penyuluhan pediatrik

32
1 MAKALAH PENYULUHAN Konstipasi pada Anak Pembimbing : dr. Disusun Oleh : Maral Bimanti Febrilina (090100133) DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP H. ADAM MALIK MEDAN 2013

description

kecacingan pada anak

Transcript of penyuluhan pediatrik

1

MAKALAH PENYULUHAN

Konstipasi pada Anak

Pembimbing : dr.

Disusun Oleh : Maral Bimanti Febrilina (090100133)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN

2013

2

HALAMAN PERSETUJUAN

Penyuluhan dengan judul :

“Attention Deficit Hyperactivity Disorder“

Yang Dipersiapkan oleh

Maral Bimanti Febrilina

090100133

Makalah ini telah diperiksa dan disetujui untuk dilakukan penyuluhan

Medan, 2 September 2013

Supervisor Disetujui PPDS Pembimbing

Dr. Sri Sofyani Sp.A(K) dr. Erlita Wienanda Syarif

3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perubahan pola diet merupakan salah satu penyebab utama tingginya kejadian

konstipasi1. Konstipasi umumnya memberikan gejala berupa rasa cemas sewaktu

defekasi karena nyeri yang dirasakan, nyeri perut berulang, sampai keadaan

penurunan nafsu makan dan gangguan pertumbuhan.2

Konstipasi merupakan masalah yang sering terjadi pada anak3; prevalensinya

diperkirakan 0,3% sampai 8%.2 Menurut Van den Berg MM, prevalensi konstipasi

0,7% sampai 26,9%.4 Pada studi retrospektif oleh Loening-Baucke tahun 2005

didapatkan prevalensi konstipasi pada anak sampai usia 1 tahun mencapai 2,9%

dan meningkat pada tahun kedua, yaitu sekitar 10,1%. 5

Sejumlah 97% kasus konstipasi anak disebabkan oleh konstipasi fungsional

dengan kejadian yang sama antara laki-laki dan perempuan.5 Bekkali NL

mendapatkan usia anak yang menderita konstipasi fungsional dan rectal fecal

impaction (RFI) berkisar antara 4-16 tahun.6

Keluhan konstipasi sering menjadi alasan orang tua membawa anaknya

berobat. Keluhan yang berhubungan dengan konstipasi ditemukan pada 3% anak

yang berobat ke pusat pelayanan primer dan 25% berobat ke spesialis

Gastroenterologi2,3,7,8. Konstipasi tidak dipengaruhi oleh status sosial, ekonomi

dan jumlah anak.7 Konstipasi harus dianggap suatu gejala, bukan diagnosis,

keadaan ini merupakan manifestasi berbagai kelainan atau sebagai akibat

sekunder dari suatu pengobatan.1,7

4

1.2. Tujuan

Tujuan yang diharapkan dapat dicapai dari penyusunan makalah ini adalah

sebagai berikut:

1. Mensosialisasikan kepada pasien dan orang tua pasien di poliklinik Ilmu

Kesehatan Anak konstipasi yang terjadi pada anak.

2. Meningkatkan kesadaran pasien dan orang tua pasien tentang pentingnya

dilakukan identifikasi dini terhadap kemungkinan adanya gangguan sistem

pencernaan dengan adanya gejala konstipasi.

3. Mempererat hubungan antara dokter dengan pasien.

1.3. Manfaat

Manfaat yang dapat diberikan dari pentusunan makalah ini adalah sebagai

berikut:

1. Memberikan informasi kepada masyarakat luas, khususnya orang tua

mengenai cara mengenali dan menghadapi anak-anak dengan konstipasi.

2. Memberikan pengetahuan, wawasan, dan keterampilan kepada penulis

mengenai identifikasi dini dan penanganan anak-anak dengan konstipasi.

5

BAB II

TINJAUAN PUSAKA

2.1 Definisi

Konstipasi berasal dari bahasa Latin, yaitu “constipare” yang berarti

berkerumun.9 Menurut North American Society for Pediatric Gastroenterology

Hepatology and Nutrition (NAPSGAN) 2006, Konstipasi adalah kelambatan atau

kesulitan dalam defekasi yang terjadi dalam 2 minggu atau lebih dan cukup membuat

pasien menderita.10 Konstipasi adalah ketidak mampuan melakukan evakuasi tinja

secara sempurna yang tercermin dalam dari 3 aspek yaitu: berkurangnya frekuensi

berhajat dari biasanya, tinja yang lebih keras dari sebelumnya dan pada palpasi

abdomen teraba massa tinja (skibala) dengan atau tidak disertai enkopresis

(“kecepirit”).11

Untuk praktisnya, seorang anak dikatakan menderita konstipasi apabila ia

tidak berhasil melakukan defekasi dengan kekuatan sendiri, sakit saat berdefekasi atau

telah terjadi inkontinensia akibat penumpukan feses.

Konstipasi kronis didefinisikan sebagai gangguan gastrointestinal yang terdiri

dari feses yang keras, defekasi kurang dari 3x / minggu, ketidakmampuan

mengeluarkan feses yang keras maupun lunak yang berlangsung lebih dari 6 minggu.1

Menurut North American Society of Gastroenterology and Nutrition, konstipasi

didefinisikan dengan kesulitan atau lamanya defekasi, timbul selama 2 minggu atau lebih,

dan menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien. Paris Consensus on Childhood

Constipation Terminology menjelaskan definisi konstipasi sebagai defekasi yang

terganggu selama 8 minggu dengan mengikuti minimal dua gejala sebagai berikut:

defekasi kurang dari 3 kali per minggu, inkontinensia, frekuensi tinja lebih besar dari satu

kali per minggu, massa tinja yang keras yang dapat mengetuk kloset, massa tinja teraba di

abdomen, perilaku menahan defekasi, nyeri saat defekasi. 9

6

Tabel 1. Frekuensi normal defekasi pada anak

Umur Defekasi/ Minggu Defekasi/ Hari

0-3 Bulan

ASI 5-40 2,9

Formula 5-28 2,0

6-12 bulan 5-28 1,8

1-3 tahun 4-21 1,4

>3 tahun 3-14 1,0

2.2 Epidemiologi

Konstipasi sering terjadi pada anak. Loening-Baucke melaporkan prevalensi

konstipasi pada anak usia 4 sampai 17 tahun adalah 22,6%10 sedangkan untuk usia di

bawah 4 tahun hanya memiliki prevalensi kejadian konstipasi sebesar 16%.11 Pada

studi longitudinal, Saps dkk melaporkan 16% anak usia 9 sampai 11 tahun menderita

konstipasi. Konstipasi yang tersering adalah konstipasi fungsional. Didapati 90%

sampai 97% kasus konstipasi yang terjadi pada anak merupakan suatu konstipasi

fungsional.12,6,13

2.3 Patogenesis

Ada beberapa faktor penyebab yang dijumpai untuk terjadinya konstipasi.

Penyebab terjadinya konstipasi dapat dibedakan berdasarkan struktur atau gangguan

motilitas dan fungsi atau gangguan bentuk pelvik. Gangguan motilitas dapat

disebabkan oleh nutrisi tidak adekuat, motilitas kolon melemah, dan faktor psikiatri.

Gangguan bentuk pelvik dapat berupa fungsi pelvik dan sfingter melemah, obstruksi

pelvik, prolapsus rektum, enterokel, intususepsi rektum, dan rektokel.8

2.4 Istilah-istilah mengenai Konstipasi

Menurut kriteria Paris Consensus on Childhood Constipation Terminology

(PaCCT), ada beberapa istilah yang berhubungan dengan konstipasi yaitu, sebagai

berikut :

1. Konstipasi kronik14

7

Dalam 8 minggu memenuhi dua atau lebih dari kriteria berikut :frekuensi

defekasi kurang dari 3 kali per minggu, lebih dari satu kali episode

inkontinensia feses per minggu, tinja yang banyak di rektum atau abdomen

dan teraba pada pemeriksaan fisik, feses yang melewati rektum terlalu banyak

sehingga dapat menyebabkan obstruksi di kloset, perilaku menahan defekasi,

dan nyeri defekasi.

2. Inkontinensia fekal yaitu aliran feses pada tempat yang tidak seharusnya.

3. Inkontinensia fekal organik yaitu inkotinensia fekal yang didapat dari kelainan

organik.

4. Inkontinensia fekal fungsional yaitu inkontinensia fekal yang didapat dari

penyakit non organik, dapat berupa konstipasi yang berhubungan dengan

inkontinensia fekal, dan inkontinensia fekal non retensi.

5. Konstipasi berhubungan dengan inkontinensia fekal yaitu inkontinensia fekal

fungsional yang berhubungan dengan kehadiran konstipasi.

6. Fekal inkontinensia non retensi yaitu aliran feses tidak sesuai tempat, terjadi

pada anak usia empat tahun atau lebih tanpa ada riwayat dan gejala klinis

konstipasi.

7. Feses keras yaitu massa feses mengeras dan membatu pada rektum atau

abdomen yang tak dapat bergerak. Massa feses dapat terlihat dan dipalpasi di

abdomen.

8. Disinergi pelvik yaitu ketidakmampuan pelvik relaksasi ketika defekasi.

2.5 Patofisiologi

Proses normal defekasi diawali dengan teregangnya dinding rektum.

Regangan tersebut menimbulkan refleks relaksasi dari sfingter anus interna yang akan

direspon dengan kontraksi sfingter anus eksterna. Saat proses defekasi, sfingter anus

eksterna dan muskulus puborektalis mengadakan relaksasi sedemikian rupa sehingga

sudut antara kanal anus dan rektum terbuka, membentuk jalan lurus bagi tinja untuk

keluar melalui anus. Kemudian dengan mengedan, yaitu meningkatnya tekanan

abdomen dan kontraksi rektum, akan mendorong tinja keluar melalui anus.4,6

Pada posisi jongkok, sudut antara anus dan rektum ini akan menjadi lurus

akibat fleksi maksimal dari paha. Hal ini akan memudahkan proses defekasi dan tidak

memerlukan tenaga mengedan yang kuat. Pada posisi duduk, sudut antara anus dan

rektum ini menjadi tidak cukup lurus sehingga membutuhkan tenaga mengedan yang

8

lebih kuat. Akibat semakin kuat tenaga mengedan yang dibutuhkan, lama - kelamaan

dapat menimbulkan kerusakan pada daerah rektoanal yang dapat menimbulkan

konstipasi dan hemorrhoid.4,6

Keuntungan posisi jongkok dibandingkan posisi duduk yaitu15

1. Posisi jongkok memanfaatkan gravitasi di mana berat tubuh yang ditopang

paha memudahkan kompresi kolon sehingga mengurangi ketegangan saat

defekasi. Defekasi menjadi lebih cepat, lebih mudah, dan lancar.4,6

2. Posisi jongkok mencegah kontaminasi pada usus halus akibat kebocoran pada

katup ileosekal

3. Posisi jongkok mengangkat kolon sigmoid untuk mengurangi kekakuan di

pintu masuk rektum.

4. Posisi jongkok melindungi saraf yang mengontrol prostat, kandung kemih, dan

uterus.

Gambar 1. Anatomi daerah anorektal

2.6 Diagnosis

Langkah pertama yang penting dilakukan adalah menyingkirkan kemungkinan

pseudokonstipasi. Pseudokonstipasi merujuk pada keluhan orang tua bahwa anaknya

menderita konstipasi padahal tidak ada konstipasi. Pada anamnesis perlu ditanyakan

mengenai konsistensi tinja dan frekuensi defekasi. Pada pemeriksaan fisik, palpasi

abdomen yang cermat dan colok dubur perlu dilakukan. Banyak orangtua mengeluh

9

bayinya sering menggeliat, wajahnya memerah dan tampak mengejan kesakitan waktu

berhajat, semua itu normal dan bukan pertanda adanya konstipasi. Bila tinja anak

lunak dan pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan, maka tidak ada konstipasi

walau berapa kalipun frekuensi defekasi. Bila memang terdapat konstipasi, langkah

pertama yang dilakukan adalah membedakan apakah konstipasi berlangsung akut atau

kronis.Dikatakan konstipasi akut bila keluhan berlangsung kurang dari 1-4 minggu

dan konstipasi kronis bila keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan. 11,16

Sedangkan menurut Croffie, konstipasi kronis adalah bila keluhan konstipasi

lebih dari 8 minggu.2 Konstipasi kronis biasanya fungsional, tetapi perlu

dipertimbangkan adanya penyakit Hirschprung karena berpotensi menimbulkan

komplikasi yang serius.8,11

Petunjuk penting lain dalam diagnosis banding adalah umur pada saat awitan

gejala timbul. Bila dalam anamnesis didapatkan bahwa gejala timbul saat lahir,

kemungkinan penyebab ana-tomis seperti Hirschprung harus dipikirkan. Bila awitan

gejala timbul pada saat usia toilet training (>2 tahun) kemungkinan besar

penyebabnya fungsional.

Adanya demam, perut kembung, anoreksia, mual, muntah, penurunan berat

badan atau berat badan sulit naik mungkin merupakan gejala gangguan organik. Diare

berdarah pada bayi dengan riwayat konstipasi dapat merupakan enterokolitis akibat

komplikasi Hirschprung. Walaupun lebih dari 95% konstipasi pada anak tergolong

fungsional, pada beberapa anak etiologinya mungkin multifaktorial. Bila terapi logis

tidak efektif atau bila konstipasi terjadi pada masa neonatus atau bayi, eksplorasi

untuk mencari penyebab lain harus dilakukan.11,16

Pada umumnya, gejala klinis dari konstipasi adalah frekuensi defekasi kurang dari

3 kali per minggu, feses keras dan kesulitan untuk defekasi. Anak sering

menunjukkan perilaku tersendiri untuk menghindari proses defekasi. Pada bayi, nyeri

ketika akan defekasi ditunjukkan dengan menarik lengan dan menekan anus dan otot-

otot bokong untuk mencegah pengeluaran feses. Balita menunjukkan perilaku

menahan defekasi dengan menaikkan ke atas ibu jari-ibu jari dan mengeraskan

10

bokongnya. Sesuai dengan Kriteria Rome III, diagnosis konstipasi fungsional

berdasarkan beberapa kriteria. Kriteria diagnostik harus memenuhi dua atau lebih dari

kriteria di bawah ini, dengan usia minimal 4 tahun:16

1. Kurang atau sama dengan 2 kali defekasi per minggu.

2. Minimal satu episode inkontinensia per minggu.

3. Riwayat retensi tinja yang berlebihan.

4. Riwayat nyeri atau susah untuk defekasi.

5. Teraba massa fekal yang besar di rektum.

6. Riwayat tinja yang besar sampai dapat menghambat kloset.

Kriteria dipenuhi sedikitnya 1 kali dalam seminggu dan minimal terjadi 2 bulan

sebelum diagnosis.

2.7 Gejala Klinis

Pada anamnesis, didapatkan riwayat berkurangmya frekuensi defekasi.

Dengan terjadinya retensi feses, gejala dan tanda lain konstipasi berangsur muncul

seperti nyeri dan distensi abdomen, yang sering hilang setelah defekasi. Riwayat feses

yang keras dan feses yang sangat besar yang mungkin menyumbat saluran toilet.

“Kecepirit” (enkopresis) di antara feses yang keras sering salah didiagnosis sebagai

diare.16 Bristol stool chart adalah tabel yang menunjukkan ukuran kepadatan tinja

dari yang terpadat (tipe 1) hingga tercair (tipe7). Tabel ini dibuat oleh Universitas

Bristol di Inggris, yang dapat dipakai untuk deteksi konstipasi.17

Anak yang mengalami konstipasi biasanya mengalami anoreksia dan

kurangnya kenaikan berat badan, yang akan membaik jika konstipasinya diobati.

Berbagai posisi

tubuh, menyilangkan kedua kaki, menarik kaki kanan dan kiri secara bergantian ke

depan dan belakang (seperti berdansa) merupakan manuver menahan feses dan

kadang kala perilaku tersebut menyerupai kejang.16 Inkontinensia urin dan infeksi

saluran kemih seringkali berkaitan dengan konstipasi pada anak. Jika feses berada

lama di rektum, lebih banyak bakteri berkolonisasi di perineum sehingga akan

meningkatkan risiko infeksi saluaran kemih.3,16

Pada pemeriksaan fisik didapatkan distensi abdomen dengan bising usus

normal, meningkat atau berkurang. Massa abdomen teraba pada palpasi abdomen kiri

11

dan kanan bawah dan daerah suprapubis. Pada kasus berat, massa tinja kadang dapat

teraba di daerah epigastrium. Fisura ani serta ampula rekti yang besar dan lebar

merupakan tanda penting pada konstipasi.16

2.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis konstipasi

dan mencari penyebabnya. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:

Pengukuran kadar tiroksin dan Thyroid Stimulating Hormon (TSH) untuk

menyingkirkan hipotiroid,

Tes serologi (antiend-omysial/ antigliadin antibody) untuk menyingkirkan

Celiac disease,

Pemeriksaan foto polos abdomen untuk melihat kaliber kolon dan massa tinja

dalam kolon (pemeriksaan ini dilakukan bila pemeriksaan colok dubur tidak

dapat dilakukan atau pada pemeriksaan colok dubur tidak teraba adanya

distensi rektum oleh massa tinja),

Barium enema untuk screening penyakit Hirchsprung

Manometri anorektal untuk mendiagnosis Hirschprung disease atau akalasia

anal, dengan karakteristik tidak ada relaksasi sfingter ani interna pada rektum

yang distensi (pemeriksaan ini juga dapat memberikan informasi sensasi

rektum, sfi ngter ani pada saat intirahat dan sewaktu defekasi, apakah normal

atau anismus),

Biopsi rektum untuk mendiagnosis Hirschprung disease,

Pemeriksaan transit marker radioopaque untuk mendiagnosis inersia kolon

atau abnormalitas transit pada kolon,

Manometer kolon untuk menilai motilitas kolon,

Pemeriksaan lain untuk mencari penyebab organik lain adalah ultrasonografi

abdomen dan MRI. 2,3,8

2.9 Faktor Resiko

Pengenalan dini faktor-faktor risiko pencetus konstipasi dapat membantu untuk

mencegah konstipasi itu sendiri. Pengembangan faktor-faktor risiko yang dapat mencetus

konstipasi mencakup berbagai segi studi penelitian.

Tabel 2. Faktor resiko konstipasi pada anak

12

Faktor Resiko Konstipasi pada Anak

A. Jenis kelamin

B. Tingkat pergerakan

C. Asupan serat harian

D. Asupan cairan harian

E. Penggunaan kamar mandi

F. Kondisi fisiologis:

1. Gangguan metabolik

2. Gangguan bentuk panggul

3. Gangguan neuromuskular

4. Gangguan endokrin

5. Gangguan abdominal

6. Kolorektal

G. Kondisi psikologis:

1. Gangguan psikiatri

2. Gangguan belajar atau demensia

H. Medikasi:

1. Anti emetik:

2. Obat-obatan penghambat saluran kalsium

3. Suplemen besi

4. Analgetik: analgetik non-opioid, opioid

5. Antikolinergik: anti kejang, anti depresi, anti Parkinson, anti spasmodik

6. Kemoterapi sitotoksik: agen sitotoksik, agen alkaloid Vinca

2.10 Diagnosis Banding

Diagnosis banding konstipasi dijabarkan pada tabel dibawah ini

Tabel 3. Diagnosis banding konstipasi

Nonorganic

Developmental

Cognitive handicaps

Attention deficit disorders

Situational

Anterior displaced anus

Pelvic mass (sacral

teratoma)

Metabolic and

gastrointestinal

Abnormal abdominal

musculature

Prune belly

Gastroschisis

Down syndrome

13

Coercive toilet training

Toilet phobia

School bathroom

avoidance

Excessive parental

interventions

Sexual abuse

Other

Depression

Constitutional

Colonic inertia

Genetic predisposition

Reduced stool volume and

dryness

Low fi ber in diet

Dehydration

Underfeeding or

malnutrition

Organic

Anatomic malformations

Imperforate anus

Anal stenosis

Hypothyroidism

Hypercalcemia

Hypokalemia

Cystic fi brosis

Diabetes mellitus

Multiple endocrine

neoplasia

type 2B

Gluten enteropathy

Neuropathic conditions

Spinal cord abnormalities

Spinal cord trauma

Neurofi bromatosis

Static encephalopathy

Tethered cord

Intestinal nerve or

muscle

disorders

Hirschsprung disease

Intestinal neuronal

dysplasia

Visceral myopathies

Visceral neuropathies

Connective tissue

disorders

Scleroderma

Systemic lupus

erythematosus

EhlersYDanlos syndrome

Drugs

Opiates

Phenobarbital

Sucralfate

Antacids

Antihypertensives

Anticholinergics

Antidepressants

Sympathomimetics

Other

Heavy-metal ingestion

(lead)

Vitamin D intoxifi cation

Botulism

Cow’s milk protein

intolerance

2.11 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan konstipasi fungsional melibatkan faktor non farmakologi dan

faktor farmakologi. Prinsip penanganan konstipasi fungsional adalah menentukan

adanya akumulasi feses (fecal impaction), evakuasi feses (disimpaction), pencegahan

berulangnya akumulasi feses dan menjaga pola defekasi menjadi teratur dengan terapi

rumatan oral, edukasi kepada orangtua dan evaluasi hasil terapi.5,9,11 Penjelasan

kepada orang tua tentang lamanya tatalaksana konstipasi fungsional dan meyakin-kan

orangtua dan pasien bahwa tidak ada solusi cepat pada kondisi seperti ini.18 Secara

umum tatalaksana konstipasi fungsional meliputi:

14

1. Evakuasi tinja

Evakuasi tinja adalah proses yang dilakukan untuk mengeluarkan massa tinja

atau skibala yang teraba pada pada palpasi regio abdomen bawah. Evakuasi

skibala ini perlu dilakukan sebelum terapi rumatan. Evakuasi tinja dapat

dilakukan dengan obat oral atau rektal.4,19-21 NASPGHAN lebih

menganjurkan evakuasi peroral dibandingkan perrektal karena kurang invasif

dan traumatik.16 Program evakuasi feses biasanya dilakukan selama 2-5 hari

sampai terjadi evakuasi tinja secara lengkap atau sempurna. Bila menggunakan

obat peroral, dapat digunakan mineral oil (paraffin liquid) dengan dosis 15-30

ml/tahun umur (maksimal 240 mL/hari) kecuali pada bayi. Larutan Polietilen

glikol (PEG) 20 mL/kgBB/jam (maksimum 1000 ml/jam) diberikan dengan

slang nasogastrik selama 4 jam/hari. Evakuasi tinja dengan obat perrektal dapat

menggunakan enema fosfat hipertonik (3mL/ kgBB, 2 kali sehari, maksimum 6

kali enema), enema garam fisiologis (600-1000 mL), atau 120 mL mineral oil.

Pada bayi, digunakan supositoria atau enema gliserin 2-5 mL.18

Tabel 3. Anjuran obat yang diberikan untuk evakuasi tinja pada anak

Obat-obatan

1. Bayi ( di bawah 1 tahun)

Gliserin supositoria

Enema: 6 ml/kgBB, maksimal 135 ml

2. Anak – anak ( di atas 1 tahun)

Evakuasi tinja secara cepat

Enema: 6 ml/kg (maksimal 135 ml) setiap 12 sampai 24 jam 1-3 kali

Minyak mineral

Fosfat

Pengobatan kombinasi: enema,supositoria, dan pencahar

Hari 1: enema setiap 12 sampai 24 jam

Hari 2: Bisakodil supositoria (10 mg) setiap 12 sampai 24 jam

Hari 3: Bisakodil tablet setiap 12 sampai 24 jam

PEG secara oral atau NGT: 25 ml/kgBB/jam (maksimal 1000 ml/jam) selama 4

jam perhari

15

Evakuasi tinja secara lebih lambat

Minyak mineral secara oral: 15 sampai 30 ml/tahun usia/hari untuk 3 atau 4

hari

Senna oral: 15 ml setiap 12 jam untuk 3 dosis

Magnesium sitrat (maksimal 300 ml)

2. Terapi Rumatan

Segera setelah berhasil melakukan evakuasi tinja, terapi ditujukan untuk

mencegah kekambuhan. Terapi rumatan meliputi intervensi diet, modifikasi

perilaku, edukasi pada orang tua, konsultasi dan pemberian obat- obatan untuk

menjamin interval defekasi yang normal dengan evakuasi tinja yang

sempurna.4,23-25

Terapi rumatan mungkin diperlukan selama beberapa bulan. Bila defekasi telah

normal, terapi rumatan dapat dikurangi untuk kemudian dihentikan.

Pengamatan perlu dilakukan karena angka kekambuhan tinggi, dan pada

pengamatan jangka panjang banyak anak yang masih memerlukan terapi

rumatan sampai dewasa.

Terapi rumatan dilakukan dalam jangka waktu lebih lama yaitu beberapa bulan

bahkan tahun, untuk mencegah berulangnya konstipasi. Aspek penting dari

terapi rumatan jangka panjang adalah membentuk kebiasaan defekasi yang

teratur. Beberapa cara untuk metoda ini antara lain modifi kasi perilaku,

pemberian diet serat, laksatif dan pendekatan psikologis.16 Anak dianjurkan

untuk banyak minum dan mengonsumsi karbohidrat dan serat. Buah-buahan

seperti pepaya, semangka, bengkuang dan melon banyak mengandung serat

dan air sehingga dapat digunakan untuk melunakkan tinja. Serat dan sorbitol

banyak terkandung di dalam buah prune, pear dan apel, sehingga dapat

dikomsumsi dalam bentuk jus untuk meningkatkan frekuensi defekasi dan

melunakkan tinja.11,19-21

Jumlah serat yang dianjurkan dikonsumsi oleh anak adalah 19-25 gram/hari.

Pada kasus konstipasi dianjurkan untuk mengonsumsi serat 25-38 gram

sehari.19 Komponen penting dalam terapi rumatan adalah modifikasi perilaku

dan toilet training. Segera setelah makan pagi dan malam, anak dianjurkan

untuk buang air besar. Tidak perlu terlalu terburu-buru, yang akan membuat

16

anak semakin tertekan, tetapi berilah waktu 10-15 menit bagi anak untuk buang

air besar.11

Toilet training akan mengembangkan reflek gastrokolik bila melakukan secara

teratur, dan se-lanjutnya akan membangkitkan refl eks defekasi.11,16 Sebagian

besar anak telah memulai toilet training pada usia 18 bulan hingga 3 tahun.16

Kebiasaan ibu merupakan faktor yang berhubungan langsung dengan toilet

training pada anak sehingga dapat menyebabkan konstipasi fungsional.22

Selain toilet training, latihan dan aktivitas fisik secara teratur membantu

melatih otot-otot yang mengatur defekasi. Aktivitas fisik juga berguna untuk

memperbaiki gerakan usus yang teratur sehingga membantu feses melewati

anus. Monitor terhadap pola defekasi dan penggunaan obat serta efek samping

dapat didapat dari catatan harian yang dibuat oleh orang tua. Salah satu cara

untuk tetap menjaga kepatuhan terapi adalah menstimulasi anak yang telah

berhasil dalam kegiatan ini dengan pemberian hadiah.11,16

Penambahan asam palmitat, prebiotik oligosakarida dan whey protein yang

terhidrolisa sebagian dapat menyebabkan feses menjadi lunak pada anak

konstipasi, tetapi tidak terdapat perbedaan frekuensi defekasi23. Probiotik

dapat meningkatkan pro-fermentasi karbohidrat, sehingga dapat dipakai untuk

penanganan konstipasi.24 Pemberian Bifi dobacterium lactis 6 x 109 CFU 2 x

sehari efektif meningkatkan frekuensi defekasi pada anak dengan konstipasi

setelah 3 minggu pemberian.25

Suplementasi Lactobacillus reuteri 1 x 108 per hari selama 30 hari dalam

meningkatkan toleransi makan dan fungsi usus pada bayi baru lahir. Mikrofl

ora usus berperan dalam perkembangan dan pemeliharaan fungsi sensorik dan

motorik saluran cerna dengan pelepasan substansi bakteri, produk fermentasi

dan faktor neuroendokrin usus, dan melalui pengaruh mediator yang dilepaskan

oleh sistem kekebalan gastrointestinal, sehingga dapat mencegah terjadinya

konstipasi.26Sedangkan pemberian Lactobacillus casei rham-nosus 8 x 108

selama 4 minggu efektif untuk mengobati konstipasi kronik.27

17

Obat umumnya masih diperlukan dalam terapi rumatan. Laktulosa (larutan

70%) dapat diberi-kan dengan dosis 1-3 mL/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian

Sorbitol (larutan 70%) dapat diberikan dengan dosis 1-3 mL/ kgBB/hari dalam

2 x pemberian. Mineral oil(paraffin liquid) diberikan dengan dosis 1-3

mL/kgBB/hari, tetapi tidak dianjurkan untuk anak di bawah 1 tahun. Larutan

magnesium hidroksida (400 mg/5 mL) diberikan 1-3 mL/ kgBB/hari, tetapi

tidak diberikan kepada bayi dan anak yang menderita gangguan ginjal. Bila

respons terapi belum memadai, mungkin perlu ditambahkan cisapride dengan

dosis 0,2 mg/kgBB/kali untuk 3-4 x/hari selama 4-5 minggu. Terapi rumatan

mungkin diperlukan beberapa bulan. Bila defekasi telah normal, terapi rumatan

dapat dikurangi untuk kemudian dihentikan.11

Efektivitas enema dan polietilen glikol (PEG) 15 g/kgBB/hari selama 6 hari

sama dalam mengatasi RFI pada anak yang berusia 4-16 tahun yang menderita

konstipasi fungsional dan RFI.6 Sebuah metaanalisis yang dilaporkan Candy D

bahwa PEG lebih efektif dan ditoleransi dengan baik dibandingkan dengan

laktulosa, susu magnesium dan plasebo dan biasanya dipakai sebagai terapi

awal untuk kasus konstipasi pada anak.28

Tabel 3. Anjuran obat yang diberikan untuk terapi rumatan

Obat-obatan

Lubrikan: minyak mineral: 1 sampai 3 ml/kgBB/hari

Laksatif osmotik:

Laktulosa

Mg hidroksida (konsentrasi 400 mg/5ml) 1 sampai 3 ml/kgBB/hari dosis

terbagi

Mg hidroksida (konsentrasi 800 mg/5ml) 0,5 ml/kgBB/hari dosis terbagi

PEG (17 gr/240 ml air) 1 gr/kgBB/hari dosis terbagi

Sorbitol: 1 sampai 3 ml/kgBB/hari dosis terbagi

Laksatif stimulan:

Sirup senna

Bisakodil tablet: 1 sampai 3 tab/hari

18

Pemberian melalui rektal:

Gliserin supositoria

Bisakodil supositoria

2.12 Prognosis

Konstipasi biasanya remisi 60-90% setelah pengobatan selama 1 tahun. Bila

onset awal konstipasi (<1 tahun) dan terdapat riwayat keluarga yang menderita

konstipasi, maka dapat diperkirakan gejala konstipasi ini persisten.9

2.13 Komplikasi

Nyeri perut atau rektum dan enkoporesis merupakan komplikasi primer

konstipasi pada anak. Eneuresis dilaporkan terjadi pada lebih dari 40% anak dengan

enkopresis. Pada beberapa kasus, eneuresis menghilang bila massa tinja dievakuasi

sehingga memungkinkan kandung kemih mengembang. Komplikasi urologis penting

lainnya adalah dilatasi kolon distal, sehingga berperan dalam meningkatkan frekuensi

infeksi saluran kemih dan obstruksi ureter kiri. Dilatasi kolon distal dapat mengurangi

tonus kolon yang menyebabkan terjadinya invaginasi, yang dapat bermanifestasi

sebagai prolaps rekti setelah defekasi. Prolaps kolon ringan tetapi ber-langsung lama

akan menciptakan suatu ulkus iskemik pada dinding mukosa rektum (ulkus soliter)

yang secara klinis tampak sebagai tinja yang berlendir dan berdarah apa pun

konsistensi tinjanya. Iritasi difus pada kolon akibat tinja yang amat keras bahkan

dapat menyebabkan protein-losing enteropathy. Sindrom stasis terutama terlihat pada

pseudo-obstruksi. Stigma sosial sering ”buang gas” dan ”kecepirit” yang

menimbulkan bau tidak sedap dapat memengaruhi psikologis anak. Sebagian anak

dengan enkoperesis kronik akan menyangkal bila ditanya tentang masalah

enkoperesisnya dan bahkan sering menyembunyikan celana dalamnya yang kena

”kecepirit”.3,16

BAB III

19

KESIMPULAN

Konstipasi adalah masalah yang sering terjadi pada anak. Riwayat penyakit

dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk menegakkan diagnosis konstipasi.

Penyebab tersering konstipasi pada anak adalah fungsional konstipasi. Seorang anak

dikatakan menderita konstipasi apabila ia tidak berhasil melakukan defekasi dengan

kekuatan sendiri, sakit saat berdefekasi atau telah terjadi inkontinensia akibat

penumpukan feses. Konstipasi kronis didefinisikan sebagai gangguan gastrointestinal

yang terdiri dari feses yang keras, defekasi kurang dari 3x / minggu, ketidakmampuan

mengeluarkan feses yang keras maupun lunak yang berlangsung lebih dari 6 minggu.

Prinsip penanganan konstipasi fungsional adalah menentukan adanya

akumulasi feses (fecal impaction), evakuasi feses (disimpaction), pencegahan

berulangnya akumulasi feses dan menjaga pola defekasi menjadi teratur dengan terapi

rumatan oral, edukasi kepada orangtua dan evaluasi hasil terapi

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Rubiana, Suraatmaja S. Konstipasi. Dalam: Suraatmaja S, Ed. Gastroenterologi

anak. Jakarta:Sagung Seto,2007;p.170-87

2. Croffi e JM, Fitzgerald JF. Constipation and irritable bowel syndrome. In:

Liacouras CA, Piccoli DA. Pediatric gastroenterology. Philadelphia: Mosby

Elsevier, 2008; p.30-40.

3. Baucke VL. Constipation and encopresis. In: Wyllie R,Hyams JS,Kay M,Eds.

Pediatric Gastrointestinal and liver disease; 3th ed. USA: Saunders

elseivier,2006; p.177-89.

4. Van den Berg MM, Beningga MA, Di Lorenzo C. Epidemiology of childhood

constipation: systematic review. Am J Gastroenterol. 2006;101 (10):2401-9.

5. Loening-Baucke, V. Prevalence, symptoms and out come of constipation in infants

and toddlers. J Pediatr.2005; 146(3):359-63

6. Bekkali NL, Berg MM, Dijkgraaf MG, Wijk MP, Bongers ME, Liem O, et al.

Rectal fecal impaction treatment in childhood constipation: enemas versus

high doses oral PEG. Diakses dari www.pediatrics.org

7. Lorenzo CD. Pendekatan pada anak dengan konstipasi dan enkopresis.Dalam:

Rudolph AM, Hoff man JI, Rudolph CD. Eds. Alih bahasa: Wahab AS. Buku

ajar pediatri Rudolph. Jakarta:EGC,2006; 20(2): p.1147-49.

8. Ravelli AM. Constipation.In:GuandaliniS.Essentialpediatric gastroenterology,

hepatology, and nutrition. New York: McGraw-Hill.2005. p.69-75.

9. Rahhal R. Functional constipation. In: Kleinman RE, Goulet OJ, Vergani GM,

Snderson IR, Sherman P, Shneider BL. Pediatric gastrointestinal disease; 5th

ed. Vol.1. Hamilton: BC Decker,2008; p.675-81.

21

10. Clinical Practice Guideline Evaluation and Treatment of Constipation in Infants

and Children: Recommendations of the North American Society for Pediatric

Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. JPGN. 2006;43(3):1-12.

11. Firmansyah A. Konstipasi pada anak. Dalam: Juff rie M, Soenarto SS, Oswari H,

Arief S, Rosalina I, Mulyani NS. Eds. Gastroenterologi-

Hepatologi.Jakarta:IDAI;2010,p.201-13.

12. Khanna V, Poddar U, Yachha SK. Etiology and Clinical Spectrum of Constipation

in India chillden. J Indian Pediatric. 2010. p.1-5.

13. Kadim M. Konstipasi Fungsional pada anak. Dalam: Lubis B, Ali M, Yanni GN,

Trisnawati Y, Ramayani OR, Irsa L, ed al. Kumpulan Naskah Lengkap PIT IV

IKA Medan 2010. Medan: USU; 2010.h.635-8.

14. Persayarafan defekasi. Diakses dari http:// Defecation_refl ex.png.

15. Defekasi normal dan konstipasi kronik. Diakses dari http:// Defecation_reflex.png.

16. Damayanti W. Konstipasi pada anak. Dalam: Lubis B, Ali M, Yanni GN,

Trisnawati Y, Ramayani OR, Irsa L, ed al. Kumpulan Naskah Lengkap PIT IV

IKA Medan 2010. Medan: USU; 2010.h.656-65.

17. Bristol stool chart. Diakses dari www Bristole chart.com. 2 Mei 2012.

18. Tobias N, Mason D, Lutkenhoff M,Stoops M, Ferguson D. Management principle

of organic causes of childhood constipation. J Pediat Health Care. 2008;22:12-

23.

19. Mahan LK, Stump SE. Krause’ Food & Nutrition Therapy. 12 th ed. Canada:

Saunders Elsevier,2008; p.676-79.

20. Nix S. Williams’Basic Nutrition & Diet Therapy. 13 th ed. Canada: Mosby

Elsevier. p.338. .

22

21. Liem O, Lorenzo CD, Taminiau JA, Mousa HM, Benninga MA. Current treatment

of childhood constipation. Ann Nestle (Engl). 2007.p.73-8.

22. Farnam A, Rafeey M, Farhang S, Khodjastejafari S. Functional constipation in

children: does maternal personality matter? Italian J. Pediat. 2009. p.1-4.

23. Bongers ME, Lorijn F, Reitsma JB, Groeneweg M, Taminiau JA, Benninga MA.

The clinical eff ect of a new infant formula in term infants with constipation: a

double-blind, randomized crossover trial. Nutrition J.2007. p.1-7

24. Sudarmo. Probiotik pada anak sehat dan sakit. Dalam: Hot topics in pediatrics,

continuiting education ilmu kesehatan anak xxxv. Surabaya, 3-4 juli 2005. 1-

17

25. Tabbers MM, Chmielewska A, Roseboom MG, Boudet C, Perrin C, Szajewska H,

et al. Eff ect of the consumption of a fermented dairy product containing Bifi

dobacterium lactis DN-173 010 on constipation in childhood: a multicentre

randomised controlled trial (NTRTC: 1571). BMC Pediatrics 2009; 9:22

26. Indrio F, Riezzo G, Raimondi F, Bisceglia M, Cavallo L, Francavilla R. The eff

ects of probiotics on feeding tolerance, bowel habits and gastrointestinal

motility in preterm newborns. J Pediatric 2008;152:801-6.

27. Nanbu L, Chang MH, Hsuanni Y, Chen LH, Cheng CC. Lactobacillus casei

rhamnosus Lcr35 in children with chronic constipation. Pediatrics

International 2007;49:485–90.

28. Candy D, Belsey J. Macrogol (polyethylene glycol) laxatives in children with

functional constipation and faecal impaction: a systematic review. BMJ

Journal.2008.p156-60.