PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI...

73
PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI FAKULTAS FARMASI USU TIM PENYUSUN STAFF DAN ASISTEN LABORATORIUM DEPARTEMEN FARMAKOLOGI FARMASI LABORATORIUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI D-3 ANALIS FARMASI DAN MAKANAN FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2019

Transcript of PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI...

Page 1: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

PENUNTUN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

FAKULTAS FARMASI USU

TIM PENYUSUN

STAFF DAN ASISTEN LABORATORIUM

DEPARTEMEN FARMAKOLOGI FARMASI

LABORATORIUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

D-3 ANALIS FARMASI DAN MAKANAN

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2019

Page 2: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

i

LABORATORIUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

DEPARTEMEN FARMAKOLOGI FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BIODATA MAHASISWA

NAMA :

NIM :

KELOMPOK :

PROGRAM STUDI :

Pas Foto

3 x 4

Page 3: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

ii

STAF LABORATORIUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

FAKULTAS FARMASI

Kepala Laboratorium : Embun Suci Nasution, S.Si., M.Farm.Klin., Apt.

Staff Laboratorium :

Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.

Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt.

Prof. Dra. Azizah Nasution, M.Sc., Ph.D., Apt.

Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt.

Dr. Poppy Anjelisa Z. Hasibuan, S.Si., M.Si., Apt.

Dr. Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt

Marieanne, S.Si., M.Si., Apt.

Yuandani, S.Farm., M.Si., Ph.D., Apt.

Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt.

Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt.

Dadang Irfan Husori, S.Si., M.Sc., Apt.

Emil Salim, S.Farm., M.Sc., Apt.

Laboran : Sasniwiati Sari Hasibuan, S.Farm

Asisten Labratorium :

Zainul Fuad Nurhadi

Joule De Ceva Magribi

Trya Nur Indah

Sigit Dui Harianto

Akbar Pratama

Kurnia Lavinda Yusfa

Cindi Indriyani

Dhea Nur Fadhillah Hasibuan

Ulva Khairani Ritonga Desy Ariyanti Panjaitan

Christal Jennifer Grundling Nurnasuha

Page 4: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

iii

PERATURAN LABORATORIUM

1. Syarat mengikuti praktikum adalah sebagai berikut :

- Mahasiswa yang telah mengikuti kuliah farmakologi dan toksikologi

- Mahasiswa telah mengisi kartu rencana studi untuk mengikuti praktikum farmakologi

dan toksikologi

- Menunjukkan salinan kartu rencana studi

- Pas foto berwarna ukuran 3x4

2. Praktikum dimulai pukul 08.00 WIB dan harus hadir tepat waktu.

3. Selama praktikum berlangsung, praktikan wajib menggunakan jas praktikum, sarung tangan,

masker, badge name dan wajib mengikuti tata cara berpakaian Fakultas Farmasi USU.

4. Setiap kelompok bertanggung jawab atas penyediaan dan pemeliharaan hewan yang

digunakan selama praktikum

5. Setiap kelompok bertanggung jawab atas kebersihan meja dan alat-alat praktikum serta

pengembalian peralatan dalam keadaan bersih

6. Data praktikum dinyatakan sah apabila telah ditandatangani oleh asisten yang bertugas.

7. Apabila dalam laboratorim terjadi keadaan yang berbahaya, praktikan harus segera melapor

pada dosen/asisten yang bertugas, dan apabila dalam praktikum menemui kesulitan atau

kesukaran mintalah petunjuk dosen/asisten yang bertugas.

8. Praktikan yang berhalangan hadir harus memberikan keterangan tertulis atau surat

keterangan dokter apabila sakit.

9. Praktikan yang tidak mengikuti praktikum diwajibkan mengikuti praktikum dihari lainnya.

Page 5: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

iv

TUJUAN INSTRUKSIONAL

A. Umum

Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa D3 Analis Farmasi dan Makanan

semester III akan dapat mengevaluasi aktivitas obat menggunakan berbagai metode

eksperimen farmakologi.

B. Khusus

1. Mahasiswa dapat mengaplikasikan cara penanganan hewan yang baik dan

menggunakan hewan yang sesuai etik.

2. Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian obat

3. Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan variasi biologi

4. Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas analgetik obat

5. Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas antipiretik obat

6. Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas antiinflamasi obat

7. Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas diuretik obat

Page 6: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

v

DAFTAR ISI

BAB 1. AKTIVITAS OBAT BERDASARKAN DOSIS......................................................... Error! Bookmark not defined.

BAB 2. AKTIVITAS OBAT BERDASARKAN RUTE PEMBERIAN OBAT, DAN VARIASI

BIOLOGI ..............................................................................................................................

Error! Bookmark not defined.

BAB 3. AKTIVITAS ANALGETIK OBAT/SEDIAAN UJI .......................................................

Error! Bookmark not defined.

BAB 4. AKTIVITAS ANTIPIRETIK OBAT/SEDIAAN UJI ..................................................... Error! Bookmark not defined.

BAB 5. AKTIVITAS ANTIINFLAMASI OBAT/SEDIAAN UJI ..............................................

Error! Bookmark not defined.

BAB 6. AKTIVITAS DIURETIKA OBAT....................................................................................

Error! Bookmark not defined.

Page 7: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

1

BAB 1. AKTIVITAS OBAT BERDASARKAN DOSIS

I. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS Setelah menyelesaikan percobaan ini Mahasiswa dapat:

1. Mengaplikasikan cara penanganan hewan yang baik dan penggunaan hewan yang sesuai

etik.

2. Mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan Dosis

II. ETIKA PEMANFAATAN HEWAN COBA

Hewan percobaan yang digunakan pada penelitian akan mengalami penderitaan, yaitu:

ketidaknyamanan, ketidaksenangan, kesusahan, rasa nyeri, dan terkadang berakhir dengan kematian. Berdasarkan hal tersebut, hewan yang dikorbankan dalam penelitian yang hasilnya dapat dimanfaatkan oleh manusia patut dihormati, mendapat perlakuan yang manusiawi, dipelihara dengan baik, dan

diusahakan agar bisa disesuaikan pola kehidupannya seperti di alam. Peneliti yang akan memanfaatkan hewan percobaan pada penelitian kesehatan harus mengkaji

kelayakan dan alasan pemanfaatan hewan dengan mempertimbangkan penderitaan yang akan dialami oleh hewan percobaan dan manfaat yang akan diperoleh untuk manusia.

Dalam pelaksanan penelitian, peneliti harus membuat dan menyesuaikan protokol dengan

standar yang berlaku secara ilmiah dan etik penelitian kesehatan. Etik penelitian kesehatan secara umum tercantum dalam World Medical Association, yaitu: respect (menghormati hak dan martabat

makhluk hidup, kebebasan memilih dan berkeinginan, serta bertanggung jawab terhadap dirinya,

termasuk di dalamnya hewan coba), beneficiary (bermanfaat bagi manusia dan makhluk lain, manfaat yang didapatkan harus lebih besar dibandingkan dengan risiko yang diterima), dan justice (bersikap

adil dalam memanfaatkan hewan percobaan). Contoh sikap tidak adil, antara lain: hewan disuntik/

dibedah berulang untuk menghemat jumlah hewan, memakai obat euthanasia yang menimbulkan rasa

nyeri karena harga yang lebih murah. Dalam penelitian kesehatan yang memanfaatkan hewan coba, juga harus diterapkan prinsip 3

R dalam protokol penelitian, yaitu: replacement, reduction, dan refinement. Replacement adalah keperluan memanfaatkan hewan percobaan sudah diperhitungkan

secaraseksama, baik dari pengalaman terdahulu maupun literatur untuk menjawab pertanyaan

penelitian dan tidak dapat digantikan oleh mahluk hidup lain seperti sel atau biakan jaringan.

Replacement terbagi menjadi dua bagian, yaitu: relatif (mengganti hewan percobaan dengan memakai organ/jaringan hewan dari rumah potong, hewan dari ordo lebih rendah) dan absolut (mengganti

hewan percobaan dengan kultur sel, jaringan, atau program komputer). Reduction diartikan sebagai pemanfaatan hewan dalam penelitian sesedikit mungkin,

tetapitetap mendapatkan hasil yang optimal. Jumlah minimum biasa dihitung menggunakan rumus

Frederer yaitu (n-1) (t-1) >15, dengan n adalah jumlah hewan yang diperlukan dan t adalah jumlah kelompok perlakuan. Kelemahan dari rumus itu adalah semakin sedikit kelompok penelitian, semakin

banyak jumlah hewan yang diperlukan, serta sebaliknya. Untuk mengatasinya, diperlukan penggunaan

desain statistik yang tepat agar didapatkan hasil penelitian yang sahih. Refinement adalah memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi (humane),

memeliharahewan dengan baik, tidak menyakiti hewan, serta meminimalisasi perlakuan yang

menyakitkan sehingga menjamin kesejahteraan hewan coba sampai akhir penelitian. Pada dasarnya

prinsip refinement berarti membebaskan hewan coba dari beberapa kondisi. Yang pertama adalah bebas darirasa lapar dan haus, dengan memberikan akses makanan dan air minum yang sesuai dengan

jumlah yang memadai baik jumlah dan komposisi nutrisi untuk kesehatannya. Makanan dan air minum

memadai dari kualitas, dibuktikan melalui analisa proximate makanan, analisis mutu air minum, dan

uji kontaminasi secara berkala. Analisis pakan hewan untuk mendapatkan komposisi pakan,

Page 8: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

2

menggunakan metode standar. Kedua, hewan percobaan bebas dari ketidaknyamanan, disediakan lingkungan bersih dan paling sesuai dengan biologi hewan percobaan yang dipilih, dengan perhatian

terhadap: siklus cahaya, suhu, kelembaban lingkungan, dan fasilitas fisik seperti ukuran kandang untuk

kebebasan bergerak, kebiasaan hewan untuk mengelompok atau menyendiri. Berikutnya, hewan coba harus bebas dari nyeri dan penyakit dengan menjalankan program kesehatan, pencegahan, dan

pemantauan, serta pengobatan tehadap hewan percobaan jika diperlukan. Penyakit dapat diobati

dengan catatan tidak mengganggu penelitian yang sedang dijalankan. Bebas dari nyeri diusahakan

dengan memilih prosedur yang meminimalisasi nyeri saat melakukan tindakan invasif, yaitu dengan menggunakan analgesia dan anesthesia ketika diperlukan.

III. DOSIS OBAT Dosis obat adalah jumlah atau takaran tertentu dari suatu obat yang memberikan efek tertentu

terhadap suatu penyakit atau gejala sakit. Dosis maksimum adalah dosis (takaran) yang terbesar yang

dapat diberikan kepada orang dewasa untuk pemakaian sekali dan sehari tanpa membahayakan. Ad

infinitum merupakan suatu peringkat tertentu yang akan tercapai dimana tidak ada lagi peningkatan

dalam respon walau dosis obat ditambah atau ditingkatkan. Respon ini dikenal dengan respon

maksimum. Sebaliknya dosis minimum yang dapat memberikan respon yang nyata disebut sebagai

dosis ambang dan responnya disebut respon ambang.

Untuk menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada populasi diperlukan satu kisaran

dosis. Jika dibuat distribusi frekuensi dari individu yang responsif (dalam %) pada kisaran dosis

tersebut (dalam log dosis), dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50% individu tersebut disebut

dosis terapi median atau dosis efektif median (=ED50). Dosis letal median (=LD50) ialah dosis yang

menimbulkan kematian pada 50 % individu, sedangkan TD50 ialah dosis toksik 50%.Obat ideal

menimbulkan efek terapi pada semua pasien tanpa menimbulkan efek toksik pada seorang pasien.

Oleh karena itu:

Indeks terapi = TD1

adalah lebih tepat,

ED99

Dan untuk obat ideal : TD1

1

ED99

Akan tetapi, nilai-nilai ekstrim tersebut tidak dapat ditentukan dengan teliti karena letaknya dibagian

kurva yang melengkung dan bahkan hampir mendatar.

Banyak faktor yang mempengaruhi bagaimana dosis obat tertentu akan mempengaruhi pasien.

Karena tidak semua pasien memiliki ukuran berat, usia, dan seks yang sama, akan lebih bijaksana jika

mempertimbangkan bagaimana faktor-faktor yang mungkin akan mempengaruhi seberapa banyak obat

yang harus diterima seseorang dan efek obat yang akan terjadi pada pasien. Rekomendasi yang sering

digunakan untuk pengobatan dengan dosis dewasa, seperti yang ditemukan dalam referensi standar,

didasarkan pada asumsi bahwa pasien adalah "normal" dewasa. Seperti "normal" (atau rata-rata)

dewasa dikatakan 5 kaki 9 inci (173 cm) tinggi dan berat 154 lbs (70 kilogram). Namun, banyak orang

yang tidak cocok dengan kategori ini. Oleh karena itu, faktor-faktor berikut harus dipertimbangkan

ketika pasien menerima obat yaitu berat badan, luas permukaan tubuh, usia, kelamin, faktor genetik,

kondisi fisik pasien, kondisi psikologi pasien, toleransi, waktu pemberian, interaksi obat, dan rute

pemberian obat (Heiserman, 2001).

Rute pemberian obat merupakan faktor yang sangat penting dalam pencapaian efek dari suatu

obat. Rute pemberian obat berpengaruh pada onset of action dan duration of action suatu obat. Rute

pemberian obat dibagi dua yaitu: intravaskular dan ekstravaskular.

Untuk melakukan suatu suntikan, jarum harus tajam dan ukurannya sesuai. Ukuran jarum yang

sesuai dan volume yang maksimum untuk berbagai cara pemberian dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 9: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

3

Tabel 1. Cara pemberian obat terhadap hewan dan ukuran jarum suntik

Hewan

Jarum Suntik

i.v.

i.p.

s.c.

i.m.

per oral

Mencit Ukuran jarum 27G, 25G, 25G, 25G, 18G,

1/2”

3/4”

3/4”

3/4”

2”

Volume maksimal (mL) 0,4 1 0,4 0,4 1

Tikus dan Ukuran jarum - 25G, 25G, 25G, -

Marmut 3/4” 1” 1”

Volume maksimal (mL) - 2 1 0,4 -

Kelinci Ukuran jarum 25G, 21G, 25G, 25G, Keteter

1”

1”

1”

1”

no.9

Volume maksimal (mL) 10 5 2 2 5-10

G = Gauge, jarum suntik.

Obat dapat diberikan kepada pasien dengan menggunakan berbagai metode. Beberapa obat

hanya efektif jika diberikan dalam bentuk sediaan tertentu. Obat lain diberikan dalam bentuk dapat

meningkatkan atau menurunkan efeknya atau melokalisir efek obat.

1. Oral. Kebanyakan obat tersedia saat ini dapat diberikan melalui mulut (oral). Obat

dapatdiberikan secara oral dalam bentuk tablet, kapsul, bubuk, larutan, atau suspensi. Obat

yang diberikan melalui rute oral biasanya digunakan untuk mendapatkan efek sistemik. Obat-

obat ini harus melalui saluran pencernaan dan biasanya mengalami first pass metabolism.

2. Parenteral. Istilah parenteral secara harfiah berarti untuk menghindari usus

(saluranpencernaan). Dengan demikian, parenteral adalah obat injeksi yang masuk ke tubuh

secara langsung dan tidak diharuskan untuk diserap di saluran pencernaan sebelum obat

tersebut berefek. Pemberian rute parenteral biasanya memiliki onset of action yang lebih cepat

dibandingkan rute lain dari pemberiannya. Produk parenteral harus steril (bebas dari mikroba

hidup). Rute parenteral memiliki kelemahan: sakit, tidak nyaman, dan obat yang sudah

disuntikkan tidak dapat diambil kembali.

a. Intravena. Penyuntikan obat secara langsung ke dalam vena pasien merupakan

rutepemberian yang paling cepat. Jenis rute pemberian ini merupakan rute parenteral yang

paling cepat memberikan onset of action.

b. Subkutan (Sub-Q/SC). Rute pemberian ini melibatkan suntikanobatdi bawah kulit ke

dalam lapisan lemak, tetapi tidak ke dalam otot. Penyerapanobat

inicepat.Insulinbiasanyadiberikan secara subkutan.

c. Intraperitonial. Walaupun metode ini jarang digunakan secara klinis, cara ini

selaludigunakan untuk memberikan obat pada hewan kecil. Dinding otot di peritoneum

(dibawah abdomen) sangat tipis dan usus banyak memiliki pembuluh darah vaskuler. Ini

berarti suntikan pada bagian tersebut akan menyebabkan sedikit kesakitan, akan tetapi

obat mudah diserap ke dalam sistem peredaran darah. Tambahan lagi obat yang bersifat

iritan dan bervolume besar dapat disuntikkan dibanding dengan cara-cara pemberian

lainnya.

Page 10: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

4

IV. METODE SKRINING

Dosis merupakan jumlah tertentu dari obat yang dapat digunakan untuk mencapai efek terapi.

Dosis dibagi 5 jenis yaitu dosis minimum, lazim, maksimum, toksik dan letal. Untuk menyatakan

toksisitas akut suatu obat, umumnya dipakai ukuran LD50 (medium lethal dose 50) yaitu suatu dosis

yang dapat membunuh 50% dari sekelompok binatang percobaan. Demikian juga sebagai ukuran dosis

efektif (dosis terapi) yang umum digunakan sebagai ukuran ialah ED 50 (median effective dose), yaitu

dosis yang memberikan efek tertentu pada 50% dari sekelompok binatang percobaan. LD50 ditentukan

dengan memberikan obat dalam dosis yang bervariasi (bertingkat) kepada sekelompok binatang

percobaan. Setiap binatang diberikan dosis tunggal. Setelah jangka waktu tertentu (misalnya 24 jam)

sebagian biantang percobaan ada yang mati, dan persentase ini diterakan dalam grafik yang

menyatakan hubungan dosis (pada absis) dan persentase binatang yang mati (pada ordinat). Dalam

studi farmakodinamik di laboratorium, indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam rasio berikut :

TD50 LD50

Indek terapi = ED50

atauED50

LD50 merupakan suatu hasil dari pengujian (assay) dan bukanlah pengukuran kuantitatif. LD

50 bukanlah merupakan nilai mutlak, dan akan bervariasi dari satu laboratorium ke laboratorium lain,

dan bisa jadi pada laboratorium yang sama akan berbeda hasilnya setiap kali dilakukan percobaan

(Ganiswara et al, 2007).

Ada berbagai metode perhitungan LD50 yang umum digunakan antara lain metode Miller-

Tainter, metode Reed-Muench, dan metode Kärber. Dalam metode Miller-Tainter digunakan kertas

grafik khusus yaitu kertas logaritma-probit yang memiliki skala logaritmik sebagai absis dan skala

probit (skala ini tidak linier) sebagai ordinat. Pada kertas ini dibuat grafik antara persen mortalitas

terhadap logaritma dosis. Metode Reed-Muench didasarkan pada nilai kumulatif jumlah hewan yang

hidup dan jumlah hewan yang mati. Diasumsikan bahwa hewan yang mati dengan dosis tertentu akan

mati dengan dosis yang lebih besar, dan hewan yang hidup akan hidup dengan dosis yang lebih kecil.

Metode Kärber prinsipnya menggunakan rataan interval jumlah kematian dalam masing-masing

kelompok hewan dan selisih dosis pada interval yang sama (Soemardji et al, 2009).

Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua pasien tanpa menimbulkan efek toksik pada

seorang pasienpun, oleh karena itu, (Ganiswara et al, 2007). Berikut cara pemberian obat terhadap

hewan percobaan :

Subkutan

Untuk menyuntik tikus secara subkutan letakkan hewan tersebut diatas meja. Kemudian

letakkan telapak tangan kiri perlahan di belakangnya dan pegang kulit ditengkuknya dengan ibu jari

dan telunjuk. Dengan tangan kanan memegang jarum suntik, cucukkan jarum dalam lipatan kulit

dengan cepat. Ujung jarum semestinya bebas bergerak diantara kulit dan otot. Jika panjang jarum yang

digunakan itu sesuai, maka jarum tidak akan tercucuk terlalu dalam. Gerak-gerakkan jarum dengan jari

telunjuk dan ibu jari untuk menentukan posisi jarum pada tempat yang tepat, kemudian suntiklah.

Tarik jarum dengan tangan kiri, urut bagian yang disuntik tadi.

Oral

Larutan obat dapat diberikan secara oral dengan jarum oral yang khas (kateter untuk kelinci).

Untuk tikus dan mencit, hewan tersebut dipegang dengan sempurna dan jarum oral dimasukkan dalam

mulut berdekatan dengan bagian atas langit-langit mulut (palate). jarum ditolak perlahan-lahan ke

Page 11: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

5

esopagus dan bukan dipaksa masuk. Setelah masuk kedalam mulut (kira-kira dua inci ke bawah)

hewan itu akan menunjukkan keadaan seperti tercekik. Jarum oral dapat disesuaikan besarnya dengan

hewan tertentu.

Intraperitoneal

Untuk menyuntik tikus secara IP, peganglah kulit leher hewan tersebut dengan jari telunjuk

dan ibu jari. Pegangan yang sempurna akan meregangkan kulit diabdomennya. Suntik di bagian

kuadran bawah abdomen dengan satu tusukan dengan cepat dan jangan ragu-ragu. Dorong jarum ke

bagian dimana jarum tidak menembus hati, buah pinggang, spleen atau kandung kemih, selanjutnya

ditekan perlahan-lahan.

Intravena

Cara penyuntikan IV berbeda dari satu spesies ke spesies lainnya. Pada mencit suntikan

intravena dilakukan pada penbuluh darah ekor. Oleh karena pembuluh darah ekor mencit mudah

diketahui, sehingga suntikan intravena dapat dilakukan dengan mudah. Keempat-empat pembuluh

darah ekor terletak bilateral, ventral dan dorsal serta dapat dikembangkan (vasodilatasi) dengan

menyentuhkan suhu tertentu pada bahagian ekor (misalnya dengan meletakkan ekor mencit kedalam

air hangat suhu 45-50oC), dan penggunaan alkohol atau dengan menekan ujung ekornya untuk

mempermudah penyuntikan. Hewan mula-mula dimasukkan dalam prangkap tikus menyerupai tabung

yang kedua ujungnya terbuka. Pada kedua ujung ditutup dengan gabus yang tengahnya berlubang.

Ujung ekor yang keluar dari gabus dipegang dengan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri dan suntikan

dilakukan dengan tangan kanan. Adalah lebih baik jika bisa memberikan cahaya pada ekor, hal ini

dimaksudkan untuk memudahkan penglihatan pembuluh darah dengan jelas, juga bertujuan untuk

memanaskan ekor tikus. Apabila menyuntik dan terasa tidak ada hambatan, pada tempat penyuntikan

ini menunjukkan jarum telah masuk dengan benar kedalam pembuluh darah dan plunger dapat ditekan

dengan mudah. Jika jarum tidak masuk dengan tepat pada pembuluh darah, suntikan itu akan

memberikan kawasan pucat diujung jarum. Adalah lebih baik menggunakan sebatang jarum yang

halus (Gauge 27,1/2 inci) dan suntikan dimulai pada ujung ekor supaya beberapa percobaan dapat

dilakukan.

V. LUMINAL (FENOBARBITAL)

Farmakologi molekuler reseptor asam gamma amino butirat (GABA) terikat pada saluran

kanal klorida yang merupakan salah satu mesin respons obat dalam tubuh yang paling handal.

Fenobarbital, asam 5,5-fenil-etil barbiturate merupakan senyawa yang meniru kerja GABA.

Fenobarnital merupakan senyawa organik pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi.

Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Efek utama

barbiturate ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai mulai dari sedasi, hipnosis,

berbagai tingkat anesthesia, koma sampai dengan kematian. Efek hipnotik fenobarbital dapat dicapai

dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik (Ganiswara et al, 2007).

VI. PRINSIP PERCOBAAN Pengaruh pemberian dosis yang bervariasi, dari hewan percobaan dapat dilihat dengan

pemberian luminal yang mana tingkat hipnotik yang ditimbulkan yaitu reaktif, gerak lambat, dan tidur

bergantung pada banyaknya dosis yang diberikan.

Page 12: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

6

VII. METODE PERCOBAAN 7.1 Alat Timbangan elektrik, oral sonde mencit, Spuit 1 ml, stopwatch, alat suntik 1 ml, beaker glass 25 ml,

erlenmeyer 10 ml

7.2 Bahan Akuades, Luminal-Na konsentrasi 0,75%

7.3 Hewan Uji Hewan uji yang digunakan adalah mencit

7.4 Cara Pembuatan Larutan Obat Phenobarbital Na (Luminal-Na) Pembuatan larutan obat Phenobarbital-Na konsentrasi 0,75% dibuat dengan penimbangan 0,375 g

phenobarbital yang dilarutkan dalam 50 ml aquadest.

7.5 Prosedur Percobaan 1. Hewan ditimbang, dan ditandai 2. Dihitung dosis dengan pemberian:

Dosis, Respon dan Indeks Terapi - Mencit 1: kontrol aquadest 1% BB secara oral. - Mencit 2: luminal 0,75% dosis 50 mg/kgBB secara i.p - Mencit 3: luminal 0,75% dosis 100 mg/kgBB secara i.p - Mencit 4: luminal 0,75% dosis 200 mg/kgBB secara i.p - Mencit 5: luminal 0,75% dosis 400 mg/kgBB secara i.p Diamati dan dicatat respon yang terjadi selang waktu 10 menit selama 90 menit dan dibuat grafik

respon vs waktu

Page 13: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

7

DAFTAR PUSTAKA Ridwan, E. (2013): Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan. J Indon Med

Assoc, Volum: 63, Nomor: 3.

Heiserman, D.L. (2011) :Factors Which Influence Drug Dosage Effects. USA : SweetHaven

Publishing Services.

Page 14: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

8

DATA LAPORAN PERCOBAAN

Judul Percobaan :

Tanggal Percobaan :

Group :

Responser :

Asisten Pengawas :

Dosis, Respon dan Indeks Terapi

No

PERLAKUAN

WAKTU (menit)

10 20 30 40 50 60 70 80 90

1 Kontrol (aquadest) secara oral

2 Luminal dosis 50 mg/Kg BB

secara i.p

3 Luminal dosis 100 mg/Kg BB

secara i.p

4 Luminal dosis 200 mg/Kg BB

secara i.p

5 Luminal dosis 400 mg/Kg BB i.p

Keterangan:

1.1. Normal

1.2. Garuk-Garuk (reaktif)

1.3. Gerak lambat

1.4. Tidur

i.p = intra peritone

Page 15: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

9

VIII. PEMBAHASAN

Page 16: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

10

Page 17: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

11

DAFTAR PUSTAKA

Ridwan, E. (2013): Etika PemanfaatanHewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan. J Indon

Med Assoc, Volum: 63, Nomor: 3.

Heiserman, D.L. (2011) : Factors Which Influence Drug Dosage Effects. USA : SweetHaven

Publishing Services.

Medan, ________________

Asisten, Praktikan

(________________) (______________________)

NILAI :

Page 18: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

12

GRAFIK PERCOBAAN

AKTIVITAS OBAT BERDASARKAN

DOSIS, RESPON DAN INDEKS TERAPI

Page 19: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

13

BAB 2. AKTIVITAS OBAT BERDASARKAN RUTE

PEMBERIAN OBAT, DAN VARIASI BIOLOGI

J. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS Setelah menyelesaikan percobaan ini Mahasiswa dapat:

1. Mengaplikasikan cara penanganan hewan yang baik dan penggunaan hewan yang sesuai

etik.

2. Mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan Rute Pemberian Obat, dan Variasi Biologi.

II. ETIKA PEMANFAATAN HEWAN COBA

Hewan percobaan yang digunakan pada penelitian akan mengalami penderitaan, yaitu: ketidaknyamanan, ketidaksenangan, kesusahan, rasa nyeri, dan terkadang berakhir dengan kematian. Berdasarkan hal tersebut, hewan yang dikorbankan dalam penelitian yang hasilnya dapat dimanfaatkan

oleh manusia patut dihormati, mendapat perlakuan yang manusiawi, dipelihara dengan baik, dan diusahakan agar bisa disesuaikan pola kehidupannya seperti di alam.

Peneliti yang akan memanfaatkan hewan percobaan pada penelitian kesehatan harus mengkaji kelayakan dan alasan pemanfaatan hewan dengan mempertimbangkan penderitaan yang akan dialami oleh hewan percobaan dan manfaat yang akan diperoleh untuk manusia.

Dalam pelaksanan penelitian, peneliti harus membuat dan menyesuaikan protokol dengan

standar yang berlaku secara ilmiah dan etik penelitian kesehatan. Etik penelitian kesehatan secara

umum tercantum dalam World Medical Association, yaitu: respect (menghormati hak dan martabat makhluk hidup, kebebasan memilih dan berkeinginan, serta bertanggung jawab terhadap dirinya,

termasuk di dalamnya hewan coba), beneficiary (bermanfaat bagi manusia dan makhluk lain, manfaat

yang didapatkan harus lebih besar dibandingkan dengan risiko yang diterima), dan justice (bersikap

adil dalam memanfaatkan hewan percobaan). Contoh sikap tidak adil, antara lain: hewan disuntik/ dibedah berulang untuk menghemat jumlah hewan, memakai obat euthanasia yang menimbulkan rasa

nyeri karena harga yang lebih murah. Dalam penelitian kesehatan yang memanfaatkan hewan coba, juga harus diterapkan prinsip 3

R dalam protokol penelitian, yaitu: replacement, reduction, dan refinement. Replacement adalah keperluan memanfaatkan hewan percobaan sudah diperhitungkan

secaraseksama, baik dari pengalaman terdahulu maupun literatur untuk menjawab pertanyaan penelitian dan tidak dapat digantikan oleh mahluk hidup lain seperti sel atau biakan jaringan.

Replacement terbagi menjadi dua bagian, yaitu: relatif (mengganti hewan percobaan dengan memakai

organ/jaringan hewan dari rumah potong, hewan dari ordo lebih rendah) dan absolut (mengganti hewan percobaan dengan kultur sel, jaringan, atau program komputer).

Reduction diartikan sebagai pemanfaatan hewan dalam penelitian sesedikit mungkin, tetapitetap mendapatkan hasil yang optimal. Jumlah minimum biasa dihitung menggunakan rumus

Frederer yaitu (n-1) (t-1) >15, dengan n adalah jumlah hewan yang diperlukan dan t adalah jumlah

kelompok perlakuan. Kelemahan dari rumus itu adalah semakin sedikit kelompok penelitian, semakin

banyak jumlah hewan yang diperlukan, serta sebaliknya. Untuk mengatasinya, diperlukan penggunaan desain statistik yang tepat agar didapatkan hasil penelitian yang sahih.

Refinement adalah memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi (humane),

memeliharahewan dengan baik, tidak menyakiti hewan, serta meminimalisasi perlakuan yang menyakitkan sehingga menjamin kesejahteraan hewan coba sampai akhir penelitian. Pada dasarnya

prinsip refinement berarti membebaskan hewan coba dari beberapa kondisi. Yang pertama adalah

bebas darirasa lapar dan haus, dengan memberikan akses makanan dan air minum yang sesuai dengan

jumlah yang memadai baik jumlah dan komposisi nutrisi untuk kesehatannya. Makanan dan air minum memadai dari kualitas, dibuktikan melalui analisa proximate makanan, analisis mutu air minum, dan

uji kontaminasi secara berkala. Analisis pakan hewan untuk mendapatkan komposisi pakan,

Page 20: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

14

menggunakan metode standar. Kedua, hewan percobaan bebas dari ketidaknyamanan, disediakan lingkungan bersih dan paling sesuai dengan biologi hewan percobaan yang dipilih, dengan perhatian

terhadap: siklus cahaya, suhu, kelembaban lingkungan, dan fasilitas fisik seperti ukuran kandang untuk

kebebasan bergerak, kebiasaan hewan untuk mengelompok atau menyendiri. Berikutnya, hewan coba harus bebas dari nyeri dan penyakit dengan menjalankan program kesehatan, pencegahan, dan

pemantauan, serta pengobatan tehadap hewan percobaan jika diperlukan. Penyakit dapat diobati

dengan catatan tidak mengganggu penelitian yang sedang dijalankan. Bebas dari nyeri diusahakan

dengan memilih prosedur yang meminimalisasi nyeri saat melakukan tindakan invasif, yaitu dengan menggunakan analgesia dan anesthesia ketika diperlukan.

JJJ. DOSIS OBAT Dosis obat adalah jumlah atau takaran tertentu dari suatu obat yang memberikan efek tertentu

terhadap suatu penyakit atau gejala sakit. Dosis maksimum adalah dosis (takaran) yang terbesar yang

dapat diberikan kepada orang dewasa untuk pemakaian sekali dan sehari tanpa membahayakan. Ad

infinitum merupakan suatu peringkat tertentu yang akan tercapai dimana tidak ada lagi peningkatan

dalam respon walau dosis obat ditambah atau ditingkatkan. Respon ini dikenal dengan respon

maksimum. Sebaliknya dosis minimum yang dapat memberikan respon yang nyata disebut sebagai

dosis ambang dan responnya disebut respon ambang.

Untuk menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada populasi diperlukan satu kisaran

dosis. Jika dibuat distribusi frekuensi dari individu yang responsif (dalam %) pada kisaran dosis

tersebut (dalam log dosis), dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50% individu tersebut disebut

dosis terapi median atau dosis efektif median (=ED50). Dosis letal median (=LD50) ialah dosis yang

menimbulkan kematian pada 50 % individu, sedangkan TD50 ialah dosis toksik 50%.Obat ideal

menimbulkan efek terapi pada semua pasien tanpa menimbulkan efek toksik pada seorang pasien.

Oleh karena itu:

Indeks terapi = TD1

adalah lebih tepat,

ED99

Dan untuk obat ideal : TD1

1

ED99

Akan tetapi, nilai-nilai ekstrim tersebut tidak dapat ditentukan dengan teliti karena letaknya dibagian

kurva yang melengkung dan bahkan hampir mendatar.

Banyak faktor yang mempengaruhi bagaimana dosis obat tertentu akan mempengaruhi pasien.

Karena tidak semua pasien memiliki ukuran berat, usia, dan seks yang sama, akan lebih bijaksana jika

mempertimbangkan bagaimana faktor-faktor yang mungkin akan mempengaruhi seberapa banyak obat

yang harus diterima seseorang dan efek obat yang akan terjadi pada pasien. Rekomendasi yang sering

digunakan untuk pengobatan dengan dosis dewasa, seperti yang ditemukan dalam referensi standar,

didasarkan pada asumsi bahwa pasien adalah "normal" dewasa. Seperti "normal" (atau rata-rata)

dewasa dikatakan 5 kaki 9 inci (173 cm) tinggi dan berat 154 lbs (70 kilogram). Namun, banyak orang

yang tidak cocok dengan kategori ini. Oleh karena itu, faktor-faktor berikut harus dipertimbangkan

ketika pasien menerima obat yaitu berat badan, luas permukaan tubuh, usia, kelamin, faktor genetik,

kondisi fisik pasien, kondisi psikologi pasien, toleransi, waktu pemberian, interaksi obat, dan rute

pemberian obat (Heiserman, 2001).

Rute pemberian obat merupakan faktor yang sangat penting dalam pencapaian efek dari suatu

obat. Rute pemberian obat berpengaruh pada onset of action dan duration of action suatu obat. Rute

pemberian obat dibagi dua yaitu: intravaskular dan ekstravaskular.

Untuk melakukan suatu suntikan, jarum harus tajam dan ukurannya sesuai. Ukuran jarum yang

sesuai dan volume yang maksimum untuk berbagai cara pemberian dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 21: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

15

Tabel 1. Cara pemberian obat terhadap hewan dan ukuran jarum suntik

Hewan

Jarum Suntik

i.v.

i.p.

s.c.

i.m.

per oral

Mencit Ukuran jarum 27G, 25G, 25G, 25G, 18G,

1/2”

3/4”

3/4”

3/4”

2”

Volume maksimal (mL) 0,4 1 0,4 0,4 1

Tikus dan Ukuran jarum - 25G, 25G, 25G, -

Marmut 3/4” 1” 1”

Volume maksimal (mL) - 2 1 0,4 -

Kelinci Ukuran jarum 25G, 21G, 25G, 25G, Keteter

1”

1”

1”

1”

no.9

Volume maksimal (mL) 10 5 2 2 5-10

G = Gauge, jarum suntik.

Obat dapat diberikan kepada pasien dengan menggunakan berbagai metode. Beberapa obat

hanya efektif jika diberikan dalam bentuk sediaan tertentu. Obat lain diberikan dalam bentuk dapat

meningkatkan atau menurunkan efeknya atau melokalisir efek obat.

3. Oral. Kebanyakan obat tersedia saat ini dapat diberikan melalui mulut (oral). Obat

dapatdiberikan secara oral dalam bentuk tablet, kapsul, bubuk, larutan, atau suspensi. Obat

yang diberikan melalui rute oral biasanya digunakan untuk mendapatkan efek sistemik. Obat-

obat ini harus melalui saluran pencernaan dan biasanya mengalami first pass metabolism.

4. Parenteral. Istilah parenteral secara harfiah berarti untuk menghindari usus

(saluranpencernaan). Dengan demikian, parenteral adalah obat injeksi yang masuk ke tubuh

secara langsung dan tidak diharuskan untuk diserap di saluran pencernaan sebelum obat

tersebut berefek. Pemberian rute parenteral biasanya memiliki onset of action yang lebih cepat

dibandingkan rute lain dari pemberiannya. Produk parenteral harus steril (bebas dari mikroba

hidup). Rute parenteral memiliki kelemahan: sakit, tidak nyaman, dan obat yang sudah

disuntikkan tidak dapat diambil kembali.

a. Intravena. Penyuntikan obat secara langsung ke dalam vena pasien merupakan

rutepemberian yang paling cepat. Jenis rute pemberian ini merupakan rute parenteral yang

paling cepat memberikan onset of action.

b. Subkutan (Sub-Q/SC). Rute pemberian ini melibatkan suntikanobatdi bawah kulit ke

dalam lapisan lemak, tetapi tidak ke dalam otot. Penyerapanobat

inicepat.Insulinbiasanyadiberikan secara subkutan.

c. Intraperitonial. Walaupun metode ini jarang digunakan secara klinis, cara ini

selaludigunakan untuk memberikan obat pada hewan kecil. Dinding otot di peritoneum

(dibawah abdomen) sangat tipis dan usus banyak memiliki pembuluh darah vaskuler. Ini

berarti suntikan pada bagian tersebut akan menyebabkan sedikit kesakitan, akan tetapi

obat mudah diserap ke dalam sistem peredaran darah. Tambahan lagi obat yang bersifat

iritan dan bervolume besar dapat disuntikkan dibanding dengan cara-cara pemberian

lainnya.

Page 22: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

16

IV. METODE SKRINING

Dosis merupakan jumlah tertentu dari obat yang dapat digunakan untuk mencapai efek terapi.

Dosis dibagi 5 jenis yaitu dosis minimum, lazim, maksimum, toksik dan letal. Untuk menyatakan

toksisitas akut suatu obat, umumnya dipakai ukuran LD50 (medium lethal dose 50) yaitu suatu dosis

yang dapat membunuh 50% dari sekelompok binatang percobaan. Demikian juga sebagai ukuran dosis

efektif (dosis terapi) yang umum digunakan sebagai ukuran ialah ED 50 (median effective dose), yaitu

dosis yang memberikan efek tertentu pada 50% dari sekelompok binatang percobaan. LD50 ditentukan

dengan memberikan obat dalam dosis yang bervariasi (bertingkat) kepada sekelompok binatang

percobaan. Setiap binatang diberikan dosis tunggal. Setelah jangka waktu tertentu (misalnya 24 jam)

sebagian biantang percobaan ada yang mati, dan persentase ini diterakan dalam grafik yang

menyatakan hubungan dosis (pada absis) dan persentase binatang yang mati (pada ordinat). Dalam

studi farmakodinamik di laboratorium, indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam rasio berikut :

TD50 LD50

Indek terapi = ED50

atauED50

LD50 merupakan suatu hasil dari pengujian (assay) dan bukanlah pengukuran kuantitatif. LD

50 bukanlah merupakan nilai mutlak, dan akan bervariasi dari satu laboratorium ke laboratorium lain,

dan bisa jadi pada laboratorium yang sama akan berbeda hasilnya setiap kali dilakukan percobaan

(Ganiswara et al, 2007).

Ada berbagai metode perhitungan LD50 yang umum digunakan antara lain metode Miller-

Tainter, metode Reed-Muench, dan metode Kärber. Dalam metode Miller-Tainter digunakan kertas

grafik khusus yaitu kertas logaritma-probit yang memiliki skala logaritmik sebagai absis dan skala

probit (skala ini tidak linier) sebagai ordinat. Pada kertas ini dibuat grafik antara persen mortalitas

terhadap logaritma dosis. Metode Reed-Muench didasarkan pada nilai kumulatif jumlah hewan yang

hidup dan jumlah hewan yang mati. Diasumsikan bahwa hewan yang mati dengan dosis tertentu akan

mati dengan dosis yang lebih besar, dan hewan yang hidup akan hidup dengan dosis yang lebih kecil.

Metode Kärber prinsipnya menggunakan rataan interval jumlah kematian dalam masing-masing

kelompok hewan dan selisih dosis pada interval yang sama (Soemardji et al, 2009).

Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua pasien tanpa menimbulkan efek toksik pada

seorang pasienpun, oleh karena itu, (Ganiswara et al, 2007). Berikut cara pemberian obat terhadap

hewan percobaan :

Subkutan

Untuk menyuntik tikus secara subkutan letakkan hewan tersebut diatas meja. Kemudian

letakkan telapak tangan kiri perlahan di belakangnya dan pegang kulit ditengkuknya dengan ibu jari

dan telunjuk. Dengan tangan kanan memegang jarum suntik, cucukkan jarum dalam lipatan kulit

dengan cepat. Ujung jarum semestinya bebas bergerak diantara kulit dan otot. Jika panjang jarum yang

digunakan itu sesuai, maka jarum tidak akan tercucuk terlalu dalam. Gerak-gerakkan jarum dengan jari

telunjuk dan ibu jari untuk menentukan posisi jarum pada tempat yang tepat, kemudian suntiklah.

Tarik jarum dengan tangan kiri, urut bagian yang disuntik tadi.

Oral

Larutan obat dapat diberikan secara oral dengan jarum oral yang khas (kateter untuk kelinci).

Untuk tikus dan mencit, hewan tersebut dipegang dengan sempurna dan jarum oral dimasukkan dalam

mulut berdekatan dengan bagian atas langit-langit mulut (palate). jarum ditolak perlahan-lahan ke

Page 23: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

17

esopagus dan bukan dipaksa masuk. Setelah masuk kedalam mulut (kira-kira dua inci ke bawah)

hewan itu akan menunjukkan keadaan seperti tercekik. Jarum oral dapat disesuaikan besarnya dengan

hewan tertentu.

Intraperitoneal

Untuk menyuntik tikus secara IP, peganglah kulit leher hewan tersebut dengan jari telunjuk

dan ibu jari. Pegangan yang sempurna akan meregangkan kulit diabdomennya. Suntik di bagian

kuadran bawah abdomen dengan satu tusukan dengan cepat dan jangan ragu-ragu. Dorong jarum ke

bagian dimana jarum tidak menembus hati, buah pinggang, spleen atau kandung kemih, selanjutnya

ditekan perlahan-lahan.

Intravena

Cara penyuntikan IV berbeda dari satu spesies ke spesies lainnya. Pada mencit suntikan

intravena dilakukan pada penbuluh darah ekor. Oleh karena pembuluh darah ekor mencit mudah

diketahui, sehingga suntikan intravena dapat dilakukan dengan mudah. Keempat-empat pembuluh

darah ekor terletak bilateral, ventral dan dorsal serta dapat dikembangkan (vasodilatasi) dengan

menyentuhkan suhu tertentu pada bahagian ekor (misalnya dengan meletakkan ekor mencit kedalam

air hangat suhu 45-50oC), dan penggunaan alkohol atau dengan menekan ujung ekornya untuk

mempermudah penyuntikan. Hewan mula-mula dimasukkan dalam prangkap tikus menyerupai tabung

yang kedua ujungnya terbuka. Pada kedua ujung ditutup dengan gabus yang tengahnya berlubang.

Ujung ekor yang keluar dari gabus dipegang dengan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri dan suntikan

dilakukan dengan tangan kanan. Adalah lebih baik jika bisa memberikan cahaya pada ekor, hal ini

dimaksudkan untuk memudahkan penglihatan pembuluh darah dengan jelas, juga bertujuan untuk

memanaskan ekor tikus. Apabila menyuntik dan terasa tidak ada hambatan, pada tempat penyuntikan

ini menunjukkan jarum telah masuk dengan benar kedalam pembuluh darah dan plunger dapat ditekan

dengan mudah. Jika jarum tidak masuk dengan tepat pada pembuluh darah, suntikan itu akan

memberikan kawasan pucat diujung jarum. Adalah lebih baik menggunakan sebatang jarum yang

halus (Gauge 27,1/2 inci) dan suntikan dimulai pada ujung ekor supaya beberapa percobaan dapat

dilakukan.

V. LUMINAL (FENOBARBITAL)

Farmakologi molekuler reseptor asam gamma amino butirat (GABA) terikat pada saluran

kanal klorida yang merupakan salah satu mesin respons obat dalam tubuh yang paling handal.

Fenobarbital, asam 5,5-fenil-etil barbiturate merupakan senyawa yang meniru kerja GABA.

Fenobarnital merupakan senyawa organik pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi.

Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Efek utama

barbiturate ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai mulai dari sedasi, hipnosis,

berbagai tingkat anesthesia, koma sampai dengan kematian. Efek hipnotik fenobarbital dapat dicapai

dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik (Ganiswara et al, 2007).

VI. PRINSIP PERCOBAAN Pengaruh pemberian dosis yang bervariasi, rute pemberian obat, dan variasi biologi dari

hewan percobaan dapat dilihat dengan pemberian luminal yang mana tingkat hipnotik yang

ditimbulkan yaitu reaktif, gerak lambat, dan tidur bergantung rute pemberian obat, dan variasi biologi

dari hewan percobaan.

VII. METODE PERCOBAAN

Page 24: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

18

7.1 Alat Timbangan elektrik, oral sonde mencit, Spuit 1 ml, stopwatch, alat suntik 1 ml, beaker glass 25 ml,

erlenmeyer 10 ml

7.2 Bahan Akuades, Luminal-Na konsentrasi 0,75%

7.3 Hewan Uji Hewan uji yang digunakan adalah mencit

7.4 Cara Pembuatan Larutan Obat Phenobarbital Na (Luminal-Na) Pembuatan larutan obat Phenobarbital-Na konsentrasi 0,75% dibuat dengan penimbangan 0,375 g

phenobarbital yang dilarutkan dalam 50 ml aquadest.

7.5 Prosedur Percobaan 3. Hewan ditimbang, dan ditandai 4. Dihitung dosis dengan pemberian:

Rute Pemberian Obat - Mencit 1: kontrol aquadest 1% BB secara oral. - Mencit 2: luminal 0,75% dosis 80 mg/kgBB secara oral - Mencit 3: luminal 0,75% dosis 80 mg/kgBB secara i.p - Mencit 4: luminal 0,75% dosis 80 mg/kgBB secara s.c

Pengaruh Variasi Biologi - Mencit 1: berat badan 25 g luminal 0,75 % dosis 50 mg/kgBB secara oral. - Mencit 2: berat badan 35 g luminal 0,75 % dosis 50 mg/kgBB secara oral. - Mencit 3: puasa, luminal 0,75 % dosis 50 mg/kgBB secara oral. - Mencit 4: tanpa puasa, luminal 0,75 % dosis 50 mg/kgBB secara oral. - Mencit 5: jantan, luminal 0,75 % dosis 50 mg/kgBB secara oral. - Mencit 6: betina, luminal 0,75 % dosis 50 mg/kgBB secara oral.

Page 25: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

19

DAFTAR PUSTAKA Ridwan, E. (2013): Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan. J Indon Med

Assoc, Volum: 63, Nomor: 3.

Heiserman, D.L. (2011) :Factors Which Influence Drug Dosage Effects. USA : SweetHaven

Publishing Services.

Page 26: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

20

DATA LAPORAN PERCOBAAN

Judul Percobaan :

Tanggal Percobaan :

Group :

Responser :

Asisten Pengawas :

Rute Pemberian Obat

No

PERLAKUAN WAKTU (menit)

10 20 30 40 50 60 70 80 90

1 Kontrol (aquadest) secara oral

2 Luminal dosis 80 mg/Kg BB

secara oral

3 Luminal dosis 80 mg/Kg BB

secara i.p

4 Luminal dosis 80 mg/Kg BB

secara iv

Page 27: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

21

Pengaruh Variasi Biologi Terhadap Dosis Obat

No PERLAKUAN

RESPON

10

20

30

40

50

60

70

80

90

1 Mencit 1

2 Mencit 2

3 Mencit 3

4 Mencit 4

5 Mencit 5

6 Mencit 6

Keterangan :

1.1. Normal

1.2. Garuk-Garuk (reaktif)

1.3. Gerak lambat

1.4. Tidur

i.p = intra peritoneal

Page 28: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

22

VIII. PEMBAHASAN

Page 29: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

23

Page 30: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

24

DAFTAR PUSTAKA

Ridwan, E. (2013): Etika PemanfaatanHewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan. J Indon

Med Assoc, Volum: 63, Nomor: 3.

Heiserman, D.L. (2011) : Factors Which Influence Drug Dosage Effects. USA : SweetHaven

Publishing Services.

Medan, ________________

Asisten, Praktikan

( ________________ ) ( ______________________ )

NILAI :

Page 31: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

25

GRAFIK PERCOBAAN

AKTIVITAS OBAT BERDASARKAN

RUTE PEMBERIAN OBAT DAN PENGARUH VARIASI BIOLOGI TERHADAP DOSIS OBAT

Page 32: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

26

BAB 3. AKTIVITAS ANALGETIK OBAT/SEDIAAN UJI

I. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS

Setelah menyelesaikan percobaan ini mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas analgetik Obat

II. PENDAHULUAN

Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan

(ancaman) kerusakan jaringan. Rasa nyeri pada umumnya merupakan suatu gejala yang berfungsi

sebagai isyarat bahaya adanya gangguan di jaringan seperti peradangan, infeksi jasad renik atau kejang

otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimia atau fisika (kalor, listrik) dapat

menimbulkan kerusakan pada jaringan dimana rangsangan tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan

zat-zat kimia (misalnya, bradikinin, prostaglandin, ATP, proton) yang menstimulasi reseptor nyeri.

Analgetik adalah zat-zat yang mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri tanpa

menghilangkan kesadaran. Berdasarkan kerja farmakologinya, analgetik dibagi dalam 2 (dua)

kelompok besar, yaitu analgetik perifer (non narkotik) dan analgetia narkotik. Analgetik perifer (non

narkotik) yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja secara sentral.

Sementara analgetik narkotik khusus digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri yang hebat, seperti

pada patah tulang (fracture) dan kanker.

Berdasarkan proses terjadinya, rasa nyeri dapat diatasi dengan beberapa cara, yaitu :

a. Analgetik perifer, yang merintangi terbentuknya rangsangan pada reseptor perifer

Page 33: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

27

b. Analgetik lokal, yang merintangi penyaluran rangsangan di saraf-saraf sensoris

c. Analgetik sentral (narkotik), yang memblokir pusat nyeri saraf di susunan saraf pusat (SSP)

dengan anastesi umum

d. Antidepresif trisiklis, yang digunakan pada nyeri kanker dan saraf e. Antiepileptik, yang meningkatkan jumlah neurotransmitter di ruang sinaps pada nyeri

Persepsi sakit adalah suatu keadaan yang sukar untuk diberi defenisi atau diukur. Keadaan

tersebut merupakan fenomena subjektif, dengan demikian tidak dapat diketahui bagaimana gambaran

hewan percobaan yang mengalami rasa nyeri. Sebagian besar teknik melibatkan penggunaan uji

nosiseptif dimana stimulus nyeri, secara mekanis maupun elektris digunakan untuk menghasilkan rasa

sakit.

Metode yang biasa dilakukan ialah metode plat panas Janssen dan Jageneu (1975). Pada

metode ini hewan diletakkan dengan perlahan ke atas plat panas yang bersuhu tetap 550 C. Waktu

respon (biasanya 4-10 detik untuk keadaan normal dihitung sebagai jarak waktu mula-mula hewan itu

meletakkan kakinya di atas plat dan waktu dicatat apabila hewan itu mulai menjilati kakinya atau

melompat untuk mengelakkan diri dari panas). Hewan yang tidak menunjukkan respon dalam jangka

waktu 30 detik tidak digunakan dalam percobaan.

Metode lain adalah dengan menggunakan senyawa kimia seperti asam asetat 3%. Asam asetat

ini sebagai stimulus untuk rasa nyeri yang ditimbulkan. Rasa nyeri dari pemberian asam asetat ini

dapat dilihat dari geliat yang ada dari pengamatan terhadap mencit (hewan). Geliat ini dihitung

dimulai jika mencit meregangkan kakinya ke belakang dan menekan perutnya ke bawah. Geliat ini

dihitung 1, dan seterusnya. Sehingga akhir waktu yang ditentukan akan didapat jumlah geliat dari

hewan secara total pada waktu tertentu.

Dalam percobaan, digunakan 3 metode dalam menggambarkan persepsi rasa sakit, yaitu

metode asam asetat sebagai stimulus nyeri perifer, metode plat panas, dan metode panas menggunakan

infra red (IR) sebagai stimulus nyeri sentral.

III. ALAT DAN

BAHAN 3.1 Alat-alat a. Timbangan Elektrik b. Spuit 1 ml c. Stopwatch d. Beaker glass 25 ml e. Erlenmeyer f. Hot plate g. Plantar Test

3.2 Bahan-bahan a. Mencit 5 ekor

b. Aquadest c. Asam Asetat 3% d. Antalgin konsentrasi 2%

e. Morfin SO4 konsentrasi 0,1%

Page 34: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

28

IV. PEMBUATAN LARUTAN OBAT

a. Morfin SO4 Konsentrasi 0,1% dengan penimbangan 0,025 g morfin yang dilarutkan dalam 25 ml aquadest. Cara Pembuatan: Ditimbang 0,025 g morfin, lalu dilarutkan dengan aquadest dalam labu tentukur 25 ml sampai garis

tanda.

b. Antalgin (Methampiron HCl) Konsentrasi 2% dengan penimbangan 0,1 g antalgin yang dilarutkan dalam 50 ml aquadest. Cara Pembuatan: Ditimbang 1 g antalgin, dilarutkan dengan aquadest dalam labu tentukur 50 ml sampai garis tanda.

c. Asam asetat 3% Konsentrasi 3% dengan melarutkan 10 ml asam asetat dalam aquadest 15% dalam labu tentukur 50

ml.

V. PROSEDUR

Metode Asam Asetat 1. Hewan ditimbang dan ditandai 2. Dihitung dosis dengan pemberian:

- Mencit 1: Kontrol aquadest dosis 1% BB (i.p) - Mencit 2: Morfin SO4 [ ] 0,1% dosis 10 mg/kg BB (i.p) - Mencit 3: Morfin SO4 [ ] 0,1% dosis 15 mg/kg BB (i.p) - Mencit 4: Antalgin [ ] 2% dosis 300 mg/kg BB (i.p) - Mencit 5: Antalgin [ ] 2% dosis 400 mg/kg BB (i.p)

3. Setelah 30 menit masing-masing mencit disuntikkan asam asetat 3% dengan dosis 1% BB

secara i.p.

4. Diamati dan dihitung jumlah geliat selang 10 menit sampai 90 menit 5. Dibuat grafik jumlah geliat vs waktu 6. Dianalisis data secara statistik

Metode Plat Panas 1. Hewan ditimbang dan ditandai 2. Dihitung dosis dengan pemberian :

- Mencit 1: Kontrol aquadest dosis 1% BB (i.p) - Mencit 2: Morfin SO4 [ ] 0,1% dosis 10 mg/kg BB (i.p) - Mencit 3: Morfin SO4 [ ] 0,1% dosis 15 mg/kg BB (i.p) - Mencit 4: Antalgin [ ] 2% dosis 300 mg/kg BB (i.p) - Mencit 5: Antalgin [ ] 2% dosis 400 mg/kg BB (i.p)

3. Diletakkan hewan ke atas plat panas bersuhu 550 C

4. Diamati dan dihitung waktu saat hewan mulai menjilati kakinya selang 10 menit sampai 90

menit

5. Dibuat grafik lama respon vs waktu 6. Dianalisis data secara statistik

Page 35: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

29

Metode Plat Panas Infra Red (IR) 1. Hewan ditimbang dan ditandai 2. Dihitung dosis dengan pemberian :

- Mencit 1: Kontrol aquadest dosis 1% BB (oral) - Mencit 2: Morfin SO4 [ ] 0,1% dosis 10 mg/kg BB (i.p) - Mencit 3: Morfin SO4 [ ] 0,1% dosis 15 mg/kg BB (i.p) - Mencit 4: Antalgin [ ] 2% dosis 300 mg/kg BB (i.p) - Mencit 5: Antalgin [ ] 2% dosis 400 mg/kg BB (i.p)

3. Hewan diletakkan ke dalam kotak, kemudian arahkan panas IR tepat ke telapak kaki hewan 4. Diamati dan dicatat waktu selang 10 menit sampai 90 menit 5. Dibuat grafik lama respon vs waktu 6. Dianalisis data secara statistik

Page 36: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

30

DAFTAR PUSTAKA

………(2006). UGO BASILE BIOLOGICAL RESEARCH APPARATUS. Page 9. Basto, J.K.(2004). Analgesic and anti-inflammatory activity of a crude root extract

ofPfaffia glomerata (Spreng) Pedersen. Journal of Ethnopharmacology 96 (2005). page

87–91. Neal, M.J.(2002). At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga. Halaman

64-65. Parmar, N.S and Prakash, S. (2006). Screening methods in Pharmacology. Alpha Science International

Ltd. Oxford, U.K. pp. 211-238.

Tjay, H.T and Rahardja, K. (2008). Obat-obat penting khasiat, penggunaan, dan efek-efek

sampingnya. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. Halaman 310-462.

VI. Grafik

Grafik Jumlah geliat vs Waktu

Jumlah geliat

Waktu (menit)

Page 37: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

31

DATA LAPORAN PERCOBAAN

Judul Percobaan :

Tanggal Percobaan :

Group :

Responser :

Asisten Pengawas :

No PERLAKUAN PERLAKUAN JUMLAH GELIAT

I

II

10 20 30 40 50 60 70 80 90

1 Mencit 1 Setelah 30

Kontrol menit masing-

(aquadest 1% masing mencit

BB) diberi asam

asetat 3% dosis

2 Mencit 2

(Morfin 10 1 % BB secara

mg/kg BB) i.p

3 Mencit 3

(Morfin 15

mg/kg BB)

4 Mencit 4

(Antalgin 150

mg/kg BB)

5 Mencit 5

(Antalgin 250

mg/kg BB)

Page 38: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

32

No PERLAKUAN PERLAKUAN RESPON (detik)

I

II

10 20 30 40 50 60 70 80 90

1 Mencit 1 Diletakkan

Kontrol NaCl didalam kotak,

[0,9%] dosis Kemudian arah

1%/kgBB kan panas IR

tepat ditelapak

2 Mencit 2

(Morfin 15 kaki mencit.

mg/kg BB)

3 Mencit 3

(Antalgin 400

mg/kg BB)

No PERLAKUAN PERLAKUAN RESPON (detik)

I

II

10 20 30 40 50 60 70 80 90

1 Mencit 1 Diletakkan

Kontrol NaCl mencit diatas

0,9% dosis plat panas

1%/kgBB bersuhu 55°C

2 Mencit 2

(Morfin 1%

Dosis 15mg/kg

BB)

3 Mencit 3

(Antalgin 2%

Dosis 400mg/kg

BB)

Page 39: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

33

VI. PEMBAHASAN

Page 40: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

34

Page 41: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

35

DAFTAR PUSTAKA

Medan,________________

Asisten, Praktikan

( ________________ ) ( _____________________)

NILAI :

Page 42: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

36

GRAFIK PERCOBAAN

ANALGETIK

Page 43: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

37

BAB 4. AKTIVITAS ANTIPIRETIK OBAT/SEDIAAN UJI

I. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS Setelah menyelesaikan percobaan ini mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas antipiretik obat

II. PENDAHULUAN

Demam atau naiknya suhu tubuh pada umumnya terjadi karena adanya infeksi. Toksin yang

dihasilkan oleh mikroorganisme akan mengganggu sistem pengaturan panas tubuh di hipotalamus.

Selain dapat dipengaruhi oleh toksin dari mikroorganisme, sistem pengaturan panas tubuh dapat pula

dipengaruhi oleh zat-zat lain yang bersifat toksik yang masuk ke dalam tubuh. Pada suhu di atas 37⁰ C

limfosit dan makrofag menjadi lebih aktif, dan apabila suhu melampaui 40-41⁰ C dapat terjadi situasi

kritis yang bisa menjadi fatal dikarenakan tidak dapat dikendalikan lagi oleh tubuh.

Berdasarkan konsep-konsep di atas maka dikembangkan cara-cara untuk melakukan

percobaan uji efektivitas antipiretik dari suatu obat. Dinitrofenol pada mulanya digunakan sebagai

senyawa pembentuk panas dan obat untuk menurunkan berat badan. Ternyata dinitrofenol diketahui

sangat toksik dan dapat menyebabkan katarak.

Antipiretik adalah senyawa yang dapat menurunkan suhu tubuh dalam keadaan demam, salah

satu contohnya adalah parasetamol. Antipiretik digunakan secara ekstensif dalam mengontrol pyrexia

yang disebabkan oleh beberapa penyakit viral, malaria, malignancy, kerusakan jaringan, inflamasi dan

tingkat penyakit lain. Untuk mengevaluasi antipiretik dalam mengatasi demam makan dilakukan

percobaan hewan dengan menggunakan injeksi jamur Brewer atau lipopolisakarida-lipipolisakarida.

Test Antipiretik pada Tikus: Pada tikus diberikan injeksi suspense jamur Brewer secara sub cutan menghasilkan pyrexia yang

signifikan yang dapat diatasi oleh obat-obat antipiretik yang efektif secara klinis.

Test Antipiretik pada Kelinci: Kelinci sangat sensitif terhadap efek pyrexigenik dari lipopolisakarida-lipopolisakarida yang

dikandung oleh bakteri gram negatif-E. coli, diberikan secara intravena. Fraksi lipopolisakarida yang

menyebabkan kenaikan temperatur tubuh 1⁰ C atau lebih pada dosis 0,1-0,2 µg/kg digunakan untuk

penelitian lebih lanjut.

III. ALAT DAN

BAHAN 3.1 Alat-alat a. Termometer rektal b. Timbangan hewan c. Alat pencatat waktu d. Spuit (1 ml, 2ml dan 5 ml) e. Oral Sonde

3.2 Bahan-bahan

a. Larutan NaOH 0,1 N

b. CMC c. Parasetamol d. Alkohol 70%

Page 44: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

38

e. Vaselin f. 2,4 Dinitrofenol (DNF)

IV. PEMBUATAN LARUTAN OBAT a. Injeksi 2,4-dinitrofenol 0,5%

Cara Pembuatan : Sebanyak 500 mg 2,4-dinitrofenol ditimbang, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, kemudian

ditambahkan larutah NaOH 0,1 N sedikit demi sedikit sampai larut. Aquadest ditambahkan sampai

garis tanda, cek pH = 6, dicukupkan dengan aquadest sampai 100 ml. Disaring, 5 tetes pertama

dibuang dan tetesan selanjutnya ditampung.

b. Suspensi Parasetamol 10% Cara Pembuatan : CMC sebanyak 0,125 g ditaburkan ke dalam cawan porselin yang berisi aquadest panas sebanyak 1/3

bagian air yang tersedia. Didiamkan 30 menit. Diaduk sampai diperoleh massa yang homogen.

Parasetamol sebanyak 2,5 g digerus dalam lumpang sampai halus, mucilago CMC ditambahkan sedikit

demi sedikit sambil digerus sampai homogen. Sisa aquadest ditambahkan sampai 25 ml, digerus

kembali.

V. PROSEDUR KERJA 1. Hewan ditimbang dan diberi tanda.

2. Diukur suhu rata – rata 3 ekor tikus dengan termometer m elalui rektal dengan selang waktu 5

menit sebanyak 3 kali, lalu dirata – ratakan.

3. Dihitung dosis 2,4 dinitrofenol 0,5% dosis 5 mg/KgBB, diberikan secara i.m. 4. Diukur kenaikan suhu tubuh tikus dengan selang waktu 5 menit sampai 20 menit. 5. Dihitung dosis dan diberikan:

a. Tikus I : suspensi CMC Na 0,5% secara oral. b. Tikus II : suspensi parasetamol 10% dosis 400 mg/kgBB secara oral. c. Tikus III : obat X % dosis 400 mg/KgBB secara oral.

6. Diukur perubahan suhu yang terjadi dengan selang waktu 5 menit sampai 50 menit. 7. Dibuat grafik suhu vs waktu.

Page 45: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

39

VI. Grafik

Grafik Suhu vs Waktu

Suhu (⁰C)

DNF OBATWaktu (menit)

Keterangan :

a. Setiap garis dari grafik berbeda warna (untuk setiap hewan)

b. Skala grafik harus disesuaikan

DAFTAR PUSTAKA ………(2006). UGO BASILE BIOLOGICAL RESEARCH APPARATUS. p. 9. Basto, J.K.(2004). Analgesic and anti-inflammatory activity of a crude root extract ofPfaffia glomerata (Spreng) Pedersen. Journal of Ethnopharmacology 96 (2005). pp. 87–91. Burn J.H, Finney D.J, Goodwin L.G. (1950). Chapter XIV: Antipyretics and analgesic, In: Biological

Standarization. Oxford University Press. London. New York. pp. 312-9. Neal, M.J.(2002). At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga. hal. 64-

5. Parmar, N.S and Prakash, S. (2006). Screening methods in Pharmacology. Alpha Science International

Ltd. Oxford, U.K. pp. 211-238.

Tjay, H.T and Rahardja, K. (2008). Obat-obat penting khasiat, penggunaan, dan efek-efek

sampingnya. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. Halaman 310-319.

Page 46: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

40

DATA LAPORAN PERCOBAAN

Judul Percobaan :

Tanggal Percobaan :

Group :

Responser :

Asisten Pengawas :

A. Suhu Rata-Rata Tikus

No. Waktu Suhu

Keterangan

(⁰C)

(menit)

1. Tikus 1 (Aquadest) 5

10

15

Rata-Rata

2. Tikus 2 (Parasetamol) 5

10

15

Rata-Rata

3. Tikus 3 (Obat X) 5

10

15

Rata-Rata

Page 47: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

41

B. Suhu Setelah pemberian DNF

No.

Keterangan

Waktu Suhu

(menit)

(⁰C)

1. Tikus 1 (Kontrol) 5

10

15

20

2. Tikus 2 (Parasetamol) 5

10

15

20

3. Tikus 3 (Obat X) 5

10

15

20

Page 48: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

42

C. Suhu Setelah Pemberian Obat

No.

Keterangan

Waktu Suhu

(menit)

(⁰C)

1. Tikus 1 (Suspensi kosong secara oral) 5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

2. Tikus 2 (Suspensi parasetamol secara 5

oral)

10

20

25

30

35

40

Page 49: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

43

45

50

3. Tikus 3 (Obat X) 5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

Page 50: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

44

VI. PEMBAHASAN

Page 51: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

45

Page 52: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

46

DAFTAR PUSTAKA

Medan,________________

Asisten Praktikan

(________________) (______________________)

NILAI :

Page 53: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

47

GRAFIK PERCOBAAN

ANTIPIRETIK

Page 54: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

48

BAB 5. AKTIVITAS ANTIINFLAMASI OBAT/SEDIAAN UJI

I. TINJAUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS. Setelah menyelesaikan percobaan ini mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas antiinflamasi

obat.

II. PENDAHULUAN

Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan

oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, dan zat-zat mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha untuk

menginaktivasi atau merusak mikroorganisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan

mengatur derajat perbaikan jaringan. Jika penyembuhan lengkap, proses peradangan biasanya reda.

Inflamasi dicetus oleh pelepasan mediator kimiawi, (seperti prostaglandin, histamin dan leukotrien)

dan migrasi sel (yang dicetus oleh sitokin pro-inflamasi) (Mycek et al. 1997). Proses inflamasi dikenal

dengan lima tanda utama: panas (color), kemerahan (rubor), sakit (dolor), bengkak (tumor), dan

kehilangan fungsi (loss of function) (Eales 2003).

Berdasarkan lama terjadinya, inflamasi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu inflamasi akut

dan inflamasi kronis. Inflamasi akut adalah reaksi pertahanan paling awal dari jaringan tubuh terhadap

agen perusak, dan berkahir setelah beberapa jam atau hari. Penyebab inflamasi akut diantaranya adalah

mikroba, reaksi hipersensitifitas, zat kimia, trauma fisik dan kerusakan jaringan. Sel-sel imun yang

berperan dalam reaksi ini diantaranya adalah neutrofil, eosinofil dan mastosit (Shell 1987). Sedangkan

inflamasi kronis adalah reaksi inflamasi tubuh yang terjadi dalam jangka waktu yang lebih lama.

Inflamasi kronis melibatkan banyak jenis sel imunitas, seperti sel fagosit mononuklear serta sel T

limfosit (Stephenson 2004).

Prostgalandin adalah mediator kimia utama yang terlibat dalam proses inflamasi, disamping

mediator kimia lainnya, dan menjadi target kerja obat-obat antiinflamasi. Asam arakidonat adalah

prekursor utama prostaglandin. Asam arakidonat dilepaskan dari jaringan fosfolipid oleh kerja

phospholipase A2 dan asil hidrolase lainnya. Selanjutnya, dibiosintesis lagi dengan bantuan

siklooksigenase (COX) menjadi eikosanoid. Terdapat dua isomer utama dari COX yang berperan

dalam biosintesis prostaglandin, COX1 dan COX2. COX1 bersifat ada dimana-mana, sedangkan yang

kedua diinduksi dalam respon terhadap rangsangan inflamasi. Prostaglandin dan metabolitnya yang

dihasilkan secara endogen dalam jaringan bekerja sebagai tanda lokal yang menyesuaikan respons tipe

sel spesifik (Mycek et al. 1997).

III. METODE SKRINING Secara in vivo, model hewan inflamasi digunakan dalam penentuan aktivitas senyawa atau

bahanobat sebagai antiinflamasi. Model hewan inflamasi dapat diperoleh dengan cara penyuntikan

secara intraplantar hewan uji (tikus atau mencit) dengan penginduksi seperti karagenan, antigen asing

dan asam arakidonat, yang dapat mencetus proses inflamasi (ditandai dengan pembengkakan pada

telapak kaki hewan inflamasi) (Blank et al. 2004). Bahan penginduksi inflamasi ini mencetus

mekanisme inflamasi yang kompleks, melibatkan banyak mekanisme, meliputi pelepasan mediator-

mediator biokimia, seperti prostaglandin, histamin, bradikinin, sitokin pro inflamasi, serta peningkatan

migrasi sel-sel leukosit ke tempat terjadnya inflamasi (Chiang et al. 2005). Selanjutnya model hewan

inflamasi, ditritmen dengan sediaan uji atau senyawa obat dengan dosis yang telah ditentukan.

Aktivitas antiinflamasi dapat ditentukan dengan cara mengukur bengkak pada telapak kaki hewan uji

Page 55: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

49

dalam interval waktu tertentu, dengan menggunakan alat pletismometer. Berkurangnya bengkak pada

telapak kaki hewan uji menandakan adanya aktivitas antiinflamasi.

IV. OBAT ANTIINFLAMASI

Berdasarkan mekanisme kerjanya, secara umum antiinflamasi dapat dibedakan menjadi dua

golongan obat, yaitu antiinflamasi non-steroid (AINS) dan antiinflamasi steroid.

1. Antiinflamasi non-steroid (AINS)

Golongan obat ini bekerja dengan cara menghambat (inhibisi) enzim siklooksigenase yang

bertanggung jawab dalam biosistesis prostaglandin, namun tidak bekerja pada penghambatan

enzim lipoksigenase. Enzim siklooksigenase mempunyai beberapa isomer, seperti COX1,

COX2 dan COX3, berdasarkan ini pula golongan obat antiinflamasi non-steroid dapat

dibedakan menjadi AINS selektif dan AINS tidak selektif. AINS selektif bekerja dengan

menghambat satu isomer COX, seperti COX2, contoh obat ini adalah celecoxib. Sedangkan

AINS tidak selektif bekerja dengan menghambat semua isomer COX, contoh golongan obat

ini adalah aspirin (obat prototipe), indometasin, diklofenak (Katzung, 1992).

2. Antiinflamasi steroid

Golongan obat ini bekerja dengan cara menghambat enzim phospholipase A2, yang

bertanggung jawab dalam pelepasan asam arakidonat (prekursor prostaglandin) dari membran

sel. Contoh dari golongan obat ini adalah prednison (Mycek et al. 1997).

V. PRINSIP PERCOBAAN

Pembengkakan yang terjadi pada telapak kaki hewan inflamasi akibat penyuntikan penginduksi

inflamasi dapat diturunkan dengan pemberian obat-obat antiinflamasi.

VI. ALAT DAN BAHAN 6.1 Alat

a. Spuit b. Oral sonde c. Plestimometer manual atau digital

6.2 Bahan

a. Tikus putih 3 ekor b. Larutan karagenan 1% dalam aquadest (dibuat sehari sebelum percobaan) c. Suspensi kosong 0,5% se bagai kontrol. d. Suspensi obat Deksametason

VII. PROSEDUR

1. Tikus dipuasakan (tetap diberi air minum) sejak ± 18 jam sebelum percobaan

2. Tikus ditimbang, lalu diberikan tanda pada sendi kaki belakang sebelah kiri untuk setiap tikus.

3. Volume kaki tikus diukur dengan cara mencelupkan kaki yang telah ditandai sampai batas

tanda yang telah diberikan ke alat pletismometer, lalu dilihat tinggi cairan pada alat (jika

menggunakan pletismometer manual) atau nilai yang tertera di layar (jika menggunakan

pletismometer digital). Nilai ini dinyatakan sebagai volume awal (V0).

4. Tikus diberikan suspensi obat Deksametason secara oral dengan variasi dosis masing-masing

15 mg/kg BB dan 20 mg/kg BB, dan suspensi kosong untuk tikus kontrol.

5. Pada menit ke-30 setelah pemberian obat, disuntikkan larutan karagenan 1% dengan volume

0,05 ml ke telapak kaki belakang kiri setiap tikus.

Page 56: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

50

6. 30 menit kemudian, volume kaki yang telah disuntik karagenan diukur dan dicatat.

Pengukuran dilakukan selama 3 jam dengan interval 30 menit sekali.

7. Catat hasil pengamatan dalam tabel, lalu untuk setiap tikus, hitung persentase radang dan

persentase inhibisi radang yang terjadi untuk setiap titik waktu (30 menit, 60 menit, 90 menit

dan seterusnya) dengan menggunakan rumus:

Untuk Persentase Radang (%R) : %R= ( Vt-Vo) × 100% Vo

Dimana :Vt = Volume telapak kaki pada waktu

tV0= Volume telapak kaki awal

Untuk Persentase Inhibisi Radang (%IR) : (% R Kontrol - % R Obat

%IR = × 100%

%R Kontrol

Dimana : %Rkontrol= Persentase radang kelompok kontrol

%Robat= Persentase radang kelompok obat

8. Berdasarkan data yang diperoleh, gambarkanlah grafik persentase radang dan persentase

inhibisi radang yang tergantung pada waktu.

Page 57: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

51

DAFTAR PUSTAKA

Blank, M.D., Dmitrieva, M., Franzotti, E.M., Antoniolli, A.M., Andrade, M.R. dan Marchioro, M.

2004. Anti-inflammatory and analgesic activity of Peperomia pellucida (L.) HBK

(Piperaceae). Journal of Ethnopharmacology 91 (2004) 215–218. Chiang, N., Arita, M. dan Serhan, C.H. 2005. Anti-inflammatory circuitry: Lipoxin, aspirin-

triggered lipoxins and their receptor ALX. Prostaglandins, Leukotrienes and Essential

Fatty Acids 73: 163–177. Eales, L,J. 2003. Immunology for Life Scientist. Second edition. London: Jhon Wiley & Sons. Katzung, B. G., 1992, Basic and Clinical Pharmacology, 5th Ed. New York: Prectice

HallInternational inc. Mycek, J.M., Harvey, R.A., Champe, P.C dan Fisher, B.D. 1997. Lippincott’s Illustrated

Reviews:

Pharmacology. Philadelphia: Lippincotts-Raven Publisher. Shell, S. 1987. Immunology immunopathology and immunity. Fourth edition. New York: Elsevier

Science Publishing Company. Stephenson. T.J. 2004. Inflammation. Dlm. Underwood. General and Systemic Pathology. Fourth

edition. Toronto: Elsevier Limited.

Page 58: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

52

DATA LAPORAN PERCOBAAN

Judul Percobaan :

Tanggal Percobaan :

Group :

Responser :

Asisten Pengawas :

T = 40

No. Keterangan Berat Vo T = 20 menit menit

Vt % R % IR Vt % R % IR

1 Tikus control

2 Tikus obat A

3 Tikus obat B

T = 80

No.

Keterangan

Berat

Vo

T = 60 menit

menit

Vt % R % IR Vt % R % IR

1 Tikus control

2 Tikus obat A

3 Tikus obat B

T = 3

No.

Keterangan

Berat

Vo

T =2.5 jam

jam

Vt % R % IR Vt % R % IR

1 Tikus kontrol

2 Tikus obat A

3 Tikus obat B

40

Page 59: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

53

VII. PEMBAHASAN

Page 60: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

54

Page 61: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

55

DAFTAR PUSTAKA

Medan,________________

Asisten Praktikan

(________________) (______________________)

NILAI :

Page 62: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

56

GRAFIK PERCOBAAN

ANTIINFLAMASI

Page 63: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

57

BAB 6. AKTIVITAS DIURETIKA OBAT

1. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS

Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas diuretika

obat/sediaan uji.

2. PENDAHULUAN

Diuretik adalah obat yang bekerja pada ginjal untuk meningkatkan ekskresi air dan elektrolit.

Fungsi diuretik utamanya adalah untuk mengatasi udem, yaitu memobilisasi cairan yang berarti

merubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel kembali

menjadi normal. Disamping untuk menangani udem, diuretik juga efektif pada gangguan lainnya

seperti hipertensi, diabetes insipidus, hiponatremia, nefrolitiasis, hiperkalsemia, dan glaukoma.

Meskipun semua diuretik secara umum meningkatkan elektrolit dan ekskresi air untuk menurukan

volume cairan ekstraselular, namun mekanisme kerjanya berbeda.

3. OBAT DIURETIKA

Merkuri organic : klormerodrin, meralurid, merkaptomerin

Turunan xantin : kofein, teofilin, teobromin

Mekanisme kerja : turunan xantin merupakan diuretika lemah sampai sedang. Senyawa ini

bekerja dengan meninggikan pasokan darah ginjal terutama pada daerah medula ginjal. Pada

saat bersamaan tahanan vasa afferen akan berkurang jauh lebih banyak dari vasa efferen,

sehingga laju filtrasi glomerulus lebih besar. Turunan xantin mungkin merupakan satu-satunya

diuretika yang meninggikan GFR dan kerjanya paling tidak sebagian disebabkan oleh

peningkatan pembentukan urin primer. Pasokan darah yang lebih besar pada medula ginjal

akan menyebabkan diuresis yang lebih banyak. Pada penggunaan yang terus-menerus kerjanya

akan berkurang dan dalam banyak hal kerjanya tidak mencukupi, maka turunan xantin jarang

digunakan lagi sebagai diuretika.

Osmodiuretika: mannitol, sorbitol, gliserin, urea, isosorbid

Mekanisme kerja : senyawa ini inert secara farmakologi, setelah difiltrasi di glomerulus tidak

mengalami reabsorbsi di tubulus. Sesuai dengan tekanan osmotiknya, senyawa ini akan

menahan air di lumen tubulus, sedangkan natrium akan direabsorbsi. Namun natrium yang

direabsorbsi akan menjadi lebih sedikit karena terjadi perbedaan konsentrasi natrium yang

cepat yaitu konsentrasi natrium di lumen lebih kecil dibandingkan di dalam sel, sehingga lebih

banyak natrium yang tertahan. Dengan demikian akan meningkatkan diuresis. Ekskresi

elektrolit hanya ditingkatkan sedikit saja oleh senyawa ini. Tempat kerja utamanya adalah

loop of Henle.

Penghambat enzim karbonik anhidrase : asetazolamid , diklorfenamid, metazolamid

Mekanisme kerja : obat ini terutama bekerja pada tubulus proksimal, tempat kerja

lainnyaadalah pada tubulus pengumpul (collecting duct) dengan cara menghambat enzim

karbonikanhidrase, sehingga memperkecil reabsorbsi tubulus dari ion natrium, karena jumlah

ion H+ yang masuk ke lumen lebih sedikit. Akibatnya adalah terjadi peningkatan ekskresi ion

natrium, kalium dan hidrogen karbonat melalui ginjal dan disertai ekskresi air. Kehilangan

basa akan menyebabkan terjadinya asidosis dalam darah. Dengan ini kerja inhibitor

karboanhidratase akan berkurang dengan cepat.

Diuretika tiazida (Inhibitor Na+dan Cl-Symport)

Turunan dihidrobenzotiazidin : Hidroklorotiazida, triklormetiazida, butizida, politiazida,

bendroflumetiazida

Diuretika Sulfonamida Analogi Tiazida : Mefrusida, klopamida, klortalidon, xipamida

Page 64: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

58

Mekanisme kerja : obat ini menghambat symport Na+ - Cl

- sehingga menghambat reabsorbsi

natrium dan klorida pada tubulus distal (tempat kerja utama) dan tubulus proksimal (bekerja

lemah pada enzim karbonik anhidrase). Symport ini diatur oleh aldosteron.

Diuretika loop of Henle (Inhibitors Of Na+–K+–2Cl–Symport)

Diuretika loop of Henle Tipe Furosemida : furosemida, bumetanida, piretanida

Kelompok diuretika loop of Henle lainnya : asam etakrinat, etozolin, muzolimin

Mekanisme kerja : semua diuretika loop of Henle bekerja pada cabang menaik yang tebal dari

loop of Henle. Merupakan diuretika yang bekerja kuat (diuretika plafon tinggi).

Obat ini dari tepi lumen (cepat dan bolak-balik) menghambat pembawa Na+/K

+/2Cl

- dan

dengan cara ini mengahambat absorbsi ion natrium, ion kalium dan ion klorida pada loop of

Henle tebal menaik. Untuk dapat bekerja di daerah lumen, obat ini dari aliran darah harus

masuk ke cairan tubulus. Transpor terjadi melalui sekresi aktif tubulus proksimal. Ini yang

menjelaskan mengapa pada insufisiensi ginjal yang proses sekresinya dipengaruhi, diperlukan

dosis yang lebih tinggi dan saat mulai kerja juga lebih lambat.

Diuretika penahan kalium

Antagonis aldosteron : spironolakton, kanrenon (metabolit aktifnya), kalium kanrenoat,

eplerenon.

Mekanisme kerja : spironolakton (atau kanrenon) memblok secara kompetitif ikatan aldosteron

pada reseptor sitoplasma di tubulus distal akhir dan dalam tubulus penampung. Dengan

demikian aldosteron tidak dapat masuk ke inti sel berikatan dengan reseptornya dan tidak

dapat menghasilkan protein yang berfungsi untuk membuka saluran natrium dalam membran

sel lumen. Akibatnya absorbsi akan berkurang dan pada saat bersamaan ekskresi kalium akan

berkurang.

Turunan Sikloamidin : triamteren, amilorid

Mekanisme kerja : blokade saluran natrium dalam tubulus distal akhir dan dalam

tubuluspenampung. Selain itu diduga bekerja pada saluran kalium (karena sekresi K+ ke lumen

berhubungan dengan masuknya Na+) atau pada pembawa untuk pertukaran natrium-proton.

3. PRINSIP PERCOBAAN

Dengan pemberian diuretik akan meningkatkan ekskresi air dan elektrolit.

4. METODE PERCOBAAN

a. Alat

Kandang metabolisme, spuit dan oral sonde, gelas ukur, vial

b. Bahan

Furosemid, ekstrak, CMC, akuades

c. Hewan Uji

Tikus galur Wistar usia 4 bulan, berat 180-220 gram

d. Prosedur

1. Tikus dipuasakan 1 malam.

Page 65: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

59

2. Ditimbang dan dibagi menjadi 3 kelompok:

I : Kontrol, diberikan CMC 0,5%

II : Uji, diberikan ekstrak

III : Pembanding, diberikan furosemid 3,6 mg/kg bb

3. Diberi loading NaCl 3 mL/kg BB.

4. Dibiarkan selama 4 jam dan ditampung urinenya untuk diukur volumenya.

5. Dianalisis data secara statistik.

Page 66: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

60

DAFTAR PUSTAKA

Brody, T.M. dan Larner, J. 2005. Brody’s Human Pharmacology Molecular to Clinical. Fourth

Edition.Hal : 163.

Katzung, B.G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Hal : 245.

Page 67: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

61

DATA LAPORAN PERCOBAAN

Judul Percobaan :

Tanggal Percobaan :

Group :

Responser :

Asisten Pengawas :

Berat badan

Volume Volume urine (mL)

Kelompok

Tikus

aquadest

(g)

120 180 240

(mL)

60 menit

menit

menit

Menit

Kontrol 1

(CMC)

2

3

4

5

Rata-rata

Uji 1

2

3

4

5

Rata-rata

UJI

1

2

3

4

Page 68: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

62

5

Rata- rata

Pembanding

(Furosemid)

1

2

3

4

5

Rata- rata

Page 69: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

63

VII. PEMBAHASAN

Page 70: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

64

Page 71: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

65

DAFTAR PUSTAKA

Medan,________________

Asisten, Praktikan

(________________) (______________________)

NILAI :

Page 72: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

66

GRAFIK PERCOBAAN

AKTIVITAS DIURETIKA

Page 73: PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI …ffar.usu.ac.id/images/Buku_Penuntun_Laboratorium/Penuntun-Farmako...Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian

67