Penggunaan Materai Atas Dokumen-Dokumen di Universitas … · 2016. 9. 1. · rangkap-rangkapnya,...
Transcript of Penggunaan Materai Atas Dokumen-Dokumen di Universitas … · 2016. 9. 1. · rangkap-rangkapnya,...
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Hasil Penelitian
1. Penggunaan Meterai Atas Dokumen-dokumen di Universitas Kristen
Satya Wacana (UKSW) Salatiga
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang berlokasi di Jl.
Diponegoro 52-60 Salatiga, Jawa Tengah, semula lahir dengan nama
Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Kristen Indonesia (PTPG-KI).
Diresmikan pada tanggal 30 November 1956 dengan lima jurusan, yaitu
Pendidikan, Sejarah, Bahasa Inggris, Hukum, dan Ekonomi. PTPG-KI
Satya Wacana berubah menjadi FKIP-KI pada tanggal 17 Juli 1959.
Kemudian pada tanggal 5 Desember 1959 diresmikan menjadi Universitas
Kristen Satya Wacana dengan kehadiran Fakultas Ekonomi dan Fakultas
Hukum yang kemudian diikuti dengan pembukaan beberapa Fakultas dan
Program Studi baru. Sebagai Perguruan Tinggi Swasta yang kini melewati
usia emasnya, Satya Wacana yang berarti “Setia Kepada Firman Tuhan”,
terus berkembang dan mendapat kepercayaan baik dari masyarakat
maupun pemerintah.
Pada saat ini UKSW memiliki 56 Program Studi yang terdiri dari 4
Program Studi Diploma III, 39 Program Studi Program Sarjana (S1), 10
Program Studi Program Magister (S2), dan 3 Program Studi Program
Doktoral (S3).
54
Dalam melaksanakan aktivitas perkuliahan, administrasi dan
keuangan UKSW didukung oleh unit-unit penunjang akademik guna
melancarkan berbagai kegiatan kemahasiswaan dan administrasi di
UKSW. Adapun unit-unit penunjang akademik terdiri dari: (1) Biro
Administrasi Akademik, (2) Biro Akuntansi dan Keuangan, (3) Biro
Kemahasiswaan, (4) Biro Manajemen Kampus, (5) Biro Promosi dan
Hubungan Luar, (6) Biro Teknologi dan Sistem Informasi, dan (7) Pusat
Penjaminan Mutu Akademik. Sementara kegiatan administrasi dan
keuangan internal UKSW dilaksanakan oleh Biro Akuntansi dan
Keuangan, yang dibantu oleh Bagian Tata Usaha, Bagian Akuntansi dan
Keuangan.
Dalam praktik lalu lintas hukum dan ekonomi yang berlangsung di
di UKSW berkaitan dengan Bea Meterai. Bea Meterai lebih sering
dianggap sebagai suatu keharusan yang mutlak dilakukan dalam
pembuatan dokumen baik untuk urusan internal maupun eksternal
organisasi. Penggunaan meterai di UKSW meterai ditempelkan pada
dokumen-dokumen seperti Surat Keterangan Masih Kuliah, kuitansi, nota
dan struk kecil (nota juga hanya ukurannya lebih kecil) atau berupa nota
belanja sebagai bukti pembayaran. Hal ini ditegaskan oleh Ibu Sudiyati
Manutede selaku Kepala Bagian Keuangan pada Tata Usaha UKSW
ketika diwawancarai tanggal 10 Mei 2013, yang mengatakan bahwa:
“Memang benar di UKSW menggunakan meterai pada kuitansi dan
nota. Penggunaan meterai seperti itu telah digunakan sejak lama
(sejak saya bekerja pada tahun 1987) dan sudah merupakan aturan
turun temurun/tradisi”.
55
Kepala Bagian Keuangan pada Tata Usaha UKSW menambahkan
bahwa: “Penempelan materai pada kuitansi dan nota serta dokumen
lainnya memang sudah sesuai dengan aturan yang berlaku”. Pendapat yang
hampir sama dikemukakan oleh Elisabeth Venti selaku Manajer Keuangan
UKSW ketika diwawancarai pada tanggal 25 Mei 2013, yang menjelaskan
bahwa:
“Penggunaan meterai pada kuitansi dan nota memang telah lama
dilakukan di UKSW. Tetapi, seharusnya nota tidak perlu
ditempelkan materai karena materai itu sebenarnya berfungsi
sebagai bea pajak bukan sebagai alat bukti pembayaran ataupun
bukti tanda terima atau bukti transaksi sejumlah uang”.
Seperti diketahui, bahwa ketentuan mengenai Bea Meterai diatur
dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea
Meterai (UUBM), yang menyatakan bahwa Bea Meterai dikenakan pajak
atas dokumen. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang
mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan, atau kenyataan
bagi seseorang dan atau pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 1 ayat (2)
UUBM). Dokumen yang dikenakan Bea Meterai berbentuk surat
perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk
digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau
keadaan yang bersifat perdata, akta-akta Notaris termasuk salinannya,
akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk
rangkap-rangkapnya, surat yang memuat jumlah uang, surat berharga
seperti wesel, promes, dan aksep, atau dokumen yang akan digunakan
sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan seperti surat-surat biasa dan
56
surat kerumahtanggaan, serta surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea
Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau
digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula (Pasal 2 UUBM).
Dokumen sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 ayat (2)
UUBM oleh masyarakat luas dikenal sebagai surat atau akta. Maka untuk
dapat memahami dokumen secara lebih komprehensif, perlu juga
diketahui tentang pembagian surat. Surat dapat dibedakan dalam dua jenis,
yaitu surat di bawah tangan dan surat autentik. Selanjutnya surat dibawah
tangan dapat dibedakan menjadi surat biasa dan akta di bawah tangan, dan
surat autentik dapat dibedakan menjadi akta autentik dan surat dinas.
Lebih lanjut, akta autentik dibagi menjadi dua, yaitu akta autentik menurut
Hukum Publik dan akta autentik menurut Hukum Perdata.61
Untuk dapat
mempermudah pemahaman mengenai dokumen, dapat memperhatikan
skema pada gambar di bawah ini.62
61
Hasanuddin Tatang. Modul Bea Meterai. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pajak, Badan
Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak. Jakarta, 2006, hal. 4. 62
Ibid. hal. 5.
57
Penjelasan gambar di atas adalah sebagai berikut:
a) Surat adalah serangkaian kata-kata dalam bentuk tulisan yang
mengandung maksud tertentu dari pembuatnya.
b) Surat dibawah tangan adalah surat yang tidak dibuat oleh pejabat
umum. (Pejabat umum adalah pejabat yang diangkat oleh pemerintah
dan ditugaskan serta diberi wewenang untuk melakukan sebagian dari
pekerjaan pemerintah untuk membuat akta yang berkaitan dengan
peristiwa atau perbuatan hukum).63
c) Akta adalah surat yang ditandatangani, yang khusus dibuat untuk
dijadikan bukti tentang suatu peristiwa atau perbuatan hukum.64
d) Akta autentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan
undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang
untuk itu (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai
Pencatat Sipil) di tempat akta itu dibuat (Pasal 1868 KUH Perdata,
Pasal 165 Herziene Indonesisch Reglemen (HIR), dan Pasal 285
Rechtsreglement Buitengewesten (RBg).
e) Akta di bawah tangan adalah surat tanda bukti berisi pernyataan
(keterangan, pengakuan, keputusan, dan sebagainya) tentang peristiwa
atau perbuatan hukum yang dibuat secara sepihak ataupun melibatkan
beberapa pihak yang berkepentingan tanpa disaksikan dan disahkan
oleh pejabat umum yang berwenang membuat akta.65
63
Ibid. 64
Sofyan Arief. “Penggunaan Meterai yang Benar Dalam Rangka Sempurnanya Akta Autentik”.
Humanity. Volume 7, No. 1, September 2011, hal. 45. 65
Ibid.
58
Berdasarkan penjelasan di atas, secara eksplisit mengisyaratkan
bahwa yang menjadi objek pajak Bea Meterai adalah dokumen, seperti
akta perjanjian, akta jual-beli, surat perjanjian sewa-menyewa, kuitansi,
dan sebagainya. Isi dari akta atau surat perjanjian tersebut tidak
menghalangi untuk mengenakan Bea Meterai atas akta atau surat
perjanjian mengenai hal-hal tersebut.
Pada kasus di UKSW tersebut, penggunaan meterai pada kuitansi
dapat dibenarkan dan sah menurut UUBM, sedangkan penggunaan meterai
pada nota pembayaran tidak diatur dalam UUBM, karena tidak termasuk
ke dalam dokumen yang dikenakan Bea Meterai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 UUBM. Dalam lalu lintas ekonomi, kuitansi dan nota
memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai bukti pencatatan transaksi.
Namun, dalam lalu lintas hukum, keduanya memiliki arti yang berbeda.
Untuk lebih memahami hal ini dapat dilihat dari batasan antara kuitansi
dan nota menurut para ahli.
Kuitansi adalah tanda bukti terjadinya pembayaran yang
ditandatangani oleh pihak penerima uang. Kuitansi harus dibubuhi materai
pada jumlah tertentu sesuai dengan peratuaran yang berlaku. Lembar asli
diserahkan kepada pihak yang membayar, sedangkan tembusan atau
bagian sus/potongannya disimpan pihak penerima.66
Menurut Pasal 55
Peraturan Presiden RI Nomor 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Presiden RI Nomor 54 tahun 2010 Tentang Pengadaan
66
Dhatulaulia. “Bukti Transaksi” diakses melalui http://dhatulaulia.wordpress.com/2012/05/30/
bukti-transaksi, tanggal 21 Oktober 2013.
59
Barang/Jasa Pemerintah, dinyatakan bahwa kuitansi adalah selembar surat
bukti yang menyatakan bahwa telah terjadi penyerahan sejumlah uang dari
yang disebut sebagai pemberi atau yang menyerahkan uang kepada yang
disebut sebagai penerima dan yang harus menandatangani telah menerima
penyerahan uang itu sebesar yang disebutkan dalam surat itu, lengkap
dengan tanggal penyerahan, tempat serta alasan penyerahan uang itu.
Untuk memperkuat tanda bukti tersebut ditempelkan meterai sebesar yang
ditentukan oleh Undang-undang Bea Meterai.67
Sementara definisi nota
adalah tanda bukti pembelian suatu barang secara tunai yang dibuat pihak
penjual dan diberikan kepada pihak pembeli. Nota minimal dibuat rangkap
dua, aslinya diserahkan kepada pihak pembeli dan rangkapnya disimpan
penjualnya sebagai bukti transaksi penjualan barang secara tunai.68
Penjelasan di atas secara eksplisit mengisyaratkan adanya
perbedaan batasan dan fungsi kuitansi dengan nota, meskipun kedua
dokumen tersebut menyebut penerimaan uang. Dalam Pasal 2 ayat (1)
huruf d UUBM jo Pasal 1 huruf d Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas
Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai, dinyatakan
bahwa yang dikenakan Bea Meterai adalah surat yang memuat sejumlah
uang yaitu yang menyebutkan penerimaan uang. Hal ini berarti
penggunaan meterai pada kuitansi dapat dibenarkan dan sah menurut
67
“Perpres 70/2012: Antara Bukti Pembelian dan Kuitansi”. Diakses melalui http://www.
rejanglebongkab. go.id/perpres-702012-antara-bukti-pembelian-dan-kuitansi, tanggal 29 Oktober
2013. 68
Dhatulaulia, Op.Cit.
60
UUBM dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000, karena secara jelas
kuitansi merupakan surat yang menyebutkan penerimaan uang. Sedangkan
nota umumnya digunakan sebagai tanda tanda bukti pembelian suatu
barang secara tunai yang dibuat pihak penjual dan diberikan kepada pihak
pembeli, sehingga tidak memerlukan meterai. Dengan perkataan lain, nota
pembelian atau pembayaran tidak dikenakan Bea Meterai, kecuali jika
dikemudian hari akan digunakan sebagai alat pembuktian di Pengadilan,
maka terlebih dahulu nota tersebut harus dilakukan pemeteraian kemudian.
Jadi, penggunaan meterai pada nota (bahkan struk) di UKSW tidak
berdasarkan atas peraturan dan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku, karena nota tidak termasuk dokumen sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 UUBM jo Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000.
Pada bagian lain praktik penggunaan meterai di UKSW berlaku
untuk dokumen-dokumen yang memuat penerimaan uang dengan nilai
nominal tertentu, seperti dijelaskan oleh Ibu Manutede selaku Kepala
Bagian Keuangan pada Tata Usaha UKSW ketika diwawancarai tanggal
10 Mei 2013, yang menyatakan sebagai berikut:
“Materai yang digunakan disesuaikan dengan nominal yang tertera
dalam kuitansi dan nota. Contohnya nominal Rp. 250.000 sampai
Rp. 1.000.000,- ditempel meterai Rp. 3.000 dan nominal lebih dari
Rp. 1.000.000,- menggunakan materai Rp. 6.000”.
Kepala Bagian Keuangan pada Tata Usaha UKSW menambahkan
bahwa otorisasi atas transaksi dokumen-dokumen tersebut dilakukan
sebagai berikut: Kuitansi dengan nominal Rp. 300.000,- ditandatangani
oleh Kepala Bagian Keuangan, transaksi dengan nilai nominal Rp.
61
1.000.000,- sampai Rp. 5.000.000,- oleh Manajer Keuangan, sedangkan
transaksi yang mempunyai nilai nominal Rp. 5.000.000,- sampai dengan
Rp. 25.000.000,- ditandatangani oleh Pembantu Rektor II. Sementara
transaksi dengan nilai nominal Rp. 25.000.000,- sampai dengan Rp.
50.000.000,- ditandatangani oleh Rektor, dan transaksi yang nilainya lebih
dari Rp. 50.000.000,- ditandatangani oleh Yayasan. Semua transaksi ini
pada akhirnya akan divalidasi (di cek) oleh staf yang bertugas di bagian
akuntansi dan keuangan.
Tarif Bea Meterai pada dasarnya dibagai dua, yaitu (1) tarif
berdasarkan jenis dokumen dan (2) tarif berdasarkan jumlah nominal yang
disebutkan dalam dokumen tersebut. Pembagian ini memang tidak
disebutkan secara jelas dalam UUBM, namun secara implisit dapat dilihat
dalam Pasal 2 UUBM, yaitu dokumen yang merupakan surat yang dibuat
dengan tujuan untuk digunakan sebagai barang bukti di pengadilan, seperti
akta notaris dan akta PPAT dikenakan tarif yang sama tanpa melihat isi
dari dokumen tersebut. Selain itu dokumen yang memuat jumlah uang
akan dikenakan tarif Bea Meterai berdasarkan jumlah uang yang termuat
dalam dokumen tersebut.
Berdasarkan tarif-tarif yang dikenakan atas dokumen-dokumen
sebagaimana tersebut pada Pasal 2 UUBM, tarif Bea Meterai adalah Rp
1.000,- dan Rp 500,-. Selanjutnya dalam Pasal 3 UUBM disebutkan bahwa
dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan besarnya tarif Bea Meterai
dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai,
62
dapat ditiadakan, diturunkan, dinaikkan setinggi-tingginya enam kali atas
dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Berdasarkan
ketentuan ini, seiring dengan adanya perkembangan ekonomi nasional,
pemerintah telah mengadakan dua kali penyesuaian tariff dan besarnya
harga nominal yang dikenakan Bea Meterai, yaitu perubahan pertama
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1995, tarif Bea Meterai
diubah menjadi Rp 1.000,- dan Rp 2.000. Perubahan kedua diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2000, yaitu tarif Bea Meterai
ditentukan sebesar Rp 3.000,- dan Rp 6.000,-.
Berkaitan tarif Bea Meterai yang dikenakan di UKSW seperti
dijelaskan di atas, Pasal 2 UUBM jo Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 2000 mengatur mengenai tarif Bea Meterai atas dokumen yang
menyebut penerimaan uang, yaitu: (a) yang mempunyai harga nominal
sampai dengan Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), tidak
dikenakan Bea Meterai; (b) yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp
250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah), dikenakan Bea Meterai dengan tarif
sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah); dan (c). yang mempunyai harga
nominal lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), dikenakan Bea
Meterai dengan tarif sebesar Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah).
Berdasarkan ketentuan di atas, menurut hemat penulis, praktik
penggunaan meterai di UKSW telah dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam UUBM dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000
63
mengenai tarif Bea Meterai atas dokumen yang menyebut penerimaan
uang. Meskipun nota yang seharusnya tidak dikenakan Bea Meterai,
namun tetap digunakan meterai. Menurut hemat penulis, Surat Keterangan
Masih Kuliah dan nota pembayaran di UKSW termasuk kedalam dokumen
yang tidak dikenakan Bea Meterai sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf
f, yaitu “tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern
organisasi”. Hal ini berarti terkesan ada pembiaran perlakuan yang salah
dan dapat dianggap inefisiensi bagi keuangan UKSW. Selain itu, nota
tidak lazim dikenakan Bea Meterai meskipun menyebut penerimaan uang,
kecuali jika nota tersebut digunakan sebagai alat pembuktian di muka
Pengadilan. Inipun oleh UUBM masih diberikan kesempatan untuk
diberikan pemeteraian kemudian, meskipun dikenakan denda 200% dari
Bea Meterai yang tidak atau kurang bayar.
2. Sumber Hukum Penggunaan Meterai atas Kuitansi dan Nota
Bea Meterai merupakan pajak tidak langsung atas dokumen. Dasar
hukum pengenaan Bea Meterai adalah Undang-undang Nomor 13 Tahun
1985 (UUBM). Undang-undang ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1986.
Selain itu untuk mengatur pelaksanaannya, telah dikeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea
Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan
Bea Meterai.
64
Bea Meterai dikenakan atas dokumen dan hanya satu dokumen
hanya terutang satu Bea Meterai, sedangkan rangkap atau salinannya
(yang ikut ditandatangani) terutang Bea Meterai sama dengan aslinya.
Dokumen yang dikenakan Bea Meterai sebagaimana diatur dalam Pasal 2
UUBM dan dokumen yang tidak dikenakan Bea Meterai diatur dalam
Pasal 4 UUBM.
Penggunaan meterai pada Surat Keterangan Masih Kuliah,
Kuitansi, Nota (bahkan struk) yang telah berlangsung lama dan telah
menjadi kebiasaan yang turun-temurun dilakukan di UKSW, dapat
dianggap sebagai perilaku penggunaan meterai yang salah. Kecuali
penggunaan meterai pada kuitansi dapat dibenarkan dan sah menurut
UUBM maupun peraturan pelaksanaannya (Peraturan Pemerintah,
Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktur Jenderal Pajak).
Penggunaan meterai pada kuitansi sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat
(1) huruf d, yaitu surat yang menyebutkan penerimaan uang.
Sementara penggunaan meterai pada Surat Keterangan Masih
Kuliah dan Nota, serta struk kecil dianggap bertentangan dengan aturan
dan ketentuan Pasal 2 UUBM jo Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 2000. Dokumen-dokumen tersebut seharusnya masuk dalam
kategori dokumen yang tidak dikenakan Bea Meterai, karena tanda
penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.
Penggunaan meterai atas dokumen-dokumen di UKSW tersebut di
atas, jika dilihat dari hukum kebiasaan juga tidak relevan, karena hukum
65
kebiasaan menurut Mr. J.H.P. Bellefroid, “hukum kebiasaan disebut
kebiasaan saja, meliputi semua peraturan-peraturan yang walaupun tidak
ditetapkan pemerintah, tetapi ditaati oleh seluruh rakyat, karena mereka
yakin bahwa peraturan itu berlaku sebagai hukum”.69
Sementara menurut
Pasal 1339 KUH Perdata, dinyatakan bahwa “Persetujuan-persetujuan
tidak hanya mengikat untuk apa yang telah ditetapkan dengan tegas oleh
persetujuan-persetujuan itu, tetapi juga untuk segala sesuatu menurut sifat
persetujuan-persetujuan itu diwajibkan oleh kebiasaan”.
Berdasarkan definisi hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis di
atas, secara eksplisit mengisyaratkan bahwa agar kebiasaan memiliki
kekuatan yang berlaku dan sekaligus menjadi sumber hukum, maka harus
dipenuhi syarat sebagai berikut:
a. Harus ada perbuatan atau tindakan tertentu yang dilakukan
berulangkali dalam hal yang sama dan diikuti oleh orang banyak/
umum.
b. Harus ada keyakinan hukum dari orang-orang/golongan-golongan
yang berkepentingan, dalam arti harus terdapat keyakinan bahwa
aturan-aturan yang ditimbulkan oleh kebiasaan itu mengandung hal-hal
yang baik dan layak untuk diikuti/ditaati serta mempunyai kekuatan
mengikat.
Selanjutnya kebiasaan akan menjadi hukum kebiasaan karena
kebiasaan tersebut dirumuskan hakim dalam putusannya. Dengan
69
Mr. J.H.P. Bellefroid, “Kebiasaan Sebagai Sumber Hukum” diakses melalui
staff.ui.ac.id/internal/131861375/material/sumberhukum, tanggal 20 Oktober 2013.
66
demikian, kebiasaan penggunaan meterai atas dokumen-dokumen
khususnya Surat Keterangan Masih Kuliah, Nota dan struk kecil, tidak
termasuk sebagai hukum kebiasan, karena perlakuan yang demikian tidak
diikuti oleh semua orang. Menurut hemat penulis, perilaku penggunaan
meterai atas dokumen-dokumen di UKSW tersebut termasuk dalam
kategori sebagai perilaku yang tidak taat hukum.
B. Analisis
Materai sudah tak asing bagi masyarakat yang terbiasa menggunakan
benda mirip perangko ini pada sejumlah dokumen. Materai dianggap semacam
alat menyakinkan sebuah perjanjian atau bukti transaksi sah adanya. Tak banyak
yang menyadari kalau materai adalalah bentuk pembayaran pajak atas dokumen.
Menurut Mashar Resmawan selaku Kepala Seksi Peraturan PTLL Direktorat
Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak, “Bea materai adalah pajak atas dokumen.
Bea materai ada sejak zaman Belanda. Pajak ini merupakan salah satu pajak tertua
selain pajak penghasilan. Bea materai yang berlandaskan aturan kolonial Belanda,
kemudian landasan tersebut berubah menjadi Undang-undang Bea Materai.
Undang-undang inilah yang memperingkas dan menyederhanakan penggunaan
materai. Karena itulah yang dikenal sekarang ini hanya materai 3000 dan 6000.70
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUBM diatur mengenai dokumen yang
dikenakan bea meterai diantaranya: Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang
dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai
70
Mashar Resmawan, “Salah Pakai Materai Bisa Kena Sanksi”. Diakses melalui http://www.
portalkbr. com/berita/perbincangan/2948102_4215.html, tanggal 20 Oktober 2013.
67
perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata dan akta-akta notaris
termasuk salinannya, surat yang menyebut penerimaan uang. Sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas
Pengenaan Harga Nominal yang dikenakan Bea Meterai, maka dokumen tersebut
di atas dikenakan bea meterai dengan tarif Rp 6.000,- (enam ribu rupiah).
Penggunaan meterai atas dokumen-dokumen di UKSW, apabila untuk
keperluan pembuktian di Pengadilan apabila suatu surat/dokumen (dalam hal ini
kuitansi dan nota) yang belum bermeterai, dapat dilakukan pemeteraian kemudian
untuk kepentingan pembuktian yang dilakukan oleh Pejabat Pos (Pasal 2 ayat (3)
huruf a jo. Pasal 10 UUBM). Hal ini bukan berarti dengan tiadanya meterai dalam
alat bukti tertulis menyebabkan tidak sahnya perbuatan hukum yang dilakukan,
hanya akta dari perbuatan hukum yang dilakukan itu tidak memenuhi syarat untuk
dapat digunakan sebagai alat bukti di Pengadilan.71
Dalam hal tiadanya meterai dalam suatu surat atau dokumen (misalnya
surat perjanjian) maka tidak berarti perbuatan hukumnya tidak sah, melainkan
hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian. Sedangkan perbuatan
hukumnya sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan
ada tidaknya meterai, tetapi ditentukan oleh Pasal 1320 KUH Perdata. Putusan
Mahkamah Agung tanggal 28-8-1975 No. 983 K/Sip/1972 menegaskan bahwa
kuitansi yang diajukan oleh tergugat sebagai bukti, karena tidak bermeterai oleh
Hakim dikesampingkan. Jadi, dalam hal kuitansi tersebut akan dipakai sebagai
71
Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
1996, hal. 3.
68
alat bukti di Pengadilan maka kuitansi dan nota tersebut wajib dimeteraikan
terlebih dahulu. Dengan demikian, bahwa tidak dilunasinya bea meterai dalam
dokumen tersebut akan berdampak terhadap kekuatannya sebagai alat bukti.
Jika surat atau dokumen perjanjian yang tidak dibubuhi dengan meterai
ternyata akan dipergunakan sebagai alat bukti, maka UUBM mengatur bahwa
dokumen yang bea meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya
dikenakan denda administrasi sebesar 200% dari bea meterai yang tidak atau
kurang dibayar. Misalnya Bea Meterai terutang Rp 6.000,00. Karena kelalaian
belum mengenakan Bea Meterai, maka Bea Meterai dan saksi yang harus dibayar
adalah: Bea Meterai yang terutang Rp 6.000,00, Denda administrasi Rp
12.000,00, maka Jumlah Pemeteraian Kemudian Rp 18.000,00. Pemeteraian
kemudian atas dokumen tersebut dilakukan oleh Pejabat Pos menurut tata cara
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Perlu diketahui Materai tidak hanya
sebagai pajak tapi juga sebagai bukti adanya peristiwa hukum (nota di UKSW
dapat ditempelkan materai saat dibutuhkan contohnya seperti yang sudah
disebutkan yaitu sebagai bukti dan juga merupakan aturan dari akuntan publik)
Selain itu, dalam konteks memperkuat pembuktian, akta di bawah tangan
(misal Surat Keterangan Masih Kuliah) dapat dilegalisasi atau disahkan oleh
notaris. Seperti ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-undang No. 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris, notaris berwenang pula untuk mengesahkan tanda
tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus. Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (2) huruf a
69
Undang-undang No. 30 Tahun 2004, dinyatakan bahwa ketentuan ini merupakan
legalisasi terhadap akta di bawah tangan yang dibuat sendiri oleh orang
perseorangan atau oleh para pihak di atas kertas yang bermaterai cukup dengan
jalan pendaftaran dalam buku khusus yang disediakan oleh Notaris.
Berkaitan dengan praktik penggunaan meterai atas dokumen-dokumen di
UKSW, dapat dikatakan telah memenuhi ketentuan perundang-undangan yang
berlaku (UUBM maupun peraturan pelaksanaannya), sehingga mempunyai
kekuatan hukum yang sempurna sebagai alat pembuktian. Namun perlu
ditambahkan bahwa transaksi internal perusahaan (misalnya unit administrasi,
unit keuangan) tidak perlu memakai Bea Meterai kecuali akan digunakan sebagai
bukti, maka boleh di tempelkan meterai (dalam hal ini adalah nota). Mengenai
yang terutang Bea Meterai adalah orang-orang atau pihak-pihak yang
mendapatkan manfaat dari surat atau dokumen tersebut.