Peradilan in Absentia (Tipikor)
description
Transcript of Peradilan in Absentia (Tipikor)
Tugas Kuliah : Sistem Peradilan Indonesia
PERADILAN IN ABSENTIA TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM SISTEM
PERADILAN PIDANA
Oleh : M. Rainoer
A. Latar Belakang
Tindak pidana korupsi di Indonesia perkembangannya terus meningkat dari tahun
ke tahun, dari segi kuantitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta
lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sedangkan jumlah
kerugian keuangan negara akibat perbuatan tindak pidana korupsi semakin bertambah
besar. Keterpurukan perekonomian diyakini sebagai resultan dari adanya tindak pidana
korupsi yang sistematis dan meluas.1 Sistematisnya tindak pidana korupsi sebagai
bagian kejahatan terstruktural yang sangat utuh terakar, kuat dan permanen sifatnya,
sehingga korupsi sudah menjadi bahagian dari sistem yang ada.2 Begitu parahnya
tindak pidana korupsi telah menempatkan Indonesia pada peringkat tertinggi secara
berturut-turut dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari laporan Transparency
Internasional (TI) sejak satu dekade terakhir (1998-2008), Indonesia selalu menempati
peringkat terkorup di dunia. Tahun 1998 (peringkat 6 terkorup dari 85 negara), tahun
1999 (peringkat 3 terkorup dari 98 negara), tahun 2000 (peringkat 5 terkorup dari 90
negara), tahun 2001(peringkat 4 terkorup dari 91 negara), tahun 2002 (peringkat 6
terkorup dari 102 negara), tahun 2003 (peringkat 6 terkorup dari 133 negara), tahun
2004 (peringkat 5 terkorup dari 146 negara), tahun 2005 (peringkat 5 terkorup dari 158
negara), tahun 2006 (peringkat 7 terkorup dari 163 negara), tahun 2007 (peringkat 10
terkorup dari 179 negara), tahun 2008 (peringkat 15 terkorup dari 180 negara)3. Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2009 mencapai 2,8 atau naik dari 2,6
pada tahun 2008, merupakan gambaran buruknya pelayanan publik.4
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah
meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana
korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-
1 Terutama di sektor perbankan berupa kredit macet yang pada imbasnya menimbulkan likuidasi terhadap bank-bank bermasalah dan pada akhirnya pemerintahlah yang menanggung beban.2 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, (Jakarta: Prof. Oemar Seno Adji, SH. & Rekan, 2006), hlm.1.3 http://www.hupelita.com, diakses tanggal 10 Februari 2013, jam: 14.30 WIB.4 http://bataviase.co.id, diakses tanggal 10 Februari 2013, jam: 14.30 WIB.
1
undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan berlakunya perundang-undangan
pemberantasan tindak pidana korupsi serta dibentuknya badan-badan (komisi)
pemberantasan tindak pidana korupsi diharapkan akan dapat memberantas tindak
pidana korupsi dalam hal pengenaan pidana (deterent effect) maupun pengembalian
kerugian keuangan negara5. Namun, sangat disayangkan khusus dalam upaya
mengembalikan keuangan negara akibat perbuatan tindak pidana korupsi ternyata
belum memberikan hasil yang maksimal. Data dari sumber Kejaksaan Agung di atas
menunjukkan upaya pengembalian kerugian keuangan negara masih tergolong rendah,
masih di bawah 10% dari jumlah yang seharusnya dikembalikan.
Pentingnya pengembalian keuangan negara ini, terutama bagi begara berkembang
seperti Indonesia, didasarkan pada kenyataan bahwa tindak pidana korupsi telah
merampas kekayaan negara, sementara sumber daya sangat dibutuhkan untuk
merekonstruksi dan merehabilitasi masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan.
Upaya pengembalian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi harus dilakukan
oleh Pemerintah Indonesia. Alasannya adalah, pertama, mengingat jumlah kerugian
keuangan negara yang begitu besar; kedua, dana atau aset yang dikorupsi tersebut
adalah harta kekayaan negara Indonesia yang seharusnya diperuntukan bagi
pembangunan dalam upaya meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
Indonesia. Tindak pidana korupsi telah mengakibatkan hilangnya kesempatan rakyat
Indonesia untuk menikmati hak-haknya, dan menempatkan sebagian besar rakyat hidup
5 Perlu untuk diimengerti bahwa tujuan terpenting dari pemberantasan tindak pidana korupsi bukanlah hanya ditujukan terhadap pelaku tindak pidana korupsi untuk diberikan sanksi pidana berupa pidana pokok penjara saja (detterence effect), akan tetapi secara sinergis juga ditujukan pada upaya untuk mengembalikan kerugian negara yang telah ditimbulkan akibat perbuatan korupsi. Dengan upaya pengembalian kerugian keuangan tersebut maka diharapkan hasilnya akan dapat menutupi ketidakmampuan negara dalam membiayai berbagai aspek yang sangat dibutuhkan, misalnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, memberikan porsi yang lebih besar pada anggaran pendidikan, serta mewujudkan pemberian subsidi pelayanan kesehatan yang baik dan murah.
2
di bawah garis kemiskinan; ketiga, negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan
menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya melalui alternatif sumber pendanaan. Salah
satu sumber pendanaan tersebut harus diambil dari dana atau aset tindak pidana
korupsi. Keempat, upaya pengembalian keuangan negara akibat perbuatan tindak
pidana korupsi memiliki makna preventif (pencegahan) dan makna represif
(pemberantasan)6. Tujuan terpenting dari pemberantasan tindak pidana korupsi adalah
upaya pengembalian kerugian keuangan negara selain penjatuhan pidana bagi pelaku
tindak pidana korupsi. Oleh karenanya, telah diadakan perumusan Rancangan Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengganti undang-undang
terdahulu.
Dalam UUPTPK telah diatur mekanisme penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang persidangan dalam satu bab tersendiri yakni tepatnya pada Bab
III, kemajuan yang pesat dalam UU ini adalah diberlakukannya sistem pemeriksaan in
absentia terhadap terdakwa.7 Dengan adanya sistem peradilan in absentia dalam
UUPTPK ini menunjukkan bahwa aspek terpenting dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi adalah upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana
korupsi. Dalam rangka upaya pengembalian kerugian keuangan Negara akibat tindak
pidana korupsi ini, maka salah satu hambatan yang cukup signifikan dalam proses
peradilan tindak pidana korupsi adalah menyangkut dengan ketidakhadiran terdakwa
dalam persidangan. Ketidakhadiran terdakwa dalam persidangan dalam hukum acara
pidana lazim dikenal dengan istilah peradilan in absentia, yakni mengadili seorang
terdakwa dan dapat mengukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa itu sendiri.8 Peradilan
in absentia dalam perkara perdata tidak menimbulkan masalah, dikatakan demikian
oleh karena mengadili atau menjatuhkan putusan tanpa hadirnya tergugat dapat selalu
dilakukan oleh hakim, dimana dalam perkara perdata pada umumnya yang menghadiri
sidang pengadilan hanyalah wakil atau kuasa dari pihak-pihak yang berperkara, sedang
yang bersangkutan sendiri tidak perlu hadir dalam pemeriksaan sidang tersebut.9
6 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 2007), hlm.17-18.7 Secara teologikal dapat kita ketahui bahwa spirit dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah juga mengedepankan upaya pengembalian keuangan negara akibat perbuatan tindak pidana korupsi. Hal ini dapat kita lihat dari konsideran huruf d, dinyatakan: “bahwa Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 belum mengatur semua aspek korupsi secara khusus dan menyeluruh.” 8 Djoko Prakoso, Peadilan In Absentia di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1984),hlm.54.9 Loc Cit.
3
Sebaliknya, dalam suatu perkara pidana umumnya menghendaki hadirnya terdakwa
dalam pemeriksaan sidang yang bersifat terbuka, bahwa terdakwa adalah seorang
tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.10
Persoalan ketidakhadiran terdakwa dalam pemeriksaan sidang perkara pidana,
khususnya dalam tindak pidana korupsi menjadi permasalahan dalam upaya
pengembalian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan. Alasan
sakit menjadi dalil bagi terdakwa untuk menghindari pemeriksaan pengadilan, sehingga
menjadikan pemeriksaan pengadilan berlarut-larut serta pada akhirnya pemeriksaan
tidak dapat dilanjutkan. Hal ini terjadi dalam kasus H.M . Soeharto, Zulkifli Harahap
dan lain-lain. Apabila pemeriksaan perkara korupsi secara in absentia ini dikaitkan
dengan teori keadilan sosial (teori pengembalian aset) dalam rangka upaya
mengembalikan kerugian keuangan negara akibat perbuatan tindak pidana korupsi
menunjukkan bahwa terdapat hak negara untuk mengupayakan pengembalian keuangan
negara11, sedangkan kehadiran terdakwa dalam persidangan merupakan kewajiban yang
harus dipenuhi12. Permasalahan ketidakhadiran terdakwa dalam persidangan
menjadikan perkara tersebut akan berlarut-larut dan tidak menentu, sementara
masyarakat menuntut untuk dilakukannya pemberantasan tindak pidana korupsi demi
tercapainya rasa keadilan.13
Dalam perkembangannya selama ini, telah ada beberapa perkara tindak pidana
korupsi yang telah dilakukan peradilan secara in absentia yaitu terhadap Bambang
Sutrisno dan Andrian Kiki Ariawan dalam perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesis
(PT Bank Surya) yang merugikan keuangan negara sebanyak Rp.1,5 triliun dan Hendra
Rahardja dalam perkara yang sama (PT. Bank Harapan Sentosa) yang merugikan
keuangan negara sebanyak Rp.2,65 triliun.14 Ketidakhadiran terdakwa dalam sidang
kasus korupsi sudah diantisipasi dengan ketentuan Pasal 38 (1) Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut
UUPTPK) antara lain menyebutkan bahwa: ”Dalam hal terdakwa telah dipanggil
secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara
dapat diperiksa dan di putus tanpa kehadirannya”.(garis miring dari penulis)
10 Lihat: Pasal 1 sub 15 KUHAP.11 Purwaning M. Yanuar, Op. Cit, hlm.107.12 Lihat: Pasal 154 KUHAP.13 Lihat: Pertimbangan majelis hakim dalam perkara tindak pidana korupsi atas nama Hendra Rahardja CS, Putusan PN No.1032/PID/B/2001/PN.JKT.PST.14 Chaerudin et all, Strategi Pencegahan & Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Cet.I (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm.14.
4
Ketentuan pasal ini yang menyebutkan “tanpa alasan yang sah” sering
dijadikan perlindungan untuk menghindari proses pengadilan misalnya alasan sakit atau
sudah pikun dan sebagainya, agar alasan yang disampaikan seolah-olah sah guna
menghindari pemeriksaan sidang pengadilan. Apabila hal ini dikaitkan dengan
ketentuan Pasal 154 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) maka sebenarnya Hakim
dapat memerintahkan terdakwa untuk dihadirkan secara paksa (ayat 6), kecuali
terdakwa melarikan diri, atau meninggal dunia. Selanjutnya, menurut Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UUKK),
menentukan bahwa pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana dengan
hadirnya terdakwa kecuali apabila undang-undang menentukan lain.15 Dari ketentuan
tersebut dapat diketahui bahwa kehadiran terdakwa di pemeriksaan sidang pengadilan
merupakan kewajiban, kecuali apabila undang-undang menentukan lain.
Penjabaran lebih lanjut dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1)
UUKK tersebut - kecuali apabila undang-undang menentukan lain - adalah penjelasan
Pasal 154 ayat (4) KUHAP yang menyebutkan bahwa kehadiran terdakwa di sidang
merupakan kewajiban dari terdakwa, bukan merupakan hak, jadi terdakwa harus hadir
di sidang pengadilan. Dengan demikian – kecuali apabila undang-undang menentukan
lain – tanpa kehadiran terdakwa, maka pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara
pidana tidak dapat dilangsungkan.16 Tetapi untuk pemeriksaan di sidang pengadilan
dalam perkara tindak pidana korupsi, terdapat pengecualian, yaitu sebagaimana yang
ditentukan di dalam Pasal 38 ayat (1) UUPTPK. Berarti ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 38 ayat (1) UUPTPK merupakan sebagai lex specialis dari Pasal 154 ayat (4)
KUHAP yang merupakan sebagai lex generalis. Sifat kekhususan yang diatur dalam
Pasal 38 ayat (1) UUPTPK menggariskan bahwa ketidakhadiran terdakwa di sidang
pengadilan perkara tindak pidana korupsi, dapat berlangsung sebagai berikut:
a. ketidakhadiran terdakwa tersebut berlangsung secara terus-menerus, sejak sidang
pengadilan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum oleh hakim sampai
dengan sidang pengadilan ketika hakim menjatuhkan putusannya dalam perkara
tindak pidana korupsi, atau
15 Lihat: Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.16 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , Cet. VI (Jakarta: Sinar Grafika 2006), hlm.203.
5
b. ketidakhadiran terdakwa tersebut hanya berlangsung pada satu atau beberapa kali
di antara sidang-sidang pengadilan sejak sidang pengadilan dibuka dan
dinyatakan terbuka untuk umum oleh hakim sampai dengan sidang pengadilan
ketika hakim menjatuhkan putusannya dalam perkara tindak pidana korupsi.
Agar sidang pengadilan dapat dilangsungkan tanpa kehadiran terdakwa, oleh
Pasal 38 ayat (1) ditentukan harus dipenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
a. terdakwa telah dipanggil secara sah;
b. terdakwa tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah.
Untuk dapat memanggil terdakwa secara sah, Penuntut Umum harus mengikuti
beberapa petunjuk sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 145 dan Pasal 146 ayat (1)
KUHAP. Sedangkan apa yang dimaksud dengan "tanpa alasan yang sah", baik di dalam
KUHAP maupun di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak ada ketentuan
yang dapat memberikan petunjuk, sehingga apa yang dimaksud dengan "tanpa alasan
yang sah" dalam Pasal 38 ayat (1) sepenuhnya tergantung dari pertimbangan hakim
untuk menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan oleh terdakwa.17
Dalam prakteknya faktor-faktor penyebab ketidak hadiran terdakwa dalam
pemeriksaan sidang pengadilan ini masih sering terjadi perdebatan penafsiran yang
berbeda-beda antara aparat penegak hukum, dan sehingga tidak jarang hal ini menjadi
salah satu sebab kasus korupsi tidak dapat diproses lebih lanjut dalam sidang
pengadilan. Sehingga upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak
pidana korupsi mengalami hambatan yang cukup serius dengan tidak hadirnya
terdakwa dalam persaidangan. Di samping itu kasus-kasus yang seperti ini menjadi
faktor pendorong bagi orang lain untuk ikut melakukan korupsi, baik di legislatif,
eksekutif maupun yudikatif.18
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian latar belakang dalam penulisan makalah ini, maka
permasalahan pokok dalam penelitian ini terletak pada masalah proses pemeriksaan
secara in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi penulis merumuskan
permasalahan antara lain sebagai berikut:
17 Ibid, hlm. 204.18 Darwan Prins, Tahun 2000, hlm. 110.
6
1. Bagaimana kedudukan dan proses pemeriksaan peradilan “tanpa dihadiri
terdakwa” (in absentia) khususnya dalam perkara korupsi?
2. Bagaimana upaya-upaya yang dapat ditempuh berdasarkan peraturan perundang-
undangan untuk mengatasi permasalahan pemeriksaan in absentia tersebut?
C. Tinjauan Kepustakaan
1. Kerangka Teori
a. Teori Keadilan Sosial dan Pengembalian Aset
Pengembalian kerugian keuangan negara akibat perbuatan korupsi memberikan
justifikasi kepada negara dalam melakukan pengembalian aset sebagaimana dikemukan
oleh Michael Levi sebagai berikut:19
1. alasan pencegahan (prophylactic), yaitu mencegah pelaku tindak pidana memiliki
kendali atas dana-dana untuk melakukan kajahatan lain di masa yang akan datang;
2. alasan kepatutan (propriety) yaitu karena pelaku tindak pidana tidak memiliki hak
yang pantas atas aset-aset tersebut;
3. alasan prioritas/mendahului (priority) yaitu karena tindak pidana memberikan hak
mendahului/prioritas kepada negara untuk menuntut aset hasil tindak pidana
daripada yang hak yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana;
4. alasan kepemilikan (proprietary) yaitu karena kenyataannya kekayaan diperoleh
melalui tindak pidana, maka negara memiliki kepentingan selaku pemilik
kekayaan tersebut.
Tindak pidana korupsi adalah tindakan merampas aset yang merupakan hak
negara sehingga negara kehilangan kemampuan untuk melaksanakan kewajiban dan
tanggung jawab untuk menyejahterakan masyarakat. Sebagai akibatnya, masyarakat
kehilangan hak-hak dasar untuk hidup sejahtera. Justifikasi negara untuk melakukan
upaya hukum baik melalui instrumen hukum pidana maupun perdata atas dasar
perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian keuangan negara akibat tindak
pidana korupsi dalam rangka melindungi hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. 20
Pengembalian kerugian keuangan negara ini merupakan bagian dari tugas dan
tanggung jawab negara untuk mewujudkan keadilan sosial, dipandang dari sudut teori
19 Michael Levi, Tracing and Recovering the Proceeds of Crime, Cardiff University, Wales, UK, Tbilisi, Georgia, June 2004, hlm.17.20 Lihat: Konsideran huruf b UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
7
keadilan sosial, memberikan justifikasi moral bagi negara untuk melakukan upaya-
upaya pengembalian tersebut.
Hasil penelitian disertasi Purwaning M. Yanuar telah memberikan suatu teori
tentang pengembalian kerugian keuangan negara yang dihubungkan dengan teori
keadilan sosial, yakni teori pengembalian aset. Teori pengembalian aset adalah teori
hukum yang menjelaskan sistem hukum pengembalian aset berdasarkan prinsip-prinsip
keadilan sosial yang memberikan kemampuan, tugas dan tanggung jawab kepada
institusi negara dan institusi hukum untuk memberikan perlindungan dan peluang
kepada individu-individu dalam masyarakat dalam mencapai kesejahteraan. Teori ini
dilandaskan pada prinsip dasar: berikan kepada negara apa yang menjadi hak negara.
Di dalam hak negara terkandung kewajiban negara yang merupakan hak individu
masyarakat, sehingga prinsip tersebut setara dan sebangun dengan prinsip berikan
kepada rakyat apa yang menjadi hak rakyat.21
Oleh karena tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran hak sosial dan
ekonomi masyarakat secara luas dan endemik, merusak sendi-sendi ekonomi nasional,
maka berdasarkan teori pengembalian aset memberikan kewenangan kepada institusi
negara dan institusi hukum untuk melakukan upaya pengembalian kerugian keuangan
negara atas dasar adanya kerugian negara akibat perbuatan korupsi, baik melalui
instrument perdata maupun pidana. Sedangkan tugas dan tanggung jawab kepada
institusi negara dan institusi hukum untuk memberikan perlindungan sebagaimana
disebut di atas tentu mengacu kepada kepentingan korban yang dirugikan, dalam hal ini
negara yang mewakili kepentingan hak sosial dan ekonomi masyarakat untuk
memberikan peluang kepada individu-individu dalam masyarakat dalam mencapai
kesejahteraan.
b. Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Berlakunya KUHAP telah menimbulkan perubahan fundamental, baik secara
konsepsional maupun secara implementasi terhadap tata cara penyelesaian perkara
pidana di Indonesia. Perubahan sistem peradilan ini mengakibatkan pula adanya
perubahan dalam cara berpikir, dan mengakibatkan pula perubahan sikap dan cara
bertindak para aparat penegak hukum secara keseluruhan. Apabila ditelaah secara teliti
isi ketentuan dalam KUHAP, maka sistem peradilan pidana di Indonesia terdiri dari
21 Purwaning M. Yanuar, Op.Cit, hlm.107.
8
komponen Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Lembaga Pemasyarakatan
sebagai aparat penegak hukum. Keempat aparat ini memiliki hubungan sangat erat satu
sama lain dan saling menentukan. Sistem peradilan pidana di sini dimaksudkan adalah
suatu rangkaian antar unsur/faktor yang saling terkait satu dengan yang lainnya
sehingga menciptakan suatu mekanisme sedemikian rupa sehingga sampai tujuan dari
sistem tersebut. Adapun tujuan dari sistem peradilan pidana tersebut adalah untuk
mencapai suatu masyarakat yang terbebas dari kejahatan, mengjhilangkan kejahatan
dan bukan kejahatanya.
Sebagaimana diketahui bahwa peradilan pidana merupakan sebagai suatu sistem,
maka berkaitan dengan teori sistem ini, Satjipto Rahardjo mendefinisikan sistem
sebagai berikut:
“Sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat kompleks, yang terdiri atas bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain. Pemahaman yang demikian itu hanya menekankan pada ciri keterhubungan dari bagian-bagiannya, tetapi mengabaikan cirinya yang lain, yaitu bahwa bagian-bagian tersebut bekerja secara aktif untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuan tersebut.”22
Lebih lanjut, Shrode & Voich menyatakan bahwa pengertian dasar yang
terkandung dalam sistem tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sistem itu berorientasi pada tujuan.
2. Keseluruhan adalah lebih dari sekadar jumlah dari bagian-bagiannya (wholism).
3. Suatu sistem berorientasi dengan sistem yang lebih besar, yaitu
lingkungannya (keterbukaan sistem).
4. Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga
(transformasi).
5. Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (keterhubungan).
6. Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (mekanisme kontrol).23
Selanjutnya, Fuller mengajukan suatu pendapat untuk mengukur apakah kita pada
suatu saat dapat berbicara mengenai adanya suatu sistem hukum.24 Ukuran tersebut
diletakkannya pada delapan asas yang dinamakan "principle of legality", yaitu:
22 Satjipto Rahardjo, Imu Hukum, Cet IV (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm.48.23 Loc Cit.24 Ibid., hlm. 51.
9
1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, yang dimaksud di
sini adalah bahwa ia tidak boleh mengandung sekadar keputusan-keputusan yang
bersifat ad hoc.
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.
3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian
itu tidak ditolak, peraturan itu tidak bisa dipakai untuk menjadi pedoman tingkah
laku. Membolehkan pengturan secara berlaku surut berarti merusak integritas
peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang.
4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.
5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu
sama lain.
6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang
dapat dilakukan.
7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga
menyebabkan seorang akan kehilangan orientasi.
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dan pelaksanaannya
sehari-hari.
Lebih lanjut, Fuller menyatakan bahwa kegagalan untuk menciptakan sistem yang
demikian itu bukan hanya melahirkan sistem hukum yang jelek, melainkan juga suatu
yang tidak bisa disebut sebagai sistem hukum sama sekali. Artikulasi sistem ini
memiliki makna yang luas dan komprehensif, bahkan dapat dikatakan sebagai suatu
proses yang signifikan, khususnya dalam sistem peradilan pidana. Dengan selalu tetap
memperhatikan makna "sistem" sebagai suatu proses dari peradilan pidana, tepatlah
definisi yang dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro, yaitu salah satu usaha
masyarakat untuk dapat mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-
batas toleransi. Tujuan Sistem Peradilan Pidana (selanjutnya disebut "SPP") seperti
dikutip oleh Norval Morris dari University of Chicago memiliki 3 tahap: a) Pra-
Ajudikasi: mencegah masyarakat menjadi korban; b) Era-Ajudikasi: menyelesaikan
kejahatan yang terjadi dengan memberi putusan (Pengadilan) yang sesuai dengan rasa
keadilan; c) Pasca-Ajudikasi: pelaku tidak melakukan kejahatan atau tidak mengulangi
kejahatan tersebut. Sebagai suatu kinerja, komponen dari Sistem Peradilan Pidana
semula terdiri dari Polisi, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan, ditambah sub-
sistem lainnya sebagai komponen, yaitu Jaksa. Sifat keterpaduan di antara sub-sistem
10
dari SPP (Polisi, Jaksa, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan) ini saling pengaruh
mempengaruhi, layaknya roda lokomotif yang berirama dan sistematis, tegas Minoru
Shikita (mantan Direktur UNAFEI). Dengan berkembangnya SPP, keterbatasan
komponen SPP sebagai sub-sistem (Polisi, Jaksa, Pengadilan dan Lembaga
Pemasyarakatan) memerlukan peninjauan kembali.25
Proses peradilan pidana adalah dalam arti jalannya suatu peradilan pidana, yakni
suatu proses sejak seorang diduga telah melakukan tindak pidana sampai seseorang
tersebut dibebaskan kembali setelah melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan
kepadanya. Adapun tujuan proses peradilan pidana adalah untuk mencari kebenaran
yang materiil dalam melaksanakan hukum pidana. Hal ini berarti harus mencari dan
melaksanakan ketentuan tertulis yang ada dalam hukum pidana, mencegah jangan
sampai menghukum seorang yang tidak bersalah.
Dalam konteks inilah dibicarakan tentang mekanisme peradilan pidana sebagai
suatu proses, atau yang disebut “criminal justice process”. Criminal justice process
dimulai dari proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka pengadilan, serta
diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan26 Peranan sistem
peradilan sebagai indeks demokrasi menjadi sangat penting, oleh karena dapat
meningkatkan wibawa penguasa dan sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Akan tetapi jika sistem peradilan gagal dalam pencapaian keadilan (miscarriages of
justice) akan rnerusak legitimasi dan integritas sistern peradilan (damaging the integrity
of the justice system). Tujuan mendasar dan sistem peradilan pidana ini dapat
dirumuskan antara lain sebagai berikut:
(a) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
(b) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
(c) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi
lagi kejahatan.
Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system) menunjukkan mekanisme kerja
(interkoneksi) penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan
sistem, yang terdiri dari lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
pemasyarakatan.
25 Indriyanto Seno Adji, Op. Cit, hlm.3.26 Romly Atmasasmita, Op. Cit, hlm.70.
11
Sistern peradilan yang baik akan menggambarkan karakteristik sistem yaitu
herorientasi pada tujuan yang sama (puposive behavior) pendekatan besifat menyeluruh
yang jauh dan sikap fragmentanis (wholism) selalu berinteraksi dengan sistem yang
lebih besar (openess) operasionalisasi bagian-bagiannya akan dapat menciptakan nilai
tertentu (value transformation), adanya unsur keterkaitan dan kecocokan antara sub
sistem (interrelatedness,) dan adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian
secara terpadu (control mechanism). Dalam kaitannya dengan peradilan pidana, maka
dalam implementasinya dilaksanakan dalam suatu sistem peradilan pidana. Tujuan
akhir dari peradilan ini tidak lain adalah pencapaian keadilan bagi masyarakat.
Keadilan merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang umumnya diakui di
semua tempat di dunia ini. Apabila keadilan itu kemudian dikukuhkan ke dalam
institusi yang namanya hukum, institusi itu harus mampu untuk menjadi saluran agar
keadilan itu dapat diselenggarakan secara saksama dalam masyarakat. Beberapa ciri
yang umumnya melekat pada institusi sebagai perlengkapan masyarakat yang demikian
itu adalah:
1. Stabilitas. Di sini kelahiran institusi hukum menimbulkan suatu kemantapan dan
keteraturan dalam usaha manusia untuk memperoleh keadilan.
2. Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat.
Di dalam ruang lingkup kerangka yang telah diberikan dan dibuat oleh
masyarakat itu, anggota-anggota masyarakat memenuhi kebutuhannya.
3. Sebagai kerangka sosial untuk kebutuhan manusia itu, maka institusi
menampilkan wujudnya dalam bentuk norma-norma. Norma-norma itulah yang
merupakan sarana untuk menjamin agar anggota-anggota masyarakat dapat
dipenuhi kebutuhannya secara terorganisasi.
4. Jalinan institusi. Sekalipun berbagai institusi dalam masyarakat itu diadakan
untuk menyelenggarakan kebutuhan-kebutuhan tertentu, tidak dapat dihindari
terjadinya tumpang-tindih di antara mereka.27
Lebih lanjut, dikatakan bahwa posisi hukum sebagai institusi sosial terlihat
dengan baik dalam bagan yang dibuat Henry C. Bredemeier yang memanfaatkan
kerangka besar sistem masyarakat dari Talcott Parson. Manfaat bagan Bredemeier
terletak pada kemampuannya untuk menunjukkan betapa pekerjaan hukum serta hasil-
27 Ibid, hlm. 118-120.
12
hasilriya tidak hanya merupakan urusan hukum, tetapi juga merupakan bagian dari
proses kemasyarakatan yang lebih besar.28
Bagan 1:
Posisi Hukum Sebagai Institusi Sosial
(Pola yang dibuat oleh Bredemeier ini menempatkan pengadilan sebagai pusat
kegiatan)
Hukum membutuhkan kekuasaan, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan kekuasaan
itu untuk menguasai hukum. Kekuasaan yang menekan hukum pada akhirnya akan
merusak sistem hukum secara keseluruhan.29 Suatu sistem dikatakan hancur manakala
sebagai akibat dari pertukarannya dengan perubahan-perubahan tersebut ia tidak
mampu mempertahankan eksistensinya sehingga harus mengalah terhadap tekanan
tersebut. Sebaliknya, apabila ia sanggup mengatasi tantangan-tantangan tersebut dan
mampu beradaptasi dengan baik terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di
sekelilingnya, sistem itu akan hidup terus.30 Konsekuensi logis dan dianutnya proses
hukum yang adil atau layak (due process of law) harus pula didukung oleh sikap batin
(penegak hukum) yang menghormati hak-hak warga masyarakat. Dalam pengertian
fisik (struktural) sistem peradilan pidana harus diartikan sebagai kerjasama antara
pelbagai sub sistem peradilan (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan) untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan jangka pendek adalah untuk
resosialisasi pelaku tindak pidana, jangka menengah untuk mencegah kejahatan dan
jangka panjang untuk kesejahteraan dan keamanan masyarakat.
Dilema dalam sistem peradilan di Indonesia adalah masalah model atau ideologi
yang dipakai dalam KUHAP antara “Adversary Model “ dan “Non Adversary Model “.
Meskipun kedua model ini memiliki pandangan yang sama tentang kebenaran suatu
proses penyelesaian perkara. pidana, akan tetapi antara keduanya ada perbedaan yang 28 Ibid, hlm.143.29 Ibid, hlm.146.30 Ibid, hlm.190.
13
Proses Adaptif(Ekonomi)
Proses Pencapaian Tujuan (Politik)
Proses Mempertahankan
Pola (Budaya)
HUKUM(mengintegrasikan,
mengkoordinasikan)
Organisasi yang efisien
Legitimasi
Keadilan
fundamental dalam mengungkapkan nilai nilai kebenaran yaitu bila “adversary model“
berpendapat bahwa kebenaran itu hanya dapat diperoleh melalui atau diungkapkan
dengan memberikan kesempatan kepada masing-masing pihak ( tertuduh dan penuntut
umum ) untuk mengajukan argumentasi dan bukti. Maka “non adversary model”
berpendapat bahwa kebenaran suatu tindak pidana hanya dapat diperoleh atau
diungkapkan melalui suatu penyelidikan oleh pihak pengadilan yang tidak memihak.
Sistem pembuktian “ adveversary model” ditujukan untuk mengurangi kemungkinan
dituntutnya seseorang yang nyata-nyata tidak bersalah, sekalipun mengandung resiko
orang yang bersalah dapat terhindar dari penjatuhan hukuman, sebaliknya sistem “non
adversary model” lebih cenderung ditujukan untuk mencapai kebenaran ( materiil )
dan suatu perkara pidana.
2. Kerangka Pemikiran
Bertitik tolak pada ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
yang menyimpang dari ketentuan Pasal 195 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana ( KUHAP ) yang berbunyi sebagai berikut: Bahwa Pengadilan memutus perkara
dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain.
Demikian juga ketentuan dalam Pasal 214 KUHAP yang menyatakan, bahwa jika
terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan, maka
dalam hal ini terdapat kemungkinan proses peradilan pidana in absentia dilakukan.
Pemberlakuan proses peradilan in absentia ini apabila terdakwa tidak dapat dihadirkan
di depan sidang pengadilan yang disebabkan antara lain karena terdakwa meninggal
dunia, terdakwa melarikan diri, atau alasan yang sah lainnya. Penyimpangan pasal 38
UU nomor 31 Tahun 1999 ini, di dalam penjelasannya dimaksudkan untuk
menyelamatkan kekayaan negara sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun, perkara
dapat diperiksa dan diputus oleh hakim. Secara sistematis dapat dijabarkan dalam
kerangka pemikiran bahwa pada prinsipnya terdakwa wajib dihadirkan dalam sidang
pengadilan baik melalui pemanggilan secara sah maupun dengan paksaan, kecuali
ketidakhadiran tersebut antara lain disebabkan terdakwa tidak diketahui alamat yang
jelas (melarikan diri), terdakwa sakit ingatan dan alasan yang sah lainnya. Adapun
kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Bagan 2:
Kerangka Pemikiran Peradilan In Absentia Dalam Perkara Korupsi
14
POLRI
D. Pembahasan
1. Kedudukan Pemeriksan Peradilan In Absentia Dalam Hukum Acara
Pengertian mengadili atau menjatuhkan hukuman secara in absentia adalah
mengadili seorang terdakwa dan dapat menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa itu
sendiri.31 Dalam perkara perdata, mengadili atau menjatuhkan putusan tanpa hadirnya
tergugat sering kali dilakukan oleh hakim, setelah dilakukan pemanggilan secara sah
menurut ketentuan hukum yang berlaku. Dalam perkara perdata pada umumnya, sering
hanya diwakilkan pada wakil atau kuasa dari pihak-pihak yang berperkara, sedang yang
bersangkutan sendiri tidak perlu hadir dalam pemeriksaan sidang tersebut.32 Ketentuan
ini berbeda dalam perkara pidana pada umumnya menghendaki hadirnya terdakwa
dalam pemeriksaan sidang yang bersifat terbuka, sebagaimana diisyaratkan pada Pasal
1 sub 15 KUHAP, bahwa terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa
dan diadili di sidang pengadilan. Prinsip hadirnya terdakwa dalam perkara pidana ini
didasarkan atas hak-haknya sebagai manusia yang berhak membela diri dan
mempertahankan hak-hak kebebasannya, harta bendannya ataupun kehormatannya. Di
samping itu adanya hak terdakwa yang dianggap tidak bersalah sebelum ada hukuman
yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau pasti oleh pengadilan, dan dalam istilah
asing dikenal dengan asas presumption of innocence. Dalam praktek peradilan pidana,
tidak hadirnya terdakwa menyebabkan pemeriksaan ditunda, ini berarti untuk
sementara waktu pemeriksaan perkara tidak dilanjutkan. Ketidakhadirnya terdakwa
31 Djoko Prakoso, Op. Cit, hlm.54.32 Loc. Cit. Jadi, dalam perkara perdata permasalahan pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa tidak merupakan permasalahan yang cukup berarti, namun hal ini menjadi berbanding terbalik dalam pemeriksaan dalam perkara pidana khususnya dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi.
15
TERDAKWA TIDAK HADIR
TERDAKWA HADIR
- Sakit ingatan- Buron- Meninggal
TERSANGKA PENYIDIKAN
KEJAKSAAN
PENUNTUTAN
PENGADILAN
dalam pemeriksaan disebabkan beberapa hal antara lain : tidak diketahui alamat tetap,
bertempat tinggal atau pergi keluar negeri, atau sengaja melarikan diri (buron).
Dasar hukum peradilan in absentia, memang secara implisit tidak dicantumkan
secara tegas dalamKUHAP, baik dalam ketentuan pasal-pasal yang bersangkutan
maupun di dalam penjelasannya. Akan tetapi dalam suatu keadaan tertentu,
pemeriksaan sidang pengadilan yang memutus perkara pidana dapat mengeyampingkan
ketentuan larangan pemeriksaan tanpa hadirnya terdakwa. Hal ini didasarkan pada
ketentuan yang terkandung dalam Pasal 196 (1) jo Pasal 214 KUHAP sebagai berikut :
Pasal 196 (1) :
“Pengadilan memutuskan perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal
undang-undang ini menentukan lain”
Pasal 214 :
(1) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara
dilanjutkan;
(2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan
segera disampaikan kepada terpidana.
Selain itu ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai peradilan in absentia
dalam KUHAP, juga terdapat pengaturan peradilan in absentia dalam peraturan
perundang-undangan yang bersifat khusus, dapat dilihat antara lain:
- Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951, Lembaran Negara
No. 9 Tahun 1951.
- Pasal 16 UU Darurat No. 7 Tahun 1955 (UU Tindak pidana Ekonomi)
- Penetapan Presiden No. 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi
- Pasal 23 UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi
- Pasal 38 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah dirubah dengan Undaang-undang Nomor 20
Tahun 2001.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang peradilan in absentia
sebagaimana disebut di atas adalah peraturan perundang-undangan yang bersifat
khusus, dengan sifat kekhususannya ini dan berdasarkan asas lex specialis derogat lex
generalis, maka ketentuan pasal dalam peraturan perundang-undangan yang khusus ini
mengeyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex generali)
16
sebagaimana diatur dalam KUHAP. Adalah suatu pengecualian untuk memberlakukan
peradilan in absentia dalam peraturan perundang-undangan yang menyebutkan
kebolehan untuk melakukan peradilan in absentia. Kebolehan ini juga diakui dalam
KUHAP yang menyebutkan di akhir kalimat Pasal 196 ”... kecuali dalam hal undang-
undang ini menentukan lain”, kalimat yang hampir sama juga ditemui dalam Pasal 18
ayat (1) UUKK yang menyatakan: ”Pengadilan memeriksan dan memutus perkara
pidana dengan hadirnya terdakwa kecuali apabila undang-undang menentukan lain.”
Jadi, jelas bahwa pemeriksaan sidang pengadilan secara in absentia telah mendapatkan
legitimasi keberlakuannya dalam perkara-perkara tindak pidana tertentu sepanjang
dalam undang-undang tindak pidana tertentu tersebut menyebut tentang kebolehan
pemeriksaan secara in absentia. Terlebih lagi dalam perkara tindak pidana korupsi,
pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi dengan ketidakhadiran terdakwa menjadi
semakin jelas pengaturannya yakni dalam Penjelasan Pasal 38 ayat (1) UUPTPK yang
menyebutkan: ”Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan
kekayaan negara, sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun, perkara dapat diperiksa
oleh hakim.”
Pembentuk undang-undang menyadari bahwa terhadap pemeberantasan tindak
pidana korupsi, bukan hanya menjatuhkan hukuman kepada pelaku tindak pidana
korupsi melainkan juga adalah mengupayakan pengembalian kerugian keuangan negara
akibat tindak pidana korupsi. Pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak
pidana korupsi harus dilakukan mengingat tindak pidana korupsi telah mengakibatkan
bencana bagi kehidupan ekonomi nasional dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Adalah sangat beralasan
untuk melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi dengan cara-cara yang
luar biasa. 33 Cara-cara yang luar biasa salah satunya adalah penerapan peradilan in
absentia terhadap tersangka atau terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi.
2. Proses Sistem Peradilan In Absentia Dalam Tindak Pidana Korupsi
Pada prinsipnya proses pemeriksaan tindak pidana korupsi di depan sidang
pengadilan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hukum acara, kecuali undang-
undang menentukan lain. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 38 UU Nomor 31
Tahun 1999, yang berbunyi :
33 Lihat Penjelasan Umum UUPTPK.
17
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang
pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa
kehadirannya.
(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan,
maka terdakwa wajib diperiksa, dari segala keterangan saksi dan surat-surat yang
dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang
yang sekarang.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut
umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau
diberitahukan kepada kuasanya.
(4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat
bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana
korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan
barang-barang yang telah disita.
(6) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat
dimohon upaya banding.
(7) Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada
pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(5), dalam waktu 30 ( tiga puluh ) hari terhitung sejak tanggal pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Ketentuan-ketentuan di atas menunjukkan bahwa pada Pasal 38 ayat (1) UU
Nomor 31 Tahun 1999 memungkinkan adanya peradilan “in absentia ” yaitu perkara
tindak pidana korupsi dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa. Ditegaskan
pula jika terdakwa hadir pada sidang berikutnya maka di samping terdakwa wajib
diperiksa, maka keterangan dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya
dianggap diucapkan dalam sidang tersebut. Menurut penjelasan Pasal 38 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, bahwa pelaksanaan peradilan “in absentia”
dimaksudkan adalah untuk menyelamatkan keuangan negara. Akan tetapi dalam
pelaksanaannya pasal ini sering disiasati dengan alasan-alasan sakit atau sudah pikun,
dengan mengacu pada ketentuan Pasal 44 KUHP. Padahal jika dilihat dari ketentuan
18
Pasal 44 KUHP tersebut, hanya dinyatakan bahwa orang yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya hanyalah yang melakukan tindak
pidana dalam keadaan “sakit ingatan ”. Sebaliknya orang yang setelah melakukan
tindak pidana menjadi sakit atau kurang ingatannya tetap dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatan yang dilakukannya (contoh; kasus Muchtar Pakpahan dan.A.M. Fatwa).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat (2) maka apabila terdakwa hadir pada
sidang berikutnya ” sebelum ” putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa.
Artinya, walaupun pada waktu itu acara pemeriksaan sudah sampai pada tahap tuntutan
atau pembacaan vonis maka harus ditunda untuk mendengarkan keterangan terdakwa.
Meskipun begitu semua keterangan saksi dan surat-surat dalam pemeriksaan terdahulu
tidak perlu diulangi lagi dan dianggap sebagai diucapkan dalam sidang pemeriksaan
tersebut. Apabila terdakwa tidak hadir maka selanjutnya putusan yang dijatuhkan
secara in absentia diumumkan, yaitu mengumumkan petikan surat putusan pengadilan
dengan cara menempelkannya pada surat kabar atau ditempelkan di papan
pengumuman pengadilan atau ditempat-tempat lainnya. Atas putusan in absentia, maka
terdakwa atau kuasa hukumnya dapat mengajukan banding ( Pasal 38 ayat 4 ).
Ketentuan ini dalam praktek dapat menimbulkan masalah karena pada ayat ini tidak
ditentukan secara tegas apakah permintaan banding itu dapat dilakukan oleh penasihat
hukum tanpa kehadiran terdakwa ? Misalnya kasus Tommy Soeharto dimana
permintaan peninjauan kembali diajukan oleh penasihat hukumnya karena si terdakwa
melarikan diri (buron). Jadi hal ini pula yang dapat mendorong tersangka pelaku tindak
pidana korupsi untuk melarikan diri karena merasa hak-haknya sebagai terdakwa tetap
dilindungi oleh hukum.
3. Perkara Pemeriksaan In Absentia Dalam Perkara Tindak Pidana
Korupsi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.
1032/PID/B/2001/ PN. JKT.PST)
1). Kasus Posisi34
Bank Harapan Sentosa (BHS) adalah salah satu bank swasta nasional Indonesia
yang sahamnya dimiliki oleh keluarga Rahardja. Sejak berdiri sampai tahun 1996, BHS
selalu dinyatakan dalam kondisi baik dan sehat berdasarkan hasil
34 Dirangkum berdasarkan berkas perkara di tingkat penyidikan, tingkat penuntutan, tingkat pengadilan, putusan pengadilan tingkat pertama, dan memori banding Kantor Hukum O.C. Kaligis.
19
penelitian/pemeriksaan Tim Pengawasan Bank Indonesia. Pada bulan November 1997,
Pemerintah Indonesia mengumumkan 16 (enam belas) bank swasta nasional yang
dihentikan pengoperasiannya dan dimasukkan ke dalam program pembubaran usaha
(likuidasi) dan BHS termasuk di dalamnya. Pada saat penghentian operasional dan
Kkuidasi itu berlangsung, Hendra Raharja berkedudukan sebagai Komisaris sekaligus
pemegang saham mayoritas, sedangkan Direksi BHS terdiri dari Andre Widijanto,
Sherly Konjongian, Hendro Suwono dan Muhammad Nur Tajeb. Berdasarkan UU
Perbankan dan Peraturan Pelaksanaannya, apabila sebuah bank dinyatakan masuk
dalam program likuidasi, Pemerintah dan Bank Indonesia akan membekukan operasi
bank tersebut. Bank Indonesia kemudian akan membentuk tim likuidasi yang
bertanggung jawab untuk melakukan audit atas aset dan tanggung jawab bank tersebut.
Sejak likuidasi BHS diumumkan oleh Pemerintah sampai tahun berikutnya, proses
audit terhadap aset dan tanggung jawab BHS maupun audit terhadap aset dan tanggung
jawab pemilik BHS belum selesai dilakukan.35 Sebagian harta kekayaan BHS maupun
harta kekayaan pemegang saham disita oleh Bank Indonesia. Para Direktur BHS
ditetapkan sebagai Tersangka dalam perkara tindak pidana di bidang perbankan
berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (1) dan (2) b UU Perbankan. Tim Likuidasi Bank
Indonesia tidak menyerahkan surat-surat asli kepemilikan aset dan dokumen-dokumen
asli BHS kepada kejaksaan untuk dijadikan bukti di pengadilan. Pada waktu itu Bank
Indonesia sedang melakukan audit.36 Bersamaan dengan itu, Tim Likuidasi Bank
Indonesia mengajukan gugatan perdata terhadap para pemegang saham BHS. Gugatan
didasarkan pada kewajiban BHS untuk mengembalikan pinjamannya kepada Bank
Indonesia. Bersamaan dengan gugatan itu juga dimohonkan sita yang kemudian
menjadi dasar bagi pelelangan aset-aset BHS. Setelah BHS dilikuidasi, Hendra Raharja
memperlihatkan kerja sama untuk menyelesaikan permasalahan tanggung jawabnya
sebagai pemegang saham kepada Tim Likuidasi BI dengan melakukan berbagai
perjanjian untuk mengembalikan utang BHS kepada Bank Indonesia. Dalam perjanjian
tersebut, Hendra Raharja menyerahkan aset-aset pribadinya kepada Tim Likuidasi dan
35 Pada tanggal 3 Juli 1998, pada saat audit Bank Indonesia sedang berlangsung, Mayor Polisi Drs. Mustahari Sembiring membuat Laporan Polisi No.: Pol.LP/182/Vn/1998/Serse.Ek, mengenai terjadinya tindak pidaria korupsi yang terjadi di BHS dengan Hendra Rahardja sebagai tersangka, tetapi Hendra tidak pernah dipanggil untuk diperiksa atau dibuat BAP karena pada saat itu ia berada di Australia.36 Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia: (1) Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. (2) Bank Indonesia wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
20
sebagai gantinya Tim Likuidasi memberikan surat pernyataan release and discharge
(R&D), yaitu bahwa dengan penyelesaian dan pemberian aset tersebut, Hendra Raharja
dilepaskan dari segala tuntutan. Karena Hendra Rahardja tidak ditahan dan karena
adanya Surat Pernyataan release and discharge tersebut, Hendra Raharja kemudian
berangkat ke Sydney, Australia, dan bermukim di sana. Perkara tersebut kemudian
dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Pada tanggal 13 April 1999 Kejaksaan
Tinggi DKI Jakarta mengirimkan surat kepada Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes
Polri untuk menyerahkan tersangka kepada Penuntut Umum agar perkara dapat
dilimpahkan ke pengadilan.37 Akan tetapi, penyidik tidak menyerahkan tersangka
kepada Penuntut Umum dan kemudian meminta bantuan Interpol untuk menangkap
dan menahan Hendra Rahardja yang berada di Sydney, Australia. Alasan penangkapan
tersebut adalah karena Hendra Rahardja diduga melakukan tindak pidana pencucian
uang di Sydney, yang uangnya berasal dari hasil tindak pidana yang dilakukannya di
Indonesia. Interpol kemudian mengeluarkan interpol red notice.
Pada tanggal 1 Juni 1999 Hendra Rahardja ditahan oleh Australia Federal Police
dan 3 (tiga) hari kemudian dipindahkan dari tahanan polisi Sydney ke Penjara
Silverwater di Sydney. Surat perintah penahanan Hendra Rahardja baru dikeluarkan di
Indonesia pada tanggal 18 Juni 199938 dan kemudian terhadap surat tersebut
dimohonkan pemeriksaan Praperadilan. Berdasarkan Putusan Praperadilan tanggal 29
Juni 200039, ditetapkan bahwa Surat Perintah Penahanan tertanggal 18 Juni 1999 No.
Pol.: SPP/R/48/M/VI/1999/ Ditserse Ek. yang dikeluarkan oleh Direktur Reserse
Tindak Pidana Ekonomi Polri adalah tidak sah.40 Hendra Rahardja yang ditahan di
Sydney mengajukan keberatan atas penahanannya dan menolak untuk diekstradisi ke
Indonesia. Dalam putusan Federal Court of Australia New South Wales District
Registry No. N531 of 2000 tertanggal 1 Agustus 2000, Hakim memutuskan untuk tidak
mengabulkan permohonan ekstradisi Hendra Rahardja ke Indonesia.41Hendra Rahardja
37 Hal ini sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) jo Pasal 146 KUHAP.38 Surat Perintah Penahanan No.Pol.: SPP/R/48/M/VI/1999/Ditserse Ek.39 Putusan Praperadilan No. 07/Pid/Prap/2000/PN.Jkt Sel.40 Putusan Praperadilan No. 07/Pid/Prap/2000/PN.Jkt.Sel., tgl. 29 Juni 2000, yang menyatakan Surat Penahanan terhadap Hendra Rahardja tidak sah, diputus oleh Hakim Abdul Madjid Rahim, S.H., O.C. Kaligis, Cross Examination ..., op.cit., hlm. 94-95; Lihat juga Majalah TEMPO, tanggal 2 Juli 2000, "Buron ke Australia, Menuntut di Indonesia", him. 143; Majalah FORUM KEADILAN, No. 18, tanggal 6 Agustus 2000, "Tiga Menguak Hendra", hlm. 63; Majalah TEMPO, tanggal 6 Agustus 2000, "Alotnya Menghukum Hendra", hlm. 129.41 O.C Kaligis, Cross Examination . . . , Op. Ciit., hlm. 407-409. Kasus ini terjadi di Federal Court of Australia, New South Wales District, perkara No. 531 of 2000, antara Hendra Raharja vs. Negara Republik Indonesia, di mana Indonesia meminta ekstradisi Hendra Raharja untuk kasus korupsi yang
21
kemudian mengajukan gugatan Habeas Corpus42 atas penahanannya43di New South
Wales-Australia. Kasus tersebut menyangkut penahanan Hendra Rahardja yang
dilakukan atas permintaan Polri kepada Interpol dan pihak Kepolisian Federal Australia
memenuhi permintaan tersebut dan menahannya untuk kemudian diekstradisi ke
Indonesia. Hendra Rahardja menolak ekstradisi dengan alasan tidak ada jaminan hak
asasi baginya di Indonesia.
Pengadilan Australia menunda ekstradisi sampai selesainya pemeriksaan perkara
Habeas Corpus yang dilakukan oleh Kuasa Hukum Hendra Rahardja, Brett Walker, di
Sydney - NSW. Pelaksanaan ekstradisi tersebut tertunda karena adanya dugaan
perlakuan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Kekhawatiran bahwa
Hendra Rahardja akan disiksa dan ditekan dalam penyidikan mengakibatkan ia batal
diekstradisi, sekalipun antara Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia telah
dibuat perjanjian ekstradisi.44 Pada tanggal 3 Juli 1998, pada saat Bank Indonesia masih
melakukan audit terhadap BHS, Mayor Polisi Drs. Mustahari Sembiring mem-buat
Laporan Polisi No. Pol.LP/182/Vn/1998/Serse.Ek, mengenai terjadinya tindak pidana
korupsi yang terjadi di BHS dengan Hendra Rahardja sebagai tersangka, tetapi Hendra
tidak pernah dipanggil untuk diperiksa atau dibuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
karena pada saat itu ia berada di Australia.
Hendra Rahardja kemudian diadili secara in absentia di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dalam dugaaan tindak pidana korupsi. Kejaksaan menyatakan bahwa
terdakwa tidak diketahui keberadaannya, padahal keberadaan Hendra Rahardja di
penjara Silverwater, Sydney, Australia, diketahui oleh pihak Kejaksaan, Departemen
Luar Negeri, Mahkamah Agung R.I., Interpol maupun Mabes Polri. Bahkan, mereka
telah mengupayakan ekstradisi Hendra Rahardja melalui jalur diplomatik, tetapi
ditolak. Hal ini dapat dibuktikan dari berita-berita yang menyangkut persidangan
Hendra Rahardja di Australia. Ketidakhadiran terdakwa dalam persidangan tersebut
menghasilkan putusan yang menghukum Hendra Rahardja dan menetapkan sita atas
seluruh aset Hendra Rahardja di Indonesia.
2). Dakwaan
didakwakan kepadanya, dipermasalahkan mengenai perlakuan diskriminatif etnis China dalam proses peradilan di Indonesia.42 Tubuhku adalah milikku.43 O.C. Kaligis, Cross-Examination, (Bandung: Alumni, 2000), hlm. 262,406-408.44 UU No. 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Australia.
22
Pasal 1 ayat (1) sub a juncto Pasal 28 juncto Pasal 34 c Undang-undang Nomor 3
Tahun 1971 juncto Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 1 ayat (2)
juncto Pasal 55 ayat (1) sub 1e juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
3). Putusan
Perkara pemeriksaan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara in absentia
yaitu: Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 1032/PID/B/2001/ PN. JKT.PST.
Dalam perkara ini Pengadilan Jakarta Pusat menjatuhkan putusan terhadap terdakwa :
1. HENDRA RAHARDJA, Umur 58 tahun, tempat tanggal lahir Makasar 3
Desember 1942, jenis kelamin laki-laki, berkebangsaan Indonesia, Tempat tinggal
Jl. Widya Chandra 5 No. 21 Jakarta Selatan, Agama Budha, Pekerjaan Mantan
Komisaris Utama PT. Bank Harapan Santosa.
2. EKO EDI PUTRANTO, Umur 34 tahun, Tempat tanggal lahir Jakarta 9 Maret
1967, Jenis Kelamin Laki-laki, Kebangsaan Indonesia, Tempat tinggal Jl. Widya
Chandra 5 No. 21 Jakarta Selatan, Agama Budha, Pekerjaan Mantan Komisaris
PT. Bank Harapan Sentosa.
3. SHERNY KOJONGIAN, Umur 38 tahun, Tempat tanggal lahir Manado, Jenis
Kelamin Perempuan, Kebangsaan Indonesia, Tempat tinggal Taman Kebon Jeruk
Blok 1.8 No. 6 Jakarta Barat, Agama Kristen, Pekerjaan Mantan Direktur PT.
Bank Harapan Sentosa.
Dalam pertimbangannya Majelis Hakim mempertegas pendapat tentang
persidangan secara in absentia, bahwa berdasarkan penetapan Hakim Ketua Majelis
tertanggal 20 Agustus 2001 Nomor : 1032/Pid.B/2001/PN.JKT.PST., telah
ditetapkan bahwa pemeriksaan dalam perkara ini dilakukan tanpa hadirnya para
terdakwa (In Absentia) dengan alasan para Terdakwa telah dipanggil secara patut oleh
Jaksa Penuntut Umum dan pula atas perintah Majelis Hakim Jaksa Penuntut Umum
telah melakukan pemanggilan melalui surat kabar: MEDIA INDONESIA, TERBIT,
REPUBLIKA dan SUARA PEMBARUAN akan tetapi para Terdakwa tidak hadir.
Menimbang, bahwa seperti dimaklumi pada saat ini Pemerintah telah berupaya
segiat-giatnya memberantas tindak pidana korupsi, akan tetapi ternyata dalam
menindaklanjuti seringkali banyak hambatan-hambatan karena terbentur atau adanya
kesulitan-kesulitan untuk mendatangkan para Tersangka, mengingat yang bersangkutan
tidak berada lagi di Negara Republik Indonesia akan tetapi telah berada di negara lain
(luar negeri), sedangkan para Tersangka tersebut telah diduga merugikan keuangan
23
negara yang jumlahnya tidak sedikit serta tidak dapat dipastikan kapan mereka ini
kembali ke tanah air (Indonesia).
Menimbang, bahwa apabila hal yang demikian ini dibiarkan berlarut-larut yaitu
pemeriksaan dalam tahap penyelidikan dan penyidikannya menunggu para Tersangka
kembali ke tanah air sedangkan kembalinya belum dapat diketahui, akan
mengakibatkan kerugian lebih banyak lagi karena harta kekayaan atau asset-asset yang
ada di dalam negeri tidak dapat di apa-apakan, sedangkan di lain pihak masyarakat
selalu menuntut agar segala bentuk kejahatan khususnya yang menyangkut tindak
pidana korupsi segera diberantas.
Menimbang, bahwa dengan adanya hambatan-hambatan dan kesulitan-kesulitan
untuk memeriksa orang-orang yang disangka telah melakukan tindak pidana korupsi
dengan meninggalkan tanah air, maka Majelis dengan mendasarkan pada
ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1974 yang menentukan
bahwa Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan
menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Menimbang, bahwa bertitik tolak pada ketentuan tersebut Majelis akan
memberikan jalan upaya agar mereka yang berada di luar negeri yang disangka
melakukan tindak pidana korupsi dapat diperiksa dan diadili sudah barang tentu dengan
tetap berpedoman kepada azas praduga tak bersalah.
Menimbang, bahwa jalan atau upaya Majelis Hakim yaitu dengan mengartikan
tentang pengertian In Absentia tidak diartikan secara sempit akan tetapi diartikan secara
luas, yaitu pemeriksaan In Absetia harus diartikan dan/atau dikenakan kepada siapa saja
yang menurut sangkaan dan dugaan telah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi
dapat diperiksa secara In Absentia baik orang tersebut diketahui maupun tidak
diketahui keberadaannya di luar maupun di dalam negeri dan telah dipanggil secara
patut, sehingga hal yang demikian itu akan mempermudah pemerintah untuk
memeriksa kepada yang bersangkutan.
Menimbang, bahwa selanjutnya mungkin timbul pertanyaan, apakah hal yang
demikian itu bukankah merupakan pelanggaran terhadap hak azasi manusia, menurut
hemat Majelis adalah tidak, karena yang bersangkutan telah dipanggil secara patut dan
dalam hal ini telah diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 oleh karenanya apabila mereka akan menggunakan hak-haknya untuk beracara
24
baik tingkat penyidikan dan penuntutan serta pemeriksaan dimuka persidangan dapat
kembali ke tanah air.
Dalam amar putusannya Mejelis Hakim mengatakan bahwa para terdakwa
bersalah melakukan kejahatan tindak pidana korupsi melanggar pasal 1 ayat (1) sub a jo
28 jo. 34 c Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 pasa 1 ayat (2) jo pasal 55 ayat (1) sub 1 e jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Menghukum para terdakwa :
1. Menyatakan Terdakwa I : Hendra Rahardja dan Terdakwa II Eko Edy Putranto
dan terdakwa III Sherly Kojongian yang diadili secara In Absentia terbukti
secara sah dan ”meyakinkan bersalah melakukan tindak Pidana Korupsi secara
bersama-sama dan berlanjut”,---------------
2. Menghukum kepada Para Terdakwa In Absentia tersebut masing-masing :
---------------------------------------------------------------------------
a) Terdakwa I : HENDRA RAHARDJA dengan Pidana Penjara : seumur
hidup ; ------------------------------------------------------------
b) Terdakwa II : EKO EDY PUTRANTO dengan Pidana Penjara 20 (dua
puluh) tahun ;-------------------------------------------------------
c) Terdakwa III : SHERNY KOJONGIAN dengan Pidana Penjara 20 (dua
puluh) tahun ;-------------------------------------------------------
3. Menghukum para Terdakwa dengan pidana denda masing-masing sebesar Rp.
30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak
dibayarkan harus diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan ;
---------------------------------------------------------------------------
4. Menyatakan barang bukti yang berupa Tanah dan Bangunan berikut surat-
suratnya yang terlampir dalam daftar barang bukti dan barang bukti pengganti
berupa hasil lelang barang bukti sebesar Rp. 13.529.150.800,- (tiga belas milyar
lima ratus dua puluh sembilan juta seratus lima puluh ribu delapan ratus rupiah)
dirampas untuk Negara, sedangkan yang berupa Dokumen Asli dikembalikan
kepada Bank Indonesia dan Tim Likuidasi PT. BHS DL, sedangkan foto copy
yang dilegalisir tetap terlampir dalam berkas perkara ; ------------------------------
5. Menghukum para Terdakwa secara tanggung renteng untuk membayar uang
pengganti sebesar Rp. 1.950.995.354.200,- (satu triliyun sembilan ratus lima
puluh empat ribu dua ratus rupiah); ------------------------------
25
6. Menghukum masing-masing terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.
7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah) ;
4). Analisis
Dalam konteks tindak pidana korupsi, pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi mengacu kepada proses pelaku tindak pidana korupsi dicabut, dirampas,
dihilangkan haknya atas hasil/keuntungan-keuntungan dari tindak pidana dan/atau
dicabut, dirampas, dihilangkan haknya untuk menggunakan hasil/keuntungan-
keuntungan tersebut sebagai alat/sarana untuk melakukan tindak pidana lain. Dalam
kasus Hendra Rahardja CS yang telah diputus oleh Pengadilan secara in absentia telah
sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana sebagaimana yang ditentukan dalam
KUHAP dan UUPTPK yang menekankan pada upaya pengembalian kerugian
keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Dalam Putusan
No.1032/PID/B/2001/PN.JKT.PST, Majelis Hakim berpendapat bahwa:
1. Para terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut oleh Jaksa Penuntut Umum
dan pula atas perintah Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum telah melakukan
pemanggilan melalui berbagai Surat Kabar;
2. Dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi yang tengah digalakkan
oleh pemerintah serta tuntutan masyarakat luas agar perkara tindak pidana
korupsi diberantas berdasarkan asas keadilan selain asas kepastian hukum yang
tentu juga tetap dijaga. Untuk memberlakukan peradilan in absentia terhadap
tersangka dan/atau terdakwa yang berada di luar negeri seperti contoh Hendra
Rahardja, menimbulkan masalah dalam pelaksanaan peradilan yang menuntut
diselesaikannya perkara korupsi sesuai dengan asas prioritas. Terlebih lagi
kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan tindak pidana korupsi tersebut
sangatlah besar dan terhadap adanya dugaan kerugian keuangan negara ini tidak
dapat diapa-apakan.
3. Untuk menuntaskan permasalahan ini, maka Majelis Hakim juga mendasarkan
pada ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1974
yang menentukan bahwa Hakim sebagai penegak hukum wajib menggali,
mengikuti dan menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Sedangkan
pemeriksaan secara in absentia tetap menghormati dan berpedoman kepada
asas praduga tak bersalah. Namun, Majelis Hakim juga mengartikan tentang
pengertian In Absentia tidak diartikan secara sempit akan tetapi diartikan secara
26
luas, yaitu pemeriksaan In Absetia harus diartikan dan/atau dikenakan kepada
siapa saja yang menurut sangkaan dan dugaan telah melakukan perbuatan tindak
pidana korupsi dapat diperiksa secara In Absentia baik orang tersebut diketahui
maupun tidak diketahui keberadaannya di luar maupun di dalam negeri dan telah
dipanggil secara patut, sehingga hal yang demikian itu akan mempermudah
pemerintah untuk memeriksa kepada yang bersangkutan.
4. Majelis Hakim juga menyatakan bahwa peradilan in absentia bukankah
merupakan pelanggaran terhadap hak azasi manusia, karena yang bersangkutan
telah dipanggil secara patut dan dalam hal ini telah diatur dalam Pasal 38 ayat
(1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 olehkarenanya apabila mereka akan
menggunakan hak-haknya untuk beracara baik tingkat penyidikan dan
penuntutan serta pemeriksaan dimuka persidangan dapat kembali ke tanah air.
Selanujtnya, apabila peradilan in absentia ini dihubungkan dengan teori sistem
khususnya dalam Sistem Peradilan Pidana45, maka sistem menuntut adanya orientasi
kepada tujuan, tujuan yang hendak dicapai dalam Sistem Peradilan Pidana khususnya
dalam perkara korupsi berkaitan dengan peradilan in absentia adalah upaya
pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi sebagaimana
tercantum dalam Penjelasan Pasal 38 UUPTPK. Masing-masing sistem, yakni mulai
dari penyidikan hingga pemeriksaan di pengadilan harus cocok satu sama lain dan
bersifat keterhubungan, begitu pula dalam peradilan in absentia. Dalam peradilan in
absentia sebagai bagian dari suatu sistem peradilan pidana sangatlah beralasan
diberlakukan dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak
pidana korupsi, dan apabila ditinjau dari teori pengembalian aset yang menekankan
kepada keadilan sosial, negara mempunyai justifikasi untuk melakukan berbagai upaya
pengembalian kerugian keuangan negara tersebut, termasuk mengajukan tuntutan
pidana tanpa hadirnya terdakwa.
4. Permasalahan Dalam Pemeriksaan In Absentia.
Dalam pemeriksaan proses peradilan pidana maka terdapat beberapa problematika
dalam pemeriksaan in absentia dalam proses peradilan pidana antara lain :
1. Peradilan in absentia menurut ketentuan hukum yang berlaku, hanya
dimungkinkan jika terdakwa menderita “sakit ingatan” atau “terganggu jiwanya”
45 Lihat: Teori Sistem Shrode & Voich sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo, dalam Ilmu Hukum…Op. Cit, hlm.48.
27
(Pasal 44 KUHP), terdakwa meninggal dunia (Pasal 77 KUHP) dan atau tidak
diketahui tempat tinggalnya. Akan tetapi dalam kenyataan prakteknya, hal ini
diperluas dan dijadikan alasan terdakwa untuk tidak hadir dalam sidang, antara
lain : alasan sakit, sudah pikun (kasus Soeharto, Zulkifli Harahap, dsb). Para
tersangka koruptor umumnya berlindung dibalik kelemahan undang-undang
dengan alasan diluar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Disini terlihat
bahwa adanya kerancuan dan mencampur adukan didalam penafsirkan antara
arti/pengertian tidak mampu bertanggungjawab dengan “kewajiban untuk hadir”
dalam sidang pengadilan.
Pasal 44 KUHP menyatakan antara lain sebagai berikut :
(1) barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam
tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit
(ziekelijke storing), tidak dipidana.
(2) jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan
padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu
karena penyakit, maka Hakim dapat memerintahkan supaya orang itu
dimasukkan kedalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai
waktu percobaan.
(3) ketentuan tersebut dalam ayat 2 hanya berlaku bagi MA, Pengadilan
Tinggi dan Pengadilan Negeri.
Dari uraian pasal di atas menunjukan bahwa seseorang yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya adalah orang terganggu jiwanya
karena tubuhnya (misalnya idiot, embicil, dsb) atau karena penyakit sehingga
berubah akalnya (sakit gila, hysterie, epilepsi, dsb)3535 Hal disini harus diartika
bahwa ketentuan Pasal 44 KUHP menunjukan “tidak dapat dipidana” seseorang
yang sesuai dengan ketentuan pasal ini. Jadi ketentuan ini “bukan merupakan
alasan untuk tidak hadirnya terdakwa di sidang pengadilan” artinya, bahwa
terdakwa tetap harus dihadirkan dalam sidang dan hakimlah yang memutuskan
apakah terdakwa termasuk dalam ketentuan pasal 44 KUHP ini.
3535 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. (Bogor : Politea, 1983),hlm. 61.
28
Akan tetapi dalam penerapan peradilan di Indonesia seolah-olah hal ini dijadikan
alasan untuk tidak mengadili orang yang sedang sakit, sudah tua, pikun, walaupun
telah menimbulkan kerugian bagi negara. Terkadang pengadilan dalam
penerapannya juga bersifat diskriminatif, misalnya Dr. Muchtar Pakpahan
SH,MA dan Drs. A.M Fatwa yang diadili dalam keadaan sakit. Untuk itu
Mahkamah Agung seharusnya mengeluarkan fatwa tentang tafsir ketentuan Pasal
38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999., bahwa usia tua, uzur, atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan seperti dialami Soeharto dan Zulkifli
Harahap dapat diadili dalam peradilan in absentia.
Apabila terdakwa tidak hadir tanpa alasan sah setelah dipanggil secara sah untuk
kedua kalinya maka sesuai ketentuan dalam Pasal 154 ayat (6) KUHAP “dapat
dihadirkan dengan paksa” pada sidang pertama berikutnya. Sedangkan dalam
Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999, terdakwa tidak hadir tanpa alasan sah
setelah dipanggil secara sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa
kehadiran terdakwa.
Dalam perkara tindak pidana korupsi oleh Hendra Rahardja CS, maka dapat
diketahui berbagai upaya pemanggilan telah dilakukan secara patut menurut
hukum acara yang berlaku. Pemanggilan oleh Jaksa Penuntut Umum juga atas
perintah Majels Hakim, namun tetap saja terdakwa tidak hadir dalam persidangan
dengan alasan yang tidak berdasar, terdakwa menolak ektsradisi dengan alasan
tidak ada jaminan hak asasi baginya di Indonesia. Terlebih lagi dengan adanya
putusan Pengadilan Australia yang menunda ekstradisi, dan pada akhirnya
pelaksanaan ekstradisi ini tertunda dengan adanya dugaan perlakuan diskriminatif
terhadap etnis tionghoa di Indonesia. Jelas hal yang demikian akan menjadikan
perkara menjadi berlarut-larut, sedangkan terdakwa telah diduga merugikan
keuangan negara yang jumlahnya tidak sedikit serta tidak dapat dipastikan kapan
mereka ini kembali ke Indonesia. Apabila hal ini dibiarkan beralrut-larut,
menunggu mereka kembali ke Indonesia sedangkan kembalinya belum dapat
diketahui, tentu akan mengakibatkanb kerugian yang lebih banyak lagi karena
harta kekayaan atau aset-aset yang ada di dalam negeri tidak dapat diapa-apakan,
sementara di lain pihak masyarakat selalu menuntut agar segala bentuk kejahatan
khususnya yang menyangkut tindak pidana korupsi segera diberantas.
29
2. Adanya ketidaksamaan persepsi didalam menyikapi aturan-aturan hukum yang
berlaku, terutama tindak pidana korupsi, sehingga hal ini menimbulkan tidak
berjalannya sistem peradilan pidana. Dalam sistem peradilan pidana maka semua
unsur yang terkait dalam proses peradilan pidana harus mempunyai persepsi yang
sama terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Akan tetapi dalam
praktek sering terjadi ketidaksamaan persepsi atau perbedaan persepsi tentang
suatu tindak pidana maupun di dalam mengkaji ketentuan perundang-undangan
yang berlaku. Hal ini dapat menyebabkan proses peradilan pidana tidak dapat
mencapai kebenaran materil yang diharapkan, terutama dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi. Adanya persepsi yang berbeda dalam menyikapi
ketentuan-ketentuan yang berlaku, misalnya dalam hal penuntutan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh beberapa orang terdakwa. Dalam hal ini JPU dapat
menjadikan dalam satu berkas penuntutan atau dapat dipecah-pecah menjadi
beberapa berkas perkara. Biasanya pemecahan perkara ini dilakukan apabila
kekurangan saksi-saksi, sehingga perlu diadakan “saksi mahkota”, dimana pelaku
yang 1 (satu) menjadi saksi untuk pelaku yang lainnya. Dalam praktek sering
terjadi perbedaan persepsi dimana hal pemecahan perkara (splitsing) tidak sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 168 c KUHAP yang menentukan sebagai berikut,
bahwa tidak boleh didengar sebagai saksi dan dapat mengundurkan diri sebagai
saksi adalah suami/isteri terdakwa. Ketentuan tentang suami atau isteri terdakwa
mudah dimengerti, tetapi yang bersama-sama sebagai terdakwa dalam satu
perkara korupsi masih sering ada perbedaan persepsi antara penegak hukum
dalam prakteknya.
3. Terjadinya tumpang tindih kewenangan penyidikan dalam kasus korupsi. Hal ini
dapat terlihat dalam UU No. 8 tahun 1981 (KUHAP) diisyaratkan bahwa polisi
mempunyai kewenangan dalam hal penyidikan terhadap tindak pidana. Hal ini
dimaksudkan agar tidak ada lagi penyidikan lanjutan sehingga menimbulkan
ketidak pastian hukum. Akan tetapi dalam Pasal 284 KUHAP disebutkan bahwa
untuk perkara Tindak Pidana Khusus misalnya tindak pidana subversi, tindak
pidana ekonomi, dan tindak pidana korupsi maka Kejaksaan dalam waktu dua
tahun masih diberikan wewenang untuk melakukan penyidikan. Hal ini kemudian
diperkuat dengan UU Kejaksaan No. 5 Tahun 1991 dan Undang-Undang No. 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang menyatakan bahwa Kejaksaan diberikan
30
wewenang untuk melakukan penyidikan. Di sisi lain menurut UU No. 28 Tahun
1997 dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, maka polisi
mempunyai wewenang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua
tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-
undangan lainnya. Hal inilah sering menjadi kendala di dalam penyidikan tindak
pidana korupsi, dan bahkan tidak jarang menyebabkan terkatung-katungnya
penyelesaian perkara-perkara korupsi.
4. Adanya ketentuan bahwa apabila terdakwa dijatuhi putusan secara in absentia,
maka terdakwa atau kuasa hukumnya dapat mengajukan “ banding “, atau bahkan
melakukan “ peninjauan kembali “. Pada Pasal 38 ayat 4 memang tidak
menentukan secara tegas siapa yang mempunyai hak untuk mengajukan banding /
peninjauan kembali, sehingga dalam praktek sering ditafsirkan bahwa “ upaya “
hukum ini dapat dilakukan oleh “kuasa atau penasihat hukumnya tanpa kehadiran
terdakwa”, misalnya kasus Tommy Soeharto. Hal ini dapat menyebabkan dan
mendorong tersangka pelaku tindak pidana korupsi untuk melarikan diri ( buron ),
karena hak-haknya sebagai terdakwa tetap dilindungi oleh hukum. Dalam Pasal
38 ayat (4) tidak ada penjelasan secara tegas, sehingga sering ditafsirkan hal ini
dapat dilakukan tanpa kehadiran terdakwa. Secara implisit ketentuan banding ini
dapat dilihat dalam Pasal 233 KUHAP, menyebutkan :
(1) Permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan
ke Pengadilan Tinggi oleh terdakwa atau yang khususnya dikuasakan untuk
itu atau penuntut umum;
(2) Hanya permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) boleh
diterima oleh Panitera PN dalam waktu tujuh hari sesudah putusan
dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak
hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2);
(3). Tentang permintaan itu oleh panitera dibuat sebuah surat keterangan
yang ditandatangani olehnya dan juga oleh pemohon serta tembusannya
diberikan kepada pemohon yang bersangkutan.
(4). Dalam hal pemohon tidak dapat menghadap, hal ini harus dicatat oleh
panitera dengan disertai alasannya dan catatan harus dilampirkan dalam
berkas perkara serta juga ditulis dalam daftar perkara pidana
31
Melihat ketentuan dalam Pasal 233 KUHAP tersebut, maka untuk tindak pidana
korupsi yang diputus tanpa kehadiran atau dihadiri terdakwa (in absentia),
terdakwa melalui kuasa hukumnya dapat mengajukan banding sesuai ketentuan
itu. Memang akibatnya lebih jauh menjadi faktor pendorong bagi terdakwa untuk
tidak hadir dalam sidang pengadilan mislanya dengan melarikan diri (buron). Hal
ini dimungkinkan karena tanpa kehadiranpun, maka hak-hak terdakwa tetap
dilindungi oleh ketentuan hukum yang berlaku (Pasal 38 ayat 4 UU No. 31 Tahun
1999).
5. Adanya kewajiban bagi Terdakwa untuk membuktikan sebaliknya pula dari
tindak pidana korupsi. Apabila tidak dapat membuktikan maka harta benda
tersebut dapat dirampas untuk negara. Ketentuan ini dalam praktek sering
ditafsirkan bahwa hal ini “bertentangan” dengan kepastian hukum maupun
perlindungan hukum bagi terdakwa.Demikian juga adanya ketentuan bahwa
negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli
warisnya apabila masih diketahui terdapat harta benda yang belum dikenakan
perampasan untuk negara, meskipun telah ada putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. ( Pasal 38 C UU Nomor 20 Tahun 2001 ).
6. Adanya kecenderungan untuk mengulur-ngulur proses persidangan perkara
korupsi, dengan memanfaatkan ketentuan Pasal 156 KUHAP dimana modusnya
yaitu melakukan “eksepsi” terhadap surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa
Penuntut Umum. Hal ini dapat menyebabkan Hakim menyatakan surat dakwaan
tidak dapat diterima, atau dibatalkan atau tidak sempurna misalnya kasus Beddu
Amang, Tomy Soeharto, Ricardo Galael, dsb. Atas putusan itu maka Jaksa
Penuntut Umum mengajukan verzet (perlawanan). Dan atas putusan Pengadilan
Tinggi, terdakwa menyatakan kasasi. Padahal jika Jaksa memperbaiki surat
dakwaannya hanya memerlukan waktu singkat saja.
7. Adanya pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah (presumption of innocence)
seperti yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu
dengan adanya kewajiban terdakwa untuk membuktikan bahwa gratifikasi yang
diterimanya bukan suap. Di sisi lain ketidak konsistensinya ketentuan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 hanya membebani sistem pembuktian terbalik ini
untuk tindak pidana korupsi yang nilainya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) atau
lebih saja maka penerima wajib membuktikan bukan sebagai suap.
32
5. Analisis Pemecahan Masalah Peradilan In Absentia Dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi Menurut UUPTPK
1). Legitimasi Peradilan In Absentia Dalam UUPTPK
Pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi di sidang pengadilan merupakan
hukum acara khusus, sehingga dengan demikian ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam KUHAP dikesampingkan terkait dengan sifat kekhususan yang ada dalam
UUPTPK, termasuk pemeriksaan secara in absentia. Dalam Pasal 38 UUPTPK
diatur tentang pelaksanaan pemeriksaan secara in absentia, sebagai berikut:
Ayat (1): Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di sidang
pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa
kehadirannya.
Ayat (2): Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan
dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa dan segala keterangan saksi surat-
surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan
dalam sidang yang sekarang.
Ayat (3): Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh
penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah,
atau diberitahukan kepada kuasanya.
Ayat (4): Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Ayat (5): Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan
terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak
pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan
perampasan barang-barang yang telah disita.
Ayat (6): Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak
dapat dimohonkan upaya banding.
Ayat (7): Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada
pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(5), dalam waktu 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Pada dasarnya pemeriksaan terhadap terdakwa dalam sidang pengadilan
mengharuskan kehadiran terdakwa, hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 154 ayat
(4) KUHAP serta Pasal 18 ayat (1) UUKK. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUKK
33
menentukan bahwa pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana dengan
hadirnya terdakwa kecuali apabila undang-undang menentukan lain. Dari ketentuan
tersebut dapat diketahui bahwa kehadiran terdakwa di sidang pengadilan merupakan
suatu keharusan atau kewajiban. Namun, undang-undang juga menentukan adanya
pengecualian jika undang-undang yang berlaku khusus menentukan lain. Penjabaran
lebih lanjut dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) UUKK tersebut, yakni
menyangkut ketentuan adanya pengecualian dalam undang-undang khusus yang
menentukan lain adalah menunjuk pula pada penjelasan Pasal 154 ayat (4) KUHAP
yang menyebutkan bahwa kehadiran terdakwa di sidang merupakan kewajiban
terdakwa, bukan merupakan hak, jadi terdakwa harus hadir di sidang pengadilan.
Dengan demikian, tanpa kehadiran terdakwa, pemeriksaan di sidang pengadilan dalam
perkara tindak pidana tidak dapat dilangsungkan. Terkecuali apabila undang-undang
menentukan lain, maksud lain dari undang-undang yang bersifat khusus ini adalah
adanya pengecualian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa kehadiran
terdakwa pemeriksaan terus berlanjut sampai dengan penjatuhan hukuman tanpa
hadirnya terdakwa. Pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana
korupsi, terdapat perkecualian, yaitu seperti yang ditentukan di dalam 38 ayat (1).
Penjelasan Pasal 38 ayat (1) menyebutkan: "Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan
untuk menyelamatkan kekayaan negara, sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun,
perkara dapat diperiksa oleh hakim."
Ketidakhadiran terdakwa di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana
korupsi, dapat berlangsung dengan kondisi sebagai berikut:
a. ketidakhadiran terdakwa tersebut berlangsung secara terus-menerus sejak sidang
pengadilan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum oleh hakim46 sampai
dengan sidang pengadilan ketika hakim menjatuhkan putusannya dalam perkara
tindak pidana korupsi, atau
b. ketidakhadiran terdakwa tersebut hanya berlangsung pada satu beberapa kali di
antara sidang-sidang pengadilan sejak sidang pengadilan dibuka dan dinyatakan
terbuka untuk umum oleh hakim47 sampai dengan sidang pengadilan ketika hakim
menjatuhkan putusannya dalam perkara tindak pidana korupsi.
46 Lihat: Pasal 153 ayat (3) KUHAP.47 Lihat: Pasal 153 ayat (3) KUHAP.
34
Agar sidang pengadilan dapat dilangsungkan tanpa kehadiran terdakwa, oleh
Pasal 38 ayat (1) ditentukan harus dipenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
a. terdakwa telah dipanggil secara sah;
b. terdakwa tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah.
Untuk dapat memanggil terdakwa secara sah, Penuntut Umum harus mengikuti
beberapa petunjuk sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 145 dan Pasal 146 ayat (1)
KUHAP. Sedangkan apa yang dimaksud dengan "tanpa alasan yang sah", baik di dalam
KUHAP maupun di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak ada ketentuan
yang dapat memberikan petunjuk, sehingga apa yang dimaksud dengan "tanpa alasan
yang sah" dalam Pasal 38 ayat (1) sepenuhnya tergantung dari pertimbangan hakim
untuk menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan oleh terdakwa.48
Menurut Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 2 Februari 2001 Nomor 1846
K/Pid/2000,49 keterangan sakit dari dokter merupakan alasan yang sah untuk tidak hadir
di sidang pengadilan, karena di samping sudah selayaknya setiap orang menghormati,
mempercayai pendapat professional dokter, yang merupakan wewenangnya untuk
menyatakan seseorang sakit atau tidak, juga doktrin berpendapat bilamana seseorang
pada saat proses persidangan di pengadilan menderita sakit, maka penyidangan
perkaranya harus ditunggu sampai ia sembuh dan memenuhi persyaratan untuk
disidangkan. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana jika terdakwa sejak sidang
pengadilan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum oleh hakim (Pasal 153 ayat (3)
KUHAP), secara terus-menerus tidak dapat hadir dengan alasan yang sah, apakah
sidang pengadilan dapat berlangsung terus tanpa kehadiran terdakwa? Yang jelas
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) tidak dapat diterapkan,
karena tidak dipenuhinya salah satu syarat, yaitu tidak hadirnya terdakwa tersebut di
sidang pengadilan harus tanpa alasan yang sah.
Cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengikuti Putusan Mahkamah Agung
RI tanggal 2 Februari 2001 Nomor 1846 K/Pid/2000,50 yaitu karena terdakwa terus-
menerus tidak dapat hadir di sidang pengadilan dengan alasan yang sah, maka tuntutan
Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima. Sebelum putusan Mahkamah Agung
RI tersebut, telah ada Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 23 Desember 1980 Nomor
48 M Yahya Harahap, Op.Cit, h,654.49 Indriyanto Seno Adji dan Juan Felix Tampubolon, Perkara H.M. Soeharlo, (Jakarta: Multi Mediametri, 2001), hlm. 156.50 Ibid.
35
121 K/Kr/1980 dan atas dasar putusan Mahkamah Agung RI ini, Mahkamah Agung RI
lalu memberikan petunjuk seperti tertuang di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI
tanggal 22 Januari 1981 Nomor 1 Tahun 1981,51 yaitu dalam hal perkara yang diajukan
oleh Penuntut Umum, terdakwanya sejak semula tidak hadir dan sejak semula tidak ada
jaminan bahwa terdakwa dapat dihadapkan di persidangan, perkara demikian
dinyatakan tidak dapat diterima.
Sebagaimana telah ditentukan, yang dimaksud tanpa kehadiran terdakwa di
sidang pengadilan seperti yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (1) adalah termasuk
tanpa kehadiran terdakwa pada satu atau beberapa kali di antara sidang-sidang
pengadilan sejak sidang pengadilan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum oleh
hakim sampai dengan sidang pengadilan ketika hakim menjatuhkan putusannya dalam
perkara tindak pidana korupsi. Dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
ayat (2), dapat diketahui bahwa jika terdakwa yang semula tidak (pernah) hadir di
sidang pengadilan dan kemudian hadir di sidang pengadilan, maka pada waktu
terdakwa hadir di sidang pengadilan, wajib dilakukan pemeriksaan oleh hakim. Jadi,
meskipun diperkenankan adanya sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa dalam
perkara tindak pidana korupsi, tetapi jika sampai terdakwa hadir di sidang pengadilan,
terdakwa wajib diperiksa oleh hakim.
Dalam sidang pengadilan tersebut, yaitu pada waktu terdakwa hadir Pasal 38 ayat
(2) ditentukan lebih lanjut sebagai berikut.
a. Saksi yang telah memberikan keterangan di sidang pengadilan pada waktu
terdakwa tidak hadir dianggap telah memberikan keterangannya di sidang
pengadilan pada waktu terdakwa hadir. Jadi, saksi tidak perlu dipanggil lagi untuk
diminta keterangannya dan hakim dapat menolak jika ada permintaan dari
terdakwa agar saksi tersebut dipanggil lagi.
b. Surat-surat yang dibacakan di sidang pengadilan pada waktu terdakwa tidak
hadir, dianggap telah dibacakan di sidang pengadilan pada waktu terdakwa hadir.
Jadi, surat-surat tidak perlu dibaca lagi dan hakim dapat menolak jika ada
permintaan dari terdakwa agar surat-surat tersebut dibaca lagi.
Berhubung ketentuan tentang saksi dan surat-surat sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 38 ayat (2) sifatnya tidak imperatif, maka dapat saja hakim memenuhi apa
yang diminta oleh terdakwa seperti di atas, hanya jika sampai hakim memenuhi
51 Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Tahun 1979-1985, hlm.84.
36
permintaan terdakwa tersebut, asas peradilan yang dilakukan dengan cepat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UUKKberkurang fungsinya. Yang
dimaksud dengan "tanpa kehadiran terdakwa" dalam Pasal 38 ayat (3) adalah tanpa
kehadiran terdakwa di sidang pengadilan tanpa alasan sah ketika hakim menjatuhkan
putusannya, meskipun terdakwa tersebut telah dipanggil secara sah. Tidak menjadi
masalah apakah tidak hadirnya terdakwa tersebut berlangsung secara terus-menerus
atau hanya pada satu atau beberapa kali sidang pengadilan, tetapi yang menjadi tolok
ukur adalah ketika hakim menjatuhkan putusan terdakwa tidak hadir tanpa alasan yang
sah, meskipun terdakwa tersebut telah dipanggil secara sah. Setelah hakim menjatuhkan
putusannya, tindak lanjut dari Penuntut Umum adalah seperti yang ditentukan juga
dalam Pasal 38 ayat (3), yaitu dengan alternatif sebagai berikut:
a. mengumumkan putusan hakim tersebut pada:
1). papan pengumuman pengadilan, tentunya yang dimaksud adalah papan
pengumuman Pengadilan Negeri,
2). papan pengumuman pada kantor Pemerintah Daerah, atau
b. putusan hakim tersebut diberitahukan kepada kuasa dari terdakwa.
Putusan hakim yang diumumkan atau yang diberitahukan kepada kuasa dari
terdakwa tersebut, oleh penjelasan Pasal 38 ayat (3) cukup berupa petikan surat putusan
pengadilan, yaitu seperti yang dimaksud oleh ketentuan yang terdapat dalam Pasal 226
ayat (1) KUHAP. Jika pemeriksaan sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana
korupsi, terdakwanya lebih dari seorang dan ketika hakim menjatuhkan putusan ada
terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah, meskipun terdakwa tersebut telah
dipanggil secara sah, menurut hemat penulis tindak lanjut dari Penuntut Umum adalah
juga seperti yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (3). Dalam perkara tindak pidana
korupsi, terdakwa yang hadir di sidang pengadilan setelah hakim menjatuhkan putusan
berupa pidana, menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (3)
huruf d KUHAP dapat mengajukan permohonan banding terhadap putusan hakim
tersebut. Upaya hukum yang berupa banding ini, menurut ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 38 ayat (4) juga dapat diajukan oleh terdakwa yang tidak hadir di sidang
pengadilan tanpa alasan yang sah, meskipun terdakwa tersebut telah dipanggil secara
sah.52 Dengan demikian, dalam perkara tindak pidana korupsi, apakah terdakwa hadir
52 Perhatikan perumusan Pasal 38 ayat (4) yang menentukan: " ... atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)".
37
atau tidak hadir di sidang pengadilan dan ketidakhadirannya tanpa alasan yang sah,
terdakwa dapat mengajukan upaya hukum, yaitu permohonan banding terhadap putusan
hakim tersebut. Adanya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4),
menurut hemat penulis secara langsung akan mendorong terdakwa dalam perkara
tindak pidana korupsi untuk tidak hadir di sidang pengadilan dengan berbagai macam
alasan, karena dengan melalui kuasanya terdakwa masih dapat mengajukan
permohonan banding.
Dalam rangka menerapkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat
(4) tersebut, perlu diingatkan kepada para hakim adanya Surat Edaran Mahkamah
Agung RI tanggal 10 Desember 1988 Nomor 6 Tahun 1988 yang antara lain meminta
perhatian kepada para hakim agar menolak atau tidak melayani penasihat hukum atau
pengacara dari terdakwa yang tidak hadir di sidang pengadilan, meskipun telah
dipanggil dengan sah atau semestinya.53 Perlu diperhatikan bahwa di dalam
pertimbangan hukum dari Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1846 K/Pid/200054
disebutkan bahwa terhadap penetapan Pengadilan Negeri yang menentukan tuntutan
Penuntut Umum tidak diterima, tidak dimungkinkan adanya suatu perlawanan atau
banding. Dalam perkara tindak pidana yang bukan pidana korupsi, jika pada waktu
pemeriksaan di sidang pengadilan terdakwa meninggal dunia, hakim akan
mengeluarkan putusan yang menyatakan gugurnya tuntutan hukum terhadap perbuatan
yang didakwakan kepada terdakwa seperti yang terdapat putusan Mahkamah Agung RI
tanggal 30 September 1975 Nomor 18 1975.55
Untuk perkara tindak pidana korupsi, jika sebelum pengadilan menjatuhkan
putusannya, terdakwa telah meninggal dunia, tetapi terdapat "bukti yang cukup kuat
bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi", oleh Pasal ayat (5) ditentukan
bahwa atas tuntutan Penuntut Umum, hakim mengeluarkan penetapan tentang
perampasan barang-barang yang disita. Meskipun tuntutan dari Penuntut Umum
tersebut, belum tentu dapat dikabulkan oleh hakim, tetapi tanpa adanya tuntutan dari
Penuntut Umum, hakim tidak dapat langsung mengeluarkan penetapan yang merampas
barang-barang yang telah disita. Seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 38 ayat (5),
agar hakim dapat mengeluarkan penetapan tentang perampasan barang-barang yang
telah disita perlu terdapat "bukti yang cukup kuat bahwa terdakwa telah melakukan
53 Abstrak Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 1982-1993, hlm. 149-150.54 Indriyanto Seno Adji dan Juan Felix Tampubolon, Loc.Cit.55 P.A.F. Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Cet.III (Bandung: Sinar Baru, 1990), hlm.75.
38
pidana korupsi". Untuk sampai terdapat "bukti yang cukup kuat bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi", sebelum mengeluarkan penetapan tersebut, hakim
semestinya memperhatikan dan memenuhi ketentuan yang terdapat di dalam Pasal
183KUHAP.
Dengan demikian perampasan barang-barang yang telah disita tersebut, dapat
ditetapkan oleh hakim apabila dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah,
hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana korupsi benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya. Dari ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 183 KUHAP tersebut, yang sering menjadi perdebatan atau diskusi adalah apakah
keterangan 2 (dua) orang saksi sudah memenuhi pengertian 2 (dua) alat bukti yang sah?
Di dalam buku Himpunan Tanya-Jawab tentang Hukum Pidana,56 atas pertanyaan dari
Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dan Pengadilan Tinggi Mataram, Mahkamah
Agung RI memberi petunjuk bahwa keterangan dari 2 (dua) orang saksi sudah
memenuhi pengertian 2 (dua) alat bukti yang sah. Dari petunjuk tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan "sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang
sah" dalam Pasal 183 KUHAP adalah sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti seperti
yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, meskipun kedua alat bukti tersebut
sama jenisnya atau macamnya.
Sebagai penetapan pengadilan, maka sudah tepat jika Pasal 38 ayat (6)
menentukan bahwa penetapan perampasan barang-barang sebagaimana yang dimaksud
Pasal 38 ayat (5) tidak dapat dimohonkan banding, karena yang dapat dimohonkan
banding menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 67 KUHAP hanya putusan
pengadilan. Terhadap adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (6) tersebut,
dapat diberikan beberapa catatan sebagai berikut.
a. Dengan meninggal dunianya terdakwa, dengan sendirinya almarhum tidak akan
mungkin mengajukan permohonan banding terhadap penetapan pengadilan
mengenai perampasan barang-barang yang telah disita. Di dalam KUHAP57 tidak
ada ketentuan yang memberi hak kepada ahli waris dari almarhum untuk
mengajukan permohonan banding terhadap penetapan yang dikeluarkan oleh
hakim. Dengan demikian, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (6),
56 Ibid, h.75 dan 123.57 Lihat: Pasal 233 ayat (1) KUHAP.
39
ditinjau dari sudut kepentingan almarhum terdakwa merupakan ketentuan yang
berlebihan.
b. Penetapan hakim mengenai perampasan barang-barang yang telah disita, baru
dapat dikeluarkan, apabila ada tuntutan dari Penuntut Umum. Masalahnya adalah
Penuntut Umum tidak mempunyai upaya hukum biasa yang dapat dipergunakan
jika penetapan hakim mengenai perampasan barang-barang yang telah disita
tersebut tidak sama dengan tuntutan dari Penuntut Umum.
Penjelasan Pasal 38 ayat (7) menyebutkan bahwa ketentuan dalam ayat ini
dimaksudkan untuk melindungi pihak ketiga yang beriktikad baik. Dengan adanya
penjelasan Pasal 38 ayat (7) seperti di atas, dapat diketahui bahwa sebenarnya yang
dimaksud dengan kalimat "orang yang berkepentingan" dalam Pasal 38 ayat (7) adalah
pihak ketiga yang beriktikad baik. Dengan demikian, jika ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 38 ayat (7) dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 19
ayat (2), akan ditemui persamaan dan perbedaan antara lain sebagai berikut:
a. Persamaan
1). baik ketentuan yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (7) maupun ketentuan
yang terdapat di dalam Pasal 19 ayat (2) memberikan hak kepada pihak
ketiga untuk mengajukan keberatan terhadap putusan atau penetapan
pengadilan tentang perampasan barang-barang, karena ternyata terdapat
barang-barang kepunyaan yang didapat dengan iktikad baik;
2). keberatan diajukan oleh pihak ketiga ke pengadilan yang telah menjatuhkan
putusan atau penetapan perampasan barang-bara karena ternyata terdapat
barang-barang kepunyaannya yang didapat dengan iktikad baik.
b. Perbedaan
1). tenggang waktu yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (7) untuk mengajukan
keberatan adalah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
pengumuman penetapan yang dikeluarkan pengadilan tanpa kehadiran
terdakwa, sedang tenggang waktu yang ditentukan dalam Pasal 19 ayat (2)
untuk mengajukan keberatan adalah dalam waktu 2 (dua) bulan setelah
putusan pengadilan diucapkan di sidang terbuka untuk umum;
2). apa yang dikeluarkan oleh pengadilan atas dasar ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 38 ayat (7) adalah berbentuk penetapan, sedangkan apa yang
40
dijatuhkan oleh pengadilan atas dasar Pasal 19 ayat (2) adalah berbentuk
putusan;
3). pada waktu pengadilan mengeluarkan penetapan tentang perampasan
barang-barang seperti yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (2) terdakwa
telah meninggal dunia sebelum penetapan pengadilan dikeluarkan,
sedangkan pada waktu pengadilan menjatuhkan putusan pidana tambahan
berupa perampasan barang-barang seperti yang ditentukan dalam Pasal 19
ayat (2), terdakwa belum meninggal dunia.
Jika ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (7), kemudian
dikaitkan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) dan (5),
akan diperoleh petunjuk sebagai berikut.
a). Jika keberatan diajukan masih dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal pengumuman penetapan pengadilan oleh Penuntut
Umum pada papan pengumumanpengadilan, kantor pemerintah daerah atau sejak
diberitahukan kepada kuasa terdakwa, maka pemeriksaan terhadap keberatan
dilakukan oleh pengadilan yang telah mengeluarkan penetapan tersebut.
b). Jika keberatan ternyata tidak benar, pengadilan mengeluarkan penetapan yang
isinya menolak keberatan tersebut. Terhadap penetapan pengadilan ini oleh Pasal
38 tidak ditentukan adanya suatu upaya hukum yang dapat dipergunakan oleh
pihak ketiga yang telah mengajukan keberatan.
c). Jika keberatan ternyata diterima, pengadilan mengeluarkan penetapan yang isinya
membenarkan keberatan tersebut. Menurut hemat penulis, penetapan ini oleh
jaksa dapat dipergunakan sebagai dasar hukum untuk tidak melaksanakan
penetapan pengadilan tentang perampasan barang-barang yang terbatas hanya
yang disebutkan dalam penetapan pengadilan yang membenarkan keberatan
tersebut.
d). Jika keberatan diajukan sudah lewat tenggang waktu 30 (tigapuluh) hari terhitung
sejak tanggal pengumuman penetapan oleh Penuntut Umum pada papan
pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah atau sejak diberitahukan
kepada kuasa terdakwa, keberatan diajukan dengan cara gugatan perdata ke
Pengadilan Negeri sesuai dengan kompetensi relatifnya58
58 Pasal 118 HIR- Pasal 142 Rbg.
41
Oleh penjelasan Pasal 38 ayat (7) disebutkan bahwa tenggang waktu 30 (tiga
puluh) hari tersebut dimaksudkan untuk menjamin pelaksanaan putusan pengadilan
tentang perampasan barang-barang yang memang berasal dari tindak pidana korupsi.
Dengan adanya penjelasan Pasal 38 ayat (7) tersebut, menurut hemat penulis sebelum
lewat tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman
penetapan tentang perampasan barang-barang, jaksa sebaiknya jangan melaksanakan
penetapan pengadilan tersebut, karena masih dimungkinkan pihak ketiga mengajukan
keberatan dan keberatan masih dimungkinkan diterima oleh pengadilan, tetapi jika
tenggang waktu sudah lewat, jaksa tidak perlu khawatir untuk melaksanakan penetapan
pengadilan yang dimaksud. Di dalam penjelasan Pasal 38 ayat (7) tidak disebutkan
seperti halnya pada penjelasan Pasal 19 ayat (3) bahwa apabila keberatan pihak ketiga
diterima oleh hakim setelah pelaksanaan penetapan pengadilan, negara berkewajiban
mengganti kerugian kepada pihak ketiga sebesar nilai hasil lelang atas barang-barang
yang dirampas. Menurut hemat penulis, apa yang menjadi isi dari penjelasan Pasal 19
ayat (3) tersebut dapat diterapkan pada pelaksanaan ketentuan yang terdapat di dalam
Pasal 38 ayat (7), karena dengan diterimanya keberatan, pihak ketiga yang beriktikad
baik harus mendapat perlindungan hukum seperti yang disebutkan dalam penjelasan
Pasal 19 ayat (3), yaitu negara mengganti kerugian kepada pihak ketiga sebesar nilai
hasil lelang atas barang-barang yang dirampas.
2). Strategi Mengantisipasi Pelarian Tersangka ke Luar Negeri
Dalam rangka mengupayakan pemberantasan tindak pidana korupsi, maka
diperlukan suatu kebijakan yang mengatur tentang strategi terhadap pelaksanaan sistem
peradilan, terutama menyangkut antisipasi pelarian para tersangka atau terdakwa ke
luar negeri dengan melakukan cekal.59 Dalam hal ini, proses mencegah atau menangkal
orang pun tidak bisa dilakukan dengan sewenang-wenang, dan instansi yang boleh
meminta pencegahan dan penangkalanpun dibatasi. Permintaan pencegahan dan
penangkalan terhadap seseorang hanya bisa dikeluarkan dari empat instansi, yakni
59 Istilah "cekal" sebenarnya merupakan kependekan dari cegah tangkal. Yang dimaksud dengan pencegahan adalah larangan bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk ke luar Indonesia berdasarkan alasan-alasan tertentu, sedangkan penangkalan adalah larangan sementara terhadap orang tertentu untuk masuk ke wilayah Indonesia juga berdasarkan alasan-alasan tertentu (vide Pasal 1 Undang-Undang Nomor 9Tahun 1992 tentang Keimigrasian).
42
Menteri Kehakiman, Menteri Keuangan, Jaksa Agung, dan Panglima TNI. Permintaan
pencegahan, menurut Pasal 12 UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, harus
ditetapkan dengan sebuah keputusan tertulis dengan memuat hal-hal yang berkaitan
antara lain, identitas orang yang terkena pencegahan, alasan-alasan yang menjadi dasar
pencegahan dan jangka waktu pencegahan. Masa pencegahan-penangkalan, menurut
UU Keimigrasian, juga ada batasnya. Artinya, tidak dibenarkan praktik pencegahan
seumur hidup atau dalam batas waktu yang tidak ditentukan. Untuk pecegahan karena
alasan keimigrasian atau menyangkut piutang negara, ditetapkan paling lama enam
bulan dan dapat diperpanjang untuk paling banyak dua kali masing-masing tidak lebih
dari enam bulan. Sedang pencegahan yang dilakukan Jaksa Agung terhadap orang-
orang karena keterlibatannya dalam perkara pidana, tidak diatur secara jelas mengenai
berapa lama pencegahannya. Dalam pasal hanya disebutkan sesuai dengan Keputusan
Jaksa Agung.
Sampai saat ini berkenaan dengan pencegahan dan penangkalan, Kejaksaan
Agung masih mengacu kepada Keputusan Jaksa Agung Nomor: KEP-030/J.A/3/1994
yang kemudian diubah dengan Keputusan Jaksa Agung Nomor: 017A/J.A/01/1996
tentang Ketentuan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Jaksa Agung untuk Melakukan
Pencegahan dan Penangkalan.
Dalam monitoring pelaksanaan Agenda 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu
Kejaksaan Agung Rl, khususnya dalam bidang Intelijen diupayakan peningkatan peran
Kejaksaan dalam pelaksanaan Cegah Tangkal terhadap tersangka, terdakwa ataupun
terpidana.Tindakan yang dilakukan dalam peningkatan peran tersebut adalah me-review
mekanisme proses Cegah-Tangkal yang diatur dalam Kepja No.030/J.A/03/1994 tangal
28 Maret 1994 dan Kepja No. 017/A/J.A/01/1996 tanggal 31 Januari 1996 tersebut.
Untuk sementara upaya yang telah dilakukan dalam rangka pencegahan dan
penangkalan adalah:
1. Menginstruksikan kepada para Kajati agar orang-orang asing yang melakukan
kejahatan yang menjadi perhatian masyarakat banyak seperti tindak pidana
Narkoba,Terorisme, Money Laundring, Penyelundupan, Penodaan Agama, agar
terhadap pelaku dilakukan penangkalan.
2. Mengintensifkan kegiatan personil Kejaksaan pada pos Kejaksaan di Bandar
Soekarno Hatta untuk berkoordinasi dengan pihak Imigrasi dalam pelaksanaan
Cekal.
43
3. Membuat daftar Cekal dengan memuat identitas orang-orang yang dicekal serta
tenggang waktu berakhirnya masa cekal yang dibuat/ disusun setiap bulan.
Sedangkan permasalahan yang dihadapi dalam upaya pencegahan dan
penangkalan:
1. Terdapat instansi pemohon terlambat atau tidak mengajukan perpanjangan Cekal
dengan berbagai alasan.
2. Pelaksanaan pencegahan yang dilakukan oleh pihak Imigrasi di lapangan/bandara
belum efektif yang ternyata ada orang yang masih dalam status cegah oleh
Jaksa Agung tapi ternyata lolos ke luar negeri.
3. Adanya Pemalsuan paspor oleh orang yang dicegah.
4. Belum semua orang yang dicegah ke luar negeri ditahan/ditarik paspornya
oleh pihak imigrasi.
Mengacu kepada upaya yang telah dilakukan sebagai rencana tindak lanjut akan
dilakukan evaluasi terhadap instruksi yang telah diberikan kepada para Kajati, di
samping itu juga memberikan instruksi kepada para Kajati agar mengantisipasi
kemungkinan adanya pengalihan/penangguhan penahanan oleh pihak pengadilan
terhadap perkara-perkara tindak pidana korupsi/tindak pidana umum yang menarik
perhatian yang sedang dalam proses persidangan agardimintakan ke Jaksa Agung, guna
mencegah yang bersangkutan ke luar negeri sehinga menyulitkan eksekusi pada
saatnya. Rencana tindak lanjut lain adalah menambah pos-pos baru yang diharapkan
dapat menunjang rencana tindakan cekal ini, antara lain di bandara internasional seperti
Medan, Surabaya, Batam dan Denpasar.
Kemudian, dalam rangka program Kabinet Indonesia Bersatu dalam Bidang
Penegakan Hukum perlu dituntaskan eksekusi terhadap putusan pengadilan/Mahkamah
Agung Rl yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, akan tetapi para terpidana
belum dapat dieksekusi karena keberadaannya tidak diketahui dan atau telah berada di
luar negeri. Untuk itu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan telah
mengeluarkan Keputusan Nomor: KEP-54/MENKO/POLHUKAM/1 2/2004 tantang
Pembentukan Tim Terpadu Pencari Terpidana Perkara Tindak Pidana Korupsi yang
terdiri dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan,
Kejaksaan Agung Rl, Mabes Polri serta Departemen Hukum dan HAM.
Upaya untuk memburu koruptor yang buron telah pula diantisipasi oleh pihak
Interpol, International Criminal Police Organization (ICPO) melalui database koruptor
44
di seluruh dunia termasuk Indonesia. Database tersebut diperkenalkan dalam
Konferensi Interpol se-Asia ke-19 di Jakarta tahun 2007, dan dapat diakses oleh 184
negara anggota Interpol, akan tetapi langkah eksekusinya harus dilandasi dengan
kerjasama yang konkrit antarnegara melalui perjanjian ekstradisi. Langkah maju ini
disambut baik oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, karena masalah korupsi
merupakan musuh publik, dan upaya pemberantasannya memerlukan waktu yang
cukup lama karena terkait masalah struktur dan budaya. Keseriusan pemerintah Indone-
sia untuk memberantas korupsi melalui media kerjasama antarnegara diwujudkan pula
dengan ditandatanganinya perjanjian ekstradisi antara pemerintah Indonesia dan
Singapura, 27 April 2007 di Bali.
D. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap masalah yang ada, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Dalam praktek sering terjadi alasan ketidakhadiran terdakwa dalam proses
pemeriksaan semata-mata hanya karena untuk menghindari proses peradilan,
dengan alasan-alasan yang diperluas, misalnya usia tua, sudah uzur dan pikun
atau menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Dalam kasus Hendra
Rahardja CS, alasan untuk tidak hadir dalam persidangan ternyata lebih
diarahkan kepada upaya menghindarkan diri dari pemeriksaan di persidangan
dengan alasan bahwa tidak ada jaminan hak asasi atas dirinya.Adanya faktor
yang mendorong untuk tidak hadir dalam proses pemeriksaan tindak pidana
korupsi ( melarikan diri / buron), dengan memanfaatkan ketentuan pada pasal
38 ayat (4) dimana hak untuk mengajukan “banding” dapat saja dilakukan oleh
kuasa/penasihat hukum terdakwa tanpa kehadiran terdakwa.
2. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi pemeriksaan in absentia
antara lain sebagai berikut : Meningkatkan sikap dan kemampuan
profesionalitas aparat penegak hukum yang terkait dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi. Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa-fatwa mengenai
ketentuan-ketentuan yang belum secara jelas, sehingga dapat dijadikan
pegangan bagi aparat untuk menyelesaikan kasus tindak pidana korupsi.
E. Saran-Saran
45
Dari hasil pembahasan, maka pada kesempatan ini peneliti mencoba memberikan
saran-saran yang relevan antara lain :
1. Diperlukan adanya komitmen semua lapisan masyarakat untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi, sesuai dengan hak, kewajiban dan
kewenangan. Tindak lanjut komitmen ini terus menerus ditanamkan dan
disosialisasikan melalui pendidikan formal maupun non formal. Peningkatan
sikap dan kemampuan profesionalitas terutama aparat hukum terkait, dengan
melalui program studi lanjut, pelatihan, penataran, diskusi dan sebagainya. Perlu
dilakukannya petunjuk teknis pengawasan internal maupun eksternal, secara
vertikal maupun horizontal dalam dan antar instansi-instansi pemerintah terkait
maupun swasta.
2. Perlu dibuat peraturan-peraturan pelaksana untuk dapat lebih operasional dalam
proses peradilan pidana maupun yang mengatur lebih jauh keikut sertaan aktif
masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia,1999.
Black, Henry Campell Black’s Law Dictionary, Edisi VI , West Publishing, St. Paul
Minesota, 1990.
Chaerudin et all, Strategi Pencegahan & Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi,
Cet.I , Bandung: Refika Aditama, 2008.
Darwan Prins, Tahun 2000.
Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, tt.
Djoko Prakoso, Peadilan In Absentia di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia,1984.
46
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Jakarta: Prof.
Oemar Seno Adji, SH. & Rekan, 2006
Indriyanto Seno Adji dan Juan Felix Tampubolon, Perkara H.M. Soeharlo, Jakarta:
Multi Mediametri, 2001.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997.
Levi, Michael, Tracing and Recovering the Proceeds of Crime, Cardiff University,
Wales, UK, Tbilisi, Georgia, June 2004.
Lilik Muliady, Tindak Pidana Korupsi, Bandung : Citra Adytia Bakti, 2000.
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua,
Cet.IV, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.
Mochtar Lubis, Bunga Rampai Mengenai Etika Pegawai Negeri, Jakarta: Ghalia
Indonesia,1977.
Mubyarto dalam bukunya “ Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan Keadilan, Yogyakarta: UII
Press,1980.
O.C. Kaligis, Cross-Examination, Bandung: Alumni, 2000.
P.A.F. Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Cet.III , Bandung: Sinar Baru, 1990.
Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1976.
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, Bandung: Alumni, 2007.
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor : Politea, 1983.
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ,
Cet. VI, Jakarta: Sinar Grafika 2006.
Satjipto Rahardjo, Imu Hukum, Cet IV, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
Sudarto,Hukum dan Hukum Pidana, Cet. IV, Bandung: Alumni, 1996.
Syed Hussien Alatas, Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelasan Dengan Data
Kontemporer, Tahun 1987.
________, Korupsi Sifat, Sebab dan Akibat, Jakarta : LP3ES, 1987.
Yudi Kristiana, Independensi Kejaksaan Dalam Penyidikan Korupsi, Cet. I Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2006.
B. Dokumen
47
Putusan PN No.1032/PID/B/2001/PN.JKT.PST.
Putusan Praperadilan No. 07/Pid/Prap/2000/PN.Jkt.Sel., tgl. 29 Juni 2000,
Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Tahun 1979-1985,
Abstrak Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 1982-1993.
Surat Perintah Penahanan No.Pol.: SPP/R/48/M/VI/1999/Ditserse Ek.
C. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Ketetapan MPR RI
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Het Herziene Inlan Reglement (HIR)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor .31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggraan Negara Yang Bersih
Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara
Republik Indonesia dan Australia.
Undang-Undang Nomor 9Tahun 1992 tentang Keimigrasian.
Peraturan Pelaksanaan KUHAP.
48
49