proses pemurnian MDAG dilakukan dengan cara memanaskan MDAG hingga mencapai suhu 75 °C dalam gelas piala lalu memasukkan MDAG cair bersuhu 65 oC sebanyak 500 mL ke dalam reaktor berkapasitas 1 L. Larutan elektrolit dengan suhu 10oC lebih panas dari MDAG, dicampurkan dengan MDAG cair sambil dilakukan pengadukan menggunakan agitator selama 10 menit dengan kecepatan 300 rpm. Setelah waktu proses tercapai, campuran didiamkan selama 10 menit lalu dipisahkan hingga diperoleh fraksi skim dan krim, fraksi skim dibuang. Fraksi krim selanjutnya dicuci menggunakan air panas dengan suhu 10°C lebih tinggi dari suhu krim. Proses pencucian dilakukan dengan menggunakan agitator kecepatan 300 rpm selama 10 menit. Setelah waktu proses pencucian tercapai, campuran fase krim dan skim dipisahkan menggunakan sentrifus dengan kecepatan 2000 rpm selama 5 menit. Produk MDAG hasil pencucian yang diperoleh siap untuk dianalisis (Mursalin et al., 2015).

Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah komposisi gliserida (Modifikasi

AOCS Official Method Cd 11b-91 2003) menggunakan Gas Chromatography (Shimadzu GC-9AM, Japan, dengan detektor FID), kadar asam lemak bebas (ALB) dengan metode titrasi (AOCS Ca 5a-40 2003), kadar gliserol bebas dengan metode titrasi (AOCS Official Method Da 23-56 1997), dan kadar Natrium dan Kalsium menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer (HITACHI Z-2000 Series Polarized Zeeman).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik MDAG sebelum dan sesudah pemurnian

Kadar gliserol bebas MDAG sebelum dan setelah pemurnian baik yang ditentukan dengan metode titrasi maupun yang ditentukan berdasarkan kromatogram hasil analisis gas kromatografi, mengalami penurunan yang sangat signifikan. Kadar gliserol bebas (metode titrasi) sebelum pemurnian sebesar 2.00 menjadi 0.44 % setelah dimurnikan. Total gliserol berdasarkan kromatogram hasil analisis GC sebelum dimurnikan sebesar 14.98 menjadi 0.7 % untuk pemurnian menggunakan CaCl2 dan 1.64 % untuk penggunaan NaCl (Tabel 1). Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan metode CDT gliserol pada MDAG dapat dihilangkan (diturunkan kadarnya hingga jumlah yang aman). Kadar gliserol bebas (metode titrasi) dalam MDAG yang masih diperbolehkan menurut standar WHO adalah maksimum 7% (Moonen, 2004).

Page 71: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 61

Na dan Ca yang terdapat dalam MDAG murni yang dihasilkan.

METODE PENELITIAN

MDAG diperoleh dari SEAFAST

Center IPB yang diproduksi dalam skala pilot plant dari bahan baku FHPKO dengan metode gliserolisis. Rasio MDAG dengan larutan elektrolit yang digunakan adalah 1:1 dan rasio krim dengan air untuk pencucian juga 1:1. Proses pemurnian MDAG dilakukan dengan cara memanaskan MDAG hingga mencapai suhu 75 °C dalam gelas piala lalu memasukkan MDAG cair bersuhu 65 oC sebanyak 500 mL ke dalam reaktor berkapasitas 1 L. Larutan elektrolit dengan suhu 10oC lebih panas dari MDAG, dicampurkan dengan MDAG cair sambil dilakukan pengadukan menggunakan agitator selama 10 menit dengan kecepatan 300 rpm. Setelah waktu proses tercapai, campuran didiamkan selama 10 menit lalu dipisahkan hingga diperoleh fraksi skim dan krim, fraksi skim dibuang. Fraksi krim selanjutnya dicuci menggunakan air panas dengan suhu 10°C lebih tinggi dari suhu krim. Proses pencucian dilakukan dengan menggunakan agitator kecepatan 300 rpm selama 10 menit. Setelah waktu proses pencucian tercapai, campuran fase krim dan skim dipisahkan menggunakan sentrifus dengan kecepatan 2000 rpm selama 5 menit. Produk MDAG hasil pencucian yang diperoleh siap untuk dianalisis (Mursalin et al., 2015).

Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah komposisi gliserida (Modifikasi

AOCS Official Method Cd 11b-91 2003) menggunakan Gas Chromatography (Shimadzu GC-9AM, Japan, dengan detektor FID), kadar asam lemak bebas (ALB) dengan metode titrasi (AOCS Ca 5a-40 2003), kadar gliserol bebas dengan metode titrasi (AOCS Official Method Da 23-56 1997), dan kadar Natrium dan Kalsium menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer (HITACHI Z-2000 Series Polarized Zeeman).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik MDAG sebelum dan sesudah pemurnian

Kadar gliserol bebas MDAG sebelum dan setelah pemurnian baik yang ditentukan dengan metode titrasi maupun yang ditentukan berdasarkan kromatogram hasil analisis gas kromatografi, mengalami penurunan yang sangat signifikan. Kadar gliserol bebas (metode titrasi) sebelum pemurnian sebesar 2.00 menjadi 0.44 % setelah dimurnikan. Total gliserol berdasarkan kromatogram hasil analisis GC sebelum dimurnikan sebesar 14.98 menjadi 0.7 % untuk pemurnian menggunakan CaCl2 dan 1.64 % untuk penggunaan NaCl (Tabel 1). Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan metode CDT gliserol pada MDAG dapat dihilangkan (diturunkan kadarnya hingga jumlah yang aman). Kadar gliserol bebas (metode titrasi) dalam MDAG yang masih diperbolehkan menurut standar WHO adalah maksimum 7% (Moonen, 2004).

Tabel 1. Perbandingan kadar gliserol bebas, asam lemak bebas dan fraksi asil gliserol MDAG sebelum dan setelah pemurnian

Parameter Sebelum dimurnikan

Setelah dimurnikan Dengan CaCl2 Dengan NaCl

Hasil dari metode Titrasi:

Gliserol bebas (%) 2.00 0.44 0.44 Asam lemak bebas (%) 2.30 2.44 2.44 Hasil dari Kromatogram GC:

Gliserol 14.98 0.7 1.64 Asam lemak bebas (%) 7.28 7.97 7.93 MAG 32.27 36.24 38.26 DAG 11.84 17.42 16.29 TAG 33.62 37.67 35.33

Hasil analisis GC untuk komposisi

MDAG sebelum dan sesudah pemurnian dapat dilihat pada Gambar 1. Kromatogram pada Gambar 1a menunjukkan residu gliserol pada MDAG sebelum pemurnian muncul

pada menit ke 3.199 sebesar 14.98 %. Setelah pemurnian, persentase residu gliserol bebas turun menjadi 0.70 % pada menit ke 3.233 (Gambar 1b).

Gambar 1. Kromatogram MDAG sebelum pemurnian (A) dan setelah pemurnian (B)

Pada Tabel 1 terlihat bahwa proses

pemurnian dengan metode CDT dapat menurunkan kandungan gliserol dari 14.99 % menjadi 1.64 % (menggunakan larutan NaCl

Page 72: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”62

5%) dan 0.70 % (menggunakan larutan CaCl2 5%). Penurunan gliserol menyebabkan terjadinya kenaikan fraksi asilgliserol (MAG, DAG, dan TAG). Kadar MAG sebelum pemurnian sebesar 32.27 % naik menjadi 38.26 % (menggunakan larutan NaCl 5%) dan 36.24 % (menggunakan larutan CaCl2 5%). Kadar DAG sebelum pemurnian 11.84 % naik menjadi 16.29 % (menggunakan larutan NaCl 5%) dan 17.42 % (menggunakan larutan CaCl2 5%). Kadar TAG sebelum pemurnian 33.62 % naik menjadi 35.33 % (menggunakan larutan NaCl 5%) dan 37.67 % (menggunakan larutan CaCl2 5%). Residu Mineral Na dan Ca Sebelum dan Sesudah Pemurnian

Dalam proses pemurnian MDAG menggunakan metode CDT, larutan elektrolit

yang digunakan adalah larutan NaCl dan CaCl2 5%. Larutan elektrolit dengan kadar mineral tinggi dapat mempengaruhi karakteristik dari MDAG, sehingga perlu dilakukan analisis residu mineral Na dan Ca sebelum dan sesudah pemurnian.

Kadar mineral Na dalam MDAG sebelum dan sesudah pemurnian menggunakan larutan NaCl disajikan pada Tabel 2. Kadar natrium pada MDAG sebelum pemurnian diketahui sebesar 1324.04 ppm, setelah pemurnian meningkat menjadi sebesar 1662.16 ppm. Kenaikan angka residu Na sebelum dan sesudah pemurnian ini menunjukkan bahwa proses pemurnian MDAG dengan metode CDT menggunakan larutan elektrolit NaCl 5% menyebabkan peningkatan kadar mineral Na dalam MDAG murni yang cukup signifikan, yaitu sebesar 25.54%.

Tabel 2. Kadar Natrium MDAG hasil pemurnian dengan larutan NaCl 5%

MDAG Berat (g)

Pengenceran Konsentrasi

Terbaca (ppm)

Konsentrasi Real

(ppm)

Rata-rata

(ppm) Sebelum dimurnikan

1.0755 25 14.24 1324.04 1324.04

Setelah dimurnikan Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4

1.0869 1.0790 1.0080 1.0358

50 50 50 50

10.57 8.70 8.29 7.49

1944.98 1612.60 1644.84 1446.23

1626.16

Kandungan kalsium dalam MDAG yang

telah dimurnian dengan metode CDT mengalami peningkatan yang sangat drastis. Penggunaan larutan CaCl2 5% sebagai larutan elektrolit dalam metode pemurnian CDT, menyebabkan terperangkapnya mineral Ca dalam MDAG cukup banyak, hingga menyebabkan kadar Ca meningkat sebesar

2.42 kali dari kadar semula. Kandungan Ca MDAG sebelum pemurnian adalah sebesar 55.31 ppm, meningkat menjadi 189.31 ppm setelah dimurnikan dengan metode CDT. Hasil analisis kadar calcium MDAG sebelum dan sesudah pemurnian menggunakan larutan CaCl2 dapat dilihat pada Tabel 3.

Page 73: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 63

5%) dan 0.70 % (menggunakan larutan CaCl2 5%). Penurunan gliserol menyebabkan terjadinya kenaikan fraksi asilgliserol (MAG, DAG, dan TAG). Kadar MAG sebelum pemurnian sebesar 32.27 % naik menjadi 38.26 % (menggunakan larutan NaCl 5%) dan 36.24 % (menggunakan larutan CaCl2 5%). Kadar DAG sebelum pemurnian 11.84 % naik menjadi 16.29 % (menggunakan larutan NaCl 5%) dan 17.42 % (menggunakan larutan CaCl2 5%). Kadar TAG sebelum pemurnian 33.62 % naik menjadi 35.33 % (menggunakan larutan NaCl 5%) dan 37.67 % (menggunakan larutan CaCl2 5%). Residu Mineral Na dan Ca Sebelum dan Sesudah Pemurnian

Dalam proses pemurnian MDAG menggunakan metode CDT, larutan elektrolit

yang digunakan adalah larutan NaCl dan CaCl2 5%. Larutan elektrolit dengan kadar mineral tinggi dapat mempengaruhi karakteristik dari MDAG, sehingga perlu dilakukan analisis residu mineral Na dan Ca sebelum dan sesudah pemurnian.

Kadar mineral Na dalam MDAG sebelum dan sesudah pemurnian menggunakan larutan NaCl disajikan pada Tabel 2. Kadar natrium pada MDAG sebelum pemurnian diketahui sebesar 1324.04 ppm, setelah pemurnian meningkat menjadi sebesar 1662.16 ppm. Kenaikan angka residu Na sebelum dan sesudah pemurnian ini menunjukkan bahwa proses pemurnian MDAG dengan metode CDT menggunakan larutan elektrolit NaCl 5% menyebabkan peningkatan kadar mineral Na dalam MDAG murni yang cukup signifikan, yaitu sebesar 25.54%.

Tabel 2. Kadar Natrium MDAG hasil pemurnian dengan larutan NaCl 5%

MDAG Berat (g)

Pengenceran Konsentrasi

Terbaca (ppm)

Konsentrasi Real

(ppm)

Rata-rata

(ppm) Sebelum dimurnikan

1.0755 25 14.24 1324.04 1324.04

Setelah dimurnikan Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4

1.0869 1.0790 1.0080 1.0358

50 50 50 50

10.57 8.70 8.29 7.49

1944.98 1612.60 1644.84 1446.23

1626.16

Kandungan kalsium dalam MDAG yang

telah dimurnian dengan metode CDT mengalami peningkatan yang sangat drastis. Penggunaan larutan CaCl2 5% sebagai larutan elektrolit dalam metode pemurnian CDT, menyebabkan terperangkapnya mineral Ca dalam MDAG cukup banyak, hingga menyebabkan kadar Ca meningkat sebesar

2.42 kali dari kadar semula. Kandungan Ca MDAG sebelum pemurnian adalah sebesar 55.31 ppm, meningkat menjadi 189.31 ppm setelah dimurnikan dengan metode CDT. Hasil analisis kadar calcium MDAG sebelum dan sesudah pemurnian menggunakan larutan CaCl2 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kadar Calsium MDAG hasil pemurnian dengan larutan CaCl2 5%

MDAG Berat (g) Pengenceran Konsentrasi

Terbaca (ppm)

Konsentrasi Real

(ppm)

Rata-rata

(ppm) Sebelum dimurnikan

1.0853 25 0.61 55.34 55.34

Setelah dimurnikan Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4

1.0067 1.0034 1.0009 1.0384

50 50 50 50

0.83 0.88 0.93 1.20

165.49 175.01 185.23 231.51

189.31

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan residu

mineral Na dan Ca yang terdapat dalam MDAG yang dimurnikan dengan metode CDT menggunakan larutan elektrolit NaCl dan CaCl2 5%, dapat disimpulkan bahwa: 1. Pemurnian MDAG dengan metode CDT

lebih efektif menggunakan larutan elektrolit CaCl2 dibandingkan dengan NaCl.

2. Proses pemurnian MDAG dengan metode CDT menggunakan larutan elektrolit NaCl 5% menyebabkan peningkatan kadar mineral Na dalam MDAG sebesar 25.54%, dari 1324.04 meningkat menjadi 1662.16 ppm.

3. Proses pemurnian MDAG dengan metode CDT menggunakan larutan elektrolit CaCl2 5% menyebabkan peningkatan kadar mineral Ca dalam MDAG sebesar 2.42 kali, dari kadar awal 55.34 menjadi 189.31 ppm.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada DP2M DIKTI atas bantuan dana penelitian program MP3EI tahun 2017 dan SEAFAST CENTER IPB yang telah memberikan fasilitas penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

[AOCS] American Oil Chemists’ Society. 1997. Official Methods and Recommended Practices of the American Oil Chemists’ Society. Illinois: Am. Oil Chem. Soc. Press, Champaign.

Duran MA, Filho RM, and Maciel MRW. 2011. Fractionation of Green Coffee Oil by Molecular Distillation: Modeling and Simulation. J Mater Sci Eng. A(1): 264-271. ISSN 1934-8959.

Moonen H. Bas H. 2004. Mono-and dyglycerides: Emulifiers in Food Technology. Whitehurst RJ. editor. Oxford (GB): Blackwell Scientific.

Martinello MA, Leone I, and Pramparo M. 2008. Simulation of Deadification Process by Molecular Distillation of Deodorizer Distillate. Latin American Applied Research. 38: 299-304.

Mursalin, Lavlinesia, Yernisa. 2015. Aplikasi Teknik Demulsifikasi Pembentukan Krim dalam Pemurnian MDAG yang Diproduksi Secara Gliserolisis. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pertanian, FATETA-UNJA 2015. Hal. 44-48

Wardiyati, Siti dan Mitsuo Takeuchi. 1995. Studi Percobaan Pembuatan dan Pemecahan Emulsi "Air Dalam Minyak". Prosiding dan Presentasi llmiah PPPN-BATAN Yogyakarta 25-27 April 1995. ISSN 0216-3128

Page 74: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”64

EFEK MICROWAVE TERHADAP MORTALITAS TRIBOLIUM CASTANEUM DAN PENGARUHNYA TERHADAP SIFAT FISIKO-KIMIA TEPUNG JAGUNG

MICROWAVE EFFECT ON TRIBOLIUM CASTANEUM MORTALITY AND

PHYSICOCHEMICAL PROPERTIES OF CORN FLOUR

Nur Pratiwi Rasyid1*, Asniwati Zainuddin1, Meta Mahendradatta2, Abu Bakar Tawali2

1Prodi THP, Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo 2 Prodi ITP, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin *Email Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Corn flour is widely used in a lot of food products. Improper storage causes corn flour susceptible to the pests attack which can degrade the quality of the flour. Various attempts are conducted to control the attack of Tribolium castaneum, one of them is by using microwave. The purpose of this microwave use is to restrain T. castaneum in short time without affecting physicochemical properties of corn flour. This research used corn flour from Gorontalo city market. The flour contamination was conducted by putting 10 males and 10 females of T. castaneum into two kinds of flour samples, with and without microwave treatment. After storaging for 42 days (H+42), it showed that mortality rate of T. castaneum in the flour which received microwave treatment using 21.60 kJ and 24.00 kJ of energy did not reach 100%. On the other hand, the treatment with 28.60 kJ and 36.00 kJ resulted in mortality rate of T. castaneum until 100%. The analysis of moisture, lipid, and protein also showed that the higher energy given to the flour, the lower moisture, lipid, and protein in the flour would become. As for the content of ash, and water holding capacity, it indicated enhancements along with the amount of given energy. In the analysis of bulk density, there was no significant change of it for the given energy. Keywords: corn flour, microwave, T. castaneum, Water holding capacity

ABSTRAK

Tepung jagung telah banyak digunakan pada berbagai produk makanan. Penyimpanan yang kurang tepat menyebabkan tepung jagung sangat rentan terhadap serangan hama yang dapat menurunkan kualitas mutu tepung. Berbagai upaya telah dilakukan untuk dapat mengendalikan serangan Tribolium castaneum salah satunya dengan menggunakan microwave. Tujuan penggunaan microwave ini adalah untuk dapat mengendalikan serangan T. castaneum dalam waktu yang singkat tanpa mengubah sifat fisik maupun kimia dari tepung jagung. Penelitian ini menggunakan tepung jagung yang di jual di pasaran Kota Gorontalo. Kontaminasi tepung dilakukan dengan memasukkan T. castaneum sebanyak 10 jantan dan 10 betina ke dalam sampel tepung baik yang diberi perlakuan microwave maupun tanpa perlakuan microwave. Hasil penelitian yang diperoleh setelah masa penyimpanan 42 hari (H+42) menunjukkan bahwa perlakuan microwave dengan menggunakan energi 21.60 kJ dan 24.00 kJ tidak dicapai tingkat mortalitas hingga 100 %. Sedangkan pada perlakuan 28.60 kJ dan 36.00 kJ menunjukkan tingkat mortalitas T. castaneum mencapai 100%. Hasil analisis kadar air, lemak, dan protein juga menunjukkan bahwa semakin tinggi energi yang diberikan maka kadar air, lemak dan protein

Page 75: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 65

juga semakin menurun. Sedangkan kadar abu dan daya serap air menunjukkan terjadinya peningkatan seiring dengan besarnya energi yang diberikan. Pada analisis densitas bulky tidak terjadi perubahan yang signifikan terhadap energi yang diberikan. Kata Kunci: daya serap air, microwave, T. castaneum, tepung jagung

PENDAHULUAN

Tepung jagung sangat rentan terhadap

serangan T. castaneum selama masa penyimpanan yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan fisik dan kimiawi tepung. Kerusakan fisik berupa terjadinya perubahan warna tepung, sedangkan perubahan kimiawi disebabkan oleh aktifitas enzim lipase dan benzokuinon yang berasal dari hasil sekresi T. castaneum. Benzokuinon mudah larut dalam pelarut organik dan memiliki efek karsinogenik yang dapat memicu terjadinya kanker. Benzokuinon berwarna kuning cerah, jingga atau merah dan berbau tajam sehingga tepung berbau apek dan tengik. (Lis et al. 2011). Peningkatan jumlah T. castaneum selama penyimpanan akan meningkatkan senyawa benzokuinon yang berasal dari sekresi T. castaneum (Prendeville & Stevens 2002). Untuk mengendalikan penurunan mutu akibat serangan T. castaneum telah banyak dilakukan baik secara fisik maupun kimiawi.

Pengendalian T. castaneum biasanya menggunakan bahan kimiawi fosfin. Berdasarkan ketentuan Codex Alimentarius, batas residu inorganik fosfin yang diperbolehkan pada biji-bijian yang belum diolah adalah 0.1 mg/kg dan 0.01 mg/kg pada biji-bijian yang telah diolah (BARANTAN 2013). Diperkirakan penggunaan bahan kimia fosfin untuk disinfestasi pada biji-bijian yang diolah bisa mencapai 743 kg/tahun. Namun, tingginya tingkat resistensi T. castaneum terhadap penggunaan fosin menyebabkan penggunaan bahan kimiawi fosfin dianggap tidak ramah lingkungan. Penelitian dengan menggunakan aplikasi microwave juga telah banyak dilakukan untuk mengendalikan T.

castaneum. Menurut Copson (1975), frekuensi microwave yang diizinkan penggunaannya oleh Industrial Science and Medical Frequence (ISM) berkisar antara 900 MHz dan 2450 MHz, yang merupakan batas frekuensi yang aman bagi manusia.

Penelitian yang dilakukan oleh Nurbianto (2008) menunjukkan tingkat mortalitas T. castaneum 100% dan kemunculan keturunan T. castaneum 0 % dengan pemaparan microwave 120 detik pada energi 57.6 kJ. Penelitian Rasyid dkk., (2017) dengan menggunakan sampel tepung terigu juga menunjukkan bahwa aplikasi microwave dengan energi 23.76 kJ, 24.00 kJ, 31.68 kJ, dan 36.00 kJ mampu mengendalikan T. castaneum hingga 100%. Oleh karena itu, Aplikasi microwave diharapkan mampu mengendalikan serangan T. castaneum tanpa menyebabkan penurunan mutu dan sifat fisiko-kimia tepung jagung.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan yaitu tepung jagung yang dibeli di pasaran Kota Gorontalo, T. castaneum berumur 17 hari. Bahan kimia yang digunakan yaitu K2SO4 (Merck, Germany), HgO (Merck, Germany), H2SO4

(Merck, Germany), H3BO4 (Merck, Germany), NaOH-Na2S2O3 (Merck, Germany) dan HCl 0,02 N (Merck, Germany).

Peralatan yang digunakan digital USB portable microscope Endoscope 500x, oven microwave electrolux tipe EMS 2348, timbangan digital AND tipe EK 1200 A berkapasitas 1200 g x 0.1 g, oven pengering (IKEDA RIKA tipe SS204 D), desikator,

Page 76: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”66

kuas, wadah plastik, cawan seng, cawan porselen.

Metode Persiapan Pembiakan Serangga

Pembiakan T. castaneum dilakukan dalam wadah gelas yang ditutup dengan kain jaring serangga. Wadah gelas diisi dengan media biakan tepung jagung yang terlebih dulu disterilkan dengan pemanasan pada suhu sekitar 70 °C selama 2 jam, kemudian disimpan pada suhu 28 °C. Serangga uji yang digunakan ialah serangga dewasa umur 7-14 hari berukuran 3-4 mm, dan berwarna merah sampai coklat tua.

T. castaneum dalam setiap perlakuan digunakan sebanyak 20 ekor dengan kombinasi 10 ekor jantan dan 10 ekor betina. Penentuan jenis kelamin T. castaneum dilakukan pada tahap pupa. Perbedaan morfologi pupa T. castaneum jantan ditandai dengan bentuk urogomphi (sepasang tonjolan pada ujung abdomen) yang lebih besar sedangkan pada jenis kelamin betina terdapat papillae (sepasang tonjolan yang berada diatas urogomphi) di atas bagian urogomphi pada ujung abdomen (USDA, 2006).

Persiapan Aplikasi Microwave pada Disinfestasi Serangga T. castaneum (Herbst.)

Sampel dirancang dengan menghitung ketebalan dan densitasnya berdasarkan asumsi daya tembus energi yang dihasilkan oleh microwave. Ketebalan tepung jagung dihitung dengan menggunakan gelas ukur. Menurut Hussain et al., (2008) densitas Kamba diukur dengan menggunakan gelas ukur 25 ml. Tepung jagung ditimbang sebanyak 3 gr, kemudian dimasukkan ke dalam gelas ukur 25 ml. Bagian bawah gelas ukur ditepuk-tepuk beberapa kali hingga diperoleh volume konstan. Sampel tepung terigu selanjutnya diberi biakan T. castaneum.

Disinfestasi T. castaneum dengan Microwave Disinfestasi T. castaneum dilakukan dengan menggunakan microwave pada energi 21.60 kJ (daya 240 watt x 90 s), 28.80 kJ (daya 240 watt x 120 s), 24.00 kJ (daya 400 watt x 60 s) dan 32.00 kJ (daya 400 watt x 90 s) terhadap masing-masing perlakuan dilakukan tiga kali pengulangan. Pengaturan energi dengan mengatur tombol daya microwave dan waktu paparan untuk menghasilkan energi yang telah ditentukan. Energi yang digunakan dapat dihitung dengan mengalikan daya dan waktu yang digunakan menggunakan persamaan:

W = P x t..............................................(1) Keterangan: W = Energi yang digunakan (Joule) P = Daya yang digunakan (Watt) t = Waktu yang digunakan (detik) Mortalitas T. castaneum dengan Aplikasi Microwave

Pengamatan mortalitas terhadap T. castaneum dilakukan baik sebelum maupun setelah masa penyimpanan yang disimpan pada suhu ruang selama 42 hari. Serangga dewasa yang hidup pada sampel tepung jagung baik yang diberi maupun yang tidak diberi aplikasi microwave dihitung jumlahnya. Persentase kematian (mortalitas) dilakukan dengan cara menghitung jumlah T. castaneum yang mati pada setiap tingkatan energi yang diberikan. Untuk memastikan serangga sudah mati, serangga dibiarkan beberapa menit sampai tidak bergerak sama sekali.

Prosedur Analisa Analisis Tepung Jagung

Analisis karakterisasi tepung jagung meliputi kadar air metode oven (AOAC, 1995), kadar abu (AOAC, 1995), kadar lemak metode soxhlet (SNI 01-2891-1992), kadar

Page 77: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 67

protein metode mikro kjeldahl (AOAC, 1995), serat kasar, daya serap air (WHC).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mortalitas T. castaneum

T. castaneum merupakan salah satu hama gudang yang paling sering ditemukan menyerang produk tepung-tepungan selama masa penyimpanan. Kerusakan yang diakibatkan oleh serangan T. castaneum meliputi kerusakan fisik maupun kimiawi.

Tabel 1. Pengaruh perlakuan energi microwave terhadap mortalitas T. castaneum setelah

penyimpanan 42 hari

Perlakuan Energi (KJ) Kontrol Ho Mortalitas H+42 (ekor)

Persentase mortalitas (%)

Mati Hidup Mati Hidup

Kontrol tanpa tribolium dan microwave H0

0 0 0 0 0

Kontrol Tanpa microwave (H+42) 0 20 0 247 0

21.60 (daya 240 watt x 90 s) 19 3 19 1 100

24.00 (daya 400 watt x 60 s) 19 1 19 1 100

28.80 (daya 240 watt x 120 s) 20 0 20 0 100

36.00 (daya 400 watt x 90 s) 20 0 20 0 100

Hasil penelitian pada Tabel 1.

menunjukkan bahwa kontrol H+42 tanpa perlakuan microwave terjadi peningkatan jumlah populasi T. castaneum yaitu sebesar 247 imago. Peningkatan jumlah populasi T castaneum dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban optimum pertumbuhan, kadar air serta kandungan nutrisi yang terkandung pada tepung jagung. Namun, apabila kandungan nutrisi pada tepung sudah habis maka dapat mengganggu pola pertumbuhan T. castaneum. Hal ini juga dapat dilihat pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Hendrival dkk., (2016) yang membuktikan bahwa tepung jagung memiliki kandungan nutrisi yang sangat tinggi sehingga diperlukan oleh Populasi imago T. castaneum dimana jumlah T. castaneum yang diperoleh dari tepung jagung berkisar antara 46,25 - 1090,50 imago/250 g. Menurut (Chapman, 1998; Nation, 2002) Kandungan nutrisi pada tiap jenis tepung

memiliki peranan dalam peningkatan pertumbuhan populasi T. castaneum yang meliputi nutrisi dalam bentuk karbohidrat, protein, lemak, sterol, vitamin, asam nukleat, air, dan mineral.

Perlakuan 21.60 kJ dan 24.00 kJ tidak diperoleh mortalitas hingga 100% disebabkan karena jumlah energi yang dapat diserap oleh tepung masih kurang sehingga panas yang ditimbulkan tidak merata menyebabkan T. castaneum bergerak ke tempat yang belum terkena pemanasan. Besarnya kehilangan energi dalam bentuk panas pada saat berpenetrasi dipengaruhi oleh daya dan lamanya waktu yang diberikan (Muchtadi & Ayustaningwarno 2010). Perlakuan energi 28.80 Kj dan 36.00 Kj mortalitas Tribolium castaneum mencapai 100%. Tercapainya mortalitas T. castaneum 100 % ini disebabkan oleh terjadinya perubahan struktur komponen penyusun tubuh tribolium castaneum akibat

Page 78: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”68

perlakuan microwave yang menyebabkan ikatan protein penyusun tubuh T. castaneum tidak berfungsi dengan baik. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Lu et al. (2010) yang menyatakan bahwa paparan microwave menyebabkan komposisi asam amino dari T. castaneum berubah, sehingga DNA serangga juga menjadi rusak. Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Nelson 1996; Gasemzadeh et al. 2010) juga menyebutkan bahwa perlakuan microwave memiliki efek merusak komponen penyusun tubuh serangga yang menyebabkan pengurangan tingkat reproduksi, kehilangan berat badan dan malformasi. Sifat Kimia Tepung Jagung Kadar air

Tingginya kadar air tepung jagung selama penyimpanan dapat menyebabkan terjadinya penurunan mutu pangan baik yang disebabkan oleh cendawan, mikroba maupun oleh serangan T. castaneum. Menurut SNI 01-3727-1995 standar mutu tepung jagung memiliki kadar air maksimal 10%. Penggunaan aplikasi microwave pada tepung jagung dapat menurunkan kadar air dalam waktu yang cukup singkat.

Hasil analisis pada Tabel 2. menunjukkan bahwa pada perlakuan kontrol tanpa microwave diperoleh kadar air sebesar 11.494 %. Sedangkan pada perlakuan kontrol H+42 yang sebelumnya telah diberi T. castaneum menunjukkan peningkatan jumlah kadar air yaitu sebesar 14.74 %. Peningkatan jumlah kadar air setelah masa penyimpanan 42 hari dipengaruhi oleh faktor lingkungan disekitar bahan dan terjadinya proses metabolisme dan meningkatnya aktifitas T. castaneum. Menurut Cotton dan Wilbur (1974) adanya aktifitas respirasi dari T. castaneum yang mengeluarkan panas, CO2 dan uap air juga dapat menyebabkan suhu dan temperatur dibawah tumpukan tepung meningkat (area hotspot) sehingga timbul uap air akibat proses metabolisme T. castaneum yang terinfeksi dalam jumlah yang sangat besar.

Uap air kemudian akan berkondensasi pada permukaan bahan sehingga kadar air meningkat.

Pada perlakuan microwave terjadi penurunan kadar air pada setiap tingkatan energi yang diberikan. Semakin tinggi energi yang diberikan maka jumlah kadar air juga semakin menurun. Pada Tabel 2. Energi 21.00 kJ menunjukkan kadar air tepung jagung yang diperoleh sebesar 11.267%. Seiring dengan peningkatan energi yang diberikan yaitu pada energi 32.00 kJ diperoleh penurunan kadar air yang signifikan yaitu sebesar 9.436%. Hal ini disebabkan oleh terjadinya faktor penguapan air pada tepung jagung selama di microwave yang menyebabkan terjadinya kenaikan suhu pada tepung. Semakin tinggi energi yang diserap maka semakin tinggi kenaikan suhu pada permukaan tepung. Peningkatan suhu pada bahan menyebabkan tekanan uap air semakin meningkat sehingga mengakibatkan hilangnya sebagian air yang ada pada tepung (Zhang & Datta 2011).

Analisis Kadar abu

Kadar abu digunakan untuk menentukan besarnya kandungan mineral yang terdapat pada tepung. Tingginya kadar abu pada tepung jagung disebabkan besarnya kandungan mineral pada tepung yang tidak habis terbakar selama proses pembakaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar abu yang telah diberi perlakuan microwave telah sesuai dengan standar mutu SNI tepungjagung yaitu maksimal 1.50%.

Hasil analisis kadar abu dapat dilihat pada Tabel 2. Dari hasil pengamatan kadar abu tepung jagung kontrol diperoleh kadar abu sebesar 0.49%. Pada perlakuan kontrol H+42 terjadi peningkatan kadar abu sebesar 0.63% dibandingkan dengan kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada perlakuan kontrol H+42 terjadi peningkatan kadar abu yang dipengaruhi oleh adanya cemaran T. castaneum. Selama masa penyimpanan T. castaneum melakukan reaksi metabolisme serta melakukan proses metamorfosis dimana terjadi pergantian

Page 79: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 69

kulit hingga 11 kali sebelum menjadi imago dewasa. Tabel 2. Analisis Kimia Tepung Jagung setelah penyimpanan 42 hari

Perlakuan Energi (kJ) Analisis Kimia Tepung Jagung bk (%)

Kadar air Abu Lemak Protein

Kontrol tanpa tribolium dan microwave H0 11.494 0.487 2.552 7.689

Kontrol Tanpa microwave (H+42) 14.742 0.631 3.046 5.158

21.60 (daya 240 watt x 90 s) 11.267 0.515 2.299 6.657

24.00 (daya 400 watt x 60 s) 10.990 0.562 2.204 6.516

28.80 (daya 240 watt x 120 s) 9.919 0.570 2.203 6.435

36.00 (daya 400 watt x 90 s) 9.436 0.574 2.191 6.358

Kadar abu tepung jagung ya pada

perlakuan 21.60 Kj, 24.00 Kj, 28.80 Kj, dan 32.00 Kj yaitu 0.52% hingga 0.57%. Kadar abu ini menunjukkan besarnya kandungan mineral dalam jagung yang disimpan karena mineral merupakan zat inorganik dalam makanan yang tidak terbakar selama proses pembakaran. Hal ini sejalan dengan penelitian Fakude (2007) yang menyebutkan bahwa perlakuan microwave menyebabkan peningkatan serat kasar dan abu namun mengurangi kandungan lemak dan protein. Analisis Lemak

Tepung jagung yang telah lama disimpan sangat mudah mengalami ketengikan yang diakibatkan oleh meningkatnya kadar air selama penyimpanan akibat kenaikan suhu maupun RH. Hasil analisis lemak pada tepung jagung yang telah diberi maupun tanpa diberi perlakuan microwave dapat dilihat pada Tabel 2.

Hasil Pengamatan pada perlakuan kontrol H+42 menunjukkan peningkatan kandungan lemak jika dibandingkan dengan kontrol. Pada perlakuan kontrol tanpa microwave diperoleh kadar lemak sebesar 2.55% sedangkan kontrol H+42 yang diberi T. castaneum tanpa

microwave mengalami peningkatan yaitu 3.05 %. Peningkatan kadar lemak pada perlakuan kontrol H+42 dipengaruhi oleh adanya hasil metabolisme T. castaneum dalam jumlah besar yang menghasilkan senyawa hydroquinon dan juga benzoquinon sehingga menghambat peroksidasi lipid. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Soucek et al. (2000) bahwa hydroquinone dan benzokuinon yang berasal dari hasil sekresi T. castaneum merangsang pembentukan radikal bebas OH dalam mikrosom dan menghambat peroksidasi lipid.

Tepung jagung yang diberi perlakuan microwave menunjukkan terjadinya penurunan kadar lemak. Semakin tinggi energi yang diberikan maka semakin besar penurunan kadar lemak pada tepung jagung. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2. Yaitu pada perlakuan kontrol energi 21.60 kJ diperoleh lemak sebesar 2.30 % sedangkan pada perlakuan energi 36.00 kJ diperoleh kadar lemak sebesar 2.19%. Hal ini dipengaruhi oleh rendahnya jumlah kadar air sehingga dapat menghambat aktivitas enzim lipase yang disebakan oleh panas. Dhanapal et all. (2012) menyatakan bahwa pemanasan akan mempercepat gerakan-gerakan molekul

Page 80: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”70

lemak, sehingga jarak antara molekul lemak menjadi besar dan akan mempermudah proses pengeluaran lemak. Proses tersebut dipengaruhi oleh suhu pengolahan dan lama pemanasan. Analisis Protein

Tepung-tepungan yang telah lama disimpan akan mengalami penurunan kandungan protein. Menurut Winarno (1997), selama penyimpanan tepung-tepungan, nitrogen total sebagian besar tidak mengalami perubahan, akan tetapi nitrogen dari protein sedikit menurun. Hasil penelitian efek microwave terhadap tepung jagung menunjukkan terjadi penurunan protein selama masa penyimpanan baik tanpa perlakuan microwave maupun tanpa microwave.

Tabel 2. Menunjukkan tepung jagung kontrol memiliki kandungan protein sebesar 7.69%, sedangkan setelah penyimpanan 42 hari (H+42) mengalami penurunan hingga 5.16%. Hal yang sama juga diperoleh pada perlakuan microwave yaitu 6.66% pada energi 21.60 kJ hingga 6.36% pada energi 32.00 kJ. Semakin besar energi microwave maka semakin besar penurunan kandungan protein yang diakibatkan oleh rusaknya struktur protein. Denaturasi yang diinduksi panas menyebabkan pembentukan atau destruksi ikatan kovalen. Struktur protein yang terbuka menyebabkan perubahan sifat fungsional protein (Estiasih dan Ahmaadi, 2011). Hal ini didukung oleh pernyataan Winarno (2008), bahwa denaturasi protein dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu oleh

panas, pH, bahan kimia, mekanik dan sebagainya. Sifat Fisik Tepung Jagung Daya Serap Air

Jumlah air yang dapat diserap oleh bahan dapat mempengaruhi tekstur produk. Uji daya serap air dilakukan dengan cara melarutkan produk tepung jagung di dalam air, kemudian dihitung volume air yang terserap. Kapasitas penyerapan air menentukan jumlah air yang tersedia untuk proses gelatinisasi pati selama pemasakan. Bila jumlah air kurang maka pembentukan gel tidak dapat mencapai kondisi optimum. Hasil pengamatan terhadap daya serap air menunjukkan bahwa semakin tinggi energi yang diberikan maka daya serap air semakin meningkat. Pada perlakuan kontrol dapat dilihat bahwa daya serap air tepung jagung sebesar 2.368 g/ml. Tetapi pada perlakuan kontrol tanpa microwave menunjukkan terjadinya penurunan daya serap air yaitu 2.363 g/ml. Hal ini disebabkan oleh terjadinya kerusakan granula pati yang disebabkan oleh T. castaneum.

Perlakuan microwave sangat mempengaruhi kemampuan daya serap air. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1. dimana pada energi 21.60 kJ memiliki daya serap air sebesar 2.377g/ml , kemudian pada energi 24.00 kJ, 28.80 kJ meningkat sebesar 2.380 g/ml hingga 32.00 kJ sebesar 2.381 g/ml. Selama pemasakan, protein mengalami denaturasi sehingga menyebabkan residu asam amino yang bersifat hidrofilik terpapar dan berikatan dengan molekul air.

2.348

2.355

2.363

2.370

2.378

2.385

Kontrol KontrolH+42

21.60 24.00 28.80 32.00

2.3684 2.3634

2.3773 2.3799 2.38 2.3811

Day

a Se

rap

Air

(g/m

l)

Energi (kJ)

Page 81: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 71

Gambar 1. Daya serap air tepung jagung setelah masa penyimpanan 42hari hari

Pembengkakan serat kasar juga dapat meningkatkan kapasitas penyerapan air tepung jagung (Aguilera et al. 2009). Penyerapan air akan bertambah besar jika granula pati disuspensikan dalam air berlebih dan dipanaskan. Pembengkakan ini menimbulkan tekanan pada daerah kristalin yang terdiri dari molekul amilopektin dan merusak susunan double helix yang ada (Roder et al., 2005). Perlakuan fisik untuk modifikasi pati cenderung lebih aman karena

tidak merusak granula pati serta lebih alami dibandingkan dengan perlakuan kimia (Collado et al., 2001). Densitas kamba

Pengukuran Densitas kamba bertujuan untuk mengetahui keringkasan suatu bahan dalam menempati volume. Gambar 2. menunjukkan terjadinya peningkatan nilai densitas kamba baik pada perlakuan Kontrol H+42 maupun pada perlakuan aplikasi microwave.

Gambar 2. Densitas bulky tepung jagung setelah masa penyimpanan 42 hari

Semakin tinggi energi yang diberikan

maka tingkat kepadatan tepung juga semakin meningkat. Pada perlakuan Kontrol H+42 nilai densitas kamba sebesar 0.402 gr/ml. Peningkatan nilai densitas kamba ini dipengaruhi oleh adanya T. castaneum dalam jumlah yang cukup banyak sehingga menyebabkan terjadinya pemecahan molekul kompleks seperti protein, karbohidrat, dan lemak menjadi bentuk yang lebih sederhana. Sedangkan pada perlakuan energi 21.60 kJ hingga 32.00 kJ menunjukkan peningkatan kepadatan yaitu dari 0.400 gr/ml hingga 0.420 gr/ml. Tingginya nilai densitas kamba tepung yang telah diberi perlakuan microwave menyebabkan tepung lebih efisien dalam penempatannya didalam

kemasan. Semakin tinggi densitas kamba menunjukan bahwa produk semakin padat (Anita, 2009).

KESIMPULAN

Besarnya energi microwave yang diberikan mempengaruhi tingkat mortalitas T. castaneum hingga 100%. Penggunaan energi yang paling efektif diperoleh pada energi 28.80 kJ. Energi 28.80 kJ tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap mutu tepung jagung setelah masa penyimpanan 42 hari. Hal ini dapat dilihat dari menurunnya kandungan kadar air, lemak, dan protein pada tepung jagung. Sedangkan kadar abu, daya serap air dan densitas bulky meningkat.

0.370

0.380

0.390

0.400

0.410

0.420

Kontrol KontrolH+42

21.60 24.00 28.80 32.00

0.39

0.4022 0.4 0.4036

0.41

0.42

Den

sita

s bul

ky (g

r/ml)

Energi (kJ)

Page 82: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”72

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis berterima kasih kepada KEMENRISTEKDIKTI atas bantuan dana penelitian yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA Aguilera, Y., Esteban, RM., Benitez, V.,

Molla E., & Martin-Cabrejas, M. 2009. Starch, functional properties, and microstructural characteristics in chickpea and lentill as affected by thermal processing. Journal og Agricultural and Food Chemistry. 57(22): 10.682-10.688.

Anita, Sri. 2009. Studi Sifat Fisiko-Kimia, Sifat Fungsional Karbohidrat, Dan Aktivitas Antioksidan Tepung Kecambah Kacang Komak (Lablab Purpureus (L.) Sweet). Skripsi. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of Analytical of The Association of Official Analytical Chemist. New York: Chemist Inc.

[BARANTAN] Badan Karantina Pertanian. 2013. Standar Teknis Perlakuan Fumigasi Fosfin Formulasi Cair (Liquid Phosphine). Lampiran keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor: 1645/Kpts/KT.240/L/05/2013.

Collado LS, LB Mabesa, CG Oates, dan H Corke. 2001. Bihon type noodles from heat moisture treated sweet potato starch. Journal of Food Science. 66:604609.

Copson DA. 1975. Microwave Heating. Connecticut: The AVI Publ. Co., Inc. Westport.

Cotton RT, Wilbur DA. 1974. Stored of Cereal Grains and Their Product. Minnesota: American Association of Cereal Chemist Inc. St. Paul.

Dhanapal K, G Vidya SR, Binay BN, G Venkasterwarlu, A Devivaraprasad R, S Basu. 2012. Effect of cooking method on physical, biochemical, bacteriogical characteristics and fatty acid profile of Tilapia (Oreochromis mossambicus) fish steaks. Scholars Research Library 4(2):1142-1149.

Estiasih, T. dan Ahmadi. 2011. Teknologi Pengolahan Pangan. Bumi Aksara, Jakarta.

Fakude MP. 2007. Eradication of Storage Insect Pests in Maize Using Microwave Energi and The Effects of The Latter on Grain Quality [Tesis]. South Africa (tZA): University of Pretoria.

Gasemzadeh S, Ali AP, Mohammad HS, Mustafa M. 2010. Effect of Microwave Radiation and Cold Storage on Tribolium Castaneum Herbst (Coleoptera: Tenebrionidae) and Sitophilus Oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae). Journal of Plant Protection Research Vol. 50, No. 2.

Hendrival, Latifah, Dedi Saputra dan Orina. 2016. Kerentanan Jenis Tepung terhadap Infestasi Kumbang Tepung Merah (Tribolium castaneum Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae). Jurnal Agrikultura 27 (3): 148-153

Lis LB, Bakuła T, Baranowski M, A. Czarnewicz. 2011. The Carcinogenic Effects of Benzokuinon Produced by The Flour Beetle. Polish Journal of Veterinary Sciences. 14, (1): 159-164.

Lu H, Zhou J, Xiong S, Zhao S. 2010. Effects of Low-Intensity Microwave Radiation on Tribolium castaneum Physiological and Biochemical Characteristics and Survival. J. of Insect Physiology 56: 1356.

Page 83: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 73

Muchtadi T, Ayustaningwarno F. 2010. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bandung: Alfabeta.

Nurbianto R. 2008. Pengaruh Perlakuan Oven Gelombang pada Berbagai Tingkatan Daya dan Waktu terhadap Mortalitas Tribolium castaneum herbst dan Kandungan Tepung Tapioka [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Nation, JL. 2002. Insect Physiology and Biochemistry. CRC Press. London.

Nelson SO. 1996. Review and assessment of radio-frequency and microwaves Energi for stored-grain insect Kontrol. Trans. ASAE. 39 (4): 1475–1484.

Prendeville HR, Stevens L. 2002. Microbe Inhibition by Tribolium Flour Beetles Varies with Beetle Species, Strain, Sex, and Microbial Group. J. Chem Ecol. 28(6):1183– 1190.

Rasyid, NP, Hartulistiyoso E, Fardiaz D. 2017. Aplikasi Microwave untuk Disinfestasi Tribolium castaneum (Herbst.) serta Pengaruhnya terhadap Warna dan Karakteristik Amilografi

Terigu. J. AGRITECH, 37 (2), Hal. 183-191.

Roder N, Ellis PR, Butterworth PJ. 2005. Starch moleculer and nutritional properties: a rivew. Adv in Mol Med 1: 5-14.

[USDA] United Stated Department of agriculture 2006. Beetle Wrangling Tips (An Introduction to The Care and Handling of Tribolium castaneum) [internet]. [Diacu: 23 Februari 2015]. http:bru.gmprc. ksu.edu.

Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Zhang H, Datta AK. 2001. Electromagnetics of Microwave Heating: Magnitude and Uniformity of Energy Absorption in an Oven. Di dalam: Datta AK, Anatheswaran RC, editor. Handbook of Microwave Technology for Food Applications. New York (US): Marcel Dekker. Hlm 33-68.

Page 84: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”74

UJI MUTU DAN KEAMANAN IKAN ASIN KERING (TERI DAN SEPAT) DI PASAR KOTA BANDAR LAMPUNG

QUALITY AND FOOD SECURITY ASSAYS OF SALTED FISH (ANCHOVY AND SEPAT)

IN MARKET OF BANDAR LAMPUNG CITY

Otik Nawansih*, Samsul Rizal, Azhari Rangga* dan Eka Ayu

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung *Email Korespondensi : [email protected], [email protected]

ABSTRACT

The aim of this research was to know the food quality and safety of salted fish (Anchovy and Sepat) selling in the market of Bandar Lampung City in terms of water content, salt content, sensory characteristics, total plate count and formalin assay of salted fish. This work conducted in 3 stages : (1) Determination of sampling location conducted by purposive sampling; (2) Sampling and interview with the salted fish seller; (3) Quality analysis and the safety of salted fish samples. The market was selected based on the largest of salted fish sellers and big markets in Bandar Lampung. The ten markets where salted fish samples were taken : (1) Baru Panjang, (2) Cimeng, (3) Gudang Lelang, (4) Kangkung, (5) KOGA, (6) Bambu Kuning, (7) Tugu, (8) Way Halim, (9) Gintung, (10) Tamin. Once the number of salted fish sellers was known in each market, then it was calculated by the formula (√N), with N as the number of salted fish sellers. The number of samples were 46 samples, 23 samples were sea water salted fish (Anchovy) and 23 samples were fresh water salted fish (Sepat). Based on SNI 01-2721-2009, the results showed that the water content of salted fish did not fulfil the quality and safety requirements, 78% of anchovy fish and 100% of sepat fish fulfilled the quality and safety requirements of sensory properties and 91% anchovy salted fish as well as 83% of sepat salted fish fulfilled quality and safety requirements of salt content, respectively. The anchovy salted fish and sepat salted fish sold in the markets did not fulfil the quality and safety requirements according to SNI 01-2721-2009 because their total plate count attained to 1.30 x 105 - 3.12 x 105 colonies/g, and of 52% of anchovy salted fish samples as well as 22% of sepat salted fish were positively contained formalin. Data from the sample quantitativelyanalysed by GC was range on 18-21 ppm. Keywords: Food Safety, Market Survey, Quality Analysis, Salted Fish

ABSTRAK

Ikan asin merupakan produk olahan ikan yang cukup banyak dikonsusi masyarakat, namun akhir-akhir ini diterpa isu penggunaan formalin dalam proses produksinya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mutu dan keamanan ikan asin kering (teri dan sepat) yang beredar di berbagai pasar Bandar Lampung meliputi pengukuran kadar air, kadar garam, sifat sensori, total mikroba dan ada tidaknya penambahan formalin. Penelitian dilakukan dalam 3 tahap : (1) Penentuan 10 lokasi sampling (pasar) menggunakan metode purposive sampling; Dari 10 pasar yang cukup ramai dikunjungi konsumen serta banyak penjual ikan asinya didapat 23 titik pengambilan sampel; (2) Pengambilan sampel ( 23 ikan asin teri dan 23 ikan asin sepat) dan interview kepada para pedagang ikan asin; (3) Pengujian mutu sampel ikan asin (Kadar Air,

Page 85: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 75

Kadar Garam, Sifat Sensori) dan keamananya (Total Mikroba dan Uji Formalin). Hasil penelitian menunjukan bahwa persentase ikan asin teri yang memenuhi mutu sensori, kadar air dan kadar garam (SNI 01-2721-2009) berturut-turut sebesar 78%, 0% dan 91%. Adapun persentase ikan asin sepat yang memenuhi mutu sensori, kadar air dan kadar garam berturut-turut sebesar 100%, 0% dan 83%. Keamanan ikan asin teri dan sepat berdasarkan uji total mikroba dan uji formalin perlu mendapat perhatian khusus karena semua sampel mempunyai total mikroba melebihi syarat SNI 01-2721-2009 maksimal 1 x 105, 52% ikan asin teri dan 22% ikan asin sepat teridentifikasi positif mengandung formalin. Hasil pengujian lanjut secara kuantitatif menunjukan kandungan formalin 18-21 ppm.

Kata kunci : analisis mutu, keamanan pangan, ikan asin, survai pasar

PENDAHULUAN

Produksi perikanan tangkap dan budidaya di Provinsi Lampung masing-masing sebesar 127.358, 41 dan 88.844,30 ton/tahun (Badan Penanaman Modal dan Pelayanan perijinan Terpadu Daerah Provinsi Lampung, 2011). Salah satu produk olahan ikan yang mempunyai potensi cukup besar adalah ikan asin. Ikan asin merupakan salah satu produk olahan ikan dengan proses pembuatan yang cukup sederhana yaitu hanya dengan perendaman atau pembubuhan garam atau larutan garam lalu dikeringkan di bawah panas matahari hingga garam meresap dan kering. Lampung merupakan salah satu sentra pengolahan ikan asin yang cukup besar, tersebar di beberapa kabupaten serta mampu memasok produk ikan asin ke provinsi lain bahkan ekspor ke Negara lain (Dinas kelautan dan Perikanan, 2010; Antaralampungnews.com, 2016). Ikan asin cukup digemari oleh masyarakat karena rasa dan teksturnya yang khas. Ikan asin teri dalam penelitian ini dipilih untuk mewakili ikan asin air laut dan ikan asin sepat mewakili jenis ikan asin air tawar serta dengan pertimbangan konsumsinya yang luas serta harga yang terjangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.

Mutu dan keamanan ikan asin perlu mendapat perhatian mengingat proses produksi dan distribusinya yang masih

sederhana dan konvensional. Mutu ikan asin dipengaruhi oleh kualitas bahan baku ikan, jumlah dan kemurnian garam yang digunakan, serta proses pengeringan. Maraknya isu bahwa ikan asin mengandung formalin cukup memprihatinkan karena dapat menurunkan konsumsinya. Beberapa peneliti telah membuktikan bahwa mutu ikan asin di beberapa daerah cukup bervariasi bila dibandingkan dengan persyaratan Standar Mutu Ikan Asin Kering (SNI 01-2721-2009). Susianawati (2006) melaporkan bahwa ikan asin tembang yang disampling dari beberapa daerah di Menado mempunyai kadar air yang melebihi 40% walaupun secara sensori dan mikrobiologi memenuhi persyaratan mutu.

Ali, dkk. (2014) melaporkan berdasarkan hasil survey di 9 kabupaten di Provinsi Lampung, dari 27 sampel ikan asin yang positif mengandung formalin yakni ikan sebelah dari Lampung Timur, ikan layur dan ikan petek dari Bandar Lampung, ikan dencis dan nila dari Pesawaran, ikan kembung dari Lampung Utara dan ikan nila dari Lampung Selatan. Ikan asin yang positif mengandung formalin sebanyak 25,92%. Penggunaan formalin dalam produk perikanan ditemukan baik pada ikan segar ataupun ikan olahan (Girsang, dkk., 2014). Penggunaan formalin dilakukan pada es balok oleh nelayan baik di kapal/perahu, distributor maupun penjual eceran (retailer) dengan tujuan untuk mempertahankan kesegaran ikan selama

Page 86: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”76

berada di tempat penyimpanan. Sementara menurut Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 (1988), formalin merupakan salah satu bahan tambahan yang dilarang untuk makanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu dan keamanan ikan asin kering yang beredar di Pasar Bandar Lampung.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah 46 sampel ikan asin kering (23 Teri dan 23 Sepat) yang didapatkan dari 10 pasar besar di Bandar Lampung, tes kit formalin merk Chemkit, aquades, kalium kromat (K2CrO4) 5%, dan AgNO3 0,1 N, garam fisiologis NaCl 0,85%, dan media Plate Count Agar (PCA). Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah beaker glass, pipet tetes, buret, pengaduk, tabung reaksi, rak tabung reaksi, Erlenmeyer, bunsen, mortar, cawan petri, autoklaf, inkubator, colony counter, blender, timbangan, desikator, cawan porselen, refrigerator dan oven. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dalam 3 tahap, yaitu : (1) Penentuan lokasi sampling pasar dilakukan secara purposive sampling. Dipilih 10 pasar besar di Bandar Lampung yang banyak terdapat pedagang ikan asin; (2) Pengambilan sampel dan wawancara dengan pedagang ikan asin dilakukan pada beberapa titik dengan rumus (√ ), dengan N adalah jumlah pedagang ikan asin kering di pasar tersebut (Sugiyono, 2012); Dari sepuluh pasar didapat 23 titik pengambilan sampel dan diambil dua jenis ikan asin yaitu 23 sampel ikan asin kering jenis air laut (Teri) dan 23 sampel ikan asin kering jenis air tawar (Sepat) masing-masing sebanyak 0,5 kg; (3) Pemeriksaan mutu dan keamanan terhadap sampel ikan asin kering meliputi kadar garam

(Sudarmadji, dkk., 1997), kadar air (AOAC, 1995), sifat sensori (Kartika, dkk., 1988; SNI 01-2721-2009), angka lempeng total (Fardiaz, 1992; SNI 2332.3:2015) dan formalin (Tes Kit). Hasil uji kualitatif formalin yang positif dilanjutkan dengan uji kuantitatif menggunakan Gas Chromatography. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif, dibandingkan dengan persyaratan mutu ikan asin kering (SNI 01-2721-2009) dan disajikan dalam bentuk tabel atau gambar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Pemasaran Ikan Asin di Pasar Bandar Lampung

Ikan asin yang dipasarkan di pasar Kota Bandar Lampung berasal dari daerah yang berbeda-beda. Ikan asin teri banyak dipasok dari Pulau Pasaran, sedangkan untuk ikan asin sepat dari daerah Menggala, Tulang Bawang dan sebagian berasal dari luar daerah Lampung seperti Jawa dan Padang (Gambar 1).

Gambar 1. Ikan asin teri (A) dan ikan asin

sepat (B) Secara umum penyimpanan ikan asin di

tingkat pedagang dilakukan pada suhu ruang, dalam kemasan plastik lalu dimasukan dalam kardus. Pemasaran dilakukan secara terbuka dan bila konsumen membeli baru dilakukan penimbangan sesuai permintaan dan dikemas dengan kertas atau kantong plastik. Rata-rata pedagang ikan asin dengan kios cukup besar mempunyai kapasitas pasokan 300-500 kg, habis dalam jangka waktu 1-2 bulan. Sedangkan untuk kios yang kecil mempunyai

A B

Page 87: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 77

kapasitas pasokan 10-50 kg, habis dalam jangka waktu 2-4 minggu. Saat ini harga ikan asin teri biasanya dijual dengan harga Rp. 7.000 – Rp. 10.000/ons, sedangkan ikan asin sepat biasanya dijual dengan harga Rp. 4.000 – Rp. 7.000/ons.

Selama distribusi maupun pemasaran tersebut, ikan asin rentan menurun mutunya bahkan rusak. Proses penanganan yang biasanya dilakukan oleh pedagang yaitu dengan cara dijemur dibawah sinar matahari

selama satu hari untuk mengurangi kelembaban ikan asin. Ikan asin yang lembab mengakibatkan masa simpan pendek, ditumbuhi jamur dan belatung serta tekstur hancur yang menyebabkan pedagang mengalami kerugian.

Hasil analisis uji sensori, angka lempeng total, kadar air, kadar garam dan formalin terhadap 46 sampel ikan asin teri dan sepat di Pasar Kota Bandar Lampung disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis semua parameter pada produk ikan asin teri dan sepat di pasar Kota

Bandar Lampung.

No. Pasar Sensori* Kadar Air** Kadar Garam*** TPC**** Formalin

Teri Sepat Teri Sepat Teri Sepat Teri Sepat Teri Sepat

1 Ko I M M TM TM M M TM TM (+) (-)

2 Ko II M M TM TM M TM TM TM (-) (-)

3 Tg I M M TM TM M M TM TM (+) (-)

4 Tg II M M TM TM M M TM TM (+) (-)

5 Tg III M M TM TM M TM TM TM (+) (-)

6 Ka I M M TM TM TM M TM TM (+) (-)

7 Ka II M M TM TM M M TM TM (-) (-)

8 Gi I M M TM TM M M TM TM (+) (+)

9 Gi II TM M TM TM M M TM TM (-) (+)

10 Gi III M M TM TM M M TM TM (-) (+)

11 Gi IV M M TM TM M TM TM TM (+) (+)

12 Bk I M M TM TM TM M TM TM (+) (-)

13 Bp I M M TM TM M M TM TM (+) (-)

14 Bp II M M TM TM M M TM TM (+) (-)

15 Bp III TM M TM TM M M TM TM (-) (-)

16 Ta I M M TM TM M M TM TM (-) (-)

17 Ta II M M TM TM M M TM TM (-) (-)

18 Wh I M M TM TM M M TM TM (+) (-)

Page 88: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”78

19 Wh II TM M TM TM M TM TM TM (-) (-)

20 Ci I TM M TM TM M M TM TM (-) (-)

21 Ci II M M TM TM M M TM TM (+) (-)

22 GL I TM M TM TM M M TM TM (-) (+)

23 GL II M M TM TM M M TM TM (-) (-)

Keterangan : TM : Tidak Memenuhi persyaratan M : Memenuhi persyaratan * : Minimal 7 ** : Maksimal 40% *** : Maksimal 20% **** : Maksimal 1 x 105

Mutu Sensori

Uji sensori dilakukan dengan menggunakan panelis semi terlatih sebanyak 15 orang. Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode Focus Group Discussion (FGD). Kepada panelis disajikan kuesioner sesuai dengan SNI 01-2721-2009 tentang Uji Sensori Produk Perikanan point B.3.2 tentang Produk Kering No. 36 produk ikan asin kering dan diminta untuk memberikan skor atau nilai pada lembar penilaian sesuai dengan tingkatan mutu ikan asin. Data yang disajikan berupa data uji skoring yang diperoleh dari lembar penilaian ditabulasi dan ditentukan nilai mutunya dengan mencari hasil rerata pada setiap panelis. Berdasarkan hasil analisis sifat sensori yaitu kenampakan, tekstur, bau, dan jamur sesuai dengan SNI 01-2721-2009 pada sampel ikan asin teri dan sepat di Pasar Kota Bandar Lampung, ikan asin teri sebesar 78% dan ikan asin sepat sebesar 100% memenuhi syarat mutu sesuai SNI 01-2721-2009 yaitu dengan hasil penilaian tidak kurang dari 7 (syarat minimal 7).

Ikan asin teri yang memiliki nilai tertinggi terdapat pada kode sampel Ko I, Ka II, Gi I, Bk I, dan Ta I dengan nilai 8, dan nilai terendah terdapat pada kode sampel Ci I

yaitu dengan nilai 5. Sedangkan ikan asin sepat yang memiliki nilai tertinggi terdapat pada kode sampel Ko I, Ko II, Tg III, Gi I, Gi II, Gi III, Ta II, Ci I, GL I, dan GL II dengan nilai 8 dan yang lainnya memperoleh nilai 7 yang masih memenuhi syarat mutu SNI 01-2721-2009. Nilai tertinggi merupakan nilai yang diperoleh berdasarkan hasil rata-rata keseluruhan parameter dari segi kenampakan, tekstur, bau, dan jamur.

Kenampakan ikan asin yang berkualitas baik yaitu keadaan ikan yang utuh, rapi, bersih dan bercahaya menurut jenis, sedangkan yang kurang berkualitas yaitu ikan asin hancur, kotor, warna sudah berubah dan kusam. Bau ikan asin yang berkualitas baik yaitu harum dan spesifik jenis tanpa bau tambahan, sebaliknya ikan asin yang kurang berkualitas yaitu bau tengik, adanya bau tambahan, agak busuk dan berbau amoniak. Tekstur ikan asin yang berkualitas baik yaitu padat, kompak, kering, dan lentur, sebaliknya ikan asin yang kurang berkualitas yaitu basah dan sangat rapuh sehingga mudah terurai. Adanya jamur pada ikan asin mengindikasikan bahwa ikan asin tersebut mempunyai kelembaban yang tinggi akibat penyimpanan dan pemasaran kurang tepat dan cukup lama. Untuk memperpanjang masa

Page 89: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 79

simpan ikan asin dan mempertahankan tampilan ikan asin agar tetap segar dan menarik, beberapa produsen/pedagang nakal diduga menambahkan fomalin dalam proses pengolahan atau pemasaran ikan asin.

Formalin sangat mempengaruhi sifat sensori suatu bahan pangan khususnya ikan asin. Ikan asin yang mengandung formalin memiliki ciri-ciri antara lain tidak rusak sampai lebih dari satu bulan pada suhu kamar (25° C), tampak bersih dan cerah, tidak berbau khas ikan asin, tekstur ikan keras, bagian yang luar kering tetapi bagian dalamnya basah, tidak dikerubungi lalat dan baunya hampir netral (hampir tidak lagi berbau amis) (Nelly, 2011). Daging ikan asin kenyal, utuh, lebih putih dan bersih dibandingkan ikan asin tanpa formalin yang warnanya agak coklat (Hastuti, 2010). Kenampakan ikan asin berformalin dan yang tidak berdasarkan pengamatan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2. Ikan asin yang positif mengandung formalin secara penampakan memberikan tampilan yang lebih menarik. Dampak yang ditimbulkan yaitu terjadinya peningkatan penjualan ikan asin dan menyebabkan produsen/pedagang memilih untuk menggunakan formalin. Selain itu, penggunaan formalin pada ikan asin yang dilakukan oleh produsen ikan asin bertujuan agar ikan tidak mudah ditumbuhi jamur dan memiliki masa simpan yang panjang. Penggunaan formalin dikarenakan cara produksinya masih manual, pengeringan ikan masih sangat tergantung dari cuaca. Jika proses penjemuran kurang sempurna, bahan makanan akan mudah ditumbuhi jamur. Ikan asin menjadi mudah rusak dan hancur. Penggunaan formalin juga dipercaya dapat mempercepat proses pengeringan dan membuat tampilan fisik tidak cepat rusak. Selain itu, penggunaan formalin juga bertujuan untuk meningkatkan rendemen ikan asin. Pembuatan ikan asin dengan garam tanpa penambahan formalin menghasilkan rendemen sekitar 40%, sedangkan ikan asin

dengan penambahan formalin rendemennya meningkat menjadi 75% karena tidak banyak yang rusak khususnya selama penjemuran (Hastuti, 2010). Kadar Air

Kadar air ikan asin 46 sampel yang diuji berkisar antara 41-50%. Persentase tersebut menunjukkan bahwa sampel ikan asin yang diambil di Pasar Kota Bandar Lampung semuanya tidak memenuhi syarat mutu (SNI 01-2721-2009) yaitu maksimal 40%. Kadar air tertinggi terdapat pada ikan asin teri dengan kode sampel Gi IV yaitu sebesar 49% dan kadar air terendah terdapat pada kode sampel Ci II yaitu sebesar 41%, sedangkan kadar air tertinggi terdapat pada ikan asin sepat dengan kode sampel Tg I yaitu sebesar 50% dan kadar air terendah terdapat pada kode sampel Ka I dan Bk I yaitu sebesar 41%.

Kadar air dipengaruhi oleh kandungan garam saat proses pengolahan menjadi ikan asin. Semakin tinggi kadar garam maka semakin rendahnya kandungan air pada bahan tersebut, hal ini karena garam memiliki sifat higroskopis sehingga mampu menyerap air yang terdapat dalam ikan. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 46 sampel ikan asin di Pasar Kota Bandar Lampung menunjukkan tingginya kadar air dari 46 sampel ikan asin yaitu diatas 40%. Hal ini karena proses pasca pengolahan seperti pemasaran dan penyimpanan yang kurang tepat. Ikan asin yang dijual di pasar biasanya diletakkan dalam kondisi terbuka sehingga garam yang terkandung pada ikan asin tersebut menyerap uap air udara yang berada di lingkungan sekitar dan menyebabkan tingginya kadar air pada produk . Kadar air yang tinggi dapat mempengaruhi jumlah mikroorganisme pada ikan asin, hal ini dibuktikan dengan tingginya total mikroorganisme atau Angka Lempeng Total (ALT) pada 46 sampel ikan asin yang diambil di Pasar Kota Bandar Lampung yaitu sebesar 1,30 x 105 – 3,12 x 105. Hasil analisis

Page 90: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”80

ALT pada 46 sampel tersebut tidak memenuhi syarat mutu SNI 01-2721-2009 yaitu maksimal 1,0 x 105. Kadar Garam

Kadar garam 46 sampel ikan asin berkisar antara 11-25%. Persentase tersebut menunjukkan sebesar 91% ikan asin teri dan 83% ikan asin sepat memenuhi syarat SNI 01-2721-2009 yaitu maksimal 20%. Kadar garam tertinggi terdapat pada ikan asin teri dengan kode sampel Tg I, Ka I, Ka II, Ci II yaitu sebesar 20% dan kadar garam terendah terdapat pada kode sampel Ko I, dan Ci I yaitu sebesar 11%. Sedangkan kadar garam tertinggi terdapat pada ikan asin sepat dengan kode sampel Wh II yaitu sebesar 25% dan kadar garam terendah terdapat pada kode sampel GL I dan GL II yaitu sebesar 15%. Jumlah kadar garam yang bervariasi tersebut diduga disebabkan oleh bervariasinya proses penggaraman dan penggunaan garam pada saat pengolahan ikan asin oleh nelayan. Kadar air dan jumlah bakteri pada ikan asin dipengaruhi oleh jumlah kadar garam yang terkandung dalam ikan asin.

Secara teori kadar garam yang tinggi berhubungan dengan aktivitas mikroba yang rendah karena semakin tinggi kadar garam, maka semakin rendah Aw dalam bahan. Menurut Cahyo (2009), garam merupakan komponen kimia yang bersifat bakteriostatik aupun bakteriosidal. Selain itu, garam memiliki sifat higroskopis sehingga mampu menyerap air yang terdapat dalam ikan maupun sel bakteri menyebabkan metabolisme bakteri terganggu akibat kekurangan cairan, akibatnya bakteri mengalami kematian. Adanya kandungan garam yang tinggi pada sampel menyebabkan terseleksinya bakteri - bakteri sehingga hanya bakteri halofilik yang mampu tumbuh pada ikan asin. Namun berdasarkan hasil uji ALT terhadap 46 sampel ikan asin di Pasar Kota Bandar Lampung menunjukkan tidak adanya hubungan antara kadar garam dengan ALT

pada ikan asin. Hal ini diduga jenis bakteri terseleksi namun karena kadar air yang cukup tinggi sehingga bakteri halofilik masih bisa berkembang biak dengan baik.

Menurut Pelczar dan Chan (1988), halofilik merupakan salah satu mikroorganisme yang mampu tumbuh pada kadar garam tinggi. Hal ini di dukung oleh Madigan et al, (2000) yang mengemukakan bahwa bakteri halofilik mudah di temukan di lingkungan yang berkadar garam tinggi. Menurut Fardiaz, (1992) bakteri yang bersifat halofilik diantaranya adalah Halobacterium, Sarcina, Micrococcus, Pseudomonas, Vibrio, Pediococcus, dan Alcaligenes. Pengelompokan bakteri halofilik dibagi menjadi tiga golongan yaitu bakteri halofilik sedang, dengan konsentrasi garam yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimum adalah 5-20%, 20-30% untuk bakteri halofilik ekstrem, dan bakteri halofilik ringan yaitu bakteri halofilik yang tumbuh pada konsentrasi garam 2-5%. Diduga yang tumbuh di ikan asin adalah bakteri halofilik sedang karena berdasarkan penelitian, ikan asin memiliki kadar garam 11-25%. Angka Lempeng Total

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh angka lempeng total berkisar antara 1,30 x 105 – 3,1 x 105 koloni/g. Tingginya jumah ALT tersebut menunjukkan bahwa sampel ikan asin teri dan sepat dari Pasar Kota Bandar Lampung tidak memenuhi syarat mutu dan keamanan berdasarkan SNI 01-2721-2009 yaitu maksimal 1,0 x 105. ALT tertinggi terdapat pada ikan asin teri dengan kode sampel Tg III yaitu sebesar 3,1 x 105 koloni/g dan ALT terendah terdapat pada kode sampel GL II yaitu sebesar 1,4 x 105 koloni/g. Sedangkan ALT tertinggi terdapat pada ikan asin sepat dengan kode sampel GL I yaitu sebesar 3,1 x 105 dan ALT terendah terdapat pada kode sampel Ci II yaitu sebesar 1,2 x 105

koloni/g. Hal ini diduga akibat tingginya kadar air pada ikan asin. Ikan asin yang telah

Page 91: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 81

dianalisis mengandung kadar air > 40% yang menunjukkan bahwa ikan asin tersebut tidak memenuhi standar mutu menurut SNI 01-2721-2009. Semakin tinggi kandungan air didalam bahan, maka semakin tinggi jumlah mikroorganisme yang berkembang.

Menurut (Estiasih dan Ahmadi, 2009), kandungan air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan Aw yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Kadar air yang tinggi diduga mengakibatkan tingginya total bakteri pada bahan pangan tersebut. Mikroorganisme yang diduga mampu tumbuh pada ikan asin adalah bakteri halofilik karena kapang, khamir, dan bakteri memerlukan nilai Aw yang tinggi untuk pertumbuhannya. Pada proses pembuatan ikan asin, penambahan garam yang cukup tinggi serta proses pengeringan bertujuan untuk menghambat perkembangan mikroorganisme (Winarno,1992).

Selain itu, menurut (Buckle, 1987), faktor-faktor yang menyebabkan tingginya kadar air dan ALT pada ikan asin yaitu dipengaruhi oleh udara, air, tanah, dan debu. Ikan asin yang dijual oleh pedagang biasanya disimpan dan diletakkan dalam kondisi terbuka tanpa kemasan apapun sehingga garam dalam ikan asin yang mempunyai sifat higroskopis dapat menyerap air dalam udara di lingkungan. Selain itu, kondisi pasar yang kotor, becek, dan terbuka dapat mengakibatkan tingginya kontaminasi pada ikan asin. Kadar air dan jumlah bakteri pada ikan asin yang dijual dengan kondisi tersebut akan semakin meningkat dan berkembang seiring dengan lamanya ikan asin terjual. Tingkat kontaminasi pada ikan asin yang tinggi dikhawatirkan dapat mempengaruhi kesehatan seseorang. Gejala yang biasa timbul akibat gangguan mikrobiologis yaitu pusing, gangguan pencernaan, muntah, BAB, dan demam. Penyakit menular yang berbahaya

seperti tipes (Salmonella thypii), kolera (Vibrio cholera), disentri (Shigella dysentria) (Buckle, 1987). Sebaiknya ikan asin yang dijual dipasar di kemas dengan baik untuk mencegah kontaminasi dan meminimalisir penurunan mutu pada ikan asin.

Kandungan Formalin

Identifikasi formalin secara kualitatif pada sampel ikan asin teri dan sepat dari Pasar Kota Bandar Lampung dilakukan dengan metode pereaksi warna menggunakan tes kit merk Chemkit, dengan batas deteksi yaitu 0,1 – 2 mg/L sehingga dapat dikatakan sangat spesifik. Berdasarkan hasil uji formalin secara kualitatif terhadap 46 sampel ikan asin, diperoleh 52% sampel ikan asin teri dan 22% sampel ikan asin sepat yang terindentifikasi positif mengandung formalin. Perbedaan persentase ini berhubungan dengan bahan baku yang digunakan. Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak jika tidak segera diberi perlakuan pra pengolahan. Penambahan formalin pada ikan air laut dilakukan untuk menjaga kesegaran ikan hingga proses pengolahan. Girsang, dkk (2014), melaporkan terdapat penyimpangan distribusi ikan segar di Kota Bandar Lampung dengan cara penggunaan formalin pada es balok oleh nelayan baik di kapal/perahu, distributor maupun penjual eceran (retailer) yang bertujuan untuk mempertahankan kesegaran ikan selama berada di tempat penyimpanan. Ikan yang ditangkap dari laut memiliki jarak tempuh yang relatif lebih lama dibandingkan dengan ikan air tawar yang dibudidayakan. Sedangkan ikan air tawar yang mengandung formalin diduga ditambahkan dengan sengaja oleh produsen untuk memperpanjang masa simpan ikan asin.

Sampel ikan asin teri yang teridentifikasi adanya kandungan formalin yaitu dengan kode sampel Ko I, Tg I, Tg II, Tg III, Ka I, Gi I, Gi IV, Bk I, Bp I, Bp II, Wh I, dan Ci II. Sedangkan untuk ikan asin sepat yang positif terdapat pada kode sampel Gi I, Gi II, Gi III,

Page 92: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”82

Gi IV, dan GL I. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perubahan warna dari putih keruh hingga kekuningan menjadi merah muda hingga ungu. Perubahan warna tersebut terjadi akibat adanya pembentukan senyawa kompleks berwarna merah ungu dari reaksi antara formaldehid dan 4-amino-3-hidrazino-5-mercapto-1,2.4-Triazole.

Hasil penelitian menunjukkan masih tingginya tingkat peredaran ikan asin berformalin di pasaran. Sedangkan menurut Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 (1988), formalin merupakan salah satu bahan tambahan yang dilarang untuk makanan. Penggunaan formalin dalam makanan dilarang karena dapat menimbulkan efek yang buruk bagi kesehatan. Tahun 2004, IARC (Internasional Agency of Research on Cancer ) menyatakan bahwa formaldehida termasuk kedalam golongan karsinogen Grup 1, artinya karsinogenik pada manusia. Walau melalui pencernaan formalin dapat terurai dalam waktu 1,5 menit. Walaupun positif mengandung formalin, belum diketahui kadar formalin pada sampel ikan asin di pasar Kota Bandar Lampung, dan ikan asin yang telah dilakukan proses pencucian belum dapat dikatakan bersih dari fromalin. Hal ini diduga akibat formalin bersifat sangat reaktif dalam suasana alkalis serta bersifat sebagai zat pereduksi kuat (Antoni, 2010). Menurut IPCS (International Programme on Chemical Safety), lembaga khusus dari tiga organisasi PBB yaitu ILO, UNEP dan WHO yang peduli pada keselamatan penggunaan bahan-bahan kimia, bahwa secara umum ambang batas aman formalin dalam makanan yang masih bisa ditolerir dalam tubuh orang dewasa adalah 1,5 mg hingga 14 mg per hari sedangkan formalin dalam bentuk air minum yang masih bisa ditolerir dalam tubuh yaitu 0,1 ppm (Singgih, 2013).

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mutu ikan asin teri dan sepat yang beredar di

pasar Kota Bandar Lampung berdasarkan sifat sensorinya, sebesar 78% ikan asin teri dan 100% ikan asin sepat memenuhi syarat SNI 01-2721-2009. Kadar air semua sampel ikan asin teri maupun ikan asin sepat tidak memenuhi syarat sedangkan dilihat kadar garam sebesar 91% ikan asin teri dan 83% ikan asin sepat memenuhi syarat. Keamanan ikan asin teri dan sepat yang beredar di pasar Kota Bandar Lampung tidak memenuhi syarat SNI 01-2721-2009 karena memiliki angka lempeng total sebesar 1,30 x 105 – 3,12 x 105

koloni/g, sedangkan dilihat dari kandungan formalin sebesar 52% sampel ikan asin teri dan 22% sampel ikan asin sepat terindentifikasi positif mengandung formalin. Tiga sampel yang terindikasi positif mengandung formalin dilanjutkan dengan uji kuantitatif menggunakan Gas Chromatography dan hasilnya benar mengandung formalin dengan konsentrasi 18-21 ppm.

DAFTAR PUSTAKA Ali, M., Suparmono, Siti, H. 2014. Evaluasi

Kandungan Formalin pada Ikan Asin di Lampung. Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan. Universitas Lampung. Lampung.

Antoni, Syahrial. 2010. Analisa Kandungan Formalin pada Ikan Asin dengan Metoda Spektrofotometri di Kecamatan Tampan Pekanbaru. (Skripsi). Universitas Islam Negeri Sutan Syarif Kasim Riau. Riau.

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. Arlington, Inc. New York.

Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Lampung. 2011. Peluang Investasi Provinsi Lampung. BPMPPT Daerah Provinsi Lampung. Lampung.

Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2009. Standar Mutu Ikan Asin Kering. SNI 01-2721-2009. Jakarta.

Page 93: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 83

Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2015. Cara Uji Mikrobiologi. SNI 03-2332-2015. Jakarta.

Buckle, K.A.1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press.Jakarta.

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2010. Profil Investasi Lampung Tahun 2011.

Estiasih, T. dan Ahmadi, K. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Girsang, Dias Y., Rangga, A., dan Susilawati. 2014. Kasus Distribusi dan Penggunaan Formalin Dalam Pengawetan Komoditi Ikan Laut Segar (Studi Kasus di Kota Bandar Lampung). Jurnal Teknologi dan Industri Hasil Pertanian. 19(3):218-228.

Hastuti, S. 2010. Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Formaldehid Pada Ikan Asin Di Madura. Jurnal Agrointek. 4(2):132-137.

Kartika, Bambang, dkk. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 1988. Bahan Tambahan Makanan Nomor. 722/Menkes/Per/IX/88. Kemenkes RI. Jakarta.

Nelly. 2011. Analisis Kualitatif Kandungan Formalin Dalam Tahu Yang Dijual Di Pasar-Pasar Tradisional Di Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung Tahun 2011. (Skripsi). Universitas Sumatera Utara. Medan.

Pelczar, M.J. dan Chan, E.C.S. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Riana. 2015. Kandungan Formalin dan Kadar Garam pada Ikan Sunu Asin dari Pasar Tradisional Makasar, Sulawesi Selatan. Skripsi. Universitas Hasanudin. Makasar.

Singgih, H. 2013. Uji Kandungan Formalin pada Ikan Asin Menggunakan Sensor Warna Dengan Bantuan FMR (Formalin Mean Reagent). Jurnal ELTEK.11(1). ISSN 1693-4024.

Sudarmadji, S., dkk. 1997. Prosedur Analisis Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi ke tiga. Liberty. Yokyakarta.

Susianawati, R. 2006. Kajian Penerapan GMP dan SSOP Pada Produk Ikan Asin Kering dalam Upaya Peningkatan Keamanan Pangan Di Kabupaten Kendal. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&B. Alfabeta. Bandung.

Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia. Jakarta.

Page 94: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”84

ANALISIS CEMARAN MIKROBA PADA JAJANAN ANAK SEKOLAH DI KOTA AMBON

SANDRIANA J NENDISSA

Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Email Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Food Safety is one of the problems that often arise in food processing. The purpose of this study was to determine the microbial contamination of school children’s scnaks in Ambon City. A case study with purposive sampling technique by interviews, and food samples were taken and analyzed in the laboratory. Samples were the seller of snack meatbals, fried tofu, steamed cakes, fried sugar bun, fried tempe that randomly picked for five (5) Schools in the Ambon City area. Total bacteria, fungi dan microbial contaminants Escherichia.coli dan Staphylococcus aereus were determined in those samples. The results showed that sample A (Meatballs and Fried tofu) was considered unsafe to eat because they contained pathogenic bacteria is Escherichia.coli dan Staphylococcus aereus. Total bacteria count reached 105 Cfu/log. This is value was above the everage threshold of SNI standard. Sampel B (Steamed cakes, Fried sugar bun, and Fried tempe) not contained fungi yet still concidered safe to eat. The results showed that the application of sanitation and hygiene has not been conducted optimally hence influencing the microbiological safety of the snacks sold in the school environment. Keywords : fungi, Pathogenic bacteria, Total bacteria

ABSTRAK Keamanan pangan merupakan salah satu masalah yang sering timbul dalam pengolahan pangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui cemaran mikroba dari jajanan anak sekolah di Kota Ambon. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Studi Kasus (case study) dengan cara survei langsung untuk pengambilan sampel secara sengaja (purposive sampling) yaitu wawancara, dan sampel makanan yang diambil dianalisis di laboratorium. Sampel diambil pada penjual jajanan bakso, tahu goreng, bolu kukus, roti gula, tempe goreng di ambil secara acak di lima (5) Sekolah di wilayah Kota Ambon. Sampel yang diuji untuk mengetahui Total bakteri, Jamur dan Cemaran Mikroba Escherichia coli dan Staphylococcus aereus. Hasil penelitian menunjukkan sampel A (Bakso dan Tahu Goreng) tidak aman dikonsumsi karena memiliki bakteri patogen yaitu Escherichia coli dan Staphylococcus aereus sedangkan jumlah total bakteri sebesar 105 Cfu/Log, diatas ambang rata-rata dari standar SNI, Sampel B (Bolu Kukus, Roti Gula dan Tempe Goreng) tidak memiliki Jamur dan aman dikonsumsi. Hasil yang didapakan menunjukan penerapan sanitasi dan higiene belum dilakukan secara optimal sehingga berdampak pada jajanan yang dijual pada lingkungan sekolah. Kata Kunci : Bakteri Patogen, Jamur, Total Bakteri

Page 95: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 85

ANALISIS CEMARAN MIKROBA PADA JAJANAN ANAK SEKOLAH DI KOTA AMBON

SANDRIANA J NENDISSA

Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Email Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Food Safety is one of the problems that often arise in food processing. The purpose of this study was to determine the microbial contamination of school children’s scnaks in Ambon City. A case study with purposive sampling technique by interviews, and food samples were taken and analyzed in the laboratory. Samples were the seller of snack meatbals, fried tofu, steamed cakes, fried sugar bun, fried tempe that randomly picked for five (5) Schools in the Ambon City area. Total bacteria, fungi dan microbial contaminants Escherichia.coli dan Staphylococcus aereus were determined in those samples. The results showed that sample A (Meatballs and Fried tofu) was considered unsafe to eat because they contained pathogenic bacteria is Escherichia.coli dan Staphylococcus aereus. Total bacteria count reached 105 Cfu/log. This is value was above the everage threshold of SNI standard. Sampel B (Steamed cakes, Fried sugar bun, and Fried tempe) not contained fungi yet still concidered safe to eat. The results showed that the application of sanitation and hygiene has not been conducted optimally hence influencing the microbiological safety of the snacks sold in the school environment. Keywords : fungi, Pathogenic bacteria, Total bacteria

ABSTRAK Keamanan pangan merupakan salah satu masalah yang sering timbul dalam pengolahan pangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui cemaran mikroba dari jajanan anak sekolah di Kota Ambon. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Studi Kasus (case study) dengan cara survei langsung untuk pengambilan sampel secara sengaja (purposive sampling) yaitu wawancara, dan sampel makanan yang diambil dianalisis di laboratorium. Sampel diambil pada penjual jajanan bakso, tahu goreng, bolu kukus, roti gula, tempe goreng di ambil secara acak di lima (5) Sekolah di wilayah Kota Ambon. Sampel yang diuji untuk mengetahui Total bakteri, Jamur dan Cemaran Mikroba Escherichia coli dan Staphylococcus aereus. Hasil penelitian menunjukkan sampel A (Bakso dan Tahu Goreng) tidak aman dikonsumsi karena memiliki bakteri patogen yaitu Escherichia coli dan Staphylococcus aereus sedangkan jumlah total bakteri sebesar 105 Cfu/Log, diatas ambang rata-rata dari standar SNI, Sampel B (Bolu Kukus, Roti Gula dan Tempe Goreng) tidak memiliki Jamur dan aman dikonsumsi. Hasil yang didapakan menunjukan penerapan sanitasi dan higiene belum dilakukan secara optimal sehingga berdampak pada jajanan yang dijual pada lingkungan sekolah. Kata Kunci : Bakteri Patogen, Jamur, Total Bakteri

PENDAHULUAN

Keamanan pangan jajanan anak sekolah

(PJAS) sangat penting, mengingat anak sekolah merupakan cikal bakal sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa. Pembentukan kualitas sumber daya manusia sejak masa sekolah akan mempengaruhi kualitasnya pada saat mereka mencapai usia produktif. Pangan jajanan memegang peranan cukup penting dalam memberikan asupan energi dan gizi bagi anak-anak usia sekolah. Hasil survei yang dilakukan di Bogor pada tahun 2004 menyatakan sebanyak 36 % kebutuhan energi anak sekolah diperoleh dari pangan jajanan yang dikonsumsinya. Akan tetapi, peranan yang strategis ini tidak diimbangi dengan mutu dan keamanan pangan jajanan yang baik (BPOM. 2009).

Keamanan pangan merupakan salah satu masalah yang sering timbul dari pengembangan produk. Penggunaan bahan-bahan kimia bahkan sampai pada tahap higienis dan sanitasi sering dilakukan tanpa memikirkan dampak terhadap kesehatan konsumen yang mengkonsumsinya. Badan-badan pengawas yang dibentuk pemerintah maupun swasta pun seolah-olah tak berdaya dalam menertibkan penggunaan bahan-bahan kimia sesuai standar yang berlaku juga tak mampu melihat masalah higienis dan sanitasi yang mempengaruhi keseimbangan keamanan pangan tersebut.

Makanan jajanan adalah makanan dan minuman yang diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi masyarakat umum selain yang disajikan jasa boga, rumah makan/restoran, dan hotel (Anonymus, 2003). Sedangkan pengertian penanganan makanan jajanan adalah kegiatan yang meliputi pengadaan, penerimaan bahan makanan, pencucian, peracikan, pembuatan, pengubahan bentuk, pewadahan,

penyimpanan, pengangkutan, dan penyajian makanan atau minuman.

Kehadiran makanan jajanan ini lebih dominan di sekolah. Bagi anak sekolah, makanan jajanan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan sehari-hari mereka. Makanan jajanan digunakan sebagai alternative untuk memenuhi kebutuhan gizi anak sekolah karena keterbatasan waktu orang tua mengolah makanan di rumah. Selain murah, makanan jajanan juga mudah didapat. Berdasarkan kondisi ini seharusnya makanan jajanan dapat dikelola menjadi produk sehat yang aman dikonsumsi.

Data BPOM berdasarkan laporan balai besar/balai POM mengenai frekuensi kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan, pada 25 provinsi yang melaporkan frekuensi luar biasa (KLB) keracunan pangan ada 3 kota yang paling banyak melaporkan frekuensi KLB keracunan pangan diantaranya kota Semarang terdapat 14 kejadian (10.94 %), Makasar dengan 14 kejadian (10.94 %) dan Lampung 12 kejadian (9.38 %). Sedangkan berdasarkan tempat/lokasi kejadian KLB dengan angka kejadian 24 kejadian (18.75 %) setelah tempat/lokasi rumah tinggal dengan 59 kejadian (46.09 %). Disusul pada urutan ketiga yaitu tempat terbuka dengan 8 kejadian (6.25 %) (BPOM, 2011a)

Bahaya biologi (mikroba pada pangan perlu mendapat perhatian karena jenis bahaya ini yang sering menjadi agen penyebab kasus keracunan pangan. Escherechia coli merupakan bakteri patogen yang sering menyebabkan keracunan pangan dan juga menjadi salah satu mikroba indikator sanitasi. Sedangkan Staphylococcus aereus ditemukan secara luas di lingkungan seperti di peternakan, pembuangan kotoran manusia dan tempat-tempat yang terkontaminasi oleh feses (Wray et al. 2003).

Sehingga berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti merasa perlu untuk meneliti analisis cemaran mikroba pada jajanan anak

Page 96: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”86

sekolah di Kota Ambon. Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui cemaran mikroba dari jajanan anak sekolah di Kota Ambon

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni

2016 di 5 Sekolah dasar yang berada di Kota Ambon dan dilakukan analisa pada Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon. Jenis penelitian yang dilakukan dengan metode studi kasus (wawancara) dan survey/diskriptif mengidentifikasi total bakteri, bakteri patogen (E. coli dan Staphylococcus aereus) serta Jamur. Adapun populasi pada penelitian adalah 5 jajanan yang terdiri dari bakso, tahu goreng, bolu kukus, roti gula, tempe goreng dengan cara survei dan langsung mengambil sampel yaitu makanan yang disajikan tidak dalam keadaan panas/hangat dan makanan yang dicurigi cemaran mikobanya tinggi, seperti disajikan menggunakan tangan (tanpa alas/alat tangan), dipajang tidak menggunakan wadah tertutup/etalase serta tidak dikemas dalam wadah tertutup. Pengumpulan data dilakukan dengan pengambilan data primer dan data sekunder. Pengolahan data jumlah

mikroba yang diperoleh dari hasil laboratorium serta data kuesioner diolah secara manual. Kemudian data yang telah dianalisis disajikan dalam bentuk tabel dan narasi untuk membahas mengenai hasil penelitian. Data Penelitian laboratorium mengenai total bakteri, bakteri patogen (Escherchia coli dan Staphylococcus aereus) dan Jamur pada setiap sampel dianalisis secara deskritif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisis total baketi yang dilakukan

pengujian sebanyak 2 kali (duplo) diperoleh yaitu pada sampel bakso dan tahu goreng memiliki total bakteri 2.5 X 105 Cfu/g yang berada diatas ambang batas maksimum cemaran mikroba sehingga termasuk dalam kategori tidak aman dikonsumsi (Tabel 1). Hasil uji identifikasi mikroba Escherchia coli dan Staphylococcus aereus yaitu pada sampel bakso dan tahu goreng positif terkontaminasi dengan menggunakan metode MPN (Tabel 2). Sedangkan Bolu Kukus, Roti Gula dan Tempe Goreng terdapat jamur memiliki jumlah 0 dan masuk kategori amam untuk dikonsumsi (Tabel 3)

Tabel 1. Hasil Analisis Total Bakteri Mikroba Pada Jajanan Anak Sekolah di Kota Ambon

SAMPEL KOLONI PADA MEDIA

RATA-RATA JUMLAH KOLONI AMBANG KET

PCA (CFU/gr/ml) (CFU/gr/ml) BATAS 1 2

BAKSO 3 x 105 2 x 105 2.5 X 105 104 CFU/gr Tidak aman TAHU GORENG 2 x 105 0 1 x 105 104 CFU/gr Tidak aman BOLU KUKUS 0 0 0 104 CFU/gr Aman ROTI GULA 0 0 0 104 CFU/gr Aman TEMPE GORENG 0 0 0 104 CFU/gr Aman

Page 97: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 87

sekolah di Kota Ambon. Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui cemaran mikroba dari jajanan anak sekolah di Kota Ambon

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni

2016 di 5 Sekolah dasar yang berada di Kota Ambon dan dilakukan analisa pada Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon. Jenis penelitian yang dilakukan dengan metode studi kasus (wawancara) dan survey/diskriptif mengidentifikasi total bakteri, bakteri patogen (E. coli dan Staphylococcus aereus) serta Jamur. Adapun populasi pada penelitian adalah 5 jajanan yang terdiri dari bakso, tahu goreng, bolu kukus, roti gula, tempe goreng dengan cara survei dan langsung mengambil sampel yaitu makanan yang disajikan tidak dalam keadaan panas/hangat dan makanan yang dicurigi cemaran mikobanya tinggi, seperti disajikan menggunakan tangan (tanpa alas/alat tangan), dipajang tidak menggunakan wadah tertutup/etalase serta tidak dikemas dalam wadah tertutup. Pengumpulan data dilakukan dengan pengambilan data primer dan data sekunder. Pengolahan data jumlah

mikroba yang diperoleh dari hasil laboratorium serta data kuesioner diolah secara manual. Kemudian data yang telah dianalisis disajikan dalam bentuk tabel dan narasi untuk membahas mengenai hasil penelitian. Data Penelitian laboratorium mengenai total bakteri, bakteri patogen (Escherchia coli dan Staphylococcus aereus) dan Jamur pada setiap sampel dianalisis secara deskritif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisis total baketi yang dilakukan

pengujian sebanyak 2 kali (duplo) diperoleh yaitu pada sampel bakso dan tahu goreng memiliki total bakteri 2.5 X 105 Cfu/g yang berada diatas ambang batas maksimum cemaran mikroba sehingga termasuk dalam kategori tidak aman dikonsumsi (Tabel 1). Hasil uji identifikasi mikroba Escherchia coli dan Staphylococcus aereus yaitu pada sampel bakso dan tahu goreng positif terkontaminasi dengan menggunakan metode MPN (Tabel 2). Sedangkan Bolu Kukus, Roti Gula dan Tempe Goreng terdapat jamur memiliki jumlah 0 dan masuk kategori amam untuk dikonsumsi (Tabel 3)

Tabel 1. Hasil Analisis Total Bakteri Mikroba Pada Jajanan Anak Sekolah di Kota Ambon

SAMPEL KOLONI PADA MEDIA

RATA-RATA JUMLAH KOLONI AMBANG KET

PCA (CFU/gr/ml) (CFU/gr/ml) BATAS 1 2

BAKSO 3 x 105 2 x 105 2.5 X 105 104 CFU/gr Tidak aman TAHU GORENG 2 x 105 0 1 x 105 104 CFU/gr Tidak aman BOLU KUKUS 0 0 0 104 CFU/gr Aman ROTI GULA 0 0 0 104 CFU/gr Aman TEMPE GORENG 0 0 0 104 CFU/gr Aman

Sumber : Data Primer 2016 Tabel 2. Hasil Identifikasi Mikroba Escherichia coli dan Staphylococcus aereus Menggunakan

Metode MPN Pada Makanan Jajanan Anak Sekolah di Kota Ambon

Macam Uji Hasil Pengamatan

Sampel Bakso Tahu Goreng Uji Penduga (Menggunakan Media LB) + + Uji Kelengkapan (Menggunakan Media EMBA) + + Uji Ketetapan (Menggunakan Media BGLB) + + Identifikasi Staphylococcus aereus + + (Menggunakan media PCA)

Uji TSIA (triple Sugar Iron Agar) + +

Tabel 3. Hasil Analisis Total Bakteri Mikroba Pada Jajanan Anak Sekolah di Kota Ambon

SAMPEL KOLONI PADA MEDIA

RATA-RATA JUMLAH KOLONI AMBANG KET

PCA (CFU/gr/ml) (CFU/gr/ml) BATAS 1 2

BOLU KUKUS 0 0 0 104 CFU/gr Aman ROTI GULA 0 0 0 104 CFU/gr Aman TEMPE GORENG 0 0 0 104 CFU/gr Aman

Pembahasan

Dari hasil penelitian diatas terdapat sampel yang tidak layak untuk dikonsumsi yaitu bakso dan tahu goreng yang masing-masing memiliki total bakteri pada media PCA sebanyak 2.5 X 105 Cfu/g dimana angka tersebut berada diatas ambang batas maksimum cemaran mikroba yang ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia No. 01-3820-1995 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba adalah 104 CFU/gr. Menurut Ariyani dan Faisal (2006) bahwa bakso goreng pisang goreng dan sate tidak dapat dikonsumsi karena memiliki total bakteri diatas ambang batas dan juga berlendir.

Total mikroba perlu diketahui untuk memastikan suat bahan pangan layak untuk dikonsumsi atau tidak. Pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan erat hubungannya dengan jumlah kandungan air. Kebutuhan

mikroba akan air biasanya dinyatakan dalam aktivitas air (aw). Produk bakso memiliki aw yang tinggi sehingga cocok sebagai media pertumbuhan mikroorganisme.

Jajanan bakso yang dijual dibuat semalam sebelum dipasarkan sehingga tidak melalui masa penyimpanan. Menurut Wulandari (2009), total mikroba dipengaruhi juga oleh lamanya penyimpanan. Lama simpan menambah populasi total mikroba. Semakin lama penyimpanan maka populasi total miroba semakin banyak. Karena daging dan produk olahan daging mudah mengalami kerusakan oleh adanya aktivitas mikroorganisme, maka diperlukan penanganan penyimpanan atau pengolahan yang sesuai. Pada dasarnya metode penyimpanan atau pengolahan hanya bias menghambat perkembangan mikroorganisme, sehingga setiap metode penyimpanan atau

Page 98: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”88

pengolahan hanya bias mempertahankan kualitas daging atau produk olahan daging untuk jangka waktu yang terbatas.

Sampel bakso dan tahu goreng memiliki total bakteri diatas ambang batas yang melebihi batas maksimum cemaran mikroba dibandingkan dengan sampel lainnya. Hal ini disebabkan alat pengolahan, tempat wadah, lingkungan tempat penjualan tidak hygiene sehingga memberikan peluang kepada bakteri untuk berkembangbiak dan terjadi kontaminasi pada sampel yang diteliti.

Hasil pengujian idenditikasi mikroba Escherichia coli, Staphylococcus aereus pada sampel jajanan dengan menggunakan metode MPN dan menggunakan medium EMBA dan LB terdapat mikroba yang tumbuh namun memiliki ciri-ciri yang kuat sebagai mikroba Escherichia coli dan Staphylococcus aereus sehingga dilaporkan sebagai bakteri positif (mikroba patogen) Escherichia coli maupun Staphylococcus aereus. Terdapatnya Escherichia coli dan Staphylococcus aereus pada sampel menunjukkan sanitasi lingkungan yang dijadikan sebagai lokasi penelitian belum memiliki praktik hygiene yang baik. Hasil ini didukung oleh peneletian Yunaenah (2009) yang menunjukkan sebesar 37 (59,92 %) makanan jajanan anak SD dari 65 kantin di Jakarta Pusat Positif terkontaminasi Escherechia coli. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kontaminasi Escherechia coli pada makanan jajanan adalah fasilitas sanitasi, tenaga penjamaah serta cara penyajian makanan.

Untuk mengetahui sampel jajanan terkontaminasi dilakukan kombinasi tabung yang bernilai posistif pada uji ketetapan dengan Tabel MPN maka dapat diketahui bahwa sampel bakso dan tahu goreng terkontaminasi.

Adanya bakteri Escherechia coli dan Stapyhococcus di dalam jajanan menunjukan adanya mikroba yang bersifat enteropatogenik atau toksigenik yang berbahaya bagi kesehatan (Purbowarsito, 2011)

Sedangkan untuk sampel B (Bolu Kukus, Roti Gula dan Tempe Goreng) dianalisis dengan metode duplo (2 kali ulangan) menggunakan mendia PDA. Hasil yang diperoleh bahwa ketiga sampel tersebut memiliki jumlah jamur 102 Cfu/g masih dibawah ambang batas maksimum. Hasil ini menunjukan bahwa sampel B yang dihasilkan masih dapat diterima oleh konsumen dan juga pedagang yang berjual telah melaksanakan sanitasi dan hygiene yang baik dari alat penggolahan, tempah wadah, pengemasan dan lingkungan. Hal ini didukung oleh Wijaya (2009) bahwa Sanitasi dan Hygiene pada lingkungan sekolah bersih dan terjamin maka kemungkinan kecil terjadi terkontaminasi mikroba. Sehingga ketika dijual/didagang makanan jajanan ke anak sekolah aman terkendali.

KESIMPULAN DAN SARAN

Sampel Bakso dan Tahu Goreng tidak aman dikonsumsi karena memiliki jumlah total bakteri sebesar 2.5 x 105 Cfu/Log diatas ambang rata-rata dari standar SNI begitu juga dengan bakteri patogen positif terkontaminasi Escherichia coli dan Staphylococcus aereus sedangkan Sampel B (Bolu Kukus, Roti Gula dan Tempe Goreng) memiliki Jamur namun masih aman dikonsumsi. Hasil yang didapakan menunjukan penerapan sanitasi dan higiene belum dilakukan secara optimal sehingga berdampak pada jajanan yang dijual pada lingkungan sekolah

DAFTAR PUSTAKA

Ariyani, D dan Faisal, A., 2006. Mutu Mikrobiologi Makanan Jajanan di Sekolah Dasar Wilayah Bogor Tengah. Jurnal Gizi dan Pangan Vol.1 (1), hal 44-50

Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2009. Peraturan Badan Pengawas Obat dan

Page 99: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 89

pengolahan hanya bias mempertahankan kualitas daging atau produk olahan daging untuk jangka waktu yang terbatas.

Sampel bakso dan tahu goreng memiliki total bakteri diatas ambang batas yang melebihi batas maksimum cemaran mikroba dibandingkan dengan sampel lainnya. Hal ini disebabkan alat pengolahan, tempat wadah, lingkungan tempat penjualan tidak hygiene sehingga memberikan peluang kepada bakteri untuk berkembangbiak dan terjadi kontaminasi pada sampel yang diteliti.

Hasil pengujian idenditikasi mikroba Escherichia coli, Staphylococcus aereus pada sampel jajanan dengan menggunakan metode MPN dan menggunakan medium EMBA dan LB terdapat mikroba yang tumbuh namun memiliki ciri-ciri yang kuat sebagai mikroba Escherichia coli dan Staphylococcus aereus sehingga dilaporkan sebagai bakteri positif (mikroba patogen) Escherichia coli maupun Staphylococcus aereus. Terdapatnya Escherichia coli dan Staphylococcus aereus pada sampel menunjukkan sanitasi lingkungan yang dijadikan sebagai lokasi penelitian belum memiliki praktik hygiene yang baik. Hasil ini didukung oleh peneletian Yunaenah (2009) yang menunjukkan sebesar 37 (59,92 %) makanan jajanan anak SD dari 65 kantin di Jakarta Pusat Positif terkontaminasi Escherechia coli. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kontaminasi Escherechia coli pada makanan jajanan adalah fasilitas sanitasi, tenaga penjamaah serta cara penyajian makanan.

Untuk mengetahui sampel jajanan terkontaminasi dilakukan kombinasi tabung yang bernilai posistif pada uji ketetapan dengan Tabel MPN maka dapat diketahui bahwa sampel bakso dan tahu goreng terkontaminasi.

Adanya bakteri Escherechia coli dan Stapyhococcus di dalam jajanan menunjukan adanya mikroba yang bersifat enteropatogenik atau toksigenik yang berbahaya bagi kesehatan (Purbowarsito, 2011)

Sedangkan untuk sampel B (Bolu Kukus, Roti Gula dan Tempe Goreng) dianalisis dengan metode duplo (2 kali ulangan) menggunakan mendia PDA. Hasil yang diperoleh bahwa ketiga sampel tersebut memiliki jumlah jamur 102 Cfu/g masih dibawah ambang batas maksimum. Hasil ini menunjukan bahwa sampel B yang dihasilkan masih dapat diterima oleh konsumen dan juga pedagang yang berjual telah melaksanakan sanitasi dan hygiene yang baik dari alat penggolahan, tempah wadah, pengemasan dan lingkungan. Hal ini didukung oleh Wijaya (2009) bahwa Sanitasi dan Hygiene pada lingkungan sekolah bersih dan terjamin maka kemungkinan kecil terjadi terkontaminasi mikroba. Sehingga ketika dijual/didagang makanan jajanan ke anak sekolah aman terkendali.

KESIMPULAN DAN SARAN

Sampel Bakso dan Tahu Goreng tidak aman dikonsumsi karena memiliki jumlah total bakteri sebesar 2.5 x 105 Cfu/Log diatas ambang rata-rata dari standar SNI begitu juga dengan bakteri patogen positif terkontaminasi Escherichia coli dan Staphylococcus aereus sedangkan Sampel B (Bolu Kukus, Roti Gula dan Tempe Goreng) memiliki Jamur namun masih aman dikonsumsi. Hasil yang didapakan menunjukan penerapan sanitasi dan higiene belum dilakukan secara optimal sehingga berdampak pada jajanan yang dijual pada lingkungan sekolah

DAFTAR PUSTAKA

Ariyani, D dan Faisal, A., 2006. Mutu Mikrobiologi Makanan Jajanan di Sekolah Dasar Wilayah Bogor Tengah. Jurnal Gizi dan Pangan Vol.1 (1), hal 44-50

Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2009. Peraturan Badan Pengawas Obat dan

Makanan Republik Indonesia Nomor. HK.00.06.1.52.401. Jakarta

Wijaya, R. 2009. Penerapan Peratiran Dan Praktek Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah Kota Dan kabupaten Bogor. Skripsi. Bogor. IPB

Wulandari PC, 2009. Karakteristik Mikrobiologis Bakso Sapi yang Diawetkan dengan Antimikroba dari

Lactobacillusplantarum 1A5 Selama Penyimpanan Suhu Dingin. [skripsi]. Bogor. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Yunaenah, 2009. Kontaminasi E. coli Pada Makanan Jajanan Di Kantin Sekolah Dasar Wilayah Jakarta Pusat. Tesis. Depok. Universitas Indonesia

Page 100: “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN …thp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/Buku-1_Part1.pdf · PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN IKAN GABUS DENGAN PENAMBAHAN

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”90

PENGARUH RASIO DAUN/AIR TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA SNACK SEHAT BERBENTUK NORI DARI DAUN CINCAU HIJAU

THE EFFECT OF LEAVES/WATER RATIO ON PHYSICOCHEMICAL PROPERTIES OF

NORI-SHAPED HEALTHY SNACK MADE OF GREEN CINCAU LEAVES

Soenar Soekopitojo*, Budi Wibowotomo dan Laili Hidayati Program Studi Pendidikan Tata Boga, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Malang

*Email korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Green cincau leaves which contain pectin and bioactive compounds, are potential as starting materials of nori-shaped healthy snack. The aim of this study was to obtain the physicochemical properties of nori-shaped healthy snack made of green cincau leaves with a variety of the leaves/water (w/w) ratio. The manufacturing of nori-shaped healthy snack started with sortation of green cincau leaves, washing, extraction with water on variety of the leaves/water ratio, filtering, forming, drying, seasoning and baking. The physicochemical properties that analyze were texture, colour, dietary fiber and antioxidant capacity. The results show that fresh green cincau leaves contain of pectin 2.31%, total dietary fiber 3.55% dan antioxidant capacity (IC50) 36.79 mg/100 g. The leaves/water ratios affect on texture, colour, total dietary fiber, and antioxidant capacity of nori-shaped healthy snack. The Ratio II produce the product of nori snack most likely criteria expected, namely elastic texture, not easily tear (texture 0.04 kg/cm2) with greenish black (L = 47.31; a = -44.23; b = +35.26). Whereas the Ratio I produce the product with the highest total dietary fiber (32.74%), and the most powerful antioxidant capacity (10.15 mg/100 g). Keywords: green cincau, healthy snack, nori, pectin

ABSTRAK

Daun cincau hijau yang mengandung pektin dan senyawa bioaktif, berpotensi sebagai bahan baku snack sehat berbentuk nori. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan sifat fisikokimia snack sehat berbentuk nori yang dibuat dari daun cincau hijau dengan berbagai rasio daun/air (b/b). Pembuatan snack sehat berbentuk nori diawali dengan sortasi daun cincau hijau, pencucian, ekstraksi air pada berbagai rasio daun/air, penyaringan, pencetakan, pengeringan, pemberian bumbu dan pemanggangan. Sifat fisikokimia yang dianalisis meliputi tekstur, warna, serat pangan dan kapasitas antioksidan. Hasil analisis menunjukkan bahwa daun cincau hijau segar mengandung pektin sebesar 2,31%, serat pangan total 3,55%, dan kapasitas antioksidan (IC50) 36,79 mg/100 g. Rasio daun/air berpengaruh terhadap tekstur, warna, serat pangan total dan kapasitas antioksidan snack sehat berbentuk nori. Secara visual, Rasio II menghasilkan produk snack nori yang paling mendekati kriteria yang diharapkan, yaitu tekstur yang cukup lentur, tidak mudah sobek (tekstur 0,04 kg/cm2) dengan warna hitam kehijauan (L = 47,31; a = -44,23; b =