Peradilan in Absentia (Tipikor)

79
Tugas Kuliah : Sistem Peradilan Indonesia PERADILAN IN ABSENTIA TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA Oleh : M. Rainoer A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi di Indonesia perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, dari segi kuantitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sedangkan jumlah kerugian keuangan negara akibat perbuatan tindak pidana korupsi semakin bertambah besar. Keterpurukan perekonomian diyakini sebagai resultan dari adanya tindak pidana korupsi yang sistematis dan meluas. 1 Sistematisnya tindak pidana korupsi sebagai bagian kejahatan terstruktural yang sangat utuh terakar, kuat dan permanen sifatnya, sehingga korupsi sudah menjadi bahagian dari sistem yang ada. 2 Begitu parahnya tindak pidana korupsi telah menempatkan Indonesia pada peringkat tertinggi secara berturut-turut dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari laporan Transparency Internasional (TI) sejak satu dekade terakhir (1998-2008), Indonesia selalu menempati peringkat terkorup di dunia. Tahun 1998 (peringkat 6 terkorup dari 85 negara), tahun 1999 (peringkat 3 terkorup dari 98 negara), tahun 2000 1 Terutama di sektor perbankan berupa kredit macet yang pada imbasnya menimbulkan likuidasi terhadap bank-bank bermasalah dan pada akhirnya pemerintahlah yang menanggung beban. 2 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, (Jakarta: Prof. Oemar Seno Adji, SH. & Rekan, 2006), hlm.1. 1

description

Hukum

Transcript of Peradilan in Absentia (Tipikor)

Page 1: Peradilan in Absentia (Tipikor)

Tugas Kuliah : Sistem Peradilan Indonesia

PERADILAN IN ABSENTIA TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM SISTEM

PERADILAN PIDANA

Oleh : M. Rainoer

A. Latar Belakang

Tindak pidana korupsi di Indonesia perkembangannya terus meningkat dari tahun

ke tahun, dari segi kuantitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta

lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sedangkan jumlah

kerugian keuangan negara akibat perbuatan tindak pidana korupsi semakin bertambah

besar. Keterpurukan perekonomian diyakini sebagai resultan dari adanya tindak pidana

korupsi yang sistematis dan meluas.1 Sistematisnya tindak pidana korupsi sebagai

bagian kejahatan terstruktural yang sangat utuh terakar, kuat dan permanen sifatnya,

sehingga korupsi sudah menjadi bahagian dari sistem yang ada.2 Begitu parahnya

tindak pidana korupsi telah menempatkan Indonesia pada peringkat tertinggi secara

berturut-turut dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari laporan Transparency

Internasional (TI) sejak satu dekade terakhir (1998-2008), Indonesia selalu menempati

peringkat terkorup di dunia. Tahun 1998 (peringkat 6 terkorup dari 85 negara), tahun

1999 (peringkat 3 terkorup dari 98 negara), tahun 2000 (peringkat 5 terkorup dari 90

negara), tahun 2001(peringkat 4 terkorup dari 91 negara), tahun 2002 (peringkat 6

terkorup dari 102 negara), tahun 2003 (peringkat 6 terkorup dari 133 negara), tahun

2004 (peringkat 5 terkorup dari 146 negara), tahun 2005 (peringkat 5 terkorup dari 158

negara), tahun 2006 (peringkat 7 terkorup dari 163 negara), tahun 2007 (peringkat 10

terkorup dari 179 negara), tahun 2008 (peringkat 15 terkorup dari 180 negara)3. Indeks

Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2009 mencapai 2,8 atau naik dari 2,6

pada tahun 2008, merupakan gambaran buruknya pelayanan publik.4

Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah

meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana

korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-

1 Terutama di sektor perbankan berupa kredit macet yang pada imbasnya menimbulkan likuidasi terhadap bank-bank bermasalah dan pada akhirnya pemerintahlah yang menanggung beban.2 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, (Jakarta: Prof. Oemar Seno Adji, SH. & Rekan, 2006), hlm.1.3 http://www.hupelita.com, diakses tanggal 10 Februari 2013, jam: 14.30 WIB.4 http://bataviase.co.id, diakses tanggal 10 Februari 2013, jam: 14.30 WIB.

1

Page 2: Peradilan in Absentia (Tipikor)

undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan

Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999

tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan berlakunya perundang-undangan

pemberantasan tindak pidana korupsi serta dibentuknya badan-badan (komisi)

pemberantasan tindak pidana korupsi diharapkan akan dapat memberantas tindak

pidana korupsi dalam hal pengenaan pidana (deterent effect) maupun pengembalian

kerugian keuangan negara5. Namun, sangat disayangkan khusus dalam upaya

mengembalikan keuangan negara akibat perbuatan tindak pidana korupsi ternyata

belum memberikan hasil yang maksimal. Data dari sumber Kejaksaan Agung di atas

menunjukkan upaya pengembalian kerugian keuangan negara masih tergolong rendah,

masih di bawah 10% dari jumlah yang seharusnya dikembalikan.

Pentingnya pengembalian keuangan negara ini, terutama bagi begara berkembang

seperti Indonesia, didasarkan pada kenyataan bahwa tindak pidana korupsi telah

merampas kekayaan negara, sementara sumber daya sangat dibutuhkan untuk

merekonstruksi dan merehabilitasi masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan.

Upaya pengembalian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi harus dilakukan

oleh Pemerintah Indonesia. Alasannya adalah, pertama, mengingat jumlah kerugian

keuangan negara yang begitu besar; kedua, dana atau aset yang dikorupsi tersebut

adalah harta kekayaan negara Indonesia yang seharusnya diperuntukan bagi

pembangunan dalam upaya meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat

Indonesia. Tindak pidana korupsi telah mengakibatkan hilangnya kesempatan rakyat

Indonesia untuk menikmati hak-haknya, dan menempatkan sebagian besar rakyat hidup

5 Perlu untuk diimengerti bahwa tujuan terpenting dari pemberantasan tindak pidana korupsi bukanlah hanya ditujukan terhadap pelaku tindak pidana korupsi untuk diberikan sanksi pidana berupa pidana pokok penjara saja (detterence effect), akan tetapi secara sinergis juga ditujukan pada upaya untuk mengembalikan kerugian negara yang telah ditimbulkan akibat perbuatan korupsi. Dengan upaya pengembalian kerugian keuangan tersebut maka diharapkan hasilnya akan dapat menutupi ketidakmampuan negara dalam membiayai berbagai aspek yang sangat dibutuhkan, misalnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, memberikan porsi yang lebih besar pada anggaran pendidikan, serta mewujudkan pemberian subsidi pelayanan kesehatan yang baik dan murah.

2

Page 3: Peradilan in Absentia (Tipikor)

di bawah garis kemiskinan; ketiga, negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan

menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya melalui alternatif sumber pendanaan. Salah

satu sumber pendanaan tersebut harus diambil dari dana atau aset tindak pidana

korupsi. Keempat, upaya pengembalian keuangan negara akibat perbuatan tindak

pidana korupsi memiliki makna preventif (pencegahan) dan makna represif

(pemberantasan)6. Tujuan terpenting dari pemberantasan tindak pidana korupsi adalah

upaya pengembalian kerugian keuangan negara selain penjatuhan pidana bagi pelaku

tindak pidana korupsi. Oleh karenanya, telah diadakan perumusan Rancangan Undang-

Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengganti undang-undang

terdahulu.

Dalam UUPTPK telah diatur mekanisme penyidikan, penuntutan dan

pemeriksaan di sidang persidangan dalam satu bab tersendiri yakni tepatnya pada Bab

III, kemajuan yang pesat dalam UU ini adalah diberlakukannya sistem pemeriksaan in

absentia terhadap terdakwa.7 Dengan adanya sistem peradilan in absentia dalam

UUPTPK ini menunjukkan bahwa aspek terpenting dalam pemberantasan tindak pidana

korupsi adalah upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana

korupsi. Dalam rangka upaya pengembalian kerugian keuangan Negara akibat tindak

pidana korupsi ini, maka salah satu hambatan yang cukup signifikan dalam proses

peradilan tindak pidana korupsi adalah menyangkut dengan ketidakhadiran terdakwa

dalam persidangan. Ketidakhadiran terdakwa dalam persidangan dalam hukum acara

pidana lazim dikenal dengan istilah peradilan in absentia, yakni mengadili seorang

terdakwa dan dapat mengukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa itu sendiri.8 Peradilan

in absentia dalam perkara perdata tidak menimbulkan masalah, dikatakan demikian

oleh karena mengadili atau menjatuhkan putusan tanpa hadirnya tergugat dapat selalu

dilakukan oleh hakim, dimana dalam perkara perdata pada umumnya yang menghadiri

sidang pengadilan hanyalah wakil atau kuasa dari pihak-pihak yang berperkara, sedang

yang bersangkutan sendiri tidak perlu hadir dalam pemeriksaan sidang tersebut.9

6 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 2007), hlm.17-18.7 Secara teologikal dapat kita ketahui bahwa spirit dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah juga mengedepankan upaya pengembalian keuangan negara akibat perbuatan tindak pidana korupsi. Hal ini dapat kita lihat dari konsideran huruf d, dinyatakan: “bahwa Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 belum mengatur semua aspek korupsi secara khusus dan menyeluruh.” 8 Djoko Prakoso, Peadilan In Absentia di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1984),hlm.54.9 Loc Cit.

3

Page 4: Peradilan in Absentia (Tipikor)

Sebaliknya, dalam suatu perkara pidana umumnya menghendaki hadirnya terdakwa

dalam pemeriksaan sidang yang bersifat terbuka, bahwa terdakwa adalah seorang

tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.10

Persoalan ketidakhadiran terdakwa dalam pemeriksaan sidang perkara pidana,

khususnya dalam tindak pidana korupsi menjadi permasalahan dalam upaya

pengembalian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan. Alasan

sakit menjadi dalil bagi terdakwa untuk menghindari pemeriksaan pengadilan, sehingga

menjadikan pemeriksaan pengadilan berlarut-larut serta pada akhirnya pemeriksaan

tidak dapat dilanjutkan. Hal ini terjadi dalam kasus H.M . Soeharto, Zulkifli Harahap

dan lain-lain. Apabila pemeriksaan perkara korupsi secara in absentia ini dikaitkan

dengan teori keadilan sosial (teori pengembalian aset) dalam rangka upaya

mengembalikan kerugian keuangan negara akibat perbuatan tindak pidana korupsi

menunjukkan bahwa terdapat hak negara untuk mengupayakan pengembalian keuangan

negara11, sedangkan kehadiran terdakwa dalam persidangan merupakan kewajiban yang

harus dipenuhi12. Permasalahan ketidakhadiran terdakwa dalam persidangan

menjadikan perkara tersebut akan berlarut-larut dan tidak menentu, sementara

masyarakat menuntut untuk dilakukannya pemberantasan tindak pidana korupsi demi

tercapainya rasa keadilan.13

Dalam perkembangannya selama ini, telah ada beberapa perkara tindak pidana

korupsi yang telah dilakukan peradilan secara in absentia yaitu terhadap Bambang

Sutrisno dan Andrian Kiki Ariawan dalam perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesis

(PT Bank Surya) yang merugikan keuangan negara sebanyak Rp.1,5 triliun dan Hendra

Rahardja dalam perkara yang sama (PT. Bank Harapan Sentosa) yang merugikan

keuangan negara sebanyak Rp.2,65 triliun.14 Ketidakhadiran terdakwa dalam sidang

kasus korupsi sudah diantisipasi dengan ketentuan Pasal 38 (1) Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut

UUPTPK) antara lain menyebutkan bahwa: ”Dalam hal terdakwa telah dipanggil

secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara

dapat diperiksa dan di putus tanpa kehadirannya”.(garis miring dari penulis)

10 Lihat: Pasal 1 sub 15 KUHAP.11 Purwaning M. Yanuar, Op. Cit, hlm.107.12 Lihat: Pasal 154 KUHAP.13 Lihat: Pertimbangan majelis hakim dalam perkara tindak pidana korupsi atas nama Hendra Rahardja CS, Putusan PN No.1032/PID/B/2001/PN.JKT.PST.14 Chaerudin et all, Strategi Pencegahan & Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Cet.I (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm.14.

4

Page 5: Peradilan in Absentia (Tipikor)

Ketentuan pasal ini yang menyebutkan “tanpa alasan yang sah” sering

dijadikan perlindungan untuk menghindari proses pengadilan misalnya alasan sakit atau

sudah pikun dan sebagainya, agar alasan yang disampaikan seolah-olah sah guna

menghindari pemeriksaan sidang pengadilan. Apabila hal ini dikaitkan dengan

ketentuan Pasal 154 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) maka sebenarnya Hakim

dapat memerintahkan terdakwa untuk dihadirkan secara paksa (ayat 6), kecuali

terdakwa melarikan diri, atau meninggal dunia. Selanjutnya, menurut Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UUKK),

menentukan bahwa pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana dengan

hadirnya terdakwa kecuali apabila undang-undang menentukan lain.15 Dari ketentuan

tersebut dapat diketahui bahwa kehadiran terdakwa di pemeriksaan sidang pengadilan

merupakan kewajiban, kecuali apabila undang-undang menentukan lain.

Penjabaran lebih lanjut dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1)

UUKK tersebut - kecuali apabila undang-undang menentukan lain - adalah penjelasan

Pasal 154 ayat (4) KUHAP yang menyebutkan bahwa kehadiran terdakwa di sidang

merupakan kewajiban dari terdakwa, bukan merupakan hak, jadi terdakwa harus hadir

di sidang pengadilan. Dengan demikian – kecuali apabila undang-undang menentukan

lain – tanpa kehadiran terdakwa, maka pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara

pidana tidak dapat dilangsungkan.16 Tetapi untuk pemeriksaan di sidang pengadilan

dalam perkara tindak pidana korupsi, terdapat pengecualian, yaitu sebagaimana yang

ditentukan di dalam Pasal 38 ayat (1) UUPTPK. Berarti ketentuan yang terdapat dalam

Pasal 38 ayat (1) UUPTPK merupakan sebagai lex specialis dari Pasal 154 ayat (4)

KUHAP yang merupakan sebagai lex generalis. Sifat kekhususan yang diatur dalam

Pasal 38 ayat (1) UUPTPK menggariskan bahwa ketidakhadiran terdakwa di sidang

pengadilan perkara tindak pidana korupsi, dapat berlangsung sebagai berikut:

a. ketidakhadiran terdakwa tersebut berlangsung secara terus-menerus, sejak sidang

pengadilan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum oleh hakim sampai

dengan sidang pengadilan ketika hakim menjatuhkan putusannya dalam perkara

tindak pidana korupsi, atau

15 Lihat: Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.16 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , Cet. VI (Jakarta: Sinar Grafika 2006), hlm.203.

5

Page 6: Peradilan in Absentia (Tipikor)

b. ketidakhadiran terdakwa tersebut hanya berlangsung pada satu atau beberapa kali

di antara sidang-sidang pengadilan sejak sidang pengadilan dibuka dan

dinyatakan terbuka untuk umum oleh hakim sampai dengan sidang pengadilan

ketika hakim menjatuhkan putusannya dalam perkara tindak pidana korupsi.

Agar sidang pengadilan dapat dilangsungkan tanpa kehadiran terdakwa, oleh

Pasal 38 ayat (1) ditentukan harus dipenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

a. terdakwa telah dipanggil secara sah;

b. terdakwa tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah.

Untuk dapat memanggil terdakwa secara sah, Penuntut Umum harus mengikuti

beberapa petunjuk sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 145 dan Pasal 146 ayat (1)

KUHAP. Sedangkan apa yang dimaksud dengan "tanpa alasan yang sah", baik di dalam

KUHAP maupun di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak ada ketentuan

yang dapat memberikan petunjuk, sehingga apa yang dimaksud dengan "tanpa alasan

yang sah" dalam Pasal 38 ayat (1) sepenuhnya tergantung dari pertimbangan hakim

untuk menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan oleh terdakwa.17

Dalam prakteknya faktor-faktor penyebab ketidak hadiran terdakwa dalam

pemeriksaan sidang pengadilan ini masih sering terjadi perdebatan penafsiran yang

berbeda-beda antara aparat penegak hukum, dan sehingga tidak jarang hal ini menjadi

salah satu sebab kasus korupsi tidak dapat diproses lebih lanjut dalam sidang

pengadilan. Sehingga upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak

pidana korupsi mengalami hambatan yang cukup serius dengan tidak hadirnya

terdakwa dalam persaidangan. Di samping itu kasus-kasus yang seperti ini menjadi

faktor pendorong bagi orang lain untuk ikut melakukan korupsi, baik di legislatif,

eksekutif maupun yudikatif.18

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari uraian latar belakang dalam penulisan makalah ini, maka

permasalahan pokok dalam penelitian ini terletak pada masalah proses pemeriksaan

secara in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi penulis merumuskan

permasalahan antara lain sebagai berikut:

17 Ibid, hlm. 204.18 Darwan Prins, Tahun 2000, hlm. 110.

6

Page 7: Peradilan in Absentia (Tipikor)

1. Bagaimana kedudukan dan proses pemeriksaan peradilan “tanpa dihadiri

terdakwa” (in absentia) khususnya dalam perkara korupsi?

2. Bagaimana upaya-upaya yang dapat ditempuh berdasarkan peraturan perundang-

undangan untuk mengatasi permasalahan pemeriksaan in absentia tersebut?

C. Tinjauan Kepustakaan

1. Kerangka Teori

a. Teori Keadilan Sosial dan Pengembalian Aset

Pengembalian kerugian keuangan negara akibat perbuatan korupsi memberikan

justifikasi kepada negara dalam melakukan pengembalian aset sebagaimana dikemukan

oleh Michael Levi sebagai berikut:19

1. alasan pencegahan (prophylactic), yaitu mencegah pelaku tindak pidana memiliki

kendali atas dana-dana untuk melakukan kajahatan lain di masa yang akan datang;

2. alasan kepatutan (propriety) yaitu karena pelaku tindak pidana tidak memiliki hak

yang pantas atas aset-aset tersebut;

3. alasan prioritas/mendahului (priority) yaitu karena tindak pidana memberikan hak

mendahului/prioritas kepada negara untuk menuntut aset hasil tindak pidana

daripada yang hak yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana;

4. alasan kepemilikan (proprietary) yaitu karena kenyataannya kekayaan diperoleh

melalui tindak pidana, maka negara memiliki kepentingan selaku pemilik

kekayaan tersebut.

Tindak pidana korupsi adalah tindakan merampas aset yang merupakan hak

negara sehingga negara kehilangan kemampuan untuk melaksanakan kewajiban dan

tanggung jawab untuk menyejahterakan masyarakat. Sebagai akibatnya, masyarakat

kehilangan hak-hak dasar untuk hidup sejahtera. Justifikasi negara untuk melakukan

upaya hukum baik melalui instrumen hukum pidana maupun perdata atas dasar

perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian keuangan negara akibat tindak

pidana korupsi dalam rangka melindungi hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. 20

Pengembalian kerugian keuangan negara ini merupakan bagian dari tugas dan

tanggung jawab negara untuk mewujudkan keadilan sosial, dipandang dari sudut teori

19 Michael Levi, Tracing and Recovering the Proceeds of Crime, Cardiff University, Wales, UK, Tbilisi, Georgia, June 2004, hlm.17.20 Lihat: Konsideran huruf b UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

7

Page 8: Peradilan in Absentia (Tipikor)

keadilan sosial, memberikan justifikasi moral bagi negara untuk melakukan upaya-

upaya pengembalian tersebut.

Hasil penelitian disertasi Purwaning M. Yanuar telah memberikan suatu teori

tentang pengembalian kerugian keuangan negara yang dihubungkan dengan teori

keadilan sosial, yakni teori pengembalian aset. Teori pengembalian aset adalah teori

hukum yang menjelaskan sistem hukum pengembalian aset berdasarkan prinsip-prinsip

keadilan sosial yang memberikan kemampuan, tugas dan tanggung jawab kepada

institusi negara dan institusi hukum untuk memberikan perlindungan dan peluang

kepada individu-individu dalam masyarakat dalam mencapai kesejahteraan. Teori ini

dilandaskan pada prinsip dasar: berikan kepada negara apa yang menjadi hak negara.

Di dalam hak negara terkandung kewajiban negara yang merupakan hak individu

masyarakat, sehingga prinsip tersebut setara dan sebangun dengan prinsip berikan

kepada rakyat apa yang menjadi hak rakyat.21

Oleh karena tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran hak sosial dan

ekonomi masyarakat secara luas dan endemik, merusak sendi-sendi ekonomi nasional,

maka berdasarkan teori pengembalian aset memberikan kewenangan kepada institusi

negara dan institusi hukum untuk melakukan upaya pengembalian kerugian keuangan

negara atas dasar adanya kerugian negara akibat perbuatan korupsi, baik melalui

instrument perdata maupun pidana. Sedangkan tugas dan tanggung jawab kepada

institusi negara dan institusi hukum untuk memberikan perlindungan sebagaimana

disebut di atas tentu mengacu kepada kepentingan korban yang dirugikan, dalam hal ini

negara yang mewakili kepentingan hak sosial dan ekonomi masyarakat untuk

memberikan peluang kepada individu-individu dalam masyarakat dalam mencapai

kesejahteraan.

b. Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Berlakunya KUHAP telah menimbulkan perubahan fundamental, baik secara

konsepsional maupun secara implementasi terhadap tata cara penyelesaian perkara

pidana di Indonesia. Perubahan sistem peradilan ini mengakibatkan pula adanya

perubahan dalam cara berpikir, dan mengakibatkan pula perubahan sikap dan cara

bertindak para aparat penegak hukum secara keseluruhan. Apabila ditelaah secara teliti

isi ketentuan dalam KUHAP, maka sistem peradilan pidana di Indonesia terdiri dari

21 Purwaning M. Yanuar, Op.Cit, hlm.107.

8

Page 9: Peradilan in Absentia (Tipikor)

komponen Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Lembaga Pemasyarakatan

sebagai aparat penegak hukum. Keempat aparat ini memiliki hubungan sangat erat satu

sama lain dan saling menentukan. Sistem peradilan pidana di sini dimaksudkan adalah

suatu rangkaian antar unsur/faktor yang saling terkait satu dengan yang lainnya

sehingga menciptakan suatu mekanisme sedemikian rupa sehingga sampai tujuan dari

sistem tersebut. Adapun tujuan dari sistem peradilan pidana tersebut adalah untuk

mencapai suatu masyarakat yang terbebas dari kejahatan, mengjhilangkan kejahatan

dan bukan kejahatanya.

Sebagaimana diketahui bahwa peradilan pidana merupakan sebagai suatu sistem,

maka berkaitan dengan teori sistem ini, Satjipto Rahardjo mendefinisikan sistem

sebagai berikut:

“Sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat kompleks, yang terdiri atas bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain. Pemahaman yang demikian itu hanya menekankan pada ciri keterhubungan dari bagian-bagiannya, tetapi mengabaikan cirinya yang lain, yaitu bahwa bagian-bagian tersebut bekerja secara aktif untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuan tersebut.”22

Lebih lanjut, Shrode & Voich menyatakan bahwa pengertian dasar yang

terkandung dalam sistem tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sistem itu berorientasi pada tujuan.

2. Keseluruhan adalah lebih dari sekadar jumlah dari bagian-bagiannya (wholism).

3. Suatu sistem berorientasi dengan sistem yang lebih besar, yaitu

lingkungannya (keterbukaan sistem).

4. Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga

(transformasi).

5. Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (keterhubungan).

6. Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (mekanisme kontrol).23

Selanjutnya, Fuller mengajukan suatu pendapat untuk mengukur apakah kita pada

suatu saat dapat berbicara mengenai adanya suatu sistem hukum.24 Ukuran tersebut

diletakkannya pada delapan asas yang dinamakan "principle of legality", yaitu:

22 Satjipto Rahardjo, Imu Hukum, Cet IV (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm.48.23 Loc Cit.24 Ibid., hlm. 51.

9

Page 10: Peradilan in Absentia (Tipikor)

1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, yang dimaksud di

sini adalah bahwa ia tidak boleh mengandung sekadar keputusan-keputusan yang

bersifat ad hoc.

2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.

3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian

itu tidak ditolak, peraturan itu tidak bisa dipakai untuk menjadi pedoman tingkah

laku. Membolehkan pengturan secara berlaku surut berarti merusak integritas

peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang.

4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.

5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu

sama lain.

6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang

dapat dilakukan.

7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga

menyebabkan seorang akan kehilangan orientasi.

8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dan pelaksanaannya

sehari-hari.

Lebih lanjut, Fuller menyatakan bahwa kegagalan untuk menciptakan sistem yang

demikian itu bukan hanya melahirkan sistem hukum yang jelek, melainkan juga suatu

yang tidak bisa disebut sebagai sistem hukum sama sekali. Artikulasi sistem ini

memiliki makna yang luas dan komprehensif, bahkan dapat dikatakan sebagai suatu

proses yang signifikan, khususnya dalam sistem peradilan pidana. Dengan selalu tetap

memperhatikan makna "sistem" sebagai suatu proses dari peradilan pidana, tepatlah

definisi yang dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro, yaitu salah satu usaha

masyarakat untuk dapat mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-

batas toleransi. Tujuan Sistem Peradilan Pidana (selanjutnya disebut "SPP") seperti

dikutip oleh Norval Morris dari University of Chicago memiliki 3 tahap: a) Pra-

Ajudikasi: mencegah masyarakat menjadi korban; b) Era-Ajudikasi: menyelesaikan

kejahatan yang terjadi dengan memberi putusan (Pengadilan) yang sesuai dengan rasa

keadilan; c) Pasca-Ajudikasi: pelaku tidak melakukan kejahatan atau tidak mengulangi

kejahatan tersebut. Sebagai suatu kinerja, komponen dari Sistem Peradilan Pidana

semula terdiri dari Polisi, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan, ditambah sub-

sistem lainnya sebagai komponen, yaitu Jaksa. Sifat keterpaduan di antara sub-sistem

10

Page 11: Peradilan in Absentia (Tipikor)

dari SPP (Polisi, Jaksa, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan) ini saling pengaruh

mempengaruhi, layaknya roda lokomotif yang berirama dan sistematis, tegas Minoru

Shikita (mantan Direktur UNAFEI). Dengan berkembangnya SPP, keterbatasan

komponen SPP sebagai sub-sistem (Polisi, Jaksa, Pengadilan dan Lembaga

Pemasyarakatan) memerlukan peninjauan kembali.25

Proses peradilan pidana adalah dalam arti jalannya suatu peradilan pidana, yakni

suatu proses sejak seorang diduga telah melakukan tindak pidana sampai seseorang

tersebut dibebaskan kembali setelah melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan

kepadanya. Adapun tujuan proses peradilan pidana adalah untuk mencari kebenaran

yang materiil dalam melaksanakan hukum pidana. Hal ini berarti harus mencari dan

melaksanakan ketentuan tertulis yang ada dalam hukum pidana, mencegah jangan

sampai menghukum seorang yang tidak bersalah.

Dalam konteks inilah dibicarakan tentang mekanisme peradilan pidana sebagai

suatu proses, atau yang disebut “criminal justice process”. Criminal justice process

dimulai dari proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka pengadilan, serta

diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan26 Peranan sistem

peradilan sebagai indeks demokrasi menjadi sangat penting, oleh karena dapat

meningkatkan wibawa penguasa dan sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat.

Akan tetapi jika sistem peradilan gagal dalam pencapaian keadilan (miscarriages of

justice) akan rnerusak legitimasi dan integritas sistern peradilan (damaging the integrity

of the justice system). Tujuan mendasar dan sistem peradilan pidana ini dapat

dirumuskan antara lain sebagai berikut:

(a) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

(b) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa

keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;

(c) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi

lagi kejahatan.

Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system) menunjukkan mekanisme kerja

(interkoneksi) penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan

sistem, yang terdiri dari lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan

pemasyarakatan.

25 Indriyanto Seno Adji, Op. Cit, hlm.3.26 Romly Atmasasmita, Op. Cit, hlm.70.

11

Page 12: Peradilan in Absentia (Tipikor)

Sistern peradilan yang baik akan menggambarkan karakteristik sistem yaitu

herorientasi pada tujuan yang sama (puposive behavior) pendekatan besifat menyeluruh

yang jauh dan sikap fragmentanis (wholism) selalu berinteraksi dengan sistem yang

lebih besar (openess) operasionalisasi bagian-bagiannya akan dapat menciptakan nilai

tertentu (value transformation), adanya unsur keterkaitan dan kecocokan antara sub

sistem (interrelatedness,) dan adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian

secara terpadu (control mechanism). Dalam kaitannya dengan peradilan pidana, maka

dalam implementasinya dilaksanakan dalam suatu sistem peradilan pidana. Tujuan

akhir dari peradilan ini tidak lain adalah pencapaian keadilan bagi masyarakat.

Keadilan merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang umumnya diakui di

semua tempat di dunia ini. Apabila keadilan itu kemudian dikukuhkan ke dalam

institusi yang namanya hukum, institusi itu harus mampu untuk menjadi saluran agar

keadilan itu dapat diselenggarakan secara saksama dalam masyarakat. Beberapa ciri

yang umumnya melekat pada institusi sebagai perlengkapan masyarakat yang demikian

itu adalah:

1. Stabilitas. Di sini kelahiran institusi hukum menimbulkan suatu kemantapan dan

keteraturan dalam usaha manusia untuk memperoleh keadilan.

2. Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat.

Di dalam ruang lingkup kerangka yang telah diberikan dan dibuat oleh

masyarakat itu, anggota-anggota masyarakat memenuhi kebutuhannya.

3. Sebagai kerangka sosial untuk kebutuhan manusia itu, maka institusi

menampilkan wujudnya dalam bentuk norma-norma. Norma-norma itulah yang

merupakan sarana untuk menjamin agar anggota-anggota masyarakat dapat

dipenuhi kebutuhannya secara terorganisasi.

4. Jalinan institusi. Sekalipun berbagai institusi dalam masyarakat itu diadakan

untuk menyelenggarakan kebutuhan-kebutuhan tertentu, tidak dapat dihindari

terjadinya tumpang-tindih di antara mereka.27

Lebih lanjut, dikatakan bahwa posisi hukum sebagai institusi sosial terlihat

dengan baik dalam bagan yang dibuat Henry C. Bredemeier yang memanfaatkan

kerangka besar sistem masyarakat dari Talcott Parson. Manfaat bagan Bredemeier

terletak pada kemampuannya untuk menunjukkan betapa pekerjaan hukum serta hasil-

27 Ibid, hlm. 118-120.

12

Page 13: Peradilan in Absentia (Tipikor)

hasilriya tidak hanya merupakan urusan hukum, tetapi juga merupakan bagian dari

proses kemasyarakatan yang lebih besar.28

Bagan 1:

Posisi Hukum Sebagai Institusi Sosial

(Pola yang dibuat oleh Bredemeier ini menempatkan pengadilan sebagai pusat

kegiatan)

Hukum membutuhkan kekuasaan, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan kekuasaan

itu untuk menguasai hukum. Kekuasaan yang menekan hukum pada akhirnya akan

merusak sistem hukum secara keseluruhan.29 Suatu sistem dikatakan hancur manakala

sebagai akibat dari pertukarannya dengan perubahan-perubahan tersebut ia tidak

mampu mempertahankan eksistensinya sehingga harus mengalah terhadap tekanan

tersebut. Sebaliknya, apabila ia sanggup mengatasi tantangan-tantangan tersebut dan

mampu beradaptasi dengan baik terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di

sekelilingnya, sistem itu akan hidup terus.30 Konsekuensi logis dan dianutnya proses

hukum yang adil atau layak (due process of law) harus pula didukung oleh sikap batin

(penegak hukum) yang menghormati hak-hak warga masyarakat. Dalam pengertian

fisik (struktural) sistem peradilan pidana harus diartikan sebagai kerjasama antara

pelbagai sub sistem peradilan (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga

pemasyarakatan) untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan jangka pendek adalah untuk

resosialisasi pelaku tindak pidana, jangka menengah untuk mencegah kejahatan dan

jangka panjang untuk kesejahteraan dan keamanan masyarakat.

Dilema dalam sistem peradilan di Indonesia adalah masalah model atau ideologi

yang dipakai dalam KUHAP antara “Adversary Model “ dan “Non Adversary Model “.

Meskipun kedua model ini memiliki pandangan yang sama tentang kebenaran suatu

proses penyelesaian perkara. pidana, akan tetapi antara keduanya ada perbedaan yang 28 Ibid, hlm.143.29 Ibid, hlm.146.30 Ibid, hlm.190.

13

Proses Adaptif(Ekonomi)

Proses Pencapaian Tujuan (Politik)

Proses Mempertahankan

Pola (Budaya)

HUKUM(mengintegrasikan,

mengkoordinasikan)

Organisasi yang efisien

Legitimasi

Keadilan

Page 14: Peradilan in Absentia (Tipikor)

fundamental dalam mengungkapkan nilai nilai kebenaran yaitu bila “adversary model“

berpendapat bahwa kebenaran itu hanya dapat diperoleh melalui atau diungkapkan

dengan memberikan kesempatan kepada masing-masing pihak ( tertuduh dan penuntut

umum ) untuk mengajukan argumentasi dan bukti. Maka “non adversary model”

berpendapat bahwa kebenaran suatu tindak pidana hanya dapat diperoleh atau

diungkapkan melalui suatu penyelidikan oleh pihak pengadilan yang tidak memihak.

Sistem pembuktian “ adveversary model” ditujukan untuk mengurangi kemungkinan

dituntutnya seseorang yang nyata-nyata tidak bersalah, sekalipun mengandung resiko

orang yang bersalah dapat terhindar dari penjatuhan hukuman, sebaliknya sistem “non

adversary model” lebih cenderung ditujukan untuk mencapai kebenaran ( materiil )

dan suatu perkara pidana.

2. Kerangka Pemikiran

Bertitik tolak pada ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

yang menyimpang dari ketentuan Pasal 195 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana ( KUHAP ) yang berbunyi sebagai berikut: Bahwa Pengadilan memutus perkara

dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain.

Demikian juga ketentuan dalam Pasal 214 KUHAP yang menyatakan, bahwa jika

terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan, maka

dalam hal ini terdapat kemungkinan proses peradilan pidana in absentia dilakukan.

Pemberlakuan proses peradilan in absentia ini apabila terdakwa tidak dapat dihadirkan

di depan sidang pengadilan yang disebabkan antara lain karena terdakwa meninggal

dunia, terdakwa melarikan diri, atau alasan yang sah lainnya. Penyimpangan pasal 38

UU nomor 31 Tahun 1999 ini, di dalam penjelasannya dimaksudkan untuk

menyelamatkan kekayaan negara sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun, perkara

dapat diperiksa dan diputus oleh hakim. Secara sistematis dapat dijabarkan dalam

kerangka pemikiran bahwa pada prinsipnya terdakwa wajib dihadirkan dalam sidang

pengadilan baik melalui pemanggilan secara sah maupun dengan paksaan, kecuali

ketidakhadiran tersebut antara lain disebabkan terdakwa tidak diketahui alamat yang

jelas (melarikan diri), terdakwa sakit ingatan dan alasan yang sah lainnya. Adapun

kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Bagan 2:

Kerangka Pemikiran Peradilan In Absentia Dalam Perkara Korupsi

14

POLRI

Page 15: Peradilan in Absentia (Tipikor)

D. Pembahasan

1. Kedudukan Pemeriksan Peradilan In Absentia Dalam Hukum Acara

Pengertian mengadili atau menjatuhkan hukuman secara in absentia adalah

mengadili seorang terdakwa dan dapat menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa itu

sendiri.31 Dalam perkara perdata, mengadili atau menjatuhkan putusan tanpa hadirnya

tergugat sering kali dilakukan oleh hakim, setelah dilakukan pemanggilan secara sah

menurut ketentuan hukum yang berlaku. Dalam perkara perdata pada umumnya, sering

hanya diwakilkan pada wakil atau kuasa dari pihak-pihak yang berperkara, sedang yang

bersangkutan sendiri tidak perlu hadir dalam pemeriksaan sidang tersebut.32 Ketentuan

ini berbeda dalam perkara pidana pada umumnya menghendaki hadirnya terdakwa

dalam pemeriksaan sidang yang bersifat terbuka, sebagaimana diisyaratkan pada Pasal

1 sub 15 KUHAP, bahwa terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa

dan diadili di sidang pengadilan. Prinsip hadirnya terdakwa dalam perkara pidana ini

didasarkan atas hak-haknya sebagai manusia yang berhak membela diri dan

mempertahankan hak-hak kebebasannya, harta bendannya ataupun kehormatannya. Di

samping itu adanya hak terdakwa yang dianggap tidak bersalah sebelum ada hukuman

yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau pasti oleh pengadilan, dan dalam istilah

asing dikenal dengan asas presumption of innocence. Dalam praktek peradilan pidana,

tidak hadirnya terdakwa menyebabkan pemeriksaan ditunda, ini berarti untuk

sementara waktu pemeriksaan perkara tidak dilanjutkan. Ketidakhadirnya terdakwa

31 Djoko Prakoso, Op. Cit, hlm.54.32 Loc. Cit. Jadi, dalam perkara perdata permasalahan pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa tidak merupakan permasalahan yang cukup berarti, namun hal ini menjadi berbanding terbalik dalam pemeriksaan dalam perkara pidana khususnya dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi.

15

TERDAKWA TIDAK HADIR

TERDAKWA HADIR

- Sakit ingatan- Buron- Meninggal

TERSANGKA PENYIDIKAN

KEJAKSAAN

PENUNTUTAN

PENGADILAN

Page 16: Peradilan in Absentia (Tipikor)

dalam pemeriksaan disebabkan beberapa hal antara lain : tidak diketahui alamat tetap,

bertempat tinggal atau pergi keluar negeri, atau sengaja melarikan diri (buron).

Dasar hukum peradilan in absentia, memang secara implisit tidak dicantumkan

secara tegas dalamKUHAP, baik dalam ketentuan pasal-pasal yang bersangkutan

maupun di dalam penjelasannya. Akan tetapi dalam suatu keadaan tertentu,

pemeriksaan sidang pengadilan yang memutus perkara pidana dapat mengeyampingkan

ketentuan larangan pemeriksaan tanpa hadirnya terdakwa. Hal ini didasarkan pada

ketentuan yang terkandung dalam Pasal 196 (1) jo Pasal 214 KUHAP sebagai berikut :

Pasal 196 (1) :

“Pengadilan memutuskan perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal

undang-undang ini menentukan lain”

Pasal 214 :

(1) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara

dilanjutkan;

(2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan

segera disampaikan kepada terpidana.

Selain itu ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai peradilan in absentia

dalam KUHAP, juga terdapat pengaturan peradilan in absentia dalam peraturan

perundang-undangan yang bersifat khusus, dapat dilihat antara lain:

- Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951, Lembaran Negara

No. 9 Tahun 1951.

- Pasal 16 UU Darurat No. 7 Tahun 1955 (UU Tindak pidana Ekonomi)

- Penetapan Presiden No. 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan

Subversi

- Pasal 23 UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi

- Pasal 38 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana telah dirubah dengan Undaang-undang Nomor 20

Tahun 2001.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang peradilan in absentia

sebagaimana disebut di atas adalah peraturan perundang-undangan yang bersifat

khusus, dengan sifat kekhususannya ini dan berdasarkan asas lex specialis derogat lex

generalis, maka ketentuan pasal dalam peraturan perundang-undangan yang khusus ini

mengeyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex generali)

16

Page 17: Peradilan in Absentia (Tipikor)

sebagaimana diatur dalam KUHAP. Adalah suatu pengecualian untuk memberlakukan

peradilan in absentia dalam peraturan perundang-undangan yang menyebutkan

kebolehan untuk melakukan peradilan in absentia. Kebolehan ini juga diakui dalam

KUHAP yang menyebutkan di akhir kalimat Pasal 196 ”... kecuali dalam hal undang-

undang ini menentukan lain”, kalimat yang hampir sama juga ditemui dalam Pasal 18

ayat (1) UUKK yang menyatakan: ”Pengadilan memeriksan dan memutus perkara

pidana dengan hadirnya terdakwa kecuali apabila undang-undang menentukan lain.”

Jadi, jelas bahwa pemeriksaan sidang pengadilan secara in absentia telah mendapatkan

legitimasi keberlakuannya dalam perkara-perkara tindak pidana tertentu sepanjang

dalam undang-undang tindak pidana tertentu tersebut menyebut tentang kebolehan

pemeriksaan secara in absentia. Terlebih lagi dalam perkara tindak pidana korupsi,

pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi dengan ketidakhadiran terdakwa menjadi

semakin jelas pengaturannya yakni dalam Penjelasan Pasal 38 ayat (1) UUPTPK yang

menyebutkan: ”Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan

kekayaan negara, sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun, perkara dapat diperiksa

oleh hakim.”

Pembentuk undang-undang menyadari bahwa terhadap pemeberantasan tindak

pidana korupsi, bukan hanya menjatuhkan hukuman kepada pelaku tindak pidana

korupsi melainkan juga adalah mengupayakan pengembalian kerugian keuangan negara

akibat tindak pidana korupsi. Pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak

pidana korupsi harus dilakukan mengingat tindak pidana korupsi telah mengakibatkan

bencana bagi kehidupan ekonomi nasional dan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran

terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Adalah sangat beralasan

untuk melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi dengan cara-cara yang

luar biasa. 33 Cara-cara yang luar biasa salah satunya adalah penerapan peradilan in

absentia terhadap tersangka atau terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi.

2. Proses Sistem Peradilan In Absentia Dalam Tindak Pidana Korupsi

Pada prinsipnya proses pemeriksaan tindak pidana korupsi di depan sidang

pengadilan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hukum acara, kecuali undang-

undang menentukan lain. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 38 UU Nomor 31

Tahun 1999, yang berbunyi :

33 Lihat Penjelasan Umum UUPTPK.

17

Page 18: Peradilan in Absentia (Tipikor)

(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang

pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa

kehadirannya.

(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan,

maka terdakwa wajib diperiksa, dari segala keterangan saksi dan surat-surat yang

dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang

yang sekarang.

(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut

umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau

diberitahukan kepada kuasanya.

(4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1).

(5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat

bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana

korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan

barang-barang yang telah disita.

(6) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat

dimohon upaya banding.

(7) Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada

pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(5), dalam waktu 30 ( tiga puluh ) hari terhitung sejak tanggal pengumuman

sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

Ketentuan-ketentuan di atas menunjukkan bahwa pada Pasal 38 ayat (1) UU

Nomor 31 Tahun 1999 memungkinkan adanya peradilan “in absentia ” yaitu perkara

tindak pidana korupsi dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa. Ditegaskan

pula jika terdakwa hadir pada sidang berikutnya maka di samping terdakwa wajib

diperiksa, maka keterangan dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya

dianggap diucapkan dalam sidang tersebut. Menurut penjelasan Pasal 38 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, bahwa pelaksanaan peradilan “in absentia”

dimaksudkan adalah untuk menyelamatkan keuangan negara. Akan tetapi dalam

pelaksanaannya pasal ini sering disiasati dengan alasan-alasan sakit atau sudah pikun,

dengan mengacu pada ketentuan Pasal 44 KUHP. Padahal jika dilihat dari ketentuan

18

Page 19: Peradilan in Absentia (Tipikor)

Pasal 44 KUHP tersebut, hanya dinyatakan bahwa orang yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya hanyalah yang melakukan tindak

pidana dalam keadaan “sakit ingatan ”. Sebaliknya orang yang setelah melakukan

tindak pidana menjadi sakit atau kurang ingatannya tetap dapat dipertanggungjawabkan

atas perbuatan yang dilakukannya (contoh; kasus Muchtar Pakpahan dan.A.M. Fatwa).

Sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat (2) maka apabila terdakwa hadir pada

sidang berikutnya ” sebelum ” putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa.

Artinya, walaupun pada waktu itu acara pemeriksaan sudah sampai pada tahap tuntutan

atau pembacaan vonis maka harus ditunda untuk mendengarkan keterangan terdakwa.

Meskipun begitu semua keterangan saksi dan surat-surat dalam pemeriksaan terdahulu

tidak perlu diulangi lagi dan dianggap sebagai diucapkan dalam sidang pemeriksaan

tersebut. Apabila terdakwa tidak hadir maka selanjutnya putusan yang dijatuhkan

secara in absentia diumumkan, yaitu mengumumkan petikan surat putusan pengadilan

dengan cara menempelkannya pada surat kabar atau ditempelkan di papan

pengumuman pengadilan atau ditempat-tempat lainnya. Atas putusan in absentia, maka

terdakwa atau kuasa hukumnya dapat mengajukan banding ( Pasal 38 ayat 4 ).

Ketentuan ini dalam praktek dapat menimbulkan masalah karena pada ayat ini tidak

ditentukan secara tegas apakah permintaan banding itu dapat dilakukan oleh penasihat

hukum tanpa kehadiran terdakwa ? Misalnya kasus Tommy Soeharto dimana

permintaan peninjauan kembali diajukan oleh penasihat hukumnya karena si terdakwa

melarikan diri (buron). Jadi hal ini pula yang dapat mendorong tersangka pelaku tindak

pidana korupsi untuk melarikan diri karena merasa hak-haknya sebagai terdakwa tetap

dilindungi oleh hukum.

3. Perkara Pemeriksaan In Absentia Dalam Perkara Tindak Pidana

Korupsi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.

1032/PID/B/2001/ PN. JKT.PST)

1). Kasus Posisi34

Bank Harapan Sentosa (BHS) adalah salah satu bank swasta nasional Indonesia

yang sahamnya dimiliki oleh keluarga Rahardja. Sejak berdiri sampai tahun 1996, BHS

selalu dinyatakan dalam kondisi baik dan sehat berdasarkan hasil

34 Dirangkum berdasarkan berkas perkara di tingkat penyidikan, tingkat penuntutan, tingkat pengadilan, putusan pengadilan tingkat pertama, dan memori banding Kantor Hukum O.C. Kaligis.

19

Page 20: Peradilan in Absentia (Tipikor)

penelitian/pemeriksaan Tim Pengawasan Bank Indonesia. Pada bulan November 1997,

Pemerintah Indonesia mengumumkan 16 (enam belas) bank swasta nasional yang

dihentikan pengoperasiannya dan dimasukkan ke dalam program pembubaran usaha

(likuidasi) dan BHS termasuk di dalamnya. Pada saat penghentian operasional dan

Kkuidasi itu berlangsung, Hendra Raharja berkedudukan sebagai Komisaris sekaligus

pemegang saham mayoritas, sedangkan Direksi BHS terdiri dari Andre Widijanto,

Sherly Konjongian, Hendro Suwono dan Muhammad Nur Tajeb. Berdasarkan UU

Perbankan dan Peraturan Pelaksanaannya, apabila sebuah bank dinyatakan masuk

dalam program likuidasi, Pemerintah dan Bank Indonesia akan membekukan operasi

bank tersebut. Bank Indonesia kemudian akan membentuk tim likuidasi yang

bertanggung jawab untuk melakukan audit atas aset dan tanggung jawab bank tersebut.

Sejak likuidasi BHS diumumkan oleh Pemerintah sampai tahun berikutnya, proses

audit terhadap aset dan tanggung jawab BHS maupun audit terhadap aset dan tanggung

jawab pemilik BHS belum selesai dilakukan.35 Sebagian harta kekayaan BHS maupun

harta kekayaan pemegang saham disita oleh Bank Indonesia. Para Direktur BHS

ditetapkan sebagai Tersangka dalam perkara tindak pidana di bidang perbankan

berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (1) dan (2) b UU Perbankan. Tim Likuidasi Bank

Indonesia tidak menyerahkan surat-surat asli kepemilikan aset dan dokumen-dokumen

asli BHS kepada kejaksaan untuk dijadikan bukti di pengadilan. Pada waktu itu Bank

Indonesia sedang melakukan audit.36 Bersamaan dengan itu, Tim Likuidasi Bank

Indonesia mengajukan gugatan perdata terhadap para pemegang saham BHS. Gugatan

didasarkan pada kewajiban BHS untuk mengembalikan pinjamannya kepada Bank

Indonesia. Bersamaan dengan gugatan itu juga dimohonkan sita yang kemudian

menjadi dasar bagi pelelangan aset-aset BHS. Setelah BHS dilikuidasi, Hendra Raharja

memperlihatkan kerja sama untuk menyelesaikan permasalahan tanggung jawabnya

sebagai pemegang saham kepada Tim Likuidasi BI dengan melakukan berbagai

perjanjian untuk mengembalikan utang BHS kepada Bank Indonesia. Dalam perjanjian

tersebut, Hendra Raharja menyerahkan aset-aset pribadinya kepada Tim Likuidasi dan

35 Pada tanggal 3 Juli 1998, pada saat audit Bank Indonesia sedang berlangsung, Mayor Polisi Drs. Mustahari Sembiring membuat Laporan Polisi No.: Pol.LP/182/Vn/1998/Serse.Ek, mengenai terjadinya tindak pidaria korupsi yang terjadi di BHS dengan Hendra Rahardja sebagai tersangka, tetapi Hendra tidak pernah dipanggil untuk diperiksa atau dibuat BAP karena pada saat itu ia berada di Australia.36 Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia: (1) Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. (2) Bank Indonesia wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugasnya.

20

Page 21: Peradilan in Absentia (Tipikor)

sebagai gantinya Tim Likuidasi memberikan surat pernyataan release and discharge

(R&D), yaitu bahwa dengan penyelesaian dan pemberian aset tersebut, Hendra Raharja

dilepaskan dari segala tuntutan. Karena Hendra Rahardja tidak ditahan dan karena

adanya Surat Pernyataan release and discharge tersebut, Hendra Raharja kemudian

berangkat ke Sydney, Australia, dan bermukim di sana. Perkara tersebut kemudian

dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Pada tanggal 13 April 1999 Kejaksaan

Tinggi DKI Jakarta mengirimkan surat kepada Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes

Polri untuk menyerahkan tersangka kepada Penuntut Umum agar perkara dapat

dilimpahkan ke pengadilan.37 Akan tetapi, penyidik tidak menyerahkan tersangka

kepada Penuntut Umum dan kemudian meminta bantuan Interpol untuk menangkap

dan menahan Hendra Rahardja yang berada di Sydney, Australia. Alasan penangkapan

tersebut adalah karena Hendra Rahardja diduga melakukan tindak pidana pencucian

uang di Sydney, yang uangnya berasal dari hasil tindak pidana yang dilakukannya di

Indonesia. Interpol kemudian mengeluarkan interpol red notice.

Pada tanggal 1 Juni 1999 Hendra Rahardja ditahan oleh Australia Federal Police

dan 3 (tiga) hari kemudian dipindahkan dari tahanan polisi Sydney ke Penjara

Silverwater di Sydney. Surat perintah penahanan Hendra Rahardja baru dikeluarkan di

Indonesia pada tanggal 18 Juni 199938 dan kemudian terhadap surat tersebut

dimohonkan pemeriksaan Praperadilan. Berdasarkan Putusan Praperadilan tanggal 29

Juni 200039, ditetapkan bahwa Surat Perintah Penahanan tertanggal 18 Juni 1999 No.

Pol.: SPP/R/48/M/VI/1999/ Ditserse Ek. yang dikeluarkan oleh Direktur Reserse

Tindak Pidana Ekonomi Polri adalah tidak sah.40 Hendra Rahardja yang ditahan di

Sydney mengajukan keberatan atas penahanannya dan menolak untuk diekstradisi ke

Indonesia. Dalam putusan Federal Court of Australia New South Wales District

Registry No. N531 of 2000 tertanggal 1 Agustus 2000, Hakim memutuskan untuk tidak

mengabulkan permohonan ekstradisi Hendra Rahardja ke Indonesia.41Hendra Rahardja

37 Hal ini sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) jo Pasal 146 KUHAP.38 Surat Perintah Penahanan No.Pol.: SPP/R/48/M/VI/1999/Ditserse Ek.39 Putusan Praperadilan No. 07/Pid/Prap/2000/PN.Jkt Sel.40 Putusan Praperadilan No. 07/Pid/Prap/2000/PN.Jkt.Sel., tgl. 29 Juni 2000, yang menyatakan Surat Penahanan terhadap Hendra Rahardja tidak sah, diputus oleh Hakim Abdul Madjid Rahim, S.H., O.C. Kaligis, Cross Examination ..., op.cit., hlm. 94-95; Lihat juga Majalah TEMPO, tanggal 2 Juli 2000, "Buron ke Australia, Menuntut di Indonesia", him. 143; Majalah FORUM KEADILAN, No. 18, tanggal 6 Agustus 2000, "Tiga Menguak Hendra", hlm. 63; Majalah TEMPO, tanggal 6 Agustus 2000, "Alotnya Menghukum Hendra", hlm. 129.41 O.C Kaligis, Cross Examination . . . , Op. Ciit., hlm. 407-409. Kasus ini terjadi di Federal Court of Australia, New South Wales District, perkara No. 531 of 2000, antara Hendra Raharja vs. Negara Republik Indonesia, di mana Indonesia meminta ekstradisi Hendra Raharja untuk kasus korupsi yang

21

Page 22: Peradilan in Absentia (Tipikor)

kemudian mengajukan gugatan Habeas Corpus42 atas penahanannya43di New South

Wales-Australia. Kasus tersebut menyangkut penahanan Hendra Rahardja yang

dilakukan atas permintaan Polri kepada Interpol dan pihak Kepolisian Federal Australia

memenuhi permintaan tersebut dan menahannya untuk kemudian diekstradisi ke

Indonesia. Hendra Rahardja menolak ekstradisi dengan alasan tidak ada jaminan hak

asasi baginya di Indonesia.

Pengadilan Australia menunda ekstradisi sampai selesainya pemeriksaan perkara

Habeas Corpus yang dilakukan oleh Kuasa Hukum Hendra Rahardja, Brett Walker, di

Sydney - NSW. Pelaksanaan ekstradisi tersebut tertunda karena adanya dugaan

perlakuan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Kekhawatiran bahwa

Hendra Rahardja akan disiksa dan ditekan dalam penyidikan mengakibatkan ia batal

diekstradisi, sekalipun antara Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia telah

dibuat perjanjian ekstradisi.44 Pada tanggal 3 Juli 1998, pada saat Bank Indonesia masih

melakukan audit terhadap BHS, Mayor Polisi Drs. Mustahari Sembiring mem-buat

Laporan Polisi No. Pol.LP/182/Vn/1998/Serse.Ek, mengenai terjadinya tindak pidana

korupsi yang terjadi di BHS dengan Hendra Rahardja sebagai tersangka, tetapi Hendra

tidak pernah dipanggil untuk diperiksa atau dibuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP)

karena pada saat itu ia berada di Australia.

Hendra Rahardja kemudian diadili secara in absentia di Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat dalam dugaaan tindak pidana korupsi. Kejaksaan menyatakan bahwa

terdakwa tidak diketahui keberadaannya, padahal keberadaan Hendra Rahardja di

penjara Silverwater, Sydney, Australia, diketahui oleh pihak Kejaksaan, Departemen

Luar Negeri, Mahkamah Agung R.I., Interpol maupun Mabes Polri. Bahkan, mereka

telah mengupayakan ekstradisi Hendra Rahardja melalui jalur diplomatik, tetapi

ditolak. Hal ini dapat dibuktikan dari berita-berita yang menyangkut persidangan

Hendra Rahardja di Australia. Ketidakhadiran terdakwa dalam persidangan tersebut

menghasilkan putusan yang menghukum Hendra Rahardja dan menetapkan sita atas

seluruh aset Hendra Rahardja di Indonesia.

2). Dakwaan

didakwakan kepadanya, dipermasalahkan mengenai perlakuan diskriminatif etnis China dalam proses peradilan di Indonesia.42 Tubuhku adalah milikku.43 O.C. Kaligis, Cross-Examination, (Bandung: Alumni, 2000), hlm. 262,406-408.44 UU No. 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Australia.

22

Page 23: Peradilan in Absentia (Tipikor)

Pasal 1 ayat (1) sub a juncto Pasal 28 juncto Pasal 34 c Undang-undang Nomor 3

Tahun 1971 juncto Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 1 ayat (2)

juncto Pasal 55 ayat (1) sub 1e juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

3). Putusan

Perkara pemeriksaan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara in absentia

yaitu: Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 1032/PID/B/2001/ PN. JKT.PST.

Dalam perkara ini Pengadilan Jakarta Pusat menjatuhkan putusan terhadap terdakwa :

1. HENDRA RAHARDJA, Umur 58 tahun, tempat tanggal lahir Makasar 3

Desember 1942, jenis kelamin laki-laki, berkebangsaan Indonesia, Tempat tinggal

Jl. Widya Chandra 5 No. 21 Jakarta Selatan, Agama Budha, Pekerjaan Mantan

Komisaris Utama PT. Bank Harapan Santosa.

2. EKO EDI PUTRANTO, Umur 34 tahun, Tempat tanggal lahir Jakarta 9 Maret

1967, Jenis Kelamin Laki-laki, Kebangsaan Indonesia, Tempat tinggal Jl. Widya

Chandra 5 No. 21 Jakarta Selatan, Agama Budha, Pekerjaan Mantan Komisaris

PT. Bank Harapan Sentosa.

3. SHERNY KOJONGIAN, Umur 38 tahun, Tempat tanggal lahir Manado, Jenis

Kelamin Perempuan, Kebangsaan Indonesia, Tempat tinggal Taman Kebon Jeruk

Blok 1.8 No. 6 Jakarta Barat, Agama Kristen, Pekerjaan Mantan Direktur PT.

Bank Harapan Sentosa.

Dalam pertimbangannya Majelis Hakim mempertegas pendapat tentang

persidangan secara in absentia, bahwa berdasarkan penetapan Hakim Ketua Majelis

tertanggal 20 Agustus 2001 Nomor : 1032/Pid.B/2001/PN.JKT.PST., telah

ditetapkan bahwa pemeriksaan dalam perkara ini dilakukan tanpa hadirnya para

terdakwa (In Absentia) dengan alasan para Terdakwa telah dipanggil secara patut oleh

Jaksa Penuntut Umum dan pula atas perintah Majelis Hakim Jaksa Penuntut Umum

telah melakukan pemanggilan melalui surat kabar: MEDIA INDONESIA, TERBIT,

REPUBLIKA dan SUARA PEMBARUAN akan tetapi para Terdakwa tidak hadir.

Menimbang, bahwa seperti dimaklumi pada saat ini Pemerintah telah berupaya

segiat-giatnya memberantas tindak pidana korupsi, akan tetapi ternyata dalam

menindaklanjuti seringkali banyak hambatan-hambatan karena terbentur atau adanya

kesulitan-kesulitan untuk mendatangkan para Tersangka, mengingat yang bersangkutan

tidak berada lagi di Negara Republik Indonesia akan tetapi telah berada di negara lain

(luar negeri), sedangkan para Tersangka tersebut telah diduga merugikan keuangan

23

Page 24: Peradilan in Absentia (Tipikor)

negara yang jumlahnya tidak sedikit serta tidak dapat dipastikan kapan mereka ini

kembali ke tanah air (Indonesia).

Menimbang, bahwa apabila hal yang demikian ini dibiarkan berlarut-larut yaitu

pemeriksaan dalam tahap penyelidikan dan penyidikannya menunggu para Tersangka

kembali ke tanah air sedangkan kembalinya belum dapat diketahui, akan

mengakibatkan kerugian lebih banyak lagi karena harta kekayaan atau asset-asset yang

ada di dalam negeri tidak dapat di apa-apakan, sedangkan di lain pihak masyarakat

selalu menuntut agar segala bentuk kejahatan khususnya yang menyangkut tindak

pidana korupsi segera diberantas.

Menimbang, bahwa dengan adanya hambatan-hambatan dan kesulitan-kesulitan

untuk memeriksa orang-orang yang disangka telah melakukan tindak pidana korupsi

dengan meninggalkan tanah air, maka Majelis dengan mendasarkan pada

ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1974 yang menentukan

bahwa Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan

menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Menimbang, bahwa bertitik tolak pada ketentuan tersebut Majelis akan

memberikan jalan upaya agar mereka yang berada di luar negeri yang disangka

melakukan tindak pidana korupsi dapat diperiksa dan diadili sudah barang tentu dengan

tetap berpedoman kepada azas praduga tak bersalah.

Menimbang, bahwa jalan atau upaya Majelis Hakim yaitu dengan mengartikan

tentang pengertian In Absentia tidak diartikan secara sempit akan tetapi diartikan secara

luas, yaitu pemeriksaan In Absetia harus diartikan dan/atau dikenakan kepada siapa saja

yang menurut sangkaan dan dugaan telah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi

dapat diperiksa secara In Absentia baik orang tersebut diketahui maupun tidak

diketahui keberadaannya di luar maupun di dalam negeri dan telah dipanggil secara

patut, sehingga hal yang demikian itu akan mempermudah pemerintah untuk

memeriksa kepada yang bersangkutan.

Menimbang, bahwa selanjutnya mungkin timbul pertanyaan, apakah hal yang

demikian itu bukankah merupakan pelanggaran terhadap hak azasi manusia, menurut

hemat Majelis adalah tidak, karena yang bersangkutan telah dipanggil secara patut dan

dalam hal ini telah diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 oleh karenanya apabila mereka akan menggunakan hak-haknya untuk beracara

24

Page 25: Peradilan in Absentia (Tipikor)

baik tingkat penyidikan dan penuntutan serta pemeriksaan dimuka persidangan dapat

kembali ke tanah air.

Dalam amar putusannya Mejelis Hakim mengatakan bahwa para terdakwa

bersalah melakukan kejahatan tindak pidana korupsi melanggar pasal 1 ayat (1) sub a jo

28 jo. 34 c Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 pasa 1 ayat (2) jo pasal 55 ayat (1) sub 1 e jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Menghukum para terdakwa :

1. Menyatakan Terdakwa I : Hendra Rahardja dan Terdakwa II Eko Edy Putranto

dan terdakwa III Sherly Kojongian yang diadili secara In Absentia terbukti

secara sah dan ”meyakinkan bersalah melakukan tindak Pidana Korupsi secara

bersama-sama dan berlanjut”,---------------

2. Menghukum kepada Para Terdakwa In Absentia tersebut masing-masing :

---------------------------------------------------------------------------

a) Terdakwa I : HENDRA RAHARDJA dengan Pidana Penjara : seumur

hidup ; ------------------------------------------------------------

b) Terdakwa II : EKO EDY PUTRANTO dengan Pidana Penjara 20 (dua

puluh) tahun ;-------------------------------------------------------

c) Terdakwa III : SHERNY KOJONGIAN dengan Pidana Penjara 20 (dua

puluh) tahun ;-------------------------------------------------------

3. Menghukum para Terdakwa dengan pidana denda masing-masing sebesar Rp.

30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak

dibayarkan harus diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan ;

---------------------------------------------------------------------------

4. Menyatakan barang bukti yang berupa Tanah dan Bangunan berikut surat-

suratnya yang terlampir dalam daftar barang bukti dan barang bukti pengganti

berupa hasil lelang barang bukti sebesar Rp. 13.529.150.800,- (tiga belas milyar

lima ratus dua puluh sembilan juta seratus lima puluh ribu delapan ratus rupiah)

dirampas untuk Negara, sedangkan yang berupa Dokumen Asli dikembalikan

kepada Bank Indonesia dan Tim Likuidasi PT. BHS DL, sedangkan foto copy

yang dilegalisir tetap terlampir dalam berkas perkara ; ------------------------------

5. Menghukum para Terdakwa secara tanggung renteng untuk membayar uang

pengganti sebesar Rp. 1.950.995.354.200,- (satu triliyun sembilan ratus lima

puluh empat ribu dua ratus rupiah); ------------------------------

25

Page 26: Peradilan in Absentia (Tipikor)

6. Menghukum masing-masing terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.

7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah) ;

4). Analisis

Dalam konteks tindak pidana korupsi, pengembalian aset hasil tindak pidana

korupsi mengacu kepada proses pelaku tindak pidana korupsi dicabut, dirampas,

dihilangkan haknya atas hasil/keuntungan-keuntungan dari tindak pidana dan/atau

dicabut, dirampas, dihilangkan haknya untuk menggunakan hasil/keuntungan-

keuntungan tersebut sebagai alat/sarana untuk melakukan tindak pidana lain. Dalam

kasus Hendra Rahardja CS yang telah diputus oleh Pengadilan secara in absentia telah

sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana sebagaimana yang ditentukan dalam

KUHAP dan UUPTPK yang menekankan pada upaya pengembalian kerugian

keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Dalam Putusan

No.1032/PID/B/2001/PN.JKT.PST, Majelis Hakim berpendapat bahwa:

1. Para terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut oleh Jaksa Penuntut Umum

dan pula atas perintah Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum telah melakukan

pemanggilan melalui berbagai Surat Kabar;

2. Dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi yang tengah digalakkan

oleh pemerintah serta tuntutan masyarakat luas agar perkara tindak pidana

korupsi diberantas berdasarkan asas keadilan selain asas kepastian hukum yang

tentu juga tetap dijaga. Untuk memberlakukan peradilan in absentia terhadap

tersangka dan/atau terdakwa yang berada di luar negeri seperti contoh Hendra

Rahardja, menimbulkan masalah dalam pelaksanaan peradilan yang menuntut

diselesaikannya perkara korupsi sesuai dengan asas prioritas. Terlebih lagi

kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan tindak pidana korupsi tersebut

sangatlah besar dan terhadap adanya dugaan kerugian keuangan negara ini tidak

dapat diapa-apakan.

3. Untuk menuntaskan permasalahan ini, maka Majelis Hakim juga mendasarkan

pada ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1974

yang menentukan bahwa Hakim sebagai penegak hukum wajib menggali,

mengikuti dan menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Sedangkan

pemeriksaan secara in absentia tetap menghormati dan berpedoman kepada

asas praduga tak bersalah. Namun, Majelis Hakim juga mengartikan tentang

pengertian In Absentia tidak diartikan secara sempit akan tetapi diartikan secara

26

Page 27: Peradilan in Absentia (Tipikor)

luas, yaitu pemeriksaan In Absetia harus diartikan dan/atau dikenakan kepada

siapa saja yang menurut sangkaan dan dugaan telah melakukan perbuatan tindak

pidana korupsi dapat diperiksa secara In Absentia baik orang tersebut diketahui

maupun tidak diketahui keberadaannya di luar maupun di dalam negeri dan telah

dipanggil secara patut, sehingga hal yang demikian itu akan mempermudah

pemerintah untuk memeriksa kepada yang bersangkutan.

4. Majelis Hakim juga menyatakan bahwa peradilan in absentia bukankah

merupakan pelanggaran terhadap hak azasi manusia, karena yang bersangkutan

telah dipanggil secara patut dan dalam hal ini telah diatur dalam Pasal 38 ayat

(1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 olehkarenanya apabila mereka akan

menggunakan hak-haknya untuk beracara baik tingkat penyidikan dan

penuntutan serta pemeriksaan dimuka persidangan dapat kembali ke tanah air.

Selanujtnya, apabila peradilan in absentia ini dihubungkan dengan teori sistem

khususnya dalam Sistem Peradilan Pidana45, maka sistem menuntut adanya orientasi

kepada tujuan, tujuan yang hendak dicapai dalam Sistem Peradilan Pidana khususnya

dalam perkara korupsi berkaitan dengan peradilan in absentia adalah upaya

pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi sebagaimana

tercantum dalam Penjelasan Pasal 38 UUPTPK. Masing-masing sistem, yakni mulai

dari penyidikan hingga pemeriksaan di pengadilan harus cocok satu sama lain dan

bersifat keterhubungan, begitu pula dalam peradilan in absentia. Dalam peradilan in

absentia sebagai bagian dari suatu sistem peradilan pidana sangatlah beralasan

diberlakukan dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak

pidana korupsi, dan apabila ditinjau dari teori pengembalian aset yang menekankan

kepada keadilan sosial, negara mempunyai justifikasi untuk melakukan berbagai upaya

pengembalian kerugian keuangan negara tersebut, termasuk mengajukan tuntutan

pidana tanpa hadirnya terdakwa.

4. Permasalahan Dalam Pemeriksaan In Absentia.

Dalam pemeriksaan proses peradilan pidana maka terdapat beberapa problematika

dalam pemeriksaan in absentia dalam proses peradilan pidana antara lain :

1. Peradilan in absentia menurut ketentuan hukum yang berlaku, hanya

dimungkinkan jika terdakwa menderita “sakit ingatan” atau “terganggu jiwanya”

45 Lihat: Teori Sistem Shrode & Voich sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo, dalam Ilmu Hukum…Op. Cit, hlm.48.

27

Page 28: Peradilan in Absentia (Tipikor)

(Pasal 44 KUHP), terdakwa meninggal dunia (Pasal 77 KUHP) dan atau tidak

diketahui tempat tinggalnya. Akan tetapi dalam kenyataan prakteknya, hal ini

diperluas dan dijadikan alasan terdakwa untuk tidak hadir dalam sidang, antara

lain : alasan sakit, sudah pikun (kasus Soeharto, Zulkifli Harahap, dsb). Para

tersangka koruptor umumnya berlindung dibalik kelemahan undang-undang

dengan alasan diluar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Disini terlihat

bahwa adanya kerancuan dan mencampur adukan didalam penafsirkan antara

arti/pengertian tidak mampu bertanggungjawab dengan “kewajiban untuk hadir”

dalam sidang pengadilan.

Pasal 44 KUHP menyatakan antara lain sebagai berikut :

(1) barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam

tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit

(ziekelijke storing), tidak dipidana.

(2) jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan

padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu

karena penyakit, maka Hakim dapat memerintahkan supaya orang itu

dimasukkan kedalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai

waktu percobaan.

(3) ketentuan tersebut dalam ayat 2 hanya berlaku bagi MA, Pengadilan

Tinggi dan Pengadilan Negeri.

Dari uraian pasal di atas menunjukan bahwa seseorang yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya adalah orang terganggu jiwanya

karena tubuhnya (misalnya idiot, embicil, dsb) atau karena penyakit sehingga

berubah akalnya (sakit gila, hysterie, epilepsi, dsb)3535 Hal disini harus diartika

bahwa ketentuan Pasal 44 KUHP menunjukan “tidak dapat dipidana” seseorang

yang sesuai dengan ketentuan pasal ini. Jadi ketentuan ini “bukan merupakan

alasan untuk tidak hadirnya terdakwa di sidang pengadilan” artinya, bahwa

terdakwa tetap harus dihadirkan dalam sidang dan hakimlah yang memutuskan

apakah terdakwa termasuk dalam ketentuan pasal 44 KUHP ini.

3535 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. (Bogor : Politea, 1983),hlm. 61.

28

Page 29: Peradilan in Absentia (Tipikor)

Akan tetapi dalam penerapan peradilan di Indonesia seolah-olah hal ini dijadikan

alasan untuk tidak mengadili orang yang sedang sakit, sudah tua, pikun, walaupun

telah menimbulkan kerugian bagi negara. Terkadang pengadilan dalam

penerapannya juga bersifat diskriminatif, misalnya Dr. Muchtar Pakpahan

SH,MA dan Drs. A.M Fatwa yang diadili dalam keadaan sakit. Untuk itu

Mahkamah Agung seharusnya mengeluarkan fatwa tentang tafsir ketentuan Pasal

38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999., bahwa usia tua, uzur, atau

penyakit yang tidak dapat disembuhkan seperti dialami Soeharto dan Zulkifli

Harahap dapat diadili dalam peradilan in absentia.

Apabila terdakwa tidak hadir tanpa alasan sah setelah dipanggil secara sah untuk

kedua kalinya maka sesuai ketentuan dalam Pasal 154 ayat (6) KUHAP “dapat

dihadirkan dengan paksa” pada sidang pertama berikutnya. Sedangkan dalam

Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999, terdakwa tidak hadir tanpa alasan sah

setelah dipanggil secara sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa

kehadiran terdakwa.

Dalam perkara tindak pidana korupsi oleh Hendra Rahardja CS, maka dapat

diketahui berbagai upaya pemanggilan telah dilakukan secara patut menurut

hukum acara yang berlaku. Pemanggilan oleh Jaksa Penuntut Umum juga atas

perintah Majels Hakim, namun tetap saja terdakwa tidak hadir dalam persidangan

dengan alasan yang tidak berdasar, terdakwa menolak ektsradisi dengan alasan

tidak ada jaminan hak asasi baginya di Indonesia. Terlebih lagi dengan adanya

putusan Pengadilan Australia yang menunda ekstradisi, dan pada akhirnya

pelaksanaan ekstradisi ini tertunda dengan adanya dugaan perlakuan diskriminatif

terhadap etnis tionghoa di Indonesia. Jelas hal yang demikian akan menjadikan

perkara menjadi berlarut-larut, sedangkan terdakwa telah diduga merugikan

keuangan negara yang jumlahnya tidak sedikit serta tidak dapat dipastikan kapan

mereka ini kembali ke Indonesia. Apabila hal ini dibiarkan beralrut-larut,

menunggu mereka kembali ke Indonesia sedangkan kembalinya belum dapat

diketahui, tentu akan mengakibatkanb kerugian yang lebih banyak lagi karena

harta kekayaan atau aset-aset yang ada di dalam negeri tidak dapat diapa-apakan,

sementara di lain pihak masyarakat selalu menuntut agar segala bentuk kejahatan

khususnya yang menyangkut tindak pidana korupsi segera diberantas.

29

Page 30: Peradilan in Absentia (Tipikor)

2. Adanya ketidaksamaan persepsi didalam menyikapi aturan-aturan hukum yang

berlaku, terutama tindak pidana korupsi, sehingga hal ini menimbulkan tidak

berjalannya sistem peradilan pidana. Dalam sistem peradilan pidana maka semua

unsur yang terkait dalam proses peradilan pidana harus mempunyai persepsi yang

sama terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Akan tetapi dalam

praktek sering terjadi ketidaksamaan persepsi atau perbedaan persepsi tentang

suatu tindak pidana maupun di dalam mengkaji ketentuan perundang-undangan

yang berlaku. Hal ini dapat menyebabkan proses peradilan pidana tidak dapat

mencapai kebenaran materil yang diharapkan, terutama dalam pemberantasan

tindak pidana korupsi. Adanya persepsi yang berbeda dalam menyikapi

ketentuan-ketentuan yang berlaku, misalnya dalam hal penuntutan tindak pidana

korupsi yang dilakukan oleh beberapa orang terdakwa. Dalam hal ini JPU dapat

menjadikan dalam satu berkas penuntutan atau dapat dipecah-pecah menjadi

beberapa berkas perkara. Biasanya pemecahan perkara ini dilakukan apabila

kekurangan saksi-saksi, sehingga perlu diadakan “saksi mahkota”, dimana pelaku

yang 1 (satu) menjadi saksi untuk pelaku yang lainnya. Dalam praktek sering

terjadi perbedaan persepsi dimana hal pemecahan perkara (splitsing) tidak sesuai

dengan ketentuan dalam Pasal 168 c KUHAP yang menentukan sebagai berikut,

bahwa tidak boleh didengar sebagai saksi dan dapat mengundurkan diri sebagai

saksi adalah suami/isteri terdakwa. Ketentuan tentang suami atau isteri terdakwa

mudah dimengerti, tetapi yang bersama-sama sebagai terdakwa dalam satu

perkara korupsi masih sering ada perbedaan persepsi antara penegak hukum

dalam prakteknya.

3. Terjadinya tumpang tindih kewenangan penyidikan dalam kasus korupsi. Hal ini

dapat terlihat dalam UU No. 8 tahun 1981 (KUHAP) diisyaratkan bahwa polisi

mempunyai kewenangan dalam hal penyidikan terhadap tindak pidana. Hal ini

dimaksudkan agar tidak ada lagi penyidikan lanjutan sehingga menimbulkan

ketidak pastian hukum. Akan tetapi dalam Pasal 284 KUHAP disebutkan bahwa

untuk perkara Tindak Pidana Khusus misalnya tindak pidana subversi, tindak

pidana ekonomi, dan tindak pidana korupsi maka Kejaksaan dalam waktu dua

tahun masih diberikan wewenang untuk melakukan penyidikan. Hal ini kemudian

diperkuat dengan UU Kejaksaan No. 5 Tahun 1991 dan Undang-Undang No. 16

Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang menyatakan bahwa Kejaksaan diberikan

30

Page 31: Peradilan in Absentia (Tipikor)

wewenang untuk melakukan penyidikan. Di sisi lain menurut UU No. 28 Tahun

1997 dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, maka polisi

mempunyai wewenang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua

tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-

undangan lainnya. Hal inilah sering menjadi kendala di dalam penyidikan tindak

pidana korupsi, dan bahkan tidak jarang menyebabkan terkatung-katungnya

penyelesaian perkara-perkara korupsi.

4. Adanya ketentuan bahwa apabila terdakwa dijatuhi putusan secara in absentia,

maka terdakwa atau kuasa hukumnya dapat mengajukan “ banding “, atau bahkan

melakukan “ peninjauan kembali “. Pada Pasal 38 ayat 4 memang tidak

menentukan secara tegas siapa yang mempunyai hak untuk mengajukan banding /

peninjauan kembali, sehingga dalam praktek sering ditafsirkan bahwa “ upaya “

hukum ini dapat dilakukan oleh “kuasa atau penasihat hukumnya tanpa kehadiran

terdakwa”, misalnya kasus Tommy Soeharto. Hal ini dapat menyebabkan dan

mendorong tersangka pelaku tindak pidana korupsi untuk melarikan diri ( buron ),

karena hak-haknya sebagai terdakwa tetap dilindungi oleh hukum. Dalam Pasal

38 ayat (4) tidak ada penjelasan secara tegas, sehingga sering ditafsirkan hal ini

dapat dilakukan tanpa kehadiran terdakwa. Secara implisit ketentuan banding ini

dapat dilihat dalam Pasal 233 KUHAP, menyebutkan :

(1) Permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan

ke Pengadilan Tinggi oleh terdakwa atau yang khususnya dikuasakan untuk

itu atau penuntut umum;

(2) Hanya permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) boleh

diterima oleh Panitera PN dalam waktu tujuh hari sesudah putusan

dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak

hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2);

(3). Tentang permintaan itu oleh panitera dibuat sebuah surat keterangan

yang ditandatangani olehnya dan juga oleh pemohon serta tembusannya

diberikan kepada pemohon yang bersangkutan.

(4). Dalam hal pemohon tidak dapat menghadap, hal ini harus dicatat oleh

panitera dengan disertai alasannya dan catatan harus dilampirkan dalam

berkas perkara serta juga ditulis dalam daftar perkara pidana

31

Page 32: Peradilan in Absentia (Tipikor)

Melihat ketentuan dalam Pasal 233 KUHAP tersebut, maka untuk tindak pidana

korupsi yang diputus tanpa kehadiran atau dihadiri terdakwa (in absentia),

terdakwa melalui kuasa hukumnya dapat mengajukan banding sesuai ketentuan

itu. Memang akibatnya lebih jauh menjadi faktor pendorong bagi terdakwa untuk

tidak hadir dalam sidang pengadilan mislanya dengan melarikan diri (buron). Hal

ini dimungkinkan karena tanpa kehadiranpun, maka hak-hak terdakwa tetap

dilindungi oleh ketentuan hukum yang berlaku (Pasal 38 ayat 4 UU No. 31 Tahun

1999).

5. Adanya kewajiban bagi Terdakwa untuk membuktikan sebaliknya pula dari

tindak pidana korupsi. Apabila tidak dapat membuktikan maka harta benda

tersebut dapat dirampas untuk negara. Ketentuan ini dalam praktek sering

ditafsirkan bahwa hal ini “bertentangan” dengan kepastian hukum maupun

perlindungan hukum bagi terdakwa.Demikian juga adanya ketentuan bahwa

negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli

warisnya apabila masih diketahui terdapat harta benda yang belum dikenakan

perampasan untuk negara, meskipun telah ada putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap. ( Pasal 38 C UU Nomor 20 Tahun 2001 ).

6. Adanya kecenderungan untuk mengulur-ngulur proses persidangan perkara

korupsi, dengan memanfaatkan ketentuan Pasal 156 KUHAP dimana modusnya

yaitu melakukan “eksepsi” terhadap surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa

Penuntut Umum. Hal ini dapat menyebabkan Hakim menyatakan surat dakwaan

tidak dapat diterima, atau dibatalkan atau tidak sempurna misalnya kasus Beddu

Amang, Tomy Soeharto, Ricardo Galael, dsb. Atas putusan itu maka Jaksa

Penuntut Umum mengajukan verzet (perlawanan). Dan atas putusan Pengadilan

Tinggi, terdakwa menyatakan kasasi. Padahal jika Jaksa memperbaiki surat

dakwaannya hanya memerlukan waktu singkat saja.

7. Adanya pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah (presumption of innocence)

seperti yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu

dengan adanya kewajiban terdakwa untuk membuktikan bahwa gratifikasi yang

diterimanya bukan suap. Di sisi lain ketidak konsistensinya ketentuan Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 hanya membebani sistem pembuktian terbalik ini

untuk tindak pidana korupsi yang nilainya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) atau

lebih saja maka penerima wajib membuktikan bukan sebagai suap.

32

Page 33: Peradilan in Absentia (Tipikor)

5. Analisis Pemecahan Masalah Peradilan In Absentia Dalam Perkara

Tindak Pidana Korupsi Menurut UUPTPK

1). Legitimasi Peradilan In Absentia Dalam UUPTPK

Pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi di sidang pengadilan merupakan

hukum acara khusus, sehingga dengan demikian ketentuan-ketentuan yang diatur

dalam KUHAP dikesampingkan terkait dengan sifat kekhususan yang ada dalam

UUPTPK, termasuk pemeriksaan secara in absentia. Dalam Pasal 38 UUPTPK

diatur tentang pelaksanaan pemeriksaan secara in absentia, sebagai berikut:

Ayat (1): Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di sidang

pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa

kehadirannya.

Ayat (2): Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan

dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa dan segala keterangan saksi surat-

surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan

dalam sidang yang sekarang.

Ayat (3): Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh

penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah,

atau diberitahukan kepada kuasanya.

Ayat (4): Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Ayat (5): Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan

terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak

pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan

perampasan barang-barang yang telah disita.

Ayat (6): Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak

dapat dimohonkan upaya banding.

Ayat (7): Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada

pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(5), dalam waktu 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman

sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

Pada dasarnya pemeriksaan terhadap terdakwa dalam sidang pengadilan

mengharuskan kehadiran terdakwa, hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 154 ayat

(4) KUHAP serta Pasal 18 ayat (1) UUKK. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUKK

33

Page 34: Peradilan in Absentia (Tipikor)

menentukan bahwa pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana dengan

hadirnya terdakwa kecuali apabila undang-undang menentukan lain. Dari ketentuan

tersebut dapat diketahui bahwa kehadiran terdakwa di sidang pengadilan merupakan

suatu keharusan atau kewajiban. Namun, undang-undang juga menentukan adanya

pengecualian jika undang-undang yang berlaku khusus menentukan lain. Penjabaran

lebih lanjut dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) UUKK tersebut, yakni

menyangkut ketentuan adanya pengecualian dalam undang-undang khusus yang

menentukan lain adalah menunjuk pula pada penjelasan Pasal 154 ayat (4) KUHAP

yang menyebutkan bahwa kehadiran terdakwa di sidang merupakan kewajiban

terdakwa, bukan merupakan hak, jadi terdakwa harus hadir di sidang pengadilan.

Dengan demikian, tanpa kehadiran terdakwa, pemeriksaan di sidang pengadilan dalam

perkara tindak pidana tidak dapat dilangsungkan. Terkecuali apabila undang-undang

menentukan lain, maksud lain dari undang-undang yang bersifat khusus ini adalah

adanya pengecualian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa kehadiran

terdakwa pemeriksaan terus berlanjut sampai dengan penjatuhan hukuman tanpa

hadirnya terdakwa. Pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana

korupsi, terdapat perkecualian, yaitu seperti yang ditentukan di dalam 38 ayat (1).

Penjelasan Pasal 38 ayat (1) menyebutkan: "Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan

untuk menyelamatkan kekayaan negara, sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun,

perkara dapat diperiksa oleh hakim."

Ketidakhadiran terdakwa di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana

korupsi, dapat berlangsung dengan kondisi sebagai berikut:

a. ketidakhadiran terdakwa tersebut berlangsung secara terus-menerus sejak sidang

pengadilan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum oleh hakim46 sampai

dengan sidang pengadilan ketika hakim menjatuhkan putusannya dalam perkara

tindak pidana korupsi, atau

b. ketidakhadiran terdakwa tersebut hanya berlangsung pada satu beberapa kali di

antara sidang-sidang pengadilan sejak sidang pengadilan dibuka dan dinyatakan

terbuka untuk umum oleh hakim47 sampai dengan sidang pengadilan ketika hakim

menjatuhkan putusannya dalam perkara tindak pidana korupsi.

46 Lihat: Pasal 153 ayat (3) KUHAP.47 Lihat: Pasal 153 ayat (3) KUHAP.

34

Page 35: Peradilan in Absentia (Tipikor)

Agar sidang pengadilan dapat dilangsungkan tanpa kehadiran terdakwa, oleh

Pasal 38 ayat (1) ditentukan harus dipenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

a. terdakwa telah dipanggil secara sah;

b. terdakwa tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah.

Untuk dapat memanggil terdakwa secara sah, Penuntut Umum harus mengikuti

beberapa petunjuk sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 145 dan Pasal 146 ayat (1)

KUHAP. Sedangkan apa yang dimaksud dengan "tanpa alasan yang sah", baik di dalam

KUHAP maupun di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak ada ketentuan

yang dapat memberikan petunjuk, sehingga apa yang dimaksud dengan "tanpa alasan

yang sah" dalam Pasal 38 ayat (1) sepenuhnya tergantung dari pertimbangan hakim

untuk menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan oleh terdakwa.48

Menurut Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 2 Februari 2001 Nomor 1846

K/Pid/2000,49 keterangan sakit dari dokter merupakan alasan yang sah untuk tidak hadir

di sidang pengadilan, karena di samping sudah selayaknya setiap orang menghormati,

mempercayai pendapat professional dokter, yang merupakan wewenangnya untuk

menyatakan seseorang sakit atau tidak, juga doktrin berpendapat bilamana seseorang

pada saat proses persidangan di pengadilan menderita sakit, maka penyidangan

perkaranya harus ditunggu sampai ia sembuh dan memenuhi persyaratan untuk

disidangkan. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana jika terdakwa sejak sidang

pengadilan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum oleh hakim (Pasal 153 ayat (3)

KUHAP), secara terus-menerus tidak dapat hadir dengan alasan yang sah, apakah

sidang pengadilan dapat berlangsung terus tanpa kehadiran terdakwa? Yang jelas

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) tidak dapat diterapkan,

karena tidak dipenuhinya salah satu syarat, yaitu tidak hadirnya terdakwa tersebut di

sidang pengadilan harus tanpa alasan yang sah.

Cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengikuti Putusan Mahkamah Agung

RI tanggal 2 Februari 2001 Nomor 1846 K/Pid/2000,50 yaitu karena terdakwa terus-

menerus tidak dapat hadir di sidang pengadilan dengan alasan yang sah, maka tuntutan

Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima. Sebelum putusan Mahkamah Agung

RI tersebut, telah ada Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 23 Desember 1980 Nomor

48 M Yahya Harahap, Op.Cit, h,654.49 Indriyanto Seno Adji dan Juan Felix Tampubolon, Perkara H.M. Soeharlo, (Jakarta: Multi Mediametri, 2001), hlm. 156.50 Ibid.

35

Page 36: Peradilan in Absentia (Tipikor)

121 K/Kr/1980 dan atas dasar putusan Mahkamah Agung RI ini, Mahkamah Agung RI

lalu memberikan petunjuk seperti tertuang di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI

tanggal 22 Januari 1981 Nomor 1 Tahun 1981,51 yaitu dalam hal perkara yang diajukan

oleh Penuntut Umum, terdakwanya sejak semula tidak hadir dan sejak semula tidak ada

jaminan bahwa terdakwa dapat dihadapkan di persidangan, perkara demikian

dinyatakan tidak dapat diterima.

Sebagaimana telah ditentukan, yang dimaksud tanpa kehadiran terdakwa di

sidang pengadilan seperti yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (1) adalah termasuk

tanpa kehadiran terdakwa pada satu atau beberapa kali di antara sidang-sidang

pengadilan sejak sidang pengadilan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum oleh

hakim sampai dengan sidang pengadilan ketika hakim menjatuhkan putusannya dalam

perkara tindak pidana korupsi. Dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38

ayat (2), dapat diketahui bahwa jika terdakwa yang semula tidak (pernah) hadir di

sidang pengadilan dan kemudian hadir di sidang pengadilan, maka pada waktu

terdakwa hadir di sidang pengadilan, wajib dilakukan pemeriksaan oleh hakim. Jadi,

meskipun diperkenankan adanya sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa dalam

perkara tindak pidana korupsi, tetapi jika sampai terdakwa hadir di sidang pengadilan,

terdakwa wajib diperiksa oleh hakim.

Dalam sidang pengadilan tersebut, yaitu pada waktu terdakwa hadir Pasal 38 ayat

(2) ditentukan lebih lanjut sebagai berikut.

a. Saksi yang telah memberikan keterangan di sidang pengadilan pada waktu

terdakwa tidak hadir dianggap telah memberikan keterangannya di sidang

pengadilan pada waktu terdakwa hadir. Jadi, saksi tidak perlu dipanggil lagi untuk

diminta keterangannya dan hakim dapat menolak jika ada permintaan dari

terdakwa agar saksi tersebut dipanggil lagi.

b. Surat-surat yang dibacakan di sidang pengadilan pada waktu terdakwa tidak

hadir, dianggap telah dibacakan di sidang pengadilan pada waktu terdakwa hadir.

Jadi, surat-surat tidak perlu dibaca lagi dan hakim dapat menolak jika ada

permintaan dari terdakwa agar surat-surat tersebut dibaca lagi.

Berhubung ketentuan tentang saksi dan surat-surat sebagaimana yang dimaksud

dalam Pasal 38 ayat (2) sifatnya tidak imperatif, maka dapat saja hakim memenuhi apa

yang diminta oleh terdakwa seperti di atas, hanya jika sampai hakim memenuhi

51 Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Tahun 1979-1985, hlm.84.

36

Page 37: Peradilan in Absentia (Tipikor)

permintaan terdakwa tersebut, asas peradilan yang dilakukan dengan cepat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UUKKberkurang fungsinya. Yang

dimaksud dengan "tanpa kehadiran terdakwa" dalam Pasal 38 ayat (3) adalah tanpa

kehadiran terdakwa di sidang pengadilan tanpa alasan sah ketika hakim menjatuhkan

putusannya, meskipun terdakwa tersebut telah dipanggil secara sah. Tidak menjadi

masalah apakah tidak hadirnya terdakwa tersebut berlangsung secara terus-menerus

atau hanya pada satu atau beberapa kali sidang pengadilan, tetapi yang menjadi tolok

ukur adalah ketika hakim menjatuhkan putusan terdakwa tidak hadir tanpa alasan yang

sah, meskipun terdakwa tersebut telah dipanggil secara sah. Setelah hakim menjatuhkan

putusannya, tindak lanjut dari Penuntut Umum adalah seperti yang ditentukan juga

dalam Pasal 38 ayat (3), yaitu dengan alternatif sebagai berikut:

a. mengumumkan putusan hakim tersebut pada:

1). papan pengumuman pengadilan, tentunya yang dimaksud adalah papan

pengumuman Pengadilan Negeri,

2). papan pengumuman pada kantor Pemerintah Daerah, atau

b. putusan hakim tersebut diberitahukan kepada kuasa dari terdakwa.

Putusan hakim yang diumumkan atau yang diberitahukan kepada kuasa dari

terdakwa tersebut, oleh penjelasan Pasal 38 ayat (3) cukup berupa petikan surat putusan

pengadilan, yaitu seperti yang dimaksud oleh ketentuan yang terdapat dalam Pasal 226

ayat (1) KUHAP. Jika pemeriksaan sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana

korupsi, terdakwanya lebih dari seorang dan ketika hakim menjatuhkan putusan ada

terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah, meskipun terdakwa tersebut telah

dipanggil secara sah, menurut hemat penulis tindak lanjut dari Penuntut Umum adalah

juga seperti yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (3). Dalam perkara tindak pidana

korupsi, terdakwa yang hadir di sidang pengadilan setelah hakim menjatuhkan putusan

berupa pidana, menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (3)

huruf d KUHAP dapat mengajukan permohonan banding terhadap putusan hakim

tersebut. Upaya hukum yang berupa banding ini, menurut ketentuan yang terdapat

dalam Pasal 38 ayat (4) juga dapat diajukan oleh terdakwa yang tidak hadir di sidang

pengadilan tanpa alasan yang sah, meskipun terdakwa tersebut telah dipanggil secara

sah.52 Dengan demikian, dalam perkara tindak pidana korupsi, apakah terdakwa hadir

52 Perhatikan perumusan Pasal 38 ayat (4) yang menentukan: " ... atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)".

37

Page 38: Peradilan in Absentia (Tipikor)

atau tidak hadir di sidang pengadilan dan ketidakhadirannya tanpa alasan yang sah,

terdakwa dapat mengajukan upaya hukum, yaitu permohonan banding terhadap putusan

hakim tersebut. Adanya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4),

menurut hemat penulis secara langsung akan mendorong terdakwa dalam perkara

tindak pidana korupsi untuk tidak hadir di sidang pengadilan dengan berbagai macam

alasan, karena dengan melalui kuasanya terdakwa masih dapat mengajukan

permohonan banding.

Dalam rangka menerapkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat

(4) tersebut, perlu diingatkan kepada para hakim adanya Surat Edaran Mahkamah

Agung RI tanggal 10 Desember 1988 Nomor 6 Tahun 1988 yang antara lain meminta

perhatian kepada para hakim agar menolak atau tidak melayani penasihat hukum atau

pengacara dari terdakwa yang tidak hadir di sidang pengadilan, meskipun telah

dipanggil dengan sah atau semestinya.53 Perlu diperhatikan bahwa di dalam

pertimbangan hukum dari Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1846 K/Pid/200054

disebutkan bahwa terhadap penetapan Pengadilan Negeri yang menentukan tuntutan

Penuntut Umum tidak diterima, tidak dimungkinkan adanya suatu perlawanan atau

banding. Dalam perkara tindak pidana yang bukan pidana korupsi, jika pada waktu

pemeriksaan di sidang pengadilan terdakwa meninggal dunia, hakim akan

mengeluarkan putusan yang menyatakan gugurnya tuntutan hukum terhadap perbuatan

yang didakwakan kepada terdakwa seperti yang terdapat putusan Mahkamah Agung RI

tanggal 30 September 1975 Nomor 18 1975.55

Untuk perkara tindak pidana korupsi, jika sebelum pengadilan menjatuhkan

putusannya, terdakwa telah meninggal dunia, tetapi terdapat "bukti yang cukup kuat

bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi", oleh Pasal ayat (5) ditentukan

bahwa atas tuntutan Penuntut Umum, hakim mengeluarkan penetapan tentang

perampasan barang-barang yang disita. Meskipun tuntutan dari Penuntut Umum

tersebut, belum tentu dapat dikabulkan oleh hakim, tetapi tanpa adanya tuntutan dari

Penuntut Umum, hakim tidak dapat langsung mengeluarkan penetapan yang merampas

barang-barang yang telah disita. Seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 38 ayat (5),

agar hakim dapat mengeluarkan penetapan tentang perampasan barang-barang yang

telah disita perlu terdapat "bukti yang cukup kuat bahwa terdakwa telah melakukan

53 Abstrak Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 1982-1993, hlm. 149-150.54 Indriyanto Seno Adji dan Juan Felix Tampubolon, Loc.Cit.55 P.A.F. Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Cet.III (Bandung: Sinar Baru, 1990), hlm.75.

38

Page 39: Peradilan in Absentia (Tipikor)

pidana korupsi". Untuk sampai terdapat "bukti yang cukup kuat bahwa terdakwa telah

melakukan tindak pidana korupsi", sebelum mengeluarkan penetapan tersebut, hakim

semestinya memperhatikan dan memenuhi ketentuan yang terdapat di dalam Pasal

183KUHAP.

Dengan demikian perampasan barang-barang yang telah disita tersebut, dapat

ditetapkan oleh hakim apabila dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah,

hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana korupsi benar-benar terjadi

dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya. Dari ketentuan yang terdapat dalam

Pasal 183 KUHAP tersebut, yang sering menjadi perdebatan atau diskusi adalah apakah

keterangan 2 (dua) orang saksi sudah memenuhi pengertian 2 (dua) alat bukti yang sah?

Di dalam buku Himpunan Tanya-Jawab tentang Hukum Pidana,56 atas pertanyaan dari

Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dan Pengadilan Tinggi Mataram, Mahkamah

Agung RI memberi petunjuk bahwa keterangan dari 2 (dua) orang saksi sudah

memenuhi pengertian 2 (dua) alat bukti yang sah. Dari petunjuk tersebut dapat ditarik

kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan "sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang

sah" dalam Pasal 183 KUHAP adalah sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti seperti

yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, meskipun kedua alat bukti tersebut

sama jenisnya atau macamnya.

Sebagai penetapan pengadilan, maka sudah tepat jika Pasal 38 ayat (6)

menentukan bahwa penetapan perampasan barang-barang sebagaimana yang dimaksud

Pasal 38 ayat (5) tidak dapat dimohonkan banding, karena yang dapat dimohonkan

banding menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 67 KUHAP hanya putusan

pengadilan. Terhadap adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (6) tersebut,

dapat diberikan beberapa catatan sebagai berikut.

a. Dengan meninggal dunianya terdakwa, dengan sendirinya almarhum tidak akan

mungkin mengajukan permohonan banding terhadap penetapan pengadilan

mengenai perampasan barang-barang yang telah disita. Di dalam KUHAP57 tidak

ada ketentuan yang memberi hak kepada ahli waris dari almarhum untuk

mengajukan permohonan banding terhadap penetapan yang dikeluarkan oleh

hakim. Dengan demikian, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (6),

56 Ibid, h.75 dan 123.57 Lihat: Pasal 233 ayat (1) KUHAP.

39

Page 40: Peradilan in Absentia (Tipikor)

ditinjau dari sudut kepentingan almarhum terdakwa merupakan ketentuan yang

berlebihan.

b. Penetapan hakim mengenai perampasan barang-barang yang telah disita, baru

dapat dikeluarkan, apabila ada tuntutan dari Penuntut Umum. Masalahnya adalah

Penuntut Umum tidak mempunyai upaya hukum biasa yang dapat dipergunakan

jika penetapan hakim mengenai perampasan barang-barang yang telah disita

tersebut tidak sama dengan tuntutan dari Penuntut Umum.

Penjelasan Pasal 38 ayat (7) menyebutkan bahwa ketentuan dalam ayat ini

dimaksudkan untuk melindungi pihak ketiga yang beriktikad baik. Dengan adanya

penjelasan Pasal 38 ayat (7) seperti di atas, dapat diketahui bahwa sebenarnya yang

dimaksud dengan kalimat "orang yang berkepentingan" dalam Pasal 38 ayat (7) adalah

pihak ketiga yang beriktikad baik. Dengan demikian, jika ketentuan yang terdapat

dalam Pasal 38 ayat (7) dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 19

ayat (2), akan ditemui persamaan dan perbedaan antara lain sebagai berikut:

a. Persamaan

1). baik ketentuan yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (7) maupun ketentuan

yang terdapat di dalam Pasal 19 ayat (2) memberikan hak kepada pihak

ketiga untuk mengajukan keberatan terhadap putusan atau penetapan

pengadilan tentang perampasan barang-barang, karena ternyata terdapat

barang-barang kepunyaan yang didapat dengan iktikad baik;

2). keberatan diajukan oleh pihak ketiga ke pengadilan yang telah menjatuhkan

putusan atau penetapan perampasan barang-bara karena ternyata terdapat

barang-barang kepunyaannya yang didapat dengan iktikad baik.

b. Perbedaan

1). tenggang waktu yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (7) untuk mengajukan

keberatan adalah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal

pengumuman penetapan yang dikeluarkan pengadilan tanpa kehadiran

terdakwa, sedang tenggang waktu yang ditentukan dalam Pasal 19 ayat (2)

untuk mengajukan keberatan adalah dalam waktu 2 (dua) bulan setelah

putusan pengadilan diucapkan di sidang terbuka untuk umum;

2). apa yang dikeluarkan oleh pengadilan atas dasar ketentuan yang terdapat

dalam Pasal 38 ayat (7) adalah berbentuk penetapan, sedangkan apa yang

40

Page 41: Peradilan in Absentia (Tipikor)

dijatuhkan oleh pengadilan atas dasar Pasal 19 ayat (2) adalah berbentuk

putusan;

3). pada waktu pengadilan mengeluarkan penetapan tentang perampasan

barang-barang seperti yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (2) terdakwa

telah meninggal dunia sebelum penetapan pengadilan dikeluarkan,

sedangkan pada waktu pengadilan menjatuhkan putusan pidana tambahan

berupa perampasan barang-barang seperti yang ditentukan dalam Pasal 19

ayat (2), terdakwa belum meninggal dunia.

Jika ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (7), kemudian

dikaitkan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) dan (5),

akan diperoleh petunjuk sebagai berikut.

a). Jika keberatan diajukan masih dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari

terhitung sejak tanggal pengumuman penetapan pengadilan oleh Penuntut

Umum pada papan pengumumanpengadilan, kantor pemerintah daerah atau sejak

diberitahukan kepada kuasa terdakwa, maka pemeriksaan terhadap keberatan

dilakukan oleh pengadilan yang telah mengeluarkan penetapan tersebut.

b). Jika keberatan ternyata tidak benar, pengadilan mengeluarkan penetapan yang

isinya menolak keberatan tersebut. Terhadap penetapan pengadilan ini oleh Pasal

38 tidak ditentukan adanya suatu upaya hukum yang dapat dipergunakan oleh

pihak ketiga yang telah mengajukan keberatan.

c). Jika keberatan ternyata diterima, pengadilan mengeluarkan penetapan yang isinya

membenarkan keberatan tersebut. Menurut hemat penulis, penetapan ini oleh

jaksa dapat dipergunakan sebagai dasar hukum untuk tidak melaksanakan

penetapan pengadilan tentang perampasan barang-barang yang terbatas hanya

yang disebutkan dalam penetapan pengadilan yang membenarkan keberatan

tersebut.

d). Jika keberatan diajukan sudah lewat tenggang waktu 30 (tigapuluh) hari terhitung

sejak tanggal pengumuman penetapan oleh Penuntut Umum pada papan

pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah atau sejak diberitahukan

kepada kuasa terdakwa, keberatan diajukan dengan cara gugatan perdata ke

Pengadilan Negeri sesuai dengan kompetensi relatifnya58

58 Pasal 118 HIR- Pasal 142 Rbg.

41

Page 42: Peradilan in Absentia (Tipikor)

Oleh penjelasan Pasal 38 ayat (7) disebutkan bahwa tenggang waktu 30 (tiga

puluh) hari tersebut dimaksudkan untuk menjamin pelaksanaan putusan pengadilan

tentang perampasan barang-barang yang memang berasal dari tindak pidana korupsi.

Dengan adanya penjelasan Pasal 38 ayat (7) tersebut, menurut hemat penulis sebelum

lewat tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman

penetapan tentang perampasan barang-barang, jaksa sebaiknya jangan melaksanakan

penetapan pengadilan tersebut, karena masih dimungkinkan pihak ketiga mengajukan

keberatan dan keberatan masih dimungkinkan diterima oleh pengadilan, tetapi jika

tenggang waktu sudah lewat, jaksa tidak perlu khawatir untuk melaksanakan penetapan

pengadilan yang dimaksud. Di dalam penjelasan Pasal 38 ayat (7) tidak disebutkan

seperti halnya pada penjelasan Pasal 19 ayat (3) bahwa apabila keberatan pihak ketiga

diterima oleh hakim setelah pelaksanaan penetapan pengadilan, negara berkewajiban

mengganti kerugian kepada pihak ketiga sebesar nilai hasil lelang atas barang-barang

yang dirampas. Menurut hemat penulis, apa yang menjadi isi dari penjelasan Pasal 19

ayat (3) tersebut dapat diterapkan pada pelaksanaan ketentuan yang terdapat di dalam

Pasal 38 ayat (7), karena dengan diterimanya keberatan, pihak ketiga yang beriktikad

baik harus mendapat perlindungan hukum seperti yang disebutkan dalam penjelasan

Pasal 19 ayat (3), yaitu negara mengganti kerugian kepada pihak ketiga sebesar nilai

hasil lelang atas barang-barang yang dirampas.

2). Strategi Mengantisipasi Pelarian Tersangka ke Luar Negeri

Dalam rangka mengupayakan pemberantasan tindak pidana korupsi, maka

diperlukan suatu kebijakan yang mengatur tentang strategi terhadap pelaksanaan sistem

peradilan, terutama menyangkut antisipasi pelarian para tersangka atau terdakwa ke

luar negeri dengan melakukan cekal.59 Dalam hal ini, proses mencegah atau menangkal

orang pun tidak bisa dilakukan dengan sewenang-wenang, dan instansi yang boleh

meminta pencegahan dan penangkalanpun dibatasi. Permintaan pencegahan dan

penangkalan terhadap seseorang hanya bisa dikeluarkan dari empat instansi, yakni

59 Istilah "cekal" sebenarnya merupakan kependekan dari cegah tangkal. Yang dimaksud dengan pencegahan adalah larangan bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk ke luar Indonesia berdasarkan alasan-alasan tertentu, sedangkan penangkalan adalah larangan sementara terhadap orang tertentu untuk masuk ke wilayah Indonesia juga berdasarkan alasan-alasan tertentu (vide Pasal 1 Undang-Undang Nomor 9Tahun 1992 tentang Keimigrasian).

42

Page 43: Peradilan in Absentia (Tipikor)

Menteri Kehakiman, Menteri Keuangan, Jaksa Agung, dan Panglima TNI. Permintaan

pencegahan, menurut Pasal 12 UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, harus

ditetapkan dengan sebuah keputusan tertulis dengan memuat hal-hal yang berkaitan

antara lain, identitas orang yang terkena pencegahan, alasan-alasan yang menjadi dasar

pencegahan dan jangka waktu pencegahan. Masa pencegahan-penangkalan, menurut

UU Keimigrasian, juga ada batasnya. Artinya, tidak dibenarkan praktik pencegahan

seumur hidup atau dalam batas waktu yang tidak ditentukan. Untuk pecegahan karena

alasan keimigrasian atau menyangkut piutang negara, ditetapkan paling lama enam

bulan dan dapat diperpanjang untuk paling banyak dua kali masing-masing tidak lebih

dari enam bulan. Sedang pencegahan yang dilakukan Jaksa Agung terhadap orang-

orang karena keterlibatannya dalam perkara pidana, tidak diatur secara jelas mengenai

berapa lama pencegahannya. Dalam pasal hanya disebutkan sesuai dengan Keputusan

Jaksa Agung.

Sampai saat ini berkenaan dengan pencegahan dan penangkalan, Kejaksaan

Agung masih mengacu kepada Keputusan Jaksa Agung Nomor: KEP-030/J.A/3/1994

yang kemudian diubah dengan Keputusan Jaksa Agung Nomor: 017A/J.A/01/1996

tentang Ketentuan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Jaksa Agung untuk Melakukan

Pencegahan dan Penangkalan.

Dalam monitoring pelaksanaan Agenda 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu

Kejaksaan Agung Rl, khususnya dalam bidang Intelijen diupayakan peningkatan peran

Kejaksaan dalam pelaksanaan Cegah Tangkal terhadap tersangka, terdakwa ataupun

terpidana.Tindakan yang dilakukan dalam peningkatan peran tersebut adalah me-review

mekanisme proses Cegah-Tangkal yang diatur dalam Kepja No.030/J.A/03/1994 tangal

28 Maret 1994 dan Kepja No. 017/A/J.A/01/1996 tanggal 31 Januari 1996 tersebut.

Untuk sementara upaya yang telah dilakukan dalam rangka pencegahan dan

penangkalan adalah:

1. Menginstruksikan kepada para Kajati agar orang-orang asing yang melakukan

kejahatan yang menjadi perhatian masyarakat banyak seperti tindak pidana

Narkoba,Terorisme, Money Laundring, Penyelundupan, Penodaan Agama, agar

terhadap pelaku dilakukan penangkalan.

2. Mengintensifkan kegiatan personil Kejaksaan pada pos Kejaksaan di Bandar

Soekarno Hatta untuk berkoordinasi dengan pihak Imigrasi dalam pelaksanaan

Cekal.

43

Page 44: Peradilan in Absentia (Tipikor)

3. Membuat daftar Cekal dengan memuat identitas orang-orang yang dicekal serta

tenggang waktu berakhirnya masa cekal yang dibuat/ disusun setiap bulan.

Sedangkan permasalahan yang dihadapi dalam upaya pencegahan dan

penangkalan:

1. Terdapat instansi pemohon terlambat atau tidak mengajukan perpanjangan Cekal

dengan berbagai alasan.

2. Pelaksanaan pencegahan yang dilakukan oleh pihak Imigrasi di lapangan/bandara

belum efektif yang ternyata ada orang yang masih dalam status cegah oleh

Jaksa Agung tapi ternyata lolos ke luar negeri.

3. Adanya Pemalsuan paspor oleh orang yang dicegah.

4. Belum semua orang yang dicegah ke luar negeri ditahan/ditarik paspornya

oleh pihak imigrasi.

Mengacu kepada upaya yang telah dilakukan sebagai rencana tindak lanjut akan

dilakukan evaluasi terhadap instruksi yang telah diberikan kepada para Kajati, di

samping itu juga memberikan instruksi kepada para Kajati agar mengantisipasi

kemungkinan adanya pengalihan/penangguhan penahanan oleh pihak pengadilan

terhadap perkara-perkara tindak pidana korupsi/tindak pidana umum yang menarik

perhatian yang sedang dalam proses persidangan agardimintakan ke Jaksa Agung, guna

mencegah yang bersangkutan ke luar negeri sehinga menyulitkan eksekusi pada

saatnya. Rencana tindak lanjut lain adalah menambah pos-pos baru yang diharapkan

dapat menunjang rencana tindakan cekal ini, antara lain di bandara internasional seperti

Medan, Surabaya, Batam dan Denpasar.

Kemudian, dalam rangka program Kabinet Indonesia Bersatu dalam Bidang

Penegakan Hukum perlu dituntaskan eksekusi terhadap putusan pengadilan/Mahkamah

Agung Rl yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, akan tetapi para terpidana

belum dapat dieksekusi karena keberadaannya tidak diketahui dan atau telah berada di

luar negeri. Untuk itu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan telah

mengeluarkan Keputusan Nomor: KEP-54/MENKO/POLHUKAM/1 2/2004 tantang

Pembentukan Tim Terpadu Pencari Terpidana Perkara Tindak Pidana Korupsi yang

terdiri dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan,

Kejaksaan Agung Rl, Mabes Polri serta Departemen Hukum dan HAM.

Upaya untuk memburu koruptor yang buron telah pula diantisipasi oleh pihak

Interpol, International Criminal Police Organization (ICPO) melalui database koruptor

44

Page 45: Peradilan in Absentia (Tipikor)

di seluruh dunia termasuk Indonesia. Database tersebut diperkenalkan dalam

Konferensi Interpol se-Asia ke-19 di Jakarta tahun 2007, dan dapat diakses oleh 184

negara anggota Interpol, akan tetapi langkah eksekusinya harus dilandasi dengan

kerjasama yang konkrit antarnegara melalui perjanjian ekstradisi. Langkah maju ini

disambut baik oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, karena masalah korupsi

merupakan musuh publik, dan upaya pemberantasannya memerlukan waktu yang

cukup lama karena terkait masalah struktur dan budaya. Keseriusan pemerintah Indone-

sia untuk memberantas korupsi melalui media kerjasama antarnegara diwujudkan pula

dengan ditandatanganinya perjanjian ekstradisi antara pemerintah Indonesia dan

Singapura, 27 April 2007 di Bali.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap masalah yang ada, maka

dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Dalam praktek sering terjadi alasan ketidakhadiran terdakwa dalam proses

pemeriksaan semata-mata hanya karena untuk menghindari proses peradilan,

dengan alasan-alasan yang diperluas, misalnya usia tua, sudah uzur dan pikun

atau menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Dalam kasus Hendra

Rahardja CS, alasan untuk tidak hadir dalam persidangan ternyata lebih

diarahkan kepada upaya menghindarkan diri dari pemeriksaan di persidangan

dengan alasan bahwa tidak ada jaminan hak asasi atas dirinya.Adanya faktor

yang mendorong untuk tidak hadir dalam proses pemeriksaan tindak pidana

korupsi ( melarikan diri / buron), dengan memanfaatkan ketentuan pada pasal

38 ayat (4) dimana hak untuk mengajukan “banding” dapat saja dilakukan oleh

kuasa/penasihat hukum terdakwa tanpa kehadiran terdakwa.

2. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi pemeriksaan in absentia

antara lain sebagai berikut : Meningkatkan sikap dan kemampuan

profesionalitas aparat penegak hukum yang terkait dalam pemberantasan tindak

pidana korupsi. Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa-fatwa mengenai

ketentuan-ketentuan yang belum secara jelas, sehingga dapat dijadikan

pegangan bagi aparat untuk menyelesaikan kasus tindak pidana korupsi.

E. Saran-Saran

45

Page 46: Peradilan in Absentia (Tipikor)

Dari hasil pembahasan, maka pada kesempatan ini peneliti mencoba memberikan

saran-saran yang relevan antara lain :

1. Diperlukan adanya komitmen semua lapisan masyarakat untuk mencegah dan

memberantas tindak pidana korupsi, sesuai dengan hak, kewajiban dan

kewenangan. Tindak lanjut komitmen ini terus menerus ditanamkan dan

disosialisasikan melalui pendidikan formal maupun non formal. Peningkatan

sikap dan kemampuan profesionalitas terutama aparat hukum terkait, dengan

melalui program studi lanjut, pelatihan, penataran, diskusi dan sebagainya. Perlu

dilakukannya petunjuk teknis pengawasan internal maupun eksternal, secara

vertikal maupun horizontal dalam dan antar instansi-instansi pemerintah terkait

maupun swasta.

2. Perlu dibuat peraturan-peraturan pelaksana untuk dapat lebih operasional dalam

proses peradilan pidana maupun yang mengatur lebih jauh keikut sertaan aktif

masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia,1999.

Black, Henry Campell Black’s Law Dictionary, Edisi VI , West Publishing, St. Paul

Minesota, 1990.

Chaerudin et all, Strategi Pencegahan & Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi,

Cet.I , Bandung: Refika Aditama, 2008.

Darwan Prins, Tahun 2000.

Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, tt.

Djoko Prakoso, Peadilan In Absentia di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia,1984.

46

Page 47: Peradilan in Absentia (Tipikor)

Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Jakarta: Prof.

Oemar Seno Adji, SH. & Rekan, 2006

Indriyanto Seno Adji dan Juan Felix Tampubolon, Perkara H.M. Soeharlo, Jakarta:

Multi Mediametri, 2001.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997.

Levi, Michael, Tracing and Recovering the Proceeds of Crime, Cardiff University,

Wales, UK, Tbilisi, Georgia, June 2004.

Lilik Muliady, Tindak Pidana Korupsi, Bandung : Citra Adytia Bakti, 2000.

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua,

Cet.IV, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

Mochtar Lubis, Bunga Rampai Mengenai Etika Pegawai Negeri, Jakarta: Ghalia

Indonesia,1977.

Mubyarto dalam bukunya “ Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan Keadilan, Yogyakarta: UII

Press,1980.

O.C. Kaligis, Cross-Examination, Bandung: Alumni, 2000.

P.A.F. Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Cet.III , Bandung: Sinar Baru, 1990.

Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1976.

Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB

Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, Bandung: Alumni, 2007.

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Serta Komentar-

Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor : Politea, 1983.

R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ,

Cet. VI, Jakarta: Sinar Grafika 2006.

Satjipto Rahardjo, Imu Hukum, Cet IV, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.

Sudarto,Hukum dan Hukum Pidana, Cet. IV, Bandung: Alumni, 1996.

Syed Hussien Alatas, Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelasan Dengan Data

Kontemporer, Tahun 1987.

________, Korupsi Sifat, Sebab dan Akibat, Jakarta : LP3ES, 1987.

Yudi Kristiana, Independensi Kejaksaan Dalam Penyidikan Korupsi, Cet. I Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2006.

B. Dokumen

47

Page 48: Peradilan in Absentia (Tipikor)

Putusan PN No.1032/PID/B/2001/PN.JKT.PST.

Putusan Praperadilan No. 07/Pid/Prap/2000/PN.Jkt.Sel., tgl. 29 Juni 2000,

Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Tahun 1979-1985,

Abstrak Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 1982-1993.

Surat Perintah Penahanan No.Pol.: SPP/R/48/M/VI/1999/Ditserse Ek.

C. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945

Ketetapan MPR RI

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Het Herziene Inlan Reglement (HIR)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor .31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun

2001.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggraan Negara Yang Bersih

Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara

Republik Indonesia dan Australia.

Undang-Undang Nomor 9Tahun 1992 tentang Keimigrasian.

Peraturan Pelaksanaan KUHAP.

48

Page 49: Peradilan in Absentia (Tipikor)

49