PENGORGANISASIAN KOMUNITAS DALAM...
Transcript of PENGORGANISASIAN KOMUNITAS DALAM...
Nurulitha Andini
Pengorganisasian Komunitas dalam Pengembangan Agrowisata di Desa Wisata Studi Kasus: Desa Wisata Kembangarum,
Kabupaten Sleman
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 24 No. 3, Desember 2013, hlm.173 - 188
173
PENGORGANISASIAN KOMUNITAS DALAM PENGEMBANGAN
AGROWISATA DI DESA WISATA
STUDI KASUS: DESA WISATA KEMBANGARUM, KABUPATEN
SLEMAN
Nurulitha Andini
Australia Indonesia Partnership for Decentralization
Gedung A (Raden Prawiro) Lantai 5 Jalan Dr. Wahidin No. 1 Jakarta
Email: [email protected]
Abstrak
Dalam perencanaan dan pengembangan agrowisata yang berkelanjutan dan berbasis
komunitas, prinsip yang selalu dipengang adalah adanya peran serta masyarakat lokal. Desa
Wisata Kembangarum merupakan salah satu desa wisata di Kabupaten Sleman yang berhasil
menerpkan pengembangan agrowisata yang berbasis komunitas, khususnya dalam hal
pelibatan masyarakat. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menjelaskan
pengorganisasian komunitas yang terjadi dalam pengembangan agrowisata di Desa Wisata
Kembangarum. Sementara metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif dan kuantitatif dengan pendekatan single case study. Hasil analisis menemukan
bahwa proses pengorganisasian komunitas dalam pengembangan agrowisata ini merupakan
suatu siklus yang terdiri dari beberapa tahap, yakni tahap integrasi, pemetaan isu, potensi, dan
permasalahan, perancangan tindakan bersama, implementasi kegiatan, monitoring dan
evaluasi, refleksi, dan adanya feedback untuk kembali melakukan pemetaan isu, potensi, dan
permasalahan terkait Desa Wisata Kembangarum. Keberadaan Desa Wisata Kembangarum
juga dianggap berhasil meningkatkan kapasitas pengorganisasian komunitas Desa Wisata
Kembangarum dalam mengembangkan agrowisata, jika membandingkan antara periode
sebelum dan setelah berdirinya Desa Wisata Kembangarum.
Kata Kunci: agrowisata, pengorganisasian komunitas, desa wisata, kapasitas komunitas
Abstract
In planning and sustainable development of agro-tourism and community-based, which is
always held the principle is the participation of local communities. Kembangarum Tourism
Village is one of the tourist village in Sleman district that successfully implement community-
based ecotourism development, particularly in terms of community engagement. The purpose
of this study was to describe community organizing that occurs in the development of agro-
tourism in Kembangarum Rural Tourism. While the methods used in this study is qualitative
and quantitative methods with a single case study approach. The analysis finds that the process
of organizing the community in the development of agro-tourism is a cycle that consists of
several stages, namely the stage of integration, mapping issues, potential, and problems, the
design of joint action, activity implementation, monitoring and evaluation, reflection, and the
absence of feedback to re-mapping issues, potential, and problems related to Kembangarum
Tourism Village. The existence of Village Tourism Kembangarum also considered successful
in increasing the capacity of community organizing Kembangarum Tourism Village in
developing agrotourism, when comparing the periods before and after the establishment of the
Tourism Village Kembangarum.
Keywords: ecotourism, community organizing, tourism village, community capacity
1. Pendahuluan
Agrowisata merupakan salah satu bentuk dari
rural tourism yang menawarkan kegiatan
pertanian sebagai daya tarik wisata serta
melibatkan penduduk lokal dalam perencanaan
hingga pengelolaan kawasan agrowisata.
Menurut Jolly dan Reynolds (2005), agrowisata
adalah suatu bisnis yang dilakukan oleh para
petani yang bekerja di sektor pertanian bagi
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 21/No. 3 Desember 2013
174
kesenangan dan edukasi para pengunjung.
Agrowisata adalah suatu bisnis yang dilakukan
oleh para petani yang bekerja di sektor
pertanian bagi kesenangan dan edukasi para
pengunjung. Agrowisata menghadirkan potensi
sumber pendapatan dan meningkatkan
keuntungan masyarakat. Pengunjung kawasan
agrowisata dapat berhubungan langsung dengan
para petani dan mendukung peningkatan
produk-produk pertanian secara tidak langsung.
Salah satu prinsip pengembangan agrowisata
yang berkelanjutan adalah adanya partisipasi
masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat
lokal, terutama penduduk asli yang bermukim
di kawasan wisata, menjadi salah satu pemain
kunci dalam pariwisata, karena sesungguhnya
merekalah yang akan menyediakan sebagian
besar atraksi sekaligus menentukan kualitas
produk wisata (Damanik dan Weber, 2006).
Peran serta masyarakat ini menjadi satu hal
yang penting dalam upaya menjaga keutuhan
alam dan sebagai salah satu alternatif dalam
merespon tuntutan dan urgensi pengembangan
pariwisata yang berkelanjutan.
Salah satu pendekatan pengembangan
agrowisata berbasis komunitas adalah dengan
desa wisata. Pengembangan wilayah perdesaan
tidak lagi hanya mengandalkan sektor pertanian
secara murni, tetapi berkembang ke arah
penyajian kegiatan wisata di sektor pertanian.
Berangkat dari hal tersebut, Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata membuat suatu
program yang bernama Pariwisata Inti Rakyat
(PIR) atau dengan istilah lainnya yaitu
community-based tourism. Menurut PIR, Desa
Wisata adalah suatu kawasan pedesaan yang
menawarkan keseluruhan suasana keaslian
pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi,
sosial budaya, adat istiadat, keseharian,
memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata
ruang desa yang khas, atau kegiatan
perekonomian yang unik dan menarik serta
mempunyai potensi untuk dikembangkannya
berbagai komponen kepariwisataan, misalnya:
atraksi, akomodasi, makanan-minuman, dan
kebutuhan wisata lainnya.
Salah satu obyek wisata unggulan di Kabupaten
Sleman, Propinsi D.I. Yogyakarta adalah Desa
Wisata Kembangarum. Masyarakat
diberdayakan untuk dapat mengelola sumber
daya yang dimiliki. Selain itu, Desa Wisata
Kembangarum ini merupakan salah satu desa
wisata mandiri menurut klasifikasi Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman,
dimana sistem pengelolaannya sudah baik.
Keberhasilan pemberdayaan masyarakat dalam
pengembangan agrowisata di Desa Wisata
Kembangarum, Kabupaten Sleman, ini menjadi
salah satu kunci peningkatan kapasitas
komunitas melalui pendekatan
pengorganisasian komunitas. Pemberdayaan
masyarakat dalam proses perencanaan ini
sebagai respon akan urgensi perencanaan
kawasan agrowisata yang berkelanjutan.
Dengan demikian, diperlukan pemahaman
mengenai pengorganisasian komunitas yang
terjadi dalam pengembangan agrowisata di
Desa Wisata Kembangarum.
Penelitian ini terdiri dari lima bagian utama.
Bagian pertama membahas latar belakang dan
tujuan penelitian. Bagian kedua membahas
tinjauan literature terkait konsep agrowisata
berbasis masyarakat dan pengorganisasian
komunitas. Bagian ketiga membahas
metodologi penelitian. Bagian keempat berisi
analisis pengorganisasian komunitas dalam
pengembangan agrowisata di Desa Wisata
Kembangarum, Kabupaten Sleman. Bagian
terakhir berisi kesimpulan.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 21/No. 3 Desember 2013
175
2. Konsep Agrowisata Berbasis
Masyarakat dan Pengorganisasian
Komunitas
2.1 Konsep Agrowisata Berbasis
Masyarakat
Agrowisata adalah salah satu bentuk wisata
yang mengandalkan sektor pertanian atau
dimana wisatawan dapat mempelajari
kehidupan di suatu wilayah pertanian (Akpinar,
2003). Pengertian agrowisata dalam Surat
Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan
Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi
Nomor: 204/KPTS/30HK/050/4/1989 dan
Nomor KM. 47/PW.DOW/MPPT/89 Tentang
Koordinasi Pengembangan Wisata Agro,
didefinisikan sebagai suatu bentuk kegiatan
pariwisata yang memanfaatkan usaha agro
sebagai obyek wisata dengan tujuan untuk
memperluas pengetahuan, perjalanan, rekreasi
dan hubungan usaha dibidang pertanian.
Menurut Jolly dan Reynolds (2005), agrowisata
adalah suatu bisnis yang dilakukan oleh para
petani yang bekerja di sektor pertanian bagi
kesenangan dan edukasi para pengunjung.
Agrowisata menghadirkan potensi sumber
pendapatan dan meningkatkan keuntungan
masyarakat. Pengunjung kawasan agrowisata
dapat berhubungan langsung dengan para
petani dan mendukung peningkatan produk-
produk pertanian secara tidak langsung. Lebih
lanjut, Lobo et all (1999) menjelaskan bahwa
pembangunan agrowisata akan menawarkan
kesempatan bagi petani lokal untuk
meningkatkan sumber pendapatan mereka dan
meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidup
sejalan dengan keberlanjutan dari kegiatan
tersebut. Selain itu, melalui pengembangan
agrowisata yang menonjolkan budaya lokal
dalam memanfaatkan lahan, kita bisa
meningkatkan pendapatan petani sambil
melestarikan sumber daya lahan, serta
memelihara budaya maupun teknologi lokal
(indigenous knowledge) yang umumnya telah
sesuai dengan kondisi lingkungan alaminya
(Utama, 2011).
Pembangunan suatu kawasan agrowisata dapat
berperan dalam peningkatan kesejahteraan
masyarakat lokal dan pengentasan kemiskinan.
Hal ini dapat dikategorikan sebagai
pengembangan ekonomi lokal atau Local
Economic Development. Strategi
pengembangan ekonomi lokal tersebut perlu
melibatkan masyarakat perdesaan secara
langsung dalam perencanaan, pelaksanaan,
melakukan evaluasi, dan memonitor
pembangunan desa wisata mereka (Yoeti,
2008). Melalui pendekatan ini, diharapkan
pembangunan pariwisata sebagai suatu industri
tidak lagi hanya menjadi milik investor saja
(Yoeti, 2008). Masyarakat lokal, terutama
penduduk asli yang bermukim di kawasan
wisata, menjadi salah satu pemain kunci dalam
pariwisata, karena sesungguhnya merekalah
yang akan menyediakan sebagian besar atraksi
sekaligus menentukan kualitas produk wisata
(Damanik dan Weber, 2006).
Agrowisata berbasis masyarakat tampak
anggota masyarakat mengorganisasi diri dan
mengoperasikan bisnis agrowisata tersebut
berdasarkan aturan-aturan serta pembagian
tugas dan kewenangan yang telah mereka
sepakati bersama. Sumber daya, terutama lahan
usaha tani tetap menjadi milik petani secara
individual tetapi masing-masing dari mereka
dapat saja menyerahkan pengelolaan asetnya
kepada kelompok atau pihak manajemen yang
mereka tentukan dengan imbalan keuntungan
yang proportional. Aset kapital bersama mereka
gunakan untuk membangun infrastruktur dan
fasilitas dasar yang menjadi persyaratan
minimal pengembangan pusat agrowisata
tersebut (Budiarsa, 2011 dalam Saridarmini,
2011). Beberapa aspek kunci dalam
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 21/No. 3 Desember 2013
176
pengembangan agrowisata berbasis masyarakat
adalah masyarakat membentuk panitia untuk
pengelolaan agrowista, local ownership,
homestay sebagai sarana akomodasi, pemandu
orang setempat, pengelolaan dan pemeliharaan
menjadi tanggung jawab masyarakat,
keberlanjutan dari sisi sosial dan lingkungan,
prinsip daya dukung lingkungan diperhatikan,
teknologi ramah lingkungan, dan ecotourism
conservancies (Saridarmini, 2011).
Salah satu pendekatan pengembangan
agrowisata berbasis komunitas adalah dengan
desa wisata. Pengembangan wilayah perdesaan
tidak lagi hanya mengendalkan sektor pertanian
secara murni, tetapi berkembang ke arah
penyajian kegiatan wisata di sektor pertanian.
Berangkat dari hal tersebut, Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata membuat suatu
program yang bernama Pariwisata Inti Rakyat
(PIR) atau dengan istilah lainnya yaitu
community-based tourism. Menurut PIR, Desa
Wisata adalah suatu kawasan pedesaan yang
menawarkan keseluruhan suasana yang
mencerminkan keaslian pedesaan baik dari
kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat
istiadat, keseharian, memiliki arsitektur
bangunan dan struktur tata ruang desa yang
khas, atau kegiatan perekonomian yang unik
dan menarik serta mempunyai potensi untuk
dikembangkannya berbagai komponen
kepariwisataan, misalnya : atraksi, akomodasi,
makanan-minuman, dan kebutuhan wisata
lainnya.
2.2 Kapasitas Komunitas dalam
Pengorganisasian Komunitas
Setiap komunitas memiliki kapasitas dan modal
sosialnya masing-masing. Chaskin (2001)
menyatakan bahwa kapasitas komunitas
merupakan hasil interaksi dari modal manusia,
sumber daya organisasi, dan modal sosial yang
dimiliki oleh suatu komunitas yang dapat
berpengaruh terhadap pemecahan persoalan
secara kolektif dan meningkatkan serta
memelihara kesejahteraan dari suatu
komunitas. Suatu komunitas juga bersifat
dinamis, maka kapasitas dari suatu komunitas
juga dapat berubah-ubah. Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi kapasitas dari suatu
komunitas, antara lain (Chaskin, 2001):
1. Keberadaan sumber daya mulai dari
keahlian dari setiap individu hingga
kekuatan organisasi dalam mengakses
sumber daya keuangan;
2. Jaringan hubungan;
3. Kepemimpinan;
4. Dukungan untuk pergerakan dimana setiap
anggota komunitas dapat berpartisipasi
dalam tindakan kolektif dan penyelesaian
persoalan.
Lebih jauh, Chaskin 2001) mengidentifikasi
karakteristik kapasitas komunitas sebagai
berikut:
1. Rasa memiliki dalam komunitas,
menunjukkan tingkat keterhubungan
anggota komunitas dan pengakuan terhadap
keadaan yang saling menguntungkan
(McMillan dan Chavis, 1986 dalam
Chaskin, 2001).
2. Komitmen, menjelaskan tanggung jawab
yang dimiliki oleh setiap anggota komunitas
dalam keikutsertaannya dalam komunitas
tersebut.
3. Kemampuan untuk menyelesaikan masalah,
yakni kemampuan mengubah komitmen
menjadi tindakan penyelesaian masalah.
4. Akses terhadap sumber daya, kemampuan
anggota komunitas untuk membuat
hubungan instrumental dalam konteks yang
lebih luas dan mengakses berbagai sumber
daya yang tersedia.
Pengembangan kapasitas komunitas
memerlukan interaksi yang intensif dari
komponen-komponen kapasitas komunitas.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 21/No. 3 Desember 2013
177
Dari hal tersebut, pengembangan kapasitas
komunitas fokus kepada empat strategi
pengembangan, antara lain (Chaskin, 2001):
1. Leadership Development
2. Organizational Development
3. Community Organizing
4. Interorganizational Collaboration
Community organizing merupakan salah satu
cara yang dibutuhkan untuk meningkatkan
kapasitas sosial dari suatu komunitas.
Pengorganisasian komunitas menawarkan
transformasi sosial sebagai berikut (Sinclair,
2006):
1. Memotivasi masyarakat untuk mengambil
tindakan yang selaras dengan nilai-nilai dan
kepercayaan mereka.
2. Menghubungkan komunitas dengan hasrat
dan mengakui adanya generatif kekuatan
amarah.
3. Membawa individu-individu yang terisolasi
yang berjuang dalam kondisi yang sama ke
dalam sebuah komunitas bersama dengan
yang lainnya.
Lebih lanjut oleh Stall dan Stoecker (1998),
pengorganisasian komunitas merupakan sebuah
proses pembangunan komunitas yang dapat
dimobilisasi. Hal ini meliputi membangun
jaringan orang-orang, mengidentifikasi cita-cita
bersama, dan siapa yang dapat terlibat dalam
tindakan/aksi sosial untuk mencapai cita-cita
bersama tersebut. Pengorganisasian komunitas
mengacu kepada keseluruhan proses
pengorganisasian hubungan, pengidentifikasian
isu, mobilisasi orang untuk isu tersebut, serta
mengurus dan mempertahankan organisasi.
Pengorganisasian komunitas juga merupakan
suatu proses membangun kekuatan yang
melibatkan orang-orang dalam mendefinisikan
persoalan-persoalan suatu komunitas,
mendefinisikan persoalan yang ingin
diselesaikan, solusi yang diangkat, dan metode
yang digunakan untuk melaksanakan solusi
persoalan komunitas tersebut.
2.3 Proses Pengorganisasian Komunitas
dalam Pengembangan Agrowisata di
Desa Wisata
Pengorganisasian komunitas merupakan salah
satu proses yang memobilisasi komunitas untuk
mencapai atau berbuat tindakan bersama demi
kepentingan komunitas dan memberikan
dampak bagi komunitasnya. Dalam konteks
pengembangan kawasan agrowisata berbasis
komunitas, diperlukan juga suatu konsep
pemahaman mengenai tahapan-tahapan dimana
masyarakat itu dilibatkan. Peran masyarakat
juga cukup penting mulai dari tahap
perencanaan hingga pelaksanaan dan evaluasi
kegiatan agrowisata. Pengorganisasian
komunitas dalam pengembangan agrowisata
diperlukan untuk melihat sejauh apa peran
komunitas dalam mengembangkan agrowisata
ini.
Proses pengorganisasian komunitas ini dapat
meningkatkan modal sosial baik bagi individual
dengan cara meningkatkan dan memperkuat
relasi di antara sesama dan dengan membangun
kepercayaan dan mengakui kepentingan
bersama (Chaskin, 2001). Mukhotib MD (2012)
mendeskripsikan tahapan atau langkah-langkah
yang dapat ditempuh dalam pengorganisasian
komunitas seperti pada Gambar 1. Proses
pengorganisasian komunitas ini dilakukan
dengan melibatkan aktor luar atau pihak
organizer yang bekerja sama dengan penduduk
setempat.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 21/No. 3 Desember 2013
178
Gambar 1. Proses Pengorganisasian Komunitas
Sumber: Mukhotib MD, 2012
Berdasarkan kajian literatur di atas, dapat
disintesiskan indikator-indikator terkait proses
pengorganisasian komunitas dan kapasitas
pengorganisasian komunitas dalam
pengembangan agrowisata. Indikator yang
menjadi tahapan atau proses pengorganisasian
komunitas dalam pengembangan agrowisata
dijelaskan melalui gambar 1. Berikut adalah
penjelasan tahapan-tahapannya.
1. Integrasi
Proses integrasi ini merupakan langkah awal
yang penting untuk memastikan pihak
inisiator dari luar yang ikut
mengorganisasikan masyarakat dapat
diterima dan dipercaya oleh masyarakat
untuk bekerja bersama-sama. Dalam tahap
integrasi ini perlu juga dipertimbangkan opsi
pengembangan suatu kawasan menjadi
kawasan agrowisata dengan melihat potensi
alam yang dimilikinya dan prasyarat-
prasyarat lainnya.
2. Pemetaan Isu, Permasalahan, dan Potensi
Komunitas Terkait Agrowisata
Langkah ini dilakukan secara kolektif dan
bersama-sama dengan masyarakat. Berbagai
cara dapat dilakukan untuk memperoleh peta
isu, permasalahan, dan potensi komunitas,
seperti dengan diskusi atau survey lapangan
serta menganalisis target group dari
pengembangan kawasan agrowisata ini.
3. Merancang Tindakan-Tindakan Bersama
Tindakan kolektif ini disusun berdasarkan
isu, permasalahan, dan potensi
pengembangan agrowisata yang telah
dirumuskan sebelumnya. Pendiskusian dan
perancangan tindakan kolektif ini dapat
dilakukan dalam bentuk musyawarah atau
rapat dengan tokoh-tokoh komunitas yang
dianggap mampu merepresentasikan
komunitas secara keseluruhan. Tindakan
kolektif ini diambil untuk mencapai tujuan
bersama komunitas dalam pengembangan
agrowisata.
4. Implementasi Kegiatan Pengembangan
Agrowisata
Pada tahapan ini juga diharapkan adanya
partisipasi dari setiap anggota komunitas.
Pada tahap implementasi ini juga perlu
dipastikan adanya pengerahan sumber daya
untuk kepentingan komunitas dalam
pengembangan agrowisata.
5. Monitoring dan Evaluasi
Langkah ini penting dilakukan agar
kesalahan-kesalahan dalam perancangan
kegiatan pengembangan agrowisata tidak
dilakukan lagi di masa mendatang dan
komunitas semakin mengenal langkah-
langkah yang diperlukan untuk
meningkatkan kesejahteraan bagi
komunitasnya dan dalam pengembangan
agrowisata.
6. Refleksi
Pada tahap ini, refleksi menggambarkan
kemampuan komunitas dalam melihat nilai-
nilai positif dan negatif dari proses
pengorganisasian komunitas dalam
pengembangan agrowsata yang telah
dilakukan.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 21/No. 3 Desember 2013
179
7. Feedback
Tahap ini sangat penting untuk menjaga
keberlanjutan dari pengembangan kawasan
agrowisata. Masukan-masukan hasil dari
pengawasan, evaluasi, dan refleksi
masyarakat dapat digunakan untuk
meningkatkan kualitas dan meningkatkan
manfaat dan kesejahteraan masyarakat dari
adanya kegiatan agrowisata tersebut.
Gambar 2. Proses Pengorganisasian Komunitas dalam Pengembangan Kawasan Agrowisata di Desa
Wisata Kembagarum
Sumber: Hasil Analisis, 2012
Pengorganisasian komunitas dalam
pengembangan agrowisata di Desa Wisata
Kembangarum merupakan suatu proses yang
tertutup dan memerlukan aktor yang berbeda-
beda dalam setiap tahapannya.
Pengorganisasian komunitas merupakan suatu
bentuk mobilisasi komunitas untuk melakukan
tindakan kolektif. Proses ini menolong
masyarakat agar paham dengan persoalan
bersama, dan bersama-sama menyelesaikannya.
Proses ini dibangun dari keterikatan sosial
untuk melakukan tindak bersama (collective
action). Proses pengorganisasian masyarakat
ini bertujuan untuk membangun kapasitas untuk
menciptakan perubahan dan pembangunan.
Dalam pengembangan agrowisata, masyarakat
lokal pun harus dapat dimobilisasi agar mampu
melakukan tindakan-tindakan kolektif yang
diperlukan untuk mencapai tujuan bersama
dalam pengembangan agrowisata di desa
wisata. Berdasarkan sintesis kajian literatur,
indikator kapasitas pengorganisasian komunitas
dalam pengembangan agrowisata di desa wisata
yaitu:
1. Adanya proses mobilisasi komunitas Desa
Wisata Kembangarum;
2. Adanya collective action yang dilakukan
untuk mengembangkan agrowisata di Desa
Wisata Kembangarum; dan
3. Adanya outcome serta manfaat yang
diterima oleh masyarakat Desa Wisata
Kembangarum akibat dari kegiatan
agrowisata tersebut.
3. Metode Penelitian
Pada penelitian kali ini, digunakan pendekatan
penelitian single case study. Hal ini
dimaksudkan untuk melihat sejauh mana
kerangka konseptual dan teoritis tersebut
diimplementasikan di lapangan. Metode
penelitan yang digunakan merupakan gabungan
antara metode penelitian kualitatif dan
kuantitatif. Untuk menjawab sasaran penelitian,
maka dirumuskanlah indikator dan parameter
terkait menurut kajian literatur, sehingga
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 21/No. 3 Desember 2013
180
menghasilkan perangkat survey yang
digunakan dalam mengumpulkan data. Kajian
literatur yang dilakukan berfokus kepada
konsep pengorganisasian komunitas dan
pengembangan agrowisata.
Metode pengambilan data dengan kuisioner
digunakan sebagai salah satu upaya untuk
menjawab indikator-indikator kapasitas
pengorganisasian komunitas dalam
mengembangkan agrowisata dengan target
responden masyarakat Desa Wisata
Kembangarum. Populasi masyarakat Desa
Wisata Kembangarum sejumlah 81 KK, dengan
spesifikasi 48 KK di RT 04/ RW 26 dan 31 KK
di RT 04/RW 26, Dusun Kembangarum.
Setelah survey lapangan dan rekapitulasi
kuisioner yang berhasil disebar, diperoleh
bahwa responden yang berhasil didapat setelah
survey lapangan berjumlah 61 KK, atau sekitar
75,3% dari total populasi Desa Wisata
Kembangarum. Hal ini disebabkan oleh
kesulitan menemui responden dan keterbatasan
waktu yang dimiliki oleh surveyor. Namun
demikian, hasil survey tersebut dinilai cukup
representatif untuk menggambarkan
karakteristik perubahan kapasitas
pengorganisasian komunitas Desa Wisata
Kembangarum.
Langkah selanjutnya yang diambil setelah
pengumpulan data adalah analisis data.
Terdapat tiga metode analisis yang digunakan
dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Metode Analisis Deskriptif Kualitatif
Metode analisis deskrispsi kualitatif
digunakan untuk memberikan gambaran
yang jelas mengenai karakteristik
agrowisata, masyarakat, dan proses
perencanaan yang berlangsung di
DesaWisata Kembangarum, Donokerto.
2. Metode Analisis Statistik Deskriptif
Dalam penelitian kali ini, metode analisis
statistik deskriptif digunakan untuk
pengolahan data yang berasal dari kuisioner
indikator kapasitas pengorganisasian
komunitas dalam pengembangan
agrowisata. Analisis yang digunakan
menggunakan pembobotan yang sama
karena dari literatur-literatur terkait tidak
ada yang menyatakan penekanan atau fokus
tertentu pada masing-masing indikator yang
telah dibuat. Keluaran yang diharapkan dari
metode penelitian ini adalah adanya suatu
deskripsi mengenai karakteristik kapasitas
pengorganisasian komunitas dalam
mengembangkan agrowisata.
3. Metode Content Analysis
Metode ini dilakukan untuk menjawab
sasaran proses pengorganisasian komunitas
serta kapasitas pengorganisasian komunitas
dalam pengembangan agrowisata di Desa
Wisata Kembagarum. Hasil wawancara
yang telah dilakukan selanjutnya dilakukan
proses interpretasi dan reduksi data
menggunakan coding.
4. Analisis
Tema pendidikan merupakan tema yang dibawa
dalam pengembangan Desa Wisata
Kembangarum. Desa Wisata Kembangarum
menawarkan beragam wisata yang dapat
dinikmati oleh para tamu, contohnya antara lain
wisata pertanian, perkebunan, kuliner
tradisional, permainan tradisional, outbond, dan
wisata bakti sosial. Pemilihan alternatif
kegiatan ini juga sesuai dengan potensi
agrowisata dan komunitas yang dimiliki.
Wisatawan dapat dengan bebas menentukan
jenis-jenis kegiatan wisata apa saja yang dapat
dinikmati selama berada di Desa Wisata
Kembangarum.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 21/No. 3 Desember 2013
181
Gambar 3. Kegiatan Penyambutan Wisatawan
di Desa Wisata Kembangarum
Sumber: Hasil Observasi, 2012
Gambar 4. Wisata Pertanian Bagi Para Tamu
di Desa Wisata Kembangarum
Sumber: Hasil Observasi, 2012
Analisis dalam penelitian kali ini terbagi ke
dalam dua hal yakni analisis proses
pengorganisasian komunitas dan analisis
dinamika kapasitas pengorganisasian
komunitas dalam pengembangan agrowisata di
Desa Wisata Kembangarum.
4.1 Analisis Proses Pengorganisasian
Komunitas dalam Pengembangan
Agrowisata di Desa Wisata
Kembangarum
Dalam proses pengorganisasian komunitas di
Desa Wisata Kembangarum ini melibatkan
banyak aktor, baik itu dari internal maupun
eksternal desa. Aktor-aktor ini menjadi kunci
keberhasilan pengembangan agrowisata di Desa
Wisata Kembangarum. Proses ini dilakukan
berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan
sebelumnya, sehingga menghasilkan enam
tahapan pengorganisasian komunitas. Tahapan
tersebut antara lain adalah tahap integrasi, tahap
pemetaan isu, permasalahan, dan potensi
komunitas, tahap perancangan tindakan
bersama, tahap implementasi kegiatan, tahap
monitoring dan evaluasi, tahap refleksi, dan
tahap feedback.
1. Integrasi
Tahap yang pertama adalah integrasi, dimana
tahap ini merupakan tahap inisiasi awal antara
stakeholder yang terkait dalam pengembangan
agrowisata di Desa Wisata Kembangarum.
Dalam tahap ini, biasanya akan ada pihak
organizer atau inisiator dari luar Desa Wisata
Kembangarum. Tahap integrasi ini juga
menekankan akan pentingnya proses peleburan
antara pihak inisiator dari luar dengan
masyarakat lokal di Desa Wisata
Kembangarum. Dalam konteks pengembangan
agrowisata di Desa Wisata Kembangarum ini
yang menjadi pihak inisiator luar adalah Bapak
Herry Kustriyatmo selaku pemilik Sanggar
Lukis Pratista. Kolaborasi dengan masyarakat
sangat penting untuk menciptakan rasa
kepercayaan antara Bapak Herry selaku
inisiator dari luar dengan tokoh-tokoh
komunitas di Desa Wisata Kembangarum
seperti Bapak Masahid, Ibu Sri Sujarwati,
Bapak Mujiharjo, dan Bapak Ngadiman.
Keluaran utama dari tahap integrasi ini adalah
adanya kepercayaan masyarakat terhadap aktor-
aktor yang nantinya akan terlibat dalam
pengembangan Desa Wisata Kembangarum.
Proses meraih kepercayaan ini tidak mudah
mengingat adanya keterlibatan pihak luar desa
dalam pengembangan agrowisata. Keberhasilan
peraihan kepercayaan masyarakat ini
ditunjukkan dengan adanya persetujuan kerja
sama antara masyarakat Desa Wisata
Kembangarum dengan Bapak Herry dari
Sanggar Melukis Pratista sebagai pengembang
desa wisata. Persetujuan kerja sama tersebut
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 21/No. 3 Desember 2013
182
ditindaklanjuti dengan adanya langkah-langkah
strategis perencanaan Desa Wisata
Kembangarum bersama dengan masyarakat
setempat. Akhirnya pada 27 Juli 2005,
terbentuklah suatu kerja sama antara pihak
Sanggar Lukis Pratista dengan warga Desa
Wisata Kembangarum dan ditandai dengan
adanya lembaga pengelola Desa Wisata
Kembangarum yang diketuai oleh Bapak
Masahid.
2. Pemetaan Isu, Permasalahan, dan Potensi
Komunitas Terkait Agrowisata
Langkah selanjutnya adalah memetakan isu,
permasalahan, dan potensi yang dimiliki oleh
Desa Wisata Kembangarum. Proses
pengorganisasian komunitas pada tahap ini
melibatkan setiap anggota komunitas dan
memobilisasi mereka untuk dapat mengetahui
dan memetakan isu, permasalahan, dan potensi
yang dimiliki oleh komunitas Desa Wisata
Kembangarum dalam mengembangkan
agrowisatanya. Pada tahapan ini, ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan, yakni sebagai
berikut:
1. Keberadaan potensi alami
2. Kesiapan infrastruktur penunjang kegiatan
agrowisata
3. Karakteristik dan kapasitas kelompok-
kelompok komunitas dalam
pengembangan agrowisata.
Pemetaan yang dilakukan ini tidak dilakukan
oleh sekelompok tertentu atau pengembangnya
saja. Pemetaan ini perlu dilakukan oleh segenap
anggota komunitas. Metodenya bisa bermacam-
macam, mulai dari diskusi hingga ke survey
lapangan. Di Desa Wisata Kembangarum ini
dilakukan proses diskusi dalam memetakan isu,
permasalahan, dan potensi yang dimiliki oleh
komunitas. Tak hanya itu, anggota komunitas
juga dilibatkan dalam merumuskan tujuan
bersama pengembangan Desa Wisata
Kembangarum. Pelibatan anggota masyarakat
ini dapat sebagai narasumber, proses diskusi,
brainstorming, hingga pelaksanaan survey
lapangan. Pelibatan anggota komunitas ini juga
dalam rangka memobilisasi komunitas, yang
menjadi salah satu unsur pengorganisasian
komunitas.
3. Merancang Tindakan-Tindakan Bersama
Tahap selanjutnya adalah perancangan tindakan
bersama. Tahapan ini juga termasuk ke dalam
tahap mobilisasi komunitas, karena diperlukan
adanya peran dari setiap anggota komunitas
dalam mengembangkan agrowisata di Desa
Wisata Kembangarum Dalam tahapan ini,
terdapat dua hal yakni mekanisme perancangan
tindakan bersama dan pelibatan anggota
komunitas dalam perancangan tindakan
bersama. Di Desa Wisata Kembangarum, dalam
merencanakan suatu tindakan-tindakan, baik itu
yang bersifat preventif maupun responsif,
dilakukan dengan metode diskusi atau
musyawarah. Musyawarah pengembangan
agrowisata tersebut dilakukan secara rutin,
yakni setiap 35 hari sekali, yang juga
melibatkan anggota komunitas. Selain itu, rapat
yang dilaksanakan juga terbuka bagi siapapun
di luar pengurus Desa Wisata Kembangarum.
Warga dapat menyampaikan aspirasinya dan
ikut merancnag tindakan bersama yang ingin
dilakukan demi kemajuan Desa Wisata
Kembangarum. Walaupun intensitas rapat baru
tinggi menjelang adanya tamu, tetapi
masyarakat Desa Wisata Kembangarum dapat
dikatakan telah menyadari pentingnya
berdiskusi, berdemokrasi, dan pembentukan
konsensus dalam setiap perencanaan dan
pengambilan keputusan terkait agrowisata.
4. Implementasi Kegiatan Pengembangan
Agrowisata
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 21/No. 3 Desember 2013
183
Tahap selanjutnya setelah berhasil menyusun
dan merancang tindakan bersama adalah
tahapan implementasi kegiatan. Tahap
implementasi kegiatan ini juga mencerminkan
adanya mobilisasi komunitas dengan
memanfaatkan sumber daya yang ada di Desa
Wisata Kembangarum. Tahap implementasi
kegiatan ini lebih berfokus kepada aktivitas-
aktivitas wisata yang dilakukan oleh
masyarakat Desa Wisata Kembangarum
sebagai penyedia layanan agrowisata. Selain
itu, fokus tahapan implementasi kegiatan ini
adalah pembagian peran yang dilakukan dari
setiap anggota komunitas Desa Wisata
Kembangarum. Tabel 1 menjelaskan mengenai
pembagian peran bagi setiap kelompok dalam
komunitas di Desa Wisata Kembangarum.
Pembagian peran setiap kelompok yang ada di
Desa Wisata Kembangarum ini dilakukan
berdasarkan analisis pemetaan kemampuan,
kapasitas, dan kapabilitas dari setiap kelompok
untuk dapat berkontribusi secara nyata dalam
pegembangan agrowisata di Desa Wisata
Kembangarum ini.
Tabel 1. Daftar Pembagian Peran di Desa Wisata Kembangarum
No Lingkup Aktor Peran
1
Internal
Ibu-ibu PKK Mengurusi bagian wisata kuliner
2 Bapak-bapak Mengurus bagian pentas seni budaya dan kegiatan wisata (pertanian,
perkebunan, dan peternakan)
3 Pemuda / Karang Taruna Koordinator kegiatan wisata dan sebagai pemandu wisata
4
Eksternal
Perangkat Desa Donokerto Fasilitator dan penghubung dengan stakeholder di tingkat atasnya
5 Perangkat Kecamatan Turi Fasilitator forum komunikasi desa wisata
6 Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Sleman
Fasilitator dan membantu memberi pelatihan terkait pengembangan desa wisata
(termasuk bantuan dana)
Sumber: Hasil Analisis, 2012
Pembagian peran ini sangat penting, terutama
agar terciptanya rasa kepemilikan komunitas
terhadap Desa Wisata Kembangarum beserta
kegiatan agrowisatanya. Pembagian peran ini
juga menyesuaikan dengan paket wisata yang
ditawarkan. Seperti misalnya wisata offroad
yang dikelola oleh para pemuda/Karang Taruna
atau wisata seni dan budaya tradisional yang
dikelola oleh bapak-bapak. Pembagian peran ini
juga disesuaikan dengan kapasitas yang
dimiliki oleh setiap kelompok-kelompok dalam
masyarakat Desa Wisata Kembangarum ini.
Selain dari aktor internal, terdapat pula aktor
eksternal yang turut mengembangkan dan
membantu pengimplementasian kegiatan-
kegiatan agrowisata di Desa Wisata
Kembangarum. Aktor-aktor ini meliputi
pemerintah dari tingkat desa hingga pusat.
Perannya pun berbeda-beda sesuai dengan
kapasitas dan kemampuan kelembagaannya.
Pada umumnya, aktor dari pihak pemerintah ini
membantu implementasi kegiatan agrowisata di
Desa Wisata Kembangarum ini dalam bentuk
pelatihan-pelatihan dan bantuan dana
pengembangan. Peran pihak pemerintah ini
memang secara tidak langsung dan terkait
dengan kegiatan-kegiatan agrowisata di Desa
Wisata Kembangarum, tetapi kontribusi pihak
pemerintah dapat membantu mempersiapkan
masyarakat untuk mengembangkan kawasan
agrowisata menjadi lebih baik.
5. Monitoring dan Evaluasi
Setelah kegiatan-kegiatan terkait agrowisata
tersebut dilakukan, maka tahapan selanjutnya
adalah tahapan monitoring dan evaluasi.
Peninjauan tahapan monitoring dan evaluasi
kegiatan-kegiatan pengembangan agrowisata di
Desa Wisata Kembangarum ini dilihat
berdasarkan dari dua indikator, yakni adanya
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 21/No. 3 Desember 2013
184
mekanisme pemantauan dan pengawasan dan
adanya rekomendasi lanjutan pengembangan
agrowisata. Di Desa Wisata Kembangarum
sudah memiliki mekanisme rapat atau
musyawarah bulanan yang membahas
mengenai monitoring dan evaluasi keberjalanan
program-program wisata. Keluaran dari
mekanisme rapat atau musyawarah evaluasi
kegiatan ini adalah berupa rekomendasi
lanjutan yang perlu dilakukan. Salah satu
rekomendasi yang keluar hasil dari proses
monitoring dan evaluasi ini adalah perbaikan
infrastruktur pendukung kegiatan agrowisata
seperti homestay, perbaikan akses, variasi
permainan-permainan yang ditawarkan, dan
peningkatan kualitas dan kebersihan
lingkungan. Berbagai rekomendasi ini perlu
ditindaklanjuti lebih jauh agar peningkatan
kualitas pelayanan agrowisata di Desa Wisata
Kembangarum dapat lebih maksimal.
6. Refleksi
Kegiatan agrowisata di Desa Wisata
Kembangarum telah melalui setiap tahapan
pengembangan mulai dari integrasi hingga
pelaksanaan kegiatan serta monitoring dan
evaluasi kegiatan. Tahap selanjutnya yang tak
kalah penting adalah tahap refleksi. Tahap ini
menggambarkan keberterimaan masyarakat
terhadap kegiatan agrowisata yang telah
berjalan di Desa Wisata Kembangarum. Pada
tahap refleksi juga terlihat adanya nilai-nilai
positif dan manfaat yang diperoleh masyarakat
sebagai suatu dampak dari kegiatan agrowisata
di Desa Wisata Kembangarum.
Nilai positif dan manfaat dari pengembangan
agrowisata bagi masyarakat Desa Wisata
Kembangarum ini dapat dirasakan dalam hal
transformasi budaya dan pendidikan bagi
masyarakat, peningkatan kualitas dan
kebersihan lingkungan, dan peningkatan
perekonomian masyarakat. Keberadaan Desa
Wisata Kembangarum ini, bila dinilai secara
ekonomis, belum berkontribusi secara
signifikan bagi masyarakat setempat. Salah satu
penyebabnya adalah ketidakrutinan kedatangan
tamu ke Desa Wisata Kembangarum. Fluktuasi
kedatangan wisatawan inilah yang
menyebabkan pendapatan tambahan
masyarakat dari kegiatan di Desa Wisata
Kembangarum menjadi tidak tetap.
Pada saat ini, masyarakat telah mengalami
tahapan refleksi pada proses pengorganisasian
komunitas dalam pengembangan kawasan
agrowisata di Desa Wisata Kembangarum.
Masyarakat setempat telah menerima manfaat
yang diberikan dari adanya Desa Wisata
Kembangarum ini. Hasil refleksi masyarakat
tersebut dapat digunakan untuk merumuskan
kembali isu, permasalahan, dan potensi yang
dimiliki oleh masyarakat Desa Wisata
Kembangarum terkait dengan pengembangan
agrowisata berbasis komunitas. Di lain pihak,
terdapat dualisme visi dan misi yang dibawa
oleh para pengurus Desa Wisata
Kembangarum. Dualisme visi ini berasal dari
pihak inisiator internal dan eksternal Desa
Wisata Kembangarum seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya.
7. Feedback
Feedback merupakan suatu keluaran dari
tahapan monitoring dan evaluasi dan tahapan
refleksi dalam proses pengorganisasian
komunitas dalam pengembangan kawasan
agrowisata. Salah satu bentuk feedback adalah
adanya rekomendasi pengembangan kawasan
agrowisata. Rekomendasi ini muncul saat rapat
evaluasi rutin para pengurus Desa Wisata
Kembangarum. Rekomendasi ini tidak hanya
berisi hal-hal yang perlu ditingkatkan dalam
pemenuhan layanan agrowisata bagi
wisatawan, tetapi juga berisi keberterimaan
manfaat yang dirasakan oleh masyarakat
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 21/No. 3 Desember 2013
185
terhadap aktivitas di Desa Wisata
Kembangarum.
Evaluasi yang secara komprehensif dan
menyeluruh belum sepenuhnya dilakukan oleh
pihak-pihak yang berwenang, dalam hal ini
adalah pengurus Desa Wisata Kembangarum.
Evaluasi yang dilakukan masih bersifat evaluasi
kegiatan wisata saat ada kunjungan. Evaluasi
keberterimaan masyarakat masih belum
dilakukan secara formal dan sistematis. Meski
demikian, mulai ada keluhan-keluhan yang
diutarakan oleh masyarakat terkait dengan
manfaat yang diterima oleh masyarakat.
Dualisme visi dan misi dari para pihak dan
pengurus lembaga Desa Wisata Kembangarum
ini dapat berpotensi untuk menjadi
permasalahan tersendiri. Hal ini juga akan
berdampak kepada arah pengembangan Desa
Wisata Kembangarum ke depannya.
Permasalahan ini perlu diatasi segera agar tidak
sampai menimbulkan kerugian, terutama bagi
masyarakat Desa Wisata Kembangarum.
Refleksi masyarakat Desa Wisata
Kembangarum ini menjadi salah satu bahan
pertimbangan keberlanjutan kegiatan
agrowisata Desa Wisata Kembangarum, baik
dari pihak pengembang maupun dari pihak
internal komunitasnya itu sendiri. Dalam
tahapan feedback ini, salah satu hal yang segera
diatasi adalah dualisme visi dan misi antara
pengurus dan pengembang Desa Wisata
Kembangarum.
4.2 Analisis Dinamika Kapasitas
Pengorganisasian Komunitas dalam
Pengembangan Agrowisata di Desa
Wisata Kembangarum
Pengorganisasian komunitas merupakan bagian
dari kemampuan dan kapasitas komunitas untuk
mampu mengorganisasikan dan memobilisasi
komunitas demi terciptanya suatu tindakan
kolektif yang memberikan manfaat positif bagi
komunitas tersebut. Pengembangan agrowisata
membutuhkan kapasitas masyarakat yang
spesifik dan sesuai dengan prinsip tertentu.
Kapasitas pengorganisasian komunitas dalam
pengembangan agrowisata di Desa Wisata
Kembangarum merupakan suatu indikator
keberhasilan pengembangan agrowisata
berbasis komunitas.
Gambar 5. Perubahan Indikator Kapasitas Pengorganisasian Komunitas Desa Wisata Kembangarum
Sumber: Hasil Analisis, 2012
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 21/No. 3 Desember 2013
186
Penilaian kapasitas pengorganisasian
komunitas ini dilihat dari tiga aspek. Yang
pertama adalah adanya mobilisasi komunitas
yang dilakukan dalam mengembangkan Desa
Wisata Kembangarum. Aspek yang kedua
adalah adanya tindakan kolektif komunitas
untuk pengembangan agrowisata di Desa
Wisata Kembangarum. Aspek yang terakhir
adalah adanya outcome dan manfaat yang
diterima oleh masyarakat Desa Wisata
Kembangarum akibat dari pengembangan
agrowisata. Ketiga aspek tersebut dilihat
dinamika perubahannya, yakni periode dimana
belum ada dan terbentuknya secara resmi Desa
Wisata Kembangarum, tepatnya sebelum tahun
2005, dan periode dimana Desa Wisata
Kembangarum sudah terbentuk yakni setelah
tahun 2005.
Berdasarkan analisis pada Gambar 3 di atas,
diperoleh bahwa untuk setiap indikator
kapasitas pengorganisasian komunitas dalam
pengembangan agrowisata di desa wisata
tersebut memang mengalami peningkatan jika
dibandingkan antara periode sebelum dan
setelah berdirinya Desa Wisata Kembangarum.
Untuk indikator adanya mobilisasi komunitas,
rata-rata jumlah responden meningkat sebanyak
22,84%. Untuk indikator adanya collective
action yang dilakukan untuk mengembangkan
agrowisata di Desa Wisata Kembangarum, rata-
rata jumlah responden mengalami peningkatan
sebesar 13,58%. Dan untuk indikator terakhir
yakni adanya outcome yang diterima oleh
komunitas, terjadi peningkatan rata-rata jumlah
responden sebesar 14,77%. Meningkatnya nilai
rata-rata jumlah responden untuk setiap
indikator kapasitas pengorganisasian komunitas
dalam pengembangan agrowisata di Desa
Wisata Kembangarum menunjukkan adanya
manfaat nyata yang dirasakan oleh masyarakat
Desa Wisata Kembangarum. Selain itu,
masyarakat Desa Wisata Kembangarum
menilai adanya perbaikan mekanisme atau
sistem yang dilakukan untuk memobilisasi
komunitas dan dengan peluang pelibatan setiap
anggota komunitas yang lebih besar.
Di lain pihak, secara keseluruhan nilai rata-rata
jumlah responden untuk setiap indikator
kapasitas pengorganisasian komunitas ini masih
di bawah 50% dari total responden. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya ketidakmerataan
peningkatan kapasitas pengorganisasian
komunitas dalam pengembangan Desa Wisata
Kembangarum. Baru elite-elite atau tokoh-
tokoh dari komunitas ini yang secara nyata
mengalami peningkatan kapasitas
pengorganisasian komunitas dalam
pengembangan Desa Wisata Kembangarum.
Keberadaan Desa Wisata Kembangarum
dianggap masih belum dapat meningkatkan
kapasitas pengorganisasian komunitas di setiap
level komunitas.
5. Kesimpulan
Proses pengorganisasian komunitas dalam
pengembangan kawasan agrowisata di Desa
Wisata Kembangarum terdiri dari beberapa
tahap dan merupakan suatu proses yang tertutup
(cyclical). Proses pengorganisasian komunitas
dalam pengembangan agrowisata di Desa
Wisata Kembangarum terdiri dari tahap
integrasi, pemetaan isu, masalah, dan potensi
komunitas, merancang tindakan bersama,
implementasi kegiatan, monitoring dan
evaluasi, refleksi, dan feedback.
Tujuan pengembangan Desa Wisata
Kembangarum salah satunya adalah
peningkatan kapasitas masyarakat setempat.
Meski demikian, kapasitas pengorganisasian
komunitas ini bersifat dinamis akibat dari
pengaruh lingkungan internal maupun eksternal
komunitas. Maka dari itu, penilaian kapasitas
pengorganisasian komunitas ini mengikuti sifat
kedinamisan kapasitas tersebut. Indikator dari
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 21/No. 3 Desember 2013
187
keberhasilan proses pengorganisasian
komunitas dalam rangka peningkatan kapasitas
pengorganisasian komunitas Desa Wisata
Kembangarum ini ada tiga yakni mobilisasi
komunitas, collective action, dan adanya
outcome bagi komunitas. Secara keseluruhan,
nilai rata-rata jumlah responden untuk setiap
indikator kapasitas pengorganisasian komunitas
dalam pengembangan agrowisata di Desa
Wisata Kembangarum mengalami peningkatan
jika dibandingkan periode sebelum dan setelah
berdirinya Desa Wisata Kembangarum.
Dalam mempertahankan eksistensi Desa Wisata
Kembangarum, beberapa rekomendasi
berdasarkan penelitian terkait pengorganisasian
komunitas dalam pengembangan agrowisata di
desa wisata, yaitu:
1. Perlunya memperkuat peran pemerintah
daerah dalam mengembangkan agrowisata
di Desa Wisata Kembangarum dalam
mengantisipasi adanya dualisme visi dan
misi yang terjadi dalam internal pengelola
Desa Wisata Kembangarum. Peran
pemerintah ini sebagai fasilitator untuk
meluruskan kembali visi misi pembangunan
Desa Wisata Kembangarum.
2. Pengorganisasian komunitas juga
merupakan suatu metode yang ditempuh
untuk meningkatkan kapasitas komunitas di
setiap level. Diperlukan adanya peluang
partisipasi bagi setiap anggota komunitas di
Desa Wisata Kembangarum selebar
mungkin. Disini juga dibutuhkan peran dari
seorang pemimpin yang mampu
memobilisasi anggota komunitas.
3. Perlunya pemerataan kegiatan dan
pembangunan infrastruktur penunjang
kegiatan agrowisata untuk mengatasi spatial
gap antara RT 04 dan RT 05, RW 26, Desa
Wisata Kembangarum.
4. Adanya tuntutan transparansi dalam segala
kegiatan agrowisata di Desa Wisata
Kembangarum.
5. Perlunya regenerasi kepemimpinan di Desa
Wisata Kembangarum. Calon-calon
pemimpin tersebut harus mulai dibina dan
dilatih agar mampu menggerakkan
masyarakat dan mengembangkan Desa
Wisata Kembangarum ke depannya.
6. Perluasan jaringan melalui kerja sama
dengan berbagai pihak, terutama pihak-
pihak di luar Desa Wisata Kembangarum
sebagai strategi untuk meningkatkan
kedatangan wisatawan.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr.
Suhirman, S.H., M.T. untuk arahan dan
bimbingan sehingga artikel ini dapat ditulis.
Terima kasih juga kepada dua mitra bestari
yang telah memberikan komentar yang
berharga.
Daftar Pustaka
Akpinar, Nevin, dkk. 2003. Rural Women and
Agrotourism in the Context of
Sustainable Rural Development: A Case
Study From Turkey.
Chaskin, J. Robert. 2001. Building Community
Capacity. New York: Walter De Gruyter,
Inc.
Damanik, Janianton dan Helmut F. Weber. 206.
Perencanaan Ekowisata: Dari Teori ke
Aplikasi. Yogyakarta: Pusat Studi
Pariwisata (PUSPAR) UGM.
Jolly, A. D., & Reynolds, A. K. 2005.
Consumer Demand For Agricultural And
On-Farm Nature Tourism. Uc Small
Farm Center Research Brief. Retrieved
from
http://sfp.ucdavis.edu/files/143466.pdf
Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan
Menteri Pariwisata, Pos, dan
Telekomunikasi Nomor:
204/KPTS/30HK/050/4/1989 dan Nomor
KM. 47/PW.DOW/MPPT/89 Tentang
Koordinasi Pengembangan Wisata Agro
Lobo, R. E., Goldman, G. E., Jolly, D. A.,
Wallace, B. D., Schrader, W. L., &
Parker, S. A. 1999. Agricultural tourism:
agritourism benefits agriculture in San
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 21/No. 3 Desember 2013
188
Diego County. Retrieved June 4, 2008,
from the University of California-Davis
Small Farm Center Web site:
http://www.sfc.ucdavis.edu/agritourism/
agritourSD.html
Mukhotib, MD. 2012. Membangun Organisasi
Rakyat.
Saridarmini, Ni Luh Ayu Rai. 2011. Dampak
Agrowisata Berbasis Modal dan
Agrowisata Berbasis Masyarakat.
Denpasar: Tesis Universitas Udayana.
Sinclair, Zack dan Lisa Russ. 2006.
Organization Development for Social
Change: An Integrated Approach to
Community Transformation. Zack
Sinclair and Movement Strategy Center.
Stall, Susan, and Randy Stoecker. 1998.
"Community organizing or organizing
community? Gender and the crafts of
empowerment," Gender and Society, 12
(Dec): 729-756.
Utama, I Gusti Bagus Rai. 2011. Agrowisata
Sebagai Pariwisata Alternatif.
Yoeti, Oka. A. 2008. Perencanaan dan
Pengembangan Pariwisata. Jakarta: PT.
Pradnya Paramita.