Penulis · dengan berbagai macam tipe ekosistem. Saat ini kawasan tersebut mengalami degradasi yang...

133

Transcript of Penulis · dengan berbagai macam tipe ekosistem. Saat ini kawasan tersebut mengalami degradasi yang...

Penulis:

Hendra GunawanPeneliti Utama Konservasi Sumberdaya AlamPusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan

SugiartiHumas Madya Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya BogorLembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Marfuah WardaniPeneliti Madya Botani Hutan Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan

M. Hesti Lestari TataPeneliti Madya Bidang SilvikulturPusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan

Sukaesih PrajadinataPeneliti Madya Bidang SilvikulturPusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan

Penelaah Ilmiah:

Prof. Dr. Tukirin PartomiharjoPeneliti Utama Bidang Ekologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI

Gunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEM

Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

KEMENTERIAN KEHUTANAN

ii iiiRESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa penulis panjatkan atas selesainya

penyusunan buku ini. Buku yang merupakan hasil karya kolaborasi antar lima

pakar di bidangnya dan didukung oleh kontributor yang relevan diharapkan dapat

menyumbang khasanah bacaan referensi sekaligus panduan bagi para praktisi

dalam pelaksanaan restorasi ekosistem kawasan konservasi, khususnya di

Gunung Merapi.

Buku ini ditulis berdasarkan hasil penelitian lapangan selama dua tahun dan kajian

referensi yang relevan serta ditelaah oleh ahli ekologi sehingga diharapkan dapat

memenuhi kebututuhan referensi restorasi di Indonesia yang masih sangat

terbatas. Meskipun demikian, buku ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena

itu kritik dan saran dari pembaca dan pemerhati sangat kami harapkan untuk

perbaikan (revisi).

Akhirnya Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah

terlibat dalam penyusunan buku ini, yaitu penelaah ilmiah, kontributor data dan

foto, editor dan pengatur tata letak (lay out). Semoga buku ini bermanfaat bagi

semua pihak, khususnya dalam rangka merestorasi ekosistem Gunung Merapi

yang terdegradasi akibat erupsi tahun 2010.

Bogor, Agustus 2013

Penulis

KATA PENGANTAR

Judul :

ISBN : 978-602-1681-02-2

Penulis : Hendra Gunawan, Sugiarti, Marfuah Wardani, M. Hesti Lestari Tata, Sukaesih Prajadinata

Penelaah Ilmiah : Prof. Dr. Tukirin Partomiharjo

Disain sampul dan tata letak : Tatang Rohana

Foto sampul depan: Hendra Gunawan

Dibiayai oleh : Direktur Kawasan Konservasi Dan Bina Hutan Lindung (DIPA 029 TA. 2013) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Cetakan Pertama : November 2013

Hak cipta dilindungi oleh undang-UndangDilarang memperbanyak buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI PASCA ERUPSI

Diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi -Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jl. Gunung Batu No.5, Bogor 16610

Kerjasama : - Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan. - Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam - Balai Taman Nasional Gunung Merapi Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.

Saran Kutipan :

Gunawan, H., Sugiarti, M. Wardani, M.H.L. Tata dan S. Prajadinata. 2013. Restorasi Ekosistem Gunung Merapi Pasca Erupsi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor.

Silakan mengutip isi buku ini dengan menyebutkan sumbernya.

©Copyright 2013

ii iiiRESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa penulis panjatkan atas selesainya

penyusunan buku ini. Buku yang merupakan hasil karya kolaborasi antar lima

pakar di bidangnya dan didukung oleh kontributor yang relevan diharapkan dapat

menyumbang khasanah bacaan referensi sekaligus panduan bagi para praktisi

dalam pelaksanaan restorasi ekosistem kawasan konservasi, khususnya di

Gunung Merapi.

Buku ini ditulis berdasarkan hasil penelitian lapangan selama dua tahun dan kajian

referensi yang relevan serta ditelaah oleh ahli ekologi sehingga diharapkan dapat

memenuhi kebututuhan referensi restorasi di Indonesia yang masih sangat

terbatas. Meskipun demikian, buku ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena

itu kritik dan saran dari pembaca dan pemerhati sangat kami harapkan untuk

perbaikan (revisi).

Akhirnya Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah

terlibat dalam penyusunan buku ini, yaitu penelaah ilmiah, kontributor data dan

foto, editor dan pengatur tata letak (lay out). Semoga buku ini bermanfaat bagi

semua pihak, khususnya dalam rangka merestorasi ekosistem Gunung Merapi

yang terdegradasi akibat erupsi tahun 2010.

Bogor, Agustus 2013

Penulis

KATA PENGANTAR

Judul :

ISBN : 978-602-1681-02-2

Penulis : Hendra Gunawan, Sugiarti, Marfuah Wardani, M. Hesti Lestari Tata, Sukaesih Prajadinata

Penelaah Ilmiah : Prof. Dr. Tukirin Partomiharjo

Disain sampul dan tata letak : Tatang Rohana

Foto sampul depan: Hendra Gunawan

Dibiayai oleh : Direktur Kawasan Konservasi Dan Bina Hutan Lindung (DIPA 029 TA. 2013) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Cetakan Pertama : November 2013

Hak cipta dilindungi oleh undang-UndangDilarang memperbanyak buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI PASCA ERUPSI

Diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi -Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jl. Gunung Batu No.5, Bogor 16610

Kerjasama : - Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan. - Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam - Balai Taman Nasional Gunung Merapi Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.

Saran Kutipan :

Gunawan, H., Sugiarti, M. Wardani, M.H.L. Tata dan S. Prajadinata. 2013. Restorasi Ekosistem Gunung Merapi Pasca Erupsi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor.

Silakan mengutip isi buku ini dengan menyebutkan sumbernya.

©Copyright 2013

iv vRESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, satu buku lagi telah terbit sebagai

bentuk luaran dari penelitian yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Dan

Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (PUSKONSER), Badan Litbang

Kehutanan. Ini adalah salah satu buku yang bersifat praktis sehingga mudah

dipahami dan diaplikasikan oleh para praktisi. Meskipun demikian, buku ini masih

bersifat ilmiah sehingga juga bisa menjadi referensi kalangan peneliti dan

akademisi.

Kondisi kawasan konservasi di Indonesia terus mengalami degradasi, baik yang

diakibatkan oleh aktifitas manusia seperti perambahan, penebangan liar dan

pembakaran lahan maupun akibat bencana alam seperti kebakaran hutan dan

erupsi gunung api. Kawasan konservasi yang terdegradasi tersebut perlu segera

direstorasi agar fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan, pengawetan

plasma nutfah maupun pelestarian manfaat sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya dapat kembali. Untuk itu restorasi pada tingkat ekosistem perlu

dilakukan.

Sampai saat ini, hasil penelitian maupun pedoman restorasi ekosistem,

khususnya di kawasan konservasi masih sangat langka. Ekosistem kawasan

konservasi memiliki nilai konservasi, keunikan dan fungsi yang berbeda dengan

ekosistem hutan produksi, sehingga restorasinya pun memerlukan kriteria-kriteria

khusus. Buku ini dapat menjadi salah satu jawaban atas kebutuhan akan

pedoman restorasi ekosistem di kawasan konservasi, khususnya untuk

ekosistem pegunungan di Jawa dan terutama di Taman Nasional Gunung Merapi

Akhirnya, ucapan terima kasih disampaikan kepada para penulis, kontributor,

penelaah ilmiah dan semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan dan

penerbitan buku ini. Semoga hasil karya para peneliti ini bermanfaat bagi

perbaikan hutan di Indonesia pada umumnya.

Bogor, Agustus 2013

Kepala Pusat

Ir. Adi Susmianto, M.Sc.

NIP.195712211982031002

SAMBUTANKEPALA PUSAT PENELITIAN DAN

PENGEMBANGAN KONSERVASI & REHABILITASI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Indonesia memiliki kawasan konservasi seluas kurang lebih 27.190.992,91 ha

dengan berbagai macam tipe ekosistem. Saat ini kawasan tersebut mengalami

degradasi yang disebabkan oleh kegiatan perambahan, bencana alam

(kebakaran, gunung meletus, tanah longsor, banjir, dll), illegal logging, dan

konflik lahan dengan masyarakat. Ekosistem kawasan konservasi yang

terdegradasi harus dipulihkan agar dapat memberikan fungsi-fungsinya kembali,

oleh karena itu pemerintah mencanangkan kegiatan restorasi ekosistem kawasan

konservasi yang dinilai tepat untuk mengembalikan fungsi ekosistem di kawasan

konservasi.

Keberhasilan program restorasi ekosistem di kawasan konservasi, memerlukan

kerjasama semua pihak khususnya para peneliti untuk mendapatkan dukungan

hasil penelitian dan pengembangan dari program tersebut. Oleh karena itu,

dengan diterbitkannya Buku Restorasi Ekosistem Gunung Merapi Pasca Erupsi,

kami selaku Pengelola mengucapkan terima kasih kepada semua pihak,

khususnya Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

(PUSKONSER) yang telah berpartisipasi dan bersinergi dengan program

Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung.

Akhirnya kepada penulis dan semua pihak yang berkontribusi pada buku ini, kami

sampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga buku

ini bermanfaat untuk semua pihak yang berkepentingan.

Jakarta, Agustus 2013

Direktur

Ir. Bambang Dahono Adjie, MM, M.Si.

NIP. 19580519 198603 1 001

SAMBUTANDIREKTUR KAWASAN KONSERVASI

DAN BINA HUTAN LINDUNG

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN

DAN KONSERVASI ALAM

iv vRESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, satu buku lagi telah terbit sebagai

bentuk luaran dari penelitian yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Dan

Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (PUSKONSER), Badan Litbang

Kehutanan. Ini adalah salah satu buku yang bersifat praktis sehingga mudah

dipahami dan diaplikasikan oleh para praktisi. Meskipun demikian, buku ini masih

bersifat ilmiah sehingga juga bisa menjadi referensi kalangan peneliti dan

akademisi.

Kondisi kawasan konservasi di Indonesia terus mengalami degradasi, baik yang

diakibatkan oleh aktifitas manusia seperti perambahan, penebangan liar dan

pembakaran lahan maupun akibat bencana alam seperti kebakaran hutan dan

erupsi gunung api. Kawasan konservasi yang terdegradasi tersebut perlu segera

direstorasi agar fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan, pengawetan

plasma nutfah maupun pelestarian manfaat sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya dapat kembali. Untuk itu restorasi pada tingkat ekosistem perlu

dilakukan.

Sampai saat ini, hasil penelitian maupun pedoman restorasi ekosistem,

khususnya di kawasan konservasi masih sangat langka. Ekosistem kawasan

konservasi memiliki nilai konservasi, keunikan dan fungsi yang berbeda dengan

ekosistem hutan produksi, sehingga restorasinya pun memerlukan kriteria-kriteria

khusus. Buku ini dapat menjadi salah satu jawaban atas kebutuhan akan

pedoman restorasi ekosistem di kawasan konservasi, khususnya untuk

ekosistem pegunungan di Jawa dan terutama di Taman Nasional Gunung Merapi

Akhirnya, ucapan terima kasih disampaikan kepada para penulis, kontributor,

penelaah ilmiah dan semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan dan

penerbitan buku ini. Semoga hasil karya para peneliti ini bermanfaat bagi

perbaikan hutan di Indonesia pada umumnya.

Bogor, Agustus 2013

Kepala Pusat

Ir. Adi Susmianto, M.Sc.

NIP.195712211982031002

SAMBUTANKEPALA PUSAT PENELITIAN DAN

PENGEMBANGAN KONSERVASI & REHABILITASI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Indonesia memiliki kawasan konservasi seluas kurang lebih 27.190.992,91 ha

dengan berbagai macam tipe ekosistem. Saat ini kawasan tersebut mengalami

degradasi yang disebabkan oleh kegiatan perambahan, bencana alam

(kebakaran, gunung meletus, tanah longsor, banjir, dll), illegal logging, dan

konflik lahan dengan masyarakat. Ekosistem kawasan konservasi yang

terdegradasi harus dipulihkan agar dapat memberikan fungsi-fungsinya kembali,

oleh karena itu pemerintah mencanangkan kegiatan restorasi ekosistem kawasan

konservasi yang dinilai tepat untuk mengembalikan fungsi ekosistem di kawasan

konservasi.

Keberhasilan program restorasi ekosistem di kawasan konservasi, memerlukan

kerjasama semua pihak khususnya para peneliti untuk mendapatkan dukungan

hasil penelitian dan pengembangan dari program tersebut. Oleh karena itu,

dengan diterbitkannya Buku Restorasi Ekosistem Gunung Merapi Pasca Erupsi,

kami selaku Pengelola mengucapkan terima kasih kepada semua pihak,

khususnya Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

(PUSKONSER) yang telah berpartisipasi dan bersinergi dengan program

Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung.

Akhirnya kepada penulis dan semua pihak yang berkontribusi pada buku ini, kami

sampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga buku

ini bermanfaat untuk semua pihak yang berkepentingan.

Jakarta, Agustus 2013

Direktur

Ir. Bambang Dahono Adjie, MM, M.Si.

NIP. 19580519 198603 1 001

SAMBUTANDIREKTUR KAWASAN KONSERVASI

DAN BINA HUTAN LINDUNG

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN

DAN KONSERVASI ALAM

vi viiRESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

DAFTAR ISIKATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii

SAMBUTAN KEPALA PUSLITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI . . . . . iv

SAMBUTAN KEPALA BALAI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI . . . . . . . vi

DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . vii

DAFTAR TABEL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . viii

DAFTAR GAMBAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ix

PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1

A. Pendahuluan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2

B. Tujuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3

KARAKTERISTIK EKOSISTEM GUNUNG MERAPI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4

A. Status, Letak dan Luas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4

B. Ekosistem Flora dan Fauna . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4

C. Tanah dan Topografi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6

D. Curah Hujan dan Hidrologi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7

SAMBUTAN DIREKTUR KAWASAN KONSERVASI DAN BINA HUTAN LINDUNG DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM v

DAMPAK ERUPSI GUNUNG MERAPI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8

A. Dampak Erupsi Terhadap Manusia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8

B. Dampak Erupsi Terhadap Ekosistem Hutan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8

C. Dampak Erupsi Terhadap Komunitas Tumbuhan . . . . . . . . . . . . . . . . 12

E. Dampak Erupsi Terhadap Komunitas Satwa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15

SUKSESI ALAM DAN ANCAMAN INVASI SPESIES ASING . . . . . . . . . . . . . . 20

A. Suksesi Alam . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 20

B. Ancaman Invasi Spesies Asing (Alien Species) . . . . . . . . . . . . . . . . . 21

RESTORASI EKOSISTEM . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24

A. Prinsip Restorasi Ekosistem . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24

B. Analisis Vegetasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25

C. Inventarisasi dan Identifikasi Jenis Pohon Asli . . . . . . . . . . . . . . . . . . 28

D. Pemilihan Jenis Pohon Asli untuk Tanaman Restorasi . . . . . . . . . . . . . 28

E. Teknik Silvikultur . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 31

F. Zonasi Restorasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 34

G. Pelibatan Masyarakat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 37

TEKNIK KOLEKSI HERBARIUM . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 39

A. Pengambilan Material Herbarium . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 39

B. Teknik Pemrosesan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 41

C. Identifikasi Matrial Herbarium . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 46

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 49

DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 102

DAFTAR ISTILAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 110

RIWAYAT HIDUP PENULIS . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 114

Kami selaku pengelola Balai Taman Nasional Gunung Merapi (BTNGM)

menyampaikan terima kasih kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi

dan Rehabilitasi (PUSKONSER), yang telah melakukan penelitian di wilayah kerja

kami dalam rangka mendukung pengelolaan BTNGM. Secara khusus, kami juga

menyamapaikan terima kasih kepada tim penulus yang telah mendokumentasikan

hasil penelitiannya dalam sebuah buku yang praktis dan mudah dipahami.

BTNGM merupakan salah satu taman nasional yang relatif masih baru dan oleh

karenanya masih membutuhkan dukungan banyak penelitian dalam rangka

meningkatkan pengelolaannya. Apalagi kondisi Gunung Merapi yang selalu

mendapat ancaman kerusakan akibat bencana erupsi maupun tekanan penduduk di

sekitarnya, sehingga pengelolaanya selalu menghadapi masalah yang kompleks.

Salah satu masalah yang dihadapi saat ini adalah kerusakan ekosistem hutan akibat

erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada Oktober 2010. Kerusakan ekosistem hutan

menyebabkan rusak dan berkurangnya habitat satwa, terganggunya sistem

hidrologi, dan merajalelanya spesies invasif Acacia decurrens. Untuk merestorasi

ekosistem hutan yang rusak, perlu dilakukan penanaman dengan jenis-jenis pohon

asli.

Buku ini sangat komprehensif membahas tahapan-tahapan restorasi ekosistem hutan

Gunung Merapi pasca erupsi. Buku ini sangat relevan dan valid karena merupakan

hasil penelitian ilmiah yang dilakukan di Gunung Merapi. Disamping itu, penelitian ini

merupakan kolaborasi antara peneliti dan teknisi PUSKONSER dengan fungsional

PEH, penyuluh dan jagawana BTNGM, sehingga hasilnya benar-benar sesuai dengan

kebutuhan.

Akhirnya, kami selaku pengelola BTNGM sekali lagi mengucapkan terima kasih

kepada semua pihak yang telah berpartisipasi mulai dari kegiatan penelitian di

lapangan sampai penulisan buku ini. Semoga buku ini dapat menjadi salah satu

panduan lapangan bagi para petugas kami dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang

membutuhkannya.

Yogyakarta, Agustus 2013

Kepala Balai TNGM

Drs. Bambang Darmadja, M.S.

NIP. 195708311986021001

SAMBUTAN KEPALA BALAI TAMAN NASIONAL

GUNUNG MERAPI

vi viiRESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

DAFTAR ISIKATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii

SAMBUTAN KEPALA PUSLITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI . . . . . iv

SAMBUTAN KEPALA BALAI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI . . . . . . . vi

DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . vii

DAFTAR TABEL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . viii

DAFTAR GAMBAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ix

PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1

A. Pendahuluan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2

B. Tujuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3

KARAKTERISTIK EKOSISTEM GUNUNG MERAPI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4

A. Status, Letak dan Luas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4

B. Ekosistem Flora dan Fauna . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4

C. Tanah dan Topografi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6

D. Curah Hujan dan Hidrologi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7

SAMBUTAN DIREKTUR KAWASAN KONSERVASI DAN BINA HUTAN LINDUNG DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM v

DAMPAK ERUPSI GUNUNG MERAPI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8

A. Dampak Erupsi Terhadap Manusia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8

B. Dampak Erupsi Terhadap Ekosistem Hutan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8

C. Dampak Erupsi Terhadap Komunitas Tumbuhan . . . . . . . . . . . . . . . . 12

E. Dampak Erupsi Terhadap Komunitas Satwa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15

SUKSESI ALAM DAN ANCAMAN INVASI SPESIES ASING . . . . . . . . . . . . . . 20

A. Suksesi Alam . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 20

B. Ancaman Invasi Spesies Asing (Alien Species) . . . . . . . . . . . . . . . . . 21

RESTORASI EKOSISTEM . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24

A. Prinsip Restorasi Ekosistem . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24

B. Analisis Vegetasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25

C. Inventarisasi dan Identifikasi Jenis Pohon Asli . . . . . . . . . . . . . . . . . . 28

D. Pemilihan Jenis Pohon Asli untuk Tanaman Restorasi . . . . . . . . . . . . . 28

E. Teknik Silvikultur . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 31

F. Zonasi Restorasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 34

G. Pelibatan Masyarakat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 37

TEKNIK KOLEKSI HERBARIUM . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 39

A. Pengambilan Material Herbarium . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 39

B. Teknik Pemrosesan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 41

C. Identifikasi Matrial Herbarium . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 46

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 49

DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 102

DAFTAR ISTILAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 110

RIWAYAT HIDUP PENULIS . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 114

Kami selaku pengelola Balai Taman Nasional Gunung Merapi (BTNGM)

menyampaikan terima kasih kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi

dan Rehabilitasi (PUSKONSER), yang telah melakukan penelitian di wilayah kerja

kami dalam rangka mendukung pengelolaan BTNGM. Secara khusus, kami juga

menyamapaikan terima kasih kepada tim penulus yang telah mendokumentasikan

hasil penelitiannya dalam sebuah buku yang praktis dan mudah dipahami.

BTNGM merupakan salah satu taman nasional yang relatif masih baru dan oleh

karenanya masih membutuhkan dukungan banyak penelitian dalam rangka

meningkatkan pengelolaannya. Apalagi kondisi Gunung Merapi yang selalu

mendapat ancaman kerusakan akibat bencana erupsi maupun tekanan penduduk di

sekitarnya, sehingga pengelolaanya selalu menghadapi masalah yang kompleks.

Salah satu masalah yang dihadapi saat ini adalah kerusakan ekosistem hutan akibat

erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada Oktober 2010. Kerusakan ekosistem hutan

menyebabkan rusak dan berkurangnya habitat satwa, terganggunya sistem

hidrologi, dan merajalelanya spesies invasif Acacia decurrens. Untuk merestorasi

ekosistem hutan yang rusak, perlu dilakukan penanaman dengan jenis-jenis pohon

asli.

Buku ini sangat komprehensif membahas tahapan-tahapan restorasi ekosistem hutan

Gunung Merapi pasca erupsi. Buku ini sangat relevan dan valid karena merupakan

hasil penelitian ilmiah yang dilakukan di Gunung Merapi. Disamping itu, penelitian ini

merupakan kolaborasi antara peneliti dan teknisi PUSKONSER dengan fungsional

PEH, penyuluh dan jagawana BTNGM, sehingga hasilnya benar-benar sesuai dengan

kebutuhan.

Akhirnya, kami selaku pengelola BTNGM sekali lagi mengucapkan terima kasih

kepada semua pihak yang telah berpartisipasi mulai dari kegiatan penelitian di

lapangan sampai penulisan buku ini. Semoga buku ini dapat menjadi salah satu

panduan lapangan bagi para petugas kami dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang

membutuhkannya.

Yogyakarta, Agustus 2013

Kepala Balai TNGM

Drs. Bambang Darmadja, M.S.

NIP. 195708311986021001

SAMBUTAN KEPALA BALAI TAMAN NASIONAL

GUNUNG MERAPI

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.

Gambar 2.

Gambar 3.

Gambar 4.

Gambar 5.

Gambar 6.

Gambar 7.

Gambar 8.

Gambar 9.

Gambar 10.

Gambar 11.

Gambar 12

Gambar 13.

Gambar 14.

5

5

9

10

11

11

12

15

16

17

19

21

21

22

Ekosistem hutan pegunungan di Taman Nasional Gunung Merapi

Ekosistem hutan tanaman Pinus merkusii (kiri) dan tanaman Agathis alba (kanan) di Taman Nasional Gunung Merapi

Dampak erupsi Gunung Merapi menghilangkan harta benda (a,b), merusak infrastruktur jalan dan saluran irigasi (c,d), memusnahkan lahan pertanian dan meluluhlantakkan pemukiman (e,f)

Beberapa gambaran kondisi lingkungan Gunung Merapi sesudah erupsi pada 16 Desember 2010 (kanan) dan beberapa minggu sebelum erupsi (kiri). Atas dan tengah adalah lokasi wisata Kalikuning, bawah adalah Taman Wisata wisata Kaliurang

Rantai makanan sederhana (kiri) dan piramida tingkat tropik (kanan) di ekosistem Gunung Merapi

Kondisi hidrologi sebelum dan pasca erupsi. Atas: Salah satu umbul(mata air) di hulu Kalikuning, bawah: Kalikunig.

Gambaran kondisi kerusakan vegetasi akibat erupsi Gunung Merapi

Sebaran pohon menurut tingkat pertumbuhan pada berbagai tingkat kerusakan akibat erupsi Gunung Merapi

Mamalia kecil seperti landak jawa (Hystrix javanica) menjadi korban erupsi karena tidak mampu melarikan diri dari luncuran awan panas. Sementara monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) mengais sampah untuk mencari makan karena persediaan makanan di alamnya habis terkena erupsi

Proporsi sebaran enam jenis satwa mamalia menurut kelas kerusakan kawasan TNGM pasca erupsi

Komposisi burung menurut macam pakan utamanya di areal rusak akibat erupsi Merapi setelah 16 bulan pasca erupsi

Jumlah jenis anakan pohon dan tumbuhan bawah pada areal rusak akibat erupsi setelah satu tahun pasca erupsi

Kiri : rekolonisasi 3 bulan pasca erupsi dan Kanan : rekolonisasi 18 bulan pasca erupsi di Resor Kemalang

Kerapatan anakan pohon di areal terdampak erupsi di Merapi

viii ixRESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

DAFTAR TABEL

Rekapitulasi hasil analisis vegetasi ekosistem Gunung Merapi pada berbagai tingkat kerusakan akibat erupsi

Frekuensi perjumpaan enam jenis satwa mamalia penting di TNGM pasca erupsi

Jenis-jenis burung di areal terdampak erupsi setelah 16 bulan pasca erupsi

Rekapitulasi indeks keragaman jenis (H') dan indeks evenness (e) burung-burung di areal rusak terkena erupsi

Rekapitulasi indeks kemiripan komunitas burung antar lokasi pengamatan

Jenis-jenis eksotik (didatangkan) yang menjadi pionir pada areal terdampak erupsi di TNGM

Contoh lembar data analisis vegetasi tingkat pohon

Contoh lembar data analisis vegetasi tingkat anakan dan tumbuhan bawah

Luas areal TNGM yang terdampak erupsi Gunung Merapi

Tabel 1.

Tabel 2.

Tabel 3.

Tabel 4.

Tabel 5.

Tabel 6.

Tabel 7.

Tabel 8.

Tabel 9.

13

16

18

19

19

23

26

26

34

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.

Gambar 2.

Gambar 3.

Gambar 4.

Gambar 5.

Gambar 6.

Gambar 7.

Gambar 8.

Gambar 9.

Gambar 10.

Gambar 11.

Gambar 12

Gambar 13.

Gambar 14.

5

5

9

10

11

11

12

15

16

17

19

21

21

22

Ekosistem hutan pegunungan di Taman Nasional Gunung Merapi

Ekosistem hutan tanaman Pinus merkusii (kiri) dan tanaman Agathis alba (kanan) di Taman Nasional Gunung Merapi

Dampak erupsi Gunung Merapi menghilangkan harta benda (a,b), merusak infrastruktur jalan dan saluran irigasi (c,d), memusnahkan lahan pertanian dan meluluhlantakkan pemukiman (e,f)

Beberapa gambaran kondisi lingkungan Gunung Merapi sesudah erupsi pada 16 Desember 2010 (kanan) dan beberapa minggu sebelum erupsi (kiri). Atas dan tengah adalah lokasi wisata Kalikuning, bawah adalah Taman Wisata wisata Kaliurang

Rantai makanan sederhana (kiri) dan piramida tingkat tropik (kanan) di ekosistem Gunung Merapi

Kondisi hidrologi sebelum dan pasca erupsi. Atas: Salah satu umbul(mata air) di hulu Kalikuning, bawah: Kalikunig.

Gambaran kondisi kerusakan vegetasi akibat erupsi Gunung Merapi

Sebaran pohon menurut tingkat pertumbuhan pada berbagai tingkat kerusakan akibat erupsi Gunung Merapi

Mamalia kecil seperti landak jawa (Hystrix javanica) menjadi korban erupsi karena tidak mampu melarikan diri dari luncuran awan panas. Sementara monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) mengais sampah untuk mencari makan karena persediaan makanan di alamnya habis terkena erupsi

Proporsi sebaran enam jenis satwa mamalia menurut kelas kerusakan kawasan TNGM pasca erupsi

Komposisi burung menurut macam pakan utamanya di areal rusak akibat erupsi Merapi setelah 16 bulan pasca erupsi

Jumlah jenis anakan pohon dan tumbuhan bawah pada areal rusak akibat erupsi setelah satu tahun pasca erupsi

Kiri : rekolonisasi 3 bulan pasca erupsi dan Kanan : rekolonisasi 18 bulan pasca erupsi di Resor Kemalang

Kerapatan anakan pohon di areal terdampak erupsi di Merapi

viii ixRESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

DAFTAR TABEL

Rekapitulasi hasil analisis vegetasi ekosistem Gunung Merapi pada berbagai tingkat kerusakan akibat erupsi

Frekuensi perjumpaan enam jenis satwa mamalia penting di TNGM pasca erupsi

Jenis-jenis burung di areal terdampak erupsi setelah 16 bulan pasca erupsi

Rekapitulasi indeks keragaman jenis (H') dan indeks evenness (e) burung-burung di areal rusak terkena erupsi

Rekapitulasi indeks kemiripan komunitas burung antar lokasi pengamatan

Jenis-jenis eksotik (didatangkan) yang menjadi pionir pada areal terdampak erupsi di TNGM

Contoh lembar data analisis vegetasi tingkat pohon

Contoh lembar data analisis vegetasi tingkat anakan dan tumbuhan bawah

Luas areal TNGM yang terdampak erupsi Gunung Merapi

Tabel 1.

Tabel 2.

Tabel 3.

Tabel 4.

Tabel 5.

Tabel 6.

Tabel 7.

Tabel 8.

Tabel 9.

13

16

18

19

19

23

26

26

34

23

25

30

35

37

37

37

38

38

42

42

43

44

44

45

46

47

Gambar 15.

Gambar 16.

Gambar 17.

Gambar 18.

Gambar 19.

Gambar 20.

Gambar 21.

Gambar 22.

Gambar 23.

Gambar 24.

Gambar 25.

Gambar 26.

Gambar 27.

Gambar 28

Gambar 29.

Gambar 30.

Gambar 31.

abu vulkanik telah kembali hijau oleh invasi Acacia decurrens.

Model analisis vegetasi dengan metode kombinasi jalur dan garis berpetak (digambar ulang dari Kusmana, 1997).

Frekuensi relatif anakan pohon di areal terdampak erupsi di TNGM

Klasifikasi tingkat kerusakan vegetasi hutan di Taman Nasional Gunung Merapi pasca erupsi sebagai dasar zonasi restorasi

Kesediaan masyarakat terkena dampak erupsi untuk direlokasi

Persepsi masyarakat tentang sterilisasi areal terkena dampak dari aktifitas manusia

Persepsi masyarakat tentang rencana restorasi areal terdampak erupsi

Keterlibatan masyarakat dalam berbagai kegiatan di TNGM

Pendapat masyarkat tentang pengelolaan Gunung Merapi ke depan

Material herbarium berlebel dalam lipatan Koran

Tumpukan material herbarium dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disiram dengan alkohol/spirtus

Tungku pengeringan yang terdiri dari : tempat bara, rak, dan atap. ( sumber : Bridson dan Forman, 1992)

Pengepresan material herbarium terdiri dari (paling bawah): alumunium bergelombang – karton – material herbarium dalam lipatan koran – karton – alumunium bergelombang

Susunan material herbarium yang sudah dipres dengan sasak ( bagian paling bawah sasak dan paling atas ditutup dengan sasak)

Pengeringan dengan menggunakan bolam listrik, terdiri dari kotak papan penempel bolam dan rak besi (Sumber: Afriastini, 1997)

Pengeringan material herbarium dalam oven

Label koleksi hebarium

Pada bulan April 2012 atau 18 bulan pasca erupsi, hamparan

x

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

A. Latar Belakang

B. Tujuan

PENDAHULUAN

2 3RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Indonesia memiliki Kawasan Hutan

Konservasi (HK) yang terdiri atas

Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan

Kawasan Suaka Alam (KSA) dengan

luas keseluruhan mencapai 23.240 juta

hektar. KSA terdiri atas 214 Cagar

Alam (CA), 63 unit Suaka Margasatwa

(SM), sedangkan KPA terdiri atas 104

unit Taman Wisata Alam (TWA) dengan

17 unit kawasan Taman Hutan Raya

(TAHURA) dan 50 unit Taman Nasional

(TN). Dari keseluruhan kawasan

konservasi tersebut, 82 % merupakan

kawasan daratan. Dari keseluruhan

kawasan konservasi tersebut, taman

nasional merupakan yang terluas (57%)

(Departemen Kehutanan, 2004).

Ekosistem hutan taman nasional darat

umumnya telah mengalami deforestasi

dan atau degradasi akibat perambahan,

pe r l adangan, penebangan dan

perburuan liar serta masuknya spesies

asing (alien species). Degradasi

ekosistem hutan juga terjadi akibat

bencana alam seperti erupsi gunung api

dan kebakaran hutan. Deforestasi dan

d eg r a d a s i i n i mengak i b a t k an

terganggunya fungsi-fungsi hakiki yang

melekat pada ekosistem dalam kawasan

taman nasional tersebut, yaitu fungsi

ekologi, hidrologi, ekonomi dan sosial

sehingga tidak optimal.

Kerusakan ekosistem taman nasional,

baik yang disebabkan oleh manusia

maupun bencana alam, perlu direstorasi

untuk memulihkan kembali fungsi-

fungsinya sebagai kawasan taman

nasional, yaitu untuk perlindungan

s is tem penyangga keh idupan,

pengawetan plasma nutfah dan

p e m a n f a a t a n s e c a r a l e s t a r i

k e a n e k a r a g a m a n h a y a t i d a n

ekosistemnya.

Mengingat kompleksnya proses-proses

dan fungsi ekosistem, maka untuk

dapat memperoleh kembali fungsi-

fungsi tersebut harus dilakukan

pemulihan pada level lanskap. Menurut

Maginnis dan Jackson (2006) restorasi

lanskap hutan tidak ditujukan untuk

mengembalikan lanskap hutan seperti

keadaan aslinya sebelum terganggu,

tetapi lebih merupakan upaya

pendekatan untuk memperlakukan aset

sumberdaya hutan secara proporsional

untuk kebaikan manusia dan alam.

Karena restorasi lanskap hutan

ditujukan untuk penyediaan barang dan

jasa hutan pada level lanskap, maka

tidak terbatas pada teknik-teknik

intervensi pada tapak-tapak khusus.

Dalam pendekatan restorasi ekosistem

hutan, masyarakat disertakan untuk

mengidentifikasi dan menetapkan

seca ra t epa t p r ak tek -p rak tek

penggunaan lahan yang akan

membantu pemulihan fungsi hutan

secara keseluruhan lanskap sebagai

daerah tangkapan air. Dalam hal ini

difokuskan pada pemulihan fungsi-

fungsi hutan pada tingkat lanskap untuk

optimalisasi fungsi ekologi hutan dan

pemeliharaan kesejahteraan masyarakat

sekitarnya. Tujuan dari pendekatan ini

adalah memperkuat hubungan antara

pembangunan pedesaan, kehutanan dan

manajemen konservasi sumberdaya

alam lainnya. Dengan perkataan lain

lebih mengutamakan pada optimalisasi

penyediaan manfaat hutan dalam

lanskap yang lebih luas (IUCN, 2005).

Salah satu kunci dalam restorasi lanskap

hutan adalah identifikasi tipe dan tingkat

restorasi yang sesuai dengan kondisi

sosial dan fisik lingkungan yang ada.

Pada ekosistem yang telah sangat rusak

sehingga tidak mampu memulihkan diri

sendiri melalui proses suksesi alami,

maka upaya restorasi lebih baik

difokuskan pada pemulihan secara cepat

dan pemeliharaan proses-proses penting

seperti hidrologi, siklus hara dan transfer

energi daripada usaha mengembalikan

struktur hutan seperti aslinya (Maginnis

dan Jackson, 2006).

Penulisan buku ini bertujuan untuk : (1)

memberikan pemahaman tentang

kondisi ekosistem hutan Taman Nasional

Gunung Me r ap i ( TNGM) ; ( 2 )

memberikan pemahaman tentang

dampak erupsi terhadap ekosistem,

vegetasi dan satwa di TNGM; (3)

memberikan informasi hasil-hasil

penelitian dan aplikasinya dalam

kegiatan restorasi ekosistem TNGM; (4)

menampilkan deskripsi ekologi jenis-

jenis pohon asli Gunung Merapi sebagai

bahan acuan restorasi; (5) menjadi

panduan bagi manajemen maupun

petugas lapangan dalam rangka

pelaksanaan restorasi ekosistem.

A. Latar Belakang

B. Tujuan

PENDAHULUAN

2 3RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Indonesia memiliki Kawasan Hutan

Konservasi (HK) yang terdiri atas

Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan

Kawasan Suaka Alam (KSA) dengan

luas keseluruhan mencapai 23.240 juta

hektar. KSA terdiri atas 214 Cagar

Alam (CA), 63 unit Suaka Margasatwa

(SM), sedangkan KPA terdiri atas 104

unit Taman Wisata Alam (TWA) dengan

17 unit kawasan Taman Hutan Raya

(TAHURA) dan 50 unit Taman Nasional

(TN). Dari keseluruhan kawasan

konservasi tersebut, 82 % merupakan

kawasan daratan. Dari keseluruhan

kawasan konservasi tersebut, taman

nasional merupakan yang terluas (57%)

(Departemen Kehutanan, 2004).

Ekosistem hutan taman nasional darat

umumnya telah mengalami deforestasi

dan atau degradasi akibat perambahan,

pe r l adangan, penebangan dan

perburuan liar serta masuknya spesies

asing (alien species). Degradasi

ekosistem hutan juga terjadi akibat

bencana alam seperti erupsi gunung api

dan kebakaran hutan. Deforestasi dan

d eg r a d a s i i n i mengak i b a t k an

terganggunya fungsi-fungsi hakiki yang

melekat pada ekosistem dalam kawasan

taman nasional tersebut, yaitu fungsi

ekologi, hidrologi, ekonomi dan sosial

sehingga tidak optimal.

Kerusakan ekosistem taman nasional,

baik yang disebabkan oleh manusia

maupun bencana alam, perlu direstorasi

untuk memulihkan kembali fungsi-

fungsinya sebagai kawasan taman

nasional, yaitu untuk perlindungan

s is tem penyangga keh idupan,

pengawetan plasma nutfah dan

p e m a n f a a t a n s e c a r a l e s t a r i

k e a n e k a r a g a m a n h a y a t i d a n

ekosistemnya.

Mengingat kompleksnya proses-proses

dan fungsi ekosistem, maka untuk

dapat memperoleh kembali fungsi-

fungsi tersebut harus dilakukan

pemulihan pada level lanskap. Menurut

Maginnis dan Jackson (2006) restorasi

lanskap hutan tidak ditujukan untuk

mengembalikan lanskap hutan seperti

keadaan aslinya sebelum terganggu,

tetapi lebih merupakan upaya

pendekatan untuk memperlakukan aset

sumberdaya hutan secara proporsional

untuk kebaikan manusia dan alam.

Karena restorasi lanskap hutan

ditujukan untuk penyediaan barang dan

jasa hutan pada level lanskap, maka

tidak terbatas pada teknik-teknik

intervensi pada tapak-tapak khusus.

Dalam pendekatan restorasi ekosistem

hutan, masyarakat disertakan untuk

mengidentifikasi dan menetapkan

seca ra t epa t p r ak tek -p rak tek

penggunaan lahan yang akan

membantu pemulihan fungsi hutan

secara keseluruhan lanskap sebagai

daerah tangkapan air. Dalam hal ini

difokuskan pada pemulihan fungsi-

fungsi hutan pada tingkat lanskap untuk

optimalisasi fungsi ekologi hutan dan

pemeliharaan kesejahteraan masyarakat

sekitarnya. Tujuan dari pendekatan ini

adalah memperkuat hubungan antara

pembangunan pedesaan, kehutanan dan

manajemen konservasi sumberdaya

alam lainnya. Dengan perkataan lain

lebih mengutamakan pada optimalisasi

penyediaan manfaat hutan dalam

lanskap yang lebih luas (IUCN, 2005).

Salah satu kunci dalam restorasi lanskap

hutan adalah identifikasi tipe dan tingkat

restorasi yang sesuai dengan kondisi

sosial dan fisik lingkungan yang ada.

Pada ekosistem yang telah sangat rusak

sehingga tidak mampu memulihkan diri

sendiri melalui proses suksesi alami,

maka upaya restorasi lebih baik

difokuskan pada pemulihan secara cepat

dan pemeliharaan proses-proses penting

seperti hidrologi, siklus hara dan transfer

energi daripada usaha mengembalikan

struktur hutan seperti aslinya (Maginnis

dan Jackson, 2006).

Penulisan buku ini bertujuan untuk : (1)

memberikan pemahaman tentang

kondisi ekosistem hutan Taman Nasional

Gunung Me r ap i ( TNGM) ; ( 2 )

memberikan pemahaman tentang

dampak erupsi terhadap ekosistem,

vegetasi dan satwa di TNGM; (3)

memberikan informasi hasil-hasil

penelitian dan aplikasinya dalam

kegiatan restorasi ekosistem TNGM; (4)

menampilkan deskripsi ekologi jenis-

jenis pohon asli Gunung Merapi sebagai

bahan acuan restorasi; (5) menjadi

panduan bagi manajemen maupun

petugas lapangan dalam rangka

pelaksanaan restorasi ekosistem.

KARAKTERISTIK EKOSISTEM

GUNUNG MERAPI

A. Status, Letak dan Luas

4 5

B. Ekosistem, Flora dan Fauna

Gambar 2. Ekosistem hutan tanaman Pinus merkusii (kiri) dan tanaman Agathis alba (kanan)

di Taman Nasional Gunung Merapi.

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM)

ditetapkan berdasarkan Keputusan

M e n t e r i K e h u t a n a n N o m o r :

134/Menhut-II/2004 tanggal 4 Mei

2004 tentang Perubahan Fungsi

Kawasan Hutan Lindung, Cagar Alam

dan Taman Wisata Alam pada Kelompok

Hutan Gunung Merapi seluas ± 6.410

Ha (Departemen Kehutanan, 2007).

Secara geografis kawasan TNGM

terletak pada koordinat 07°22'33" -

07°52'30" LS dan 110°15'00" -

110°37'30" BT. Secara administratif

TN Gunung Merapi terketak di Provinsi

Jawa Tengah (Kabupaten Magelang,

Boyolali, dan Klaten) seluas ± 5.126,01

Ha dan di Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta (Kabupaten Sleman) seluas

± 1.283,99 Ha (BTNGM, 2009a).

Hutan di Gunung Merapi telah ditetapkan

sebagai kawasan lindung sejak tahun

1931 untuk perlindungan sumber air,

sungai dan penyangga sistem kehidupan

Kota Yogyakarta dan Kabupaten

Sleman, Kabupaten Klaten, Kabupaten

Boyolali, dan Kabupaten Magelang.

Sebelum ditunjuk menjadi taman

nasional, kawasan hutan yang termasuk

di wilayah Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta terdiri atas hutan lindung

seluas ± 1.041,38 ha, Cagar Alam

Plawangan Turgo seluas ±146,16 ha;

dan Taman Wisata Alam Plawangan

Turgo seluas ± 96,45 ha. Kawasan

hutan yang termasuk di wilayah Provinsi

Jawa Tengah merupakan hutan lindung

dengan luas ± 5.126 ha (BTNGM,

2009a).

Kawasan TNGM merupakan salah satu

p e r w a k i l a n e k o s i s t e m h u t a n

pegunungan di Pulau Jawa yang masih

tersisa. Ekosistem pegunungan ini

sangat menarik untuk dipelajari karena

berada di kawasan gunung api teraktif di

Indonesia, sehingga kondisinya sangat

dinamis sebagai akibat sering terganggu

oleh aliran lahar dan awan panas saat

terjadi letusan. Oleh karena itu, bisa jadi

kawasan ini memiliki spesies-spesies

tumbuhan yang khas, endemik yang

mampu beradaptasi dengan lingkungan

pasca erupsi.

Vegatasi di kawasan hutan TNGM terdiri

atas vegetasi asli yang merupakan hutan

alam pegunungan dan vegetasi tanaman

eks Perum Perhutani. Beberapa jenis

pohon di hutan alam antara lain

Lithocarpus elegans, Ficus spp.,

Gymnostoma junghuhniana, Erythrina

va r i egata , Nauc lea o r i en ta l i s ,

Villebrunea rubescens, Schima wallichii,

An t i desma te t r andum, Ag l a i a

odoratisima, Cinnamomum iners, Trema

orientalis, Pithecolobium clyearia,

Cratoxylon clandestinum, Toona sureni,

Alangium chinensis. Sedangkan jenis-

jenis eksotik yang ada, baik ditanam

maupun tumbuh liar antara lain Pinus

merkusii, Acacia decurens, Agathis

alba, dan Paraserianthes falcataria

(Anonim, 2003).

Gambar 1. Ekosistem hutan pegunungan di Taman Nasional Gunung Merapi.

Do

c.

He

nd

ra G

un

aw

an

(2

01

0)

Do

c.

He

nd

ra G

un

aw

an

(2

01

0)

KARAKTERISTIK EKOSISTEM

GUNUNG MERAPI

A. Status, Letak dan Luas

4 5

B. Ekosistem, Flora dan Fauna

Gambar 2. Ekosistem hutan tanaman Pinus merkusii (kiri) dan tanaman Agathis alba (kanan)

di Taman Nasional Gunung Merapi.

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM)

ditetapkan berdasarkan Keputusan

M e n t e r i K e h u t a n a n N o m o r :

134/Menhut-II/2004 tanggal 4 Mei

2004 tentang Perubahan Fungsi

Kawasan Hutan Lindung, Cagar Alam

dan Taman Wisata Alam pada Kelompok

Hutan Gunung Merapi seluas ± 6.410

Ha (Departemen Kehutanan, 2007).

Secara geografis kawasan TNGM

terletak pada koordinat 07°22'33" -

07°52'30" LS dan 110°15'00" -

110°37'30" BT. Secara administratif

TN Gunung Merapi terketak di Provinsi

Jawa Tengah (Kabupaten Magelang,

Boyolali, dan Klaten) seluas ± 5.126,01

Ha dan di Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta (Kabupaten Sleman) seluas

± 1.283,99 Ha (BTNGM, 2009a).

Hutan di Gunung Merapi telah ditetapkan

sebagai kawasan lindung sejak tahun

1931 untuk perlindungan sumber air,

sungai dan penyangga sistem kehidupan

Kota Yogyakarta dan Kabupaten

Sleman, Kabupaten Klaten, Kabupaten

Boyolali, dan Kabupaten Magelang.

Sebelum ditunjuk menjadi taman

nasional, kawasan hutan yang termasuk

di wilayah Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta terdiri atas hutan lindung

seluas ± 1.041,38 ha, Cagar Alam

Plawangan Turgo seluas ±146,16 ha;

dan Taman Wisata Alam Plawangan

Turgo seluas ± 96,45 ha. Kawasan

hutan yang termasuk di wilayah Provinsi

Jawa Tengah merupakan hutan lindung

dengan luas ± 5.126 ha (BTNGM,

2009a).

Kawasan TNGM merupakan salah satu

p e r w a k i l a n e k o s i s t e m h u t a n

pegunungan di Pulau Jawa yang masih

tersisa. Ekosistem pegunungan ini

sangat menarik untuk dipelajari karena

berada di kawasan gunung api teraktif di

Indonesia, sehingga kondisinya sangat

dinamis sebagai akibat sering terganggu

oleh aliran lahar dan awan panas saat

terjadi letusan. Oleh karena itu, bisa jadi

kawasan ini memiliki spesies-spesies

tumbuhan yang khas, endemik yang

mampu beradaptasi dengan lingkungan

pasca erupsi.

Vegatasi di kawasan hutan TNGM terdiri

atas vegetasi asli yang merupakan hutan

alam pegunungan dan vegetasi tanaman

eks Perum Perhutani. Beberapa jenis

pohon di hutan alam antara lain

Lithocarpus elegans, Ficus spp.,

Gymnostoma junghuhniana, Erythrina

va r i egata , Nauc lea o r i en ta l i s ,

Villebrunea rubescens, Schima wallichii,

An t i desma te t r andum, Ag l a i a

odoratisima, Cinnamomum iners, Trema

orientalis, Pithecolobium clyearia,

Cratoxylon clandestinum, Toona sureni,

Alangium chinensis. Sedangkan jenis-

jenis eksotik yang ada, baik ditanam

maupun tumbuh liar antara lain Pinus

merkusii, Acacia decurens, Agathis

alba, dan Paraserianthes falcataria

(Anonim, 2003).

Gambar 1. Ekosistem hutan pegunungan di Taman Nasional Gunung Merapi.

Do

c.

He

nd

ra G

un

aw

an

(2

01

0)

Do

c.

He

nd

ra G

un

aw

an

(2

01

0)

6 7RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Jenis-jenis satwa mamalia yang

ditemukan di TN Gunung Merapi antara

lain: Macan tutul (Panthera pardus

melas), Kijang (Muntiacus muntjak),

Rusa (Cervus timorensis), Monyet ekor

panjang (Macaca fascicularis), Lutung

(Presbytis fredericae), Kucing hutan

(Prionailurus bengalensis), Musang

(Paradoxurus hermaphroditus), Babi

hutan (Sus scrofa) dan Bajing kelapa

(Calosciurus notatus) (Anonim, 2003).

Beberapa jenis burung yang dijumpai di

kawasan ini antara lain: Bondol Jawa

(Lonchura leucogastroides), Burung

Madu Gunung (Aethopyga eximia),

Burung Madu Jawa (Aethopyga

mystacalis), Cabai Gunung (Dicaeum

sanguinolentum), Cekakak Jawa

(Halcyon cyanoventris), Cica Daun

S a y a p B i r u ( C h l o r o p s i s

cochinchinensisnigricollis), Cinenen

Pisang (Orthotomus sutoris), Ciung

mungkal (Cochoa azurea), Elang Jawa

(Spezaetus bartelsi), Gemak (Turnix

silvatica), Kipasan Ekor Merah

(Rhipidura phoenicura), Meninting Kecil

(Enicurus velatus), Poksai Kuda

(Garrulax rufifrons), Prenjak Coklat

(Prinia polychroa), Sepah Gunung

(Pericrocotus miniatus), Takur Tohtor

(Megalaima armilaris), Takur Bututut

(Megalaima corvina), Takur Tulung

Tumpuk (Megalaima javensis), Tepus

Pipi Perak (Stachyris melanothorax),

Tesia Jawa (Tesia superciliaris), Uncal

Buau (Macropygia emiliana), Walik

Kepala Ungu (Ptilinopus parphyreus),

Wergan Coklat (Alcippe brunneicauda),

Wergan Jawa (Alcippe pyrrhoptera),

Serindit Jawa (Loriculus pusilus)

(Anonim, 2003).

Kawasan TNGM umumnya terdiri atas

jenis-jenis tanah regosol, andosol,

alluvial dan litosol. Tanah regosol yang

merupakan jenis tanah muda terutama

berada di wilayah Yogyakarta. Bahan

induk tanah adalah material vulkanik,

yang berkembang pada fisiografi lereng

gunung api. Jenis tanah andosol

d i temukan d i w i layah-wi layah

kecamatan Selo dan Cepogo, Boyolali

(BTNGM, 2009a).

Kawasan TNGM berada pada ketinggian

antara 600 - 2.968 m dpl. Topografi

kawasan bervariasi mulai dari landai,

berlereng curam hingga berbukit dan

bergunung-gunung dengan puncak

tertingginya ± 2.965 m dpl. Di sebelah

B. Tanah dan Topografi

utara terdapat dataran tinggi yang

menyempit di antara dua buah gunung,

yakni Gunung Merapi dan Merbabu di

sekitar Kecamatan Selo, Boyolali

(BTNGM, 2009a). Di bagian selatan,

lereng Gunung Merapi terus menurun

dan melandai hingga ke pantai selatan di

tepi Samudera Hindia, melintasi wilayah

kota Yogyakarta. Sebelum kaki gunung,

terdapat dua bukit yaitu bukit Turgo dan

bukit Plawangan yang merupakan bagian

kawasan wisata Kaliurang (BTNGM,

2009a).

Kondisi topografi kawasan TNGM

berdasarkan wilayah kabupaten adalah

sebagai berikut (BTNGM, 2009a):

Kabupaten Klaten, keadaan

topografinya landai sampai berbukit

dengan ketinggian 100-150 m dpl.

Kabupaten Boyolali berada diantara

Gunung Merapi yang aktif dan

Gunung Merbabu yang sudah tidak

aktif, dengan ketinggian 75-1.500

m dpl. Empat sungai yang melintas

wilayah ini adalah Serang, Cemoro,

Pepe dan Gandul, disamping itu ada

sumber-sumber air lain berupa mata

air dan waduk.

Kabupaten Magelang, di wilayah ini

terdapat tiga kecamatan yang

merupakan bagian lereng Gunung

Merapi kearah barat, terletak pada

ketinggian sekitar 500 m dpl.

Semakin ke arah puncak Gunung

Merapi kelerengan lahan semakin

curam.

Kabupaten Sleman, keadaan

topograf inya landa i h ingga

kelerengan sangat curam dengan

ketinggian 100-1.500 m dpl. Di

bagian paling utara merupakan

lereng Gunung Merapi yang miring

kearah selatan. Di lereng selatan

Gunung Merapi terdapat dua bukit

yaitu bukit Turgo dan bukit

Plawangan yang merupakan bagian

kawasan wisata Kaliurang. Di

bagian lereng puncak Gunung

Merapi topografi curam sampai

sangat curam. Bagian selatan dari

ketiga kecamatan berupa lahan

persawahan dengan sistem teras

yang cukup baik. Dibagian tengah

berupa lahan kering dan paling utara

merupkan bagian dari lereng

Gunung Merapi yang berupa hutan.

Curah hujan di TNGM berdasarkan data

curah hujan yang tercatat dari Stasiun

Klimatologi terdekat adalah sebagai

berikut (BTNGM, 2009a):

Kabupaten Magelang, curah

hujannya mencapai 2.252 - 3.627

mm/thn.

Kabupaten Boyolali, curah hujannya

mencapai 1.856 - 3.136 mm/thn.

Kabupaten Klaten, curah hujannya

mencapai 902 - 2.490 mm/thn.

Kabupaten Sleman, curah hujannya

mencapai 1.869,8-2.495 mm/thn.

D. Curah Hujan dan Hidrologi

Wilayah Gunung Merapi merupakan

sumber bagi tiga DAS (Daerah Aliran

Sungai), yakni DAS Progo di bagian

barat; DAS Opak di bagian selatan dan

DAS Bengawan Solo di timur.

Keseluruhan, terdapat sekitar 27 sungai

di seputar Gunung Merapi yang mengalir

ke tiga DAS tersebut.

6 7RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Jenis-jenis satwa mamalia yang

ditemukan di TN Gunung Merapi antara

lain: Macan tutul (Panthera pardus

melas), Kijang (Muntiacus muntjak),

Rusa (Cervus timorensis), Monyet ekor

panjang (Macaca fascicularis), Lutung

(Presbytis fredericae), Kucing hutan

(Prionailurus bengalensis), Musang

(Paradoxurus hermaphroditus), Babi

hutan (Sus scrofa) dan Bajing kelapa

(Calosciurus notatus) (Anonim, 2003).

Beberapa jenis burung yang dijumpai di

kawasan ini antara lain: Bondol Jawa

(Lonchura leucogastroides), Burung

Madu Gunung (Aethopyga eximia),

Burung Madu Jawa (Aethopyga

mystacalis), Cabai Gunung (Dicaeum

sanguinolentum), Cekakak Jawa

(Halcyon cyanoventris), Cica Daun

S a y a p B i r u ( C h l o r o p s i s

cochinchinensisnigricollis), Cinenen

Pisang (Orthotomus sutoris), Ciung

mungkal (Cochoa azurea), Elang Jawa

(Spezaetus bartelsi), Gemak (Turnix

silvatica), Kipasan Ekor Merah

(Rhipidura phoenicura), Meninting Kecil

(Enicurus velatus), Poksai Kuda

(Garrulax rufifrons), Prenjak Coklat

(Prinia polychroa), Sepah Gunung

(Pericrocotus miniatus), Takur Tohtor

(Megalaima armilaris), Takur Bututut

(Megalaima corvina), Takur Tulung

Tumpuk (Megalaima javensis), Tepus

Pipi Perak (Stachyris melanothorax),

Tesia Jawa (Tesia superciliaris), Uncal

Buau (Macropygia emiliana), Walik

Kepala Ungu (Ptilinopus parphyreus),

Wergan Coklat (Alcippe brunneicauda),

Wergan Jawa (Alcippe pyrrhoptera),

Serindit Jawa (Loriculus pusilus)

(Anonim, 2003).

Kawasan TNGM umumnya terdiri atas

jenis-jenis tanah regosol, andosol,

alluvial dan litosol. Tanah regosol yang

merupakan jenis tanah muda terutama

berada di wilayah Yogyakarta. Bahan

induk tanah adalah material vulkanik,

yang berkembang pada fisiografi lereng

gunung api. Jenis tanah andosol

d i temukan d i w i layah-wi layah

kecamatan Selo dan Cepogo, Boyolali

(BTNGM, 2009a).

Kawasan TNGM berada pada ketinggian

antara 600 - 2.968 m dpl. Topografi

kawasan bervariasi mulai dari landai,

berlereng curam hingga berbukit dan

bergunung-gunung dengan puncak

tertingginya ± 2.965 m dpl. Di sebelah

B. Tanah dan Topografi

utara terdapat dataran tinggi yang

menyempit di antara dua buah gunung,

yakni Gunung Merapi dan Merbabu di

sekitar Kecamatan Selo, Boyolali

(BTNGM, 2009a). Di bagian selatan,

lereng Gunung Merapi terus menurun

dan melandai hingga ke pantai selatan di

tepi Samudera Hindia, melintasi wilayah

kota Yogyakarta. Sebelum kaki gunung,

terdapat dua bukit yaitu bukit Turgo dan

bukit Plawangan yang merupakan bagian

kawasan wisata Kaliurang (BTNGM,

2009a).

Kondisi topografi kawasan TNGM

berdasarkan wilayah kabupaten adalah

sebagai berikut (BTNGM, 2009a):

Kabupaten Klaten, keadaan

topografinya landai sampai berbukit

dengan ketinggian 100-150 m dpl.

Kabupaten Boyolali berada diantara

Gunung Merapi yang aktif dan

Gunung Merbabu yang sudah tidak

aktif, dengan ketinggian 75-1.500

m dpl. Empat sungai yang melintas

wilayah ini adalah Serang, Cemoro,

Pepe dan Gandul, disamping itu ada

sumber-sumber air lain berupa mata

air dan waduk.

Kabupaten Magelang, di wilayah ini

terdapat tiga kecamatan yang

merupakan bagian lereng Gunung

Merapi kearah barat, terletak pada

ketinggian sekitar 500 m dpl.

Semakin ke arah puncak Gunung

Merapi kelerengan lahan semakin

curam.

Kabupaten Sleman, keadaan

topograf inya landa i h ingga

kelerengan sangat curam dengan

ketinggian 100-1.500 m dpl. Di

bagian paling utara merupakan

lereng Gunung Merapi yang miring

kearah selatan. Di lereng selatan

Gunung Merapi terdapat dua bukit

yaitu bukit Turgo dan bukit

Plawangan yang merupakan bagian

kawasan wisata Kaliurang. Di

bagian lereng puncak Gunung

Merapi topografi curam sampai

sangat curam. Bagian selatan dari

ketiga kecamatan berupa lahan

persawahan dengan sistem teras

yang cukup baik. Dibagian tengah

berupa lahan kering dan paling utara

merupkan bagian dari lereng

Gunung Merapi yang berupa hutan.

Curah hujan di TNGM berdasarkan data

curah hujan yang tercatat dari Stasiun

Klimatologi terdekat adalah sebagai

berikut (BTNGM, 2009a):

Kabupaten Magelang, curah

hujannya mencapai 2.252 - 3.627

mm/thn.

Kabupaten Boyolali, curah hujannya

mencapai 1.856 - 3.136 mm/thn.

Kabupaten Klaten, curah hujannya

mencapai 902 - 2.490 mm/thn.

Kabupaten Sleman, curah hujannya

mencapai 1.869,8-2.495 mm/thn.

D. Curah Hujan dan Hidrologi

Wilayah Gunung Merapi merupakan

sumber bagi tiga DAS (Daerah Aliran

Sungai), yakni DAS Progo di bagian

barat; DAS Opak di bagian selatan dan

DAS Bengawan Solo di timur.

Keseluruhan, terdapat sekitar 27 sungai

di seputar Gunung Merapi yang mengalir

ke tiga DAS tersebut.

DAMPAK ERUPSI GUNUNG MERAPI

A. Dampak Erupsi Terhadap Manusia

1 Dari berbagai sumber2 http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/11/01/28/161187- total-kerugian-erupsi-merapi-rp-7-3-t3 http://www.antaranews.com/news/235055/erupsi-merapi-rugikan-sektor- peternakan-rp149-miliar

8 9RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Erupsi Gunung Merapi menyebabkan

kerusakan ekosistem hutan mulai dari

tingkat ringan sampai parah. Kerusakan

B. Dampak Erupsi Terhadap Ekosistem Hutan

ini menyebabkan terganggunya proses-

proses kehidupan dalam ekosistem

seperti rantai makanan dan siklus

Gunung Merapi menjadi perhatian

nasional dan internasional karena

aktifitas erupsinya. Gunung yang

merupakan salah satu gunung api paling

aktif di dunia mengalami erupsi hebat

pada Selasa malam 26 Oktober 2010

hingga Sabtu 6 November 2010 dan

tercatat sebagai bencana terburuk yang

ditimbulkan oleh erupsi Gunung Merapi

dalam kurun waktu 100 tahun atau sejak

1870.

M e n u r u t B a d a n N a s i o n a l

Penanggulangan Bencana (BNPB),

Sampai dengan tanggal 2 Desember

2010 jumlah korban meninggal

mencapai 277 orang dan dirawat inap

karena luka-luka sebanyak 1.438 orang.

Sementara 303.233 orang mengungsi

(Kab. Magelang 82.994 orang, Kota

Magelang 3.767, Kab. Boyolali 60.446

orang, Klaten 97.415 orang, Sleman

52.320 orang, Kulon Progo 4.261

orang, Bantul 1.200 orang, Kendal 51

orang, Purworejo 300 orang, dan 1Wonosobo 116 orang).

Menurut perhitungan Badan Nasional

Penanggulangan Bencana (BNPB)

kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh

erupsi merapi, hingga 31 Desember

2010 mencapai Rp 7,3 triliun. Kerugian

di Jawa Tengah mencapai Rp 1,9 triliun

dan Yogyakarta Rp 5,4 triliun. Dampak

terbesar di sektor lingkungan yang

mencapai Rp 3,39 triliun, dan sektor

ekonomi Rp 2,63 triliun. Kerugian

m e l i p u t i s e k t o r p e r u m a h a n ,

infrastruktur, sosial, ekonomi serta 2fasilitas sosial dan fasilitas umum.

Menurut Dinas Pertanian, Perikanan dan

Kehutanan Kabupaten Sleman, jumlah

ternak khususnya sapi yang mati akibat

terkena erupsi Gunung Merapi di wilayah

tersebut sebanyak 2.445 ekor dengan

kerugian ditaksir sekitar Rp149 miliar.

Di Kabupaten Klaten jumlah sapi yang

dilaporkan mati akibat letusan Gunung

Merapi berjumlah 357 ekor, di

Kabupaten Magelang 16 ekor, dan di 3Kabupaten Boyolali sebanyak 66 ekor.

hidrologi. Berdasarkan hasil interpretasi

citra satelit, dari luasan 6.145,05 Ha,

ekosistem hutan yang mengalami rusak

parah 12,48%, kerusakan sedang

35,93%, kerusakan ringan 28,41% dan

tidak mengalami kerusakan 23,19%.

Gambaran kondisi lingkungan pasca

erupsi disajikan pada Gambar 3, 4 dan 6.

a

Gambar 3. Dampak erupsi Gunung Merapi menghilangkan harta benda (a,b), merusak infrastruktur jalan

dan saluran irigasi (c,d), memusnahkan lahan pertanian dan meluluhlantakkan pemukiman (e,f).

Doc.

Hendra

Gunaw

an (

2010)

e f

c d

b

DAMPAK ERUPSI GUNUNG MERAPI

A. Dampak Erupsi Terhadap Manusia

1 Dari berbagai sumber2 http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/11/01/28/161187- total-kerugian-erupsi-merapi-rp-7-3-t3 http://www.antaranews.com/news/235055/erupsi-merapi-rugikan-sektor- peternakan-rp149-miliar

8 9RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Erupsi Gunung Merapi menyebabkan

kerusakan ekosistem hutan mulai dari

tingkat ringan sampai parah. Kerusakan

B. Dampak Erupsi Terhadap Ekosistem Hutan

ini menyebabkan terganggunya proses-

proses kehidupan dalam ekosistem

seperti rantai makanan dan siklus

Gunung Merapi menjadi perhatian

nasional dan internasional karena

aktifitas erupsinya. Gunung yang

merupakan salah satu gunung api paling

aktif di dunia mengalami erupsi hebat

pada Selasa malam 26 Oktober 2010

hingga Sabtu 6 November 2010 dan

tercatat sebagai bencana terburuk yang

ditimbulkan oleh erupsi Gunung Merapi

dalam kurun waktu 100 tahun atau sejak

1870.

M e n u r u t B a d a n N a s i o n a l

Penanggulangan Bencana (BNPB),

Sampai dengan tanggal 2 Desember

2010 jumlah korban meninggal

mencapai 277 orang dan dirawat inap

karena luka-luka sebanyak 1.438 orang.

Sementara 303.233 orang mengungsi

(Kab. Magelang 82.994 orang, Kota

Magelang 3.767, Kab. Boyolali 60.446

orang, Klaten 97.415 orang, Sleman

52.320 orang, Kulon Progo 4.261

orang, Bantul 1.200 orang, Kendal 51

orang, Purworejo 300 orang, dan 1Wonosobo 116 orang).

Menurut perhitungan Badan Nasional

Penanggulangan Bencana (BNPB)

kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh

erupsi merapi, hingga 31 Desember

2010 mencapai Rp 7,3 triliun. Kerugian

di Jawa Tengah mencapai Rp 1,9 triliun

dan Yogyakarta Rp 5,4 triliun. Dampak

terbesar di sektor lingkungan yang

mencapai Rp 3,39 triliun, dan sektor

ekonomi Rp 2,63 triliun. Kerugian

m e l i p u t i s e k t o r p e r u m a h a n ,

infrastruktur, sosial, ekonomi serta 2fasilitas sosial dan fasilitas umum.

Menurut Dinas Pertanian, Perikanan dan

Kehutanan Kabupaten Sleman, jumlah

ternak khususnya sapi yang mati akibat

terkena erupsi Gunung Merapi di wilayah

tersebut sebanyak 2.445 ekor dengan

kerugian ditaksir sekitar Rp149 miliar.

Di Kabupaten Klaten jumlah sapi yang

dilaporkan mati akibat letusan Gunung

Merapi berjumlah 357 ekor, di

Kabupaten Magelang 16 ekor, dan di 3Kabupaten Boyolali sebanyak 66 ekor.

hidrologi. Berdasarkan hasil interpretasi

citra satelit, dari luasan 6.145,05 Ha,

ekosistem hutan yang mengalami rusak

parah 12,48%, kerusakan sedang

35,93%, kerusakan ringan 28,41% dan

tidak mengalami kerusakan 23,19%.

Gambaran kondisi lingkungan pasca

erupsi disajikan pada Gambar 3, 4 dan 6.

a

Gambar 3. Dampak erupsi Gunung Merapi menghilangkan harta benda (a,b), merusak infrastruktur jalan

dan saluran irigasi (c,d), memusnahkan lahan pertanian dan meluluhlantakkan pemukiman (e,f).

Doc.

Hendra

Gunaw

an (

2010)

e f

c d

b

Gambar 4.Beberapa gambaran kondisi lingkungan Gunung Merapi sesudah erupsi

pada 16 Desember 2010 (kanan) dan beberapa minggu sebelum erupsi (kiri). Atas dan tengah adalah lokasi wisata Kalikuning, bawah adalah Taman Wisata Kaliurang.

Doc.

Hendra

Gunaw

an (

2010)

Akibat erupsi Gunung Merapi, rantai

makanan terganggu. Hal ini disebabkan

Tumbuhan sebagai produsen berkurang

kuantitas dan kualitasnya sehingga

konsumen pertama seperti monyet,

lutung, kijang, kancil, babi hutan dan

landak terganggu. Pada akhirnya hal

tersebut berpengaruh pada konsumen

kedua yaitu karnivora yang berperan

sebagai puncak predator (top predator)

ekosistem Gunung Merapi. Gejolak

gangguan tersebut diindikasikan oleh

perubahan perilaku beberapa jenis

satwa, seperti masuk ke pemukiman dan

kebun masyarakat di sekitar Gunung

Merapi.

Kijang, Monyet, Lutung, Babi hutan, Kancil, Landak

Dekomposer

Macan tutul

Tumbuhan

Gambar 5.Rantai makanan sederhana (kiri) dan piramida tingkat tropik (kanan) dari ekosistem Gunung Merapi.

Dampak erupsi terhadap sistem

hidrologi tampak jelas pada mengecilnya

mata air “umbul lanang” dan “umbul

wadon” di hulu Kali kuning yang

berakibat pada menyusutnya debit

sungai Kalikuning. Matinya mata air

juga berakibat pada matinya air terjun di

Taman Wisata Kaliurang, sehingga

pasca erupsi obyek wisata ini kurang

diminati pengunjung.

Gambar 6. Kondisi hidrologi sebelum dan pasca erupsi.

Atas: Salah satu umbul(mata air) di hulu Kalikuning, bawah: Kalikunig.

10 11RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Doc.

Hen

dra

Gunaw

an (

2010)

Sumber gambar satwa dan hutan : ; ; ;

; ; ; ;

;

www.johnbanovich.comwww.oemanuell.blogspot.com www.depositphotos.comwww.easy-drawings-and-sketches.com www.colourbox.comwww.drawing-factory.com www.cwdrawings.blogspot.comwww.colourbox.com www.ecologyandsociety.org

Gambar 4.Beberapa gambaran kondisi lingkungan Gunung Merapi sesudah erupsi

pada 16 Desember 2010 (kanan) dan beberapa minggu sebelum erupsi (kiri). Atas dan tengah adalah lokasi wisata Kalikuning, bawah adalah Taman Wisata Kaliurang.

Doc.

Hendra

Gunaw

an (

2010)

Akibat erupsi Gunung Merapi, rantai

makanan terganggu. Hal ini disebabkan

Tumbuhan sebagai produsen berkurang

kuantitas dan kualitasnya sehingga

konsumen pertama seperti monyet,

lutung, kijang, kancil, babi hutan dan

landak terganggu. Pada akhirnya hal

tersebut berpengaruh pada konsumen

kedua yaitu karnivora yang berperan

sebagai puncak predator (top predator)

ekosistem Gunung Merapi. Gejolak

gangguan tersebut diindikasikan oleh

perubahan perilaku beberapa jenis

satwa, seperti masuk ke pemukiman dan

kebun masyarakat di sekitar Gunung

Merapi.

Kijang, Monyet, Lutung, Babi hutan, Kancil, Landak

Dekomposer

Macan tutul

Tumbuhan

Gambar 5.Rantai makanan sederhana (kiri) dan piramida tingkat tropik (kanan) dari ekosistem Gunung Merapi.

Dampak erupsi terhadap sistem

hidrologi tampak jelas pada mengecilnya

mata air “umbul lanang” dan “umbul

wadon” di hulu Kali kuning yang

berakibat pada menyusutnya debit

sungai Kalikuning. Matinya mata air

juga berakibat pada matinya air terjun di

Taman Wisata Kaliurang, sehingga

pasca erupsi obyek wisata ini kurang

diminati pengunjung.

Gambar 6. Kondisi hidrologi sebelum dan pasca erupsi.

Atas: Salah satu umbul(mata air) di hulu Kalikuning, bawah: Kalikunig.

10 11RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Doc.

Hen

dra

Gunaw

an (

2010)

Sumber gambar satwa dan hutan : ; ; ;

; ; ; ;

;

www.johnbanovich.comwww.oemanuell.blogspot.com www.depositphotos.comwww.easy-drawings-and-sketches.com www.colourbox.comwww.drawing-factory.com www.cwdrawings.blogspot.comwww.colourbox.com www.ecologyandsociety.org

Erupsi hebat Gunung Merapi pada 26

Oktober 2010 menyebabkan kerusakan

vegetasi tumbuhan dengan tingkat

kerusakan ringan sampai memusnahkan

vegetasi. Kerusakan vegetasi dapat

diklasifikasikan menjadi : rusak parah;

rusak sedang; rusak ringan dan utuh

(tidak rusak).

Areal yang mengalami kerusakan berat

umumnya vegetasinya habis terbakar

awan panas sehingga yang tersisa

hanyalah hamparan timbunan abu

C. Dampak Erupsi Terhadap Komunitas Tumbuhan

Rusak parah Rusak sedang

Rusak ringan Utuh (Tidak berdampak)

Lokasi Blok Hutan Altitude m dplDampak

Erupsi

Pohon

Jenis H’ e

POHON (TREE)

Hutan Plawangan (Pakem) 1000 - 1.100 Utuh 20 2.28 0.76

Hutan Sri Manganti (Cangkringan) 1.500 Ringan 12 1.86 0.75

Hutan Kali Batang (Kemalang) 1.450 - 1.800 Ringan 8 1.91 0.92

Hutan Ngargomulyo (Dukun) 1.200 - 1.300 Sedang 9 1.86 0.85

TIANG (POLE)

Hutan Plawangan (Pakem) 1000 - 1.100 Utuh 11 1.92 0.80

Hutan Sri Manganti (Cangkringan) 1.500 Ringan 11 2.13 0.89

Hutan Kali Batang (Kemalang) 1.450 - 1.800 Ringan 10 1.94 0.84

Hutan Ngargomulyo (Dukun) 1.200 - 1.300 Sedang 3 0.80 0.73

PANCANG (SAPLING)

Hutan Plawangan (Pakem) 1000 - 1.100 Utuh 20 2.60 0.87

Hutan Sri Manganti (Cangkringan) 1.500 Ringan 11 2.28 0.95

Hutan Kali Batang (Kemalang) 1.450 - 1.800 Ringan 10 1.98 0.86

Hutan Ngargomulyo (Dukun) 1.200 - 1.300 Sedang 3 0.87 0.79

ANAKAN (SEEDLING)

Hutan Plawangan (Pakem) 1000 - 1.100 Utuh 20 2.65 0.88

Hutan Sri Manganti (Cangkringan) 1.500 Ringan 9 2.03 0.92

Hutan Kali Batang (Kemalang) 1.450 - 1.800 Ringan 9 1.91 0.87

Hutan Ngargomulyo (Dukun) 1.200 - 1.300 Sedang 3 0.90 0.82

Tabel 1. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi ekosistem Gunung Merapi pada berbagai tingkat kerusakan akibat erupsi.

Pada areal dengan kerusakan parah tidak

dilakukan analisis vegetasi karena

seluruh vegetasi hilang akibat awan

panas. Dari tabel di atas tampak bahwa

erupsi mengakibatkan menurunnya

indeks keragaman jenis (H') pohon

sebanyak 16% - 18% pada kerusakan

ringan dan 18% pada kerusakan sedang

bila dibandingkan dengan referensi

ekosistem tak terdampak. Sementara

areal rusak berat, vegetasi yang hilang

sama sekali (indeks keragaman nol) dan

hanya berupa hamparan pasir. Kekayaan

jenis dari suatu luasan petak contoh

tertentu juga mengalami penurunan dari

20 jenis pada petak referensi menjadi 8-

12 jenis atau 40%-60% lebih sedikit

pada kerusakan ringan dan hanya 9 jenis

pada petak dengan kerusakan sedang

atau 45% lebih sedikit dari petak

referensi.

12 13RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Doc.

Hendra

Gunaw

an (

2010)

vulkanik. Pada areal kerusakan sedang

masih dapat dilihat pohon-pohon berdiri

namun hampir seluruh tajuknya habis

terbakar, ranting-rantingnya patah

namun sebagian masih dapat bersemi

kembali. Pada areal kerusakan ringan,

vegetasinya masih tampak hijau namun

terjadi beberapa kerusakan pada

sebagian pohon dan tumbuhan

bawahnya. Sementara areal yang tidak

terdampak, vegetasinya relatif utuh dan

tidak mengalami kerusakan.

Gambar 7. Gambaran kondisi kerusakan vegetasi akibat erupsi Gunung Merapi.

**

*

***

**) lereng sisi selatan*) H’: Indeks keragaman jenis e : Indeks keseragaman jenis (evenness) ***) lereng sisi timur

Erupsi hebat Gunung Merapi pada 26

Oktober 2010 menyebabkan kerusakan

vegetasi tumbuhan dengan tingkat

kerusakan ringan sampai memusnahkan

vegetasi. Kerusakan vegetasi dapat

diklasifikasikan menjadi : rusak parah;

rusak sedang; rusak ringan dan utuh

(tidak rusak).

Areal yang mengalami kerusakan berat

umumnya vegetasinya habis terbakar

awan panas sehingga yang tersisa

hanyalah hamparan timbunan abu

C. Dampak Erupsi Terhadap Komunitas Tumbuhan

Rusak parah Rusak sedang

Rusak ringan Utuh (Tidak berdampak)

Lokasi Blok Hutan Altitude m dplDampak

Erupsi

Pohon

Jenis H’ e

POHON (TREE)

Hutan Plawangan (Pakem) 1000 - 1.100 Utuh 20 2.28 0.76

Hutan Sri Manganti (Cangkringan) 1.500 Ringan 12 1.86 0.75

Hutan Kali Batang (Kemalang) 1.450 - 1.800 Ringan 8 1.91 0.92

Hutan Ngargomulyo (Dukun) 1.200 - 1.300 Sedang 9 1.86 0.85

TIANG (POLE)

Hutan Plawangan (Pakem) 1000 - 1.100 Utuh 11 1.92 0.80

Hutan Sri Manganti (Cangkringan) 1.500 Ringan 11 2.13 0.89

Hutan Kali Batang (Kemalang) 1.450 - 1.800 Ringan 10 1.94 0.84

Hutan Ngargomulyo (Dukun) 1.200 - 1.300 Sedang 3 0.80 0.73

PANCANG (SAPLING)

Hutan Plawangan (Pakem) 1000 - 1.100 Utuh 20 2.60 0.87

Hutan Sri Manganti (Cangkringan) 1.500 Ringan 11 2.28 0.95

Hutan Kali Batang (Kemalang) 1.450 - 1.800 Ringan 10 1.98 0.86

Hutan Ngargomulyo (Dukun) 1.200 - 1.300 Sedang 3 0.87 0.79

ANAKAN (SEEDLING)

Hutan Plawangan (Pakem) 1000 - 1.100 Utuh 20 2.65 0.88

Hutan Sri Manganti (Cangkringan) 1.500 Ringan 9 2.03 0.92

Hutan Kali Batang (Kemalang) 1.450 - 1.800 Ringan 9 1.91 0.87

Hutan Ngargomulyo (Dukun) 1.200 - 1.300 Sedang 3 0.90 0.82

Tabel 1. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi ekosistem Gunung Merapi pada berbagai tingkat kerusakan akibat erupsi.

Pada areal dengan kerusakan parah tidak

dilakukan analisis vegetasi karena

seluruh vegetasi hilang akibat awan

panas. Dari tabel di atas tampak bahwa

erupsi mengakibatkan menurunnya

indeks keragaman jenis (H') pohon

sebanyak 16% - 18% pada kerusakan

ringan dan 18% pada kerusakan sedang

bila dibandingkan dengan referensi

ekosistem tak terdampak. Sementara

areal rusak berat, vegetasi yang hilang

sama sekali (indeks keragaman nol) dan

hanya berupa hamparan pasir. Kekayaan

jenis dari suatu luasan petak contoh

tertentu juga mengalami penurunan dari

20 jenis pada petak referensi menjadi 8-

12 jenis atau 40%-60% lebih sedikit

pada kerusakan ringan dan hanya 9 jenis

pada petak dengan kerusakan sedang

atau 45% lebih sedikit dari petak

referensi.

12 13RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Doc.

Hendra

Gunaw

an (

2010)

vulkanik. Pada areal kerusakan sedang

masih dapat dilihat pohon-pohon berdiri

namun hampir seluruh tajuknya habis

terbakar, ranting-rantingnya patah

namun sebagian masih dapat bersemi

kembali. Pada areal kerusakan ringan,

vegetasinya masih tampak hijau namun

terjadi beberapa kerusakan pada

sebagian pohon dan tumbuhan

bawahnya. Sementara areal yang tidak

terdampak, vegetasinya relatif utuh dan

tidak mengalami kerusakan.

Gambar 7. Gambaran kondisi kerusakan vegetasi akibat erupsi Gunung Merapi.

**

*

***

**) lereng sisi selatan*) H’: Indeks keragaman jenis e : Indeks keseragaman jenis (evenness) ***) lereng sisi timur

Vegetasi tingkat tiang pada areal dengan

kerusakan ringan tidak menunjukkan

perubahan yang mencolok. Pada petak

kerusakan ringan jumlah jenisnya hanya

berkurang satu jenis namun keragaman

jenisnya malah meningkat 0,01%,

sementara pada kerusakan sedang

jumlah jenis tiang hilang (73%) dan

keragamannya menurun 58%.

Pada tingkat pancang, terjadi penurunan

jumlah jenis dan indeks keragaman jenis

di petak contoh dengan kerusakan

sedang yaitu hanya ditemukan tiga jenis

a tau h i l ang 85% dan indeks

keragamannya menurun hingga 67%.

Di petak contoh dengan kerusakan

ringan ditemukan 11 jenis atau lebih

sedikit 45% - 50% dari petak yang utuh/

tidak rusak. Sementara indeks

keragaman jenisnya menurun 12% -

24%,

Pada tingkat anakan juga terjadi

penurunan kekayaan dan keragaman

jenis pasca erupsi Gunung Merapi. Pada

petak contoh dengan kerusakan ringan

setelah 16-18 bulan ditemukan sembilan

jenis anakan atau 55% lebih sedikit

dibandingkan petak contoh areal tak

rusak. Demikian juga di petak kerusakan

sedang hanya ditemukan tiga jenis

anakan atau berbeda 85% dari petak tak

rusak. Keragaman jenis di petak rusak

ringan berbeda 23% -28% dari petak

tidak rusak, sedangkan pada petak rusak

sedang perbedaannya mencapai 66%.

Secara umum tampak bahwa erupsi

Gunung Merapi memberikan dampak

terhadap vegetasi dengan tingkat

kerusakan yang bervariasi. Parameter

yang dapat dilihat dari vegetasi sebagai

indikator kerusakan ekosistem adalah

jumlah jenis dan indeks keragaman jenis

Shannon Wienner (H'). Secara umum

erupsi menyebabkan penurunannya

jumlah jenis per satuan luas dan

menurunkan indeks keragaman jenis

vegetasi. Meskipun demikian, keempat

lokasi dengan tingkat kerusakan ringan,

sedang dan utuh umumnya masih

memiliki strata vegetasi yang lengkap

yang dicirikan oleh kehadiran pohon,

tiang, pancang dan anakan.

Jumlah jenis pada setiap tingkat

pertumbuhan dapat juga menjadi

indikator tingkat kerusakan akibat

erupsi. Pada kerusakan sedang jenis

anakan yang bertahan hidup dalam plot

pengamatan hanya tiga jenis, pada

kerusakan ringan sembilan jenis,

sementara pada hutan yang tidak rusak

ditemukan 20 jenis dalam sebuah 2sampel pengamatan (112 m ).

Persentase jumlah anakan menunjukkan

bahwa di hutan yang terkena dampak

erupsi sedang jumlah anakannya hanya

11% dari jumlah jenis pohon. Sementara

pada hutan utuh tidak rusak jumlah jenis

anakan relatif sama dengan jumlah jenis

pohon. Hal ini diduga akibat kerusakan

tajuk yang parah menyebabkan abu

vulkanik panas mencapai lantai hutan

dan mematikan anakan-anakan pohon

yang peka terhadap panas.

Meskipun masih memiliki strata yang

lengkap namun komposis i dan

kerapatannya berbeda. Hal ini dapat

dilihat pada Gambar 8 di bawah ini.

Pada areal hutan yang tidak rusak (Blok

Plawangan) kerapatan tumbuhan

bawahnya relatif tinggi, sementara yang

mengalami kerusakan ringan kerapatan

tumbuhan bawahnya relatif lebih rendah

dan yang mengalami kerusakan sedang,

tumbuhan bawahnya banyak yang rusak

sehingga kerapatannya jauh lebih

rendah. Demikian pula untuk vegetasi

tingkat pancang, tiang dan pohon

terdapat perbedaan kerapatan yang

linear dengan tingkat kerusakan akibat

erupsi.

Gambar 8. Sebaran pohon menurut tingkat pertumbuhan pada berbagai tingkat kerusakan akibat erupsi

Gunung Merapi.

Erupsi hebat Gunung Merapi yang terjadi

sejak 26 Oktober hingga 6 November

2010 telah menyebabkan kerusakan

parah pada hutan yang menjadi habitat

utama satwa dan secara langsung juga

menyebabkan kematian berbagai jenis

satwa yang tak mempu menyelamatkan

diri atau tidak menemukan tempat untuk

mengungsi karena TNGM sudah

dikkelilingi oleh permukiman. Tempat

pengungsian terdekat yang lebih aman

adalah Gunung Merbabu, namun

aksesnya terpotong oleh pemukiman

dan jalan SSB (Solo-Selo-Borobudur).

Dampak erupsi terhadap satwa

mencapai beberapa tingkatan yaitu:

Mematikan langsung akibat lahar

panas dan awan panas

Mematikan tidak langsung dengan

menimbulkan luka dan infeksi,

penyakit, dan kekurangan pakan

(kelaparan).

Menghilangkan dan mengurangi

luasan habitat (ruang), sumber

pakan dan sumber air.

Membentuk habitat baru yang

D. Dampak Erupsi Terhadap Komunitas Satwaliar

tidak sesuai, tidak nyaman dan

tidak aman bagi beberapa

satwaliar.

Menghi langkan komponen-

komponen habitat penting seperti

tempat berkubang, tempat

bersarang, tempat berlindung,

tempat mencari makan dan tempat

bereproduksi.

Erupsi Merapi yang terjadi 26 Oktober

2010 menyebabkan migrasi satwa.

Macan tutul jawa (Panthera pardus

melas) yang merupakan top predator

pada ekosistem hutan Gunung Merapi

j u g a t u r u n d a n m e m a s u k i

pe r kampungan ka rena d i duga

kekurangan makanan akibat matinya

satwa mangsanya yang umumnya

merupakan herbivora. Berbagai media

masa memberitakan satwa karnivora

endemik Jawa yang terancam punah

tersebut turun gunung pada 11

November hingga 15 November 2010

atau sekitar dua minggu setelah letusan

Merapi yang pertama tanggal 26

Oktober 2010.

Enam jenis satwa mamalia penting di

14 15RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Vegetasi tingkat tiang pada areal dengan

kerusakan ringan tidak menunjukkan

perubahan yang mencolok. Pada petak

kerusakan ringan jumlah jenisnya hanya

berkurang satu jenis namun keragaman

jenisnya malah meningkat 0,01%,

sementara pada kerusakan sedang

jumlah jenis tiang hilang (73%) dan

keragamannya menurun 58%.

Pada tingkat pancang, terjadi penurunan

jumlah jenis dan indeks keragaman jenis

di petak contoh dengan kerusakan

sedang yaitu hanya ditemukan tiga jenis

a tau h i l ang 85% dan indeks

keragamannya menurun hingga 67%.

Di petak contoh dengan kerusakan

ringan ditemukan 11 jenis atau lebih

sedikit 45% - 50% dari petak yang utuh/

tidak rusak. Sementara indeks

keragaman jenisnya menurun 12% -

24%,

Pada tingkat anakan juga terjadi

penurunan kekayaan dan keragaman

jenis pasca erupsi Gunung Merapi. Pada

petak contoh dengan kerusakan ringan

setelah 16-18 bulan ditemukan sembilan

jenis anakan atau 55% lebih sedikit

dibandingkan petak contoh areal tak

rusak. Demikian juga di petak kerusakan

sedang hanya ditemukan tiga jenis

anakan atau berbeda 85% dari petak tak

rusak. Keragaman jenis di petak rusak

ringan berbeda 23% -28% dari petak

tidak rusak, sedangkan pada petak rusak

sedang perbedaannya mencapai 66%.

Secara umum tampak bahwa erupsi

Gunung Merapi memberikan dampak

terhadap vegetasi dengan tingkat

kerusakan yang bervariasi. Parameter

yang dapat dilihat dari vegetasi sebagai

indikator kerusakan ekosistem adalah

jumlah jenis dan indeks keragaman jenis

Shannon Wienner (H'). Secara umum

erupsi menyebabkan penurunannya

jumlah jenis per satuan luas dan

menurunkan indeks keragaman jenis

vegetasi. Meskipun demikian, keempat

lokasi dengan tingkat kerusakan ringan,

sedang dan utuh umumnya masih

memiliki strata vegetasi yang lengkap

yang dicirikan oleh kehadiran pohon,

tiang, pancang dan anakan.

Jumlah jenis pada setiap tingkat

pertumbuhan dapat juga menjadi

indikator tingkat kerusakan akibat

erupsi. Pada kerusakan sedang jenis

anakan yang bertahan hidup dalam plot

pengamatan hanya tiga jenis, pada

kerusakan ringan sembilan jenis,

sementara pada hutan yang tidak rusak

ditemukan 20 jenis dalam sebuah 2sampel pengamatan (112 m ).

Persentase jumlah anakan menunjukkan

bahwa di hutan yang terkena dampak

erupsi sedang jumlah anakannya hanya

11% dari jumlah jenis pohon. Sementara

pada hutan utuh tidak rusak jumlah jenis

anakan relatif sama dengan jumlah jenis

pohon. Hal ini diduga akibat kerusakan

tajuk yang parah menyebabkan abu

vulkanik panas mencapai lantai hutan

dan mematikan anakan-anakan pohon

yang peka terhadap panas.

Meskipun masih memiliki strata yang

lengkap namun komposis i dan

kerapatannya berbeda. Hal ini dapat

dilihat pada Gambar 8 di bawah ini.

Pada areal hutan yang tidak rusak (Blok

Plawangan) kerapatan tumbuhan

bawahnya relatif tinggi, sementara yang

mengalami kerusakan ringan kerapatan

tumbuhan bawahnya relatif lebih rendah

dan yang mengalami kerusakan sedang,

tumbuhan bawahnya banyak yang rusak

sehingga kerapatannya jauh lebih

rendah. Demikian pula untuk vegetasi

tingkat pancang, tiang dan pohon

terdapat perbedaan kerapatan yang

linear dengan tingkat kerusakan akibat

erupsi.

Gambar 8. Sebaran pohon menurut tingkat pertumbuhan pada berbagai tingkat kerusakan akibat erupsi

Gunung Merapi.

Erupsi hebat Gunung Merapi yang terjadi

sejak 26 Oktober hingga 6 November

2010 telah menyebabkan kerusakan

parah pada hutan yang menjadi habitat

utama satwa dan secara langsung juga

menyebabkan kematian berbagai jenis

satwa yang tak mempu menyelamatkan

diri atau tidak menemukan tempat untuk

mengungsi karena TNGM sudah

dikkelilingi oleh permukiman. Tempat

pengungsian terdekat yang lebih aman

adalah Gunung Merbabu, namun

aksesnya terpotong oleh pemukiman

dan jalan SSB (Solo-Selo-Borobudur).

Dampak erupsi terhadap satwa

mencapai beberapa tingkatan yaitu:

Mematikan langsung akibat lahar

panas dan awan panas

Mematikan tidak langsung dengan

menimbulkan luka dan infeksi,

penyakit, dan kekurangan pakan

(kelaparan).

Menghilangkan dan mengurangi

luasan habitat (ruang), sumber

pakan dan sumber air.

Membentuk habitat baru yang

D. Dampak Erupsi Terhadap Komunitas Satwaliar

tidak sesuai, tidak nyaman dan

tidak aman bagi beberapa

satwaliar.

Menghi langkan komponen-

komponen habitat penting seperti

tempat berkubang, tempat

bersarang, tempat berlindung,

tempat mencari makan dan tempat

bereproduksi.

Erupsi Merapi yang terjadi 26 Oktober

2010 menyebabkan migrasi satwa.

Macan tutul jawa (Panthera pardus

melas) yang merupakan top predator

pada ekosistem hutan Gunung Merapi

j u g a t u r u n d a n m e m a s u k i

pe r kampungan ka rena d i duga

kekurangan makanan akibat matinya

satwa mangsanya yang umumnya

merupakan herbivora. Berbagai media

masa memberitakan satwa karnivora

endemik Jawa yang terancam punah

tersebut turun gunung pada 11

November hingga 15 November 2010

atau sekitar dua minggu setelah letusan

Merapi yang pertama tanggal 26

Oktober 2010.

Enam jenis satwa mamalia penting di

14 15RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

TNGM tersebar di berbagai areal dengan

tingkat kerusakan bervariasi, namun

paling banyak berada di kawasan hutan

yang tidak terkena erupsi yaitu

mencapai 44% dari total perjumpaan

enam jenis satwa. Bahkan 22%

ditemukan di luar kawasan hutan

TNGM. Hal ini menunjukkan adanya

penurunan daya dukung habitat di dalam

TNGM akibat rusak terkena erupsi.

Pada areal yang mengalami kerusakan

parah (tidak bervegetasi) karena

tertutup pasir dan abu panas hasil

erupsi, sama sekali tidak ditemukan

satwa mamalia besar.

Beberapa jen is satwa mampu

beradaptasi dengan kerusakan habitat

yang parah, sedang atau ringan.

Beberapa jenis mungkin tidak toleran

terhadap kerusakan habitat, khususnya

kerusakan vegetasi sebagai pelindung.

Berikut ini beberapa jenis satwa penting

yang ditemukan pada beberapa tingkat

kerusakan vegetasi akibat erupsi

Gunung Merapi. Lutung jawa dan

macan tutul jawa merupakan satwa

langka penting yang sulit beradaptasi

dengan kerusakan habitat akibat erupsi.

Tabel 2. Frekuensi perjumpaan enam jenis satwa mamalia penting di TNGM pasca erupsi.

Jenis SatwaJumlah individu dan frekuensi perjumpaan selama penelitian

Vegetasi

Utuh

Rusak

Ringan

Rusak

Sedang

Rusak

Berat

Di luar

hutan

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) 6 4 4 0 5

Lutung Jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy 1812) 26 1 4 0 5

Luwak (Paradoxurus hermaphroditusPallas 1777) 1 4 2 0 2

Babi Hutan (Sus scrofa Linnaeus 1758). 1 1 1 0 0

Kucing Hutan (Prionailurus bengalensisKerr 1792) 2 2 1 0 3

Kijang (Muntiacus muntjak Zimmermann 1780) O 3 0 0 2

Diolah dari data survei dan data TNGM (2011)

16 17RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Bangsa burung dapat menjadi indikator

kualitas kondisi suatu lingkungan atau

habitat. Hasil inventarisasi burung di

areal yang rusak akibat erupsi Gunung

Merapi menemukan 33 jenis yang

tersebar di empat lokasi pengamatan

sebagaimana disajikan pada Tabel 3.

Dari Gambar 11 tampak bahwa

komunitas burung umumnya didominasi

oleh jenis-jenis pemakan serangga dan

biji. Hal ini menunjukkan bahwa habitat

yang ada memang menyediakan

makanan berupa biji dan serangga yang

cukup melimpah. Hal ini biasa terjadi di

lahan terbuka, dimana populasi

serangga berkembang dengan baik.

Sementara semak belukar yang tumbuh

sebagai awal suksesi juga menghasilkan

buah dan biji-biji kecil yang merupakan

makanan berbagai jenis burung.

Burung-burung pemangsa juga

mendapatkan habitat yang mudah untuk

berburu, yaitu areal terbuka. Di areal

terbuka biasanya banyak terdapat

binatang-binatang keci l sepert i

pengerat, ular dan burung-burung kecil

yang merupakan mangsa burung-

burung karnivora.

Lutung Jawa (Trachypithecus auratus

Geoffroy 1812) merupakan salah satu

jenis primata dilindungi yang terkena

dampak erupsi Gunung Merapi. Oleh

karena itu satwa ini perlu diketahui

kondisi populasi dan sebarannya setelah

erupsi. Kijang (Muntiacus muntjak

Zimmermann 1780) juga merupakan

satwa dilindungi yang banyak terkena

dampak erupsi merapi. Dampak yang

dialami satwa pada awal pasca erupsi

adalah kehilangan pakan berupa

tumbuhan bawah yang hangus terbakar

atau tertutup abu vulkanik. Dampak

beberapa bulan setelah erupsi adalah

melimpahnya pakan berupa tumbuhan

bawah yang mulai tumbuh karena

terangsang oleh sinar matahari yang

dapat mencapai lantai hutan akibat

terbukanya tajuk pohon-pohon besar

yang mati terbakar.

Diolah dari data primer dan sekunder (TNGM, 2011)

Gambar 10.Proporsi sebaran enam jenis satwa mamalia menurut kelas kerusakan kawasan TNGM pasca erupsi.

Doc.

TN

. G

unung M

era

pi

Doc.

Hendra

Gunaw

an

Gambar 9.Mamalia kecil seperti landak jawa (Hystrix javanica) menjadi korban erupsi karena tidak mampu melarikan diri dari luncuran awan panas. Sementara monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) mengais sampah

untuk mencari makan karena persediaan makanan di alamnya habis terkena erupsi.

TNGM tersebar di berbagai areal dengan

tingkat kerusakan bervariasi, namun

paling banyak berada di kawasan hutan

yang tidak terkena erupsi yaitu

mencapai 44% dari total perjumpaan

enam jenis satwa. Bahkan 22%

ditemukan di luar kawasan hutan

TNGM. Hal ini menunjukkan adanya

penurunan daya dukung habitat di dalam

TNGM akibat rusak terkena erupsi.

Pada areal yang mengalami kerusakan

parah (tidak bervegetasi) karena

tertutup pasir dan abu panas hasil

erupsi, sama sekali tidak ditemukan

satwa mamalia besar.

Beberapa jen is satwa mampu

beradaptasi dengan kerusakan habitat

yang parah, sedang atau ringan.

Beberapa jenis mungkin tidak toleran

terhadap kerusakan habitat, khususnya

kerusakan vegetasi sebagai pelindung.

Berikut ini beberapa jenis satwa penting

yang ditemukan pada beberapa tingkat

kerusakan vegetasi akibat erupsi

Gunung Merapi. Lutung jawa dan

macan tutul jawa merupakan satwa

langka penting yang sulit beradaptasi

dengan kerusakan habitat akibat erupsi.

Tabel 2. Frekuensi perjumpaan enam jenis satwa mamalia penting di TNGM pasca erupsi.

Jenis SatwaJumlah individu dan frekuensi perjumpaan selama penelitian

Vegetasi

Utuh

Rusak

Ringan

Rusak

Sedang

Rusak

Berat

Di luar

hutan

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) 6 4 4 0 5

Lutung Jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy 1812) 26 1 4 0 5

Luwak (Paradoxurus hermaphroditusPallas 1777) 1 4 2 0 2

Babi Hutan (Sus scrofa Linnaeus 1758). 1 1 1 0 0

Kucing Hutan (Prionailurus bengalensisKerr 1792) 2 2 1 0 3

Kijang (Muntiacus muntjak Zimmermann 1780) O 3 0 0 2

Diolah dari data survei dan data TNGM (2011)

16 17RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Bangsa burung dapat menjadi indikator

kualitas kondisi suatu lingkungan atau

habitat. Hasil inventarisasi burung di

areal yang rusak akibat erupsi Gunung

Merapi menemukan 33 jenis yang

tersebar di empat lokasi pengamatan

sebagaimana disajikan pada Tabel 3.

Dari Gambar 11 tampak bahwa

komunitas burung umumnya didominasi

oleh jenis-jenis pemakan serangga dan

biji. Hal ini menunjukkan bahwa habitat

yang ada memang menyediakan

makanan berupa biji dan serangga yang

cukup melimpah. Hal ini biasa terjadi di

lahan terbuka, dimana populasi

serangga berkembang dengan baik.

Sementara semak belukar yang tumbuh

sebagai awal suksesi juga menghasilkan

buah dan biji-biji kecil yang merupakan

makanan berbagai jenis burung.

Burung-burung pemangsa juga

mendapatkan habitat yang mudah untuk

berburu, yaitu areal terbuka. Di areal

terbuka biasanya banyak terdapat

binatang-binatang keci l sepert i

pengerat, ular dan burung-burung kecil

yang merupakan mangsa burung-

burung karnivora.

Lutung Jawa (Trachypithecus auratus

Geoffroy 1812) merupakan salah satu

jenis primata dilindungi yang terkena

dampak erupsi Gunung Merapi. Oleh

karena itu satwa ini perlu diketahui

kondisi populasi dan sebarannya setelah

erupsi. Kijang (Muntiacus muntjak

Zimmermann 1780) juga merupakan

satwa dilindungi yang banyak terkena

dampak erupsi merapi. Dampak yang

dialami satwa pada awal pasca erupsi

adalah kehilangan pakan berupa

tumbuhan bawah yang hangus terbakar

atau tertutup abu vulkanik. Dampak

beberapa bulan setelah erupsi adalah

melimpahnya pakan berupa tumbuhan

bawah yang mulai tumbuh karena

terangsang oleh sinar matahari yang

dapat mencapai lantai hutan akibat

terbukanya tajuk pohon-pohon besar

yang mati terbakar.

Diolah dari data primer dan sekunder (TNGM, 2011)

Gambar 10.Proporsi sebaran enam jenis satwa mamalia menurut kelas kerusakan kawasan TNGM pasca erupsi.

Doc.

TN

. G

unung M

era

pi

Doc.

Hendra

Gunaw

an

Gambar 9.Mamalia kecil seperti landak jawa (Hystrix javanica) menjadi korban erupsi karena tidak mampu melarikan diri dari luncuran awan panas. Sementara monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) mengais sampah

untuk mencari makan karena persediaan makanan di alamnya habis terkena erupsi.

LokasiJumlah

Jenis

Indeks Keragaman

Jenis (H')

Indeks Evenness

(E)

Kalitengah Lor 13 1.9433 0.7576

Balerante 15 2.3650 0.8733

Deles Kemalang 14 2.0255 0.7675

Srumbung 18 2.4006 0.8306

Tabel 4. Rekapitulasi indeks keragaman jenis (H') dan indeks evenness (e) burung-burung di areal rusak terkena erupsi.

Lokasi Kalitengah Lor Balerante Deles Kemalang Srumbung

Kalitengah Lor 0.5385 0.3704 0.2581

Balerante 0.6897 0.4242

Deles Kemalang 0.3125

Srumbung

Tabel 5.Rekapitulasi indeks kemiripan komunitas burung antar lokasi pengamatan.

18 19RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Tabel 3.Jenis-jenis burung di areal yang rusak terkena erupsi setelah 16 bulan pasca erupsi.

Nilai indeks keragaman jenis dan indeks

evenness komunitas burung di empat

lokasi pengamatan relatif tidak jauh

berbeda. Keempat lokasi memiliki

karakteristik yang hampir sama yaitu

bervegetasi suksesi awal pasca erupsi

Gunung Merapi. Meskipun ada beberapa

pohon namun umumnya pohon tersebut

telah mati atau kehilangan tajuknya dan

baru bersemi kembali.

Meskipun memiliki indeks keragaman

jenis dan indeks evenness relatif tidak

jauh berbeda antar lokasi, namun

keempat lokasi memiliki nilai indeks

kemiripan komunitas (Index Similarity)

yang relatif rendah yaitu kurang dari 5,0

kecuali antara Balerante dan Deles-

Kemalang (0,6897). Rendahnya nilai

i n d e k s k e m i r i p a n k o m u n i t a s

menunjukkan bahwa komunitas di

lokasi-lokasi tersebut tersusun oleh

jenis-jenis yang berbeda. Perbedaan ini

b i sa d i sebabkan o leh kond is i

ketersediaan pakan dan ketinggian

tempat. Beberapa jenis burung memiliki

sebaran yang luas dan makanan yang

bervariasi, sementara beberapa jenis

lainnya memiliki sebaran sempit atau

spesialisasi dalam makanan. Sebagai

contoh burung cekakak jawa (Halcyon

cyanoventris) dan burung cekakak

sungai (Todirhamphus chloris) yang

merupakan jenis spesialis pencari makan

di perairan.

Gambar 11. Komposisi burung menurut macam pakan

utamanya di areal rusak akibat erupsi Merapi setelah 16 bulan.

KOMPOSISI BURUNG MENURUT MACAM PAKAN/JENIS PAKAN DI AREAL YANG RUSAK TERKENA ERUPSI MERAPI

Nama Lokal Nama Latin

Status Red List Dan PP 7/1999

Kali-Tengah

Lor

Bale-Rante

Deles Kemalang

Srum-bung

Jenis Pakan Utama

1. Alapalap Sapi Falco moluccensis (Bonaparte, 1850) LC; P x x C

2. Ayam-hutan hijau Gallus varius (Shaw, 1798) LC x x x G

3. Bentet kelabu Lanius schach (L innaeus, 1758) LC x x x x I

4. Bondol Peking Lonchura punctulata (Linnaeus, 1758) LC x G

5. Bubut Centropus bengalensis (Gmelin, 1788) LC x I

6. Burungmadu Srigant i Cinnyris jugularis (Linnaeus, 1766) LC x N

7. Caladi Ulam Dendrocopos macei (Vieillot, 1818) LC x I

8. Cekakak jawa Halcyon cyanovent ris (Vie illot, 1818) LC; P x x P

9. Cekakak Sungai Todiramphus chloris (Boddaert , 1783) LC; P x x x P

10. Cica koreng jawa Megalurus palustris (Horsf ield, 1821) LC x x x I

11. Cucak kutilang Pycnonotus aurigaster (Vieillot, 1818) LC x x x x I

12. Elang Brontok Nisaetus cirrhatus (Gmelin, 1788) LC; P x C

13. Elangular Bido Spilornis cheela (Latham, 1790) LC; P x x C

14. Gelatik batu Kelabu Parus major (L innaeus, 1758) LC x G

15. Gemak Turnix suscitator (Gmelin, 1789) LC x x G

16. Kacamata biasa Zosterops palpebrosus (Temminck, 1824) LC x x x G

17. Kekep Babi Artamus leucorynchus (Linnaeus, 1771) LC x I

18. Kepudang Kuduk-hitam Oriolus chinensis (Linnaeus, 1766) LC x I

19. Kerak Kerbau Acridotheres javanicus (Cabanis, 1850) DD x x x I

20. Merbah Cerukcuk Pycnonotus goiavier (Scopoli, 1886) LC x x I

21. Perenjak Prin ia familiaris (Horsfield, 1821) LC x G

22. Perenjak padi Prin ia inornata (Sykes, 1832) LC x G

23. Perenjak Rawa Prin ia flaviventris (Delessert, 1840) LC x G

24. Elang hitam Ict inaetus malayensis (Temminck, 1822) LC; P x C

25. Sepah Kecil Pericrocotus cinnamomeus (Linnaeus, 1766) LC x I

26. Sikep madu asia Pernis pt ilorhynchus (Temminck, 1821) LC; P x C

27. Srigunting Kelabu Dicrurus leucophaeus (Vie illot, 1817) LC x I

28. Tekukur Biasa Spilopelia chinensis (Scopoli, 1768) LC x x G

29. Tepus Pipi-perak Stachyris melanothorax (Temminck, 1823) LC x I

30. Tuwur Asia Eudynamys scolopaceus (Linnaeus, 1758) LC x I

31. Walet Linci Collocalia linchi (Horsf ie ld & Moore, 1854) LC x x x I

32. Wiwik Kelabu Cacomantis merulinus (Scopoli, 1786) LC x I

33. Wiwik Uncuing Cacomantis sepulcralis (Müller, 1843) LC x x x I

I = Insektivora (pemakan serangga

N = Nektarivora (pemakan nektar)

LC = Least Concern

G = Granivora atau Seedivora (pemakan biji)

P = Piscivora (pemakan ikan)

DD = Data Deficient

F = Frugivora (pemakan buah)

C =Karnivora (pemangsa hewan lain)

P = Dilindungi berdasar PP No. 7/1999

Keterangan:

LokasiJumlah

Jenis

Indeks Keragaman

Jenis (H')

Indeks Evenness

(E)

Kalitengah Lor 13 1.9433 0.7576

Balerante 15 2.3650 0.8733

Deles Kemalang 14 2.0255 0.7675

Srumbung 18 2.4006 0.8306

Tabel 4. Rekapitulasi indeks keragaman jenis (H') dan indeks evenness (e) burung-burung di areal rusak terkena erupsi.

Lokasi Kalitengah Lor Balerante Deles Kemalang Srumbung

Kalitengah Lor 0.5385 0.3704 0.2581

Balerante 0.6897 0.4242

Deles Kemalang 0.3125

Srumbung

Tabel 5.Rekapitulasi indeks kemiripan komunitas burung antar lokasi pengamatan.

18 19RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Tabel 3.Jenis-jenis burung di areal yang rusak terkena erupsi setelah 16 bulan pasca erupsi.

Nilai indeks keragaman jenis dan indeks

evenness komunitas burung di empat

lokasi pengamatan relatif tidak jauh

berbeda. Keempat lokasi memiliki

karakteristik yang hampir sama yaitu

bervegetasi suksesi awal pasca erupsi

Gunung Merapi. Meskipun ada beberapa

pohon namun umumnya pohon tersebut

telah mati atau kehilangan tajuknya dan

baru bersemi kembali.

Meskipun memiliki indeks keragaman

jenis dan indeks evenness relatif tidak

jauh berbeda antar lokasi, namun

keempat lokasi memiliki nilai indeks

kemiripan komunitas (Index Similarity)

yang relatif rendah yaitu kurang dari 5,0

kecuali antara Balerante dan Deles-

Kemalang (0,6897). Rendahnya nilai

i n d e k s k e m i r i p a n k o m u n i t a s

menunjukkan bahwa komunitas di

lokasi-lokasi tersebut tersusun oleh

jenis-jenis yang berbeda. Perbedaan ini

b i sa d i sebabkan o leh kond is i

ketersediaan pakan dan ketinggian

tempat. Beberapa jenis burung memiliki

sebaran yang luas dan makanan yang

bervariasi, sementara beberapa jenis

lainnya memiliki sebaran sempit atau

spesialisasi dalam makanan. Sebagai

contoh burung cekakak jawa (Halcyon

cyanoventris) dan burung cekakak

sungai (Todirhamphus chloris) yang

merupakan jenis spesialis pencari makan

di perairan.

Gambar 11. Komposisi burung menurut macam pakan

utamanya di areal rusak akibat erupsi Merapi setelah 16 bulan.

KOMPOSISI BURUNG MENURUT MACAM PAKAN/JENIS PAKAN DI AREAL YANG RUSAK TERKENA ERUPSI MERAPI

Nama Lokal Nama Latin

Status Red List Dan PP 7/1999

Kali-Tengah

Lor

Bale-Rante

Deles Kemalang

Srum-bung

Jenis Pakan Utama

1. Alapalap Sapi Falco moluccensis (Bonaparte, 1850) LC; P x x C

2. Ayam-hutan hijau Gallus varius (Shaw, 1798) LC x x x G

3. Bentet kelabu Lanius schach (L innaeus, 1758) LC x x x x I

4. Bondol Peking Lonchura punctulata (Linnaeus, 1758) LC x G

5. Bubut Centropus bengalensis (Gmelin, 1788) LC x I

6. Burungmadu Srigant i Cinnyris jugularis (Linnaeus, 1766) LC x N

7. Caladi Ulam Dendrocopos macei (Vieillot, 1818) LC x I

8. Cekakak jawa Halcyon cyanovent ris (Vie illot, 1818) LC; P x x P

9. Cekakak Sungai Todiramphus chloris (Boddaert , 1783) LC; P x x x P

10. Cica koreng jawa Megalurus palustris (Horsf ield, 1821) LC x x x I

11. Cucak kutilang Pycnonotus aurigaster (Vieillot, 1818) LC x x x x I

12. Elang Brontok Nisaetus cirrhatus (Gmelin, 1788) LC; P x C

13. Elangular Bido Spilornis cheela (Latham, 1790) LC; P x x C

14. Gelatik batu Kelabu Parus major (L innaeus, 1758) LC x G

15. Gemak Turnix suscitator (Gmelin, 1789) LC x x G

16. Kacamata biasa Zosterops palpebrosus (Temminck, 1824) LC x x x G

17. Kekep Babi Artamus leucorynchus (Linnaeus, 1771) LC x I

18. Kepudang Kuduk-hitam Oriolus chinensis (Linnaeus, 1766) LC x I

19. Kerak Kerbau Acridotheres javanicus (Cabanis, 1850) DD x x x I

20. Merbah Cerukcuk Pycnonotus goiavier (Scopoli, 1886) LC x x I

21. Perenjak Prin ia familiaris (Horsfield, 1821) LC x G

22. Perenjak padi Prin ia inornata (Sykes, 1832) LC x G

23. Perenjak Rawa Prin ia flaviventris (Delessert, 1840) LC x G

24. Elang hitam Ict inaetus malayensis (Temminck, 1822) LC; P x C

25. Sepah Kecil Pericrocotus cinnamomeus (Linnaeus, 1766) LC x I

26. Sikep madu asia Pernis pt ilorhynchus (Temminck, 1821) LC; P x C

27. Srigunting Kelabu Dicrurus leucophaeus (Vie illot, 1817) LC x I

28. Tekukur Biasa Spilopelia chinensis (Scopoli, 1768) LC x x G

29. Tepus Pipi-perak Stachyris melanothorax (Temminck, 1823) LC x I

30. Tuwur Asia Eudynamys scolopaceus (Linnaeus, 1758) LC x I

31. Walet Linci Collocalia linchi (Horsf ie ld & Moore, 1854) LC x x x I

32. Wiwik Kelabu Cacomantis merulinus (Scopoli, 1786) LC x I

33. Wiwik Uncuing Cacomantis sepulcralis (Müller, 1843) LC x x x I

I = Insektivora (pemakan serangga

N = Nektarivora (pemakan nektar)

LC = Least Concern

G = Granivora atau Seedivora (pemakan biji)

P = Piscivora (pemakan ikan)

DD = Data Deficient

F = Frugivora (pemakan buah)

C =Karnivora (pemangsa hewan lain)

P = Dilindungi berdasar PP No. 7/1999

Keterangan:

LokasiJumlah

Jenis

Indeks Keragaman

Jenis (H')

Indeks Evenness

(E)

Kalitengah Lor 13 1.9433 0.7576

Balerante 15 2.3650 0.8733

Deles Kemalang 14 2.0255 0.7675

Srumbung 18 2.4006 0.8306

Tabel 4. Rekapitulasi indeks keragaman jenis (H') dan indeks evenness (e) burung-burung di areal rusak terkena erupsi.

Lokasi Kalitengah Lor Balerante Deles Kemalang Srumbung

Kalitengah Lor 0.5385 0.3704 0.2581

Balerante 0.6897 0.4242

Deles Kemalang 0.3125

Srumbung

Tabel 5.Rekapitulasi indeks kemiripan komunitas burung antar lokasi pengamatan.

18 19RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Tabel 3.Jenis-jenis burung di areal yang rusak terkena erupsi setelah 16 bulan pasca erupsi.

Nilai indeks keragaman jenis dan indeks

evenness komunitas burung di empat

lokasi pengamatan relatif tidak jauh

berbeda. Keempat lokasi memiliki

karakteristik yang hampir sama yaitu

bervegetasi suksesi awal pasca erupsi

Gunung Merapi. Meskipun ada beberapa

pohon namun umumnya pohon tersebut

telah mati atau kehilangan tajuknya dan

baru bersemi kembali.

Meskipun memiliki indeks keragaman

jenis dan indeks evenness relatif tidak

jauh berbeda antar lokasi, namun

keempat lokasi memiliki nilai indeks

kemiripan komunitas (Index Similarity)

yang relatif rendah yaitu kurang dari 5,0

kecuali antara Balerante dan Deles-

Kemalang (0,6897). Rendahnya nilai

i n d e k s k e m i r i p a n k o m u n i t a s

menunjukkan bahwa komunitas di

lokasi-lokasi tersebut tersusun oleh

jenis-jenis yang berbeda. Perbedaan ini

b i sa d i sebabkan o leh kond is i

ketersediaan pakan dan ketinggian

tempat. Beberapa jenis burung memiliki

sebaran yang luas dan makanan yang

bervariasi, sementara beberapa jenis

lainnya memiliki sebaran sempit atau

spesialisasi dalam makanan. Sebagai

contoh burung cekakak jawa (Halcyon

cyanoventris) dan burung cekakak

sungai (Todirhamphus chloris) yang

merupakan jenis spesialis pencari makan

di perairan.

Gambar 11. Komposisi burung menurut macam pakan

utamanya di areal rusak akibat erupsi Merapi setelah 16 bulan.

KOMPOSISI BURUNG MENURUT MACAM PAKAN/JENIS PAKAN DI AREAL YANG RUSAK TERKENA ERUPSI MERAPI

Nama Lokal Nama Latin

Status Red List Dan PP 7/1999

Kali-Tengah

Lor

Bale-Rante

Deles Kemalang

Srum-bung

Jenis Pakan Utama

1. Alapalap Sapi Falco moluccensis (Bonaparte, 1850) LC; P x x C

2. Ayam-hutan hijau Gallus varius (Shaw, 1798) LC x x x G

3. Bentet kelabu Lanius schach (L innaeus, 1758) LC x x x x I

4. Bondol Peking Lonchura punctulata (Linnaeus, 1758) LC x G

5. Bubut Centropus bengalensis (Gmelin, 1788) LC x I

6. Burungmadu Srigant i Cinnyris jugularis (Linnaeus, 1766) LC x N

7. Caladi Ulam Dendrocopos macei (Vieillot, 1818) LC x I

8. Cekakak jawa Halcyon cyanovent ris (Vie illot, 1818) LC; P x x P

9. Cekakak Sungai Todiramphus chloris (Boddaert , 1783) LC; P x x x P

10. Cica koreng jawa Megalurus palustris (Horsf ield, 1821) LC x x x I

11. Cucak kutilang Pycnonotus aurigaster (Vieillot, 1818) LC x x x x I

12. Elang Brontok Nisaetus cirrhatus (Gmelin, 1788) LC; P x C

13. Elangular Bido Spilornis cheela (Latham, 1790) LC; P x x C

14. Gelatik batu Kelabu Parus major (L innaeus, 1758) LC x G

15. Gemak Turnix suscitator (Gmelin, 1789) LC x x G

16. Kacamata biasa Zosterops palpebrosus (Temminck, 1824) LC x x x G

17. Kekep Babi Artamus leucorynchus (Linnaeus, 1771) LC x I

18. Kepudang Kuduk-hitam Oriolus chinensis (Linnaeus, 1766) LC x I

19. Kerak Kerbau Acridotheres javanicus (Cabanis, 1850) DD x x x I

20. Merbah Cerukcuk Pycnonotus goiavier (Scopoli, 1886) LC x x I

21. Perenjak Prin ia familiaris (Horsfield, 1821) LC x G

22. Perenjak padi Prin ia inornata (Sykes, 1832) LC x G

23. Perenjak Rawa Prin ia flaviventris (Delessert, 1840) LC x G

24. Elang hitam Ict inaetus malayensis (Temminck, 1822) LC; P x C

25. Sepah Kecil Pericrocotus cinnamomeus (Linnaeus, 1766) LC x I

26. Sikep madu asia Pernis pt ilorhynchus (Temminck, 1821) LC; P x C

27. Srigunting Kelabu Dicrurus leucophaeus (Vie illot, 1817) LC x I

28. Tekukur Biasa Spilopelia chinensis (Scopoli, 1768) LC x x G

29. Tepus Pipi-perak Stachyris melanothorax (Temminck, 1823) LC x I

30. Tuwur Asia Eudynamys scolopaceus (Linnaeus, 1758) LC x I

31. Walet Linci Collocalia linchi (Horsf ie ld & Moore, 1854) LC x x x I

32. Wiwik Kelabu Cacomantis merulinus (Scopoli, 1786) LC x I

33. Wiwik Uncuing Cacomantis sepulcralis (Müller, 1843) LC x x x I

I = Insektivora (pemakan serangga

N = Nektarivora (pemakan nektar)

LC = Least Concern

G = Granivora atau Seedivora (pemakan biji)

P = Piscivora (pemakan ikan)

DD = Data Deficient

F = Frugivora (pemakan buah)

C =Karnivora (pemangsa hewan lain)

P = Dilindungi berdasar PP No. 7/1999

Keterangan:

Ekosistem memiliki daya lenting

( r e s i l i e n s i ) y a i t u k emampuan

memulihkan dirinya sendiri secara alami

setelah mengalami gangguan. Demikian

halnya dengan ekosistem Gunung

Merapi, meskipun sebagian areal TNGM

mengalami kehilangan vegetasi dan

menjadi hamparan abu vulkanik, namun

masih ada ekosistem hutan yang utuh

yang tidak terkena dampak erupsi atau

hanya mengalami kerusakan ringan dan

sedang. Vegetasi hutan yang tersisa

tersebut memiliki pohon-pohon yang

menjadi sumber benih bagi rekolonisasi

areal terbuka di dekatnya. Proses

rekolonisasi areal terbuka dapat terjadi

karena adanya proses pemencaran biji

secara alami. Pemencaran biji-biji

secara alami dapat terjadi karena

bantuan :

(1) Tiupan angin, khususnya biji-biji yang ringan dan bersayap (anemo chory).

(2) Diluncurkan oleh air hujan atau gravitasi, khususnya biji-biji yang terjatuh di lantai hutan yang miring (hydro chory).

(3) Menempel pada tubuh satwa (ecto zoochory) atau manusia kemudian jatuh di lokasi lain

(4) Buahnya dimakan oleh satwa dan bijinya keluar bersama fecesnya di tempat lain (endo zoochory)/

Jenis-jenis yang menjadi pelopor dalam

rekolonisasi areal terbuka biasanya

adalah jenis-jenis yang membutuhkan

SUKSESI ALAM DAN ANCAMAN

INVASI SPESIES ASING

A. Suksesi Alam

sinar matahari penuh (light demanding)

atau yang dikenal sebagai jenis-jenis

pionir/pelopor. Jenis-jenis tersebut

umumnya memiliki sifat menyukai areal

terbuka yang langsung terkena cahaya

matahari, cepat tumbuh dan beberapa

jenis bersifat invasif.

Jangkauan penyebaran biji masing-

masing jenis pohon berbeda-beda dan

sangat dipengaruhi oleh agen atau

media penyebarannya. Secara umum,

areal yang rusak akibat erupsi semakin

dekat dengan sumber benih (pohon

induk), maka semakin mudah ditumbuhi

dan memulihkan diri secara alami melalui

suksesi. Semakin jauh dari sumber

benih maka semakin sulit kolonisasi atau

suksesi alam terjadi secara alami.

Dengan dasar pemikiran ini maka,

sesungguhnya areal-areal yang rusak

dengan jarak tertentu misal radius 500

m dari sumber benih bisa mengandalkan

s u k s e s i a l a m i d a l a m p r o s e s

restorasinya.

Sehubungan dengan itu perlu dilakukan

pemetaan sumber benih dan pemetaan

tingkat kerusakan ekosistem. Dengan

menghubungkan kedua hal tersebut dan

operasi spasial dapat ditentukan lokasi-

lokasi yang retorasinya mengandalkan

sukses alami atau kolonisasi alami dan

lokasi-lokasi yang harus ditanami secara

total.

H a s i l p e n g a m a t a n l a p a n g a n

menunjukkan bahwa rekolonisasi sudah

dimulai tiga bulan setelah erupsi.

Setahun pasca erupsi sudah ditemukan

banyak anakan pohon dan tumbuhan

bawah yang mengkolonisasi areal

hamparan pasir dan abu vulkanik pasca

erupsi. Meskipun sebagian besar hutan

di TNGM mengalami kerusakan dan

hanya 23,19% yang relatif tidak rusak

akibat erupsi, namun tampak dari hasil

pengamatan lapangan bahwa proses

rekolonisasi alami berlangsung cukup

baik.

Gambar 13.Kiri : Rekolonisasi 3 bulan pasca erupsi dan Kanan : Rekolonisasi 18 bulan pasca erupsi di Resor Kemalang.

Doc. H

endra

Gunaw

an (

2011;

2012)

Gambar 12.Jumlah jenis anakan pohon dan

tumbuhan bawah pada areal rusak akibat erupsi setelah satu tahun pasca erupsi.

Analisis vegetasi di areal terdegradasi

setelah 16-18 bulan pasca erupsi

menemukan beberapa jenis pohon asli

dan asing (alien species) telah

mengkolonisasi areal yang sebelumnya

berupa hamparan pasir dan abu vulkanik

hasil erupsi. Suksesi alami melalui

rekolonisasi oleh sumber hutan yang

tidak rusak akibat erupsi membuktikan

bahwa alam mampu memulihkan dirinya

sendiri setelah mendapat gangguan atau

memiliki daya lenting (Resilience).

Hasil analisis vegetasi menunjukkan

bahwa jenis puspa (Schima wallichii),

anggrung (Trema orientalis), tutup ijo

(Macaranga triloba), sengon gunung

B. Ancaman Invasi Spesies Asing (Alien Species)

(Paraserianthes lopantha) dan wilodo

(Ficus fistulosa) merupakan jenis yang

memililiki anakan alam melimpah. Hal

ini menggambarkan bahwa jenis-jenis

asli yang ditemukan di lokasi yang

rusak/terdegradasi merupakan jenis

pionir dan mampu mengkolonisasi areal

terbuka secara alami. Meskipun

demikian pada kenyataannya masih

dapat dikalahkan oleh jenis eksotik yaitu

Acacia decurrens yang mampu tumbuh

secara cepat dan invasif di areal rusak

akibat erupsi dengan kerapatan

mencapai 2.697 individu/Ha di atas

puspa (2.632 individu/Ha).

20 21RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

JUMLAH JENIS YANG DITEMUKAN DI AREAL RUSAK AKIBATERUPSI SETELAH SATU TAHUN

Ekosistem memiliki daya lenting

( r e s i l i e n s i ) y a i t u k emampuan

memulihkan dirinya sendiri secara alami

setelah mengalami gangguan. Demikian

halnya dengan ekosistem Gunung

Merapi, meskipun sebagian areal TNGM

mengalami kehilangan vegetasi dan

menjadi hamparan abu vulkanik, namun

masih ada ekosistem hutan yang utuh

yang tidak terkena dampak erupsi atau

hanya mengalami kerusakan ringan dan

sedang. Vegetasi hutan yang tersisa

tersebut memiliki pohon-pohon yang

menjadi sumber benih bagi rekolonisasi

areal terbuka di dekatnya. Proses

rekolonisasi areal terbuka dapat terjadi

karena adanya proses pemencaran biji

secara alami. Pemencaran biji-biji

secara alami dapat terjadi karena

bantuan :

(1) Tiupan angin, khususnya biji-biji yang ringan dan bersayap (anemo chory).

(2) Diluncurkan oleh air hujan atau gravitasi, khususnya biji-biji yang terjatuh di lantai hutan yang miring (hydro chory).

(3) Menempel pada tubuh satwa (ecto zoochory) atau manusia kemudian jatuh di lokasi lain

(4) Buahnya dimakan oleh satwa dan bijinya keluar bersama fecesnya di tempat lain (endo zoochory)/

Jenis-jenis yang menjadi pelopor dalam

rekolonisasi areal terbuka biasanya

adalah jenis-jenis yang membutuhkan

SUKSESI ALAM DAN ANCAMAN

INVASI SPESIES ASING

A. Suksesi Alam

sinar matahari penuh (light demanding)

atau yang dikenal sebagai jenis-jenis

pionir/pelopor. Jenis-jenis tersebut

umumnya memiliki sifat menyukai areal

terbuka yang langsung terkena cahaya

matahari, cepat tumbuh dan beberapa

jenis bersifat invasif.

Jangkauan penyebaran biji masing-

masing jenis pohon berbeda-beda dan

sangat dipengaruhi oleh agen atau

media penyebarannya. Secara umum,

areal yang rusak akibat erupsi semakin

dekat dengan sumber benih (pohon

induk), maka semakin mudah ditumbuhi

dan memulihkan diri secara alami melalui

suksesi. Semakin jauh dari sumber

benih maka semakin sulit kolonisasi atau

suksesi alam terjadi secara alami.

Dengan dasar pemikiran ini maka,

sesungguhnya areal-areal yang rusak

dengan jarak tertentu misal radius 500

m dari sumber benih bisa mengandalkan

s u k s e s i a l a m i d a l a m p r o s e s

restorasinya.

Sehubungan dengan itu perlu dilakukan

pemetaan sumber benih dan pemetaan

tingkat kerusakan ekosistem. Dengan

menghubungkan kedua hal tersebut dan

operasi spasial dapat ditentukan lokasi-

lokasi yang retorasinya mengandalkan

sukses alami atau kolonisasi alami dan

lokasi-lokasi yang harus ditanami secara

total.

H a s i l p e n g a m a t a n l a p a n g a n

menunjukkan bahwa rekolonisasi sudah

dimulai tiga bulan setelah erupsi.

Setahun pasca erupsi sudah ditemukan

banyak anakan pohon dan tumbuhan

bawah yang mengkolonisasi areal

hamparan pasir dan abu vulkanik pasca

erupsi. Meskipun sebagian besar hutan

di TNGM mengalami kerusakan dan

hanya 23,19% yang relatif tidak rusak

akibat erupsi, namun tampak dari hasil

pengamatan lapangan bahwa proses

rekolonisasi alami berlangsung cukup

baik.

Gambar 13.Kiri : Rekolonisasi 3 bulan pasca erupsi dan Kanan : Rekolonisasi 18 bulan pasca erupsi di Resor Kemalang.

Doc. H

endra

Gunaw

an (

2011;

2012)

Gambar 12.Jumlah jenis anakan pohon dan

tumbuhan bawah pada areal rusak akibat erupsi setelah satu tahun pasca erupsi.

Analisis vegetasi di areal terdegradasi

setelah 16-18 bulan pasca erupsi

menemukan beberapa jenis pohon asli

dan asing (alien species) telah

mengkolonisasi areal yang sebelumnya

berupa hamparan pasir dan abu vulkanik

hasil erupsi. Suksesi alami melalui

rekolonisasi oleh sumber hutan yang

tidak rusak akibat erupsi membuktikan

bahwa alam mampu memulihkan dirinya

sendiri setelah mendapat gangguan atau

memiliki daya lenting (Resilience).

Hasil analisis vegetasi menunjukkan

bahwa jenis puspa (Schima wallichii),

anggrung (Trema orientalis), tutup ijo

(Macaranga triloba), sengon gunung

B. Ancaman Invasi Spesies Asing (Alien Species)

(Paraserianthes lopantha) dan wilodo

(Ficus fistulosa) merupakan jenis yang

memililiki anakan alam melimpah. Hal

ini menggambarkan bahwa jenis-jenis

asli yang ditemukan di lokasi yang

rusak/terdegradasi merupakan jenis

pionir dan mampu mengkolonisasi areal

terbuka secara alami. Meskipun

demikian pada kenyataannya masih

dapat dikalahkan oleh jenis eksotik yaitu

Acacia decurrens yang mampu tumbuh

secara cepat dan invasif di areal rusak

akibat erupsi dengan kerapatan

mencapai 2.697 individu/Ha di atas

puspa (2.632 individu/Ha).

20 21RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

JUMLAH JENIS YANG DITEMUKAN DI AREAL RUSAK AKIBATERUPSI SETELAH SATU TAHUN

Gambar 13 menunjukkan bahwa jenis

Acacia decurrens sangat adaptif dengan

kondisi pasca erupsi sehingga dengan

cepat menguasai areal terdegradasi.

Jenis ini mendominasi areal rusak

akibat erupsi yang umumnya terbuka

dan merupakan hamparan pasir dan abu.

Meskipun demikian jenis asli juga bisa

beradaptasi dengan kondisi pasca

erupsi, seperti puspa, anggrung, tutup

ijo, sengon gunung dan dadap.

Permasalahan yang timbul adalah

bahwa dari hasil analisis tumbuhan

bawah dan anakan pohon di areal rusak

oleh erupsi dari berbagai tingkat

kerusakan, ternyata ditemukan 10 jenis

eksotik yang menjadi pionir dalam

sukses alam atau rekolonisasi areal

terdegradasi. Dari 10 jenis tersebut,

Acacia decurrens merupakan spesies

yang paling cepat berkembang sehingga

membahayakan spesies asli. Oleh

karena itu perlu dilakukan penanganan

khusus terhadap spesies ini sehingga

proses restorasi untuk memulihkan

fungsi ekosistem dapat berjalan dengan

baik dan menuju klimaks yang

diharapkan.

No Nama Lokal Nama Latin Asal

1 Akasia Acacia decurrens Willd. Australia

2 Kaliandra Calliandra calothyrsus Meisn. Guatemala

3 Lamtoro Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit. Amerika tropis

4 Sonokeling Dalbergia latifolia Roxb. India bagian timur

5 Pinus Pinus merkusii Jungh. & de Vriese Region Malesia (Sumatera bagian utara )

6 Turi Sesbania grandiflora (L.) Poiret India dan Asia Tenggara

7 Mangga Mangifera indica L. Asia Timur

8 Nangka Artocarpus heterophyllus Lam. Asia Selatan dan Tenggara

9 Jati Tectona grandis L.f. Asia Selatan dan Tenggara

10 Jambu Psidium guajava L. Brasil

Tabel 6. Jenis-jenis eksotik (didatangkan) yang menjadi pionir pada areal terdegradasi akibat erupsi di TNGM.

Sebaga imana t e l a h d i u r a i k a n

sebelumnya bahwa ekosistem Gunung

Merapi yang terdegradasi mampu

memulihkan dirinya sendiri melalui

suksesi alam atau rekolonisasi. Namun

ternyata jenis yang mengkolonisasi

secara luas pada awal suksesi adalah

jenis Acacia decurrens yang merupakan

jenis asing. Jenis ini cenderung invasif,

pada lahan-lahan kosong yang

terekspose langsung sinar matahari.

Jenis ini dikhawatirkan akan menekan

pertumbuhan jenis-jenis asli dan

menyebabkan ekosistem asli tidak dapat

pulih seperti sediakala sehingga tidak

membentuk habitat yang sesuai bagi

berbagai jenis satwaliar.

Pihak manajemen perlu melakukan

langkah-langkah pengendalian, agar

keberadaan Acacia decurens tidak

menjadi ancaman tetapi bisa menjadi

pencipta kesesuaian tempat tumbuh

bagi jenis-jenis pohon asli dengan

memperbaiki kondisi lingkungan, baik

fisik maupun kimia tanah hasil letusan

yang bersifat asam. Oleh karena itu,

perlu dilakukan penelitian mengenai

peran Acacia decurrens dalam proses

suksesi alami dan sifat ekofisiologinya

sehingga bisa dilakukan langkah-

langkah pencegahan dan pengendalian

secara hayati di masa mendatang.

Gambar 15.Pada bulan April 2012 atau 18 bulanpasca erupsi, hamparan abu vulkanik

telah kembali hijau oleh invasi Acacia decurrens.

22 23RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

0 1000 2000 3000

Acacia decurrens Willd.1Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.)

Anggrung (Trema orientale Bl.)Tutup ijo (Macaranga triloba Muell. Arg.)

Sengon gunung (Albizia montana (Jungh.) Benth.)Pinus (Pinus merkusii Jungh. & de Vriese)5

Wilodo (Ficus fistulosa Reinw. ex Blume)Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit)3

Dadap (Erythrina lithosperma Miq. non Bl)Karembi (Homalanthus populneus (Giesel.) Pax)

Tutup putih (Mallotus paniculatus (Lam.) Mull.Arg.)Kaliandra (Calliandra calothyrsus Meisn.)2

Pasang (Quercus teysmannii Bl.)Walik angin (Croton argyratus Blume)

Bintinu/Senu (Melochia umbellata O. Staff.)Gondang (Ficus variegata Bl.)

Jambu (Psidium guajava L.)10Beringin (Ficus benjamina L.)

Mangga (Mangifera indica L.)7Salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walpers)

Suren (Toona sureni (Blume) Merr.)Turi (Sesbania grandiflora (L.) Poiret)6

Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.)Jati (Tectona grandis L.f.)9

Kendung (Helicia javanica Bl.)Kopeng (Ficus ribes Reinw.)

Nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.)8Rasamala (Altingia excelsa Noronha)

Sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.)4

Kerapatan (indiividu/Ha)

KERAPATAN ANAKAN POHON PADA AREAL TERDEGRADASI OLEH ERUPSI DI TN. GUNUNG MERAPI

Gambar 14. Kerapatan anakan pohon di areal terdampak erupsi

di Merapi.

KETERANGAN :1 Jenis introduksi asal Australia2 Introduksi asal Guatemala3 Introduksi asal Amerika tropis4 Introduksi asal India bagian timur5 Introduksi asal region malesia (Sumatera bagian utara)

6 Introduksi di Merapi asal India dan Asia Tenggara

7 Introduksi di Merapi asal Asia Timur8 Introduksi di Merapi asal Asia Selatan dan Tenggara

9 Introduksi di Merapi asal Asia Selatan dan Tenggara

10 Introduksi di Merapi asal Brasil

Gambar 13 menunjukkan bahwa jenis

Acacia decurrens sangat adaptif dengan

kondisi pasca erupsi sehingga dengan

cepat menguasai areal terdegradasi.

Jenis ini mendominasi areal rusak

akibat erupsi yang umumnya terbuka

dan merupakan hamparan pasir dan abu.

Meskipun demikian jenis asli juga bisa

beradaptasi dengan kondisi pasca

erupsi, seperti puspa, anggrung, tutup

ijo, sengon gunung dan dadap.

Permasalahan yang timbul adalah

bahwa dari hasil analisis tumbuhan

bawah dan anakan pohon di areal rusak

oleh erupsi dari berbagai tingkat

kerusakan, ternyata ditemukan 10 jenis

eksotik yang menjadi pionir dalam

sukses alam atau rekolonisasi areal

terdegradasi. Dari 10 jenis tersebut,

Acacia decurrens merupakan spesies

yang paling cepat berkembang sehingga

membahayakan spesies asli. Oleh

karena itu perlu dilakukan penanganan

khusus terhadap spesies ini sehingga

proses restorasi untuk memulihkan

fungsi ekosistem dapat berjalan dengan

baik dan menuju klimaks yang

diharapkan.

No Nama Lokal Nama Latin Asal

1 Akasia Acacia decurrens Willd. Australia

2 Kaliandra Calliandra calothyrsus Meisn. Guatemala

3 Lamtoro Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit. Amerika tropis

4 Sonokeling Dalbergia latifolia Roxb. India bagian timur

5 Pinus Pinus merkusii Jungh. & de Vriese Region Malesia (Sumatera bagian utara )

6 Turi Sesbania grandiflora (L.) Poiret India dan Asia Tenggara

7 Mangga Mangifera indica L. Asia Timur

8 Nangka Artocarpus heterophyllus Lam. Asia Selatan dan Tenggara

9 Jati Tectona grandis L.f. Asia Selatan dan Tenggara

10 Jambu Psidium guajava L. Brasil

Tabel 6. Jenis-jenis eksotik (didatangkan) yang menjadi pionir pada areal terdegradasi akibat erupsi di TNGM.

Sebaga imana t e l a h d i u r a i k a n

sebelumnya bahwa ekosistem Gunung

Merapi yang terdegradasi mampu

memulihkan dirinya sendiri melalui

suksesi alam atau rekolonisasi. Namun

ternyata jenis yang mengkolonisasi

secara luas pada awal suksesi adalah

jenis Acacia decurrens yang merupakan

jenis asing. Jenis ini cenderung invasif,

pada lahan-lahan kosong yang

terekspose langsung sinar matahari.

Jenis ini dikhawatirkan akan menekan

pertumbuhan jenis-jenis asli dan

menyebabkan ekosistem asli tidak dapat

pulih seperti sediakala sehingga tidak

membentuk habitat yang sesuai bagi

berbagai jenis satwaliar.

Pihak manajemen perlu melakukan

langkah-langkah pengendalian, agar

keberadaan Acacia decurens tidak

menjadi ancaman tetapi bisa menjadi

pencipta kesesuaian tempat tumbuh

bagi jenis-jenis pohon asli dengan

memperbaiki kondisi lingkungan, baik

fisik maupun kimia tanah hasil letusan

yang bersifat asam. Oleh karena itu,

perlu dilakukan penelitian mengenai

peran Acacia decurrens dalam proses

suksesi alami dan sifat ekofisiologinya

sehingga bisa dilakukan langkah-

langkah pencegahan dan pengendalian

secara hayati di masa mendatang.

Gambar 15.Pada bulan April 2012 atau 18 bulanpasca erupsi, hamparan abu vulkanik

telah kembali hijau oleh invasi Acacia decurrens.

22 23RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

0 1000 2000 3000

Acacia decurrens Willd.1Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.)

Anggrung (Trema orientale Bl.)Tutup ijo (Macaranga triloba Muell. Arg.)

Sengon gunung (Albizia montana (Jungh.) Benth.)Pinus (Pinus merkusii Jungh. & de Vriese)5

Wilodo (Ficus fistulosa Reinw. ex Blume)Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit)3

Dadap (Erythrina lithosperma Miq. non Bl)Karembi (Homalanthus populneus (Giesel.) Pax)

Tutup putih (Mallotus paniculatus (Lam.) Mull.Arg.)Kaliandra (Calliandra calothyrsus Meisn.)2

Pasang (Quercus teysmannii Bl.)Walik angin (Croton argyratus Blume)

Bintinu/Senu (Melochia umbellata O. Staff.)Gondang (Ficus variegata Bl.)

Jambu (Psidium guajava L.)10Beringin (Ficus benjamina L.)

Mangga (Mangifera indica L.)7Salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walpers)

Suren (Toona sureni (Blume) Merr.)Turi (Sesbania grandiflora (L.) Poiret)6

Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.)Jati (Tectona grandis L.f.)9

Kendung (Helicia javanica Bl.)Kopeng (Ficus ribes Reinw.)

Nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.)8Rasamala (Altingia excelsa Noronha)

Sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.)4

Kerapatan (indiividu/Ha)

KERAPATAN ANAKAN POHON PADA AREAL TERDEGRADASI OLEH ERUPSI DI TN. GUNUNG MERAPI

Gambar 14. Kerapatan anakan pohon di areal terdampak erupsi

di Merapi.

KETERANGAN :1 Jenis introduksi asal Australia2 Introduksi asal Guatemala3 Introduksi asal Amerika tropis4 Introduksi asal India bagian timur5 Introduksi asal region malesia (Sumatera bagian utara)

6 Introduksi di Merapi asal India dan Asia Tenggara

7 Introduksi di Merapi asal Asia Timur8 Introduksi di Merapi asal Asia Selatan dan Tenggara

9 Introduksi di Merapi asal Asia Selatan dan Tenggara

10 Introduksi di Merapi asal Brasil

Restorasi ekosistem merupakan proses

pemulihan suatu ekosistem yang telah

terdegradasi, rusak atau musnah ke

kondisi awal atau menyerupai kondisi

awal (SER Primer, 2004). Ekosistem

dikatakan pulih kembali ketika memiliki

cukup sumberdaya biotik dan abiotik

untuk terus berkembang tanpa bantuan

atau campur tangan manusia serta dapat

melestarikan fungsi dan strukturnya

sendiri dan memiliki resiliensi terhadap

tekanan dan gangguan lingkungan (SER

Primer, 2004).

Restorasi merupakan usaha intensif

untuk memicu dan mempercepat

pemulihan kesehatan (proses dan

fungsi), integritas (struktur dan

komposisi) dan kelestarian (ketahanan

terhadap gangguan dan resiliensi)

ekosistem (Clewell et al., 2005).

Mengingat kompleksnya proses-proses

dan fungsi ekosistem, maka untuk dapat

memperoleh kembali fungsi-fungsi

tersebut harus dilakukan pemulihan pada

tingkat lanskap (Maginnis & Jackson,

2006).

Restoras i ekos is tem ber tu juan

membangun kembali fungsi ekosistem

asli dan meningkatkan kesejahteraan

masyarakat (Maginis & Jackson, 2006).

Fungsi ekosistem menjadi panduan

utama bagi pembangunan berkelanjutan,

mendukung upaya kehati-hatian dalam

melestarikan kemampuan ekosistem

guna memberikan jasa lingkungan

RESTORASI EKOSISTEM

A. Prinsip Restorasi Ekosistem

meminimalkan resiko ekologi di masa

mendatang (Dierben, 2006).

Memahami penyebab dari tingkat

degradasi ekosistem hutan merupakan

hal yang penting untuk memulai

kegiatan restorasi (Lee & Sayer, 2004).

Sebelum dilaksanakan kegiatan restorasi

ekosistem, beberapa kegiatan perlu

disiapkan sebagai dasar penyusunan

rstrategi/rencana aksi, antara lain

(Clewell et al., 2005):

1. Identifikasi tingkat kerusakan

ekosistem;

2. Identifikasi tipe-tipe ekosistem

yang harus direstorasi;

3. Identifikasi tujuan restorasi;

4. Identifikasi kondisi fisik tapak

yang perlu direstorasi;

5. Identifikasi tekanan yang perlu

ditangani;

6. Identifikasi intervansi jenis biotik

yang diperlukan;

7. Identifikasi kendala lanskap;

8. Identifikasi ekosistem referensi;

9. Mengumpulkan informasi sifat

biologi-ekologi spesies kunci;

10. M e n y i a p k a n p a r t i s i p a s i

masyarakat dalam perencanaan

dan implementasi.

Menurut Maginnis dan Jackson (2006).

Dalam pendekatan restorasi ekosistem

hutan, masyarakat dilibatkan untuk

mengidentifikasi dan menetapkan

s eca r a t epa t p r ak t ek - p r ak t ek

penggunaan lahan yang akan membantu

pemulihan fungsi ekosistem hutan

secara keseluruhan. Dalam hal ini

difokuskan pada pemulihan fungsi-

fungsi hutan pada level lanskap untuk

optimalisasi fungsi ekosistem hutan dan

peningkatan kesejahteraan masyarakat

sekitarnya. Tujuan dari pendekatan ini

adalah untuk memperkuat hubungan

antara pembangunan pedesaan,

kehutanan dan manajemen konservasi

sumberdaya alam lainnya. Dengan

perkataan lain lebih mengutamakan pada

optimalisasi manfaat hutan dalam

lanskap yang lebih luas (IUCN, 2005).

Salah satu kunci dalam restorasi lanskap

hutan adalah identifikasi tipe dan tingkat

restorasi yang sesuai dengan kondisi

sosial dan fisik yang ada. Pada

ekosistem yang telah sangat rusak

sehingga tidak mampu memulihkan diri

sendiri melalui proses suksesi alam,

maka upaya restorasi lebih baik

difokuskan pada pemulihan dan

pemeliharaan proses-proses penting

seperti hidrologi, siklus hara dan transfer

energi daripada usaha mengembalikan

struktur hutan seperti aslinya (Maginnis

dan Jackson, 2006).

Tujuan restorasi harus didasarkan pada

aspirasi stakeholder, karakter fisik

lanskap dan sumberdaya yang tersedia.

Oleh karena itu sangat dipengaruhi oleh

kelembagaan yang telah ada, kebijakan

tata guna lahan dan faktor biotik seperti

kesuburan tanah, keanekaragaman

hayati, kelimpahan dan sebarannya.

Tujuan jangka pendek mungkin berubah

menurut waktu, tetapi maksud jangka

panjang tetap harus meningkatkan daya

lenting, keragaman dan produktivitas

tata guna lahan dan konservasi

keanekaragaman hayati. Untuk

mendapatkan manfaat yang dapat

segera dirasakan, intervensi-intervensi

jangka pendek perlu dilakukan (Maginnis

dan Jackson, 2006).

B. Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi ditujukan untuk

menginventarisir tingkat kerusakan

vegetasi dan untuk mengidentifikasi

jenis-jenis pohon asli sebagai bahan

tanaman restorasi. Tingkat kerusakan

vegetas i per lu d iketahui guna

menetapkan tingkat campur tangan

manusia dalam revegetasi atau

mengembalikan vegetasi hutan melalui

penanaman dengan jenis-jenis asli yang

ada. Banyak metode analisis vegetasi

yang dapat dilakukan, tetapi metode

kombinasi antara metode jalur dan garis

berpetak seperti digambarkan di bawah

ini cukup bisa diandalkan.

Gambar 16.Model analisis vegetasi

dengan metode kombinasi jalur dan

garis berpetak (digambar ulang dari

Kusmana, 1997).

24 25RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Restorasi ekosistem merupakan proses

pemulihan suatu ekosistem yang telah

terdegradasi, rusak atau musnah ke

kondisi awal atau menyerupai kondisi

awal (SER Primer, 2004). Ekosistem

dikatakan pulih kembali ketika memiliki

cukup sumberdaya biotik dan abiotik

untuk terus berkembang tanpa bantuan

atau campur tangan manusia serta dapat

melestarikan fungsi dan strukturnya

sendiri dan memiliki resiliensi terhadap

tekanan dan gangguan lingkungan (SER

Primer, 2004).

Restorasi merupakan usaha intensif

untuk memicu dan mempercepat

pemulihan kesehatan (proses dan

fungsi), integritas (struktur dan

komposisi) dan kelestarian (ketahanan

terhadap gangguan dan resiliensi)

ekosistem (Clewell et al., 2005).

Mengingat kompleksnya proses-proses

dan fungsi ekosistem, maka untuk dapat

memperoleh kembali fungsi-fungsi

tersebut harus dilakukan pemulihan pada

tingkat lanskap (Maginnis & Jackson,

2006).

Restoras i ekos is tem ber tu juan

membangun kembali fungsi ekosistem

asli dan meningkatkan kesejahteraan

masyarakat (Maginis & Jackson, 2006).

Fungsi ekosistem menjadi panduan

utama bagi pembangunan berkelanjutan,

mendukung upaya kehati-hatian dalam

melestarikan kemampuan ekosistem

guna memberikan jasa lingkungan

RESTORASI EKOSISTEM

A. Prinsip Restorasi Ekosistem

meminimalkan resiko ekologi di masa

mendatang (Dierben, 2006).

Memahami penyebab dari tingkat

degradasi ekosistem hutan merupakan

hal yang penting untuk memulai

kegiatan restorasi (Lee & Sayer, 2004).

Sebelum dilaksanakan kegiatan restorasi

ekosistem, beberapa kegiatan perlu

disiapkan sebagai dasar penyusunan

rstrategi/rencana aksi, antara lain

(Clewell et al., 2005):

1. Identifikasi tingkat kerusakan

ekosistem;

2. Identifikasi tipe-tipe ekosistem

yang harus direstorasi;

3. Identifikasi tujuan restorasi;

4. Identifikasi kondisi fisik tapak

yang perlu direstorasi;

5. Identifikasi tekanan yang perlu

ditangani;

6. Identifikasi intervansi jenis biotik

yang diperlukan;

7. Identifikasi kendala lanskap;

8. Identifikasi ekosistem referensi;

9. Mengumpulkan informasi sifat

biologi-ekologi spesies kunci;

10. M e n y i a p k a n p a r t i s i p a s i

masyarakat dalam perencanaan

dan implementasi.

Menurut Maginnis dan Jackson (2006).

Dalam pendekatan restorasi ekosistem

hutan, masyarakat dilibatkan untuk

mengidentifikasi dan menetapkan

s eca r a t epa t p r ak t ek - p r ak t ek

penggunaan lahan yang akan membantu

pemulihan fungsi ekosistem hutan

secara keseluruhan. Dalam hal ini

difokuskan pada pemulihan fungsi-

fungsi hutan pada level lanskap untuk

optimalisasi fungsi ekosistem hutan dan

peningkatan kesejahteraan masyarakat

sekitarnya. Tujuan dari pendekatan ini

adalah untuk memperkuat hubungan

antara pembangunan pedesaan,

kehutanan dan manajemen konservasi

sumberdaya alam lainnya. Dengan

perkataan lain lebih mengutamakan pada

optimalisasi manfaat hutan dalam

lanskap yang lebih luas (IUCN, 2005).

Salah satu kunci dalam restorasi lanskap

hutan adalah identifikasi tipe dan tingkat

restorasi yang sesuai dengan kondisi

sosial dan fisik yang ada. Pada

ekosistem yang telah sangat rusak

sehingga tidak mampu memulihkan diri

sendiri melalui proses suksesi alam,

maka upaya restorasi lebih baik

difokuskan pada pemulihan dan

pemeliharaan proses-proses penting

seperti hidrologi, siklus hara dan transfer

energi daripada usaha mengembalikan

struktur hutan seperti aslinya (Maginnis

dan Jackson, 2006).

Tujuan restorasi harus didasarkan pada

aspirasi stakeholder, karakter fisik

lanskap dan sumberdaya yang tersedia.

Oleh karena itu sangat dipengaruhi oleh

kelembagaan yang telah ada, kebijakan

tata guna lahan dan faktor biotik seperti

kesuburan tanah, keanekaragaman

hayati, kelimpahan dan sebarannya.

Tujuan jangka pendek mungkin berubah

menurut waktu, tetapi maksud jangka

panjang tetap harus meningkatkan daya

lenting, keragaman dan produktivitas

tata guna lahan dan konservasi

keanekaragaman hayati. Untuk

mendapatkan manfaat yang dapat

segera dirasakan, intervensi-intervensi

jangka pendek perlu dilakukan (Maginnis

dan Jackson, 2006).

B. Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi ditujukan untuk

menginventarisir tingkat kerusakan

vegetasi dan untuk mengidentifikasi

jenis-jenis pohon asli sebagai bahan

tanaman restorasi. Tingkat kerusakan

vegetas i per lu d iketahui guna

menetapkan tingkat campur tangan

manusia dalam revegetasi atau

mengembalikan vegetasi hutan melalui

penanaman dengan jenis-jenis asli yang

ada. Banyak metode analisis vegetasi

yang dapat dilakukan, tetapi metode

kombinasi antara metode jalur dan garis

berpetak seperti digambarkan di bawah

ini cukup bisa diandalkan.

Gambar 16.Model analisis vegetasi

dengan metode kombinasi jalur dan

garis berpetak (digambar ulang dari

Kusmana, 1997).

24 25RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Petak 20 m x 20 m untuk mencatat

pohon dewasa (diameter > 20 cm),

petak 10 m x 10 m untuk tiang (diameter

10 s/d 20 cm), petak 5 m x 5 m untuk

pancang (permudaan dengan tinggi 1,5

m sampai pohon muda berdiameter <

10 cm) dan petak 2 m x 2 m untuk semai

dan tumbuhan bawah dengan tinggi <

1,5 m) (Kusmana, 1997).

Jalur analisis vegetasi diletakkan

melintasi habitat dan memotong garis

kontur, atau memotong sungai. Jumlah

dan panjang jalur analsisis vegetasi

ditentukan setelah homogenitasnya

diketahui melalui orientasi lapangan.

Sebelum ke lapangan harus sudah

disiapkan lembar data atau buku catatan

untuk mencatat data yang diperlukan.

Dalam analisis vegetasi, data lapangan

yang perlu dicatat antara lain: (1) jenis

tumbuhan; (2) diemeter setinggi dada;

(3) tinggi total; dan (4) keterangan lain

yang dianggap perlu berkaitan dengan

tujuan studi. Pengumpulan data

dilakukan untuk setiap petak dan setiap

tumbuhan pada berbagai tingkatan

pertumbuhan (pohon, tiang, pancang

dan anakan), seperti contoh di bawah

ini.

Petak Jenis Tumbuhan Diameter (cm) Tinggi (m) Keterangan

1 Beringin 80 35 Makanan monyet

Pasang 70 30

Cepogo 45 20

Dadap 25 15 Tempat tidur lutung

dst

2 Gintungan 23 15

Berangan 50 25

Sintok 50 25

dst

Dst

Tabel 7.Contoh lembar data analisis vegetasi tingkat pohon

Petak Jenis Tumbuhan Jumlah Keterangan

1 Saninten 2

Pakis sayur 1

Pisang kele 5 Buah dimakan monyet

Rotan 1 Buah dimakan Luwak

Tabel 8.Contoh lembar data analisis vegetasi tingkat anakan dan tumbuhan bawah

Catatan : Bila diperlukan bisa ditambahkan kolom untuk data tutupan (coverage) tumbuhan bawah/anakan di setiap petak dalam ukuran 0% (petak analisis tidak ada tumbuhan bawah/anakan) sampai 100% (petak analisis tertutup rapat oleh tumbuhan bawah atau anakan sehingga tanah tidak terlihat).

Data hasil analisis vegetasi, kemudian

diolah untuk mendapatkan nilai-nilai

Kerapatan (K), Frekuensi (F), Dominansi

(D), dan Indeks Nilai Penting (INP).

Parameter vegetasi tersebut dihitung

menggunakan rumus-rumus sebagai

berikut (Kusmana, 1997) :

I n d e k s N i l a i P e n t i n g ( I N P )

menggambarkan kepentingan dari jenis

pohon tertentu terhadap habitat yang

sedang dikaji. Jika suatu jenis memiliki

nilai INP yang tinggi, artinya habitat

tersebut penting bagi jenis tersebut.

Untuk menghitung Indeks Keragaman

Jenis tumbuhan dan satwa digunakan

rumus dari Shannon Wiener yaitu

(Magurran, 1988; Odum, 1994) :

pi adalah perbandingan antara jumlah

individu spesies ke i dengan jumlah total

individu. Logaritma yang digunakan

adalah logaritma dasar 10 atau e.

Rumus ini dapat diubah menjadi :

Untuk mengetahui struktur komunitas

satwa mangsa dalam setiap tipe habitat

maka dihitung nilai keseragaman antar

jenis atau indeks evenness (e) Shannon

dengan rumus sebagai berikut (Odum

1994) :

yakni S adalah banyaknya jenis satwa

pada suatu tipe habitat.; H’ : Indek

keragaman.

Indeks kemiripan (similarity index) atau

dikenal dengan nama indeks Sorensen

antara dua sampel dihitung dengan

rumus sebagai berikut (Odum 1994) :

dimana SI adalah indeks kemiripan

komunitas, A adalah jumlah jenis dalam

sampel A, B adalah jumlah jenis dalam

sampel B dan C adalah jumlah jenis yang

sama pada kedua sampel. Dengan

demikian indeks ketidaksamaan adalah

1 - SI. Nilai indeks kemiripan komunitas

berkisar antara 0 - 1. Semakin tinggi

nilai indeks kemiripan komunitas antara

dua sampel maka semakin miriplah

kedua sampel tersebut, demikian pula

sebaliknya.

Untuk kepentingan mempelajari relung

vertikal habitat satwa seringkali kita

harus mengetahui gambaran strata

kanopi vegetasi hutan. Untuk

menggambarkan stratifikasi hutan maka

perlu dibuat suatu profil diagram dalam

suatu jalur contoh (transek) sepanjang

100 m. Profil diagram ini merupakan

suatu lukisan yang memperlihatkan

bentuk dan tinggi pohon (Soerianegara

dan Indrawan, 1980). Profil diagram

diambil dari salah satu jalur yang

dianggap mewakili kondisi lapangan.

Penggambaran meliputi pemetaan jarak

antar pohon, bentuk tajuk, tinggi pohon,

t i ngg i bebas cabang , ben tuk

26 27RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

yakni

Petak 20 m x 20 m untuk mencatat

pohon dewasa (diameter > 20 cm),

petak 10 m x 10 m untuk tiang (diameter

10 s/d 20 cm), petak 5 m x 5 m untuk

pancang (permudaan dengan tinggi 1,5

m sampai pohon muda berdiameter <

10 cm) dan petak 2 m x 2 m untuk semai

dan tumbuhan bawah dengan tinggi <

1,5 m) (Kusmana, 1997).

Jalur analisis vegetasi diletakkan

melintasi habitat dan memotong garis

kontur, atau memotong sungai. Jumlah

dan panjang jalur analsisis vegetasi

ditentukan setelah homogenitasnya

diketahui melalui orientasi lapangan.

Sebelum ke lapangan harus sudah

disiapkan lembar data atau buku catatan

untuk mencatat data yang diperlukan.

Dalam analisis vegetasi, data lapangan

yang perlu dicatat antara lain: (1) jenis

tumbuhan; (2) diemeter setinggi dada;

(3) tinggi total; dan (4) keterangan lain

yang dianggap perlu berkaitan dengan

tujuan studi. Pengumpulan data

dilakukan untuk setiap petak dan setiap

tumbuhan pada berbagai tingkatan

pertumbuhan (pohon, tiang, pancang

dan anakan), seperti contoh di bawah

ini.

Petak Jenis Tumbuhan Diameter (cm) Tinggi (m) Keterangan

1 Beringin 80 35 Makanan monyet

Pasang 70 30

Cepogo 45 20

Dadap 25 15 Tempat tidur lutung

dst

2 Gintungan 23 15

Berangan 50 25

Sintok 50 25

dst

Dst

Tabel 7.Contoh lembar data analisis vegetasi tingkat pohon

Petak Jenis Tumbuhan Jumlah Keterangan

1 Saninten 2

Pakis sayur 1

Pisang kele 5 Buah dimakan monyet

Rotan 1 Buah dimakan Luwak

Tabel 8.Contoh lembar data analisis vegetasi tingkat anakan dan tumbuhan bawah

Catatan : Bila diperlukan bisa ditambahkan kolom untuk data tutupan (coverage) tumbuhan bawah/anakan di setiap petak dalam ukuran 0% (petak analisis tidak ada tumbuhan bawah/anakan) sampai 100% (petak analisis tertutup rapat oleh tumbuhan bawah atau anakan sehingga tanah tidak terlihat).

Data hasil analisis vegetasi, kemudian

diolah untuk mendapatkan nilai-nilai

Kerapatan (K), Frekuensi (F), Dominansi

(D), dan Indeks Nilai Penting (INP).

Parameter vegetasi tersebut dihitung

menggunakan rumus-rumus sebagai

berikut (Kusmana, 1997) :

I n d e k s N i l a i P e n t i n g ( I N P )

menggambarkan kepentingan dari jenis

pohon tertentu terhadap habitat yang

sedang dikaji. Jika suatu jenis memiliki

nilai INP yang tinggi, artinya habitat

tersebut penting bagi jenis tersebut.

Untuk menghitung Indeks Keragaman

Jenis tumbuhan dan satwa digunakan

rumus dari Shannon Wiener yaitu

(Magurran, 1988; Odum, 1994) :

pi adalah perbandingan antara jumlah

individu spesies ke i dengan jumlah total

individu. Logaritma yang digunakan

adalah logaritma dasar 10 atau e.

Rumus ini dapat diubah menjadi :

Untuk mengetahui struktur komunitas

satwa mangsa dalam setiap tipe habitat

maka dihitung nilai keseragaman antar

jenis atau indeks evenness (e) Shannon

dengan rumus sebagai berikut (Odum

1994) :

yakni S adalah banyaknya jenis satwa

pada suatu tipe habitat.; H’ : Indek

keragaman.

Indeks kemiripan (similarity index) atau

dikenal dengan nama indeks Sorensen

antara dua sampel dihitung dengan

rumus sebagai berikut (Odum 1994) :

dimana SI adalah indeks kemiripan

komunitas, A adalah jumlah jenis dalam

sampel A, B adalah jumlah jenis dalam

sampel B dan C adalah jumlah jenis yang

sama pada kedua sampel. Dengan

demikian indeks ketidaksamaan adalah

1 - SI. Nilai indeks kemiripan komunitas

berkisar antara 0 - 1. Semakin tinggi

nilai indeks kemiripan komunitas antara

dua sampel maka semakin miriplah

kedua sampel tersebut, demikian pula

sebaliknya.

Untuk kepentingan mempelajari relung

vertikal habitat satwa seringkali kita

harus mengetahui gambaran strata

kanopi vegetasi hutan. Untuk

menggambarkan stratifikasi hutan maka

perlu dibuat suatu profil diagram dalam

suatu jalur contoh (transek) sepanjang

100 m. Profil diagram ini merupakan

suatu lukisan yang memperlihatkan

bentuk dan tinggi pohon (Soerianegara

dan Indrawan, 1980). Profil diagram

diambil dari salah satu jalur yang

dianggap mewakili kondisi lapangan.

Penggambaran meliputi pemetaan jarak

antar pohon, bentuk tajuk, tinggi pohon,

t i ngg i bebas cabang , ben tuk

26 27RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

yakni

percabangan dan proyeksi tajuk.

Secara spasial, inventarisasi dan

pemetaan kerusakan vegetasi dapat

dilakukan melalui penafsiran citra satelit

menggunakan metode-metode analisis

citra digital, misalnya menggunakan

program ERDAS Imagine. Meskipun

demikian, analisis sapasial tidak akan

dibahas dalam buku ini, karena

merupakan ilmu tersendiri yang

memerlukan pembahasan khusus secara

detail dan diperuntukan bagi yang telah

bisa mengoperasikan program analisis

citra digital.

Kegiatan inventarisasi dan identifikasi

jenis-jenis pohon asli dilakukan

bersamaan dengan kegiatan analisis

vegetasi. Inventarisasi jenis pohon asli

dilakukan dengan cara membuat daftar

jenis pohon dan mencocokan dengan

deskripsi sebaran alaminya yang ada di

referensi terpercaya seperti Buku

Tumbuhan Berguna Indonesia (Heyne,

1987) dan Buku Flora Pegunungan Jawa

(van Steenis, 2006), atau buku-buku

yang relevan dari serial PROSEA (Plant

Resources of South-East Asia).

Identifikasi jenis pohon asli meliputi

pengenalan jenis secara morfologi,

fenologi, ekologi (tempat tumbuh dan

sebarannya) serta kegunaannya.

C. Inventarisasi dan Identifikasi Jenis Pohon AsliPengenalan jenis dilakukan melalui

identifikasi dengan herbarium yang ada

di Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi

atau Herbarium Bogoriense. Pengenalan

fenologi, ekologi dan kegunaan

dilakukan melalui penelusuran literatur

dan berdasarkan hasil pengamatan di

lapangan.

Untuk pengenalan jenis pohon, maka

sewaktu melakukan analisis vegetasi

mengambil sampel daun yang lengkap

dengan buah dan bunga untuk membuat

herbarium yang akan diidentifikasi.

Pembuatan herbarium dilakukan dengan

mengikuti prosedur yang dijelaskan pada

bab akhir buku ini.

Perlunya tindakan penanaman kembali

a r e a l t e r d ag r a d a s i membawa

konsekuensi kebutuhan bibit. Salah

satu syarat bibit untuk tanaman

restorasi adalah harus merupakan jenis

asli setempat. Untuk itu perlu dilakukan

inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis

pohon asli Gunung Merapi. Informasi

yang diperlukan dari jenis-jenis pohon

asli tersebut adalah : status keaslian

(endemisitas), distribusi geografis,

D. Pemilihan Jenis Pohon Asli untuk Tanaman Restorasi

sebaran menurut elevasi di Gunung

Merapi, fungsi atau peranan dalam

ekosistem, kegunaan bagi masyarakat,

teknik perbanyakan atau regenerasi,

kesesuaian tumbuh dengan tapak

khusus, dan sifat-sifat khusus seperti

jenis toleran, intoleran, pionir atau

klimaks.

Penelitian Universitas Gajah Mada

(2011) di kawasan TNGM pasca erupsi

2010 menemukan 95 jenis tumbuhan.

UGM hanya menyebutkan bahwa jenis

Puspa (Schima wallichii) merupakan

jenis yang potensial untuk dijadikan

tanaman restorasi, namun ketersediaan

bibit di alam (anakan alam) kurang dari

10%. Sementara itu Gunawan et al.

(2012) telah mengidentifikasi 50 jenis

pohon asli yang dapat digunakan

sebagai tanaman restorasi Gunung

Merapi.

Pemilihan jenis-jenis pohon asli yang

akan digunakan dalam restorasi

ekosistem dapat dilakukan dengan dua

pendeka tan ya i tu pendeka tan

kesesuaian ekologis dan kesesuaian

fungsi atau manfaat dari pohon

tersebut. Secara umum pemilihian jenis

perlu mempertimbangkan :

Biji atau benih mudah diperoleh

Bibit mudah dibuat

Daya hidup setelah penanaman

tinggi

Biaya pemeliharaan tanaman relatif

rendah.

Kemudahan memperoleh bibit dari

anakan alam dapat diketahui dari

kerapatan dan frekuensi tingkat semai di

lapangan yang datanya diperoleh dari

analisis vegetasi. Jenis-jenis yang

memiliki nilai kerapatan relatif tinggi

biasanya berada mengelompok di suatu

tempat sehingga mudah dikumpulkan

dari suatu tempat. Sementara jenis-

jenis yang memiliki nilai frekuensi relatif

tinggi pada umumnya tersebar di banyak

tempat, sehingga relatif lebih mudah

dijumpai walau dalam jumah yang

sedikit-sedikit.

Kesesuaian ekologis dapat diindikasikan

oleh nilai-nilai relatif dari kerapatan,

frekuensi dan dominansi atau indeks

nilai penting (INP). Hal ini karena INP

menunjukkan “kepentingan” jenis

te rsebut a tas hab i ta t tempat

tumbuhnya. Sementara, jenis asli

didasarkan pada sejarah sebaran

geografisnya. Kemudian jenis-jenis

tersebut dipilih lagi sesuai dengan tujuan

restorasi yaitu pemulihan fungsi

ekosistem, misalnya fungsi pohon

sebagai habitat satwa dan manfaatnya

bagi masyarakat sekitar. Fungsi sebagai

habitat dicirikan dengan kemampuan

pohon tersebut untuk:

Menghasilkan buah, pucuk, bunga,

nektar dan bagian pohon lainnya

yang bisa dimakan satwa

Memberikan lindungan kepada

satwa dari cuaca (hujan, panas,

angin)

Member ikan l indungan dar i

gangguan manusia dan predator

Memberikan tempat beristirahat,

t idur , mengasuh anak dan

pergerakan penjelajahan (foraging).

Untuk pendekatan fungsi lindung

hidrologi, hal-hal yang perlu diperhatikan

antara lain :

Memiliki perakaran yang banyak dan

kuat

Memiliki evapotranspirasi rendah

Memiliki tajuk tebal dan selalu hijau

(tidak menggugurkan daun)

Secara alami mampu beradaptasi

dan tumbuh di lereng-lereng curam

Untuk mengakomodir fungsi sosial-

ekonomi-budaya masyarakat sekitar

maka perlu dilakukan survei wawancara

dengan masyarakat untuk mengetahui

ketergantungan masyarakat terhadap

hutan dan hasil hutan. Fungsi sosial-

ekonomi-budaya sebaiknya tidak konflik

28 29RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

percabangan dan proyeksi tajuk.

Secara spasial, inventarisasi dan

pemetaan kerusakan vegetasi dapat

dilakukan melalui penafsiran citra satelit

menggunakan metode-metode analisis

citra digital, misalnya menggunakan

program ERDAS Imagine. Meskipun

demikian, analisis sapasial tidak akan

dibahas dalam buku ini, karena

merupakan ilmu tersendiri yang

memerlukan pembahasan khusus secara

detail dan diperuntukan bagi yang telah

bisa mengoperasikan program analisis

citra digital.

Kegiatan inventarisasi dan identifikasi

jenis-jenis pohon asli dilakukan

bersamaan dengan kegiatan analisis

vegetasi. Inventarisasi jenis pohon asli

dilakukan dengan cara membuat daftar

jenis pohon dan mencocokan dengan

deskripsi sebaran alaminya yang ada di

referensi terpercaya seperti Buku

Tumbuhan Berguna Indonesia (Heyne,

1987) dan Buku Flora Pegunungan Jawa

(van Steenis, 2006), atau buku-buku

yang relevan dari serial PROSEA (Plant

Resources of South-East Asia).

Identifikasi jenis pohon asli meliputi

pengenalan jenis secara morfologi,

fenologi, ekologi (tempat tumbuh dan

sebarannya) serta kegunaannya.

C. Inventarisasi dan Identifikasi Jenis Pohon AsliPengenalan jenis dilakukan melalui

identifikasi dengan herbarium yang ada

di Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi

atau Herbarium Bogoriense. Pengenalan

fenologi, ekologi dan kegunaan

dilakukan melalui penelusuran literatur

dan berdasarkan hasil pengamatan di

lapangan.

Untuk pengenalan jenis pohon, maka

sewaktu melakukan analisis vegetasi

mengambil sampel daun yang lengkap

dengan buah dan bunga untuk membuat

herbarium yang akan diidentifikasi.

Pembuatan herbarium dilakukan dengan

mengikuti prosedur yang dijelaskan pada

bab akhir buku ini.

Perlunya tindakan penanaman kembali

a r e a l t e r d ag r a d a s i membawa

konsekuensi kebutuhan bibit. Salah

satu syarat bibit untuk tanaman

restorasi adalah harus merupakan jenis

asli setempat. Untuk itu perlu dilakukan

inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis

pohon asli Gunung Merapi. Informasi

yang diperlukan dari jenis-jenis pohon

asli tersebut adalah : status keaslian

(endemisitas), distribusi geografis,

D. Pemilihan Jenis Pohon Asli untuk Tanaman Restorasi

sebaran menurut elevasi di Gunung

Merapi, fungsi atau peranan dalam

ekosistem, kegunaan bagi masyarakat,

teknik perbanyakan atau regenerasi,

kesesuaian tumbuh dengan tapak

khusus, dan sifat-sifat khusus seperti

jenis toleran, intoleran, pionir atau

klimaks.

Penelitian Universitas Gajah Mada

(2011) di kawasan TNGM pasca erupsi

2010 menemukan 95 jenis tumbuhan.

UGM hanya menyebutkan bahwa jenis

Puspa (Schima wallichii) merupakan

jenis yang potensial untuk dijadikan

tanaman restorasi, namun ketersediaan

bibit di alam (anakan alam) kurang dari

10%. Sementara itu Gunawan et al.

(2012) telah mengidentifikasi 50 jenis

pohon asli yang dapat digunakan

sebagai tanaman restorasi Gunung

Merapi.

Pemilihan jenis-jenis pohon asli yang

akan digunakan dalam restorasi

ekosistem dapat dilakukan dengan dua

pendeka tan ya i tu pendeka tan

kesesuaian ekologis dan kesesuaian

fungsi atau manfaat dari pohon

tersebut. Secara umum pemilihian jenis

perlu mempertimbangkan :

Biji atau benih mudah diperoleh

Bibit mudah dibuat

Daya hidup setelah penanaman

tinggi

Biaya pemeliharaan tanaman relatif

rendah.

Kemudahan memperoleh bibit dari

anakan alam dapat diketahui dari

kerapatan dan frekuensi tingkat semai di

lapangan yang datanya diperoleh dari

analisis vegetasi. Jenis-jenis yang

memiliki nilai kerapatan relatif tinggi

biasanya berada mengelompok di suatu

tempat sehingga mudah dikumpulkan

dari suatu tempat. Sementara jenis-

jenis yang memiliki nilai frekuensi relatif

tinggi pada umumnya tersebar di banyak

tempat, sehingga relatif lebih mudah

dijumpai walau dalam jumah yang

sedikit-sedikit.

Kesesuaian ekologis dapat diindikasikan

oleh nilai-nilai relatif dari kerapatan,

frekuensi dan dominansi atau indeks

nilai penting (INP). Hal ini karena INP

menunjukkan “kepentingan” jenis

te rsebut a tas hab i ta t tempat

tumbuhnya. Sementara, jenis asli

didasarkan pada sejarah sebaran

geografisnya. Kemudian jenis-jenis

tersebut dipilih lagi sesuai dengan tujuan

restorasi yaitu pemulihan fungsi

ekosistem, misalnya fungsi pohon

sebagai habitat satwa dan manfaatnya

bagi masyarakat sekitar. Fungsi sebagai

habitat dicirikan dengan kemampuan

pohon tersebut untuk:

Menghasilkan buah, pucuk, bunga,

nektar dan bagian pohon lainnya

yang bisa dimakan satwa

Memberikan lindungan kepada

satwa dari cuaca (hujan, panas,

angin)

Member ikan l indungan dar i

gangguan manusia dan predator

Memberikan tempat beristirahat,

t idur , mengasuh anak dan

pergerakan penjelajahan (foraging).

Untuk pendekatan fungsi lindung

hidrologi, hal-hal yang perlu diperhatikan

antara lain :

Memiliki perakaran yang banyak dan

kuat

Memiliki evapotranspirasi rendah

Memiliki tajuk tebal dan selalu hijau

(tidak menggugurkan daun)

Secara alami mampu beradaptasi

dan tumbuh di lereng-lereng curam

Untuk mengakomodir fungsi sosial-

ekonomi-budaya masyarakat sekitar

maka perlu dilakukan survei wawancara

dengan masyarakat untuk mengetahui

ketergantungan masyarakat terhadap

hutan dan hasil hutan. Fungsi sosial-

ekonomi-budaya sebaiknya tidak konflik

28 29RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

dengan fungsi habitat satwaliar,

misalnya penghasil buah yang dimakan

manusia, tidak dimakan oleh satwaliar,

penghasil daun pakan ternak bukan

merupakan pakan satwaliar.

Penanaman jenis-jenis yang memberikan

f ungs i s o s i a l - e konom i - budaya

masyarakat sebaiknya dilakukan di zona

khusus, misal zona pemanfaatan

tradis ional untuk memudahkan

penge lo laan, pengawasan dan

menghindarkan konf l ik dengan

satwaliar. Taman nasional tidak dapat

m e n g h i n d a r i k e t e r g a n t u n g a n

masyarakat terhadap hutan, oleh karena

itu dalam pengelolaannya, masyarakat

adalah bagian dari pengelolaan taman

nasional dan masyarakat merupakan

aktor penting dalam pengelolaan taman

nasional.

KETERANGAN :1 Jenis introduksi asal Australia2 Introduksi asal Guatemala3 Introduksi asal Amerika tropis4 Introduksi asal India bagian timur5 Introduksi asal region malesia

(Sumatera bagian utara)6 Introduksi di Merapi asal India dan

Asia Tenggara7 Introduksi di Merapi asal Asia Timur8 Introduksi di Merapi asal Asia Selatan

dan Tenggara9 Introduksi di Merapi asal Asia Selatan

dan Tenggara 10 Introduksi di Merapi asal Brasil

Daya A

daptasi Sem

akin Tinggi

Gambar 17.Frekuensi relatif anakan pohon di areal terdampak erupsi di TNGM.

Dari nilai-nilai parameter hasil analisis

vegetasi dapat disimpulkan bahwa jenis-

jenis pohon yang baik untuk dipilih

sebagai tanaman restorasi adalah jenis

asli yang memiliki nilai frekuensi relatif

tinggi dan kerapatan relatif tinggi atau

secara umum memiliki Indeks Nilai

Penting tinggi. Dengan nilai-nilai yang

tinggi tersebut diharapkan peluang

hidupnya juga tinggi, sehingga restorasi

ekosistem berpeluang tinggi untuk

berhasil.

30 31RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

E. Teknik Silvikultur

Erupsi Gunung Merapi mengakibatkan

kerusakan ekosistem hutan. Erupsi

menyisakan abu dan pasir di atas lapisan

tanah dengan ketebalan yang bervariasi.

Kondisi vegetasi yang rusak pasca

erupsi dapat dipercepat pemulihannya

melalui restorasi ekosistem, dengan

melakukan penanaman kembali jenis-

jenis tumbuhan yang dapat beradaptasi

dengan kondisi pasca erupsi. Untuk itu

diperlukan teknologi penanaman dan

pengelolaan yang sesuai dengan kondisi

ekologis dan sosial masyarakat

sekitarnya.

Pasca erupsi, abu dan pasir vulkanik

menutupi permukaan tanah mengubah

kondisi fisik lahan. Fraksi pasir sangat

tinggi berkisar antara 53.59-85.04%,

sehingga lahan bersifat porous dan tidak

mudah men je rap a i r . Ha l i n i

menyebabkan rendahnya kelembababan

tanah, sehingga untuk mendukung

pertumbuhan tanaman, perlu dibantu

dengan emulsi yang untuk menjaga

kelembaban tanah dan bahan-bahan

lainnya untuk menstimulir pertumbuhan

pohon. Kelembaban tanah dapat

ditingkatkan dengan menanami

hamparan pasir dan abu dengan

tanaman penutup tanah (cover crops)

seperti Mucuna sp. dan Pueraria sp.)

atau rerumputan pakan ternak dan

penahan erosi.

Jenis-jenis tanaman lokal yang cepat

tumbuh dan dapat menjadi sumber

penghidupan bagi masyarakat sekitar

hutan perlu ditanam. Meskipun

pertumbuhannya lambat, jenis-jenis

pohon hutan perlu ditanam untuk

menahan erosi dan menyimpan serta

mel indungi sumber a i r mela lu i

perakarannya yang kuat. Jenis-jenis

pohon yang telah diuji coba pada lahan

terdampak erupsi gunung Merapi antara

lain : puspa (Schima wallichii), damar

(Agathis damara) dan pulai (Alstonia

scholaris), suren (Toona sureni).

Dengan jenis yang tepat dan pola tanam

yang sesuai kondisi pasca erupsi, maka

laju revegetasi akan cepat. Hal-hal yang

perlu diperhatikan dalam melakukan

restorasi ekosistem Gunung Merapi

pasca erupsi diuraikan sebagai berikut.

1. Sifat Biofisik Tanah ErupsiUntuk memilih jenis-jenis yang

mampu hidup di dataran tinggi pasca

erupsi dengan tujuan konservasi perlu

diketahui terlebih dahulu kondisi

biofisik di area tersebut. Beberapa

jenis vegetasi lokal mampu bertahan

hidup atau bertunas kembali setelah

terkena dampak erupsi. Hasil

pengamatan menunjukkan bahwa

tanah hutan di sekitar Gunung Merapi

dengan fungsi habitat satwaliar,

misalnya penghasil buah yang dimakan

manusia, tidak dimakan oleh satwaliar,

penghasil daun pakan ternak bukan

merupakan pakan satwaliar.

Penanaman jenis-jenis yang memberikan

f ungs i s o s i a l - e konom i - budaya

masyarakat sebaiknya dilakukan di zona

khusus, misal zona pemanfaatan

tradis ional untuk memudahkan

penge lo laan, pengawasan dan

menghindarkan konf l ik dengan

satwaliar. Taman nasional tidak dapat

m e n g h i n d a r i k e t e r g a n t u n g a n

masyarakat terhadap hutan, oleh karena

itu dalam pengelolaannya, masyarakat

adalah bagian dari pengelolaan taman

nasional dan masyarakat merupakan

aktor penting dalam pengelolaan taman

nasional.

KETERANGAN :1 Jenis introduksi asal Australia2 Introduksi asal Guatemala3 Introduksi asal Amerika tropis4 Introduksi asal India bagian timur5 Introduksi asal region malesia

(Sumatera bagian utara)6 Introduksi di Merapi asal India dan

Asia Tenggara7 Introduksi di Merapi asal Asia Timur8 Introduksi di Merapi asal Asia Selatan

dan Tenggara9 Introduksi di Merapi asal Asia Selatan

dan Tenggara 10 Introduksi di Merapi asal Brasil

Daya A

daptasi Sem

akin Tinggi

Gambar 17.Frekuensi relatif anakan pohon di areal terdampak erupsi di TNGM.

Dari nilai-nilai parameter hasil analisis

vegetasi dapat disimpulkan bahwa jenis-

jenis pohon yang baik untuk dipilih

sebagai tanaman restorasi adalah jenis

asli yang memiliki nilai frekuensi relatif

tinggi dan kerapatan relatif tinggi atau

secara umum memiliki Indeks Nilai

Penting tinggi. Dengan nilai-nilai yang

tinggi tersebut diharapkan peluang

hidupnya juga tinggi, sehingga restorasi

ekosistem berpeluang tinggi untuk

berhasil.

30 31RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

E. Teknik Silvikultur

Erupsi Gunung Merapi mengakibatkan

kerusakan ekosistem hutan. Erupsi

menyisakan abu dan pasir di atas lapisan

tanah dengan ketebalan yang bervariasi.

Kondisi vegetasi yang rusak pasca

erupsi dapat dipercepat pemulihannya

melalui restorasi ekosistem, dengan

melakukan penanaman kembali jenis-

jenis tumbuhan yang dapat beradaptasi

dengan kondisi pasca erupsi. Untuk itu

diperlukan teknologi penanaman dan

pengelolaan yang sesuai dengan kondisi

ekologis dan sosial masyarakat

sekitarnya.

Pasca erupsi, abu dan pasir vulkanik

menutupi permukaan tanah mengubah

kondisi fisik lahan. Fraksi pasir sangat

tinggi berkisar antara 53.59-85.04%,

sehingga lahan bersifat porous dan tidak

mudah men je rap a i r . Ha l i n i

menyebabkan rendahnya kelembababan

tanah, sehingga untuk mendukung

pertumbuhan tanaman, perlu dibantu

dengan emulsi yang untuk menjaga

kelembaban tanah dan bahan-bahan

lainnya untuk menstimulir pertumbuhan

pohon. Kelembaban tanah dapat

ditingkatkan dengan menanami

hamparan pasir dan abu dengan

tanaman penutup tanah (cover crops)

seperti Mucuna sp. dan Pueraria sp.)

atau rerumputan pakan ternak dan

penahan erosi.

Jenis-jenis tanaman lokal yang cepat

tumbuh dan dapat menjadi sumber

penghidupan bagi masyarakat sekitar

hutan perlu ditanam. Meskipun

pertumbuhannya lambat, jenis-jenis

pohon hutan perlu ditanam untuk

menahan erosi dan menyimpan serta

mel indungi sumber a i r mela lu i

perakarannya yang kuat. Jenis-jenis

pohon yang telah diuji coba pada lahan

terdampak erupsi gunung Merapi antara

lain : puspa (Schima wallichii), damar

(Agathis damara) dan pulai (Alstonia

scholaris), suren (Toona sureni).

Dengan jenis yang tepat dan pola tanam

yang sesuai kondisi pasca erupsi, maka

laju revegetasi akan cepat. Hal-hal yang

perlu diperhatikan dalam melakukan

restorasi ekosistem Gunung Merapi

pasca erupsi diuraikan sebagai berikut.

1. Sifat Biofisik Tanah ErupsiUntuk memilih jenis-jenis yang

mampu hidup di dataran tinggi pasca

erupsi dengan tujuan konservasi perlu

diketahui terlebih dahulu kondisi

biofisik di area tersebut. Beberapa

jenis vegetasi lokal mampu bertahan

hidup atau bertunas kembali setelah

terkena dampak erupsi. Hasil

pengamatan menunjukkan bahwa

tanah hutan di sekitar Gunung Merapi

cenderung memiliki kadar fosfor yang

lebih tinggi dibandingkan tanah hutan

yang mengalami dampak erupsi.

Kemasaman tanah hutan memiliki

kisaran yang sempit, sekitar 4-5.

Sedangkan tanah dari hutan terkena

erupsi cenderung sedikit lebih asam.

Selain itu, tanah hutan memiliki nilai

KTK yang lebih tinggi dari pada tanah

(termasuk abu dan pasir) dari hutan

yang terkena erupsi. Kandungan

bahan organik dalam tanah (C dan N)

pun relatif rendah, dengan nilai

jumlah basa (unsur hara makro)

berkisar antara 0.44-4.22 me/100 g.

K o n d i s i d e m i k i a n a k a n

mempengaruhi keberadaan mikroba

tanah. Hal ini terbukti bahwa

populasi mikroba (bakteri) tanah

hutan lebih tinggi dari pada di hutan

yang terkena dampak. Adapun

populasi fungi di tanah Merapi sangat

rendah, bahkan nol pada lapisan abu

dan pasir.

2. Pengadaan Bibit Ketersediaan bibit yang cukup baik

dalam jumlah maupun mutunya

merupakan salah satu faktor

keberhasilan penanaman restorasi.

Bibit dapat diperoleh dengan cara

membuat persemaian sendiri atau

membeli bibit siap tanam dari

p e n a n g k a r b i b i t . U n t u k

memberdayakan masyarakat sekitar

Gunung Merapi, pengadaan bibit

sebaiknya melibatkan masyarakat.

Pelibatan masyarakat dapat meliputi

pengadaan benih, pembuatan dan

pemeliharaan bibit di persemaian dan

penanaman di lapangan. Lokasi

persemaian sebaiknya tidak terlalu

jauh dari lokasi penanaman.

Bibit dapat diproduksi melalui

perbanyakan generatif (benih atau

cabutan/anakan) maupun vegetatif

(stek dan cangkok). Bibit yang akan

ditanam selain memenuhi kriteria

pemilihan bibit, juga harus sehat dan

dapat beradaptasi dengan kondisi

pasca erupsi terutama pada suhu

tanah yang masih relatif tinggi dan

k e l e m b a b a n y a n g r e n d a h .

Penggunaan mikroba seperti mikoriza

atau rhizobium dapat dilakukan di

persemaian supaya bibit lebih tahan

terhadap kekeringan dan serangan

penyakit serta dapat menyerap unsur

hara lebih banyak. Pada areal

penanaman yang timbunan pasirnya

masih tinggi, ukuran bibit dipilih

antara 50 cm – 100 cm untuk

mencegah bibit mati karena

tertimbun pasir.

3. Penyiapan LahanPenyiapan lahan lebih baik dilakukan

secara manual agar dapat melibatkan

masyarakat sekitar lebih banyak.

Untuk areal dengan lereng curam

dibuat terasering, memanjang

mengikuti arah kontur. Lubang

tanam dibuat pada teras dengan jarak

antar tanaman 4m x 4m dan tiap

lubang tanam diberi tanda/ajir.

Pembersihan lahan dilakukan secara

cemplongan yaitu lahan dibersihkan

pada radius 1 m sekitar lubang

tanam. Rumput dan semak pada

jalur tanaman dan antar jalur

tanaman dibiarkan tumbuh sebagai

penutup lahan untuk mencegah

terjadinya erosi dan menjaga

kelembaban tanah. Apabila pada jalur

tanam ataupun antar jalur tanam

tidak terdapat vegetasi, sebelum

dilakukan penanaman dengan jenis

tanaman berkayu, areal tersebut

terlebih dahulu dapat ditanami

dengan tanaman penutup (cover

crop).

Jenis cover crop dipilih yang tidak

menyaingi tanaman pokok dan tidak

bersifat invasif. Lubang tanam dibuat

dengan ukuran 30cmx30cmx30cm,

dimulai dari lapisan permukaan tanah

(tidak termasuk lapisan pasir).

Untuk menambah unsur hara dan

memperbaiki sifat fisik tanah setiap

lubang tanam diisi pupuk organik

(kompos atau pupuk kandang)

kurang lebih 1/3 volume lubang

tanam.

4. PenanamanLahan pasca erupsi umumnya dilapisi

pasir dan debu vulkanik yang menjadi

panas apabila terkena sinar matahari,

sehingga tanaman yang tidak tahan

panas akan layu bahkan mati

kekeringan. Oleh karena itu

penanaman dilakukan dengan cara

potting yaitu bibit ditanam bersama

dengan polybagnya untuk menjaga

kelembaban dan kekurangan hara

selama masa adaptasi dengan

kondisi pasca letusan. Untuk

memudahkan akar menembus ke

dalam tanah bagian bawah polybag

disobek.

Bibit diletakkan pada lubang tanam

yang telah diberi pupuk organik.

Untuk mencegah kekeringan dan

menjaga kelembaban tanah, tiap

lubang tanam diberi aquasorb atau

aquakeeper (sejenis jelly berfungsi

sebagai penahan a i r -ca i ran,

menye rap , meny impan dan

m e l e p a s k a n a i r ) . D e n g a n

menggunakan aquakeeper air akan

tersimpan di sekeliling akar sehingga

penyerapan air oleh akar tanaman

menjadi optimal. Produk ini biasanya

tersedia di toko-toko yang menjual

bahan-bahan pertanian,

Aquakeeper dapat diaplikasikan

dalam bentuk kering (berupa kristal)

atau bentuk basah berupa jelly

(direndam dalam air). Untuk aplikasi

kering, aquakeeper langsung

digunakan tanpa direndam lebih

dahulu. Bibit ditanam pada lubang

yang telah ditaburi

aquakeeper

aquakeeper)

Akar tanaman

ditempatkan di dasar lubang,

selanjutnya lubang diisi dengan

campuran media tadi kemudian

ditutup dengan tanah setebal 5 cm.

Aplikasi basah dilakukan dengan

me r e nd am t e r l e b i h d a hu l u

aquakeeper dalam air sebanyak 100-

200 kali berat aquakeeper, biarkan

selama 1 jam sampai jenuh.

Taburkan larutan ke dalam lubang

tanam sebanyak

Kemudian ditutup

3–5 gr

kering (akar bibit

diusahakan menyentuh ,

lalu ditutup dengan tanah tipis

( s e k i t a r 1 c m ) s e b e l u m

menambahkan pupuk, kemudian

ditimbun dengan tanah secukupnya

dan disiram sampai seluruh media

tanah (sampai di bagian dasar

lubang) cukup basah.

Aplikasi secara kering dapat juga

dilakukan dengan mencampur

langsung aquakeeper dengan tanah

atau media lain.

0.6 – 1 kg larutan/

lubang tanam.

32 33RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

cenderung memiliki kadar fosfor yang

lebih tinggi dibandingkan tanah hutan

yang mengalami dampak erupsi.

Kemasaman tanah hutan memiliki

kisaran yang sempit, sekitar 4-5.

Sedangkan tanah dari hutan terkena

erupsi cenderung sedikit lebih asam.

Selain itu, tanah hutan memiliki nilai

KTK yang lebih tinggi dari pada tanah

(termasuk abu dan pasir) dari hutan

yang terkena erupsi. Kandungan

bahan organik dalam tanah (C dan N)

pun relatif rendah, dengan nilai

jumlah basa (unsur hara makro)

berkisar antara 0.44-4.22 me/100 g.

K o n d i s i d e m i k i a n a k a n

mempengaruhi keberadaan mikroba

tanah. Hal ini terbukti bahwa

populasi mikroba (bakteri) tanah

hutan lebih tinggi dari pada di hutan

yang terkena dampak. Adapun

populasi fungi di tanah Merapi sangat

rendah, bahkan nol pada lapisan abu

dan pasir.

2. Pengadaan Bibit Ketersediaan bibit yang cukup baik

dalam jumlah maupun mutunya

merupakan salah satu faktor

keberhasilan penanaman restorasi.

Bibit dapat diperoleh dengan cara

membuat persemaian sendiri atau

membeli bibit siap tanam dari

p e n a n g k a r b i b i t . U n t u k

memberdayakan masyarakat sekitar

Gunung Merapi, pengadaan bibit

sebaiknya melibatkan masyarakat.

Pelibatan masyarakat dapat meliputi

pengadaan benih, pembuatan dan

pemeliharaan bibit di persemaian dan

penanaman di lapangan. Lokasi

persemaian sebaiknya tidak terlalu

jauh dari lokasi penanaman.

Bibit dapat diproduksi melalui

perbanyakan generatif (benih atau

cabutan/anakan) maupun vegetatif

(stek dan cangkok). Bibit yang akan

ditanam selain memenuhi kriteria

pemilihan bibit, juga harus sehat dan

dapat beradaptasi dengan kondisi

pasca erupsi terutama pada suhu

tanah yang masih relatif tinggi dan

k e l e m b a b a n y a n g r e n d a h .

Penggunaan mikroba seperti mikoriza

atau rhizobium dapat dilakukan di

persemaian supaya bibit lebih tahan

terhadap kekeringan dan serangan

penyakit serta dapat menyerap unsur

hara lebih banyak. Pada areal

penanaman yang timbunan pasirnya

masih tinggi, ukuran bibit dipilih

antara 50 cm – 100 cm untuk

mencegah bibit mati karena

tertimbun pasir.

3. Penyiapan LahanPenyiapan lahan lebih baik dilakukan

secara manual agar dapat melibatkan

masyarakat sekitar lebih banyak.

Untuk areal dengan lereng curam

dibuat terasering, memanjang

mengikuti arah kontur. Lubang

tanam dibuat pada teras dengan jarak

antar tanaman 4m x 4m dan tiap

lubang tanam diberi tanda/ajir.

Pembersihan lahan dilakukan secara

cemplongan yaitu lahan dibersihkan

pada radius 1 m sekitar lubang

tanam. Rumput dan semak pada

jalur tanaman dan antar jalur

tanaman dibiarkan tumbuh sebagai

penutup lahan untuk mencegah

terjadinya erosi dan menjaga

kelembaban tanah. Apabila pada jalur

tanam ataupun antar jalur tanam

tidak terdapat vegetasi, sebelum

dilakukan penanaman dengan jenis

tanaman berkayu, areal tersebut

terlebih dahulu dapat ditanami

dengan tanaman penutup (cover

crop).

Jenis cover crop dipilih yang tidak

menyaingi tanaman pokok dan tidak

bersifat invasif. Lubang tanam dibuat

dengan ukuran 30cmx30cmx30cm,

dimulai dari lapisan permukaan tanah

(tidak termasuk lapisan pasir).

Untuk menambah unsur hara dan

memperbaiki sifat fisik tanah setiap

lubang tanam diisi pupuk organik

(kompos atau pupuk kandang)

kurang lebih 1/3 volume lubang

tanam.

4. PenanamanLahan pasca erupsi umumnya dilapisi

pasir dan debu vulkanik yang menjadi

panas apabila terkena sinar matahari,

sehingga tanaman yang tidak tahan

panas akan layu bahkan mati

kekeringan. Oleh karena itu

penanaman dilakukan dengan cara

potting yaitu bibit ditanam bersama

dengan polybagnya untuk menjaga

kelembaban dan kekurangan hara

selama masa adaptasi dengan

kondisi pasca letusan. Untuk

memudahkan akar menembus ke

dalam tanah bagian bawah polybag

disobek.

Bibit diletakkan pada lubang tanam

yang telah diberi pupuk organik.

Untuk mencegah kekeringan dan

menjaga kelembaban tanah, tiap

lubang tanam diberi aquasorb atau

aquakeeper (sejenis jelly berfungsi

sebagai penahan a i r -ca i ran,

menye rap , meny impan dan

m e l e p a s k a n a i r ) . D e n g a n

menggunakan aquakeeper air akan

tersimpan di sekeliling akar sehingga

penyerapan air oleh akar tanaman

menjadi optimal. Produk ini biasanya

tersedia di toko-toko yang menjual

bahan-bahan pertanian,

Aquakeeper dapat diaplikasikan

dalam bentuk kering (berupa kristal)

atau bentuk basah berupa jelly

(direndam dalam air). Untuk aplikasi

kering, aquakeeper langsung

digunakan tanpa direndam lebih

dahulu. Bibit ditanam pada lubang

yang telah ditaburi

aquakeeper

aquakeeper)

Akar tanaman

ditempatkan di dasar lubang,

selanjutnya lubang diisi dengan

campuran media tadi kemudian

ditutup dengan tanah setebal 5 cm.

Aplikasi basah dilakukan dengan

me r e nd am t e r l e b i h d a hu l u

aquakeeper dalam air sebanyak 100-

200 kali berat aquakeeper, biarkan

selama 1 jam sampai jenuh.

Taburkan larutan ke dalam lubang

tanam sebanyak

Kemudian ditutup

3–5 gr

kering (akar bibit

diusahakan menyentuh ,

lalu ditutup dengan tanah tipis

( s e k i t a r 1 c m ) s e b e l u m

menambahkan pupuk, kemudian

ditimbun dengan tanah secukupnya

dan disiram sampai seluruh media

tanah (sampai di bagian dasar

lubang) cukup basah.

Aplikasi secara kering dapat juga

dilakukan dengan mencampur

langsung aquakeeper dengan tanah

atau media lain.

0.6 – 1 kg larutan/

lubang tanam.

32 33RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

dengan tanah untuk mencegah

aquakeeper terdegradasi oleh sinar

ultraviolet dan kubangan air di

permukaan.

5. Pemeliharaan tanamanPemeliharaan tanaman meliputi

penyulaman tanaman yang mati,

penyiangan, pendangiran dan

pemupukan. Penyulaman tanaman

d i l a kukan 1 bu l an se t e l ah

p e n a n a m a n . P e m e l i h a r a a n ,

penyiangan dilakukan pada umur 3,

6, dan 12 bulan setelah penanaman.

Apabila setelah satu tahun tanaman

terlihat kerdil maka dilakukan

pemupukan. Pupuk yang digunakan

diusahakan pupuk organik berupa

pupuk kandang dan kompos yang

banyak dihasilkan oleh peternak

setempat.

Persentase tumbuh tanaman di

demplot restorasi pasca eruspi pada

umur tanam 8 (delapan) bulan antara

lain Agathis (88,5%), Puspa

(83,3%), Suren (37.5%) dan Pulai

(77.8%). Pada umur 13 bulan persen

tumbuhnya menurun sedikit menjadi

Agathis (84,4%), Puspa (76,7%),

Suren (17,9%) dan Pulai (77 %).

F. Zonasi Restorasi

Karena tingkat kerusakan vegetasi yang

bervariasi maka untuk efisiensi kegiatan

restorasi perlu dibuat zonasi. Zonasi

restorasi dibuat berdasarkan tingkat

kerusakan vegetasi untuk menentukan

tingkat intensitas campur tangan

manusia dalam melakukan restorasi.

Dengan demikian kegiatan restorasi

menjadi efisien. Pembuatan zonasi

restorasi dibuat secara spasial

berdasarkan penafsiran citra satelit

pasca erupsi Gunung Merapi.

Hasil interpretasi citra ASTER tahun

2009 (sebelum erupsi) dan Landsat

2010 (pasca erupsi) yang kemudian

diklasifikasikan menjadi empat kelas

kerusakan (degradasi) vegetasi disajikan

pada Tabel 9 dan Gambar 18. Dari Tabel

9 tampak bahwa areal bervegetasi hutan

yang relatif tidak rusak oleh erupsi hanya

23,19% dari luas Taman Nasional

Gunung Merapi (TNGM). Sementara

sebagian besar kawasan TNGM

mengalami degradasi vegetasi dengan

berbagai intensitas.

Tabel 9. Luas areal TNGM yang terdampak erupsi Gunung Merapi.

Kelas Kerusakan Vegetation Luas (Ha)

Rusak Berat (Heavily degraded) 766,67 12,48

Rusak Sedang (Moderately degraded) 2.207,61 35,93

Rusak Ringan (Slightly degraded) 1.745,54 28,41

Tidak Terkena Erupsi (Intact) 1.425,22 23,19

Jumlah (Total) 6.145,05 100,00

Gam

bar

18.

Kla

sifikasi

tin

gkat

keru

sakan v

egeta

si h

uta

n d

i Tam

an N

asi

onal G

unung M

era

pi pasc

a e

rupsi

sebagai dasa

r zo

nasi

rest

ora

si.

34RESTORASI EKOSISTEM

Gunung Merapi Pasca Erupsi

Proporsi (%)

dengan tanah untuk mencegah

aquakeeper terdegradasi oleh sinar

ultraviolet dan kubangan air di

permukaan.

5. Pemeliharaan tanamanPemeliharaan tanaman meliputi

penyulaman tanaman yang mati,

penyiangan, pendangiran dan

pemupukan. Penyulaman tanaman

d i l a kukan 1 bu l an se t e l ah

p e n a n a m a n . P e m e l i h a r a a n ,

penyiangan dilakukan pada umur 3,

6, dan 12 bulan setelah penanaman.

Apabila setelah satu tahun tanaman

terlihat kerdil maka dilakukan

pemupukan. Pupuk yang digunakan

diusahakan pupuk organik berupa

pupuk kandang dan kompos yang

banyak dihasilkan oleh peternak

setempat.

Persentase tumbuh tanaman di

demplot restorasi pasca eruspi pada

umur tanam 8 (delapan) bulan antara

lain Agathis (88,5%), Puspa

(83,3%), Suren (37.5%) dan Pulai

(77.8%). Pada umur 13 bulan persen

tumbuhnya menurun sedikit menjadi

Agathis (84,4%), Puspa (76,7%),

Suren (17,9%) dan Pulai (77 %).

F. Zonasi Restorasi

Karena tingkat kerusakan vegetasi yang

bervariasi maka untuk efisiensi kegiatan

restorasi perlu dibuat zonasi. Zonasi

restorasi dibuat berdasarkan tingkat

kerusakan vegetasi untuk menentukan

tingkat intensitas campur tangan

manusia dalam melakukan restorasi.

Dengan demikian kegiatan restorasi

menjadi efisien. Pembuatan zonasi

restorasi dibuat secara spasial

berdasarkan penafsiran citra satelit

pasca erupsi Gunung Merapi.

Hasil interpretasi citra ASTER tahun

2009 (sebelum erupsi) dan Landsat

2010 (pasca erupsi) yang kemudian

diklasifikasikan menjadi empat kelas

kerusakan (degradasi) vegetasi disajikan

pada Tabel 9 dan Gambar 18. Dari Tabel

9 tampak bahwa areal bervegetasi hutan

yang relatif tidak rusak oleh erupsi hanya

23,19% dari luas Taman Nasional

Gunung Merapi (TNGM). Sementara

sebagian besar kawasan TNGM

mengalami degradasi vegetasi dengan

berbagai intensitas.

Tabel 9. Luas areal TNGM yang terdampak erupsi Gunung Merapi.

Kelas Kerusakan Vegetation Luas (Ha)

Rusak Berat (Heavily degraded) 766,67 12,48

Rusak Sedang (Moderately degraded) 2.207,61 35,93

Rusak Ringan (Slightly degraded) 1.745,54 28,41

Tidak Terkena Erupsi (Intact) 1.425,22 23,19

Jumlah (Total) 6.145,05 100,00

Gam

bar

18.

Kla

sifikasi

tin

gkat

keru

sakan v

egeta

si h

uta

n d

i Tam

an N

asi

onal G

unung M

era

pi pasc

a e

rupsi

sebagai dasa

r zo

nasi

rest

ora

si.

34RESTORASI EKOSISTEM

Gunung Merapi Pasca Erupsi

Proporsi (%)

Ekosistem hutan yang terdegradasi di

TNGM akibat erupsi Gunung Merapi

perlu direstorasi agar fungsi-fungsinya

dapat segera kembali, seperti fungsi

sebagai habitat satwa dan fungsi

sebagai pelindung sistem hidrologi.

Pengelompokan kelas-kelas kerusakan

merupakan upaya untuk menentukan

tingkat intensitas campur tangan

manusia yang diperlukan dalam

merestorasi kawasan tersebut. Hal ini

karena pada hakekatnya alam dapat

memulihkan dirinya sendiri pasca

gangguan melalui proses suksesi alami,

sehingga campur tangan manusia

semata-mata hanya membantu

mempercepat proses pemulihan,

mengendalikan jenis-jenis invasif dan

mengamankan kawasan agar tidak

dirambah.

Berdasarkan pengamatan langsung di

lapangan dan hasil analisis yang

disajikan pada Tabel 9 serta analisis

spasial citra satelit, maka terhadap

areal-areal yang mengalami degradasi

akibat erupsi dapat dilakukan intervensi

manusia dalam rangka restorasi sebagai

berikut:

(1) Pada areal terdegradasi berat,

diperlukan campur tangan manusia

secara penuh untuk merestorasi

vegetasi melalui penanaman pohon-

pohon asli Gunung Merapi.

(2) Pada areal terdegradasi sedang,

tampaknya pemulihan secara alami

masih dapat terjadi karena masih

tersedia pohon-pohon induk sumber

benih dan beberapa permudaan

(tiang, pancang dan anakan), tetapi

untuk mempercepat proses

pemulihan maka campur tangan

manusia bisa dilakukan, misalnya

dalam bentuk pemel iharaan

permudaan dan menstimulasi

pertumbuhan anakan alam dengan

pembebasan ruang dari persaingan

dengan tumbuhan lain. Selain itu,

apabila jumlah anakan tidak

mencukupi untuk menjamin proses

regenerasi maka dapat dilakukan

penanaman pengayaan dengan jenis

asli.

(3) Pada areal terdegradasi ringan,

kondisi vegetasi dari tingkat pohon

sampai anakan relatif masih baik

sehingga pemulihan secara alami

oleh vegetasi yang ters isa

diperkirakan akan berjalan dengan

baik, sehingga campur tangan

manusia mungkin tidak diperlukan

atau kalaupun diperlukan sangat

kecil perananya.

Dari Tabel 9 dapat diketahui bahwa

setidaknya terdapat 766,67 hektar

kawasan hutan yang terdegradasi berat

sehingga memerlukan campur tangan

manusia untuk membantu proses

restorasi ekosistem hutan. Luasan ini

sekal igus dapat menjadi dasar

penghitungan kasar jumlah bibit yang

diperlukan. Dengan jarak tanam awal

2 m x 2 m, maka luasan tersebut

memerlukan bibit sejumlah 1.916.615

atau sekitar dua juta bibit. Meskipun

demikian, tidak semua areal dengan

kategori terdegradasi berat harus

ditanami kembali, karena sebagian areal

merupakan jalur aliran lahar panas

berupa cadas dan bebatuan yang tidak

mungkin ditanami. Jalur aliran lahar

panas percuma ditanami karena akan

dilanda lahar panas bila terjadi erupsi

lagi. Areal terdegradasi sedang juga

memerlukan bibit untuk pengayaan, jika

diperlukan.

36

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

37

Konsekuensi lain dari kegiatan restorasi

adalah perlunya pelibatan masyarakat

sejak perencanaan, pelaksanaan hingga

pemeliharaan dan pengamanan. Pasca

erupsi Gunung Merapi, Balai Taman

Nasional Gunung Merapi menetapkan

kebijakan untuk merestorasi kawasan

hutan yang terdegradasi akibat erupsi.

Untuk mengetahui persepsi masyarakat

terhadap kegiatan restorasi dan

menyerap aspirasi mereka maka perlu

dilakukan survai wawancara dengan

masyarakat di sekitar TNGM.

Pasca erupsi, muncul pendapat berbagai

pihak bahwa areal rusak akibat erupsi

yang dihuni oleh masyarakat sebaiknya

dibebaskan atau masyarakatnya

direlokasi ke tempat lain yang lebih

aman. Pendapat tersebut telah dicoba

ditawarkan kepada 226 responden dari

tujuh resor di TNGM. Hasilnya hanya

35% yang bersedia direlokasi.

Sementara sebagian besar (65%)

menyatakan tidak bersedia direlokasi

F. Pelibatan Masyarakat

Gambar 19. Kesediaan masyarakat

terkena dampak erupsi untuk direlokasi.

Sehubungan dengan lahan-lahan

garapan dan kawasan yang menjadi

tempat beraktifitas masyarakat, ada

wacana untuk dihutankan dan

dibebasakan dari aktifitas manusia, 32%

responden menyatakan tidak setuju,

sedangkan 46% menyatakan setuju

dengan persyaratan ada kompensasi

atas kehilangan kesempatan mata

pencaha r i an . Sementa ra 22%

responden setuju tanpa syarat.

Perihal rencana restorasi ekosistem

Gunung Merapi yang terdegradasi akibat

erupsi, sebagian besar (94%) responden

menyatakan setuju dan tidak ada yang

menolak rencana tersebut. Restorasi

yang dimaksud juga diharapkan dapat

memulihkan vegetasi tanaman pertanian

atau tanaman pangan yang rusak

ak ibata e rups i . S isanya (6%)

menyerahkan kepada pemerintah untuk

menangani Gunung Merapi pasca erupsi.

Gambar 20.Persepsi masyarakat tentang sterilisasi

areal terkena dampak dari aktifitas manusia.

Gambar 21.Persepsi masyarakat tentang rencana restorasi areal terkena dampak erupsi.

38 39

Hampir separuh respondon (44%)

sudah berpartisipasi dalam kegiatan-

kegiatan TNGM, sedangkan 56%

merasa belum dilibatkan. Sejak TNGM

ditetapkan, pelibatan masyarakat sudah

dilaksanakan oleh pengelola, antara lain

dalam hal sosialisasi kegiatan,

pelatihan, penyuluhan, pemberdayaan,

dan kegiatan-kegiatan lainnya.

Gambar 22.Keterlibatan masyarakat dalam berbagai

kegiatan di TNGM.

Dalam pengelolaan TNGM ke depan,

masyarakat menginginkan pola

kolaborasi antara pengelola TNGM

dengan masyarakat sekitarnya. Pada

umumnya masyarakat menyadari

pentingnya pelestarian dan pengamanan

ekosistem Gunung Merapi, namun

j a n g a n s a m p a i m e n g a b a i k a n

kesejahteraan masyarakat sekitar,

khususnya melalui pemanfaatan

tradisional hasil hutan bukan kayu yang

telah dilaksanakan secara turun

temurun, yaitu pakan ternak dan kayu

bakar. Dalam rangka peningkatan

kesejahteraan, masyarakat juga

berharap adanya pengembangan

ekowisata yang lebih luas yang

melibatkan banyak masyarakat.

Gambar 23.Pendapat masyarakat tentang pengelolaan Gunung Merapi ke depan.

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Herbarium secara umum memiliki dua

pengertian, yaitu “herbarium” sebagai

instansi atau bangunan yang menyimpan

koleksi spesimen herbarium, dan

“herbarium” sebagai koleksi spesimen

tumbuh-tumbuhan kering yang disusun

berdasarkan cara klasifikasi tertentu

atau secara sistimatik/alfabetik.

Herbarium sebagai koleksi spesimen

tumbuhan kering merupakan barang

bukti atau dokumen ilmiah yang dapat

menggambarkan bahwa jenis-jenis

tumbuhan terkoleksi terdapat di suatu

kawasan. Selain itu spesimen herbarium

juga sebagai bahan acuan dalam

identifikasi, determinasi, dan validasi

untuk mendapatkan ketepatan nama

botani. Data-data yang tercantum dalam

label atau katalog dapat sebagai sumber

informasi ilmu pengetahuan maupun

penelitian.

Pada bidang kehutanan, pengetahuan

tentang flora pohon hutan sangatlah

TEKNIK KOLEKSI HERBARIUM

penting diketahui. Dalam pengelolaan

hutan, salah satu kegiatan yang biasa

dilakukan adalah inventarisasi flora

pohon. Pada kegiatan ini diperlukan bukti

berupa data lapangan dan jenis pohon

yang dirisalah (berupa material

herbarium). Dengan material herbarium

akan dilakukan identifikasi yang

selanjutnya diperoleh ketepatan nama

botaninya.

Pengumpulan atau pengkoleksian

material herbarium pada umumnya

jarang dilakukan, sehingga pada

kegiatan pengelolaan hutan maupun

penelitian sering tidak disertai barang

bukti material herbarium. Padahal untuk

mendapatkan nama botani, tidak dapat

hanya berdasarkan pada nama

lokal/nama daerah. Oleh karena itu

dipandang perlu untuk menyajikan

uraian tentang teknik pengkoleksian

herbarium pohon hutan sebagai bahan

identifikasi secara ringkas.

1. Bahan dan Peralatan

Label gantung berukuran 5x3 cm,

terbuat dari kertas manila putih yang

mudah ditulisi dengan pensil.

Kantong plastik transparan tebal

berukuran 60x80 cm, 40x60 cm,

20x40 cm dan 10x20 cm.

Karung plastik, untuk membawa

material.

Tali rafia atau tali pengikat.

A.Pengambilan Material Herbarium

Alat tulis antara lain pensil 2B,

penghapus , sp i do l , buku

lapangan/buku catatan/blangko

isian.

Ga l ah d engan p emo tong

d i u j u n g n y a , p a n j a n g n y a

disesuaikan dengan ketinggian

material yang akan diambil (+ 5

m) . Untuk mempermudah

membawanya, galah dibuat

38 39

Hampir separuh respondon (44%)

sudah berpartisipasi dalam kegiatan-

kegiatan TNGM, sedangkan 56%

merasa belum dilibatkan. Sejak TNGM

ditetapkan, pelibatan masyarakat sudah

dilaksanakan oleh pengelola, antara lain

dalam hal sosialisasi kegiatan,

pelatihan, penyuluhan, pemberdayaan,

dan kegiatan-kegiatan lainnya.

Gambar 22.Keterlibatan masyarakat dalam berbagai

kegiatan di TNGM.

Dalam pengelolaan TNGM ke depan,

masyarakat menginginkan pola

kolaborasi antara pengelola TNGM

dengan masyarakat sekitarnya. Pada

umumnya masyarakat menyadari

pentingnya pelestarian dan pengamanan

ekosistem Gunung Merapi, namun

j a n g a n s a m p a i m e n g a b a i k a n

kesejahteraan masyarakat sekitar,

khususnya melalui pemanfaatan

tradisional hasil hutan bukan kayu yang

telah dilaksanakan secara turun

temurun, yaitu pakan ternak dan kayu

bakar. Dalam rangka peningkatan

kesejahteraan, masyarakat juga

berharap adanya pengembangan

ekowisata yang lebih luas yang

melibatkan banyak masyarakat.

Gambar 23.Pendapat masyarakat tentang pengelolaan Gunung Merapi ke depan.

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Herbarium secara umum memiliki dua

pengertian, yaitu “herbarium” sebagai

instansi atau bangunan yang menyimpan

koleksi spesimen herbarium, dan

“herbarium” sebagai koleksi spesimen

tumbuh-tumbuhan kering yang disusun

berdasarkan cara klasifikasi tertentu

atau secara sistimatik/alfabetik.

Herbarium sebagai koleksi spesimen

tumbuhan kering merupakan barang

bukti atau dokumen ilmiah yang dapat

menggambarkan bahwa jenis-jenis

tumbuhan terkoleksi terdapat di suatu

kawasan. Selain itu spesimen herbarium

juga sebagai bahan acuan dalam

identifikasi, determinasi, dan validasi

untuk mendapatkan ketepatan nama

botani. Data-data yang tercantum dalam

label atau katalog dapat sebagai sumber

informasi ilmu pengetahuan maupun

penelitian.

Pada bidang kehutanan, pengetahuan

tentang flora pohon hutan sangatlah

TEKNIK KOLEKSI HERBARIUM

penting diketahui. Dalam pengelolaan

hutan, salah satu kegiatan yang biasa

dilakukan adalah inventarisasi flora

pohon. Pada kegiatan ini diperlukan bukti

berupa data lapangan dan jenis pohon

yang dirisalah (berupa material

herbarium). Dengan material herbarium

akan dilakukan identifikasi yang

selanjutnya diperoleh ketepatan nama

botaninya.

Pengumpulan atau pengkoleksian

material herbarium pada umumnya

jarang dilakukan, sehingga pada

kegiatan pengelolaan hutan maupun

penelitian sering tidak disertai barang

bukti material herbarium. Padahal untuk

mendapatkan nama botani, tidak dapat

hanya berdasarkan pada nama

lokal/nama daerah. Oleh karena itu

dipandang perlu untuk menyajikan

uraian tentang teknik pengkoleksian

herbarium pohon hutan sebagai bahan

identifikasi secara ringkas.

1. Bahan dan Peralatan

Label gantung berukuran 5x3 cm,

terbuat dari kertas manila putih yang

mudah ditulisi dengan pensil.

Kantong plastik transparan tebal

berukuran 60x80 cm, 40x60 cm,

20x40 cm dan 10x20 cm.

Karung plastik, untuk membawa

material.

Tali rafia atau tali pengikat.

A.Pengambilan Material Herbarium

Alat tulis antara lain pensil 2B,

penghapus , sp i do l , buku

lapangan/buku catatan/blangko

isian.

Ga l ah d engan p emo tong

d i u j u n g n y a , p a n j a n g n y a

disesuaikan dengan ketinggian

material yang akan diambil (+ 5

m) . Untuk mempermudah

membawanya, galah dibuat

40 41

bersambung.

Parang, gunting ranting, pisau.

Ketapel dan tali senar untuk

membantu mengambil material

herbarium untuk jenis pohon

beranting dan berdaun relatif

kecil.

Sarung tangan, untuk melindungi

tangan dari duri atau getah.

Alat pelengkap, teropong, lensa

pembesar (hand lens), altimeter,

kompas, pita ukur, peta lokasi, dll.

2. Teknik pengambilan

Pemilihan material yang akan

diambil tergantung dari tujuannya.

Untuk koleksi spesimen herbarium

sebagai dokumen ilmiah atau

kepentingan taksonomi, diambil

seranting daun yang lengkap

(“herbarium fertil”) terdiri dari:

ranting, kuncup daun, daun,

bunga dan buah. Jumlah

pengambilan usahakan sebanyak

5 ranting, untuk duplikat.

Material herbarium sebagai

spesimen bukti atau contoh

pohon/tumbuhan (misalnya pada

kegiatan inventarisasi, ekologi,

dsb.) dapat diambil material

seranting daun tanpa bunga atau

buah yang disebut “herbarium

steril”.

Sebelum mengambil, pastikan

dulu ranting mana yang dipilih.

Untuk lebih jelas, pergunakan

teropong.

Pengambilan material pada pohon

yang tidak terlalu tinggi, dapat

dilakukan dengan menggunakan

galah.

Untuk pohon besar dan tinggi atau

pohon tinggi, pengambilan

material herbarium dilakukan

dengan cara memanjat pohon

bersangkutan atau memanjat

pohon disebelahnya. Dapat pula

menggunakan ketapel dan tali

senar dengan melempar ke arah

ranting kemudian tarik sampai

patah.

Di Sumatra ( Sumatra Barat, Riau,

Jambi, Bengkulu) pengambilan

mater ia l he rbar ium dapat

dilakukan dengan bantuan beruk

(Macaca nemestrina).

Akan l e b i h mudah l a g i ,

dilaksanakan bersamaan dengan

kegiatan penebangan (Logging).

Potong seranting daun lengkap

(fertil atau steril), dengan panjang

kurang lebih 40 cm.

Untuk jenis pohon berdaun besar,

potong ranting dengan 3-4 helai

daun.

Potongan ranting diberi label

gantung, tulis menggunakan

pensil (tulisan menggunakan

pensil jika terkena alkohol atau

spirtus tidak akan luntur): nama

kolektor (bisa disingkat, tapi jika

untuk dikirim ke herbarium yang

b e s a r m i s a l : H e r b a r i u m

Bogoriense usahakan tidak

disingkat), nomor koleksi, tanggal

pengambilan, nama daerah/nama

lokal. Material dengan bunga atau

buahnya terlepas, pada label

diberi keterangan berbunga/

berbuah.

Bunga dan buah yang terlepas dari

rantingnya diberi label gantung

(keterangan pada label sama

dengan rantingnya), masukkan

dalam kantong plastik sesuai

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

ukuran (diberi sedikit lubang)

kemudian ditutup dan diikat.

Material herbarium dengan nomor

koleksi sama dimasukkan dalam

satu kantong plastik tertutup, agar

tidak tercampur dengan nomor

koleksi lain.

Setiap pengambilan material

herbarium, dicatat pada buku

lapangan keterangan yang

penting-penting, antara lain: nama

kolektor, nomor koleksi, tanggal

pengambilan, nama daerah nama

lokal (sesuai dengan label

gantungnya), tinggi total pohon,

tinggi batang bebas cabang,

diameter batang, ciri-ciri batang,

kulit batang, warna getah, warna

daun muda, warna dan bau bunga

atau buah, dan ciri-ciri khas

lainnya. Lengkapi dengan data

tempat tumbuh seperti: lahan

kering/lahan basah, dataran

rendah/dataran tinggi, tinggi

tempat dari permukaan laut (dpl.).

Semua mater ia l terkoleksi

dimasukkan dalam karung plastik,

selanjutnya dibawa ke tempat

pemrosesan.

Material herbarium yang sudah

terkumpul langsung diproses

(diawetkan) dalam keadaan segar,

untuk menghindari kerontokan

daun /bunga /buah , he l a i an

daun/bunga yang menggulung dan

adanya pembusukan.

1. Bahan dan peralatan

Material herbarium

Alkohol 70% atau spirtus.

Kertas koran

Kantong plastik transparan

berukuran 60x40 cm.

Sasak bambu atau sasak kayu

berukuran 45x35 cm.

K a r t o n d a n a l u m u n i u m

bergelombang kecil

Tali rafia atau tali pengikat, karung

plastik/kardus

Gunting ranting/gunting daun

Tungku

Alat tulis dan hekter.

2. Pemrosesan di lapangan

Pemrosesan material herbarium di

lapangan atau di lokasi pengumpulan

dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:

B.Teknik Pemrosesan

a. Pemrosesan basah

Pemrosesan basah merupakan

pemrosesan material herbarium

dengan menggunakan alkohol atau

spirtus. Keuntungannya pengerjaan

praktis karena pengeringan dapat

dilakukan beberapa hari hingga

beberapa minggu. Sedangkan

kerugiannya dari segi biaya lebih

mahal karena menggunakan alkohol

atau spirtus. Mengenai tahapan

kerjanya ialah:

Lipat setengah lembar halaman

koran menjadi 2.

Buka lipatan koran tersebut untuk

meletakkan seranting daun (1

material herbarium), disusun yang

r a p i d e n g a n h e l a i a n

daun/bunga/buah menghadap dua

muka (permukaan atas dan bawah

harus ditampilkan), diusahakan

40 41

bersambung.

Parang, gunting ranting, pisau.

Ketapel dan tali senar untuk

membantu mengambil material

herbarium untuk jenis pohon

beranting dan berdaun relatif

kecil.

Sarung tangan, untuk melindungi

tangan dari duri atau getah.

Alat pelengkap, teropong, lensa

pembesar (hand lens), altimeter,

kompas, pita ukur, peta lokasi, dll.

2. Teknik pengambilan

Pemilihan material yang akan

diambil tergantung dari tujuannya.

Untuk koleksi spesimen herbarium

sebagai dokumen ilmiah atau

kepentingan taksonomi, diambil

seranting daun yang lengkap

(“herbarium fertil”) terdiri dari:

ranting, kuncup daun, daun,

bunga dan buah. Jumlah

pengambilan usahakan sebanyak

5 ranting, untuk duplikat.

Material herbarium sebagai

spesimen bukti atau contoh

pohon/tumbuhan (misalnya pada

kegiatan inventarisasi, ekologi,

dsb.) dapat diambil material

seranting daun tanpa bunga atau

buah yang disebut “herbarium

steril”.

Sebelum mengambil, pastikan

dulu ranting mana yang dipilih.

Untuk lebih jelas, pergunakan

teropong.

Pengambilan material pada pohon

yang tidak terlalu tinggi, dapat

dilakukan dengan menggunakan

galah.

Untuk pohon besar dan tinggi atau

pohon tinggi, pengambilan

material herbarium dilakukan

dengan cara memanjat pohon

bersangkutan atau memanjat

pohon disebelahnya. Dapat pula

menggunakan ketapel dan tali

senar dengan melempar ke arah

ranting kemudian tarik sampai

patah.

Di Sumatra ( Sumatra Barat, Riau,

Jambi, Bengkulu) pengambilan

mater ia l he rbar ium dapat

dilakukan dengan bantuan beruk

(Macaca nemestrina).

Akan l e b i h mudah l a g i ,

dilaksanakan bersamaan dengan

kegiatan penebangan (Logging).

Potong seranting daun lengkap

(fertil atau steril), dengan panjang

kurang lebih 40 cm.

Untuk jenis pohon berdaun besar,

potong ranting dengan 3-4 helai

daun.

Potongan ranting diberi label

gantung, tulis menggunakan

pensil (tulisan menggunakan

pensil jika terkena alkohol atau

spirtus tidak akan luntur): nama

kolektor (bisa disingkat, tapi jika

untuk dikirim ke herbarium yang

b e s a r m i s a l : H e r b a r i u m

Bogoriense usahakan tidak

disingkat), nomor koleksi, tanggal

pengambilan, nama daerah/nama

lokal. Material dengan bunga atau

buahnya terlepas, pada label

diberi keterangan berbunga/

berbuah.

Bunga dan buah yang terlepas dari

rantingnya diberi label gantung

(keterangan pada label sama

dengan rantingnya), masukkan

dalam kantong plastik sesuai

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

ukuran (diberi sedikit lubang)

kemudian ditutup dan diikat.

Material herbarium dengan nomor

koleksi sama dimasukkan dalam

satu kantong plastik tertutup, agar

tidak tercampur dengan nomor

koleksi lain.

Setiap pengambilan material

herbarium, dicatat pada buku

lapangan keterangan yang

penting-penting, antara lain: nama

kolektor, nomor koleksi, tanggal

pengambilan, nama daerah nama

lokal (sesuai dengan label

gantungnya), tinggi total pohon,

tinggi batang bebas cabang,

diameter batang, ciri-ciri batang,

kulit batang, warna getah, warna

daun muda, warna dan bau bunga

atau buah, dan ciri-ciri khas

lainnya. Lengkapi dengan data

tempat tumbuh seperti: lahan

kering/lahan basah, dataran

rendah/dataran tinggi, tinggi

tempat dari permukaan laut (dpl.).

Semua mater ia l terkoleksi

dimasukkan dalam karung plastik,

selanjutnya dibawa ke tempat

pemrosesan.

Material herbarium yang sudah

terkumpul langsung diproses

(diawetkan) dalam keadaan segar,

untuk menghindari kerontokan

daun /bunga /buah , he l a i an

daun/bunga yang menggulung dan

adanya pembusukan.

1. Bahan dan peralatan

Material herbarium

Alkohol 70% atau spirtus.

Kertas koran

Kantong plastik transparan

berukuran 60x40 cm.

Sasak bambu atau sasak kayu

berukuran 45x35 cm.

K a r t o n d a n a l u m u n i u m

bergelombang kecil

Tali rafia atau tali pengikat, karung

plastik/kardus

Gunting ranting/gunting daun

Tungku

Alat tulis dan hekter.

2. Pemrosesan di lapangan

Pemrosesan material herbarium di

lapangan atau di lokasi pengumpulan

dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:

B.Teknik Pemrosesan

a. Pemrosesan basah

Pemrosesan basah merupakan

pemrosesan material herbarium

dengan menggunakan alkohol atau

spirtus. Keuntungannya pengerjaan

praktis karena pengeringan dapat

dilakukan beberapa hari hingga

beberapa minggu. Sedangkan

kerugiannya dari segi biaya lebih

mahal karena menggunakan alkohol

atau spirtus. Mengenai tahapan

kerjanya ialah:

Lipat setengah lembar halaman

koran menjadi 2.

Buka lipatan koran tersebut untuk

meletakkan seranting daun (1

material herbarium), disusun yang

r a p i d e n g a n h e l a i a n

daun/bunga/buah menghadap dua

muka (permukaan atas dan bawah

harus ditampilkan), diusahakan

42 43

tidak ada daun/bunga yang

tergulung atau terlipat.

Untuk helaian daun yang besar

dapat dilipat disesuaikan ukuran

koran, atau dipotong setengah

helaian daunnya pada salah satu

sisi ranting (tidak semua helaian

daun dipotong).

Sebelum memotong helaian daun,

ukur dahulu panjang dan lebarnya.

Buat sketsa bentuk daun atau

diambil gambarnya.

Bunga dan buah yang terlepas

masukkan dalam lipatan koran

tersendiri, diberi label gantung dan

ditumpuk dengan mater ia l

daunnya.

Setiap lipatan koran hanya berisi 1

spesimen lengkap dengan label

gantungnya.

Tumpuk lipatan-lipatan koran

tersebut hingga setinggi sekitar

30 cm, ikat rapi dan kuat.

Masukkan tumpukan material

herbarium dalam kantong plastik

dan siram dengan alkohol atau

spirtus sampai basah semua.

Tutup kantong plastik rapat-rapat

(dihekter atau diikat) agar

alkohol/spirtus tidak cepat

mengering.

Masukkan kantong-kantong plastik

berisi material herbarium ke dalam

karung plastik atau kardus, untuk

dibawa ke tempat herbarium/koleksi.

Gambar 24. Material herbarium berlebel dalam lipatan Koran.

Gambar 25. Tumpukan material herbarium dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disiram dengan alkohol/spirtus.

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

a. Pemrosesan kering :

Pemrosesan material herbarium

tanpa menggunakan alkohol atau

spirtus. Keuntungannya hemat biaya

dan material kering lebih ringan

membawanya, kerugiannya proses

pengeringan harus cepat dikerjakan.

Tahapan kerjanya sebagai berikut :

Tumpukan koran berisi material

herbarium setinggi 40 cm, dipres

dalam sasak bambu/kayu dan

diikat kuat.

Sasak diberi label (tulis dengan

pensil) nama kolektor dan tanggal

pengeringan.

Susunan pengepresan dengan

urutan: sasak, a lumunium

b e r g e l o m b a n g , k a r t o n

bergelombang, lipatan koran yang

berisi material herbarium, karton,

alumunium, material herbarium

dalam lipatan koran, karton,

alumunium, dan seterusnya.

Susun di atas rak dengan posisi

tegak lurus memanjang atau

vertikal, jangan ditumpuk.

Keringkan di atas tungku dengan

panas yang diatur, usahakan

panas merata keseluruh material.

Bolak-balik material dengan selang

waktu 1 sampai 2 jam.

Material yang sudah kering

pisahkan dan diambil.

Gambar 26.Tungku pengeringan yang terdiri dari : tempat bara, rak, dan atap.

( sumber : Bridson dan Forman, 1992).

a. Bahan dan Peralatan

Kertas koran

Sasak bambu atau sasak kayu

berukuran 45x35 cm

Alumunium bergelombang kecil

Karton bergelombang keci l

berukuran 45x35 cm

Tali pengikat

Label gantung, pensil.

b. Teknik Pemrosesan :

Maksud pemrosesan disini adalah

khusus untuk material herbarium

basah, meliputi pengepresan dan

pengeringan. Teknik pemrosesan dan

pengeringan mengacu Herbarium

Bogoriense (Djarwaningsih et al.,

1999).

3. Pemrosesan di tempat penyimpanan herbarium

Pengepresan :

Teknik pengepresan sama dengan

pemrosesan kering di lapangan

Material herbarium basah dari

lapangan dikeluarkan dari kantong

plastik.

Susun alat dan bahan pengepresan

dengan urutan:

(1) Sasak

(2) Alumunium bergelombang

(3) Karton bergelombang

(4) Lipatan kertas koran, buka

lembarannya

(5) Susun material herbarium

basah pada kertas koran

tersebut, dengan menampilkan

permukaan atas dan bawah

42 43

tidak ada daun/bunga yang

tergulung atau terlipat.

Untuk helaian daun yang besar

dapat dilipat disesuaikan ukuran

koran, atau dipotong setengah

helaian daunnya pada salah satu

sisi ranting (tidak semua helaian

daun dipotong).

Sebelum memotong helaian daun,

ukur dahulu panjang dan lebarnya.

Buat sketsa bentuk daun atau

diambil gambarnya.

Bunga dan buah yang terlepas

masukkan dalam lipatan koran

tersendiri, diberi label gantung dan

ditumpuk dengan mater ia l

daunnya.

Setiap lipatan koran hanya berisi 1

spesimen lengkap dengan label

gantungnya.

Tumpuk lipatan-lipatan koran

tersebut hingga setinggi sekitar

30 cm, ikat rapi dan kuat.

Masukkan tumpukan material

herbarium dalam kantong plastik

dan siram dengan alkohol atau

spirtus sampai basah semua.

Tutup kantong plastik rapat-rapat

(dihekter atau diikat) agar

alkohol/spirtus tidak cepat

mengering.

Masukkan kantong-kantong plastik

berisi material herbarium ke dalam

karung plastik atau kardus, untuk

dibawa ke tempat herbarium/koleksi.

Gambar 24. Material herbarium berlebel dalam lipatan Koran.

Gambar 25. Tumpukan material herbarium dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disiram dengan alkohol/spirtus.

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

a. Pemrosesan kering :

Pemrosesan material herbarium

tanpa menggunakan alkohol atau

spirtus. Keuntungannya hemat biaya

dan material kering lebih ringan

membawanya, kerugiannya proses

pengeringan harus cepat dikerjakan.

Tahapan kerjanya sebagai berikut :

Tumpukan koran berisi material

herbarium setinggi 40 cm, dipres

dalam sasak bambu/kayu dan

diikat kuat.

Sasak diberi label (tulis dengan

pensil) nama kolektor dan tanggal

pengeringan.

Susunan pengepresan dengan

urutan: sasak, a lumunium

b e r g e l o m b a n g , k a r t o n

bergelombang, lipatan koran yang

berisi material herbarium, karton,

alumunium, material herbarium

dalam lipatan koran, karton,

alumunium, dan seterusnya.

Susun di atas rak dengan posisi

tegak lurus memanjang atau

vertikal, jangan ditumpuk.

Keringkan di atas tungku dengan

panas yang diatur, usahakan

panas merata keseluruh material.

Bolak-balik material dengan selang

waktu 1 sampai 2 jam.

Material yang sudah kering

pisahkan dan diambil.

Gambar 26.Tungku pengeringan yang terdiri dari : tempat bara, rak, dan atap.

( sumber : Bridson dan Forman, 1992).

a. Bahan dan Peralatan

Kertas koran

Sasak bambu atau sasak kayu

berukuran 45x35 cm

Alumunium bergelombang kecil

Karton bergelombang keci l

berukuran 45x35 cm

Tali pengikat

Label gantung, pensil.

b. Teknik Pemrosesan :

Maksud pemrosesan disini adalah

khusus untuk material herbarium

basah, meliputi pengepresan dan

pengeringan. Teknik pemrosesan dan

pengeringan mengacu Herbarium

Bogoriense (Djarwaningsih et al.,

1999).

3. Pemrosesan di tempat penyimpanan herbarium

Pengepresan :

Teknik pengepresan sama dengan

pemrosesan kering di lapangan

Material herbarium basah dari

lapangan dikeluarkan dari kantong

plastik.

Susun alat dan bahan pengepresan

dengan urutan:

(1) Sasak

(2) Alumunium bergelombang

(3) Karton bergelombang

(4) Lipatan kertas koran, buka

lembarannya

(5) Susun material herbarium

basah pada kertas koran

tersebut, dengan menampilkan

permukaan atas dan bawah

44 45

pada satu ranting, dirapikan

jangan ada yang tergulung.

(6) Pada daun berukuran besar

dapat dilipat, diantara lipatan

disisipkan potongan kertas

koran supaya tidak melekat.

(7) Bunga dan buah kecil-kecil yang

terlepas, dimasukkan dalam

kantong koran.

(8) Periksa ada tidaknya label

gantung, label yang lepas atau

rusak dapat diperbaru dan

disesuaikan dengan label lama.

(9) Lipatan koran yang terbuka

ditutup kembali.

(10) Material herbarium yang

terdapat buah tebal, tambahkan

lipatan koran disekitar buah

pada kartonnya, sehingga

ketebalan permukaan sama. Hal

i n i u n t u k m e m b a n t u

pengeringan yang merata

antara buah dan daun.

(11) Tutup dengan karton

bergelombangAlumunium bergelombang

Karton bergelombang

Lipatan koran berisi material

herbarium

Karton bergelombang

Alumunium bergelombang,

demikian seterusnya sampai

tumpukan setinggi sekitar

40 cm.

(12) Tutup dengan sasak, ikat kuat

dan siap dikeringkan.

(13) Pada sasak diberi label

gantung, bertuliskan nama

k o l e k t o r d a n t a n g g a l

pengepresan.

(14) Untuk material herbarium

berupa buah besar dan sulit

dipres, dapat dimasukkan ke

d a l a m k a l e n g ( u n t u k

dikeringkan) dan diberi label

(disebut koleksi karpologi).

(15) Bunga atau buah berukuran

besar yang berdaging, dapat

diawetkan tanpa dikeringkan

menjadi koleksi basah (koleksi

yang direndam dalam zat

p e n g a w e t ) . M a s u k k a n

b u n g a / b u a h d a l a m

stoples/botol, rendam dengan

alkohol 70% atau FAA, diberi

label dan tutup rapat ( tutup

olesi parafin supaya tidak

menguap).

(16) Material herbarium kering yang

memiliki koleksi karpologi atau

koleksi basah, pada label diberi

keterangan/tulisan ada koleksi

basah/karpologi.

Gambar 27. Pengepresan material herbarium terdiri

dari (paling bawah): alumunium bergelombang – karton – material herbarium dalam lipatan koran – karton –

alumunium bergelombang.

Gambar 28.Susunan material herbarium yang

sudah dipres dengan sasak ( bagian paling bawah sasak dan paling atas ditutup dengan sasak).

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Pengeringan :

Pengeringan pada material herbarium yang sudah dipres tersebut dapat dilakukan

dengan cara:

Pengeringan di bawah panas matahari, dilakukan bila matahari sangat terik dan

umumnya memerlukan waktu cukup lama :

Jemur sasak dengan posisi sasak tegak lurus/ vertikal

Bolak-balik, agar semua material terjemur.

Pengeringan di atas tungku, cara mengerjakannnya sama dengan pemrosesan

kering di lapangan (lihat gambar 30) .

Pengeringan dengan pemanas bolam listrik:

Letakkan sasak dengan posisi sasak tegak lurus/ vertikal di atas rak.

Pada bagian bawah rak dipasang 2 buah bolam listrik 100 W.

Bolak-balik agar pengeringan merata.

Gambar 29.Pengeringan dengan menggunakan bolam listrik, terdiri dari kotak papan penempel

bolam dan rak besi. (Sumber: Afriastini, 1997).

Pengeringan dalam oven :

Letakkan sasak dengan posisi sasak tegak lurus/ vertikal di atas rak dalam

oven.

Periksa setiap hari, bolak-balik dan pisahkan material herbarium yang sudah

kering.

Pada umumnya material herbarium kering selama 3-4 hari.

Pengaturan panas dalam oven dilakukan secara tahap demi tahap, tergantung 0tebak tipisnya materia (+ 60 C).

44 45

pada satu ranting, dirapikan

jangan ada yang tergulung.

(6) Pada daun berukuran besar

dapat dilipat, diantara lipatan

disisipkan potongan kertas

koran supaya tidak melekat.

(7) Bunga dan buah kecil-kecil yang

terlepas, dimasukkan dalam

kantong koran.

(8) Periksa ada tidaknya label

gantung, label yang lepas atau

rusak dapat diperbaru dan

disesuaikan dengan label lama.

(9) Lipatan koran yang terbuka

ditutup kembali.

(10) Material herbarium yang

terdapat buah tebal, tambahkan

lipatan koran disekitar buah

pada kartonnya, sehingga

ketebalan permukaan sama. Hal

i n i u n t u k m e m b a n t u

pengeringan yang merata

antara buah dan daun.

(11) Tutup dengan karton

bergelombangAlumunium bergelombang

Karton bergelombang

Lipatan koran berisi material

herbarium

Karton bergelombang

Alumunium bergelombang,

demikian seterusnya sampai

tumpukan setinggi sekitar

40 cm.

(12) Tutup dengan sasak, ikat kuat

dan siap dikeringkan.

(13) Pada sasak diberi label

gantung, bertuliskan nama

k o l e k t o r d a n t a n g g a l

pengepresan.

(14) Untuk material herbarium

berupa buah besar dan sulit

dipres, dapat dimasukkan ke

d a l a m k a l e n g ( u n t u k

dikeringkan) dan diberi label

(disebut koleksi karpologi).

(15) Bunga atau buah berukuran

besar yang berdaging, dapat

diawetkan tanpa dikeringkan

menjadi koleksi basah (koleksi

yang direndam dalam zat

p e n g a w e t ) . M a s u k k a n

b u n g a / b u a h d a l a m

stoples/botol, rendam dengan

alkohol 70% atau FAA, diberi

label dan tutup rapat ( tutup

olesi parafin supaya tidak

menguap).

(16) Material herbarium kering yang

memiliki koleksi karpologi atau

koleksi basah, pada label diberi

keterangan/tulisan ada koleksi

basah/karpologi.

Gambar 27. Pengepresan material herbarium terdiri

dari (paling bawah): alumunium bergelombang – karton – material herbarium dalam lipatan koran – karton –

alumunium bergelombang.

Gambar 28.Susunan material herbarium yang

sudah dipres dengan sasak ( bagian paling bawah sasak dan paling atas ditutup dengan sasak).

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Pengeringan :

Pengeringan pada material herbarium yang sudah dipres tersebut dapat dilakukan

dengan cara:

Pengeringan di bawah panas matahari, dilakukan bila matahari sangat terik dan

umumnya memerlukan waktu cukup lama :

Jemur sasak dengan posisi sasak tegak lurus/ vertikal

Bolak-balik, agar semua material terjemur.

Pengeringan di atas tungku, cara mengerjakannnya sama dengan pemrosesan

kering di lapangan (lihat gambar 30) .

Pengeringan dengan pemanas bolam listrik:

Letakkan sasak dengan posisi sasak tegak lurus/ vertikal di atas rak.

Pada bagian bawah rak dipasang 2 buah bolam listrik 100 W.

Bolak-balik agar pengeringan merata.

Gambar 29.Pengeringan dengan menggunakan bolam listrik, terdiri dari kotak papan penempel

bolam dan rak besi. (Sumber: Afriastini, 1997).

Pengeringan dalam oven :

Letakkan sasak dengan posisi sasak tegak lurus/ vertikal di atas rak dalam

oven.

Periksa setiap hari, bolak-balik dan pisahkan material herbarium yang sudah

kering.

Pada umumnya material herbarium kering selama 3-4 hari.

Pengaturan panas dalam oven dilakukan secara tahap demi tahap, tergantung 0tebak tipisnya materia (+ 60 C).

46 47RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Gambar 30.Pengeringan material herbarium dalam oven.

C. Identifikasi Material Herbarium

Material herbarium yang sudah menjadi

material kering atau basah diidentifikasi

untuk mendapatkan nama botaninya.

Pada umumnya identifikasi dilakukan

dengan cara membandingkan sifat

morfologi material herbarium (yang akan

d i ident i f ikas i ) dengan mater ia l

(spesimen) herbarium yang sudah

teridentifikasi, dan pekerjaan ini

dilakukan di herbarium. Bagi pemula,

pengerjaan identifikasi dapat dilakukan

dengan bantuan pakar botani/pakar

identifikasi. Untuk flora pohon hutan

khususnya dan flora hutan pada

umumnya, Herbarium Botani dan Ekologi

Hutan, Pusat Litbang Hutan dan

Konservasi Alam, Bogor memberikan

layanan identifikasi.

Adapun urutan kerja identifikasi yang

dilakukan di ruang herbarium adalah

sebagai berikut :

Sebelum masuk ruang herbarium,

material herbarium kering harus

bebas dari hama/serangga.

Sebagai pencegahan awal masukkan

material kedalam kantong plastik,

lalu semprot dengan obat pembasmi

hama misalnya Baygon.

Tutup kantong plastik rapat-rapat,

diamkan minimum 30 menit

(diharapkan hama/serangga akan

mati)

Keluarkan material dari kantong

plastik, masukkan kembali ke dalam

lipatan koran.

Identifikasi dengan melihat sifat

morfologi dan bandingkan dengan

sifat morfologi pada spesimen

herbarium yang telah teridentifikasi

y a n g d i l e n g k a p i d e n g a n

penyelusuran pustaka taksonomi

flora pohon. Biasanya secara

berturut-turut mendapatkan nama

suku, marga, kemudian nama jenis.

Tulis dengan pensil nama marga dan

nama jenis pada label identifikasi,

serta nama kolektor dan nomor

koleksi.

Apabila Identifikasi dikerjakan oleh

bukan kolektor, maka nama orang

yang mengidentifikasi ditulis pada

label identif ikasi atau label

determinasi (penulisan dapat

mengunakan komputer ) dan

seandainya ada pakar yang

mengesahkan kebenaran hasil

identifikasi/determinasi maka ditulis

pada label pengesahan. Di bawah ini

contoh label determinasi dan label

pengesahan di Herbarium Botani

Hutan.

Conf.

Uhaedi Sutisna 06/05/2007

HERBARIUM BOTANI HUTAN (BZF)

Shorea leprosula Miq.

Det. Marfu'ah Wardani 05/06/2007

Gambar 31.

Label koleksi hebarium.

Label determinasi Herbarium Bogoriense (Det.)

Label pengesahan ( Conf.)

46 47RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Gambar 30.Pengeringan material herbarium dalam oven.

C. Identifikasi Material Herbarium

Material herbarium yang sudah menjadi

material kering atau basah diidentifikasi

untuk mendapatkan nama botaninya.

Pada umumnya identifikasi dilakukan

dengan cara membandingkan sifat

morfologi material herbarium (yang akan

d i ident i f ikas i ) dengan mater ia l

(spesimen) herbarium yang sudah

teridentifikasi, dan pekerjaan ini

dilakukan di herbarium. Bagi pemula,

pengerjaan identifikasi dapat dilakukan

dengan bantuan pakar botani/pakar

identifikasi. Untuk flora pohon hutan

khususnya dan flora hutan pada

umumnya, Herbarium Botani dan Ekologi

Hutan, Pusat Litbang Hutan dan

Konservasi Alam, Bogor memberikan

layanan identifikasi.

Adapun urutan kerja identifikasi yang

dilakukan di ruang herbarium adalah

sebagai berikut :

Sebelum masuk ruang herbarium,

material herbarium kering harus

bebas dari hama/serangga.

Sebagai pencegahan awal masukkan

material kedalam kantong plastik,

lalu semprot dengan obat pembasmi

hama misalnya Baygon.

Tutup kantong plastik rapat-rapat,

diamkan minimum 30 menit

(diharapkan hama/serangga akan

mati)

Keluarkan material dari kantong

plastik, masukkan kembali ke dalam

lipatan koran.

Identifikasi dengan melihat sifat

morfologi dan bandingkan dengan

sifat morfologi pada spesimen

herbarium yang telah teridentifikasi

y a n g d i l e n g k a p i d e n g a n

penyelusuran pustaka taksonomi

flora pohon. Biasanya secara

berturut-turut mendapatkan nama

suku, marga, kemudian nama jenis.

Tulis dengan pensil nama marga dan

nama jenis pada label identifikasi,

serta nama kolektor dan nomor

koleksi.

Apabila Identifikasi dikerjakan oleh

bukan kolektor, maka nama orang

yang mengidentifikasi ditulis pada

label identif ikasi atau label

determinasi (penulisan dapat

mengunakan komputer ) dan

seandainya ada pakar yang

mengesahkan kebenaran hasil

identifikasi/determinasi maka ditulis

pada label pengesahan. Di bawah ini

contoh label determinasi dan label

pengesahan di Herbarium Botani

Hutan.

Conf.

Uhaedi Sutisna 06/05/2007

HERBARIUM BOTANI HUTAN (BZF)

Shorea leprosula Miq.

Det. Marfu'ah Wardani 05/06/2007

Gambar 31.

Label koleksi hebarium.

Label determinasi Herbarium Bogoriense (Det.)

Label pengesahan ( Conf.)

PERTELAAN JENIS-JENISPOHON ASLI UNTUK RESTORASI

EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

PERTELAAN JENIS-JENISPOHON ASLI UNTUK RESTORASI

EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

51

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Antidesma auritum Tul. , Antidesma blumei Tul., Antidesma salaccense Zoll. & Moritzi

Nama lokal: buni ande-ande, ki seuheur, huni peucang

Pertelaan:

Pohon dengan tingginya 3-19 m, dengan diameter batang 6-49 cm; daunnya

berseling berbentuk elips dengan ujung memanjang bisa mencapai 7x20 cm; bunga

betina majemuk tandan (racemes) yang panjang

Distribusi: Jawa

Habitat:

Hutan campuran, semak-semak, mulai ketinggian 100- 2.400 m dpl, terutama di atas

700 m dpl

Kegunaan:

Kayunya digunakan sebagai gagang kapak. Kulit Batangnya digunakan sebagai obat

dan buahnya dikonsumsi.

Perbanyakan: biji

Antidesma tetrandrum Blume(Phyllanthaceae)

52 53

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Arenga saccharifera

Nama lokal: aren, kawung (Sunda), irang (Jawa), bak juk (Aceh)

Pertelaan:

Pohon tingginya mencapai 10-20 m dengan diameter 30-65 cm. Batangnya

diselubungi dengan serabut hitam (ijuk). Daun majemuk dengan panjang 6-12 m,

panjang tangkai daun 1-2,5 m. Bunga majemuk bertandan dengan banyak malai.

Buah kuning kecoklatan ketika matang dengan 1-3 biji berwarna hitam.

Distribusi: Asia Tenggara sampai kepulauan Ryukyu di Jepang dan menyebar ke

Vietnam hingga Himalaya Bagian Timur.

Habitat:

Tumbuh liar di lereng-lereng atau tebing sungai sampai ketinggian 2.000 m dpl

Kegunaan:

Bagian tengah batang (empulur) menghasilkan sagu halus, batangnya sebagai bahan

ukiran, kulit batangnya mengandung bahan tonikum. Akar mudanya untuk obat batu

ginjal dan sakit gigi. Daun muda/ janur bisa dijadikan bahan rokok (rokok daun

kawung). Niranya sebagai bahan baku gula aren, buah mudanya dikenal dengan

kolang kaling. Ijuknya banyak dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan pelapis

dinding yang kedap air. Aren juga merupakan pakan satwa, habitat satwa (musang,

luwak dan babi)

Perbanyakan: biji.

Arenga pinnata (Wurmb) Merr.( Arecaceae)

Sinonim :

Bischofia cummingiana Decne, Bischofia oblongifolia Decne, Bischofia roperiana

Decne, Bischofia toui Decne, Bischofia trifoliata Hook, Microelus roeperianus Wight

& Arn., Stylodiscus trifoliastus Benn.

Nama lokal: gintungan

Pertelaan:

Pohon yang tingginya 12-18 m, dengan diameter batang 95-150 cm. Daun berseling

dengan 3 anak daun yang panjangnya 15-20 cm. Bunga kecil kuning kehijauan,

bunga jantan dan betina terpisah pada pohon yang berbeda. Buah berdaging coklat

kemerahan atau biru kehitaman dengan diameter 9 mm. Biji coklat dengan diameter

5 mm.

Distribusi: Indonesia, Semenanjung Malaya, New Guinea, China, India, Jepang.

Habitat: Tahan kekeringan; ditemukan pada ketinggian 900-1.800 m dpl.

Kegunaan:

Tempat cakaran macan tanda teritorial, daun pakan ternak, kayu konstruksi,

kerajinan, pulp, arang. Tanaman ini banyak digunakan sebagai tanaman hias dan

obat.

Perbanyakan: biji

Bischofia javanica Blume(Phyllanthaceae)

52 53

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Arenga saccharifera

Nama lokal: aren, kawung (Sunda), irang (Jawa), bak juk (Aceh)

Pertelaan:

Pohon tingginya mencapai 10-20 m dengan diameter 30-65 cm. Batangnya

diselubungi dengan serabut hitam (ijuk). Daun majemuk dengan panjang 6-12 m,

panjang tangkai daun 1-2,5 m. Bunga majemuk bertandan dengan banyak malai.

Buah kuning kecoklatan ketika matang dengan 1-3 biji berwarna hitam.

Distribusi: Asia Tenggara sampai kepulauan Ryukyu di Jepang dan menyebar ke

Vietnam hingga Himalaya Bagian Timur.

Habitat:

Tumbuh liar di lereng-lereng atau tebing sungai sampai ketinggian 2.000 m dpl

Kegunaan:

Bagian tengah batang (empulur) menghasilkan sagu halus, batangnya sebagai bahan

ukiran, kulit batangnya mengandung bahan tonikum. Akar mudanya untuk obat batu

ginjal dan sakit gigi. Daun muda/ janur bisa dijadikan bahan rokok (rokok daun

kawung). Niranya sebagai bahan baku gula aren, buah mudanya dikenal dengan

kolang kaling. Ijuknya banyak dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan pelapis

dinding yang kedap air. Aren juga merupakan pakan satwa, habitat satwa (musang,

luwak dan babi)

Perbanyakan: biji.

Arenga pinnata (Wurmb) Merr.( Arecaceae)

Sinonim :

Bischofia cummingiana Decne, Bischofia oblongifolia Decne, Bischofia roperiana

Decne, Bischofia toui Decne, Bischofia trifoliata Hook, Microelus roeperianus Wight

& Arn., Stylodiscus trifoliastus Benn.

Nama lokal: gintungan

Pertelaan:

Pohon yang tingginya 12-18 m, dengan diameter batang 95-150 cm. Daun berseling

dengan 3 anak daun yang panjangnya 15-20 cm. Bunga kecil kuning kehijauan,

bunga jantan dan betina terpisah pada pohon yang berbeda. Buah berdaging coklat

kemerahan atau biru kehitaman dengan diameter 9 mm. Biji coklat dengan diameter

5 mm.

Distribusi: Indonesia, Semenanjung Malaya, New Guinea, China, India, Jepang.

Habitat: Tahan kekeringan; ditemukan pada ketinggian 900-1.800 m dpl.

Kegunaan:

Tempat cakaran macan tanda teritorial, daun pakan ternak, kayu konstruksi,

kerajinan, pulp, arang. Tanaman ini banyak digunakan sebagai tanaman hias dan

obat.

Perbanyakan: biji

Bischofia javanica Blume(Phyllanthaceae)

54 55

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Calophyllum kiong Lauterb. & K.Schum.,

Nama lokal: bintangur, sulatri

Pertelaan:

Pohon yang tingginya sampai 30 m, dengan diameter batang 70 cm, bundar lurus

tanpa banir. Daun tunggal oval sampai lonjong dengan getah putih. Bunga majemuk

dengan bunga jantan dan betina. Buahnya berdiameter 2 cm.

Distribusi: India, Sri Lanka sampai kepulauan Solomon

Habitat:

Ditemukan pada tanah miskin miskin berpasir dan tanah ultrabasic, tetapi juga pada

batu kapur. Di hutan sekunder biasanya hadir sebagai pohon sida-sisa

Kegunaan: Kayu konstruksi, pohon obat, biofuel.

Perbanyakan: biji.

pragangguan

pada ketinggian 700 m dpl. Di hutan dataran ditemukan sampai dengan ketinggian

300 m dpl.

Calophyllum soulattri Burm. F(Calophyllaceae)

Sinonim: Uvaria odorata Lam. Fitzgeraldia mitrastigma F.Muell.

Nama lokal: kenanga

Pertelaan:

Pohon yang tingginya 10-40 m dan dengan diameter batang 1 m, halus berwarna

putih kelabu. Daun tunggal berseling berbentuk jorong (elips) atau membulat,

permukaan daun hijau tua mengkilat. Bunga majemuk payung (umbellate) dengan 4-

12 bunga, harum berwarna kuning kehijauan. Buah berwarna hijau kehitaman. Biji

coklat.

Distribusi: Indonesia dan Malaysia

Habitat:

Ditemukan di hutan tropis, memerlukan cahaya penuh atau sebagian, menyukai

tanah masam, hidup di dataran rendah sampai ketinggian 1.200 m dpl.

Kegunaan: Kayu akustik, minyak kenanga, dan tanaman hias.

Perbanyakan: biji dan stek.

Cananga odorata (Lam.) Hook.f. & Thomson(Annonaceae)

54 55

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Calophyllum kiong Lauterb. & K.Schum.,

Nama lokal: bintangur, sulatri

Pertelaan:

Pohon yang tingginya sampai 30 m, dengan diameter batang 70 cm, bundar lurus

tanpa banir. Daun tunggal oval sampai lonjong dengan getah putih. Bunga majemuk

dengan bunga jantan dan betina. Buahnya berdiameter 2 cm.

Distribusi: India, Sri Lanka sampai kepulauan Solomon

Habitat:

Ditemukan pada tanah miskin miskin berpasir dan tanah ultrabasic, tetapi juga pada

batu kapur. Di hutan sekunder biasanya hadir sebagai pohon sida-sisa

Kegunaan: Kayu konstruksi, pohon obat, biofuel.

Perbanyakan: biji.

pragangguan

pada ketinggian 700 m dpl. Di hutan dataran ditemukan sampai dengan ketinggian

300 m dpl.

Calophyllum soulattri Burm. F(Calophyllaceae)

Sinonim: Uvaria odorata Lam. Fitzgeraldia mitrastigma F.Muell.

Nama lokal: kenanga

Pertelaan:

Pohon yang tingginya 10-40 m dan dengan diameter batang 1 m, halus berwarna

putih kelabu. Daun tunggal berseling berbentuk jorong (elips) atau membulat,

permukaan daun hijau tua mengkilat. Bunga majemuk payung (umbellate) dengan 4-

12 bunga, harum berwarna kuning kehijauan. Buah berwarna hijau kehitaman. Biji

coklat.

Distribusi: Indonesia dan Malaysia

Habitat:

Ditemukan di hutan tropis, memerlukan cahaya penuh atau sebagian, menyukai

tanah masam, hidup di dataran rendah sampai ketinggian 1.200 m dpl.

Kegunaan: Kayu akustik, minyak kenanga, dan tanaman hias.

Perbanyakan: biji dan stek.

Cananga odorata (Lam.) Hook.f. & Thomson(Annonaceae)

56 57

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Fagus argentea Blume , Castanea argentea (Blume) Blume

Nama lokal: berangan, ki hiur, sarangan, saninten, wrakas

Pertelaan:

Pohon yang tingginya mencapai 35 m dan dengan diameter batang 80-100 m.

Batang bercabang tanpa banir. Daun berwarna hijau-perak. Bunga majemuk dengan

anak bunga berbentuk lonceng. Buah capsul berdiameter 3-4 cm, berambut dan

berduri.

Distribusi: Jawa, Sumatera, New Guinea, Myanmar dan Malaysia

Habitat:

Hutan primer dan sekunder, tumbuh baik di ketinggian 200-1.600 m dpl.

Kegunaan: Kayu bangunan, lantai, papan, jembatan, bak kayu, rangka pintu dan

jendela, genting; biji sebagai bahan makanan dengan cara direbus atau dibakar.

Pohon sebagai habitat burung dan mamalia, untuk mencari pakan, beristirahat,

dan bersarang.

Perbanyakan: biji

Castanopsis argentea (Blume) A.DC.(Clusiaceae)

Cinnamomum iners Reinw. ex Blume(Lauraceae)

Sinonim:

Cinnamomum eucalyptoides T. Nees, Cinnamomum nitidum Blume, Cinnamomum

paraneuron Miq.

Nama lokal:

kayumanis alam, medangteja, sintok, huru gading, ki teja, ki amis

Pertelaan:

Pohon yang tingginya 20-35 m dan dengan diameter batang 50-80 cm. Daun

berhadapan, berbentuk elips hingga lonjong, teksturnya seperti kulit dengan 3 tulang

daun. Bunga berwarna putih ukuran 5-7 mm. Buah lonjong berukuran 1-1.5 cm.

Distribusi: India dan Wilayah Malesiana

Habitat:

Hutan tropis, tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 2000 m dpl. Ditemukan

juga di hutan campuran conifer dan hutan sekunder.

Kegunaan:

Kayunya untuk bahan konstruksi, kulit dan daun sebagai bahan rempah dan obat.

Perbanyakan: biji

56 57

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Fagus argentea Blume , Castanea argentea (Blume) Blume

Nama lokal: berangan, ki hiur, sarangan, saninten, wrakas

Pertelaan:

Pohon yang tingginya mencapai 35 m dan dengan diameter batang 80-100 m.

Batang bercabang tanpa banir. Daun berwarna hijau-perak. Bunga majemuk dengan

anak bunga berbentuk lonceng. Buah capsul berdiameter 3-4 cm, berambut dan

berduri.

Distribusi: Jawa, Sumatera, New Guinea, Myanmar dan Malaysia

Habitat:

Hutan primer dan sekunder, tumbuh baik di ketinggian 200-1.600 m dpl.

Kegunaan: Kayu bangunan, lantai, papan, jembatan, bak kayu, rangka pintu dan

jendela, genting; biji sebagai bahan makanan dengan cara direbus atau dibakar.

Pohon sebagai habitat burung dan mamalia, untuk mencari pakan, beristirahat,

dan bersarang.

Perbanyakan: biji

Castanopsis argentea (Blume) A.DC.(Clusiaceae)

Cinnamomum iners Reinw. ex Blume(Lauraceae)

Sinonim:

Cinnamomum eucalyptoides T. Nees, Cinnamomum nitidum Blume, Cinnamomum

paraneuron Miq.

Nama lokal:

kayumanis alam, medangteja, sintok, huru gading, ki teja, ki amis

Pertelaan:

Pohon yang tingginya 20-35 m dan dengan diameter batang 50-80 cm. Daun

berhadapan, berbentuk elips hingga lonjong, teksturnya seperti kulit dengan 3 tulang

daun. Bunga berwarna putih ukuran 5-7 mm. Buah lonjong berukuran 1-1.5 cm.

Distribusi: India dan Wilayah Malesiana

Habitat:

Hutan tropis, tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 2000 m dpl. Ditemukan

juga di hutan campuran conifer dan hutan sekunder.

Kegunaan:

Kayunya untuk bahan konstruksi, kulit dan daun sebagai bahan rempah dan obat.

Perbanyakan: biji

58 59

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Nama lokal: mampat dadu, marong

Pertelaan:

Pohon yang tingginya dapat mencapai 45 m dengan diameter batang 90 cm memiliki

getah kuning. Daun tunggal, berhadapan, berbentuk jorong (elips), membundar telur

(ovate) atau membundar telur sungsang (obovate). Bunga majemuk terdiri dari 1-6

bunga terbatas (cymes). Bunga berwarna merah muda hingga ungu dengan diameter

1.5 cm. Biji berukuran 1.5 cm berwarna coklat, pipih dan bersayap.

Distribusi:

Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Myanmar, Cina, Kamboja, Thailand,

Semenanjung Malaya dan Filipina.

Habitat:

Tumbuh di hutan primer dan sekunder. Ditemukan juga di daerah savana, mangrove,

lembah, sepanjang aliran sungai dan rawa-rawa hingga ketinggian tempat 1.200 m

dpl.

Cratoxylum formosum (Jacq.) Benth. & Hook.f.ex Dyer(Hypericaceae)

Kegunaan:

Sebagai tanaman hias, kayunya digunakan

sebagai bahan bangunan, buahnya dapat

dikonsumsi.

Perbanyakan: biji

Sinonim:

Croton budopensis Gagnep. Croton maieuticus Gagnep., Croton tawaoensis

Croizat

Nama lokal: parengpeng, tapen kebo

Pertelaan:

Pohon yang tingginya 15-20 m dan dengan diameter batang 30-50 cm, terkadang

tinggi 27 m dengan diameter batang 170 cm. Bunga majemuk putih.

Distribusi:

Indonesia, Cina, Jepang, Vietnam, Myanmar, Laos, Thailand, Semenanjung

Malaya dan Filipina.

Habitat:

Dapat hidup di lereng bukit, tanah liat berpasir sampai ketinggian 1.500 m dpl.

Kegunaan:

Sebagai tanaman peneduh dan pelindung karena dapat menyerap dan menjerap

(intersepsi) debu dan unsur pencemar udara

Perbanyakan: biji

Croton argyratus Blume(Euphorbiaceae)

58 59

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Nama lokal: mampat dadu, marong

Pertelaan:

Pohon yang tingginya dapat mencapai 45 m dengan diameter batang 90 cm memiliki

getah kuning. Daun tunggal, berhadapan, berbentuk jorong (elips), membundar telur

(ovate) atau membundar telur sungsang (obovate). Bunga majemuk terdiri dari 1-6

bunga terbatas (cymes). Bunga berwarna merah muda hingga ungu dengan diameter

1.5 cm. Biji berukuran 1.5 cm berwarna coklat, pipih dan bersayap.

Distribusi:

Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Myanmar, Cina, Kamboja, Thailand,

Semenanjung Malaya dan Filipina.

Habitat:

Tumbuh di hutan primer dan sekunder. Ditemukan juga di daerah savana, mangrove,

lembah, sepanjang aliran sungai dan rawa-rawa hingga ketinggian tempat 1.200 m

dpl.

Cratoxylum formosum (Jacq.) Benth. & Hook.f.ex Dyer(Hypericaceae)

Kegunaan:

Sebagai tanaman hias, kayunya digunakan

sebagai bahan bangunan, buahnya dapat

dikonsumsi.

Perbanyakan: biji

Sinonim:

Croton budopensis Gagnep. Croton maieuticus Gagnep., Croton tawaoensis

Croizat

Nama lokal: parengpeng, tapen kebo

Pertelaan:

Pohon yang tingginya 15-20 m dan dengan diameter batang 30-50 cm, terkadang

tinggi 27 m dengan diameter batang 170 cm. Bunga majemuk putih.

Distribusi:

Indonesia, Cina, Jepang, Vietnam, Myanmar, Laos, Thailand, Semenanjung

Malaya dan Filipina.

Habitat:

Dapat hidup di lereng bukit, tanah liat berpasir sampai ketinggian 1.500 m dpl.

Kegunaan:

Sebagai tanaman peneduh dan pelindung karena dapat menyerap dan menjerap

(intersepsi) debu dan unsur pencemar udara

Perbanyakan: biji

Croton argyratus Blume(Euphorbiaceae)

60 61

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim:

Alliaria Kuntze, Cambania Comm. ex M.Roem., Didymocheton Blume, Dysoxylon

(orth. var.), Epicharis Blume, Goniocheton Blume, Hartighsea A.Juss., Macrocheton

(Blume) M.Roem. , Macrochiton M.Roem. (orth. var.)

Nama lokal:

kedoya, kapinango, maranginan, pingku (sunda), kraminan, cempaga, cepaga

(Jawa), ampeuluh, kheuruh (Minahasa), majegau (Bali)

Pertelaan:

Pohon dengan tinggi mencapai 30-40 m, dengan diameter batang 100-120 cm.

Kayunya halus berwarna coklat-kuning muda hingga merah muda atau coklat-merah

muda mengkilat. Daun berseling. Bunga berwarna kuning-putih dengan diameter 1

cm, harum, berupa bunga majemuk tandan (racemes) di cabang-cabangnya.

Buah berbentuk kapsul berwarna hijau-kelabu atau hijau kekuningan, berambut.

Biji berwarna merah terang.

Distribusi: Myanmar, Thailand dan Wilayah Malesiana.

Habitat:

Hutan campuran dipterocarp dan hutan sub-montane dataran rendah sampai

ketinggian 1.700 m dpl

Kegunaan:

Kayunya digunakan sebagai tiang utama bangunan suci (pura) di Bali, Kayunya yang

berat, padat dan halus baik digunakan sebagai bahan ukiran. Banyak juga digunakan

untuk membuat kapal, roda pedati dan jembatan. Tanaman ini bisa digunakan

sebagai bahan pestisida.

Perbanyakan: biji.

Dysoxylum densiflorum (Bl.) Miq.(Meliaceae)

Nama lokal: kalipapa, lipapa, sowo, mersawa, kukrup, ki hujan

Pertelaan:

Pohon dengan tinggi 35-36 m. Daun majemuk pinnate dengan warna kehitaman.

Anak daun berjumlah 4-14 berbentuk elips, elips-lanceolate atau elips-ovate dengan

ujung runcing. Buah berukuran 3-6 mm bersayap.

Distribusi:

India, Cina Selatan, Myanmar, Indochina, Thailand, Semenanjung Malaya, Indonesia

(Jawa) dan Filipina.

Habitat: Hutan primer dan pegunungan dengan ketinggian 1.200-2.500 m dpl.

Kegunaan:

Sebagai bahan kerajinan, buahnya makanan lutung. Sebagai habitat lutung

Perbanyakan: biji

Engelhardia spicata Lechen ex Blume(Juglandaceae)

60 61

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim:

Alliaria Kuntze, Cambania Comm. ex M.Roem., Didymocheton Blume, Dysoxylon

(orth. var.), Epicharis Blume, Goniocheton Blume, Hartighsea A.Juss., Macrocheton

(Blume) M.Roem. , Macrochiton M.Roem. (orth. var.)

Nama lokal:

kedoya, kapinango, maranginan, pingku (sunda), kraminan, cempaga, cepaga

(Jawa), ampeuluh, kheuruh (Minahasa), majegau (Bali)

Pertelaan:

Pohon dengan tinggi mencapai 30-40 m, dengan diameter batang 100-120 cm.

Kayunya halus berwarna coklat-kuning muda hingga merah muda atau coklat-merah

muda mengkilat. Daun berseling. Bunga berwarna kuning-putih dengan diameter 1

cm, harum, berupa bunga majemuk tandan (racemes) di cabang-cabangnya.

Buah berbentuk kapsul berwarna hijau-kelabu atau hijau kekuningan, berambut.

Biji berwarna merah terang.

Distribusi: Myanmar, Thailand dan Wilayah Malesiana.

Habitat:

Hutan campuran dipterocarp dan hutan sub-montane dataran rendah sampai

ketinggian 1.700 m dpl

Kegunaan:

Kayunya digunakan sebagai tiang utama bangunan suci (pura) di Bali, Kayunya yang

berat, padat dan halus baik digunakan sebagai bahan ukiran. Banyak juga digunakan

untuk membuat kapal, roda pedati dan jembatan. Tanaman ini bisa digunakan

sebagai bahan pestisida.

Perbanyakan: biji.

Dysoxylum densiflorum (Bl.) Miq.(Meliaceae)

Nama lokal: kalipapa, lipapa, sowo, mersawa, kukrup, ki hujan

Pertelaan:

Pohon dengan tinggi 35-36 m. Daun majemuk pinnate dengan warna kehitaman.

Anak daun berjumlah 4-14 berbentuk elips, elips-lanceolate atau elips-ovate dengan

ujung runcing. Buah berukuran 3-6 mm bersayap.

Distribusi:

India, Cina Selatan, Myanmar, Indochina, Thailand, Semenanjung Malaya, Indonesia

(Jawa) dan Filipina.

Habitat: Hutan primer dan pegunungan dengan ketinggian 1.200-2.500 m dpl.

Kegunaan:

Sebagai bahan kerajinan, buahnya makanan lutung. Sebagai habitat lutung

Perbanyakan: biji

Engelhardia spicata Lechen ex Blume(Juglandaceae)

62 63

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim:

Erythrina glauca Willd., Erythrina ovalifolia Roxb., Erythrina atrosanguinea Ridley,

E. ovatifolia Roxb.

Nama lokal: dadap cangkring

Pertelaan:

Pohon berukuran sedang dengan mahkota membundar. Batang pendek, berduri,

kadang-kadang berbanir sampai 2 m; pepagan abu-abu kecoklatan atau coklat

kehijauan. Dahan menyebar, berduri. Ranting tidak berduri. Daun berseling, berdaun

3; pinak daun membundar telur sampai menjorong, Perbungaan tandan, di terminal

dengan bunga merah bata muda atau salmon (jarang putih). Buah polong. Biji

menjorong-melonjong, coklat tua atau hitam.

Distribusi:

Asia tropis, Kepulauan Pasifik, Amerika Tengah, Afrika, Karibia dan Amerika Selatan

tropis.

Habitat:

Tumbuh di tepi pantai, toleran rendaman air dan kadar garam. Ditemukan pula di

daerah tropis sampai 700 m dpl. menyukai daerah litoral dengan tanah berdrainase

tidak bagus seperti rawa-rawa dan aliran tepi sungai dan rawa-rawa sungai di dataran

tinggi.

Kegunaan:

Bunga dan daun mudanya dapat dikonsumsi, tanaman hias dan tanaman obat. Jenis

ini merupakan tumbuhan pionir setelah letusan gunung berapi Krakatau. Tumbuhan

ini merupakan habitat satwa, yaitu tempat tidur primata.

Perbanyakan: biji dan stek

Erythrina fusca Lour.(Leguminosae)

Synonim : Erythrina variegate LINN.

Nama lokal: deris, blendung (Sunda) dadap ayam, dadap Laut (Jawa)

Pertelaan:

Pohon dengan tinggi mencapai 15-20 m dan diameter batang 40-50 cm,

Distribusi: Afrika Timur, India, Asia Tenggara, Pasifik, Australia

Habitat:

Tumbuh terutama di tanah pasir lembab, terbuka. Di Jawa tumbuhan ini ditemukan di

dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian tempat sampai 2.100 m dpl.

Termasuk jenis cepat tumbuh.

Kegunaan:

Pohon ini bisa digunakan sebagai penahan Erosi, kayunya sebagai bahan pembuat

peti kemas. Rebusan daunnya bisa meningkatkan ASI serta melancarkan haid.

Tumbuhan ini juga sebagai habitat tempat tidur monyet.

Perbanyakan: biji dan stek.

Erythrina orientalis (L.) Merr.(Leguminosae)

62 63

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim:

Erythrina glauca Willd., Erythrina ovalifolia Roxb., Erythrina atrosanguinea Ridley,

E. ovatifolia Roxb.

Nama lokal: dadap cangkring

Pertelaan:

Pohon berukuran sedang dengan mahkota membundar. Batang pendek, berduri,

kadang-kadang berbanir sampai 2 m; pepagan abu-abu kecoklatan atau coklat

kehijauan. Dahan menyebar, berduri. Ranting tidak berduri. Daun berseling, berdaun

3; pinak daun membundar telur sampai menjorong, Perbungaan tandan, di terminal

dengan bunga merah bata muda atau salmon (jarang putih). Buah polong. Biji

menjorong-melonjong, coklat tua atau hitam.

Distribusi:

Asia tropis, Kepulauan Pasifik, Amerika Tengah, Afrika, Karibia dan Amerika Selatan

tropis.

Habitat:

Tumbuh di tepi pantai, toleran rendaman air dan kadar garam. Ditemukan pula di

daerah tropis sampai 700 m dpl. menyukai daerah litoral dengan tanah berdrainase

tidak bagus seperti rawa-rawa dan aliran tepi sungai dan rawa-rawa sungai di dataran

tinggi.

Kegunaan:

Bunga dan daun mudanya dapat dikonsumsi, tanaman hias dan tanaman obat. Jenis

ini merupakan tumbuhan pionir setelah letusan gunung berapi Krakatau. Tumbuhan

ini merupakan habitat satwa, yaitu tempat tidur primata.

Perbanyakan: biji dan stek

Erythrina fusca Lour.(Leguminosae)

Synonim : Erythrina variegate LINN.

Nama lokal: deris, blendung (Sunda) dadap ayam, dadap Laut (Jawa)

Pertelaan:

Pohon dengan tinggi mencapai 15-20 m dan diameter batang 40-50 cm,

Distribusi: Afrika Timur, India, Asia Tenggara, Pasifik, Australia

Habitat:

Tumbuh terutama di tanah pasir lembab, terbuka. Di Jawa tumbuhan ini ditemukan di

dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian tempat sampai 2.100 m dpl.

Termasuk jenis cepat tumbuh.

Kegunaan:

Pohon ini bisa digunakan sebagai penahan Erosi, kayunya sebagai bahan pembuat

peti kemas. Rebusan daunnya bisa meningkatkan ASI serta melancarkan haid.

Tumbuhan ini juga sebagai habitat tempat tidur monyet.

Perbanyakan: biji dan stek.

Erythrina orientalis (L.) Merr.(Leguminosae)

64 65

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Erythrina subumbrans (Hassk.) Merr.(Leguminosae)

Synonim: Erythrina lithosperma Miq. non Bl

Nama lokal:

dadap rangrang, dadap lenga, dadap minyak. dadap lesang, dadap dadap limit

(Sunda), dadap lisah, dadap lenga, dadap srep (Jawa)

Pertelaan:

Pohon yang menggugurkan daunnya (deciduous) dengan tinggi dapat mencapai 35

m. Daun berseling dengan 3 (tiga) anak daun. Bunga majemuk tandan (racemes),

anak bunga banyak. Biji hitam

Distribusi: India, Sri Lanka sampai Asia Tenggara, Fiji, Samoa.

Habitat: Tempat tumbuh hutan campuran, kebun, semak. Hidup di ketinggian

2.200 m dpl

Kegunaan:

Akarnya mengandung bintil nitrogen, tanaman ini dapat meningkatkan produksi

teh jika ditanam di kebun teh. Kayunya sebagai bahan peti kemas, tunas dan daun

mudanya sebagai obat wanita melahirkan. Tanaman ini juga sebagai

habitat tempat tidur monyet

Perbanyakan: biji dan stek.

Sinonim:

Ficus balabacensis Quisumb., Ficus flavescens Blume, Ficus valida Blume,

Urostigma annulatum (Blume) Miq., Urostigma biverrucellum Miq., Urostigma

conocarpum Miq., Urostigma depressum Miq., Urostigma flavescens (Blume) Miq.,

Urostigma validum (Blume) Miq.

Nama lokal:

kiyara koneng (Sunda), benda oyod, karet bulu, grasak,yuyang, panggang,

wiyuyang (Jawa).

Pertelaan:

Tumbuhan epifit raksasa. Kulit batang berwarna coklat, kasar dan bergetah. Daun

tunggal, lonjong (panjang 12-25 cm dan lebar 5-10 cm ), berwarna hijau di bagian

atas dan keputihan di bagian bawah, ujung dan pangkalnya meruncing. Berbunga

majemuk berbentuk malai, menempel di batang, mahkota berwarna kuning. Buah

buni, berwarna hijau, sebesar 2-4 cm dan bijinya berwarna coklat.

Distribusi:

Asia Tenggara (Indo China, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan

dan Sulawesi).

Ficus annulata Blume(Moraceae)

Habitat:

Hutan tropis. Di daerah Gunung Merapi

ditemukan hingga ketinggian < 1.500 m

dpl

Kegunaan:

Kayunya sebagai bahan bangunan

sedangkan kulit kayunya bisa dibuat

tambang. Daun mentahnya bisa

dikonsumsi sebagai lalapan, buahnya

merupakan pakan burung dan monyet.

64 65

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Erythrina subumbrans (Hassk.) Merr.(Leguminosae)

Synonim: Erythrina lithosperma Miq. non Bl

Nama lokal:

dadap rangrang, dadap lenga, dadap minyak. dadap lesang, dadap dadap limit

(Sunda), dadap lisah, dadap lenga, dadap srep (Jawa)

Pertelaan:

Pohon yang menggugurkan daunnya (deciduous) dengan tinggi dapat mencapai 35

m. Daun berseling dengan 3 (tiga) anak daun. Bunga majemuk tandan (racemes),

anak bunga banyak. Biji hitam

Distribusi: India, Sri Lanka sampai Asia Tenggara, Fiji, Samoa.

Habitat: Tempat tumbuh hutan campuran, kebun, semak. Hidup di ketinggian

2.200 m dpl

Kegunaan:

Akarnya mengandung bintil nitrogen, tanaman ini dapat meningkatkan produksi

teh jika ditanam di kebun teh. Kayunya sebagai bahan peti kemas, tunas dan daun

mudanya sebagai obat wanita melahirkan. Tanaman ini juga sebagai

habitat tempat tidur monyet

Perbanyakan: biji dan stek.

Sinonim:

Ficus balabacensis Quisumb., Ficus flavescens Blume, Ficus valida Blume,

Urostigma annulatum (Blume) Miq., Urostigma biverrucellum Miq., Urostigma

conocarpum Miq., Urostigma depressum Miq., Urostigma flavescens (Blume) Miq.,

Urostigma validum (Blume) Miq.

Nama lokal:

kiyara koneng (Sunda), benda oyod, karet bulu, grasak,yuyang, panggang,

wiyuyang (Jawa).

Pertelaan:

Tumbuhan epifit raksasa. Kulit batang berwarna coklat, kasar dan bergetah. Daun

tunggal, lonjong (panjang 12-25 cm dan lebar 5-10 cm ), berwarna hijau di bagian

atas dan keputihan di bagian bawah, ujung dan pangkalnya meruncing. Berbunga

majemuk berbentuk malai, menempel di batang, mahkota berwarna kuning. Buah

buni, berwarna hijau, sebesar 2-4 cm dan bijinya berwarna coklat.

Distribusi:

Asia Tenggara (Indo China, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan

dan Sulawesi).

Ficus annulata Blume(Moraceae)

Habitat:

Hutan tropis. Di daerah Gunung Merapi

ditemukan hingga ketinggian < 1.500 m

dpl

Kegunaan:

Kayunya sebagai bahan bangunan

sedangkan kulit kayunya bisa dibuat

tambang. Daun mentahnya bisa

dikonsumsi sebagai lalapan, buahnya

merupakan pakan burung dan monyet.

66 67

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim:

Ficus comosa Roxb., Ficus cuspidatocaudata Hayata, Ficus haematocarpa Blume ex

Decne . , F icus luc ida Aiton, F icus neglecta Blume ex Decne.

Ficus nepalensis Blanco, Ficus nitida Thunb., Ficus nuda (Miq.) Miq., Ficus papyrifera

Griff., Ficus parvifolia Oken, Ficus pendula Link, Ficus pyrifolia Salisb., Ficus reclinata

Desf., Ficus striata Roth, Ficus umbrina Elmer, Ficus xavieri Merr., Urostigma

benjaminum (L.) Miq., Urostigma nudum Miq. Ficus retusa L.

Nama lokal: beringin, ipik

Pertelaan:

Pohon dengan tinggi mencapai 35 m. Akar udara banyak menggantung dari batang

utamanya. Kulit batang berwarna coklat terang hingga kelabu bahkan kehitaman.

Daun dalam rangkaian berbentuk spiral berbentuk elips atau membulat. Buah tunggal

atau berpasangan.

Distribusi:

Sumatera, Jawa, Bali, India, Myanmar, Thailand, Cina Selatan, Semenanjung Malaya

dan Kepulauan Solomon.

Ficus benjamina L(Moraceae)

Habitat:

Hutan tropis sampai ketinggian 1.300 dpl.

Kegunaan:

Sebagai tanaman peneduh dan baik untuk

konservasi air. Buah dan daun sebagai

pakan satwa, pohonnya merupakan

habitat berbagai jenis satwa seperti

burung dan primata.

Perbanyakan: biji

Sinonim:

Covellia subopposita Miq., Covellia tuberculata Miq., Ficus condensa King, Ficus

curranii Merr., Ficus fistulosa var. angustifolia Miq., Ficus grandidens Merr., Ficus

harlandii Benth., Ficus lucbanensis Elmer, Ficus millingtonifolia Griff., Ficus

polysyce Ridl., Ficus repandifolia Elmer, Ficus rubrovenia Merr., Ficus tengerensis

Miq., Ficus tuberculata (Miq.) Miq.

Nama lokal: wilodo, ara kujajing, ara batang kuning

Pertelaan:

Pohon dengan tinggi mencapai 20 m. Daun lonjong namun sering tidak simetris. Buah

menempel di batang utama atau cabang.

Distribusi:

Sumatera, Jawa, Kalimantan, Kepulauan Nicobar, Thailand, Semenanjung Malaya

dan Filipina.

Habitat: Hutan dan sepanjang daerah aliran sungai hingga ketinggian 2.000 m dpl.

Kegunaan:

Buah dan daun pakan satwa; pohonnya merupakan habitat berbagai jenis satwa.

Getahnya dioles pada luka teriris benda tajam, sebagai obat 1-2 kali sehari sampai

mengering. Untuk obat cacingan, ara ditumbuk dan direbus. Buah ara dimakan

banyak satwa seperti burung, kelelawar, monyet, lutung. Daunnya dimakan

beberapa jenis serangga, terutama ulat. Karena peran pentingnya, jenis ara menjadi

spesies kunci di ekosistem hutan tropis

Perbanyakan: biji.

Ficus fistulosa Reinw. ex Blume(Moraceae)

66 67

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim:

Ficus comosa Roxb., Ficus cuspidatocaudata Hayata, Ficus haematocarpa Blume ex

Decne . , F icus luc ida Aiton, F icus neglecta Blume ex Decne.

Ficus nepalensis Blanco, Ficus nitida Thunb., Ficus nuda (Miq.) Miq., Ficus papyrifera

Griff., Ficus parvifolia Oken, Ficus pendula Link, Ficus pyrifolia Salisb., Ficus reclinata

Desf., Ficus striata Roth, Ficus umbrina Elmer, Ficus xavieri Merr., Urostigma

benjaminum (L.) Miq., Urostigma nudum Miq. Ficus retusa L.

Nama lokal: beringin, ipik

Pertelaan:

Pohon dengan tinggi mencapai 35 m. Akar udara banyak menggantung dari batang

utamanya. Kulit batang berwarna coklat terang hingga kelabu bahkan kehitaman.

Daun dalam rangkaian berbentuk spiral berbentuk elips atau membulat. Buah tunggal

atau berpasangan.

Distribusi:

Sumatera, Jawa, Bali, India, Myanmar, Thailand, Cina Selatan, Semenanjung Malaya

dan Kepulauan Solomon.

Ficus benjamina L(Moraceae)

Habitat:

Hutan tropis sampai ketinggian 1.300 dpl.

Kegunaan:

Sebagai tanaman peneduh dan baik untuk

konservasi air. Buah dan daun sebagai

pakan satwa, pohonnya merupakan

habitat berbagai jenis satwa seperti

burung dan primata.

Perbanyakan: biji

Sinonim:

Covellia subopposita Miq., Covellia tuberculata Miq., Ficus condensa King, Ficus

curranii Merr., Ficus fistulosa var. angustifolia Miq., Ficus grandidens Merr., Ficus

harlandii Benth., Ficus lucbanensis Elmer, Ficus millingtonifolia Griff., Ficus

polysyce Ridl., Ficus repandifolia Elmer, Ficus rubrovenia Merr., Ficus tengerensis

Miq., Ficus tuberculata (Miq.) Miq.

Nama lokal: wilodo, ara kujajing, ara batang kuning

Pertelaan:

Pohon dengan tinggi mencapai 20 m. Daun lonjong namun sering tidak simetris. Buah

menempel di batang utama atau cabang.

Distribusi:

Sumatera, Jawa, Kalimantan, Kepulauan Nicobar, Thailand, Semenanjung Malaya

dan Filipina.

Habitat: Hutan dan sepanjang daerah aliran sungai hingga ketinggian 2.000 m dpl.

Kegunaan:

Buah dan daun pakan satwa; pohonnya merupakan habitat berbagai jenis satwa.

Getahnya dioles pada luka teriris benda tajam, sebagai obat 1-2 kali sehari sampai

mengering. Untuk obat cacingan, ara ditumbuk dan direbus. Buah ara dimakan

banyak satwa seperti burung, kelelawar, monyet, lutung. Daunnya dimakan

beberapa jenis serangga, terutama ulat. Karena peran pentingnya, jenis ara menjadi

spesies kunci di ekosistem hutan tropis

Perbanyakan: biji.

Ficus fistulosa Reinw. ex Blume(Moraceae)

68 69

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Ficus glomerata Roxb

Nama lokal: elo, lowa, karet kebo, bulu, bunut, gondang putih

Pertelaan:

Pohon dengan tinggi mencapai 40 m, berbanir. Daun dalam rangkaian melingkar

(spirally), berbentuk lonjong sampai lanset. Buah menempel di batang dalam cluster

hingga sepanjang 25 cm berwarna hijau sampai merah.

Distribusi:

Indonesia, Cina Selatan, Sri Lanka, Myanmar, Vietnam, Thailand, Semenanjung

Malaya, New Guinea dan Australia

Habitat:

Banyak ditemukan di daerah aliran sungai dan hutan dataran rendah hingga

pegunungan sampai ketinggian 2.500 m dpl.

Kegunaan:

Kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, buahnya dapat dikonsumsi. Buah

tanaman ini juga biasa dimakan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan

lutung. Pohonnya merupakan habitat berbagai jenis satwa termasuk lutung.

Perbanyakan: biji

Ficus racemosa L.(Moraceae)

Sinonim:

Ficus alba Reinw. ex Blume, Ficus bicolor Hook. ex Miq., Ficus chloroleuca Miq.,

Ficus gossypina Wall. ex Miq., Ficus gossypina forma integrifolia Miq.

Ficus gossypina forma lobata Miq., Ficus hunteri Miq., Ficus lobata Hunter ex Ridl.,

Ficus mappan Miq., Ficus nivea Blume, Ficus palmata Roxb.

Nama lokal: hamerang, ki ciat, sehang

Pertelaan:

Pohon kecil dengan tinggi dapat mencapai 10 m. Buahnya bulat, menempel pada

batang dan cabang, berwarna merah ketika masak. Buah merupakan suatu rongga

yang mengandungi bunga jantan dan betina. Sejenis serangga penyengat biasanya

masuk ke daalam buah membantu pembungaan, Daun berbentuk hati bergetah

dengan ukuran 20-35 x 10-25 cm. Buah bulat dengan diameter 1,2 cm berwarna

kuning jika matang kemudian berangsur-angsur menjadi coklat dan akhirnya merah

tua.

Distribusi: Wilayah Malesia Bagian barat, Semenanjung Malaya hingga Jawa

Habitat: Hutan pegunungan; 1.700 m dp. Hidup di daerah tropis. Tumbuh baik di

tempat terbuka tetapi tahan di tempat teduh. Di Merapi tumbuh sampai

ketinggian 1.700 m dpl.

Kegunaan:

Buah dimakan primata dan burung. Getahnya berwarna putih dan digunakan

untuk industri batik sebagai bahan pengawet kain batik

Perbanyakan: biji.

Ficus grossularioides Bum.f.(Moraceae)

68 69

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Ficus glomerata Roxb

Nama lokal: elo, lowa, karet kebo, bulu, bunut, gondang putih

Pertelaan:

Pohon dengan tinggi mencapai 40 m, berbanir. Daun dalam rangkaian melingkar

(spirally), berbentuk lonjong sampai lanset. Buah menempel di batang dalam cluster

hingga sepanjang 25 cm berwarna hijau sampai merah.

Distribusi:

Indonesia, Cina Selatan, Sri Lanka, Myanmar, Vietnam, Thailand, Semenanjung

Malaya, New Guinea dan Australia

Habitat:

Banyak ditemukan di daerah aliran sungai dan hutan dataran rendah hingga

pegunungan sampai ketinggian 2.500 m dpl.

Kegunaan:

Kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, buahnya dapat dikonsumsi. Buah

tanaman ini juga biasa dimakan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan

lutung. Pohonnya merupakan habitat berbagai jenis satwa termasuk lutung.

Perbanyakan: biji

Ficus racemosa L.(Moraceae)

Sinonim:

Ficus alba Reinw. ex Blume, Ficus bicolor Hook. ex Miq., Ficus chloroleuca Miq.,

Ficus gossypina Wall. ex Miq., Ficus gossypina forma integrifolia Miq.

Ficus gossypina forma lobata Miq., Ficus hunteri Miq., Ficus lobata Hunter ex Ridl.,

Ficus mappan Miq., Ficus nivea Blume, Ficus palmata Roxb.

Nama lokal: hamerang, ki ciat, sehang

Pertelaan:

Pohon kecil dengan tinggi dapat mencapai 10 m. Buahnya bulat, menempel pada

batang dan cabang, berwarna merah ketika masak. Buah merupakan suatu rongga

yang mengandungi bunga jantan dan betina. Sejenis serangga penyengat biasanya

masuk ke daalam buah membantu pembungaan, Daun berbentuk hati bergetah

dengan ukuran 20-35 x 10-25 cm. Buah bulat dengan diameter 1,2 cm berwarna

kuning jika matang kemudian berangsur-angsur menjadi coklat dan akhirnya merah

tua.

Distribusi: Wilayah Malesia Bagian barat, Semenanjung Malaya hingga Jawa

Habitat: Hutan pegunungan; 1.700 m dp. Hidup di daerah tropis. Tumbuh baik di

tempat terbuka tetapi tahan di tempat teduh. Di Merapi tumbuh sampai

ketinggian 1.700 m dpl.

Kegunaan:

Buah dimakan primata dan burung. Getahnya berwarna putih dan digunakan

untuk industri batik sebagai bahan pengawet kain batik

Perbanyakan: biji.

Ficus grossularioides Bum.f.(Moraceae)

70 71

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Ficus merrillii Elmer, Ficus serraria Miquel, Ficus staphylosyce Ridley.

Nama lokal: ara walen, preh, amis mata, kopeng

Pertelaan:

Pohon dengan tinggi mencapai 20 m. Daun lanset hingga lonjong. Buah menempel

di batang dalam rangkaian yang panjangnya bisa mencapai 1 m.

Distribusi:

Sumatera, Jawa, Sulawesi, Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaya, Filipina

dan New Guinea.

Habitat: Banyak ditemukan di hutan pegunungan hingga ketinggian 2.000 m dpl.

Kegunaan: Sebagai tanaman obat, buahnya dimakan satwa.

Perbanyakan: biji.

Ficus ribes Reinw ex. Blume(Moraceae)

Sinonim:

Ficus cordifolia, Ficus subracemosa, Ficus amboinensis, Ficus racemifera, Ficus

laevigata, Ficus subopaca, Ficus chlorocarpa, Ficus sycomoroides, Ficus

ilangoides, Ficus ehretioides, Ficus integrifolia, Ficus latsoni, Ficus paucinervia,

Ficus garciae, Ficus konishii, Ficus glochidiifolia, Ficus polysyce, Sycomorus

capensis, Sycomorus gummiflua, Urostigma javanicum

Nama lokal: gondang putih, ara merabiasa, ara kondang.

Pertelaan:

Pohon yang tinggi mencapai 40 m, berbanir. Daun dalam rangkaian spirally berbentuk

oval, elips sampai lonjong. Buah menempel di batang.

Distribusi:

Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, India, Cina Selatan, Kepulauan Ryukyu,

Myanmar, Indochina, Thailand, Kepulauan Solomon dan Australia (Queensland).

Habitat: Hutan dataran rendah sampai pegunungan hingga ketinggian 1500 m dpl.

Kegunaan:

Jenis tanaman ini baik untuk konservasi tanah dan air. Kayunya sebagai bahan

bangunan, tanaman ini juga sebagai habitat lutung (buahnya dimakan lutung).

Perbanyakan: biji

Ficus variegata Bl.(Moraceae)

70 71

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Ficus merrillii Elmer, Ficus serraria Miquel, Ficus staphylosyce Ridley.

Nama lokal: ara walen, preh, amis mata, kopeng

Pertelaan:

Pohon dengan tinggi mencapai 20 m. Daun lanset hingga lonjong. Buah menempel

di batang dalam rangkaian yang panjangnya bisa mencapai 1 m.

Distribusi:

Sumatera, Jawa, Sulawesi, Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaya, Filipina

dan New Guinea.

Habitat: Banyak ditemukan di hutan pegunungan hingga ketinggian 2.000 m dpl.

Kegunaan: Sebagai tanaman obat, buahnya dimakan satwa.

Perbanyakan: biji.

Ficus ribes Reinw ex. Blume(Moraceae)

Sinonim:

Ficus cordifolia, Ficus subracemosa, Ficus amboinensis, Ficus racemifera, Ficus

laevigata, Ficus subopaca, Ficus chlorocarpa, Ficus sycomoroides, Ficus

ilangoides, Ficus ehretioides, Ficus integrifolia, Ficus latsoni, Ficus paucinervia,

Ficus garciae, Ficus konishii, Ficus glochidiifolia, Ficus polysyce, Sycomorus

capensis, Sycomorus gummiflua, Urostigma javanicum

Nama lokal: gondang putih, ara merabiasa, ara kondang.

Pertelaan:

Pohon yang tinggi mencapai 40 m, berbanir. Daun dalam rangkaian spirally berbentuk

oval, elips sampai lonjong. Buah menempel di batang.

Distribusi:

Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, India, Cina Selatan, Kepulauan Ryukyu,

Myanmar, Indochina, Thailand, Kepulauan Solomon dan Australia (Queensland).

Habitat: Hutan dataran rendah sampai pegunungan hingga ketinggian 1500 m dpl.

Kegunaan:

Jenis tanaman ini baik untuk konservasi tanah dan air. Kayunya sebagai bahan

bangunan, tanaman ini juga sebagai habitat lutung (buahnya dimakan lutung).

Perbanyakan: biji

Ficus variegata Bl.(Moraceae)

72 73

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Flacourtia euphlebia Merr.

Nama lokal: rukem, jambon

Pertelaan:

Pohon sedang dengan tinggi mencapai 20 m. Batang dan cabangnya berduri dengan

panjang duri 10 cm. Daun berbentuk oval-lonjong atau elips-lonjong bahkan lanset,

teksturnya halus berwarna hijau tua mengkilap atau merah kecoklatan. Bunga kuning

kehijauan tanpa kelopak bunga. Buah buni (berry) berdiameter 2-2,5 cm berwarna

hijau muda sampai merah muda berdaging buah masam. Bijinya pipih berjumlah 4-7

per buah.

Distribusi:

Wilayah Malesiana, Maluku (jarang) , New Guinea.

Habitat:

Banyak ditemukan di hutan primer atau sekunder yang lembab. Sering juga tumbuh di

sepanjang aliran sungai hingga ketinggian 2.100 m dpl.

Kegunaan:

Sebagai tanaman obat dan buahnya biasa dikonsumsi serta pakan satwa. Kayunya

bisa digunakan untuk bahan perabot rumah tangga

Perbanyakan: biji

Flacourtia rukam Zoll.& Moritzi(Salicaceae)

Sinonim:

Antidesma filiforme Blume, Bennettia filiformis (Blume) Müll.Arg. Cremostachys

filiformis (Blume) Tul., Galearia pedicellata Zoll. & Moritzii, Galearia sessilis Zoll. &

Moritzi .

Nama lokal: jebukan, jebugan, galearia Sumatera, balung kaja.

Pertelaan:

Pohon kecil dengan tinggi mencapai 10 m. Batangnya kokoh namun halus tanpa

percabangan hingga 3m. Daun berbentuk oval sampai elips, permukaan bagian

atasnya pipih berambut, berwarna coklat kehijauan ketika masih muda namun

umumnya hijau terang. Bunga mejemuk di ujung (terminal) dengan panjang mencapai

52 cm berwarna hijau serta berambut. Buah pelok (drupe) kadang-kadang berambut.

Galearia filiformis (Blume) Boerl.(Pandaceae)

Distribusi: Sumatera dan Jawa

Habitat:

Ditemukan di hutan tropis, hutan

sekunder serta daerah riparian dengan

ketinggian tempat 600-2.200 m dpl.

Kegunaan:

P o h o n p e l i n d u n g . K a y u n y a

dimanfaatkan sebagai bahan bangunan,

pucuknya dimakan satwa.

Perbanyakan: biji

72 73

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Flacourtia euphlebia Merr.

Nama lokal: rukem, jambon

Pertelaan:

Pohon sedang dengan tinggi mencapai 20 m. Batang dan cabangnya berduri dengan

panjang duri 10 cm. Daun berbentuk oval-lonjong atau elips-lonjong bahkan lanset,

teksturnya halus berwarna hijau tua mengkilap atau merah kecoklatan. Bunga kuning

kehijauan tanpa kelopak bunga. Buah buni (berry) berdiameter 2-2,5 cm berwarna

hijau muda sampai merah muda berdaging buah masam. Bijinya pipih berjumlah 4-7

per buah.

Distribusi:

Wilayah Malesiana, Maluku (jarang) , New Guinea.

Habitat:

Banyak ditemukan di hutan primer atau sekunder yang lembab. Sering juga tumbuh di

sepanjang aliran sungai hingga ketinggian 2.100 m dpl.

Kegunaan:

Sebagai tanaman obat dan buahnya biasa dikonsumsi serta pakan satwa. Kayunya

bisa digunakan untuk bahan perabot rumah tangga

Perbanyakan: biji

Flacourtia rukam Zoll.& Moritzi(Salicaceae)

Sinonim:

Antidesma filiforme Blume, Bennettia filiformis (Blume) Müll.Arg. Cremostachys

filiformis (Blume) Tul., Galearia pedicellata Zoll. & Moritzii, Galearia sessilis Zoll. &

Moritzi .

Nama lokal: jebukan, jebugan, galearia Sumatera, balung kaja.

Pertelaan:

Pohon kecil dengan tinggi mencapai 10 m. Batangnya kokoh namun halus tanpa

percabangan hingga 3m. Daun berbentuk oval sampai elips, permukaan bagian

atasnya pipih berambut, berwarna coklat kehijauan ketika masih muda namun

umumnya hijau terang. Bunga mejemuk di ujung (terminal) dengan panjang mencapai

52 cm berwarna hijau serta berambut. Buah pelok (drupe) kadang-kadang berambut.

Galearia filiformis (Blume) Boerl.(Pandaceae)

Distribusi: Sumatera dan Jawa

Habitat:

Ditemukan di hutan tropis, hutan

sekunder serta daerah riparian dengan

ketinggian tempat 600-2.200 m dpl.

Kegunaan:

P o h o n p e l i n d u n g . K a y u n y a

dimanfaatkan sebagai bahan bangunan,

pucuknya dimakan satwa.

Perbanyakan: biji

74 75

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim:

B r ad l e i a r ub r a ( B l ume ) S t eud . , G l o ch i d i on co r ona t um Hook . f .

Glochidion diversifolium (Miq.) Merr., Glochidion leiostylum Kurz, Glochidion

penangense (Mull.Arg) Airy Shaw, Glochidion rubrum var. longistylus J.J.Sm.,

Glochidion thorelii Beille, Phyllanthus diversifolius Miq., Phyllanthus penangensis

Mull.Arg.

Nama lokal: dempul lelet, lamer (Jawa), ki pare, ki timbul, mareme (Sunda)

Pertelaan:

Pohon yang tingginya 2-18 m dan dengan diameter batang 2-45 cm. Daun berbentuk

oblique-oblong-ovate) dengan ujung meruncing

panjang 4-12,5 cm lebar 2-4,5 cm dengan pangkal daun (petiole) 2-4 cm, daun kaku

tidak berambut. Buah menggantung 3-6 dengan diameter 8-15 mm. Daun tunggal,

berseling. Bunga berdiameter 4mm berwarna putih kekuningan. Buah panjangnya

sekitar 5 mm berwarna merah mudah, biji memiliki aril yang berwarna kuning.

Distribusi:

Jepang, Fujian, Taiwan, Indo China, China bagian selatan, India, Thailand, Myanmar,

Kamboja, Vietnam, Semenanjung Malaya, SIngapura, Sumatera, Jawa Borneo,

Philipina, Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi dan Maluku (Pulau Tanimbar).

Habitat:

Hutan dataran rendah sampai pegunungan.

Kegunaan: Daunnya obat batuk, Buah dimakan satwa.

Perbanyakan: biji.

menyerong lonjong bundar telur (

Di kawasan Gunung Merapi ditemukan

pada ketinggian 1.500-2.400 m dpl, lebih menyukai tanah berpasir.

Glochidion rubrum Blume (Phyllanthaceae,)

Sinonim:

Glochidion brunneum J. D. Hooker, Glochidion canaranum (Müller Argoviensis)

Beddome, Glochidion glaberrimum Ridley, Glochidion hongkongense Müller

Argoviensis, Glochidion lanceolatum Hayata var. liukiuense (Hayata) Hurusawa;

Glochidion littorale Bentham, Glochidion liukiuense Hayata, Glochidion nitidum

(Roxburgh) Voigt, Glochidion obliquum (Willdenow) Decaisne, Glochidion

pedunculatum Merrill, Glochidion perakense J. D. Hooker, Glochidion subscandens

Zollinger & Moritzi, Glochidion sumatranum Miquel

Nama lokal:

dempul seilon, mareme (sunda), dempul, kinjeng, lamer, semut, cabuk (Jawa).

Pertelaan :

Pohon yang tingginya 12-15 m dengan diameter batang 20-40 cm. Daun berbentuk

lonjong (oblong) berukuran 6-8 x 4-8 cm tekstur seperti kulit. Berbunga majemuk

terbatas (cymes) dengan cabang-cabang yang kecil, bunga jantan di bagian bawah

sedangkan bunga betina di bagian atas; bunga berwarna hijau kekuningan, buah

berbentuk kapsul berukuran 8-10 x 5 mm terdiri dari 8-12 cuping (lobe), biji berwarna

merah.

Distribusi :

Sri Lanka, Indian Subcontinent, Asia Tenggara sampai Jepang dan Kepulauan

Solomon.

Glochidion zeylanicum (Gaertn.) A.Juss.(Phyllanthaceae)

Habitat:

Hutan sekunder daerah rendah pada ketinggian

100 - 900 m dpl.

Kegunaan:

Kayunya digunakan sebagai bahan bangunan,

kulit batangnya sebagai bahan pewarna kayu

anyaman atau jala. Buahnya dimakan satwa,

daunnya sebagai tanaman obat

Perbanyakan: biji dan cangkok.

74 75

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim:

B r ad l e i a r ub r a ( B l ume ) S t eud . , G l o ch i d i on co r ona t um Hook . f .

Glochidion diversifolium (Miq.) Merr., Glochidion leiostylum Kurz, Glochidion

penangense (Mull.Arg) Airy Shaw, Glochidion rubrum var. longistylus J.J.Sm.,

Glochidion thorelii Beille, Phyllanthus diversifolius Miq., Phyllanthus penangensis

Mull.Arg.

Nama lokal: dempul lelet, lamer (Jawa), ki pare, ki timbul, mareme (Sunda)

Pertelaan:

Pohon yang tingginya 2-18 m dan dengan diameter batang 2-45 cm. Daun berbentuk

oblique-oblong-ovate) dengan ujung meruncing

panjang 4-12,5 cm lebar 2-4,5 cm dengan pangkal daun (petiole) 2-4 cm, daun kaku

tidak berambut. Buah menggantung 3-6 dengan diameter 8-15 mm. Daun tunggal,

berseling. Bunga berdiameter 4mm berwarna putih kekuningan. Buah panjangnya

sekitar 5 mm berwarna merah mudah, biji memiliki aril yang berwarna kuning.

Distribusi:

Jepang, Fujian, Taiwan, Indo China, China bagian selatan, India, Thailand, Myanmar,

Kamboja, Vietnam, Semenanjung Malaya, SIngapura, Sumatera, Jawa Borneo,

Philipina, Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi dan Maluku (Pulau Tanimbar).

Habitat:

Hutan dataran rendah sampai pegunungan.

Kegunaan: Daunnya obat batuk, Buah dimakan satwa.

Perbanyakan: biji.

menyerong lonjong bundar telur (

Di kawasan Gunung Merapi ditemukan

pada ketinggian 1.500-2.400 m dpl, lebih menyukai tanah berpasir.

Glochidion rubrum Blume (Phyllanthaceae,)

Sinonim:

Glochidion brunneum J. D. Hooker, Glochidion canaranum (Müller Argoviensis)

Beddome, Glochidion glaberrimum Ridley, Glochidion hongkongense Müller

Argoviensis, Glochidion lanceolatum Hayata var. liukiuense (Hayata) Hurusawa;

Glochidion littorale Bentham, Glochidion liukiuense Hayata, Glochidion nitidum

(Roxburgh) Voigt, Glochidion obliquum (Willdenow) Decaisne, Glochidion

pedunculatum Merrill, Glochidion perakense J. D. Hooker, Glochidion subscandens

Zollinger & Moritzi, Glochidion sumatranum Miquel

Nama lokal:

dempul seilon, mareme (sunda), dempul, kinjeng, lamer, semut, cabuk (Jawa).

Pertelaan :

Pohon yang tingginya 12-15 m dengan diameter batang 20-40 cm. Daun berbentuk

lonjong (oblong) berukuran 6-8 x 4-8 cm tekstur seperti kulit. Berbunga majemuk

terbatas (cymes) dengan cabang-cabang yang kecil, bunga jantan di bagian bawah

sedangkan bunga betina di bagian atas; bunga berwarna hijau kekuningan, buah

berbentuk kapsul berukuran 8-10 x 5 mm terdiri dari 8-12 cuping (lobe), biji berwarna

merah.

Distribusi :

Sri Lanka, Indian Subcontinent, Asia Tenggara sampai Jepang dan Kepulauan

Solomon.

Glochidion zeylanicum (Gaertn.) A.Juss.(Phyllanthaceae)

Habitat:

Hutan sekunder daerah rendah pada ketinggian

100 - 900 m dpl.

Kegunaan:

Kayunya digunakan sebagai bahan bangunan,

kulit batangnya sebagai bahan pewarna kayu

anyaman atau jala. Buahnya dimakan satwa,

daunnya sebagai tanaman obat

Perbanyakan: biji dan cangkok.

76 77

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Helicia robusta (Roxb.) R.Br. ex Blume

Pohon yang tingginya mencapai 17 m dengan diameter batang 28 cm. Tanpa daun penumpu, daun tunggal berseling mengkilap. Bunga majemuk tandan (racemes), berdiameter sekitar 13 mm, berwarna putih kekuningan. Buah pelok (drupe) berwarna hijau ungu dengan diameter sekitar 34 mm.

Nama lokal: kendung

Pertelaan:

Distribusi: Jawa

Habitat: Hutan pegunungan, ditemukan pada 2.000 m dpl.

Kegunaan:

Pohon pelindung/ penghijauan, daun mudanya sebagai lalapan. Buah dimakan satwa

Perbanyakan: biji

Helicia javanica Bl.(Proteaceae)

Nama lokal: waru lanang, waru gunung, tisuk

Pertelaan:

Pohon yang tingginya mencapai 25 m dengan diameter batang 50 cm, kulit kayu

kelabu-putih. Daun bundar menjantung (orbicular cordate) dengan diameter 15-35

cm. Bunga berbentuk lonceng bermahkota kuning dan ungu di bagian tengahnya

dengan diameter bunga 6 cm. Buah kapsul (capsule) lonjong (oblong) sepanjang 2-

2,5 cm. Biji berukuran 3 mm.

Distribusi:

Sumatra, Jawa, Kalimantan, India, Bangladesh, Indochina, Thailand dan

Semenanjung Malaya.

Habitat: Hutan sekunder dengan ketinggian 800-1.700 m dpl.

Kegunaan:

Pohon pelindung/ penghijauan; kayunya untuk bahan bangunan atau perahu, roda

pedati, gagang perkakas, ukiran, serta kayu bakar.

Hibiscus macrophyllus Roxb. Ex Hornem(Malvaceae)

76 77

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Helicia robusta (Roxb.) R.Br. ex Blume

Pohon yang tingginya mencapai 17 m dengan diameter batang 28 cm. Tanpa daun penumpu, daun tunggal berseling mengkilap. Bunga majemuk tandan (racemes), berdiameter sekitar 13 mm, berwarna putih kekuningan. Buah pelok (drupe) berwarna hijau ungu dengan diameter sekitar 34 mm.

Nama lokal: kendung

Pertelaan:

Distribusi: Jawa

Habitat: Hutan pegunungan, ditemukan pada 2.000 m dpl.

Kegunaan:

Pohon pelindung/ penghijauan, daun mudanya sebagai lalapan. Buah dimakan satwa

Perbanyakan: biji

Helicia javanica Bl.(Proteaceae)

Nama lokal: waru lanang, waru gunung, tisuk

Pertelaan:

Pohon yang tingginya mencapai 25 m dengan diameter batang 50 cm, kulit kayu

kelabu-putih. Daun bundar menjantung (orbicular cordate) dengan diameter 15-35

cm. Bunga berbentuk lonceng bermahkota kuning dan ungu di bagian tengahnya

dengan diameter bunga 6 cm. Buah kapsul (capsule) lonjong (oblong) sepanjang 2-

2,5 cm. Biji berukuran 3 mm.

Distribusi:

Sumatra, Jawa, Kalimantan, India, Bangladesh, Indochina, Thailand dan

Semenanjung Malaya.

Habitat: Hutan sekunder dengan ketinggian 800-1.700 m dpl.

Kegunaan:

Pohon pelindung/ penghijauan; kayunya untuk bahan bangunan atau perahu, roda

pedati, gagang perkakas, ukiran, serta kayu bakar.

Hibiscus macrophyllus Roxb. Ex Hornem(Malvaceae)

78 79

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Hibiscus hastatus L.f. , Hibiscus similis Blume, Hibiscus celebicus Koord.

Nama lokal:

waru, waru gunung (Sunda), waru gombong, waruk Kopek, waru rangkang (Jawa).

Pertelaan:

Pohon bengkok yang tingginya 10-15 m dan dengan diameter batang 40-50 cm.

Kayunya ringan namun padat berwarna kelabu kecoklatan. Tajuknya rimbun,

kemampuan bertahannya tinggi karena toleran terhadap kondisi masin dan kering.

Distribusi: Asia Tenggara.

Habitat: Tumbuh liar, sering di sekitar sungai.

Kegunaan:

Pohon pelindung/ penghijauan; kayunya banyak digunakan sebagai gagang kapak/

perkakas serta ukiran.

Perbanyakan: biji dan stek

Sinonim:

Carumbium populneum (Geiseler) Mull.Arg., Carumbium populifolium Reinw. ex

Blume , Excoecaria laevis Blanco, Homalanthus leschenaultianus A.Juss.,

Homalanthus sulawesianus Airy Shaw, Stillingia populnea Geiseler

Pohon yang tingginya mencapai 12 m dengan diameter batang sekitar 12 cm. Daun

tunggal berseling mengkilap dengan permukaan bawah daun berwarna keputihan.

Bunga mejemuk tandan (racemes) berwarna kekuningan. Buah hijau dengan

diameter sekitar 5 mm. Biji memiliki salut biji (aril).

Nama lokal:

kareumbi, kareumbi badak (Sunda), jarak pati, karumbi, mruwu, tutup abang, tutup

sapi (Jawa)

Pertelaan:

Distribusi: Asia Tenggara, Australia.

Habitat:

Pada lahan sangat terganggu, terbuka tempat-tempat seperti semak-semak atau

pinggir jalan dengan ketinggian 100-3.000 m dpl. Mungkin pohon pionir setelah

kebakaran karena banyak tumbuh di bekas kebakaran .

Kegunaan:

Kayunya jelek tapi cocok untuk penghutanan kembali. Kulit batangnya bisa

digunakan untuk bahan cat hitam. Buah, akar dan daun dipakai sebagai bahan obat.

Daunnya sebagai pakan satwa.

Perbanyakan: biji

Hibiscus tiliaceus L(Malvaceae)

Homalanthus populneus (Geiseler) Pax(Euphorbiaceae)

http://w

ww

.bota

nic

kate

plic

e.c

z

78 79

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Hibiscus hastatus L.f. , Hibiscus similis Blume, Hibiscus celebicus Koord.

Nama lokal:

waru, waru gunung (Sunda), waru gombong, waruk Kopek, waru rangkang (Jawa).

Pertelaan:

Pohon bengkok yang tingginya 10-15 m dan dengan diameter batang 40-50 cm.

Kayunya ringan namun padat berwarna kelabu kecoklatan. Tajuknya rimbun,

kemampuan bertahannya tinggi karena toleran terhadap kondisi masin dan kering.

Distribusi: Asia Tenggara.

Habitat: Tumbuh liar, sering di sekitar sungai.

Kegunaan:

Pohon pelindung/ penghijauan; kayunya banyak digunakan sebagai gagang kapak/

perkakas serta ukiran.

Perbanyakan: biji dan stek

Sinonim:

Carumbium populneum (Geiseler) Mull.Arg., Carumbium populifolium Reinw. ex

Blume , Excoecaria laevis Blanco, Homalanthus leschenaultianus A.Juss.,

Homalanthus sulawesianus Airy Shaw, Stillingia populnea Geiseler

Pohon yang tingginya mencapai 12 m dengan diameter batang sekitar 12 cm. Daun

tunggal berseling mengkilap dengan permukaan bawah daun berwarna keputihan.

Bunga mejemuk tandan (racemes) berwarna kekuningan. Buah hijau dengan

diameter sekitar 5 mm. Biji memiliki salut biji (aril).

Nama lokal:

kareumbi, kareumbi badak (Sunda), jarak pati, karumbi, mruwu, tutup abang, tutup

sapi (Jawa)

Pertelaan:

Distribusi: Asia Tenggara, Australia.

Habitat:

Pada lahan sangat terganggu, terbuka tempat-tempat seperti semak-semak atau

pinggir jalan dengan ketinggian 100-3.000 m dpl. Mungkin pohon pionir setelah

kebakaran karena banyak tumbuh di bekas kebakaran .

Kegunaan:

Kayunya jelek tapi cocok untuk penghutanan kembali. Kulit batangnya bisa

digunakan untuk bahan cat hitam. Buah, akar dan daun dipakai sebagai bahan obat.

Daunnya sebagai pakan satwa.

Perbanyakan: biji

Hibiscus tiliaceus L(Malvaceae)

Homalanthus populneus (Geiseler) Pax(Euphorbiaceae)

http://w

ww

.bota

nic

kate

plic

e.c

z

80

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Nama lokal: kayu batu, langit lawe (Jawa).

Pertelaan:

Tumbuhan semak, jarang terlihat seperti pohon, berbunga dan berbuah, batangnya

gelap tinggi dapat mencapai 3-11 m. Daun majemuk dengan panjang 50-100 cm

dan anak daun berukuran 6-21 x 1.5-9 cm

Distribusi:

Semenanjung Malaya, Jawa, Sumatra, dan Kalimantan, Indo China, Australia.

Kepulauan Pasifik, India

Habitat:

Ditemukan di hutan sampai ketinggian 600 m dpl. Umum tumbuh sebagai penutup

tanah di hutan sekunder atau terganggu.

Kegunaan:

Pohon pelindung/ penghijauan, kayu bangunan yang kuat. Bunganya didatangi

berbagai jenis serangga penyerbuk seperti lalat, lebah, kumbang, kupu-kupu.

Akarnya digunakan untuk ramuan obat diare, dan disentri kronis. Pucuk daunnya

antara lain untuk obat vertigo, diare, disentri, kolik dan penyakit kulit.

Perbanyakan: biji

Homalium grandifolium Benth.(Flacourtiaceae)

81

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Leea sambucina Willd., Staphylea indica Burm. f.

Nama lokal:

girang, saradan, kayu tuwa, tirah (Jawa), ki tuwa, silangkar, sulangkar (Sunda).

Pertelaan: Pohon perdu yang tingginya 3-11 m, berakar tunggang.

Distribusi: Asia Tenggara.

Habitat:

Tumbuh terpencar di tanah kering atau kering sekali sampai ketinggian 1.300 m dpl.

Kegunaan: Sebagai tanaman obat, buahnya banyak dimakan satwa.

Perbanyakan: biji

Leea indica (Burm.F.) MerrLeeaceae

htt

p://k

eys.

trin

.org

.au/k

ey-s

erv

er

82 83

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Malapoenna javanica Kuntze, Malapoenna javanica Kuntze

Nama lokal: wuru teja, huru batu, huru gambir, huru hiris, wuru teja.

Pertelaan: Pohon dengan tinggi mencapai 24 m dan diameter 40 cm.

Distribusi: Jawa

Habitat: Di Jawa ditemukan di atas ketinggian 1.500 m dpl.

Kegunaan: Pohon pelindung/ penghijauan, buahnya dimakan satwa.

Perbanyakan: biji

Litsea javanica BL.(Lauraceae)

Sinonim:

Macaranga blumeana Müll.Arg, Tanarius rhizinoides (Blume) Kuntze, Zanthoxylum

rhizinoides Blumei

Nama lokal: mara, tutup awu, calik angin.

Pertelaan:

Pohon dengan tinggi 15-40 m. Daun berbentuk segitiga hingga oval dengan panjang

mencapai 20 cm, permukaan bagian bawah ditutupi rambut-rambut putih. Bunga

majemuk tandan (racemes) dimana bunga jantan dan betina terpisah. Anak bunga

berukuran kecil dalam cluster. Buah membulat (globose) dengan diameter mencapai

4,5 mm. Biji bulat dan halus permukaannya.

Distribusi: Sumatera dan Jawa.

Habitat: Hutan pegunungan dengan ketinggian 700-2.400 m dpl.

Kegunaan: Pohon pelindung dan sebagai tanaman obat.

Perbanyakan: biji.

Macaranga rhizinoides (Blume) Mull. Arg.Euphorbiaceae

82 83

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Malapoenna javanica Kuntze, Malapoenna javanica Kuntze

Nama lokal: wuru teja, huru batu, huru gambir, huru hiris, wuru teja.

Pertelaan: Pohon dengan tinggi mencapai 24 m dan diameter 40 cm.

Distribusi: Jawa

Habitat: Di Jawa ditemukan di atas ketinggian 1.500 m dpl.

Kegunaan: Pohon pelindung/ penghijauan, buahnya dimakan satwa.

Perbanyakan: biji

Litsea javanica BL.(Lauraceae)

Sinonim:

Macaranga blumeana Müll.Arg, Tanarius rhizinoides (Blume) Kuntze, Zanthoxylum

rhizinoides Blumei

Nama lokal: mara, tutup awu, calik angin.

Pertelaan:

Pohon dengan tinggi 15-40 m. Daun berbentuk segitiga hingga oval dengan panjang

mencapai 20 cm, permukaan bagian bawah ditutupi rambut-rambut putih. Bunga

majemuk tandan (racemes) dimana bunga jantan dan betina terpisah. Anak bunga

berukuran kecil dalam cluster. Buah membulat (globose) dengan diameter mencapai

4,5 mm. Biji bulat dan halus permukaannya.

Distribusi: Sumatera dan Jawa.

Habitat: Hutan pegunungan dengan ketinggian 700-2.400 m dpl.

Kegunaan: Pohon pelindung dan sebagai tanaman obat.

Perbanyakan: biji.

Macaranga rhizinoides (Blume) Mull. Arg.Euphorbiaceae

84 85

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Mallotus conchinchinense Lour.

Nama lokal: tutup putih, malotusi balikangin, tutup kancil.

Pertelaan:

Pohon dengan tinggi mencapai 20 m dan diameter 15 cm. Daun berseling berwarna

hijau. Bunga majemuk jantan dan betina memiliki panjangnya 20-45 cm sering

bercabang. Bunga jantan dalam cluster sebanyak 5-7 bunga berwarna ungu pucat

dengan ukuran 5 mm. Bunga betina berwarna cream kecoklatan berukuran 4 mm.

Buah berambut berbentuk kapsul (capsule) berukuran 12x14 mm memiliki 3 cuping

(lobed). Biji membulat (globose) berwarna hitam dengan diameter 3 mm.

Distribusi:

India, Myanmar, Indochina, Cina Selatan, Taiwan, Thailand, Wilayah Malesiana

(kecuali paparan Sunda Kecil) dan Australia Utara.

Mallotus paniculatus (Lam.) Mull.Arg.(Euphorbiaceae)

Habitat:

Tempat terbuka dan terganggu

di padang rumput dan vegetasi

semak hingga ketinggian 1.700

m dpl.

Kegunaan:

Kayunya sebagai bahan

bangunan, daunnya dimakan

lutung.

Perbanyakan: biji dan stek

Sinonim: Morella javanica (Blume) I.M.Turner

Nama lokal: wuru ketek, mangkoan, picisan (Jawa), ki teke (Sunda)

Pertelaan:

Pohon sedang dengan tinggi mencapai 15 m dan diameter 35 cm.

Distribusi: Asia Tenggara

Myrica javanica BL.(Myricaceae)

Habitat: Tumbuh berkelompok di hutan

sampai ketinggian 1.500 m dpl.

Kegunaan:

Sebagai tanaman pelindung di lereng

gunung yang gundul. Kayunya sebagai

bahan kayu bakar, buahnya dikonsumsi

oleh penduduk di pegunungan serta

sebagai pakan satwa.

Perbanyakan: biji

84 85

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Mallotus conchinchinense Lour.

Nama lokal: tutup putih, malotusi balikangin, tutup kancil.

Pertelaan:

Pohon dengan tinggi mencapai 20 m dan diameter 15 cm. Daun berseling berwarna

hijau. Bunga majemuk jantan dan betina memiliki panjangnya 20-45 cm sering

bercabang. Bunga jantan dalam cluster sebanyak 5-7 bunga berwarna ungu pucat

dengan ukuran 5 mm. Bunga betina berwarna cream kecoklatan berukuran 4 mm.

Buah berambut berbentuk kapsul (capsule) berukuran 12x14 mm memiliki 3 cuping

(lobed). Biji membulat (globose) berwarna hitam dengan diameter 3 mm.

Distribusi:

India, Myanmar, Indochina, Cina Selatan, Taiwan, Thailand, Wilayah Malesiana

(kecuali paparan Sunda Kecil) dan Australia Utara.

Mallotus paniculatus (Lam.) Mull.Arg.(Euphorbiaceae)

Habitat:

Tempat terbuka dan terganggu

di padang rumput dan vegetasi

semak hingga ketinggian 1.700

m dpl.

Kegunaan:

Kayunya sebagai bahan

bangunan, daunnya dimakan

lutung.

Perbanyakan: biji dan stek

Sinonim: Morella javanica (Blume) I.M.Turner

Nama lokal: wuru ketek, mangkoan, picisan (Jawa), ki teke (Sunda)

Pertelaan:

Pohon sedang dengan tinggi mencapai 15 m dan diameter 35 cm.

Distribusi: Asia Tenggara

Myrica javanica BL.(Myricaceae)

Habitat: Tumbuh berkelompok di hutan

sampai ketinggian 1.500 m dpl.

Kegunaan:

Sebagai tanaman pelindung di lereng

gunung yang gundul. Kayunya sebagai

bahan kayu bakar, buahnya dikonsumsi

oleh penduduk di pegunungan serta

sebagai pakan satwa.

Perbanyakan: biji

86 87

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Bancalus affinis (Miq.) Kuntze, Nauclea lanceolata Blume

Nama lokal:

klepu pasir, picis, picisan, pundungan, wesen (Jawa), ki anggrit, cangcaratan,

cengeh caah (Sunda)

Pertelaan:

Pohon yang tingginya 30 m dan dengan diameter batang 75 cm. Pohon yang

tingginya mencapai 25 m, kadang-kadang berbanir pendek. Kulit batang coklat atau

kelabu dengan permukaan yang kasar. Daun tunggal berhadapan berwarna hijau tua

sedangkan permukaan bawah daun hijau pucat. Bunga majemuk berwarna kuning.

Buah coklat muda berbentuk kapsul dengan biji 1 setiap kapsulnya. Biji berdiameter 1-

10 mm.

Distribusi: Asia Tenggara

Habitat: Ditemukan tersebar di hutan hingga ketinggian 1.500 m dpl.

Kegunaan: Kayu bangunan yang kuat.

Perbanyakan: biji.

Neonauclea lanceolata (Blume) Merr.(Rubiaceae)

Sinonim: Albizia montana (Jungh.) Benth.

Nama lokal:

ki haruman (sunda), kelantara, kelandingan, kemilandingan, kemilandingan gunung,

mandingan, pulungan, selantara (Jawa) pulung (Madura).

Pertelaan:

Pohon yang tingginya 5-8 m dengan diameter batang 10 cm jenis ini mampu menyebar

dengan cepat karena buah polongnya jika telah tua akan meletus dan bijinya menyebar.

Distribusi: Asia Tenggara

Habitat: Hutan pegunungan sampai 3.100 m dpl,

Kegunaan:

Daunnya untuk pakan ternak, akarnya untuk penyubur dan pengikat tanah,

kayunya untuk kayu bakar dan konstruksi ringan.

Perbanyakan: biji.

Paraserianthes lophantha (Willd.) I.C.Nielsen ssp. montana (Jungh.) I.C. Nielsen(Mimosaceae)

86 87

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Bancalus affinis (Miq.) Kuntze, Nauclea lanceolata Blume

Nama lokal:

klepu pasir, picis, picisan, pundungan, wesen (Jawa), ki anggrit, cangcaratan,

cengeh caah (Sunda)

Pertelaan:

Pohon yang tingginya 30 m dan dengan diameter batang 75 cm. Pohon yang

tingginya mencapai 25 m, kadang-kadang berbanir pendek. Kulit batang coklat atau

kelabu dengan permukaan yang kasar. Daun tunggal berhadapan berwarna hijau tua

sedangkan permukaan bawah daun hijau pucat. Bunga majemuk berwarna kuning.

Buah coklat muda berbentuk kapsul dengan biji 1 setiap kapsulnya. Biji berdiameter 1-

10 mm.

Distribusi: Asia Tenggara

Habitat: Ditemukan tersebar di hutan hingga ketinggian 1.500 m dpl.

Kegunaan: Kayu bangunan yang kuat.

Perbanyakan: biji.

Neonauclea lanceolata (Blume) Merr.(Rubiaceae)

Sinonim: Albizia montana (Jungh.) Benth.

Nama lokal:

ki haruman (sunda), kelantara, kelandingan, kemilandingan, kemilandingan gunung,

mandingan, pulungan, selantara (Jawa) pulung (Madura).

Pertelaan:

Pohon yang tingginya 5-8 m dengan diameter batang 10 cm jenis ini mampu menyebar

dengan cepat karena buah polongnya jika telah tua akan meletus dan bijinya menyebar.

Distribusi: Asia Tenggara

Habitat: Hutan pegunungan sampai 3.100 m dpl,

Kegunaan:

Daunnya untuk pakan ternak, akarnya untuk penyubur dan pengikat tanah,

kayunya untuk kayu bakar dan konstruksi ringan.

Perbanyakan: biji.

Paraserianthes lophantha (Willd.) I.C.Nielsen ssp. montana (Jungh.) I.C. Nielsen(Mimosaceae)

88 89

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Phoebe macrophylla, Machilus macrophylla Hemsl.

Nama lokal:

wuru payung, huru dapung, huru huya, huru leksa, huru meuhmal, huru munding,

huru payung, huru sikijeng, huru tangkalak (Sunda)

Pertelaan:Pohon dengan tinggi mencapai 20m dan diameter 30 cm.

Distribusi: Asia Tenggara

Habitat:Hutan dengan ketinggian tempat 700- 1.200 m dpl.

Kegunaan:Kayunya dimanfaatkan untuk bahan bangunan (papan).

Perbanyakan: biji.

Phoebe chinensis Chun(Lauraceae)

Sinonim: Dacrycarpus imbricatus (Blume)

Nama lokal:

bintami, cemara pandak, ki jamuju, ki putri, ki camara (Sunda), aru, taji, tekik,

cemara tikung (Jawa)

Pertelaan:

Pohon besar dengan tinggi mencapai 50 m dengan diameter mencapai 2 m.

Batangnya yang lurus tanpa percabangan bisa mencapai 20 m. Kulit batang merah-

coklat. Daun meruncing. Biji merah mengkilat dengan ukuran 0.5-0.6 cm.

Distribusi: Cina Selatan, Asia Tenggara dan Kepulauan Pasific.

Habitat: Hutan pegunungan 1.400-1.750 m dpl.

Kegunaan:

Sebagai tanaman hias, kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan buahnya

dimakan lutung.

Perbanyakan: biji.

Podocarpus imbricatus Blume.(Podocarpaceae)

88 89

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim: Phoebe macrophylla, Machilus macrophylla Hemsl.

Nama lokal:

wuru payung, huru dapung, huru huya, huru leksa, huru meuhmal, huru munding,

huru payung, huru sikijeng, huru tangkalak (Sunda)

Pertelaan:Pohon dengan tinggi mencapai 20m dan diameter 30 cm.

Distribusi: Asia Tenggara

Habitat:Hutan dengan ketinggian tempat 700- 1.200 m dpl.

Kegunaan:Kayunya dimanfaatkan untuk bahan bangunan (papan).

Perbanyakan: biji.

Phoebe chinensis Chun(Lauraceae)

Sinonim: Dacrycarpus imbricatus (Blume)

Nama lokal:

bintami, cemara pandak, ki jamuju, ki putri, ki camara (Sunda), aru, taji, tekik,

cemara tikung (Jawa)

Pertelaan:

Pohon besar dengan tinggi mencapai 50 m dengan diameter mencapai 2 m.

Batangnya yang lurus tanpa percabangan bisa mencapai 20 m. Kulit batang merah-

coklat. Daun meruncing. Biji merah mengkilat dengan ukuran 0.5-0.6 cm.

Distribusi: Cina Selatan, Asia Tenggara dan Kepulauan Pasific.

Habitat: Hutan pegunungan 1.400-1.750 m dpl.

Kegunaan:

Sebagai tanaman hias, kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan buahnya

dimakan lutung.

Perbanyakan: biji.

Podocarpus imbricatus Blume.(Podocarpaceae)

90 91

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim : Lithocarpus korthalsii (Endl.) Soepadmo

Nama lokal:

pasang balung, pasang kapur (Jawa), pasang abu, pasang batu, bodas, pasang susu,

pasang tangogo, pasang celeng, tangogo (Sunda).

Pertelaan:

Pohon dengan tinggi mencapai 30 m dan diameter 1 m. Kayu berwarna coklat

tua hingga coklat kemerahan.

Distribusi: Asia Tenggara

Habitat:

Tumbuh di hutan yang banyak naungan, ditemukan pada ketinggian 2.300 m dpl.

Kegunaan:

Kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan sedangkan buahnya makanan

lutung.

Perbanyakan: biji

Quercus teysmannii Bl.(Fagaceae)

Sinonim:

Quercus abbreviata Vuk., Quercus acutiloba Borbás, Quercus acutiloba Borbás,

Quercus altissima Petz. & G.Kirchn, Quercus argentea Morogues, Quercus

atrosanguinea K.Koch

Nama lokal:

pasang jambe, butaruwa, pasang hiris, pasang tangogo, pasang celeng (Sunda)

Pertelaan:

Pohon besar dengan tinggi mencapai 50 m dan diameter 1,25 m. Kayunya kasar

berwarna coklat kemerahan bergaris halus.

Distribusi: Asia Tenggara

Habitat:Ditemukan di hutan dengan ketinggian tempat 200- 2.000 m dpl.

Kegunaan:.Kayunya sebagai bahan bangunan sedangkan buahnya makanan lutung

Perbanyakan: biji.

Quercus robur subsp. Robur(Fagaceae)

90 91

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim : Lithocarpus korthalsii (Endl.) Soepadmo

Nama lokal:

pasang balung, pasang kapur (Jawa), pasang abu, pasang batu, bodas, pasang susu,

pasang tangogo, pasang celeng, tangogo (Sunda).

Pertelaan:

Pohon dengan tinggi mencapai 30 m dan diameter 1 m. Kayu berwarna coklat

tua hingga coklat kemerahan.

Distribusi: Asia Tenggara

Habitat:

Tumbuh di hutan yang banyak naungan, ditemukan pada ketinggian 2.300 m dpl.

Kegunaan:

Kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan sedangkan buahnya makanan

lutung.

Perbanyakan: biji

Quercus teysmannii Bl.(Fagaceae)

Sinonim:

Quercus abbreviata Vuk., Quercus acutiloba Borbás, Quercus acutiloba Borbás,

Quercus altissima Petz. & G.Kirchn, Quercus argentea Morogues, Quercus

atrosanguinea K.Koch

Nama lokal:

pasang jambe, butaruwa, pasang hiris, pasang tangogo, pasang celeng (Sunda)

Pertelaan:

Pohon besar dengan tinggi mencapai 50 m dan diameter 1,25 m. Kayunya kasar

berwarna coklat kemerahan bergaris halus.

Distribusi: Asia Tenggara

Habitat:Ditemukan di hutan dengan ketinggian tempat 200- 2.000 m dpl.

Kegunaan:.Kayunya sebagai bahan bangunan sedangkan buahnya makanan lutung

Perbanyakan: biji.

Quercus robur subsp. Robur(Fagaceae)

92 93

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim:

Schima bancana Miq., Schima crenata Korth., Schima khasiana Dyer., Schima mollis

Dyer, Schima noronhae Reinw. ex Blume

Nama lokal: puspa

Pertelaan:

Pohon yang tingginya mencapai 47 m dan dengan diameter batang 125 cm. Batang

lurus tanpa percabangan hingga setinggi 25 m. Memiliki banir hingga setinggi 1,8

m.Kulit batang berwarna merah kecoklatan atau abu-abu tua. Daun tunggal oblong

hingga elips. Bunga putih. Buah kapsul. Biji berjumlah 2-30 bersayap.

Distribusi: Asia Tenggara, Himalaya, Cina Selatan, Jepang Selatan.

Habitat:

Hidup pada berbagai kondisi tanah, iklim, dan habitat. Sering ditemukan tumbuh

melimpah di hutan primer dataran rendah hingga pegunungan, pohon ini juga umum

dijumpai di hutan-hutan sekunder dan wilayah yang terganggu, bahkan juga di

padang ilalang. Bisa hidup hingga ketinggian 3.900 m dpl., puspa tidak memilih-milih

kondisi tekstur dan kesuburan tanah. Meski lebih menyukai tanah yang berdrainase

baik, pohon puspa diketahui mampu tumbuh baik di daerah berawa dan tepian

sungai.

Schima wallichii (DC.) Korth.(Theaceae)

Kegunaan:

Sebagai tanaman obat, kayunya banyak

dimanfaatkan sebagai bahan bangunan.

Tanaman penghasil tanin serta racun

ikan.

Perbanyakan: biji

Sinonim:

Symplocos ferruginea Roxb, Symplocos ferruginifolia Kaneh, Symplocos javanica

(Blume) Kurz

Berupa semak atau pohon kecil dengan diameter batang 20 cm. Tangkai daun 1-2 cm

dengan tulang daun bagian tengah berwarna merah kecoklatan. Bunga majemuk

berwarna putih kekuningan.

Nama lokal: jirak, putihan, jirak sapi, sasah (Sunda)

Pertelaan:

Distribusi: Asia Tenggara

Habitat: Ditemukan pada ketinggian 1.700 m dpl sampai 2.200 m dpl.

Kegunaan:

Kulitnya bisa digunakan sebagai bahan cat. Pohonnya sebagai habitat satwa,

daunnya pakan rusa.

Perbanyakan: biji

Symplocos cochinchinensis var. cochinchinensis (Symplocaceae)

htt

p://w

ww

.cuhkacs.

org

/~m

ath

ew

/

92 93

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim:

Schima bancana Miq., Schima crenata Korth., Schima khasiana Dyer., Schima mollis

Dyer, Schima noronhae Reinw. ex Blume

Nama lokal: puspa

Pertelaan:

Pohon yang tingginya mencapai 47 m dan dengan diameter batang 125 cm. Batang

lurus tanpa percabangan hingga setinggi 25 m. Memiliki banir hingga setinggi 1,8

m.Kulit batang berwarna merah kecoklatan atau abu-abu tua. Daun tunggal oblong

hingga elips. Bunga putih. Buah kapsul. Biji berjumlah 2-30 bersayap.

Distribusi: Asia Tenggara, Himalaya, Cina Selatan, Jepang Selatan.

Habitat:

Hidup pada berbagai kondisi tanah, iklim, dan habitat. Sering ditemukan tumbuh

melimpah di hutan primer dataran rendah hingga pegunungan, pohon ini juga umum

dijumpai di hutan-hutan sekunder dan wilayah yang terganggu, bahkan juga di

padang ilalang. Bisa hidup hingga ketinggian 3.900 m dpl., puspa tidak memilih-milih

kondisi tekstur dan kesuburan tanah. Meski lebih menyukai tanah yang berdrainase

baik, pohon puspa diketahui mampu tumbuh baik di daerah berawa dan tepian

sungai.

Schima wallichii (DC.) Korth.(Theaceae)

Kegunaan:

Sebagai tanaman obat, kayunya banyak

dimanfaatkan sebagai bahan bangunan.

Tanaman penghasil tanin serta racun

ikan.

Perbanyakan: biji

Sinonim:

Symplocos ferruginea Roxb, Symplocos ferruginifolia Kaneh, Symplocos javanica

(Blume) Kurz

Berupa semak atau pohon kecil dengan diameter batang 20 cm. Tangkai daun 1-2 cm

dengan tulang daun bagian tengah berwarna merah kecoklatan. Bunga majemuk

berwarna putih kekuningan.

Nama lokal: jirak, putihan, jirak sapi, sasah (Sunda)

Pertelaan:

Distribusi: Asia Tenggara

Habitat: Ditemukan pada ketinggian 1.700 m dpl sampai 2.200 m dpl.

Kegunaan:

Kulitnya bisa digunakan sebagai bahan cat. Pohonnya sebagai habitat satwa,

daunnya pakan rusa.

Perbanyakan: biji

Symplocos cochinchinensis var. cochinchinensis (Symplocaceae)

htt

p://w

ww

.cuhkacs.

org

/~m

ath

ew

/

94 95

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim:

Myrtus cumini L., Eugenia jambolana Lamk, Syzygium jambolanum (Lamk) DC.,

Eugenia cumini (L.) Druce

Nama lokal: duwet, jamblang (Jawa)

Pertelaan:

Pohon dengan tinggi mencapai 6-20 m, tajuk tidak beraturan dengan banyak

percabangan. Kulit kayu berwarna coklat atau abu-abu tua dengan ketebalan

mencapai 2.5 cm. Daun berhadapan, tebal, licin. Bunga majemuk berwarna putih

atau merah muda dengan panjang 7 mm, harum lembut. Buah berry berbentuk

lonjong, jumlahnya banyak dalam cluster, berwarna merah muda atau ungu

kehitaman saat masak. Biji banyak, bentuk tidak beraturan dengan ukuran 1-1,5 mm.

Distribusi: Asia Selatan dan Asia Tenggara sampai Amerika Selatan.

Syzygium cumini (L.) Skeels(Myrtaceae)

Habitat:

Hutan sekunder, lahan basah dan daerah

aliran sungai dengan ketinggian tempat 100-

1.200 m dpl.

Kegunaan:

Sebagai tanaman pelindung dengan perakaran

yang baik. Kulit batang, daun, buah dan biji

tanaman ini juga banyak dimanfaatkan sebagai

bahan obat, buahnya banyak dikonsumsi.

Buah, bunga dan daun juga sebagai pakan

satwa.

Perbanyakan: biji, stek dan cangkok.

Sinonim:

Eugenia polyantha Wight, Eugenia nitida Duthie, Eugenia balsamea Ridley

Nama lokal: salam

Pertelaan:

Pohon dengan ketinggian dapat mencapai 30 m. Tajuknya besar dengan kulit batang

coklat abu-abu. Daun tunggal berhadapan halus berbentuk lonjong atau lanset

dengan panjang tangkai daun 12 mm. Bunga majemuk muncul dari bawah daun-daun

berwarna putih harum. Buah berry berwarna merah tua atau ungu kehitaman ketika

matang.

Distribusi: Indonesia, Indochina, Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaya dan

Brunei.

Habitat:

Tumbuh di bawah tegakan pohon hutan dataran rendah atau hutan sekunder.

Ditemukan juga di hutan bambu hingga ketinggian 1.800 m dpl.

Syzygium polyanthum (Wight) Walp.(Myrtaceae)

Kegunaan:

Sebagai tanaman hias dan tanaman

obat. Kayunya banyak dimanfaatkan

sebagai bahan bangunan dan perabot

rumah tangga. Daunnya sebagai bumbu

masak, sedangkan buahnya banyak

dikonsumsi serta sebagai pakan satwa.

Perbanyakan: biji dan stek

94 95

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim:

Myrtus cumini L., Eugenia jambolana Lamk, Syzygium jambolanum (Lamk) DC.,

Eugenia cumini (L.) Druce

Nama lokal: duwet, jamblang (Jawa)

Pertelaan:

Pohon dengan tinggi mencapai 6-20 m, tajuk tidak beraturan dengan banyak

percabangan. Kulit kayu berwarna coklat atau abu-abu tua dengan ketebalan

mencapai 2.5 cm. Daun berhadapan, tebal, licin. Bunga majemuk berwarna putih

atau merah muda dengan panjang 7 mm, harum lembut. Buah berry berbentuk

lonjong, jumlahnya banyak dalam cluster, berwarna merah muda atau ungu

kehitaman saat masak. Biji banyak, bentuk tidak beraturan dengan ukuran 1-1,5 mm.

Distribusi: Asia Selatan dan Asia Tenggara sampai Amerika Selatan.

Syzygium cumini (L.) Skeels(Myrtaceae)

Habitat:

Hutan sekunder, lahan basah dan daerah

aliran sungai dengan ketinggian tempat 100-

1.200 m dpl.

Kegunaan:

Sebagai tanaman pelindung dengan perakaran

yang baik. Kulit batang, daun, buah dan biji

tanaman ini juga banyak dimanfaatkan sebagai

bahan obat, buahnya banyak dikonsumsi.

Buah, bunga dan daun juga sebagai pakan

satwa.

Perbanyakan: biji, stek dan cangkok.

Sinonim:

Eugenia polyantha Wight, Eugenia nitida Duthie, Eugenia balsamea Ridley

Nama lokal: salam

Pertelaan:

Pohon dengan ketinggian dapat mencapai 30 m. Tajuknya besar dengan kulit batang

coklat abu-abu. Daun tunggal berhadapan halus berbentuk lonjong atau lanset

dengan panjang tangkai daun 12 mm. Bunga majemuk muncul dari bawah daun-daun

berwarna putih harum. Buah berry berwarna merah tua atau ungu kehitaman ketika

matang.

Distribusi: Indonesia, Indochina, Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaya dan

Brunei.

Habitat:

Tumbuh di bawah tegakan pohon hutan dataran rendah atau hutan sekunder.

Ditemukan juga di hutan bambu hingga ketinggian 1.800 m dpl.

Syzygium polyanthum (Wight) Walp.(Myrtaceae)

Kegunaan:

Sebagai tanaman hias dan tanaman

obat. Kayunya banyak dimanfaatkan

sebagai bahan bangunan dan perabot

rumah tangga. Daunnya sebagai bumbu

masak, sedangkan buahnya banyak

dikonsumsi serta sebagai pakan satwa.

Perbanyakan: biji dan stek

96 97

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim:

Eupatorium javanicum Blume, Flustula tomentosa Raf. Gymnanthemum

acuminatum Steetz, Gymnanthemum arboreum (Buch.-Ham.) H.Rob., Strobocalyx

arborea (Buch.-Ham.) Sch.Bip., Strobocalyx javanica (Blume) Sch.Bip., Vernonia

javanica (Blume) DC., Vernonia vaniotii H.Lév.

Nama lokal: sembung, sembung dedek, medang, gambong merembung

Pertelaan:

Pohon yang tingginya 30 m dan dengan diameter batang 80-100 cm. Daun tunggal

berseling biasanya tidak simetris. Bunga majemuk panicle berwarna ungu dengan

diameter bunga 2 mm. Buah coklat tua tidak mengkilap tidak berdaging berukuran

panjang 5 mm. Biji 1, sangat kecil tidak bersayap.

Distribusi: Asia Tropis

Habitat:

Hidup di hutan maupun daerah terganggu. Ditemukan di berbagai habitat, mulai dari

rawa-rawa, daerah aliran sungai, lembah hingga ketinggian 2.500 m dpl.

Kegunaan:

Sebagai tanaman obat. Kayunya lunak tidak digunakan untuk bangunan, baik

untuk batang korek api.

Perbanyakan: biji

Vernonia arborea Buch.-Ham. Ex Buch.-Ham(Compositae)

Sinonim: Plerandropsis R.Vig.

Nama lokal: gorang, gurang, jurang, burang, panggang

Pertelaan:

Pohon yang tingginya 8 m dan dengan diameter batang 15 cm, memiliki ranting

berduri. Daun majemuk menjari. Bunga majemuk berbentuk payung muncul

diantara atau di bawah daun.

Distribusi: Sumatera, Jawa, Lombok.

Habitat: Tumbuh di Hutan Pegunungan sampai ketinggian 1.500 m dpl.

Kegunaan: Sebagai tanaman hias, biasa digunakan untuk tanaman pagar.

Perbanyakan: biji

Trevesia sundaica Miq.(Araliaceae)

96 97

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Sinonim:

Eupatorium javanicum Blume, Flustula tomentosa Raf. Gymnanthemum

acuminatum Steetz, Gymnanthemum arboreum (Buch.-Ham.) H.Rob., Strobocalyx

arborea (Buch.-Ham.) Sch.Bip., Strobocalyx javanica (Blume) Sch.Bip., Vernonia

javanica (Blume) DC., Vernonia vaniotii H.Lév.

Nama lokal: sembung, sembung dedek, medang, gambong merembung

Pertelaan:

Pohon yang tingginya 30 m dan dengan diameter batang 80-100 cm. Daun tunggal

berseling biasanya tidak simetris. Bunga majemuk panicle berwarna ungu dengan

diameter bunga 2 mm. Buah coklat tua tidak mengkilap tidak berdaging berukuran

panjang 5 mm. Biji 1, sangat kecil tidak bersayap.

Distribusi: Asia Tropis

Habitat:

Hidup di hutan maupun daerah terganggu. Ditemukan di berbagai habitat, mulai dari

rawa-rawa, daerah aliran sungai, lembah hingga ketinggian 2.500 m dpl.

Kegunaan:

Sebagai tanaman obat. Kayunya lunak tidak digunakan untuk bangunan, baik

untuk batang korek api.

Perbanyakan: biji

Vernonia arborea Buch.-Ham. Ex Buch.-Ham(Compositae)

Sinonim: Plerandropsis R.Vig.

Nama lokal: gorang, gurang, jurang, burang, panggang

Pertelaan:

Pohon yang tingginya 8 m dan dengan diameter batang 15 cm, memiliki ranting

berduri. Daun majemuk menjari. Bunga majemuk berbentuk payung muncul

diantara atau di bawah daun.

Distribusi: Sumatera, Jawa, Lombok.

Habitat: Tumbuh di Hutan Pegunungan sampai ketinggian 1.500 m dpl.

Kegunaan: Sebagai tanaman hias, biasa digunakan untuk tanaman pagar.

Perbanyakan: biji

Trevesia sundaica Miq.(Araliaceae)

Sinonim : Windmannia blumei Kuntze

Nama lokal:

cantigi, manis rejo, damaran, gringging, ringgit, tembagan (Jawa), ki merak,

ki papatong, ki ringgit (Sunda)

Pertelaan:

Pohon dengan tinggi mencapai 25 m dan diameter 75 cm. Kayunya berwarna merah

kecoklatan.

Distribusi: Asia Tenggara

Habitat:Di Jawa ditemukan di hutan pegunungan pada ketinggian 2.200 m dpl.

Kegunaan:

Kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan (oleh suku Batak) dan bahan

perabot rumah tangga. Kulit kayu nya diduga memiliki khasiat obat.

Perbanyakan: biji.

Weinmannia blumei Planch(Cornaceae)

98 99

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Synonim: Oreocnide rubescens (Blume) Miq.

Nama lokal: nangsi

Pertelaan:

Pohon kecil dengan tinggi 8 m. Kulit batang berwarna abu-abu atau kelabu

kecoklatan, sedangkan cabangnya berwarna coklat atau coklat keunguan. Daun

berbentuk bundar telur (ovale) berwarna hijau tua mengkilap di bagian atas

sedangkan permukaan bawah daun berwarna hijau muda. Bunga majemuk

pedunculate muncul di cabang yang tua terlebih dahulu. Buah berukuran kecil dengan

jumlah yang banyak berwarna kuning.

Distribusi: Sumatera, Jawa dan India

Habitat: Hutan tropis dengan ketinggian hingga 1.500 m dpl.

Kegunaan: Sebagai tanaman obat

Perbanyakan: biji.

Villebrunea rubescens (Blume) Blume(Urticaceae)

Sinonim : Windmannia blumei Kuntze

Nama lokal:

cantigi, manis rejo, damaran, gringging, ringgit, tembagan (Jawa), ki merak,

ki papatong, ki ringgit (Sunda)

Pertelaan:

Pohon dengan tinggi mencapai 25 m dan diameter 75 cm. Kayunya berwarna merah

kecoklatan.

Distribusi: Asia Tenggara

Habitat:Di Jawa ditemukan di hutan pegunungan pada ketinggian 2.200 m dpl.

Kegunaan:

Kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan (oleh suku Batak) dan bahan

perabot rumah tangga. Kulit kayu nya diduga memiliki khasiat obat.

Perbanyakan: biji.

Weinmannia blumei Planch(Cornaceae)

98 99

PERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPIPERTELAAN JENIS-JENIS POHON ASLI UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GUNUNG MERAPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Synonim: Oreocnide rubescens (Blume) Miq.

Nama lokal: nangsi

Pertelaan:

Pohon kecil dengan tinggi 8 m. Kulit batang berwarna abu-abu atau kelabu

kecoklatan, sedangkan cabangnya berwarna coklat atau coklat keunguan. Daun

berbentuk bundar telur (ovale) berwarna hijau tua mengkilap di bagian atas

sedangkan permukaan bawah daun berwarna hijau muda. Bunga majemuk

pedunculate muncul di cabang yang tua terlebih dahulu. Buah berukuran kecil dengan

jumlah yang banyak berwarna kuning.

Distribusi: Sumatera, Jawa dan India

Habitat: Hutan tropis dengan ketinggian hingga 1.500 m dpl.

Kegunaan: Sebagai tanaman obat

Perbanyakan: biji.

Villebrunea rubescens (Blume) Blume(Urticaceae)

PUSTAKA

BUKU

101

Adisoemarto, S. dan M. A. Rifai (editor). 1994. Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Diterbitkan oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (KLH) dan Konsorsium untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (KONPHALINDO). Jakarta.

Afriastini, J.J. 1997. Latihan pengumpulan, pembuatan dan penyimpanan material herbarium. Latihan Mengenal Pohon Hutan : Kunci Identifikasi dan Fakta Jenis. PROSEA Indonesia – Yayasan PROSEA Bogor. Pp:2-8.

Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor.

Bailey, J.A. 1984. Principles of Wildlife Management. John Wiley and Sons. New York.

Balai Taman Nasional Gunung Merapi. 2009a. Laporan Tahunan Balai Taman Nasional Gunung Merapi. Tidak diterbitkan

Balai Taman Nasional Gunung Merapi. 2009b. Statistik Balai Taman Nasional Gunung Merapi Tahun 2009. Tidak diterbitkan

Balai Taman Nasional Gunung Merapi. 2010. Penataan Zonasi Taman Nasional Gunung Merapi Setelah Erupsi Tahun 2010. Tidak diterbitkan.

BAPPENAS. 1993. Biodiversity Action Plan for Indonesia. BAPPENAS. Jakarta.

Blockhus, J.M., M. Dillenbeck, J.A. Sayer and P. Wegge (eds). 1992. Conserving Biological Diversity in Managed Tropical Forests. IUCN. Gland, Switzerland and Cambridge, UK.

Bridson, D. and Leonard Forman. 1992. The Herbarium Handbook. Royal Botanic Gardens, Kew.

Burley, J. and I. Gauld. 1995. Measuring and Monitoring Forest Biodiversity: A Commentary. Pp. 19 – 46 in Boyle, T.J.B. and B. Boontawee (eds). Measuring and Monitoring Biodiversity in Tropical and Temperate Forests.

thProceedings of IUFRO Symposium, Chiang Mai, Thailand, August 27 – ndSeptember 2 , 1994. CIFOR, Bogor, Indonesia.

Daryono. 2010. Skenario Penataan Ruang Permukiman Lereng Merapi Pasca Erupsi. Bahan Presentasi Pada Workshop Gagasan Tata Ruang Wilayah Merapi (pasca erupsi 2010), Grha Sabha Pramana UGM, 4 Desember 2010. Yogyakarta.

Departemen Kehutanan. 1994. Pengelolaan Hutan Lestari (Booklet). Departemen Kehutanan. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2004. Data Strategis Kehutanan 2004. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Castanopsis argentea (Blume) A.DC.Koleksi Kebun Raya Cibodas - LIPI

PUSTAKA

BUKU

101

Adisoemarto, S. dan M. A. Rifai (editor). 1994. Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Diterbitkan oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (KLH) dan Konsorsium untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (KONPHALINDO). Jakarta.

Afriastini, J.J. 1997. Latihan pengumpulan, pembuatan dan penyimpanan material herbarium. Latihan Mengenal Pohon Hutan : Kunci Identifikasi dan Fakta Jenis. PROSEA Indonesia – Yayasan PROSEA Bogor. Pp:2-8.

Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor.

Bailey, J.A. 1984. Principles of Wildlife Management. John Wiley and Sons. New York.

Balai Taman Nasional Gunung Merapi. 2009a. Laporan Tahunan Balai Taman Nasional Gunung Merapi. Tidak diterbitkan

Balai Taman Nasional Gunung Merapi. 2009b. Statistik Balai Taman Nasional Gunung Merapi Tahun 2009. Tidak diterbitkan

Balai Taman Nasional Gunung Merapi. 2010. Penataan Zonasi Taman Nasional Gunung Merapi Setelah Erupsi Tahun 2010. Tidak diterbitkan.

BAPPENAS. 1993. Biodiversity Action Plan for Indonesia. BAPPENAS. Jakarta.

Blockhus, J.M., M. Dillenbeck, J.A. Sayer and P. Wegge (eds). 1992. Conserving Biological Diversity in Managed Tropical Forests. IUCN. Gland, Switzerland and Cambridge, UK.

Bridson, D. and Leonard Forman. 1992. The Herbarium Handbook. Royal Botanic Gardens, Kew.

Burley, J. and I. Gauld. 1995. Measuring and Monitoring Forest Biodiversity: A Commentary. Pp. 19 – 46 in Boyle, T.J.B. and B. Boontawee (eds). Measuring and Monitoring Biodiversity in Tropical and Temperate Forests.

thProceedings of IUFRO Symposium, Chiang Mai, Thailand, August 27 – ndSeptember 2 , 1994. CIFOR, Bogor, Indonesia.

Daryono. 2010. Skenario Penataan Ruang Permukiman Lereng Merapi Pasca Erupsi. Bahan Presentasi Pada Workshop Gagasan Tata Ruang Wilayah Merapi (pasca erupsi 2010), Grha Sabha Pramana UGM, 4 Desember 2010. Yogyakarta.

Departemen Kehutanan. 1994. Pengelolaan Hutan Lestari (Booklet). Departemen Kehutanan. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2004. Data Strategis Kehutanan 2004. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Castanopsis argentea (Blume) A.DC.Koleksi Kebun Raya Cibodas - LIPI

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi102 103RESTORASI EKOSISTEM

Gunung Merapi Pasca ErupsiRESTORASI EKOSISTEM

Gunung Merapi Pasca Erupsi

Departemen Kehutanan. 2007. Buku Informasi 50 Taman Nasional di Indonesia. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.

Djarwaningsih, T., S. Sunarti dan Kartini K. 1999. Panduan Pengelolaan Material Herbarium dan Pengendalian Hama Terpadu di Herbarium Bogoriense. Herbarium Bogoriense-Balitbang Botani. Pusat Litbang Biologi-LIPI. Bogor.

Ecological Census Techniques : A Handbook. Cambridge University Press. Cambridge, UK.

ESRI. 1998. ArcView GIS. ESRI Press. Redlands, California.

Gibbons, D.W., D. Hill dan W.J. Sutherland. 2004. Birds. Pp. 227-259 dalam Sutherland, W.J. (ed). Ecological Census Techniques : A Handbook. Cambridge University Press. Cambridge, UK.

Gunawan, H. 2010. Habitat Dan Penyebaran Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) Di Lansekap Terfragmentasi Di Jawa Tengah. Disertasi Program Doktor, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Gunawan, H., A.F. Mas'ud dan Sutiyono. 2011. Manajemen Habitat dan Populasi Satwaliar Langka Pasca Bencana Alam Erupsi Di Taman Nasional Gunung Merapi. Laporan Insentif Riset Terapan 2011. Tidak diterbitkan.

Gunawan, H., A.F. Mas'ud, E. Subiandono, H. Krisnawati dan N.M. Heriyanto. 2012. Manajemen Habitat dan Populasi Satwaliar Langka Pasca Bencana Alam Erupsi Di Taman Nasional Gunung Merapi. Laporan Insentif Riset Terapan 2012. Tidak diterbitkan.

Gunawan, H., M. Bismark dan H. Krisnawati. 2010. Pemanfaatan Zona Penyangga Taman Nasional Untuk Mendukung Ketahanan Pangan : Studi Kasus Taman Nasional Gunung Merapi. Laporan Program Insentif Ristek Tahun 2010. Tidak diterbitkan.

Gunawan, H., M. Bismark dan M. Takandjandji. 2010. Laporan Penilaian Cepat (Rapid Assessment) Dalam Rangka Penyelamatan Satwaliar Pasca Erupsi Gunung Merapi. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Konservasi Dan Rehabilitasi, Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Tidak diterbitkan.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid I, II dan III. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta.

Hutagalung, RA. 2010. Ekologi Dasar. Erlangga. Jakarta.

Indriyanto 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Infront. 2012. Final Report : Project on Capacity Building for Restoration of Ecosystem in Conservation Areas Mt. Merapi National Park Phase II Juni 2011 – Maret 2012. Tidak diterbitkan.

International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). 2005. Forest Landscape Restoration : Broadening the vision of west African forests. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK.

IUCN-WCU. 2001. IUCN Red List Categories and Criteria Version 3.1. IUCN-The World Conservation Union. Gland, Switzerland.

King, B., E.C. Dickinson & M. Woodcock. 1975. A Filed Guide to the Birds of South East Asia. Collins. London.

Kochert, M.N. 1986. Raptors. Pp. 313–349 in Inventory And Monitoring of Wildlife Habitat. Cooperrider, A.Y., R.J. Boyd and H.R. Stuart. US Department of Interior Bureau of Land Management.

Kusmana & Istomo, 1995. Ekologi Hutan : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kusmana, C. 1997. Metode Survei Vegetasi. IPB Press. Bogor.

Ledec, G. and R. Goodland. 1992. Harmonising Sustainable Development With Conservation of Wildlands. In Vijay, P.K. and J. White (eds). Conservation Biology. The Commonwealth Science Council. London.

Lee RJ, Riley J, Merril R. 2001. Keanekaragaman Hayati & Konservasi di Sulawesi Bagian Utara. Jakarta: Wildlife Conservation Society dan Natural Resources Management.

MacKinnon, J. 1991. Panduan Lapangan Pengenalan Burung-Burung di Jawa dan Bali. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

MacKinnon, J., K. Phillips dan B. van Balen. 1992. Panduan Lapangan Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Birdlife International - Indonesia Program. Bogor.

Magurran, A.E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Croom Helm. London.

Marell, A. And O. Laroussinie. 2006. Scientific Issues Related to Sustainable Forest Management in an Ecosystem and Landscape Perspective. Tecnical Report No.1. European Network for long-term Forest Ecosystem and Landscape Research (ENFORS). http:/ifff.boku.ac.at/enfors. Diakses 20 Maret 2006.

Marhaento, H., L. Rahayu, M.T.T. Hernawan, K.F. Wianti. 2010. Penataan Kawasan Koridor Taman Nasional Gunung Merapi dan Gunung Merbabu dengan Pendekatan Analisis Resiko Bencana. Prodi Konservasi Sumberdaya hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakartas.

Mittermeier, R., P. Gill dan C. Goettsch-Mittermeier. 1997. Megadiversity : Earth's Biologically Wealthiest Nations. Cemex. Prado Norte.

MoF/FAO. 1991. Indonesian Tropical Forest Action Programme. Ministry of Forestry/UN Food and Agricultur Organisation. Jakarta.

Newman, M.F., P.F. Burgess dan T.C. Whitmore. 1999. Manual of Dipterocarps Series (Sumatra, Kalimantan, Jawa to Nugini). Prosea-Indonesia. Bogor.

Odum, E.P. 1994. Fundamentals of Ecology, Third Edition. T. Samingan (terj.). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 607p.

Peraturan Pemerintah RI No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Japan International Cooperation Agency. Bogor.

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi102 103RESTORASI EKOSISTEM

Gunung Merapi Pasca ErupsiRESTORASI EKOSISTEM

Gunung Merapi Pasca Erupsi

Departemen Kehutanan. 2007. Buku Informasi 50 Taman Nasional di Indonesia. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.

Djarwaningsih, T., S. Sunarti dan Kartini K. 1999. Panduan Pengelolaan Material Herbarium dan Pengendalian Hama Terpadu di Herbarium Bogoriense. Herbarium Bogoriense-Balitbang Botani. Pusat Litbang Biologi-LIPI. Bogor.

Ecological Census Techniques : A Handbook. Cambridge University Press. Cambridge, UK.

ESRI. 1998. ArcView GIS. ESRI Press. Redlands, California.

Gibbons, D.W., D. Hill dan W.J. Sutherland. 2004. Birds. Pp. 227-259 dalam Sutherland, W.J. (ed). Ecological Census Techniques : A Handbook. Cambridge University Press. Cambridge, UK.

Gunawan, H. 2010. Habitat Dan Penyebaran Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) Di Lansekap Terfragmentasi Di Jawa Tengah. Disertasi Program Doktor, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Gunawan, H., A.F. Mas'ud dan Sutiyono. 2011. Manajemen Habitat dan Populasi Satwaliar Langka Pasca Bencana Alam Erupsi Di Taman Nasional Gunung Merapi. Laporan Insentif Riset Terapan 2011. Tidak diterbitkan.

Gunawan, H., A.F. Mas'ud, E. Subiandono, H. Krisnawati dan N.M. Heriyanto. 2012. Manajemen Habitat dan Populasi Satwaliar Langka Pasca Bencana Alam Erupsi Di Taman Nasional Gunung Merapi. Laporan Insentif Riset Terapan 2012. Tidak diterbitkan.

Gunawan, H., M. Bismark dan H. Krisnawati. 2010. Pemanfaatan Zona Penyangga Taman Nasional Untuk Mendukung Ketahanan Pangan : Studi Kasus Taman Nasional Gunung Merapi. Laporan Program Insentif Ristek Tahun 2010. Tidak diterbitkan.

Gunawan, H., M. Bismark dan M. Takandjandji. 2010. Laporan Penilaian Cepat (Rapid Assessment) Dalam Rangka Penyelamatan Satwaliar Pasca Erupsi Gunung Merapi. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Konservasi Dan Rehabilitasi, Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Tidak diterbitkan.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid I, II dan III. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta.

Hutagalung, RA. 2010. Ekologi Dasar. Erlangga. Jakarta.

Indriyanto 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Infront. 2012. Final Report : Project on Capacity Building for Restoration of Ecosystem in Conservation Areas Mt. Merapi National Park Phase II Juni 2011 – Maret 2012. Tidak diterbitkan.

International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). 2005. Forest Landscape Restoration : Broadening the vision of west African forests. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK.

IUCN-WCU. 2001. IUCN Red List Categories and Criteria Version 3.1. IUCN-The World Conservation Union. Gland, Switzerland.

King, B., E.C. Dickinson & M. Woodcock. 1975. A Filed Guide to the Birds of South East Asia. Collins. London.

Kochert, M.N. 1986. Raptors. Pp. 313–349 in Inventory And Monitoring of Wildlife Habitat. Cooperrider, A.Y., R.J. Boyd and H.R. Stuart. US Department of Interior Bureau of Land Management.

Kusmana & Istomo, 1995. Ekologi Hutan : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kusmana, C. 1997. Metode Survei Vegetasi. IPB Press. Bogor.

Ledec, G. and R. Goodland. 1992. Harmonising Sustainable Development With Conservation of Wildlands. In Vijay, P.K. and J. White (eds). Conservation Biology. The Commonwealth Science Council. London.

Lee RJ, Riley J, Merril R. 2001. Keanekaragaman Hayati & Konservasi di Sulawesi Bagian Utara. Jakarta: Wildlife Conservation Society dan Natural Resources Management.

MacKinnon, J. 1991. Panduan Lapangan Pengenalan Burung-Burung di Jawa dan Bali. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

MacKinnon, J., K. Phillips dan B. van Balen. 1992. Panduan Lapangan Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Birdlife International - Indonesia Program. Bogor.

Magurran, A.E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Croom Helm. London.

Marell, A. And O. Laroussinie. 2006. Scientific Issues Related to Sustainable Forest Management in an Ecosystem and Landscape Perspective. Tecnical Report No.1. European Network for long-term Forest Ecosystem and Landscape Research (ENFORS). http:/ifff.boku.ac.at/enfors. Diakses 20 Maret 2006.

Marhaento, H., L. Rahayu, M.T.T. Hernawan, K.F. Wianti. 2010. Penataan Kawasan Koridor Taman Nasional Gunung Merapi dan Gunung Merbabu dengan Pendekatan Analisis Resiko Bencana. Prodi Konservasi Sumberdaya hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakartas.

Mittermeier, R., P. Gill dan C. Goettsch-Mittermeier. 1997. Megadiversity : Earth's Biologically Wealthiest Nations. Cemex. Prado Norte.

MoF/FAO. 1991. Indonesian Tropical Forest Action Programme. Ministry of Forestry/UN Food and Agricultur Organisation. Jakarta.

Newman, M.F., P.F. Burgess dan T.C. Whitmore. 1999. Manual of Dipterocarps Series (Sumatra, Kalimantan, Jawa to Nugini). Prosea-Indonesia. Bogor.

Odum, E.P. 1994. Fundamentals of Ecology, Third Edition. T. Samingan (terj.). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 607p.

Peraturan Pemerintah RI No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Japan International Cooperation Agency. Bogor.

104 105RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Pomeroy, D. 1992. Counting Birds. African Wildlife Foundation. Nairobi, Kenya.

Reid, W.V. 1992. How Many Species Will There Be ?. In Whitmore, T.C. and J.A. Sayer (eds). Tropical Deforestation and Species Extinction. Chapman & Hall. London.

Richard & Steven, 1988. Forest Ecosystem : Academic Press. San Diego. California. Arief, A. 1994, Hutan Hakekat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia Jakarta.

Samingan, T. 1997. Kondisi Ideal Aspek Vegetasi Suatu Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah di Hutan Produksi. Laboratorium Ekologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sastrapradja, S., S. Adisoemarto, K. Kartawinata, D.S. dan M. Rifai. 1989. Keanekaragaman Hayati untuk Kelangsungan hidup Bangsa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi LIPI. Bogor.

Shaw, J. 1985. Introduction to Wildlife Management. McGraw-Hill Book Company. New York.

Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya.

Soerianegara, I & A. Indrawan. 1980. Ekologi Hutan. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Soerianegara, I. 1978. Diktat Ekologi Hutan. Pusat Pendidikan Kehutanan Cepu. Direksi Perum Perhutani. Cepu.

Steenis, CGGJ van. 1981. Flora, untuk sekolah di Indonesia. PT Pradnya Paramita, Jakarta.

Steenis, C.G.G.J. Van. 2006. Flora Pegunungan Jawa. Pusat Penelitian Biologi – LIPI. Bogor, Indonesia.

Sutherland, W.J. 2004. Mammals. Pp. 260 – 280 In Sutherland, W.J. (ed). Ecological Census Techniques, A Hanbook. Cambridge University Press. Sambridge, UK.

Undang-Undang Nomor 5, Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Japan International Cooperation Agency. Bogor.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1994 tentang ratifikasi Konvensi PBB untuk Keanekaragaman Hayati (Convension on Biodiversity).

UNEP. 2001. Indicators And Environmental Impact Assessment. UNEP/CBD/SBSTTA/7/13. Seventh meeting Montreal, 12-16 November 2001

Universitas Gajah Mada [UGM]. 2011. Survey Kondisi Tumbuhan Dan Satwa Liar Taman Nasional Gunung Merapi Paska Erupsi Tahun 2010. Kerjasama Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan Balai Taman Nasional Gunung Merapi. Balai Taman Nasional Gunung Merapi. Yogyakarta.

Van Lavieren, L.P. 1983. Wildlife Management in The Tropics, II. School of Environmental Conservation management. Bogor.

Wiersum, K.F. 1973. Syllabus Wildlife Utilization and Management in Tropical Regions. Nature Conservation Department, Agricultural University, Wageningen.

104 105RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Pomeroy, D. 1992. Counting Birds. African Wildlife Foundation. Nairobi, Kenya.

Reid, W.V. 1992. How Many Species Will There Be ?. In Whitmore, T.C. and J.A. Sayer (eds). Tropical Deforestation and Species Extinction. Chapman & Hall. London.

Richard & Steven, 1988. Forest Ecosystem : Academic Press. San Diego. California. Arief, A. 1994, Hutan Hakekat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia Jakarta.

Samingan, T. 1997. Kondisi Ideal Aspek Vegetasi Suatu Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah di Hutan Produksi. Laboratorium Ekologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sastrapradja, S., S. Adisoemarto, K. Kartawinata, D.S. dan M. Rifai. 1989. Keanekaragaman Hayati untuk Kelangsungan hidup Bangsa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi LIPI. Bogor.

Shaw, J. 1985. Introduction to Wildlife Management. McGraw-Hill Book Company. New York.

Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya.

Soerianegara, I & A. Indrawan. 1980. Ekologi Hutan. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Soerianegara, I. 1978. Diktat Ekologi Hutan. Pusat Pendidikan Kehutanan Cepu. Direksi Perum Perhutani. Cepu.

Steenis, CGGJ van. 1981. Flora, untuk sekolah di Indonesia. PT Pradnya Paramita, Jakarta.

Steenis, C.G.G.J. Van. 2006. Flora Pegunungan Jawa. Pusat Penelitian Biologi – LIPI. Bogor, Indonesia.

Sutherland, W.J. 2004. Mammals. Pp. 260 – 280 In Sutherland, W.J. (ed). Ecological Census Techniques, A Hanbook. Cambridge University Press. Sambridge, UK.

Undang-Undang Nomor 5, Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Japan International Cooperation Agency. Bogor.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1994 tentang ratifikasi Konvensi PBB untuk Keanekaragaman Hayati (Convension on Biodiversity).

UNEP. 2001. Indicators And Environmental Impact Assessment. UNEP/CBD/SBSTTA/7/13. Seventh meeting Montreal, 12-16 November 2001

Universitas Gajah Mada [UGM]. 2011. Survey Kondisi Tumbuhan Dan Satwa Liar Taman Nasional Gunung Merapi Paska Erupsi Tahun 2010. Kerjasama Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan Balai Taman Nasional Gunung Merapi. Balai Taman Nasional Gunung Merapi. Yogyakarta.

Van Lavieren, L.P. 1983. Wildlife Management in The Tropics, II. School of Environmental Conservation management. Bogor.

Wiersum, K.F. 1973. Syllabus Wildlife Utilization and Management in Tropical Regions. Nature Conservation Department, Agricultural University, Wageningen.

106 107RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

BACAAN ON LINE

PUSTAKA

[SER Primer ] The SER International Primer on Ecological Restoration. 2004. Society for Ecological Restoration International Science & Policy Working Group (Version 2, October, 2004) (1). http://www.ser.org/content/ ecological_restoration_primer.asp. Diakses tanggal 20 Maret 2006.

BI Rilis Data Kerugian Ekonomi Akibat Merapi. Senin, 15 November 2010 | 19:25 WIB. http://www.tempo.co/read/news/2010/11/15/087292088/BI-Rilis-Data-Kerugian-Ekonomi-Akibat-Merapi

Biodiversity Inclusive Impact Assessment. Information document in support of the CBD Guidelines on Biodiversity in EIA and SEA. Version July 2005. http://www.cbd.int/doc/reviews/impact/information-guidelines.pdf.

Clewell, A., J. Rieger, and J. Munro. 2005. Society for Ecological Restoration International: Guidelines for Developing and Managing Ecological Restoration Projects, 2nd Edition. http://www.ser.org/pdf/SER_International_Guidelines.pdf. Diunduh Tanggal 5 Maret 2011.

Dierben, K. 2006. Sustainability, Landscape Services, Ecosystem Health, Ecological Integrity and Ecosystem Management. http://www.ecology.uni-kiel.de. Diunduh Tanggal 20 Maret 2006.

Endangered Wildlife Trust And Regenesis. 2006 Biodiversity And The Eia Process : Considering Biodiversity In The Eia Process. http://www.eiatoolkit.ewt.org.za/process. Diakses 11 April 2008.

Erupsi Merapi 2010 Hampir Menyamai Erupsi 1872. Sabtu, 06 November 2010 | 14:07 WIB. http://www.tempointeraktif.com/hg/jogja/2010/11/06/brk, 20101106-289866,id.html. Diunduh Tanggal 17-11-2010.

Erupsi Merapi Rugikan Sektor Peternakan Rp149 Miliar. Jumat, 26 November 2010 01:02 WIB. http://www.antaranews.com/news/235055/erupsi-merapi-rugikan-sektor-peternakan-rp149-miliar

Erupsi Merapi Rusak 867 Hektare Hutan. Selasa, 9 November 2010 02:31 WIB. http://www.antaranews.com/berita/1289244701/erupsi-merapi-rusak-867-hektare-hutan. Diunduh Tanggal 17-11-2010.

Erupsi Merapi Tahun Ini Terburuk dalam100 Tahun Terakhir. Kamis, 4 November 2010 19:14 WIB. http://nasional.tvone.co.id/berita/view/45313/ 2010/11/04/erupsi_merapi_tahun_ini_terburuk_dalam100_tahun_terakhir. Diunduh Tanggal 17-11-2010.

Hill, D., M. Fasham, G. Tucker, M. Shewry and P. Shaw (eds). 2005. Handbook of Biodiversity Methods: Survey, Evaluation and Monitoring. Cambridge University Press. www. Cambrisdge.org. Diakses tanggal 11-12-2008.

http://artikata.com/arti-87894-herbarium.html

http://bisniskeuangan.kompas.com . Percepat Restorasi Kawasan http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/01/28/05205961/Percepat.Restorasi.Kawasan. Jumat, 28 Januari 2011. Diakses tanggal 10 November 2011

http://dictionary.reference.com/browse/exotic

http://duniagil.wordpress.com/2011/03/06/suksesi/

http://en.wikipedia.org/wiki/Ecological_succession

http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat

http://en.wikipedia.org/wiki/Indigenous_%28ecology%29

http://en.wikipedia.org/wiki/Vegetation

http://id.termwiki.com/ID:stakeholder_%E2%82%83

http://id.wikipedia.org. Letusan Merapi 2010. http://id.wikipedia.org/wiki/Letusan_ Merapi_2010. Diakses tanggal 10 November 2011.

http://id.wikipedia.org/wiki/Ekosistem

http://id.wikipedia.org/wiki/Spesies. Diakses tanggal 20-03-2008.

http://istilahkata.com/herbarium.html

http://konselingnur.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_25.html

http://merbabu.com. Satwa Merapi pindah ke Merbabu. http://merbabu.com. November 11, 2010. Diakses tanggal 10 November 2011

http://nationalgeographic.co.id. Pemulihan Ekosistem Merapi Pascaerupsi. http://nationalgeographic.co.id/lihat/berita/1668/pemulihan-ekosistem-merapi-pascaerupsi. 28-07-2011. Diakses tanggal 10 November 2011

http://news.solowebspace.com/ update-jumlah-korban-letusan-gunung-merapi.html. Update Jumlah Korban Letusan Gunung Merapi

http://oxforddictionaries.com/definition/english/exotic

http://pengertian-definisi.blogspot.com/2010/10/definisi-suksesi-primer.html

http://science.yourdictionary.com/habitat

http://suaramerdeka.com . Satwa Dilindungi Dievakuasi dari Lereng Merapi. http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/11/01/69340/Satwa-Dilindungi-Dievakuasi-dari-Lereng-Merapi. Diakses tanggal 10 November 2011

http://tipswisatamurah.blogspot.com . Macan Tutul Merapi Turun Gunung. http://tipswisatamurah.blogspot.com/2010/11/macan-tutul-merapi-turun gunung.html. Diakses tanggal 10 November 2011

http://wartaonline.com . Macan Kumbang Masih ada di Merapi http://wartaonline.com/news/macan-kumbang-masih-ada-di-merapi-1469/. November 19, 2010. Diakses tanggal 10 November 2011.

http://www.answers.com/topic/indigenous

http://www.antaranews.com. Ratusan Satwa Merapi Bermigrasi. http://www.antaranews.com/berita/1289721859/ratusan-satwa-merapi-bermigrasi. Minggu, 14 November 2010. Diakses tanggal 10 November 2011

http://www.biology-online.org/dictionary/Indigenous

http://www.biology-online.org/dictionary/Trophic_level

http://www.biology-online.org/dictionary/Trophic_pyramid

http://www.biology-online.org/dictionary/Trophic_pyramid

http://www.iucn.org/themes/business/ mining/paperrobert.pdf. Integrating

106 107RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

BACAAN ON LINE

PUSTAKA

[SER Primer ] The SER International Primer on Ecological Restoration. 2004. Society for Ecological Restoration International Science & Policy Working Group (Version 2, October, 2004) (1). http://www.ser.org/content/ ecological_restoration_primer.asp. Diakses tanggal 20 Maret 2006.

BI Rilis Data Kerugian Ekonomi Akibat Merapi. Senin, 15 November 2010 | 19:25 WIB. http://www.tempo.co/read/news/2010/11/15/087292088/BI-Rilis-Data-Kerugian-Ekonomi-Akibat-Merapi

Biodiversity Inclusive Impact Assessment. Information document in support of the CBD Guidelines on Biodiversity in EIA and SEA. Version July 2005. http://www.cbd.int/doc/reviews/impact/information-guidelines.pdf.

Clewell, A., J. Rieger, and J. Munro. 2005. Society for Ecological Restoration International: Guidelines for Developing and Managing Ecological Restoration Projects, 2nd Edition. http://www.ser.org/pdf/SER_International_Guidelines.pdf. Diunduh Tanggal 5 Maret 2011.

Dierben, K. 2006. Sustainability, Landscape Services, Ecosystem Health, Ecological Integrity and Ecosystem Management. http://www.ecology.uni-kiel.de. Diunduh Tanggal 20 Maret 2006.

Endangered Wildlife Trust And Regenesis. 2006 Biodiversity And The Eia Process : Considering Biodiversity In The Eia Process. http://www.eiatoolkit.ewt.org.za/process. Diakses 11 April 2008.

Erupsi Merapi 2010 Hampir Menyamai Erupsi 1872. Sabtu, 06 November 2010 | 14:07 WIB. http://www.tempointeraktif.com/hg/jogja/2010/11/06/brk, 20101106-289866,id.html. Diunduh Tanggal 17-11-2010.

Erupsi Merapi Rugikan Sektor Peternakan Rp149 Miliar. Jumat, 26 November 2010 01:02 WIB. http://www.antaranews.com/news/235055/erupsi-merapi-rugikan-sektor-peternakan-rp149-miliar

Erupsi Merapi Rusak 867 Hektare Hutan. Selasa, 9 November 2010 02:31 WIB. http://www.antaranews.com/berita/1289244701/erupsi-merapi-rusak-867-hektare-hutan. Diunduh Tanggal 17-11-2010.

Erupsi Merapi Tahun Ini Terburuk dalam100 Tahun Terakhir. Kamis, 4 November 2010 19:14 WIB. http://nasional.tvone.co.id/berita/view/45313/ 2010/11/04/erupsi_merapi_tahun_ini_terburuk_dalam100_tahun_terakhir. Diunduh Tanggal 17-11-2010.

Hill, D., M. Fasham, G. Tucker, M. Shewry and P. Shaw (eds). 2005. Handbook of Biodiversity Methods: Survey, Evaluation and Monitoring. Cambridge University Press. www. Cambrisdge.org. Diakses tanggal 11-12-2008.

http://artikata.com/arti-87894-herbarium.html

http://bisniskeuangan.kompas.com . Percepat Restorasi Kawasan http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/01/28/05205961/Percepat.Restorasi.Kawasan. Jumat, 28 Januari 2011. Diakses tanggal 10 November 2011

http://dictionary.reference.com/browse/exotic

http://duniagil.wordpress.com/2011/03/06/suksesi/

http://en.wikipedia.org/wiki/Ecological_succession

http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat

http://en.wikipedia.org/wiki/Indigenous_%28ecology%29

http://en.wikipedia.org/wiki/Vegetation

http://id.termwiki.com/ID:stakeholder_%E2%82%83

http://id.wikipedia.org. Letusan Merapi 2010. http://id.wikipedia.org/wiki/Letusan_ Merapi_2010. Diakses tanggal 10 November 2011.

http://id.wikipedia.org/wiki/Ekosistem

http://id.wikipedia.org/wiki/Spesies. Diakses tanggal 20-03-2008.

http://istilahkata.com/herbarium.html

http://konselingnur.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_25.html

http://merbabu.com. Satwa Merapi pindah ke Merbabu. http://merbabu.com. November 11, 2010. Diakses tanggal 10 November 2011

http://nationalgeographic.co.id. Pemulihan Ekosistem Merapi Pascaerupsi. http://nationalgeographic.co.id/lihat/berita/1668/pemulihan-ekosistem-merapi-pascaerupsi. 28-07-2011. Diakses tanggal 10 November 2011

http://news.solowebspace.com/ update-jumlah-korban-letusan-gunung-merapi.html. Update Jumlah Korban Letusan Gunung Merapi

http://oxforddictionaries.com/definition/english/exotic

http://pengertian-definisi.blogspot.com/2010/10/definisi-suksesi-primer.html

http://science.yourdictionary.com/habitat

http://suaramerdeka.com . Satwa Dilindungi Dievakuasi dari Lereng Merapi. http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/11/01/69340/Satwa-Dilindungi-Dievakuasi-dari-Lereng-Merapi. Diakses tanggal 10 November 2011

http://tipswisatamurah.blogspot.com . Macan Tutul Merapi Turun Gunung. http://tipswisatamurah.blogspot.com/2010/11/macan-tutul-merapi-turun gunung.html. Diakses tanggal 10 November 2011

http://wartaonline.com . Macan Kumbang Masih ada di Merapi http://wartaonline.com/news/macan-kumbang-masih-ada-di-merapi-1469/. November 19, 2010. Diakses tanggal 10 November 2011.

http://www.answers.com/topic/indigenous

http://www.antaranews.com. Ratusan Satwa Merapi Bermigrasi. http://www.antaranews.com/berita/1289721859/ratusan-satwa-merapi-bermigrasi. Minggu, 14 November 2010. Diakses tanggal 10 November 2011

http://www.biology-online.org/dictionary/Indigenous

http://www.biology-online.org/dictionary/Trophic_level

http://www.biology-online.org/dictionary/Trophic_pyramid

http://www.biology-online.org/dictionary/Trophic_pyramid

http://www.iucn.org/themes/business/ mining/paperrobert.pdf. Integrating

108 109RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

DAFTAR ISTILAH

Kawasan Suaka Alam (KSA) :

Kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang

mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman

tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah

sistem penyangga kehidupan.

Kawasan Pelestarian Alam (KPA) :

Kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang

mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan

keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Suaka Margasatwa (SM) :

Kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman

dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat

dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.

Cagar Alam (CA) :

Kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan

tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu

dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.

Taman Nasional (TN) :

Kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan

sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,

pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.

Taman Hutan Raya (TAHURA) :Kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang

alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi

kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,

budaya, pariwisata, dan rekreasi.

Taman Wisata Alam (TWA):

Kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan

rekreasi alam.

Keanekaragaman hayati (Biodiversity) :

Keanekaragaman organisme hidup dari berbagai sumber termasuk antara lain

daratan, lautan serta ekosistem perairan lainnya, di mana di dalamnya

merupakan bagian sistem ekologi yang kompleks. Keanekaragaman hayati

mencakup keanekaragaman dalam spesies, antar spesies dan keanekaragaman

ekosistem

Biodiversity Surveys and Assessment into Environmental Impact Assessments /Statements. Diakses Tanggal 13-02-2008.

http://www.kabarbisnis.com. Kerugian erupsi Merapi capai Rp3,56 triliun. http://www.kabarbisnis.com/read/2819637. Senin, 18 April 2011. Diakses tanggal 10 November 2011

http://www.mediaindonesia.com. ProFauna Kesulitan Evakuasi Macan Tutul di Gunung Merapi http://www.mediaindonesia.com/ . Jumat, 12 November 2010. Diakses tanggal 10 November 2011

http://www.merriam-webster.com/dictionary/exotic

http://www.merriam-webster.com/dictionary/habitat

http://www.republika.co.id.. Letusan Merapi 2010 Terburuk Sejak 1870. Republika, Jumat, 05 November 2010 06:12 WIB http://www.republika.co.id. Diakses tanggal 10 November 2011

http://www.sabili.co.id . Macan Merapi Turun Ke Perkampungan . Rabu, 17 November 2010. Diakses tanggal 10 November 2011.

http://www.slemankab.go.id/category/update-data-korban-bencana-erupsi-gunung-merapi-2010. update Data Korban Bencana Erupsi Gunung Merapi 2010.

http://www.tempointeraktif.com . Dampak Merapi, Macan Tutul dan Monyet Turun ke Pemukiman. TEMPO Interaktif, Kamis, 11 November 2010. http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2010/11/11/brk,20101111-291275,id.html. Diakses tanggal 10 November 2011

http://www.theebi.org/pdfs/practice.pdf. Diakses tanggal 20-03-2008

http://www.thefreedictionary.com/colonization

http://www.thefreedictionary.com/ecological+succession

http://www.thefreedictionary.com/exotic

http://www.thefreedictionary.com/habitat

http://www.thefreedictionary.com/vegetation

Maginnis, A. And W. Jackson. 2006. Restoring Forest Landscapes. http://www.iucn.Org/themes/fcp/publication/files/restoring_forest_landscapes. pdf. Diakses tanggal 20 Maret 2006.

Meret, J. 2007. Habitat Fragmentation and Wildlife Corridors. http://www.science. mcmaster.ca.htm. Diakses Tanggal 02-11-2007.

Sulfiantono, A. 2011. Pengelolaan Kawasan TNGM Pasca Erupsi. Kedaulatan Rakyat, 26/10/2011 http://www.kr.co.id/web/. Diakses tanggal 10 November 2011

The Energy and Biodiversity Initiative. Integrating Biodiversity into Environment and Social Impact Assessment Processes. The Center for Environment Leadership in Business. Conservation International. Washington, USA. www.TheEBI.org. Diakses tanggal 10 November 2011

Total Kerugian Erupsi Merapi Rp 7,3 T. Jumat, 28 Januari 2011, 13:43 WIB. http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/11/01/28/161187-total-kerugian-erupsi-merapi-rp-7-3-t

108 109RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

DAFTAR ISTILAH

Kawasan Suaka Alam (KSA) :

Kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang

mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman

tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah

sistem penyangga kehidupan.

Kawasan Pelestarian Alam (KPA) :

Kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang

mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan

keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Suaka Margasatwa (SM) :

Kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman

dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat

dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.

Cagar Alam (CA) :

Kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan

tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu

dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.

Taman Nasional (TN) :

Kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan

sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,

pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.

Taman Hutan Raya (TAHURA) :Kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang

alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi

kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,

budaya, pariwisata, dan rekreasi.

Taman Wisata Alam (TWA):

Kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan

rekreasi alam.

Keanekaragaman hayati (Biodiversity) :

Keanekaragaman organisme hidup dari berbagai sumber termasuk antara lain

daratan, lautan serta ekosistem perairan lainnya, di mana di dalamnya

merupakan bagian sistem ekologi yang kompleks. Keanekaragaman hayati

mencakup keanekaragaman dalam spesies, antar spesies dan keanekaragaman

ekosistem

Biodiversity Surveys and Assessment into Environmental Impact Assessments /Statements. Diakses Tanggal 13-02-2008.

http://www.kabarbisnis.com. Kerugian erupsi Merapi capai Rp3,56 triliun. http://www.kabarbisnis.com/read/2819637. Senin, 18 April 2011. Diakses tanggal 10 November 2011

http://www.mediaindonesia.com. ProFauna Kesulitan Evakuasi Macan Tutul di Gunung Merapi http://www.mediaindonesia.com/ . Jumat, 12 November 2010. Diakses tanggal 10 November 2011

http://www.merriam-webster.com/dictionary/exotic

http://www.merriam-webster.com/dictionary/habitat

http://www.republika.co.id.. Letusan Merapi 2010 Terburuk Sejak 1870. Republika, Jumat, 05 November 2010 06:12 WIB http://www.republika.co.id. Diakses tanggal 10 November 2011

http://www.sabili.co.id . Macan Merapi Turun Ke Perkampungan . Rabu, 17 November 2010. Diakses tanggal 10 November 2011.

http://www.slemankab.go.id/category/update-data-korban-bencana-erupsi-gunung-merapi-2010. update Data Korban Bencana Erupsi Gunung Merapi 2010.

http://www.tempointeraktif.com . Dampak Merapi, Macan Tutul dan Monyet Turun ke Pemukiman. TEMPO Interaktif, Kamis, 11 November 2010. http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2010/11/11/brk,20101111-291275,id.html. Diakses tanggal 10 November 2011

http://www.theebi.org/pdfs/practice.pdf. Diakses tanggal 20-03-2008

http://www.thefreedictionary.com/colonization

http://www.thefreedictionary.com/ecological+succession

http://www.thefreedictionary.com/exotic

http://www.thefreedictionary.com/habitat

http://www.thefreedictionary.com/vegetation

Maginnis, A. And W. Jackson. 2006. Restoring Forest Landscapes. http://www.iucn.Org/themes/fcp/publication/files/restoring_forest_landscapes. pdf. Diakses tanggal 20 Maret 2006.

Meret, J. 2007. Habitat Fragmentation and Wildlife Corridors. http://www.science. mcmaster.ca.htm. Diakses Tanggal 02-11-2007.

Sulfiantono, A. 2011. Pengelolaan Kawasan TNGM Pasca Erupsi. Kedaulatan Rakyat, 26/10/2011 http://www.kr.co.id/web/. Diakses tanggal 10 November 2011

The Energy and Biodiversity Initiative. Integrating Biodiversity into Environment and Social Impact Assessment Processes. The Center for Environment Leadership in Business. Conservation International. Washington, USA. www.TheEBI.org. Diakses tanggal 10 November 2011

Total Kerugian Erupsi Merapi Rp 7,3 T. Jumat, 28 Januari 2011, 13:43 WIB. http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/11/01/28/161187-total-kerugian-erupsi-merapi-rp-7-3-t

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Ekosistem :

Suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara

makhluk hidup dengan lingkungannya (Soemarwoto, 1983). Ekosistem bisa

dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara

segenap unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi (Hutagalung,

2010). Contoh ekosistem hutan hujan tropis, ekosistem sabana, ekosistem

gurun, ekosistem hutan gugur, dll.

Komunitas :

Kumpulan berbagai populasi dalam suatu wilayah tertentu

Populasi :

Kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang saling

berinteraksi dan melakukan perkembangbiakan pada suatu tempat dan waktu

tertentu

Spesies (jenis) :

Suatu takson yang dipakai dalam taksonomi untuk menunjuk pada satu atau

beberapa kelompok individu (populasi) yang serupa dan dapat saling membuahi

satu sama lain di dalam kelompoknya (saling membagi gen) namun tidak dapat

dengan anggota kelompok yang lain

Spesies kunci (Keystone species) :

Merupakan spesies yang memiliki pengaruh besar pada lingkungannya,

mempengaruhi banyak organisme lain dalam ekosistem dan menentukan tipe

dan jumlah berbagai speises dalam suatu komunitas. Banyak hewan

pemangsa merupakan spesies kunci, seperti macan tutul di jawa

Invasive Alien Species :

Spesies asing (bukan asli) yang keberadaannya sudah mengganggu dan

mengancam keberadaan spesies asli dan endemik

Satwa atau Tumbuhan dilindungi :

Satwa dan tumbuhan yang dilindungi berdasarkan PP no. 7 tahun 1990.

Daerah jelajah (home range) :

Kegiatan yang dimaksudkan untuk memulai atau mempercepat pemulihan

ekosistem dengan tujuan kesehatan, integritas dan kelestarian ekosistem.

Kegiatannya meliputi banyak aspek seperti pengendalian erosi, gulma dan

spesies asing invasif, penghutanan kembali, penggunaan spesies asli,

revegetasi, reintroduksi dan pembinaan habitat satwa target.

Daerah Aliran Sungai (DAS) :

Suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan

anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan

mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara

alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut

sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. (PP

No 37 tentang Pengelolaan DAS, Pasal 1)

110 111RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Rantai makanan :

Perpindahan energi makanan dari sumber daya tumbuhan melalui seri

organisme atau melalui jenjang makan (Tumbuhan – Herbivora karnivora –

Omnivora).

Trophic level :

Suatu posisi dalam suatu rantai makanan yang ditempati oleh kelompok

organisme yang memiliki makanan yang serupa, bisanya digambarkan sebagai

piramida untuk menggambarkan hubungan makan-memakan dari beberapa

kelompok organisme dan distribusi biomasa atau energinya di antara trophic

level pada suatu ekosistem.

Vegetasi :

Istilah umum untuk menyebut komunitas tumbuh-tumbuhan dari suatu

wilayah, misalnya vegetasi mangrove, vegetasi pantai, vegetasi kebun

budidaya dll.; seluruh tumbuh-tumbuhan penutup (cover) tanah.

Habitat :

Suatu areal atau lingkungan dimana suatu organisme atau komunitas ekologi

secara alami hidup dan berkembang. Habitat merupakan wilayah atau

lingkungan ekologis yang dihuni oleh spesies atau populasi (tumbuhan, hewan

atau mikroorganisme).

Daya lenting ekosistem :

Kemampuan ekosistem untuk memulihkan dirinya sendiri menuju keadaan

seimbang setelah mengalami perubahan atau gangguan

Kolonisasi vegetasi :

Suatu proses dimana satu atau lebih spesies tumbuhan menempati atau

mendiami suatu wilayah membentuk koloni atau komunitas tumbuhan

Suksesi Ekologi :

Proses perubahan sturktur spesies tumbuhan secara bertahap dan teratur

dalam suatu komunitas ekologi dari waktu ke waktu menuju satu arah yaitu

keseimbangan klimaks.

Suksesi Primer :

Suksesi pada areal yang belum pernah ada vegetasinya atau sudah pernah ada

vegetasinya, kemudian terganggu yang menyebabkan komunitas yang ada

hilang total dan terbentuk habitat baru sehingga pada substrat yang baru ini

akan berkembang suatu komunitas yang baru.

Suksesi Sekunder :

Suksesi pada habitat yang pernah ada vegetasinya kemudian terganggu namun

tidak merusak total organisme sehingga dalam komunitas tersebut, substrat

lama dan kehidupan masih ada.

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Ekosistem :

Suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara

makhluk hidup dengan lingkungannya (Soemarwoto, 1983). Ekosistem bisa

dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara

segenap unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi (Hutagalung,

2010). Contoh ekosistem hutan hujan tropis, ekosistem sabana, ekosistem

gurun, ekosistem hutan gugur, dll.

Komunitas :

Kumpulan berbagai populasi dalam suatu wilayah tertentu

Populasi :

Kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang saling

berinteraksi dan melakukan perkembangbiakan pada suatu tempat dan waktu

tertentu

Spesies (jenis) :

Suatu takson yang dipakai dalam taksonomi untuk menunjuk pada satu atau

beberapa kelompok individu (populasi) yang serupa dan dapat saling membuahi

satu sama lain di dalam kelompoknya (saling membagi gen) namun tidak dapat

dengan anggota kelompok yang lain

Spesies kunci (Keystone species) :

Merupakan spesies yang memiliki pengaruh besar pada lingkungannya,

mempengaruhi banyak organisme lain dalam ekosistem dan menentukan tipe

dan jumlah berbagai speises dalam suatu komunitas. Banyak hewan

pemangsa merupakan spesies kunci, seperti macan tutul di jawa

Invasive Alien Species :

Spesies asing (bukan asli) yang keberadaannya sudah mengganggu dan

mengancam keberadaan spesies asli dan endemik

Satwa atau Tumbuhan dilindungi :

Satwa dan tumbuhan yang dilindungi berdasarkan PP no. 7 tahun 1990.

Daerah jelajah (home range) :

Kegiatan yang dimaksudkan untuk memulai atau mempercepat pemulihan

ekosistem dengan tujuan kesehatan, integritas dan kelestarian ekosistem.

Kegiatannya meliputi banyak aspek seperti pengendalian erosi, gulma dan

spesies asing invasif, penghutanan kembali, penggunaan spesies asli,

revegetasi, reintroduksi dan pembinaan habitat satwa target.

Daerah Aliran Sungai (DAS) :

Suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan

anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan

mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara

alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut

sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. (PP

No 37 tentang Pengelolaan DAS, Pasal 1)

110 111RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

Rantai makanan :

Perpindahan energi makanan dari sumber daya tumbuhan melalui seri

organisme atau melalui jenjang makan (Tumbuhan – Herbivora karnivora –

Omnivora).

Trophic level :

Suatu posisi dalam suatu rantai makanan yang ditempati oleh kelompok

organisme yang memiliki makanan yang serupa, bisanya digambarkan sebagai

piramida untuk menggambarkan hubungan makan-memakan dari beberapa

kelompok organisme dan distribusi biomasa atau energinya di antara trophic

level pada suatu ekosistem.

Vegetasi :

Istilah umum untuk menyebut komunitas tumbuh-tumbuhan dari suatu

wilayah, misalnya vegetasi mangrove, vegetasi pantai, vegetasi kebun

budidaya dll.; seluruh tumbuh-tumbuhan penutup (cover) tanah.

Habitat :

Suatu areal atau lingkungan dimana suatu organisme atau komunitas ekologi

secara alami hidup dan berkembang. Habitat merupakan wilayah atau

lingkungan ekologis yang dihuni oleh spesies atau populasi (tumbuhan, hewan

atau mikroorganisme).

Daya lenting ekosistem :

Kemampuan ekosistem untuk memulihkan dirinya sendiri menuju keadaan

seimbang setelah mengalami perubahan atau gangguan

Kolonisasi vegetasi :

Suatu proses dimana satu atau lebih spesies tumbuhan menempati atau

mendiami suatu wilayah membentuk koloni atau komunitas tumbuhan

Suksesi Ekologi :

Proses perubahan sturktur spesies tumbuhan secara bertahap dan teratur

dalam suatu komunitas ekologi dari waktu ke waktu menuju satu arah yaitu

keseimbangan klimaks.

Suksesi Primer :

Suksesi pada areal yang belum pernah ada vegetasinya atau sudah pernah ada

vegetasinya, kemudian terganggu yang menyebabkan komunitas yang ada

hilang total dan terbentuk habitat baru sehingga pada substrat yang baru ini

akan berkembang suatu komunitas yang baru.

Suksesi Sekunder :

Suksesi pada habitat yang pernah ada vegetasinya kemudian terganggu namun

tidak merusak total organisme sehingga dalam komunitas tersebut, substrat

lama dan kehidupan masih ada.

Jenis Asli (Indignuous) :

Jenis asli dari suatu wilayah atau ekosistem jika kehadirannya merupakan hasil

proses alami tanpa campur tangan manusia. Jenis yang hidup di dalam daerah

sebaran alaminya sendiri. Jenis asli tidak harus (tidak selalu) merupakan jenis

endemik. Jenis asli suatu lokasi, mungkin juga ditemukan di tempat lain, tetapi

merupakan jenis asli di tempat ia ditemukan.

Jenis Asing (Exotic or Alien Species) :

Jenis asing yang berada di luar daerah sebaran alaminya; jenis yang berasal dari

tempat lain yang jauh; bukan merupakan jenis asli di tempat ia ditemukan;

memiliki asal dan karakter asing; jenis yang diintroduksi atau didatangkan dari

negara lain tetapi tidak sepenuhnya mengalami naturalisasi atau aklimatisasi

Jenis endemik (Endemic) :

Jenis yang secara ekslusive merupakan jenis asli dari suatu tempat tertentu.

Ekosistem referensi :

Ekosistem yang menjadi acuan dalam restorasi ekosistem. Struktur dan komposisi

vegetasinya menjadi acuan dalam pemilihan jenis tanaman dan pola

penanamannya.

Stakeholder :

Atau sering diterjemahkan “para pihak” atau “pemangku kepentingan” adalah

individu atau organisasi yang secara aktif terlibat dalam suatu kegiatan atau

proyek; atau yang memiliki minat sangat signifikan, kepentingan, pengaruh atau

dipengaruhi oleh kegiatan (proyek) tersebut baik positif maupun negatif

Herbarium :

Sekumpulan contoh tumbuhan yg dikeringkan (diawetkan), diberi nama,

disimpan, dan diatur berdasarkan sistem klasifikasi, digunakan dl penelitian

botani

Kolaborasi :

Bentuk kerjasama, interaksi, kompromi beberapa elemen yang terkait baik

individu, lembaga dan atau pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan tidak

langsung yang menerima akibat dan manfaat. Nilai-nilai yang mendasari sebuah

kolaborasi adalah tujuan yang sama, kesamaan persepsi, kemauan untuk

berproses, saling memberikan manfaat, kejujuran, kasih sayang serta berbasis

masyarakat. (cifor/pili, 2005)

Hutan pegunungan :

Hutan yang tumbuh dan berkembang pada daerah pegunungan pada ketinggian

antara 1200 s/d 3350 meter di atas permukaan laut (Van Steenis, 1950).

Daya dukung ekosistem :

Kemampuan ekosistem dalam mendukung kehidupan berbagai makhluk hidup

di dalamnya

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

INDEX

112 113RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

AAcacia 5, 21, 22, 23Agathis 5, 31, 34Albizia 22Alien 2, 21Alluvial 6Ande-ande 51Andosol 6Aquakeeper 33, 34Aquasorb 33Aren 52Arenga 52Artocarpus 22, 23

BBabi hutan 6, 10, 11, 16Balikangin 84Benih 20, 29, 32, 36Beringin 22, 26, 66Bibit 28, 29, 32Bintami 89Bintangur 54Bischofia 53Buni 51, 65

CCabutan 32Calliandra 22, 23Calophyllum 54Cananga 55Cangcaratan 86Cangkok 32, 75, 94Cangkring 62Cantigi 99Castanopsis 56Cempaga 60Cemplongan 32Cinnamomum 5, 57Cover crops 31, 33Cratoxylum 58Croton 59

DDadap 22, 26, 63, 64Dalbergia 22, 23Daya lenting 20, 21, 25Degradasi 2, 21, 22, 23, 34, 36, 37

Dominansi 27, 29Duwet 94Dysoxylum 60

EEksotik 5, 21, 22, 23Elo 69, 72Endemik 4, 15Endemisitas 28Engelhardia 61Erosi 31, 32, 63, 110Erythrina 4, 22, 62, 63, 64

FFeces 20Ficus 4, 21, 22, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71Flacourtia 72Frekuensi 16, 27, 29, 30, 31

GGalearia 73Generatif 32Gintungan 26, 53Girang 81Glochidion 74, 75Gondang 22, 71Gorang 96

HHabitat 15, 16, 17, 21, 26, 27, 29, 30, 36Hamerang 68Helicia 22, 76Herbarium 28, 39Hibiscus 77, 78

Dempul 74

Jenis Asli (Indignuous) :

Jenis asli dari suatu wilayah atau ekosistem jika kehadirannya merupakan hasil

proses alami tanpa campur tangan manusia. Jenis yang hidup di dalam daerah

sebaran alaminya sendiri. Jenis asli tidak harus (tidak selalu) merupakan jenis

endemik. Jenis asli suatu lokasi, mungkin juga ditemukan di tempat lain, tetapi

merupakan jenis asli di tempat ia ditemukan.

Jenis Asing (Exotic or Alien Species) :

Jenis asing yang berada di luar daerah sebaran alaminya; jenis yang berasal dari

tempat lain yang jauh; bukan merupakan jenis asli di tempat ia ditemukan;

memiliki asal dan karakter asing; jenis yang diintroduksi atau didatangkan dari

negara lain tetapi tidak sepenuhnya mengalami naturalisasi atau aklimatisasi

Jenis endemik (Endemic) :

Jenis yang secara ekslusive merupakan jenis asli dari suatu tempat tertentu.

Ekosistem referensi :

Ekosistem yang menjadi acuan dalam restorasi ekosistem. Struktur dan komposisi

vegetasinya menjadi acuan dalam pemilihan jenis tanaman dan pola

penanamannya.

Stakeholder :

Atau sering diterjemahkan “para pihak” atau “pemangku kepentingan” adalah

individu atau organisasi yang secara aktif terlibat dalam suatu kegiatan atau

proyek; atau yang memiliki minat sangat signifikan, kepentingan, pengaruh atau

dipengaruhi oleh kegiatan (proyek) tersebut baik positif maupun negatif

Herbarium :

Sekumpulan contoh tumbuhan yg dikeringkan (diawetkan), diberi nama,

disimpan, dan diatur berdasarkan sistem klasifikasi, digunakan dl penelitian

botani

Kolaborasi :

Bentuk kerjasama, interaksi, kompromi beberapa elemen yang terkait baik

individu, lembaga dan atau pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan tidak

langsung yang menerima akibat dan manfaat. Nilai-nilai yang mendasari sebuah

kolaborasi adalah tujuan yang sama, kesamaan persepsi, kemauan untuk

berproses, saling memberikan manfaat, kejujuran, kasih sayang serta berbasis

masyarakat. (cifor/pili, 2005)

Hutan pegunungan :

Hutan yang tumbuh dan berkembang pada daerah pegunungan pada ketinggian

antara 1200 s/d 3350 meter di atas permukaan laut (Van Steenis, 1950).

Daya dukung ekosistem :

Kemampuan ekosistem dalam mendukung kehidupan berbagai makhluk hidup

di dalamnya

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

INDEX

112 113RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

AAcacia 5, 21, 22, 23Agathis 5, 31, 34Albizia 22Alien 2, 21Alluvial 6Ande-ande 51Andosol 6Aquakeeper 33, 34Aquasorb 33Aren 52Arenga 52Artocarpus 22, 23

BBabi hutan 6, 10, 11, 16Balikangin 84Benih 20, 29, 32, 36Beringin 22, 26, 66Bibit 28, 29, 32Bintami 89Bintangur 54Bischofia 53Buni 51, 65

CCabutan 32Calliandra 22, 23Calophyllum 54Cananga 55Cangcaratan 86Cangkok 32, 75, 94Cangkring 62Cantigi 99Castanopsis 56Cempaga 60Cemplongan 32Cinnamomum 5, 57Cover crops 31, 33Cratoxylum 58Croton 59

DDadap 22, 26, 63, 64Dalbergia 22, 23Daya lenting 20, 21, 25Degradasi 2, 21, 22, 23, 34, 36, 37

Dominansi 27, 29Duwet 94Dysoxylum 60

EEksotik 5, 21, 22, 23Elo 69, 72Endemik 4, 15Endemisitas 28Engelhardia 61Erosi 31, 32, 63, 110Erythrina 4, 22, 62, 63, 64

FFeces 20Ficus 4, 21, 22, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71Flacourtia 72Frekuensi 16, 27, 29, 30, 31

GGalearia 73Generatif 32Gintungan 26, 53Girang 81Glochidion 74, 75Gondang 22, 71Gorang 96

HHabitat 15, 16, 17, 21, 26, 27, 29, 30, 36Hamerang 68Helicia 22, 76Herbarium 28, 39Hibiscus 77, 78

Dempul 74

114RESTORASI EKOSISTEM

Gunung Merapi Pasca Erupsi

Hidrologi 2, 3, 7, 9, 11, 25, 29, 36Homalanthus 22, 79Homalium 80Huru 57, 75, 80, 82, 88Hystrix 16

IIdentifikasi 2, 3, 24, 25, 28, 29, 39, 46, 47Indikator 14, 17Intensitas 34, 36Intervensi 2, 25, 36Invasi 20, 21Invasif 20, 23, 33, 36, 110Inventarisasi 17, 28, 39, 40Ipik 66

JJamblang 94Jamuju 89Jebugan 73Jenis asing 23Jenis pohon asli 3, 21, 23, 25, 28, 29Jirak 93Jurang 96

KKareumbi 79Karnivora 10, 15, 17, 18Kawung 52Kayu batu 80Kedoya 60Kemilandingan gunung 87Kenanga 55Kendung 22, 76Keragaman 13, 14, 19, 27Kerapatan 14, 15, 21, 22, 27, 29, 31Keseragaman 13, 27Ki teja 57Kijang 6, 10, 11, 16, 17Klasifikasi 12, 34, 35, 39Klepu 86Kolonisasi 20, 21, 22, 23Kompos 33, 34Kucing hutan 6, 16

LLandak 10, 11, 16Lanskap 2, 3, 24, 25Leea 81Leucaena 22, 23Litosol 6Litsea 82Lubang tanam 32, 33Lutung 6, 10, 11, 16, 17, 26, 61, 67, 69, 71, 84, 89, 90, 91Luwak 16, 26, 62

MMacaca 6, 16, 40Macan 6, 11, 15, 16Macaranga 21, 22, 83Mallotus 22, 84Mangifera 22, 23Manis rejo 99Mara 83, 89Mareme 74, 75Marong 58Masyarakat 10, 24, 25, 28, 29, 37, 38Migrasi 15Mikoriza 32Mikroba 32Monyet 6, 10, 11, 16, 26Muntiacus 6, 16, 17Myrica 85

NNangsi 98Nauclea 4, 86Neonauclea 86Nilai Penting 27, 29, 31

OOperasi spasial 20Organik 32, 33, 34

PPanggang 65, 96Panthera 6, 15Paradoxurus 6, 16Paraserianthes 5, 21, 87Parengpeng 59

Pasir 13, 16, 21, 22, 31, 32, 33Pasang 22 26, 90, 91Pembersihan lahan 32Pemeliharaan 3, 25, 29, 32, 34, 37Penanaman 25, 28, 29, 30, 31,32, 33, 36Penyiapan lahan 32Persemaian 32Persepsi 37Phoebe 88Picisan 85, 86Pinus 5, 22, 23Podocarpus 89Polybag 33Populasi 17,32Porous 31Potting 33Predator 10, 15, 29 Preh 70Prionailurus 6, 16Psidium 22, 23Pupuk 33, 34Puspa 21, 22, 29, 31, 34, 92

QQuercus 22, 90, 91

RRantai makanan 8, 10, 11Regosol 6Rekolonisasi 20, 21, 22, 23Resiliensi 24Restorasi 2, 3, 20, 22, 24, 25, 28, 29, 31, 32, 34, 35Revegetasi 25, 31Rhizobium 32Rukem 72

SSalam 22, 95Saninten 26, 56Saradan 81Sarangan 56Satwaliar 15, 23, 30Schima 4, 21, 22, 29, 31, 92Sesbania 22, 23

Sembung 97Seuheur 51Silvikultur 31Sowo 61Stakeholder 25Stek 32, 55, 62, 63, 64, 78, 84, 93, 95 Suksesi 3, 17, 19, 20, 23, 25, 36Sus scrofa 6, 16Symplocos 93Syzygium 22, 94, 95

TTapen kebo 59Tectona 22, 23Tembagan 99Terasering 32Tisuk 77Trachypithecus 16, 17Trema 5, 21, 22Trevesia 96Tutup 21, 22, 79, 83, 84Tutup abang 79Tutup awu 83Tutup putih 22, 84

VVegetasi 3, 4, 12, 13, 14, 16, 19, 20, 21, 25, 26, 27, 28, 29, 31, 33, 34, 35, 36, 37Vegetatif 32Vernonia 97Villebrunea 4, 98Vulkanik 6, 12, 14, 17, 20, 21, 23, 31

WWaru 77, 78Weinmannia 99Wilodo 21, 22, 67Wuru payung 88Wuru teja 82

ZZona 30Zonasi 34, 35

114 115RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

114RESTORASI EKOSISTEM

Gunung Merapi Pasca Erupsi

Hidrologi 2, 3, 7, 9, 11, 25, 29, 36Homalanthus 22, 79Homalium 80Huru 57, 75, 80, 82, 88Hystrix 16

IIdentifikasi 2, 3, 24, 25, 28, 29, 39, 46, 47Indikator 14, 17Intensitas 34, 36Intervensi 2, 25, 36Invasi 20, 21Invasif 20, 23, 33, 36, 110Inventarisasi 17, 28, 39, 40Ipik 66

JJamblang 94Jamuju 89Jebugan 73Jenis asing 23Jenis pohon asli 3, 21, 23, 25, 28, 29Jirak 93Jurang 96

KKareumbi 79Karnivora 10, 15, 17, 18Kawung 52Kayu batu 80Kedoya 60Kemilandingan gunung 87Kenanga 55Kendung 22, 76Keragaman 13, 14, 19, 27Kerapatan 14, 15, 21, 22, 27, 29, 31Keseragaman 13, 27Ki teja 57Kijang 6, 10, 11, 16, 17Klasifikasi 12, 34, 35, 39Klepu 86Kolonisasi 20, 21, 22, 23Kompos 33, 34Kucing hutan 6, 16

LLandak 10, 11, 16Lanskap 2, 3, 24, 25Leea 81Leucaena 22, 23Litosol 6Litsea 82Lubang tanam 32, 33Lutung 6, 10, 11, 16, 17, 26, 61, 67, 69, 71, 84, 89, 90, 91Luwak 16, 26, 62

MMacaca 6, 16, 40Macan 6, 11, 15, 16Macaranga 21, 22, 83Mallotus 22, 84Mangifera 22, 23Manis rejo 99Mara 83, 89Mareme 74, 75Marong 58Masyarakat 10, 24, 25, 28, 29, 37, 38Migrasi 15Mikoriza 32Mikroba 32Monyet 6, 10, 11, 16, 26Muntiacus 6, 16, 17Myrica 85

NNangsi 98Nauclea 4, 86Neonauclea 86Nilai Penting 27, 29, 31

OOperasi spasial 20Organik 32, 33, 34

PPanggang 65, 96Panthera 6, 15Paradoxurus 6, 16Paraserianthes 5, 21, 87Parengpeng 59

Pasir 13, 16, 21, 22, 31, 32, 33Pasang 22 26, 90, 91Pembersihan lahan 32Pemeliharaan 3, 25, 29, 32, 34, 37Penanaman 25, 28, 29, 30, 31,32, 33, 36Penyiapan lahan 32Persemaian 32Persepsi 37Phoebe 88Picisan 85, 86Pinus 5, 22, 23Podocarpus 89Polybag 33Populasi 17,32Porous 31Potting 33Predator 10, 15, 29 Preh 70Prionailurus 6, 16Psidium 22, 23Pupuk 33, 34Puspa 21, 22, 29, 31, 34, 92

QQuercus 22, 90, 91

RRantai makanan 8, 10, 11Regosol 6Rekolonisasi 20, 21, 22, 23Resiliensi 24Restorasi 2, 3, 20, 22, 24, 25, 28, 29, 31, 32, 34, 35Revegetasi 25, 31Rhizobium 32Rukem 72

SSalam 22, 95Saninten 26, 56Saradan 81Sarangan 56Satwaliar 15, 23, 30Schima 4, 21, 22, 29, 31, 92Sesbania 22, 23

Sembung 97Seuheur 51Silvikultur 31Sowo 61Stakeholder 25Stek 32, 55, 62, 63, 64, 78, 84, 93, 95 Suksesi 3, 17, 19, 20, 23, 25, 36Sus scrofa 6, 16Symplocos 93Syzygium 22, 94, 95

TTapen kebo 59Tectona 22, 23Tembagan 99Terasering 32Tisuk 77Trachypithecus 16, 17Trema 5, 21, 22Trevesia 96Tutup 21, 22, 79, 83, 84Tutup abang 79Tutup awu 83Tutup putih 22, 84

VVegetasi 3, 4, 12, 13, 14, 16, 19, 20, 21, 25, 26, 27, 28, 29, 31, 33, 34, 35, 36, 37Vegetatif 32Vernonia 97Villebrunea 4, 98Vulkanik 6, 12, 14, 17, 20, 21, 23, 31

WWaru 77, 78Weinmannia 99Wilodo 21, 22, 67Wuru payung 88Wuru teja 82

ZZona 30Zonasi 34, 35

114 115RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

HENDRA GUNAWAN dilahirkan pada 3 April 1964

di Kabupaten Banjarnegara. Putera keempat dari pasangan Alimah (Ibu) dan Aswowikarto (ayah) menyelesaikan pendidikan SD (1976) dan SMP (1980) di Kabupaten Banjarnegara dan SMA di SMAN 1 Kota Cirebon (1980). Meraih gelar sarjana kehutanan (1980), Magister Sains Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (2000) dan Doktor Ilmu Kehutanan (2010) di Institut Pertanian Bogor.

Pria pecinta alam ini pernah bekerja sebagai manajer pembinaan hutan di sebuah HPH (1989-1991), kemudian menjadi Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Kehutanan sejak 1992 dengan profesi sebagai peneliti di bidang konservasi sumberdaya alam. Saat ini jabatannya adalah

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Peneliti Utama di Bidang Konservasi Sumberdaya Alam di Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kementerian Kehutanan.

Peneliti yang senang fotografi ini aktif menulis dan mengikuti seminar dan telah menghasilkan lebih dari 110 karya tulis ilmiah dan populer. Selain meneliti, penggemar jungle travelling ini juga sering diminta sebagai konsultan, narasumber, pembimbing mahasiswa, pengajar diklat dan tenaga ahli di berbagai tim dan kelompok kerja. Menjadi anggota Dewan Riset Badan Litbang Kehutanan, Dewan Redaksi di beberapa jurnal dan majalah, anggota Pokja Konservasi Badak Indonesia dan Pokja Restorasi Ekosistem Kawasan Konservasi merupakan kesibukannya akhir-akhir ini.

Pehobi birdwatching ini menaruh perhatian pada dampak lingkungan, baik akibat pembangunan maupun bencana alam. Di sela kesibukannya sebagai peneliti, masih menyempatkan diri menjadi penyusun AMDAL dan telah mendapatkan sertifikasi kompetensi Ketua Tim Penyusun AMDAL (KTPA) dengan bidang keahlian dampak ekologis.

Penggemar pecel dan gado-gado ini menikah dengan Retno Widianingsih dan telah dikaruniai tiga anak yaitu Priyahita Adhika Putera Rendra (Apoteker); Pradnya Paramarta Raditya Rendra (Geologis) dan Sistha Anindita Pinastika Heningtyas yang masih kuliah di Fakultas Farmasi UNPAD.

Buku-buku yang pernah ditulis sebagai bahan ajar dan diklat (belum diterbitkan secara komersial) antara lain : Dasar-Dasar Pengenalan Dan Identifikasi Satwaliar (2008), Ekologi dan Konservasi karnivora (2007), dan Fragmentasi Hutan : Aplikasi Teori Biogeografi Pulau dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati (2007).

Kegiatan yang sedang disibukinya saat ini antara lain melanjutkan penelitian Restorasi Ekosistem Gunung Merapi, penelitian Sebaran Macan Tutul Di Jawa Barat, penyusunan buku Bioekologi dan Konservasi Badak Indonesia, buku Restorasi Ekosistem Pegunungan Pasca Perambahan Di Gunung Ciremai dan buku Penanganan Satwaliar Pasca Erupsi Gunung Merapi.

SUGIARTI lahir di Sukabumi tanggal 6 Juli 1968 adalah

puteri dari pasangan Anna Mulyana Rodiah (ibu) dan Abdulrachim Kertowitjitro (ayah). Puteri pertama dari dua bersaudara ini menamatkan pendidikan dasarnya di Kota Bandung yaitu di SDN Merdeka V (1981), SMPN 5 (1984) dan SMAN 3 (1987).

Setamat SMA melanjutkan pendidikan tinggi di UNPAD dan mendapatkan gelar sarjana pertanian (1992) di bidang agronomi. Selain itu juga mendapatkan pendidikan keahlian di Study Oleaceae University Pertanian Malaysia (1995) dan Masterclass in Research Communication, Canberra University (2000)

Berkarir sebagai Pegawai Negeri Sipil di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor – LIPI tahun 1994, ia pernah menjabat sebagai Kepala seksi Jasa Ilmiah (1998-2000) dan Kepala Subbagian Jasa dan Informasi (2000-2007). Saat ini jabatannya adalah Humas Program Pembangunan Kebun Raya Indonesia. Disamping itu juga aktif menjadi Pengurus Forum Pranata Humas LIPI dan Ketua Bidang Humas Perhimpunan Biologi Indonesia.

Pengalaman lainnya diantaranya menjadi tenaga ahli dan pendamping pembangunan kebun raya, panitia Hari Cinta Puspa & Satwa Nasional, Konservasi Tumbuhan dan Pendidikan Lingkungan dengan UNESCO (2003-2006), Koordinator children club di Ecopark dengan Botanic Gardens Conservation International (2005). Karya monumentalnya adalah menjadi Koordinator pembangunan Ecology Park Cibinong Science Center, LIPI (2003-2011). Saat ini Ibu dua orang anak ini sedang sibuk dengan proyek Sosialisasi Pembangunan 21 Kebun Raya Baru di Indonesia.

Fungsional Humas yang gemar fotografi ini pernah terlibat dalam penulisan berbagai buku, baik sebagai tim penulis maupun kontributor. Ia antara lain menjadi kontributor buku The Flora of Bukit Tigapuluh National Park, Kerumutan Sanctuary and Mahato Protective Reserve, Riau Indonesia (1998), Seri Koleksi Tanaman Air Kebun Raya Bogor vol.1 no.5 (2004), dan Diversitas Ekosistem Alami Indonesia – ungkapan singkat dengan sajian foto dan gambar (2013).

Sebagai anggota tim penulis buku antara lain : Manual Pembangunan Kebun Raya (2006), Flora dan Fauna Dalam Perangko (2007), Sekolahku Peduli, Ayo Kita Menanam (2009), Penetapan Prioritas Kawasan Untuk Pembangunan Kebun Raya Baru di Indonesia (2010), Ensiklopedia Flora (2010), Pesona Warna Alami Indonesia (2011), Rencana Pengembangan Kebun Raya Indonesia (2012) dan sebagai penulis pertama Buku saku: Keluarga Dipterocarpaceae di Ecopark Cibinong Science Center LIPI (2012).

Wanita karir yang penyayang keluarga ini menikah dengan Ahmad Zaky Budiman dan telah dikarunia sepasang putera-puteri yaitu Ahmad Faza (masih kuliah) dan Adelia Anjani (kelas 6 SD).

RIWAYAT HIDUP PENULIS

116 117RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

HENDRA GUNAWAN dilahirkan pada 3 April 1964

di Kabupaten Banjarnegara. Putera keempat dari pasangan Alimah (Ibu) dan Aswowikarto (ayah) menyelesaikan pendidikan SD (1976) dan SMP (1980) di Kabupaten Banjarnegara dan SMA di SMAN 1 Kota Cirebon (1980). Meraih gelar sarjana kehutanan (1980), Magister Sains Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (2000) dan Doktor Ilmu Kehutanan (2010) di Institut Pertanian Bogor.

Pria pecinta alam ini pernah bekerja sebagai manajer pembinaan hutan di sebuah HPH (1989-1991), kemudian menjadi Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Kehutanan sejak 1992 dengan profesi sebagai peneliti di bidang konservasi sumberdaya alam. Saat ini jabatannya adalah

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Peneliti Utama di Bidang Konservasi Sumberdaya Alam di Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kementerian Kehutanan.

Peneliti yang senang fotografi ini aktif menulis dan mengikuti seminar dan telah menghasilkan lebih dari 110 karya tulis ilmiah dan populer. Selain meneliti, penggemar jungle travelling ini juga sering diminta sebagai konsultan, narasumber, pembimbing mahasiswa, pengajar diklat dan tenaga ahli di berbagai tim dan kelompok kerja. Menjadi anggota Dewan Riset Badan Litbang Kehutanan, Dewan Redaksi di beberapa jurnal dan majalah, anggota Pokja Konservasi Badak Indonesia dan Pokja Restorasi Ekosistem Kawasan Konservasi merupakan kesibukannya akhir-akhir ini.

Pehobi birdwatching ini menaruh perhatian pada dampak lingkungan, baik akibat pembangunan maupun bencana alam. Di sela kesibukannya sebagai peneliti, masih menyempatkan diri menjadi penyusun AMDAL dan telah mendapatkan sertifikasi kompetensi Ketua Tim Penyusun AMDAL (KTPA) dengan bidang keahlian dampak ekologis.

Penggemar pecel dan gado-gado ini menikah dengan Retno Widianingsih dan telah dikaruniai tiga anak yaitu Priyahita Adhika Putera Rendra (Apoteker); Pradnya Paramarta Raditya Rendra (Geologis) dan Sistha Anindita Pinastika Heningtyas yang masih kuliah di Fakultas Farmasi UNPAD.

Buku-buku yang pernah ditulis sebagai bahan ajar dan diklat (belum diterbitkan secara komersial) antara lain : Dasar-Dasar Pengenalan Dan Identifikasi Satwaliar (2008), Ekologi dan Konservasi karnivora (2007), dan Fragmentasi Hutan : Aplikasi Teori Biogeografi Pulau dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati (2007).

Kegiatan yang sedang disibukinya saat ini antara lain melanjutkan penelitian Restorasi Ekosistem Gunung Merapi, penelitian Sebaran Macan Tutul Di Jawa Barat, penyusunan buku Bioekologi dan Konservasi Badak Indonesia, buku Restorasi Ekosistem Pegunungan Pasca Perambahan Di Gunung Ciremai dan buku Penanganan Satwaliar Pasca Erupsi Gunung Merapi.

SUGIARTI lahir di Sukabumi tanggal 6 Juli 1968 adalah

puteri dari pasangan Anna Mulyana Rodiah (ibu) dan Abdulrachim Kertowitjitro (ayah). Puteri pertama dari dua bersaudara ini menamatkan pendidikan dasarnya di Kota Bandung yaitu di SDN Merdeka V (1981), SMPN 5 (1984) dan SMAN 3 (1987).

Setamat SMA melanjutkan pendidikan tinggi di UNPAD dan mendapatkan gelar sarjana pertanian (1992) di bidang agronomi. Selain itu juga mendapatkan pendidikan keahlian di Study Oleaceae University Pertanian Malaysia (1995) dan Masterclass in Research Communication, Canberra University (2000)

Berkarir sebagai Pegawai Negeri Sipil di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor – LIPI tahun 1994, ia pernah menjabat sebagai Kepala seksi Jasa Ilmiah (1998-2000) dan Kepala Subbagian Jasa dan Informasi (2000-2007). Saat ini jabatannya adalah Humas Program Pembangunan Kebun Raya Indonesia. Disamping itu juga aktif menjadi Pengurus Forum Pranata Humas LIPI dan Ketua Bidang Humas Perhimpunan Biologi Indonesia.

Pengalaman lainnya diantaranya menjadi tenaga ahli dan pendamping pembangunan kebun raya, panitia Hari Cinta Puspa & Satwa Nasional, Konservasi Tumbuhan dan Pendidikan Lingkungan dengan UNESCO (2003-2006), Koordinator children club di Ecopark dengan Botanic Gardens Conservation International (2005). Karya monumentalnya adalah menjadi Koordinator pembangunan Ecology Park Cibinong Science Center, LIPI (2003-2011). Saat ini Ibu dua orang anak ini sedang sibuk dengan proyek Sosialisasi Pembangunan 21 Kebun Raya Baru di Indonesia.

Fungsional Humas yang gemar fotografi ini pernah terlibat dalam penulisan berbagai buku, baik sebagai tim penulis maupun kontributor. Ia antara lain menjadi kontributor buku The Flora of Bukit Tigapuluh National Park, Kerumutan Sanctuary and Mahato Protective Reserve, Riau Indonesia (1998), Seri Koleksi Tanaman Air Kebun Raya Bogor vol.1 no.5 (2004), dan Diversitas Ekosistem Alami Indonesia – ungkapan singkat dengan sajian foto dan gambar (2013).

Sebagai anggota tim penulis buku antara lain : Manual Pembangunan Kebun Raya (2006), Flora dan Fauna Dalam Perangko (2007), Sekolahku Peduli, Ayo Kita Menanam (2009), Penetapan Prioritas Kawasan Untuk Pembangunan Kebun Raya Baru di Indonesia (2010), Ensiklopedia Flora (2010), Pesona Warna Alami Indonesia (2011), Rencana Pengembangan Kebun Raya Indonesia (2012) dan sebagai penulis pertama Buku saku: Keluarga Dipterocarpaceae di Ecopark Cibinong Science Center LIPI (2012).

Wanita karir yang penyayang keluarga ini menikah dengan Ahmad Zaky Budiman dan telah dikarunia sepasang putera-puteri yaitu Ahmad Faza (masih kuliah) dan Adelia Anjani (kelas 6 SD).

RIWAYAT HIDUP PENULIS

116 117RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

MARFUAH WARDANI dilahirkan di Klaten pada tanggal 15 Maret 1958 dari

pasangan Yatimah (Ibu) dan Darto Wardoyo (ayah) . Menamatkan pendidikan dasarnya di Kota Ungaran yaitu di SDN 1 (1970)m SMPN 1 (1973) dan SMAN 1 (1976). Memperoleh gelar sarjana biologi (1982) dan Magister Pertanian (1995) di Universitas Gadjah mada. Selain itu juga mendapatkan pelatihan Pengenalan jenis pohon dan pengelolaan herbarium dari FRIM, Malaysia (1984) dan Herbarium Bogoriense (1995)

Berkarir sebagai PNS di Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi sejak tahun 1985 sebagai peneliti di bidang botani hutan dan saat ini jabatannya adalah Peneliti Madya. Kesibukannya sehari-hari adalah menjadi Kurator Herbarium Botani Hutan, Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (1986 s/d sekarang). Selain aktif melakukan penelitian di bidang konservasi tumbuhan, juga sering diminta mengajar pengenalan jenis pohon dan pembuatan koleksi herbarium di lingkup Kementerian Kehutanan. Proyek yang sedang ditangani saat ini adalah penelitian fitokimia jenis Shorea spp. sebagai bahan obat.

Buku yang pernah ditulisnya bersama peneliti lain diantaranya : Check List Tree Flora of Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Maluku , Papua) (1986-1990), Vandemecum Dipterokarpa (1986), Medicinal Plant (1997), Atlas Kayu Indonesia Vol.4 (siap cetak).

Menikah dengan Sutiyono, seorang peneliti utama di bidang bambu, mereka dikaruniai tiga orang anak yaitu Yuldhastiya Rahmanda, Nomarhinta Solehah dan Binagusto Mochammad.

RIWAYAT HIDUP PENULIS

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RIWAYAT HIDUP PENULIS

118 119RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

M. HESTI LESTARI TATA dilahirkan di Denpasar

pada Tanggal 25 Mei 1970. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya, ia melanjutkan pendidikan Sarjananya di Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Ia memperoleh gelar Sarjana Biologi pada tahun 1993 dengan mayor Genetika, Mikologi dan Bioteknologi. Mengawali karirnya sebagai calon peneliti di Balai Penelitian Kehutanan Samarinda tahun 1994 hingga 1996, kemudian pindah ke Pusat Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, Bogor sejak tahun 1996 hingga sekarang.

Pada tahun 1998 mendapatkan beasiswa dari Tropenbos untuk melanjutkan studinya ke jenjang pascasarjana (S2) di Institut Pertanian Bogor dan meraih gelar Magister Sains (M.Si.) dengan mayor Ekologi, Fisiologi dan Mikoriza pada tahun 2001. Pada tahun 2004 kembali mendapatkan beasiswa dari DELTA Utrecht University Netherlands untuk pendidikan Doktoral dan mendapatkan gelar Doktor di bidang Ekologi Tumbuhan dan Mikoriza pada tahun 2008.

Penulis pernah mendapatkan pelatihan di bidang GIS (2006), Fungal Biodiversity (2004) dan Leadership and Adaptive Management in Forest Environments (2002). Menjadi counter part Tropenbos Kalimantan Programme pada tahun 1995-1996 dan peneliti di ICRAF-South East Asia di Bogor tahun 2004-2008. Sejak tahun 1998 menjadi peneliti yang tergabung dalam Kelompok Peneliti Silvikultur pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi sampai sekarang. Hingga saat ini telah menghasilkan sekitar 20 karya tulis ilmiah yang terbit di jurnal internasional dan nasional. Karya tulisnya antara lain mengenai Mikoriza, Silvikultur dan Agroforesty.

Penulis aktif di beberapa organisai profesi antara lain International Society of Tropical Forester, International Mycorrhizae Society, Indonesian Association of Mycorrhizae dan The British Mycological Society. Penulis pernah mendapatkan hibah penelitian dari NFP (Netherlands Fellowship Programme) dan Freezailah Fellowship - ITTO (International Tropical Timber Organization). Penulis aktif mengikuti seminar dan workshop di dalam dan luar negeri.

Kesibukannya akhir-akhir ini adalah melakukan penelitian restorasi ekosistem terdegradasi dan rehabilitasi lahan kritis. Untuk berkomunikasi dengannya dapat melalui email : [email protected]

MARFUAH WARDANI dilahirkan di Klaten pada tanggal 15 Maret 1958 dari

pasangan Yatimah (Ibu) dan Darto Wardoyo (ayah) . Menamatkan pendidikan dasarnya di Kota Ungaran yaitu di SDN 1 (1970)m SMPN 1 (1973) dan SMAN 1 (1976). Memperoleh gelar sarjana biologi (1982) dan Magister Pertanian (1995) di Universitas Gadjah mada. Selain itu juga mendapatkan pelatihan Pengenalan jenis pohon dan pengelolaan herbarium dari FRIM, Malaysia (1984) dan Herbarium Bogoriense (1995)

Berkarir sebagai PNS di Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi sejak tahun 1985 sebagai peneliti di bidang botani hutan dan saat ini jabatannya adalah Peneliti Madya. Kesibukannya sehari-hari adalah menjadi Kurator Herbarium Botani Hutan, Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (1986 s/d sekarang). Selain aktif melakukan penelitian di bidang konservasi tumbuhan, juga sering diminta mengajar pengenalan jenis pohon dan pembuatan koleksi herbarium di lingkup Kementerian Kehutanan. Proyek yang sedang ditangani saat ini adalah penelitian fitokimia jenis Shorea spp. sebagai bahan obat.

Buku yang pernah ditulisnya bersama peneliti lain diantaranya : Check List Tree Flora of Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Maluku , Papua) (1986-1990), Vandemecum Dipterokarpa (1986), Medicinal Plant (1997), Atlas Kayu Indonesia Vol.4 (siap cetak).

Menikah dengan Sutiyono, seorang peneliti utama di bidang bambu, mereka dikaruniai tiga orang anak yaitu Yuldhastiya Rahmanda, Nomarhinta Solehah dan Binagusto Mochammad.

RIWAYAT HIDUP PENULIS

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RIWAYAT HIDUP PENULIS

118 119RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

RESTORASI EKOSISTEMGunung Merapi Pasca Erupsi

M. HESTI LESTARI TATA dilahirkan di Denpasar

pada Tanggal 25 Mei 1970. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya, ia melanjutkan pendidikan Sarjananya di Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Ia memperoleh gelar Sarjana Biologi pada tahun 1993 dengan mayor Genetika, Mikologi dan Bioteknologi. Mengawali karirnya sebagai calon peneliti di Balai Penelitian Kehutanan Samarinda tahun 1994 hingga 1996, kemudian pindah ke Pusat Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, Bogor sejak tahun 1996 hingga sekarang.

Pada tahun 1998 mendapatkan beasiswa dari Tropenbos untuk melanjutkan studinya ke jenjang pascasarjana (S2) di Institut Pertanian Bogor dan meraih gelar Magister Sains (M.Si.) dengan mayor Ekologi, Fisiologi dan Mikoriza pada tahun 2001. Pada tahun 2004 kembali mendapatkan beasiswa dari DELTA Utrecht University Netherlands untuk pendidikan Doktoral dan mendapatkan gelar Doktor di bidang Ekologi Tumbuhan dan Mikoriza pada tahun 2008.

Penulis pernah mendapatkan pelatihan di bidang GIS (2006), Fungal Biodiversity (2004) dan Leadership and Adaptive Management in Forest Environments (2002). Menjadi counter part Tropenbos Kalimantan Programme pada tahun 1995-1996 dan peneliti di ICRAF-South East Asia di Bogor tahun 2004-2008. Sejak tahun 1998 menjadi peneliti yang tergabung dalam Kelompok Peneliti Silvikultur pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi sampai sekarang. Hingga saat ini telah menghasilkan sekitar 20 karya tulis ilmiah yang terbit di jurnal internasional dan nasional. Karya tulisnya antara lain mengenai Mikoriza, Silvikultur dan Agroforesty.

Penulis aktif di beberapa organisai profesi antara lain International Society of Tropical Forester, International Mycorrhizae Society, Indonesian Association of Mycorrhizae dan The British Mycological Society. Penulis pernah mendapatkan hibah penelitian dari NFP (Netherlands Fellowship Programme) dan Freezailah Fellowship - ITTO (International Tropical Timber Organization). Penulis aktif mengikuti seminar dan workshop di dalam dan luar negeri.

Kesibukannya akhir-akhir ini adalah melakukan penelitian restorasi ekosistem terdegradasi dan rehabilitasi lahan kritis. Untuk berkomunikasi dengannya dapat melalui email : [email protected]

RIWAYAT HIDUP PENULIS

120RESTORASI EKOSISTEM

Gunung Merapi Pasca Erupsi

SUKAESIH PRAJADINATA dilahirkan di Ciamis, Jawa Barat pada tanggal

6 Maret 1958. Pendidikan dasarnya diselesaikan di Ciamis. Setelah lulus dari SMA Negeri I Ciamis, penulis melanjutkan pendidikannya di Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Setelah berhasil meraih Sarjana Kehutanan pada tahun 1984 penulis bekerja sebagai peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, bagian Budi Daya Hutan (Silvikultur).

Pada tahun 1996 meraih gelar Master of Science di University of Stirling, Scotland – United Kingdom. Penelitian yang ditekuninya berkaitan dengan tanam menanam, khususnya restorasi ekosistem terdegradasi dan rehabilitasi lahan kritis. Penulis aktif bekerjasama dengan pemegang konsesi IUPHKA untuk kegiatan restorasi hutan rawa gambut melalui penanaman jenis-jenis lokal di Rokan Hilir Sumatera dan rehabilitasi lahan bekas tambang di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah. Kegiatan rehabilitasi juga pernah dilakukan pada kawasan hutan perladangan berpindah dengan jenis-jenis pohon hutan penghasil buah dilakukan di areal kerja IUPHKA–HTI di Kalimantan Tengah. Di Kalimantan Tengah, penulis juga pernah bergabung dengan Barito Ulu Project – Cambridge University untuk melakukan pengamatan dan penelitian mengenai biodiversity dan regenerasi hutan.

Pasca meletusnya Gunung Merapi tahun 2011 sampai dengan tahun 2012 penulis diberi kesempatan untuk melakukan penelitian dan uji coba penanaman di Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi yang terkena dampak erupsi.