PENURUNAN VISUS

26
PATOFISIOLOGI RETINOPATI DIABETIK Pengertian Retinopati Diabetik Retinopati diabetik merupakan komplikasi kronis diabetes melitus berupa mikroangiopati progresif yang ditandai oleh kerusakan mikro vaskular pada retina dengan gejala penurunan atau perubahan penglihatan secara perlahan. 1 Gejala Retinopati Diabetik Pandangan kabur Floaters (benda yang melayang-layang pada penglihatan) 2-4 Vision of normal and diabetic people Tanda Retinopati Diabetik Den gan pemeriksaan funduskopi didapatkan Mikroaneurisma Edema makula Perdarahan retina Neovaskularisasi Proliferasi jaringan fibrosis retina 2-4 SKEMA PATOFISIOLOGI RETINOPATI DIABETIK

description

penurunan visus

Transcript of PENURUNAN VISUS

PATOFISIOLOGI RETINOPATI DIABETIKPengertian Retinopati DiabetikRetinopati diabetik merupakan komplikasi kronis diabetes melitus berupa mikroangiopati progresif yang ditandai oleh kerusakan mikro vaskular pada retina dengan gejala penurunan atau perubahan penglihatan secara perlahan.1

 Gejala Retinopati Diabetik•      Pandangan kabur•      Floaters (benda yang melayang-layang pada penglihatan) 2-4

Vision of normal and diabetic peopleTanda Retinopati DiabetikDen gan pemeriksaan funduskopi didapatkan–     Mikroaneurisma–     Edema makula–     Perdarahan retina–     Neovaskularisasi–     Proliferasi jaringan fibrosis retina 2-4

SKEMA PATOFISIOLOGI RETINOPATI DIABETIK

Patofisiologi Retinopati DiabetikMekanisme terjadinya RD masih belum jelas, namun beberapa studi menyatakan bahwa hiperglikemi kronis merupakan penyebab utama kerusakan multipel organ. Komplikasi hiperglikemia kronis pada retina akan menyebabkan perfusi yang kurang adekuat akibat kerusakan jaringan pembuluh darah organ, termasuk kerusakan pada retina itu sendiri. Terdapat 4 proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia kronis yang diduga berhubungan dengan timbulnya retinopati diabetik, antara lain: 1)      Akumulasi SorbitolProduksi berlebihan serta akumulasi dari sorbitol sebagai hasil dari aktivasi jalur poliol terjadi karena peningkatan aktivitas enzim aldose reduktase yang terdapat pada jaringan saraf, retina, lensa, glomerulus, dan dinding pembuluh darah akibat hiperglikemi kronis. Sorbitol merupakan suatu senyawa gula dan alkohol yang tidak dapat melewati membrana basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah yang banyak dalam sel. Kerusakan sel terjadi akibat akumulasi sorbitol yang bersifat hidrofilik sehingga sel menjadi bengkak akibat proses osmotik.Selain itu, sorbitol juga meningkatkan rasio NADH/NAD+ sehingga menurunkan uptake mioinositol. Mioinositol berfungsi sebagai prekursor sintesis fosfatidilinositol untuk modulasi enzim Na-K-ATPase yang mengatur konduksi syaraf. Secara singkat, akumulasi sorbitol dapat menyebabkan gangguan konduksi saraf.Percobaan pada binatang menunjukkan inhibitor enzim aldose reduktase (sorbinil) yang bekerja menghambat pembentukan sorbitol, dapat mengurangi atau memperlambat terjadinya retinopatik diabetik. Namun uji klinik pada manusia belum menunjukkan perlambatan dari progresifisitas retinopati. 3, 5, 6

 2)      Pembentukan protein kinase C (PKC)Dalam kondisi hiperglikemia, aktivitas PKC di retina dan sel endotel vaskular meningkat akibat peningkatan sintesis de novo dari diasilgliserol, yang merupakan suatu regulator PKC dari glukosa.PKC diketahui memiliki pengaruh terhadap agregasi trombosit, permeabilitas vaskular, sintesisgrowth factor dan vasokonstriksi. Peningkatan PKC secara relevan

meningkatkan komplikasi diabetika, dengan mengganggu permeabilitas dan aliran darah vaskular retina.Peningkatan permeabilitas vaskular akan menyebabkan terjadinya ekstravasasi plasma, sehingga viskositas darah intravaskular meningkat disertai dengan peningkatan agregasi trombosit yang saling berinteraksi menyebabkan terjadinya trombosis. Selain itu, sintesis growth factor akan menyebabkan peningkatan proliferasi sel otot polos vaskular dan matriks ekstraseluler termasuk jaringan fibrosa, sebagai akibatnya akan terjadi penebalan dinding vaskular, ditambah dengan aktivasi endotelin-1 yang merupakan vasokonstriktor sehingga lumen vaskular makin menyempit. Seluruh proses tersebut terjadi secara bersamaan, hingga akhirnya menyebabkan terjadinya oklusi vaskular retina. 3, 7

 3)      Pembentukan Advanced Glycation End Product (AGE)Glukosa mengikat gugus amino membentuk ikatan kovalen secara non enzimatik. Proses tersebut pada akhirnya akan menghasilkan suatu senyawa AGE. Efek dari AGE ini saling sinergis dengan efek PKC dalam menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, sintesis growth factor, aktivasi endotelin 1 sekaligus menghambat aktivasi nitrit oxide oleh sel endotel. Proses tersebut tentunya akan meningkatkan risiko terjadinya oklusi vaskular retina. 3, 8

AGE terdapat di dalam dan di luar sel, berkorelasi dengan kadar glukosa. Akumulasi AGE mendahului terjadinya kerusakan sel. Kadarnya 10-45x lebih tinggi pada DM daripada non DM dalam 5-20 minggu. Pada pasien DM, sedikit saja kenaikan glukosa maka meningkatkan akumulasi AGE yang cukup banyak, dan akumulasi ini lebih cepat pada intrasel daripada ekstrasel. 8

 4)      Pembentukan Reactive Oxygen Speciesi (ROS)ROS dibentuk dari oksigen dengan katalisator ion metal atau enzim yang menghasilkan hidrogen peroksida (H2O2), superokside (O2

-). Pembentukan ROS meningkat melalui autooksidasi glukosa pada jalur poliol dan degradasi AGE. Akumulasi ROS di jaringan akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang menambah kerusakan sel. 3, 8

SKEMA 2 PATOFISIOLOGI RETINOPATI DIABETIK (lanjutan)

 Kerusakan sel yang terjadi sebagai hasil proses biokimiawi akibat hiperglikemia kronis terjadi pada jaringan saraf (saraf optik dan retina), vaskular retina dan lensa. Gangguan konduksi saraf di retina dan saraf optik akan menyebabkan hambatan fungsi retina dalam menangkap rangsang cahaya dan menghambat penyampaian impuls listrik ke otak. Proses ini akan dikeluhkan penderita retinopati diabetik dengan gangguan penglihatan berupa pandangan kabur. Pandangan kabur juga dapat disebabkan oleh edema makula sebagai akibat ekstravasasi plasma di retina, yang ditandai dengan hilangnya refleks fovea pada pemeriksaan funduskopi. 2-4

Neovaskularisasi yang tampak pada pemeriksaan funduskopi terjadi karena angiogenesis sebagai akibat peningkatan sintesis growth factor, lebih tepatnya disebut Vascular Endothelial Growt Factor(VEGF). Sedangkan kelemahan dinding vaksular terjadi karena kerusakan perisit intramural yang berfungsi sebagai jaringan penyokong dinding vaskular. Sebagai akibatnya, terbentuklah penonjolan pada dinding vaskular karena bagian lemah dinding tersebut terus terdesak sehingga tampak sebagai mikroaneurisma pada pemeriksaan funduskopi. Beberapa mikroaneurisma dan defek dinding vaskular lemah yang lainnya dapat pecah hingga terjadi bercak perdarahan pada retina yang juga dapat dilihat pada funduskopi. Bercak perdarahan pada retina biasanya dikeluhkan penderita denganfloaters atau benda yang melayang-layang pada penglihatan. 2-4, 9

Gambaran retina penderita DM

Kebutaan pada Retinopati DiabetikPenyebab kebutaan pada retinopati diabetik dapat terjadi karena 4 proses berikut, antara lain:1)      Retinal Detachment (Ablasio Retina)Peningkatan sintesis growth factor pada retinopati diabetik juga akan menyebabkan peningkatan jaringan fibrosa pada retina dan corpus vitreus. Suatu saat jaringan fibrosis ini dapat tertarik karena berkontraksi, sehingga retina juga ikut tertarik dan terlepas dari tempat melekatnya di koroid. Proses inilah yang menyebabkan terjadinya ablasio retina pada retinopati diabetik.3

2)      Oklusi vaskular retinaPenyempitan lumen vaskular dan trombosis sebagai efek dari proses biokimiawi akibat hiperglikemia kronis pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya oklusi vaskular retina. Oklusi vena sentralis retina akan menyebabkan terjadinya vena berkelok-kelok apabila oklusi terjadi parsial, namun apabila terjadi oklusi total akan didapatkan perdarahan pada retina dan vitreus sehingga mengganggu tajam penglihatan penderitanya. Apabila terjadi perdarahan luas, maka tajam penglihatan penderitanya dapat sangat buruk hingga mengalami kebutaan. Perdarahan luas ini biasanya didapatkan pada retinopati diabetik dengan oklusi vena sentral, karena banyaknya dinding vaskular yang lemah. 3, 4

Selain oklusi vena, dapat juga terjadi oklusi arteri sentralis retina. Arteri yang mengalami penyumbatan tidak akan dapat memberikan suplai darah yang berisi nutrisi dan oksigen ke retina, sehingga retina mengalami hipoksia dan terganggu fungsinya. Oklusi arteri retina sentralis akan menyebabkan penderitanya mengeluh penglihatan yang tiba-tiba gelap tanpa terlihatnya kelainan pada mata bagian luar. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat seluruh retina berwarna pucat. 3, 4

3)      Glaukoma

Mekanisme terjadinya glaukoma pada retinopati diabetik masih belum jelas. Beberapa literatur menyebutkan bahwa glaukoma dapat terjadi pada retinopati diabetik sehubungan dengan neovaskularisasi yang terbentuk sehingga menambah tekanan intraokular. 3, 9

 PATOFISIOLOGI KATARAK DIABETIKKatarak diabetik merupakan salah satu penyebab gangguan penglihatan yang utama pada pasien diabetes melitus selain retinopati diabetik. Patofisiologi terjadinya katarak diabetik berhubungan dengan akumulasi sorbitol di lensa dan terjadinya denaturasi protein lensa. 4, 10

Katararak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, atau akibat denaturasi protein lensa. Pada diabetes melitus terjadi akumulasi sorbitol pada lensa yang akan meningkatkan tekanan osmotik dan menyebabkan cairan bertambah dalam lensa. Sedangkan denaturasi protein terjadi karena stres oksidatif oleh ROS yang mengoksidasi protein lensa (kristalin). 4, 10

 Penulis Asli: dr. Ansari Rahman Daftar Pustaka1.         Lubis, Rodiah Rahmawati. 2008. Diabetik Retinopati. Universitas Sumatra Utara: Medan.2.         Bhavsar AR & Drouilhet JH. 2009. Retinopathy, Diabetic, Background dalamhttp://emedicine.medscape.com/ (online). Diakses tanggal 26 Oktober 2010. Pemutakhiran data terakhir tanggal 6 Oktober 2009.3.         Pandelaki K. 2007. Retinopati Diabetik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV Jilid III. Editor: Aru W. Sudoyo dkk. Departemen ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.4.         Ilyas S. 2006. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.5.         Mitchell PP & Foran S. 2008. Guidelines for the Management of Diabetic Retinopathy. Australian Diabetes Society for the Department of Health and Ageing: Australia.6.         Reddy GB, Satyanarayana A, Balakrishna N, Ayyagari R, Padma M, Viswanath K, Petrash JM. 2008. Erythrocyte Aldose Reductase Activity and Sorbitol Levels in Diabetic Retinopathy dalamwww.molvis.org/molvis (online).Diakses tanggal 26 Oktober 2010. Pemutakhiran data terakhir tanggal 24 Maret 2008.7.         Roy MS. 2000. Diabetic Retinopathy in African Americans with Type 1 Diabetes dalamhttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10636422 (online). Diakses tanggal 26 Oktober 2010. Pemutakhiran data terakhir Januari 2000.8.         Ciulla TA, Amador AG, Zinman B. 2003. Diabetic Retinopathy and Diabetic Macular Edema,Pathophysiology, Screening, and Novel Therapies dalam http://care.diabetesjournals.org/content(online). Diakses tanggal 26 Oktober 2010. Pemutakhiran data terakhir tanggal 11 Mei 2003.9.         James B dkk. 2006. Oftalmologi, Lecture Notes, Edisi ke-9. Erlangga: Jakarta.10.     Pollreisz A & Erfurth US. 2009. Diabetic Cataract-Pathogenesis, Epidemiology and Treatmentdalam http://downloads.hindawi.com/journals (online). Diakses tanggal 26 Oktober 2010. Pemutakhiran data terakhir tanggal 11 Desember 2009.

 Patofisiologi katarak senilis sangat kompleks dan belum sepenuhnya dapatdipahami. Dalam beberapa kemungkinanya, patogenesis dari katarak melibatkaninteraksi kompleks antara berbagai proses fisiologis. Dengan bertambahnya umur,lensa akan mengalami perubahan menjadi lebih berat dan tebal sedangkankemampuan akomodasinya berkurang. Lapisan kortikal baru akan terus bertambahdalam pola konsentris lensa, sedangkan nukelus sentral mengalami kompresi danmengeras dalam proses yang disebut sklerosis nuklear.Beberapa

mekanisme berkontribusi terhadap hilangnya secara progresif transparansi dari lensa. Epitel lensa diduga mengalami perubahan yang berkaitandengan usia, terutama penurunan densitas sel epitel lensa dan diferensiasimenyimpang dari sel serat lensa. Walaupun epitel dari lensa katarak mengalamikematian apoptosis dalam tingkat yang rendah yang tidak menyebabkan penurunanyang signifikan dalam kepadatan sel, akumulasi kehilangan epitel dalam skala kecildapat menyebabkan perubahan pembentukan serat lensa dan homeostasis yangselanjutnya dapat menyebabkan hilangnya transparansi lensa. Selanjutnya denganbertambahnya usia, penurunan tingkat di mana air dan metabolit dengan beratmolekul rendah yang larut dalam air dapat masuk ke dalam sel inti lensa melaluiepitelium dan korteks terjadi dengan penurunan berikutnya di tingkat transportasi air,nutrisi, dan antioksidan.Akibatnya kerusakan oksidatif progresif lensa yang berhubungan denganpenuaan terjadi yang selanjutnya mengarah berkembang menjadi katarak senilis.Berbagai studi menunjukkan peningkatan produk oksidasi misalnya glutathioneteroksidasi serta penurunan vitamin antioksidan dan enzim superoxida dismutasemempunyai peran penting dalam proses oksidatif dalam proses kataraktogenesis.Mekanisme lain yang terlibat adalah konversi larutan dengan berat molekulrendah protein sitoplasma lensa menjadi larutan agregat dengan berat molekul tinggi,fase tidak larut, dan matrix membran protein yang tidak dapat larut. Perubahanprotein yang tejadi menyebabkan fluktuasi mendadak dalam indeks bias dari lensa,sinar menghamburkan cahaya, dan mengurangi transparansi. Hal lainnya sedangdiselidiki termasuk peran gizi dalam perkembangan katarak, khususnya keterlibatanglukosa , mineral dan vitamin.(1) Beberapa kemungkinan proses yang menyebabkan terjadinya katarak dikelompokkanmenjadi berikut :Biofisik:beberapa pertimbangan penting dari segi biofisik adalah sebagai berikut .Sekitar 90% dari sinar UV yang mengenai lensa adalah UVA (315-400 nm), triptofanmenyerap 95% dari energi foton diserap oleh asam amino dalam lensa, triptofan + UVmenghasilKAN 3-HKG (hydroxykynurenine) dan produk lainnya, dan 3-HKG-melekat pada protein dan berubah darijernih menjadi berwarna coklat.Biokimia: Beberapa pertimbangan biokimia terkait dengan katarak lentikularberhubungan dengan cedera oksidatif potensial seiring dengan penuaan: enzimpertahanan, Glukosa-3- Fosfat dehidrogenase, G-6-PD, Aldolase, Enolase, danaktvitas phospokinase menurun dengan usia Penuaan berhubungan denganmenurunnya konsentrasi antioksidan (misalnya, glutation, askorbat), yangmenyebabkan peningkatan kerentanan terhadap kerusakan oksidatif dan peroksidasilipid. Penuaan juga berhubungan dengan kelarutan protein menurun dan peningkatan jumlah protein yang tidak larut (denaturasi protein oleh radikal bebas), ikatandisulfida pada protein meningkat, oksidasi protein tiol, dan perubahan dalampermeabilitas membran , yang semuanya dapat menyebabkan dehidrasi osmotik sellentikular. Efek ini ditonjolkan dengan paparan radiasi. Berikut ini adalah yang seringdiamati pada katarak senilis yang khas: 1) pembentukan dari kristalin, agregat denganberat molekul tinggi yang menumpuk dengan penuaan; 2) polipeptida yangterdegradas dan 3) perubahan asam amino (misalnya, hilangnya kelompok slfihidrildan deaminasi glutamin dan asparagin)Fisiologis:perubahan fisiologis khas diamati di lensa dengan penuaan meliputi:hilangnya gap junction protein dengan usia, hilangnya potensial membranselular,peningkatan konsentrasi natrium intraseluler (25 mEqL-1sampai 40 mEqL-1),serta perubahan sekunder dalam Na+K

-ATPasehilangnya γ-isoform ATP-ase seiringdengan usia lanjutSeluler: Perubahan sel-sel lentikular tergantung pada mekanisme dan lokasi dariproses katarak. Katark subcapsular anterior, paling sering dikaitkan dengan paparansinar UV, terlihat metaplasia lentikular dan sel menjadi berbentuk spindle (sepertimyofibroblast) pada pusat epitel lensa. Katarak subkapsular posterior, yang umumnyaterkait dengan radiasi pengion dan juga dengan eksposure UV, menunjukkan displasiaepitel germinal dan migrasi posterior disepanjang garis jahitan. Katarak nukleuspaling sering dikaitkan dengan penuaan menunjukkan beberapa perubahan sel, karenatampaknya cahaya pencar diproduksi oleh protein dengan berat molekul tinggi disitoplasma. Radiasi: Pengamatan tentang katarak yang diinduksi radiasi tidak seragam, terutamakarena perbedaan dalam efek selular, biofisik dan biokimia dari berbagai bentuk radiasi. Tidak ada respon bioeffect dan seluler yang universal di seluruh spektrumelektromagnetik dan energi partikel radiasi. Penelitian sebelumnya katarak yangdiinduksi oleh radiasi UV diemukan di subkapsular posterior sebagai lokasi yangpaling umum, namun ada tumpang tindih dengan perkembangan katarak akibat radiasipengion, dan ini menunjukkan potensi untuk menjadi kortikal penuh, dan bahkannuklear (campuran) katarak dengan waktu. Deposisi energi dari kosmik, sinar gamma,dan neutron menyebabkan ionisasi dari unsur lensa (terutama air) memproduksiradikal bebas (terutama hidroksil radikal) yang dengan mudah dapat bereaksi dengandan mengubah fungsi membran DNA dan sel. Sel dengan tingkat mitosis yang lebihtinggi, seperti serat equator lensa dipengaruhi oleh proses ini. Biasanya periode laten9-12 bulan dari saat paparan dosis tinggi hingga onset dari opasitas dari lensa telahdiamati. Katarak akibat radiasi telah ditandai oleh beberapa vakuola, penampilanberbulu, dan bahkan pinggir seperti jaring.(2) Stress oksidatif telah diterima secara luas sebagai salah satu faktor yangberperan dalam proses pembentukan katarak. Konsentrasi protein yang rusak dariproses oksidatif akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur, dan lebih tinggisecara signifikan pada lensa yang mengalami katarak. Selain itu hubungan antaraintake makanan seseorang dengan proses katarak telah diselidiki lebih lanjut.Beberapa faktor diperkirakan penting dalam proses kekeruhan lensa pada individuyang lebih tua. Taylor menyimpulkan penyebab dari katarak sebagai 5 D, yaitu :daylight (sinar matahari),diet (intake makanan),diabetes(diabetes) ,dehydration(dehidrasi) , dandon’t know(idiopatik). Selain itu, efek buruk dari metabolismeglukosa dalam lensa dan perubahan terkait pada potensi reduksi oksidasi sel epitellensa tidak boleh diabaikan, mengingat efeknya memperburuk perubahan inioksidatif. Lensa dirancang untuk memfokuskan cahaya ke retina sepanjang hidupindividu, tetapi konsekuensi dari ini adalah foto-oksidasi struktur lensa. Lensamungkin muncul struktur relatif inert, tetapi memiliki tingkat ATP setinggi sepertiyang ditemukan dalam otot, jaringan yang jauh lebih aktif. Metabolisme oksidatif  jelas penting dalam menjaga lensa dalam keadaan transparan. Namun, ini berartibahwa, selain terus

menerus dalam cahaya, lensa juga 'bermandikan' oksigen.Reaktivitas tinggi oksigen dijelaskan pada tingkat molekuler oleh Linus Pauling:oksigen adalah unsur yang paling elektro-negatif setelah fluor dan luar biasa dalam

Diabetes adalah sekumpulan penyakit endokrin yang ditandai dengan hiperglikemia yang

merupakan manifestasi dari defek pada sekresi insulin, aksi insulin atau keduanya.(1-3,8,9)

Diabetes memiliki banyak sekali komplikasi yang ditimbulkannya, baik itu terjadi secara akut

seperti hiperglikemik hiperosmolar non-ketotik, ketoasidosis yang dapat membawa kematian, atau

komplikasi yang berjalan secara kronik seperti diabetik neuropati, makroangiopati, mikroangiopati,

dan sebagainya. Dalam bidang oftalmologi, komplikasi yang terpenting adalah retinopati diabetik

dan peningkatan progresifitas katarak yang telah terjadi. Adapun bentuk katarak diabetik murni

namun kejadiannya jarang. Pada makalah ini yang dibahas adalah pengaruh diabetes terhadap

katarak yang telah ada. Beberapa studi telah menunjukkan korelasi yang kuat antara progresifitas

katarak dengan diabetes yang mendasari seperti yang telah dilakukan Kim, dkk (2006) yang

menyimpulkan durasi diabetes adalah faktor yang sangat signifikan untuk katarak pada penderita

diabetes. Efek yang terakumulasi dari hiperglikemia terkait dengan kejernihan lensa pada

diabetes.(2) 

Katarak adalah suatu keadaan di mana lensa mata yang biasanya kernih dan bening menjadi

keruh.(4,11) Pada dasarnya katarak dapat terjadi karena proses kongenital atau karena proses

degeneratif. Proses degeneratif pada lensa disebut juga katarak senilis yang dibagi menjadi empat

stadium; Insipien, Immatur, Matur dan Hipermatur. Begitu banyak yang faktor yang mempengaruhi

timbulnya katarak ini, diabetes adalah salah satu faktor penyakit sistemik yang mempercepat

proses timbulnya katarak ini. Dari 200 pasien dengan katarak senilis yang dilakukan tes toleransi

glukosa oleh Dukmore dan Tun (1980) ditemukan dan disimpulkan bahwa intoleransi glukosa

sering dijumpai pada katarak senilis yang tidak menunjukkan glikosuria dan gula darah puasa yang

normal pada pemeriksaan rutin.(15) Terdapat beberapa teori yang hendak menjelaskan

patofisiologi progresifitas katarak pada penderita diabetes, serta penelitian-penelitian yang telah

berhasil membuktikan korelasi antara awitan usia menderita katarak dengan lamanya menderita

diabetes.(1-4,9-12) 

[center]BAB II[/center] 

[center]KETAJAMAN VISUS[/center] 

Visus adalah ketajaman atau kejernihan penglihatan, sebuah bentuk yang khusus di mana

tergantung dari ketajaman fokus retina dalam bola mata dan sensitifitas dari interpretasi di otak.

(5) 

Visus adalah sebuah ukuran kuantitatif suatu kemampuan untuk mengidentifikasi simbol-simbol

berwarna hitam dengan latar belakang putih dengan jarak yang telah distandardisasi serta ukuran

dari simbol yang bervariasi. Ini adalah pengukuran fungsi visual yang tersering digunakan dalam

klinik. Istilah “visus 20/20” adalah suatu bilangan yang menyatakan jarak dalam satuan kaki yang

mana seseorang dapat membedakan sepasang benda. Satuan lain dalam meter dinyatakan

sebagai visus 6/6. Dua puluh kaki dianggap sebagai tak terhingga dalam perspektif optikal

(perbedaan dalam kekuatan optis yang dibutuhkan untuk memfokuskan jarak 20 kaki terhadap tak

terhingga hanya 0.164 dioptri). Untuk alasan tersebut, visus 20/20 dapat dianggap sebagai

performa nominal untuk jarak penglihatan manusia; visus 20/40 dapat dianggap separuh dri tajam

penglihatan jauh dan visus 20/10 adalah tajam penglihatan dua kali normal.(5) 

Untuk menghasilkan detail penglihatan, sistem optik mata harus memproyeksikan gambaran yang

fokus pada fovea, sebuah daerah di dalam makula yang memiliki densitas tertinggi akan

fotoreseptor konus/kerucut sehingga memiliki resolusi tertinggi dan penglihatan warna terbaik.

Ketajaman dan penglihatan warna sekalipun dilakukan oleh sel yang sama, memiliki fungsi

fisiologis yang berbeda dan tidak tumpang tindih kecuali dalam hal posisi. Ketajaman dan

penglihatan warna dipengaruhi secara bebas oleh masing-masing unsur.(5) 

Cahaya datang dari sebuah fiksasi objek menuju fovea melalui sebuah bidang imajiner yang

disebut visual aksis. Jaringan-jaringan mata dan struktur-struktur yang berada dalam visual aksis

(serta jaringan yang terkait di dalamnya) mempengaruhi kualitas bayangan yang dibentuk.

Struktur-struktur ini adalah; lapisan air mata, kornea, COA (Camera Oculi Anterior = Bilik Depan),

pupil, lensa, vitreus dan akhirnya retina sehingga tidak akan meleset ke bagian lain dari retina.

Bagian posterior dari retina disebut sebagai lapisan epitel retina berpigmen (RPE) yang berfungsi

untuk menyerap cahaya yang masuk ke dalam retina sehingga tidak akan terpantul ke bagian lain

dalam retina. RPE juga memiliki fungsi vital untuk mendaur-ulang bahan-bahan kimia yang

digunakan oleh sel-sel batang dan kerucut dalam mendeteksi photon. Jika RPE rusak maka

kebutaan dapat terjadi.(5) 

Seperti pada lensa fotografi, ketajaman visus dipengaruhi oleh diameter pupil. Aberasi optik pada

mata yang menurunkan tajam penglihatan ada pada titik maksimal jika ukuran pupil berada pada

ukuran terbesar (sekitar 8 mm) yang terjadi pada keadaan kurang cahaya. Jika pupil kecil (1-2

mm), ketajaman bayangan akan terbatas pada difraksi cahaya oleh pupil. Antara kedua keadaan

ekstrim, diameter pupil yang secara umum terbaik untuk tajam penglihatan normal dan mata yang

sehat ada pada kisaran 3 atau 4 mm.(5) 

Korteks penglihatan adalah bagian dari korteks serebri yang terdapat pada bagian posterior

(oksipital) dari otak yang bertanggung-jawab dalam memproses stimuli visual. Bagian tengah 100

dari lapang pandang (sekitar pelebaran dari makula), ditampilkan oleh sedikitnya 60% dari korteks

visual/penglihatan. Banyak dari neuron-neuron ini dipercaya terlibat dalam pemrosesan tajam

penglihatan.(5) 

Perkembangan yang normal dari ketajaman visus tergantung dari input visual di usia yang sangat

muda. Segala macam bentuk gangguan visual yang menghalangi input visual dalam jangka waktu

yang lama seperti katarak, strabismus, atau penutupan dan penekanan pada mata selama

menjalani terapi medis biasanya berakibat sebagai penurunan ketajaman visus berat dan

permanen pada mata yang terkena jika tidak segera dikoreksi atau diobati di usia muda.

Penurunan tajam penglihatan direfleksikan dalam berbagai macam abnormalitas pada sel-sel di

korteks visual. Perubahan-perubahan ini meliputi penurunan yang nyata akan jumlah sel-sel yang

terhubung pada mata yan terkena dan juga beberapa sel yang menghubungkan kedua bola mata,

yang bermanifestasi sebagai hilangnya penglihatan binokular dan kedalaman persepsi atau

streopsis.(5) 

Mata terhubung pada korteks visual melalui nervus optikus yang muncul dari belakang mata.

Kedua nervus opticus tersebut bertemu pada kiasma optikum di mana sekitar separuh dari serat-

serat masing-masing mata bersilang menuju tempat lawannya ke sisi lawannya dan terhubung

dengan serat saraf dari bagian mata yang lain akan menghasilkan lapangan pandang yang

sebenarnya. Gabungan dari serat saraf dari kedua mata membentuk traktus optikus. Semua ini

membentuk dasar fisiologi dari penglihatan binokular. Traktus ini akan berhenti di otak tengah

yang disebut nukleus genikulatus lateral untuk kemudian berlanjut menuju korteks visual

sepanjang kumpulan serat-serat saraf yang disebut radiasio optika.(5) 

Segala macam bentuk proses patologis pada sistem penglihatan baik pada usia tua yang

merupakan periode kritis, akan menyebabkan penurunan tajam penglihatan. Maka, pengukuran

tajam penglihatan adalah sebuah tes yang sederhana dalam menentukan status kesehatan mata,

sistem penglihatan sentral, dan jaras-jaras penglihatan menuju otak. Berbagai penurunan tajam

penglihatan secara tiba-tiba selalu merupakan hl yang harus diperhatikan. Penyebab sering dari

turunnya tajam penglihatan adalah katarak, dan parut kornea yang mempengaruhi jalur

penglihatan, penyakit-penyakit yang mempengaruhi retina seperti degenarasi makular, dan

diabetes, penyakit-penyakit yang mengenai jaras optik menuju otak seperti tumor dan sklerosis

multipel, dan penyakit-penyakit yang mengenai korteks visual seperti stroke dan tumor.(5) 

[center]BAB III[/center] 

[center]LENSA DAN KATARAK[/center] 

Lensa Kristalina Normal 

Lensa Kristalina adalah sebuah struktur yang transparan dan bikonveks yang memiliki fungsi untuk

mempertahankan kejernihan, refraksi cahaya, dan memberikan akomodasi. Lensa tidak memiliki

suplai darah atau inervasi setelah perkembangan janin dan hal ini bergantung pada aqueus humor

untuk memenuhi kebutuhan metaboliknya serta membuang sisa metabolismenya. Lensa terletak

posterior dari iris dan anterior dari korpus vitreous. Posisinya dipertahankan oleh zonula Zinnii

yang terdiri dari serat-serat yang kuat yang menyokong dan melekatkannya pada korpus siliar.

Lensa terdiri dari kapsula, epitelium lensa, korteks dan nukleus.(6) 

Kutub anterior dan posterior dihubungkan dengan sebuah garis imajiner yang disebut aksis yang

melewati mereka. Garis pada permukaan yang dari satu kutub ke kutub lainnya disebut meridian.

Ekuator lensa adalah garis lingkar terbesar.(6) 

Lensa dapat merefraksikan cahaya karena indeks refraksinya, secara normal sekitar 1,4 pada

bagian tengah dan 1,36 pada bagian perifer yang berbeda dari aqueous humor dan vitreous yang

mengelilinginya. Pada keadaan tidak berakomodasi, lensa memberikan kontribusi 15-20 dioptri (D)

dari sekitar 60 D seluruh kekuatan refraksi bola mata manusia. Sisanya, sekitar 40 D kekuatan

refraksinya diberikan oleh udara dan kornea.(6) 

Lensa terus bertumbuh seiring dengan bertambahnya usia. Saat lahir, ukurannya sekitar 6,4 mm

pada bidang ekuator, dan 3,5 mm anteroposterior serta memiliki berat 90 mg. Pada lensa dewasa

berukuran 9 mm ekuator dan 5 mm anteroposterior serta memiliki berat sekitar 255 mg. Ketebalan

relatif dari korteks meningkat seiring usia. Pada saat yang sama, kelengkungan lensa juga ikut

bertambah, sehingga semakin tua usia lensa memiliki kekuatan refraksi yang semakin bertambah.

Namun, indeks refraksi semakin menurun juga seiring usia, hal ini mungkin dikarenakan adanya

partikel-partikel protein yang tidak larut. Maka, lensa yang menua dapat menjadi lebih hiperopik

atau miopik tergantung pada keseimbangan faktor-faktor yang berperan.(6) 

Kapsula 

Kapsula lensa memiliki sifat yang elastis, membran basalisnya yang transparan terbentuk dari

kolagen tipe IV yang ditaruh di bawah oleh sel-sel epitelial. Kapsula terdiri dari substansi lensa

yang dapat mengkerut selama perubahan akomodatif. Lapis terluar dari kapsula lensa adalah

lamela zonularis yang berperan dalam melekatnya serat-serat zonula. Kapsul lensa tertebal pada

bagian anterior dan posterior preekuatorial dan tertipis pada daerah kutub posterior sentral di

mana memiliki ketipisan sekitar 2-4 m. Kapsul lensa anterior lebih tebal dari kapsul posterior dan

terus meningkat ketebalannya selama kehidupan.(6) 

Serat zonular 

Lensa disokong oleh serat-serat zonular yang berasal dari lamina basalis dari epitelium non-

pigmentosa pars plana dan pars plikata korpus siliar. Serat-serat zonula ini memasuki kapsula

lensa pada regio ekuatorial secara kontinu. Seiring usia, serat-serat zonula ekuatorial ini beregresi,

meninggalkan lapis anterior dan posterior yang tampak sebagai bentuk segitiga pada potongan

melintang dari cincin zonula.(6) 

Epitel Lensa 

Terletak tepat di belakang kapsula anterior lensa, lapisan ini merupakan lapisan tunggal dari sel-

sel epitelial. Sel-sel ini secara metabolik aktif dan melakukan semua aktivitas sel normal termasuk

biosintesis DNA, RNA, protein dan lipid. Sel-sel ini juga menghasilkan ATP untuk memenuhi

kebutuhan energi dari lensa. Sel-sel epitelial aktif melakukan mitosis dengan aktifitas terbesar

pada sintesis DNA pramitosis yang terjadi pada cincin di sekitar anterior lensa yang disebut zona

germinativum. Sel-sel yang baru terbentuk ini bermigrasi menuju ekuator di mana sel-sel ini

melakukan diferensiasi menjadi serat-serat. Dengan sel-sel epitelial bermigrasi menuju bow region

dari lensa, maka proses differensiasi menjadi serat lensa dimulai.(6) 

Mungkin, bagian dari perubahan morfologis yang paling dramatis terjadi ketika sel-sel epitelial

memanjang membentuk sel serat lensa. Perubahan ini terkait dengan peningkatan massa protein

selular pada membran untuk setiap individu sel-sel serat. Pada waktu yang sama, sel-sel

kehilangan organel-organelnya, termasuk inti sel, mitokondria, dan ribosom. Hilangnya organel-

organel ini sangat menguntungkan, karena cahaya dapat melalui lensa tanpa tersebar atau

terserap oleh organel-organel ini. Bagaimana pun, karena serat-serat sel lensa yang baru ini

kehilangan fungsi metaboliknya yang sebelumnya dilakukan oleh organel-organel ini, kini serat

lensa terganting dari energi yang dihasilkan oleh proses glikolisis.(6) 

Korteks dan Nukleus 

Tidak ada sel yang hilang dari lensa sebagaimana serat-serat baru diletakkan, sel-sel ini akan

memadat dan merapat kepada serat yang baru saja dibentuk dengan lapisan tertua menjadi

bagian yang paling tengah. Bagian tertua dari ini adalah nukleus fetal dan embrional yang

dihasilkan selama kehidupan embrional dan terdapat pada bagian tengah lensa. Bagian terluar dari

serat adalah yang pertama kali terbentuk dan membentuk korteks dari lensa.(6) 

Peningkatan Protein-protein yang Tidak Larut Air Seiring Usia 

Tergantung dari kelarutan dalam air, sebuah hipotesis memperkirakan bahwa seiring dengan

berjalannya waktu, protein lensa menjadi tidak larut air dan beragregasi untuk membentuk

partikel-partikel yang sangat besar yang dapat memecahkan cahaya yang akhirnya

mengakibatkan kekeruhan lensa. Beberapa peneliti berusaha untuk mengkaitkan prosentase yang

lebih tinggi terhadap protein tidak larut air ini dengan peningkatan kekeruhan lensa, tetapi

hipotesis ini masihlah kontroversial. Haruslah diperhatikan bahwa fraksi protein tak larut air

meningkat dengan waktu sekalipun lensa masih tetap jernih. Konversi protein larut air menjadi tak

larut air tampak sebagai proses yang normal pada maturasi serat lensa, tetapi dapat menjadi lebih

cepat hingga berlebih pada lensa katarak tertentu.(7,12) 

Pada katarak dengan pencoklatan nukleus lensa (katarak brunesen), peningkatan kadar protein tak

larut air berkorelasi dengan derajat kekeruhan. Pada katarak brunesen yang jelas, sebanyak 90%

protein inti adalah tak larut air. Perubahan-perubahan terkait dengan oksidasi juga terjadi

termasuk protein-protein dan formasi ikatan disulfida protein-glutation, penurunan glutation

terreduksi dan peningkatan glutation disulfida. Methionin terkait membran dan sistein juga ikut

teroksidasi.(7) 

Pada lensa yang muda, kebanyakan protein tak larut dapat larut dalam urea. Dengan usia dan

secara nyata pembentukan katarak brunesen, protein inti menjadi tidak larut dalam urea. Sebagai

tambahan pada peningkatan ikatan disulfida, protein-protein inti ini berikatan silang dengan

ikatan-ikatan non disulfida. Fraksi protein tak larut ini mengandung protein kuning-coklat yang

ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi pada katarak nuklear.(7) 

Penurunan Konsentrasi Protein Lensa Seiring Usia 

Sekali pun usia membawa penurunan secara alami dari jumlah protein absolut dalam lensa,

reduksi ini tampak semakin jelas pada katarak. Sebagaimana disebutkan pada permulaan,

prosentase protein larut juga menurun, dari sekitar 81% pada lensa tranparan dewasa hingga

51,4% pada lensa katarak. Hilangnya protein dari lensa mungkin dikarenakan lolosnya kristalin

intak melalui kapsula lensa. Peneliti telah menemukan bahwa, pada katarak kortikal, kadar kristalin

alpha dan gamma dalam aqueous humor meningkat, pada katarak nuklear, kadar kritalin alpha

meningkat sedangkan kristalin gamma menurun.(7,12) 

Keseimbangan Air dan Kation Lensa 

Aspek fisiologi terpenting dari lensa adalah mekanisme yang mengatur keseimbangan air dan

elektrolit lensa yang sangat penting untuk menjaga kejernihan lensa.(8,12,13) Karena kejernihan

lensa sangat tergantung pada komponen struktural dan makromolekular, gangguan dari hidrasi

lensa dapat menyebabkan kekeruhan lensa. Telah ditentukan bahwa gangguan keseimbangan air

dan elektrolit bukanlah gambaran dari katarak nuklear. Pada katarak kortikal, kadar air meningkat

secara bermakna.(8) 

Lensa manusia normal mengandung sekitar 66% air dan 33% protein dan perubahan ini terjadi

sedikit demi sedikit dengan bertambahnya usia. Korteks lensa menjadi lebih terhidrasi daripada

nukleus lensa. Sekitar 5% volume lensa adalah air yang ditemukan diantara serat-serat lensa di

ruang ekstraselular. Konsentrasi natrium dalam lensa dipertahankan pada 20mM dan konsentrasi

kalium sekitar 120 mM. Kadar natrium dan kalium disekeliling aqueous humor dan vitrous humor

cukup berbeda; natrium lebih tinggi sekitar 150 mM di mana kalium sekitar 5 mM.(8) 

Epitelium Lensa; Tempat Transport Aktif 

Lensa bersifat dehidrasi dan memiliki kadar ion kalium (K+) dan asam amino yang lebih tinggi dari

aqueous dan vitreus di sekelilingnya. Sebaliknya, lensa mengandung kadar ion natrium (Na+) ion

klorida (Cl-) dan air yang lebih sedikit dari lingkungan sekitarnya. Keseimbangan kation antara di

dalam dan di luar lensa adalah hasil dari kemampuan permeabilitas membran sel-sel lensa dan

aktifitas dari pompa (Na+, K+-ATPase) yang terdapat pada membran sel dari epitelium lensa dan

setiap serat lensa. Fungsi pompa natrium bekerja dengan cara memompa ion natrium keluar dari

dan menarik ion kalium ke dalam. Mekanisme ini tergantung dari pemecahan ATP dan diatur oleh

enzim Na+, K+-ATPase. Keseimbangan ini mudah sekali terganggu oleh inhibitor spesifik ATPase

ouabain. Inhibisi dari Na+, K+-ATPase akan menyebabkan hilangnya keseimbangan kation dan

meningkatnya kadar air dalam lensa. Walaupun Na+, K+-ATPase terhambat pada perkembangan

katarak kortikal masih belum jelas, beberapa studi telah menunjukkan penurunan aktifitas Na+,

K+-ATPase, sedangkan yang lainnya tidak tidak menunjukkan perubahan apa pun. Dan studi-studi

lain telah memperkirakan bahwa permeabilitas membran meningkat seiring dengan

perkembangan katarak.(8) 

Teori Kebocoran Pompa 

Kombinasi dari transport aktif dan permeabilitas membran seringkali dihubungkan dengan sistem

kebocoran pompa pada lensa. Menurut teori ini, kalium dan molekul-molekul lainnya seperti asam-

asam amino secara aktif ditransport ke anterior lensa melalui epitelium. Kemudian berdifusi keluar

dengan gradien konsentrasi melalui belakang lensa.di mana tidak ada sistem transport aktif.

Kebalikannya, natrium mengalir melalui belakang lensa dengan sebuah gradien konsentrasi yang

kemudian secara aktif diganti dengan kalium melalui epitelium. Sebagai pendukung teori ini,

gradien anteroposterior ditemukan untuk kedua ion: kalium terkonsentrasi pada anterior lensa, dan

natrium pada bagian posterior lensa. Kondisi seperti pendinginan yang menginaktifasi pompa

enzim tergantung energi juga mengganggu gradien ini. Kebanyakan aktifitas dari Na+, K+-ATPase

ditemukan dalam epitelium lensa. Mekanisme transport aktif akan hilang jika kapsul dan epitel

yang menempel dilepaskan dari lensa, tetapi tidak terjadi jika hanya kapsul saja yang dilepaskan

melalui degradasi enzimatik dengan kolagenase. Temuan-temuan ini mendukung hipotesis yang

menyatakan bahwa epitel adalah tempat primer untuk transport aktif pada lensa. Natrium

dipompakan keluar menuju aqueous humor dari dalam lensa, dan kalium masuk dari aqueous

humor ke dalam lensa. Pada permukaan posterior lensa (lensa-vitreus), perpindahan solut terjadi

secara difusi pasif. Rancangan asimetris ini bermanifestasi dalam gradien natrium dan kalium

sepanjang lensa dengan konsentrasi kalium lebih tinggi pada depan lensa dan lebih rendah di

belakang lensa. Dan kebalikannya konsentrasi natrium lebih tinggi di belakang lensa daripada di

depan. Banyak dari difusi-difusi ini terjadi pada lensa melalui sel ke sel dengan taut antar sel

resistensi rendah.(8) 

Keseimbangan kalsium juga penting untuk lensa. Kadar normal intrasel dari kalsium dalam lensa

adalah sekitar 30 mM di mana kadar kalsium di luar mendekati 2 M Besarnya gradien

transmembran kalsium dipertahankan secara primer oleh pompa kalsium (Ca2+-ATPase).

Membran sel lensa juga secara relatif tidak permeabel terhadap kalsium. Hilangnya homeostasis

kalsium akan sangat mengganggu metabolisme lensa. Peningkatan kadar kalsium dapat berakibat

pada beberapa perubahan meliputi tertekannya metabolisme glukosa, pembentukan agregat

protein dengan berat molekul tinggi dan aktivasi protease yang destruktif.(8) 

Transport membran dan permeabilitas juga termasuk perhitungan yang penting pada nutrisi lensa.

Transport aktif asam-asam amino mengambil tempat pada epitel lensa dengan mekanisme

tergantung pada gradien natrium yang dibawa oleh pompa natrium. Glukosa memasuki lensa

melalui sebuah proses difusi terfasilitasi yang tidak secara langsung terhubung oleh sistem

transport aktif. Hasil buangan metabolisme meninggalkan lensa melalui difusi sederhana. Berbagai

macam substansi seperti asam askorbat, myo-inositol dan kolin memiliki mekanisme transport

yang khusus pada lensa.(8) 

Katarak Senilis 

Katarak senilis adalah penyakit gangguan penglihatan yang dicirikan oleh penebalan yang berjalan

secara lambat dan progresif. Ini adalah penyebab utama dari kebutaan di dunia saat ini. Namun

tidak begitu adanya, mengingat morbiditas visual ini dibawa oleh katarak terkait usia yang

reversibel. Dengan deteksi dini, pengamatan seksama dan waktu intervensi bedah dapat dilakukan

untuk katarak senilis dan tatalaksananya.(4) Perkins (1984) dalam penelitiannya menyimpulkan

bahwa katarak lebih sering dijumpai pada wanita daripada pria.(16) 

Patofisiologi Katarak Senilis 

Patofisiologi dibalik katarak senilis adalah kompleks dan perlu untuk dipahami. Pada semua

kemungkinan, patogenesisnya adalah multifaktorial yang melibatkan interaksi kompleks antara

proses fisiologis yang bermacam-macam. Sebagaimana lensa berkembang seiring usia, berat dan

ketebalan terus meningkat sedangkan daya akomodasi terus menurun. Dengan lapisan-lapisan

kortikal yang baru ditambahkan dalam pola konsentrik, nukleus sentral tertekan dan mengeras

pada sebuah proses yang disebut sklerosis nuklear.(4) 

Bermacam mekanisme memberikan kontribusi pada hilangnya kejernihan lensa. Epitelium lensa

dipercaya mengalami perubahan seiring dengan pertambahan usia, secara khusus melalui

penurunan densitas epitelial dan differensiasi abberan dari sel-sel serat lensa. Sekali pun epitel

dari lensa katarak mengalami kematian apoptotik yang rendah di mana menyebabkan penurunan

secara nyata pada densitas sel, akumulasi dari serpihan-serpihan kecil epitelial dapat

menyebabkan gangguan pembentukan serat lensa dan homeostasis dan akhirnya mengakibatkan

hilangnya kejernihan lensa. Lebih jauh lagi, dengan bertambahnya usia lensa, penurunan ratio air

dan mungkin metabolit larut air dengan berat molekul rendah dapat memasuki sel pada nukleus

lensa melalui epitelium dan korteks yang terjadi dengan penurunan transport air, nutrien dan

antioksidan.(4) 

Sen, dkk (2008) melakukan penelitian dengan mengukur kadar homosistein plasma, folat dan

vitamin B12 pada penderita katarak senilis. Ia mendapatkan hasil turunnya kadar folat jika

dibandingkan dengan kontrol (p<0,001). Penelitian ini didasarkan pada pemikiran peningkatan

kadar homosistein yang terlihat pada berbagai macam penyakit mata seperti exfoliation syndrome,

glaukoma, dan katarak. Di mana telah diusulkan bahwa homosistein adalah oksidan yang penting

dalam patogenesis perlukaan sel-sel endotelial dan penyakit atherosklerotik vaskular. Vitamin B12

dan folat terlibat dalam metabolisme metilasi homosistein menjadi metionin. Sen dkk

menyimpulkan peningkatan plasma homosistein terkait dengan menurunnya kadar plasma dari

folat dan vitamin B12 di mana sangat mungkin mejadi akar permasalahan penyebab dari

patogenesis katarak.(14) 

Kemudian, kerusakan oksidatif pada lensa pada pertambahan usia terjadi yang mengarahkan pada

perkembangan katarak senilis. Berbagai macam studi menunjukkan peningkatan produk oksidasi

(contohnya glutation teroksidasi) dan penurunan vitamin antioksidan serta enzim superoksida

dismutase yang menggaris-bawahi peranan yang penting dari proses oksidatif pada

kataraktogenesis.(4) 

Mekanisme lainnya yang terlibat adalah konversi sitoplasmik lensa dengan berat molekul rendah

yang larut air menjadi agregat berat molekul tinggi larut air, fase tak larut air dan matriks protein

membran tak larut air. Hasil perubahan protein menyebabkan fluktuasi yang tiba-tiba pada indeks

refraksi lensa, menyebarkan jaras-jaras cahaya dan menurunkan kejernihan. Area lain yang sedang

diteliti meliputi peran dari nutrisi pada perkembangan katarak secara khusus keterlibatan dari

glukosa dan mineral serta vitamin.(4) 

Katarak senilis dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk utama; katarak nuklear, katarak kortikal,

dan katarak subkapsular posterior. Katarak nuklear merupakan hasil dari sklerosis nuklear yang

berlebih dan penguningan dengan konsekuensi pembentukan opasitas lentikular sentral. Pada

beberapa keadaan, nukleus dapat menjadi sangat padat dan coklat, yang disebut sebagai katarak

brunesen. Perubahan katarak komposisi ionik pada korteks lensa dan perubahan hidrasi pada serat

lensa menghasilkan katarak kortikal. Pembentukan kekeruhan seperti plak dan granular terjadi

pada korteks sub-kapsular posterior yang seringkali mengarah pada katarak sub-kapsular

posterior.(4) 

[center]BAB IV[/center] 

[center]DIABETES DAN KATARAK[/center] 

Metabolisme Karbohidrat pada Lensa 

Tujuan utama dari metabolisme lensa adalah untuk mempertahankan kejernihannya. Pada lensa,

energi yang diperoleh bergantung pada metabolisme glukosa. Glukosa memasuki lensa dari

aqueous baik melalui difusi sederhana dan melalui difusi terfasilitasi. Kebanyakan glukosa

ditranportasi ke dalam lensa dalam bentuk terfosforilasi (Glukosa 6 fosfat =G6P) oleh enzim

heksokinase. Reaksi ini adalah 70-1000 kali lebih lambat dari enzim-enzim lainnya yang terlibat

dalam proses glikolisis lensa dan kecepatan terbatas pada lensa. Ketika terbentuk, G6P memasuki

satu dari dua jalur metabolisme: glikolisis anaerobik atau heksosa monofosfat shunt (HMP shunt).

(3,7) 

Jalur yang lebih aktif dari antara kedua metabolisme ini adalah glikolisis anaerobik yang

menyediakan ikatan fosfat energi tinggi terbanyak yang dibutuhkan untuk metabolisme lensa.

Fosforilasi terkait substrat dari ADP menjadi ATP terjadi pada dua langkah sepanjang jalan menuju

laktat. Langkah dengan kecepatan yang terbatas pada jalur glikolitik sendiri ada pada tahap enzim

fosfofruktokinase yang diatur melalui umpan balik oleh produk metabolik dari jalur glikolitik. Jalur

ini lebih sedikit efisiensinya dibandingkan dengan glikolisis aerobik yang menghasilkan 36 molekul

ATP dari setiap molekul glukosa yang dimetabolisme dalam siklus asam sitrat (metabolisme

oksidatif). Karena tekanan oksigen yang rendah dalam lensa, hanya sekitar 3% dari glukosa lensa

yang melewati siklus asam sitrat Krebs untuk memproduksi ATP; bagaimana pun, walau hanya

dengan metabolisme aerobik yang rendah ini menghasilkan 25% dari ATP lensa. 

Bahwa lensa tidak tergantung pada oksigen telah didemonstrasikan dengan kemampuannya untuk

menjaga metabolisme normal dalam lingkungan nitrogen. Dengan diberikan sejumlah glukosa,

lensa in vitro yang anoksik tetap jernih dan utuh, memiliki kadar normal dari ATP serta

mempertahankan aktivitas pompa asam amino dan ion. Bagaimana pun, ketika glukosa menurun

atau kekurangan, lensa tidak dapat mempertahankan fungsi-fungsi ini dan menjadi keruh pada

beberapa jam sekalipun terdapat oksigen.(7) 

Jalur yang kurang aktif untuk utilisasi G6P dalam lensa adalah heksosa monofosfat shunt (HMP

shunt), yang dikenal juga dengan istilah jalur pentosa monofosfat. Sekitar 5% dari glukosa lensa

dimetabolisme melalui jalur ini sekalipun jalur ini distimulasi oleh peningkatan kadar glukosa.

Aktifitas HMP shunt lebih tinggi pada lensa dibandingkan dengan jaringan lain dalam tubuh namun

perannya masih belum bisa ditetapkan. Sebagaimana pada jaringan lain, dapat menghasilkan

NADPH (sebuah bentuk terreduksi dari nicotinamide-adenine dinucleotide phosphate (NADP)) untuk

biosintesis asam lemak dan biosintesis ribosa untuk nukleotida. Juga dihasilkan pula NADPH untuk

aktifitas glutation reduktase dan aldose reduktase dalam lensa. Produk karbohidrat dari HMP shunt

memasuki jalur glikolisis dan dimetabolisme menjadi laktat. Aldose reduktase adalah enzim kunci

pada jalur lain metabolisme karbohidrat pada lensa, yaitu jalur sorbitol. Enzim ini telah ditemukan

memainkan peranan yang penting dalam pembentukan katarak “gula”.(7) 

Sebagaimana ditekankan sebelumnya, reaksi heksokinase memiliki keterbatasan dalam

memfosforilasi glukosa dalam lensa dan dihambat oleh mekanisme umpan balik dari produk

glikolisis. Maka, ketika kadar glukosa meningkat dalam lensa sebagaimana terjadi pada keadaan

hiperglikemia, jalur sorbitol teraktifasi lebih daripada glikolisis dan terjadi akumulasi dari sorbitol.

Sorbitol dimetabolisme menjadi fruktosa oleh enzim polyol dehidrogenase. Sayangnya enzim ini

memilii affinitas yang rendah yang berarti sorbitol akan terakumulasi sebelum mengalami

metabolisme labih lanjut. Karakteristik ini, dikombinasikan dengan kurangnya permeabilitas lensa

terhadap sorbitol berakhir dengan retensi sorbitol dalam lensa.(7) 

Tingginya rasio NADPH/NADH mendorong reaksi ke arah tersebut, akumulasi dari NADP yang

terjadi sebagai konsekuensi teraktivasinya jalur sorbitol dapat menyebabkan stimulasi HMP shunt

yang terjadi pada peningkatan glukosa lensa.(9,10) Berdasarkan bukti-bukti yang ada, stress

oksidatif yang terjadi pada diabetes terkait dengan penurunan kadar glutation dan penurunan

kadar NADPH, dengan demikian peningkatan sorbitol dehidrogenase terkait dengan terganggunya

kadar NAD+ yang bermanifestasi sebagai modifikasi protein oleh glikosilasi non-enzimatik pada

protein lensa.(9,13). Penelitian yang dilakukan oleh Murya, dkk (2006) menunjukkan bahwa kadar

Katalase pada pasien dengan katarak diabetik 16,42 unit/ml sedangkan pada katarak senilis 57,27

unit/ml. Kadar Superoksida dismutase pada katarak diabetik 9,19 unit/ml dan kadarnya pada

katarak senilis adalah 25,30 unit/ml. Penelitian ini menyimpulkan penurunan kadar superoksida

dismutase dan katalase yang lebih rendah secara nyata dan bermakna pada pasien dengan

katarak diabetik dibandingkan dengan katarak senilis. Maurya menyimpulkan peran dari enzim-

enzim antioksidan yang penting dalam melindungi jaringan dari perusakan oksidatif serta stress

oksdatif termasuk faktor penting yang berperan dalam patogenesis katarak diabetik. Penggunaan

antioksidan akan menghambat atau mencegah pembetukan katarak.(13) Sejalan dengan sorbitol,

fruktosa juga terbentuk pada lensa dengan kadar tinggi glukosa. Bersamaan, kedua gula tersebut

meningkatkan tekanan osmotik di dalam lensa dan menarik air. Pada mulanya pompa tergantung

energi pada lensa mampu mengkompensasi, tetapi akhirnya kemampuan tersebut terlewati.

Hasilnya adalah pembengkakan serat, rusaknya arsitektur sitoskeletal normal dan kekeruhan

lensa.(3) 

Diabetes Mellitus dan Katarak 

Diabetes Mellitus dapat mempengaruhi kejernihan lensa, indeks refraksi dan amplitudo

akomodatifnya. Dengan peningkatan kadar gula darah, juga diikuti dengan kadar glukosa pada

aqueous humor. Karena kadar glukosa darah yang meningkat pada aqueous humor dan glukosa

masuk ke dalam lensa melalui difusi, kadar glukosa dalam lensa akan meningkat. Beberapa

molekul glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim aldose reduktase yang tidak

dimetabolisme namun menetap di dalam lensa.(3) 

Bersama dengan itu, tekanan osmotik akan menyebabkan influks dari air ke dalam lensa yang

menyebabkan pembengkakan dari serat-serat lensa. Keadaan hidrasi lentikular dapat

mempengaruhi kemampuan/kekuatan refraksi lensa. Pasien dengan diabetes dapat menunjukkan

perubahan kekuatan refraksi berdasarkan perubahan pada kadar glukosa darah yang dialami.

Perubahan miopik akut dapat mengindikasikan diabetes yang tidak terdiagnosa atau diabetes yang

tidak terkontrol. Seorang dengan diabetes memiliki amplitudo akomodasi yang menurun

dibandingkan dengan kontrol pada usia yang sama, dan presbiopia dapat terjadi pada usia yang

lebih muda pada pasien dengan diabetes jika dibandingkan dengan yang tidak mengalaminya.(3) 

Bukti-bukti eksperimental memperkirakan bahwa glikosilasi dari protein lensa terlibat dalam proses

pembentukan katarak. Glikosilasi dari protein lensa, di mana glukosa atau gula-gula terreduksi

lainnya bereaksi dengan grup e-amino dari residu lisin atau amino terminal dari protein yang

mengakibatkan pembentukan basa schiff. Basa schiff ini akan mengalami perombakan secara

Amadori melalui reaksi Maillard yang akan menghasilkan ketoamin yang lebih stabil dari produk

Amadori (produk glikosilasi awal). Pada tahap akhir, produk Amadori mengalami dehidrasi dan

perombakan kembali untuk membentuk lintas silang antara protein terkait, menghasilkan agregat

protein atau Advanced Glycocylated End Products(AGEs).(11) 

Jansirani (2004) melakukan eksperimen dengan mengumpulkan nukleus-nukleus lensa dari setiap

operasi ECCE (Extra Capsular Cataract Extraction) dengan membandingkan kadar glukosa, protein

dan protein terglikosilasi antara dua populasi; katarak senilis dengan diabetes, dan katarak senilis

non-diabetik dari berbagai stadium. Dan hasil yang ditemukan adalah kadar protein terglikosilasi

tertinggi ditemukan pada katarak senilis hipermatur (p<0,01) ketika dibandingkan dengan katarak

tipe lainnya termasuk dengan yang diabetik. Jansirani dkk menyimpulkan bahwa kadar glukosa

yang tinggi bukanlah satu-satunya faktor penentu dalam glikosilasi protein lensa.(11) 

Katarak adalah penyebab tersering dari gangguan penglihatan pada pasien dengan diabetes.

Sekali pun terdapat dua tipe dari katarak yang telah ditemukan, pola-pola yang lain dapat pula

dijumpai. Katarak diabetik sejati, atau snowflake cataract,terdiri dari perubahan bilateral tersebar

pada subkapsular lensa secara tiba-tiba, dan progresi akut yang secara tipikal terdapat pada usia

muda dengan diabetes mellitus yang tidak terkontrol. Kekeruhan multipel abu-abu putih

subkapsular dengan penampilan seperti serpihan-serpihan salju terlihat pada korteks anterior

superfisial dan korteks posterior lensa. Vakuol-vakuol dapat tampak pada kapsula lensa dan celah-

celah terbentuk pada korteks. Intumesensi dan maturitas dari katarak kortikal akan mengikuti

setelahnya. Para peneliti percaya bahwa perubahan metabolik yang mendasari terkait dengan

katarak diabetik sejati pada manusia sangat dekat sekali dengan katarak sorbitol yang dipelajari

pada binatang percobaan. Sekalipun katarak diabetik sejati jarang sekali ditemukan pada praktek

klinis saat ini, segala macam bentuk maturitas progresif dari katarak bilateral kortikal pada anak

atau dewasa muda harus mengingatkan para dokter akan kemungkinan diabetes mellitus. Resiko

tinggi pada katarak terkait usia pada pasien dengan diabetes dapat merupakan akibat dari

akumulasi sorbitol dalam lensa, perubahan hidrasi lensa, dan peningkatan glikosilasi protein pada

lensa diabetik. Klein, dkk menyimpulkan dalam penelitiannya, bahwa diabetes mellitus terkait

dengan insidens selama dari 5 tahun dari katarak kortikal dan subkapsular posterior dan dengan

progresi dari beberapa kekeruhan minor kortikal dan subkapsular posterior lensa. Perubahan-

perubahan ini terkait dengan kadar glukosa darah. Sedangkan Perkins (1984) mendapatkan selisih

prosentase sedikit lebih banyak pada subkapsular posterior dengan diabetes sebanyak 11,3% dan

11% pada non-diabetik. (10,15) 

Peningkatan glikosilasi non-enzimatik dan Advanced Glycocylated End Products (AGEs) telah

dipostulasikan dalam pembentukan katarak. Pemberian inhibitor aldose reduktase inhibitor (0,06%

tolrestat atau polnalrestat, 0,0125% AL-1576 selama 8 minggu) pada diet dari tikus diabetik

terinduksi streptozotocin (STZ) memberikan hasil penurunan kadar sorbitol, hambatan progresifitas

katarak, penurunan konsentrasi protein terglikosilasi pada lensa dan sedikit penurunan kadar AGE

lentikular jika dibandingkan dengan tikus diabetik yang tidak diterapi setelah 45 dan 87 hari

diabetes.(9,10) 

Operasi Katarak dan Diabetes 

Seperti yang telah dijelaskan pada bacaan sebelumnya, pasien diabetes memiliki peningkatan

resiko untuk terjadinya katarak. Dilaporkan adanya progresi post operatif dari retinopati dan

berkembangnya edema makular pada beberapa penelitian. Operasi katarak pada penderita

diabetes dahulu diperkirakan sebagai operasi yang penuh resiko. Glaukoma neovaskular dan

proliferasi retina yang berlanjut telah dilaporkan setelah operasi katarak pada pasien diabetes.

Kejadian post operasi ini dikaitkan dengan prognosis ad visam yang buruk. Penelitian terkini

dengan teknik fakoemulsifikasi telah dilaporkan memiliki komplikasi postoperasi yang lebih kecil.

Progresi dari retinopati diabetik terkait dengan kontrol kadar gula darah selama diabetes, lamanya

diabetes dan hipertensi yang tidak ditangani. Adanya retinopati diabetik tahap lanjut akan

memberikan prognosis postoperasi yang kurang memuaskan. Namun pada fase non-proliferatif,

operasi katarak bukanlah suatu kontraindikasi.(17-20) 

[center]BAB V[/center] 

[center]KESIMPULAN[/center] 

Katarak adalah suatu keadaan di mana lensa mata yang biasanya kernih dan bening menjadi

keruh. Pada dasarnya katarak dapat terjadi karena proses kongenital atau karena proses

degeneratif. Proses degeneratif pada lensa disebut juga katarak senilis yang dibagi menjadi empat

stadium; Insipien, Immatur, Matur dan Hipermatur. Begitu banyak yang faktor yang mempengaruhi

timbulnya katarak ini, diabetes adalah salah satu faktor penyakit sistemik yang mempercepat

proses timbulnya katarak ini. 

Dasar patogenesis yang melandasi penurunan visus pada katarak dengan diabetes adalah teori

akumulasi sorbitol yang terbentuk dari aktifasi kalur polyol pada keadaan hiperglikemia yang mana

lebih lanjut akumulasi sorbitol dalam lensa akan menarik air kedalam lensa sehingga terjadi hidrasi

lensa yang merupakan dasar patofisiologi ternetuknya katarak. Dan yang kedua adalah teori

glikosilasi protein, dimana adanya AGE akan mengganggu struktur sitoskeletal yang dengan

sendirinya akan berakibat pada turunnya kejernihan lensa. 

Operasi katarak dengan diabetes bukanlah suatu kontraindikasi jika terdapat retinopati diabetik

non-proliferatif. Didasarkan dari penelitian-penelitian yang ada, didapatkan bahwa teknik

fakoemulsifikasi memberikan hasil yang lebih baik dengan komplikasi post operasi yang lebih kecil.

Pada adanya retinopati diabetik lanjut, pasien perlu dijelaskan akan kemungkinan hasil postoperasi

yang tidak optimal. 

DAFTAR PUSTAKA 

1. Purdy EP, Bolling JP. Endocrine Disorders; Diabetes Mellitus. In: Purdy EP, editors. Updates on

General Medicine. 2006-2007. San Fransisco; American Assosciation of Ophtalmology; 2006; 201-

21. 

2. Kim SJ, Kim SI. 2006. Prevalence and Risk Factors for Cataracts in Person with Type 2 Diabetes

Mellitus. MedScape. [Online]. [Accessed 25th August 2008]. Available from World Wide

Web: http://www.medscape.com/medline/abstract 

3. Rosenfeld S, Blecher MH. Pathology; Cataracts, Metabolic Cataracts. In: Rosenfeld S, editors.

Lens & Cataract. 2006-2007. San Fransisco; American Assosciation of Ophtalmology; 2006; 45-61 

4. Ocampo V, Foster CS. Cataract, Senile. April 8, 2008 [cited 2008 August 25].

Available:http://www.emedicine.com/oph/TOPIC49.HTM 

5. Guyton AC, Hall JE. Mata I. Sifat Optik Mata. Dalam: Guyton AC, penyunting. Buku Ajar Fisiologi

Kedokteran edisi 9. Jakarta; Penerbit buku Kedokteran EGC; 1996; 779-94. 

6. Rosenfeld S, Blecher MH. Anatomy. In: Rosenfeld S, editors. Lens & Cataract. 2006-2007. San

Fransisco; American Assosciation of Ophtalmology; 2006; 5-10 

7. Rosenfeld S, Blecher MH. Biochemistry; Carbohydrate Metabolism. In: Rosenfeld S, editors. Lens

& Cataract. 2006-2007. San Fransisco; American Assosciation of Ophtalmology; 2006; 14-16. 

8. Rosenfeld S, Blecher MH. Physiology. In: Rosenfeld S, editors. Lens & Cataract. 2006-2007. San

Fransisco; American Assosciation of Ophtalmology; 2006; 19-21 

9. Maritim AC, Sanders RA, Wantkins JB, 2002. Diabetes, Oxidative Stress, and Antioxidants: A

Review. J Biochem Molecular Toxicology. 17: 24-38. 

10. Klein BK, Klein R, Lee KE, 1998. Diabetes, Cardiovaskular Disease, Selected Cardiovascular Risk

Factors, and The 5-Year Incidence of Age-Related Cataract and Progression of Lens Opacities: The

Beaver Dam Eye Study. American Journal of Ophtalmology. 126: 782-90. 

11. Jansirani, Anathanaryanan PH. 2004. A Comparative Study of Lens Protein Glycation in Various

Forms of Cataract. Indian Journal of Clinical Biochemistry. 19 (1): 110-2. 

12. Zarina S, Abbasi A, Zaidi ZH. 1994. Cataractous Lens and Its Environment. Pure & Applicated

Chemistry. 66; 111-5. 

13. Maurya OPS, Mohanty L, Pathak S, Chandra A, Srivastava R. 2006. Role of Anti-oxidant

Enzymes Superoxide Dismutase and Catalase in the Development of Cataract: Study of Serum

Levels in Patients with Senile and Diabetic Cataracts. AIOP Proceedings; 142-3. 

14. Sen SK, Pukazhvanthen P, Abraham R. 2008. Plasma Homocysteine, Folate and Vitamin B12

Levels in Senile Cataract. Indian Journal of Clinical Biochemistry. 23 (3); 255-7. 

15. Dugmore WN, Tun K. 1980. Glucose Tolerance Tests in 200 Patients with Senile Cataract.

British Journal of Ophtalmology. 64: 689-92. 

16. Tsai CY, et al. 2007. Population-Based Study of Cataract Surgery Among Patients with Type 2

Diabetes in Kinmen, Taiwan. Can J Ophtalmol. 42: 262-7. 

17. Hiller R, Kahn H. 1976. Senile Cataract Extraction and Diabetes. British Journal of

Ophtalmology. 60; 283-6. 

18. Mozaffarieh M, Heinzl H, Sacu S, Wedrich A. 2005. Clinical Outcomes of Phacoemulsification

Cataract Surgery in Diabetes Patients: Visual Function (VF-14), Visual Acuity and Patient

Satisfaction. Acta Ophtalmologica Scandinavica. 83: 176-83. 

19. Flesner P, et al. 2002. Cataract Surgery on Diabetic Patients. A Prospective Evaluation of Risk

Factors and Complications. Acta Ophtalmologica Scandinavica. 80: 19-24. 

20. Newell FW. Systemic Disease and the Eye; Endocrine Disease and the Eye. In; Newell FW,

editor: Ophtalmology; Principles & Concepts. London, Mosby Company. 1982; 431-45.