penugasan uro

download penugasan uro

of 39

Transcript of penugasan uro

PENUGASAN BLOK UROLOGI KODE C-3

Disusun Oleh: ABDUL ISMU N. (09711071) RIAN MARUFI (09711077) ANIDA SHOFIANA (09711.....) Tutor Tutorial 18: dr. Saiful

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2011

BAGIAN I STATUS PASIEN KODE SOAL : C3 I. IDENTITAS Nama Pasien : Ny. Dx Umur Alamat Agama Pekerjaan : 30 tahun : Bantul, Yogyakarta : Islam : Pedagang

II.

ANAMNESIS A. Keluhan Utama : Nyeri perut

B. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD rumah sakit dengan keluhan nyeri perut bagian bawah sejak 4 hari SMRS. Nyeri dirasakan semakin lama semakin meningkat. Kadang nyeri menjalar sampai ke selangkangan dan ke pinggang. Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah mual dan sudah sejak 1 minggu, badan terasa demam. Pasien juga merasakan anyang-anyangan dan merasa nyeri serta panas pada saat BAK. Pasien mempunyai kebiasaan sering menunda kencing dan kurang minum air putih. Pasien juga mempunyai riwayat keputihan yang sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan pernah diperiksakan ke dokter, tetapi obat tidak diminum teratur. C. Riwayat Penyakit Dahulu Penyakit ginjal disangkal Riwayat benturan pada perut bagian bawah disangkal Riwayat hipertensi dan DM disangkal

Riwayat sering menderita keputihan D. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama Riwayat penyakit DM dan hipertensi disangkal E. Anamnesis Sistem Sistem Cerebrospinal Sistem Respiratorius Sistem Kardiovaskular Sistem Gastrointestinal BAB (normal) Sistem Urogenital : anyang-anyangen, BAK terasa panas dan nyeri : pusing (-), demam (+) : t.a.k : t.a.k : nafsu makan menurun, mual (+), muntah (-),

Sistem Musculoskeletal : t.a.k Sistem Integumentum : t.a.k

III.

PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum Kesadaran Vital Sign : Baik, koorperatif : E4V5M6 Compos Mentis : Tekanan darah : Nadi : Respirasi : Suhu A. Status Generalis Dalam batas normal. B. Status Lokalis Regio Abdominal Inspeksi : Regio Suprapubic tidak tampak menegang : 120/90 mmHg : 90x/menit : 22x/menit : 38o celcius

Auskultasi : Bising usus (+) normal Palpasi : Nyeri tekan regio suprapubis (+) Ballotement (-), VU tak teraba menegang.

Hepar, lien tidak teraba. Perkusi : Timpani, Nyeri Ketok Costovetreba (-/-)

IV.

DIAGNOSIS BANDING A. Pielonefritis Akut B. Sistitis C. Ureterolithiasis

BAGIAN II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pielonefritis Akut Definisi Infeksi saluran kemih menurut anatominya dapat dibagi menjadi dua katagori: infeksi saluran kemih bagian bawah (urethritis dan sistitis) dan infeksi saluran kemih bagian atas (akut pielonefritis dan prostatitis). Infeksi pada urethra dan kantong kemih sering meliputi infeksi superfisial atau mukosal, sedangkan pada prostatitis dan pielonefritis infeksi lebih menandakan invasi pada jaringan. (Fauci et all, 2008) Pielonefritis akut adalah reaksi inflamasi yang merupakan akibat infeksi bakteri pada pielum parenkim ginjal, tubulus,pelvis ginjal dan jaringan interstisial dari salah satu atau kedua ginjal. (Robbin, 2007; Wilson, 2006) Pielonefritis dapat pula didefinisikan sebagai peradangan pada ginjal dan pelvis renis yang dimulai pada jaringan intersitial dan dengan cepat meluas mengenai tubulus, glomerulus serta pembuluh darah, dan keadaan ini dapat disebabkan oleh infeksi bakteri. (Anderson, 2009) Epidemiologi Infeksi saluran kemih, sering terjadi pada manusia tanpa memandang usia. Wanita lebih rentan terkena infeksi ini dari pada pria karena saluran urethra wanita lebih pendek daripada pria. Terhitung 6-7 juta kunjungan rumah sakit karena penyakit infeksi ini pertahunnya dengan kunjungan terbanyaknya adalah wanita. (perawatan) ISK pada laku-laki jarang dilaporkan, kecuali disertai faktor predisposisi (pencetus). (Sukardi, 2009)

Pada orang dewasa, pielonefritis akut kira-kita dilaporkan di Amerika dengan kunjungan rumah sakit 250.000 dan 200.000 pasien rawat inap. Pada tahun 2007, 12 sampai 13 kasus per 10.000 wanita di Seattle dilaporkan menderita pielonefritis, sementara insidensi pada pria adalah 2 sampai 3 kasus per 10.000 pria menderita pielonefritis. Pada penelitian lainnya pada tahun 2005 dilaporkan insidensi pielonefritis di Amerika adalah 28 kasus per 10.000 wanita dengan usia 18-49 tahun. (Foxman, 2003; Ramakhisnan, 2005) Etiologi dan Faktor Risiko Pada umumnya mikroorganisme yang sering menyebabkan pielonefritis ini berasal dari saluran kemih bagian bawah yang naik ke ginjal melalui ureter. Mikroorganisme ini sebagian besar adalah Escheria Coli yang merupakan mikroorganisme yang paling sering menginfeksi pada ISK. Pada pielonefritis, E. Coli dengan pili P dan serogrup O merupakan penyebab lebih dari 90% kasus pielonefritis. Selain E. Coli, mikroorganisme lain yang dapat menyebabkan pielonefritis adalah Proteus, Klebsiella spp, dan kokkus gram positif yaitu : Streptococcus faecalis dan Enterococcus.(Robbin, 2007; Tanagho, 2008) Penularan secara hematogen dapat disebabkan oleh kuman Stafilokokkus, namun penularan dengan cara ini sangat jarang terjadi. Spesies Proteus, Klebsiella, Enterobacter dan Pseudomonas dapat menyebabkan infeksi rekuren, terutama pada pasien yang menjalani manipulasi saluran kemih atau mengidap anomali saluran kemih bagian bawah atau kongenital.(Robbin, 2007) Faktor risiko seseorang dapat dengan mudah terkena pielonefritis adalah keadaan-keadaan sebagai berikut: (Robbin, 2007) 1. Obstruksi saluran kemih. Obstruksi saluran kemih baik kongenital maupun didapat dapat menjadi salah satu faktor risiko pielonefritis. Contoh dari

obstruksi saluran kemih tersebut misalnya nefrolitiasis atau penyakit prostat. (Robbin, 2007) 2. Jenis kelamin wanita. Urethra pada wanita lebih pendek dari pada pria dan letaknyapun berdekatan dengan anus. Sehingga mikroorganisme dari saluran GI dapat menginfeksi dengan mudah saluran kemih pada wanita dibandingkan pada pria. (Robbin, 2007) 3. Usia. Setelah tahun pertama kehidupan (saat anomali kongenital pada anak pria mulai muncul) dan sampai usia 40 tahun, infeksi lebih sering terjadi pada wanita. Dengan bertambahnya usia, insiden pada pria meningkat karena terjadi hipertrofi prostat dan mungkin diakibatkan oleh seringnya dilakukan instrumentasi. (Robbin, 2007) 4. Kehamilan. Empat sampai enam persen wanita hamil mengalami bakteriuria sesaat selama kehamilan, dan 20% sampai 40% diantaranya mengalami infeksi saluran kemih simtomatik apabila infeksi sebelumnya tidak diobati. (Robbin, 2007) 5. Refluks vesikoureter. Refluks ini memungkinkan bakteri dari kandung kemih untuk menginvasi bagian ureter ataupun ginjal. (Robbin, 2007) 6. Pemasangan peralatan kedokteran. Pemasangan peralatan kedokteran terutama pada instrumen yang menetap dapat meningkatkan risiko terkena pielonefritis. (Robbin, 2007) 7. Stasis urine. Stasis urin merupakan faktor risiko terjadinya ISK, karena urin yang stasis pada saluran kemih dapat menjadi tempat pertumbuhan bagi bakteri penyebab ISK. (Robbin, 2007) 8. Penyakit ginjal. Penyakit ginjal menjadi salah satu faktor risiko terjadinya pielonefritis, dari lesi ginjal yang menyebabkan terbentuknya jaringan parut dan akhirnya menyebabkan obstruksi pada ginjal. (Robbin, 2007) 9. Penyakit metabolik. Diabetes, gout dan batu urine dapat menjadi salah satu faktor risiko dari pielonefritis. (Wilson, 2006) Pada diabetes melitus, pielonefritis sering disebabkan oleh disfungsi neurogenik kandung kemih

pada pasien, kerentanan umum terhadap infeksi dan seringnya dilakukan instrumentasi. (Robbin, 2007) 10. Imunosupresi atau imunodefisiensi. Penyakit infeksi sangat berhubungan dengan sistem imun, oleh karena itu suatu keadaan imunosupresi ataupun imunodefisiensi dapat menyebabkan mikroorganisme menginfeksi dengan mudah. (Robbin, 2007) Patogenesis Terdapat dua rute yang dapat ditempuh bakteri untuk mencapai ginjal. Melalui aliran darah (hematogen) dan dari saluran kemih bawah (asendens), namun penyebaran hematogen lebih jarang dijumpai. Pielonefritis akut ini dapat timbul akibat menyamainya bakteri sewaktu septikemia atau endokarditis infektif di ginjal. (Robbin, 2007) Infeksi asendens dari saluran kemih bawah merupakan jalur tersering dan terpenting dalam bakteri untuk mencapai dan menginfeksi ginjal. Langkah pertama patogenesis infeksi asendens tampaknya adalah perlekatan bakteri ke permukaan mukosa, diikuti oleh kolonisasi uretra distal, dari sini bakteri akan mencapai kandung kemih melalui uretra dan naik ke ginjal. Dengan pertumbuhan ekspansif koloni dan bergerak melawan arus urine. Meskipun ginjal menerima 20 % sampai 25 % curah jantung, bakteri jarang yang mencapai ginjal melalui aliran darah. (Robbin, 2007) Pielonefritis akut sering merupakan akibat daru refluks ureterovesikal, dimana katub ureterovesikal tidak mampu menyebabkan urine mengalir balik (refluks) kedalam ureter. Pada obstruksi saluran kemih, dapat menyebabkan pengosongan yang tidak lengkap dan peningkatan volume urine sisa. Apabila terdapat stasis, bakteri yang masuk kedalam kandung kemih akan berkembang biak tanpa gangguan, tanpa mengalami pembilasan, atau dihancurkan oleh dinding saluran kemih. Dari urine pada kandung kemih yang tercemar, bakteri dapat naik dengan mudah di sepanjang

ureter untuk menginfeksi pelvis dan parenkim ginjal, sehingga ini yang menyebabkan pielonefritis akut. Namun meskipun obstruksi saluran kemih merupakan factor predisposisi pada pathogenesis infeksi asendens, ketidakmampuan orifisium vesikoureter yang memungkinkan bakteri naik melalui ureter menuju pelvis. (Robbin, 2007) Insersi normal ureter melalui kandung kemih merupakan suatu katup yang kompeten satu arah yang mampu mencegah aliran urine retrogad terutama saat tekanan intravesika meningkat. Orifisium vesikoureter yang tidak mampu memungkinkan refluks kandung kemih ke dalam ureter (refluks vesikoureter) atau VUR. VUR merupakan kelainan didapat pada pasien dengan kandung kemih yang kendur akibat cedera medulla spinalis. Efek VUR serupa dengan efek suatu obstruksi yaitu setelah berkemih akan terdapat sisa urine dalam saluran kemih yang memudahkan pertumbuhan bakteri. Selain itu VUR juga menjadi mekanisme yang mendorong urine dari kandung kemih yang terinfeksi ke atas menuju pelvis ginjal lalu ke parenkim ginjal melalui duktus yang terbuka di ujung papilla (refluks intrarenal). (Robbin, 2007) Manifestasi Klinis Pasien dengan pielonefritis akut mungkin dapat menunjukkan gejala-gejala seperti nyeri disudut kostrovertebra dengan onset yang mendadak disertai tanda sistemik infeksi, seperti menggigil, demam, dan malaise, mual muntah. Kelainan kemih dapat terjadi, dan biasanya berupa piuria dan bakteriuria. Selain itu gejala yang sering muncul adalah gejala yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih bagian bawah, seperti disuria, frekuensi atau urgensi. Gejala lainnya seperti nyeri panggul, pinggang dan perut, suara usus yang melemah seperti ileus paralitik dan hematuria dapat terjadi pada pielonefritis ini. (Purnomo, 2008; Robbin, 2007; Tanagho, 2008)

Pada anak-anak, manifestasi klinisnya mungkin tidak spesifik, manifestasi tersebut termasuk demam, tidak nafsu makan, muntah, dan cepat marah. (Corwin, 2008) Diagnosis Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada pinggang dan perut, suara usus melemah seperti ileus paralitik. Nyeri tekan dapat dirasakan pada bagian sudut costovetebra. Selain itu pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan demam yang cukup tinggi. Takikardi mungkin didapatkan tergantung pada demam, dehidrasi dan sepsis. Tekanan darah biasanya naik dalam stadium awal. (Wilson, 2006; Schoff, 2010) Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengarahkan diagnosis pielonefritis, adalah sebagai berikut: 1. Pemeriksaan Darah Rutin. Pada pemeriksaan darah rutin dapat

menunjukkan hasil leukositosis disertai peningkatan laju endap darah (LED). Selain itu, dapat pula ditemukan kadar C-reactive protein yang meningkat. (Tanagho, 2008) 2. Urinalisis. Pada pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan piuria, bakteriuria dan hematuria. Piuria dinyatakan positif bila terdapat lebih dari 104 sel darah putih/ml pada spesimen urin. Piuria dipresentasikan pada 96% pasien dengan symptomatik bakteriuria dengan nilai CFU lebih dari 106/ml. (NHSScotland, 2006)

Adanya bakteriuria dalam urin dapat diungkapkan dengan kuantitatif kultur atau pemeriksaan mikroskopis urin. Bakteriuria bermakna jika terdapat lebih dari 105 CFU/ml salah satu bakteri penyebab ISK. (NHSScotland, 2006) Hematuria didefinisikan sebagai terdapatnya darah dalam urin baik itu visibel (makroskopis hematuria) maupun invisibel (mikroskopis hematuria). (NHSScotland, 2006) 3. Kultur Urin. Pada pemeriksaan kultur urin, dapat ditemukan bakteriuria. Dari kultur urin sebelum diberikan antibiotik, E. coli merupakan mikroorganisme yang ditemukan pada lebih dari 80% kasus pielonefritis. Selain itu, bakteri gram positif yang merupakan penyebab pielonefritis mungkin juga dapat ditemukan, seperti Streptococcus faecalis dan S. aureus.(Purnomo, 2008; Tanagho, 2008) 4. Pemeriksaan Radiologi. Pada pemeriksaan USG, dapat ditemukan

hidronefrosis yang dapat disebabkan oleh batu ataupun obstruksi lainnya. (CMDT) Penegakan Diagnosis Dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pada pasien, kita dapat menegakkan diagnosis pielonefritis akut. Anamnesis dilakukan untuk mengetahui keluhan dan faktor risiko yang mengarah pada diagnosis pielonefritis. Selain itu, pada pemeriksaan fisik biasanya terdapat demam dan nyeri tekan pada bagian sudut costovetebra. Pada pemeriksaan darah rutin, urinalisis dan kultur urin didapatkan hasil yang menunjukkan tanda-tanda dari infeksi mikroorganisme. Dengan menggabungkan hasil dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, kita dapat menegakkan diagnosis pielonefritis akut.

Manajemen dan Terapi Urin dan kultur darah dapat digunakan untuk mengidentifikasi bakteri yang menyebabkan infeksi dan menilai sensitifitas dari antimikroorganisme tersebut. Antibiotik yang dapat digunakan pada penyakit pielonefritis adalah sebagai berikut: (CMDT)

Antibiotik Ampisilin 1g setiap 6 jam dan gentamicin 1mg/kg setiap 8 jam Ciprofloxacin, 750 mg setiap 12 jam Ofloxacin, 200-300 mg setiap 12 jam Trimethoprimsulfamethoxazole, 160/800 mg setiap 12 jam

Rute Intravena

Durasi 21 hari

Oral

21 hari

Oral

21 hari

Oral

21 hari

Terapi juga ditujukan untuk mencegah terjadinya kerusakan ginjal yang lebih parah dan memperbaiki kondisi pasien, yaitu berupa terapi suportif dan terapi dengan

pemberian antibiotika. Antibiotika yang digunakan adalah yang bersifat bakterisidal, dan berspektrum luas, yang secara farmakologis mampu mengadakan penetrasi ke jaringan ginjal dan kadarnya di dalam urine cukup tinggi. Golongan obat obatan ini adalah golongan aminoglikosida yang dapat dikombinasikan dengan aminopenisilin (ampisilin atau amoksisilin) aminopenisilin dikombinasi dengan asam klavulanat atau sulbaktam, karboksipenisilin, sefalosporin atau fluoroquinolone. (Purnomo, 2008) Pengobatan lain yang dapat digunakan yaitu kateterisasi dan neprostomi. Katetirasisi untuk drainase mungkin diperlukan pada awal terapi untuk mengeluarkan urin pada retensi urin sedangkan neprostomi drainase digunakan pada obstruksi urethra. (CMDT07) Komplikasi Komplikasi terjadi lebih sering pada pasien dengan penyakit diabetes melitus, penyakit ginjal kronis, penyakit sel sabit, transplantasi ginjal, AIDS dan penyakit Imunosupresi atau imunodefisiensi. Dengan adanya komplikasi, maka dapat dimungkinkan peningkatan mortalitas maupun morbiditas dari penyakit pielonefritis akut ini. Komplikasi pada pielonefritis akut adalah sebagai berikut: (Schoff, 2010) 1. Pembentukan Abses 2. Pembentukan Emphysematous 3. Emphysematous Pyelitis 4. Emphysematous Sistitis 5. Gagal Ginjal Akut 6. Sepsis 7. Nekrosis Papiler Ginjal 8. Pielonefritis Xanthogranulomatous

2. Sistitis Definisi Infeksi saluran kemih menurut anatominya dapat dibagi menjadi dua katagori: infeksi saluran kemih bagian bawah (urethritis dan sistitis) dan infeksi saluran kemih bagian atas (akut pielonefritis dan prostatitis). Infeksi pada urethra dan kantong kemih sering meliputi infeksi superfisial atau mukosal, sedangkan pada prostatitis dan pielonefritis infeksi lebih menandakan invasi pada jaringan. (Fauci et al, 2008) Sistitis adalah suatu infeksi pada kantong kemih, yang merupakan tempat paling sering terjadinya infeksi. Menurut anatomi infeksi saluran kemih, sistitis termasuk dalam infeksi saluran kemih bagian bawah. Penyebab infeksi pada kantong kemih ini sekitar 80% disebabkan oleh bakteri E. Coli. Cara infeksi dari sistitis ini kebanyakan adalah ascending dari urethra atau vagina. (Fauci et al, 2008; Tanagho, 2008) Epidemiologi Sistitis dilaporkan menjadi penyakit bakterial tersering, pada tahun 2001 lebih dari 10 juta kunjungan rumah sakit karena penyakit ini. Sistitis lebih banyak menyerang wanita daripada pria. Ini terjadi karena urethra pada wanita lebih pendek daripada pria dan menyerang semua usia. Pada survey telepon, 2000 sampel wanita, berumur lebih dari 18 tahun dan mempunyai riwayat UTI dalam 12 bulan terakhir dilaporkan hasilnya yaitu, 33% pada wanita berumur 24 tahun mempunyai riwayat infeksi saluran kemih. Pada studi terakhir, dilaporkan 450 kasus sistitis intersitial terjadi per 100.000 populasi. (Foxman, 2000; Schappert, 2006; Tanagho, 2008)

Etiologi dan Faktor Risiko Penyebab tersering dari sistitis (sekitar 80%) adalah Escherichia coli dengan serogrup yang paling patogen adalah E. coli serogrup O. Penyebab lainnya adalah Staphylococcus saprophyticus, Klabsiella pneumoniae dan bakteri lain seperti Pseudomonas, Enterococcus, Enterobacter, dan Streptococcus grup B. Enterococcus merupakan penyebab tersering terjadinya sistitis uncomplicated sistitis pada wanita sedangkan streptococcus grup B merupakan penyebab tersering pada ibu hamil. Selain itu, adenovirus merupakan penyebab sistitis hemorrhagic pada anak-anak. (Fauci et al, 2008) Faktor risiko dari sistitis ini berawal dari ketidakmampuan pengosongan kandung kemih yang menyebabkan urin statis, dan dapat menjadi tempat bakteri berkembang biak. Ketidakmampuan pengosongan kandung kemih dapat merupakan akibat dari obstruksi saluran kemih. Kondisi obstruksi ini dapat berupa neurogenic bladder, striktur urethra, diverticulum bladder dan prostat hipertrofi. (Tanagho, 2008) Selain obstruksi yang menyebabkan ketidakmampuan pengosongan kandung kemih, ada beberapa faktor risiko lain, seperti: (Fauci et al, 2008) 1. Neoplasma di kandung kemih 2. Pemasangan alat-alat medis pada kandung kemih 3. Kebersihan kurang 4. Hubungan abnormal antara kandung kemih dan struktur di dekatnya (fistula) 5. Pasien dengan diabetes mellitus dan dengan level estrogen yang rendah 6. Trauma pada kandung kemih

Patofisiologi Secara umum, patofisiologi penyakit infeksi saluran kemih tergantung dari penyebaran mikroorganisme, faktor mikroorganisme dan faktor host. (Tanagho, 2008) Beberapa cara penyebaran mikroorganisme adalah sebagai berikut: a. Ascending. Penyebaran ini merupakan penyebaran tersering bakteri periurethral, dengan cara ascending bakteri tersebut dapat masuk dan menyebar di saluran kemih dan menyebabkan infeksi saluran kemih. (Tanagho, 2008) b. Hematogen. Hematogen merupakan cara penyebaran bakteri yang jarang. Penyebaran secara hematogen biasanya terjadi pada pasien dengan immunocompromised atau pada neonatus yang sistem imunnya masih rendah. Kuman tersering yang cara penyebarannya lewat hematogen adalah Staphylococcus aureus dan Mycobacterium tuberculosis. (Tanagho, 2008) c. Limfogen. Cara penyebaran limfogen disebarkan lewat rectal, kolon dan periuterin limfatik. Cara ini merupakan cara penyebaran limfogen tersering pada penyakit infeksi saluran kemih. (Tanagho, 2008) Faktor host yang berperan dalam patofisiologi penyakit infeksi saluran kemih secara umum adalah faktor pertahanan dari host sendiri. Faktor pertahanan host yang rendah menyebabkan host dapat dengan mudah terserang penyakit infeksi ini. Faktor pertahanan ini dibagi menjadi pertahanan lokal dan imunitas dari host. Faktor imunitas tergantung dari umur dan apakah terdapat imunocompromised pada pasien. Sedangkan faktor pertahanan lokal adalah sebagai berikut: (Purnomo, 2009) a. Mekanisme pengosongan urin b. Derajat keasaman urin yang rendah c. Adanya ureum di dalam urin

d. Panjang urethra pada pria e. Uromukoid yang menghambat penempelan bakteri Faktor mikroorganisme atau bakteri adalah dari pili atau fimbriae, pembentukan antigen, menghasilkan toxin dan enzim urease. Pili atau fimbriae yang dihasilkan oleh bakteri ada type I atau type P. Pada sistitis type I merupakan penyebab tersering penyakit infeksi pada kandung kemih. (Purnomo, 2009) E.coli atau bakteri lain yang normalnya berada di saluran GI atau vagina dapat menyebar ke urethra dan menimbulkan infeksi pada kandung kemih. Penyebaran bakteri ini baik dengan cara ascending, hemtatogen maupun limfogen. Penyebaran yang paling sering pada sistitis adalah penyebaran secara ascending dari urethra menuju kandung kemih. Bakteri dilengkapi dengan pili atau fimbriae yang terdapat di permukaan bakteri. Pili berfungsi untuk menempel pada urotelium melalui reseptor urotelium. Pili yang paling sering menyebabkan sistitis adalah pili jenis I, sehingga pili ini yang akan berikatan dengan reseptornya di urotelium kandung kemih dan menginfeksi pada daerah tersebut. (Purnomo, 2009) Penempelan bakteri pada urotelium kandung kemih akan menyebabkan reaksi inflamasi, mukosa kandung kemih akan kemerahan (eritema) dan mukosa ini akan mudah berdarah sehingga dapat menyebabkan hematuria. Selain itu, mukosa kandung kemih juga akan hipersensitif, sehingga saat kandung kemih terisi urin, maka pasien akan mengeluhkan mudah kencing (frekuensi). Inflamasi pada kandung kemih juga menyebabkan rasa nyeri pada bagian suprapubik akibat dari kontraksi kandung kemih. (Purnomo, 2009) Manifestasi Klinis Manifestasi klinis yang khas dari sistitis adalah gejala iritatif yang biasanya timbul pada infeksi saluran kemih bagian bawah, gejala tersebut adalah:

1. Disuria. Nyeri saat berkemih yang disebabkan karena spasme kandung kemih. (Anderson, 2009) 2. Frekuensi. Reaksi inflamasi menyebabkan mukosa buli-buli menjadi kemerahan dan hipersensitif sehingga jika buli-buli terisi urine, akan mudah terangsang untuk mengeluarkan isinya. (Purnomo, 2008) 3. Urgensi. Keinginan untuk berkemih yang diakibatkan oleh iritabilitas dan hiperaktifitas dari kandung kemih yang diakibatkan oleh obstruksi, inflamasi atau penyakit neurophatic kandung kemih. (Tanagho, 2008) Gejala lain yang mungkin timbul dari sistitis, selain dari gejala iritatif yang sudah dijelaskan di atas adalah: 1. Nyeri Suprapubik. Kontraksi buli-buli dapat menyebabkan rasa sakit/nyeri pada daerah suprapubik. (Purnomo, 2008) 2. Hematuria. Sel darah merah di dalam urin yang disebabkan oleh eritema mukosa buli-buli yang mudah berdarah. (Anderson, 2009; Purnomo, 2008) 3. Piuria. Adanya lebih dari lima sel darah putih dalam spesimen urin yang diambil dari aspirasi suprapubik atau kateterisasi. (Tanagho, 2008; kprawatan) 4. Gejala sistitis jarang: demam, mual, muntah, badan lemah dan kondisi umum yang menurun. (Purnomo, 2008) Diagnosis Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik sistitis dapat ditemukan nyeri tekan pada daerah suprapubik.(keprawatan) Selain itu, gejala-gejala frekuensi, disuria dan urgensi merupakan tanda khas pada infeksi saluran kemih bagian bawah. (Tanagho, 2008) Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan pula demam dengan suhu >38,3oC, namun ini jarang terjadi. (Fauci et al, 2008)

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis lainnya adalah sebagai berikut: 1. Pemeriksaan Darah Rutin. Pada pemeriksaan darah rutin dapat

menunjukkan hasil leukositosis disertai peningkatan laju endap darah (LED). Selain itu, dapat pula ditemukan kadar C-reactive protein yang meningkat. (Tanagho, 2008) 2. Urinalisis. Pada pemeriksaan penunjang urinalisis, didapat hematuria, piuria dan bakteriuria. (Tanagho, 2008) 3. Kultur Urin. Dengan melakukan pemeriksaan kultur urin dengan tujuan untuk mengetahui jenis kuman infeksi. Hasil dari pemeriksaan urin mikroskopi dapat ditemukan eritrosit, leukosit ataupun bakteri. (Tanagho, 2008) 4. Pemeriksaan Radiologi. Pemeriksaan pencitraan seperti PIV, USG ataupun sistokopi dapat dilakukan untuk melihat apakah ada kelainan pada buli-buli (keganasan, urolitiasis) dan digunakan untuk menyingkirkan diagnosis lainnya. Namun, pemeriksaan ini dapat tidak dilakukan jika tidak ada komplikasi. (Tanagho, 2008) Penegakkan Diagnosis Dengan melakukan anamnesis pada pasien dapat diketahui faktor-faktor risiko dan keluhan yang mengarahkan pada diagnosis sistitis. Selain dari anamnesis, penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan melihat hasil dari pemeriksaan fisik dan penunjang. Biasanya, sistitis terdapat nyeri tekan pada daerah suprapubik. Pada kultur urin yang diambil dengan kateter transureteral jika didapatkan nilai bakteri 105 maka dapat dikatakan bahwa hasil kultur urin tersebut positif, sehingga dapat mengarahkan diagnosis penyakit infeksi saluran kemih. Namun, jika gejala dan urinalisis sudah

sangat menunjukkan diagnosis sistitis, maka kultur dapat tidak dilakukan. (Tanagho, 2008) Manajemen dan Terapi Pada sistitis cukup diberikan terapi dengan antimikroba dosis tunggal atau jangka pendek (1-3 hari), tetapi bila hal ini tidak memungkinkan, dipilih antimikroba yang masih cukup sensitif terhadap kuman E coli antara lain, nitroflurantoin, trimetropin-sulfametoxsazol atau ampisilin. (Purnomo, 2008) Lini pertama pada pengobatan sistitis ini adalah trimetropin-sulfametoxazol selama 3 hari. Sedangkan lini kedua pengobatan sistitis adalah fluroquinolon selama 3 hari. (Tanagho, 2008) Kadang-kadang diperlukan obat-obatan golongan antikolinergik (propantelin bromide) untuk mencegah hiperiritabilitas buli-buli dan fenazopiridin hidroklorida sebagai antiseptik pada saluran kemih. (Purnomo, 2008) Selain itu, untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat infeksi dapat digunakan piridium (analgesik urinarius). (keprawatan) Manajemen penyakit sistitis selain yang telah disebutkan di atas, terdapat pula manajemen yang khusus untuk wanita. Berikut bagan manajemen sistitis tersebut menurut NHSScotland tahun 2006:

Wanita dengan akut sistitis. -Tidak ada demam, nyeri panggul, atau gejala pyelonefritis lainnya. -Sanggup mengkonsumsi obat oralPikirkan diagnosis alternatif (seperti pyelonefritis atau ISK dengan komplikasi)

TIDAK

YAAntimikrobial dapat diberikan dengan mengetahui : availability, riwayat alergi dan toleransi. Nitrofurantoin monohydrate 100mg X 5 hari (jangan berikan jika anda curiga pyelonefritis) ATAU Trimethropim-sulfamethoxazole 160/800mg (satu DS tablet) X 3 hari (hindari jika terdapat prevalensi resistensi atau jika digunakan pada pasien dengan riwayat ISK sebelumnya selama 3 bulan) ATAU TIDAK Fosfomysin trometamol 3mg dosis tunggal (effisasi lebih rendah dari obat lainnya, hindari jika curiga pyelonefritis) ATAU Pivmesillinam 400mg x 5 hari (effisasi lebih rendah dari obat lainnya) YAResepkan antimikrobial yang direkomendasikan

Fluroquinolon (prevalensi resisten tinggi pada beberapa daerah) ATAU -lactam (hindari pemberian ampisillin atau amoxisillin tanpa kombinasi, effisasi lebih rendah dari obat lain dan memerlukan follow-up yang teliti)

Pilihan diantara obat-obat tersebut harus dikonfirmasi tergantung dari masing-masing individu baik itu alergi maupun riwayat pemberian obat tesebut, lokal prevalensi resistensi, availabilitas dan harga

Komplikasi Sistitis jarang menyebabkan suatu komplikasi. Namun, tidak menutup kemungkinan komplikasi pada sistitis, komplikasi pada sistitis ini dapat merupakan perlukaan pada kandung kemih maupun dapat menyebabkan pielonefritis akut. (Tanagho, 2008)

3. Ureterolitiasis Definisi Batu ureter adalah batu yang terletak pada ureter maupun sistem pelvikalises yang dapat menimbulkan obstruksi saluran kemih dan menimbulkan kelainan struktur saluran kemih sebelah atas. (Purnomo, 2008) Epidemiologi Penyakit batu ureter ini adalah paling sering terjadi dengan insiden rata-rata sebesar 12%. Insidensi batu ureter ini tiga kali lipat lebih sering terjadi pada pria. Biasanya batu ureter ini terjadi para pria berusia 30-50 tahun. Pada anak-anak baik pria maupun wanita prevalensinya sama untuk risiko batu ureter ini. Pada pasien dengan riwayat batu ginjal dapat terjadi rekuren 3 kali dalam 1 tahun. (Mantey, 2001) Di negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, Australia, batu saluran kemih banyak dijumpai di saluran kemih bagian atas, sedangkan di negara berkembang seperti India, Thailand dan Indonesia banyak dijumpai batu vesica urinaria. Peningkatan kejadian batu pada saluran kemih bagian atas terjadi pada abad-20, khususnya di daerah bersuhu tinggi dan dari negara yang sudah berkembang, peningkatan ini berhubungan erat dengan perkembangan ekonomi serta peningkatan biaya untuk kebutuhan makan perkapita. (Sjabani, 2007) Etiologi dan Faktor Risiko Etiologi pembentukan saluran kemih dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, profesi, mentalitas, konstitusi nutrisi, musim, ras, keturunan. Dari etiologi tersebut sehingga terdapat kelainan morfologi, gangguan aliran air keruh, infeksi saluran kemih, kelainan metabolik, dan faktor genetik. (Sjabani, 2007)

Terbentuknya batu saluran kemih berhubungan dengan gangguan aliran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan keadaan lain yang belum diketahui. Ada beberapa fakto-faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih. Faktor-faktor tersebut adalah faktor intrinsik yaitu keadaan yang berasal dari tubuh seseorang sedangkan faktor ekstrinsik adalah pengaruh yang berasal dari lingkungan sekitarnya. (Purnomo, 2008) Faktor-faktor intrinsik itu antara lain adalah : 1. Herediter atau keturunan. Penyakit ini diturunkan dari orang tuanya. 2. Umur. Penyakit ini paling sering dtemukan pada usia 30-50 tahun. 3. Jenis kelamin. Jumlah pasien pria 3 kali lebih banyak dari pasien wanita Beberapa faktor ekstrinsik antara lain adalah: 1. Geografi. Pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran kemih yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga sering disebut sebagai daerah stonebelt. 2. Iklim dan temperatur. Pada individu yang tinggal di daerah dengan suhu yang tinggi, maka memungkinkan orang tersebut terkena dehidrasi, yang akhirnya dapat menimbulkan batu asam urat. (Tanagho, 2008) 3. Asupan air. Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang dikonsumsi dapat meningkatkan insidensi batu saluran kemih atau batu ureter. 4. Diet. Diet banyak purin,oksalat, dan kalsium mempermudah terjadinya batu saluran kemih. 5. Pekerjaan. Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang banyak duduk atau kurang aktivitas atau sedentary life. Faktor risiko di bawah ini merupakan faktor-faktor predisposisi kejadian batu ginjal, dan menggambarkan kadar normal dalam urin. Lebih dari 85% batu pada pria

dan 70% pada wanita mengandung kalsium, terutama kalsium oksalat. Faktor-faktor predisposisi dapat dijelaskan sebagai berikut: (Sjabani, 2007) Hiperkalsiuria. Kelainan ini dapat menyebabkan hematuri tanpa ditemukan pembentukan dari batu ginjal. Peningkatan dari eksresi kalsium dalam air kemih dengan atau tanpa faktor risiko lain, ditemukan pada setengah dari pembentukan batu kalsium idiopatik. Hiperkalsiuria ini dapat ditunjukkan dalam tiga bentuk, yaitu: (Sjabani, 2007) 1. Hiperkalsiuria absortif yang ditandai oleh adanya kenaikan absorpsi kalsium dari lumen usus. 2. Hiperkalsiuria puasa yang ditandai oleh kelebihan kalsium yang diduga berasal dari tulang. 3. Hiperkalsiuria ginjal yang diakibatkan kelainan reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal. Hipositraturia. Suatu penurunan ekskresi inhibitor pembentukan kristal dalam air kemih, khususnya sitrat, merupakan suatu mekanisme lain untuk terbentuknya dari batu ginjal ini. Masukan protein yang tinggi merupakan faktor utama yang membatasi eksresi sitrat. Selain dari masukan protein yang tinggi, faktor lain yang dapat membatasi eksresi sitrat adalah asidosis metabolik kronik, diare kronik, dan asidosis di tubulus ginjal. Selain sitrat, kekurangan inhibitor lain yang dapat menurunkan eksresi sitrat adalah glikoprotein dan nefrokalsin. (Sjabani, 2007) Hiperurikosuria. Peningkatan asam urat dalam urin dapat memacu pembentukan batu kalsium, sebagian dibentuk oleh kristal asam urat dengan membentuk nidus untuk presipitasi kalsium oksalat atau kalsium fosfat. (Sjabani, 2007) Penurunan Jumlah Air Kemih. Karena cairan yang sedikit dapat menyebabkan jumlah air kemih atau urin yang dihasilkan juga berkurang akibatnya

dapat menimbulkan pembentukan batu dengan peningkatan reaktan dan pengurangan aliran air kemih. (Sjabani, 2007) Jenis Cairan yang Diminum. Minuman soft drink lebih dari 1 liter perminggu menyebabkan pengasaman dengan asam fosfor dapat meningkatkan risiko penyakit baru. Sebagian menyebutkan bahwa sedikit beban asam dapat meningkatkan eksresi kalsium dan eksresi asam urat dalam air kemih serta mengurangi kadar sitrat air kemih. Selain itu, jus apel maupun anggur dapat memacu peningkatan risiko pembentukan batu. (Sjabani, 2007) Hiperoksaluria. Hiperoksaluria merupakan ekskresi oksalat di atas normal. Peningkatan ekskresi oksalat menyebabkan perubahan cukup besar dan dapat memacu presipitasi kalsium oksalat. (Sjabani, 2007) Ginjal Spongiosa Medula. Pembentukan batu kalsium meningkat pada kelainan ginjal spongiosa medula, terutama pada pasien dengan faktor risiko metabolik hiperkalsiuria atau hiperurikosuria. Kelainan ini diperkirakan akibat adanya kelainan duktus kolektikus terminal yang menyebabkan daerah tersebut statis yang memacu presipitasi kristal dan kelekatan epitel tubulus. (Sjabani, 2007) Faktor Diet. Faktor diet berperan penting dalam mengawali pembentukan suatu batu, beberapa fakto tersebut adalah: (Sjabani, 2007) 1. Masukan Natrium Klorida. Masukan natrium yang tinggi dapat meningkatkan ekskresi kalsium. Hubungan dari hal ini diperkirakan karena reabsorbsi kalsium secara pasif mengikuti natrium dan air pada tubulus proksimal dan sepanjang lengkung Henle. 2. Masukan Protein. Masukan protein yang tinggi dapat dihubungkan dengan peningkatan insidensi penyakit batu. Masukan protein dan metabolisme purin dan sulfur menghasilkan asam amino dan asam urat. Hal ini akan memacu pembentukan batu kalsium. Hal ini disebabkan

karena peningkatan ekskresi kalsium dan asam urat dan penurunan eksresi sitrat. 3. Masukan Kalsium. Masukan kalsium memberikan efek paradoks pada pembentukan batu. Pada subyek normal dilaporkan sekitar delapan persen diabsorbsi dan kemudian dieksresi pada pasien hiperkalsiuria sebesar 20%. 4. Sukrosa. Telah diketahui bahwa sukrosa dapat meningkatkan ekskresi kalsium dalam air kemih dengan mekanisme yang masih belum jelas diketahui. 5. Vitamin. Vitamin C dalam dosis besar merupakan salah satu risiko pembentukan kalsium oksalat. Secara in vivo, asam askorbat dimetabolisir menjadi oksalat yang dieksresikan dalam air kemih. Vitamin B6 bermanfaat mengurangi ekskresi oksalat dalam air kemih pada pasien dengan hiperoksaluria idiopatik. 6. Asam Lemak. Pada pasien hiperkalsiuria idiopatik setelah pemberin suplemen kapsul minyak ikan menunjukkan penurunan ekskresi kalsium air kemih. 7. Masukan Air. Peningkatan volume masukan air dapat mengurangi risiko pembentukan batu. Ini dapat dijelaskan dengan meningkatnya volume air kemih maka tingkat kejenuhan kalsium oksalat menurun sehingga mengurangi kemungkinan pembentukan kristal. Patofisiologi Batu ureter adalah batu ginjal yang berasal dari ginjal dan pindah ke dalam ureter. Batu dimulai sebagai butiran kecil dari bahan tak larut dan mengumpul di ginjal. Ketika urin mengalir keluar dari ginjal, butiran ini (bahan tak larut) yang tertinggal. Materi yang tertinggal biasanya adalah mineral misalnya kalsium oksalat, dan masih ada bahan yang lain yang dapat membentuk batu ginjal seperti sistin,

kalsium fosfat, asam urat dan struvite. Seiring waktu, bahan undissolved ini akan semakin banyak mengendap, dan mengkristal dan semakin menjadi lebih besar. (AUAF, 2010) Kebanyakan batu ureter yang dalam ukuran yang kecil sehingga batu dapat dengan mudah keluar melewa tubuh dengan buang air kecil. Beberapa batu, yang berasal dari ginjal, terlalu besar untuk melewati seluruh ureter. Batu tersebut dapat menjadi tertahan di ureter, menyebabkan rasa sakit dan mungkin memblokir aliran urin. Batu-batu ini mungkin perlu diobati. (AUAF, 2010) Manifestasi Klinis Beberapa manifestasi klinis pada penyakit batu ureter dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Nyeri Kolik. Batu saluran kemih bagian atas pada akhirnya akan menyebabkan nyeri. Karakteristik dari nyeri tersebut tergantung dari lokasi batu. Nyeri kolik adalah nyeri yang khas pada batu yang terdapat pada ureter yang diakibatkan oleh meregangnya dinding ureter. Pada ureter, nyeri lokal disebarkan oleh saraf ilioingunal dan genitofemoral. Beberapa hal yang berpengaruh terhadap nyeri yang ditimbulkan oleh batu adalah ukuran batu, lokasi, derajat obstruksi, ketajaman obstruksi dan variasi dari anatomi saluran kemih tiap individu. (Tanagho, 2008) Onset dari rasa nyeri tersebut sering terjadi tiba-tiba dan hebat, sehingga dapat membangunkan pasien dari tidur. Pasien sering berpindah ke posisi yang tidak biasa untuk meringankan nyeri tersebut. (Tanagho, 2008) Nyeri pada batu ureter biasanya dirasakan pada bagian kostovetebra atau nyeri pada bagian panggul. Nyeri akan dirasakan cukup sering jika batu tersebut turun secara progresif. Nyeri yang disebabkan batu ureter dapat menjalar ke bagian lumbal atau panggul. (Tanagho, 2008)

2. Hematuria. Hematuria mungkin dikeluhkan pasien dengan warna urin yang mirip dengan teh. Keadaan ini disebabkan karena urin tersebut mengandung sel darah merah yang berasal dari obstruksi akibat batu pada ureter. (Tanagho, 2008) 3. Demam. Keadaan darurat pada batu dengan saluran kemih dapat ditunjukkan dengan adanya demam. Karena dimungkinkan terdapat sepsis jika terjadi salah satu tanda sebagai berikut: demam, takikardi dan hipotensi. (Tanagho, 2008) 4. Mual dan Muntah. Obstruksi saluran kemih bagian atas, sering berhubungan dengan adanya mual dan muntah. (Tanagho, 2008) Diagnosis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang detail merupakan salah satu komponen penting untuk mengevaluasi pasien dengan suspek batu saluran kemih. Pasien mungkin mengeluhkan nyeri kolik, dan seringkali untuk memperingan nyeri tersebut pasien mengubah posisinya. Nyeri pada daerah costovetebral mungkin didapatkan. (Tanagho, 2008) Pada keadaan urosepsis mungkin didapatkan demam ataupun hipotensi. Ini merupakan salah satu kegawatdaruratan medis, oleh karena itu perlu dilakukan penanganan secara segera. (Tanagho, 2008) Pemeriksaan abdomen mungkin didapatkan nyeri bagian abdomen. Namun nyeri ini mungkin bukan berasal dari batu, namun dapat berasal dari penyakit lain misalnya, tumor atau aneurysm. Palpasi pada kandung kemih mungkin didapatkan retensi urin. Pemeriksaan rectal mungkin dapat dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis lainnya. (Tanagho, 2008)

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya batu saluran kemih adalah sebagain berikut: 1. Urinalisis. Pada pemeriksaan urinalisis digunakan sampel urin pasien untuk mengetahui apakah terdapat hematuria, leukosituria maupun kristaluria, yang merupakan petunjuk penting adanya batu pada saluran kemih. (Sjabani, 2007) 2. Kultur Urin. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui penyebab lain timbulnya keluhan pada pasien seperti pada penyakit infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh bakteri. (Sjabani, 2007) 3. Pemeriksaan radiografi abdomen. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ukuran, bentuk, posisi dan membedakan densisitas dari batu yang menyebabkan keluhan pada pasien. Densisitas tinggi dapat dikarenakan batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat, sedangkan densisitas rendah dikarenakan batu sistin, struvite atau campuran keduanya. (Sjabani, 2007) 4. Urogram. Pemeriksaan penunjang urogram dilakukan untuk mendeteksi batu radiolusen dan dapat dengan mudah menentukan lokasi dari batu saluran kemih tersebut. (Sjabani, 2007) Penegakkan Diagnosis Pada pemeriksaan fisik, adanya nyeri kolik, nyeri ketok ginjal, teraba ginjal pada sisi sakit akibat hidronefrosis, terlihat tanda gagal ginjal, retensi urin dan jika terjadi infeksi maka mungkin didapat demam. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dan hasil yang mungkin didapatkan adalah sebagi berikut: pemeriksaan radiografi foto abdomen dan Urogram terdeteksi adanya batu. Pada pemeriksaan urinalisis mungkin didapatkan hematuri, leukosituri, dan kristaluria.

Manajemen dan Terapi Tindakan emergensi pada pasien biasanya pasien diberikan obat spasme analgetik dan inhibitor sintesis prostaglandin, baik dengan jalan intravena, intramuskular, atau suposituria. Batu yang berukuran kurang dari 5mm dapat dilakukan terapi fakmakologi. Terapi farmakologi ini bertujuan untuk mengeluarkan batu secara spontan saat berkemih tanpa harus dilakukan tindakan pembedahan. Selain itu, pemberian terapi diuretik dan minum banyak cairan dapat membantu untuk mengurangi nyeri dan memperlancar aliran urin. (Purnomo, 2009; Sjabani, 2007) Pencegahan terjadinya presipitasi atau batu batu dapat diberikan sesuai dengan kelainan metabolik, misalnya pada hiperkalsiuria idiopatik dengan diberikan diuretik tiazid seperti hidroklorotiazid 20-50 mg/hari, alupurinol 100-300 mg/hari untuk pasien hiperurikosuria, pemberian fosfat netral untuk mengurangi eksresi kalsium, dan kalium sitrat untuk pasien hipositraturia. (Sjabani, 2007) European Association of Urology (EAU) merekomendasikan terapi pasien urolithiasis dengan extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL) and percutaneous nephrolithotomy (PCNL) sebagai standar terapi. ESWL merupakan pilihan untuk penghancur batu sekitar 90% dengan ukuran 20mm dan batu staghorn. Menurut Egilmez, T. (dalam Han, D. H. et al., 2010), ESWL juga bisa digunakan untuk penghancuran 45-60 % batu yang ukurannya >20mm. (Han et al, 2010) Komplikasi Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari batu ureter ini adalah: (Stoller & Stackhouse, 2006) 1. Retensi urin akut 2. Retensi urin kronik

3. Gagal ginjal 4. Hidronefrosis 5. Infeksi saluran kemih 6. Kematian

BAB III ANALISIS KASUS

I.

USULAN PEMERIKSAAN PENUNJUANG Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis

pielonefritis adalah sebagai berikut: 1. URINALISIS Pada pemeriksaan urin pada pasien dengan infeksi saluran kemih bagian atas, dimungkinkan terdapat kadar leukosit esterase yang meningkat, ikatan tersebut terbuat dari hasil penghancuran sel darah putih di urin. Nitrat urin juga dapat ditemukan pada pemeriksaan ini, nitrat urin ini terbuar dari hasil reduksi nitrat oleh bakteri gram negatif. Esterase dan nitrit dapat terdeteksi dengan pemeriksaan urine dipstick dan diagnosis dapat lebih diperkuat lagi dengan ditemukannya bakteri dengan jumlah >100,000 colony-forming units (CFU) per milliliter. Pemeriksaan secara mikroskopis pada spesimen urin pasien dengan ISK untuk sel darah putih dan bakteri, dilakukan setelah spesimen di sentrifus. Ketika bakteri ditemukan dengan jumlah >100,000 CFU/mL, bakteri akan terdeteksi dengan pemeriksaan mikroskop. Lebih dari tiga sel darah putih ditemukan per high-power field menunjukkan kemungkinan besar adanya infeksi. Kemungkinan hasil: Leukosituria, hematuria dan bakteriuria. 2. KULTUR URIN Gold standard untuk mengidentifikasi infeksi saluran kemih analisis kultur urine untuk menentukan bakteri yang spesifik. Urine sebaiknya dikumpulkan di

wadah yang steril dan dikultur sesegera mungkin setelah dikumpulkan. Ketika urin tidak memungkinkan untuk dikumpulkan atau diambil sesegera mungkin, urin dapat di dinginkan di dalam almari pendingin lebih dari 24 jam. Sample kemudian diencerkan dan dioleskan atau disebarkan pada piring kultur. Setiap bakteri yang ada akan bergerombol dengan koloni nya pada piring kultur. Jumlah koloni dihitung dengan perhitungan atau satuan CFU/mL. Nilai perhitungan bakteri bermakna klinis jika CFU lebih dari 105. Kemungkinan hasil: Bakteri didapatkan lebih dari 105 . 3. DARAH RUTIN Pada pemeriksaan darah rutin mungkin didapatkan adanya leukositosis dan meningatnya kecepatan atau laju enap darah (KED). Hal tersebut dimungkinkan karena adanya suatu infeksi. Selain itu, mungkin CPR juga meningkat karena infeksi tersebut. Kemungkinan hasil: Leukosit, KED dan CRP meningkat. 4. PENCITRAAN Pada pemeriksaan pencitraan kita dapat melakukan pemeriksaan computed tomography (CT) scan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis secara akurat penyakit pyelonefritis. Infeksi bakterial akut dapat menyebabkan kontriksi arteriol perifer dan mengurangi perfusi ke jaringan ginjal. Akibat dari perfusi yang berkurang, maka akan mengurangi sinyal densisitas pada daerah tersebut. Pembersaran renal dan parenkim ginjal yang menipis merupakan karakteristik yang mungkin dapat ditemukan pada pemeriksaan CT scan ini. Bagaimanapun juga CT scan tidak penting untuk dilakukan, kecuali pada beberapa keadaan seperti diagnosis yang kabur atau pasien tidak berespon pada terapi yang kita berikan. Pada

studi radionucleid dengan asam

99m

Tc-dimercaptosuccinic adalah sensitif untuk

mendeteksi adanya gangguan pada perfusi ginjal. Kemungkinan hasil: CT scan didapatkan berkurangnya densisitas gambaran pada daerah ginjal yang perfusinya berkurang. Contoh hasil dari CT scan pada pasien dengan pyelonefritis akut dengan daerah yang perfusinya berkurang adalah sebagai beirkut (ditunjukkan dengan panah): (Tanagho, 2008)

II.

DIAGNOSIS KERJA

Gejala dan tanda ISK? 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Disuria Urgensi Frekuensi Poliuria Nyeri Suprapubik Demam Nyeri bagian pinggang Dipstik test hanya digunakan untuk mendiagnosis bakteriuria pada wanita dengan gejala dan tanda yang terbatas.

Gejala terbatas (2 gejala)

Positif

Negatif

Gejala multipleWanita tidak hamil dengan segala umur dengan gajala dan tanda dari akut ISK bagian bawah harus diobati dengan trimethoprim atau nitrofurantoin (3 hari) Pasien yang tidak berespon dengan trimethoprim atau nitrofurantoin harus dilakukan kultur urin sebagai pedoman perubahan antibiotik.

Berikan antibiotik empirik Resiko dan keuntungan dari pengobatan harus didiskusikan dengan pasien. Jika pasien gejala pada pasien tersebut menetap setelah diberikan dosis tunggal pengobatan, maka harus diinvestigasi penyebab lain penyakit tersebut.

Demam? Nyeri bagian Pinggang?

Tidak

Ya

Kemungkinanan Infeksi saluran kemih bagian atas (pyelonefritis)

III.

USULAN MANAJEMEN DAN TERAPI

Pada pasien dengan suspek pielonefritis, kultur urin dan tes lainnya harus dilakukan dan pengobatan epirik awal harus diberikan secara wajar sesuai dengan penyebab infeksi saluran kemih. Oral ciprofloxacin (500mg dua kali sehari) dalam 7 hari, dengan atau tanpa pemberian awal intravena ciprofloxacin dengan dosis 400mg merupakan pilihan yang dapat diambil untuk terapi pielonefritis. Jika antibiotik intravena telah digunakan, maka antimicroba longacting dapat digunakan seperti 1g ceftriaxone atau kombinasi aminoglykosida, dapat juga digunakan pengganti fluoroquinolone intravena. Jika resisitensi fluoroquinolone lebih dari 10% maka dapat digunakan 1g ceftriaxone dan kombinasi dari amynoglikosida sangat dianjurkan. Oral fluoroquinolone termasuk ciprofloxacin 1000 mg diberikan selama 7 hari atau levofloxacin 750 mg untuk 5 hari,

DAFTAR PUSTAKA

American Urological Association Foundation, 2010. Management of Ureteral Stones. http://www.urologyhealth.org/adult/index.cfm?cat=12&topic=105. pada 4 Maret 2011. Corwin, Elizabeth J., 2008. Handbook of Pathophysiology (3th ed). Ohio: The Ohio State University. Fauci, Anthony S., et al., 2008. Harrisons Principles of Internal Medicine (17th ed). United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc. Foxman, B., Barlow, R., DArcy, H., et al. Urinary tract infection: self-reported incidence and associated costs, Ann Epidemiol, 2000;10:509-515. Foxman, B., Klemstine, K.L., Brown, P.D., Acute pyelonephritis in US hospitals: hospitalization and in-hospital mortality, Ann Epidemiol, 2003;13:144-150. Gupta, Kalpana., et al., 2010. Treatment of Acute Uncomplicated Cystitis and Pyelonephritis in Women: A 2010 Update by the Infectious Diseases Society of Ametica and the European Society for Microbiology and Infectious Disease, Clinical Infectious Diseases, 2011;52(5):e103-e120. Khan, Ali N., 2009. Bladder, Cystitis eMedicine diakses Radiology. pada 4 Diakses

http://emedicine.medscape.com/article/377318-overview. Maret 2011.

Mantey, D.E., Teichman, J. Nephrolithiasis., Emergency Medical Clinical North America, 2001; 19:633. NHSScotland, 2006. Management of suspected bacterial urinary tract infection in adults, Scottish Intercollegeiate Guidelines Network: Scotland. Purnomo, B. B., 2009. Dasar-dasar urologi (2nd ed). Malang: CV sagung Seto. Ramakrishnan, K., Scheid, D.C., Diagnosis and management of acute pyelonephritis in adults. American Family Physician, 2005;71:933-942.

Robbins, S. Cotran, R. Kumar, V., 2004. Buku Ajar Patologi. Brahm U. 2007 (Alih Bahasa), EGC, Jakarta Schappert, S.M., Burt C.W., Ambulatory care visits to physician offices, hospital outpatient departments, and emergency departments: United States, 2001-02, Vital Health Stat 13, 2006;159:1-66. Shoff, William H., 2010. Acute Pyelonephritis. diakses pada 4

http://emedicine.medscape.com/article/245559-overview. Maret 2011.

Stackhouse, G. B., Stoller, M., 2006. Advances in the management of urinary stone disease. http ://www.medscapeurology.com. diakses pada 4 Maret 2011. Tanagho, Emil A., McAnich, Jack W., 2008. Smiths General Urology (17th ed). United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc.