Penyakit Pada Kantong Empedu

18
Penyakit pada Kandung Empedu: Pembaruan dalam Diagnosis dan Penatalaksanaan David P. Vogt, MD ABSTRAK Tulisan ini membahas mengenai gambaran klinis penyakit batu empedu, kolesistitis akalkulus, diskinesia biliaris, dan kanker kandung empedu, serta bagaimana menggunakan metode diagnostik dan penatalaksanaan terkini sebaik mungkin, terutama ultrasonografi, cholescintigraphy, kolesistektomi laparoskopik, dan endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP). Untuk sebagian pasien dengan gejala penyakit kandung empedu yang akut atau menetap, teknik diagnostik dan terapi yang ada saat ini memberikan hasil yang sebanding atau bahkan lebih baik dibandingkan dengan metode yang sebelumnya, lebih tidak invasif, dan memerlukan waktu pemulihan yang lebih cepat. Tulisan ini membahas mengenai cara evaluasi dan penatalaksanaan terhadap batu kandung empedu, batu pada saluran empedu, diskinesia biliaris, polip kandung empedu, dan kanker kandung empedu. KOLELITIASIS (BATU EMPEDU) Sekitar 20 juta penduduk di Amerika Serikat (10-15% populasi dewasa) mengalami penyakit batu empedu, dan insidennya meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Kurang dari 50% pasien dengan batu empedu menunjukkan gejala, dan kurang dari 10% mengalami komplikasi yang dapat mengancam nyawa. Gambaran klinis kolelitiasis

Transcript of Penyakit Pada Kantong Empedu

Page 1: Penyakit Pada Kantong Empedu

Penyakit pada Kandung Empedu: Pembaruan dalam Diagnosis dan Penatalaksanaan

David P. Vogt, MD

ABSTRAK

Tulisan ini membahas mengenai gambaran klinis penyakit batu empedu, kolesistitis

akalkulus, diskinesia biliaris, dan kanker kandung empedu, serta bagaimana menggunakan

metode diagnostik dan penatalaksanaan terkini sebaik mungkin, terutama ultrasonografi,

cholescintigraphy, kolesistektomi laparoskopik, dan endoscopic retrograde

cholangiopancreatography (ERCP).

Untuk sebagian pasien dengan gejala penyakit kandung empedu yang akut atau menetap,

teknik diagnostik dan terapi yang ada saat ini memberikan hasil yang sebanding atau bahkan

lebih baik dibandingkan dengan metode yang sebelumnya, lebih tidak invasif, dan

memerlukan waktu pemulihan yang lebih cepat.

Tulisan ini membahas mengenai cara evaluasi dan penatalaksanaan terhadap batu

kandung empedu, batu pada saluran empedu, diskinesia biliaris, polip kandung empedu, dan

kanker kandung empedu.

KOLELITIASIS (BATU EMPEDU)

Sekitar 20 juta penduduk di Amerika Serikat (10-15% populasi dewasa) mengalami penyakit

batu empedu, dan insidennya meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Kurang dari 50%

pasien dengan batu empedu menunjukkan gejala, dan kurang dari 10% mengalami

komplikasi yang dapat mengancam nyawa.

Gambaran klinis kolelitiasis

Kolik bilier. Sebanyak 60-70% pasien dengan kolelitiasis yang simtomatik mengalami

episode kolik bilier, yang dideskripsikan sebagai nyeri pada daerah epigastrium atau kuadran

kanan atas yang dirasakan setelah makan, dapat menyebar ke punggung bahkan sampai ke

bahu kanan. Nyeri tersebut dapat dirasakan selama beberapa menit sampai beberapa jam.

Nyeri yang hebat sering disertai dengan rasa mual dan muntah.

Sebagian pasien juga mengeluh adanya perut kembung, dispepsia, dan bersendawa,

namun apabila gejala tersebut tidak berkaitan dengan kolik bilier, gejala tidak akan membaik

setelah dilakukan tindakan kolesistektomi.Pemeriksaan fisik dapat menemukan adanya nyeri

tekan yang ringan pada daerah epigastrium atau kuadran kanan atas, namun sebagian besar

pasien tidak menunjukkan penemuan klinis yang signifikan.

Page 2: Penyakit Pada Kantong Empedu

Nyeri pada kolik bilier disebabkan oleh kontraksi kandung empedu, yang tidak dapat

mengosongkan isinya karena duktus sistikus tersumbat oleh batu. Kandung empedu

distimulasi untuk berkontraksi terutama oleh kolesistokinin, yang dihasilkan dari mukosa

duodenum. Nyeri akan menghilang setelah kandung empedu berhenti berkontraksi atau saat

duktus sistikus menjadi paten kembali.

Kolesistitis akut merupakan gejala awal batu empedu yang simtomatik pada 15-20% pasien.

Pasien dengan kolesistitis akut akan mengalami nyeri berat yang dirasakan selama beberapa

jam, sampai akhirnya mereka datang ke unit gawat darurat untuk mencari pertolongan.

Pada kolik bilier, obstruksi pada duktus sistikus hanya bersifat sementara, sedangkan

pada kolesistitis obstruksinya bersifat menetap. Obstruksi duktus sistikus yang persisten,

disertai dengan adanya iritan kimiawi pada empedu, akan menyebabkan terjadinya inflamasi

dan edema pada dinding kandung empedu. Keluhan mual dan muntah sering ditemukan.

Pada pemeriksaan fisik umumnya ditemukan nyeri tekan yang jelas pada kuadran kanan

atas, yang sering berhubungan dengan adanya massa atau rasa penuh. Palpasi pada kuadran

kanan atas pada saat inspirasi akan menyebabkan rasa tidak nyaman yang menyebabkan

pasien berhenti menarik napas (tanda Murphy positif). Tanda peritoneal lokal dan demam

sering ditemukan.

Pankreatitis akibat batu empedu

(gallstone pancreatitis). Pada 10-15%

pasien dengan batu empedu yang

simtomatik, gejala awal yang ditunjukkan

dapat berupa komplikasi, seperti

pankreatitis akibat batu empedu atau batu

pada duktus biliaris komunis (duktus

koledokus).

90% pasien dengan pakreatitis akibat

batu empedu mengalami episode ringan,

yang artinya tidak melebihi tiga dari 11

kriteria Ranson (tabel 1). Gejala yang

ditimbulkan serupa dengan yang terjadi pada episode berat dari kolik bilier. Nyeri

epigastrium atau kuadran kanan atas terjadi selama beberapa jam dan dapat berhubungan

dengan mual dan muntah. Pada pemeriksaan fisik umumnya ditemukan nyeri tekan dan rasa

penuh pada epigastrium, tanpa disertai dengan tanda peritoneal.

Tabel 1. Kriteria Ranson untuk prognosis pankreatitis akut

Page 3: Penyakit Pada Kantong Empedu

Pada sebagian besar pasien, gejala akan membaik secara signifikan dalam 3-4 hari

setelah mendapatkan terapi suportif. Di samping mengeluh nyeri, pasien dengan batu saluran

empedu sering mengalami kulit kekuningan dan demam.

Pemeriksaan laboratorium untuk kolelitiasis

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan harus meliputi pemeriksaan darah lengkap, tes

fungsi hati, dan kadar serum amilase dan lipase.

Pada kolik bilier yang kronis, sebagian besar pasien menunjukkan hasil pemeriksaan

laboratorium yang normal, terutama apabila tidak ada gejala pada saat pemeriksaan. Namun,

pasien dengan nyeri akut pada saat pemeriksaan, dapat memberikan hasil pemeriksaan kadar

enzim hati (aspartat aminotransferase, alanin aminotransferase, alkalin fosfatase) dan

bilirubin yang meningkat, terutama apabila terdapat batu pada saluran empedu.

Pada pankreatitis akibat batu empedu, pasien menunjukkan peningkatan kadar serum

amilase dan lipase, serta hasil tes fungsi hati yang abnormal. Pada kolesistitis akut, dapat

terjadi leukositosis, dan hampir 15% pasien menunjukkan sedikit peningkatan kadar aspartat

aminotransferase, alanin aminotransferase, alkalin fosfatase, dan bilirubin apabila batu tidak

terdapat pada duktus biliaris komunis.

Pemeriksaan radiologi untuk kolelitiasis

Ultrasonografi dan cholescintigraphy merupakan modalitas yang paling dapat membantu dan

sering digunakan dalam menegakkan diagnosis penyakit pada kandung empedu.

Gambar 1. Ultrasonografi dalam mendiagnosis batu empedu.

Page 4: Penyakit Pada Kantong Empedu

Ultrasonografi (USG) dianggap aman, cepat, dan relatif tidak mahal serta tidak

memberikan paparan radiasi. USG merupakan pilihan teknik diagnostik yang digunakan pada

pasien dengan kecurigaan mengalami kolik bilier. Penemuan yang mendukung dapat berupa

adanya batu, penebalan dinding kandung empedu, cairan perikolesistik, dan tanda Murphy

positif pada saat kontak dengan transduser USG (Gambar 1). Tiga temuan terakhir terutama

menunjukkan indikasi adanya kolesistitis akut. Kekurangan USG adalah keakuratan hasilnya

sangat tergantung pada orang yang melakukan dan menginterpretasikannya.

Cholescintigraphy akurat dalam mendiagnosis kolesistitis akut pada lebih dari 95%

pasien rawat jalan. Apabila dikombinasikan dengan injeksi kolesistokinin, alat ini dapat

membantu dalam mendiagnosis pasien dengan kecurigaan diskinesia biliaris.

Cholescintigraphy dapat memberikan informasi yang menunjukkan adanya obstruksi

pada duktus sistikus, yang merupakan komponen yang penting dalam patogenesis kolesistitis

kalkulus. Namun bagaimanapun, teknik tersebut juga memiliki kemungkinan terjadinya hasil

positif palsu sebesar 30-40% pada pasien yang dirawat inap dengan masalah medis lainnya

selama beberapa minggu, terutama apabila mereka mendapatkan nutrisi secara parenteral.

Pada pasien tersebut, ultrasonografi dikatakan lebih akurat untuk digunakan.

Computed tomography dikatakan tidak seakurat ultrasonografi dalam mendeteksi

adanya batu empedu, sehingga bukan merupakan teknik yang tepat untuk digunakan dalam

mengevaluasi pasien dengan kemungkinan penyakit biliaris kronis. Namun pada kasus yang

akut, teknik ini dapat menunjukkan adanya penebalan dinding kandung empedu atau cairan

perikolesistik yang berhubungan dengan kolesistitis akut.

ERCP apabila dicurigai adanya koledokolitiasis

Pasien yang dicurigai dengan koledokolitiasis (batu pada duktus biliaris komunis atau duktus

koledokus) mungkin akan mendapatkan manfaat dengan dilakukannya endoscopic retrograde

cholangiopancreatography (ERCP), sfingterotomi, dan ekstraksi batu sebelum tindakan

kolesistektomi laparoskopi. Faktor yang dapat memperkirakan adanya suatu koledokolitiasis

di antaranya:

Hasil tes fungsi hati yang abnormal, terutama kadar bilirubin dan alkalin fosfatase

Pelebaran duktus biliaris komunis sebesar 8 mm atau lebih

Adanya batu pada duktus biliaris komunis yang teridentifikasi dengan ultrasonografi

Pendekatan lain hanya melanjutkan dengan kolesistektomi laparoskopi dan melakukan

kolangiografi intraoperatif. Apabila pada kolangiografi ditemukan adanya batu, dapat

dilakukan pengangkatan secara laparoskopik, atau tindakan pembedahan dapat diubah

Page 5: Penyakit Pada Kantong Empedu

menjadi pembedahan eksplorasi terbuka pada duktus biliaris komunis. Bagaimanapun, pada

sebagian besar kasus, batu pada duktus biliaris komunis diangkat melalui sfingterotomi

endoskopi dalam 1-2 hari setelah kolesistektomi.

Pembedahan laparoskopi untuk pasien dengan pankreatitis akibat batu empedu

Sebagian besar pasien (90%) dengan pankreatitis akibat batu empedu mengalami episode

ringan. Nyeri yang dirasakan biasanya segera menghilang dan kadar enzim hati (aspartat

aminotransferase, alanin aminotransferase, alkalin fosfatase, bilirubin, serum amilase, dan

serum lipase) menurun dalam 3-4 hari setelah perawatan dengan terapi suportif. Yang

dimaksud dengan terapi suportif adalah tidak memberikan apapun secara oral dan

mempertahankan pasien dalam hidrasi secara intravena serta analgesia dan antibiotika secara

parenteral.

Pasien seperti ini harus menjalani kolesistektomi laparoskopi dengan kolangiografi

intraoperatif dalam satu bulan untuk mencegah terjadinya episode pankreatitis yang lebih

lanjut. Pasien tidak diperbolehkan menjalani ERCP sebelum operasi, karena dapat

mengeksaserbasi pankreatitis yang dialami. Apabila ditemukan batu pada saluran empedu

selama tindakan kolesistektomi dilakukan, maka sfingteroktomi endoskopi harus dilakukan

dalam beberapa hari.

Hasil dari kolesistektomi

Kolesistektomi masih merupakan penatalaksanaan yang terbaik untuk pasien dengan penyakit

batu empedu yang simtomatik. Teknik tersebut dikatakan efektif dan aman, dengan angka

kejadian komplikasi dan kematian yang rendah, masing-masing sebesar 14% dan 0,17%,

terutama apabila dikerjakan secara elektif pada pasien yang berusia kurang dari 65 tahun.

Frekuensi dan tingkat keparahan episode kolik bilier berbeda antara satu pasien dengan

pasien lainnya; beberapa mungkin mengalami episode yang relatif ringan selama beberapa

tahun, sedangkan yang lainnya mengalami serangan yang berat dalam satu waktu.

Kolesistektomi diindikasikan pada berbagai kondisi pasien tersebut. Bagaimanapun,

pemilihan waktu untuk melakukan tindakan tersebut pada akhirnya ditentukan oleh pasien

sendiri.

Pada pasien dengan kolik bilier yang tipikal, perbaikan gejala setelah dilakukannya

kolesistektomi terjadi pada lebih dari 85% kasus. Namun, pasien dengan batu empedu yang

mengalami nyeri atipikal atau gejala yang tidak khas, seperti kembung, bersendawa, dan

gangguan pencernaan lebih jarang mengalami perbaikan gejala bahkan setelah dilakukan

pengangkatan kandung empedu. Sehingga, pasien seperti itu perlu untuk menjalani

Page 6: Penyakit Pada Kantong Empedu

pemeriksaan penunjang lainnya, seperti pemeriksaan saluran pencernaan bagian atas dengan

kontras, endoskopi, dan kolonoskopi. Apabila hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan hasil

yang normal, pasien dapat dipertimbangkan untuk dilakukan kolesistektomi dengan

konsekuensi bahwa gejala mungkin tidak membaik.

Kolesistektomi laparoskopi: keuntungan dan kerugian

Kolesistektomi laparoskopi kini merupakan baku emas dalam penatalaksanaan penyakit

kandung empedu yang simtomatik. Lebih dari 500.000 tindakan kolesistektomi dilakukan di

Amerika Serikat setiap tahunnya.

Kolesistektomi laparoskopi dikatakan aman, dan apabila dibandingkan dengan

kolesistektomi terbuka yang merupakan baku emas terdahulu, teknik kolesistektomi

laparoskopi menimbulkan rasa nyeri yang lebih ringan, komplikasi yang lebih sedikit, dan

waktu pemulihan yang lebih cepat. Angka kematian akibat tindakan kolesistektomi

laparoskopi adalah sebesar 0,06-0,1%, sedangkan akibat tindakan kolesistektomi terbuka

adalah sebesar 0-0,4%. Lama perawatan rata-rata di rumah sakit setelah kolesistektomi

laparoskopi adalah selama 1,6 hari, dibandingkan 4,3 hari untuk pasien dengan

kolesistektomi terbuka. Waktu yang diperlukan untuk dapat kembali bekerja setelah tindakan

kolesistektomi laparoskopi juga relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan kolesistektomi

terbuka, masing-masing selama 15 dan 31 hari.

Sekitar 2-5% dari tindakan kolesistektomi laparoskopi yang dilakukan perlu untuk

diubah menjadi suatu prosedur terbuka, baik karena terjadinya inflamasi yang mengaburkan

perbedaan antara duktus sistikus dengan duktus biliaris komunis (duktus koledokus) ataupun

akibat perdarahan yang tidak bisa ditangani secara laparoskopik.

Komplikasi pembedahan. Komplikasi yang signifikan, yang dapat berakhir dengan

kematian, dapat terjadi akibat kolesistektomi laparoskopi. Di samping itu, kerusakan yang

terjadi selama kolesistektomi laparoskopi memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk

menyebabkan kematian daripada yang terjadi selama kolesistektomi terbuka. Kolesistektomi

laparoskopi juga berkaitan dengan angka kejadian kerusakan saluran empedu yang lebih

besar jika dibandingkan dengan kolesistektomi terbuka (masing-masing sebesar 0,6% dan

0,1-0,25%). Lebih dari setengah pasien yang mengalami kerusakan saluran empedu

memerlukan operasi perbaikan, dan sebanyak 25% dari perbaikan tersebut perlu untuk

direvisi kembali karena terjadinya pembentukan striktur.

Analisis data berdasakan survei nasional dari hampir 80.000 prosedur kolesistektomi

laparoskopi yang dilakukan pada 4.300 rumah sakit menunjukkan kerusakan pada usus atau

Page 7: Penyakit Pada Kantong Empedu

pembuluh darah besar berkaitan dengan angka kematian, masing-masing sebanyak 8% dan

5%.

Angka kejadian komplikasi akibat kolesistektomi laparoskopi menurun seiring dengan

bertambahnya frekuensi tindakan pembedahan yang dilakukan oleh dokter bedah yang

bersangkutan; sebesar 21% apabila apabila dokter bedah tersebut melakukan kurang dari 10

tindakan, dan sebesar 12% apabila telah melakukan lebih dari 50 tindakan.

Angka kejadian perubahan (konversi) menjadi operasi terbuka pada pasien

dengan kolesistitis akut. Meskipun kolesistektomi laparoskopi merupakan tindakan pilihan

pada pasien kolesistitis akut, angka kejadian konversi menjadi operasi terbuka bervariasi dari

5-40%. Pada sebagian besar konversi, ditemukan bahwa tindakan laparoskopi dikerjakan tiga

hari setelah timbulnya gejala atau kandung empedu sudah menjadi gangren. Setelah tiga hari,

edema pada kandung empedu akan berkembang menjadi keras seperti kayu yang

mengaburkan anatomi area tersebut, sehingga menyulitkan untuk membedakan antara duktus

sistikus dengan saluran empedu, yang akan meningkatkan resiko terjadinya injury pada

saluran empedu. Apabila kolesistektomi laparoskopik dikerjakan dalam tiga hari setelah

timbulnya gejala, angka kejadian terjadinya konversi adalah sebesar 23-27%; namun apabila

dikerjakan setelah tiga hari maka angka kejadiannya berubah menjadi 47-59%. Sedangkan

pada pasien dengan kolesistitis bergangren, angka kejadian terjadinya konversi sebesar 35-

49%.

Pemasangan selang kolesistostomi

Selang kolesistostomi diindikasikan pada beberapa pasien dengan kolesistitis akut. Pada

awalnya dokter bedah memasang selang apabila mereka melakukan kolesistektomi terbuka

namun tidak dapat menyelesaikannya, baik karena pasien berada dalam kondisi kritis

sehingga dirasa tidak stabil untuk menyelesaikan prosedur yang telah direncanakan maupun

karena adanya inflamasi yang menghalangi proses kolesistekomi yang aman.

Namun sekarang, untuk pasien kritis pada ruang perawatan intensif, dapat dilakukan

pemasangan tuba kolesistostomi oleh ahli radiologi perkutan melalui hati dengan bantuan

panduan ultrasound. Prosedur ini dapat dikerjakan secara aman di tempat tidur tanpa

memerlukan anestesia umum. Angka kejadian komplikasinya rendah, dan kematian terutama

berkaitan dengan komorbiditas.

Peranan kolesistektomi pada sirosis, diabetes, dan kehamilan

Sirosis. Angka kematian sebesar 10%, terutama disebabkan karena gagal hati dan

sepsis, telah dilaporkan pada pasien dengan sirosis hati yang berat (Child-Pugh grade C) yang

Page 8: Penyakit Pada Kantong Empedu

menjalani tindakan kolesistektomi. Kolesistektomi laparoskopi dapat dikerjakan pada pasien

dengan siroris hati Child grade A maupun B, namun dengan kemungkinan terjadinya

komplikasi sebesar 32%.

Diabetes bukan merupakan faktor yang signifikan pada pasien dengan batu empedu.

Pasien diabetes dengan batu empedu yang asimtomatik tidak memerlukan tindakan

kolesistektomi profilaksis, seperti yang disarankan pada 20-25 tahun yang lalu.

Wanita hamil dapat dengan aman menjalani tindakan kolesistektomi laparoskopik,

terutama pada periode trimester kedua dengan bantuan tim dokter kandungan.

KOLESISTITIS AKALKULUS AKUT

Insiden terjadinya kolesistitis akalkulus (tanpa adanya batu) akut pada populasi umum

bervariasi antara 2-15%. Dulu dikatakan bahwa hampir semua pasien dengan kolesistitis

akalkulus akut memiliki riwayat mengalami trauma atau luka bakar, menjalani tindakan

pembedahan mayor, atau mengalami kegagalan multi organ. Saat ini, insiden kolesistitis

akalkulus akut telah meningkat pada pasien rawat jalan, terutama pada laki-laki usia tua

dengan aterosklerosis atau keadaan imunosupresi.

Keadaan kolesistitis akalkulus dapat dengan cepat berkembang menjadi gangren atau

perforasi, karena proses patofisiologinya lebih mengarah kepada terjadinya infark transmural

pada dinding kandung empedu, dibandingkan perubahan akibat inflamasi yang berhubungan

dengan adanya batu.

Tanda dan gejala

Sebagian besar pasien dengan kolesistitis akalkulus akut memiliki gejala berupa nyeri perut,

demam, dan nyeri tekan pada perut kuadran kanan atas atau tanda iritasi peritoneal lokal.

Hampir semua pasien menunjukkan hasil tes fungsi hati yang abnormal dan leukositosis.

Diagnosis

Pemeriksaan radiologi yang dilakukan untuk kolesistitis akalkulus akut antara lain

cholescintigraphy, ultrasonografi, dan computed tomography. Di antara ketiga modalitas

tersebut, ultrasonografi dan computed tomography memiliki spesifisitas yang lebih tinggi

pada pasien yang berada dalam kondisi kritis. Cholescintigraphy dikatakan akurat pada

sekitar 95% pasien rawat jalan, namun memiliki angka positif palsu sebesar 30-40% pada

pasien kritis, terutama pada pasien dalam keadaan hiperalimentasi.

Penatalaksanaan

Page 9: Penyakit Pada Kantong Empedu

Penatalaksanaan pada pasien dengan kolesistitis akalkulus akut meliputi kolesistostomi

perkutan, kolesistostomi terbuka, dan kolesistektomi. Meskipun kolesistitis akalkulus akut

dapat disebabkan oleh infark pada dinding empedu, dekompresi empedu dengan pemasangan

selang kolesistostomi dikatakan cukup untuk mengendalikan proses inflamasi. Jika

kolesistektomi diperlukan, derajat inflamasi dan indurasi biasanya menghalangi tindakan

laparoskopik.

Angka kematian pada pasien dengan kolesistitis akalkulus akut adalah sebesar 50%

apabila tindakan operasi tidak dikerjakan. Angka kematian akibat tindakan operasi pada

pasien ini berkisar antara 6-9%, yang secara signifikan lebih tinggi jika dibandingkan dengan

angka kematian pada pasien dengan adanya batu (kalkulus). Kematian terutama berkaitan

dengan keadaan umum pasien.

DISKINESIA BILIARIS

Penatalaksanaan diskinesia biliaris merupakan suatu tantangan. Pasien umumnya memiliki

gejala kronis yang sesuai dengan kolik bilier dan fraksi ejeksi empedu yang abnormal;

namun, pada ultrasonografi maupun kolesistografi oral tidak menunjukkan adanya batu,

bahkan meskipun dilakukan pemeriksaan ulang.

Diagnosis

Evaluasi pasien dengan kecurigaan diskinesia biliaris harus meliputi endoskopi atas dan

cholescintigraphy yang distimulasi oleh kolesistokinin. Kelainan endoskopi berupa gastritis,

ulser, atau refluks harus ditangani terlebih dahulu sebelum mempertimbangkan tindakan

kolesistektomi.

Penatalaksanaan

Apabila pemeriksaan endoskopi menunjukkan hasil yang normal dan fraksi ejeksi empedu

pada cholescintigraphy kurang dari 35%, maka dapat dilakukan kolesistektomi sebagai

penatalaksanaan utama. Beberapa studi menunjukkan 80-100% pasien menunjukkan

perbaikan penuh atau perbaikan yang signifikan pada gejala yang mereka alami. Pemeriksaan

patologi empedu menunjukkan kolesistitis akalkulus kronis pada 67-95% pasien.

Namun, sebuah studi menekankan bahwa fraksi ejeksi empedu yang abnormal tidak

selalu menunjukkan adanya suatu penyakit pada sistem biliaris, karena 20% pasien yang

terlibat dalam sebuah studi menunjukkan perbaikan gejala tanpa perlu dilakukannya tindakan

kolesistektomi.

Page 10: Penyakit Pada Kantong Empedu

POLIP KANDUNG EMPEDU

Polip kandung empedu ditemukan pada sekitar 4% populasi umum. Sebagian besar di

antaranya merupakan polip kolesterol, sedangkan lainnya adalah adenoma, polip hiperplasia,

granulasi, dan adenomyomatosis.

Polip kolesterol pada umumnya berdiameter kurang dari 10 mm dan ditemukan lebih

dari satu buah. Sedangkan adenoma berukuran lebih besar dan tunggal. Hampir semua polip

yang bersifat malignan berukuran lebih dari 10 mm dan tunggal. 20-60% pasien dengan polip

juga memiliki batu empedu.

Meskipun beberapa polip menunjukkan gejala yang sesuai dengan kolik bilier,

sebagian besar dapat terjadi tanpa gejala dan ditemukan pada saat pemeriksaan ultrasonografi

untuk mengevaluasi nyeri perut bagian atas yang tidak spesifik.

Pasien yang menunjukkan gejala (simtomatik) atau dengan polip yang berukuran

lebih dari 10 mm harus menjalani tindakan kolesistektomi. Pasien tanpa gejala dengan ukuran

polip yang kurang dari 10 mm disarankan untuk melakukan ultrasonografi lanjutan dalam 6

bulan untuk menilai pertumbuhan polip tersebut. Pembesaran ukuran polip dapat menjadi

suatu indikasi dilakukannya tindakan kolesistektomi.

KANKER KANDUNG EMPEDU

Kanker kandung empedu merupakan penyakit yang relatif jarang dijumpai dan memiliki

prognosis yang buruk. Angka kematian akibat kanker kandung empedu di Amerika Serikat

dilaporkan sekitar 6.500 setiap tahunnya, atau sekitar 4% dari seluruh kematian akibat

kanker. 80-85% pasien dengan kanker kandung empedu juga mengalami kolelitiasis.

Studi terdahulu menjelaskan adanya hubungan antara kalsium pada dinding kandung

empedu (disebut sebagai kandung empedu porselen) dengan kanker kandung empedu;

dimana 20-60% pasien dengan kandung empedu porselen mengalami kanker kandung

empedu. Namun studi terbaru menunjukkan tidak adanya kanker pada 15 spesimen kandung

empedu porselen yang merepresentasikan 0,14% dari 10.741 kolesistektomi yang dikerjakan

sejak tahun 1955 sampai 1998. Lebih dari 90% kanker empedu merupakan tipe

adenokarsinoma, yang bervariasi dari tipe dengan diferensiasi baik sampai yang

berdiferensiasi buruk.

Pasien kanker kandung empedu pada stadium awal umumnya tidak menunjukkan

gejala, begitu pula pada pasien yang disertai dengan kolelitiasis yang hanya menunjukkan

gejala kolik bilier. Pasien usia tua dengan nyeri perut kuadran kanan atas yang persisten dan

Page 11: Penyakit Pada Kantong Empedu

progresif dapat dicurigai mengalami kanker empedu, terutama apabila terdapat kulit

kekuningan dan massa yang teraba.

Diagnosis

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil yang normal sepanjang tidak terdapat obstruksi

pada traktus biliaris. Pemeriksaan radiologi yang dapat dikerjakan adalah ultrasonografi dan

computed tomography, namun kedua pemeriksaan tersebut tidak dapat menunjukkan suatu

abnormalitas apabila dikerjakan pada stadium awal. Pemeriksaan tersebut juga tidak dapat

membedakan antara neoplasma dengan proses inflamasi yang meluas. Namun, apabila dari

pemeriksaan didapatkan adanya suatu massa, terutama apabila sampai meluas ke parenkim

hati, maka perlu dilakukan suatu biopsi.

Penatalaksanaan

Apabila telah dikonfirmasi adanya suatu kanker, maka tindakan operatif tidak diindikasikan.

Namun, pasien dengan kulit kekuningan dan massa pada kandung empedu dengan ataupun

tanpa perluasan ke hati memerlukan tindakan endoskopi atau pemasangan stent perkutan.

Penatalaksanaan secara operatif untuk kanker kandung empedu, terutama reseksi

radikal, masih merupakan suatu kontroversi. Pada sebagian besar kasus, pasien menjalani

tindakan kolesistektomi untuk batu empedu simtomatis yang dialaminya, dan kanker hanya

ditemukan pada saat dilakukan pemeriksaan patologi pada pasien tersebut.

Prognosis bergantung pada kedalaman invasi ke dinding kandung empedu dan

keterlibatan kelenjar getah bening regional. Pasien pada stadium 1 (keterlibatan mukosa saja

atau mukosa dan lapisan otot) memiliki angka harapan hidup selama lima tahun sebesar 80%

setelah menjalani tindakan kolesistektomi sederhana.

Penatalaksanaan kanker stadium lanjut juga masih kontroversial (kanker empedu

dikatakan memasuki stadium lanjut apabila terdapat penetrasi tumor sampai ke dinding

kandung empedu, organ sekitar, atau kelenjar getah bening regional). Apakah pasien tersebut

harus menjalani eksplorasi ulang untuk dilakukan reseksi radikal lebih lanjut, seperti reseksi

hati atau limfadenektomi hepatis porta? Meskipun beberapa ahli menganjurkan tindakan

operatif, angka harapan hidup selama lima tahun hanya sekitar 10% pada pasien dengan

kanker stadium 2 (penetrasi sampai ke dinding kandung empedu), dan 0% pada pasien

dengan keterlibatan kelenjar getah bening regional. Berdasarkan data tersebut, disarankan

untuk tidak melakukan tindakan pembedahan re-eksplorasi pada pasien dengan kanker

kandung empedu.