PENYUSUNAN PROFIL BEST PRACTICES PTSP BEYOND...

84
i

Transcript of PENYUSUNAN PROFIL BEST PRACTICES PTSP BEYOND...

i

i

PENYUSUNAN PROFIL BEST PRACTICES PTSP

SINTESA MODEL PELAYANAN PERIZINAN

BEYOND PTSP

PUSAT INOVASI PELAYANAN PUBLIK

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

2015

ii

PENYUSUNAN PROFIL BEST PRACTICES PTSP

SINTESA MODEL PELAYANAN PERIZINAN

BEYOND PTSP 2015

Bibliografi

ISBN : 976-602-71620-3-7

Hak Cipta pada

Pusat Inovasi Pelayanan Publik - LAN

Diterbitkan Oleh:

Pusat Inovasi Pelayanan Publik

Kedeputian Inovasi Administrasi Negara

Lembaga Administrasi Negara

Jl. Veteran No. 10

Jakarta 10110

CETAKAN PERTAMA

Penyunting :

Erfi Muthmainah, Marsono, Witra Apdhi Yohanitas, Harditya Bayu Kusuma

Desain sampul :

Vishu Wicaksono, Witra Apdhi Yohanitas

----- Cet.1.Jakarta,Pipel-LAN,2015

xvi + 65 hal ; 18 x 25 cm

Sanksi pelanggaran Pasal 44, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta:

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau

memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda

paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum

suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,

(lima puluh juta rupiah).

iii

TIM PENYUSUN

Anggota Tim (Sesuai SK)

Kania Damayanti (Almh)

Menik Noviati

Marsono

Witra Apdhi Yohanitas

Harditya Bayu Kusuma

Ria Veriani

Teguh Henry Prayitno

Isni Kartika Larasati

Gunanta

Sundari Rachmasari

Ramelan

Penulis Marsono

Witra Apdhi Yohanitas

Haris Faozan

Agung Nugroho

Harditya Bayu Kusuma

Kontributor

Kementerian Dalam Negeri

Kementerian PAN dan RB

Badan Koordinasi Penanaman Modal

KPPOD

Reviewer

Adi Suryanto

Tri Widodo Wahyu Utomo

Erfi Muthmainah

iv

KATA SAMBUTAN

eformasi birokrasi di Indonesia yang telah berjalan selama kurun waktu dua dekade, belum mampu mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik khususnya terkait dengan pelayanan perizinan. Tantangan terberat bagi bangsa

ini adalah masih tingginya disharmonisasi regulasi pelayanan perizinan sejak hulu hingga hilir. Belum lagi regulasi dari masing-masing kementerian sektoral yang dalam implementasinya seringkali menimbulkan karakter ego sektoral atau yang lebih dikenal dengan silo mentality.

Upaya membangun kepercayaan publik bidang pelayanan perizinan sesungguhnya telah dilakukan pemerintah melalui pembangunan sistem Pelayanan Terpadu Satu Atap (PTSA), selanjutnya disempurnakan dengan sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Melalui sistem pelayanan terpadu tersebut diharapkan dapat diwujudkan pelayanan perizinan yang berkualitas, mudah, cepat, tepat, murah dan transparan. Namun demikian, dari kurang lebih 498 jumlah PTSP yang ada saat ini hanya sebagian kecil yang memiliki kinerja yang baik. Kondisi ini diperkuat dengan hasil penilaian tingkat kemudahan membuka usaha di Indonesia (Doing Business) yang selalu menunjukkan posisi Indonesia berada pada ranking terendah di kawasan ASEAN maupun di posisi internasional.

Berdasarkan kondisi tersebut, maka LAN melalui Pusat Inovasi Pelayanan Publik (PiPEL), Kedeputian Bidang Inovasi Administrasi Negara berupaya untuk mengembangkan sistem pelayanan perizinan dengan menghasilkan model-model alternatif pelayanan perizinan beyond PTSP. Hal tersebut dilakukan agar akselerasi pelayanan perizinan benar-benar dapat mendorong tumbuh kembangnya realisasi investasi khususnya dan perekonomian Indonesia pada umumnya.

Tentunya kajian ini masih mempunyai kelemahan dan kekurangan, untuk itu saran, masukan dan kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan hasil kajian ini sangat diharapkan. Semoga apa yang telah dihasikan oleh PiPEL dapat menjadi pemicu dan pemacu menuju pelayanan perizinan yang profesional dan berkualitas.

Jakarta, September 2015

Deputi Inovasi Administrasi Negara

Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo, M.A

R

v

KATA PENGANTAR

eningkatan kualitas pelayanan publik khususnya pelayanan perizinan melalui Sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) selama ini belum dapat memberikan hasil yang signifikan. Kondisi tersebut dapat dicerminkan bahwa dari

kurang lebih 498 jumlah PTSP yang ada saat ini hanya sebagian kecil yang memiliki kinerja yang baik. Kondisi ini diperkuat dengan hasil penilaian tingkat kemudahan membuka usaha di Indonesia (Doing Business) yang selalu menunjukkan posisi Indonesia berada pada ranking terendah di kawasan ASEAN maupun di posisi internasional. Kondisi secara umum terkait dengan pelayanan perizinan adalah masih adanya prosedur yang masih berbelit-belit, tidak ada kepastian jangka waktu, biaya yang harus dikeluarkan, persyaratan yang tidak transparan, petugas yang tidak profesional, sehingga menimbulkan citra yang kurang baik terhadap pemerintah.

Berdasarkan kondisi tersebut, maka Pusat Inovasi Pelayanan Publik (PiPEL), Kedeputian Bidang Inovasi Administrasi Negara melakukan kajian penyusunan Profil Best Practices Pengelolaan PTSP dan Sintesa Model Pelayanan Perizinan Beyond PTSP. Kajian ini telah menghasilkan aspek-aspek utama yang dapat mendorong pengelolaan PTSP memiliki kinerja yang tinggi dan dapat menjadi acuan bagi PTSP yang masih memiliki kinerja rendah.

Aspek-aspek utama yang berpengaruh dalam keberhasilan penerapan PTSP selama ini adalah: (a) dasar hukum pembentukan; (b) bentuk kelembagaan; (c) pelimpahan kewenangan; (d) penggunaan IT; dan (e) dukungan dan komitmen pimpinan. Hal ini tentunya bisa menjadi pelajaran bagi seluruh Kepala PTSP khususnya dan pimpinan daerah dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan perizinan khususnya dan meningkatkan kinerja PTSP pada umumnya. Disamping itu, kajian ini juga telah menghasilkan alternatif model-model pelayanan perizinan beyond PTSP yang diharapkan dapat dijadikan referensi dalam mengakselerasi peningkatan kualitas pelayanan pelayanan perizinan kedepan.

Akhirnya seluruh tim kajian menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya keseluruhan proses kajian ini dari tahap awal hingga terbitnya Laporan Hasil Kajian ini.

Jakarta, September 2015

Plt. Kepala Pusat Inovasi Pelayanan Publik

Dr. Basseng, M.Ed

P

vi

vii

RINGKASAN EKSEKUTIF

genda prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 bidang pelayanan publik yang harus dicapai oleh Kementerian/ Lembaga dan Pemerintah Daerah antara lain mencakup: (a) peningkatan

kualitas implementasi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; (b) modernisasi sistem dan manajemen pelayanan publik (SDM, IT, Standar Pelayanan); (c) monitoring dan supervisi kinerja pelayanan publik; (d) membuka ruang partisipasi publik melalui Citizen Charter; dan (e) penguatan integritas dalam pelayanan publik.

Sejalan dengan pencapaian agenda prioritas RPJMN 2015-2019 tersebut, maka salah satu misi utama pemerintah adalah memberikan pelayanan publik yang berkualitas baik menyangkut pelayanan jasa publik, barang publik, maupun pelayanan administratif termasuk didalamnya pelayanan perizinan dan nonperizinan. Berkaitan dengan pelayanan perizinan dan nonperizinan, upaya mendorong tumbuh dan berkembangnya dunia usaha serta meningkatnya kepuasan masyarakat sangat terkait dengan inovasi, kreativitas dan strategi pemerintah dalam memberikan pelayanan yang mudah, cepat, tepat, murah dan transparan serta efisien. Oleh karena itu, peran dan tanggung jawab pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan katalisator menjadi penting dalam memberikan kemudahan bagi masyarakat dan dunia usaha melalui berbagai macam inovasi pelayanan publik.

Inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik telah cukup banyak dilakukan oleh berbagai Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah sebagai respons terhadap tuntutan kecepatan, kemudahan, keterjangkauan, dan efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Beberapa strategi yang telah dilakukan antara lain dengan membentuk sebuah sistem pelayanan terpadu dengan menggabungkan pendekatan pelayanan fungsional yang dilakukan oleh masing-masing Kementerian/ Lembaga/SKPD ke dalam pendekatan terpadu satu otoritas. Pendekatan pelayanan terpadu sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik adalah sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).

Di dalam Perpres Nomor 97 Tahun 2014 menyebutkan PTSP adalah pelayanan yang secara terintegrasi dalam satu kesatuan proses dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian produk pelayanan melalui satu pintu. Sedangkan, menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 PTSP adalah perangkat pemerintah daerah yang memiliki tugas dan fungsi mengelola semua bentuk pelayanan perizinan dan nonperizinan di daerah dengan satu pintu. Dalam penyelenggaraannya PTSP tersebut harus memenuhi prinsip keterpaduan, ekonomis, koordinasi, pendelegasian/pelimpahan wewenang, akuntabilitas dan aksesibilitas. Hingga saat ini jumlah PTSP berdasarkan sumber Kementerian Dalam Negeri (2015) sebanyak 498 dengan rincian Provinsi 34, Kabupaten 372, Kota 92. Dengan bentuk kelembagaan yang juga cukup bervariasi yaitu dalam bentuk Badan 214, Dinas 2, Kantor 278 dan Unit 4. Dalam perkembangan selanjutnya jumlah PTSP berdasarkan sumber Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) data per 18 Februari 2015 sebanyak 508 dengan rincian Provinsi 34, Kabupaten 364, Kota 97, Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) 5, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) 8.

A

viii

Upaya peningkatan kualitas pelayanan perizinan dan nonperizinan yang selama ini telah dilakukan melalui sistem PTSP, pada hakikatnya telah dilakukan yaitu dengan keluarnya pengaturan mengenai penyederhanaan proses administrasi perizinan melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perizinan Bidang Usaha. Sesuai dengan Inpres Nomor 5 Tahun 1984 tersebut, disebutkan bahwa penyederhanaan dan pengendalian perizinan di bidang usaha/penanaman modal, antara lain dengan mengurangi jumlah dan prosedur perizinan yang diperlukan pengusaha. Selanjutnya disebutkan bahwa izin usaha diberikan dengan mempertimbangkan tujuan bagi pengembangan yang sehat bagi kegiatan di masing-masing bidang usaha, perlindungan bagi konsumen dengan jaminan mutu hasil produksi yang memadai, dan pencegahan gangguan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.

Selanjutnya dalam rangka menarik investor asing dan investor dalam negeri, serta untuk memberikan kepastian hukum kepada calon investor tersebut, pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Sebagai implementasi dari UU tersebut telah ditetapkan beberapa peraturan pemerintah, diantaranya adalah PP Nomor 77 Tahun 2007 tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal sebagaimana yang telah direvisi pada PP Nomor 111 Tahun 2007 dan kembali disempurnakan melalui PP Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal dan Peraturan Kepala BKPM Nomor 12 Tahun 2009 tentang pedoman dan tata cara permohonan penanaman modal di Indonesia.

Namun demikian, telah teridentifikasi beberapa permasalahan yang dihadapi terkait dengan upaya menciptakan iklim investasi yang kondusif berdasarkan sumber Bappenas (2011) diantaranya adalah: (1) masih perlu dilengkapinya peraturan-peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; (2) kurang memadainya kapasitas dan kualitas infrastruktur untuk mendukung investasi yang sudah ada dan investasi baru; (3) masih cukup panjangnya proses perizinan investasi dibandingkan dengan negara-negara sekawasan lainnya; (4) belum lancarnya implementasi pelimpahan wewenang perizinan dari beberapa instansiyang mulai dialihkan wewenangnya ke daerah tujuan investasikarena keterbatasan kemampuan sumber daya manusia (SDM), teknologi, dan sarana pendukungnya; (5) masih bervariasinya kelembagaan dan model pengelolaan PTSP; serta (6) banyaknya peraturan daerah (Perda) yang bermasalah sehingga menambah beragamnya pungutan daerah. Dari berbagai permasalahan yang diidentifikasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses perizinan di Indonesia masih terlalu panjang dan hal ini mempersulit pihak-pihak yang ingin berinvestasi dan melakukan usaha di Indonesia. Hal ini belum sesuai dengan tujuan sistem pelayanan yang diinginkan dalam PTSP, sehingga peringkat Doing Business Indonesia selalu pada posisi terendah.

Seiring dengan perkembangan dunia usaha, tuntutan untuk melakukan penyederhanaan prosedur perizinan sudah menjadi hal yang tidak terelakkan. Akhirnya pada tahun 2012, pemerintah dalam hal ini menempatkan penyederhanan perizinan sebagai salah satu program dalam 9 program percepatan reformasi birokrasi. Program ini dilakukan melalui beberapa kegiatan prioritas diantaranya yaitu: (1) deregulasi perizinan usaha, (2) penguatan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, (3) pembatasan waktu pengurusan perizinan, (4) kejelasan biaya dan syarat perizinan, dan (5) penguatan budaya pelayanan prima. Program ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk

ix

mendorong tumbuhnya iklim investasi di Indonesia yang pada akhirnya akan meningkatkan kredibilitas Indonesia dalam lingkup global.

Namun demikian, walaupun PTSP telah dibentuk oleh sebagian besar unit penyelenggara pelayanan publik baik pusat maupun daerah, ternyata belum mampu meningkatkan kualitas pelayanan perizinan secara signifikan. Hal tersebut terlihat masih besarnya tantangan Indonesia dalam upaya mengembangkan dunia usaha. Tantangan tersebut diantaranya adalah kurangnya tenaga kerja terdidik, infrastruktur yang buruk dan kerangka kebijakan yang berbelit-belit (World Bank, 2012). Disamping itu, hasil berdasarkan Doing Business Survey 2015 memperlihatkan bahwa Indonesia berada pada ranking 114, jauh dibawah Singapura yang sudah langganan di posisi pertama, Malaysia telah menempati peringkat ke-18, Thailand (ke-26), Vietnam (ke-78), Filipina (ke-95), dan Brunei Darussalam (ke-101). Indonesia di peringkat ke-114 hanya unggul atas Kamboja di posisi ke-135 dan Timor Leste yang tertinggal di posisi ke-172.

Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan perizinan dan nonperizinan serta memberikan model pengelolaan PTSP terbaik (best practice), maka Kedeputian Bidang Inovasi Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara melalui Pusat Inovasi Pelayanan Publik pada tahun 2015 menyusun Profil Best Practices Model Pengelolaan PTSP untuk mendorong unit-unit pelayanan perizinan dengan kinerja PTSP yang kurang baik agar dapat mereplikasi dan mengadopsi model-model terbaik tersebut. Sehingga upaya transformasi peningkatan kualitas pelayanan perizinan dan nonperizinan dapat dilaksanakan melalui berbagai inovasi dan terobosan-terobosan baru sebagaimana telah dilakukan beberapa PTSP dengan kinerja terbaik.

Kajian ini telah menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Unsur-unsur utama sebagai pendorong PTSP untuk berkinerja tinggi atau menjadi best practices meliputi: a. Dasar hukum pembentukan PTSP; Dasar hukum pembentukan PTSP menjadi

aspek yang sangat penting karena memberikan kepastian terhadap kewenangan yang dimiliki, kemudahan berkomunikasi dengan SKPD teknis, dukungan sumber daya, serta kapasitas organisasi PTSP dalam memberikan pelayanan perizinan. Dasar hukum pembentukan PTSP berupa Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur (Pergub), Peraturan Bupati (Perbup), dan Peraturan Walikota (Perwali).

b. Bentuk kelembagaan/organisasi PTSP; Bentuk (nomenklatur) organisasi PTSP sangat penting dalam mengakselerasi pelayanan perizinan. Efektivitas koordinasi dengan SKPD teknis dalam proses pelayanan perizinan sangat dipengaruhi oleh bentuk kelembagaan PTSP, karena kelembagaan PTSP memiliki konsekuensi terhadap tingkat eselonisasi jabatan kepala PTSP. Bentuk kelembagaan PTSP bervariasi, antara lain: Dinas, Badan, Kantor dan Unit. Setiap bentuk kelembagaan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda terkait dengan kewenangan, kapasitas organisasi, sumber daya yang dimiliki serta efektivitas koordinasi dalam proses pelayanan perizinan.

c. Pelimpahan kewenangan dari Gubernur, Bupati atau Walikota; Pemberian kewenangan Kepala PTSP untuk menandatangani dan melegalisasi surat perizinan menjadi aspek yang sangat mutlak agar proses perizinan dapat berjalan secara cepat dan efektif. Pada tataran implementasi, pelimpahan kewenangan menjadi masalah terbesar, mengingat masih sebagian besar PTSP belum menerima pelimpahan kewenangan secara penuh. Oleh karena itu, potensi tarik-menarik kewenangan antara PTSP dengan SKPD teknis masih sangat tinggi.

x

Belum lagi adanya kepentingan lain yang juga memiliki potensi cukup tinggi yaitu memperlakukan pelayanan perizinan sebagai sumber pendapatan. Kondisi ini tentu sangat berpengaruh terhadap tingkat kualitas pelayanan perizinan.

d. Penggunaan IT; Dukungan IT dalam proses pelayanan perizinan di PTSP saat ini dan kedepan menjadi keharusan, mengingat penggunaan IT (IT based) dalam pelayanan perizinan dapat mendukung percepatan waktu, transparansi dan kemudahan akses bagi masyarakat pengguna layanan. Sebagian besar PTSP, terutama PTSP yang masuk dalam kategori berkinerja tinggi dan baik, telah didukung dengan sistem IT yang memadai. Bahkan beberapa PTSP telah menggunakan sistem online dalam memberikan pelayanan perizinan, sehingga pemohon dapat mengajukan perizinan dari rumahnya dan dapat memonitor jalannya proses perizinan secara daring.

e. Komitmen atau dukungan pimpinan; Tidak dapat dipungkiri bahwa baik buruknya, tinggi rendahnya kinerja PTSP sangat dipengaruhi oleh komitmen pimpinan daerah dan seluruh jajarannya. Pada tataran praktik, PTSP-PTSP yang berkinerja tinggi dan menjadi best practice profil PTSP pada dasarnya mendapat dukungan atau komitmen pimpinan daerah yang sangat tinggi. Namun disisi lain, juga banyak PTSP yang kinerjanya rendah karena secara riil tidak mendapat dukungan pimpinan daerah yang memadai. Bahkan banyak PTSP yang kinerja menurun yang disebabkan adanya pergantian kepala daerah yang nyata-nyata tidak memiliki kepedulian terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik khususnya pelayanan perizinan.

2. Beberapa kelemahan potensial yang masih terjadi dalam pelayanan perizinan selama ini, antara lain: a. Dari perspektif kebijakan yang melandasinya, sesungguhnya pelayanan perizinan

dalam tataran implementasinya di lapangan oleh PTSP, masih terjadi disharmonisasi. Kondisi tersebut mengakibatkan: (1) nomenklatur kelembagaan yang sangat bervariatif, business process PTSP juga sangat bervariatif; (2) kewenangan yang dimiliki PTSP secara umum juga sangat bervariatif; standar pelayanan (waktu, persyaratan, biaya) juga sangat bervariasi. Kondisi kebijakan pengaturan PTSP yang belum sinkron tersebut, dalam implementasinya membawa dampak yang signifikan terhadap pembentukan lembaga PTSP khususnya dan ketidakefektivan pelayanan perizinan selama ini.

b. Dalam proses pelayanan perizinan PTSP masih sangat bergantung kepada Tim Teknis yang secara legal formal keberadaanya di SKPD-SKPD teknis. Kondisi ini berpotensi menjadi permasalahan permanen dalam dinamika dan diskursus pelayanan perizinan oleh PTSP;

c. Terkait dengan pelimpahan kewenangan juga masih menjadi masalah klasik yang tak kunjung selesai. Tarik menarik antara SKPD teknis dengan PTSP dan Kepala Daerah masih kental mewarnai birokrasi pelayanan perizinan secara umum. Orientasi dari para pihak masih seputar sumber yang harus diamankan. Oleh karena itu akselerasi pelayanan perizinan melalui berbagai terobosan belum memberikan hasil yang signifikan atau dapat dikatan masih jalan ditempat.

d. Miss pemahaman dalam Doing Business; Hasil penilaian tingkat kemudahan membuka usaha di Indonesia (doing business) selalu menunjukkan posisi Indonesia berada pada ranking terendah di kawasan ASEAN maupun diposisi internasional. Kondisi ini terkait dengan sistem penilaian doing business yang menggabungkan seluruh proses pelayanan perizinan, baik proses yang dilakukan di SKPD teknis berupa rekomendasi teknis maupun proses pelayanan yang ada di PTSP. Dari sisi

xi

waktu maupun biaya serta persyaratan dihitung menjadi satu kesatuan waktu pelayanan perizinan. Sementara dari sisi PTSP persepsi tentang waktu yang dibutuhkan dalam kemudahan membuka usaha (doing business) adalah waktu pelayanan yang ada di PTSP saja. Kondisi ini akan menjadi problem secara terus menerus dengan konsekuensi Indonesia selalu mendapatkan penilaian pada posisi yang rendah.

e. Business Process PTSP belum clear; Terkait dengan business process yang ada di PTSP, hampir sebagian besar PTSP belum memiliki business process yang jelas, dimana core business (fungsi utama) dan supporting unit (fungsi penunjang) tidak dibangun dengan baik. Artinya bahwa core business PTSP hanya melulu penandatanganan surat izin yang diberikan kepada masyarakat. Tidak ada fungsi pengawasan dan pengendalian perizinan, tidak ada fungsi pencabutan izin dan lain-lain. Business Process yang tepat bagi PTSP, yaitu harus memiliki core business yang jelas, yaitu fungsi pemberian perizinan, penolakan perizinan, legalisasi dan duplikasi perizinan, pengawasan perizinan, pencabutan perizinan, pengaduan perizinan serta pengkajian dan monev perizinan.

3. Untuk menjawab berbagai permasalahan dalam pelayanan perizinan oleh PTSP selama ini, maka kedepan dibutuhkan alternatif model pelayanan perizinan beyond PTSP, dengan berfikir yang tidak lagi dalam kotak, melainkan mulai keluar kotak dan bahkan berfikir pada kotak yang baru. Dalam konteks ini, berfikir dalam kotak yang selama ini hanya mengandalkan dan bergantung pada PTSP dengan segala kekurangannya harus kita tinggalkan dengan mencari dan mendesain model pelayanan perizinan beyond PTSP. Kajian ini telah menghasilkan 3 (tiga) model pelayanan perizinan kedepan, yaitu: (1) Model Penguatan; (2) Model Akselerasi; dan (3) Model Inovatif.

Model Penguatan; yaitu upaya peningkatan kualitas pelayanan perizinan dengan lebih mengoptimalkan dan penguatan implementasi 5 aspek utama dalam PTSP. Penguatan aspek-aspek dimaksud mencakup mandat (dasar hukum), penguatan bentuk organisasi atau kelembagaan, penguatan pendelegasian kewenangan kepada PTSP, memperkuat dukungan IT dalam proses pelayanan perizinan, memastikan terwujudnya komitmen dan dukungan pimpinan dalam peningkatan kualitas pelayanan perizinan. Dengan strategi jangka pendek melalui model penguatan ini, diharapkan dapat menpercepat peningkatan kinerja PTSP yang berjumlah kurang lebih 498 di seluruh Indonesia.

Model Akselerasi; Model Akselerasi merupakan kelanjutan dari penguatan terhadap aspek-aspek dalam Model 1. Dengan terwujudnya penguatan aspek-aspek utama tersebut, selanjutnya diperkuat dengan berbagai ide baru, kreativitas dan terobosan-terobosan baru yang dapat lebih mempercepat atau mengakselerasi peningkatan kualitas pelayanan perizinan oleh PTSP. Ide dan terobosan baru tersebut mulai keluar kotak, yaitu: (a) membangun jejaring pelayanan atau membuka gerai-gerai pelayanan di pusat-pusat perbelanjaan, area-area publik, di Kabupaten/Kota, di tingkat Kecamatan, dan bahkan Kelurahan dan Desa; (b) setiap SKPD teknis membentuk tim teknis gerak cepat dalam rangka mempercepat validasi dan verifikasi teknis; (c) pengintegrasian layanan, yaitu integrasi dengan layanan yang terkait langsung maupun yang tidak langsung terkait. Dalam konteks ini setiap layanan PTSP harus berada pada satu kawasan dengan pusat konsultansi perizinan investasi, pusat informasi peluang investasi, pusat informasi RT RW, pusat

xii

informasi pemasaran, pusat informasi ketenagaker-jaan, pusat informasi perpajakan atau bisa disebut kawasan pelayanan investasi terpadu (KPIT).

Model Inovatif. Model Inovatif ini adalah membangun model pelayanan perizinan terpadu yang sama sekali berbeda dengan konsep Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang kita pahami selama ini. Karena secara konseptual dan substansial berbeda, maka aspek-aspek dan sistem pelayanan perizinan terpadu juga berbeda sesuai dengan perkembangan paradigma dan lingkungan strategis yang berubah. Salah satu konsep baru terkait dengan pelayanan publik adalah konsep whole-of-government (WOG) approach, merupakan konsep yang mengadopsi prinsip koordinasi dan integrasi strategi dalam pelayanan serta mengedepankan ilmu sosial. WOG menunjukkan lembaga pelayanan publik yang bekerja melintasi batas-batas sektoral mereka untuk mencapai tujuan bersama dan respons pemerintah yang terintegrasi untuk isu-isu tertentu. Pendekatan pelaksanaan konsep ini dapat formal maupun informal. Hal terpenting dari WOG dapat diterapkan untuk memberi efek keputusan kebijakan pemerintah, untuk meningkatkan konsistensi dan kontrol dan untuk memberikan penghematan dan efisiensi, sehingga kepuasan masyarakat akan meningkat.

Dalam model inovatif ini lebih menganut pada prinsip-prinsip sebagai berikut: (a) tidak menekankan adanya kelembagaan secara formal, tetapi lebih pada terlaksananya fungsi pelayanan perizinan secara efektif. Secara organisasi dipimpin oleh tim manajemen atau colective colegial dan juga dapat dipimpin secara komisioner; (b) pelayanan perizinan lebih berorientasi sosial, sehingga menghilangkan stigma selama ini bahwa pelayanan perizinan merupakan sumber pendapatan; (c) lebih menekankan adanya koordinasi dan integrasi strategi dari SKPD terkait, sehingga akan menghilangkan ego sektoral atau silo mentality yang selama ini terjadi; (d) lebih berorientasi kepada kepentingan masyarakat; (e) melibatkan masyarakat secara optimal dalam proses kebijakan, proses pelayanan, dan monitoring dan evaluasi (sistem partisipatori).

Disamping menghasilkan 3 (tiga) alternatif model pelayanan perizinan beyond PTSP, kajian ini juga menghasilkan 3 strategi dalam membangun pelayanan perizinan beyond PTSP, yaitu berupa strategi jangka pendek (2016-2017); strategi jangka menengah (2018-2020); dan strategi jangka panjang (2021-2025). Ketiga strategi tesebut terintegrasi dengan model pelayanan perizinan yang telah dibangun. Dalam perspektif waktu, strategi tersebut tertuang dalam roadmap inovasi pelayanan perizinan.

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka rekomendasi yang dapat diberikan dalam kajian ini adalah perlu keberanian untuk mendobrak sistem birokrasi pelayanan perizinan saat ini melalui strategi strategi sebagai berikut:

1. Sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan pelayanan perizinan dan kelembagaan PTSP yang hingga saat ini masih terjadi tumpang tindih, akibat dari banyaknya jenis peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh berbagai Kementerian/ Lembaga dan Pemerintah Daerah. Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah terkait harus berani mengambil peran, bersinergi dan berkolaborasi untuk mensinkronkan kebijakan penyelenggaraan pelayanan perizinan dari hulu hingga hilir. Jika dipandang perlu pengaturan secara khusus (lek spesialis) terhadap pelayanan perizinan, maka instansi terkait secara bersama-sama perlu segera menginisiasi

xiii

peraturan perundangan yang mengatur pelayanan perizinan secara clear, sehingga tidak ada persinggungan dengan kebijakan sektoral.

2. Untuk PTSP yang masih dalam kelompok kinerja rendah perlu melaksanakan atau menerapkan strategi jangka pendek yang harus dilakukan, yaitu penguatan terhadap 5 (lima) aspek utama dalam pengelolaan PTSP terhadap kurang lebih 498 PTSP di seluruh Indonesia. Artinya bahwa dibutuhkan gerakan yang masif oleh pemerintah dan seluruh jajaran pimpinan Pemerintah Daerah untuk secara konsisten memberikan dukungan yang konkret terhadap PTSP melalui: (1) penguatan dasar hukum pembentukan PTSP; (2) penguatan kapasitas kelembagaan PTSP; (3) penguatan kewenangan dan pelimpahan kewenangan secara penuh kepada PTSP; (4) penguatan dukungan IT dalam proses pelayanan perizinan; dan (5) dukungan konkret dari pimpinan daerah berupa penyediaan berbagai sumber daya, reward dan punishment, serta sarana dan prasarana yang memadai.

3. Disamping strategi jangka pendek tersebut diatas, untuk PTSP dalam kelompok kinerja baik, perlu menerapkan strategi akselerasi peningkatan kualitas pelayanan perizinan melalui berbagai inovasi-inovasi dan terobosan-terobosan baru dengan mencoba berfikir yang tidak lagi dalam kotak, melainkan mulai keluar kotak. Model Akselerasi merupakan kelanjutan dari penguatan terhadap aspek-aspek dalam Model 1. Beberapa ide dan terobosan baru tersebut antara lain melalui: (a) membangun jejaring pelayanan atau membuka gerai-gerai pelayanan di pusat-pusat perbelanjaan, area-area publik, di Kabupaten/Kota, di tingkat Kecamatan, dan bahkan Kelurahan dan Desa; (b) setiap SKPD teknis membentuk tim teknis gerak cepat dalam rangka mempercepat validasi dan verifikasi teknis; (c) pengintegrasian layanan, yaitu integrasi dengan layanan yang terkait langsung maupun yang tidak langsung terkait. Dalam konteks ini setiap layanan PTSP harus berada pada satu kawasan dengan: pusat konsultansi perizinan investasi, pusat informasi peluang investasi, pusat informasi RT RW, pusat informasi pemasaran, pusat informasi ketenagakerjaan, pusat informasi perpajakan atau bisa disebut Kawasan Pelayanan Investasi Terpadu (KPIT).

4. Untuk PTSP dalam kelompok kinerja tinggi, perlu menerapkan Model Inovatif. Model Inovatif ini adalah membangun model pelayanan perizinan terpadu yang sama sekali berbeda dengan konsep Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang kita pahami selama ini. Karena secara konseptual dan substansial berbeda, maka aspek-aspek dan sistem pelayanan perizinan terpadu juga berbeda sesuai dengan perkembangan paradigma dan lingkungan strategis yang berubah. Salah satu konsep baru terkait dengan pelayanan publik adalah konsep Whole of Government (WOG) Approach, merupakan konsep yang mengadopsi prinsip koordinasi dan integrasi strategi dalam pelayanan serta mengedepankan ilmu sosial. WOG menunjukkan lembaga pelayanan publik yang bekerja melintasi batas-batas sektoral mereka untuk mencapai tujuan bersama dan respons pemerintah yang terintegrasi untuk isu-isu tertentu. Pendekatan pelaksanaan konsep ini dapat formal maupun informal. Hal terpenting dari WOG dapat diterapkan untuk memberi efek keputusan kebijakan pemerintah, untuk meningkatkan konsistensi dan kontrol dan untuk memberikan penghematan dan efisiensi, sehingga kepuasan masyarakat akan meningkat. Dalam model inovatif ini lebih menganut pada prinsip-prinsip sebagai berikut: (a) tidak menekankan adanya kelembagaan secara formal, tetapi lebih pada terlaksananya fungsi pelayanan perizinan secara efektif; (b) pelayanan perizinan lebih berorientasi sosial, sehingga menghilangkan stigma selama ini bahwa

xiv

pelayanan perizinan merupakan sumber pendapatan; (c) lebih menekankan adanya koordinasi dan integrasi strategi dari SKPD terkait, sehingga akan menghilangkan ego sektoral atau silo mentality yang selama ini terjadi; (d) lebih berorientasi kepada kepentingan masyarakat; (e) melibatkan masyarakat secara optimal dalam proses kebijakan, proses pelayanan, dan monitoring dan evaluasi (sistem partisipatori).

xv

DAFTAR ISI

HALAMAN

Kata Sambutan ............................................................................................................................. iv

Kata Pengantar ............................................................................................................................. v

Ringkasan Eksekutif ..................................................................................................................... vi

Daftar Isi ........................................................................................................................................... xv

Bab I Pendahuluan ....................................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................................. 2

B. Tujuan dan Sasaran ..................................................................................................... 5

C. Hasil Yang Diharapkan ............................................................................................... 5

D. Metode Kajian ................................................................................................................ 5

E. Framework Kajian ........................................................................................................ 6

F. Lokus Kajian ................................................................................................................... 7

G. Tahapan Kegiatan ........................................................................................................ 8

Bab II Konsep dan Kebijakan Pelayanan Publik Bidang Perizinan .............................. 9

A. Inovasi Pelayanan Publik ........................................................................................... 10

B. Kebijakan Penyederhanaan Perizinan .................................................................. 11

C. Konsepsi Pelayanan Perizinan Terpadu ................................................................. 13

D. Model Pelayanan Perizinan Whole of Government Aprroach ........................ 15

Bab III Dinamika Model Pengelolaan PTSP .......................................................................... 19

A. Gambaran Umum Model Pengelolaan PTSP Terpilih ....................................... 20

B. Alternatif Desain Model Pengelolaan PTSP Terbaik .......................................... 36

C. Arah Model Pelayanan Perizinan Kedepan ......................................................... 41

Bab IV Strategi Membangun Model Pelayanan Perizinan Beyond PTSP ................... 45

A. Sinkronisasi Regulasi ..................................................................................................... 46

B. Strategi Penguatan Pelayanan Perizinan ............................................................. 52

Bab V Penutup .............................................................................................................................. 57

A. Kesimpulan ..................................................................................................................... 58

B. Rekomendasi .................................................................................................................. 61

Daftar Pustaka .............................................................................................................................. 64

xvi

1

2

A. Latar Belakang

genda prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 bidang

pelayanan publik yang harus dicapai oleh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah antara lain mencakup: (a) peningkatan kualitas implementasi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; (b) modernisasi sistem dan manajemen pelayanan publik (SDM, IT, Standar Pelayanan); (c) monitoring dan supervisi kinerja pelayanan publik; (d) membuka ruang partisipasi publik melalui Citizen Charter; dan (e) penguatan integritas dalam pelayanan publik.

Sejalan dengan pencapaian agenda prioritas RPJMN 2015-2019 tersebut, maka salah satu misi utama pemerintah adalah memberikan pelayanan publik yang berkualitas baik menyangkut pelayanan jasa publik, barang publik, maupun pelayanan administratif termasuk di dalamnya pelayanan perizinan dan nonperizinan. Berkaitan dengan pelayanan perizinan dan nonperizinan, upaya mendorong tumbuh dan berkembangnya dunia usaha serta meningkatnya kepuasan masyarakat sangat terkait dengan inovasi, kreativitas dan strategi pemerintah dalam memberikan pelayanan yang mudah, cepat, tepat, murah dan transparan serta efisien. Oleh karena itu, peran dan tanggung jawab pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan katalisator menjadi penting dalam memberikan kemudahan bagi masyarakat dan dunia usaha melalui berbagai macam inovasi pelayanan publik.

Inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik telah cukup banyak dilakukan oleh berbagai Kementerian/ Lembaga dan Pemerintah Daerah sebagai respons terhadap tuntutan kecepatan, kemudahan, keterjangkauan, dan efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Beberapa strategi yang telah dilakukan

antara lain dengan membentuk sebuah sistem pelayanan terpadu dengan menggabungkan pendekatan pelayanan fungsional yang dilakukan oleh masing-masing Kementerian/Lembaga/SKPD ke dalam pendekatan terpadu satu otoritas. Pendekatan pelayanan terpadu sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik adalah sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).

Di dalam Perpres Nomor 97 Tahun 2014 menyebutkan PTSP adalah pelayanan yang secara terintegrasi dalam satu kesatuan proses dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian produk pelayanan melalui satu pintu. Sedangkan, menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 PTSP adalah perangkat pemerintah daerah yang memiliki tugas dan fungsi mengelola semua bentuk pelayanan perizinan dan nonperizinan di daerah dengan satu pintu. Dalam penyelengga-raannya PTSP tersebut harus memenuhi prinsip keterpaduan, ekonomis, koordinasi, pendelegasian/pelimpahan wewenang, akuntabilitas dan aksesibilitas. Hingga saat ini jumlah PTSP berdasarkan sumber Kementerian Dalam Negeri (2015) sebanyak 498 dengan rincian Provinsi 34, Kabupaten 372, Kota 92. Dengan bentuk kelembagaan yang juga cukup bervariasi yaitu dalam bentuk Badan 214, Dinas 2, Kantor 278 dan Unit 4. Dalam perkembangan selanjutnya jumlah PTSP berdasarkan sumber Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) data per 18 Februari 2015 sebanyak 508 dengan rincian Provinsi 34, Kabupaten 364, Kota 97, Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) 5, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) 8.

Upaya peningkatan kualitas pelayanan perizinan dan nonperizinan yang selama ini telah dilakukan melalui sistem

A

3

PTSP, pada hakikatnya telah dilakukan yaitu dengan keluarnya pengaturan mengenai penyederhanaan proses administrasi perizinan melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perizinan Bidang Usaha. Sesuai dengan Inpres Nomor 5 Tahun 1984 tersebut, disebutkan bahwa penyeder-hanaan dan pengendalian perizinan di bidang usaha/penanaman modal, antara lain dengan mengurangi jumlah dan prosedur perizinan yang diperlukan pengusaha. Selanjutnya disebutkan bahwa izin usaha diberikan dengan mempertimbangkan tujuan bagi pengembangan yang sehat bagi kegiatan di masing-masing bidang usaha, perlindungan bagi konsumen dengan jaminan mutu hasil produksi yang memadai, dan pencegahan gangguan pencemaran dan atau perusakan lingkungan.

Selanjutnya dalam rangka menarik investor asing dan investor dalam negeri, serta untuk memberikan kepastian hukum kepada calon investor tersebut, pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Sebagai implementasi dari UU tersebut telah ditetapkan beberapa peraturan pemerintah, diantaranya adalah PP No 77 Tahun 2007 tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal sebagaimana yang telah direvisi pada PP Nomor 111 Tahun 2007 dan kembali disempurnakan melalui PP Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal dan Peraturan Kepala BKPM No 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal di Indonesia.

Namun demikian, telah teridentifikasi beberapa permasalahan yang dihadapi terkait dengan upaya menciptakan iklim investasi yang kondusif berdasarkan sumber Bappenas (2011) diantaranya, adalah: (1) masih perlu

dilengkapinya peraturan-peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; (2) kurang memadainya kapasitas dan kualitas infrastruktur untuk mendukung investasi yang sudah ada dan investasi baru; (3) masih cukup panjangnya proses perizinan investasi dibandingkan dengan negara-negara sekawasan lainnya; (4) belum lancarnya implementasi pelimpahan wewenang perizinan dari beberapa instansiyang mulai dialihkan wewenang-nya ke daerah tujuan investasikarena keterbatasan kemampuan sumber daya manusia (SDM), teknologi, dan sarana pendukungnya; (5) masih bervariasinya kelembagaan dan model pengelolaan PTSP; serta (6) banyaknya peraturan daerah (Perda) yang bermasalah sehingga menambah beragamnya pungutan daerah. Dari berbagai permasalahan yang diidentifikasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses perizinan di Indonesia masih terlalu panjang dan hal ini mempersulit pihak-pihak yang ingin berinvestasi dan melakukan usaha di Indonesia. Hal ini belum sesuai dengan tujuan sistem pelayanan yang diinginkan dalam PTSP, sehingga peringkat Doing Business Indonesia selalu pada posisi terendah.

Seiring dengan perkembangan dunia usaha, tuntutan untuk melakukan penyederhanaan prosedur perizinan sudah menjadi hal yang tidak terelakkan. Akhirnya pada tahun 2012, pemerintah dalam hal ini menempatkan penyederhanan perizinan sebagai salah satu program dalam 9 program percepatan reformasi birokrasi. Program ini dilakukan melalui beberapa kegiatan prioritas diantaranya yaitu: (1) deregulasi perizinan usaha, (2) penguatan pelayanan terpadu satu pintu, (3) pembatasan waktu pengurusan perizinan, (4) kejelasan biaya dan syarat perizinan, dan (5) penguatan budaya pelayanan prima. Program ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mendorong tumbuhnya iklim investasi di Indonesia yang pada akhirnya akan meningkatkan kredibilitas Indonesia dalam lingkup global.

4

Terkait dengan implementasi sistem pelayanan terpadu satu pintu, terdapat asas dalam penyelenggaraan PTSP, yaitu sebagai berikut:

a. Transparan, yaitu bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

b. Akuntabel, yaitu dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

c. Partisipatif, yaitu mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.

d. Kesamaan hak, yaitu tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi.

e. Efisien, yaitu proses pelayanan perizinan hanya melibatkan tahap-tahap yang penting dan melibatkan personil yang telah di tetapkan.

f. Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban, yaitu pemberi dan penerima pelayanan perizinan harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.

g. Profesional, pemprosesan perizinan melibatkan keahlian yang diperlukan, baik untuk validasi administratif, verifikasi lapangan, pengukuran dan penilaian kelayakan, yang masing-masing prosesnya dilaksanakan berdasarkan tata urutan dan prosedur yang telah ditetapkan.

Namun demikian, walaupun PTSP telah dibentuk oleh sebagian besar unit penyelenggara pelayanan publik baik pusat maupun daerah, ternyata belum mampu meningkatkan kualitas pelayanan perizinan secara signifikan. Hal tersebut terlihat masih besarnya tantangan Indonesia dalam upaya mengembangkan dunia usaha. Tantangan tersebut diantaranya adalah kurangnya tenaga kerja terdidik, infrastruktur yang buruk dan kerangka kebijakan yang berbelit-belit. (World Bank, 2012). Disamping itu, hasil berdasarkan Doing Business Survey 2015 memperlihatkan bahwa Indonesia berada pada ranking 114, jauh dibawah Singapura yang sudah langganan di posisi pertama, Malaysia telah menempati peringkat ke-18. Thailand (ke-26), Vietnam (ke-78), Filipina (ke-95), dan Brunei Darussalam (ke-101). Indonesia di peringkat ke-114 hanya unggul atas Kamboja di posisi ke-135 dan Timor Leste yang tertinggal di posisi ke-172.

Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan perizinan dan nonperizinan serta memberikan model pengelolaan PTSP terbaik (best practice), maka Kedeputian Bidang Inovasi Administrasi Negara - Lembaga Administrasi Negara melalui Pusat Inovasi Pelayanan Publik pada tahun 2015 menyusun Profil Best Practices Model Pengelolaan PTSP untuk mendorong unit-unit pelayanan perizinan dengan kinerja PTSP yang kurang baik agar dapat mereplikasi dan mengadopsi model-model terbaik tersebut. Sehingga upaya transformasi peningkatan kualitas pelayanan perizinan dan nonperizinan dapat dilaksanakan melalui berbagai inovasi dan terobosan-terobosan baru sebagaimana telah dilakukan beberapa PTSP dengan kinerja terbaik.

http://id.88db.com/id/Services/Post_Detail.page/business/Legal/?PostID=102206http://id.88db.com/id/Services/Post_Detail.page/business/Legal/?PostID=102206

5

B. Tujuan dan Sasaran

ujuan penyusunan best practices model pengelolaan PTSP adalah untuk:

1. Memetakan inovasi dan terobosan baru yang telah dilakukan oleh PTSP dengan kinerja terbaik sesuai dengan daerah yang terpilih;

2. Mengidentifikasi berbagai model pengelolaan PTSP di Indonesia sesuai dengan daerah yang terpilih.

Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah: 1. Tersusunnya data dan informasi terkait

inovasi dan terobosan baru yang telah dilakukan oleh PTSP dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat;

2. Tersedianya berbagai alternatif model pengelolaan PTSP di Indonesia sesuai dengan daerah yang terpilih.

C. Hasil yang Diharapkan

asil yang diharapkan dari kegiatan ini adalah tersedianya profil best practices model pengelolaan PTSP

sebagai acuan bagi PTSP yang lain dalam meningkatkan kinerjanya.

D. Metode Kajian

etode yang digunakan dalam penyusunan profil best practices

model pengelolaan PTSP yaitu deskriptif analitis. Metode deskriptif ini digunakan untuk mendeskripsikan objek studi yaitu inovasi-inovasi dan terobosan-terobosan baru yang telah dilakukan oleh PTSP dan model pengelolaannya. Sedangkan metode analitis digunakan untuk menganalisis berbagai faktor pendodong keberhasilan, proses inovasi dalam PTSP, dan model pengelolaannya serta lesson learn yang dapat diambil dalam meningkatkan kinerja PTSP.

Adapun metode dalam penyusunan best practices model pengelolaan PTSP ini adalah dengan melakukan stock taking, observasi dan validasi. Sumber informasi dalam penyusunan profil best practices model pengelolaan PTSP diperoleh dari data sekunder baik dari laporan, hasil penelitian, temu inovasi tahunan dan publikasi lainnya. Disamping melakukan stock taking, juga dilakukan diskusi terbatas (FGD) dengan mengundang narasumber, pakar, praktisi dan stakeholder lainnya.

T

H

M

6

E. Framework Kajian

Framework Penyusunan Profil Best Practices Pengelolaan PTSP dan Sintesa Model Pelayanan Perizinan Beyond PTSP sebagai berikut:

Penjelasan Framework :

Kajian Profil Best Practices Pengelolaan PTSP dan Sintesa Model Pelayanan Perizinan Beyond PTSP dilakukan berdasarkan kerangka kerja sebagai berikut:

Untuk memperoleh data sekunder dilakukan review atau telaah kebijakan terkait dengan Pelayanan Perizinan;

Selanjutnya dilakukan review konsep dan paradigma Whole Of Government (WOG) Approach;

Agar penyusunan profil best practices berjalan efektif, maka dilakukan review awal terhadap profil PTSP terpilih atau yang dijadikan lokus;

Setelah kebutuhan data sekunder terpenuhi, maka dilakukan diskusi-diskusi baik internal tim kajian maupun FGD yang lebih luas dengan melibatkan pakar, praktisi maupun instansi terkait guna menghasilkan draf awal (initial draft) profil best practices PTSP yang telah menghasilkan aspek-aspek utama yang menjadi pendorong PTSP memiliki kinerja tinggi (best practices);

Berdasarkan initial draft profil PTSP dan aspek-aspek utama, maka dilakukan validasi ke lapangan untuk mendapat-kan gambaran yang konkret terkait dengan implementasi aspek-aspek utama di masing-masing PTSP terpilih serta arah kedepan berupa alternatif

Theoritical Review

Review Awal Profil PTSP Terpilih

Policy Review

Data Sekunder

FGD (Pakar dan Akademisi)

Data Sekunder

Hasil Indepth Interview

Initial Draft Profil PTSP

Aspek Aspek Utama Profil Best Practices

Validasi Profil PTSP

Signifikansi Aspek -Aspek BP

Sintesa Model Beyond PTSP

Strategi Model

Penguatan Model

Akselerasi Model

Inovasi

Strategi & Alternatif Model

7

model pelayanan perizinan beyond PTSP;

Hasil validasi lapangan diolah dan dianalisis untuk menghasilkan formula

baru baik berupa strategi maupun model-model pelayanan perizinan beyond PTSP.

F. Lokus Kajian

alam rangka memperoleh Best Practice Model Pengelolaan PTSP sesuai dengan hasil yang

diharapkan, maka dilakukan observasi terhadap beberapa PTSP terpilih sesuai dengan kriteria yang objektif. Beberapa kriteria tersebut antara lain: (1) PTSP yang memiliki kinerja tinggi; (2) mewakili jenjang penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan (3) mewakili bentuk organisasi atau kelembagaan.

Kriteria kinerja tinggi yang dimaksud adalah (1) PTSP yang mendapat penghargaan dari instansi pembina dan

penilai; (2) menjadi rujukan bagi penyelenggara PTSP di daerah lain

Berdasarkan kriteria sebagaimana tersebut di atas, maka PTSP yang direkomendasikan untuk disusun profil best practices adalah: (1) PTSP Provinsi Jawa Barat; (2) PTSP Provinsi Jawa Timur; (3) KPPT Kabupaten Purbalingga; (4) PTSP Kota Yogyakarta; (5) PTSP Kabupaten Sidoarjo; (6) PTSP Kab Purwakarta; (7) UPTSA Kota Surabaya. Penjelasan pemilihan lokus secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel sebagai berikut.

Tabel 2.1 Penentuan Pemilihan Lokus

No. Nama PTSP Penghargaan Kriteria Jenis Kelembagaan

PTSP

Kriteria Jenjang Pemda

1. BPMPTSP Provinsi Jawa Barat

Penilaian BKPM (2012, 2013)

Badan Tk. Provinsi

2. UPTP2TS Provinsi Jawa Timur

Penilaian BKPM (2010, 2012, 2013, 2014)

Badan Tk. Provinsi

3. BPMPT Kota Surakarta Penilaian BKPM (2014) Badan Tk. Kota

4. Dinas Perizinan Kota Yogyakarta

Penilaian BKPM (2009) Dinas Tk. Kota

5. BPPT Kab. Sidoarjo Penilaian KPPOD (referensi), BKPM (2010)

Badan Tk. Kabupaten

6. BPMPTSP Kab Purwakarta

Penilaian BKPM (2012) Badan Tk. Kabupaten

7. UPTSA Kota Surabaya Penilaian KPPOD (referensi)

Unit Tk. Kota

8. KPPT Kota Cimahi Penilaian BKPM (2010) Kantor Tk. Kota

9. KPMPT Kab. Purbalingga

Penilaian KPPOD (referensi)

Kantor Tk. Kabupaten

D

8

No. Nama PTSP Penghargaan Kriteria Jenis Kelembagaan

PTSP

Kriteria Jenjang Pemda

10. BPTPM Kab. Sragen Penilaian BKPM (2009) Badan Tk. Kabupaten

11. BPPT Kota Bandung Badan Tk. Kota

12. BPM Kota Kediri Badan Tk. Kota

G. Tahapan Kegiatan

ahapan kegiatan penyusunan profil best practices model pengelolaan PTSP dan Sintesa Model Pelayanan

Perizinan Beyond PTSP secara rinci sebagai berikut:

1. Penyempurnaan TOR (Maret) Tahap ini membahas penyusunan TOR, dimana dalam kegiatan tersebut dilakukan melalui pengumpulan berbagai literatur yang relevan serta melaksanakan diskusi terbatas dengan mengundang narasumber/ pakar dan pengelola PTSP serta stakeholder terkait.

2. Penyusunan Riset Desain dan Instrumen (April-Mei) Dalam tahapan ini Tim akan melakukan identifikasi berbagai literatur terkait dengan penyusunan disain profil best practices model pengelolaan PTSP. Dalam kegiatan ini juga dilakukan diskusi terbatas dengan mengundang narasumber yang kompeten. Hasil dari identifikasi data serta konsep-konsep yang relevan, selanjutnya dilakukan penyusunan dan finalisasi riset desain dan instrumen.

3. Penyusunan Draft Profil Best Practices Model Pengelolaan PTSP (Juni) Setelah riset desain tersusun, selanjutnya dilakukan penyusunan draft disain profil best practices model pengelolaan PTSP. Agar draft pengelolaan disain profil best practices

model pengelolaan PTSP lebih implementatif dan sesuai dengan kebutuhan, maka kegiatan ini juga dilakukan diskusi terbatas mengundang narasumber yang kompeten guna memberikan masukan terhadap draft disain profil best practices model pengelolaan PTSP.

4. Validasi Profil Best Practices Model Pengelolaan PTSP (Juli-Agustus) Untuk memperoleh profil best practices model pengelolaan PTSP yang berkinerja tinggi dalam memberikan pelayanan perizinan dan nonperizinan, maka dilakukan validasi terhadap profil best practices model pengelolaan PTSP yang telah disusun. Validasi ini dilaksanakan terhadap 5 PTSP yang memiliki kinerja terbaik.

5. Evaluasi dan Penyusunan Laporan Disain Profil Best Practices Model Pengelolaan PTSP (September) Berdasarkan hasil validasi tersebut, maka tim melakukan evaluasi dan penyusunan laporan profil best practices model pengelolaan PTSP. Selanjutnya, dilakukan pencetakan dan pembuatan laporan serta pendistribusian profil best practices model pengelolaan PTSP agar dapat dimanfaatkan oleh Kementerian/ Lembaga, Pemda dan stakeholder terkait.

T

9

10

A. Inovasi Pelayanan Publik

antangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan pelayanan publik saat ini adalah masih rendahnya

tingkat kualitas pelayanan, yang antara lain disebabkan oleh masih adanya disharmoni kebijakan, kelembagaan yang tumpang tindih, tatalaksana yang tidak efisien, kompetensi SDM pelayanan yang rendah serta terbatasnya sarana dan prasarana. Mencermati kondisi pelayanan publik tersebut, dituntut adanya inovasi, kreativitas dan terobosan-terobosan baru dalam penyelenggaraan pelayanan publik kedepan.

Inovasi dalam pelayanan publik merupakan faktor yang sangat penting mengingat tingginya keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, daya saing nasional, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik suatu bangsa. Oleh karena itu, upaya mendorong percepatan tumbuh dan berkembangnya inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik menjadi sebuah keharusan, baik terkait dengan model leadership-nya, kelembagaan, bisnis proses (tatalaksana), SDM dan sarana-prasaranya.

Terkait dengan konsep inovasi, dalam konteks publik inovasi dapat berupa inovasi produk (produk baru), inovasi proses (cara baru dimana proses-proses organisasi didesain), pelayanan (cara baru dimana pelayanan disediakan untuk pengguna), inovasi retorikal (konsep baru), dan lain-lain yang memberikan nilai tambah bagi penyelenggaraan pemerintahan. Istilah inovasi berasal dari bahasa latin innovare yang berarti berubah sesuatu yang menjadi baru. Inovasi (innovation dan innovate) sendiri baru mulai dikenal dalam kosa kata bahasa Inggris pada abad ke-16. Namun pada masa itu, istilah ini banyak diasosiasikan secara negatif sebagai troublemaker dan lebih identik dengan nuansa revolusi atau perubahan radikal menjadikan rezim kekuasaan dan politik serta otoritas keagamaan masa itu

cenderung menolak segala hal yang berbau inovasi. Barulah sekitar 300 tahun kemudian, pengertian inovasi perlahan mengalami pergeseran makna menjadi positif yang dipahami sebagai creating of something new atau penciptaan sesuatu yang baru. Inovasi juga tidak selamanya baru (completely new), baik dari segi fisik maupun fitur yang melengkapinya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (kbbi.web.id), inovasi adalah pemasukan atau pengenalan hal-hal yang baru; penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya (gagasan, metode atau alat). Selanjutnya Van den Ban & Hawkins (2005) memberikan pengertian inovasi sebagai suatu gagasan, metode atau objek yang dianggap sebagai sesuatu yang baru tetapi lebih merupakan hasil penelitian mutakhir. Dalam hubungannya dengan organisasi, Hurley dan Hult (1998) dalam (Kusumo, 2006:22) mendefinisikan inovasi sebagai sebuah mekanisme organisasi dalam beradaptasi dalam lingkungan yang dinamis, oleh karenanya organisasi dituntut untuk mampu menciptakan pemikiran pemikiran baru, gagasan gagasan baru, produk baru serta peningkatan pelayanan yang memuaskan pelanggan. Dapat dikatakan inovasi merupakan kelanjutan dari adanya kreativitas dan dalam hubungannya dengan praktik birokrasi, Inovasi berarti menemukan dan melakukan proses kerja baru yang bertujuan untuk menjadikan pelayanan menjadi lebih baik. Namun demikian inovasi dalam birokrasi seringkali menghadapi hambatan dan benturan dari keberadaan aturan formal dan rendahnya sikap pemimpin yang kurang visioner.

Menurut Clark, John dan Ken Guy (1997) mengartikan Inovasi sebagai proses atau hasil pengembangan, pemanfaatan/ mobilisasi pengetahuan, keterampilan dan pengalaman untuk menciptakan atau memperbaharui produk (barang dan jasa), proses atau sistem yang baru, yang

T

11

memberikan nilai tambah. Sedangkan Agus Dwiyanto (2013) menyatakan Inovasi adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan gagasan dan pengetahuan baru dan transformasinya kedalam hasil (outcome) yang dapat menciptakan nilai tambah pada praktik dan proses, barang dan jasa, adopsi teknik dan pendekatan baru dalam pengelolaan satu organisasi. Dalam bidang administrasi publik, inovasi adalah setiap bentuk transformasi gagasan dan pengetahuan baru yang mampu menciptakan nilai tambah dalam satu atau lebih aspek dan atau proses administrasi publik.

Richard (2003) sebagaimana dikutip oleh Desi Fernanda (2014), inovasi adalah ide-ide untuk beraksi. Inovasi adalah proses aktif yang memiliki tujuan akhir menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan oleh orang lain. Inovasi pada dasarnya merupakan kegiatan yang bersifat konvergen yang membawa atau membumikan ide-ide cemerlang dalam kehidupan nyata. Hasil dari sebuah inovasi adalah perubahan (transformasi) dan implementasi. Humanitarian Innovatioan Fund (HIF) (2009), inovasi adalah proses dinamis yang berfokus pada penciptaan dan implementasi produk baru atau yang ditingkatkan, dan jasa, proses, posisi dan paradigma. Inovasi yang sukses adalah

mereka yang menghasilkan dalam efisiensi, efektifiitas hasil, kualitas atau sosial/ dampak.

Berdasarkan berbagai pendapat diatas terkait inovasi, maka dapat disimpulkan Inovasi adalah ide, gagasan, pemikiran, terobosan dalam rangka melakukan pembaharuan dalam praktik dan proses penyelenggaraan pemerintahan, sehingga memiliki nilai tambah dalam satu atau lebih aspek dan atau proses administrasi negara. Inovasi adalah suatu ide, gagasan, pemikiran, terobosan yang memiliki unsur kebaharuan, manfaat, dapat diadopsi/direplikasi, berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku (LAN, 2014). Lebih lanjut disebutkan bahwa jenis-jenis inovasi administrasi Negara mencakup: inovasi proses, inovasi produk, inovasi metode, inovasi struktur organisasi, inovasi teknologi, inovasi sumber daya manusia, inovasi konseptual, dan inovasi hubungan.

Dengan demikian inovasi pelayanan publik adalah ide, gagasan, pemikiran, terobosan dalam rangka melakukan pembaharuan dalam praktik dan proses penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga memiliki nilai tambah dalam satu atau lebih aspek dan atau proses pemberian pelayanan kepada masyarakat.

B. Kebijakan Penyederhanaan Perizinan

isi utama birokrasi pemerintah adalah memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyara-

kat termasuk dalam hal ini adalah kepada dunia usaha. Terkait dengan perizinan usaha, upaya mendorong tumbuh dan berkembangnya dunia usaha sangat terkait dengan peran pemerintah dalam memberikan pelayanan yang mudah, cepat, tepat, murah dan transparan. Oleh karena itu, peran dan tanggung jawab pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan katalisator menjadi penting dalam memberikan kemudahan bagi dunia usaha

melalui berbagai macam pelayanan sejak investor mulai membuka usahanya sampai dengan jika terjadi sengketa arbitrase.

Sejalan dengan program reformasi birokrasi dimana salah satu area perubahan adalah bidang pelayanan publik, dengan hasil akhir yang diharapkan adalah pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat. Untuk dapat mewujudkan target reformasi pelayanan publik tersebut, sudah barang tentu diperlukan adanya kerja keras pemerintah dan pemerintah daerah serta seluruh aparatur pelayanan publik. Salah satu

M

12

upaya pemerintah dalam mendukung terwujudnya pelayanan prima khususnya di bidang investasi dan dunia usaha, adalah dengan mengeluarkan kebijakan pembentukan kelembagaan pelayanan publik yang tidak birokratis dan berbelit-belit. Upaya tersebut adalah dengan pembentukan kelembagaan pelayanan dalam bentuk Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang saat ini telah dimiliki sebagian besar unit pelayanan baik di pusat maupun di daerah.

Berbagai kebijakan pemerintah terkait dengan upaya penyederhanaan perizinan tersebut antara lain Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi. Perbaikan iklim investasi yang diamanatkan inpres tersebut menekankan perlunya: (a) memperkuat kelembagaan pelayanan investasi; (b) Sinkronisasi Peraturan Pusat dan Peraturan Daerah (Perda); (c) kejelasan ketentuan mengenai kewajiban analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL); (d) debirokratisasi di bidang cukai; serta (e) melaksanakan sistem self assesment secara konsisten. Pelaksanaan paket kebijakan selama kurun waktu tahun 2006 diharapkan dapat mendorong pertumbuhan investasi di Indonesia.

Selanjutnya dalam rangka menarik investor asing dan investor dalam negeri untuk berinvestasi di Indonesia, serta untuk memberikan kepastian hukum kepada calon investor tersebut, pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Sebagai implementasi dari Undang-Undang tersebut telah ditetapkan beberapa Peraturan Pemerintah, diantaranya adalah PP Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal sebagaimana yang telah direvisi dengan PP Nomor 111 Tahun 2007 dan kembali disempurnakan melalui PP Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal dan Peraturan Kepala BKPM Nomor

12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal di Indonesia.

Perbaikan kelembagaan pelayanan publik sebagai upaya mendorong peningkatan kualitas perizinan usaha dan investasi telah dilakukan melalui beberapa kebijakan antara lain Keputusan Presiden Nomor 29 tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap, disebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas dalam menarik investor untuk melakukan investasi di Indonesia, memandang perlu untuk menyederhanakan sistem pelayanan penyelenggaraan penanaman modal dengan metode pelayanan satu atap. Dalam Perpres ini juga ditekankan bahwa Sistem pelayanan satu atap dilaksanakan oleh BKPM sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1981 tentang Badan Kooordinasi Penanaman Modal Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah, Terakhir Dengan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2004. Pada Diktum selanjutnya Gubernur/ Bupafi/ Walikota sesuai dengan kewenangannya dapat melimpahkan kewenangan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal kepada BKPM melalui sistem pelayanan satu atap.

Selanjutnya Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, yang salah satunya mengamanatkan perlunya memperkuat kelembagaan pelayanan investasi. Sebagai implementasi Inpres No 3 Tahun 2006 tersebut, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaran Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang antara lain menginstruksikan kepada pemerintah daerah melakukan: (1) penyederhanaan sistem dan prosedur perizinan usaha; (2) pembentukan lembaga pelayanan perizinan terpadu satu pintu di daerah; (3)

13

pemangkasan waktu dan biaya perizinan; (4) perbaikan sistem pelayanan; (5) perbaikan sistem informasi; (6) pelaksanaan monitoring dan evaluasi proses penyelenggaraan.

Dalam rangka lebih memperkuat landasan kebijakan kelembagaan PTSP di daerah, lebih lanjut Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Terpadu di Daerah. Dimana dalam peraturan ini terdapat ketentuan menyangkut nomenklatur unit pelayanan, dimana disebutkan bahwa Unit pelayanan perizinan terpadu adalah bagian perangkat daerah berbentuk Badan dan/atau Kantor pelayanan perizinan terpadu, merupakan gabungan dari unsur-unsur perangkat daerah yang mempunyai kewenangan di bidang pelayanan perizinan. Selanjutnya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan penyederhanaan pelayanan adalah upaya penyingkatan terhadap waktu, prosedur, dan biaya pemberian perizinan dan nonperizinan. Disamping itu, diatur tentang tugas Badan dan/atau Kantor mempunyai tugas melaksanakan koordinasi dan menyelenggarakan pelayanan administrasi dibidang perizinan secara terpadu dengan prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, simplifikasi, keamanan dan kepastian.

Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 27 tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal. Dimana dalam Perpres tersebut disebutkan bahwa Pelayanan Terpadu Satu Pintu adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau limpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. Disamping itu, Perpres ini juga mengatur mengenai mutu pelayanan, yaitu bahwa Pelaksanaan PTSP di bidang Penanaman Modal harus menghasilkan mutu pelayanan prima yang diukur dengan indikator kecepatan, ketepatan, kesederhanaan, transparan, dan kepastian hukum.

Sebagai tindak lanjut Perpres Nomor 27 Tahun 2009 tersebut, pemerintah mengeluarkan Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri PANRB, dan Kepala BKPM sejak bulan September 2010 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan Pelayanan Penanaman Modal di Daerah, yang meminta para Gubernur, Bupati dan Walikota untuk segera melimpahkan kewenangannya di bidang perizinan dan nonperizinan kepada kepala PTSP.

C. Konsep Pelayanan Perizinan Terpadu

ntuk dapat mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas dan memuaskan, perlu didukung dengan

model-model pengelolaan pelayanan yang efisien, cepat, transparan dan akuntabel, termasuk di dalamnya yang terkait dengan pelayanan perizinan dan nonperizinan. Beberapa model pelayanan yang terintegrasi diantaranya adalah Pelayanan Terpadu Satu Atap (PTSA) dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang selama ini telah dikembangkan oleh beberapa Kementerian/Lembaga dan hampir di

seluruh Provinsi dan Kabupaten/Kota. Upaya pembentukan kelembagaan PTSP dari berbagai unit penyelenggara pelayanan publik tersebut perlu mendapat apresiasi agar komitmen mereka dalam peningkatan kualitas pelayanan publik senantiasa dapat terus meningkat. Namun demikian, pembentukan kelembagaan pelayanan PTSP yang bertujuan untuk mempermudah bagi masyarakat dalam memperoleh pelayanan tersebut, perlu dievaluasi kinerjanya termasuk efektivitas-

U

14

nya terhadap peningkatan perizinan usaha dan pertumbuhan investasi.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 menyebutkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yaitu perangkat pemerintah daerah yang memiliki tugas dan fungsi mengelola semua bentuk pelayanan perizinan dan nonperizinan di daerah dengan sistem satu pintu. Lebih lanjut disebutkan bahwa Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu adalah kegiatan penyelenggaraan Perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sampai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan dalam satu tempat.

Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 tersebut juga menginstruksikan kepada pemerintah daerah melakukan: (1) penyederhanaan sistem dan prosedur perizinan usaha; (2) pembentukan lembaga pelayanan perizinan terpadu satu pintu di daerah; (3) pemangkasan waktu dan biaya perizinan; (4) perbaikan sistem pelayanan; (5) perbaikan sistem informasi; (6) pelaksanaan monitoring dan evaluasi proses penyelenggaraan.

Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) adalah kegiatan penyelenggaraan jasa perizinan dan nonperizinan, yang proses pengelo-laannya dimulai dari tahap permohonan sampai ke tahap penerbitan izin dokumen, dilakukan secara terpadu dalam satu tempat. Dengan konsep ini, pemohon cukup datang ke satu tempat dan bertemu dengan petugas front office saja. Hal ini dapat meminimalisasikan interaksi antara pemohon dengan petugas perizinan dan menghindari pungutan-pungutan tidak resmi jika ada masyarakat yang ingin memiliki izin tinggal.

Pembentukan penyelenggaraan PTSP pada dasarnya ditujukan untuk menyederhanakan birokrasi pelayanan perizinan dan nonperizinan dalam bentuk: (1) Mempercepat waktu pelayanan dengan mengurangi tahapan-tahapan dalam

pelayanan yang kurang penting. Koordinasi yang lebih baik juga akan sangat berpengaruh terhadap percepatan layanan perizinan; (2) Menekan biaya pelayanan izin usaha, selain pengurangan tahapan, pengurangan biaya juga dapat dilakukan dengan membuat prosedur pelayanan serta biaya resmi menjadi lebih transparan; dan (3) Menyederhanakan persyaratan izin usaha industri, dengan mengembangkan sistem pelayanan paralel dan akan ditemukan persyaratan-persyaratan yang tumpang tindih, sehingga dapat dilakukan penyederhanaan persyaratan. Hal ini juga berdampak langsung terhadap pengurangan biaya dan waktu.

Selanjutnya asas penyelenggaraan PTSP, antara lain adalah: (1) Transparan, yaitu bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti; (2) Akuntabel, yaitu dapat dipertanggung-jawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (3) Partisipatif, yaitu mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan dengan memperhati-kan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat; (4) Kesamaan hak, yaitu tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi; (5) Efisien, yaitu proses pelayanan perizinan hanya melibatkan tahap-tahap yang penting dan melibatkan personil yang telah di tetapkan; (6) Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban, yaitu pemberi dan penerima pelayanan perizinan harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak; (7) Profesional, pemrosesan perizinan melibatkan keahlian yang diperlukan, baik untuk validasi administratif, verifikasi lapangan, pengukuran dan penilaian kelayakan, yang masing-masing prosesnya dilaksanakan berdasarkan tata urutan dan prosedur yang telah ditetapkan.

http://id.88db.com/id/Services/Post_Detail.page/business/Legal/?PostID=102206http://id.88db.com/id/Services/Post_Detail.page/business/Legal/?PostID=102206http://id.88db.com/id/Services/Post_Detail.page/business/Legal/?PostID=102206http://id.88db.com/id/Services/Post_Detail.page/business/Legal/?PostID=102206http://id.88db.com/id/Services/Post_Detail.page/business/Legal/?PostID=102206http://id.88db.com/id/Services/Post_Detail.page/business/Legal/?PostID=102206http://id.88db.com/id/Services/Post_Detail.page/business/Legal/?PostID=102206http://id.88db.com/id/Services/Post_Detail.page/business/Legal/?PostID=102206http://id.88db.com/id/Services/Post_Detail.page/business/Legal/?PostID=102206

16

D. Model Pelayanan Perizinan Whole of Government Approach

enyelenggaran perizinan yang dilakukan selama ini menuai berbagai spekulasi yang pada

akhirnya memunculkan kebingungan bagi para penyelenggara perizinan. Perubahan pandangan pelayanan yang berorientasi struktural, sektoral dan organisasi dengan satu tugas sudah mulai terjadi diberbagai negara. Dalam konteks pelayanan perizinan, diperlukan suatu sistem yang dapat memberi efek pada pengambilan keputusan dalam rangka meningkatkan konsistensi dan kontrol dan untuk memberikan penghematan dan efisiensi yang dapat mengkoordinasikan seluruh kepentingan sektor.

Peningkatan pelayanan perizinan tentu saja merupakan tantangan tersendiri yang harus dijawab oleh pemerintah. Pendekatan pelayanan yang lebih mengedepankan logika ekonomi dimana hanya memikirkan keuntungan yang akan didapat dalam sebuah layanan harus dirubah. Saat ini perlu dipikirkan pendekatan lain dalam pelayanan terutama perizinan. Pendekatan ilmu sosial dapat menjadi pilihan yang dapat menjembatani permasalahan yang saat ini dihadapi. Seperti yang diungkapkan oleh Christensen dan Lagreid (2006) bahwa negara-negara seperti Inggris, Selandia Baru, dan Australia mengadopsi prinsip koordinasi dan integrasi strategi dalam pelayanannya sebagai respons terhadap peningkatan permasalahannya. dan sebenarnya lagi, koordinasi dan integrasi strategi bukanlah fenomena baru dalam rangka upaya untuk mengkoordinasikan kebijakan pemerintah dan pelayanan melintasi batas-batas organisasi.

Konsep whole of government (WOG) approach merupakan konsep yang mengadopsi prinsip koordinasi dan integrasi strategi dalam pelayanan serta mengedepankan ilmu sosial. WOG menunjukkan lembaga pelayanan publik yang bekerja melintasi batas-batas sektoral mereka untuk mencapai tujuan bersama dan respons pemerintah yang terintegrasi

untuk isu-isu tertentu. Pendekatan pelaksanaan konsep ini dapat formal maupun informal. Hal terpenting dari WOG ini terdapat pada fokusnya dalam pengembangan kebijakan, pengelolaan program, dan pelayanan. Dari segi pelayanan perizinan WOG dapat menjadi konsep alternatif yang dapat di adopsi oleh pemerintah Indonesia. WOG dapat diterapkan untuk memberi efek keputusan kebijakan pemerintah, untuk meningkatkan konsistensi dan kontrol dan untuk memberikan penghematan dan efisiensi, sehingga kepuasan masyarakat akan meningkat.

Munculnya konsep WOG menurut Gregory (2006), Pollitt (2003a) merupakan reaksi terhadap siloisasi atau pilarisasi dari sektor publik yang muncul pada manajemen publik sebelumnya. Dalam konsep Manajemen Publik baru (New Publik Manajement /NPM) Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat diarahkan lebih pada sektor yang mengurusi bidang masing masing. Hal ini menyebabkan munculnya ego sektoral yang justru menghambat pelayanan lintas sektor. Banyaknya peran dan fungsi khusus yang diberikan pada unit sektoral ternyata malah menghasilkan terlalu banyak fragmentasi, egoisme kepentingan, dan kurangnya kerjasama dan koordinasi sehingga justru menghambat efektivitas dan efisiensi pelayanan publik. Pelimpahan kekuasaan (Devolusi) struktural ternyata memberi efek sisi pengendalian/ kontrol dari kepemimpinan politik dan administrasi sehingga justru memunculkan pertanyaan terkait akuntabilitas dan kapasitas. WOG sangat penting diterapkan sebagai langkah efisiensi dan jawaban terhadap tekanan anggaran. Dalam konsep WOG ini dilakukan pengetatan dari sistem pelayanan publik vertikal (struktur layanan) yang diselenggarakan dengan dikombinasikan dengan peningkatan kerjasama horizontal (sektoral) dengan fokus pada pada efisiensi dalam pemberian layanan. Contohnya adalah inisiasi dari

P

16

pemerintah Selandia baru yang membentuk semacam unit super-monitoring yang mampu melakukan koordinasi antar sektor. Implementasinya lebih dilakukan penekanan kuat pada efektivitas dimana untuk jangka panjang difokuskan pada outcome yang akan diterima serta untuk jangka pendek memfokuskan pada Efektivitas layanan dan output.

Penggunaan Teknologi informasi dapat dilakukan untuk mengurangi biaya komunikasi secara horizontal dan koordinasi. Seperti yang telah diketahui pengembangan ICT saat ini sudah sangat pesat. Tidak ada salahnya untuk percepatan proses komunikasi secara vertikal dan horizontal serta koordinasi antar sektor dilakukan menggunakan ICT. Dalam pelayanan perizinan bisa dilakukan dengan membangun sistem informasi yang terintegrasi yang memungkinkan dapat melihat proses layanan perizinan yang diberikan.

Penjabaran diatas dapat terlihat bahwa penerapan WOG dilakukan dengan melakukan koordinasi secara vertikal dan horizontal dengan tujuan untuk 1. menghilangkan situasi di mana

kebijakan yang berbeda melemahkan satu sama lain;

2. melakukan kinerja lebih baik dengan menggunakan sumber daya yang terbatas;

3. menciptakan sinergi dengan membawa pemangku kepentingan (stakesholders) yang berbeda kepentingan agar bersama-sama dalam bidang kebijakan tertentu;

4. Menawarkan akses layanan yang mudah bagi masyarakat.

Peran konsep WOG dalam menghadapi tantangan organisasi pemerintah yang berperan secara hirarkis dan negosiasional. Peran organisasi hirarki memiliki tantangan dalam mengembangkan struktur yang mendukung untuk kerangka kerja bersama. Begitu juga dengan organisasional. Pendekatan prosedural juga dilakukan untuk meningkatkan inisiatif pelayanan

publik. Berikut ini adalah tantangan yang harus dihadapi menurut dua versi organisasi. 1. Organisasi Hirarki

Menurut versi hirarkis, kepemimpinan politik dan administrasi yang homogen dan dalam perjanjian tentang desain dan desain ulang organisasi publik. Dengan kata lain, hanya ada satu sumber ambigu dan homogen kontrol dan perhitungan rasional. Seperti yang dijelaskan oleh Simon (1957) juga March dan Simon (1958) bahwa hal terpenting dari struktur organisasi adalah kepemimpinan politik-administratif untuk tidak perlu terlalu banyak memiliki kontrol atau wawasan yang sempurna atau lengkap dalam setiap masalah, solusi, dan efek, melainkan, sesuai dengan pendekatan rasionalitas terikat. Yang terpenting adalah mempengaruhi perilaku pengambilan keputusan dengan mengendalikan proses desain dan rancangan struktur organisasi publik. Salah satu cara mengatasi tantangan tersebut dengan mengadopsi gaya top-down yang lebih agresif seperti yang dilakukan Pemerintah Ingris oleh Toni Blair di tahun 2005. Pilihan lainnya dengan melakukan penguatan atau penegasan kembali tugas fungsi unit organisasi dari organisasi pusat. Hal ini akan memunculkan dimensi vertikal dan dimensi horizontal organisasi yang lebih masif, dimana pada dimensi vertikal akan memerlukan pengendalian lebih kuat ke unit sektoral (bawahan), sedangkan dimensi horisontal akan peduli dengan mendapatkan kementerian pusat yang berbeda dan badan-badan khusus untuk bekerja lebih baik bersama-sama, kedua instrumen potensial dalam pendekatan Wog. Dalam hal ini peranan pemerintah pusat diperkuat dengan menetapkan struktur seperti unit strategis, ulasan (reviews), dan perjanjian layanan publik seperti yang dilakukan oleh pemerintah Inggris.

2. Organisasi Negosiasional

17

Menurut versi negosiasional, kepemimpinan yang diharapkan adalah berdasarkan heterogenitas, bukan pada homogenitas, dan pada gagasan perlu ada pembagian peran pada tingkat hirarki yang sama dan pemain yang sama. Dalam hal ini akan ada heterogenitas aparat publik internal dimana unit yang berbeda memiliki struktur yang berbeda, peran, fungsi, dan kepentingan (March dan Olsen 1983). Selain itu heterogenitas juga terdapat pada stakeholder utama dalam lingkungan, termasuk pihak swasta. Ini berarti pemimpin politik dan administrasi harus melakukan proses negosisasi terlebih dahulu, dimana tidak akan ada pemenang atau pecundang,

konsensus atau pencatatan bergulir, di mana janji diterima dan diberikan mengenai tindakan dan keputusan di masa depan. Dalam menghadapi tantangan struktur maka keputusan akan disesuaikan dengan memperhatikan kedua untuk kontrol, karena negosiasi harus dilakukan, dan perhitungan rasional, karena sikap dan pemikiran organisasi akan bervariasi. Hal ini akan membuat segalanya lebih ambigu tetapi memiliki keuntungan dari segi legitimasi yang lebih besar, karena mereka melibatkan lebih banyak peserta dan proses negosiasi dipandang sebagai lebih tepat daripada hirarki perintah.

18

19

21

A. GAMBARAN UMUM MODEL PENGELOLAAN PTSP TERPILIH Berdasarkan hasil validasi terhadap 12 PTSP terpilih dapat disampaikan gambaran model pengelolaan, aspek-aspek pengelolaan dan inovasi-inovasi unggulan dari masing-masing PTSP. Gambaran secara umum terkait dengan model pengelolaan PTSP berdasarkan kriteria dari praktik di lapangan adalah sebagai berikut.

1. Aspek Utama Pembentuk Profil PTSP Terbaik

Berdasarkan data empiris dan praktik pelayanan perizinan di lapangan dapat diindikasikan bahwa baik buruknya atau tinggi rendahnya kinerja PTSP dalam memberikan pelayanan perizinan sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek seperti : (a) dasar hukum pembentukan PTSP; (b) bentuk kelembagaan dan eselonisasi; (c) pelimpahan kewenangan

penandatanganan perizinan; (d) penggunaan IT dalam memberikan pelayanan perizinan; serta (e) komitmen dan dukungan pimpinan daerah terhadap PTSP.

Selanjutnya berdasarkan hasil validasi terhadap 12 PTSP terpilih, maka gambaran terhadap aspek-aspek tersebut dapat disampaikan sebagai berikut:

a. Dasar hukum

Dari seluruh PTSP yang menjadi lokus (terpilih) dasar hukum kelembagaan PTSP diatur dengan Peraturan Daerah (Perda). Uraian secara lengkap mengenai dasar hukum pembentukan PTSP tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.1 sebagai berikut.

Tabel 3.1 Dasar Hukum Pembentukan PTSP

No. Nama PTSP Dasar Hukum

1. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Kabupaten Purwakarta

Peraturan Daerah Kabupaten Purwakarta Nomor 11 Tahun 2007

2. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Provinsi Jawa Barat

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2014

3. Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Pemerintah Kota Bandung

Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 4 Tahun 2013 tentang Tugas dan Fungsi BPPT

4. Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) Kota Cimahi

Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 9 Tahun 2008 tentang Lembaga Teknis Daerah dan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Cimahi.

5. Kantor Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (KPMPT) Kabupaten Purbalingga

Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 14 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Purbalingga.

6. Dinas Perizinan Kota Yogyakarta Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pembentukan, Susunan, Kedudukan dan Tugas Pokok Dinas Daerah

21

No. Nama PTSP Dasar Hukum

7. Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Kabupaten Sragen

Peraturan Daerah Kabupaten Sragen Nomor 5 Tahun 2011 tentang Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Kabupaten Sragen.

8. Pelayanan Perizinan Terpadu P2T Pemerintah Provinsi Jawa Timur

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Teknis Daerah

9. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (BPMPT) Kota Surakarta

Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 14 Tahun 2011 tentang Pembentukan Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Kota Surakarta

10. Badan Penanaman Modal (BPM) Kota Kediri

Peraturan Walikota Kediri Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Uraian Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Badan Penanaman Modal Kota Kediri

11. Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Sidoarjo

Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Sidoarjo

Peraturan Bupati No. 57 Tahun 2008 Jo Peraturan Bupati No. 38 Tahun 2014 tentang rincian, tugas, fungsi dan tata Kerja Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Sidoarjo.

12. Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) Kota Surabaya

Peraturan Walikota Surabaya Nomor 28 Tahun 2007 tentang Organisasi Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) Kota Surabaya

Peraturan Walikota Surabaya Nomor 24 Tahun 2009 tentang perubahan atas Peraturan Walikota Surabaya Nomor 28 Tahun 2007 tentang Organisasi Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) Kota Surabaya

Peraturan Walikota Surabaya Nomor 40 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Peraturan Walikota Surabaya Nomor 28 Tahun 2007 tentang Organisasi Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) Kota Surabaya

Peraturan Walikota Surabaya Nomor 8 Tahun 2010 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Walikota Surabaya Nomor 28 Tahun 2007 tentang Organisasi Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) Kota Surabaya

Sumber : data dan informasi tim validasi

b. Kelembagaan

23

Dari aspek kelembagaan dapat diidentifikasi bahwa dari seluruh PTSP yang menjadi lokus (terpilih) memiliki bentuk dan nomenklatur kelembagaan yang berbeda-beda. Perbedaan bentuk dan nomenklatur kelembagaan tersebut, tentu berdampak pada level eselonisasi pada tingkat pimpinan PTSP masing-masing. Berdasarkan hasil validasi ditemukan beberapa jenis

kelembagaan PTSP seperti Dinas, Badan, Kantor dan Unit. Dari masing-masing bentuk kelembagaan tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya jika orientasi PTSP adalah peningkatan kualitas pelayanan perizinan. Uraian secara lengkap mengenai bentuk dan nomenklatur serta level eselonisasi pimpinan PTSP dapat dilihat pada Tabel 3.2 sebagai berikut.

Tabel 3.2 Bentuk Kelembagaan dan Eselonisasi PTSP

No. Nama PTSP Bentuk Kelembagaan

Pimpinan & Tingkat Eselon

1. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Kabupaten Purwakarta

Badan Kepala Badan

Eselon II

2. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Provinsi Jawa Barat

Badan Kepala Badan

Eselon II

3. Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Pemerintah Kota Bandung

Badan Kepala Badan

Eselon II

4. Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) Kota Cimahi

Kantor Kepala Kantor

Eselon III

5. Kantor Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (KPMPT) Kabupaten Purbalingga

Kantor Kepala Kantor

Eselon III

6. Dinas Perizinan Kota Yogyakarta Dinas Kepala Dinas

Eselon II

7. Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Kabupaten Sragen

Badan Kepala Badan

Eselon II

8. Pelayanan Perizinan Terpadu P2T Pemerintah Provinsi Jawa Timur

Unit Kepala Unit

Non Eselon

9. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (BPMPT) Kota Surakarta

Badan Kepala Badan

Eselon II

10. Badan Penanaman Modal (BPM) Kota Kediri

Badan Kepala Badan

Eselon II

23

No. Nama PTSP Bentuk

Kelembagaan Pimpinan & Tingkat

Eselon

11. Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Sidoarjo

Badan Kepala Badan

Eselon II

12. Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) Kota Surabaya

Unit Kepala Unit

Non Eselon

c. Pelimpahan Kewenangan

Selanjutnya terkait dengan aspek Pelimpahan Kewenangan secara umum dari seluruh PTSP yang menjadi lokus (terpilih) telah memiliki sebagian

besar kewenangan untuk menandatangani surat perizinan. Uraian secara lengkap terkait dengan pelimpahan kewenangan dalam penandatanganan perizinan dapat dilihat pada Tabel 3.3 sebagai berikut.

Tabel 3.3 Pelimpahan Kewenangan Penandatanganan Dokumen Perizinan

No. Nama PTSP Jumlah Perizinan Yang diserahkan Dasar Hukum Pelimpahan

1. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Kabupaten Purwakarta

51 jenis perizinan telah diserah dari 107 total jenis perizinan atau sebesar 48%.

Perbub No. 26 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan Dibidang Perizinan dan Nonperizinan Kab Purwakarta

2. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Provinsi Jawa Barat

261 jenis pelayanan perizinan seluruhnya telah dilimpahkan atau 100% telah dilimpahkan kepada BPMPTSP

Pergub No. 92 Tahun 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Prov Jawa Barat No. 7 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Terpadu

3. Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Pemerintah Kota Bandung

25 jenis pelayanan perizinan seluruhnya telah dilimpahkan atau 100% telah dilimpahkan kepada BPPT

Peraturan Walikota Bandung Nomor 855 Tahun 2015 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Pelayanan Perizinan Terpadu

4. Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) Kota Cimah