PENGGUNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SEKOLAH · PDF fileJurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan...

13
Volume 1, Desember 2010 100 PENGGUNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) BERTARAF INTERNASIONAL SEBAGAI BAROMETER EVALUASI SEKOLAH JATI NANTIASA AHMAD Jati Nantiasa Ahmad adalah seorang mahasiswa dari Fakultas Psikologi, peminatan Psikologi Sosial dan Psikologi Pendidikan, Universitas Indonesia. Penulis lahir pada tanggal 21 Maret 1987 di kota Denpasar, Bali. Ia memulai studinya di Fakultas Psikologi UI pada tahun 2006. Salah satu tulisannya adalah “Mengintip kebudayaan Indonesia lewat celah Psikologi”. Tulisan ini menjadi finalis terbaik dalam lomba yang diselenggarakan oleh Tempo-Institute pada tahun 2009 yang diikuti oleh 998 mahasiswa dari 207 perguruan tinggi yang tersebar 65 kota di Indonesia. Untuk berkorespodensi dengan penulis, dapat melalui alamat email [email protected]

Transcript of PENGGUNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SEKOLAH · PDF fileJurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan...

Page 1: PENGGUNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SEKOLAH · PDF fileJurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora 101 ... OECD countries and literature review”, ... adanya parameter kualitatif

Volume 1, Desember 2010100

PENGGUNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SEKOLAH

MENENGAH ATAS (SMA) BERTARAF INTERNASIONAL

SEBAGAI BAROMETER EVALUASI SEKOLAHJATI NANTIASA AHMAD

Jati Nantiasa Ahmad adalah seorang mahasiswa dari Fakultas Psikologi, peminatan Psikologi Sosial dan Psikologi Pendidikan, Universitas Indonesia. Penulis lahir pada tanggal 21 Maret 1987 di kota Denpasar, Bali. Ia memulai studinya di Fakultas Psikologi UI pada tahun 2006. Salah satu tulisannya adalah “Mengintip kebudayaan Indonesia lewat celah Psikologi”. Tulisan ini menjadi finalis terbaik dalam lomba yang diselenggarakan oleh Tempo-Institute pada tahun 2009 yang diikuti oleh 998 mahasiswa dari 207 perguruan tinggi yang tersebar 65 kota di Indonesia. Untuk berkorespodensi dengan penulis, dapat melalui alamat email [email protected]

Page 2: PENGGUNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SEKOLAH · PDF fileJurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora 101 ... OECD countries and literature review”, ... adanya parameter kualitatif

Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora 101

PENGGUNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) BERTARAF INTERNASIONAL

SEBAGAI BAROMETER EVALUASI SEKOLAH

JATI NANTIASA AHMAD

AbstractNowadays there are three criterias of Senior High School in Indonesia. They are ‘Sekolah Bertaraf Internasional’ (SBI), ‘Sekolah dengan Kategori Mandiri’ (SKM), dan ‘Sekolah Biasa’ (SB). In order to be ‘Sekolah Bertaraf Internasional’, the school needs to complete the requirement which is held by ministry of national education. School Well-Being that is proposed in this journal has similar dimension with the requirement of ‘Sekolah Bertaraf Internasional’. School Well-Being consists of four dimensions namely Having, Loving, Being, and Health. In correlating with that dimension, the requirements of ‘Sekolah Bertaraf Internasional’ consist of 1) Completing the national standard education, 2) There are at least 30% teacher who have Master degree and Doctoral degree, 3) The culture of school give assurance that the learning process in school is based on character education, democratic, participate, and free of bullying, and 4) The infrastructure is based on TIK. The measurement that is used to measure School Well Being was created by Konu & Rimpelä (2002). Then some researcher from Faculty of Psychology University of Indonesia has adapted that measurement in order to adjust to Indonesian context. However, the validity and reliability testing is needed to create this measurement become the barometer of school evaluation. This study is a literature study that applies the data from previous empiric study.

Keywords: Sekolah bertaraf Internasional (School Well-Being); studi literatur (Literature Study)

Page 3: PENGGUNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SEKOLAH · PDF fileJurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora 101 ... OECD countries and literature review”, ... adanya parameter kualitatif

Volume 1, Desember 2010102

PENDAHULUAN Indonesia sebagai sebuah negara

yang berdaulat, memberikan hak atas pendidikan bagi warga negaranya. Hal ini tercantum di dalam UUD 45 Bab XIII pasal 31 ayat 1 dan 2, yakni setiap warga negara berhak mendapat pengajaran dan pemerintah mengatur bentuk pendidikan di Indonesia melalui undang-undang. Hal ini mengindikasikan bahwa segala bentuk pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia merupakan kewenangan pemerintah dan warga negara hanya mengikuti bentuk pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah tersebut.

Menurut UU Sisdiknas no 20 tahun 2003, jalur pendidikan di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu formal, informal dan non-formal. Jalur pendidikan formal adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh institusi sekolah. Jalur pendidikan informal diselenggarakan oleh keluarga dan lingkungan sekitar. Misalnya, penanaman moral yang dianut oleh masyarakat. Jalur pendidikan non-formal diselenggarakan oleh lembaga atau institusi selain sekolah, misalnya lembaga kursus. Institusi sekolah merupakan jalur pendidikan yang paling banyak dipilih oleh masyarakat karena institusi sekolah memberikan legitimasi bagi peserta didik berupa pengakuan dalam bentuk tertulis, yakni ijazah serta adanya tahapan pendidikan yang jelas bagi peserta didik.

Sekolah merupakan sarana bagi kelompok individu untuk saling berinteraksi. Kelompok individu itu sendiri merupakan sarana pembelajaran mengenai pengetahuan tentang peran sosial dan batasan norma (Holander dalam Bachrie, 2009). Davis dan Tolan

(1993) menjelaskan bahwa sekolah merupakan konteks lingkungan sosial yang kuat dan potensial sebagai sarana atau tempat perkembangan sosial remaja (Bachrie, 2009). Lebih lanjut lagi, sekolah merupakan sarana yang potensial dalam membentuk kepribadian individu, mengingat dampaknya bagi perkembangan remaja pada sejumlah aspek kehidupan, seperti identitas diri, keyakinan akan kemampuan diri, gambaran mengenai kehidupan, hubungan antar pribadi, batasan norma antara yang baik dan buruk, serta konsep akan sistem sosial selain keluarga sehingga keberadaan sekolah merupakan aspek yang penting bagi setiap individu.

Pada masa remaja, sekolah merupakan elemen yang penting dalam proses perkembangan individu. Pada masa sekarang, pendidikan merupakan aspek yang penting karena pendidikan menyiapkan remaja dalam pemilihan karir di masa depan (Papalia, Olds, dan Feldman, 2009). Di Indonesia, anak usia remaja umumnya berada pada Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan.

Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah sebuah institusi yang memberikan pendidikan sekunder yang merupakan lanjutan dari pendidikan dasar 9 tahun (Depdikbud,1997). Dalam undang-undang tentang pendidikan pasal 1 ayat 2 PP No.29 tahun 1990 dinyatakan bahwa SMA merupakan salah satu bentuk pendidikan menengah, yaitu pendidikan yang diselenggarakan bagi lulusan dasar. Tujuan dari SMA, seperti yang tertera dalam pasal 2 ayat 1 PP No 29 tahun 1990 adalah 1) adalah untuk meningkatkan pengetahuan siswa dalam melanjutkan

Page 4: PENGGUNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SEKOLAH · PDF fileJurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora 101 ... OECD countries and literature review”, ... adanya parameter kualitatif

Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora 103

pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dan untuk mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian dan 2) meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitarnya sdangkan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah pendidikan pada jenjang pendidikan menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk melaksanakan jenis pekerjaan tertentu. Yang menjadi tujuan SMK, seperti yang tertera dalam pasal 3 ayat 2 PP No 29 tahun 1990, yakni untuk persiapan siswa memasuki lapangan kerja serta mengembangkan sikap professional.

Saat ini, menurut UU Sisdiknas no 20 tahun 2003, terdapat klasifikasi sekolah pada tingkatan pendidikan menengah negeri. Sekolah itu antara lain disebut Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Sekolah dengan Kategori Mandiri (SKM), dan kelompok Sekolah Biasa (SB). Dari ketiga klasifikasi tersebut, Sekolah Bertaraf Internasional merupakan klasifikasi tertinggi karena untuk menjadi sebuah Sekolah Berstandar Internasional, sekolah tersebut telah melalui tahap Sekolah Biasa (SB) dan Sekolah dengan Kategori Mandiri (SKM).

Dibentuknya sekolah bertaraf internasional di Indonesia didasari oleh beberapa alasan, yakni sebagai berikut: (1) Pada tahun 90-an banyak sekolah-sekolah yang didirikan oleh suatu yayasan dengan menggunakan identitas internasional tetapi tidak jelas kualitas dan standarnya. Hal ini dapat merugikan masyarakat yang menggunakan jasa

sekolah internasional tersebut, (2) Banyaknya yayasan yang mendirikan sekolah dengan identitas internasional karena belum adanya payung hukum yang mengatur penyelenggaraan sekolah internasional, (3) Karena belum adanya sekolah internasional yang berstandar, maka banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya ke luar negeri guna mendapatkan pendidikan dengan standar internasional, (4) Pemerintah merasa perlu membangun sekolah berkualitas sebagai pusat unggulan (center of excellence) pendidikan. Berdasarkan hal tersebut, maka Sekolah Bertaraf Internasional mulai dirintis (mandikdasmen.depdiknas.go.id).

Untuk menjadi sebuah sekolah bertaraf internasional, maka sebuah SMA harus memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya: 1) Sudah memenuhi Standar Nasional Pendidikan, 2) Guru memiliki pendidikan S2/S3 minimal berjumlah 30%, 3) Kultur sekolah menjamin pendidikan karakter, bebas bullying, demokratis dan partisipatif, dan 4) Sarana prasarana berbasiskan TIK. Adapun Standar Nasional Pendidikan (SNP) pada poin 1 meliputi hal-hal berikut: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga pendidik, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, standar penilaian pendidikan (mandikdasmen.go.id).

Pemerintah melalui peraturan menteri pendidikan nasional republik Indonesia no. 78 tahun 2009 tentang penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menyebutkan, bahwa penilaian terhadap sekolah bertaraf internasional didasarkan kepada

Page 5: PENGGUNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SEKOLAH · PDF fileJurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora 101 ... OECD countries and literature review”, ... adanya parameter kualitatif

Volume 1, Desember 2010104

hal berikut ini: 1) Sekolah bertaraf internasional menerapkan standar penilaian yang diperkaya dengan sistem penilaian pendidikan sekolah unggul di negara anggota OECD atau negara maju lainnya, 2) Sekolah bertaraf internasional menerapkan model penilaian otentik dan mengembangkan model penilaian berbasis teknologi informasi dan komunikasi, 3) Sekolah bertaraf internasional melaksanakan ujian sekolah yang mengacu pada kurikulum satuan pendidikan yang bersangkutan, 4) Sekolah bertaraf internasional melaksanakan ujian sekolah yang mengacu pada kurikulum satuan pendidikan yang bersangkutan, 5) Dapat melaksanakan ujian sekolah dalam bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, 6) Peserta didik sekolah bertaraf internasional wajib mengikuti ujian nasional, 7) Sekolah bertaraf internasional memfasilitasi peserta didiknya untuk mengakses sertifikasi yang diakui secara internasional atau mengikuti ujian akhir sekolah yang sederajat dari negara anggota OECD atau negara maju lainnya.

Berdasarkan hal di atas, pada poin ke 1 disebutkan bahwa sekolah bertaraf internasional menerapkan standar penilaian yang diperkaya dengan sistem penilaian pendidikan sekolah unggul di negara anggota OECD atau negara maju lainnya. OECD merupakan singkatan Organisation for Economic Co-operation and Development. OECD adalah sebuah forum yang didalamnya terdiri dari 30 negara demokrasi yang bekerjasama untuk menghadapi tantangan ekonomi, sosial dan tata kelola globalisasi, serta memanfaatkan peluang yang terdapat di dalamnya. Di dalam organisasi

ini, para anggotanya dapat bertukar pengalaman mengenai kebijakan, mencari penyelesaian atas masalah-masalah yang umum terjadi di masing-masing negara, dan mengidentifikasi sejauh mana kebijakan domestik dan internasional dijalankan dengan baik kemudian mengkordinasikannya. OECD juga membantu pemerintah untuk meningkatkan kemakmuran dan memerangi kemiskinan melalui pertumbuhan ekonomi, stabilitas keuangan, perdagangan dan investasi, teknologi, inovasi, kewirausahaan, dan pengembangan kerjasama. Hal ini membantu untuk memastikan bahwa implikasi lingkungan dari pembangunan ekonomi dan sosial diperhitungkan di dalam pemerintahan, termasuk menciptakan pekerjaan bagi semua orang, keadilan sosial, dan mencapai tata pemerintahan yang bersih dan efektif, serta pengembangan pendidikan (oecd.org).

Berdasarkan kajian OECD melalui “School evaluation: current practices in OECD countries and literature review”, didapatkan bahwa terdapat empat domain di dalam evaluasi sekolah, yakni evaluasi lulusan sekolah, evaluasi tingkat kelas, evaluasi tingkat sekolah, dan evaluasi lingkungan sekolah. Lebih lanjut lagi, evaluasi lulusan sekolah terkait dengan prestasi akademik, perkembangan diri dan sosial, serta tujuan siswa setelah lulus sekolah. Kemudian, evaluasi tingkat kelas berhubungan dengan kualitas kegiatan belajar mengajar sedangkan evaluasi tingkat sekolah berhubungan dengan sekolah sebagai tempat pembelajaran, sosialisasi dan profesionalisasi. Evaluasi lingkungan sekolah memfokuskan

Page 6: PENGGUNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SEKOLAH · PDF fileJurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora 101 ... OECD countries and literature review”, ... adanya parameter kualitatif

Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora 105

kepada hubungan antara orang tua dan sekolah, sebaik hubungan antara sekolah dan lingkungan sekitar (Faubert, 2009).

OECD kemudian menganjurkan adanya parameter kualitatif dalam evaluasi seperti di negara Inggirs dan Wales, yaitu berupa aspek spiritual, moral, sosial budaya, dan kontribusi sekolah dalam pengembangan well-being siswa (Faubert, 2009). Lebih lanjut lagi, diperlukan adanya penilaian siswa terhadap sekolahnya. Hal ini bertujuan untuk melihat penilaian secara kualitatif terhadap sekolah serta untuk pemerintah dalam membuat kebijakan pendidikan (Faubert, 2009).

Berdasarkan hal tersebut, maka di Indonesia perlu juga diadakan penilaian secara subjektif oleh siswa terhadap sekolahnya pada sekolah bertaraf internasional. Salah satu penilaian subjektif yang dapat dilakukan oleh siswa adalah school well-being. School well-being adalah penilaian subjektif siswa terhadap keadaan sekolahnya yang meliputi having, loving, being, dan health (Konu & Rimpelä, 2002). School well-being merupakan sebuah model yang berdasar pada well-being yang dikembangkan oleh Allardt (dalam Konu & Rimpelä, 2002). Konsep well-being itu sendiri berasal dari khasanah tradisi sosiologi (Allardt dalam Alanen,et al., 2002). Allardt mendefinisikan well-being sebagai sebuah keadaan yang memungkinkan individu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya (dalam Konu & Rimpelä, 2002). Pemenuhan kebutuhan dasar memiliki empat kategori, yakni having, loving, being dan health. Having mengacu kepada keadaan material dan non-material, misalnya keadaan

bangunan dan lingkungan sekolah atau bentuk punishment yang diberikan kepada siswa. Loving mengacu kepada kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan orang lain dan membentuk identitas sosial, misalnya bagaimana keadaan iklim sekolah, hubungan siswa dengan guru, dan hubungan siswa dengan siswa. Kemudian, being merupakan kebutuhan untuk pertumbuhan sosial, misalnya kemungkinan siswa untuk berkreativitas, penghargaan siswa di sekolah, bimbingan dan dorongan yang diberikan pada siswa. Yang terakhir, health merupakan simtom fisik dan mental yang mencakup flu, pilek biasa hingga penyakit kronis (Konu & Rimpelä, 2002).

Penggunaan school well-being sebagai barometer evaluasi ditujukan agar Sekolah Bertaraf Internasional dapat mengikuti perkembangan dunia pendidikan. Dengan menggunakan school well-being, diharapkan Sekolah Bertaraf Internasional dapat meningkatkan kapasitas daya saingnya. Pada jurnal ini penjelasan mengenai school well-being dilakukan melalui studi literatur dengan menggunakan data-data empiris dari hasil penelitian terdahulu.

School well-beingSchool well-being merupakan

sebuah model yang dikembangkan oleh Konu dan Rimpelä (2002). School well-being merujuk kepada model konseptual well-being yang dikemukakan oleh Allardt, (Konu & Rimpelä, 2002). Allardt mengemukakan bahwa dalam tradisi sosiologis, well-being juga merupakan konsep welfare yang mencakup level of living and quality of life, (Konu & Rimpelä, 2002). Selanjutnya, Allardt

Page 7: PENGGUNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SEKOLAH · PDF fileJurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora 101 ... OECD countries and literature review”, ... adanya parameter kualitatif

Volume 1, Desember 2010106

mendefinisikan well-being sebagai keadaan yang memungkinkan individu memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasarnya yang mencakup kebutuhan material maupun non-material (Allardt dalam Konu & Rimpelä, 2002). Kebutuhan tersebut oleh Allardt dibagi menjadi kategori having, loving, dan being. Kemudian, dalam perkembangannya, ia menambahkan aspek health ke dalam kategory having (Allardt dalam Konu & Rimpelä, 2002). Well-being dapat dilhat

dari dua indikator, yakni indikator objektif dan indikator subjektif. Indikator objektif didasarkan pada observasi eksternal dan indikator subjektif didasarkan pada ekspresi orang terhadap sikap mereka dan persepsi mereka terhadap kondisi lingkungannya (Konu & Rimpelä, 2002). Allardt kemudian membuat tabulasi well-being berdasarkan indikator objektif dan subjektif (Konu & Rimpelä, 2002), yakni sebagai berikut

Kategori Indikator objektif Indikator subjektifHaving Pengukuran objektif dari

tingkat kehidupan dan kondisi lingkungan

puas-tidak puas; perasaan subjektif atas ketidakpuasan – kepuasan terhadap kondisi kehidupan yang dialami

Loving Pengukuran objektif dari hubungan dengan orang lain

Bahagia-tidak bahagia; perasaan subjektif mengenai hubungan sosial

Being Pengukuran objektif dari hubungan individu dengan masyarakat dan alam

Perasaan subjektif m e n g e n a i p e n g a s i n g a n -p e r t u m b u h a n personal

Tabel 8.1Berdasarkan tabel tersebut, maka

penelitian ini menggunakan indikator subjektif yang lebih menenkankan kepada perasaan subjektif seseorang terhadap kondisi kehidupannya.Definisi school well-being

Berdasarkan konsep well-being yang dikemukakan Allardt, Konu dan Rimpelä (2002) kemudian mengembangkan well-being dalam konteks sekolah yang dinamakan school well-being. Dalam kajiannya, Konu dan Rimpelä (2002) mengembangkan konsep tersebut melalui kajian terhadap

berbagai literatur sosiologis, pendidikan, psikologis, dan peningkatan kesehatan, hingga pada akhirnya menghasilkan model school well-being. Di dalamnya ditambahkan aspek health sehingga kebutuhan dasar yang harus dipenuhi adalah having, loving, being, dan health (Konu & Lintonen, 2005). Konu dan Rimpelä (2002) kemudian mendefinisikan school well-being sebagai sebuah keadaan sekolah yang memungkinkan individu memuaskan kebutuhan dasarnya, yang meliputi having, loving, being, dan health.

Pada penelitian ini, definisi school

Page 8: PENGGUNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SEKOLAH · PDF fileJurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora 101 ... OECD countries and literature review”, ... adanya parameter kualitatif

Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora 107

well-being yang digunakan adalah penilaian subjektif siswa terhadap keadaan sekolahnya yang meliputi having, loving, being, dan health.

Model school well-beingDalam model school well-being

yang dikembangkan oleh Konu dan Rimpelä (2002), terdapat hubungan

antara pengajaran atau pendidikan dan pembelajaran dalam kaitannya dengan school well-being. Selain itu, keadaan rumah siswa dan lingkungan sekitarnya juga berpengaruh terhadap sekolah siswa tersebut sehingga dibentuklah sebuah model school well-being sebagai berikut:

Model 8.2

Model school well-being di atas ditampilkan dari sudut pandang siswa yang terdiri dari empat aspek yakni having (kondisi sekolah), loving (hubungan sosial), being (pemenuhan diri), dan health (status kesehatan). Berdasarkan empat aspek tersebut, dapat dilihat bahwa school well-being merupakan suatu konsep yang multidimensional (Konu, dkk., 2002). Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai ke empat aspek, maka akan dibahas lebih lanjut.

Having (kondisi sekolah)Having (kondisi sekolah)

mencakup aspek material dan non-material meliputi lingkungan fisik, mata pelajaran dan jadwal, hukuman, dan pelayanan di sekolah (Konu & Rimpelä, 2002). Berikut penjelasan aspek kondisi sekolah.

Lingkungan1. Papalia, Olds, dan Feldman (2009)

mengemukakan bahwa lingkungan sekolah (meliputi kualitas udara, temperatur, kelembaban, pencahayaan,

Page 9: PENGGUNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SEKOLAH · PDF fileJurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora 101 ... OECD countries and literature review”, ... adanya parameter kualitatif

Volume 1, Desember 2010108

dan tingkat kebisingan) yang sesuai dapat meningkatkan performa siswa. Dalam school well-being, lingkungan fisik terdiri dari lingkungan, kenyamanan, kebisingan, ventilasi, temperatur. Menurut Page dan Tana (2007), lingkungan fisik meliputi bangunan sekolah dan area sekitarnya, bahan-bahan biologis dan kimiawi yang mengganggu kesehatan, dan kondisi fisik seperti temperatur, kebisingan, dan pencahayaan.

Mata pelajaran2. Pemberian tugas kepada siswa

harus dilakukan secara seimbang antara tugas sekolah dan tugas di rumah. Tugas yang diberikan secara berlebihan menimbulkan ketidakpuasan siswa di sekolah (Larson, dalam Gilman & Huebner, 2003).

Hukuman3. Hukuman adalah konsekuensi yang

diberikan untuk menurunkan frekuensi munculnya suatu tingkah laku (Santrock, 2008). Tujuan diberikannya hukuman adalah untuk mengajarkan kedisiplinan bagi siswa. Oleh karena itu, pemberian hukuman harus dilakukan dengan tepat agar siswa mampu memahami tujuan dari hukuman tersebut.

Omrod (2006) mengidentifikasi beberapa hukuman ringan yang efektif dalam mengurangi tingkah laku yang berpotensi mengganggu kegiatan belajar di kelas yakni sebagai berikut:

a) verbal reprimand (scolding), yakni memberikan teguran secara verbal ketika siswa menunjukkan perilaku yang tidak sesuai.

b) response cost, yakni memberikan reinforcement dalam bentuk

token ketika siswa menunjukkan perilaku yang diharapkan dan mengambil kembali token tersebut ketika siswa menunjukkan perilaku yang tidak diharapkan sebagai konsekuensinya.

c) logical consequences, yakni memberikan konsekuensi yang alamiah dan logis ketika siswa menunjukkan perilaku yang tidak diharapkan.

d) time-out, yakni siswa ditempatkan pada situasi yang membosankan, seperti di sudut kelas atau di sebuah ruangan kecil dengan tidak adanya kesempatan untuk memperoleh reinforcement atau interaksi sosial. Jangka waktu yang diberikan untuk menjalani hukuman ini cukup singkat, yaitu antara dua hingga sepuluh menit tergantung pada usia siswa.

e) in-school suspension, yakni bentuk hukuman yang tidak jauh berbeda dengan time-out. Dalam hal ini, siswa ditempatkan di tempat yang tenang atau membosankan untuk melakukan pekerjaan sekolah. Hukuman ini berlangsung selama satu hari atau lebih dengan pengawasan orang dewasa.

Pelayanan4. Pelayan sekolah ditujukan untuk

menunjang kegiatan siswa selama berada di sekolah. Pelayanan sekolah meliputi layanan makan siang (kantin), pelayanan kesehatan, dan konseling (Konu & Rimpelä, 2002).

Loving (hubungan sosial)Loving (hubungan sosial) merujuk

kepada lingkungan pembelajaran

Page 10: PENGGUNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SEKOLAH · PDF fileJurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora 101 ... OECD countries and literature review”, ... adanya parameter kualitatif

Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora 109

sosial, hubungan antara guru dan murid, hubungan dengan teman sekelas, dinamisasi kelompok, bullying, kerjasama antara sekolah dan rumah, pengambilan keputusan di sekolah, dan keselurahan atmosfir sekolah (Konu & Rimpelä, 2002).

Being (pemenuhan diri) Mengacu kepada Allardt (dalam Konu & Rimpelä, 2002) being merupakan terdapatnya penghormatan terhadap individu sebagai seseorang yang bernilai di dalam masyarakat. Dalam konteks sekolah, being dilihat sebagai cara sekolah memberikan kesempatan siswa untuk mendapatkan pemenuhan diri. Hal tersebut dapat berupa adanya kesempatan yang sama bagi semua siswa untuk menjadi bagian dari masyarakat sekolah, siswa dapat melakukan pengambilan keputusan terkait dengan keberadaannya di sekolah, serta adanya kesempatan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan berdasarkan minat siswa (Konu & Rimpelä, 2002).

Health (status kesehatan) Health (status kesehatan) dilihat dalam bentuk yang sederhana, yakni tidak adanya sumber penyakit dan siswa yang sakit. Status kesehatan siswa ini meliputi aspek fisik dan mental berupa simtom psikosomatis, penyakit kronis, penyakit ringan (seperti flu), dan penghayatan akan keadaan diri (illnesess) (Konu & Rimpelä, 2002).

Empat Alat ukur School Well-Being Alat ukur school well-being diciptakan oleh Konu & Rimpelä (2002). kemudian diadaptasi oleh Kurniasari (2005) yang

ketika itu menggunakan partisipan siswa di pesantren dan mengalami penyesuaian untuk siswa yang lebih umum oleh Simatupang (2008). Selanjutnya, diperbaharui oleh Fauzia (2010) sehingga saat ini alat ukur School Well Being telah valid untuk mengukur school well-being partisipan siswa SMA dengan konteks Indonesia. Namun demikian, ketika alat ukur ini ditujukan untuk evaluasi sekolah maka uji validitas dan reabilitas harus kembali dilakukan (Fauzia, 2010). Dalam penelitian Fauzia (2010) didapatkan bahwa alat ukur school well-being terdiri dari 25 item yang disajikan dalam skala Likert (‘sangat tidak setuju’ sampai ‘sangat setuju’ dengan 5 range). Berikut ini adalah contoh indikator dan item dari 3 indikator school well-being:

Tabel 8.3. Indikator school well-being

Menurut Konu & Rimpelä ( 2002), aspek health terdiri dari indikator simtom psikosomatis, penyakit flu yang umumnya terjadi, dan penyakit kronis. Contoh item favorablenya adalah: ‘ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung saya merasa cemas’ sedangkan item

Page 11: PENGGUNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SEKOLAH · PDF fileJurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora 101 ... OECD countries and literature review”, ... adanya parameter kualitatif

Volume 1, Desember 2010110

non-favorablenya adalah ‘toilet di sekolah saya tidak menyediakan air yang cukup’.

Alat ukur ini nantinya akan berbentuk kuesioner. Kuesioner adalah sejumlah pernyataan tertulis yang jawabannya ditulis sendiri oleh partisipan (Kumar, 2005). Penyebarannya dilakukan dengan cara collective administration. Dengan cara ini, memungkinkan untuk menjelaskan tujuan, keterkaitan, dan pentingnya alat ukur ini kepada siswa.

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan metode analisis statistik deskriptif. Statistik deskritif digunakan untuk melihat frekuensi, nilai rata-rata (mean), dan juga data terbanyak (modus).

KESIMPULANSchool well-being merupakan

sebuah konsep turunan dari domain sosiologi sehingga aspek kesehatan (health) masuk didalamnya. Namun, jika kita hanya ingin melihat aspek psikologisnya saja, kita bisa hanya mengeluarkan aspek health dari alat ukur school well-being seperti yang dilakukan oleh Fauzia (2010).

SARANDengan menggunakan kuesioner,

alat ukur school well-being menjadi memungkinkan untuk digunakan secara masif. Namun, perlu diingat bahwa ketika pelaksanaanya, penjelasan tentang alat ukur ini dari pihak yang berwenang (dalam hal ini guru) harus tetap dilakukan. Hal ini untuk mencegah kesalahan interpretasi dari siswa yang bersangkutan.

Pada akhirnya, diharapkan school well-being dapat menjadi sebuah

terobosan pengembangan evaluasi Sekolah Bertaraf Internasional karena dari pengamatan penulis, Sekolah Bertaraf Internasional masih belum mencapai target yang telah ditentukan sehingga pengembangan proses evaluasi masih layak untuk dilakukan.

Page 12: PENGGUNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SEKOLAH · PDF fileJurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora 101 ... OECD countries and literature review”, ... adanya parameter kualitatif

Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora 111

DAFTAR ACUAN

Bachrie, S.N. 2009. Hubungan Jenis Sekolah dan Identifikasi Nilai Moral Individualisme terhadap Kesadaran Sosial Siswa SMA di Jakarta. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. 1996. Lima puluh tahun perkembangan pendidikan Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional.

Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Sekolah Bertaraf Internasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional

Faubert, Violaine. 2009. School Evaluation: Currrent practices in OECD countries and literature review. OECD Education Working Papers, No. 42

Fauzia, R. 2010. Hubungan antara School Well-being dengan Study Habits pada siswa SMA kelas XI di Jakarta. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Gilman, R., & Huebner, S. 2003 . A Review of Life Satisfaction research with Children and Adolescents. School Psychology Quarterly, Vol. 18 (2), 192- 205.

Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Laporan Ujian Nasional (UN) Utama SMA + Aliyah (Madrasah Aliyah) tahun 2010. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional

Kurniasari, F. P. 2005. Gambaran School Well-being pada Siswa Islamic Boarding School. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Konu, AI, & Rimpelä, T. P. 2002. Well-being in School: A Conceptual Model. Health Promotion International, Vol 17(1), 79-87.

Konu, A.I; Lintonen, T. P, & Rimpelä, M. K. 2002. Factors Associated with Childrens’ General School Well-being. Health Education Research, Vol 17 (2), 155-165.

Konu, A.I, & Lintonen, T.P. 2006. School Well-being Grades 4-12. Health Education Research, Vol 21, 633-642.

Kumar, R. 2005. Research Methodology: A Step-by-Step Guide for Beginners. London: SAGE Publications.

Page 13: PENGGUNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SEKOLAH · PDF fileJurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora 101 ... OECD countries and literature review”, ... adanya parameter kualitatif

Volume 1, Desember 2010112

Mariati. 2007. Menyoal Profil Sekolah Bertaraf Internasional.Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No 067 tahun ke 13

Ormrod, J. E. 2006. Educational Psychology – Developing Learners (5th edition). New Jersey: Pearson Education Inc.

Page, R. M., & Tana, S. P. 2007. Promoting Health and Emotional Well-being in Your Clasroom (4th edition). New York: Jones & Barlett Publishers.

Papalia, Olds, dan Feldman. 2009. Human Development (11th edition). New York: McGraw-Hill.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik No 78 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah

Santrock, J. W. 2008. Educational Psychology (3rd edition). New York: McGraw-Hill, Inc.

Simatupang, R. L. M. 2008. Perbedaan School Well-being antara Siswa Sekolah Konvensional dan Siswa Sekolah Alam: Studi pada Jenjang Pendidikan Dasar. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Slamet,S. 2008. Pengembangan Sekolah Bertaraf Internasional Melalui Organisasi Belajar:Konsep dan Implementasi. Cakrawala Pendidikan, tahun XXVII No 3

Undang-Undang Negara Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

About OECD. 2010, Oktober 29. diunduh Oktober 29, 2010, dari Organization for Economic Co-operation and development: http://www.oecd.org/pages/0,3417,en_36734052_36734103_1_1_1_1_1,00.html

Mandikdasmen. 2010. Sekolah Bertaraf Internasional. http://www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/docs/ dok_34.pdf. (7 Juli 2010)