PERADILAN DI REPUBLIK ARAB MESIR ( ﺔﯿﺑﺮﻌﻟا ﺮﺼﻣ ﺔﯾرﻮﮭﻤﺟ … Di... ·...

22
1 PERADILAN DI REPUBLIK ARAB MESIR ) ﻣﺼﺮ اﻟﻌﺮﺑﯿﺔ ﺟﻤﮭﻮرﯾﺔ ﻓﻲ اﻟﻘﻀﺎء( Oleh : Anshoruddin I. PENDAHULUAN Antara Indonesia dan Mesir terdapat beberapa kemiripan dalam sejarah hukum. Pertama, sebelum datangnya penjajahan barat, dalam bidang peradilan, Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyyah adalah lembaga peradilan yang dominan di kedua negara. Kedua, Indonesia dan Mesir sama-sama merasakan dualisme pendidikan hukum dan peradilan. Di satu pihak terdapat pendidikan hukum untuk hukum warisan colonial yang bermuara ke Pengadilan Umum dan di lain pihak terdapat pendidikan syari’ah untuk hukum Islam yang bermuara ke Pengadilan Agama. Ketiga, kedua Negara sama-sama berbasis tradisi civil law di mana asal usul hukum materiil dan acara berasal dari Prancis. Mesir mengambilnya melalui Code Napoleon dan perundang-undangan Perancis modern, dan Indonesia mengambilnya melalui Belanda karena Belanda pernah dijajah Perancis. Keempat, kedua Negara berusaha untuk menyatukan kedua sistem hukum dan peradilan dalam kerangka hukum nasional masing-masing. Di Mesir, hukum private Islam sudah menyatu dengan hukum private umum dan Peradilan Agama (Mahkama Syar’iyyah) sudah menyatu dengan Peradilan Umum, sedang di Indonesia pada tanggal 30 Juni 2004 Menteri Agama , telah menyerahkan Organisasi, Administrasi, dan finansial lingkungan Peradilan Agama kepada ketua Mahkamah Agung RI: (pasal 42 ayat (2) Undang-Undang No. 4 tahun 2004 dan KEPRES No. 21 tahun 2004) . 1 Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah yang menjadi inti pembahasan adalah : 1. Bagaimana bentuk dan sistem peradilan di Negara Republik Arab Mesir, dan apa sisi persamaan dan perbedaannya dengan bentuk dan sistem peradilan Indonesia ? 2. Bidang-bidang apa saja yang mungkin dikembangkan di Indonesia dari apa yang ada di Mesir ? 3. Apakah secara khusus pengalaman Mesir dalam bidang hukum materiil dan hukum acara keluarga dapat memperkaya hukum materiil dan hukum acara keluarga di lingkungan Peradilan Agama ? 1 Anshoruddin ; Makalah Peradilan Satu Atap Dan Positivisasi Hukum Islam

Transcript of PERADILAN DI REPUBLIK ARAB MESIR ( ﺔﯿﺑﺮﻌﻟا ﺮﺼﻣ ﺔﯾرﻮﮭﻤﺟ … Di... ·...

1

PERADILAN DI REPUBLIK ARAB MESIR

)القضاء في جمھوریة مصر العربیة (

Oleh : Anshoruddin

I. PENDAHULUAN

Antara Indonesia dan Mesir terdapat beberapa kemiripan dalam sejarah hukum.

Pertama, sebelum datangnya penjajahan barat, dalam bidang peradilan, Pengadilan

Agama atau Mahkamah Syar’iyyah adalah lembaga peradilan yang dominan di kedua

negara. Kedua, Indonesia dan Mesir sama-sama merasakan dualisme pendidikan hukum

dan peradilan. Di satu pihak terdapat pendidikan hukum untuk hukum warisan colonial

yang bermuara ke Pengadilan Umum dan di lain pihak terdapat pendidikan syari’ah untuk

hukum Islam yang bermuara ke Pengadilan Agama. Ketiga, kedua Negara sama-sama

berbasis tradisi civil law di mana asal usul hukum materiil dan acara berasal dari Prancis.

Mesir mengambilnya melalui Code Napoleon dan perundang-undangan Perancis modern,

dan Indonesia mengambilnya melalui Belanda karena Belanda pernah dijajah Perancis.

Keempat, kedua Negara berusaha untuk menyatukan kedua sistem hukum dan peradilan

dalam kerangka hukum nasional masing-masing. Di Mesir, hukum private Islam sudah

menyatu dengan hukum private umum dan Peradilan Agama (Mahkama Syar’iyyah)

sudah menyatu dengan Peradilan Umum, sedang di Indonesia pada tanggal 30 Juni 2004

Menteri Agama , telah menyerahkan Organisasi, Administrasi, dan finansial lingkungan

Peradilan Agama kepada ketua Mahkamah Agung RI: (pasal 42 ayat (2) Undang-Undang

No. 4 tahun 2004 dan KEPRES No. 21 tahun 2004).1

Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah yang menjadi inti

pembahasan adalah :

1. Bagaimana bentuk dan sistem peradilan di Negara Republik Arab Mesir, dan apa sisi

persamaan dan perbedaannya dengan bentuk dan sistem peradilan Indonesia ?

2. Bidang-bidang apa saja yang mungkin dikembangkan di Indonesia dari apa yang ada

di Mesir ?

3. Apakah secara khusus pengalaman Mesir dalam bidang hukum materiil dan hukum

acara keluarga dapat memperkaya hukum materiil dan hukum acara keluarga di

lingkungan Peradilan Agama ?

1 Anshoruddin ; Makalah Peradilan Satu Atap Dan Positivisasi Hukum Islam

2

II. POSISI AGAMA DALAM NEGARA

Sebelum revolusi tahun 1952, Mesir adalah sebuah kerajaan berkonstitusi, yaitu

konstitusi tahun 1923 yang menyatakan bahwa Mesir adalah sebuah negara Islam

independen yang berdaulat dengan bahasa Arab sebagai bahasa resmi dan mempunyai

dewan perwakilan rakyat. Konstitusi tahun 1923 ini dihapuskan, lalu partai-partai politik

dibubarkan pada tahun 1953, dan sebuah konstitusi baru diumumkan pada tahun 1956

yang diikuti dengan proklamasi Republik Mesir. Antara tahun 1958 dan 1961, Mesir dan

Syria melebur diri menjadi satu Negara, disebut Republik Persatuan Arab. Setelah Syria

menarik diri pada tahun 1961, Nama Republik Persatuan Arab masih tetap dipakai oleh

Mesir. Persatuan Nasional didirikan pada tahun 1957 menggantikan partai-partai politik

yang dihapuskan pada tahun 1953 dan menjadi Persatuan Sosialis Arab pada tahun 1962.

Pada tahun 1971, Mesir, Libya dan Syria sepakat mendirikan Konfederasi

Republik-Republik Arab. Sebuah draft konstitusi diterima oleh kepala Negara setiap

negeri dan dikukuhkan melalui referendum di ketiga negara anggota. Kairo dipilih

menjadi ibukota konfederasi ini. Pada tahun 1979 konfederasi bubar berikut

penandatanganan perdamaian antara Mesir dan Israel.

Pada tanggal 11 September 1971, sebuah konstitusi baru Mesir dikukuhkan

melalui referendum. Dalam proklamasinya dinyatakan bahwa Republik Arab Mesir

adalah sebuah Republik Sosials Demokratis dengan Islam sebagai agama negara

dan bahasa Arab sebagai bahasa nasional. Juga dinyatakan bahwa Syari’at Islam

adalah sumber perundang-undangan negara. Konstitusi mengakui tiga bentuk

kepemilikan, yaitu kepemilikan umum, koperasi dan pribadi. Konstitusi juga menjamin

persamaan setiap warga di depan hukum dan memberikan perlindungan terhadap mereka

dari intervensi sewenang-wenang dalam proses hukum. Konstitusi juga menegaskan

tentang hak untuk berkumpul secara damai, hak pendidikan, hak kesehatan dan hak

keamanan sosial serta hak untuk mendirikan organisasi atau perhimpunan dan juga hak

untuk memilih dan dipilih.

Menurut konstitusi dan beberapa amandemen selanjutnya, presiden republik

adalah kepala negara dan bersama-sama dengan kabinet menjalankan kekuasaan

eksekutif. Presiden harus orang Mesir asli, lahir dari orang tua yang juga Mesir asli dan

usianya tidak kurang dari 40 tahun. Pemilihan presiden dilakukan setiap 6 tahun sekali

dan bisa dicalonkan kembali. Presiden mempunyai kekuasaan untuk memilih dan

3

memberhentikan satu atau lebih wakil presiden, perdana menteri, menteri-menteri dan

wakil-wakilnya. Lembaga Legislatif adalah Majelis Rakyat (Majlis asy-Sya’b) yang

memilih presiden dengan suara mayoritas dua pertiga anggota Majelis. Kandidat

kemudian dikukuhkan oleh plebisit nasional (referendum).

Presiden adalah komandan tertinggi angkatan bersenjata dan mempunyai hak

untuk memberikan amnesti dan mengurangi hukuman, mempunyai kekuasaan untuk

memilih pegawai sipil dan militer dan untuk memberhentikan mereka seperti ditetapkan

oleh undang-undang, dan memiliki kekuasaan melaksanakan referendum untuk

kepentingan yang sangat mendesak. Presiden dalam kasus-kasus pengecualian, dapat

mengeluarkan dekrit yang mempunyai kekuatan hukum, tetapi hanya untuk masa tertentu

saja.

Kekuasaan legislatif terletak di tangan Majelis Rakyat, yang terdiri dari 444

anggota terpilih. Beberapa orang anggota harus wanita dan 10 anggota tambahan yang

ditunjuk oleh presiden. Majelis dipilih berdasarkan sistem proporsional untuk jangka

waktu 5 tahun. Setiap warga Negara yang sudah berumur 18 tahun ke atas dan sudah

mendaftar dapat menggunakan hak pilihnya. Presidenlah yang membuka dan menutup

masa sidang Majelis Rakyat.

Fungsi untuk Majelis Rakyat adalah untuk menetapkan kebijakan. Para anggota

harus mengesahkan semua undang-undang dan memeriksa serta menetapkan anggaran

nasional. Majelis juga membuat program yang dijalankan oleh kabinet yang baru terpilih.

Majelis harus menarik anggotanya yang seharusnya sudah berhenti/pensiun. Presiden

tidak dapat membubarkan Majelis kecuali dalam situasi tertentu atau setelah ada

persetujuan melalui referendum rakyat. Pemilihan anggota Majelis yang baru harus

diadakan tidak lebih dari 60 hari setelah pembubaran Majelis.

Konstitusi juga menetapkan independensi peradilan dari kekuasaan-

kekuasaan yang lain. Tugas dan wewenangnya diatur oleh perundang-undangan khusus.

Sebagai hasil dari amandemen UUD yang dilakukan oleh sebuah referendum pada tahun

1980, konstitusi juga menetapkan Majelis Syura’ sebagai badan penasehat nasional yang

dipilih secara parsial. Sementara itu Dewan Pertahanan Nasional yang diketuai oleh

presiden bertanggung jawab dalam masalah yang berhubungan dengan keamanan dan

pertahanan.

4

Sampai dengan tahun 1960, administrasi pemerintahan sangat bersifat sentralisasi.

Pada tahun tersebut, sistem administrasi pemerintah daerah didirikan untuk

mengembangkan desentralisasi dan partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam

pemerintahan daerah.

Undang-Undang Pemerintahan Daerah Tahun 1960 menetapkan tiga tingkatan

administrasi daerah, yaitu muhafazhah (propinsi), markaz (distrik atau kabupaten), dan

qaryah (desa). Struktur ini mengkombinasikan ciri-ciri antara pemerintah daerah dan

pemerintah otonomi daerah. Pada setiap tingkat administratif terdapat dua dewan, yaitu

dewan yang dipilih oleh rakyat dan dewan yang ditunjuk oleh dewan eksekutif.

Walaupun dewan-dewan ini menjalankan kekuasaan legislatif yang luas, tetapi keduanya

dikontrol oleh pemerintah pusat.

Mesir dibagi kepada 26 muhafazhah. Lima kota, yaitu Kairo, Alexandria, Ismailia,

Port Said dan Suez mempunyai status muhafazhah. Gubernur ditunjuk dan dapat

diberhentikan oleh presiden. Gubernur memegang kekuasaan eksekutif tertinggi di

muhafazah. Ia mempunyai kekuasaan administratif terhadap seluruh personil

pemerintahan, kecuali para hakim, dalam muhafazahnya dan bertanggung jawab untuk

menjalankan kebijakan.

Mayoritas dewan Muhafazhah terdiri dari anggota yang dipilih. Menurut

peraturan, paling tidak setengan dari anggota Dewan Muhafazah terdiri dari para petani

dan pekerja, tetapi tidak jalan dalam praktek. Dewan kota atau Dewan Distrik dan Dewan

Desa dibangun berdasarkan prinsip-prinsip yang sama seperti pada Dewan Muhafazhah.

Dewan-dewan daerah melakukan fungsi-fungsi yang beragam dalam pendidikan,

kesehatan, sarana umum, perumahan, pertanian dan komunikasi. Dewan-dewan ini juga

bertanggungjawab mempromosikan gerakan koperasi dan melaksanakan bagian dari

perencanaan nasional. Dewan daerah mendapatkan dana dari pendapatan nasional, pajak

tanah dan bangunan di muhafazhah, berbagai macam pajak daerah, keuntungan dari

fasilitas umum, perusahaan-perusahaan dagang dan subsidi nasional, bantuan dan

pinjaman.2

2 Disarikan dari CD-ROOM Encyclopedia Britannica 2002, Artikel “Egypt: Government and Social

Conditions”.

5

III. SISTIM PERADILAN MESIR

A. Sejarah Peradilan Mesir

Secara historis, sistem peradilan Republik Arab Mesir telah dikenal sejak

zaman kuno, yakni kurang lebih 3000 SM, yang telah meletakkan asas-asas peradilan

modern seperti pemeringkatan peradilan, karakteristik peradilan, sistem peradilan,

sengketa administrasi, asas-asas peradilan serta indepedensi hakim seperti

kemandirian dan kehati-hatian hakim.

Pada waktu itu penguasa di setiap wilayah secara ex officio menjabat sebagai

hakim. System peradilan pada zaman Islam, dimulai pada masa pemerintahan ‘Amar

bin ‘Ash ketika menjabat sebagai Gubernur Mesir. Kemudian pada masa

pemerintahan dinasti Mamalik, terbentuk empat macam peradilan. Pada masa

pemerintahan Muhammad ‘Ali, terbuka pengaruh sistem peradilan Eropah modern

yang ditandai dengan pendirian Dewan Wali pada tahun 1735.

Dengan masuknya pendatang asing ke Mesir didirikan peradilan campuran

(al-Mahkamah al-Mukhtalathah) sehingga peradilan dibagi menjadi dua macam

yakni, al-Mahkamah al-Ahliyah (al-Qawmiyyah) dan al-Mahkamah asy-Syar’iyyah

(tentang hukum keluarga). Selanjutnya berdiri peradilan Milliyyah bagi non Muslim

di bidang hukum keluarga. Sistem ini kemudian dihapus dengan Montrel Act tahun

1937, sehingga peradilan Qaumiyyah dan peradilan Syar’iyyah mempunyai

kewenangan mutlak. Peradilan Syar’iyyah kemudian dihapus dan wewenangnya

dimasukkan ke dalam peradilan perdata (al-Qadha al-Madani).

B. Lembaga-Lembaga Peradilan Mesir

Sistem peradilan Mesir mempunyai 5 (lima) bentuk lembaga peradilan :

1. Al-Mahkama ad-Dusturiyah al-‘Ulya (Mahkam Agung Konstitusi);

2. Majlis ad-Dawalah (Dewan Negara), yang meliputi:

a. Mahakim al-Qadha’ al-‘Idary (Peradilan Tata Usaha Negara);

b. Qismu al-Fatawa (Komisi Fatwa);

c. Qismu at-Tasyri’ (Komisi Perundang-undangan).

3. As-Sulthah Al-Qadha’iyyah / Al-Qadha’ al-‘Adiyah (Kekuasaan

Yudikatif/Peradilan Biasa), yang meliputi:

a. Peradilan (Mahkamah)

b. Kejaksaan (Niyabah)

6

4. Hai’ah Qadhaya ad-Daulah (Lembaga Kasus-Kasus Negara);

5. An-Niyabah al-Idariyyah (Kejaksaan Administrasif).

Di samping ke lima lembaga peradilan tersebut, ada juga peradilan istimewa

(exceptional court) yang dikenal denagn Mahkama Amnu ad- Daulah (Peradilan

Keamanan Negara) yang mempunyai kewenangan mengadili perkara subversi dan

pembunuhan terhadap Kepala Negara seperti tindak pidana pembunuhan terhadap

Presiden Anwar Sadat.

1. Tingkatan-Tingkatan Peradilan

a. Peradilan Bagian (Al-Mahkamah Al-Juz’iyyah)

b. Peradilan Pertama (Al-Mahkamah Al-Ibtida’iyyah)

c. Peradilan Banding (Al-Mahkamah Al-Isti’nafiyyah)

d. Peradilan Kasasi (Mahkama an-Naqdh)

a) Peradilan Bagian (al-Mahkamah Al-Juz’iyyah)

Peradilan Juz’iyyah diketuai oleh hakim tunggal, yang

berkewenangan memeriksa perkara pidana dan perdata sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku, antara lain menangani kasus

pelanggaran delik pers. Di bidang perdata, peradilan Juz’iyyah memeriksa

dan mengadili perkara-perkara antara lain:

1. Gugatan tentang penggunaan air.

2. Gugatan tentang pemanfaatan lahan dan bangunan.

3. Gugatan tentang upah dan gaji.

4. Gugatan tentang hukum keluarga seperti tentang nafkah istri dan anak,

mahar dan peralatan rumah tangga di bawah L.E. 1000 (seribu pound

Mesir),- hadhanah, nafkah saudara-saudara, kewarisan yang lebih dari

L.E. 2.000 (dua ribu pound Mesir), perwalian atas pribadi dan harta

penetapan testamenters (washi).

b) Peradilan Tingkat Pertama (al-Mahkamah al-Ibtida’iyyah)

Peradilan tingkat pertama (al-Mahkamah al-Ibtidai’yyah) juga

merupakan peradilan ulang bagi al-mahkamah al-juz’iyyah yang

mempunyai kewenangan mengadili perkara pidana dengan tuntutan selain

denda atau tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Dalam bidang

perdata, peradilan ibtida’iyyah mengadili perkara perdata dengan ciri-ciri:

7

pertama, perkara yang dimintakan pengadilan ulang dari pengadilan

juz’iyyah dan kedua, perkara perdata yang nilainya lebih dari L.E. 5.000

(lima ribu pound Mesir).

c) Peradilan Banding (al-Mahkamah al-Isti’nafiyyah)

Persidangan dilakukan dengan siding majelis yang beranggotakan 3

orang kanselir (al-Mustasyar). Peradilan ini juga mengadili perkara pidana

yang tempat kejadian perkara dalam wilayah hukumnya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d) Peradilan Kasasi (Mahkamah al-Naqdh)

Berbeda dengan peradilan tingkat banding, yang berwenang

menangani perkara ulangan, maka peradilan kasasi urgensinya adalan

pengawasan terhadap keabsahan dalam penerapan hukum terhadap perkara

yang dimohonkan kasasi, dengan tujuan:

1. Meluruskan cacat yang terdapat dalam penerapan hukum.

2. Untuk mencapai manfaat yang lebih, yaitu menemukan unsur

kemaslahatan bagi para pihak yang bermuara pada kepentingan

(maslahah) umum.

Syarat-syarat permohonan kasasi adalah :

1. Adanya kesalahan dalam penerapan hukum.

2. Permohonan berdasarkan ketidaksesuaian hukum dengan keputusan-

keputusan final pada semua tingkat peradilan.

3. Diajukan oleh jaksa (an-Naib al-‘Am)

Permohonan kasasi dibidang pidana dapat diajukan karena alasan-

alasan sebagai berikut:

1. Karena kekeliruan / bertentangan dengan hukum.

2. Bila terdapat cacat dalam putusan.

3. Terdapat kesalahan dalam penerapan hukum acara yang berakibat cacat

hukum.

Berbeda dengan perkara pidana, perkara kasasi bidang perdata tidak

menghalangi eksekusi, kecuali hakim tingkat kasasi memerintahkan

penundaan eksekusi, dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Permohonan kasasi memenuhi syarat formal.

8

2. Putusan memungkinkan pelaksanaan eksekusi.

3. Prioritas dikabulkanya besar.

Peradilan kasasi mempunyai lembaga al-Maktab al-Fanni (Biro

Teknis) yang mempunyai fungsi :

1. Mempublikasikan putusan kasasi.

2. Penerbitan juirnal hukum.

3. Mengadakan penelitian.

4. Mengawasi court calender Mahkamah an-Naqdh dan lain sebagainya

sesuai dengan perintah Ketua Mahkamah an-Naqdh.

2. Kejaksaan Agung (An-Niyabah al-‘Ammah)

Prosedur proses permohonan kasasi melalui pra persidangan ,Majelis

Kejaksaan (an-niyadah al-‘ammah) dalam perkara perdata, pidana dan

keludarga. Adapun Struktur organisasi Kelaksaan Agung adalah:

1. Jaksa Agung

2. Wakil-awkil (Pengawas Peradilan);

3. Jaksa-Jaksa Tinggi;

4. Al-Muhamy al-‘Am al-Awwal (Penasehat Hukum Pertama);

5. an-Niyabah al-Kulliyah (Jaksa Umum);

6. an-Niyabah al-Juz’iyyah (Jaksa Bagian);

7. an-Niyabah al-Mukhtashshash (Jaksa Khusus)

3. Lingkungan Peradilan

Di Mesir ada tiga lingkungan peradilan, yaitu;

a. Al-Mahakim al-Madani (Peradilan Perdata)

b. Al-Mahakaim al-Jina’I (Peradilan Pidana)

c. Al- Mahakaim al-Idari (Peradilan Tata Usaha Negara)

Ketiga lembaga peradilan tersebut mempunyai tugas dan wewenang yang

berbeda sesuai dengan peranan dan fungsinya masing-masing. Peradilan perdata

antara lain menangani perkara kebebasan dalam menyampaikan pendapat, hak

membentuk partai politik dan hak mencalonkan diri dalam ke anggotaan asosiasi

bagi seluruh warga Negara.

Selain ketiga lingkungan peradilan tersebut, berdasarkan UU nomor 5

Tahub 1980, dibentuk peradilan Keamanan Negara (Mahkamah Amni ad-

9

daulah) yang terdiri dari Pengadilan Tinggi Keamanan Negara (Mahkamah

Amni ad-Dawlah al-‘Ulya ) dan Pengadilan Bagian Keamanan Negara

(Mahkaman Amni ad-Dawlah al-Juz Iyyah) yang bersidang dengan dua orang

hakim militer dan dua orang hakim peradalin biasa (koneksitas). Putusan

Mahkamah Amni ad-Dawlah dapat diajukan banding pada kamar Mahkamah

Ibtida’iyyah, dan dapat diajukan ke Mahkamah Kasasi, adapun pejabat yang

berhak mengajukan banding adalah Jaksa.

Mahkamah Amni ad-Dwlah al-juz‘iyah terdapat pada setiap Mahkamah

Ibtida’iyyah yang susunan majelisnya terdiri dari dua orang militer berpangkat

naqib (kapten/Letnen) dan seorang hakim peradilan biasa. Disamping itu

dibentuk juga Pengadilan Darurat (Mahkamah at-Thawary) yang bersidang

dengan hakim majelis terdiri dari 5 (lima) orang hakim, dua orang hakim

berpangkat mustasyar dan 3 orang hakim militer berpangkat kolonel.

Peradilan Darurat dibentuk bila Negara dianggap dalam keadaan darurat.

Peradilan ini disebut peradilan pengecualian (exceptional court). Putusannya

tidak boleh dibanding. Mengenai peradilan darurat ini kekuasaan Presiden sangat

dominan, karena ia berwenang mengukuhkan, membatalkan, menunda atau

meninjau kembali putusan yang dikeluarkan oleh Peradilan Darurat.3

C. Mahkamah Agung Konstitusi (al-Mahkamah ad-Dusturiyyah al-‘Ulya)

Sebelum lahirnya Mahkamah Agung Konstitusi, pada tahun 1969 dibentuk

Mahkamah Agung (al-Mahkamah al-‘Ulya) yang merupakan cikal bakal Mahkamah

Agung Konstitusi yang mempunyai fungsi pengawasan terhadap Undang-Undang

Dasar.

Sesuai pasal 174, Mahkamah Agung Konstitusi adalah lembaga peradilan

yang independen berkedudukan di ibu kota Kairo, yang mempunyai wewenang

peninjauan terhadap Undang-Undang Dasar, peraturan-peraturan di bawahnya serta

peninjauan terhadap rancangan undang-undang termasuk peraturan pelaksanaannya.

Pada tahun 1979 dibentuklah Mahkamah Agung Konstitusi berdasarkan Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 1979 tentang Mahkamah Agung Konstitusi.

3 Dr. Hamid Muhammad Abu Tholib, Nidhoomu Al-Khodhooi Al-Mishriyyi Fii Miizaani Assyarii’ah, Daru al

Fikri Al ‘arobiyyi, Kairo- Mesir, 1993 Hal. 54-60.

10

Beradsarkan pasal 25 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 1979, kewenangan

Mahkamah Agung Konstitusi dibatasi dalam hal-hal sebagai berikut:

1. Peninjauan terhadap Undang-Undang Dasar serta peraturan di bawahnya.

2. Memutus sengketa kewenangan antara lembaga dan badan peradilan.

3. Menyelesaikan sengketa yang berkenaan dengan eksekusi terhadap dua putusan

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

4. Menafsirkan teks-teks undang-undang yang dikeluarkan lembaga legislatif serta

keputusan-keputusan Presiden.

Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang ini, dalam melakukan pengawasan

terhadap undang-undang, Mahkamah Tinggi Konstitusi melaksanakan tugasnya

dengan salah satu di antara dua cara:

Pertama, apabila pada saat proses gugatan ditemukan fakta bahwa perkara

yang diajukan tidak berdasarkan hukum, maka pemeriksaan terhadap perkara ini

harus segera dihentikan, dan dialihkan ke Mahkamah Agung Konstitusi.

Kedua, apabila pada saat proses persidangan ada eksepsi terhadap salah satu

lembaga peradilan tentang gugatan yang tidak ada dasar hukumnya, dan Mahkamah

Agung Konstitusi memandang bahwa eksepsi tersebut beralasan, maka ia diberi

kesempatan untuk mengajukan gugatan tersebut ke Mahkamah Agung Konstitusi

dalam tengang waktu tidak lebih dari tiga bulan.

Berdasarkan pasal 49 Undang-Undang ini, bahwa putusan yang dikeluarkan

oleh Mahkamah Agung Konstitusi berkenaan gugatan yang ada kaitanya dengan

konstitusi, begitu juga terhadap putusan-putusan tentang penafsiran undang-undang,

wajib di taati oleh semua lembaga kekuasaan negara. Putusan tersebut harus dimuat

dalam lembaran resmi negara, paling lama lima belas hari sejak putuasan tersebut

ditetapkan, dan terhadap putusan yang tanpa berdasarkan hukum dimuat dalam surat

kabar harian nasional satu hari setelah putusan dibacakan.

Kenyatannya Mahkamah Agung Konstitusi, telah mempunyai andil yang

sangat besar dalam menjaga keutuhan dan wibawa konstitusi, bahkan telah

mempunyai pengaruh yang sangat besar di tengah masyarakat sebagai lembaga

peradilan yang mempunyai posisi penting.

Mahkamah Agung Konstitusi mempunyai pengaruh dan andil yang sangat

besar, antara lain dalam menghapus hak-hak istimewa yang diberikan kepada

11

individu dan profesi tertentu. Mahkamah Agung Konstitusi berpendapat bahwa hak

istimewa merupakan pelecehan terhadap asas persamaan, kesempatan dan peluang

untuk menikmati hak yang dimiliki oleh warga negara.

Berdasarkan Pasal 8 dan 40 Undang-Undang Dasar Mesir tentang dasar

hukum hak-hak menikmati bagi seluruh warga negara, maka Mahkamah Agung

Konstitusi pernah membatalkan hak-hak istimewa yang pernah diberikan secara

khusus kepada sebagian kecil masyarakat seperti anak dosen pada Perguruan Tinggi,

anak, isteri serta saudara angkatan besenjata yang gugur atau hilang, pekerja sipil di

instansi angkatan bersenjata, pemegang tanda jasa, putera daerah terpencil dan

propinsi yang terletak di perbatasan.

Mahkamah Agung Konstitusi juga mempunyai andil yang besar dalam

melindungi hak warga negara tentang kebebasan mengemukakan pendapat dan hak

membentuk partai politik. Pada saat warga negara melakukan aksi protes untuk

menolak perjanjian damai antara Mesir dan Israel pada tahun 1979, pemerintah

Mesir mengeluarkan kebijakan untuk melarang warga Negara mendirikan partai

politik. Mahkama Agung Konstitusi menetapkan, bahwa meskipun pemerintah

mendapatkan tekanan, karena perjanjian internasional tersebut menibatkan banyak

negara, semestinya perjanjian tersebut dibicarakan dan dimusyawarahkan terlebih

dahulu di tengah-tengah masyarakat.

Berkenaan dengan larangan pemerintah untuk mendirikan partai politik, maka

Mahkamah agung Konstitusi memberi putusan, bahwa laranga tersebut menyimpang

dari ketentuan Pasal 5 dan 47 Undang-Undang Dasar tentang hak membentuk partai

politik serta hak mencalonkan diri dalam suatu partai politik merupakan hak asasi

dalam sistem demokrasi yang sehat.

D. Al-Majlis al-A’la li al-Qadha (Majelis Tinggi Peradilan / Komisi Yudisial)

Al-Majlis al-A’la li al-Qadha’ adalah lembaga peradilan semacam dewan

kehormatan hakim, yang mempunyai fungsi melakukan pengawasan terhadap hakim.

Di antara tugas-tugas pokok komisi yudisial ini adalah:

1. Merekomendasikan pengangkatan hakim;

2. Promosi hakim;

3. Tindakan (memberikan hukuman terhadap hakim yang nakal);

12

4. Mutasi.4

IV. HUKUM PIDANA DAN HUKUM ACARA PIDANA

A. Kompetensi Peradilan Pidana

Peradilan pidana mewakili negara dalam menyelesikan kasus-kasus dan

perkara pelanggaran dan tindak pidana kejahatan dalam rangka menegakkan

kemaslahatan umum. Pada hakekatnya peradilan pidana tidak melindungi

kepentingan-kepentingan individu sebagaimana dalam peradilan perdata, akan tetapi

melindungi kepentingan umum yang dilanggar oleh setiap individu yang ada dalam

masyarakat.

Dalam menyelesaikan kasu-kasus pidana harus diperhatikan asas:

Pertama, legalitas substantif, yaitu asas yang menggariskan bahwa tidak

seorangpun dapat di hukum kecuali telah ditentukan oleh undang-undang.

Kedua, asas “asy-Syr’iyyah al-Ijra’iyyah”, yaitu proses berperkara

menggunakan hukum acara.

Peradilan diberi kewenangan untuk mengadili perkara-perkara pidana secara

internasional sesua dengan jenis pidana yang berlaku di negara tersebut (al-

Ikhtishash ad-Duali).

Al-Ikhtishash ad-Duali, adalah tindak pidana yang berlaku secara

internasional sehingga pelakunya pun dapat diadili dengan pidana di negara tempat ia

melakukan tindak pidana. Kaidah ini memberikan pengecualian terhadap Kepala

Negara atau yang mewakilinya, misalnya duta besar dan keluarga mereka.

Dalam kaidah ini dirumuskan, apabila seorang warga Negara Mesir

membunuh seorang asing di negara lain, maka hukum pidana Mesir tidak berlaku.

Sebaliknya, orang asing yang melakukan tindak pidana di Mesir, maka yang berkaku

adalah hukum pidana Mesir. Apabila seorang warga negara Mesir melakukan tindak

pidana di negara asing, akan tetapi belum dihukum, ketika ia pulang, maka ia dapat

diadili di Mesir, Tindak pidana yang menyangkut keamana negara Mesir, harus

diadili dengan hukum Mesir, meskipun ia telah dihukum di negara asing.

4 Ceramah Dr. ‘Izzat Sa’ad, Duta Besar Republik Arab Mesir untuk Indonesia, Tgl. 12 Juli 2002.

13

B. Sumber Hukum Pidana Mesir

Menurut Undang-Undang Dasar Mesir, sumber hukum utama Mesir adalah

syari’at Islam, akan tetapi terhadap jarimah (kejahatan) al-hudud syari’at Islam sulit

untuk dapat diterapkan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor. Misalnya tentang

zina yang sulit sekali dalam acara pembuktiannya. Karena peristiwa tersebut harus

dilihat langsung di tempat kejadian perkara serta disaksikan oleh 4 (empat orang)

saksi. Karena itu terhadap tindak pidana perzinahan, kadang kala Mesir

memberlakukan hukum at-ta’zir, meskipundalam memberi putusan hukuman at

ta’zir tersebut, kadangkala sampai kepada hukuman pidana mati. Demikian juga

hukum al-hudud terhadap tindak pidana pencurian yang hanya dapat dilaksanakan

apabila pelaku mempunyai tingkat ekonomi yang memadai, akan tetapi tidak berlaku

terhadap rakyat yang dibawah garis kemiskinan, yang melakukan tindak pidana

pencurian karena alasan terpaksa.

Meskipun Mesir menganut asas legalitas substantif, akan tetapi apabila

negara dalam keadaan darurat, kewenangan legislasi peraturan perundang-undangan

hanya ada ditangan Presiden. Mesir menganut pembagian kekuasaan sesuai teori

Trias Politika, yaitu kewenangan membuat peraturan perundang-undangan ada

ditangan Dewan Perwakilan Rakyat (Majlis asy-Sya’ab). Sedangkan pemerintah,

selain berwenang melakukan peraturan perundang-undangan, juga mempunyai

kewenangan melaksanakan undang-undang. Sedangkan pengawasan terhadap

pelaksanaan undang-undang ada ditangan lembaga yudikatif.

Dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang,

pemerintah tidak boleh melakukan intervensi dalam bentuk apapun. Dengan Undang-

Undang Nomor 25 Tahun 1966, semua golongan dan lapisan masyarakat hanya

tunduk pada peradilan biasa (al-Mahkamah al-‘Adiyah). Akan tetapi sejak terbitnya

undang-undang tersebut dibentuk badan peradilan militer (al-Mahkamah al-

Askariyyah), yang mempunyai pompetensi:

Pertama, mengadili anggota militer.

Kedua, mengadili masyarakat sipil dalam perkara-perkara tertentu yang

berhubungan dengan keamanan negara.

Termasuk yang harus diajukan ke Mahkamah Militer adalah anggota hansip,

resimen mahasiswa, pegawai sipil militer, pasukan sekutu yang bertugas pada suatu

14

negara, tawanan perang serta kejahatan-kejahatan yang terjadi di kamp-kamp dan

barak-barak militer, meskipun pelakunya warga sipil.

C. Proses Penuntutan:

1. Tahap pengumpulan bukti atau penyelidikan (Jam’u al-Istidlal).

2. Tahap penyidikan (at-Tahqiq).

3. Tahap persidangan.

Pada tahap pengumpulan bukti atau penyelidikan dilakukan oleh petugas

yang berwenang sebagaimana disebutkan dalam pasal 21 Hukum Acara Pidana

Mesir, yaitu “al-Ma’mur bi Dhabt al-Qadha’ (Pejabat Penertib Peradilan). Adapun

tugas al-Ma’mur bi Dhabt al-Qadha’ ini adalah:

Pertama, mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan.

Kedua, mencari pelaku tindak pidana (tersangka).

Al-ma’mur bi Dhabt al-Qadha’ ini tunduk dibawah kejaksaan yang

wewenagnya diatur dalam pasal 23 Hukum Acara Pidana Mesir, yaitu ada yang

berwenang menyelidiki dalam wilayah hukumnya saja (pasal 23 Ayat (1)) dan ada

yang berwenang menyelidiki di seluruh wilayah Mesir (pasal 23 ayat (2) ). Temasuk

juga dalam kategori al-Ma’mur bi Dhabt al-Qadha’ adalah:

1. Para anggota kejaksaan dan stafnya.

2. Anggota kepolisian da stafnya.

3. Kepala polisi ditingkat kecamatan

4. Para lurah dan camat.

5. Para kepala stasiun kereta api.

6. Pejabat bea cukai.

Di antara wewenang al-Ma’mur bi Dhabt al-Qadh’ adalah menerima laporan

atau pengaduan tentang adanya perbuatan tindak pidana. Bila hal tersebut terjadi, ia

harus mencatat dalam berita acara, selanjutnya dikirim kekejaksaan untuk disidik

lebih lanjut, setelah mendapat bukti-bukti permulaan yang cukup. Dalam

pengumpulan bukti-bukti permulaan, ia dapat meminta informasi tentang identitas

tersangka.

Al-Ma’mur bi Dhabt al-Qadha’ tidak dapat menangkap tersangka kecuali

dalam keadan tertangkap tangan (at-Talabbus), misalnya menemukan langsung

15

mayat tergeletak ditengah jalan yang berlumuran darah. Jika ia melihat langsung

tersangka di tempat kejadian perkara, maka ia dapat secara langsung menangkap

terasngka tersebut. Jika disitu terdapat banyak orang, ia harus berhati-hati dalam

melakukan penagkapan. Dalam hal ini tersangka dapat ditahan Selama 3 (tiga) bulan.

Menurut Pasal 30 Hukum Acara Pidana Mesir, seorang dianggap tertangkap

tangan jika:

1. Pada saat terjadi tindak pidana itu, ia dalam waktu yang berdekatan.

2. Ada korban dan disaksikan halayak ramai.

3. Korban berteriak di tempat kejadian perkara.

4. Tersangka membawa senjata, berkas-berkas, tanda-tanda atau barang lain yang

dapat dijadikan alat bukti.

Apabila tersangka tidak ada ditempat, apa yang harus dilakukan oleh al-

Ma’mur bi Dhabt al-Qadha? Dalam keadaan semacam ini, ia dapat mencari

informasi tentang keberadaan tersangka. Jika tersangka telah dapat diidentifikasikan,

maka ia dapat melaporkan kepada pihak kejaksaan untuk dilakukan penagkapan.

Tersangka tidak dapat ditangkap di rumah kediamannya, kecuali atas izin pihak yang

berwenang.

Pada dasarnya al-Ma’mur bi Dhabt al-Qadha’ hanya berwenang melakukan

penyelidikan (jam’u al-istidlal), tetapi dalam hal tertentu ia dapat melakukan

penyidikan (tahqiq) atas mandat dari pihak kejaksaan. Setelah mendapat laporan dari

al-Ma’mur bi Dhabt al-Qadha’, pihak kejaksaan menindaklanjuti perkara tersebut

dengan melakukan penyidikan. Apabila dipandang cukup bukti maka perkara

tersebut diajukan kepengadilan untuk disidangkan. Apabila pihak kejaksaan

memandang tidak cukup alasan, maka ia dapat mendeponir perkara tersebut.5

V. HUKUM KELUARGA (AL-AHWAL ASY-SYAKHSHIYYAH) DAN HUKUM

ACARA KELUARGA

A. Hukum Keluarga

Hukum keluarga berkaitan dengan keadaan individu dan kecakapannya dalam

bertindak hukum. Pada tahun 1931, peradilan keluarga menjadi wewenang

5 Ceramah Pada Pelatihan Hakim Di Mesir oleh Kanselir Mohammad Ahmad Hasan Tgl. 15 Juli 2002.

16

Mahkamah Syar’iyyah, akan tetapi sejak tahun 1955 dihapus dan dimasukkan ke

dalam peradilan perdata.

Undang-undang yang berlaku di Mesir pada umumnya mengacu kepada

syari’at Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits serta fiqh para fuqaha’.

Permasalahan baru yang tidak di singgung oleh undang-undang diambilkan dari

pendapat yang terkuat dalam mazhab Imam Abu Hanifah.

Hukum Keluarga Mesir terdiri dari:

1. Wilayah ‘ala an-Nafs (kekuasan atas jiwa)

2. Wilaya ‘ala al-Mal (kekuasaan atas harta)

3. Qanun al-Washaya (Undang-Undang Wasiat)

4. Qanun al-Mawarits (Undang-Undang Waris)

5. Qanun al-Waqf (Undang-Undang Wakaf)

Setiap bagian memiliki hukum materiil dan hukum acara tersendiri. Hukum

materiil wilayah ‘ala an-Nafs di atur oleh Undang-Undang Nomor 100 Tahun 1985

sebagai perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 20 dan 25 Tahun 1929.

sedangkan hukum acara diatur oleh undang-undang nomor 1 tahun 2000. Hukum

materiil wilayah ‘ala al-Mal diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 119 Tahun

1952, dan hukum acaranya berdasarkan undang-undang nomor 1 tahun 2000.6

Berikut ini yang disampaikan hanya menyangkut (1) Wilayah ‘ala an-Nafs

dan (2) Wilayah ‘ala al-Mal.

1. Wilayah ‘ala an-Nafs

Wilayah ‘ala al-Nafs dapat dibagi menjadi:

a. Pertunangan (al-Khitbah).

b. Perkawinan (al-Jawaz).

c. Talak (ath-Thalaq).

d. Nafkah (an-Nafaqah).

e. Pengasuh / pemeliharaan (al-Hadhanah).

f. Perwalian (al-Wilayah) dan lain sebagainya.

Perbedaan antar wilayah ‘ala al-nafs dan wilayah ‘ala al-mal dapat

digambarkan sebagai berikut:

6 Anwar Al-‘Amri Wasyyi, Ushulu Al-Muroofa’ati Asyar ‘iiyyati Fii masaaili Al-Ahwaali Asyyakhshiyyati,

Cecakan ke Tujuh, Iskandariya, Mesir, 1989. Hal. 58.

17

Pertama: Wilayah ‘ala al-nafs diterapkan hukum agama. Dengan kata

lain, untuk muslim berlaku hukum Islam dan non-muslim berlaku hukum

agamanya masing-masing. Sedangkan wilayah ‘ala al-mal diterapkan untuk

seluruh warga negara Mesir tanpa memandang agamanya.

Kedua: Wilayah ‘ala al-nafs berakhir apabila anak telah mencapai usia

16 tahun untuk anak laki-laki, dan 18 tahun untuk anak perempuan. Sedangkan

wilayah ‘ala al-mal apabila seseorang telah mencapai usia 21 tahun.

2. Wilayah ‘ala al-Mal

Wilayah ‘ala al- mal ditetapka atas dasar :

Pertama, usia muda (anak di bawah umur).

Kedua, pemilik harta cacat mental.

Undang-undang menetapkan, untuk meminta perlindungan supaya harta

dapat dipelihara hingga usia 21 tahun. Apabila melewati usia 21 tahun harta

dapat diserahkan kepada anak. Undang-undang menetapkan bahwa harta anak-

anak dibawah usia 21 tahun harus ada yang mengelolanya : begitu juga terhadap

harta penyandang cacat, meskipun ia telah melewati usia 21 tahun. Cacat yang

dimaksud adalah : (1). Gila, (2). Safah, (3). Ghaflah dan lain-lain.

Kehilangan ingatan dapat menyebabkan seseorang menghambur-

hamburkan uangnya secara tidak benar. Oleh karenanya, undang-undang

menetapkan harus ada orang yang mengelola hartanya yang dikenal dengan

Istilah “hijr”. Hak pengelolaan tersebut harus dibuktikan beradasarkan

pemeriksaan dokter tentang keadaan gila, tuli, bisu dan buta begitu juga tentang

sembuhnya juga harus melalui pemeriksaan dokter.7

B. Hukum Acara Peradilan Keluarga (al-Murafa’at)

Hukum keluarga mempunyai ciri khas tersendiri, yaitu proses penyelesaaian

perkaranya harus mudah dan cepat. Sebelum tahun 2000, undang-undang yang

berlaku di Mesir, hanya diperuntukan dan berlaku bagi orang Mesir, atau salah satu

pihak yang berperkara adalah orang Mesir. Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2000, ketentuan tersebut dihapus, dan sejak itu tidak lagi ada perbedaan dalam

hukum keluarga bagi penduduk Mesir maupun non Mesir.

7 Dr. Nashr Farid Washil, Al-Wilaayatu Al-Khooshotu, Al-Wilayatu ‘ala an-Nafs wa al-Mal, Daru Asysyuruuq,

Mesir, 2002, Hal.9-12.

18

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 ini berdasarkan hukum Islam dan

berlaku untuk semua warga negara Mesir dan untuk semua golongan dan agama di

seluruh wilayah Mesir, baik itu agama Islam, Katolik, Kristen, Kopti, Ortodoks

Yunani dan lain-lain sebagainya. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000

diatur tentang:

Pertama, wilayah ‘ala an-nafs (hal-hal yang berkaitan dengan diri

seseorang), misalnya pelamaran, talak, rujuk, cerai dan lain sebagainya.

Kedua, wilayah ‘ala al-mal (yang berkaitan dengan harta benda), misalnya

nafkah anak, nafkah isteri, hadhanah, mut’ah, harta cacat mental dan lain-lain

sebagainya.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 menganut prinsip sederhana, cepat

dan mudah. Dalam undang-undang ini diatur juga tentang hukum acara (murafa’at).

Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 adalah

pasal 1, yaitu tentang peradilan hukum keluarga, misalnya tentang masalah isteri

yang pergi keluar negeri. Dalam hal ini Undang-undang Mesir memberi hak kepada

Menteri Luar Negeri untuk memberi izin perempuan (isteri) yang ingin pergi ke luar

negeri, dengan dua syarat:

Seorang isteri yang pergi ke luar negeri harus mendapatkan izin dari suaminya.

Surat izin tersebut harus dicantumkan di dalam paspor, dan apabila tidak

dicantumkan, maka paspor tersebut tidak dapat diberlakukan.

Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka isteri dilarang pergi ke

luar negeri. Sungguhpun demikian, masih didapatakan ada isteri yang bersikeras

untuk tetap berpergian ke luar negeri karena alasan pekerjaan. Bila hal tersebut

terjadi, isteri apat mengajukan hukum banding ke Mahkamah Idariyah (Pengadilan

Tata Usaha Negara). Setelah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2000, ketentuan

tersebut dihapus dan masuk menjadi kewenangan Pengadilan Keluarga. Apabila

isteri tidak puas karena adanya larangan pengadilan keluarga untuk pergi keluar

negeri, dan cukup alasan misalnya untuk berobat, maka ia dapat mengajukan ke

Mahkamah Konstitusi.

Meskipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 memberlakukan syari’at

Islam bagi semua golongan agama, akan tetapi dalam hal suami isteri berbeda sekte,

misalnya Kristen dan kopti, maka perkara tersebut diserahkan kepada Gereja.

19

Dalam penyelesaian perkara keluarga, pada dasarnya tidak memerlukan

pengacara, tetapi bagi perempuan yang mampu boleh menggunakan jasa pengacara.

Dalam hal ini gugatan isteri tersebut harus ditandatangani oleh pengacara, dan

seluruh biaya perkara dibebankan kepada negara. Hal tersebut dimaksudkan untuk

membela kepentingan yang lemah dalam upaya menyampaikan hak dan

kepentingannya di depan pengadilan.

Dalam undang-undang ini diatur tentang pemberitahuan kepada para pihak

yang berperkara bahwa gugatan yang keluar dari koridor hukum harus dinyatakan

ditolak. Juga dianggap penting, bahwa dalam persidangan hakim dapat menghadirkan

seorang ahli sosiologi untuk didengar pendapat mereka tentang masalah perceraian.

Dalam pasal 5 dirumuskan bahwa persidangan perceraian harus tertutup

untuk umum sebab orang lain tidak boleh mengetahui hal-hal yang menyangkut

masalah keluarga. Dalam pasal 6 diatur tentang kemungkinan pihak kejaksaan

berperan dalam mengajukan gugatan ke peradilan Keluarga.

Menurut Pasal 18, selama persidangan berlangsung pengadilan harus ikut

aktif mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara, dan dalam upaya perdamaian

hakim harus memiliki dua hal:

Pertama, harus cakap untuk melakukan perdamaian.

Kedua, harus menyediakan waktu yang cukup.

Oleh karena menurut ketentuan hak talak ada pada suami, maka sering timbul

permasalahan, apakah pernyataan talak terhadap isteri tersebut harus dinyatakan

secara kinayah atau sharih? Untuk menjawab masalah ini, menurut pasal 21 Undang-

undang Nomor 1 Tahun 2000 pernyataan talak itu harus dilakukan secara sharih,

kecuali dibarengi dengan bukti yang kuat atau dengan saksi.8

VI. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab terdahulu, dapat disimpulkan beberapa hal

sebagai berikut:

1) Pengalaman sejarah, sistem peradilan dan kondisi masyarakat Mesir yang

pluralistik hampir mirip dengan Indonesia. Dalam kaitannya dengan sejarah, kedua

8 Anwar Al-‘Amri Wasi, Ushulu al-Muroofa’aati Asysyariyyati fii Masaaili al Ahwaali Asyakhsyiyyati, cetakan

ke tujuh, Iskandariyah, Mesir, 1989, Hal. 63

20

negara sama-sama pernah dijajah oleh kolonial Barat dalam kurun waktu yang cukup

lama, sehingga mempengaruhi sistem peradilan masing-masing. Meskipun demikian,

Mesir mempunyai karakteristik tersendiri dalam mengantisipasi dan membendung

pengaruh kolonial terhadap sistem hukum yang ada. Hal tersebut terbukti dengan adanya

konsesi nasional untuk menempatkan syari’at Islam sebagai satu-satunya sumber dari

segala sumber hukum di Mesir.

2) Meskipun secara kelembagaan peradilan keluarga Mesir adalah peradilan

khusus yang menangani masalah keluarga berada dalam lingkungan peradilan perdata,

akan tetapi peradilan keluarga mempunyai kompetensi yang luas, dilengkapi dengan

materi hukum dan hukum acara yang komplit. Bahkan berdasarkan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2000, peradilan keluarga mesir berdasarkan syari’at Islam berlaku dan

mengikat setiap warga negara dan untuk semua agama , di Indonesia antara lain model

Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mencakup untuk semua agama

dan mengikat setiap warga negara.

3) Peradilan pidana, adalah peradilan yang mewakili pemerintah dalam

menyelesaikan perkara dan kasus hukum yang menyangkut kemaslahatan umum.

Artinya, peradilan pidana tidak melindungi kepentingan individu-individu masyarakat

melainkan melindungi kepentingan umum dari pribadi-pribadi yang ada dalam

masyarakat. Sama halnya dengan Indonesia, peradilan pidana Mesir juga menganut asas

legalitas dan proses beracara. Apabila di Indonesia mengklasifikasikan tindak pidana itu

kepada pelanggaran dan kejahatan, maka Mesir mengklasifikasikan perkara menjadi

junah, mukhalafah dan jinayah.

4) Dalam menerapkan syari’at Islam negara-negara Arab mengalami pasang

surut. Hal tersebut disebabkan penjajahan asing, kecuali Arab Saudi. Namun setelah

merdeka negara-negara Arab mulai secara berangsur-angsur menerapkan kembali syari’at

Islam. Mesir, Sudan, Kuwait, Libia, Irak dan Yordania telah memberlakukan syari’at

Islam khususnya dalam bidang perdata. Dalam menggodok legislasi hukum nasional dari

syari’at Islam dan perkembangan hukum kontemporer, Mesir sejak lama telah

mempunyai lembaga kajian hukum yang dikenal dengan “Majma’ al-Buhuts al-

Islamiyyah” (Akademi atau Lembagai Penelitihan Islam) yang di ketuai langsung oleh

Syeikh al-Azhar dan anggotanya terdiri dari ulama-ulama dalam berbagai aspek ilmu

pengetahuan. Lembaga ini telah banyak mengeluarkan fatwa hukum antara lain

mengharamkan bunga bank, cloning, adu banteng dan lain- lain.

21

Pontianak, Kamis 19 Januari 2017

22

DAFTAR PUSTAKA

Anwar Al-‘Amri wasyyi, Ushulu Al-Muroofa’ati Asyar ‘iiyyati fii Masaaili Al-Ahwaali

Asyyakhshiyyati, cetakan ke tujuh, Iskandariya, Mesir, 1989.

Ceramah Dr. ‘Izzat Sa’ad, Duta Besar Republik Arab Mesir untuk Indonesia, Tgl. 12Juli

2002.

Ceramah pada pelatihan Hukum di Mesir oleh kanselir Mohammad Ahmad Hasan Tgl. 15 Juli

2002.

Disarikan dari CD-Room Encyclopedia Britannica, Artikel “Eqypt: Government and Social

Conditions.

Dr. Hamid MuhammadAbu Tholib, Nidhoomu Al-Khodhooi Al-Mishriyyi Fii Miizaani

Assyarii’ah, Dru al Fikri Al ‘arobiyyi, Kairo-Mesir, 1993’.

Dr. Nashr Farid Washil, Al-Wilaayatu Al-Khooshotu, Al-Wilayaatu ‘ala an-Nafs wa al-Mai,

Daru Asysyuruq, Mesir, 2002.

Anshoruddin , Makalah tentang Peradilan Satu Atap dan Positivisasi Hukum Islam.