Penggunaan Komunitas Makrozoobenthos untuk Menentukan ... · Pada bagian yang dalam kandungan...

13
TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai, pengertian sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Ekosistem sungai merupakan satu kesatuan yang terdiri atas berbagai macam tipe habitat. Klasifikasi atau pembagian wilayah sungai untuk menjelaskan tipe-tipe habitat yang ada dapat dilakukan dari beberapa faktor. Menurut Molles (2005) sungai dapat dibagi menjadi 3 dimensi, yaitu berdasarkan panjang atau secara horizontal mencakup pembagian berdasarkan topografi dan berdasarkan variasi aliran dapat dibedakan menjadi dua yaitu saluran utama ( active channel) dan daerah terestrial ( wetted channel) atau daerah riparian zone. Saluran utama merupakan daerah yang selalu terairi oleh aliran air, sedangkan daerah terestrial merupakan daerah yang terairi pada periode tertentu. Secara vertikal wilayah sungai dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian permukaan, kolom air dan bagian dasar perairan (benthic zone). Pembagian wilayah sungai juga dapat dilakukan berdasarkan sistem jaringan aliran air ( drainage network ) atau yang dikenal dengan sistem ordo sungai (Strahler 1964 in Beaumont 1975; Angelier 2003; Suwignyo 2003). Sumber: Molles (2005) Gambar 2 Struktur sungai

Transcript of Penggunaan Komunitas Makrozoobenthos untuk Menentukan ... · Pada bagian yang dalam kandungan...

7

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Sungai

Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 35 Tahun 1991 tentang

Sungai, pengertian sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan

pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan kirinya

serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Ekosistem sungai merupakan

satu kesatuan yang terdiri atas berbagai macam tipe habitat. Klasifikasi atau

pembagian wilayah sungai untuk menjelaskan tipe-tipe habitat yang ada dapat

dilakukan dari beberapa faktor. Menurut Molles (2005) sungai dapat dibagi

menjadi 3 dimensi, yaitu berdasarkan panjang atau secara horizontal mencakup

pembagian berdasarkan topografi dan berdasarkan variasi aliran dapat dibedakan

menjadi dua yaitu saluran utama (active channel) dan daerah terestrial (wetted

channel) atau daerah riparian zone. Saluran utama merupakan daerah yang selalu

terairi oleh aliran air, sedangkan daerah terestrial merupakan daerah yang terairi

pada periode tertentu. Secara vertikal wilayah sungai dapat dibagi menjadi tiga

bagian, yaitu bagian permukaan, kolom air dan bagian dasar perairan (benthic

zone). Pembagian wilayah sungai juga dapat dilakukan berdasarkan sistem

jaringan aliran air (drainage network) atau yang dikenal dengan sistem ordo

sungai (Strahler 1964 in Beaumont 1975; Angelier 2003; Suwignyo 2003).

Sumber: Molles (2005)

Gambar 2 Struktur sungai

8

Sungai menurut kejadiannya (order) dapat diklasifikasikan : order satu

yakni sungai yang tidak mempunyai anak sungai, order dua yakni sungai yang

terbentuk dari pertemuan antara dua tipe order satu, order tiga yakni sungai yang

terbentuk dari pertemuan dua tipe sungai order dua, dan seterusnya (Suwignyo

2003). Dijelaskan pula oleh Suwignyo (2003), bahwa tipologi sungai dan perairan

mengalir la innya mempunyai ciri khas yakni arah aliran, kecepatan aliran, dan

dasar aliran. Arah aliran sungai sesuai mekanisme aliran yang berdasarkan prinsip

gravitasi adalah menyatu arah (unidirectional). Massa air mengalir ke satu arah

yang sudah tentu. Atas dasar ciri ini, maka apa yang terjadi di daerah hulu

dampaknya akan terbawa ke daerah hilir, tetapi tidak sebaliknya.

Illies (1953) in Hawkes (1975), mengelompokkan pembagian sungai

menjadi dua zona utama yaitu, zona rithron dan zona potamon, yang kemudian

dijadikan sebagai dasar pengklasifikasian sungai di dunia. Zona rithron dicirikan

oleh aliran air yang deras karena kontur kemiringan yang tinggi, cepat dan

bergolak. Ada selang antara aliran dan genangan, adanya air terjun dan riam

jeram. Tempat yang dangkal mempunyai batuan besar, kecil atau kerikil. Tempat

yang dalam (pool) mempunyai dasar yang halus dari pasir atau pasir berlumpur.

Kandungan oksigen terlarut selalu tinggi. Zona rithron lebih jauh dibagi kedalam

tiga bagian yaitu, epirithron (bagian yang didominasi oleh aliran air yang deras,

air terjun dan jeram; hyporithron (mempunyai kelokan-kelokan dan genangan air

dasarnya berupa lumpur atau detritus); dan merithron bagian dengan ciri-ciri pada

epirithron dan hyporithron. Zona potamon adalah daerah yang dicirikan dengan

aliran air yang pelan, berkelok-kelok dan dasar perairan didominasi oleh lumpur.

Pada bagian yang dalam kandungan oksigen terlarut berfluktuasi dan terkadang

sangat rendah, penetrasi cahaya terbatas dan merupakan daerah deposit.

Komposisi komunitas dari ekosistem sungai akan mengalami perubahan

mulai dari sumber air (aliran air pertama) sampai ke muara/mulut sungai dalam

hubungannya dengan perubahan fisik sepanjang gradien sungai. Konsep ini

dikenal dengan River Continuum Concept (RRC) (Vannote et al. 1980 in Marshall

dan Wallace 2002). RRC merupakan model yang digunakan secara luas untuk

menginterpretasikan pola membujur dari jaring-jaring makanan di ekosistem lotik.

Konsep ini memperlihatkan perubahan membujur sumber masukan autochthonous

9

dan allochthonous, seperti halnya distribusi dari kelompok fungsional makan

makrozoobenthos. Sebagai contoh, RCC memprediksi bahwa di daerah berhutan,

proporsi total biomassa makrozoobenthos bisa dihubungkan dengan penurunan

kelompok shredders (Xiphocaris elongata) ke arah muara oleh karena penurunan

dalam ketersediaan partikel bahan organik kasar (Greathouse dan Pringle 2006).

Menurut Hawkins dan Sedell (1981), secara fungsional (berdasarkan

makanannya) distribusi makrozoobenthos dari hulu ke hilir sungai, didominasi

oleh kelompok ”shredders” yaitu detritivora pemakan partikel organik kasar

dibagian hulu, misalnya Tipula (Diptera), Pycnopsyche (Trichoptera). Di bagian

tengah (intermedier), makrozoobenthos yang dominan adalah kelompok

”scrappers” yaitu herbivora pemakan perifiton yang melekat di substrat, misalnya

Ecdyonuridae (Ephemeroptera), Gastropoda (Moluska). Di bagian hilir,

makrozoobenthos yang dominan adalah kelompok “collectors” yaitu detritivora

pemakan partikel organik halus, misalnya Isonychia (Ephemeroptera) dan

Simuliidae (Diptera) sedangkan kelompok predator, misalnya Chironomidae,

Odonata, Megaloptera, dan Plecoptera relatif melimpah di semua bagian sungai.

Bahan Organik

Bahan organik dalam ekosistem perairan dapat dibedakan dalam beberapa

macam. Metcalf and Eddy (1974) membedakan bahan organik berdasarkan

sumbernya menjadi tiga macam, yaitu (1) bahan organik yang berasal dari limbah

domestik, terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, minyak dan surfaktan; (2) bahan

organik yang berasal dari limbah industri yang terdiri dari protein, karbohidrat,

lemak, minyak, fenol dan surfaktan lainnya; (3) bahan organik yang berasal dari

limbah pertanian, selain nutrien juga ada yang toksik seperti pestisida.

Bahan organik secara umum mengandung 40-60 % protein, 25-50 %

karbohidrat dan 10 % minyak/lemak (Metcalf and Eddy 1974; APHA 1989).

Menurut Sugiharto (1987), bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air

limbah umumnya terdiri dari senyawa antara lain : bahan organik mudah urai

seperti protein, karbohidrat, lemak dan minyak; bahan organik sukar urai seperti

fenol, pestisida, detergen/surfaktan dan lain sebagainya. Kandungan bahan

organik dalam perairan akan mengalami peningkatan, antara lain sebagai akibat

10

dari limbah rumah tangga, pertanian, industri, hujan dan aliran permukaan.

Peningkatan kandungan bahan organik sering diikuti oleh meningkatnya unsur

hara, bentuk-bentuk koloni fitoplankton lebih melimpah dan karena kegiatan

biologik lebih intensif maka hasil dekomposisi berupa detritus organik dan bakteri

juga tersedia (Morgan 1980).

Masukan alami bahan organik pada perairan mengalir sering diperkaya

oleh aktivitas manusia. Pengayaan organik pada ekosistem perairan disebabkan

oleh urbanisasi dan aktivitas pertanian merupakan bentuk pencemaran yang paling

tua dan banyak didokumentasikan. Pengkayaan bahan organik pada perairan

sungai meliputi dua aspek: trophism dan saprobitas. Trophism adalah tingkat dan

intensitas dari produksi bahan organik sedangkan saprobitas adalah komunitas

dari organisme yang mendekomposisi bahan organik. Dalam prakteknya, dua

aspek tersebut sukar untuk dipisahkan (Brabec et al. 2004). Dijelaskan pula bahwa

efek dari degradasi bahan organik di dalam sungai dipengaruhi oleh kecepatan

arus, substrat dasar dan morfologi sungai. Proses peningkatan bahan organik dan

unsur hara pada batas-batas tertentu akan meningkatkan produktivitas organisme

akuatik, namun apabila masukan tersebut melebihi kemampuan organisme akuatik

untuk memanfaatkannya, maka akan timbul permasalahan yang cukup serius.

Permasalahan tersebut antara lain : degradasi habitat dan hilangnya biodiversitas

(Dahl et al. 2004).

Menurut Darmono (2001), penyebab utama berkurangnya kadar oksigen

dalam air ialah limbah organik yang terbuang dalam air. Limbah organik akan

mengalami degradasi dan dekomposisi oleh bakteri aerob (menggunakan oksigen

dalam air), sehingga lama-kelamaan oksigen yang terlarut dalam air akan sangat

berkurang. Dalam kondisi berkurangnya oksigen tersebut hanya spesies organisme

air tertentu saja yang dapat hidup. Pengukuran potensi pencemaran dari suatu

limbah cair organik sesuai dengan potensinya untuk menghabiskan oksigen

terlarut dalam air, adalah konsepsi yang logis. Dalam skala luas merupakan suatu

pendekatan untuk menduga konsentrasi limbah (Gaudy 1982). Oleh sebab itu,

kandungan oksigen digunakan secara biokimia maupun secara kimiaw i dapat

digunakan untuk menduga banyaknya senyawa organik yang ada dalam suatu

perairan melalui pengukuran BOD dan COD. Defisiensi oksigen merupakan

11

indikator abiotik utama dari intensitas dekomposisi bahan organik. Kebutuhan

oksigen biokimiawi (BOD) adalah suatu ukuran dari respirasi mikroba dan ini

sering digunakan sebagai indikator pencemaran organik (Brabec et al. 2004).

Law (1981) menambahkan bahwa untuk mengamati masalah pencemaran

oleh limbah organik industri, maka salah satu alternatifnya adalah dengan

mengukur tingkat pemakaian oksigen potensial yang dikenal dengan Chemical

Oxygen Demand (COD). Nilai COD merupakan ukuran dari pencemaran air oleh

bahan-bahan organik yang secara alamiah dapat dioksidasi melalui proses kimia

dan mikrobiologis yang mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut dalam air.

COD merupakan ukuran jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam kondisi khusus

untuk menguraikan bahan organik secara kimiawi (Wardoyo 1981). COD diukur

dengan oksidator kimia (KMnO4 dan KCr2O7) dapat lebih menggambarkan

kandungan organik sesungguhnya, tetapi tidak menunjukkan dinamika ekosistem

perairan. Meskipun BOD5 hanya menggambarkan sebagian organik (mudah urai),

tetapi lebih dapat menggambarkan dinamika ekosistem perairan.

Makrozoobenthos

Benthos adalah organisme dasar perairan yang hidup di permukaan

(epifauna) atau didalam (infauna) substrat dasar. Benthos terdiri dari organisme

nabati (fitobenthos) dan hewani (zoobenthos) (Odum 1971; RVCA 2005).

Menurut Nazarova et al. (2004), Zoobenthos didefinisikan sebagai sebuah

kelompok hewan invertebrata, dimana sebagian besar siklus hidupnya berada di

substrat dasar suatu badan air. Secara umum benthos dibagi menjadi tiga

kelompok utama, yaitu: makrobenthos (berukuran lebih besar dari 1 mm),

meiobenthos (berukuran antara 0.1 mm sampai 1 mm) dan mikrobenthos

(berukuran lebih kecil 0.1 mm) (Mann 1982). Dijelaskan oleh Cummins (1974)

bahwa makrozoobenthos merupakan organisme yang mencapai ukuran sekurang-

kurangnya 3-5 mm pada saat pertumbuhan maksimum.

Organisme makrozoobenthos biasanya terdiri atas serangga air (stoneflies,

mayflies, caddisflies, beetles, true bugs, true flies), krustacea (isopods,

amphipods, crayfishes), moluska (snails, clams, mussel), annelids (lintah,

oligochaeta), dan beberapa golongan lainnya (proboscis worms, flatworms)

12

(RVCA 2005). Peran penting organisme makrozoobenthos dalam komunitas

akuatik adalah meliputi kemampuannya mendaur ulang bahan-bahan organik,

seperti limbah rumah tangga, pertanian dan perikanan serta sisa-sisa organisme

mati yang berasal dari perairan diatasnya atau dari sumber lain. Selain itu juga

sebagai komponen penting mata rantai kedua dan ketiga dalam rantai makanan

komunitas akuatik (Odum 1971). Dijelaskan pula oleh Merritt dan Cummins

(1996) in Greenberg (2002) bahwa dalam kaitannya dengan posisi trophic mereka,

makrozoobenthos berperanan dalam pengolahan detritus dan bahan organik yang

terakumulasi di dasar perairan. Selain itu, mereka bertindak sebagai materi

makanan untuk jenjang trofik yang lebih tinggi. Secara umum makrozoobenthos

dapat dikelompokkan berdasarkan kebiasaan makan dan cara makan (Tabel 1).

Tabel 1 Kelompok makrozoobenthos berdasarkan cara makan

Tipe Cara Makan Makrozoobenthos Grazer (herbivora)

Molusca (Ancylidae, Sphaeridae, Pleuraceridae, Planorbiidae, Physidae, Unionidae), Ephemeroptera (Heptageniidae), Trichoptera (Glossosomatidae dan Phygareidae) dan Coleoptera (psephenidae dan Elmidae).

Shredders (detritivora pada substrat kasar)

Plecoptera (Nemouridae, Pteronarcidae, Peltoperlidae), Diptera (Tipulidae) dan Trichoptera (Limnephilidae)

Collectors (filter feeder dan deposit feeder pada substrat halus)

Ephemeroptera (Heptageniidae, Baetidae, Siphlonuridae dan Caenidae), Trichoptera (Hydropsychidae), Diptera (Simuliidae dan Chironomidae) dan Oligochaeta.

Predator (karnivora)

Plecoptera (Perlidae), Megaloptera (Corydalidae dan Sialidae), Odonata (Corduligasteridae, Petalaridae, Gomphidae dan Agrionidae)

Sumber : Cummins (1974)

Wilhm (1975) menyatakan bahwa perubahan kualitas air sangat

berpengaruh pada kehidupan organisme makrozoobenthos baik komposisi

maupun besar populasi. Ada juga beberapa jenis organisme makrozoobenthos

yang mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap kualitas air yang jelek, sehingga

organisme tersebut dapat dipakai sebagai penentu kualitas air suatu perairan.

13

Dijelaskan oleh Nazarova et al. (2004) bahwa komunitas dasar di kebanyakan

badan perairan tawar terwakili oleh tiga kelompok besar yakni: larva chironomid,

olighochaeta dan moluska. Oligochaeta dan moluska secara permanen hidup di

dasar, sedangkan chironomid, ketika dalam tahap larva insekta hanya

menghabiskan sebagian dari siklus hidupnya di dasar perairan. Banyak spesies

dari kelompok ini merupakan manifestasi respon langsung pada keberadaan dari

berbagai polutan yang berbeda di dalam massa air dan sedimen dasar, hal ini

menjadikannya sebagai indikator tingkat pencemaran suatu perairan.

Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan

Kesehatan dari suatu ekosistem perairan direfleksikan oleh faktor fisika,

kimia dan biologi yang terintegrasi dalam suatu perairan. Pada masa lampau,

pengelolaan sumberdaya perairan terutama didasarkan pada pengukuran toksisitas

bahan kimia dan data-data kimia air untuk menentukan kualitas perairan. Saat ini

mulai digunakan pengukuran komponen biologi untuk memonitor dan menilai

kondisi suatu perairan (Butcher et al. 2003). Hal ini dikarenakan efek pada biota

umumnya titik akhir dari degradasi lingkungan dan pencemaran sungai (Norris

dan Thoms 1999). Penilaian biologi didasarkan atas pendapat bahwa struktur dan

fungsi dari komunitas biologi perairan dapat memberikan informasi kritis tentang

kualitas perairan. Usaha ini sangat berharga dalam menentukan status komunitas

biologi perairan dalam kaitan skala ukuran besar dan tipe penggunaan lahan (Hall

dan Killen 2006).

Sejarah penggunaan sistem bioindikator pada penilaian kualitas perairan

telah dimulai oleh Kolenati pada tahun 1848 dan Cohn pada tahun 1853

(Liebmann 1962 in Geourdaki 2003) yang telah mengobservasi organisme yang

ada dalam perairan tercemar ternyata berbeda dengan organisme pada perairan

yang bersih/tidak tercemar. Indikator biologi menggambarkan kualitas air dan

perubahannya dalam skala waktu yang lama yang lebih dapat dipercaya dibanding

beberapa analisa fisika kimia air secara terpisah. Khususnya di perairan mengalir,

dimana konsentrasi bahan pencemar mudah berfluktuasi bahkan dalam beberapa

jam, monitoring secara biologi telah terbukti bermanfaat (Whitton et al. 1991 in

Soininen 2004). Menurut Dudgeon (1999) in Dinakaran dan Anbalagan (2007)

14

komponen biologi yang sering digunakan sebagai indikator terjadinya perubahan

kualitas perairan sungai adalah benthos, khususnya insekta air. Penggunaan dari

benthos ini telah tersebar luas dan mendasari kebanyakan program bioassessment

pada beberapa dekade terakhir (Dahl et al. 2004).

Indikator biologi untuk menilai kualitas air berdasar pada

makrozoobenthos menawarkan keuntungan lebih daripada penggunaan organisme

lain (Munoz et al. 1995). Komunitas Makrozoobenthos cenderung mempunyai

keanekaragaman lebih besar dibanding ikan atau komunitas biotik lain di dalam

sungai yang sama, yang membuat evaluasi dengan beberapa metrik

keanekaragaman komunitas lebih berarti. Makrozoobenthos relatif menetap,

mudah untuk dikumpulkan, dan peka terhadap gangguan manusia. Sebagai

tambahan, relatif peka atau toleran dari banyak makrozoobenthos yang sudah

dikenal. Pada umumnya mereka menyediakan pendekatan sederhana untuk

memahami dan mengukur kesehatan sungai dalam rangka mengevaluasi

keseluruhan integritas ekologis dari sistem perairan (Chakrabarty dan Das 2006).

Selanjutnya Gaufin (1958) in Wilhm (1975) membagi benthos berdasarkan

toleransinya terhadap derajat pencemaran yang disebabkan oleh bahan organik

sebagai berikut :

1. Kelompok intoleran : benthos yang berkembang dalam kisaran kondisi

lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya bahan

organik. Kelompok ini tidak dapat berkembang dengan baik apabila terjadi

penurunan kualitas lingkungan. Contoh spesies dari kelompok ini : Ephemera

simulans, Acroneuria evaluta, Chimmara obscura, Mesouvelia sp, Helichus

eitophilus, Anapheles punctipenis.

2. Kelompok fakultatif : benthos yang mampu hidup dalam kisaran kondisi

lingkungan yang lebih besar dari kelompok intoleran. Walaupun kelompok ini

mampu bertahan di perairan yang kaya bahan organiknya, namun tidak dapat

mentolerir kondisi lingkungan yang tercemar berat. Contoh spesies dari

kelompok ini : Stenonema heterotarsela, Argion maculatum, Taenioptery

maura, Agabus stagninus, Conydalis cornubus, Hydropsyche bronta,

Chironomus decorus, Helodrilus chlorotica.

15

3. Kelompok toleran : benthos yang dapat tumbuh dan berkembang pada kisaran

kondisi lingkungan yang luas, artinya kelompok ini dapat dijumpai di perairan

yang tercemar atau kualitas buruk. Contoh spesies dari kelompok ini :

Chironomus riparium, Limnodrilus sp., Tubifex sp.

ODNR (1993) juga mengelompokkan makrozoobenthos ke dalam tiga

kelompok berdasarkan toleransinya terhadap pencemaran perairan. Ketiga

kelompok tersebut adalah (1) kelompok organisme intoleran terhadap

pencemaran. Mereka pada umumnya dominan pada kualitas air bagus. (2)

kelompok organisme yang dapat hidup pada kisaran luas dari kondisi kualitas air,

(3) kelompok organisme toleran terhadap pencemaran. Mereka pada umumnya

mendominansi pada kondisi kualitas air jelek (Gambar 2).

Gambar 3 Kelompok-kelompok organisme makrozoobenthos berdasarkan kepekaannya terhadap pencemaran perairan.

Sumber: ODNR (1993)

16

Karakteristik Parameter Fisika dan Kimia Perairan

Arus merupakan faktor pembatas pada aliran air, arus yang tertentu dan

berkesinambungan adalah ciri utama habitat lotik. Kecepatan arus dapat bervariasi

amat besar di tempat yang berbeda dari satu aliran air yang sama (membujur

ataupun melintang dari poros arah aliran) dan dari waktu ke waktu. Arus adalah

faktor utama yang penting dalam membuat kehidupan kolam dan air deras amat

berbeda, dan mengatur perbedaan dibeberapa tempat dari suatu aliran air. Poff dan

Allan (1995) menyatakan bahwa regim hidrologi terutama arus merupakan faktor

yang penting dalam susunan struktur komunitas setempat pada ekosistim lotik.

Kecepatan arus ditentukan oleh kemiringan, kekasaran, kedalaman dan kelebaran

dasarnya (Hynes 1972; Hawkes 1975; Molles 2005). Kecepatan dan tipe arus

(turbulen/laminar) berpengaruh langsung terhadap pembentukan substrat dasar

perairan, aerasi air, meningkatkan proses pembusukan dan berpengaruh tidak

langsung terhadap pembentukan komposisi makrozoobenthos (Egglishaw 1969;

Brabec et al. 2004). Banyak organisme yang hidup di batu-batuan air deras seperti

water pennies, mayfly dan trichoptera memiliki tubuh pipih, ramping serta

mempunyai perlengkapan lain agar dapat beradaptasi dalam kondisi air deras

tersebut (Hynes 1972).

Faktor lingkungan lainnya yang juga penting pada ekosistem sungai terkait

dengan aliran air adalah suhu dan oksigen terlarut, serta kelarutan sumber nutrien

dan bahan kimia terlarut (Hynes 1972; Hawkes 1975; Angelier 2003). Suhu pada

suatu habitat akan menentukan komunitas biota yang hidup di dalamnya.

Sebagian besar dari makrozoobenthos dapat melakukan toleransi pada suhu air

dibawah 35oC, walaupun ada yang mampu bertahan pada suhu yang ekstrim panas

misalnya pada sumber mata air panas yang bersuhu 35oC hingga 50oC. Contoh

serangga yang dapat hidup pada suhu ekstrim tersebut misalnya : larva Diptera

famili Chironomidae, Culicidae, Stratiomydae dan Ephydridae; larva Coleoptera

famili Dytiscidae dan Hydrophilidae, Hemiptera dan Odonata (Ward 1992).

Menurut Macan (1974), suhu 36,5-41oC merupakan lethal temperature bagi

makrozoobenthos dimana pada suhu tersebut organisme benthik telah mencapai

titik kritis yang dapat menyebabkan kematian.

17

Oksigen terlarut merupakan parameter yang sangat penting dalam

mendeteksi adanya pencemaran, karena oksigen dapat digunakan untuk melihat

perubahan atau ragam biota yang terdapat dalam perairan (Allen dan Mancy

1972). Di daerah aliran air biasanya kandungan oksigen berada dalam jumlah

yang cukup banyak. Oleh karena itu organisme aliran air biasanya mempunyai

toleransi yang sempit dan terutama peka terhadap kekurangan oksigen (Odum

1971). Ward (1992) menjelaskan bahwa oksigen terlarut merupakan faktor

lingkungan yang penting sekali bagi serangga air untuk menunjang proses

respirasinya. Interaksi antara oksigen terlarut dengan arus, substrat dan suhu

menunjang ekologi serangga air, pola distribusi dari oksigen terlarut akan

berpengaruh juga pada pola distribusi serangga air. Nimfa Stonefly mengalami

kematian setelah 24 jam ketika terjadi tingkat kadar oksigen yang rendah dengan

kecepatan arus 1,5 cm/detik. Oksigen terlarut merupakan salah parameter kualitas

perairan penting yang memberikan pengaruh terhadap komunitas

makrozoobenthos di Sungai Del Puerto Creek dan Salt Slough, California.

Kandungan oksigen terlarut dilaporkan memiliki hubungan positif dengan metriks

benthos seperti kepadatan, % collectors/gatherers, dan tingkat kepekaan indeks

EPT (Hall dan Killen 2006).

Bahan nutrien dan bahan kimia yang ada dalam perairan biasanya

berasosiasi dengan faktor fisika perairan seperti suhu dan oksigen terlarut.

Dekomposisi organik pada siklus nutrien, pada ekosistem lotik seperti siklus nitrat

membutuhkan oksigen (Matlock et al. 1999). Hasil perombakan bahan organik

terkadang menghasilkan zat beracun seperti amonia yang bersifat toksik bagi biota

air. Amonia (NH3) dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Sumber

amonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan urea)

dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, berasal dari

dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) yang

dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah amonfikast

(Effendi 2003). Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik meningkat dengan

penurunan kadar oksigen terlarut, pH dan suhu. Kadar amonia di perairan alami

biasanya kurang dari 0,1 mg/l dan kadar amonia di perairan tawar sebaiknya tidak

18

melebihi 0,2 mg/l. Kadar amonia bebas melebihi 0,2 mg/l bersifat toksik bagi

beberapa jenis ikan (Sawyer dan Mc Carty 1978 in Effendi 2003).

Adanya bahan kimia akibat masukan dari wilayah daratan seperti dari

limbah rumah tangga, pertanian dan pabrik juga dapat menyebabkan perubahan

kualitas perairan, khususnya pH, BOD dan COD perairan. Mahida (1984)

menjelaskan bahwa perubahan nilai pH perairan dapat juga dipengaruhi oleh

buangan industri dan rumah tangga. Akibat buangan yang dikeluarkan oleh

industri dapat menyebabkan menurunnya nilai pH yang akan berakibat fatal

terhadap organisme perairan (Baker 1983). Organisme air masing-masing

memiliki kemampuan yang berbeda dalam mentoleransi pH perairan. Pada

penelitian di Sungai Gentil Sapin dan Sungai La Maix , Perancis yang dilakukan

oleh Dangles dan Guerold (2000) memperlihatkan bahwa struktur komunitas

makrozoobenthos secara drastis turun dibawah kondisi asam. Sampling benthos

yang dilakukan memperlihatkan suatu penurunan kelimpahan shredder dan

bergeser dari Amphipoda Gammarus fossarum yang peka terhadap asam kepada

Nemouroidea (utamanya Leuctra sp.) yang toleran terhadap asam.

Kebutuhan oksigen biokimiawi atau BOD5 (Biochemical Oxygen Demand)

adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam

lingkungan perairan untuk merombak atau mendegradasi bahan buangan organik

yang ada di dalam lingkungan tersebut pada suhu 20oC selama 5 hari (Alaert dan

Santika 1987). Sedangkan kebutuhan oksigen kimiawi atau COD (Chemical

Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi

bahan-bahan organik di dalam air secara kimiawi (Mays 1996). Peningkatan nilai

BOD atau COD akan mempengaruhi jumlah dan jenis makrozoobenthos yang ada

di dalam suatu perairan.

Kondisi kualitas perairan lain yang berpengaruh terhadap perubahan

susunan komunitas makrozoobenthos adalah kedalaman dan kekeruhan. Tingkat

kekeruhan perairan dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung

terhadap makrozoobenthos. Pengaruh langsung terhadap pola makan dan

kemampuan melekat sedangkan pengaruh tidak langsung terhadap ketersediaan

oksigen. Kepadatan makrozoobenthos dilaporkan meningkat pada hulu Sungai

19

Del Puerto Creek sejalan dengan rendahnya nilai kekeruhan pada lokasi tersebut

(Hall dan Killen 2006).

Odum (1971) menjelaskan bahwa karakteristik dasar suatu perairan sangat

menentukan keberadan hewan benthik di perairan. Substrat perairan yang berupa

batu dan kerikil umumnya paling disukai serta memiliki kepadatan dan variasi

hewan benthik yang besar. Substrat pasir atau lumpur halus merupakan tipe dasar

yang paling tidak disukai dan memiliki jumlah jenis dan individu yang sedikit.

Tetapi dasar perairan yang berupa liat lebih disukai daripada pasir. Komposisi

substrat di sungai bervariasi baik secara temporal atau spasial, hal ini

berhubungan dengan kecepatan arus. Detritus dasar yang berasal dari daratan

memiliki peran besar di sungai dibandingkan di danau, khususnya penting bagi

ekologi dari serangga di hulu yang sekitarnya hutan. Menurut Roback (1974)

nimfa Ephemeroptera (lalat sehari) tergantung jenisnya hidup pada tumbuhan air,

lumpur, potongan-potongan kayu, batu kerikil, dasar batu dan beberapa ditemukan

hanya diantara atau dibawah batuan.