Penggunaan Komunitas Makrozoobenthos untuk Menentukan ... · Pada bagian yang dalam kandungan...
Transcript of Penggunaan Komunitas Makrozoobenthos untuk Menentukan ... · Pada bagian yang dalam kandungan...
7
TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Sungai
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 35 Tahun 1991 tentang
Sungai, pengertian sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan
pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan kirinya
serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Ekosistem sungai merupakan
satu kesatuan yang terdiri atas berbagai macam tipe habitat. Klasifikasi atau
pembagian wilayah sungai untuk menjelaskan tipe-tipe habitat yang ada dapat
dilakukan dari beberapa faktor. Menurut Molles (2005) sungai dapat dibagi
menjadi 3 dimensi, yaitu berdasarkan panjang atau secara horizontal mencakup
pembagian berdasarkan topografi dan berdasarkan variasi aliran dapat dibedakan
menjadi dua yaitu saluran utama (active channel) dan daerah terestrial (wetted
channel) atau daerah riparian zone. Saluran utama merupakan daerah yang selalu
terairi oleh aliran air, sedangkan daerah terestrial merupakan daerah yang terairi
pada periode tertentu. Secara vertikal wilayah sungai dapat dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu bagian permukaan, kolom air dan bagian dasar perairan (benthic
zone). Pembagian wilayah sungai juga dapat dilakukan berdasarkan sistem
jaringan aliran air (drainage network) atau yang dikenal dengan sistem ordo
sungai (Strahler 1964 in Beaumont 1975; Angelier 2003; Suwignyo 2003).
Sumber: Molles (2005)
Gambar 2 Struktur sungai
8
Sungai menurut kejadiannya (order) dapat diklasifikasikan : order satu
yakni sungai yang tidak mempunyai anak sungai, order dua yakni sungai yang
terbentuk dari pertemuan antara dua tipe order satu, order tiga yakni sungai yang
terbentuk dari pertemuan dua tipe sungai order dua, dan seterusnya (Suwignyo
2003). Dijelaskan pula oleh Suwignyo (2003), bahwa tipologi sungai dan perairan
mengalir la innya mempunyai ciri khas yakni arah aliran, kecepatan aliran, dan
dasar aliran. Arah aliran sungai sesuai mekanisme aliran yang berdasarkan prinsip
gravitasi adalah menyatu arah (unidirectional). Massa air mengalir ke satu arah
yang sudah tentu. Atas dasar ciri ini, maka apa yang terjadi di daerah hulu
dampaknya akan terbawa ke daerah hilir, tetapi tidak sebaliknya.
Illies (1953) in Hawkes (1975), mengelompokkan pembagian sungai
menjadi dua zona utama yaitu, zona rithron dan zona potamon, yang kemudian
dijadikan sebagai dasar pengklasifikasian sungai di dunia. Zona rithron dicirikan
oleh aliran air yang deras karena kontur kemiringan yang tinggi, cepat dan
bergolak. Ada selang antara aliran dan genangan, adanya air terjun dan riam
jeram. Tempat yang dangkal mempunyai batuan besar, kecil atau kerikil. Tempat
yang dalam (pool) mempunyai dasar yang halus dari pasir atau pasir berlumpur.
Kandungan oksigen terlarut selalu tinggi. Zona rithron lebih jauh dibagi kedalam
tiga bagian yaitu, epirithron (bagian yang didominasi oleh aliran air yang deras,
air terjun dan jeram; hyporithron (mempunyai kelokan-kelokan dan genangan air
dasarnya berupa lumpur atau detritus); dan merithron bagian dengan ciri-ciri pada
epirithron dan hyporithron. Zona potamon adalah daerah yang dicirikan dengan
aliran air yang pelan, berkelok-kelok dan dasar perairan didominasi oleh lumpur.
Pada bagian yang dalam kandungan oksigen terlarut berfluktuasi dan terkadang
sangat rendah, penetrasi cahaya terbatas dan merupakan daerah deposit.
Komposisi komunitas dari ekosistem sungai akan mengalami perubahan
mulai dari sumber air (aliran air pertama) sampai ke muara/mulut sungai dalam
hubungannya dengan perubahan fisik sepanjang gradien sungai. Konsep ini
dikenal dengan River Continuum Concept (RRC) (Vannote et al. 1980 in Marshall
dan Wallace 2002). RRC merupakan model yang digunakan secara luas untuk
menginterpretasikan pola membujur dari jaring-jaring makanan di ekosistem lotik.
Konsep ini memperlihatkan perubahan membujur sumber masukan autochthonous
9
dan allochthonous, seperti halnya distribusi dari kelompok fungsional makan
makrozoobenthos. Sebagai contoh, RCC memprediksi bahwa di daerah berhutan,
proporsi total biomassa makrozoobenthos bisa dihubungkan dengan penurunan
kelompok shredders (Xiphocaris elongata) ke arah muara oleh karena penurunan
dalam ketersediaan partikel bahan organik kasar (Greathouse dan Pringle 2006).
Menurut Hawkins dan Sedell (1981), secara fungsional (berdasarkan
makanannya) distribusi makrozoobenthos dari hulu ke hilir sungai, didominasi
oleh kelompok ”shredders” yaitu detritivora pemakan partikel organik kasar
dibagian hulu, misalnya Tipula (Diptera), Pycnopsyche (Trichoptera). Di bagian
tengah (intermedier), makrozoobenthos yang dominan adalah kelompok
”scrappers” yaitu herbivora pemakan perifiton yang melekat di substrat, misalnya
Ecdyonuridae (Ephemeroptera), Gastropoda (Moluska). Di bagian hilir,
makrozoobenthos yang dominan adalah kelompok “collectors” yaitu detritivora
pemakan partikel organik halus, misalnya Isonychia (Ephemeroptera) dan
Simuliidae (Diptera) sedangkan kelompok predator, misalnya Chironomidae,
Odonata, Megaloptera, dan Plecoptera relatif melimpah di semua bagian sungai.
Bahan Organik
Bahan organik dalam ekosistem perairan dapat dibedakan dalam beberapa
macam. Metcalf and Eddy (1974) membedakan bahan organik berdasarkan
sumbernya menjadi tiga macam, yaitu (1) bahan organik yang berasal dari limbah
domestik, terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, minyak dan surfaktan; (2) bahan
organik yang berasal dari limbah industri yang terdiri dari protein, karbohidrat,
lemak, minyak, fenol dan surfaktan lainnya; (3) bahan organik yang berasal dari
limbah pertanian, selain nutrien juga ada yang toksik seperti pestisida.
Bahan organik secara umum mengandung 40-60 % protein, 25-50 %
karbohidrat dan 10 % minyak/lemak (Metcalf and Eddy 1974; APHA 1989).
Menurut Sugiharto (1987), bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air
limbah umumnya terdiri dari senyawa antara lain : bahan organik mudah urai
seperti protein, karbohidrat, lemak dan minyak; bahan organik sukar urai seperti
fenol, pestisida, detergen/surfaktan dan lain sebagainya. Kandungan bahan
organik dalam perairan akan mengalami peningkatan, antara lain sebagai akibat
10
dari limbah rumah tangga, pertanian, industri, hujan dan aliran permukaan.
Peningkatan kandungan bahan organik sering diikuti oleh meningkatnya unsur
hara, bentuk-bentuk koloni fitoplankton lebih melimpah dan karena kegiatan
biologik lebih intensif maka hasil dekomposisi berupa detritus organik dan bakteri
juga tersedia (Morgan 1980).
Masukan alami bahan organik pada perairan mengalir sering diperkaya
oleh aktivitas manusia. Pengayaan organik pada ekosistem perairan disebabkan
oleh urbanisasi dan aktivitas pertanian merupakan bentuk pencemaran yang paling
tua dan banyak didokumentasikan. Pengkayaan bahan organik pada perairan
sungai meliputi dua aspek: trophism dan saprobitas. Trophism adalah tingkat dan
intensitas dari produksi bahan organik sedangkan saprobitas adalah komunitas
dari organisme yang mendekomposisi bahan organik. Dalam prakteknya, dua
aspek tersebut sukar untuk dipisahkan (Brabec et al. 2004). Dijelaskan pula bahwa
efek dari degradasi bahan organik di dalam sungai dipengaruhi oleh kecepatan
arus, substrat dasar dan morfologi sungai. Proses peningkatan bahan organik dan
unsur hara pada batas-batas tertentu akan meningkatkan produktivitas organisme
akuatik, namun apabila masukan tersebut melebihi kemampuan organisme akuatik
untuk memanfaatkannya, maka akan timbul permasalahan yang cukup serius.
Permasalahan tersebut antara lain : degradasi habitat dan hilangnya biodiversitas
(Dahl et al. 2004).
Menurut Darmono (2001), penyebab utama berkurangnya kadar oksigen
dalam air ialah limbah organik yang terbuang dalam air. Limbah organik akan
mengalami degradasi dan dekomposisi oleh bakteri aerob (menggunakan oksigen
dalam air), sehingga lama-kelamaan oksigen yang terlarut dalam air akan sangat
berkurang. Dalam kondisi berkurangnya oksigen tersebut hanya spesies organisme
air tertentu saja yang dapat hidup. Pengukuran potensi pencemaran dari suatu
limbah cair organik sesuai dengan potensinya untuk menghabiskan oksigen
terlarut dalam air, adalah konsepsi yang logis. Dalam skala luas merupakan suatu
pendekatan untuk menduga konsentrasi limbah (Gaudy 1982). Oleh sebab itu,
kandungan oksigen digunakan secara biokimia maupun secara kimiaw i dapat
digunakan untuk menduga banyaknya senyawa organik yang ada dalam suatu
perairan melalui pengukuran BOD dan COD. Defisiensi oksigen merupakan
11
indikator abiotik utama dari intensitas dekomposisi bahan organik. Kebutuhan
oksigen biokimiawi (BOD) adalah suatu ukuran dari respirasi mikroba dan ini
sering digunakan sebagai indikator pencemaran organik (Brabec et al. 2004).
Law (1981) menambahkan bahwa untuk mengamati masalah pencemaran
oleh limbah organik industri, maka salah satu alternatifnya adalah dengan
mengukur tingkat pemakaian oksigen potensial yang dikenal dengan Chemical
Oxygen Demand (COD). Nilai COD merupakan ukuran dari pencemaran air oleh
bahan-bahan organik yang secara alamiah dapat dioksidasi melalui proses kimia
dan mikrobiologis yang mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut dalam air.
COD merupakan ukuran jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam kondisi khusus
untuk menguraikan bahan organik secara kimiawi (Wardoyo 1981). COD diukur
dengan oksidator kimia (KMnO4 dan KCr2O7) dapat lebih menggambarkan
kandungan organik sesungguhnya, tetapi tidak menunjukkan dinamika ekosistem
perairan. Meskipun BOD5 hanya menggambarkan sebagian organik (mudah urai),
tetapi lebih dapat menggambarkan dinamika ekosistem perairan.
Makrozoobenthos
Benthos adalah organisme dasar perairan yang hidup di permukaan
(epifauna) atau didalam (infauna) substrat dasar. Benthos terdiri dari organisme
nabati (fitobenthos) dan hewani (zoobenthos) (Odum 1971; RVCA 2005).
Menurut Nazarova et al. (2004), Zoobenthos didefinisikan sebagai sebuah
kelompok hewan invertebrata, dimana sebagian besar siklus hidupnya berada di
substrat dasar suatu badan air. Secara umum benthos dibagi menjadi tiga
kelompok utama, yaitu: makrobenthos (berukuran lebih besar dari 1 mm),
meiobenthos (berukuran antara 0.1 mm sampai 1 mm) dan mikrobenthos
(berukuran lebih kecil 0.1 mm) (Mann 1982). Dijelaskan oleh Cummins (1974)
bahwa makrozoobenthos merupakan organisme yang mencapai ukuran sekurang-
kurangnya 3-5 mm pada saat pertumbuhan maksimum.
Organisme makrozoobenthos biasanya terdiri atas serangga air (stoneflies,
mayflies, caddisflies, beetles, true bugs, true flies), krustacea (isopods,
amphipods, crayfishes), moluska (snails, clams, mussel), annelids (lintah,
oligochaeta), dan beberapa golongan lainnya (proboscis worms, flatworms)
12
(RVCA 2005). Peran penting organisme makrozoobenthos dalam komunitas
akuatik adalah meliputi kemampuannya mendaur ulang bahan-bahan organik,
seperti limbah rumah tangga, pertanian dan perikanan serta sisa-sisa organisme
mati yang berasal dari perairan diatasnya atau dari sumber lain. Selain itu juga
sebagai komponen penting mata rantai kedua dan ketiga dalam rantai makanan
komunitas akuatik (Odum 1971). Dijelaskan pula oleh Merritt dan Cummins
(1996) in Greenberg (2002) bahwa dalam kaitannya dengan posisi trophic mereka,
makrozoobenthos berperanan dalam pengolahan detritus dan bahan organik yang
terakumulasi di dasar perairan. Selain itu, mereka bertindak sebagai materi
makanan untuk jenjang trofik yang lebih tinggi. Secara umum makrozoobenthos
dapat dikelompokkan berdasarkan kebiasaan makan dan cara makan (Tabel 1).
Tabel 1 Kelompok makrozoobenthos berdasarkan cara makan
Tipe Cara Makan Makrozoobenthos Grazer (herbivora)
Molusca (Ancylidae, Sphaeridae, Pleuraceridae, Planorbiidae, Physidae, Unionidae), Ephemeroptera (Heptageniidae), Trichoptera (Glossosomatidae dan Phygareidae) dan Coleoptera (psephenidae dan Elmidae).
Shredders (detritivora pada substrat kasar)
Plecoptera (Nemouridae, Pteronarcidae, Peltoperlidae), Diptera (Tipulidae) dan Trichoptera (Limnephilidae)
Collectors (filter feeder dan deposit feeder pada substrat halus)
Ephemeroptera (Heptageniidae, Baetidae, Siphlonuridae dan Caenidae), Trichoptera (Hydropsychidae), Diptera (Simuliidae dan Chironomidae) dan Oligochaeta.
Predator (karnivora)
Plecoptera (Perlidae), Megaloptera (Corydalidae dan Sialidae), Odonata (Corduligasteridae, Petalaridae, Gomphidae dan Agrionidae)
Sumber : Cummins (1974)
Wilhm (1975) menyatakan bahwa perubahan kualitas air sangat
berpengaruh pada kehidupan organisme makrozoobenthos baik komposisi
maupun besar populasi. Ada juga beberapa jenis organisme makrozoobenthos
yang mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap kualitas air yang jelek, sehingga
organisme tersebut dapat dipakai sebagai penentu kualitas air suatu perairan.
13
Dijelaskan oleh Nazarova et al. (2004) bahwa komunitas dasar di kebanyakan
badan perairan tawar terwakili oleh tiga kelompok besar yakni: larva chironomid,
olighochaeta dan moluska. Oligochaeta dan moluska secara permanen hidup di
dasar, sedangkan chironomid, ketika dalam tahap larva insekta hanya
menghabiskan sebagian dari siklus hidupnya di dasar perairan. Banyak spesies
dari kelompok ini merupakan manifestasi respon langsung pada keberadaan dari
berbagai polutan yang berbeda di dalam massa air dan sedimen dasar, hal ini
menjadikannya sebagai indikator tingkat pencemaran suatu perairan.
Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan
Kesehatan dari suatu ekosistem perairan direfleksikan oleh faktor fisika,
kimia dan biologi yang terintegrasi dalam suatu perairan. Pada masa lampau,
pengelolaan sumberdaya perairan terutama didasarkan pada pengukuran toksisitas
bahan kimia dan data-data kimia air untuk menentukan kualitas perairan. Saat ini
mulai digunakan pengukuran komponen biologi untuk memonitor dan menilai
kondisi suatu perairan (Butcher et al. 2003). Hal ini dikarenakan efek pada biota
umumnya titik akhir dari degradasi lingkungan dan pencemaran sungai (Norris
dan Thoms 1999). Penilaian biologi didasarkan atas pendapat bahwa struktur dan
fungsi dari komunitas biologi perairan dapat memberikan informasi kritis tentang
kualitas perairan. Usaha ini sangat berharga dalam menentukan status komunitas
biologi perairan dalam kaitan skala ukuran besar dan tipe penggunaan lahan (Hall
dan Killen 2006).
Sejarah penggunaan sistem bioindikator pada penilaian kualitas perairan
telah dimulai oleh Kolenati pada tahun 1848 dan Cohn pada tahun 1853
(Liebmann 1962 in Geourdaki 2003) yang telah mengobservasi organisme yang
ada dalam perairan tercemar ternyata berbeda dengan organisme pada perairan
yang bersih/tidak tercemar. Indikator biologi menggambarkan kualitas air dan
perubahannya dalam skala waktu yang lama yang lebih dapat dipercaya dibanding
beberapa analisa fisika kimia air secara terpisah. Khususnya di perairan mengalir,
dimana konsentrasi bahan pencemar mudah berfluktuasi bahkan dalam beberapa
jam, monitoring secara biologi telah terbukti bermanfaat (Whitton et al. 1991 in
Soininen 2004). Menurut Dudgeon (1999) in Dinakaran dan Anbalagan (2007)
14
komponen biologi yang sering digunakan sebagai indikator terjadinya perubahan
kualitas perairan sungai adalah benthos, khususnya insekta air. Penggunaan dari
benthos ini telah tersebar luas dan mendasari kebanyakan program bioassessment
pada beberapa dekade terakhir (Dahl et al. 2004).
Indikator biologi untuk menilai kualitas air berdasar pada
makrozoobenthos menawarkan keuntungan lebih daripada penggunaan organisme
lain (Munoz et al. 1995). Komunitas Makrozoobenthos cenderung mempunyai
keanekaragaman lebih besar dibanding ikan atau komunitas biotik lain di dalam
sungai yang sama, yang membuat evaluasi dengan beberapa metrik
keanekaragaman komunitas lebih berarti. Makrozoobenthos relatif menetap,
mudah untuk dikumpulkan, dan peka terhadap gangguan manusia. Sebagai
tambahan, relatif peka atau toleran dari banyak makrozoobenthos yang sudah
dikenal. Pada umumnya mereka menyediakan pendekatan sederhana untuk
memahami dan mengukur kesehatan sungai dalam rangka mengevaluasi
keseluruhan integritas ekologis dari sistem perairan (Chakrabarty dan Das 2006).
Selanjutnya Gaufin (1958) in Wilhm (1975) membagi benthos berdasarkan
toleransinya terhadap derajat pencemaran yang disebabkan oleh bahan organik
sebagai berikut :
1. Kelompok intoleran : benthos yang berkembang dalam kisaran kondisi
lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya bahan
organik. Kelompok ini tidak dapat berkembang dengan baik apabila terjadi
penurunan kualitas lingkungan. Contoh spesies dari kelompok ini : Ephemera
simulans, Acroneuria evaluta, Chimmara obscura, Mesouvelia sp, Helichus
eitophilus, Anapheles punctipenis.
2. Kelompok fakultatif : benthos yang mampu hidup dalam kisaran kondisi
lingkungan yang lebih besar dari kelompok intoleran. Walaupun kelompok ini
mampu bertahan di perairan yang kaya bahan organiknya, namun tidak dapat
mentolerir kondisi lingkungan yang tercemar berat. Contoh spesies dari
kelompok ini : Stenonema heterotarsela, Argion maculatum, Taenioptery
maura, Agabus stagninus, Conydalis cornubus, Hydropsyche bronta,
Chironomus decorus, Helodrilus chlorotica.
15
3. Kelompok toleran : benthos yang dapat tumbuh dan berkembang pada kisaran
kondisi lingkungan yang luas, artinya kelompok ini dapat dijumpai di perairan
yang tercemar atau kualitas buruk. Contoh spesies dari kelompok ini :
Chironomus riparium, Limnodrilus sp., Tubifex sp.
ODNR (1993) juga mengelompokkan makrozoobenthos ke dalam tiga
kelompok berdasarkan toleransinya terhadap pencemaran perairan. Ketiga
kelompok tersebut adalah (1) kelompok organisme intoleran terhadap
pencemaran. Mereka pada umumnya dominan pada kualitas air bagus. (2)
kelompok organisme yang dapat hidup pada kisaran luas dari kondisi kualitas air,
(3) kelompok organisme toleran terhadap pencemaran. Mereka pada umumnya
mendominansi pada kondisi kualitas air jelek (Gambar 2).
Gambar 3 Kelompok-kelompok organisme makrozoobenthos berdasarkan kepekaannya terhadap pencemaran perairan.
Sumber: ODNR (1993)
16
Karakteristik Parameter Fisika dan Kimia Perairan
Arus merupakan faktor pembatas pada aliran air, arus yang tertentu dan
berkesinambungan adalah ciri utama habitat lotik. Kecepatan arus dapat bervariasi
amat besar di tempat yang berbeda dari satu aliran air yang sama (membujur
ataupun melintang dari poros arah aliran) dan dari waktu ke waktu. Arus adalah
faktor utama yang penting dalam membuat kehidupan kolam dan air deras amat
berbeda, dan mengatur perbedaan dibeberapa tempat dari suatu aliran air. Poff dan
Allan (1995) menyatakan bahwa regim hidrologi terutama arus merupakan faktor
yang penting dalam susunan struktur komunitas setempat pada ekosistim lotik.
Kecepatan arus ditentukan oleh kemiringan, kekasaran, kedalaman dan kelebaran
dasarnya (Hynes 1972; Hawkes 1975; Molles 2005). Kecepatan dan tipe arus
(turbulen/laminar) berpengaruh langsung terhadap pembentukan substrat dasar
perairan, aerasi air, meningkatkan proses pembusukan dan berpengaruh tidak
langsung terhadap pembentukan komposisi makrozoobenthos (Egglishaw 1969;
Brabec et al. 2004). Banyak organisme yang hidup di batu-batuan air deras seperti
water pennies, mayfly dan trichoptera memiliki tubuh pipih, ramping serta
mempunyai perlengkapan lain agar dapat beradaptasi dalam kondisi air deras
tersebut (Hynes 1972).
Faktor lingkungan lainnya yang juga penting pada ekosistem sungai terkait
dengan aliran air adalah suhu dan oksigen terlarut, serta kelarutan sumber nutrien
dan bahan kimia terlarut (Hynes 1972; Hawkes 1975; Angelier 2003). Suhu pada
suatu habitat akan menentukan komunitas biota yang hidup di dalamnya.
Sebagian besar dari makrozoobenthos dapat melakukan toleransi pada suhu air
dibawah 35oC, walaupun ada yang mampu bertahan pada suhu yang ekstrim panas
misalnya pada sumber mata air panas yang bersuhu 35oC hingga 50oC. Contoh
serangga yang dapat hidup pada suhu ekstrim tersebut misalnya : larva Diptera
famili Chironomidae, Culicidae, Stratiomydae dan Ephydridae; larva Coleoptera
famili Dytiscidae dan Hydrophilidae, Hemiptera dan Odonata (Ward 1992).
Menurut Macan (1974), suhu 36,5-41oC merupakan lethal temperature bagi
makrozoobenthos dimana pada suhu tersebut organisme benthik telah mencapai
titik kritis yang dapat menyebabkan kematian.
17
Oksigen terlarut merupakan parameter yang sangat penting dalam
mendeteksi adanya pencemaran, karena oksigen dapat digunakan untuk melihat
perubahan atau ragam biota yang terdapat dalam perairan (Allen dan Mancy
1972). Di daerah aliran air biasanya kandungan oksigen berada dalam jumlah
yang cukup banyak. Oleh karena itu organisme aliran air biasanya mempunyai
toleransi yang sempit dan terutama peka terhadap kekurangan oksigen (Odum
1971). Ward (1992) menjelaskan bahwa oksigen terlarut merupakan faktor
lingkungan yang penting sekali bagi serangga air untuk menunjang proses
respirasinya. Interaksi antara oksigen terlarut dengan arus, substrat dan suhu
menunjang ekologi serangga air, pola distribusi dari oksigen terlarut akan
berpengaruh juga pada pola distribusi serangga air. Nimfa Stonefly mengalami
kematian setelah 24 jam ketika terjadi tingkat kadar oksigen yang rendah dengan
kecepatan arus 1,5 cm/detik. Oksigen terlarut merupakan salah parameter kualitas
perairan penting yang memberikan pengaruh terhadap komunitas
makrozoobenthos di Sungai Del Puerto Creek dan Salt Slough, California.
Kandungan oksigen terlarut dilaporkan memiliki hubungan positif dengan metriks
benthos seperti kepadatan, % collectors/gatherers, dan tingkat kepekaan indeks
EPT (Hall dan Killen 2006).
Bahan nutrien dan bahan kimia yang ada dalam perairan biasanya
berasosiasi dengan faktor fisika perairan seperti suhu dan oksigen terlarut.
Dekomposisi organik pada siklus nutrien, pada ekosistem lotik seperti siklus nitrat
membutuhkan oksigen (Matlock et al. 1999). Hasil perombakan bahan organik
terkadang menghasilkan zat beracun seperti amonia yang bersifat toksik bagi biota
air. Amonia (NH3) dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Sumber
amonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan urea)
dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, berasal dari
dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) yang
dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah amonfikast
(Effendi 2003). Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik meningkat dengan
penurunan kadar oksigen terlarut, pH dan suhu. Kadar amonia di perairan alami
biasanya kurang dari 0,1 mg/l dan kadar amonia di perairan tawar sebaiknya tidak
18
melebihi 0,2 mg/l. Kadar amonia bebas melebihi 0,2 mg/l bersifat toksik bagi
beberapa jenis ikan (Sawyer dan Mc Carty 1978 in Effendi 2003).
Adanya bahan kimia akibat masukan dari wilayah daratan seperti dari
limbah rumah tangga, pertanian dan pabrik juga dapat menyebabkan perubahan
kualitas perairan, khususnya pH, BOD dan COD perairan. Mahida (1984)
menjelaskan bahwa perubahan nilai pH perairan dapat juga dipengaruhi oleh
buangan industri dan rumah tangga. Akibat buangan yang dikeluarkan oleh
industri dapat menyebabkan menurunnya nilai pH yang akan berakibat fatal
terhadap organisme perairan (Baker 1983). Organisme air masing-masing
memiliki kemampuan yang berbeda dalam mentoleransi pH perairan. Pada
penelitian di Sungai Gentil Sapin dan Sungai La Maix , Perancis yang dilakukan
oleh Dangles dan Guerold (2000) memperlihatkan bahwa struktur komunitas
makrozoobenthos secara drastis turun dibawah kondisi asam. Sampling benthos
yang dilakukan memperlihatkan suatu penurunan kelimpahan shredder dan
bergeser dari Amphipoda Gammarus fossarum yang peka terhadap asam kepada
Nemouroidea (utamanya Leuctra sp.) yang toleran terhadap asam.
Kebutuhan oksigen biokimiawi atau BOD5 (Biochemical Oxygen Demand)
adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam
lingkungan perairan untuk merombak atau mendegradasi bahan buangan organik
yang ada di dalam lingkungan tersebut pada suhu 20oC selama 5 hari (Alaert dan
Santika 1987). Sedangkan kebutuhan oksigen kimiawi atau COD (Chemical
Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi
bahan-bahan organik di dalam air secara kimiawi (Mays 1996). Peningkatan nilai
BOD atau COD akan mempengaruhi jumlah dan jenis makrozoobenthos yang ada
di dalam suatu perairan.
Kondisi kualitas perairan lain yang berpengaruh terhadap perubahan
susunan komunitas makrozoobenthos adalah kedalaman dan kekeruhan. Tingkat
kekeruhan perairan dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung
terhadap makrozoobenthos. Pengaruh langsung terhadap pola makan dan
kemampuan melekat sedangkan pengaruh tidak langsung terhadap ketersediaan
oksigen. Kepadatan makrozoobenthos dilaporkan meningkat pada hulu Sungai
19
Del Puerto Creek sejalan dengan rendahnya nilai kekeruhan pada lokasi tersebut
(Hall dan Killen 2006).
Odum (1971) menjelaskan bahwa karakteristik dasar suatu perairan sangat
menentukan keberadan hewan benthik di perairan. Substrat perairan yang berupa
batu dan kerikil umumnya paling disukai serta memiliki kepadatan dan variasi
hewan benthik yang besar. Substrat pasir atau lumpur halus merupakan tipe dasar
yang paling tidak disukai dan memiliki jumlah jenis dan individu yang sedikit.
Tetapi dasar perairan yang berupa liat lebih disukai daripada pasir. Komposisi
substrat di sungai bervariasi baik secara temporal atau spasial, hal ini
berhubungan dengan kecepatan arus. Detritus dasar yang berasal dari daratan
memiliki peran besar di sungai dibandingkan di danau, khususnya penting bagi
ekologi dari serangga di hulu yang sekitarnya hutan. Menurut Roback (1974)
nimfa Ephemeroptera (lalat sehari) tergantung jenisnya hidup pada tumbuhan air,
lumpur, potongan-potongan kayu, batu kerikil, dasar batu dan beberapa ditemukan
hanya diantara atau dibawah batuan.