Penggunaan problem based learning pbl berorientasi kegiatan lab untuk mencapai kompetensi fisika

26
Penggunaan Problem-based Learning (PBL) Berorientasi Kegiatan Lab untuk Mencapai Kompetensi Fisika Oleh: Mara Bangun Harahap *) Abstrak Secara umum seorang guru/dosen dikatakan telah selesai mengajar jika telah melaksanakan pengajaran sesuai jam yang tersedia. Namun, apakah telah tercapai kompetensi? Belum tentu. Bagaimana menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang dijamin secara teori pendidikan akan mencapai kompetensi yang dirumuskan? Dalam makalah ini diuraikan penggunaan PBL berorientasi kegiatan lab dalam pembelajaran fisika, yang dijamin dari segi landasaan teori pendidikan akan mencapai kompetensi fisika yang dirumuskan. Uraian terutama berkaitan dengan kompetensi fisika apa saja yang bisa dicapai dengan penggunaan PBL, bagaimana merumuskan masalah serta langkah-langkah pelaksanaan PBL di kelas. Pendahuluan Marilah kita simak beberapa hasil penelitian tentang pembelajaran berikut ini. Dahar (1988:2) berdasarkan hasil penelitiannya mengemukakan bahwa seseorang dapat mengajar, dan terus mengajar dengan baik tanpa siswa belajar. Pendapat Dahar tersebut sebenarnya telah dikumandangkan oleh Bodner (1986:873) dengan pernyataan "Teaching and learning are not synonymous, we can teach, and teach well, without having the students learn" di Amerika Serikat (AS). Selain itu, dengan nada yang sama, van den Berg (editor) (1991:17), berdasarkan beberapa hasil penelitian mereka, mengemukakan bahwa di beberapa SMU, bahkan di beberapa perguruan tinggi di Indonesia, konsepsi peserta didik tentang konsep konsep ilmu mengandung miskonsepsi. Berdasarkan pada hasil penelitian ketiga pemerhati pendidikan itu saja, dapat disimpulkan bahwa pengajaran yang tidak memperhatikan aspek teori pembelajaran tidak menyebabkan siswa/mahasiswa belajar. Hasil penelitian menunjukkan pula, bahwa pengajaran yang diyakini baik (teach well) di Amerika Serikatpun sering tidak menghasilkan pembelajaran. Yang lebih gawat lagi, dalam pengajaran (bahkan pengajaran yang dianggap baik) sering menimbulkan miskonsepsi (di Indonesia lihat van den Berg *) Prof. Dr. Mara Bangun Harahap, M.S adalah dosen fisika di FMIPA Unimed

Transcript of Penggunaan problem based learning pbl berorientasi kegiatan lab untuk mencapai kompetensi fisika

Penggunaan Problem-based Learning (PBL) Berorientasi Kegiatan Lab untuk

Mencapai Kompetensi Fisika

Oleh: Mara Bangun Harahap*)

Abstrak

Secara umum seorang guru/dosen dikatakan telah selesai mengajar jika telah melaksanakan

pengajaran sesuai jam yang tersedia. Namun, apakah telah tercapai kompetensi? Belum

tentu. Bagaimana menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang dijamin

secara teori pendidikan akan mencapai kompetensi yang dirumuskan? Dalam makalah ini

diuraikan penggunaan PBL berorientasi kegiatan lab dalam pembelajaran fisika, yang

dijamin dari segi landasaan teori pendidikan akan mencapai kompetensi fisika yang

dirumuskan. Uraian terutama berkaitan dengan kompetensi fisika apa saja yang bisa

dicapai dengan penggunaan PBL, bagaimana merumuskan masalah serta langkah-langkah

pelaksanaan PBL di kelas.

Pendahuluan

Marilah kita simak beberapa hasil penelitian tentang pembelajaran berikut ini. Dahar

(1988:2) berdasarkan hasil penelitiannya mengemukakan bahwa seseorang dapat

mengajar, dan terus mengajar dengan baik tanpa siswa belajar. Pendapat Dahar tersebut

sebenarnya telah dikumandangkan oleh Bodner (1986:873) dengan pernyataan "Teaching

and learning are not synonymous, we can teach, and teach well, without having the

students learn" di Amerika Serikat (AS). Selain itu, dengan nada yang sama, van den Berg

(editor) (1991:17), berdasarkan beberapa hasil penelitian mereka, mengemukakan bahwa

di beberapa SMU, bahkan di beberapa perguruan tinggi di Indonesia, konsepsi peserta

didik tentang konsep konsep ilmu mengandung miskonsepsi.

Berdasarkan pada hasil penelitian ketiga pemerhati pendidikan itu saja, dapat

disimpulkan bahwa pengajaran yang tidak memperhatikan aspek teori pembelajaran tidak

menyebabkan siswa/mahasiswa belajar. Hasil penelitian menunjukkan pula, bahwa

pengajaran yang diyakini baik (teach well) di Amerika Serikatpun sering tidak

menghasilkan pembelajaran. Yang lebih gawat lagi, dalam pengajaran (bahkan pengajaran

yang dianggap baik) sering menimbulkan miskonsepsi (di Indonesia lihat van den Berg

*) Prof. Dr. Mara Bangun Harahap, M.S adalah dosen fisika di FMIPA Unimed

(editor) (1991: 17)). Hestenes dan Halloun (dalam van Heuvelen, 1992:56) di Universitas

Arizona (Arizona State University) menemukan bahwa gaya (style) dosen tidak

mempengaruhi hasil belajar tentang pemahaman kualitatif mahasiswa. Mereka menemukan

pula bahwa hasil belajar mahasiswa yang diajar oleh profesor pemeroleh "award"

(hadiah) pendidikan, sama saja dengan hasil belajar mahasiswa yang diajar seorang

dosen baru (pengalaman mengajarnya minim), yang mengajar dengan mengacu pada

buku teks secara ketat.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat mengajar

dengan baik tanpa peserta didik belajar. Pengajaran tersebut tidak mencapai kompetensi.

Berdasarkan itu, pengajaran yang seharusnya terjadi adalah pengajaran yang menimbulkan

belajar untuk pencapaian kompetensi. Dengan kata lain, pembelajaran (pengajaran yang

menimbulkan belajar) yang diinginkan adalah pembelajaran yang efektif untuk pencapaian

kompetensi. Guru/dosen/tutor/instruktur pakar atau efektif atau profesional adalah

guru/dosen/tutor/instruktur yang memiliki kompetensi: kepribadian, profesional, pedagogik

dan sosial yang mampu melaksanakan pembelajaran efektif untuk pencapaian kompetensi.

Pada bagian berikut diuraikan bagaimana cara melaksanakan pembelajaran yang efektif

untuk pencapaian kompetensi. Berdasarkan uraian berikut ini, akan jelas tergambar bahwa

pembelajaran yang diharapkan adalah: pembelajaran yang menggunakan model

pembelajaran yang tepat untuk pencapaian kompetensi. Jika pembelajaran tidak mencapai

kompetensi yang dirumuskan, maka pembelajaran tersebut tidak efektif. Guru maupun

dosen tersebut belum memiliki kompetensi pedagogik dalam pendidikan berbasis

kompetensi. Prinsip pembelajaran berbasis kompetensi terukur melalui tercapai tidaknya

kompetensi.

Penyusunan rencana Proses Belajar Mengajar (PBM) atau proses pembelajaran,

yang sebaiknya disusun dalam bentuk skenario, dalam penyusunan suatu RPP (Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran) berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK),

ditargetkan untuk mencapai kompetensi yang telah dirumuskan. Dengan demikian,

penentuan apa saja yang harus dilakukan guru dan siswa dalam perencanaan proses

pembelajaran sangat mempengaruhi tercapai tidaknya kompetensi yang telah dirumuskan.

Arends (2001: 24) menyatakan bahwa konsep model pembelajaran yang

dikembangkan Joyce et al. (1992; 2000) dapat digunakan sebagai sumber rancangan proses

pembelajaran yang luaran atau hasil pelaksanaan rancangan proses pembelajaran tersebut

adalah kompetensi yang telah dirumuskan. Berdasarkan itu, disarankan mengimplemen-

tasikan model-model pembelajaran yang efektif dalam proses pembelajaran untuk

mencapai kompetensi yang dirumuskan. Model-model pembelajaran yang disarankan

digunakan oleh calon guru pemula (dalam microteaching, PPL dan selanjutnya digunakan

ketika menjadi guru pemula) maupun oleh dosen microteaching dan PPL adalah model-

model pembelajaran yang merupakan hasil penelitian seperti mode-model yang

dikemukakan Joyce et al (1992; 2000) dan Arends (1997; 2001). Selain itu, dianjurkan

pula menggunakan model-model yang merupakan hasil pengembangan model

pembelajaran berbasis penelitian yang dikembangkan dosen-dosen Unimed (lihat

misalnya: Armanto, 2005; Harahap, 2005; Sinaga, 2007) dan model-model lainnya yang

dikembangkan di Indonesia maupun luar negeri. Perlu diingatkan di sini, bahwa model-

model yang dikembangkan dosen Unimed sifatnya sangat spesifik dibandingkan model-

model pembelajaran yang dikemukakan Joyce et al (1992; 2000) dan Arends (1997; 2001)

yang bersifat umum (dapat digunakan untuk semua bidang studi dengan batasan hanya

pada jenis hasil belajar (kompetensi) yang dicapai dengan model tersebut).

Mengapa harus menggunakan model pembelajaran? Apakah tidak cukup

menggunakan metode dan/atau strategi pembelajaran saja? Menurut Arends (2001:

24) konsep model pembelajaran Joyce et al. dan Arends sendiri lebih luas dari konsep

strategi maupun metode pembelajaran. Dengan demikian, menggunakan model

pembelajaran yang ditawarkan Joyce et al. dan Arends serta para pengembang model

lainnya, berarti telah menggunakan metode dan strategi pembelajaran yang tersusun secara

sistematis dan telah teruji melalui penelitian untuk mencapai hasil belajar berupa

kompetensi yang spesifik untuk model-model tersebut.

Joyce et al. (1992: 4) mendefinisikan model pembelajaran sebagai berikut: “A

model of teaching is a plan or pattern that we can use to design face to face teaching in

classrooms or tutorial settings and to shape instructional materials-including books, films,

tapes, and computer-mediated programs and curriculums (long term courses of study).

Lebih lanjut, Arends (2001: 24) mengemukakan: “Models of teaching is an overall plan,

or pattern, for helping students to learn spesific kinds of knowledge, attitudes, or skills”.

Berdasarkan pengertian konsep model pembelajaran seperti itu, maka setiap model

pembelajaran berfungsi memberikan arah dalam pendesainan pembelajaran dalam rangka

membantu peserta didik mencapai berbagai tujuan dan/atau kompetensi.

Joyce et al. (1992:13) menyatakan bahwa model pembelajaran mempunyai unsur-

unsur: landasan teori, strategi, dan langkah pengimplementasian (pemakaian) model di

ruang kelas atau setting (latar) pembelajaran lainnya. Landasan teori suatu model

pembelajaran adalah penjelasan tentang tujuan-tujuan model, asumsi-asumsi teoretis

( theoretical assumptions ), dan prinsip-prinsip reaksi serta konsep-konsep utama ( major

concepts ) yang mendasari model . Strategi suatu model pembelajaran diartikan sebagai

deskripsi tentang pengoperasionalan model. Deskripsi tersebut dinyatakan dalam empat

konsep: sintaks, sistem sosial, prinsip-prinsip reaksi dan sistem pendukung. Deskripsi itu

merupakan aktivitas-aktivitas apa yang seharusnya terjadi, dan jika mungkin dalam urutan

(sequence) bagaimana aktivitas-aktivitas tersebut terjadi. Sintaks atau pemfasean model

merupakan penjelasan pengoperasian model ( model in action ) . Sintaks dijelaskan dalam

term-term deretan aktivitas yang disebut fase (phase). Sistem sosial merupakan penjelasan

tentang peranan guru dan peserta didik dan keterhubungan serta jenis norma-norma yang

didukung. Di dalam prinsip-prinsip reaksi dijelaskan bagaimana sebaiknya guru

memandang peserta didik dan bagaimana berespons terhadap yang dilakukan peserta didik.

Seterusnya, di dalam sistem pendukung dijelaskan apa saja yang mungkin diperlukan

sebagai tambahan terhadap model yang berkaitan dengan pendukung keterampilan

manusia, kapasitas dan fasilitas. Langkah pengimpelementasian (pemakaian) model di

ruang kelas atau setting pembelajaran lainnya dapat berupa ilustrasi untuk berbagai disiplin

(subject areas), atau pedoman penerapan pada tingkat umur tertentu atau desain kurikulum

tertentu atau saran-saran pegkombinasian suatu model dengan model lainnya. Selain itu,

dapat pula berupa diskusi tentang point-point penting yang kelihatannya menjadi penyebab

sulitnya model diterapkan oleh pendidik di ruang kelas atau setting pembelajaran lainnya.

Dalam konsep model pembelajaran Joyce et al., unsur-unsur utama terjalin secara

harmonis. Unsur-unsur utama tersebut adalah: landasan teoretis, strategi dan langkah

pengimplementasian atau sintaks (pemakaian model di ruang kelas atau setting (latar)

pembelajaran lainnya). Dengan kata lain, kelihatan benang merah penghubung dari

landasan teori sampai dengan penerapan di ruang kelas.

Dalam buku Joyce et al. edisi keenam, terbitan tahun 2000, ditawarkan 21 (dua

puluh satu) model pembelajaran. Dua puluh satu model itu, mereka kembangkan

berdasarkan hasil pencarian dan penganalisisan berbagai sumber, terutama sumber yang

merupakan hasil penelitian selama 40 tahun (Joyce et al., 2000: 1). Timbul pertanyaan:

“Apakah semua model itu harus dikuasai (difahami dan dapat digunakan sesuai

dengan rambu-rambu model) oleh calon guru pemula (dalam microteaching, PPL

dan selanjutnya digunakan ketika menjadi guru pemula) maupun dosen

microteaching dan PPL, agar alumni program S1 Unimed disebut memiliki

kompetensi pedagogik: merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi

pembelajaran?”.

Arends (2001, 24) menyatakan bahwa tidak realistik (unrealistic) meminta calon

guru pemula (beginner) untuk menguasai keduapuluh satu model tersebut, yang juga sama

tidak realistiknya meminta calon guru pemula ini untuk hanya menguasai satu buah dari

keduapuluh satu model itu. Jadi, berapa model yang harus dikuasai? Tahun 1997, Arends

menyatakan pemula paling tidak menguasai 4 (empat) model saja, yakni model

pembelajaran: Direct Instruction (DI); Cooperative Learning (CL); Problem-based

learning (PBL) atau disebut juga Problem-based Learning; dan Discussion (Arends, 1997:

12). Namun, pada tahun 2001 Arends menyatakan sebaiknya pemula menguasai sebanyak

6 (enam) model, yakni model pembelajaran: Lecture; Direct Instruction (DI); Concept

Teaching (CT); Cooperative Learning (CL); Problem-Based Learning (PBL); dan

Classroom Discussion (CD) (Arends, 2001: 24-25).

Selanjutnya, pada bagian berikut hanya diuraikan model pembelajaran PBL yang

sangat cocok digunakan untuk pencapaian kompetensi dalam pembelajaran fisika (IPA).

Pada dasarnya, dalam pembelajan fisika model pembelajaran lainnya juga dapat digunakan

untuk mencapai kompetensi yang sesuai dengan hasil belajar menggunakan model

tersebut.

Barangkali kita semua pernah mengikuti pengajaran guru atau dosen yang sangat

pandai membuat humor dan dominan hanya memakai metode ceramah dalam

pengajarannya, dan kitapun senang, antusias, dan serius, sampai tidak terasa waktu berlalu

dan suasana tetap gembira. Namun, ketika tiba masa ujian kita tidak mampu menjawab

soal-soal dan kitapun tidak lulus atau tidak memperoleh nilai baik. Apa yang salah?

Padahal pembelajaran menarik, dan kita mengikuti dengan serius, antusias dan bergembira.

Jawabannya adalah: guru atau dosen tadi tidak menggunakan model pembelajaran (yang

merupakan hasil penelitian) yang dapat mencapai kompetensi yang diinginkan dosen/guru

tersebut. Memang guru/dosen tadi telah memakai metode maupun strategi pembelajaran

dengan benar dan tepat (peserta didik mengikuti dengan gembira, serius dan antusias)

namun pelaksanaan metode maupun strategi tersebut tidak tersusun secara sistematis

berlandaskan teori-teori pembelajaran yang telah teruji melalui penelitian menuju

pencapaian kompetensi yang dirumuskan. Yang diharapkan adalah: pembelajaran yang

menggunakan model pembelajaran yang tepat untuk pencapaian kompetensi, yang di

dalam pelaksanaannya diselipkan juga humor sehingga peserta didik belajar dengan

gembira, antusias, tetapi tetap serius dan yang paling penting harus mencapai kompetensi.

Jika pembelajaran tidak mencapai kompetensi yang dirumuskan, maka pembelajaran

tersebut tidak efektif. Guru maupun dosen tersebut belum memiliki kompetensi pedagogik

dalam pendidikan berbasis kompetensi. Prinsip pembelajaran berbasis kompetensi terukur

melalui tercapai tidaknya kompetensi.

Menurut Arends (1997: 6-7) term model pembelajaran mempunyai 4 (empat)

atribut yang tidak dimiliki term strategi dan metode pembelajaran secara spesifik, yakni:

1). rasional teoretis yang koheren, yang dibuat secara eksplisit oleh pencipta

atau pengembang model;

2). pandangan (point of view) tentang apa dan bagaimana peserta didik belajar;

3). prilaku mengajar yang diperlukan yang membuat model bekerja; dan

4). struktur ruang kelas yang dibutuhkan (lihat gambar 1).

Gambar 1: Fitur Model-model Pembelajaran (diadaptasi dari Arends, 1997: 7)

Berdasarkan fitur konsep model pembelajaran di atas, sebagi contoh model

pembelajaran DI, CL dan PBL dapat dideskripsikan secara skematik sebagai berikut:

Rasional Teoretis yang Koheren (Landasan Teoretik)

Pandangan (point of view) tentang apa dan bagaimana peserta didik belajar (Tujuan Hasil Belajar Siswa)

Prilaku mengajar yang diperlukan yang membuat model bekerja (Tingkah Laku Mengajar Guru)

Struktur ruang kelas yang dibutuhkan (Lingkungan Belajar dan Sistem Pengelolaan)

Gambar 2: Kerangka Umum Model Pembelajaran DI, CL dan PBL

Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa kerangka umum ketiga model

mengandung komponen: Landasan Teoretik; Tujuan Pembelajaran yang terumus dalam

Hasil Belajar Siswa; Tingkah Laku Mengajar yang didasarkan pada sintaks model

pembelajaran; Lingkungan Belajar dan Sistem Pengelolaan berupa latar pembelajaran dan

pengelolaan proses pembelajaran. Setiap model pembelajaran mempunyai keempat

komponen tersebut.

Problem-based Learning (PBL) dan Pembelajaran Fisika

Model pembelajaran PBL secara skematik dapat dideskripsikan pada Gambar 3.

Model pembelajaran PBL mempunyai nama lain sebagai: Project-Based Teaching;

Authentic Learning dan Anchored Instruction (Arends, 2001: 348). Landasan teoretik

model pembelajaran CL adalah: teori Dewey tentang kelas berorientasi masalah;

konstruktivisme Piaget dan Vygotsky; serta belajar penemuan menurut Bruner. Efek

pembelajaran model PBL adalah pencapaian kompetensi berupa keterampilan inkuiri dan

pemecahan masalah, perilaku berperan orang dewasa, dan keterampilan belajar mandiri

(independen).

Gambar 3: Model Pembelajaran PBL

Sintaks model pembelajaran PBL dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 3: Sintaks Model Pembelajaran PBL

Arends (2004) menyatakan bahwa ada tiga hasil belajar (outcomes) yang diperoleh

pebelajar yang diajar dengan PBL yaitu: (1) inkuiri dan ketrampilan melakukan pemecahan

masalah, (2) belajar model peraturan orang dewasa (adult role behaviors), dan (3)

ketrampilan belajar mandiri (skills for independent learning). Pebelajar yang melakukan

inkuiri dalam pempelajaran akan menggunakan ketrampilan berpikir tingkat tinggi

(higher-order thinking skill) dimana mereka akan melakukan operasi mental seperti

induksi, deduksi, klasifikasi, dan reasoning. Karakteristik lingkungan belajar model

pembelajaran PBL adalah: keterbukaan, keterlibatan peserta didik secara aktif, dan

atmosfir kebebasan intelektual.

Pembelajaran Berbasis Masalah cukup tepat untuk merealisasikan tujuan-tujuan

pendidikan fisika (Tobin, 1986; AAAS, 1993). Sekarang ini, pendidik banyak menerapkan

pendekatan pembelajaran berbasis masalah dalam pendidikan fisika (Lazear, 1991;

Treagust & Peterson, 1998; Gallagher et al., 1999; Slavin, 1999; Greenwald, 2000; Yuzhi,

2003; Şenocak, 2005; Wilson, 2005; Kilic, 2006). Fakta bahwa pendidikan fisika

didasarkan pada keduanya, praktek dan interpretasi, yakni sangat berhubungan

dengan kehidupan nyata, dan pembelajaran berbasis masalah memfasilitasi hubungan

keduanya. Dalam PBL, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga

pebelajar tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah tetapi

juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut. Pebelajar tidak saja harus

memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian tetapi juga

memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan ketrampilan menerapkan

metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis.

PBL dimulai dengan suatu masalah yang memicu ketidaksetimbangan kognitif

pada diri pebelajar. Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan

bermacam-macam pertanyaan disekitar masalah. Pada lampiran 1

(http://www.udel.edu/pbl/overload.html) dicantumkan contoh masalah yang dapat diajukan

untuk pembelajaran fisika menggunakan PBL. Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut telah

muncul dalam diri pebelajar maka motivasi intrinsik mereka untuk belajar akan tumbuh.

Pada kondisi tersebut diperlukan peran guru sebagai fasilitator untuk mengarahkan

pebelajar tentang pengetahuan apa yang diperlukan untuk memecahkan masalah, apa yang

harus dilakukan, atau bagaimana melakukannya dan seterusnya. Penerapan PBL dalam

pembelajaran dapat mendorong pebelajar mempunyai inisiatif untuk belajar secara

mandiri. Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dimana

berkembangnya pola pikir dan pola kerja seseorang bergantung pada bagaimana dia

membelajarkan dirinya. Lebih lanjut. PBL juga bertujuan untuk membantu pebelajar

belajar secara mandiri. Pembelajaran PBL dapat diterapkan bila didukung lingkungan

belajar yang konstruktivistik.

Arends (2004) mengemukakan ada 5 fase (tahap) yang perlu dilakukan untuk

mengimplementasikan PBL. Fase-fase tersebut merujuk pada tahap-tahapan praktis yang

dilakukan dalam kegiatan pembelajaran dengan PBL sebagaimana disajikan pada Tabel 3.

Fase 1: Mengorientasikan siswa/mahasiswa pada masalah

Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-

aktivitas yang akan dilakukan. Dalam penggunaan PBL, tahapan ini sangat penting dimana

guru/dosen harus menjelaskan dengan rinci apa yang harus dilakukan oleh pebelajar dan

juga oleh dosen. Disamping proses yang akan berlangsung, sangat penting juga dijelaskan

bagaimana guru/dosen akan mengevaluasi proses pembelajaran. Hal ini sangat penting

untuk memberikan motivasi agar siswa dapat terlibat dalam pembelajaran yang akan

dilakukan.

Fase 2: Mengorganisasikan pebelajar untuk belajar

Disamping mengembangkan ketrampilan memecahkan masalah, pembelajaran PBL

juga mendorong siswa/mahasiswa belajar berkolaborasi. Pemecahan suatu masalah sangat

membutuhkan kerjasama antar anggota. Guru/dosen dapat memulai kegiatan pembelajaran

dengan membentuk kelompok-kelompok siswa dimana masing-masing kelompok akan

memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsip-prinsip pengelompokan siswa

dalam pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam konteks ini seperti: kelompok harus

heterogen, pentingnya interaksi antar anggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor

sebaya, dan sebagainya. Guru/dosen sangat penting memonitor dan mengevaluasi kerja

masing-masing kelompok untuk menjaga kinerja dan dinamika kelompok selama

pembelajaran. Setelah pebelajar diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk

kelompok belajar, selanjutnya guru/dosen dan pebelajar menetapkan subtopik-subtopik

yang spesifik, tugas-tugas penyelidikan, dan jadwal. Tantangan utama bagi guru/dosen

pada tahap ini adalah mengupayakan agar semua pebelajar aktif terlibat dalam sejumlah

kegiatan penyelidikan dan hasil-hasil penyelidikan ini dapat menghasilkan penyelesaian

terhadap permasalahan tersebut.

Fase 3: Membimbing penyelidikan individu dan kelompok

Inti dari PBL adalah penyelidikan. Mungkin saja setiap situasi permasalahan

memerlukan teknik penyelidikan yang berbeda, namun pada umumnya tentu melibatkan

karakter yang identik, yakni pengumpulan data dan eksperimen, berhipotesis dan

penjelasan, dan memberikan pemecahan. Pengumpulan data dan eksperimentasi

merupakan aspek yang sangat penting. Pada tahap ini, guru/dosen harus mendorong

pebelajar untuk mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen (mental maupun

aktual) sampai mereka betul-betul memahami dimensi situasi permasalahan. Tujuannya

adalah agar pebelajar mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun

ide mereka sendiri. Pada fase ini seharusnya lebih dari sekedar membaca tentang masalah-

masalah dalam buku-buku. Guru/dosen membantu pebelajar untuk mengumpulkan

informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber, dan guru/dosen seharusnya

mengajukan pertanyaan pada pebelajar untuk berifikir tentang massalah dan ragam

informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah yang dapat

dipertahankan. Setelah pebelajar mengumpulkan cukup data dan memberikan

permasalahan tentang fenomena yang mereka selidiki, selanjutnya mereka mulai

menawarkan penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelesan, dan pemecahan. Selama

pengajaran pada fase ini, guru/dosen mendorong pebelajar untuk menyampikan semua ide-

idenya dan menerima secara penuh ide tersebut. Guru/dosen juga harus mengajukan

pertanyaan yang membuat mahasiswa berfikir tentang kelayakan hipotesis dan solusi yang

mereka buat serta tentang kualitas informasi yang dikumpulkan.

Fase 4: Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan hasil karya dan memamerkannya.

Hendaknya hasil karya lebih dari sekedar laporan tertulis, melainkan dapat berupa suatu

videotape (yang menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan), model

(perwujudan secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya), program komputer, dan

sajian multimedia. Tentunya kecanggihan hasil karya sangat dipengaruhi tingkat berfikir

pebelajar. Selanjutnya adalah memamerkan hasil karya pebelajar dan guru/dosen berperan

sebagai organisator pameran.

Fase 5: Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Fase ini merupakan tahap akhir dalam PBL. Fase ini dimaksudkan untuk membantu

pebelajar menganalisis dan mengevaluasi proses mereka sendiri dan keterampilan

penyelidikan dan intelektual yang mereka gunakan. Selama fase ini guru/dosen meminta

pebelajar untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama

proses kegiatan belajarnya. Kapan mereka pertama kali memperoleh pemahaman yang

jelas tentang situasi masalah? Kapan mereka yakin dalam pemecahan tertentu? Mengapa

mereka dapat menerima penjelasan lebih siap dibanding yang lain? Mengapa mereka

menolak beberapa penjelasan? Mengapa mereka mengadopsi pemecahan akhir dari

mereka? Apakah mereka berubah pikiran tentang situasi masalah ketika penyelidikan

berlangsung? Apa penyebab perubahan itu? Apakah mereka akan melakukan secara

berbeda di waktu yang akan datang? Tentunya masih banyak lagi pertanyaan yang dapat

diajukan untuk memberikan umpan balik dan menginvestigasi kelemahan dan kekuatan

PBL.

Hubungan PBL Dengan Strategi Pembelajaran Fisika BerorientasiKegiatan Lab

Apa kaitan penggunan model pembelajaran PBL dengan strategi pembelajaran

fisika yang mengandung kegiatan pembelajaran berbasis laboratorium? Sebelum populer

penerapan model pembelajaran dalam pembelajaran untuk pencapaian kompetensi,

biasanya kegiatan lab dalam pembelajaran seolah terisolir sebagai kegiatan tersendiri.

Kegiatan laboratorium tersendiri, kegiatan teori di ruang kelas juga tersendiri.

Penggunaan model pembelajaran SCL mengharuskan kegiatan lab terintegrasi dengan

kegiatan yang selama ini disebut kegiatan teori dalam fase-fase sintaks model

pembelajaran yang digunakan. Artinya, pelaksanaan kegiatan lab merupakan kegiatan

terintegrasi dengan kegiatan lainnya dalam fase-fase sintaks model pembelajaran yang

digunakan. Kegiatan pada fase-fase sintaks model pembelajaran bersama sama diarahkan

untuk mencapai kompetensi yang spesifik bagi model pembelajaran yang digunakan.

Simpulan dan Saran

PBL digunakan dalam pembelajaran fisika untuk mewujudkan tujuan-tujuan

pembelajaran fisika. Disarankan menggunakan PBL berorientasi kegiatan Lab, karena

cukup banyak situs-situs di internet yang telah menyediakan masalah-masalah fisika yang

dapat memicu pembelajaran fisika dengan PBL.

DAFTAR PUSTAKA

Savin-Baden, M. (2003). Facilitating Problem-based Learning. Berkshire: The Society for

Research into Higher Education & Open University Press.

Savin-Baden, M. & Major, C.H. (2004). Foundations of Problem-based Learning. New

York: Open University Press, McGraw - Hill Education.

Arends, R.I. (1997). Classroom Instruction and Management. New York: The McGraw-

Hill Companies, Inc.

…………… (2001). Learning to Teach (Fifth ed.). Boston: McGraw-Hill.

…………….(2004). Guide to Field Experiences and Portfolio Development to Accompany

Learning to Teach, Sixth Edition. Boston: McGraw-Hill Higher Education.

Armanto, D. dkk. (2004). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Berbasis

Kompetensi dan Berkonteks lokal Bagi guru dan Siswa SD/MI di Sumatera Utara.

(Penelitian Hibah Bersaing). Medan: Unimed.

Bodner, M. (1986). "Constructivisme: A Theory of Knowledge". Journal of Chemical

Education. 63 (10), 873-877.

Dahar, R. W. (1988). "Konstruktivisme dalam Mengajar dan Belajar: Pidato Pengukuhan

Jabatan Guru Besar Tetap pada FPMIPA IKIP Bandung, Bandung.

Delisle, R. (1997). How to Use Problem-based Learning in The Classroom. Alexandria,

Virginia: ASCD.

Harahap, M.B. (2005). Efek Model Pembelajaran Konstruktivis Kognitif-Sosial dan Non

Konstruktivis Konvensional terhadap Hasil Belajar Fisika Dasar Mahasiswa

Program S-1 PMIPA LPTK-FKIP Universitas. (Disertasi). Bandung: PPs UPI

Bandung

Joyce, B. et al. (1992). Models of Teaching (Fourth ed.). Massachusetts: Allyn and Bacon.

........................ (2000). Models of Teaching (Sixth ed.). Boston: Allyn and Bacon.

Savin-Baden, M. (2003). Facilitating Problem-based Learning. Berkshire: The Society for

Research into Higher Education & Open University Press.

Savin-Baden, M. & Major, C.H. (2004). Foundations of Problem-based Learning. New

York: Open University Press, McGraw - Hill Education

Sinaga, B. (2007). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Berdasarkan

Masalah Berbasis Budaya Batak. (Disertasi). Surabaya: PPs UNESA Surabaya.

van dan Berg, Euwe (Editor) (1991). Miskonsepsi Fisika dan Remediasi. Salatiga:

Universitas Kristen Satya Wacana.

van Heuvelen, Alan (1992). "Models of Learning and Teaching", Dalam Diane Grayson

(Eds.). Workshop on Research in Science and Mathematics Education,

Proceedings, Cathedral Peak, South Africa.

http://www.udel.edu/pbl/overload.html diakses Senin 31 Mei 2010 jam 23.00)

Lampiran 1

Problems: A Key Factor in PBL

Barbara Duch,Center for Teaching Effectiveness

Example Problems:-- Physics: Level 1, Level 2, Level 3

How does problem-based learning differ from other forms of active, group, or student-centered learning? The primary distinction is the focus on introducing concepts to students by challenging them to solve a real world problem. In contrast to the more traditional approach of assigning an application problem at the end of a conceptual unit, PBL uses problems to motivate, focus, and initiate student learning.

Therefore, a critical factor in the success of PBL is the problem itself. What are the characteristics of good problems? Where can you find problems or cases in your discipline to use in your courses?

Characteristics of good problems

Many faculty who have adapted PBL in their courses, and students who have taken those courses agree on several factors that are essential for good problems (or cases).

1. An effective problem must first engage students' interest, and motivate them to probe for deeper understanding of the concepts being introduced. It should relate the subject to the real world, so that students have a stake in solving the problem.

2. Good problems require students to make decisions or judgements based on facts, information, logic and/or rationalization. Students should be required to justify all decisions and reasoning based on the principles being learned. Problems should require students to define what assumptions are needed (and why), what information is relevant, and/or what steps or procedures are required in order to solve them.

3. Cooperation from all members of the student group should be necessary in order to effectively work through a good problem. The length and complexity of the problem or case must be controlled so that students realize that a "divide and conquer" effort will not be an effective problem-solving strategy. For example, a problem that consists of a series of straight-forward "end of chapter" questions will be divided by the group and assigned to individuals and then reassembled for the assignment submission. In this case, students end up learning less not more.

4. The initial questions in the problem should have one or more of the following characteristics so that all students in the groups are initially drawn into a discussion of the topic:

o open-ended, not limited to one correct answer o connected to previously learned knowledge o controversial issues that will elicite diverse opinions

This strategy keeps the students functioning as a group, drawing on each other's knowledge and ideas, rather than encouraging them to work individually at the outset of the problem.

5. The content objectives of the course should be incorporated into the problems, connecting previous knowledge to new concepts, and connecting new knowledge to concepts in other courses and/or disciplines.

Higher order thinking skills

In addition to these characteristics, good problems should challenge students to achieve higher-level critical thinking. Too often, students view learning as remembering facts, terms and definitions in order to answer questions on tests. Many students seem to lack the ability or motivation to go beyond factual material to a deeper understanding of course material. In Bloom's Taxonomy of Educational Objectives (1956), cognitive levels along with parallel student activities are arranged from simple to complex (see table below). PBL problems should strive to induce students to learn at the higher Bloom levels, where they analyze, synthesize and evaluate rather than simply define and explain.

(((Bagaimana pembelajaran berbasis masalah berbeda dari bentuk-bentuk aktif, kelompok, atau pembelajaran yang berpusat pada siswa? Perbedaan utama adalah fokus pada memperkenalkan konsep kepada siswa dengan menantang mereka untuk memecahkan masalah dunia nyata. Berbeda dengan pendekatan yang lebih tradisional menempatkan masalah aplikasi pada akhir unit konseptual, PBL menggunakan masalah untuk memotivasi, fokus, dan memulai belajar siswa.Oleh karena itu, faktor penting dalam keberhasilan PBL adalah masalah itu sendiri. Apakah karakteristik masalah yang baik? Di mana Anda dapat menemukan masalah atau kasus dalam disiplin Anda untuk digunakan dalam program Anda?Karakteristik masalah yang baikBanyak fakultas yang telah diadaptasi PBL dalam program mereka, dan mahasiswa yang telah mengambil program mereka setuju pada beberapa faktor yang penting untuk masalah yang baik (atau kasus).1. Sebuah masalah yang efektif harus terlebih dahulu melibatkan minat siswa, dan memotivasi mereka untuk menyelidiki untuk memahami lebih dalam tentang konsep-konsep yang diperkenalkan. Harus menghubungkan tunduk pada dunia nyata, sehingga siswa memiliki saham dalam memecahkan masalah.2. masalah yang baik mengharuskan mahasiswa untuk membuat keputusan atau penilaian berdasarkan fakta, informasi, logika dan / atau rasionalisasi. Siswa harus diminta untuk membenarkan semua keputusan dan penalaran berdasarkan prinsip-prinsip yang dipelajari.Masalah harus menuntut siswa untuk menentukan apa asumsi yang dibutuhkan (dan mengapa), informasi apa yang relevan dan / atau apa langkah atau prosedur yang diperlukan untuk menyelesaikannya.

3. Kerjasama dari semua anggota kelompok mahasiswa harus perlu untuk bekerja secara efektif melalui masalah yang baik. Panjang dan kompleksitas masalah atau kasus harus dikontrol agar siswa menyadari bahwa membagi "dan menaklukkan" upaya tidak akan menjadi strategi pemecahan masalah yang efektif. Misalnya, masalah yang terdiri dari serangkaian lurus-maju "akhir bab" pertanyaan-pertanyaan akan dibagi oleh kelompok dan ditugaskan untuk individu dan kemudian dipasang kembali untuk penyerahan tugas. Dalam hal ini, siswa akhirnya belajar kurang tidak lebih.4. Pertanyaan-pertanyaan awal dalam masalah ini harus memiliki satu atau lebih karakteristik berikut agar semua siswa dalam kelompok pada awalnya ditarik ke dalam diskusi tentang topik:o terbuka, tidak terbatas pada satu jawaban yang benaro terhubung ke pengetahuan dipelajari sebelumnyao kontroversial isu-isu yang akan elicite opini yang beragamStrategi ini membuat siswa berfungsi sebagai sebuah kelompok, gambar pada masing-masing pengetahuan dan ide-ide, bukan mendorong mereka untuk bekerja secara individual pada awal masalah.5. Tujuan konten tentu saja harus dimasukkan ke dalam masalah, menghubungkan pengetahuan sebelumnya dengan konsep baru, dan menghubungkan pengetahuan baru dengan konsep dalam program lain dan / atau disiplin.Orde Tinggi keterampilan berpikirSelain karakteristik ini, masalah yang baik harus menantang siswa untuk berpikir kritis mencapai tingkat yang lebih tinggi. Terlalu sering, siswa melihat belajar sebagai mengingat fakta, istilah dan definisi untuk menjawab pertanyaan dalam tes. Banyak siswa yang tampaknya tidak memiliki kemampuan atau motivasi untuk melampaui materi faktual ke pemahaman yang lebih mendalam tentang materi pelajaran. Dalam Taksonomi Bloom Tujuan Pendidikan (1956), tingkat kognitif bersama dengan kegiatan-kegiatan siswa paralel disusun dari yang sederhana sampai yang kompleks (lihat tabel di bawah). masalah PBL harus berjuang keras untuk mendorong siswa untuk belajar di tingkat Bloom yang lebih tinggi, di mana mereka menganalisis, mensintesis dan mengevaluasi bukan sekadar menentukan dan menjelaskan)))

Bloom's Cognitive Level

Student Activity

Evaluation Making a judgment based on a pre-established set of criteria

Synthesis Producing something new or original from component parts

AnalysisBreaking material down into its component parts to see interrelationships / hierarchy of ideas

Application Using a concept or principle to solve a problem

Comprehension Explaining/interpreting the meaning of material

Knowledge Remembering facts, terms, concepts, definitions, principles

Reference: Bloom, B. (1956) Taxonomy of Educational Objectives, New York: McKay.

Where to find good problems

So now that we know what makes a good problem for use in PBL -- where can you find them in your discipline? Unfortunately, in most of our undergraduate content areas, there are no books, manuals or notebooks of PBL problems. Most of us who use PBL in our classes have had to write our own. Some faculty use video-clips, stories, novels, articles in the popular press, and research papers as a basis for a problem. Frequently, faculty find a typical textbook problem, and rewrite it as an open-ended, real world problem. Some examples from physics and biology are shown, although the ideas behind the adaptations will work in any discipline.

A Level 1 problem is a typical end-of-chapter problem, at Bloom's Knowledge or Comprehension cogitive level. The problem is generally confined to the topic(s) addressed in the chapter, and all the information needed to solve the problem is given.

A Level 2 problem adds a story-telling aspect to the end-of-chapter problem. This adds some motivation for students to solve the problem, and it requires students to go beyond simple "plug-and-chug" in order to solve it. There may even be some decision-making involved, placing the questioning at Bloom's Comprehension or Application level. All the information needed to solve it is given in the problem or the chapter.

A Level 3 problem is a good PBL problem, at Bloom's Analysis, Synthesis or Evaluation levels. It is related to the real world, drawing the student into the problem. Not all the information needed is given in the problem, or chapter, or perhaps even in the texbook. Students will need to do some research, discover new material, arrive at judgements and decisions based on the information learned. The problem may have more than one acceptable answer, based on the assumptions students make.

Examples:

Physics: Level 1

A simplified electrical circuit for a home is shown below. Calculate the currents through the fuse, lightbulb, electric crock and toaster.

Reference: Van Heuvelan, A. (1986) Physics: A General Introduction, Harper Collins.

Physics: Level 2

Jim and Jenny just moved into a rental house. Early Sunday morning, Jim decides to surprize Jenny and cook breakfast for her. He starts cooking bacon in the electric frying pan (1000-watt) while he perks the coffee (600-watt). Jim decides to make some toast (700-watt) while he waits for the bacon and coffee to finish cooking. Just before he starts the toaster, Jim notices that the kitchen circuit is protected by a 20 amp fuse. He looks around and can't find any spare fuses. Should Jim start the toast now, or wait until the coffee and bacon are done? (Assume that the appliances are in a parallel circuit.) Will it matter if Jim has the overhead light (100-watt) on or not?

Physics: Level 3

OVERLOAD(page 1)

Rita and Arman are building their dreamhouse. They have already designed the layout of all the rooms, with the help of Arman's father who is an architect. You are good friends with Rita and Arman and since you've just studied circuits in your physics class, you are interested in the wiring plans for the new home. Rita tells you that the house will have 4 bedrooms, a family room, living room, dining room, 2 bathrooms, a utility/wash room, and a combination kitchen/breakfast area. Arman tells you that he doesn't know how many circuits his house needs in order to be safe. In fact, Arman isn't even sure he knows what a circuit is, or how a circuit breaker works. Does he need some 240 V lines as well as 120 V ? What voltage are the electrical lines coming into the house? How are the ratings on the circuit breakers determined? How are houses wired?

Using your knowledge of physics, answer Arman's questions. If you don't know the answer, where can you find the information you need? What questions should you ask Rita and Arman in order to determine their wiring needs?

(When finished with these questions, ask your instructor for page 2.)

(page 2)

Rita tells you that they will have many appliances in the kitchen. A microwave, refrigerator, blender, toaster oven, toaster, can opener, electric fry pan, electric wok, mixer, clock radio, clock, crock pot, and dishwasher. Arman says that his computer and printer, and Rita's ironing and sewing "stuff" will be in the same bedroom. Arman uses an electric razor, while Rita uses a blow dryer and curling iron in the main bath.

They also inform you that in the morning, Arman cooks breakfast while Rita does her hair in the bathroom. And in the evening, while Rita cooks dinner, Arman works on his computer or watches TV in the living room. Rita likes to sew or iron while Arman does the budget on the computer.

They show you a sketch of the floor plans for the house. The dimensions of the rooms are as follows: kitchen: 12'x15', living room: 15'x25', spare bedroom: 10'x12'.

Is there a minimum number of outlets that must be wired for each room? How are overhead light switches wired into the circuit?

Sketch the wiring diagram for the kitchen. Do you need more than one circuit breaker for the kitchen? Design the wiring so that no circuit breaker opens while Rita is using several of her appliances cooking dinner. Be sure to give several examples of multiple appliance use.

When you have answered these questions and sketched the wiring diagram, check with your instructor before doing the final activity.

Construct a wiring plan for the kitchen, main bathroom, spare bedroom, and living room in the new house with the minimum number of circuits which will still suit Arman's and Rita's mode of living. Your design should insure that no circuit breakers will trip during the busy mornings or evenings. Be sure to include the normal items in rooms (lights, stereo, VCR, etc.) as you plan your wiring diagram.

Written by Barbara J. DuchMay, 1995; Revised January 1996

Lampiran 2

RENCANA PELASANAAN PEMBELAJARAN

Sekolah: SMA N ANTAH BERANTAH

Mata Pelajaran: FISIKA

Kelas/Semester: XII / 2

Alokasi Waktu: 8 x 45 menit (4 x pertemuan)

1. Standar Kompetensi

Menerapkan konsep kelistrikan (baik statis maupun dinamis) dan kemagnetan

dalam berbagai penyelesaian masalah dan berbagai produk teknologi

2. Kompetensi Dasar

Mengidentifikasi penerapan listrik AC dan DC dalam kehidupan sehari-hari

3. Indikator

a. Menjelaskan karakteristik masalah pemasangan sirkuit listrik perumahan yang

pemecahannya terkait dengan model-model rangkaian listrik

b. Mendeskripsikan besaran-besaran listrik yang terlibat dalam masalah perakitan

rangkaian (sirkuit) listrik perumahan

c. Merancang model sirkut rangkaian rumah berdasarkan spesifikasi yang ditentukan

dalam masalah perakitan sirkuit perumahan

d. Menyelesaikam masalah perakitan sirkuit perumahan menggunakan keterampilan

proses.

e. Menyusun dokumen tertulis tentang karakteristik lengkap model sirkuit perumahan

yang disusun untuk pemecahan masalah sirkuit perumahan

f. Membuat model rangkaian simulasi dari model pemecahan masalah sirkuit listrik

perumahan.

Materi Pokok

Rangkaian Listrik AC

Materi Prasyarat

Rankaian seri, paralel dan seri paralel arus AC

Media dan sumber belajar

RPP, Buku Petunjuk Guru, Buku Siswa, Lembar Kerja Siswa, komponen listrik untuk

perakitan model simulasi rangkaian listrik.

Model Pembelajaran:

Problem-based Learning

Skenario Pembelajaran

TAHAP PBL TINGKAH LAKU GURU/SISWA

Tahap 1

Orientasi siswa pada masalah

(30 menit)

- Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dengan menyampaikan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indicator hasil belajar;

- Melaksanakan pretest untuk mengetahui pengetahuan awal siswa terhadap bahan kajian yang akan dibahas;

- Menjelaskan logistik yang dibutuhkan, seperti pembentukan kelompok belajar dan tugas dari masing-masing kelompok, serta mengarahkan siswa untuk berkumpul dengan kelompoknya masing-masing;

- Guru mendistribusikan isi permasalahan yang akan dicari solusinya oleh siswa yang berkaitan dengan masalah pemasangan sirkuit listrik perumahan, kemudian memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah;

- Guru mendiskusikan rubrik asesmen yang akan digunakan dalam menilai kegiatan/ hasil karya siswa.

Tahap 2

Mengorganisasi siswa untuk belajar

(60 menit)

- Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut;

- Guru mengarahkan siswa untuk melakukan kajian teori yang relevan dengan masalah di perpustakaan;

- Siswa diarahkan juga untuk mencari nara sumber lainnya, baik dari siswa atau guru yang relevan;

- Guru mengarahkan siswa untuk membuat laporan hasil

diskusi dan menyempurnakannya di rumah dengan kelompoknya masing-masing;

Kegiatan pembelajaran berbasis masalah pada tatap muka I ditutup dengan

menyampaikan rencana kegiatan pada pertemuan berikutnya (tatap muka II). Untuk itu,

diinformasikan kepada siswa dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik dengan

menyiapkan sumber belajar dan saran pendukung lainnya.

Masalah yang didistribusikan adalah artikel yang diperoleh dari internet, yang

relevan dengan masalah sirkuit listrik perumahan. Artikel tersebut adalah:

Masalah 1

Rita dan Arman sedang membangun dreamhouse mereka. Mereka telah merancang

tata letak semua ruangan, dengan bantuan ayah Arman yang arsitek. Anda bersahabat baik

dengan Rita dan Arman dan Anda baru saja mempelajari sirkuit di kelas fisika Anda, Anda

tertarik pada rencana pengkabelan sirkuit untuk rumah baru. Rita mengatakan kepada anda

bahwa rumahnya akan memiliki 4 kamar tidur, ruang keluarga, ruang tamu, ruang makan,

2 kamar mandi, sebuah utilitas/kamar mandi, dan dapur kombinasi/daerah sarapan. Arman

memberitahu Anda bahwa dia tidak tahu berapa banyak kebutuhan sirkuit rumahnya agar

aman. Bahkan, Arman tidak yakin dia tahu apa-apa tentang sirkuit, atau cara kerja suatu

pemutus sirkuit. Apakah ia membutuhkan 240 V AC atau 120 V? Apa tegangan listrik

jalur masuk ke rumah? Bagaimana peringkat pada pemutus sirkuit ditentukan? Bagaimana

pengkabelan rumah?

Gunakan pengetahuan Anda tentang fisika, untuk menjawab pertanyaan Arman. Jika Anda

tidak tahu jawabannya, di mana Anda dapat menemukan informasi yang Anda

butuhkan? Pertanyaan apa yang harus Anda berikan pada Rita dan Arman untuk

menentukan kebutuhan kabel?

(Setelah selesai dengan pertanyaan-pertanyaan ini, lanjutkan halaman ke masalah ke 2)

Masalah ke 2

Rita memberitahu Anda bahwa mereka akan memiliki banyak peralatan dapur. Sebuah

microwave, kulkas, blender, oven pemanggang roti, pembuka kaleng, panci goreng listrik,

wajan listrik, mixer, radio jam, jam, panci kuali, dan mesin cuci piring. Arman mengatakan

bahwa ada komputer dan printer, dan Rita menyetrika dan menjahit di kamar tidur yang

sama. Arman menggunakan pisau cukur listrik, sementara Rita menggunakan hair dryer

dan curling iron dalam kamar mandi utama.

Mereka juga menginformasikan bahwa di pagi hari, Arman memasak sarapan sementara

Rita mencuci rambutnya di kamar mandi. Dan di malam hari, sementara Rita memasak

makan malam, Arman bekerja pada komputer atau menonton TV di ruang tamu. Rita suka

menjahit sementara Arman tidak suka anggaran yang membengkak pada komputer.

Mereka menunjukkan sebuah sketsa rencana untuk lantai rumah. Dimensi ruang

adalah sebagai berikut:

dapur: 12'x15 ', ruang tamu: 15'x25', kamar tidur untuk tamu: 10'x12 '.

Apakah ada jumlah minimum outlet yang harus ditransfer untuk setiap kamar? Bagaimana

kabel saklar lampu overhead ke rangkaian?

Sketsa diagram pengkabelan untuk dapur: Apakah Anda perlu lebih dari satu pemutus

sirkuit untuk dapur? Desainlah kabel sehingga tidak ada pemutus sirkuit terbuka sementara

Rita menggunakan beberapa peralatan memasak makan malam nya. Pastikan untuk

memberikan beberapa contoh penggunaan beberapa alat. Bila Anda telah menjawab

pertanyaan-pertanyaan ini dan membuat sketsa diagram pengkabelan, cek dengan guru

Anda sebelum melakukan aktivitas akhir. Buatlah rencana kabel untuk dapur, kamar

mandi utama, kamar tidur, dan ruang tamu di rumah baru dengan jumlah minimum sirkuit

yang masih akan sesuai untuk gaya hidup Arman dan Rita. Desain harus memastikan

bahwa tidak ada pemutus arus ketika pada pagi atau malam hari ang sibuk. Pastikan untuk

menyertakan item normal dalam kamar (lampu, stereo, VCR, dll) ketika Anda

merencanakan diagram pengkabelan Anda.

Dengan mencermati artikel di atas, lakukan hal-hal, sebagai berikut!

1. Kumpulkanlah informasi, dengan menerapkan tabel berikut:

Apa yang diketahui

Apa yang ingin diketahui

Bagaimana cara mengetahui

2. Konsep-konsep apa saja yang berhubungan dengan artikel itu!

3. Temukan suatu masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata!

4. Buatlah proposal penyelesain masalah sesuai dengan masalah yang ditemukan, dimana proposal mencakup: latar belakang masalah,

perumusan masalah, kajian pusaka (berkaitan dengan sirkuit listrik perumahan), dan metode penelitian.

Tatap Muka II (2 jam pelajaran atau 2 x 45 menit)

Kegiatan pembelajaran berbasis masalah untuk

TAHAP PBL TINGKAH LAKU GURU/SISWA

Tahap 1

Orientasi siswa pada masalah

(10 menit)

- Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan memberikan komentar terhadap pembelajaran sebelumnya;

- Memberikan arahan terhadap strategi pembelajaran sehingga pembelajaran efektif, efesien, dan bermakna;

- Guru memberikan penegasan terhadap hubungan konsep rangkain listrik dengan kehidupan (penegasan masalah).

Tahap 2

Mengorganisasi siswa untuk belajar

(50 menit)

- Guru mengarahkan siswa untuk kumpul dalam kelompoknya, kemudian membimbing siswa melakukan kajian masalah dan diskusi kelompok;

- Siswa diarahkan untuk disiplin dengan tugasnya masing-masing agar tugas dapat diselesaiakan efektif dan efesien;

- Guru membimbing dan memotivasi siswa dalam mencari konsep-konsep dan masalah yang relevan.

Tahap 3

Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok

(30 menit)

- Guru memberikan bimbingan kepada masing-masing kelompok dalam membuat proposal;

- Siswa menyusun proposal dan diarahkan agar mencakup latar belakang masalah, perumusan masalah, kajian pusaka, dan metode penelitian;

- Guru memberikan bimbingan tentang teknik membuat latar belakang masalah, perumusan masalah, kajian pusaka, dan metode penelitian;

- Guru memberikan informasi, agar proposal tersebut dapat dituntaskan di rumah dengan kelompoknya masing-masing.

Kegiatan pembelajaran berbasis masalah pada tatap muka II ditutup dengan

menyampaikan rencana kegiatan pada pertemuan berikutnya (tatap muka III), yang

meliputi presentasi proposal dan pendistribusian LKS. Untuk itu, diinformasikan kepada

siswa dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik dengan menyiapkan sumber belajar dan

saran pendukung lainnya.

Tatap Muka III (2 jam pelajaran atau 2 x 45 menit)

Kegiatan pembelajaran berbasis masalah pada tatap muka III, sebagai berikut:

TAHAP PBL TINGKAH LAKU GURU/SISWA

Tahap 1

Orientasi siswa pada masalah

(5 menit)

- Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan memberikan komentar terhadap pembelajaran sebelumnya, serta permasalahan rangkaian listrik dalam kehidupan;

- Guru mendiskusikan rubrik asesmen yang akan digunakan dalam menilai kegiatan/ hasil karya siswa.

Tahap 2

Mengorganisasi siswa untuk belajar

(5 menit)

- Guru mengarahkan siswa untuk kumpul dalam kelompoknya, kemudian menginformasikan untuk melakukan diskusi;

- Guru membimbing kegiatan diskusi kepada semua kelompok dengan berkeliling kelas

Tahap 3

Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok

(30 menit)

- Guru memberikan bimbingan agar dilakukan Tanya jawab dalam kelompok sebagai persiapan presentasi;

- Siswa menyusun hand out yang digunakan untuk presentasi dan guru melakukan bimbingan kepada setiap kelompok;

- Guru memberikan informasi, agar materi materi yang ada dalam proposal dipahami dengan baik;

Tahap 4

Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

(50 menit)

- Dengan menggunakan undian, salah satu kelompok mempresentasikan proposalnya, serta kelompok lain sebagai penyangga dan agar mempersiapkan pertanyaan;

- Presentasi dilakukan untuk dua kelompok dan guru berperan sebagai fasilitator, mediator, dan suvervisor;

- Siswa diarahkan dan dimotivasi untuk membuat/menjawab pertanyaan yang bersifat kontekstual.

Kegiatan pembelajaran berbasis masalah pada tatap muka III ditutup dengan

mendistribusikan LKS untuk dikerjakan secara individual di rumah, serta menyampaikan

rencana kegiatan pada pertemuan berikutnya (tatap muka IV).

Tatap Muka IV (2 jam pelajaran atau 2 x 45 menit)

Kegiatan pembelajaran berbasis masalah untuk tatap muka IV, sebagai berikut:

TAHAP PBL TINGKAH LAKU GURU/SISWA

Tahap 1

Orientasi siswa pada masalah

(5 menit)

- Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan memberikan komentar terhadap pembelajaran sebelumnya;

- Guru mendiskusikan rubrik asesmen yang akan digunakan dalam menilai kegiatan/ hasil karya siswa.

Tahap 2

Mengorganisasi

- Guru mengarahkan siswa untuk kumpul dalam kelompoknya, kemudian menginformasikan untuk

siswa untuk belajar

(5 menit)

mempersiapkan diri untuk melakukan presentasi;

Tahap 3

Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok

(5 menit)

- Guru memberikan bimbingan agar dilakukan Tanya jawab dalam kelompok sebagai persiapan presentasi;

- Siswa menyusun hand out yang digunakan untuk presentasi dan guru melakukan bimbingan kepada setiap kelompok;

Tahap 4

Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

(50 menit)

- Dengan menggunakan undian, salah satu kelompok mempresentasikan proposalnya, serta kelompok lain sebagai penyangga dan agar mempersiapkan pertanyaan;

- Presentasi dilakukan untuk dua kelompok dan guru berperan sebagai fasilitator, mediator, dan suvervisor;

- Siswa diarahkan dan dimotivasi untuk membuat/menjawab pertanyaan yang bersifat kontekstual.

Tahap 5

Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

(25 menit)

- Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap proposal yang dibuat;

- Guru memberikan informasi dan klarifikasi terhadap pertanyaan dan jawaban siswa;

- Guru melakukan posttes untuk mengetahui hasil belajar siswa

Observasi, Evaluasi, dan Refleksi

Selama pembelajaran berlangsung, guru melakukan observasi terhadap strategi

pembelajaran yang diterapkan dan melakukan perekaman terhadap proses belajar mengajar

yang berlangsung.

Berdasarkan observasi dan evaluasi tersebut, maka diakukan refleksi untuk

melihat seberapa besar keberhasilan dan kegagalan dalam penerapan model pembelajaran

yang dirancang.