PENINGKATAN KUALITAS SIFAT KIMIA MATERIAL VULKANIK …repository.ub.ac.id/7112/1/Pratama, I Made...
Transcript of PENINGKATAN KUALITAS SIFAT KIMIA MATERIAL VULKANIK …repository.ub.ac.id/7112/1/Pratama, I Made...
-
PENINGKATAN KUALITAS SIFAT KIMIA MATERIAL VULKANIK GUNUNG KELUD DENGAN APLIKASI BAHAN ORGANIK,
PENANAMAN Tithonia diversifolia DAN MULSA UNTUK PERTUMBUHAN SENGON
Oleh
I MADE DODO PRATAMA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN
MALANG
2017
-
PENINGKATAN KUALITAS SIFAT KIMIA MATERIAL VULKANIK GUNUNG KELUD DENGAN APLIKASI BAHAN ORGANIK,
PENANAMAN Tithonia diversifolia DAN MULSA UNTUK PERTUMBUHAN SENGON
Oleh:
I MADE DODO PRATAMA 135040201111170
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI MINAT MANAJEMEN SUMBERDAYALAHAN
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Strata Satu (S-1)
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN
JURUSAN TANAH
MALANG
2017
-
PERNYATAAN
Penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi,
yang berjudul “Pemulihan Lahan Terkena Dampak Letusan Gunung Kelud
dengan Amandemen Bahan Organik dan Tanaman Pionir” Kementerian Riset
Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor : 033/SP2H/LT/DRPM/II/2016. Data
yang digunakan dalam skripsi ini, merupakan data bersama yang dianalisis oleh
tim penelitian.
Saya menyatakan bahwa segala pernyataan yang terdapat dalam skripsi ini
merupakan hasil penelitian saya sendiri dan bagian dari Penelitian Unggulan
Perguruan Tinggi, dengan bimbingan komisi pembimbing skripsi. Skripsi ini tidak
pernah diajukan untuk memperoleh gelar di perguruan tinggi manapun, dan
sepanjang pengetahuan saya, juga tidak ada karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali rujukan yang ditunjukkan dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Malang, 20 Juli 2017
I Made Dodo Pratama
-
LEMBAR PERSETUJUAN
Judul Penelitian : Peningkatan Kualitas Sifat Kimia Material Vulkanik Gunung Kelud dengan Aplikasi Bahan Organik,
Penanaman Tithonia diversifolia dan Mulsa untuk Pertumbuhan Sengon.
Nama Mahasiswa : I Made Dodo Pratama
NIM : 135040201111170
Jurusan : Tanah
Program Studi : Agroekoteknologi
Laboratorium : Pedologi dan Sistem Informasi Sumberdaya Lahan
Menyetujui :
Disetujui oleh :
Pembimbing I, Pembimbing II,
Ir. Sri Rahayu Utami, M.Sc, Ph.D
Christanti Agustina, SP, MP NIP. 19611028 198701 2 001 NIK. 820826 04 32 0025
Diketahui,
a.n Dekan
Ketua Jurusan Tanah
Prof. Dr. Ir. Zaenal Kusuma, SU
NIP. 19540501 198103 1 006
Tanggal Persetujuan :
-
LEMBAR PENGESAHAN
Mengesahkan
MAJELIS PENGUJI
Penguji I, Penguji II,
Prof. Dr. Ir. Zaenal Kusuma, SU
Ir. Sri Rahayu Utami, M.Sc, Ph.D
NIP. 19540501 198103 1 006
NIP. 19611028 198701 2 001
Penguji III, Penguji IV,
Christanti Agustina, SP, MP
Syahrul Kurniawan, SP, MP, Ph. D
NIK. 820826 04 32 0025 NIP. 19791018 200501 1 002
Tanggal Lulus :
-
Karya ini aku persembahkan
untuk orang-orang yang paling aku cintai,
yaitu kedua orang tuaku
Ibu Made Painah dan Bapak Wayan Rentawan,
serta kakakku tersayang Rika Pratiwi.
-
i
RINGKASAN
I MADE DODO PRATAMA. 135040201111170. Perbaikan Kualitas Sifat
Kimia Material Vulkanik Gunung Kelud dengan Aplikasi Bahan Organik,
Penanaman Tithonia diversifolia dan Mulsa untuk Pertumbuhan Sengon.
Di bawah bimbingan Sri Rahayu Utami sebagai pembimbing utama dan
Christanti Agustina sebagai pembimbing pendamping.
Gunung Kelud terakhir kali mengalami erupsi pada Februari 2014. Material vulkanik menimbun lahan di Kecamatan Ngantang, Malang dengan ketebalan
berkisar 20-30 cm. Material yang menimbun terdiri dari batuan besar maupun material berupa pasir dan debu. Material Gunung Kelud memiliki potensi untuk menyuburkan tanah pertanian, karena memiliki kandungan unsur hara kompleks.
Namun, unsur-unsur tersebut umumnya masih dalam bentuk mineral-mineral primer, sehingga perlu proses pelapukan lanjut agar tersedia bagi tanaman. Selain
itu, meterial Gunung Kelud memiliki daya ikat hara yang rendah, sehingga memicu hilangnya unsur hara. Maka perlu dilakukan usaha perbaikan untuk mengembalikan kesuburan tanah pertanian. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pemberian bahan organik, penanaman tithonia dan aplikasi mulsa terhadap sifat kimia material vulkanik Gunung Kelud dan tanah tertimbun, serta
melihat respons pertumbuhan sengon pada media material Gunung Kelud Penelitian lapangan dilakukan di Desa Pandansari, Kecamatan Ngantang,
Malang. Analisis kimia dilakukan di Laboratorium Kimia Jurusan Tanah, Fakultas
Pertanian, Universitas Brawijaya. Penelitian menggunakan dua faktor perlakuan. Faktor yang pertama, yaitu kombinasi bahan organik (biomassa tithonia, ubi jalar
dan kotoran sapi), penanaman tithonia dan mulsa. Faktor perlakuan yang kedua, yaitu pembenaman pangkasan biomassa tithonia, terdiri dari tiga taraf (1) 6 bulan pembenaman biomassa tithonia (K1), (2) 6 bulan pembenaman biomassa tithonia
+ 2 bulan tanpa pembenaman (K2), dan (3) 6 bulan pembenaman biomassa tithonia + 4 bulan tanpa pembenaman (K3). Kedua faktor tersebut disusun
berdasarkan rancangan petak tersarang (RPT) dan diulang sebanyak tiga kali. Semua perlakuan tersebut dilakukan pada plot percobaan yang masing-masing berukuran 1 m x 1 m, yang sebelumnya telah diisi dengan material vulkanik
Gunung Kelud dengan ketebalan 25 cm. Dosis bahan organik yang diaplikasikan sebanyak 20 t/ha. Tithonia ditanam sebanyak empat bibit per plot percobaan,
sedangkan sengon ditanam sebanyak satu bibit di tengah plot percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi bahan organik biomassa
tithonia, ubi jalar dan kotoran sapi secara umum mampu meningkatkan % C-
organik, pH, % N-total, KTK, jumlah Cadd dan Mgdd, serta KB material vulkanik Gunung Kelud, kecuali kandungan P-tersedia, jumlah Kdd dan Nadd. Bahan
organik ubi jalar memberikan pengaruh paling baik, terutama pada peningkatan % C-organik, pH, KTK, jumlah Cadd, dan KB material vulkanik Gunung Kelud. Tidak ada perbedaan nyata antara pemberian mulsa dengan tanpa mulsa dalam
peningkatan sifat kimia material. Terjadi peningkatan jumlah Cadd, Kdd dan Mgdd pada tanah tertimbun akibat pemberian perlakuan di material vulkanik di atasnya.
Perlakuan 6 bulan pembenaman biomassa tithonia (K1), menunjukkan peningkatan kualitas sifat kimia yang lebih baik. Peningkatan kualitas sifat kimia
-
ii
material vulkanik, tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi
tanaman sengon.
-
iii
SUMMARY
I MADE DODO PRATAMA. 135040201111170. Increasing The Quality
Properties Chemical of Kelud Mount Materials with Application of Organic
Materials, Planting Tithonia diversifolia and Mulch for Paraserianthes
falcataria Growth. Supervised by Sri Rahayu Utami and Christanti Agustina.
Mount Kelud was erupted in February 2014, producing pyroclastic materials, which covering the nearby village, Ngantang, with 20-30 cm thick. Despite of its
potential nutrient content, this pyroclastics has low nutrient holding capacity, leading to high loss of nutrients. This study was tempted to improve its chemical properties through application of organic matter, in combination with planting
Tithonia diversifolia and mulch, and evaluate its impact on Paraserianthes sp growth.
An experimental research was conducted in Pandansari Village, Ngantang District, Malang. Chemical analysis was conducted in Chemistry Laboratory of Soil Department, Faculty of Agriculture, University of Brawijaya. The treatments
consisted of two factors. The first factor was combination of organic materials (biomass tithonia, sweet potato and cow dung), planting tithonia and mulch The
second factor was the period of tithonia pruned biomass, consisted of three levels (1) 6 months biomass application (K1), (2) 6 months biomass application + 2 months without pruning (K2), and (3) 6 months biomass application + 4 months
without pruning (K3). Both factors were arranged in a Nested Design and repeated three times. These treatments were applied in the plots (1 m x 1 m sized),
which were filled pyroclastic materials (25 cm thick). Organic matter was applied at the rate of 20 t/ha. Tithonia diversifolia was planted after 2 weeks incubation with organic matter, and pruned every month until 6 months. Paraserianthes was
planted 1 months after planting Tithonia diversifolia. The results showed that the combination of organic materials (biomass of
tithonia, sweet potato and cow dung) and planting Tithonia diversifolia tend to increase pH, CEC, % C-organic, % N-total and exchangeable Ca and Mg content in the pryroclastic materials, but not the content of P-available, exchangeable K
and Na. Biomass sweet potato treated materials had highest CEC, pH, % C-organic, exchangeable Ca content. Mulching apparently had no significant effect
on the chemical properties of pyroclastic materials. The treatments on the pyroclastic materials tend to increase the content of exchangeable Ca, K and Mg in the soil buried. Six months application of biomass (K1) seem to have better
chemical properties. However, increasing quality of checmical properties unsignificantly affect Paraserianthes sp. performance.
-
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena
atas Asung Kertha Wara Nugrahan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Peningkatan Kualitas Sifat Kimia Material Vulkanik Gunung Kelud
dengan Aplikasi Bahan Organik, Penanaman Tithonia diversifolia dan Mulsa
untuk Pertumbuhan Sengon”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ir. Sri Rahayu Utami, M.Sc,
Ph.D, selaku dosen pembimbing utama sekaligus ketua proyek penelitian
“Pemulihan Lahan Terkena Dampak Letusan Gunung Kelud dengan Amandemen
Bahan Organik dan Tanaman Pionir”, yang didanai oleh Kementerian Riset
Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Nomor : 033/SP2H/LT/DRPM/II/2016. Terima
kasih Ibu Christanti Agustina SP. MP., selaku dosen pembimbing II, yang telah
bersedia membagi ilmu, waktu dan tenaga, demi membimbing penulis. Terima
kasih juga untuk kedua orang tua, Ibu Made Painah dan Bapak Wayan Rentawan
yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, nasihat, doa restu dan menjadi
penyemangat penulis dalam menyelesaikan skripsi. Terima kasih Kakak Rika
Pratiwi yang telah menjadi pengingat penulis tentang sebuah tanggung jawab.
Tidak lupa penulis ucapakan kepada Bapak Sarkam, Bapak Afif dan Bapak Kadi
yang telah membantu penelitian di lapangan, keluarga Bapak Seno yang telah
menyewakan lahan untuk penelitian, keluarga Ibu Santi yang telah bersedia
menerima penulis untuk tinggal di rumahnya selama penelitian di lapangan.
Kepada Sarah Fayruz, terima kasih banyak telah membantu dan menemani dalam
mengerjakan skripsi, serta tidak lupa rekan Tim Eling Kelud II dan keluarga
Soi13r yang turut memberikan dukungan dan membantu selama pelaksanaan
penelitian.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada kesalahan, oleh karena itu
penulis menerima kritik dan saran dari pembaca untuk proses perbaikan. Penulis
juga berharap, skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Malang, Juli 2017
Penulis
-
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Saung Dadi, Kecamatan Buay Pemuka Peliung,
Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan, pada tanggal 14 Januari
1995 sebagai anak kedua (dua bersaudara) dari Bapak Wayan Rentawan dan Ibu
Made Painah.
Penulis menempuh pendidikan dasar di SD Negeri 1 Panca Tunggal Benawa,
Kecamatan Teluk Gelam, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, dari
tahun 2001-2007. Penulis melanjutkan pendidikan sekolah ke SMP Negeri 2
Lempuing Jaya, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, dari tahun
2007-2010, dan kemudian melanjutkan sekolah di SMK Negeri 1 Lempuing Jaya,
Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, pada tahun 2010-2013. Pada
tahun 2013 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Strata-1 Program Studi
Agroekoteknologi Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur
melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Pada
akhir semester 5, penulis memutuskan untuk mengambil minat jurusan
Manajemen Sumberdaya Lahan.
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata
kuliah Dasar Ilmu Tanah (2013-2015), Dasar Budidaya Tanaman (2014) dan
Survei Tanah dan Evaluasi Lahan (2015). Penulis juga pernah aktif mengikuti
kepanitiaan Kajian Analisis Lansekap (KALDERA) pada tahun 2014, Pertemuan
dan Musyawarah Kerja Nasional Forum Komunikasi Himpunan Mahasiswa Ilmu
Tanah (FOKUSHIMITI) tahun 2015, Soil Launch Anniversary of HMIT
(SLASH) pada tahun 2016 dan panitia Galang Mitra dan Kenal Profesi
(GATRAKSI) pada tahun 2016.
-
vi
DAFTAR ISI
RINGKASAN............................................................................................................ i
SUMMARY .............................................................................................................. iii
KATA PENGANTAR............................................................................................... iv
RIWAYAT HIDUP................................................................................................... v
DAFTAR ISI ............................................................................................................. vi
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ x
I. PENDAHULUAN............................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 3
1.4 Hipotesis Penelitian ........................................................................................ 3
1.5 Manfaat Penelitian .......................................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 5
2.1 Karakteristik Material Vulkanik Gunung Kelud ........................................... 5
2.2 Permasalahan Sifat Kimia dari Material Vulkanik Gunung Kelud ............... 5
2.3 Upaya Perbaikan Lahan Pertanian Pasca Erupsi Gunung Kelud................... 6
2.4 Tanaman Potensial untuk dikembangkan di Lahan Terdampak Erupsi ......... 10
III. METODE PENELITIAN .................................................................................. 11
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................ 11
3.2 Alat dan Bahan............................................................................................... 11
3.3 Rancangan Penelitian ................................................................................... 11
3.4 Pelaksanaan Penelitian ................................................................................... 12
3.5 Analisis Data.................................................................................................. 14
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................................... 15
4.1 Pengaruh Kombinasi Aplikasi Bahan Organik, Tanaman Tithonia
dan Mulsa terhadap Sifat Kimia Material Vulkanik Gunung Kelud ............. 15
4.2 Respons Tinggi Tanaman Sengon akibat Pemberian Bahan Organik,
Penanaman Tithonia dan Pemulsaan .............................................................. 29
4.3 Pembahasan Umum ........................................................................................ 31
-
vii
V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 33
5.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 33
5.2 Saran .............................................................................................................. 33
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 34
LAMPIRAN .............................................................................................................. 38
-
viii
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1. Kombinasi Perlakuan Penelitian................................................................. 10
2. Parameter dan Metode Analisis Kimia....................................................... 14
-
ix
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
1. Ilustrasi Plot Percobaan ............................................................................. 12
2. Kadar C-organik dengan perlakuan bahan organik penanaman tithonia, mulsa dan tanpa mulsa ................................................................. 16
3. Nilai pH pada masing-masing perlakuan di material Gunung Kelud ........ 18
4. Kadar N-total pada masing-masing perlakuan ........................................... 19
5. Ketersediaan P pada masing-masing perlakuan ......................................... 21
6. KTK setelah aplikasi bahan organik, penanaman tithonia, mulsa dan tanpa mulsa. ......................................................................................... 23
7. Jumlah kation Nadd pada material vulkanik dan tanah tertimbun............... 24
8. Jumlah kation Kdd pada material vulkanik dan tanah tertimbun ................ 25
9. Jumlah kation Cadd pada material vulkanik dan tanah tertimbun ............... 26
10. Jumlah kation Mgdd pada material vulkanik dan tanah tertimbun.............. 27
11. Kejenuhan basa di material Gunung Kelud setelah aplikasi perlakuan ..... 28
12. Pertumbuhan tinggi sengon dengan (a) mulsa dan (b) tanpa mulsa........... 30
-
x
DAFTAR LAMPIRAN
No. Teks Halaman
1. Denah Plot Percobaan................................................................................ 38
2. Dokumentasi Penelitian .............................................................................. 38
3. Kriteria Penilaian Sifat Kimia .................................................................... 39
4. Tabel Analysis of Variance (ANOVA) Sifat Kimia .................................. 40
5. Uji Korelasi antar Sifat Kimia dan Tinggi Pohon Sengon......................... 43
-
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah kawasan yang dikelilingi oleh ring of fire, sehingga menjadi
salah satu negara yang memiliki banyak gunung aktif. Gunung Kelud merupakan
salah satu gunung aktif di Provinsi Jawa Timur dan berada di tiga kabupaten,
yaitu Kabupaten Malang, Kabupaten Kediri dan Kabupaten Blitar. Gunung ini
terakhir kali mengalami erupsi pada Februari 2014. Material vulkanik yang
dikeluarkan berupa bongkahan besar hingga partikel yang halus. Material yang
berukuran besar umumnya jatuh pada radius < 7 km dari kawah tergantung pada
daya letusan gunung (Sudaryo dan Sutjipto, 2009). Material yang berukuran kecil
memiliki sifat mudah terbawa oleh angin dan terangkut oleh air sehingga
menyebabkan dampak yang besar terhadap wilayah di sekitar Gunung Kelud.
Desa Pandansari, Kecamatan Ngantang, Malang merupakan desa yang berada
di timur laut lereng Gunung Kelud. Desa tersebut merupakan salah satu yang
terkena dampak besar akibat erupsi Gunung Kelud pada tahun 2014 silam, karena
jaraknya yang dekat (± 5 km) dari gunung tersebut. Material vulkanik yang
menimbun lahan di wilayah tersebut jumlahnya melimpah. Ukuran material terdiri
dari batuan besar maupun material berupa pasir dan debu. Ketebalan timbunan
material di daerah Kecamatan Ngantang berkisar 20 - 30 cm.
Pada dasarnya, material gunung api memiliki potensi untuk menyuburkan
tanah pertanian. Menurut Syekhfani (1990), material Gunung Kelud memiliki
kandungan P, S dan Ca terlarut yang cukup tinggi, sehingga material vulkanik
dapat menambahkan unsur hara ke dalam tanah. Masalahnya adalah unsur-unsur
di dalam material vulkanik umumnya masih terikat dalam bentuk mineral-mineral
primer, sehingga perlu proses pelapukan lanjut dengan waktu yang lama agar
unsur tersebut tersedia bagi tanaman. Selain itu, meterial vulkanik memiliki daya
ikat hara yang rendah, karena didominasi oleh tekstur kasar seperti pasir. Tekstur
pasir yang bersifat lepas dan memiliki luasan permukaan kecil, menyebabkan
banyak ruang pori makro sehingga memiliki daya pegang hara yang rendah.
Berbagai usaha perbaikan lahan (land reclamation) perlu dilakukan untuk
mengembalikan fungsi lahan pertanian seperti semula. Salah satunya dengan
-
2
penambahan bahan organik. Kadar bahan organik di dalam tanah sangat
berpengaruh pada kualitas fisika, kimia dan biologi tanah. Bahan organik berperan
menyediakan unsur-unsur esensial, meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK),
dan pH (Slamet, 2008). Biomassa tanaman tithonia (Tithonia diversifolia), ubi
jalar (Ipomea batatas) dan kotoran sapi merupakan sumber bahan organik yang
banyak tersedia di sekitar Desa Pandasari yang dapat digunakan untuk
memperbaiki lahan terdampak erupsi. Kombinasi bahan organik dengan teknik
penghijauan (revegetation) melalui penanaman tanaman pionir dapat dijadikan
cara untuk memperbaiki lahan (Soelaeman dan Idjudin, 2008). Tanaman pionir
merupakan tanaman perintis yang mampu tumbuh dengan baik, toleran terhadap
kekeringan dan kadar bahan organik yang rendah.
Penelitian yang dilakukan Putra (2016) dan Perdana (2016), kombinasi bahan
organik tithonia dan ubi jalar, serta penanaman tithonia mampu meningkatkan
sifat kimia material vulkanik Gunung Kelud. Ni’mah (2016) menyatakan bahwa,
penambahan kotoran sapi juga mampu meningkatkan kadar C-organik, Na, dan
Mg pada material Gunung Kelud. Ketiga penelitian tersebut membuktikan bahwa,
penambahan bahan organik biomassa tithonia, ubi jalar dan kotoran sapi, serta
penanaman tithonia secara umum mampu memperbaiki sifat kimia material
Gunung Kelud. Tetapi dari penelitian tersebut tidak semua kation-kation basa
meningkat. Kation-kation tersebut diperkirakan hilang diserap oleh tanaman,
terjadi penguapan hara dan pencucian. Penyerapan hara tanaman ternyata tidak
sebanding dengan penurunan kation basa, sehingga pengaruh penguapan dan
pencucian unsur hara perlu diteliti. Oleh sebab itu, dilakukan penelitian aplikasi
mulsa untuk mengurangi hilangnya hara akibat penguapan. Hilangnya unsur hara
juga dapat diimbangi dengan penambahan unsur hara melalui pengembalian
biomassa tithonia. Pencucian unsur hara di lapangan dapat diduga dengan
melakukan pengukuran sifat kimia pada tanah bagian bawah (tertimbun). Dalam
penelitian ini, dilakukan penanaman bibit sengon (Paraserianthes falcataria)
untuk menganalisis respons pertumbuhan tinggi tanaman terhadap perlakuan pada
material vulkanik Gunung Kelud.
-
3
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat dari latar belakang penelitian adalah sebagai
berikut :
1. Apakah penambahan bahan organik dengan penanaman tithonia memberikan
pengaruh positif terhadap sifat kimia material vulkanik Gunung Kelud?
2. Apakah perlakuan mulsa efektif dalam meningkatkan sifat kimia tanah material
vulkanik Gunung Kelud?
3. Apakah perlakuan yang diberikan pada material vulkanik memengaruhi sifat
kimia tanah di bawahnya (tanah tertimbun)?
4. Apakah dengan meningkatnya sifat kimia pada material vulkanik memberikan
respons positif terhadap pertumbuhan tinggi sengon?
1.3 Tujuan Penelitian
Dari latar belakang yang telah dijelaskan, penulis mamiliki tujuan sebagai
berikut :
1. Menganalisis pemberian bahan organik dan penanaman tithonia terhadap sifat
kimia material vulkanik Gunung Kelud.
2. Menganalisis efektivitas aplikasi mulsa dalam meningkatkan sifat kimia pada
material vulkanik Gunung Kelud.
3. Menganalisis peningkatan sifat kimia pada tanah tertimbun akibat pemberian
perlakuan pada material vulkanik.
4. Melihat respons pertumbuhan tinggi sengon pada media material vulkanik
Gunung Kelud akibat pemberian perlakuan.
1.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tujuan yang akan dicapai, penulis mengusulkan hipotesis sebagai
berikut:
1. Penambahan bahan organik dan penanaman tithonia meningkatkan kualitas
sifat kimia material vulkanik Gunung Kelud.
2. Aplikasi mulsa memberikan pengaruh lebih baik terhadap sifat kimia material
vulkanik Gunung Kelud dibanding tanpa mulsa.
3. Terjadi peningkatan sifat kimia pada tanah tertimbun akibat perlakuan di
material vulkanik.
-
4
4. Peningkatan kualitas sifat kimia material vulkanik Gunung Kelud juga
meningkatkan tinggi tanaman sengon.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait dampak dari
erupsi gunung api bagi sifat kimia tanah pertanian dan memberikan solusi
mengenai cara pemulihan lahan terdampak erupsi
-
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Material Vulkanik Gunung Kelud
Material vulkanik adalah bahan yang dikeluarkan dari kawah gunung api pada
saat terjadi erupsi. Pada umumnya, material yang dikeluarkan berupa lava, batuan
piroklastik, tepra dan lahar dan tersusun atas silika dan kuarsa (Anda dan
Wahdini, 2010 dalam Achmad dan Hananto, 2015). Material dalam bentuk lava
biasanya mengalir dan dideposisikan ke daerah lereng. Bahan vulkanik yang
berupa padatan dapat dilontarkan ke tempat lain, mulai dari daerah yang terdekat
hingga mencapai ribuan kilometer, tergantung pada daya letusan, kecepatan angin,
dan ukuran material vulkanik. Bahan letusan dalam bentuk batuan memerlukan
proses pelapukan lebih lanjut, dengan kurun waktu ratusan sampai jutaan tahun.
Bahan letusan yang berupa partikel pasir kasar hingga pasir halus, relatif lebih
cepat melapuk pada kondisi suhu dan intensitas curah hujan yang tinggi.
Material vulkanik Gunung Kelud memiliki pH sangat masam, 0,35 % C-
organik (sangat rendah), 0,02 % N (sangat rendah), 45,57 ppm P tersedia (sangat
tinggi), KTK 2,05 cmol/kg yang tergolong sangat rendah, dan kation-kation basa
yang tergolong rendah (Utami et al., 2017). Manik (2017) dan Prasetya (2017)
menyatakan material vulkanik Gunung Kelud juga memiliki partikel yang kasar
dan didominasi oleh pasir, material berstruktur lepas, sehingga memiliki ruang
pori makro yang banyak sehingga daya pegang air dan hara yang rendah, mudah
terlimpas (run off) dan berpotensi terjadi pencucian hara yang tinggi.
2.2 Permasalahan Sifat Kimia dari Material Vulkanik Gunung Kelud
Letusan Gunung Kelud menyebabkan dampak cukup luas terhadap tanaman
budidaya dan kondisi tanah pertanian, karena membuat perubahan mendasar pada
sumberdaya lahan. Pada dasarnya penambahan material vulkanik pada lahan
memiliki potensi kesuburan yang tinggi, karena adanya cadangan hara yang ada di
dalam material vulkanik tersebut. Bahan-bahan vulkanik mengandung berbagai
unsur kimia yang relatif tinggi, sehingga dapat meremajakan keseburan tanah
pertanian (Utami et al., 2017). Menurut penelitian Achmad dan Hananto (2015)
material vulkanik Gunung Kelud memiliki pH agak masak (6,4), mengandung
-
6
0,1% C-organik dan 0,04 % N yang tergolong sangat rendah, 38,01 mg/kg P dan
Ca tergolong sangat tinggi, 0,45 cmol/kg K dan Mg tergolong sedang, dengan
KTK 0,25 cmol/kg (sangat rendah).
Permasalahan jangka pendek dari material vulkanik adalah ketersediaan unsur
haranya masih rendah (Utami et al., 2017). Unsur-unsur tersebut masih terjerap
dalam bentuk mineral primer. Material vulkanik (piroklastik) tergolong sangat
muda dan belum mengalami proses pelapukan lebih lanjut, sehingga unsur
tersebut belum dalam bentuk tersedia dan tidak dapat diserap oleh akar tanaman.
Sesuai dengan pernyataan Achmad dan Hananto (2015), material vulkanik belum
dapat menyumbangkan unsur hara, karena merupakan bahan baru (recent
material) yang belum mengalami pelapukan sempurna. Masalah lain yang terjadi
pada material vulkanik adalah daya pegang hara yang rendah, karena didominasi
oleh partikel bertekstur kasar seperti debu dan pasir, yang keduanya memiliki luas
permukaan yang lebih kecil. Daya pegang hara juga dipengaruhi oleh ketersedian
bahan organik dalam tanah. Menurut Utami et al. (2017), material vulkanik
Gunung Kelud memiliki bahan organik yang rendah, sehingga memiliki potensi
kehilangan hara yang tinggi. Kehilangan hara dapat terjadi melalui beberapa
proses, yaitu penyerapan oleh tanaman, pencucian oleh air, dan penguapan hara.
Proses kehilangan hara akibat pencucian umumnya disebabkan oleh tanah yang
memiliki muatan positif, karena hanya koloid tanah yang bermuatan negatif yang
terbukti mampu memegang unsur esensial dan kation-kation dapat ditukar,
sehingga terhindar dari pencucian (Supriyadi, 2007).
2.3 Upaya Perbaikan Lahan Pertanian Pasca Erupsi Gunung Kelud
Perbaikan lahan adalah upaya pengembangan lahan (land development) yang
bertujuan untuk mengubah lahan yang tidak produktif menjadi produktif.
Reklamasi memiliki makna, meningkatkan nilai guna dari suatu lahan. Perbaikan
lahan dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satu yang paling banyak
digunakan adalah dengan pemberian bahan organik pada tanah, penanaman
tanaman pionir, dan pemberian mulsa untuk mengurangi volatilisasi hara.
Menurut Soelaeman dan Idjudin (2008) terdapat beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk memperbaiki kualitas tanah pertanian pasca erupsi, yaitu teknik
-
7
mekanik atau fisik terhadap tanah, revegetasi lahan, serta teknik aplikasi bahan
organik.
2.3.1 Penambahan Bahan Organik
Bahan organik memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan
tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Bahan organik tanah merupakan
suatu sistem yang kompleks dan dinamis yang berasal dari tanaman, kotoran
hewan yang terdapat di dalam tanah. Bahan organik tanah dapat memengaruhi
biologi tanah, karena kegiatan jasad mikro membantu dekomposisi bahan organik
(Six et al., 2005), sehingga unsur-unsur hara yang terkandung di dalamnya akan
dilepaskan dalam bentuk tersedia untuk diserap oleh tanaman (Subowo, 2010).
Pada P yang bersifat imobile, asam-asam organik yang larut dalam bahan organik
akan men-khelat senyawa Al dan Fe sehingga P menjadi tersedia (Rahayu et al.,
2015). Bahan organik dapat berasal dari kotoran hewan, limbah rumah tangga
serta dari biomassa tanaman budidaya. Bahan organik memiliki kandungan hara
yang kompleks tergantung pada sumber bahan organik yang digunakan. Bahan
organik telah terbukti mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan sifat biologi
tanah sehingga berpotensi dijadikan salah satu cara untuk perbaikan lahan
terdampak erupsi gunung api.
Kotoran Sapi
Kotoran sapi merupakan sumber bahan organik dari hewan ternak sapi.
Kotoran sapi mengandung 13,5 % C-organik, 1,3 % N, 0,58 % , 2,5 % K, 0,99
% Ca, Mg 0,52 % (Adeniyan et al., 2011). Sedangkan menurut Utami et al.,
(2017), kotoran sapi mengandung 39,9 C-organik, 1,97 % N, C/N ratio 18,76,
0,4 % P, 0,34 cmol/kg K, 0,7 cmol/kg Na, 0,82 cmol/kg Ca dan 0,52 cmol/kg
Mg. Selain penyedia unsur hara bagi tanaman, pupuk kandang berfungsi untuk
memperbaiki sifat fisik tanah seperti pori air tersedia, indeks stabilitas agregat
(Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Kotoran sapi mempunyai kemampuan
memperbaiki berbagai sifat dalam tanah, sehingga berpotensi untuk
dimaanfaatkan sebagai bahan perbaikan lahan terdampak letusan Gunung
Kelud.
-
8
Biomassa Tithonia
Ketersediaan bahan menjadi pertimbangan untuk pemilihan bahan organik
yang digunakan. Sumber bahan organik dapat berasal dari tanaman liar yang
banyak tumbuh di lahan pertanian. Salah satu tanaman liar yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan oganik adalah tanaman tithonia. Tanaman tithonia
telah banyak dimanfaatkan sebagai pupuk hijau. Beberapa penelitian
menyatakan bahwa kandungan tertinggi dari biomassa tanaman tithonia adalah
unsur P (Utami et al., 2002).
Tanaman tithonia termasuk kedalam jenis gulma tahunan yang mengandung
3,50 % N, 0,37 % P, dan 4,10 % K (Hartatik et al., 2005). Hasil penelitian
Bintoro et al. (2008), kandungan unsur hara tithonia sebesar 3,59 % N, 0,34 %
P, 2,29 % K. Jama et al. (2000), meneliti kandungan hara biomassa kering
tanaman tithonia adalah 3,5 % N, 0,37 % P, 4,1 % K. Selain meningkatkan
sifat kimia tanah, biomassa tanaman ini juga memperbaiki sifat biologi dan
kimia tanah, sehingga tanaman tithonia menjadi sumber bahan yang berpotensi
untuk bahan perbaikan lahan.
Biomassa Ubi Jalar
Ubi jalar merupakan tanaman budidaya yang diambil umbinya. Biomassa
daun dan batang tanaman yang tidak terpanen dapat dimanfaatkan untuk
sumber bahan organik. Ubi jalar merupakan salah satu tanaman pangan yang
banyak dibudidayakan di Kecamatan Ngantang, sehingga ketersediaan
bahannya melimpah. Menurut penelitian Untari dan Puspitaningtyas (2006)
ekstrak biomassa ubi jalar mengandung unsur kalsium (Ca) sebanyak 55
mg/100 g, unsur P. Biomassa ubi jalar mudah untuk terdekomposisi, karena
memiliki C/N ratio yang rendah (Putra, 2016). Dengan sifat mudah
terdekomposisi, maka unsur hara yang terkandung dalam biomassa ubi jalar
mudah tersedia di tanah berpasir.
2.3.2 Pananaman Tanaman Pionir
Perbaikan lahan juga dapat dilakukan dengan cara penanaman tanaman
pionir. Tanaman pionir merupakan tanaman yang dapat tumbuh baik, dan
memiliki adaptasi tinggi terhadap lingkungan yang kurang mendukung dan dapat
menambah bahan organik tanah (Asher, 2001).
-
9
Karakteristik dari tanaman pionir umumnya dapat tumbuh cepat dan
sebagian jenis tanaman pionir mengugurkan daunnya saat musim kemarau, dan
kembali berdaun muda saat musim hujan. Jenis-jenis tanaman yang dipilih
sebagai tanaman pionir harus memiliki persyaratan mudah diperbanyak, sistem
perakaran tidak menimbulkan kompetisi dengan tanaman pokok, mempunyai sifat
mengikat tanah, perumbuhan relatif cepat dan banyak menghasilkan biomassa,
toleran terhadap pemangkasan, tahan kekeringan, dan mampu menekan
pertumbuhan gulma.
Tanaman pionir mampu menghijaukan lahan pasca erupsi dalam waktu yang
relatif singkat. Telah diketahui bahwa, tanaman pionir mampu menghasilkan
asam-asam organik seperti asam asetat, oksalat, sitrat, malonat, dan lainnya yang
berfungsi dalam merombak hara dalam batuan. Senyawa humat dan fungi juga
sering digunakan dalam mambantu mempercepat pelarutan mineral batuan
(Wallander, 2006). Akar tanaman juga diketahui dapat mempercepat proses
pelapukan, terutama dalam pelepasan kation-kation basa (Kusumarini et al.,
2014). Salah satu tanaman liar yang dapat digunakan sebagai pionir yaitu tanaman
tithonia. Tanaman ini dapat tumbuh baik di lahan-lahan marjinal dan juga
memiliki pertumbuhan yang relatif cepat (Utami et al., 2002).
2.3.3 Pemberian Mulsa
Suhu yang tinggi mengakibatkan penguapan hara (volatilisasi) terutama
pada unsur hara esensial N. Tekstur material vulkanik yang didominasi tekstur
pasir menambah peluangan kehilangan hara karena daya ikat hara rendah. Ukuran
partikel pasir lebih kasar, luas permukaan lebih kecil, sehingga didominasi pori
makro, mengakibatkan kemampuan menyimpan air dan daya pegang hara menjadi
rendah dibandingkan dengan tekstur halus (Utami, 2009)
Upaya pencegahan kehilangan hara akibat penguapan dapat dilakukan
dengan pemberian mulsa. Mulsa merupakan bahan penutup tanah yang memiliki
berbagai fungsi, baik dari aspek fisik maupun kimia tanah. Secara fisik mulsa
mampu menjaga suhu tanah lebih stabil dan mampu mempertahankan kelembaban
tanah di sekitar perakaran tanaman. Penggunaan mulsa akan mencegah radiasi
langsung matahari (Doring et al., 2006). Suhu tanah maksimum di bawah mulsa
jerami pada kedalaman 5 cm 10º C lebih rendah dari pada tanpa mulsa. Dengan
-
10
menekan suhu yang tinggi akan membantu mengurangi tingkat kehilangan unsur
hara melalui penguapan.
Pengaruh pemberian mulsa ditentukan oleh jenis bahan mulsa. Bahan yang
dapat digunakan sebagai mulsa di antaranya sisa-sisa tanaman (serasah dan
jerami) atau bahan plastik. Doring et al. (2006), menyatakan bahwa mulsa jerami
mempunyai daya pantul lebih tinggi dibandingkan dengan mulsa plastik. Menurut
Mahmood et al. (2002), mulsa jerami atau mulsa yang berasal dari sisa tanaman
lainnya mempunyai konduktivitas panas rendah sehingga panas yang sampai ke
permukaan tanah akan lebih sedikit dibandingkan dengan tanpa mulsa atau mulsa
dengan konduktivitas panas yang tinggi seperti plastik.
2.4 Tanaman Potensial untuk dikembangkan di Lahan Terdampak Erupsi
Lahan yang terkena dampak akibat erupsi gunung api, mengakibatkan
perubahan pada kesuburan tanah. Gas dan material vulkanik yang bersuhu tinggi,
membuat tanaman penutup lahan di sekitar gunung api mengalami layu dan mati.
Maka perlu dilakukan usaha untuk mengembalikan tutupan lahan, dengan cara
menanam jenis tanaman yang toleran terhadap lingkungan kurang mendukung,
memiliki pertumbuhan yang relatif cepat, menghasilkan biomassa yang kaya
unsur hara, dan memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat.
Tanaman sengon (P. falcataria) merupakan salah tanaman dengan daya
tumbuh relatif cepat (fast growing), mampu beradaptasi pada berbagai jenis tanah,
memiliki kayu multi guna (multi purposes) dan memiliki nilai ekonomi tinggi,
serta tidak membutuhkan persyaratan tumbuh yang khusus (Krisnawati et al.,
2011). Pengembangan areal sengon menjadi penting untuk bahan baku industri,
terutama ketika persediaan kayu dari hutan alam semakin berkurang.
Sengon merupakan tanaman berhabitus pohon yang mudah beradaptasi dengan
kondisi lingkungan yang bervariasi. Sengon merupakan salah jenis tanaman
legum, akar tanaman dapat bersimbiosis dengan bakteri rhizobium yang
membentuk bintil pada akar (Sukarman et al., 2012), sehingga tanaman sengon
mampu meningkatkan ketersediaan unsur N di dalam tanah.
-
11
III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu percobaan lapangan yang
dilakukan di Desa Pandansari, Kecamatan Ngantang, Malang pada Februari 2016
sampai Januari 2017. Tahap kedua merupakan analisis laboratorium yang
dilakukan di Laboratorium Kimia, Jurusan Tanah, Universitas Brawijaya pada
bulan Februari - Maret 2017.
3.2. Alat dan Bahan
Bor gambut digunakan untuk pengambilan sampel material vulkanik di
lapangan. Bahan dasar yang digunakan adalah material vulkanik Gunung Kelud,
bahan organik (biomasaa tanaman tithonia, ubi jalar dan kotoran sapi), bibit
tanaman tithonia, bibit tanaman sengon dan mulsa jerami. Plastik fiber untuk
membatasi plot yang diisi material vulkanik. Analisis laboratorium menggunakan
alat dan bahan sesuai dengan metode analisis: C-organik (Walkley-Black), P
tersedia (Bray I), N total (Kjeldahl), KTK, K, Na, Ca (NH4Oac 1N), dan analisis
pH (Glass Elektrode).
3.3. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua faktor, yaitu pembenaman biomassa tithonia
dan kombinasi bahan organik, penanaman tithonia, dengan mulsa dan tanpa mulsa
yang diulang 3 kali, berdasarkan rancangan petak tersarang seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Kombinasi perlakuan penelitian
Faktor
Keterangan Pembenaman
tithonia
Kombinasi
BTM
K1, K2, K3
B0T0M0 - Material letusan tanpa perlakuan
B0T0M1 - Material letusan + mulsa, tanpa BO dan tan. Tithonia
BPkTtdM0 - 20 ton/ha kotoran sapi + tan. tithonia tanpa mulsa
BUbTtdM0 - 20 ton/ha ubi jalar + tan. tithonia tanpa mulsa
BTdTtdM0 - 20 ton/ha tithonia + tan. tithonia tanpa mulsa
BPkTtdM1 - 20 ton/ha kotoran sapi + tan. tithonia + mulsa
BUbTtdM1 - 20 ton/ha ubi jalar + tan. tithonia + mulsa
BTdTtdM1 - 20 ton/ha tithonia + tan. tithonia + mulsa
Keterangan: B= bahan organik, PK= BO kotoran sapi, UB= BO ubi jalar, TD= BO tithonia, Ttd= pionir tithonia, T0= tanpa pionir, M1= mulsa, M0= tanpa mulsa, K1= 6 bulan
pembenaman tithonia, K2= 6 bulan pembenaman tithonia + 2 bulan tanpa
pembenaman, K3= 6 bulan pembenaman tithonia+ 4 tanpa pembenaman.
-
12
-
13
dilakukan setelah inkubasi. Tithonia ditanam sebanyak empat bibit perplot
percobaan, dan dilanjutkan aplikasi mulsa jerami. Satu bulan setelah pemberian
perlakuan dilakukan penanaman sengon. Bibit tanaman sengon diperoleh dari
kelompok tani di Desa Turen, Malang. Setiap satu plot, ditanam satu bibit sengon
di tengah plot percobaan.
Perlakuan pembenaman biomassa tithonia dilakukan ketika pertumbuhan
tithonia menutupi tanaman sengon dan/atau satu bulan sekali selama 0 BST
tithonia dan 6 BST tithonia. Biomassa pangkasan ditimbang pada masing-masing
plot, kemudian dibenamkan pada material vulkanik (K1).
3.4.3 Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiraman tanaman,
penyiangan gulma, penyulaman tanaman, dan pergantian mulsa jerami.
Penyiraman tanaman dilakukan satu hari sekali, jika tidak ada hujan. Penyiangan
dilakukan apabila terdapat gulma yang tumbuh pada plot percobaan maupun di
sekitar plot percobaan. Kegiatan penyulaman dilakukan apabila terdapat tanaman
yang mati. Mulsa jerami diganti sebelum mulsa melapuk, karena akan menambah
masukan hara ke dalam material vulkanik.
3.4.4 Pengukuran Tinggi Tanaman Sengon
Pengukuran tinggi tanaman sengon bertujuan untuk mengetahui respons
pertumbuhan tanaman terhadap perlakuan yang diberikan. Pengukuran
pertumbuhan tanaman sengon dilakukan pada 6 BST (K1), 8 BST (K2), dan 10
BST (K3). Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dengan menggunakan meteran.
3.4.5 Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilaksanakan pada 6 BST, 8 BST dan 10 BST. Sampel
diambil pada dua lapisan yang berbeda. Sampel pertama pada lapisan material
vulkanik, kemudian sampel yang kedua diambil pada tanah tertimbun (di bawah
material vulkanik), menggunakan bor gambut. Pengambilan sampel dilakukan
secara acak, menyebar dalam plot kemudian dikompositkan.
-
14
3.4.6 Analisis Laboratorium
Analisis kimia yang dilakukan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Parameter dan metode analisis kimia
Parameter Metode Analisis Waktu Analisis
C-organik Walkley – Black
10 bulan setelah aplikasi
perlakuan
pH Glass Elektrode
N-total Kjeldahl
P-tersedia Bray I
KTK NH4OAc 1N
Nadd NH4OAc 1N Kdd NH4OAc 1N Cadd NH4OAc 1N Mgdd NH4OAc 1N
3.5 Analisis Data
Data yang diperoleh, dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance
(ANOVA) berdasarkan rancangan petak tersarang (RPT), dengan menggunakan
uji F. Jika analisis ragam yang diperoleh berpengaruh nyata, maka dilakukan
pengujian menggunakan Uji Duncan pada taraf 5%. Uji korelasi juga dilakukan
untuk mengetahui keeratan hubungan antar sifat kimia.
-
15
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengaruh Kombinasi Aplikasi Bahan Organik, Tanaman Tithonia dan
Mulsa terhadap Sifat Kimia Material Vulkanik Gunung Kelud
Upaya perbaikan material vulkanik Gunung Kelud dilakukan dengan
kombinasi aplikasi bahan organik, tanaman tithonia, dan mulsa. Beberapa sifat
kimia yang dipengaruhi oleh perlakuan tersebut di antaranya kandungan C-
organik, pH, N-total, P-tersedia, KTK, kation-kation basa dan KB.
4.1.1 Kandungan C-organik
Pada umumnya, penambahan bahan organik dan penanaman tithonia, baik
mulsa maupun tanpa mulsa mampu meningkatkan kandungan C-organik material
vulkanik Gunung Kelud, hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Jika tanpa
aplikasi mulsa, bahan organik ubi jalar memberikan pengaruh yang lebih baik
terhadap peningkatan kandungan C-organik dalam material, sedangkan dengan
aplikasi mulsa, bahan organik tithonia memberikan pengaruh yang paling baik.
Tidak ada perbedaan nyata pada kelompok perlakuan di K1, K2 dan K3 dalam
meningkatkan kandungan C-organik material. Pada K1 dan K2, peningkatan
kandungan C-organik dalam material lebih tinggi jika dengan aplikasi mulsa. Tapi
pada K3, kandungan C-organik dengan aplikasi mulsa menjadi menurun. Hal ini
dapat dikarenakan, pertumbuhan tanaman tithonia yang semakin besar dapat
menutupi material, sehingga mengurangi efektivitas dari mulsa.
Secara umum antar perlakuan bahan organik dalam K1, K2 dan K3, bahan
organik dari biomassa tithonia menunjukkan peningkatan kandungan C-organik
paling tinggi ke dalam material vulkanik Gunung Kelud. Hal itu dapat
dikarenakan, dalam biomassa segar tithonia mengandung karbon 14 % dan C/N
ratio 8:1 (Olabode et al., 2007). Nilai karbon yang cukup tinggi dan C/N ratio
rendah menyebabkan laju dekomposisi berlangsung relatif cepat, sehingga proses
ketersediaan C-organik lebih cepat dibandingkan penggunaan dua bahan organik
lainnya. Sedangkan rata-rata kandungan C-organik terendah terjadi pada
panambahan bahan organik kotoran sapi. Seperti dalam penelitian Andayani dan
Sarido (2013) pupuk kotoran sapi memiliki laju dekomposisi yang relatif lambat,
-
16
karena memiliki tekstur bahan yang padat sehingga menghambat ketersediaan
hara di dalam tanah.
Keterangan :
Gambar 2. Kadar C-organik dengan perlakuan bahan organik penanaman tithonia,
mulsa dan tanpa mulsa
Kombinasi bahan organik tithonia dengan mulsa menghasilkan peningkatan C-
organik yang lebih tinggi dibandingkan tanpa mulsa, baik di K1, K2 maupun K3.
Pada kombinasi bahan organik kotoran sapi dengan mulsa juga menunjukkan
kandungan C-organik yang lebih tinggi dibandingkan tanpa aplikasi mulsa,
kecuali pada K3. Sedangkan pada kombinasi bahan organik ubi jalar tanpa mulsa,
menunjukkan kandungan C-organik lebih baik dibandingkan dengan aplikasi
Material vulkanik
Tanah tertimbun
Svo (kontrol tanah); B0T0M0 (kontrol material vulkanik); B0T0M1 (kontrol
material vulkanik + mulsa); BpkTtd (BO kotoran sapi + pionir tithonia); BubTtd
(BO ubi jalar + pionir tithonia); BtdTtd (BO tithonia + pionir tithonia); K1 (6 bulan
pembenaman tithonia); K2 (6 bulan pembenaman tithonia + 2 bulan tanpa
pembenaman), K3 (6 bulan pembenaman tithonia + 4 bulan tanpa pembenaman;
tanpa mulsa; dengan mulsa; kontrol tanah.
-
17
mulsa. Perlakuan mulsa diharapkan mampu menjaga kehilangan C-organik.
Namun rata-rata keseluruhan antar perlakuan dalam K1, K2 dan K3, aplikasi
mulsa tidak menunjukkan kandungan C-organik yang lebih baik dibandingkan
tanpa mulsa. Dapat dikatakan perlakuan mulsa belum efektif dalam menahan
kehilangan hara. Hal ini dapat dikarenakan oleh ketebalan dari mulsa yang
diaplikasikan masih kurang. Menurut Prasetyo et al. (2014), semakin tebal mulsa
yang diaplikasikan akan menekan proses penguapan pada tanah.
Pengamatan pada tanah tertimbun, secara keseluruhan pada K1 dan K2
kandungan C-organik lebih rendah dibanding kontrol (Svo). Tingginya kandungan
C-organik pada kontrol, disebabkan kontrol tidak ditanami tithonia maupun
sengon seperti pada perlakuan lain. Bahan organik yang telah terdekomposisi dan
berubah menjadi unsur-unsur tersedia, diduga hilang diserap oleh tanaman
tithonia dan sengon. Di dalam penelitian Putra (2016) tanaman tithonia menyerap
0,16 – 0,4 g/plot (50x50 cm) unsur hara K, 0,16 – 0,24 g/plot unsur Na, 0,19 –
0,35 g/plot unsur Ca dan 0,02 – 0,08 unsur hara Mg. Dengan bukti daya serap
tersebut, ada kecenderungan hara hasil dekomposisi bahan organik yang terdapat
dalam material vulkanik diserap oleh tanaman.
4.1.2 Nilai pH
Aplikasi bahan organik penanaman tithonia, dan aplikasi mulsa maupun tanpa
mulsa, secara umum telah meningkatkan nilai pH material vulkanik Gunung
Kelud, walaupun tidak terjadi perbedaan signifikan (Gambar 3). Jika tanpa
aplikasi mulsa, bahan organik kotoran sapi menunjukkan peningkatan pH paling
tinggi, sedangkan dengan aplikasi mulsa, bahan organik ubi jalar memberikan
peningkatan pH paling baik.
Efektivitas aplikasi mulsa dalam meningkatkan nilai pH belum berdampak
signifikan, walaupun secara umum perlakuan dengan aplikasi mulsa memiliki
nilai pH lebih baik dibanding perlakuan tanpa mulsa. Pada perlakuan mulsa
mampu meningkatkan suhu di dalam material, suhu yang meningkat akan
mempercepat laju dekomposisi bahan organik di dalam material. Mikroorganisme
mesofilik umumnya hidup pada suhu 10–40 ºC dan berfungsi sebagai dekomposer
dari bahan organik dalam tanah sehingga dapat mempercepat laju dekomposisi
(Irawan, 2014).
-
18
Keterangan :
Gambar 3. Nilai pH pada masing-masing perlakuan di material Gunung Kelud
Dari analisis pada tanah tertimbun, kelompok K1 perlakuan BubTtdM1
menghasilkan nilai pH paling tinggi. Nilai tersebut lebih tinggi daripada nilai
kontrol tanah asli (Svo). Ada dugaan terjadi proses pemindahan kation-kation
basa pada material vulkanik di atasnya, sehingga meningkatkan nilai pH pada
tanah tertimbun, akan tetapi tidak terjadi secara signifikan. Terlihat pada K1 tidak
semua perlakuan memiliki nilai pH lebih tinggi dari pada kontrol. Berbeda pada
K2, semua perlakuan mengalami peningkatan nilai pH dibanding kontrol. Nilai
Tanah tertimbun
Material vulkanik
Svo (kontrol tanah); B0T0M0 (kontrol material vulkanik); B0T0M1 (kontrol
material vulkanik + mulsa); BpkTtd (BO kotoran sapi + pionir tithonia); BubTtd
(BO ubi jalar + pionir tithonia); BtdTtd (BO tithonia + pionir tithonia); K1 (6 bulan
pembenaman tithonia); K2 (6 bulan pembenaman tithonia + 2 bulan tanpa
pembenaman), K3 (6 bulan pembenaman tithonia + 4 bulan tanpa pembenaman;
tanpa mulsa; dengan mulsa; kontrol tanah.
-
19
pH tertinggi terjadi pada pelakuan BtdTtdM0 (6,01). Nilai pH dapat meningkat
akibat adanya pemindahan kation-kation basa oleh air yang terbawa akibat adanya
gaya gravitasi. Material vulkanik Gunung Kelud yang didominasi oleh fraksi pasir
membuat potensi pemindahan hara dari bagian atas lebih tinggi. Partikel pasir
memiliki sifat yang porous menyebabkan daya ikat hara rendah, sehingga unsur
hara mudah terbawa oleh air.
4.1.3 Nitrogen Total
Tidak ada perbedaan antara perlakuan di K1 dan K3 dalam peningkatan N-total
di dalam material vulkanik Gunung Kelud, perbedaan hanya terjadi pada
perlakuan di K2. Terlihat pada Gambar 4, pada perlakuan tanpa aplikasi mulsa,
bahan organik biomassa tithonia menjadi yang paling baik dalam meningkatkan
kandungan N-total, sedangkan yang paling rendah terjadi pada bahan organik ubi
jalar. Jika dengan aplikasi mulsa, bahan organik ubi jalar menunjukkan rata-rata
N-total yang paling tinggi, dan tithonia menjadi yang paling rendah.
Bahan organik dari tithonia menghasilkan peningkatan kandungan N paling
tinggi, tapi tidak jauh berbeda dengan bahan organik ubi jalar. Bahan organik
tithonia yang mengandung 4,46 % N, C/N ratio 7,12, bahan organik 54,91 %
(Hafifah et al., 2016). Olabode et al. (2007) juga menjelaskan bahwa tithonia
merupakan sumber bahan organik yang baik karena memiliki nisbah C/N rendah,
fraksi terlarut bahan organik tinggi, dan kandungan lignin yang rendah (6,5 %)
sehingga laju dekomposisi relatif cepat, sehingga unsur mudah tersedia untuk
tanaman.
Aplikasi mulsa secara umum belum efektif menjaga dan meningkatkan
kandungan N-total di dalam material Gunung Kelud. Dari rata-rata perlakuan
tanpa mulsa, menunjukkan N-total yang lebih tinggi dibandingkan dengan mulsa.
Penelitian Isnawati (2013), perlakuan mulsa dapat menurunkan laju evaporasi.
Penguapan hara juga dapat ditekan melalui penggunaan mulsa, akan tetapi proses
penguapan bukan menjadi faktor utama yang menyebabkan nilai N-total pada
material menjadi rendah. Hilangnya N juga dipengaruhi oleh serapan hara oleh
tanaman untuk proses pertumbuhan tanaman.
-
20
Keterangan :
Gambar 4. Kadar N-total pada masing-masing perlakuan
Kandungan N-total pada tanah tertimbun cenderung tidak jauh berbeda dan
keseluruhan lebih kecil dari pada kontrol (Svo). Dapat dikatakan prsoses
pemindahan N dari atas rendah, hal tersebut dapat dikarenakan, N merupakan
unsur hara esensial untuk tanaman sehingga dibutuhkan dalam jumlah yang besar
untuk pertumbuhan tanaman. Unsur nitrogen yang terdapat dalam material
vulkanik diduga diserap oleh perakaran tanaman sengon dan tithonia, sehingga
kandungan N di tanah tertimbun tidak mengalami penambahan dari material di
atasnya.
Material vulkanik
Tanah tertimbun
Svo (kontrol tanah); B0T0M0 (kontrol material vulkanik); B0T0M1 (kontrol
material vulkanik + mulsa); BpkTtd (BO kotoran sapi + pionir tithonia); BubTtd
(BO ubi jalar + pionir tithonia); BtdTtd (BO tithonia + pionir tithonia); K1 (6 bulan
pembenaman tithonia); K2 (6 bulan pembenaman tithonia + 2 bulan tanpa
pembenaman), K3 (6 bulan pembenaman tithonia + 4 bulan tanpa pembenaman;
tanpa mulsa; dengan mulsa; kontrol tanah.
-
21
4.1.4 Fospor Tersedia
Perbedaan taraf perlakuan K1, K2 dan K3 tidak menghasilkan perbedaan nyata
terhadap peningkatan ketersediaan P di dalam material vulkanik Gunung Kelud.
Rata-rata kandungan P-tersedia pada K1 lebih tinggi dibandingkan K2 dan K3
(Gambar 5). Kandungan P-tersedia K2 dan K3 menurun dapat terjadi karena
diserap oleh tanaman sengon dan tithonia. Pada K2 dan K3, tanaman memiliki
pertumbuhan yang besar, sehingga membutuhkan unsur esensial seperti P dalam
jumlah yang besar.
Tidak terjadi perbedaan nyata antar perlakuan bahan organik. Bahan organik
tithonia memiliki rata-rata memilki kandungan P-tersedia sedikit lebih tinggi, dan
bahan organik ubi jalar menjadi perlakuan yang paling rendah.
Keterangan :
Gambar 5. Ketersediaan P pada masing-masing perlakuan
Material vulkanik
Tanah tertimbun
Svo (kontrol tanah); B0T0M0 (kontrol material vulkanik); B0T0M1 (kontrol
material vulkanik + mulsa); BpkTtd (BO kotoran sapi + pionir tithonia); BubTtd
(BO ubi jalar + pionir tithonia); BtdTtd (BO tithonia + pionir tithonia); K1 (6 bulan
pembenaman tithonia); K2 (6 bulan pembenaman tithonia + 2 bulan tanpa
pembenaman), K3 (6 bulan pembenaman tithonia + 4 bulan tanpa pembenaman;
tanpa mulsa; dengan mulsa; kontrol tanah.
-
22
Pada perlakuan aplikasi mulsa, menunjukan kandungan rata-rata P-tersedia
yang lebih tinggi, dibandingkan perlakuan tanpa mulsa (Gambar 5). Pemberian
mulsa dapat meningkatkan suhu di dalam material vulkanik, seperti yang
dikemukakan oleh Harsono (2012), kecepatan perombakan bahan organik
tergantung pada suhu tanah, semakin tinggi suhu tanah semakin mempercepat
proses perombakan bahan organik (Suryani, 2007). Akan tetapi, unsur P yang
tersedia kemungkinan besar hilang diserap oleh tanaman, dan tercuci oleh air
sehingga penambahan bahan organik dalam penelitian ini memiliki jumlah P-
tersedia yang lebih rendah dibandingkan kontrol.
Hasil analisis pada tanah tertimbun, perlakuan di K2 menunjukkan kandungan
P-tersedia lebih tinggi dibandingkan K1. BubTtdM0 menjadi yang tertinggi dari
ketersediaan P pada K1, lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Tetapi secara
umum nilai P-tersedia pada K1 lebih rendah dari pada kontrol. Namun pada K2
terdapat beberapa perlakuan yang memiliki nilai lebih tinggi dibanding kontrol,
yaitu BubTtdM0, BpkTtdM1, BtdTtdM1 dan BtdTtdM0. Ada dugaan adanya
pemindahan P dari material ke tanah tertimbun pada kelompok K2, akan tetapi
terjadi signifikan karena unsur P diketahui memiliki laju mineralisasi yang relatif
lambat.
4.1.5 Kapasitas Tukar Kation
Penambahan bahan organik, penanaman tithonia dengan mulsa atau tanpa
mulsa, meningkatkan KTK pada material vulkanik Gunung Kelud walaupun tidak
secara signifikan, terutama pada perlakuan dengan mulsa. Pada K2 menunjukkan
rata-rata KTK lebih baik (Gambar 6).
Bahan organik ubi jalar menunjukkan KTK paling baik dibandingkan dengan
bahan organik yang lain. Peran bahan organik ubi jalar sangat baik terhadap
peningkatan jumlah KTK. Karakter biomassa ubi jalar yang memiliki laju
dekomposisi yang cepat, sehingga cepat menghasilkan humus. Kadar humus yang
melimpah ini yang berperan sebagai koloid, sehingga dapat meningkatkan KTK di
dalam tanah (Lumbanraja dan Harahap, 2015). Walaupun usaha perbaikan KTK
telah dilakukan dengan perlakuan bahan organik dan penanaman tithonia belum
mampu secara signifikan meningkatkan KTK yang rendah. Hal ini tergambar dari
hasil analisis, nilai rata-rata KTK keseluruhan < 5 cmol/kg yang tergolong sangat
-
23
rendah (Balai Penelitian Tanah, 2009). Pemberian mulsa menghasilkan rata-rata
KTK lebih tinggi, dibandingkan tanpa mulsa. Menurut Harsono (2012), mulsa
jerami padi dapat meningkatkan KTK tanah yang lebih tinggi dari jenis mulsa
lainnya.
Keterangan :
Gambar 6. KTK setelah aplikasi bahan organik, penanaman tithonia, mulsa
dan tanpa mulsa
4.1.6 Kation-kation Basa Dapat Dipertukarkan
Secara umum, penambahan bahan organik, penanaman tithonia dan aplikasi
mulsa dan tanpa mulsa memberikan peningkatan jumlah kation-kation basa
kecuali pada kation Nadd (Gambar 7). Hal ini disebabkan karena kation basa
dipengaruhi oleh koloid tanah. Besarnya jerapan kation oleh tanah tergantung dari
Material vulkanik
Tanah tertimbun
Svo (kontrol tanah); B0T0M0 (kontrol material vulkanik); B0T0M1 (kontrol
material vulkanik + mulsa); BpkTtd (BO kotoran sapi + pionir tithonia); BubTtd
(BO ubi jalar + pionir tithonia); BtdTtd (BO tithonia + pionir tithonia); K1 (6 bulan
pembenaman tithonia); K2 (6 bulan pembenaman tithonia + 2 bulan tanpa
pembenaman), K3 (6 bulan pembenaman tithonia + 4 bulan tanpa pembenaman;
tanpa mulsa; dengan mulsa; kontrol tanah.
-
24
luas permukaan koloid tanah. Semakin luas permukaan koloid maka semakin
banyak ion yang dapat dijerap. Material vulkanik yang didomniasi oleh mineral
pasir yang relatif luas permukaannya kecil, menyebabkan rendahnya jumlah
kation (Nursyamsi dan Suprihati, 2005). Mineral pasir tersebut membutuhkan
waktu yang lama untuk melapuk menjadi mineral yang sangat halus, sehingga
adanya penambahan bahan organik, penanaman tithonia, dan juga dilakukan
pemulsaan belum bisa meningkatkan ketersediaan jumlah kation dalam jangka
pendek.
Keterangan :
Gambar 7. Jumlah kation Nadd pada material vulkanik dan tanah tertimbun
Pada kation Cadd antar K1, K2 dan K3 tidak terjadi perbedaan yang nyata
(Gambar 9). Pada perlakuan dalam K1, K2 dan K3 bahan organik biomassa ubi
Tanah tertimbun
Material vulkanik
Svo (kontrol tanah); B0T0M0 (kontrol material vulkanik); B0T0M1 (kontrol
material vulkanik + mulsa); BpkTtd (BO kotoran sapi + pionir tithonia); BubTtd
(BO ubi jalar + pionir tithonia); BtdTtd (BO tithonia + pionir tithonia); K1 (6 bulan
pembenaman tithonia); K2 (6 bulan pembenaman tithonia + 2 bulan tanpa
pembenaman), K3 (6 bulan pembenaman tithonia + 4 bulan tanpa pembenaman;
tanpa mulsa; dengan mulsa; kontrol tanah.
-
25
jalar menunjukkan jumlah kation Cadd yang lebih tinggi. Sedangkan kombinasi
bahan organik dengan tanpa mulsa, memberikan pengaruh lebih baik terhadap
jumlah kation Cadd dibandingkan dengan aplikasi mulsa. Sehingga dapat
dikatakan, aplikasi mulsa belum efektif dalam meningkatkan kation basa pada
material vulkanik.
Keterangan:
Gambar 8. Jumlah kation Kdd pada material vulkanik dan tanah tertimbun
Hasil analisis pada tanah tertimbun, semua perlakuan menunjukkan jumlah
kation-kation basa (Kdd, Cadd dan Mgdd) yang lebih tinggi dibandingkan kontrol,
kecuali pada kation basa Nadd. Hal ini mencerminkan bahwa terjadi pemindahan
kation dari lapisan material vulkanik Gunung Kelud, sehingga jumlah kation di
lapisan atas menjadi berkurang. Pemindahan kation tersebut dapat disebabkan
oleh tekstur material yang dominan pasir (porous) dan ketersediaan dari kation-
Material vulkanik
Tanah tertimbun
Svo (kontrol tanah); B0T0M0 (kontrol material vulkanik); B0T0M1 (kontrol
material vulkanik + mulsa); BpkTtd (bahan organik kotoran sapi + pionir
tithonia); BubTtd (bahan organik ubi jalar + pionir tithonia); BtdTtd (bahan
organik tithonia + pionir tithonia); K1 (6 BST + 2 pembenaman tithonia); K2 (6
BST + 2 bulan tanpa pembenaman), K3 (6 BST + 4 bulan tanpa pembenaman;
tanpa mulsa; dengan mulsa; kontrol tanah.
-
26
kation di dalam material vulkanik. Menurut Kusumarini et al. (2014), tanah yang
yang terbentuk dari material piroklastik gunung api akan terus berkembang,
karena piroklastik merupakan material yang masih sangat muda. Oleh sebab itu,
dengan terjadinya pelapukan mineral dari material Gunung Kelud, akan
meningkatkan laju pelepasan kation-kation dari material vulkanik.
Keterangan :
Gambar 9. Jumlah kation Cadd pada material vulkanik dan tanah tertimbun
Material vulkanik
Tanah tertimbun
Svo (kontrol tanah); B0T0M0 (kontrol material vulkanik); B0T0M1 (kontrol
material vulkanik + mulsa); BpkTtd (BO kotoran sapi + pionir tithonia); BubTtd
(BO ubi jalar + pionir tithonia); BtdTtd (BO tithonia + pionir tithonia); K1 (6 bulan
pembenaman tithonia); K2 (6 bulan pembenaman tithonia + 2 bulan tanpa
pembenaman), K3 (6 bulan pembenaman tithonia + 4 bulan tanpa pembenaman;
tanpa mulsa; dengan mulsa; kontrol tanah.
-
27
Keterangan :
Gambar 10. Jumlah kation Mgdd pada material vulkanik dan tanah tertimbun
4.1.7 Kejenuhan Basa
Kejenuhan basa merupakan perbandingan antara jumlah kation basa dapat
dipertukarkan dengan KTK yang dinyatakan dalam satuan persen. Perlakuan
perbedaan pemangkasan dan pembenaman biomassa tithonia K1, K2 dan K3
memberikan pengaruh sangat nyata terhadap nilai kejenuhan basa (KB) dalam
material Gunung Kelud (Gambar 11). Nilai KB dapat dipengaruhi oleh jumlah
kation basa dapat ditukar.
Nilai KB juga dipengaruhi oleh pH, nilai pH pada material vulkanik setelah
aplikasi perlakuan bahan organik, penanaman tithonia memiliki nilai pH yang
tergolong masam dan agak masam. Nilai KB pada semua perlakuan berkisar
antara sedang-tinggi (41-80 %). Dilihat dari nilai pH dan jumlah kation-kation
Material vulkanik
Tanah tertimbun
Svo (kontrol tanah); B0T0M0 (kontrol material vulkanik); B0T0M1 (kontrol
material vulkanik + mulsa); BpkTtd (BO kotoran sapi + pionir tithonia); BubTtd
(BO ubi jalar + pionir tithonia); BtdTtd (BO tithonia + pionir tithonia); K1 (6 bulan
pembenaman tithonia); K2 (6 bulan pembenaman tithonia + 2 bulan tanpa
pembenaman), K3 (6 bulan pembenaman tithonia + 4 bulan tanpa pembenaman;
tanpa mulsa; dengan mulsa; kontrol tanah.
-
28
basa yang relatif rendah, seharusnya nilai KB juga tergolong rendah. Seperti yang
dikemukakan Syekhfani (2009), terdapat hubungan erat KB dengan pH, jika
jumlah basa-basa berkurang dan berarti nilai pH juga ikut menurun. Tingginya
nilai KB dapat disebabkan oleh jumlah kation-kation basa yang tinggi terutama
pada kation basa Ca. Walaupun pada dasarnya, nilai Ca pada hasil analisis
menunjukkan nilai 1,6 – 2,3 cmol/kg yang termasuk sangat rendah hingga rendah.
Nilai KB yang tergolong sedang hingga tinggi, menggambarkan bahwa kondisi
material masih kaya akan unsur kation-kation basa (Supriyadi, 2009). Nilai KB
yang tinggi juga mencerminkan ketersediaan kation-kation basa yang cukup
banyak dalam material vulkanik Gunung Kelud.
Keterangan :
Gambar 11. Kejenuhan basa di material Gunung Kelud setelah aplikasi perlakuan
Material vulkanik
Tanah tertimbun
Svo (kontrol tanah); B0T0M0 (kontrol material vulkanik); B0T0M1 (kontrol
material vulkanik + mulsa); BpkTtd (BO kotoran sapi + pionir tithonia); BubTtd
(BO ubi jalar + pionir tithonia); BtdTtd (BO tithonia + pionir tithonia); K1 (6 bulan
pembenaman tithonia); K2 (6 bulan pembenaman tithonia + 2 bulan tanpa
pembenaman), K3 (6 bulan pembenaman tithonia + 4 bulan tanpa pembenaman;
tanpa mulsa; dengan mulsa; kontrol tanah.
-
29
Pada perlakuan aplikasi mulsa, cenderung memiliki KTK lebih rendah
dibandingkan dengan tanpa aplikasi mulsa. Kombinasi bahan organik ubi jalar
dengan tanpa mulsa memberikan peningkatan KTK yang lebih baik, dibandingkan
kombinasi yang lain. Untuk melihat adanya proses pemindahan KB dari material
vulkanik, maka dilakukan analisis pada lapisan tanah tertimbun. Namun, secara
keseluruhan nilai KB lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (Svo). Hanya
pada perlakuan BubTtdM0 (K1 dan K2) yang menunjukkan nilai KB lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol. Dengan demikian, pemberian perlakuan pada
lapisan material vulkanik memiliki laju perpindahan kation yang lambat.
4.2 Respons Tinggi Tanaman Sengon akibat Pemberian Bahan Organik,
Penanaman Tithonia, dan Pemulsaan
Perlakuan aplikasi bahan organik (tithonia, ubi jalar, dan kotoran sapi) dengan
penanaman tithonia tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap tinggi
sengon, begitu pula pada perlakuan aplikasi mulsa dan tanpa mulsa (Gambar 12).
Pengamatan tinggi pohon dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pada 6 BST, 8 BST,
dan 10 BST.
Dilihat dari pertumbuhan tinggi pohon sengon pada aplikasi mulsa di waktu
pengamatan 6 BST (Gambar 12a), kombinasi perlakuan bahan organik ubi jalar
menunjukkan pertumbuhan sengon paling tinggi (126 cm), sedangkan perlakuan
bahan organik tithonia terlihat memiliki pertumbuhan sengon paling rendah (95
cm). Pada pengamatan 8 BST, pertumbuhan sengon pada perlakuan kontrol
menjadi paling tinggi (210 cm), serta pertumbuhan sengon pada perlakuan bahan
organik tithonia masih menjadi yang paling rendah (116 cm). Pengamatan tinggi
10 BST, pohon sengon pada perlakuan kontrol menunjukkan pertumbuhan paling
tinggi (302 cm), sedangkan pertumbuhan sengon yang paling rendah terjadi pada
bahan organik kotoran sapi (177 cm).
Pertumbuhan tinggi pohon sengon pada kombinasi perlakuan dan tanpa diberi
mulsa, secara umum tidak jauh berbeda dengan aplikasi mulsa (Gambar 12b).
Pada waktu pengamatan 6 BST, perlakuan bahan organik kotoran sapi
menunjukkan pertumbuhan sengon paling tinggi (126 cm), dan sengon pada
perlakuan bahan organik tithonia menjadi yang paling rendah (109 cm). Sengon
pada perlakuan bahan organik tithonia, dilakukan penyulaman pada 3 minggu
-
30
0
100
200
300
400
6 BST 8 BST 10 BST
Tin
ggi
sengo
n (
cm)
BPKTTD BUBTTD BTDTTD
0
100
200
300
400
6 BST 8 BST 10 BST
Tin
ggi
sengo
n (
cm)
B0T0 BPKTTD
BUBTTD BTDTTD
a.
setelah tanam, hal tersebut yang membuat pertumbuhan sengon menjadi rendah.
Di pengamatan 8 BST, perlakuan bahan organik ubi jalar menjadi yang paling
tinggi (198 cm), sedangkan pertumbuhan sengon yang paling rendah terjadi pada
perlakuan bahan organik tithonia (190 cm) yang dipengaruhi kegiatan
penyulaman sengon pada 3 minggu setelah tanam. Pengamatan pertumbuhan
sengon 10 BST tanpa mulsa, perlakuan bahan organik tithonia menjadi yang
paling tinggi (342 cm), sedangkan yang paling rendah terjadi pada perlakuan
bahan organik kotoran sapi (210 cm), hal ini dikarenakan pada 7 BST, pucuk
tanaman sengon pada perlakuan kotoran sapi mengalami kering, sehingga
menghambat pertumbuhan dari tanaman sengon. .
Dari uji korelasi sifat kimia dengan pertumbuhan tinggi sengon, secara umum
memiliki hubungan positif terutama pada N-total, P-tersedia, KTK, Ca dan KB
(Lampiran 5). Hubungan cukup kuat terjadi antara sengon dengan sifat kimia N, P
dan KTK. Nitrogen dan fosfor merupakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman
dalam jumlah yang banyak. Telah diketahui bahwa unsur N sangat penting bagi
tanaman terutama pada masa vegetatif. Menurut Patti et al. (2013), fungsi unsur
nitrogen pada tanaman adalah untuk meningkatkan pertumbuhan vegetatif
tanaman, meningkatkan protein dalam tanah, meningkatkan tanaman penghasil
dedaunan, dan berfungsi sebagai sintesis asam amino dan protein dalam tanaman.
Unsur P merupakan komponen penting penyusun senyawa pada proses transfer
energi ATP tanaman (Fahmi et al., 2010).
Keterangan:
Gambar 12. Pertumbuhan tinggi sengon dengan (a) mulsa dan (b) tanpa mulsa
b.
B0T0 (kontrol material vulkanik + mulsa); BpkTtd (bahan organik kotoran sapi
+ pionir tithonia); BubTtd (bahan organik ubi jalar + pionir tithonia); BtdTtd
(bahan organik tithonia + pionir tithonia)
-
31
Pada dasarnya, sengon merupakan tanaman yang memiliki tingkat
pertumbuhan yang relatif cepat dan tidak memerlukan persyaratan tumbuh
khusus. Berdasarkan penelitian Khalif et al. (2014), sengon termasuk ke dalam
golongan tanaman legum, sehingga mampu meningkatkan ketersediaan N dalam
tanah. Dengan pernyataan tersebut, sengon dapat menyediakan unsur nitrogen
dalam tanah untuk tanaman lain atau untuk sengon itu sendiri, sehingga memiliki
pertumbuhan yang cepat.
4.3 Pembahasan Umum
Dari hasil uji korelasi parameter C-organik dengan pH dan N-total
didapatkan hasil yang hampir sama. Pada uji korelasi C-organik dengan pH
didapatkan nilai koefisien r = 0,467, sedangkan C-organik dengan N-total
menghasilkan nilai koefisien r = 0,349. Dari nilai tersebut korelasi C-organik
terhadap pH dan N-total menghasilkan korelasi positif sedang. Hal ini
menggambarkan bahwa penambahan C-organik berbanding lurus dengan
peningkatan kadar N total dan pH. Menurut Nariratih et al., (2013), pemberian
bahan organik dengan bahan yang berbeda mampu meningkatkan nilai pH dan N
total.
Hasil korelasi negatif lemah terjadi pada C-organik dengan P-tersedia (r =
-0,128). Artinya penambahan kadar C-organik belum mampu menaikkan
ketersediaan P dalam material vulkanik. Kadar C-organik dalam material yang
jumlahnya sangat rendah, menyebabkan asam humat dan fulvat yang membentuk
senyawa khelat menjadi rendah, sehingga mengurangi tingkat laju pelepasan
fosfor dalam bentuk yang tersedia.
Interaksi negatif juga terjadi pada parameter C-organik dengan KTK, yang
menghasilkan nilai koefisien r = -0,251. Pada dasarnya, nilai KTK dipengaruhi
oleh koloid liat dan kadar bahan organik dalam tanah. Seharusnya dengan
penambahan kadar C-organik dalam material vulkanik akan meningkatkan nilai
KTK. Seperti pada penelitian Rusdiana dan Lubis (2012), semakin tinggi
kandungan bahan organik dalam tanah, akan meningkatkan KTK.
Hasil korelasi antara antara pH dengan N-total, didapatkan korelasi positif
sedang (r = 0,319). Seperti yang sudah diketahui, nilai pH berkisar netral
menciptakan kondisi yang relatif seimbang antara OH- dan H
+. Artinya kondisi
-
32
tersebut unsur hara esensial seperti N, P dan K mudah tersedia dalam tanah.
Larutan pH tanah merupakan faktor penting, karena larutan pH di atas 5,5 unsur
hara nitrogen akan tersedia untuk tanaman (Patti et al., 2013). Korelasi positif
lemah juga terjadi antara pH dengan KTK (r = 0,26). Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Rusdiana dan Lubis (2012), semakin tinggi nilai pH maka KTK juga
akan semakin tinggi, begitu sebaliknya. Sedangkan uji korelasi antara pH dengan
P-tersedia menghasilkan nilai r = -0,191. Hal ini berarti, peningkatan nilai pH
akan menurunkan jumlah ketersediaan P. Korelasi negatif pH dengan P-tersedia
dapat disebabkan oleh rendah nilai pH material vulkanik (masam-agak masam).
Nilai pH yang masam akan mengikat P dalam bentuk yang tidak dapat tersedia.
Menurut Novriani (2010) pH netral akan melepaskan ikatan-ikatan logam Al, Fe,
dan Mn terhadap unsur P, sehingga P dapat tersedia dalam tanah.
Setelah dilakukan uji korelasi kation-kation dapat dipertukarkan (Na, K, Ca,
dan Mg) dengan KTK sacara umum memiliki hubungan positif. Nilai koefisien
korelasi KTK dengan kation basa berturut-turut r = 0,428 (K), r = 0,317 (Na), r =
0,55 (Cadd), dan r = 0,443 (Mgdd). Dari nilai korelasi yang positif antara KTK
dengan kation basa menunjukkan bahwa dengan bertambahnya nilai KTK juga
meningkatkan nilai-nilai kation basa. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Syehfani (2009), KTK merupakan ketersediaan jumlah Ca, Mg Na dan K.
-
33
-
33
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Aplikasi kombinasi perlakuan bahan organik biomassa tithonia, ubi jalar dan
kotoran sapi (20 t/ha) secara umum mampu meningkatkan % C-organik, pH,
% N-total, KTK, jumlah Cadd dan Mgdd, serta KB material vulkanik Gunung
Kelud, kecuali kandungan P-tersedia, jumlah Kdd dan Nadd. Perlakuan 6 bulan
pembenaman biomassa tithonia, menunjukkan peningkatan kualitas sifat
kimia yang lebih baik.
2. Perlakuan bahan organik ubi jalar memberikan peningkatan kualitas sifat
kimia paling baik pada material vulkanik Gunung Kelud, terutama pada % C-
organik, pH, KTK, jumlah kation Cadd, dan KB.
3. Tidak ada perbedaan nyata antara aplikasi mulsa dengan tanpa mulsa.
4. Terjadi peningkatan jumlah Cadd, Kdd dan Mgdd, pada tanah tertimbun akibat
pemberian perlakuan di material vulkanik.
5. Peningkatan kualitas sifat kimia pada material vulkanik Gunung Kelud, tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman sengon.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan analisis serapan hara tanaman, agar dapat memperkirakan
jumlah hilangnya unsur hara yang diambil oleh tanaman.
2. Perlu dilakukan pemilihan ketebalan mulsa jerami yang tepat, dan waktu
pergantian mulsa yang rutin untuk mendapatkan efektivitas mulsa yang lebih
baik.
-
34
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, S.R., dan Hananto, H. 2015. Identifikasi Sifat Kimia Abu Vulkanik dan Upaya Pemulihan Tanaman Karet Terdampak Letusan Gunung Kelud (Studi
Kasus: Kebun Ngrangkah Pawon, Jawa Timur). Warta Perkaretan 34(1): 19-30.
Adeniyan, O.N., Ojo A.O., Akinbode, O.A., dan Adediran J.A. 2011. Comparative Study of Different Organic Manures and NPK Fertilizer for Improvement of Soil Chemical Properties and Dry Matter Yield of Maize in
Two Different Soils. J. Soil Science and Environmental Management 2(1): 09-13.
Andayani., dan Sarido, L. 2013. Uji Empat Jenis Pupuk Kandang terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Cabai Keriting (Capsicum annum L.). J. Agrifor. 7(1): 22-29.
Asher, C.J. 2001. Limiting External Concentration of Trace Elements for Plant Growth: Use of Flowering Solution Culture Techniques. J. Plant Nutr. 3:
163-180.
Balai Penelitian Tanah. 2009. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah. Bogor.
Bintoro., Saraswati R., Manohara, D., Taufik, E., dan Purwani, J. 2008. Pestisida Organik pada Tanaman Lada. Dalam Laporan Akhir Kerjasama Kemitraan
Penelitian Pertanian antara Perguruan Tinggi dan Badan Litbang Pertanian (KKP3T).
Doring, T., Heimbach, U., Thieme, T., Finckch, M., dan Saucke, H. 2006. Aspect
of Straw Mulching in Organic Potatoes, Effects on Microclimate, Phytophtora infestans and Rhizoctonia solani. J. Nachrichtenblatt des
Deutschen Pflanzenschutzdienstes. 58(3): 73-78.
Fahmi, A., Syamsudin., Utami, S.R.H dan Radjagukguk, B. 2010. Pengaruh Interaksi Hara Nitrogen dan Fosfor terhadap Pertumbuhan Tanaman Jagung
(Zea mays L) pada Tanah Regosol dan Latosol. J. Berita Biologi 10(3): 297-304.
Hafifah., Sudiarso., Maghfoer, M.D., dan Prasetya, B. 2016. The Potential of Tithonia diversifolia Green Manure for Improving Soil Quality for Cauliflower (Brassica oleracea var. Brotrytis L.). J. Degraded and Mining
Lands Management. 3(2): 499-506.
Harsono, P. 2012. Mulsa Organik: Pengaruhnya terhadap Lingkungan Mikro,
Sifat Kimia Tanah dan Keragaan Cabai Merah di Tanah Vertisol Sukoharjo pada Musim Kemarau. J. Hort. 3(1): 35-41.
Hartatik, W., Setyorini., Widowati., dan Widati, S. 2005. Laporan Akhir
Penelitian Teknologi Pengelolaan Hara pada Budidaya Pertanian Organik. Dalam Laporan Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Tanah dan Proyek
Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif.
Irawan, B.T.A. 2014. Pengaruh Susunan Bahan terhadap Waktu Pengomposan Sampah Pasar pada Komposter Beraerasi. J. Metana. 10(1): 18-24.
-
35
Isnawati, L. 2013. Pengaruh Ketebalan Mulsa Jerami dan Frekuensi Irigasi
terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kacang Hijau (Vigna radiata L.). Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Jama, B., Palm, P.A., Buresh, R.J., Niang, A., Gachengo, C., Nziguheba, G., dan Amandalo, B. 2000. Tithonia diversifolia as a Green Manure for Soil Fertility Improvement in Western Kenya. J. Agroforestry Systems. 49: 201-
221.
Khalif, U., Utami, S.R., dan Kusuma, Z. 2014. Pengaruh Penanaman Sengon
(Paraserianthes falcataria) terhadap Kandungan C dan N Tanah Di Desa Slamparejo, Jabung, Malang. J. Tanah dan Sumberdaya Lahan. 1(1): 09-15.
Krisnawati, H., Varis, E., Kallio, M., dan Kanninen, M. 2011. Paraserianthes
falcataria (L.) Nielsen Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas. CIFOR. Bogor.
Kusumarini, N., Utami, S.R., dan Kusuma, Z. 2014. Pelepasan Kation Basa pada Bahan Piroklastik Gunung Merapi. J. Tanah dan Sumberdaya Lahan 1(1): 01-06.
Lumbanraja, P., dan Harahap, E.M. 2015. Perbaikan Kapasitas Pegang Air dan Kapasitas Tukar Kation Tanah Berpasir dengan Aplikasi Pupuk Kandang
pada Ultisol Simalingkar. J. Pertanian Tropik 2(1): 53-67.
Mahmood, M., Farroq, K., Hussain, A., dan Sher, R. 2002. Effect of Mulching on Growth and Yield of Potato Crop. J. Plant Sci. 1(2): 122-133.
Manik, P.M. 2017. Pengaruh Perlakuan Bahan Organik, Tanaman Paitan (Tithonia diversifolia) dan Mulsa terhadap Perbaikan Sifat Fisik Material
Letusan dan Tinggi Bibit Pisang serta Sengon. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya. Malang.
Nariratih, I., Damanik, M.M.B, dan Sitanggang, G. 2013. Ketersediaan Nitrogen
pada Tiga Jenis Tanah Akibat Pemberian Tiga Bahan Organik dan Serapannya pada Tanaman Jagung. J. Agric. 1(3): 479-488.
Ni’mah, F. 2016. Pengaruh Pupuk Kandang dan Tanaman Pionir untuk Perbaikan Sifat Kimia Bahan Letusan Gunung Kelud. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya. Malang.
Novriani. 2010. Alternatif Pengelolaan Unsur Hara P (Fosfor) pada Budidaya Jagung. J. Agron. 2(3): 42-49.
Nursyamsi, D., dan Suprihati. 2005. Sifat-sifat Kimia dan Mineralogi Tanah serta Kaitannya dengan Kebutuhan Pupuk untuk Padi (Oryza sativa), Jagung (Zea mays), dan Kedelai (Glycine max). Bul. Agron. 33(3): 40-47.
Olabode, O.S., Sola, O., Akanbi, W.B., Adesina, G.O., dan Babajide, P.A. 2007. Evaluation of Tithonia diversifolia (Hemsl) a Gray for Soil Improvement.
J. Agric Sci. 3(4): 503-507.
Patti, P.S., Kaya, E., dan Silahooy, Ch. 2013. Analisis Status Nitrogen Tanah dalam Kaitannya dengan Serapan N oleh Tanaman Padi Sawah di Desa
Waimitia, Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat. J. Agrologia 2(1): 51-58.
-
36
Perdana, D.I. 2016. Aplikasi Bahan Organik Daun Ubi Jalar (Ipomea batatas) dan
Tanaman Pionir untuk Memperbaiki Sifat Kimia Material Vulkanik Gunung Kelud. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya. Malang.
Prasetya, A. 2017. Upaya Perbaikan Sifat Fisik Bahan Letusan Gunung Kelud melalui Kombinasi Bahan Organik dan Tanaman Pionir sebagai Media Tanam Bibit Pohon Pinus (Pinus merkusii) dan Pisang (Musa paradisiaca
L.). Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya. Malang.
Prasetyo, B.H., dan Suriadikarta D.A. 2006. Karakteristik, Potensi dan Teknologi
Pengelolaan Tanah Ultisol untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering di Indonesia. J. Litbang Pertanian 25(2): 39-47.
Prasetyo, R.A., Nugroho, A., dan Moenardi, J. 2014. Pengaruh Sistem Olah Tanah
dan Berbagai Mulsa Organik pada Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merr.). J. Produksi Tanaman 1(6): 486-495.
Putra, M. 2016. Aplikasi Bahan Organik Daun Paitan (Tithonia diversifolia) dan Tanaman Pionir dalam usaha Perbaikan Karakteristik Material Vulkanik Gunung Kelud. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya. Malang.
Rahayu, A., Utami, S.R., dan Prijono, S. 2015. The Changes of Soil Physical and Chemical Properties of Andisols as Affected by Drying and Rewetting
Processes. J. Degraded and Mining Lands Management 3(1): 439-446.
Rusdiana, O., dan Lubis, R.S. 2012. Pendugaan Korelasi antara Karakteristik Tanah terhadap Cadangan Karbon (Carbon stock) pada Hutan Sekunder. J.
Silvikultur Tropika 3(1): 14-21.
Six, J., Elliot, E.T., dan Paulina, K. 2005. Soil Structur and Soil Organic Matter :
Ii. A Normalized Ability and The Effect of Mineralogy. J. Soil Society. 64: 1042-1049.
Slamet, S. 2008. Kandungan Bahan Organik sebagai Dasar Pengelolaan Tanah di
Lahan Kering Madura. J. Embryo. 5(2): 176-183.
Soelaeman, Y., dan Idjudin, A.A. 2008. Rehabilitasi Sifat Fisika Tanah Pertanian
Pasca Erupsi Gunung Merapi. Balai Penelitian Tanah. Bogor.
Subowo. 2010. Strategi Efisiensi Penggunaan Bahan Organik untuk Kesuburan dan Produktivitas Tanah melalui Pemberdayaan Sumberdaya Hayati Tanah.
J. Sumberdaya Lahan. 4(1): 13-25.
Sudaryo dan Sutjipto, 2009. Identifikasi dan Penentuan Logam Berat pada Tanah
Vulkanik di Daerah Cangkringan, Kabupaten Sleman dengan Metode Analisis Aktivasi Neutron Cepat. Dalam makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional V SDM Teknologi. Yogyakarta.
Sukarman., Kainde, R., Rombang, J., dan Thomas, A. 2012. Pertumbuhan Bibit Sengon (Paraserianthes falcataria) pada Berbagai Media Tumbuh. J.
Eugenia. 8(3): 215-221.
Supriyadi, S. 2007. Kesuburan Tanah di Lahan Kering Madura. J. Embryo. 4(2): 124-131.
Supriyadi, S. 2009. Status Unsur-unsur Basa (Ca2+, Mg2+, K+ dan Na+) di Lahan Kering Madura. J. Agrivigor. 2(1): 35-41.
-
37
Suryani, A. 2007. Perbaikan Tanah Media Tanaman Jeruk dengan Berbagai
Bahan Organik dalam Bentuk Kompos. Tesis. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Syekhfani. 1990. Survei Pendahuluan: dalam Usaha Menanggulangi Kerusakan Lahan Akibat Letusan Gunung Kelud. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.
Syekhfani. 2009. Hubungan Hara Tanah Air dan Tanaman: Dasar-dasar Pengelolaan Tanah Subur Berkelanjutan. Edisi Ke-2. ITS Press.
Untari, R., dan Puspitaningtyas, D.M. 2006. Pengaruh Bahan Organik dan NAA terhadap Pertumbuhan Anggrek Hitam (Coelogyne Pandurata Lindl.) dalam Kultur In Vitro. J. Biodiversitas. 7(3): 344-348.
Utami, N.H., 2009. Kajian Sifat Fisik, Sifat Kimia dan Sifat Biologi Tanah Pasca Tambang Galian C pada Tiga Penutup Tanah (Studi Kasus Pertambangan
Pasir (Galian C) di Desa Gumulung Tonggoh, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Utami, S.R., Agustina, C., Wicaksono, K.S., Prasojo, B.D., dan Hanifa, H. 2017. Utilization of Locally Avialable Organic Matter to Improve Chemical
Properties of Pyroclastic Materials from Mt. Kelud of East Java. J. Degraded and Mining Lands Management 4(2): 717-7.
Utami, S.R., Hairiah, K., Supriyadi dan van Noordwjik, M. 2002. Pemanfaatan
Bahan Organik Insitu (Tithonia diversifolia dan Tephrosia candida) untuk Meningkatkan Ketersediaan Fosfor pada Andisols. Dalam Majalah Ilmiah
Pertanian : Agron