PengGantuNgan
-
Upload
indra-pratama-dana -
Category
Documents
-
view
107 -
download
5
description
Transcript of PengGantuNgan
PENGGANTUNGAN
1. PENDAHULUAN
Penggantungan adalah penyebab kematian akibat asfiksia yang paling sering ditemukan.
Bagaimanapun, penggantungan juga merupakan penyebab kematian yang paling sering
menimbulkan persoalan karena rawan terjadi salah interpretasi baik oleh ahli forensic, polisi, dan
dokter non-forensik.1 Selain itu, penggantunga merupakan metode bunuh diri yang sering
ditemukan di banyak negara. Di Inggris, terdapat lebih dari 2000 kasus bunuh diri dengan
penggantungan dilaporkan setiap tahun..Penggantungan baik akibat bunuh diri atau pembunuhan
lebih sering ditemukan di kota. Di Amerika Serikat, pada tahun 2001 dilaporkan sebanyak 279
kematian yang dikibatkan oleh penggantungan yang tidak disengajakan dan strangulasi, dan 131
kematian karena penggantungan, strangulasi, dan lemas.2 Pada balita, biasanya terjadi accidental
hanging yaitu penggantungan yang tidak disengajakan misalnya akibat dijerat ayunan.2
Di India, dari tahun 1997-2000, didapatkan kematian akibat penggantungan sebesar 3,4%.
Penggantungan yang diakibatkan oleh bunuh diri lebih sering ditemukan pada jenis kelamin laki-
laki (2:1), tetapi kematian yang disebabkan oleh kekerasan strangulasi lebih dominan ditemukan
pada wanita.2 . Di Istanbul, Turki, 537 dari semua kasus gantung diri adalah laki-laki (70,56%)
dan 224 adalah wanita (29,44%).3 Jika dilihat dari faktor umur, insidens penggantung lebih
sering terjadi pada dewasa muda. Di India misalnya, kematian akibat penggantungan paling
sering ditemukan pada kelompok umur 21-25 tahun4, manakala penelitian Davidson & Marshall
(1986), melaporkan bahwa insidens penggantungan yang paling tinggi adalah pada kelompok
umur 20-39 tahun.5
Tindakan bunuh diri dengan cara penggantungan sering dilakukan karena dapat dilakukan
dimana dan kapan saja dengan seutas tali, kain, dasi, atau bahan apa saja yang dapat melilit leher.
Demikian pula pada pembunuhan atau hukuman mati dengan cara penggantungan yang sudah
digunakan sejak zaman dahulu. Kasus gantung hampir sama dengan penjeratan. Perbedaannya
terletak pada asal tenaga yang dibutuhkan untuk memperkecil lingkaran jerat. Pada penjeratan
tenaga tersebut datang dari luar, sedangkan pada kasus gantung tenaga tersebut berasal dari berat
badan korban sendiri, meskipun tidak seluruh berat badan digunakan.6 Dalam rutinitas
medikolegal, perbedaan keduanya penting karena kasus penggantungan dianggap bunuh diri
sehingga dibuktikan sebaliknya, manakala kasus penjeratan dianggap pembunuhan.7
2. DEFINISI
Penggantungan (Hanging) adalah suatu keadaan dimana terjadi konstriksi dari leher oleh
alat penjerat yang ditimbulkan oleh berat badan seluruh atau sebagian. Alat penjerat sifatnya
pasif, sedangkan berat badan sifatnya aktif sehingga terjadi konstriksi pada leher.8 Umumnya
penggantungan melibatkan tali, tapi hal ini tidaklah perlu. Penggantungan yang terjadi akibat
kecelakaan bisa saja tidak terdapat tali. Pada beberapa kasus konstriksi dari leher terjadi akibat
eratnya jeratan tali bukan oleh berat badan yang tergantung. Pada beberapa kasus yang jarang,
jeratan tali dipererat oleh berat tubuh yang tergantung oleh individu dalam keadaan tegak
lurus. Kekuatan tambahan juga kadang dibutuhkan untuk mengeratkan tali.9
3. TIPE-TIPE PENGGANTUNGAN
3.1 Berdasarkan cara kematian:8
a. Suicidal Hanging (Gantung Diri)
Gantung diri merupakan cara kematian yang paling sering dijumpai pada penggantungan, yaitu
sekitar 90% dari seluruh kasus. Walaupun demikian, pemeriksaan yang teliti harus dilakukan
untuk mencegah kemungkinan lain terutamanya pembunuhan.
b. Accidental Hanging
Kejadian penggantungan akibat kecelakaan lebih banyak ditemukan pada anak-anak utamanya
pada umur antara 6-12 tahun. Tidak ditemukan alasan untuk bunuh diri karena pada usia itu
belum ada tilikan dari anak untuk bunuh diri. Hal ini terjadi akibat kurangnya pengawasan dari
orang tua. Meskipun tidak menutup kemungkinan hal ini dapat terjadi pada orang dewasa yaitu
ketika melampiaskan nafsu seksual yang menyimpang (Autoerotic Hanging).
c. Homicidal Hanging (Pembunuhan)
Pembunuhan yang dilakukan dengan metode menggantung korban. Biasanya dilakukan bila
korbannya anak-anak atau orang dewasa yang kondisinya lemah baik oleh karena penyakit atau
dibawah pengaruh obat, alcohol, atau korban sedang tidur. Sering ditemukan kejadian
penggantungan tetapi bukan kasus bunuh diri, namun kejadian diatur sedemikian rupa hingga
menyerupai kasus penggantungan bunuh diri. Banyak alasan yang menyebabkan pembunuhan
terjadi mulai dari masalah sosial, masalah ekonomi, hingga masalah hubungan sosial.
3.2 Berdasarkan posisi korban6
a. Penggantungan lengkap (complete hanging)
Dikatakan penggantungan lengkap apabila tubuh korban tergantung di atas lantai, kedua kaki
tidak menyentuh lantai.
b. Penggantungan parsial (Partial Hanging)
Yaitu apabila sebagian dari tubuh masih menyentuh lantai. Sisa berat badan 10 - 15 kg pada
orang dewasa sudah dapat menyebabkan tersumbat saluran nafas dan hanya diperlukan sisa berat
badan 5 kg untuk menyumbat arteri karotis. Partial hanging ini hampir selamanya karena bunuh
diri.
3.3 Berdasarkan letak jeratan, dikelompokkan atas : 6
a. Typical hanging
Yaitu bila titik penggantungan ditemukan di daerah oksipital dan tekanan pada arteri karotis
paling besar.
b. Atypical hanging
Jika titik penggantungan terletak di samping, sehingga leher sangat miring (fleksi lateral), yang
mengakibatkan hambatan pada arteri karotis dan arteri vertebralis. Saat arteri terhambat, korban
segera tidak sadar.
4. PATOMEKANISME
Penggantungan menyebabkan kematian dengan beberapa mekanisme yang bisa
berlansung bersamaan. Pada setiap kasus penggantungan beberapa kondisi di bawah akan
terjadi.13
1. Arteri karotis tersumbat
2. Vena jugularis tersumbat
3. Memicu refleks karotis
4. Fraktur vertebra servikal
5. Menutupnya jalan nafas
Daripada kondisi di atas, dapat disimpulkan kematian pada korban penggantungan yang
terdiri dari empat penyebab yaitu:
1. Asfiksia
2. Iskemi otak
3. Refleks vagus
4. Kerusakan medulla oblongata
Kematian segera akibat dari penggantungan dapat muncul akibat dari beberapa
mekanisme. Penekanan pada ganglion saraf arteri karotis oleh tali yang melingkar pada leher
korban dapat menyebabkan carotid bodyreflex (refleks vagus) sehingga memicu perlambatan
denyut jantung. Perlahan-perlahan terjadi aritmia jantung sehingga terakhir korban mati
dengan cardiac arrest. Namun mekanisme kematian ini jarang didapatkan karena untuk
menimbulkan refleks karotis, tekanan lansung yang kuat harus diberikan pada area khusus di
mana carotid body berada. Hal ini sukar dipastikan. Sebagai tambahan refleks karotis juga dapat
dimunculkan biar pun tanpa penggantungan.13,14
Tekanan pada vena jugularis juga bisa menyebabkan kematian korban penggantungan
dengan mekanisme asfiksia. Kebanyakan kasus penggantungan bunuh diri mempunyai
mekanisme kematian seperti ini. Seperti yang diketahui, vena jugularis membawa darah dari otak
ke jantung untuk sirkulasi. Pada penggantungan sering terjadi penekanan pada vena jugularis
oleh tali yang menggantung korban. Tekanan ini seolah-olah membuat jalan yang dilewati darah
untuk kembali ke jantung dari otak tersumbat. Obstruksi total maupun parsial secara perlahan-
lahan dapat menyebabkan kongesti pada pembuluh darah otak. Darah tetap mengalir dari jantung
ke otak tetapi darah dari otak tidak bisa mengalir keluar. Akhirnya, terjadilah penumpukan darah
di pembuluh darah otak. Keadaan ini menyebabkan suplai oksigen ke otak berkurang dan korban
seterusnya tidak sadarkan diri. Kemudian, terjadilah depresi pusat nafas dan korban mati akibat
asfiksia. Tekanan yang diperlukan untuk terjadinya mekanisme ini tidak penting tetapi durasi
lamanya tekanan diberikan pada leher oleh tali yang menggantung korban yang menyebabkan
mekanisme tersebut. Ketidaksadaran korban mengambil waktu yang lama sebelum terjadinya
depresi pusat nafas. Secara keseluruhan, mekanisme ini tidak menyakitkan sehingga
disalahgunakan oleh pria untuk memuaskan nafsu seksual mereka (autoerotic sexual asphyxia).
Pada mekanisme ini, korban akan menunjukkan gejala sianosis. Wajahnya membiru dan sedikit
membengkak. Muncul peteki di wajah dan mata akibat dari pecahnya kapiler darah karena
tekanan yang lama. Didapatkan lidah yang menjulur keluar pada pemeriksan luar.9,13,14
Obstruksi arteri karotis terjadi akibat dari penekanan yang lebih besar. Hal ini karena
secara anatomis, arteri karotis berada lebih dalam dari vena jugularis. Oleh hal yang demikian,
obstruksi arteri karotis jarang ditemukan pada kasus bunuh diri dengan penggantungan. Biasanya
korban mati karena tekanan yang lebih besar, misalnya dicekik atau pada penjeratan. Pada
pemeriksaan dalam turut ditemukan jejas pada jaringan lunak sekitar arteri karotis akibat tekanan
yang besar ini. Tekanan ini menyebabkan aliran darah ke otak tersumbat. Kurangnya suplai
darah ke otak menyebabkan korban tidak sadar diri dan depresi pusat nafas sehingga kematian
terjadi. Pada mekanisme ini, hanya ditemukan wajah yang sianosis tetapi tidak ada peteki.2,13,14
Fraktur vertebra servikal dapat menimbulkan kematian pada penggantungan dengan
mekanisme asfiksia atau dekapitasi. Kejadian ini biasa terjadi pada hukuman gantung atau
korban penggantungan yang dilepaskan dari tempat tinggi. Sering terjadi fraktur atau cedera
pada vertebra servikal 1 dan servikal 2 (aksis dan atlas) atau lebih dikenali sebagai “hangman
fracture”. Fraktur atau dislokasi vertebra servikal akan menekan medulla oblongata sehingga
terjadi depresi pusat nafas dan korban meninggal karena henti nafas.13
Asfiksia bisa juga terjadi akibat dari tertutupnya jalan nafas. Kondisi ini terjadi setelah
korban tidak sadar dan tidak ada usaha untuk bernafas. Akhirnya, korban mati. Gambaran klasik
asfiksia termasuk:15
1. kongesti pada wajah
kulit tampak kemerahan pada wajah dan kepala akibat hambatan aliran kembali vena ke jantung
oleh kompresi leher
2. edema pada wajah
pembengkakan jaringan akibat transudasi cairan dari vena akibat peningkatan vena hasil
obstruksi aliran kembali vena ke jantung
3. sianosis pada wajah
warna biru pada kulit akibat adanya darah terdeoksigenasi dalam sistem vena yang terkongesti
serta kadang-kadang turut melibatkan sistem arteri.
4. peteki pada kulit wajah dan mata
perdarahan halus sebesar ujung jarum lazim ditemukan di wajah dan sekitar kelopak mata selain
pada konjunktiva dan sklera akibat darah bocor dari vena kecil yang mengalami peningkatan
tekanan. Keadaan ini diduga akibat hipoksia dinding pembuluh darah namun belum terbukti
pasti. Peteki bukan tanda diagnostik asfiksia karena dapat ditemukan pada keadaan batuk atau
bersin yang terlampau keras. Hal yang terkait peteki wajah adalah peteki visceral yang disebut
“Tardieu spots” yang sebelumnya dianggap tanda khas asfiksia kini sudah terbukti bukan tanda
terjadinya obstruksi pernapasan.
5. PEMERIKSAAN 8,16,17
Pemeriksaan post-mortal pada kasus gantung diri atau penggantungan dipengaruhi oleh
mekanisme kematiannya; mekanisme kematian yang berbeda akan memberikan gambaran post-
mortal yang berbeda.
5. 1 Pemeriksaan tempat kejadian. 8,17
1. Periksa apakah masih hidup atau sudah meninggal
2. Keadaan di TKP (tempat kejadian perkara) : Pada kasus gantung diri, keadaanya
tenang, di ruang atau tempat tersembunyi atau pada tempat yang sudah tidak digunakan.
3. Pakaian korban : Pada kasus gantung diri biasa ditemukan pakaian korban cukup
rapih, sering didapatkansurat peninggalan dan tidak jarang diberikan alas sapu tangan
sebelum alat jerat dikalungkan ke leher.
4. Adakah alat penumpu seperti bangku dan sebagainya
5. Jumlah lilitan : Semakin banyak jumlah lilitan, dugaan bunuh diri makin besar
6. Arah serabut tali penggantung:
- Bunuh diri à arah serabut tali menuju korban
- Dibunuh terlebih dulu à arah serabut sebaliknya
7. Distribusi lebam mayat. Diperiksa apakah sesuai dengan posisi korban yang
tergantung atau tidak.
8. Macam simpul pada jerat di leher
- Simpul hidup : Umumnya pada kasus bunuh diri.
- Simpul mati
Pemeriksaan : Bila dilonggarkan maksimal, apakah dapat melewati kepala. Bila dapat biasanya
bunuh diri,. Bila tidak, curiga pembunuhan.
9. Jarak ujung jari kaki dengan lantai.
Pada kasus bunuh diri, posisi korban yang tergantung lebih mendekati lantai, berbeda dengan
pembunuhan dimana jarak antara kaki dan lantai cukup lebar.
10. Letak korban di tempat kejadian
Cara menurunkan korban:
Potong bahan penggantung di luar simpul. Awalnya buat ikatan pada 2 tempat untuk mencegah
serabut terurai lalu potong diantara kedua ikatan secara miring untuk memudahkan rekonstruksi.
11. Bekas serabut tali pada tempat menggantung dan pada leher diamankan untuk
pemeriksaan lebih lanjut.
12. Bahan penggantung; makin kecil/keras bahan makin jelas alur jerat yang timbul di
leher.
- Tali, kawat, selendang, ikat pinggang
- Seprei yang disambung
Gambar 6: Contoh kasus gantung diri: pada TKP didapatkan
keadaan tenang, pakaian rapih dan alat penumpu yaitu kursi.10
5. 2 Pemeriksaan Otopsi.
5. 21 Pemeriksaan luar.
Kepala:
1. Muka sianotik (vena terjepit) atau muka pucat (vena dan arteri terjepit)
2. Tanda penjeratan pada leher. Hal ini sangat penting diperhatikan oleh dokter, dan
keadaannya bergantung kepada beberapa kondisi :
a. Tanda penjeratannya jelas dan dalam jika tali yang digunakan kecil
dibandingkan jika menggunakan tali yang besar. Bila alat penjerat mempunyai
permukaan yang luas, yang berarti tekanan yang ditimbulkan tidak terlalu besar
tetapi cukup menekan pembuluh balik, maka muka korban tampak sembab, mata
menonjol, wajah berwarna merah kebiruan dan lidah atau air liur dapat keluar
tergantung dari letak alat penjerat. Jika permukaan alat penjerat kecil, yang berarti
tekanan yang ditimbulkan besar dan dapat menekan baik pembuluh balik maupun
pembuluh nadi; maka korban tampak pucat dan tidak ada penonjolan dari mata.
b. Alur jerat : bentuk penjeratannya berjalan miring (oblik atau berbentuk V)
pada bagian depan leher, dimulai pada leher bagian atas di antara kartilago tiroid
dengan dagu, lalu berjalan miring sejajar dengan garis rahang bawah menuju
belakang telinga. Tanda ini semakin tidak jelas pada bagian belakang.
c. Tanda penjeratan atau jejas jerat yang sebenarnya luka lecet akibat
tekanan alat jerat yang berwarna merah kecoklatan atau coklat gelap dan kulit
tampak kering, keras dan berkilat. Pada perabaan, kulit terasa seperti perabaan
kertas perkamen, disebut tanda parchmentisasi, dan sering ditemukan adanya
vesikel pada tepi jejas jerat tersebut dan tidak jarang jejas jerat membentuk
cetakan sesuai bentuk permukaan dari alat jerat.
d. Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit dibagian bawah
telinga, tampak daerah segitiga pada kulit dibawah telinga.
e. Pinggiran berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-tanda abrasi
disekitarnya.
f. Jumlah tanda penjeratan. Kadang-kadang pada leher terlihat 2 buah atau
lebih bekas penjeratan. Hal ini menunjukkan bahwa tali dijeratkan ke leher
sebanyak 2 kali.
3. Tanda-tanda asfiksia.
a. Mata menonjol keluar; oleh karena pecahnya oleh bendungan kepala,
dimana vena-vena terhambat sedang arteri tidak.
b. Perdarahan berupa peteki tampak pada wajah dan subkonjungtiva;
pecahnya vena oleh bendungan dan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah
akibat asfiksia.
c. Lidah menjulur; tergantung dari letak jerat. Bila tepat di kartilago tiroid
lidah akan terjulur sedang jika di atasnya lidah tidak akan terjulur.
4. Air liur mengalir dari sudut bibir di bagian yang berlawanan dengan simpul tali.
Keadaan ini menunjukkan tanda pasti penggantungan ante-mortem.
5. Kedalaman dari bekas penjeratan menunjukkan lamanya tubuh tergantung.
6. Jika korban lama tergantung, ukuran leher menjadi semakin panjang.
Anggota gerak
7. Lebam mayat dan bintik-bintik perdarahan terutama pada bagian akral dari
ekstremitas, sangat tergantung dari lamanya korban dalam posisi tergantung.
8. Posisi tangan biasanya dalam keadaan tergenggam.
Dubur dan kelamin
9. Keluarnya mani, darah (sisa haid), urin dan feses akibat kontraksi otot polos pada
saat stadium konvulsi pada puncak asfiksia.
Hai ini bukan merupakan tanda khas dari penggantungan dan keadaan ini tidak selalu menyertai
penggantungan.
5. 22 Pemeriksaan dalam.
Kepala
1. Tanda bendungan pembuluh darah otak
Leher
2. Jaringan yang berada dibawah jeratan berwarna putih, berkilat dan perabaan
seperti perkamen karena kekurangan darah, terutama jika mayat tergantung cukup lama.
Pada jaringan dibawahnya mungkin tidak terdapat cedera lainnya.
3. Platisma atau otot lain disekitarnya mungkin memar atau ruptur pada beberapa
keadaan. Kerusakan otot ini lebih banyak terjadi pada kasus penggantungan yang disertai
dengan tindak kekerasan.
4. Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi ataupun
ruptur. Resapan darah hanya terjadi didalam dinding pembuluh darah.
5. Fraktur tulang hyoid jarang terjadi. Fraktur ini biasanya terdapat pada
penggantungan yang korbannya dijatuhkan dengan tali penggantung yang panjang
dimana tulang hyoid mengalami benturan dengan tulang vertebra. Adanya efusi darah
disekitar fraktur menunjukkan bahwa penggantungannya ante-mortem.
6. Fraktur kartilago tiroid jarang terjadi. Pada korban diatas 40 tahun, patah tulang
ini darap terjadi bukan karena tekanan alat penjerat tetapi karena terjadinya traksi pada
penggantungan.
7. Fraktur 2 buah tulang vertebra servikalis bagian atas. Fraktur ini sering terjadi
pada korban hukuman gantung
Dada dan perut
8. Perdarahan pada pleura, pericard atau peritoneum
9. Organ-organ dapat mengalami kongesti atau bendungan
Darah
10. Darah dalam jantung gelap dan lebih cair.
5.3 Perbedaan antara penggantungan antemortem dan postmortem16
Tanda-tanda antemortem sebelum kematian dan tanda-tanda postmortem harus diketahui dan
dapat dibedakan dengan jelas oleh seorang dokter supaya penyebab kematian dapat detentukan
dengan pasti. Perbedaan antara tanda-tanda penggantungan antemortem dan postmortem adalah
seperti pada tabel di bawah ini.
No Penggantungan antemortem Penggantungan postmortem
1 Tanda-tanda penggantungan ante-
mortem bervariasi. Tergantung dari
cara kematian korban
Tanda-tanda post-mortem menunjukkan
kematian yang bukan disebabkan
penggantungan
2 Tanda jejas jeratan miring, berupa
lingkaran terputus (non-continuous)
dan letaknya pada leher bagian atas
Tanda jejas jeratan biasanya berbentuk
lingkaran utuh (continuous), agak sirkuler
dan letaknya pada bagian leher tidak begitu
tinggi
3 Simpul tali biasanya tunggal, terdapat
pada sisi leher
Simpul tali biasanya lebih dari satu,
diikatkan dengan kuat dan diletakkan pada
bagian depan leher
4 Ekimosis tampak jelas pada salah satu
sisi dari jejas penjeratan. Lebam
mayat tampak di atas jejas jerat dan
pada tungkai bawah
Ekimosis pada salah satu sisi jejas penjeratan
tidak ada atau tidak jelas. Lebam mayat
terdapat pada bagian tubuh yang
menggantung sesuai dengan posisi mayat
setelah meninggal
5 Pada kulit di tempat jejas penjeratan
teraba seperti perabaan kertas
perkamen, yaitu tanda parchmentisasi
Tanda parchmentisasi tidak ada atau tidak
begitu jelas
6 Sianosis pada wajah, bibir, telinga,
dan lain-lain sangat jelas terlihat
terutama jika kematian karena asfiksia
Sianosis pada bagian wajah, bibir, telinga
dan lain-lain tergantung dari penyebab
kematian
7 Wajah membengkak dan mata
mengalami kongesti dan agak
menonjol, disertai dengan gambaran
pembuluh dara vena yang jelas pada
Tanda-tanda pada wajah dan mata tidak
terdapat, kecuali jika penyebab kematian
adalah pencekikan (strangulasi) atau sufokasi
No Penggantungan antemortem Penggantungan postmortem
bagian kening dan dahi
8 Lidah bisa terjulur atau tidak sama
sekali
Lidah tidak terjulur kecuali pada kasus
kematian akibat pencekikan
9 Penis. Ereksi penis disertai dengan
keluarnya cairan sperma sering terjadi
pada korban pria. Demikian juga
sering ditemukan keluarnya feses
Penis. Ereksi penis dan cairan sperma tidak
ada.Pengeluaran feses juga tidak ada
10 Air liur. Ditemukan menetes dari
sudut mulut, dengan arah yang
vertikal menuju dada. Hal ini
merupakan pertanda pasti
penggantungan ante-mortem
Air liur tidak ditemukan yang menetes pad
kasus selain kasus penggantungan.
5.4 Perbedaan penggantungan pada bunuh diri dan pada pembunuhan 16
Selain itu juga, terdapat beberapa perbedaan yang jelas antara penggantungan akibat bunuh diri
dan pembunuhan. Hal tersebut adalah :
No Penggantungan pada bunuh diri Penggantungan pada pembunuhan
1 Usia. Gantung diri lebih sering terjadi
pada remaja dan orang dewasa. Anak-
anak di bawah usia 10 tahun atau
orang dewasa di atas usia 50 tahun
jarang melakukan gantung diri
Tidak mengenal batas usia, karena tindakan
pembunuhan dilakukan oleh musuh atau
lawan dari korban dan tidak bergantung pada
usia
2 Tanda jejas jeratan, bentuknya miring,
berupa lingkaran terputus (non-
continuous) dan terletak pada bagian
Tanda jejas jeratan, berupa lingkaran tidak
terputus, mendatar, dan letaknya di bagian
tengah leher, karena usaha pelaku
No Penggantungan pada bunuh diri Penggantungan pada pembunuhan
atas leher pembunuhan untuk membuat simpul tali
3 Simpul tali, biasanya hanya satu
simpul yang letaknya pada bagian
samping leher
Simpul tali biasanya lebih dari satu pada
bagian depan leher dan simpul tali tersebut
terikat kuat
4 Riwayat korban. Biasanya korban
mempunyai riwayat untuk mencoba
bunuh diri dengan cara lain
Sebelumnya korban tidak mempunyai
riwayat untuk bunuh diri
5 Cedera. Luka-luka pada tubuh korban
yang bisa menyebabkan kematian
mendadak tidak ditemukan pada kasus
bunuh diri
Cedera berupa luka-luka pada tubuh korban
biasanya mengarah kepada pembunuhan
6 Racun. Ditemukannya racun dalam
lambung korban, misalnya arsen,
sublimat korosif dan lain-lain tidak
bertentangan dengan kasus gantung
diri. Rasa nyeri yang disebabkan
racun tersebut mungkin mendorong
korban untuk melakukan gantung diri
Terdapatnya racun berupa asam opium
hidrosianat atau kalium sianida tidak sesuai
pada kasus pembunuhan, karena untuk hal
ini perlu waktu dan kemauan dari korban itu
sendiri. Dengan demikian maka kasus
penggantungan tersebut adalah karena bunuh
diri
7 Tangan tidak dalam keadaan terikat,
karena sulit untuk gantung diri dalam
keadaan tangan terikat
Tangan yang dalam keadaan terikat
mengarahkan dugaan pada kasus
pembunuhan
8 Kemudahan. Pada kasus bunuhdiri,
mayat biasanya ditemukan tergantung
pada tempat yang mudah dicapai oleh
korban atau di sekitarnya ditemukan
alat yang digunakan untuk mencapai
Pada kasus pembunuhan, mayat ditemukan
tergantung pada tempat yang sulit dicapai
oleh korban dan alat yang digunakan untuk
mencapai tempat tersebut tidak ditemukan
No Penggantungan pada bunuh diri Penggantungan pada pembunuhan
tempat tersebut
9 Tempat kejadian. Jika kejadian
berlangsung di dalam kamar, dimana
pintu, jendela ditemukan dalam
keadaan tertutup dan terkunci dari
dalam, maka kasusnya pasti
merupakan bunuh diri
Tempat kejadian. Bila sebaliknya pada
ruangan ditemukan terkunci dari luar, maka
penggantungan adalah kasus pembunuhan
10 Tanda-tanda perlawanan, tidak
ditemukan pada kasus gantung diri
Tanda-tanda perlawanan hampir selalu ada
kecuali jika korban sedang tidur, tidak sadar
atau masih anak-anak.
6.ASPEK MEDIKOLEGAL PADA PENGGANTUNGAN
Prosedur mediko-legal adalah tata-cara atau prosedur penatalaksanaan dan berbagai
aspek yang berkaitan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum. Secara garis besar
prosedur mediko-legal mengacu kepada peraturan perundangundangan yang berlaku
di Indonesia, dan pada beberapa bidang juga mengacu kepada sumpah dokter dan etika
kedokteran.
Ruang lingkup medikolegal dapat disimpulkan sebagai yang berikut 18
a. pengadaan visum et repertum,
b. tentang pemeriksaan kedokteran terhadap tersangka.
c. pemberian keterangan ahli pada masa sebelum persidangan dan pemberian
keterangan ahli di dalam persidangan,
d. kaitan visum et repertum dengan rahasia kedokteran,
e. tentang penerbitan Surat Keterangan Kematian dan Surat Keterangan Medik ,
f. tentang kompetensi pasien untuk menghadapi pemeriksaan penyidik,
Setelah pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan UU No. 73 Tahun 1958 yang
isinya menyatakan berlakunya UU No. 1 Tahun 1945 untuk seluruh Indonesia, maka suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan
pidana yang telah ada, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 KUHP.6
Penggantungan lebih sering terjadi pada kasus bunuh diri. Tetapi tidak menolak
kemungkinan korban penggantungan mati akibat penganiayaan. Di sini lah dapat dilihat
fungsinya dari satu perundangan yang ditetapkan. Pada buku kedua KUHP Bab XIX tentang
kejahatan terhadap nyawa. Berikut merupakan pasal-pasal yang terkandung dalam bab XIX
KUHP.19
1. Pasal 338
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
2. Pasal 339
Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana, yang dilakukan
dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk
melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan,
ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum,
diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh
tahun.
3. Pasal 340
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain,
diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana rnati atau pidana penjara seumur
hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
4. Pasal 345
Barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu
atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.
Pada kasus penggantungan, dokter forensik dipanggil untuk membuat pemeriksaan
lengkap sesuai dengan Pasal 133 KUHAP yang menyatakan dalam hal penyidik untuk
kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang
diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Pada pasal
133 KUHAP (ayat 2 dan 3) menyatakan permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat; dan mayat yang
dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan
secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat
identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian
lain badan mayat. Pernyataan ini menjadi dasar pembuatan visum et repertum (laporan bertulis)
pada kasus tindak pidana.20
Salah satu pemeriksaan yang dilakukan pada korban mati akibat penggantungan adalah
otopsi. Hal ini dapat membantu dokter forensic untuk mengetahui mekanisme kematian sehingga
dapat membantu penyidik mengetahui cara kematian korban. Sesuai dengan Pasal KUHP 222
yang menyatakan barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau
menggagalkan pemeriksaan mayat forensik, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.6
Pada persidangan kasus pidana, dokter forensic akan dipanggil sebagai saksi ahli. Sesaui
dengan Pasal 179 ayat 1 KUHAP yang menyatakan setiap orang yang diminta pendapatnya
sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan
ahli demi keadilan.20
DAFTAR PUSTAKA
1. Sharma S.K. Ligature strangulation: Not very common but contested too often. Available
at:www.crimeandclues.com/ligature_strangulation.htm
2. Ernoehazy W. Hanging injuries and Strangulation. Cited February 14, 2006. Available
at:http://www.emedicine.com/emerg/topic227.htm
3. Uzün I, Büyük Y, Gürpinar K. Suicidal hanging: fatalities in Istanbul retrospective analysis
of 761 autopsy cases. Cited March 26,2007. Available
at: http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-transitional.dtd
4. Sharma B.R, Harish D. Ligature Mark on the neck: How Informative? JIAFM 2005:27(1),
p 10-15.
5. Rajeev J, Ashok C, Hakumat R. Incidence and Medicolegal Importance of Autopsy Study
of Fracture of Neck Structure in Hanging and
Strangulation. Medico-Legal Update. October-December, 2007:7(4). P 105-130
6. Leonardo. Asfiksia Forensik. Cited May 9th 2008. Available
at:http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&dn=20080509041548
7. Arun M. Methods of Suicide: A Medicolegal Perspective. JIAFM 2006 : 28 (1). P 22-26.
8. Idries AM. Penggantungan. In: Idries AM, editor. Pedoman ilmu kedokteran forensik.
Edisi 1. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. p202-207.
9. Skhrum J. Michael MD, Ramsay A. David, MB, ChB; Forensic Pathology of Trauma,
Common Problems for The Pathologist : Tontowa, New Jersey: 2007. Page : 81-107.
10. www.googleimages.com Accessed on june 26th, 2008.
11. Nabachandra H. AUTO EROTIC HANGING BROUGHT AS A CASEOF
SUICIDAL HANGING. JIAFM, 2004; 26(3). P 119-120
12. Naik SK. Obliquity vs. Discontinuity of ligature mark in diagnosis of hanging - a
comparative study. Cited June 30th 2006. Available at: http://www.geradts.com/anil/favicon.ico
13. Anonym; Hanging, Available at: http://en.wikipedia.org/wiki/Hanging Accessed on:
Februari 12nd, 2008.
14. Hawley D. Death By Strangulation. Accessed on June 23rd 2008. P 1-9
15. Shephered R. Simpson’s forensic medicine. 12th ed. London: Blackwell
Publishing; 2003. Page 99- 100
16. Chadha PV. Kematian Akibat Asfiksia. Dalam Ilmu Forensik dan Toksikologi. Edisi
kelima.Penerbit:Widya Medika
17. Penggantungan,Catatan kuliah, Universitas Hasanuddin, 2003.
18. http://www.unmit.org/legal/IndonesianLaw/undang/kuhp.htm
19. http://www.asiatour.com/lawarchives/indonesia/kuhp/
asiamaya_kuhp_penal_code_nyawa.htm
20. http://www.asiatour.com/lawarchives/indonesia/kuhp/
asiamaya_kuhp_penal_code_nyawa.htm