Pepesan Kosong Pilkada Serentak - Hizbut Tahrir Indonesia

4
12/17/2015 Pepesan Kosong Pilkada Serentak Hizbut Tahrir Indonesia http://hizbuttahrir.or.id/2015/12/03/pepesankosongpilkadaserentak/ 1/4 Pepesan Kosong Pilkada Serentak 03 Dec 2015 in Al Islam, Headline 1 Comment AlIslam edisi 783, 22 Shafar 1437 H – 4 Desember 2015 M Pada 9 Desember 2015 akan diselenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 269 daerah. Berdasarkan data di situs KPU, Pilkada serentak diikuti oleh 830 pasangan calon (paslon). Sebanyak 20 paslon di 9 propinsi, 698 paslon di 224 kabupaten dan 112 paslon di 36 Kota. Gagal Mewujudkan Tujuan Mendagri Tjahjo Kumolo dalam Rakornas Persiapan Pilkada Serentak 2015 di Jakarta (4/5) menyatakan, anggaran Pilkada serentak mencapai Rp 6,745 triliun untuk 269 daerah. Angka itu lebih mahal sekitar 30% dari anggaran Pilkada sebelumnya. Menurut dia, Pilkada serentak, sesuai tujuannya, adalah untuk efektifitas dan efisiensi. Namun faktanya, Pilkada serentak justru jauh lebih mahal. Di sisi lain, menurut Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), angka partisipasi masyarakat dalam Pilkada, termasuk dalam Pileg dan Pilpres, beberapa tahun terakhir cenderung turun (Viva.co.id, 16/11/2015). Menurut dia, itu terjadi karena jarak antara Pilkada, Pileg dan Pilpres terlalu dekat. Pemilih jenuh. Namun, Pilkada serentak tampaknya juga akan gagal mendongkrak tingkat partisipasi pemilih. Tingkat partisipasi pada Pilkada Serentak diprediksi akan turun. Tingkat partisipasi bisa mencapai 60% saja sudah dianggap bagus. Tak Sesuai Aturan Pilkada serentak juga membawa cacat besar karena tak sesuai aturan. Sesuai aturan, ambang batas keterpilihan dalam Pilkada adalah 30%. Artinya, pasangan calon yang mendapat suara minimal 30% pada ranking tertinggi bisa disahkan sebagai pemenang Pilkada. Putaran kedua hanya akan dilakukan jika tak satu pun calon meraih suara sah 30% ke atas. Ketentuan ini menyimpang dari rumus 50% + 1 yang menjadi acuan universal demokrasi tentang keterwakilan mayoritas yang sah. Hasilnya, pemerintahan daerah sebenarnya didukung oleh minoritas. Andai pemenang mendapat suara 35%, artinya dia hanya didukung 35% dari pemilih yang memilih, 65% sisanya tidak mendukung dia. Jika ditambah dengan jumlah pemilih yang golput, dukungan kepada kepala daerah itu lebih kecil lagi. Bayangkan, dalam demokrasi yang mengklaim pemerintahan dengan suara mayoritas, pemimpin yang ada justru hanya didukung oleh sebagian kecil masyarakat. Ironisnya, hal ini tetap dianggap sah. Tak Masuk Akal Menurut mantan Mendagri Gamawan Fauzi dalam desertasinya tentang hubungan antara Pilkada langsung dan perilaku korupsi, salah satu faktor pemicu korupsi adalah besarnya biaya yang harus dibelanjakan oleh para calon dalam Pilkada

description

Khilafah Islamiyah Daulah Islam

Transcript of Pepesan Kosong Pilkada Serentak - Hizbut Tahrir Indonesia

Page 1: Pepesan Kosong Pilkada Serentak - Hizbut Tahrir Indonesia

12/17/2015 Pepesan Kosong Pilkada Serentak ­ Hizbut Tahrir Indonesia

http://hizbut­tahrir.or.id/2015/12/03/pepesan­kosong­pilkada­serentak/ 1/4

Pepesan Kosong Pilkada Serentak03 Dec 2015 in Al Islam, Headline 1 Comment

Al­Islam edisi 783, 22 Shafar 1437 H – 4 Desember 2015 M

Pada 9 Desember 2015 akan diselenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 269 daerah. Berdasarkan

data di situs KPU, Pilkada serentak diikuti oleh 830 pasangan calon (paslon). Sebanyak 20 paslon di 9 propinsi, 698

paslon di 224 kabupaten dan 112 paslon di 36 Kota.

Gagal Mewujudkan Tujuan

Mendagri Tjahjo Kumolo dalam Rakornas Persiapan Pilkada Serentak 2015 di Jakarta (4/5) menyatakan, anggaran

Pilkada serentak mencapai Rp 6,745 triliun untuk 269 daerah. Angka itu lebih mahal sekitar 30% dari anggaran Pilkada

sebelumnya. Menurut dia, Pilkada serentak, sesuai tujuannya, adalah untuk efektifitas dan efisiensi. Namun faktanya,

Pilkada serentak justru jauh lebih mahal.

Di sisi lain, menurut Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), angka

partisipasi masyarakat dalam Pilkada, termasuk dalam Pileg dan Pilpres, beberapa tahun terakhir cenderung turun

(Viva.co.id, 16/11/2015). Menurut dia, itu terjadi karena jarak antara Pilkada, Pileg dan Pilpres terlalu dekat. Pemilih

jenuh. Namun, Pilkada serentak tampaknya juga akan gagal mendongkrak tingkat partisipasi pemilih. Tingkat partisipasi

pada Pilkada Serentak diprediksi akan turun. Tingkat partisipasi bisa mencapai 60% saja sudah dianggap bagus.

Tak Sesuai Aturan

Pilkada serentak juga membawa cacat besar karena tak sesuai aturan. Sesuai aturan, ambang batas keterpilihan dalam

Pilkada adalah 30%. Artinya, pasangan calon yang mendapat suara minimal 30% pada ranking tertinggi bisa disahkan

sebagai pemenang Pilkada. Putaran kedua hanya akan dilakukan jika tak satu pun calon meraih suara sah 30% ke atas.

Ketentuan ini menyimpang dari rumus 50% + 1 yang menjadi acuan universal demokrasi tentang keterwakilan mayoritas

yang sah.

Hasilnya, pemerintahan daerah sebenarnya didukung oleh minoritas. Andai pemenang mendapat suara 35%, artinya dia

hanya didukung 35% dari pemilih yang memilih, 65% sisanya tidak mendukung dia. Jika ditambah dengan jumlah

pemilih yang golput, dukungan kepada kepala daerah itu lebih kecil lagi. Bayangkan, dalam demokrasi yang mengklaim

pemerintahan dengan suara mayoritas, pemimpin yang ada justru hanya didukung oleh sebagian kecil masyarakat.

Ironisnya, hal ini tetap dianggap sah.

Tak Masuk Akal

Menurut mantan Mendagri Gamawan Fauzi dalam desertasinya tentang hubungan antara Pilkada langsung dan perilaku

korupsi, salah satu faktor pemicu korupsi adalah besarnya biaya yang harus dibelanjakan oleh para calon dalam Pilkada

Page 2: Pepesan Kosong Pilkada Serentak - Hizbut Tahrir Indonesia

12/17/2015 Pepesan Kosong Pilkada Serentak ­ Hizbut Tahrir Indonesia

http://hizbut­tahrir.or.id/2015/12/03/pepesan­kosong­pilkada­serentak/ 2/4

langsung. Faktor pemicu lainnya adalah gagalnya sistem rekrutmen di lingkungan parpol yang tidak menjadikan kualitas

dan kemampuan sebagai syarat pengajuan kandidat kepala daerah.

Biaya tinggi pencalonan itu sudah jadi rahasia umum. Ongkos “perahu” atau “mahar” politik juga masih terjadi. Biaya

tinggi juga ditandai oleh maraknya baliho, iklan, pertemuan, penggalangan suara dan kegiatan­kegiatan kampanye

lainnya. Semua itu tentu butuh biaya besar. Total bisa mencapai 10 miliar bahkan lebih.

Jumlah besar itu tak mungkin bisa kembali hanya dari pendapatan resmi kepala dan wakil kepala daerah. Sesuai Keppres

No. 68 tahun 2001, gaji pokok gubernur Rp 3 juta. Sesuai Keppres No. 59 tahun 2003, tunjangan jabatan gubernur

sekitar Rp 5,4 juta. Jadi total gaji gubernur hanya Rp 8,4 juta. Untuk wagub, gaji pokok sekitar Rp 2,4 juta dan

tunjangannya Rp 4,32 juta. Totalnya hanya Rp 6,72 juta perbulan.

Sesuai Keppres No. 68 tahun 2011, gaji pokok bupati dan walikota Rp 2,1 juta, tunjangannya Rp 3,78 juta; totalnya Rp

5,88 juta perbulan. Untuk wakil walikota dan wakil bupati, gaji pokok Rp 1,8 juta dan tunjangan Rp 3,24 juta; totalnya

Rp 5,04 juta perbulan.

Menurut Yuna Farhan dari FITRA (Viva.co.id, 12/2/2013), pendapatan resmi kepala dan wakil kepala daerah bukan

hanya dari gaji dan tunjangan. Sesuai PP No. 69 tahun 2010, kepala daerah juga memperoleh insentif dari pemungutan

pajak dan retribusi daerah. Besarnya 6 sampai 10 kali dari gaji plus tunjangan, tergantung jumlah pendapatan pajak dan

retribusi Daerah itu. Untuk daerah yang miskin pajak dan retribusi daerahnya, minimal seorang gubernur akan

memperoleh penghasilan bulanan sebelum dipotong pajak Rp 58,8 juta dan bupati/walikota Rp 41,1 juta.

Jadi tak masuk akal dengan biaya politik begitu tinggi justru orang bersaing jadi kepala daerah. Yang “masuk akal”,

status kepala daerah itu akan bisa mendatangkan pengembalian modal politik di luar pendapatan resmi itu. Di situlah,

korupsi, manipulasi, kolusi dan mengakali aturan hampir pasti terjadi.

Pepesan Kosong

Akibat dari semua itu, Pilkada serentak hanya memberikan pepesan kosong. Hasil Pilkada Serentak pada akhirnya tak

beda dari Pilkada sebelumnya. Pertama: Kekuasaan tetap dikendalikan oleh sekelompok kecil elit daerah. Sebabnya,

paslon hampir semuanya berasal dari petahana dan elit politisi daerah dari DPR, DPRD I dan DPRD II, elit birokrasi

daerah, PNS dan pengusaha.

Kedua: Korupsi, suap dan penyalahgunaan wewenang akan tetap marak. Untuk mengembalikan modal pencalonan yang

mustahil ditutup dari pendapatan resmi, terjadilah korupsi, penyalahgunaan wewenang dan anggaran, atau tindakan

memperdagangkan kekuasaan dan wewenang seperti dalam pemberian berbagai ijin.

Ketiga: Perselingkuhan penguasa dengan pengusaha akan terus berlanjut. Pengusaha memodali paslon. Imbalannya,

proyek­proyek akan diserahkan kepada pengusaha itu melalui “pengaturan” tender, meloloskan proyek­proyek yang

disodorkan oleh pengusaha atau cara lainnya.

Page 3: Pepesan Kosong Pilkada Serentak - Hizbut Tahrir Indonesia

12/17/2015 Pepesan Kosong Pilkada Serentak ­ Hizbut Tahrir Indonesia

http://hizbut­tahrir.or.id/2015/12/03/pepesan­kosong­pilkada­serentak/ 3/4

Keempat: Akibat dari semua itu, pemimpin daerah akan lebih mengutamakan kepentingan dirinya, kelompok, partai dan

pemodalnya. Sebaliknya, kepentingan dan kemaslahatan rakyat akan dipinggirkan.

Pemimpin Dukungan Rakyat

Berbeda dengan demokrasi, Islam menetapkan bahwa wewenang menunjuk dan memberhentikan kepala daerah ada di

tangan Khalifah/Imam sebagai kepala negara. Ia berwenang memberhentikan kepala daerah kapan saja dengan atau tanpa

sebab. Hal itu ditunjukkan oleh sirah Rasul saw dan ijmak Sahabat.

Dengan itu kepala daerah khususnya dan pejabat serta masyarakat umumnya paham bahwa jabatan kepala daerah adalah

jabatan biasa, bisa diberhentikan kapan saja. Dengan begitu, jabatan kepala daerah tidak akan diagungkan. Orang juga

tidak akan terdorong untuk mengejar jabatan itu seperti sekarang.

Lalu bagaimana dengan peran rakyat? Dalam Islam, rakyat sangat menentukan kelangsungan seorang kepala daerah. Jika

penduduk suatu daerah menampakkan ketidakridhaan dan mengadukan kepala daerahnya, maka Khalifah wajib

memberhentikan kepala daerah tersebut.

Khalifah Umar bin al­Khaththab ra. pernah memberhentikan Saad bin Abi Waqash semata­mata karena ia diadukan oleh

masyarakatnya. Khalifah Umar berkata tentang itu, “Saya tidak memberhentikan dia karena dia tidak mampu atau karena

pengkhianatan.”

Ibn Saad di dalam Ath­Thabaqât al­Kubrâ (iv/360­361) menuturkan riwayat dari Muhammad bin Umar: Rasulullah saw.

pernah menulis surat kepada al­‘Ala’ bin al­Hadhrami agar menghadap bersama 20 orang dari Abdul Qays. Ia pun

menghadap bersama 20 orang dari mereka yang dipimpin oleh Abdullah bin ‘Auf al­Asyaj. Al­‘Ala’ menunjuk pelaksana

atas Bahrain al­Mundzir bin Sawa. Delegasi itu mengadukan al­‘Ala’ bin al­Hadhrami. Karena itu Rasulullah saw

memberhentikan dia dan mengangkat Aban bin Said bin al­‘Ash. Beliau berkata kepada dia, “Mintalah nasihat kebaikan

kepada Abdul Qays dan hormati para tokoh mereka.”

Dengan ketentuan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah seperti itu, pengangkatan kepala daerah dalam sistem

Islam akan:

Pertama, sangat efektif dan efisien, biaya sangat murah bahkan nyaris tanpa biaya. Problem biaya politik tinggi dan

akibatnya tidak akan terjadi. Uang rakyat tak tersedot untuk Pilkada yang hasilnya jauh dari harapan layaknya saat ini.

Kedua, pertanggungjawaban kepala daerah akan terjamin. Kepala daerah bisa diberhentikan segera jika melakukan

pelanggaran atau kezaliman, lamban dan tidak cepat tanggap, bahkan tanpa kesalahan sekalipun termasuk untuk

penyegaran dan peningkatan. Program Pemerintah akan berjalan efektif. Keharmonisan pemerintah dari pusat hingga

struktur aparatur paling bawah terwujud.

Ketiga, partisipasi rakyat akan tinggi dan kontrol terhadap kepala daerah akan mudah. Pada proses awal, rakyat dan wakil

Page 4: Pepesan Kosong Pilkada Serentak - Hizbut Tahrir Indonesia

12/17/2015 Pepesan Kosong Pilkada Serentak ­ Hizbut Tahrir Indonesia

http://hizbut­tahrir.or.id/2015/12/03/pepesan­kosong­pilkada­serentak/ 4/4

mereka bisa memberikan masukan sosok kepala daerah yang diinginkan. Khalifah akan sangat terdorong memenuhi

aspirasi itu. Sebab, jika rakyat atau wakil mereka menampakkan ketidakridhaan atas kepala daerah itu, khalifah harus

memberhentikan dia. Partisipasi rakyat dalam mengontrol kepala daerah akan bangkit.

Wahai Kaum Muslim:

Semua itu akan menjadi jaminan sehingga kepala daerah akan menjadi sosok penguasa daerah yang benar­benar

melayani kepentingan rakyat. Namun harus diingat, hal itu hanya akan terwujud jika syariah Islam diterapkan secara

kâffah. Tentu juga hanya bisa dengan sistem Islam, yaitu Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah

yang harus sesegra mungkin diwujudkan bersama. WalLâh a’lam bi ash­shawâb. []

Komentar al­Islam

Kelompok pelanggan listrik PT PLN berdaya 1.300 dan 2.200 volt ampere (VA) bakal mengeluarkan biaya lebih besar.

Mulai Desember 2015, dua kelompok ini tak lagi menikmati subsidi. Mulai Desember ini, kelompok pelanggan non

subsidi (berdaya 1.300 VA­200 KVA) harus membayar listrik sebesar Rp 1.509,38 per kWh (Kompas.com, 1/12).

Ingat, tahun 2016 subsidi listrik dikurangi secara drastis. Akibatnya, sekitar 22,3 juta pelanggan 450 KVA dan 900 KVA

pada pertengahan 2016 akan mengalami kenaikan tarif sekitar 250 persen untuk pelanggan 450 KVA dan 150 persen

untuk pelanggan 900 KVA.

Itu adalah akibat liberalisasi listrik. Tarif listrik ditetapkan mengikuti pasar. Tarif listrik akan naik turun mengikuti acuan

harga minyak bumi Indonesia (Indonesian Crude Oil), nilai kurs rupiah dan tingkat inflasi.

Makin sempurnalah liberalisasi energi di negeri ini.