PENGOBATAN PREOPERATIF

download PENGOBATAN PREOPERATIF

of 29

description

education

Transcript of PENGOBATAN PREOPERATIF

PENGOBATAN PREOPERATIF

BAB 21 PENGOBATAN PREOPERATIF

PendahuluanPengelolaan anestesi pada pasien diawali dengan persiapan preoperatif psikologis, dan bila perlu, pengobatan preoperatif.Beberapa macam obat dapat diberikan sebelum dimulainya operasi.Obat-obatan tersebut disesuaikan pada setiap pasien. Seorang ahli anestesi harus menyadari pentingnya mental dan kondisi fisik selama visite preoperatif. Sebab hal tersebut akan berpengaruh pada obat-obatan preanestesi, tehnik yang digunakan, dan keahlian seorang ahli anestesi. Persiapan yang buruk akan berakibat pada berbagai permasalahan dan ketidaksesuaian setelah operasi.Tidak ada suatu kesepakatan yang muncul untuk obat-obatan yang digunakan sebelum operasi,sebagian besar digunakan hanya sebagai tradisi yang telah dimodifikasi akhir-akhir ini seturut dengan kemajuan tehnik dan obat anestesi. Salah satu alasan mengapa obat-obatan tersebut hanya berdasar tradisi ialah gabungan beberapa obat anestesi akan mencapai tujuan yang sama. Namun satu hal yang jelas ialah, seorang penderita yang hendak masuk ke kamar operasi harus terbebas dari rasa cemas dan beberapa tujuan khusus telah tercapai dengan pemberian obat-obatan preoperatif.

A. Persiapan fisikPersiapan fisik pada pasien meliputi kunjungan preoperatif dan wawancara dengan pasien dan anggota keluarganya. Seorang ahli anestesi harus menjelaskan apa yang akan terjadi dan tujuan tindakan anestesi sebagai upaya untuk mengurangi rasa cemas. Sebagian besar penderita beranggapan hari operasi mereka adalah hari terbesar dalam hidup mereka. Pasien tidak ingin diperlakukan tidak baik selama di ruang operasi. Kunjungan preoperasi harus dilakukan secara efisien, tetapi harus bersifat memberikan informasi, rasa aman, dan menjawab segala pertanyaan. Sebagian ahli anestesi berinteraksi dengan pasien dalam keadaan tidak sadar atau tertidur, oleh sebab itu seorang ahli anestesi hendaknya berinteraksi dengan pasien sebelum operasi untuk mendapatkan rasa percaya dan meningkatkan rasa percaya diri pasien.Sebagian besar pasien datang ke kamar operasi dalam keadaan cemas sebelum pembedahan, sebuah studi menunjukan dari analisa terhadap 500 pasien bedah dewasa, didapat pasien wanita lebih merasa cemas dibandingkan padien laki-laki sebelum operasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pasien dengan berat badan lebih dari 70 kg lebih mudah merasa cemas.Sebuah studi oleh egbert dan rekan-rekan dengan pemberian 2 mg/kgBB pentobarbital yang diberikan secara im 1 jam sebelum operasi dan mendapatkan penjelasan mengenai tindakan yang akan dilakukan lebih tenang saat masuk ke dalam kamar operasi. Penelitian Kogh menyatakan bahwa pasien dewasa yang mendapatkan kunjungan sebelum operasi menunjukan level kecemasan yang lebih rendah dibandingkan apabila tidak mendapatkan kunjungan sama sekali. Lebih lanjut dikatakan bahwa kunjungan sebelum operasi lebih bermakna bagi pasien dibandingkan bila pasien mendapatkan informasi hanya dari buku saja.Persiapan psikologis tidak menyelesaikan segalanya dan tidak meninggalkan seluruh kecemasan. Di samping persiapan psikologis ada beberapa tujuan lain dari pengobatan preoperatif. Pengendalian rasa sakit, dan level yang memuaskan dari sedasi tidak dicapai dengan kunjungan preoperasi semata.Sebagai tambahan, situasi emergensi mungkin menyediakan sedikit atau tidak ada sama sekali kunjungan preoperatif.

B. Persiapan farmakologiDalam memilih obat-obatan yang sesuai untuk pengobatan preoperatif kondisi psikologis pasien dengan status fisik tetap menjadi pertimbangan.Seorang ahli anestesi harus mengetahui berat badan pasien, dan respon terhadap obat-obatan depresan, termasuk efek samping yang tidak diinginkan, dan alergi. Tujuan yang hendak dicapai pada setiap pasien dengan pengobatan preopertif disesuaikan pada setiap pasien. Tujuan melepaskan rasa cemas,dan membentuk sedasi, dapat diterapkan pada setiap pasien.Pengobatan profilaksis terhadap alergik merupakan beberapa penyesuaian. Pencegahan reflek otonom yang dimediasi oleh saraf vagus dan efek antiemetik lebih diutamakan pada saat pengobatan preoperatif. Sebagian besar pengobatan preoperatif tidak mengurangi keseluruhan anestesi, tetapi pengobatan preoperatif mencegah peningkatan konsentrasi plasma dari -endorphin, yang secara normal mengikuti respon terhadap stress.Pada beberapa pasien sebaiknya tidak menerima antidepresan sebelum pembedahan. Pasien dengan usia lanjut, atau trauma kepala atau hipovolemia akan lebih merasakan sakit dibandingkan dengan yang telahmenerimaterapi premedikasi. Pada pembedahan yang bersifat elektif, seorang ahlin anestesi akan menginingkan pasiennya masuk ke kamar operasi terbebas dari rasa cemas dan tersedasi.

Various goals for preoperatif medicine1. Relief of anxiety.2. Sedation3. Amnesia4. Analgesia5. Drying of airway secretions6. Prevention of autonomic reflex responses7. Reduction of gastric fluid volume and increased ph8. Antiemetic effects9. Reduction of anesthetic requirements10. Facilitation of smooth induction of anesthesia11. Prophylaxsis againts allergic reactions 1. Sedasi, hipnosis dan penenang BenzodiazepinBenzodiazepin adalah salah satu obat yang paling populer yang digunakan dalam pengobatan preoperatif. Obat ini digunakan untuk menghilangkan rasa cemas, sedasi, dan membuat amnesia penderita. Efek antikonvulsan dan pelemas otot dari benzodiazepin tidak begitu penting ketika obat ini diberikan. Hal ini disebabkan tempat kerja dari benzodiazepin berada pada susunan saraf pusat yang berefek sedikit mendepresi pernafasan atau kardiovaskular pada dosis premedikasi. Benzodiazepin memiliki efek terapi yang lebar dan insidensi rendah terjadinya keracunan.Secara spesifik mual dan muntah biasanya tidak berkaitan dengan pemberian benzodiazepin pada pemberian preoperatif. Obat-obatan ini biasanya digunakan juga sebelum operasi untuk mengurangi mimpi buruk dan delirium yang muncul setelah pemberian ketamin.Terdapat beberapa efek samping yang tidak diinginkan dan meracuni dari benzodiazepin. Depresi ssp yang bersifat panjang dan menyeluruh, terutama bila digunakan bersama lorazepam. Pada pemberian diazepam secara intramuskuler atau intraven, dapat terjadi rasa sakit pada tempat penyuntikan , sebagaimana mungkin terjadi pula suatu phlebitis. Obat-obatan ini bukanlah suatu pereda nyeri. Benzodiazepin tidak selalu bersifat menenangkan, tapi mungkin mengakibatkan agitasi dan juga delirium.Efek sedasi dari benzodiazepin berasal dari penguatan atau penghambatan neurotransmiter yang dimediasi oleh aminobutyric acid.

DiazepamEfek sedasi, amnesia, dan penenang dari diazepam, membuat obat ini menjadi pilihan paling populer sebagai obat premedikasi. Obat ini merupakan obat standar terhadap benzodiazepin.lainnya. karena diazepam tidak larut dalam air dan harus berdisosiasi pada pelarut organik (propylene, glycol, sodium benzoat), rasa sakit mungkin muncul pada pemberian intramuskuler ataupun pada pemberian intravena. Phlebitis sering merupakan gejala sisa dari injeksi intravena. Pemberian diazepam secara oral dengan 150cc air lebih disukai daripada pemberian injeksi intramuskuler. Lebih dari 90 persen dosis oral diazepam ceoat diserap. Efek puncak dapat terjadi setelah pemberian oral dalam waktu 0,5 -1 jam pada orang dewasa dan 15-30 menit pada anak-anak. Diazepam tidak melewati membran pasenta,dengan level konsentrasi pada bayi yang setara atau melewati level ibu. Karena diazepam terikat kuat dengan protein, maka pasien dengan albumin yang rendah, seperti pada sirosis hepatis atau gagal ginjal kronis, mengakibatkan peningkatan efek dari obat. Diazepam dimetabolisme reaksi oksidatif N dimethylasi menjadi metabolit yang lebih lemah. Dimethyldiazepam dan oxazepam adalah metabolit primer. Sejumlah kecil obat dimetabolisir menjadi temazepam. Waktu paruh dari diazepam adalah 21-37 jam pada orang normal. Pada pasien usia lanjut dan sirosis pemberian diazepam secara peroral lebih disukai.Terdapat sedikit efek dari diazepam di luar ssp. Depresi normal dari saluran pernafasan, sirkulasi atau fungsi hepar dan renal dapat terjadi. Lebih lanjut, depresi ventilator dapat terdiri atas obat-obatan depresi lain, terutama opioid dan alcohol.ada sedikit depresi kardiovaskular terlihat setelah penggunaan diazepam untuk medikasi preoperative. Tentunya, dosis intravena lebih tinggi menghasilkan depresi sirkulasi lebih kecil. (16) tidak banyak efek klinis pada neuromuscular junction setelah pemberian diazepam untuk medikasi preoperative. Telah ada berbagai usaha untuk menurunkan myalgia dan fasciculation akibat dari succinylcholine dengan diazepam. Efek fasciculations bervariasi, tetapi myalgia menurun pada suatu percobaan. (19) Premedikasi dengan diazepam tidak dapat dipercaya mencegah kenaikan tekanan intraokuler setelah intibasi trakea. (20) Pada binatang, diazepam telah menurunkan ambang kejang untuk lidokain, namun efek ini belum dapat dibuktikan pada manusia. (21)Beberapa kontroversi ada karena interaksi diazepam dengan obat-obat lain. Simetidin menghambat hepatic clearance dari diazepam. (22) Tujuan dari mekanisme ini yaitu inhibisi enzim mikrosomal dari simetidin. Ada beberapa pertanyaan yaitu apakah hal ini secara klinis signifikan ketika diazepam digunakan sebagai dosis tunggal sebelum operasi. Diazepam 0,2 mg/kg telah menunjukkan penurunan konsentrasi alveolar minimum untuk halothane. (23) Puncak reduksi dari kebutuhan anestesi dari dosis premedikasi dapat atau tidak dapat penting untuk anesthesiologist.

LorazepamLorazepam memiliki struktur serupa dengan oxazepam dan 5-10 kali lebih baik dari diazepam. Lorazepam dapat menghasilkan amnesia, meredakan kecemasan, dan sedasi. (Gambar 21-4). (24) Ketika lorazepam dibandingkan dengan diazepam, efeknya mirip sekali. Meskipun lorazepam tidak larut dalam air dan membutuhkan pelarut seperti polyethylene glycol atau propylene glycol, masuknya lorazepam, tidak seperti diazepam, tidak berhubungan dengan nyeri saat injeksi atau phlebitis. Sedasi berkepanjangan biasa terjadi pada penggunaan diazepam. Meskipun eliminasi waktu paruh diazepam lebih lama daripada lorazepam (20-40 jam dibandingkan 10-20 jam), efek diazepam dapat memendek karena lebih tidak berhungan dengan reseptor benzodiazepine. (25)Lorazepam dipercaya diabsorsi secara oral dan intramuskuler. Efek maksimal muncul 30-40 menit setelah injeksi intravena. (26) Bradshaw et al mendemonstrasikan efek klinis 30-60 menit setelah masuknya diazepam oral. (27) sebuah penelitian oleh Blitt et al menunjukkan ketiadaan ingatan tidak dihasilkan sampai 2 jam setelah injeksi intramuskuler. (28) Konsentrasi puncak plasma dapat tidak muncul sampai 2-4 jam setelah masuknya obat-obatan oral. Oleh sebab itu, lorazepam harus dipertimbangkan dengan baik sebelum operasi sehingga obat tersebut memiliki waktu untuk efektif sebelum pasien masuk ke kamar operasi. Lorazepam juga dapat diberikan secara sublingual. (29) Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, eliminasi waktu paruh yaitu 10-20 jam. Dosis biasa antara 25-50 g/kg. Dosis untuk dewasa tidak boleh melebihi 4,0 mg. (24,25,30) dengan dosis rekomendasi, amnesia antegrad dapat dihasilkan selama 4-6 jam tanpa sedasi berlebihan. Dosis lebih tinggi menghasilkan sedasi berkepanjangan dan berlebihan tanpa lebih banyak amnesia. Kerena onset yang lama dan panjang kerja, lorazepam tidak berguna dengan cepat dimana diinginkan bangun cepat, seperti pada anestesi pasien bukan rawat inap. Tidak ada metabolit aktif dari lorazepam; dan karena metabolismenya tidak tergantung dari enzim mikrosomal, ada pengaruh yang kurang pada efeknya dari usia atau penyakit hati. (31) Dibandingkan dengan diazepam, sedikit depresi kardiovaskular muncul dengan lorazepam. Namun, ada bahaya depresi respirasi yang tidak diinginkan pada dosis pada penyakit paru. (32)

MidazolamMidazolam telah mendominasi menggantikan diazepam pada penggunaannya sebagai medikasi preoperative dan sedasi sadar. Bahan-bahan psikokimia dari obat itu berguna untuk kelarutannya dalam air dan metabolisme cepat. Sedangkan dengan benzodiazepin lain, midazolam menghasilkan anxiolysis, sedasi, dan amnesia. Ini 2 sampai 3 kali lebih poten daripada diazepam karena peningkatannya pada reseptor benzodiazepun. Dosis biasa intramuskuler adalah 0,05-0,1 mg/kg dan titrasi 1,0-2,5 mg pada intravena. Tidak ada iritasi atau phlebitis dengan injeksi midazolam. Insidensi efek samping setelah masuknya obat rendah, meskipun depresi ventilasi dan sedasi dapat lebih dari yang diharapkan, terutama pada pasien tua atau ketika obat dikombinasikan dengan depresan system saraf pusat lain. Ada onset yang cepat pada kerja dan absobrsi yang diperkirakan setelah injeksi intramuskular midazolam daripada diazepam. Waktu onset setelah injeksi intramuskuler 5-10 menit, dengan efek puncak muncul setelah 30-60 menit. Onset setelah masuknya intravena sebesar 5 mg diperkirakan muncul setelah 1-2 menit. Ditambahkan onset yang lebih cepat, penyembuhan lebih cepat muncul setelah masuknya midazolam dibandingkan dengan diazepam. Hal ini mungkin sebagai hasil kelarutan midazolam pada lemak dan distribusi yang cepat pada jaringan perifer dan biotransformasi metabolic. Atas alasan ini, midazolam biasanya diberikan dalam waktu 1 jam induksi. (33) Midazolam dimetabolisme dengan enzim mikrosomal hepatic untuk mencapai metabolisme hidroksilasi yang inaktif. Reseptor H2 antagonis tidak mempengaruhi metabolisme. (34) Eliminasi waktu paruh midazolam kira-kira 1-4 jam dan dapat memanjang pada orang tua. (35) Percobaan menunjukkan fungsi mental biasanya kembali ke normal dalam 4 jam masuknya obat. (33) Setelah masuknya 5 mg, amnesia berakhir dari 20-32 menit. (36) Masuknya obat intramuskuler dapat menghasilkan periode amnesia lebih panjang. Hilangnya ingatan dapat diakibatkan oleh masuknya skolpolamin berkelanjutan. Obat-obatan midazolam membuat hal ini ideal untuk prosedur yang pendek.

Benzodiazepin lainOxazepam, benzodiazepin lain telah digunakan untuk medikasi preoperative, merupakan salah satu metabolisme aktif farmakologi dari diazepam. Ini diabsorbsi lambat setelah masuknya obat oral dan memiliki eliminasi waktu paruh 5-15 jam. Temazepam telah diberikan pada dosis oral 20-30 mg sebelum operasi. Ini harus diberikan dengan benar sebelum operasi karena tingkat plasma puncak tidak muncul sampai kira-kira 2-2,5 jam setelah masuknya obat. Triazolam merupakan benzodiazepin kerja pendek. Dosis obat oral pada dewasa yaitu 0,25-0,5 mg. Konsentrasi plasma puncak timbul kira-kira 1 jam dan eliminsi waktu paruh yaitu 1,7-5,2 jam. Obat dapat menjadi kerja panjang pada orang tua. Sama dengan, penelitian oleh Pinnock et al tidak menunjukkan triazolam menjadi durasi pendek ketika dibandingkan dengan diazepam untuk premedikasi pada operasi minor ginekologi. (37) Alprazolam (1mg) diberikan pada dewasa telah menunjukkan prosedur reduksi yang sederhana pada kecemasan sebelum operasi. (38)

BarbituratPenggunaan barbiturat untuk medikasi preoperative adalah waktu percobaan dengan angka keamanan yang panjang. Obat-obatan ini digunakan secara primer untuk efek sedatifnya. Sementara masuknya barbiturat untuk persiapan farmakologi sebelum operasi telah digantikan pada berbagai hal dengan penggunaan benzodiazepin, ini berguna dalam hal-hal tertentu. Sedikit deprsei kardiorespirasi dihubungkan dengn dosis preoperative biasa. Barbiturat dapat diberikan oral juga parenteral, dan obat-obatan relatif tidak mahal. Barbiturat, bagaimanapun, tidak menghasilkan sedasi pada nyeri. Sebetulnya, disorientasi dan eksitasi paradoksik dapat muncul. Dosis rendah barbiturat telah dikatakan merendahkan ambang nyeri dan menjadi antianalgesik. Agen kekurangan spesifisitas aksi pada system saraf pusat dan mempunyai indeks terapeutik yang lebih rendah daripada benzodiazepin. Barbiturat sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan beberapa macam porphyria tertentu.Secobarbital. Secobarbital biasanya digunakan pada dewasa dalam dosis oral 50-200 mg ketika untuk medikasi preoperative. Onset biasanya muncul 60-90 menit setelah masuknya obat, dan efek sedatif bertahan 4 jam atau lebih. Tentunya, meskipun secobarbital dulu telah dipertimbangkan sebagai kerja pendek barbiturat, ini dapat menunjukkan kerja selama 10-22 jam. (39)Pentobarbital. Pentobarbital biasanya digunakan secara oral atau parenteral. Dosis oral digunakan untuk dewasa biasanya 50-200 mg. Pentobarbital memiliki biotransformasi waktu paruh sekitar 50 jam. Karena itu, penggunaannya tidak sering cocok untuk prosedur singkat.

ButyrophenonesDosis intravena atau intramuskular 2,5-7,5 mg droperidol menghasilkan keadaan sedasi pada pasien sebelum operasi. Penenang dan tranquilitas telah diobservasi, namun pasien biasanya menyatakan merasa disforia dan tidak bisa beristirahat dan bahkan mengalami ketakutan akan mati. Perasaan disforia pasien mengakibatkan penolakan terhadap tindakan operasi. Karena droperidol merupakan antagonis dopamine, tanda-tanda ekstrapiramidal dapat muncul setalah masuknya obat. (40) ini telah dilaporkan muncul sekitar 1% pasien. Butyrophenone juga menyebabkan efek -bloking yang ringan. Butyrophenone lain, haloperidol, juga obat anti-psikotik kerja panjang yang jarang digunakan untuk medikasi preoperative.Sekarang, droperidol biasanya digunakan untuk efek antiemesis daripada bahan sedatif (lihat Antiemesis). Dosis klinis rendah (sampai 2,5 mg) droperidol telah digunakan sebelum operasi atau hanya sebelum emergensi dari anestesi untuk mencegah mual dan muntah pada kamar pemulihan.Sebagai reseptor bloker dopaminergik, droperidol mencapai efek inhibisi dopamine pada badan karotis dan respon ventilator pada hipoksia. Konsekuensinya, ini memberikan respons badan karotis pada hipoksia. Untuk alasan ini, dikatakan droperidol memberikan dapat menjadi premedikasi yang baik untuk pasien yang tergantung pada alat ventilator hipoksia (Gambar 21.5). (41)

Obat-obat Sedatif LainHydroxyzine. Hydroxyzine merupakan obat penenang nonphenothiazine. Biasanya diberikan untuk tujuan efek tambahan pada opioid dan tidak menyebabkan peningkatan dalam efek samping. Hydroxyzine memiliki aksi sedatif dan bahan anxiolitik. Ini memiliki batas bahan analgesik dan tidak menghasilkan amnesia. Ini merupakan antihistamin dan antiemetik.Diphenhydramine. Diphenhydramine merupakan rseptor histamin antagonis dengan aktifitas sedatif dan antikolonergik. Juga merupakan antiemetik. Dosis 50 mg akan bertahan 3-6 jam pada dewasa. Diphenhydramine telah sering digunakan akhir-akhir ini dalam kombinasi dengan simetidin, steroid, dan obat-obat lain untuk profiklasis pada pasien dengan atopi kronis dan untuk profilaksis sebelum khemonukleolisis dan penelitian yang berkaitan. (42) Diphenhydramine menghambat reseptor histamin untuk mencegah efek histamin perifer. Phenothiazine. Promethazine, promazine, dan perphenazine biasanya digunakan dalam kombinasi dengan opioid. Phenothiazine memiliki bahan sedatif, antikolinergik, dan antiemetik. Efek-efek ini, ditambahkan efek analgesik opiod, telah digunakan untuk medikasi preopratif.

2. ANALGETIKOpioidMorfin dan meperidine dahulu merupakan jenis opioid yang sering digunakan untuk medikasi preoperatif intramuskular. Akhir-akhir ini, penggunaan fentanyl intravena sebelum operasi telah popular. Opioid digunakan ketika analgesi dibutuhkan sebelum operasi. Telah dikatakan pada kalimat yang jelas bahwa jikalau ada nyeri, tidak dibutuhkan narkose dalam medikasi preanestesi. (43) Untuk pasien yang mengalami myeri sebelum operasi, opioid dapat memberikan analgesia yang baik dan bahkan euphoria. Opioid telah digunakan untuk pasien sebelum operasi untuk mengurangi ketidaknyamanan yang dapat muncul selama anestesi regional atau insersi invasive kateter monitor atau jalur intravena yang besar. Dosis opioid dapat dikurangi pada pasien retardasi mental atau orang tua. Pasien orang tua seringkali mengalami pengurangan sensitivitas nyeri. Lebih lanjut, pasien orang tua dapat memiliki respon analgesik yang meningkat pada opioid. Opioid juga telah digunakan sebelum operasi dalam pasien tergantung opioid.Sensitivitas hipoksia (perubahan dalam ventilasi untuk tiap kenaikan 1% dalan saturasi oksigen) meningkat setelah masuknya droperidol intravena, 2,5 mg. Symbol solid melambangkan percobaan ulangan pada subjek yang sama seperti yang telah diperlihatkan oleh symbol terbuka. (Dikutip dari Ward DS : Stimulation of hypoxic ventilatory drive by droperidol. Anesth Analg 63:106, 1984).Masuknya preoperative opioid dalam hal yang lain telah controversial. Ini telah diberikan sebelum operasi mendahului anestesi opioid nitro-oksi. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk memperoleh kadar basal anestesi yang tepat ketika pasien sampai di kamar operasi dan untuk mendapatkan pendahuluan respons pasien terhadap opioid. Opiod telah diberikan pada pasien sebelum operasi untuk menyediakan analgesi pada saat meraka sadar dalam kamar pemulihan. Pendekatan lainnya adalah untuk mentitrasi opioid intravena selama emergensi atau saat pasien tiba di kamar pemulihan. Masuknya preoperative opioid dapat merendahkan kebutuhan anestesi. (44) hal ini dapat atau tidak dapat secara klinis signifikan untuk pasien secara spesifik menerima teknik anestesi khusus. Beberapa anesthesiologist menggunakan opioid dalam kombinasi dengan obat lain sebelum operasi untuk menyediakan anestesi induksi dengan masker. Hal ini popular terutama pada pasien dimana jalur intravena untuk induksi obat tidak dapat digunakan. Yang harus diingat bahwa opioid menurunkan ventilasi selama nafas spontan dan karenanya menurunkan masuknya obat-obat inhalasi. Jika dibutuhkan, anesthesiologists dapat menginginkan untuk menggunakan ventilasi bantuan atau terkontrol dari paru-paru untuk menghasilkan efek depresi respirasi dari opioid. Akhirnya, opioid bukan merupakan obat terbaik untuk meredakan apprehensi, menghasilkan sedasi, atau mencegah ingatan kembali.Masuknya opioid telah memberikan potensi untuk menyebabkan beberapa efek samping. Biasanya menghambat bukan efek myocardial kecuali pada kasus dari meperidine dosis tinggi. Namun, opioid mempengaruhi konstriksi kompensasi dari otot halus dari pembuluh darah perifer. Hal ini menyebabkan hipotensi orthostatic. Pelepasan histamin setelah injeksi morfin dapat terdiri dari efek-efek sirkulasi ini. Dengan medikasi preoperative yang sering, merupakan hal teraman untuk pasien tetap tirah baring setelah premedikasi opioid. Bahan analgesi dan efek depresi respirasi opioid berlangsung selang-seling. Penurunan karbondioksida pada pusat respirasi meduler dapat diperpanjang. Lebih lanjut, ada penurunan respon pada hipoksia pada badan karotis hanya setelah injeksi opioid dosis rendah. (45) Anesthesiologists dapat menginginkan untuk pemikiran oksigen suplemen pada pasien yang mendapat premedikasi opioid. Dalam hal umum, opioid agonis-antigonis menghasilkan depresi respirasi lebih rendah, namun juga menghasilkan disforia. Ketika efek samping ini muncul, biasanya terlihat pada pasien yang tidak mengalami nyeri sebelum operasi dan telah menerima premedikasi opioid. Mual dan muntah dapat merupakan hasil dari masuknya opioid. Efek opioid pada apparatus vestibuler menyebabkan aksi kesakitan atau stimulasi dari khemoreseptor meduler zona pemacu yang dikatakan sebagai penyebab mual dan muntah. Spasme sfingter choledochoduodenal (sfingter Oddi) telah sering diperhatikan tidak sering terjadi pada injeksi opioid. Opioid menghasilkan konstriksi otot halus, yang menyebabkan nyeri kuadaran kanan atas. (46) pereda nyeri dapat dicapai dengan naloxone atau glikagon yang memungkinkan. Biasanya, nyeri dari spamne traktur biliaris sulit untuk dibedakan dari nyeri angina pectoris. Masuknya nitrogliserin harus meredakan angina pectoris dan nyeri dari spasme traktus biliaris; antagonis opioid harus meredakan hanya nyeri akibat spasme traktus biliaris. Beberapa pertanyaan pada penggunaan premedikasi opioid dalam pasien dengan penyakit traktus biliaris. Semua opioid telah berpotensi untuk menyebabkan spasme sfingter choledochoduodenal. Meperidine kurang lebih seperti morfin untuk menghasilkan efek samping ini. Opioid dapat menyebabkan pruritus. Morfin, mungkin lewat pelepasan histamin, sering menghasilkan gatal-gatal, terutama sekitar hidung. Opioid juga dapat menyebabkan kemerahan, pusing, dan miosis.Obat-obat lain biasanya dikombinasikan dengan opioid untuk efek tambahannya atau untuk menyembuhkan kerugian efek samping opioid. Hipnotik-sedatif dan skopolamin biasanya digunakan dengan opioid untuk menghasilkan sedasi, anxiolysis, dan amnesia dalam tambahan analgesia. Pada pasien tertentu, kombinasi dari morfin dan benzodiazepin atau skopolamin dapat berguna untuk bahan farmakologi preoperative.

MorfinMorfin diabsorbsi dengan baik setelah injeksi intramuskuler. Onset efeknya muncul dalam 15-30 menit. Efek puncak muncul dalam 45-90 menit dan bertahan selama 4 jam. Setelah masuknya intravena, efek puncak biasanya muncul dalam 20 menit. Morfin tidak dipercaya diabsorbsi setelah masuknya obat oral. Dengan opioid lain, depresi ventilasi dan hypotensi orthostatic dapat muncul setelah injeksi morfin. Efek morfin pada zona pemacu khemoreseptif dapat mengahsilkan mual dan muntah. Mual dan muntah dapat juga muncul sebagai komponen vestibuler. Hal ini telah dikatakan karena pasien supinasi kurang lebih mengeluh mual dan muntah. Setelah masuknya morfin, motilitas traktus gastrointestinal menurun. Juga sekresi gastrointestinal meningkat.

MeperidineKekuatan meperidine kira-kira sepersepuluh dari pada morfin. Meperidine dapat diberikan secara oral maupun parenteral. Dosis tunggal meperidine dapat berlangsung selama 2-4 jam. Onset kerja setelah injeksi intramuskular tidak dapat diprediksi, dan terdapat variabilitas yang besar dalam mencapai puncak efektivitas. Meperidine terutama dimetabolisme di hati. Peningkatan denyut jantung maupun hipotensi ortostatik dapat terjadi setelah pemberian meperidine.

FentanylFentanyl merupakan opioid agonis sintetik yang secara struktural serupa dengan meperidine. Fentanyl mempunyai kekuatan analgesik 75-125 kali lebih kuat daripada morfin. Kelarutan fentanyl dalam lemak lebih besar daripada morfin, sehingga onset kerjanya lebih cepat. Konsentrasi puncak dalam plasma terjadi dalam 6-7 menit setelah pemberian intravena dan waktu paruh eliminasinya adalah 3-6 jam. Durasi kerja obat ini pendek karena terjadi redistribusi ke jaringan-jaringan inaktif, seperti paru-paru, lemak, dan otot lurik. Metabolisme terutama terjadi oleh N-demetilasi yang mengubahnya menjadi norfentanil, yang potensi analgesiknya kurang kuat. Pada orang tua eliminasi obat ini menjadi lebih lama karena terjadi penurunan rasio klirens fentanyl.Pemberian 1-2 g.kg-1 fentanyl intravena, dapat digunakan sebagai analgetik pre operatif. Terdapat sediaan fentanyl oral transmukosa, yang dapat diberikan dengan dosis 5-20 g.kg-1. Sediaan ini telah di teliti sebagai premedikasi untuk mengurangi kecemasan dan nyeri baik pada dewasa maupun anak-anak. Karena insidensi mual dan muntah setelah pemberian pre operatif tinggi (pada dosis lebih dari 15 g.kg-1), pemberian fentanyl oral transmukosa tidak dianjurkan pada anak-anak kurang dari 6 tahun. Fentanyal dapat menyebabkan depresi miokard maupun pelepasan histamin, tetapi mungkin disebabkan oleh depresi ventilasi dan bradikardia yang berat. Fentanyl mempunyai efek sinergis jika diberikan bersamaan dengan benzodiazepin sehingga memerlukan observasi ketat jika kombinasi ini diberikan pada pre operatif.

Agonis-antagonis opioidOpioid agonis-antagonis merupakan pengobatan preoperatif terpilih untuk mengurangi efek samping ventilasi yang bisa terjadi karena pemberian agonis opioid murni. Akan tetapi terdapat keterbatasan efek analgetik. Efek samping agonis-antagonis opioid mirip dengan opioid murni. Sebagai tambahan, disforia lebih sering terjadi setelah pemberian agonis-antagonis opioid. Hal lain yang harus diingat, obat agonis-antagonis dapat mengurangi efektifitas opioid agonis murni dalam mengontrol nyeri post operatif. Opioid agonis-antagonis yang sering digunakan yaitu pentazocine, butorphanol, dan nalbuphine.

pH dan Volume Cairan GasterBanyak pasien yang masuk kamar operasi mempunyai risiko terjadi aspirasi pneumonitis. Contoh klasik yaitu pasien dengan akut abdomen yang harus segera dioperasi. Wanita hamil, pasien dengan obesitas, diabetes, hiatus hernia atau refluks gastroesofageal, seluruhnya berada dalam risiko aspirasi isi gaster dan selanjutnya mengalami chemical pneumonitis. Walaupun tidak pasti, pada orang dewasa diyakini bahwa bila terjadi aspirasi cairan gaster lebih dari 25 ml dengan pH dibawah 2,5 akan menyebabkan pneumonia. Hal ini belum, dan mungkin tidak akan pernah, dibuktikan pada manusia. Akan tetapi, dengan dasar ini, beberapa ahli memperkirakan bahwa 40-80 % pasien yang dijadwalkan operasi elektif berada dalam risiko. Akan tetapi, secara klinis aspirasi cairan gaster ke paru-paru yang signifikan, sangat jarang terjadi pada pasien yang menjalani operasi elektif, dan hanya sedikit ahli anestesi yang menganjurkan profilaksis rutin. Perkiraan sebelumnya mengenai volume cairan gaster yang lebih besar dan pH yang lebih rendah pada pasien rawat jalan dibandingkan pasien rawat inap belum dikonfirmasi lagi. Kepentingan puasa dulu sebelum induksi anestesi untuk operasi elektif mengalami pertentangan. Beberapa institusi mengizinkan minum air putih sampai 3 atau bahkan 2 jam sebelum operasi untuk pasien-pasien tertentu. Penelitian yang sama oleh Shevde dan Trivedi menggambarkan pemberian 240 ml air, kopi, atau jus jeruk pada sukarelawan sehat. Seluruhnya mempunyai volume gaster kurang dari 25 ml dengan sedikit penurunan pH dalam 2 jam setelah pemberian salah satu cairan tersebut. Terdapat perhatian khusus terhadap kenyamanan, hipovolemi, dan hipoglikemi peri operatif pada usia anak-anak setelah puasa lama. Penelitian Splinter dkk pada anak-anak usia 2-12 tahun menyimpulkan bahwa pemberian air putih sampai 3 jam sebelum jadwal operasi tidak mempunyai efek yang dapat diukur terhadap volume dan pH gaster. Penelitian lain pada bayi, anak-anak, dan dewasa yang dijadwalkan operasi elektif juga didapatkan hasil serupa. Karena itu, ketakutan pemberian cairan oral pada pagi hari sebelum pembedahan akan menyebabkan peningkatan volume cairan gaster tidak ditemukan. Akan tetapi perlu dihargai juga karena data di atas didapatkan dari pasien sehat yang tidak dalam risiko terjadi aspirasi dan hanya dengan pemberian air putih.Banyak obat-obatan yang telah digunakan untuk mengubah dan meningkatkan pH cairan gaster. Antikolinergik, antagonis reseptor H2, antasid, dan golongan gastrokinetik telah digunakan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi pneumonitis.

AntikolinergikBaik atropin maupun glycopyrrolate sangat efektif dalam meningkatkan pH atau menurunkan volume cairan gaster. Penelitian oleh Stoelting menunjukkan bahwa dengan pemberian secara intramuskular 1-1,5 jam sebelum operasi, baik atropin (0,4 mg) maupun glycopyrrolate (0,2 mg) dapat mengubah pH atau volume cairan gaster dengan sukses. Penelitian yang sama dilaporkan bahwa pemberian glycopyrrolate (4-5 g.kg-1) sebelum operasi tidak menurunkan persentase pasien yang dalam risiko aspirasi pneumonitis. Karena, terdapat jumlah pasien yang signifikan dengan pH cairan gaster tetap di bawah 2,5 dan volume cairan gaster lebih dari 0,4 ml.kg-1. Pemberian dosis tinggi glycopyrrolate juga tidak lebih efektif. Lebih jauh lagi, dosis intravena antikolinergik dapat menyebabkan relaksasi gastroesophageal junction. Secara teoritis, hal ini dapat juga terjadi setelah pemberian dosis intaramuskular. Karena itu, risiko aspirasi pneumonitis dapat meningkat, tetapi efek spesifik pemberian antikolinergik intramuskular untuk pre operatif belum terbukti.

Antagonis Reseptor HistaminAntagonis reseptor H2, cimetidine, ranitidine, famotidine, dan nizatidine mengurangi sekresi asam lambung. Mereka menghamabat kemampuan histamin untuk menginduksi sekresi asam lambung dengan konsentrasi ion hidrogen tinggi. Karena itu, antagonis reseptor H2 meningkatkan pH cairan lambung. Antagonis reseptor H2 bekerja secara selektif dan kompetitif. Penting untuk diingat bahwa obat-obat ini tidak dapat diharapkan dapat mempengaruhi volume cairan lambung atau waktu pengosongan lambung. Dibandingkan dengan obat-obatan pre medikasi lain, golongan ini mempunya efek samping yang relatif sedikit. Karena efek sampingnya sedikit dan banyak pasien elektif berada dalam risiko aspirasi pneumonitis, beberapa ahli anestesi menganjurkan pemberian antagonis reseptor H2 pre operatif. Pemberian dosis berulang mungkin lebih efektif dalam meningkatkan pH lambung daripada dosis tunggal sebelum hari operasi. Antagonis H2 juga dapat digunakan pada pasien yang alergi atau untuk persiapan bila pasien akan terpapar zat-zat yang dapat memicu respon alergi, seperti chymopapain.Cimetidine. Cimetidine biasanya diberikan dengan dosis 150-300 mg secara oral maupun parenteral. Pemberian 300 mg cimetidine oral 1-1,5 jam sebelum operasi telah menunjukkan peningkatan pH cairanlambung diatas 2,5 pada 80 % pasien. Tidakada efek pada volume cairan lambung. Akan tetapi, penelitian oleh Maliniak dkk menunjukkan bahwa cimetidine (300 mg) yang diberikan secara intravena 2 jam sebelum operasi meningkatkan pH cairan lambung dan menurunkan volume cairan lambung. Cimetidine dapat diberikan intravena untuk pasien yang tidak dapat menggunkan pengobatan oral. Untuk pasien obesitas mungkin perlu untuk meningkatkan dosisnya. Cimetidine dapat menembus plasenta, tetapi efek pada fetus terbukti. Pada satu multicenter, 126 pasien yang telah menjalani seksio sesarea dengan anestesi umum diteliti. Pasien-pasien ini mendapatkan baik 30 ml antasid 1-3 jam sebelum operasi atau 300 mg cimetidine oral pada waktu tidur dan intramuskular 1-3 jam sebelum operasi. Terdapat peningkatan pH cairan lambung dan penurunan volume cairan lambung pada kelompok yang mendapatkan cimetidine. Yang paling penting dari diskusi ini, tidak terdapat perbedaan neurovehavioral pada neonatus antara kedua kelompok tersebut. Efek ke lambung dari cimetidine berlangsung selama 3 atau 4 jam, dan oleh karena itu obat ini sesuai untuk operasi dan selama operasi berlangsung. Cimetidine mempunyai sedikit efek samping, tetapi terdapat beberapa hal yang harus dicatat. Cimetidine menghambat sistem enzim oksidase hepar; karena itu, dapat memperpanjang waktu paruh banyak obat, termasuk diazepam, chlordiazepoxide, theophyline, propanolol, dan lidocaine. Efek samping klinis setelah satu atau dua dosis pre operatif cimetidine tidak dapat dipastikan. Terdapat juga beberapa hal yang perlu dipertanyakan mengenai penurunan aliran darah hepar oleh cimetidine dan pemanjangan efek obat pada pasien gagal ginjal. Cardiac dysrythmia, hipotensi, cardiac arrest, dan depresi susunan saraf pusat telah dilaporkan setelah pemberian cimetidine. Efek samping ini cenderung terjadi pada pasien-pasien kritis setelah pemberian intravena. Tahanan jalan nafas dapat meningkat pada pasien asma karena cimetidine dapat menghasilkan mediator reseptor H2 yang menyebabkan konstriksi bronkus. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, cimetidine tidak mempengaruhi cairan lambung yang sudah ada. Ranitidine. Ranitidine merupakan obat yang lebih kuat, spesifik, dan mempunyai durasi kerja yang lebih lama daripada cimetidine. Dosis oral yang biasa digunakan adalah 50-200 mg. Ranitidine, 50-100 mg, yang diberikan parenteral akan menurunkan pH cairan lambung dalam 1 jam. Ranitidine mempunyai efektifitas yang sama dengan cimetidine dalam menurunkan jumlah pasien yang dalam risiko aspirasi gaster dan menghasilkan lebih sedikit efek samping kardiovaskular atau sistem saraf pusat. Efek ranitidine berlangsung sampai 9 jam. Karena itu, ranitidine lebih superior daripada cimetidine dalam mengurangi risiko aspirasi pneumonitis selama anestesi dan ekstubasi trakhea. Antagonis Reseptor Lain. Famotidine merupakan antagonis reseptor H2 ketiga yang dapat diberikan pre operatif untuk meningkatkan pH cairan lambung. Farmakokinetiknya sama dengan cimetidine dan ranitidine, dengan perkecualian famotidine mempunyai waktu paruh eliminasi lebih lama dari pada dua obat lainnya. Famotidine dengan dosis 40 mg oral 1,5-3 jam pre operatif telah menunjukkan efektifitas dalam meningkatkan pH lambung. Nizatidine 150-300 mg secara oral yang diberikan 2 jam sebelum operasi akan menurunkan asam lambung.

AntasidAntasid digunakan untuk menetralkan asam lambung. Dosis tunggal antasid yang diberikan 15-30 menit sebelum induksi anestesi hampir 100 % efektif dalam meningkatkan pH cairan lambung diatas 2,5. Antasid non partikulat, 0,3 M sodium sitrat, umumnya diberikan sebelum operasi jika ingin meningkatkan pH cairan lambung. Antasid nonpartikulat tidak menyebabkan kerusakan paru-paru jika terjadi aspirasi cairan lambung yang mengandung antasid ini. Suspensi koloid antasid mungkin lebih efektif daripada antasid non partikulat dalam meningkatkan pH cairan lambung. Akan tetapi, aspirasi cairan lambung yang mengandung antasid partikulat dapat menyebabkan kerusakan paru-paru yang signifikan dan persisten, disamping peningkatan pH cairan lambung. Sequelae kelainan paru bermanifestasi dalam bentuk edema paru dan hipoksemia arteri. Antasid bekerja pada saat diberikan. Tidak ada lag time, seperti antagonis reseptor H2. Antasid efektif pada cairan yang sudah ada di lambung. Hal ini yang membuat menarik dalam situasi emergensi untuk pasien-pasien yang dapat menggunakan pengobatan oral. Akan tetapi, antasid meningkatkan volume cairan lambung, tidak seperti antagonis reseptor H2. Risiko aspirasi tergantung pada pH dan volume lambung. Peningkatan volume cairan lambung dari pemberian antasid dapat timbul setelah pemberian dosis berulang, seperti sesudah persalinan, selama pemberian opioid juga dapat memperlambat pengosongan lambung. Tidak memberikan antasid karena khawatir dengan peningkatan volume lambung tidak dianjurkan, mengingat dari penelitian pada hewan menunjukkan peningkatan mortalitas setelah aspirasi cairan asam lambung volume rendah (0,3 ml.kg-1, pH 1) dibandingkan dengan aspirasi cairan lambung dengan volume besar (1-2 ml.kg-1, pH 1,8). Antasid dapat memperlambat pengosongan lambung, dan tercampurnya dengan seluruh isi lambung dapat dipertanyakan pada pasien yang imobil. Efek antasid dengan partikel makanan pada lambung tidak diketahui.

OmeprazoleOmeprazole menghambat sekresi asam lambung sesuai dengan dosisnya dengan mengikat pompa proton pada sel parietal. Untuk pasien dewasa, dosis intravena 40 mg, 30 menit sebelum induksi telah digunakan. Dosis oral 40-80 mg harus diberikan 2-4 jam sebelum operasi untuk menjadi efektif. Efek pada pH lambung dapat berlangsung selama 24 jam. Seperti kebanyakan antagonis reseptor H2 lainnya, peneliti telah menemukan peningkatan pada pH lambung dan inkonsisten efek pada volume lambung dengan pemberian omeprazole.

Golongan GastrokinetikGolongan gastrokinetik berguna karena efektifitasnya dalam menurunkan volume cairan lambung. Metoclopramide merupakan contoh dari golongan gastrokinetik yang dapat diberikan sebelum operasi. Metoclopramide. Metoclopramide merupakan antagonis dopamin yang menstimulasi motilitas gastrointestinal atas, meningkatkan tonus sphincter gastroesophageal, dan merelaksasikan pylorus dan duodenum, dan juga mempunyai efek antiemetik. Metoclopramide mempercepat pengosongan lambung tetapi belum diketahui efeknya pada sekresi asam dan pH cairan lambung. Metoclopramide dapat dibeikan secara oral atau parenteral. Dosis parenteral 5-20 mg biasanya diberikan 15-30 menit sebelum induksi. Jika obat tersebut diberikan intravena dalam 3-5 menit, dapat mencegah cramp abdomen yang biasanya terjadi bila pemberiannya lebih cepat. Dosis oral 10 mg mencapai onset dalam 30-60 menit. Waktu paruh eliminasi metocloperamide kira-kira 2-4 jam.Kegunaan klinis golongan gastrokinetik didapatkan pada pasien-pasien yang mempunyai kecenderungan volume asam lambung besar, seperti pada parturient, pasien yang dijadwalkan operasi emergensi yang baru saja makan, pasien obesitas, pasien dengan trauma, pasien rawat jalan, dan pasien dengan gastroparesis sekunder karena diabetes mellitus. Akan tetapi, pemberian metocloperamide tidak menjamin pengosongan lambung. Volume cairan lambung signifikan dapat masih ada walaupun telah diberikan metocloperamide. Efek metoclopramide pada traktus gastrointestinal dapat dihambat dengan pemberian atropine atau sebelumnya mendapatkan injeksi opioid. Metoclopramide tidak langsung menurunkan volume lambung pada pasien yang akan menjalani operasi elektif dengan volume lambung sebelumnya kecil. Metoclopramide dapat tidak efektif setelah pemberian sodium sitrat. Sebaliknya, metoclopramide dapat menjadi sangat efektif dalam mengurangi risiko aspirasi pneumonitis jika dikombinasikan dengan antagonis reseptor H2 (ex: ranitidine) sebelum operasi elektif.Seperti telah disebutkan sebelumnya, obat-obat yang biasa digunakan untuk mengubah pH dan volume cairan lambung relatif bebas dari efek samping. Rasio untung rugi untuk obat-obat ini dalam mengurangi risiko aspirasi paru-paru sering sangat bervariasi. Tentu saja, obat-obat ini pasti menurunkan jumlah pasien yang dalam risiko. Akan tetapi, tidak satu pun obat-obat atau kombinasi dari obat-obat ini yang secara absolut pasti dalam mencegah risiko aspirasi pneumonitis pada seluruh pasien. Karena itu, kegunaannya tidak menghapuskan pentingnya teknik anestesi yang baik untuk melindungi jalan nafas selama induksi, pemeliharaan, dan emergensi anestesi.

AntiemetikAda beberapa kelompok pasien diamana efek antiemetik dari obat dapat menolong dalam mengurangi mual dan muntah. Yaitu pada pasien-pasien yang dijadwalakan untuk operasi mata, pasien dengan riwayat mual dan muntah, pasien yang dijadwalkan untuk laparoskopi atau akan menjalani prosedur ginekologis, dan pasien dengan obesitas. Faktor risiko yang diprediksikan terjadi mual dan muntah post operasi setelah anestesi inhalasi yaitu: wanita, riwayat motion sickness atau mual post operatif, tidak merokok, dan penggunaan opioid post operatif. Para peneliti menduga terapi antiemetik profilaktik jika terdapat dua atau lebih faktor risikojika menggunakan anestesi volatile. Banyak ahli anestesi cenderung untuk tidak memberikan antiemetik sebagai bagian dari regimen pre operatif, tapi percaya bahwa anti emetik sebaiknya diberikan intravena bila diperlukan saat operasi selesai.

DroperidolDroperidol telah diberikan, biasanya intravena, pada dosis klinis rendah untuk mencegah mual dan muntah post operatif. Penelitian oleh Korttila dkk menunjukkan bahwa 1,25 mg droperidol yang diberikan intravena 5 menit sebelum operasi selesai mengurangi insidensi mual dan muntah setelah operasi. Mereka mendapatkan efek antiemetik droperidol lebih baik daripada metoclopramide atau domperidone. Penelitian lain oleh Santos dan Datta menunjukkan efektifitas droperidol sebagai anti emetik pada pasien yang menjalani seksio sesarea dengan anestesi spinal. Akan tetapi, dosis rendah droperidol tidak selalu efektif dalam mencegah mual dan muntah. Dosis tinggi pada akhir operasi dapat menimbulkan sedasi berlebihan di ruang recovery.

MetoclopramideSeperti telah disebutkan pada bagian golongan gastrokinetik, metoclopramide mempunyai efek anti emetik. Efek setelah pemberian pre operatif masih kontroversial dan inkonsisten, seperti ditunjukkan dan dibahas pada penelitian oleh Cohen dkk. Hal ini mungkin sebagian disebabkan dari durasi kerja yang singkat dari metoclopramide.

OndansentronOndansentron merupakan antagonis reseptor serotonin subtipe-3. Diberikan dengan dosis 4-8 mg intravena pada dewasa sebelum induksi, ondansentron telah menunjukkan efektifitas tinggi dalam mencegah mual dan muntah post operatif.

Antiemetik lainBeberapa phenothiazine, terutama prochlorperazine, mempunyai efek anti emetik. Hydroxyzine dan diphenidol merupakan dua obat lain dengan efek anti emetik. Walaupun mempunyai efek antiemetik, domperidone belum terbukti efektif dalam mengurangi mual dan muntah post operatif.

AntikolinergikSebelumnya, obat-obat antikolinergik digunakan secara luas jika anestesi inhalasi menimbulkan sekresi traktus respiratorius dan bradikardia intraoperatif merupakan bahaya yang sering terjadi. Datangnya agen inhalasi baru telah menyebabkan ditinggalkannya rutinitas penggunaan obat antikolinergik sebagai pengobatan pre medikasi. Indikasi spesifik pemberian antikolinergik sebelum operasi yaitu (1) efek antisialogogi dan (2) sedasi dan amnesia.

Efek AntisialogogiAntikolinergik diberikan bila kita ingin mendapatkan jalan nafas yang kering. Sebagai contoh, jika akan dilakukan intubasi endotracheal, ahli anestesi ingin mengurangi sekresi. Pada penelitian oleh Falick dan Smiler, kondisi yang lebih memuaskan didapat setelah intubasi endotracheal jika obat antikolinergik diberikan sebelumnya. Efek antisialogogi penting untuk operasi intraoral dan instrumentasi jalan nafas seperti bronchoscopy. Pemberian antikolinergik mungkin diinginkan sebelum penggunaan anestesi topikal pada jalan nafas untuk mencegah efek dilusi dari sekresi dan menyebabkan terjadinya kontak antara anestesi lokal dengan mukosa.Scopolamine merupakan obat pengering yang lebih kuat daripada atropine. Scopolamine kurang meningkatkan denyut jantung dan lebih cenderung menimbulkan sedasi dan amnesia. Glycopyrrolate lebih kuat dan efek antisialogoginya lebih lama daripada atropin, dengan kemungkinan lebih sedikit terjadinya peningkatan denyut jantung. Karena glycopyrrolate merupakan quaternaryamine, glycopyrrolate tidak mudah menembus sawar darah-otak dan tidak menimbulkan efek sedasi. Antikolinergik bukan merupakan obat satu-satunya sebagai pengering sekret. Seperti ditunjukkan pada penelitian oleh Forrest dkk, beberapa obat lain dan placebo juga dapat mengurangi sekret pada mulut sebelum operasi.

Sedasi dan AmnesiaJika menginginkan efek sedasi dan amnesia sebelum operasi, scopolamine merupakan antikolinergik terpilih, terutama jika dikombinasikan dengan morfin. Baik scopolamine maupun atropine, keduanya dapat menembus sawar darah-otak. Scopolamine mempunyai efek sedatif dan amnestik lebih kuat daripada atropin. Dari penelitian pada pasien yang mendapatkan pengobatan pre operatif, kombinasi morfin dan scopolamine lebih kuat dibandingkan morfin dan atropin. Scopolamine tidak menimbulkan efek amnesia pada seluruh pasien. Scopolamine mempunyai efek amnestik bila dikombinasikan dengan benzodiazepin. Penelitian oleh Frumin dkk menunjukkan bahwa kombinasi diazepam dan scopolamin lebih sering menimbulkan efek amnesia daripada diazepam tunggal.

Efek VagolitikEfek vagolitik obat-obat antikolinergik diperoleh melalui penghambatan efek asetilkolin pada nodus sinoatrial. Atropin yang diberikan intra vena lebih kuat daripada glycopyrrolate dan scopolamine dalam meningkatkan denyut jantung. Kerja vagolitik dari obat-obat antikolinergik berguna dalam mencegah refleks bradikardia selama pembedahan. Bradikardia bisa terjadi pada traksi otot-otot ekstra okular atau viscera abdomen, stimulasi sinus karotis, atau setelah pemberian dosis berulang suksinil kolin intra vena. Pencegahan refleks bradikardia dengan dosis antikolinergik intramuskular tidak dapat dilakukan, waktu pemberian obat dan dosisnya tergantung pada pemberian obat pre operatif di suatu unit. Kebanyakan ahli anestesi memberikan atropine atau glycopyrrolate intra vena segera sebelum operasi dan sebagai antisipasi terjadinya stimulus bradikardi. Pemberian atropine dan glycopyrrolate intra vena segera sebelum operasi efektif dalam mencegah bradikardi yang disebabkan pemberian dosis suksinil kolin berulang.

Peningkatan pH cairan lambung Dosis tinggi antikolinergik sering diperlukan untuk mengubah pH cairan lambung. Akan tetapi pada pemberian pre operatif, anti kolinergik tidak bisa terus menerus menurunkan sekresi ion hidrogen lambung. Fungsi ini telah digantikan oleh antagonis reseptro H2.

Efek Samping Obat-Obat Anti KolinergikScopolamine dan atropine dapat menyebabkan toksisitas susunan saraf pusat yang disebut juga central anticholinergic syndrome. Efek samping ini terjadi setelah pemberian scopolamine. Tetapi dapat juga terlihat setelah pemberian dosis tinggi atropine. Gejala-gejala toksisitas susunan saraf pusat yang disebabkan karena obat-obat anti kolinergik bisa berupa delirium, gelisah, maupun kebingungan. Pasien yang lebih tua dan pasien yang kesakitan lebih sering mengalami efek samping ini. Efek toksik susunan saraf pusat dari anti kolinergik diperkuat oleh anestesi inhalasi. Beberapa klinisi telah sukses menangani sindrom ini dengan 1-2 mg physostigmine intravena. Antikolinergik merelaksasikan sphincter esofagus bawah. Secara teoritis, setelah pemberian antikolinergik parenteral, risiko aspirasi paru dari isi lambung meningkat.Midriasis dan sikloplegia dari obat-obat anti kolinergik sangat tidak diinginkan pada pasien dengan glaukoma karena menimbulkan peningkatan tekanan intra okular. Hal ini jarang terjadi dengan dosis yang digunakan untuk pengobatan pre operatif. Atropine dan glycopyrrolate lebih jarang menimbulkan pengingkatan tekanan intra okular daripada scopolamine. Pada pasien dengan glalukoma, kebanyakan ahli anestesi akan merasa aman dengan meneruskan pengobatan glaukoma terlebih dulu sampai waktu operasi tiba dan menggunakan atropine atau glycopyrrolate jika diperlukan. Karena obat-obat anti kolinergik menghambat aktifitas vagal, terjadi relaksasi otot-otot polos bronkus dan peningkatan dead space pernafasan. Peningkatan dead space pernafasan tergantung pada tonus bronchomotor sebelumnya, tetapi peningkatan sebesar 25-33 % telah dilaporkan. Obat-obat anti kolinergik menyebabkan pengeringan dan penebalan sekresi. Menurut teori, pemberian dosis antikolinergik sebelum operasi dapat menimbulkan penebalan sekresi dan peningkatan tahanan jalan nafas. Hal ini dapat berkembang lebih dari sekedar teori pada pasien dengan penyakit seperti cystic fibrosis.Kelenjar keringat tubuh dipersarafi oleh sistem saraf simpatis dan menggunakan transmisi kolinergik, karena itu pemberian golongan anti kolinergik mempengaruhi mekanisme berkeringat, yang dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh. Efek samping anti kolinergik harus dipertimbangkan dengan hati-hati pada anak-anak dengan demam.Atropine lebih sering menyebabkan peningkatan denyut jantung daripada glycopyrrolate atau scopolamine. Peningkatan denyut jantung yang tidak diinginkan ini lebih sering terjadi setelah pemberian intra vena daripada intra muskular. Pada kenyataannya, denyut jantung dapat turun perlahan setelah pemberian intra muskular sebagai akibat dari efek agonis perifer golongan anti kolinergik.

Agonis 2-AdrenergikAgonis 2-Adrenergik telah digunakan sebagai pre medikasi. Klonidin dengan 2,5-5 g.kg-1 diberikan pre operatif untuk menimbulkan efek sedasi, mengurangi konsentrasi maksimum yang dapat diterima, dan mencegah hipertensi dan takikardi yang ditimbulkan oleh intubasi endotracheal dan stimulasi pembedahan. Klonidin bahkan telah digunakan sebagai teknik anestesi untuk menimbulkan hipotensi buatan. Dexmedetomidine merupakan agonis 2-Adrenergik lain yang telah dipelajari untuk kegunaan pre operatif untuk mengurangi respon simpatoadrenal intra operatif. Setelah pemberian klonidin pre operatif, terdapat episode hipotensi dan bradikardi selama anestesi jika periode stimulasi bedah sedikit.

Obat-Obat Lain yang Diberikan Bersama Medikasi Pre OperatifWalaupun bukan medikasi pre operatif, obat-obat lain sering diberikan pada waktu medikasi pre operatif. Contohnya adalah insulin, steroid, antibiotik, dan metadon untuk pasien yang adiktif terhadap opioid. Obat-obat ini mungkin diberikan oleh ahli anestesi atau ahli bedah untuk diberikan segera sebelum operasi. Kerja obat-obat ini bisa mempengaruhi anestesi dan ahli anestesi harus tahu mengenai cara pemberian dan kerjanya.

AntibiotikAntibiotik sering diberikan segera sebelum operasi, untuk luka-luka operasi yang terkontaminasi, mudah terkontaminasi, atau kotor. Antibiotik profilaksis dianjurkan untuk prosedur operasi bersih jika terdapat ancaman terjadinya infeksi. Contoh lain penggunaan antibiotik profilaksis termasuk pasien-pasien imunosupresi, usia tua, atau yang mengkonsumsi steroid. Antibiotik yang diberikan segera sebelum operasi juga berguna untuk mencegah endokarditis. Pasien dengan penyakit katup jantung, katup prostetik, prolaps katup mitral, atu kelainan jantung lainnya berbahaya bila mengalami bekteriemi yang ditimbulkan selama pembedahan. Kira-kira 60-70 % pasien bedah menerima antibiotik segera sebelum atau selama operasi. Yang paling sering adalah golongan cephalosporin. Akan tetapi, tidak ada obat atau kombinasi obat yang dapat melindungi dari seluruh patogen pada bermacam operasi. Seperti pengobatan lainnya, ahli anestesi harus mengetahui eek samping dan komplikasi antibiotik yang diberikan. Beberapa antibiotik dapat menimbulkan reaksi alergi, hipotensi, dan bronkhospasme (contoh: penisilin dan vankomisin). Reaksi alergi karena pemberian cephalosporin terjadi kira-kira pada 5 % pasien. Reaksi silang cephalosporin pada pasien yang mengetahui alergi penisilin terjadi pada 5-20 % pasien. Aminoglikosid, vancomycin, dan polymyxin mempunyai efek nefrotoksisk. Sebagai tambahan, ototoksisitas didapatkan dari pemberian aminoglikosid dan vancomycin. Coitis pseudomembran diketahui sebagai kompolikasi dari klindamisin.

SteroidPemberian steroid mungkin diperlukan segera sebelum operasi pada pasien hipoadrenocorticisme atau pada pasien dengan supresi aksis pituitary-adrenal yang sedang atau sebelumnya mendapatkan terapi kortikosteroid. Tidak mungkin menentukan durasi spesifik terapi atau dosis steroid yang dapat menimbulkan supresi adrenal. Pehatikan variasi masing-masing pasien. Yang pasti, lebih berat supresi, lebih besar dosis dan lebih panjang durasi terapi. Perkiraan kasar yaitu pertimbangkan terapi pada pasien yang telah mendapatkan terapi kortikosteroid selama 6-12 bulan terakhir. Karena kelainan aksis pituitary-adrenal atau karena supresi dari terapi steroid, pasien mungkin tidak dapat merespon terhadap stres karena pembedahan. Dosis dan durasi pemberian steroid tambahan tergantung pada perkiraan stres dari prosedur operasi selama masa operasi. Satu regimen diberikan 25 mg kortisol pre operatif kemudian infus intra vena 100 mg kortisol dalam 12-24 jam berikutnya untuk pasien dewasa. Metode lain yaiu dengan memberikan 100 mg hydrocortisone intra vena sebelum, selama, dan setelah operasi. Dalam memutuskan apakah akan memberika steroid atau steroid dosis tinggi, ahli anestesi harus diingat bahwa rasio untung ruginya biasanya kecil.

InsulinAnestesi dan pembedahan sering mengganggu jadwal makan reguler dan jadwal pemberian insulin pada pasien diabetes. Stress peri operatif dapat meningkatkan konsentrasi glukosa serum. Rencana pemberian insulin dan glukosa peri operatif harus disetujui oleh ahli anestesi, ahli bedah, dan ahli endokrin yang merawat pasien tersebut. Terdapat beberapa metode dalam melakukannya. Salah satunya yaitu dengan memberikan insulin kerja sedang 1/4-1/2 dari dosis harian biasanya pada masa pre operatif di pagi hari waktu operasi dan mulai infus cairan yang mengandung glukosa. Cara kedua yaitu dengan tidak memberikan insulin atau glukosa pre operatif dan mengukur kadar glukosa serum selama anestesi. Insulin atau glukosa kemudian diberikan intra operatif dan post operatif sesuai kebutuhan. Metode ketiga yaitu dengan memberikan infus insulin dan glukosa segera pre operatifi dan mengkukur kadar glukosa serum secara berkala.

Ketergantungan OpioidEfek lepas obat yang disebabkan oleh paparan obat menjadi isu pada pasien yang mengkonsumsi metadon atau golongan lain pengganti metadon. Ahli anestesi harus berhati-hati dalam menggunakan obat agonis-antagonis untuk pasien pada waktu pre operatif untuk mencegah timbulnya efek lepas obat.

PERBEDAAN MEDIKASI PRE OPERATIF ANTARA PASIEN DEWASA DAN ANAK-ANAKPerbedaan antara dewasa dan anak-anak dalam hubungannya dengan medikasi pre operatif meliputi aspek persiapan psikologis, medikasi oral, dan lebih sering penggunaan antikolinergik untuk aktifitas vagolitik.

Faktor Psikologis pada Pasien-Pasien PediatrikMasuk rumah sakit dan menjalani operasi besar dapat menimbulkan efek psikologis yang berlangsung lama pada beberapa anak. Tinggal di rumah sakit itu menimbulkan stress dan penuh dengan ketakutan pada hampir seluruh anak-anak. Stress psikologis dan kecemasan cenderung tidak terjadi pada operasi kecil dan perawatan singkat di rumah sakit. Usaha komunikasi dari ahli anestesi dapat membuat perbedaan pada anak-anak sehingga siap untuk masuk ke kamar operasi, dilakukan anestesi, dan menjalankan pembedahan.Usia mungkin merupakan aspek yang paling penting pada persiapan psikologis pada anak-anak. Bayi yang berusia kurang dari 6 bulan secara emosional tidak akan merasa kesal bila dipisahkan dari ibunya. Ibunya bisa digantikan dengan mudah oleh orang lain dari tim perawat. Persiapan pre operasi pada usia ini sering langsung pada tujuannya. Akan tetapi anak-anak pre sekolah akan merasa kesal jika dipisahkan dari ibunya dan merasa takut berada di kamar operasi. Pada usia tersebut hal-hal yang berhubungan dengan rumah sakit merupakan hal yang paling mengesalkan. Sangat sulit untuk menjelaskan apa yang akan dilakukan pada anak-anak di usia ini. Lebih mudah untuk mengkomunikasikan dengan pasien usia 5 tahun ke atas. Ahli anestesi dapat menjelaskan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan perpisahan dari orang tuan rumah, mengenai kamar operasi, dan perasaan takut dalam menghadapi operasi dan anestesi. Pasien remaja dapat juga merasa cemas. Mereka mungkin akan merasa khawatir mengenai hilangnya kesadaran, takut mati, atau khawatir mengenai apa yang akan mereka lakukan atau ketakutan setelah sedasi pre operatif atau selama anestesia. Ketakutan anak-anak mungkin sulit untuk diidentifikasi. Biasanya anak-anak yang terlihat pendiam selama wawancara pre operatif sulit untuk diketahui rasa takutnya. Pada anak-anak ini biasanya perlu persiapan farmakologis lebih. Persiapan PsikologisKarena alasan di atas maka persiapan psikologis lebih penting pada anak-anak daripada dewasa. Hal ini merupakan seni yang harus dimiliki seorang ahli anestesi. Kunjungan pre operasi adalah waktu untuk memastikan kembali dan untuk menjelaskan kepada pasien, saatnya untuk mendapatkan kepercayaan dari anak. Biasanya orang tua dilibatkan sehingga sang anak dapat melihat orang tuanya menerima apa yang dijelaskan oleh ahli anestesi. Beberapa rumah sakit mempunyai brosur, gambar, slide untuk membantu mempersiapkan pasien anak dioperasi. Sang anak biasanya membawa benda kesayangannya misalnya boneka atau selimut agar merasa aman. Dengan adanya dukungan dari orang tua untuk menemani anak ke ruang opersi akan sangat membantu. Beberapa rumah sakit mengijinkan orang tua masuk ke ruang operasi sampai proses induksi lengkap.

Perbedaan Persiapan FarmakologisPersiapan farmakologis untuk pasien anak lebih ke persiapan psikologis, ruang operasi yang menyenangkan, dan persiapan efisiensi waktu induksi.

Hipnotik-SedatifSeperti pada dewasa, hipnotik-sedatif digunakan untuk mengurangi rasa takut serta menyebabkan sedasi dan amnesia. Juga digunakan untuk memfasilitasi induksi agar berjalan mulus bila digunakan metoda inhalasi. Penggunaan obat-obatan pre operatif pada pasien anak masih kontroversi. Belum dapat dibuktikan untuk menurunkan efek psikologis setelah anestesi dalam operasi. Anak usia 6 bulan-1 tahun tidak perlu diberi obat-obatan sebelum operasi. Injeksi intra muskular sebaiknya dihindari pada pasien anak. Pada anak yang lebih tua biasanya diberikan per oral, usia pra sekolah bisa pula diberikan per rektal. Midazolam dapat diberikan intra muskular (0,2 mg/kg bb). Bagaimanapun juga rute yang paling efektif dan dapat diterima untuk midazolam adalah per oral, dengan cara mencampur 0,5-0,75 mg/kg BB dengan sirup, jus apel atau cola karena rasanya yang pahit. Efektif menimbulkan sedasi tapi tidak sampai tertidur, lebih kurang 15 menit dan berlangsung selama 30-60 menit. Ketamin oral 5-10 mg diberikan 20-30 menit sebelum induksi. Sekresi oral dan delirium pre/post operasi bisa jadi masalah. Ketamine (3-8 mg/kg BB) dan midazolam 0,2 mg/kg BB) keduanya dapat diberikan menggunakan nasal otomizer, tapi akan terasa pahit. Ketamin (5 mg/kg BB) dan midazolam (0,3-1 mg/kg BB) juga diberikan per rektal sebelum induksi anestesi. Pilihan lain juga bisa diberikan methohexital pe rektal (20-30 mg/kg BB) diberikan segera sebelum operasi, ketika anak masih bersama orang tuanya. Pemberian intra muskular juga memungkinkan.

OpioidTidak selalu diberikan. Metadon diberikan per oral, 0,1-0,2 mg/kg BB. Morphine, meperidine intra muskular juga dapat digunakan, sering dikombinasikan dengan obat lain. Morphine intra muskular biasanya untuk persiapan farmakologis untuk anak dengan penyakit jantung kongenital. Di beberapa rumah sakit opioid dikombinasikan dengan hipnotik-sedatif dan anti kolinergik untuk dibuat cocktail lalu diberikan per oral sebagai medikasi pre operasi. Pemberian fentanyl (5-20 g/kg BB) dan sufentanyl (3 g/kg BB) yang diberikan intranasal juga dapat digunakan untuk menenangkan pasien anak pre operasi.

AntikolinergikOleh karena mudahnya menyebabkan refleks vagal maka anti kolinergik sangat penting diperhatikan terutam untuk anak-anak. Bradikardi bisa disebabkan oleh karena manipulasi jalan nafas, manipulasi operasi, atau obat-obat anestesi seperti halothane atau suksinilkolin. Bila tidak ada kontra indikasi, kebanyakan pasien anak diberikan atropin intra vena segera setelah induksi anestesi dan pemasangan kateter intra vena. Scopolamine juga dapat digunakan untuk pasien anak untuk menghasilkan sedasi dan amnesia. Pemberian pada anak yang demam tidak dianjurkan. Pasien down syndrome sensitif terhadap atropine, akan berefek terhadap denyut jantung dan menyebabkan midriasis.