Penjatuhan Pidana Penjara Terhadap Kejahatan Anak (Studi...
Transcript of Penjatuhan Pidana Penjara Terhadap Kejahatan Anak (Studi...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
Pada era modernisasi dan globalisasi seperti sekarang ini
menyebabkan pergeseran perilaku di dalam masyarakat dan bernegara yang
semakin kompleks. Perilaku-perilaku yang demikian apabila ditinjau dari segi
hukum, tentunya ada perilaku yang sesuai dengan norma hukum dan ada
perilaku yang tidak sesuai dengan norma hukum. Terhadap perilaku yang
sesuai dengan norma hukum yang berlaku tentunya tidak menjadi masalah di
masyarakat, akan tetapi terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma
hukum dapat menimbulkan permasalahan di bidang hukum dan dapat
merugikan masyarakat.
Perilaku yang tidak sesuai norma atau dapat disebut sebagai
penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati, ternyata menyebabkan
terganggunya ketertiban dan ketentraman kehidupan bermasyarakat.
Penyelewengan yang demikian, biasanya oleh masyarakat dianggap sebagai
suatu pelanggaran dan bahkan sebagai suatu kejahatan. Kejahatan dalam
kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh
setiap manusia, masyarakat dan bahkan negara. Kenyataan yang telah
membuktikan bahwa kejahatan hanya dapat dicegah dan dikurangi, tetapi
sulit diberantas secara tuntas.
2
Perbuatan melanggar hukum dapat dilakukan oleh siapapun, tidak
terkecuali oleh anak. Dimaksud dengan anak menurut Pasal 1 ayat 1 UU RI
No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah orang yang dalam perkara
Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan menurut
UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.
Anak yang kurang atau tidak memperoleh perhatian secara fisik,
mental maupun sosial sering berperilaku dan bertindak asosial dan bahkan
anti sosial yang merugikan dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat.
Walaupun seluruh segi struktur sosial masyarakat pada dasawarsa terakhir
dipengaruhi oleh atau menjalani perubahan-perubahan yang dahsyat, namun
problema-problema terutama timbul dalam lingkungan-lingkungan tertentu
pada masyarakat kita. Sejalan perkembangan ke arah modernisasi dan karena
keadaan ekonomi, tidak sedikit kedua orang tua turut serta dalam semua
gerak kemajuan masyarakat dan/atau mencari nafkah, hingga terpaksa kerap
kali meninggalkan rumah tangga. Akibatnya adalah anak-anaknya kurang
mendapat asuhan, bimbingan, pengawasan dan ada kalanya juga kasih
sayang, yang justru masih sangat mereka perlukan.1
Di Indonesia, anak adalah sumber daya manusia yang dilindungi oleh
Negara. Meskipun seorang anak melakukan tindak pidana atau melanggar
1 Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita Dalam Hukum, LP3ES, Jakarta,1989, hal.65
3
hukum, tetap harus mendapat perlindungan dari hukum dan negara. Oleh
karena itu dalam menangani tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh
anak ini harus sesuai dengan peradilan anak yang sesuai dengan UU
Pengadilan Anak, UU Perlindungan Anak, Deklarasi Hak-hak Anak.
Pada penelitian ini timbul suatu pertanyaan bagi penulis mengenai
proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh hakim, dimana seorang
anak menjadi tersangka dalam suatu kasus pencurian di wilayah hukum
Pengadilan Negeri Salatiga yang dimana anak tersebut didakwa dengan
dakwaan tunggal melanggar pasal 363 KUHP dengan putusan pidana oleh
hakim selama 1 (satu) bulan penjara. Oleh penulis hal tersebut diwujudkan
dalam bentuk penelitian mengenai penanganan kasus tindak pidana pencurian
yang dilakukan oleh anak. Penulis juga menyadari dalam melaksanakan
tugasnya pihak pengadilan tidak dapat terlepas dari permasalahan yang timbul
dalam penanganan terhadap kasus pencurian yang dilakukan oleh anak.
Berdasarkan apa yang penulis uraikan diatas, maka penulis memilih judul:
“PENJATUHAN PIDANA PENJARA TERHADAP KEJAHATAN ANAK
(Studi terhadap Perkara No.08/PID.B/AN/2010/PN.SAL di Pengadilan
Negeri Salatiga)”.
Penulis memilih judul di atas karena penulis menganggap bahwa
putusan tersebut menarik untuk penulis teliti tentang putusan pemidanaannya,
bahwa perkara No.08/Pid.B/AN/2010/PN.SAL yang melanggar Pasal 363
KUH Pidana yang dijatuhi pidana 1 bulan, hakim dalam memutus perkara
mengacu pada pasal 22 UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, ini
4
terlihat dari pertimbangan hakim yang menganggap bahwa terhadap diri
terdakwa terdapat kemampuan untuk bertanggung jawab atas perbuatannya
dan tidak terdapat alasan pemaaf maupun pembenar yang dapat
menghapuskan sifat melawan hukum atas perbuatannya, oleh karenanya
hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, ini tidaklah sebanding dan
tidak sewajarnya untuk diberikan disebabkan reaksi masyarakat terhadap
keputusan hakim yang berupa pidana penjara dipandang tidak tepat. Selain itu
juga hakim kurang mempertimbangkan laporan dari Bapas yang dapat
mengacu pada pasal 24 UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
B. Latar Belakang Masalah
Putusan No.08/PID.A/AN/2010/PN.SAL tentang tindak pidana
pencurian yang melanggar pasal 363 KUHP dengan terdakwa bernama Nur
Rohman bin Sugiono, berusia 14 tahun 2 bulan, yang selama proses
penyidikan sampai dengan persidangan tidak di tahan, dengan didampingi
kuasa hukum bernama Ristiani Gani Mendofa,SH pada tanggal 31 Agustus
2010 oleh Wuryanti, SH selaku hakim memutus pidana penjara selama 1
bulan.
Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur
secara khusus mekanisme pemidanaan dan pemberian tindakan terhadap anak
pelaku tindak pidana yang masih berusia kurang dari 18 (delapan belas)
tahun. Keberadaan Undang-undang ini memberikan harapan akan tersedianya
peraturan hukum yang mengkhususkan pengaturan terhadap anak nakal.
5
Peraturan ini diharapkan mampu memberikan perlindungan terhadap anak
yang menjadi pelaku tindak pidana dan anak yang melakukan perbuatan yang
terlarang bagi anak menurut peraturan perundang-undangan dan menurut
peraturan hukum lain yang berlaku dimasyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan
Anak Pasal 1 ayat (2)
“Anak Nakal adalah: (a). anak yang melakukan tindak pidana; atau (b).
anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,
baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan
hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan”.
Pertimbangan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak menyatakan:
“bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber
daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan
bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai cirri-ciri dan
sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan fisik, mental dan
sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang”.
Perilaku menyimpang yang sering dilakukan oleh anak adalah tindak
pidana pencurian, dimana delik pencurian tersebut telah diatur dalam Pasal
362-367 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Usaha pencarian solusi
terhadap permasalahan tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab negara
saja, tapi juga membutuhkan peran serta yang aktif dari seluruh lapisan
masyarakat. Dimana penyelesaian masalah tersebut harus selalu mengacu
pada pemenuhan hak dan pemberian perlindungan bagi anak.
6
Perlindungan anak merupakan suatu usaha untuk mengadakan kondisi
dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.2
Dalam hal anak berhadapan dengan hukum, ada perlindungan khusus
bagi anak sesuai pasal 64 ayat (2) UU No.23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, adalah :
a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
b. penyediaan petugas pendamping anak sejak dini;
c. penyediaan sarana dan prasarana khusus;
d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan
hukum;
f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan
g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
Dalam penyelesaian perkara tindak pidana pencurian yang dilakukan
oleh anak, sesuai dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak, “Sidang Anak berwenang untuk memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dalam hal perkara Anak Nakal”.
Anak yang melakukan tindak pidana dapat dijatuhi pidana atau tindakan
sesuai dengan pasal 22 UU No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Dalam persidangan perkara pidana dengan pelaku anak, hakim
ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul
Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan
2 Shanty Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1998, hal.6
7
Tinggi sesuai Pasal 9 dalam UU No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
Penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh anak perlu diselesaikan
melalui suatu badan yaitu lembaga peradilan khusus, agar ada jaminan bahwa
penyelesaian tersebut dilakukan benar-benar untuk kesejahteraan anak yang
bersangkutan dan kepentingan masyarakat tanpa mengabaikan terlaksananya
hukum dan keadilan.3 Anak nakal yang diajukan ke sidang anak, ditangani
oleh hakim khusus, yaitu hakim yang menangani perkara anak, penuntut
umum anak, penyidik anak dan petugas pemasyarakatan dari Balai
Pemasyarakatan. Tapi dalam pelaksanaannya harus pula diperhatikan
mengenai hak-hak anak dan seyogyanya kita lebih banyak membicarakan
tentang hak-hak anak daripada kewajibannya.
Anak yang menjadi pelaku kejahatan, diatur batasan umur anak yang
dapat diajukan ke pengadilan anak dan mengenai batas usia bagi pemidanaan
anak di Indonesia telah ditegaskan dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 Tentang Pengadilan anak, yang selengkapnya berbunyi seperti
berikut:4
(1) Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adaah
sekurang-kurangnya 8 tahun tetap belum mencapai umur 18 tahun
dan belum pernah kawin.
(2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur
sebagaimana dmaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang
pengadilan, setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur
3 Agung Wajono dan Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta,1993, hal.2 4 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hal.26
8
tersebut tetapi belum mencapai umur 21 tahun, tetap dajukan ke
sidang anak.
Dalam kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak ini, hakim yang
memutus pidana kurungan terhadap anak harus mempertimbangkan beberapa
pertimbangan terlebih dahulu, apakah si anak harus dijatuhi pidana atau tidak.
Karena penjatuhan pidana dapat mengubah mental seorang anak. Menurut
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, ada dua alasan penahanan
terhadap para pelaku pidana yang masih di bawah umur, yaitu :
a. untuk kepentingan anak;
b. untuk kepentingan masyarakat.
Kedua alasan tersebut harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah
penahanan.
Pada dasarnya penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan,
namun penahanan terhadap anak harus pula memperhatikan kepentingan anak
yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental
maupun sosial anak dan kepentngan masyarakat. Tempat tahanan anak harus
dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa. Hal dan dimaksudkan untuk
menghindarkan anak terhadap pengaruh-pengaruh buruk yang dapat diserap
melalui konteks kultural dengan tahanan lain.5
Dalam memberikan perintah penahanan bagi pelaku pidana yang
masih di bawah umur sangat diharapkan agar hati dan perasaan para penegak
hukum tergugah untuk lebih memperhatikan dan mempertimbangkan
5 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hal.42
9
kepentingan serta perlindungan bagi anak. Namun, yang paling diharapkan
agar penegak hukum tidak ringan tangan dalam melakukan penahanan anak.6
Dalam kasus pidana anak tindakan yang dapat dijatuhkan kepada si
anak ditentukan dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak. Dan adapun pidana yang dapat dijatuhkan kepada
si anak terdapat dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. ada
juga pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan/atau
pembayaran ganti rugi.
Dalam hal Hakim memutus untuk memberikan pidana pada anak,
maka ada tiga hal yang perlu diperhatikan:7
a. sifat kejahatan yang dijalankan;
b. perkembangan jiwa si anak;
c. tempat dimana ia harus menjalankan hukumannya.
Dalam rangka menciptakan suasana yang kondusif bagi
perkembangan jiwa seseorang tersangka yang masih dibawah umur, maka
diadakan suatu pembedaan-pembedaan dalam proses perlakuan hukum.
Berbeda dengan tujuan proses peradilan pidana terhadap tersangka dewasa
yang bertujuan untuk memberikan penghukuman, proses peradilan terhadap
seorang anak lebih dititik beratkan pada perbaikan kondisi, pemeliharaan dan
perlindungan anak serta mencegah terjadinya perlakuan yang kurang wajar
dalam proses peradilan. Pada anak-anak unsur pendidikanlah yang lebih
ditekankan, bukannya suatu pembalasan.
6 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hal.42 7 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hal.48
10
Putusan Pengadilan Anak yang cenderung menjatuhkan pidana
penjara daripada tindakan terhadap anak nakal, sebenarnya tidak sesuai
dengan filosofi dari pemidanaan anak. Penjatuhan pidana secara tidak tepat
dapat mengabaikan pengaturan perlindungan, karena pemidanaan anak
seharusnya adalah jalan keluar terakhir (ultimum remedium/ the last resort
principle).8 Seperti halnya pada kasus yang penulis teliti, hakim memutus
pidana penjara, dengan pertimbangan bahwa perbuatan terdakwa meresahkan
masyarakat, dengan mengesampingkan rekomendasi dari Bapas tentang latar
belakang terdakwa.
Penulis menyadar bahwa dalam menjatuhkan pidana terhadap seorang
terdakwa, perbandingan berat atau ringannya putusan dikaitkan dengan Pasal
12 KUHP dan fakta hukum persidangan. Sehingga penulis tidak dapat
menganggap adil atau tidaknya pidana yang diterima oleh terdakwa tersebut
di atas, maka dari itu penulis ingin mengetahuinya dengan penelitian yang
dituangkan dalam penulisan hukum ini berdasarkan:
a. landasan Yuridis (kepastian hukum);
b. landasan Filosofis (keadilan);
c. landasan Sosiologis (kemanfaatan).
8 Bartollas, Clemens, Juvenile Delinquency,Sec ed, Mac Millan Publishing Company, New York,
1990, h.309
11
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka yang menjadi rumusan
masalah adalah sebagai berikut :
Apa dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap anak yang
melakukan tindak pidana dilihat berdasarkan landasan yuridis, filosofis, dan
sosiologis?
D. Tujuan Penelitian
Untuk mengkaji dan menganalisis Dasar Pertimbangan Hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana
berdasarkan landasan yuridis, filosofis, dan sosiologis.
E. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan pendekatan kasus (case
approach) yaitu dimana dalam menyelesaikan penulisan hukum ini,
penulis harus memahami tentang ratio decidendi, yaitu alasan-alasan
hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai pada putusannya.9
Selain pendekatan kasus penulis juga menggunakan pendekatan Undang-
undang (statute approach) yaitu pendekatan dengan menggunakan
legislasi dan regulasi, dimana permasalahan yang diteliti berkisar pada
9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2007, hal.119
12
peraturan perundang-undangan yaitu hubungan antara peraturan yang satu
dengan yang lainnya.10
2. Bahan Hukum
Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dibedakan atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder:
a. Bahan hukum primer yaitu:
1) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
2) UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
3) KUHP;
4) KUHAP;
5) Deklarasi Hak-hak Anak;
b. Bahan hukum sekunder yaitu putusan hakim atas perkara
No.08/Pid.BB/AN/2010/PN.SAL.
3. Unit Amatan dan Unit Analisa
a. Unit amatan: Putusan No.08/Pid.B/AN/2010/PN.SAL, Undang-
Undang
b. Unit analisa: Argumentasi hukum dan dasar hukum yang dipakai oleh
hakim untuk memutus perkara No.08/Pid.B/AN/2010/PN.SAL.
10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2007, hal. 97
13
4. Teknik Analisis
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
yuridis deskriptif kualitatif, yaitu dengan mengelompokkan dan
mensistematisir bahan hukum, kemudian dihubungkan dengan teori-teori,
asas-asas, dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan
sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan sehingga
dapat menjawab tujuan penelitian.
14
Tabel perbandingan skripsi
Nama Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Metode Penelitian
Sinta Wuri Septiyana
(312006025) Apa dasar
pertimbangan hakim
dalam penjatuhan
pidana terhadap anak yang melakukan
tindak pidana dilihat
berdasarkan landasan yuridis, filosofis, dan
sosiologis.
Untuk mengkaji dan
menganalisis dasar
pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan pidana terhadap anak
yang melakukan
tindak pidana berdasarkan landasan
yuridis, filosofis, dan
sosiologis.
Case Approach dan
Statute Approach
Lucy Julnita Labulu (312008022)
Bagaimana pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan
putusan terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh anak
Untuk mengetahui pertimbangan hakim
dalam penjatuhan
putusan terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh anak
dikaitkan dengan hak-hak anak.
Normatif
Novriyani Todaga
(312007037) Bagaimana peran
pemerintah dalam
pemenuhan hak-hak anak pasca konflik
poso. Apa kendala
pemerintah dalam pemenuhan hak-hak
anak pasca konflik
Poso
Untuk mengetahui
pemenuhan hak-hak
anak pasca konflik, untuk mengetahui
kendala-kendala dalam
pemenuhan hak-hak
anak di Poso.
Sosio Legal
Aris Ardiyanto
(312003088) Apa peran Komisi
Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI)
Untuk mengetahui dan
memahami tentang
pelaksanaan atau peran
KPAI terhadap kasus kekerasan anak.
Yuridis Sosiologis
Almin Rubut Sujono, SH Faktor apa saja yang
menjadi pertimbangan hakim dalam rangka
penjatuhan sanksi
terhadap anak nakal.
Untuk mengetahui
faktor-faktor yang menjadi pertimbangan
hakim dalam rangka
menjatuhkan sanksi
terhadap anak nakal
Yuridis Sosiologis