PENGGAMBARAN KEKUASAAN PEREMPUAN DALAM LIRIK LAGU (Studi Semiotik Terhadap Lirik Lagu “Pria...
Click here to load reader
-
Upload
budi-prastyo-utomo -
Category
Documents
-
view
1.372 -
download
2
description
Transcript of PENGGAMBARAN KEKUASAAN PEREMPUAN DALAM LIRIK LAGU (Studi Semiotik Terhadap Lirik Lagu “Pria...
1
ABSTRAKSI
BUDI PRASTYO UTOMO. PENGGAMBARAN KEKUASAAN PEREMPUAN DALAM LIRIK LAGU (Studi Semiotik Terhadap Lirik Lagu “Pria Dijajah Wanita” Dari Grup Band Indie “Kaimsasikun”)
Penelitian ini didasarkan pada fenomena baru yang dituangkan dalam sebuah lirik lagu tentang sebuah pemahaman terhadap singularitas gender yang notabene menentang pemahaman patriarki yang berlaku hampir diseluruh masyarakat, bahwa perempuan juga berhak untuk memiliki sebuah kekuasaan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk kekuasaan itu bisa muncul dari seorang perempuan yang digambarkan dalam lirik lagu “Pria Dijajah Wanita” dari grup band indie Kaimsasikun dalam album “Kaimsasikun” dengan menggunakan studi tentang tanda-tanda dalam sebuah kajian linguistik strukturalis Ferdinand De Saussure yang disebut sebagai “semiotika” dengan dikotomi-dikotominya terhadap
petanda dan penanda, langue dan parole-nya, serta hubungan sintagmatik dan paradigmatiknya untuk dapat diketahui interpretasinya, kemudian setelah proses pemaknaan selesai akan dicari penggambarannya tentang perempuan apa yang melakukan sebuah kekuasaan, bagaimana sebuah perempuan dalam lirik lagu ini dapat mencapai kekuasaan, dan apa yang menjadi tujuan sebuah kekuasaan dari perempuan yang digambarkan dalam lirik lagu ini. Kekuasaan sendiri merupakan kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi, dan sebuah kekuasaan bukan semata-mata hanya dapat ditempuh melalui jalan kekerasan dan paksaan secara kasar saja, melainkan kekuasaan itu juga terlaksana melalui struktur tindakan yang menekan dan mendorong munculnya tindakan-tindakan lain melalui sebuah rangsangan atau persuasi.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan menggunakan analisis semiotika. Unit analisis yang digunakan adalah lirik lagu “Pria Dijajah Wanita” dari grup band indie Kaimsasikun dalam album “Kaimsasikun.”
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa seorang perempuan “pop” atau perempuan yang telah dikonstruksi oleh budaya populer yang merupakan karakter perempuan dalam lirik lagu ini, dapat mencapai kekuasaannya dengan menggunakan segala kefemininitasnya dan kecantikan fisiknya yang dipergunakan sebagai “senjata” untuk dapat mempengaruhi laki-laki yang dalam lirik lagu ini diceritakan sebagai kekasihnya untuk mau melakukan apa yang dikehendaki dan diinginkan oleh perempuan “pop” itu sendiri, yaitu memberikan harta yang dimiliki oleh laki-laki tersebut kepada dirinya.
2
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Komunikasi adalah suatu usaha untuk memperoleh makna, tanda
– tanda adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn dalam sobur
2004:15). Manusia dengan perantaraan tanda – tanda, dapat melakukan
komunikasi dengan sesamanya. Banyak hal yang bisa dikomunikasikan di
dunia ini, termasuk juga melalui sebuah karya seni. Sebuah karya seni
memerlukan sebuah media dalam menyampaikan pesannya, salah
satunya adalah musik dan lagu. Berbicara masalah musik dan lagu tidak
terlepas dari musik pop dan industri musik. Musik pop disini diartikan
sebagai musik populer, bukan hanya genre musik pop. Musik pop dalam
komoditasnya sekarang telah dijadikan sebagai sebuah industri yang
dapat menghasilkan banyak uang serta mengesampingkan nilai seninya
itu sendiri. John Storey dalam bukunya mempunyai asumsi yang dibuat
bahwa musik sebagai sebuah industri, industri musik menentukan nilai
guna produk-produk yang dihasilkan. Paling jauh, khalayak secara pasif
mengonsumsi apa yang ditawarkan oleh industri musik. Paling buruk,
mereka menjadi korban budaya, yang secara ideologis dimanipulasi
melalui musik yang mereka konsumsi. Seperti argumen Leon Rosselson
menyatakan bahwa industri musik memberikan “publik apa yang mereka
inginkan” (Storey,2007:121). Jelas terlihat bahwa musik populer
3
diciptakan, direkam, dirilis, diedarkan, dan dijual mempunyai
pertimbangan hanya mengikuti selera pasar atau publik atau konsumen
tanpa mempertimbangkan faktor ideologi sebuah musik dan lagu dari
penciptanya sendiri.
Musisi sebagai pencipta lagu dalam menciptakan lagunya
dituntut oleh pihak perusahaan rekaman untuk menghasilkan sebuah
karya yang sesuai dengan “telinga” pasar. Hal tersebut dapat
“memenjarakan” sebuah kreativitas seni yang keluar dari hati yang
paling dalam yang kemudian dituangkan dalam sebuah lagu baik dari segi
lirik maupun aransemennya. Yang pada akhirnya banyak dari para musisi
yang berusaha menciptakan lagunya tanpa menginginkan campur tangan
dari pihak perusahaan rekaman. Hal tersebut dimaksudkan agar para
musisinya dapat bebas bergerak dan berkarya tanpa adanya campur
tangan dari perusahaan rekaman yang notabene hanya bertujuan bisnis
dan mencari keuntungan dari lagu-lagu yang telah diciptakan untuk
dapat dijual kepada publik. Dari persoalan inilah yang kemudian
melahirkan banyak munculnya musisi-musisi independent yang bebas
berkarya tanpa adanya campur tangan serta ikatan kontrak dari sebuah
perusahaan rekaman komersil. Berdasarkan Wikipedia, yang dimaksud
dengan independent atau indie di sini adalah tidak terikat atau tidak
adanya campur tangan dalam perusahaan rekaman komersil atau biasa
disebut major label, baik dalam proses penciptaan ide dan kreativitas,
produksinya, maupun secara finansial atau masalah keuangan seperti
4
pembagian royalti (www.wikipedia.org). Termasuk band sebagai
pengusung musik, banyak band yang memilih jalur independent dalam
memproduksi dan mendistribusikan lagunya dari pada memilih jalur
major label atau perusahaan rekaman komersil. Kaimsasikun merupakan
contoh band indie yang lebih memilih jalur independent dari pada
memilih jalur major label sehingga kreativitas dan ideologi yang
tertuang dalam musik dan lagunya dapat “bergerak bebas” tanpa hanya
memikirkan selera publik dan komersialitas seperti yang biasa dilakukan
dalam industri musik major label.
Entah itu musik indie ataupun musik populer, musik
sebagaimana dapat disimpulkan dari pendapat Soerjono Soekanto
(Rachmawati,2001:1) bahwa musik berkait erat dengan setting sosial
kemasyarakatan dan gejala khas akibat interaksi sosial dimana lirik lagu
menjadi penunjang dalam musik tersebut dalam menjembatani isu-isu
sosial yang terjadi. Salah satu hal terpenting dalam sebuah musik adalah
keberadaan lirik lagunya, karena melalui lirik lagu, pencipta lagu ingin
menyampaikan pesan yang merupakan pengekspresian dirinya terhadap
fenomena-fenomena yang terjadi di dunia sekitar, dimana dia
berinteraksi didalamnya. Lirik lagu dalam musik yang sebagaimana
bahasa, dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk
mencerminkan realitas sosial yang beredar dalam masyarakat. Lirik lagu,
dapat pula sebagai sarana untuk sosialisasi dan pelestarian terhadap
suatu sikap atau nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu di aransir
5
dan diperdengarkan kepada khalayak juga mempunyai tanggung jawab
yang besar atas tersebar luasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai, bahkan
prasangka tertentu (Setianingsih,2003:7-8). Suatu lirik lagu dapat
menggambarkan realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Sejalan
dengan pendapat Soerjono Soekanto dalam Rachmawati (2000:1) yang
menyatakan :
“Musik berkait erat dengan setting sosial kemasyarakatan tempat dia berada. Musik merupakan gejala khas yang dihasilkan akibat adanya interaksi sosial, dimana dalam interaksi tersebut manusia menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Disinilah kedudukan lirik sangat berperan, sehingga dengan demikian musik tidak hanya bunti suara
belaka, karena juga menyangkut perilaku manusia sebagai individu maupun kelompok sosial dalam wadah pergaulan hidup dengan wadah bahasa atau lirik sebagai penunjangnya.”
Berdasarkan kutipan di atas, sebuah lirik lagu dapat berkaitan erat pula
dengan situasi sosial dan isu-isu sosial yang sedang berlangsung di dalam
masyarakat.
Salah satunya dalam lirik lagu band indie Kaimsasikun yang
berjudul “Pria Dijajah Wanita” dalam album “Kaimsasikun,” yang
berkaitan tentang permasalahan terhadap situasi sosial dan isu-isu sosial
yang terjadi. Sosok perempuan, digambarkan oleh si pencipta lagu dari
setiap baitnya dalam lirik lagu “Pria Dijajah Wanita,” sebagai sosok
perempuan yang memiliki sebuah “karakter,” mandiri, cantik, kuat, dan
berambisi untuk mendapatkan sebuah kekuasaan. Padahal, dalam sistem
patriarki yang berlaku hampir di seluruh masyarakat, telah menganggap
sebuah asumsi bahwa kodrat seorang perempuan itu lebih rendah
6
derajatnya daripada laki-laki demi terciptanya kehidupan keluarga dan
masyarakat yang harmonis (Mustaqim, 2003:1). Patriarki merupakan
aturan yang berasal dari Ayah (Bapak) atau kepala keluarga. Ini mengacu
pada sistem sosial, dimana Bapak memegang kontrol (kendali) atas
seluruh anggota keluarga, kepemilikan barang, sumber pendapatan dan
pemegang keputusan utama. Sehubungan dengan sistem sosial ini,
diyakini (dijadikan ideologi) bahwa pria lebih superior dibanding
perempuan, sehingga perempuan sudah seharusnya dikendalikan
(dikontrol) oleh pria dan menjadi bagian dari properti pria. Pemikiran ini
membentuk dasar dari banyaknya peraturan agama dan kenyataan
sekaligus menjelaskan semua tindakan sosial yang “memenjarakan”
perempuan di rumah serta mengontrol kehidupan mereka. Selain itu,
standar dobel moralitas dan hukum, yang memberikan hak lebih pada
pria dibanding perempuan, didasarkan atas patriarki
(www.sekitarkita.com).
Sosok dari perempuan dalam lirik lagu “Pria Dijajah Wanita”
merupakan perempuan “masa kini” karena lagu tersebut diciptakan pada
masa sekarang dan mengambil tema sosial yang sedang terjadi pada
masa sekarang pula, yaitu perempuan yang hidup di era posmodern,
dimana muncul sebuah pemikiran baru dalam perjuangan akan gerakan
feminisme yang menuntut kesetaraan gender, yaitu posfeminisme.
Dalam praktiknya, posfeminisme mempunyai sosok baru yang bisa
diasumsikan sebagai perempuan “pop” (budaya pop). Seperti pendapat
7
Gadis Arivia dalam sebuah bukunya mengatakan, budaya posmodern di
tahun 90-an telah memperlihatkan kemunculan ikon perempuan baru,
yaitu perempuan yang tangguh, seksi, dan acuh tak acuh, tidak melihat
diri sendiri sebagai korban, dan menginginkan “kuasa.” Singkatnya,
mendekonstruksi women's culture. Dalam konteks pop culture (budaya
pop), contoh-cotoh ikon posfeminisme adalah seperti Spice Girl,
Madonna, dan lain sebagainya (Arivia, 2006:128).
Kebudayaan pop sendiri merupakan sebuah budaya massa yang
sebenarnya merupakan istilah yang mengandung nada mengejek atau
merendahkan, istilah ini merupakan pasangan dari high culture
(kebudayaan elite atau kebudayaan tinggi) yang pada perkembangannya
akibat media komunikasi dan teknologi informasi, tidak lagi hanya
ditujukan bagi orang miskin atau kelas bawah (seperti awal
terbentuknya), melainkan merata pada setiap lapisan yang dikhawatirkan
menggilas semuanya dan menjadi satu-satunya “kebudayaan” yang
menguasai semua bangsa di dunia. Dalam artian, semua kebudayaan
akan diseragamkan oleh kebudayaan massa atau biasa disebut budaya
pop (Ibrahim,1997:6).
Perempuan “pop” yang hidup pada era posmodernisme dan
konsumerisme, adalah perempuan yang “beresiko” terjebak sebagai
“korban” sebuah komodifikasi suatu gaya hidup dengan simbol
“kemewahan, kekayaan, dan kesuksesan.” Bre Redana menguraikan
narasi kondisi masyarakat “konsumerisme” yang dikontrol oleh gaya
8
hidup sebagai sebuah tuntutan “zaman”, bahwa pada era sekarang (era
posmodernisme dan konsumerisme) tengah terjadi “perang” besar-
besaran, semboyan besar-besaran, untuk mendewakan kekuatan materi,
kekuatan uang, perpacuan bukan saja untuk menjadi kaya, tetapi juga
bagaimana tampil dan dihormati sebagai orang kaya (Ibrahim,1997:141).
Dalam artian, kebudayaan pop di era posmodern menampilkan sebuah
kecenderungan baru akan sebuah “gaya” yang dikultuskan dan dipuja
sebagai sebuah kebutuhan, bukan lagi sebagai sebuah keinginan.
Masyarakat dalam era posmodern memandang bahwa pencitraan atau
“image” sangatlah penting. Seperti halnya seorang perempuan “pop”,
telah terjadi pergeseran orientasi atau nilai-nilai yang menciptakan
sebuah pencitraan diri. Sebagai suatu contoh, bahwa bila zaman dahulu
seseorang bisa mendapatkan uang karena status, maka zaman sekarang
seseorang bisa mendapatkan sebuah status karena uang
(Ibrahim,1997:193).
Sebuah penilaian akan “status” tersebut bisa disama artikan
dengan sebuah kekuasaan. Dengan sebuah status yang didapatkan dari
uang atau dalam artian harta dan kekayaan, seseorang dapat memiliki
sebuah kekuasaan atau dengan kata lain memiliki status “berkuasa.”
Menurut wikipedia, kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau
kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain
sesuai dengan keinginan dari pelaku, atau dengan kata lain kekuasaan
merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan
9
berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi
(http://id.wikipedia.org/wiki/Kekuasaan). Kekuasaan tidak hanya dapat
diraih dengan sebuah kekerasan, tetapi juga melalui sebuah persuasi.
Audifax menjelaskan dalam sebuah bukunya, bahwa menurut Foucault,
kekuasaan itu terlaksana bukan pertama-tama melalui kekerasan atau
hasil persetujuan, melainkan melalui struktur tindakan yang menekan
dan mendorong munculnya tindakan-tindakan lain melalui rangsangan,
persuasi atau bisa juga melalui paksaan dan larangan (Audifax,
2006:227).
Sebuah kekuasaan tidak terlepas dari sebuah kata penjajahan.
Penjajahan merupakan metode atau cara untuk mendapatkan sebuah
kekuasaan. Penjajahan oleh perempuan dalam lirik lagu “Pria Dijajah
Wanita” tidak dikaitkan dengan sebuah culture tertentu yang dalam
artian ras tertentu atau suku tertentu dalam konteks pencapaian
kekuasaan, melainkan dalam ruang lingkup sebuah kebudayaan pop (pop
culture). Sanny sebagai pencipta lagu “Pria Dijajah Wanita” sekaligus
pemain bass Kaimsasikun tidak menjelaskan perempuan dari culture
mana yang digambarkan dalam lirik lagunya dengan kata “kamu”
tersebut, entah perempuan Jawa, perempuan Batak, perempuan Bali,
ataupun perempuan Sunda, akan tetapi yang jelas perempuan yang
dimaksud merupakan perempuan Indonesia “masa kini” yang telah
dikonstruksi oleh budaya pop.
10
Dari permasalahan dalam lirik lagu tersebut yang berkaitan
dengan fenomena sosial yang sedang terjadi, menimbulkan ketertarikan
penulis untuk mencari tahu bagaimana kuasa perempuan yang
digambarkan dalam lirik lagu band indie Kaimsasikun yang berjudul “Pria
Dijajah Wanita.” Bagaimana seorang perempuan yang digambarkan
dalam lirik lagu “Pria Dijajah Wanita” dapat mencapai kuasa atas laki-
laki, sementara stereotipe yang berkembang dalam masyarakat patriarki
berpendapat bahwa perempuan merupakan subordinasi yang tidak
berhak atas kuasa apapun.
Selain itu ketertarikan penulis dalam memilih lagu dari grup
band indie Kaimsasikun yang berjudul “Pria Dijajah Wanita” sebagai
obyek penelitian, sebagai sebuah band indie, Kaimsasikun dalam
menciptakan lagunya tidak hanya memikirkan selera publik dan
komersialitas seperti yang biasa dilakukan dalam industri musik major
label, tetapi Kaimsasikun juga tetap mempertahankan ideologinya dalam
bermusik, menciptakan, merekam, merilis, dan mendistribusikan lagu-
lagunya dalam sebuah album melalui jalur independent atau indie label,
sehingga pesan dari lagu yang “dilemparkan” kepada publik merupakan
cerminan ideologi dari band tersebut, tanpa mengikuti “arus” pasar
industri musik. Lagu “Pria Dijajah Wanita” menurut penulis, mempunyai
tema tentang percintaan yang unik dan tidak biasa yang belum dapat
diterima oleh publik secara luas, terutama para “penganut” patriarki.
Terlebih lagi sebagai sebuah band indie, Kaimsasikun tidak mempunyai
11
jaringan edar pasar atau distribusi yang cukup luas seperti major label
sehingga banyak publik yang belum mengetahui lagu tersebut. Hanya
sedikit orang saja yang mengetahui lagu tersebut, terutama di kalangan
penikmat musik indie atau yang biasa disebut sebagai scene indie
(komunitas indie).
Dari beberapa hal diatas, maka penulis melihat bahwa lagu dari
grup band indie Kaimsasikun menarik untuk diteliti dan dalam penelitian
ini berupaya lebih menitikberatkan pada penggambaran kekuasaan
perempuan atas laki-laki dalam lirik lagu “Pria Dijajah Wanita” dalam
album “Kaimsasikun” dari grup band indie Kaimsasikun.
I.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka yang
menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana
kekuasaan perempuan atas laki-laki digambarkan dalam lagu Pria Dijajah
Wanita dari grup band indie Kaimsasikun, dalam album Kaimsasikun?”
I.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
I.3.1 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bagaimanakah kekuasaan perempuan atas
laki-laki digambarkan dalam lagu “Pria Dijajah Wanita” dari grup band
indie Kaimsasikun, dalam album “Kaimsasikun.”
12
I.3.2 Manfaat Penelitian
1. Kegunaan Teoritis, yaitu untuk menambah literatur penelitian
kualitatif Ilmu Komunikasi khususnya mengenai analisis dengan
metode semiotik.
2. Kegunaan Praktis, yaitu membantu pembaca dalam memahami
makna tanda yang menggambarkan kekuasaan perempuan atas
laki-laki dalam lirik lagu grup band indie Kaimsasikun.
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
II.1 Landasan Teori
II. 1. 1 Definisi komunikasi
Komunikasi atau communication dalam bahasa inggris berasal
daru kata latin communis yang berarti „sama‟, communico,
communicatio, atau communicare yang berarti „membuat sama‟ (to
make common). Istilah pertama (communis) adalah istilah yang paling
sering disebut sebagai asal – usul kata komunikasi, yang merupakan akar
dari kata – kata Latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan
bahwa suatu pikiran atau suatu makna, atau suatu pesan dianut secara
sama. Kata yang mirip dengan komunikasi adalah komunitas
(community) yang juga menekankan kesamaan atau kebersamaan.
Komunitas merujuk pada sekelompok orang yang berkumpul atau hidup
bersama untuk mencapai tujuan tertentu, dan mereka berbagi makna
dan sikap. Tanpa ada komunikasi tidak akan ada komunitas . komunitas
bergantung pada pengalaman dan emosi bersama, dan komunikasi
berperan dan menjelaskan kebersamaan itu. Oleh karena itu , komunitas
juga berbagi bentuk – bentuk komunikasi yang berkaitan dengan seni,
agama dan bahasa, dan masing – masing bentuk tersebut mengandung
dan menyampaikan gagasan, sikap, perspektif, pandangan yang
mengakar kuat dalam sejarah komunitas tersebut. (Mulyana, 2001:42).
14
Pada dasarnya manusia berkomunikasi dengan simbol – simbol,
simbol – simbol itu mewakili pikiran, perkataan dan perbuatan yang
mengiringi interaksi antar manusia, simbol – simbol itu berbentuk verbal
dan non verbal yang ditransmisikan secara sadar maupun tidak, secara
bersistem maupun tidak bersistem dalam interaksi dan komunikasi antar
manusia. Didalam berkomunikasi manusia mengkonstruksi suatu „gambar‟
mengenai dunia tersebut melalui proses aktif dan kreatif yang kita sebut
persepsi. Mulyana (2001:167) mengungkapkan bahwa persepsi adalah
proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan,
dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut
mempengaruhi kita. Persepsi adalah inti komunikasi, sedangkan
penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi, yang identik dengan
penyandian balik (decoding) dalam proses komunikasi. Begitu juga de
ungkapkan Desiderato dalam Rakhmat (2003:51) persepsi adalah
pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan – hubungan yang
diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.
Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory
stimuli).
Dan Nimmo mengatakan dalam pendefinisiannya tentang
komunikasi, bahwa :
Komunikasi adalah proses interaksi sosial yang digunakan orang untuk menyusun makna yang merupakan citra mereka mengenai dunia (yang berdasarkan itu mereka bertindak) dan untuk bertukar citra itu melalui symbol – symbol.(Nimmo, 1989:7)
15
Melalui interaksi sosial orang menurunkan dan bertindak menurut
makna yang mampu membuat mereka mampu menciptakan dan
menciptakan kembali dunia subjektif mereka.
Komunikasi adalah negoisasi dan pertukaran makna sebuah pesan
yang dibangun masyarakat berdasar budaya dan realitas, yang mampu
berinteraksi karena menggunakan makna yang mereka bangun dan
mereka pahami bersama untuk menumbuhkan saling pengertian. Disebut
komunikasi karena ada aktor, ada proses dan ada lambang. Proses
komunikasi dalam interaksi sosial antar actor dalam masyarakat
menyampaikan pesan dengan menggunakan lambang – lambang, simbol –
symbol, bahasa, dalam hal ini disebut tanda – tanda. Tanda – tanda ini
menjadi pesan setelah melalui proses encoding oleh komunikator.
Demikian pula pesan yang diterima komunikan yang berupa tanda – tanda
tersebut juga ditafsirkan melalui proses decoding. Proses penyandian
pesan oleh komunikator menjadi tanda dan proses penafsiran tanda oleh
komunikan inilah yang disebut proses signifikasi atau proses semiosis.
Manusia sehari-hari dikelilingi oleh tanda-tanda, apakah itu natural atau
artifisial. Hakikat peran yang dibawakan oleh tanda-tanda pada
prinsipnya ditentukan oleh kebudayaan. Studi tentang tanda-tanda pada
umumnya, serta studi tentang bekerjanya sejumlah besar kode-kode
dalam suatu kebudayaan, yang memungkinkan kita mampu
menginterpretasikan tanda-tanda tersebut secara memuaskan sekarang
diberi nama “Semiologi” (di Prancis dan negara Eropa lainnya) atau
16
“Semiotika” (Amerika Selatan).(Sarup, 2003: 217). Semiologi sebagai
konsep tentang tanda – tanda dipergunakan secara fleksibel tetapi
seksama didalam memecahkan persoalan makna pesan dalam tindak
komunikasi, menggali berbagi perspektif dalam fenomena komunikasi,
serta semiologi akan membantu menjelaskan bagaimana tindak
komunikasi berlangsung sebagai proses interaksi, “ The semiotic model
help to explain how communication work as an interactive process”
(Purwasito, 2003:243). Setiap tindakan komunikasi dianggap sebagai
pesan yang dikirim dan diterima melalui beragam tanda berbeda.
Berbagai aturan kompleks yang mengatur kombinasi pesan-pesan ini
ditentukan oleh berbagai kode sosial. Seluruh bentuk ekspresi –musik,
seni, film, fashion, makanan, kesusasteraan- dapat dianalisis sebagai
sebuah sistem tanda. Begitu juga dengan lirik lagu, yang juga merupakan
sebuah tanda yang sarat makna, ia membuka kemungkinan sebagai
sebuah tanda yang bisa ditafsirkan.
II. 2. Musik
Sistem tanda musik adalah oditif, namun untuk mencapai
pendengarnya, penggubah musik mempersembahkan kreasinya dengan
perantara pemain musik dalam bentuk sistem tanda perantara tertulis.
Bagi semiotikus musik, adanya tanda-tanda perantara, yakni musik yang
dicatat dalam partitur orkestra. Hal ini sangat memudahkan dalam
17
menganalisis karya musik sebagai teks. Itulah sebabnya mengapa
penelitian musik terarah pada sintaksis.
Meski demikian, semiotik tidak dapat hidup hanya dengan
sintaksis: tidak ada semiotika tanpa semantik. Jadi, juga tidak ada
semiotika musik tanpa semantik musik. Semantik musik, bisa dikatakan,
harus senantiasa membuktikan hak kehadirannya (Van Zoest, 1993:120-
121).
II. 2. 1. Musik Indie
Berdasarkan Wikipedia, yang dimaksud dengan independent atau
indie di sini adalah tidak terikat atau tidak adanya campur tangan dalam
perusahaan rekaman komersil atau biasa disebut major label, baik dalam
proses penciptaan ide dan kreativitas, produksinya, maupun secara
finansial atau masalah keuangan seperti pembagian royalti
(www.wikipedia.org). Termasuk band sebagai pengusung musik, banyak
band yang memilih jalur independent dalam memproduksi dan
mendistribusikan lagunya dari pada memilih jalur major label atau
perusahaan rekaman komersil. Kaimsasikun merupakan contoh band
indie yang lebih memilih jalur independent dari pada memilih jalur
major label sehingga kreativitas dan ideologi yang tertuang dalam musik
dan lagunya dapat “bergerak bebas” tanpa hanya memikirkan selera
publik dan komersialitas seperti yang biasa dilakukan dalam industri
musik major label.
18
II. 1. 2. Lirik Lagu
Lirik lagu dalam musik yang sebagaimana bahasa, dapat menjadi
sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang
beredar dalam masyarakat. Lirik lagu, dapat pula sebagai sarana untuk
sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai. Oleh karena
itu, ketika sebuah lirik lagu di aransir dan diperdengarkan kepada
khalayak juga mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar
luasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai, bahkan prasangka tertentu
(Setianingsih,2003:7-8). Suatu lirik lagu dapat menggambarkan realitas
sosial yang terjadi di masyarakat. Termasuk realitas sosial yang
menggambarkan perempuan yang cantik, kuat, tangguh, tidak
menganggap dirinya sebagai korban, acuh tak acuh, dan menginginkan
kuasa dari laki-laki dengan menggunakan kefemininitasan yang dia miliki.
Sejalan dengan pendapat Soerjono Soekanto dalam Rachmawati
(2000:1) yang menyatakan :
“Musik berkait erat dengan setting sosial kemasyarakatan tempat dia berada. Musik merupakan gejala khas yang dihasilkan akibat adanya interaksi sosial, dimana dalam interaksi tersebut manusia menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Disinilah kedudukan lirik sangat berperan, sehingga dengan demikian musik tidak hanya bunti suara
belaka, karena juga menyangkut perilaku manusia sebagai individu maupun kelompok sosial dalam wadah pergaulan hidup dengan wadah bahasa atau lirik sebagai penunjangnya.”
19
Berdasarkan kutipan di atas, sebuah lirik lagu dapat berkaitan erat pula
dengan situasi sosial dan isu-isu sosial yang sedang berlangsung di dalam
masyarakat.
II. 3. Pendekatan Semiotika
Kata ‟semiotika‟ itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion
yang berarti ‟tanda‟ atau ‟seme‟ yang berarti ‟penafsir tanda‟.
Semiotika berasal dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika
dan poetika. ‟ Tanda‟ pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang
menunjuk pada adanya hal lain (Sobur, 2003:16)
Juga diungkapkan oleh Saussure dalam Budiman bahwa :
A science that studies the life of signs within society is conceivable; it would be a part of social psychology and consequently of general psychology; i shall call it semiology (from the Greek semeion’sign’). Semiology would show that constitutes signs, what laws govern them... Sebuah ilmu yang mengkaji tanda – tanda di dalam masyarakat dapat dibayangkan; ia akan menjadi bagian dari psikologi sosial dan sebagai konsekuensinya, psikologi general; ia akan saya beri nama semiologi (dari bahasa Yunani semeion ‟tanda‟). Semiologi akan menunjukkan hal – hal apa yang membentuk tanda –tanda, kaidah – kaidah apa yang mengendalikannya...
Berkenaan dengan studi semiotik, pada dasarnya pusat perhatian
pendekatan semiotik adalah pada tanda (sign). Menurut John Fiske,
terdapat tiga area penting dalam studi semiotik, yakni (Fiske, 1990:40):
1. The sign it self. This consist of the study of different varieties of sign, of the different ways they have of conveying meaning, and of the way relate to the people who use them. For sign are human constructs and can only
20
be understood is term of the uses pepole put them
to.(Tanda itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan beragam tanda yang berbeda, seperti cara mengantarkan makna serta cara menghubungkannya dengan orang yang menggunakan. Tanda adalah buatan manusia dan hanya bisa dimengerti oleh orang yang menggunakannya).
2. The codes of sistems into which signs are organized. This study covers the way that a vareity of codes have develop in order to meet the needs of society or culture.(Kode atau sistem dimana lambang – lambang disusun. Studi ini meliputi bagaimana beragam kode yang berbeda dibangun untuk mempertemukan dengan kebutuhan didalam masyarakat dalam kebudayaan).
3. The culture within which these codes and signs operate. (Kebudayaan dimana kode dan lambang itu beroperasi) (Sobur, 2001:94)
Sebuah tanda tidak hadir begitu saja sebagai bagian dari
kenyataan – ia merefleksi dan membiaskan kenyataan lain. Oleh karena
itu sebuah tanda bisa saja memiuhkan kenyataan atau mentaatinya.
Dalam semiotika, bila segala sesuatu yang dalam terminologi semiotika
disebut sebagai tanda (sign), semata alat untuk berdusta, maka setiap
tanda akan selalu mengandung muatan dusta; setiap makna (meaning)
adalah dusta; setiap pengguna tanda adalah para pendusta; setiap proses
pertandaan (signification) adalah kedustaan. Umberto Eco menjelaskan
bahwa bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta,
maka sebaliknya ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan
kebenaran (truth): ia pada kenyataannya tidak dapat digunakan untuk
“mengungkapkan” apa-apa. Dia berpikir definisi sebagai sebuah teori
kedustaan sudah sepantasnya diterima sebagai program komprehensif
untuk semiotika umum (Piliang, 2003:43).
21
II. 3. 1. Teori Tanda Ferdinand De Saussure
Semiotika signifikasi adalah akar dari pemikiran dari bahasan
saussure yang didefinisikan sebagai “ilmu yang mengkaji tentang peran
tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial”, implicit dari definisi
tersebut adalah sebuah relasi bahwa bila tanda merupakan bagian dari
kehidupan sosial, maka tanda juga merupakan bagian dari aturan-aturan
sosial yang berlaku. Saussure juga berbicara mengenai konvensi sosial
yang mengatur penggunaan tanda secara sosial, yaitu pemilihan,
pengkombinasian, dan penggunaan tanda-tanda dengan cara tertentu,
sehingga ia mempunyai makna dan nilai sosial (Sobur, 2003:vii).
Menurut pandangan Saussure, segala sesuatu yang berhubungan
dengan sisi statik dari suatu ilmu adalah sinkronik. Linguistik, dengan
perspektif sinkroniknya, secara khusus memperhatikan relasi-relasi logis
dan psikologis yang memadukan terma-terma secara berbarengan dan
membentuk suatu sistem dalam pikiran kolektif. Analisis bahasa secara
sinkronik adalah analisis bahasa sebagai sistem yang eksis pada suatu
titik waktu tertentu (yang seringkali berarti “saat ini” atau
kontemporer) dengan mengabaikan route yang telah dilaluinya sehingga
dapat berwujud seperti sekarang. Sebaliknya, segala sesuatu yang
bersangkutan dengan evolusi adalah diakronik. Linguistik yang diakronik
dapat dibedakan menjadi dua sudut pandang, yaitu prospektif dan
retrospektif. Sudut pandang yang pertama mengikuti majunya arus
waktu, sedangkan yang kedua berjalan mundur. Linguistik diakronik
22
mengkaji relasi-relasi yang secara suksesif mengikat terma-terma secara
bersamaan, yang masing-masing dapat saling bersubtitusi tanpa
membentuk suatu sistem, namun tetap tidak disadari oleh pikiran
kolektif. Meskipun Saussure sendiri dididik dalam tradisi lingusitik
diakronik yang sangat kental, preferensinya secara khusus tertuju
kepada lingusitik sinkronik. Segala konsep yang dikembangkan di dalam
linguistik sinkronik Saussurean ini berkisar pada dikotomi-dikotomi
tertenti, yakni penanda dan petanda, langue dan parole, serta
sintagmatik dan paradigmatik (Budiman, 2004:38).
II. 3. 1. 1. Signifier dan Signified
Yang cukup penting dalam upaya menangkap hal pokok pada tori
saussure adalah prinsip yang mengatakan bahasa itu adalah suatu sistem
tanda, dan setiap tanda itu tersusun atas dua bagian, yakni signifier
(penanda) dan signified (petanda). Menurut saussure, bahasa itu
merupakan suatu sistem tanda (sign). Suara-suara baik itu suara
manusia, binatang, atau bunyi-bunyian semua dapat dikatakan sebagai
bahasa apabila itu semua mengekspresikan, menyampaikan ide-ide,
pengertian-pengertian tertentu (Sobur, 2003:46).
Tanda adalah suatu kesatuan dari suatu bentuk penanda dan
petanda dengan kata lain, penanda adalah ”bunyi yang bermakna” atau
”coretan yang bermakna”. Jadi penanda adalah aspek material dari
bahasa: apa yang dikatakan, apa yang didengar, dan apa yang ditulis
23
atau dibaca. Petanda sendiri adalah gambaran mental, pikiran, konsep.
Jadi petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180). Yang
mesti diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang kongkrit,
kedua unsur tidak dapat dillepaskan. Tanda bahasa selalu mempunyai
dua segi : penanda atau petanda : signifier atau signified. Suatu
penanda tanpa petanda tidak akan berarti apa-apa dan karena itu tidak
merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan
atau ditangkap lepas dari penanda : petanda atau yang ditandakan itu
termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor
lingusitik. ”Penanda dan petanda merupakan kesatuan, seperti dua sisi
dari sehelai kertas”, kata Saussure.
Jadi, meskipun antara penanda dan petanda tampak sebagai
entitas yang terpisah-pisah, namun keduanya hanya ada sebagai
komponen tanda. Tandalah yang merupakan fakta dasar bahasa. Maka
itu setiap upaya untuk memaparkan teori Saussure mengenai bahasa,
pertama-tama harus membicarakan pandangan Saussure mengenai
hakikat tanda tersebut. Setiap tanda kabsahan, menurut Saussure pada
dasarnya menyatukan sebuah konsep dan suatu citra suara (sound
image), bukan menyatakan suatu sebagai nama. Dua konsep signifier dan
signified tidak dapat dipisahkan, memisahkan berarti hanya
menghancurkan ”kata” tersebut.
24
II. 3. 1. 2. Langue dan Parole
Saussure membedakan tiga istilah dalam bahasa Prancis:
langange, langue (sistem bahasa) dan parole (kegiatan ujaran). Langange
adalah suatu kemampuan berbahasa yang ada pada setiap manusia yang
sifatnya pembawaan, namun pembawaan ini mesti dikembangkan dengan
lingkungan dan stimulus yang menunjang. Singkatnya, langange adalah
bahasa pada umumnya. Orang bisu pun sama memiliki langange ini,
namun disebabkan, umpamanya, gangguan fisiologis pada bagian
tertentu maka dia tidak bisa berbicara secara normal. Dalam pengertian
umum, langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat sosial
budaya, sedangkan parole merupakan ekspresi bahasa pada tingkat
individu. Dalam konsep Saussure, langue dimaksudkan bahasa sejauh
merupakan milik bersama dari suatu golongan bahasa tertentu. Apa yang
dinamakan langue itu menurut Saussure, harus dianggap sebagai sistem.
Jika langue mempunyai objek studi sistem atau tanda atau kode, maka
parole adalah ”living speech”, yaitu bahasa yang hidup atau bahasa
sebagaimana terlihat dalam penggunaannya. Kalau langue bersifat
kolektif dan pemakaiannya ”tidak disadari” oleh pengguna bahasa yang
bersangkutan, maka parole lebih memperhatikan faktor pribadi
pengguna bahasa. Kalau unit dasar langue adalah kata, maka unit dasar
parole adalah kalimat (Sobur, 2003:50-51).
Pada saat yang sama, Saussure menyatakan bahwa tinjauan
terhadap terhadap langue (bahasa sebagai sistem) harus didahulukan
25
dari pada parole (bahasa sebagai tindak penuturan / ujaran). Artinya,
posisi sistem bahasa secara umum mendahului dan lebih penting
daripada seluruh ujaran nyata yang pernah benar-benar dituturkan. Ini
merupakan argumen paling mengejutkan yang lahir dari sudut pandang
ilmu-ilmu alam, ilmu di mana bukti fisik positif menjadi satu-satunya
bukti yang dapat diterima. Namun demikian, menurut Saussure, bukti
fisik positif tidaklah cukup untuk menjelaskan bahasa sebagai bahasa
yang menandakan sekaligus memuat informasi (Harland,2006:15).
II. 3. 1. 3. Syntagmatic dan Associative
Hubungan Associative (paradigmatik) adalah hubungan eksternal
suatu tanda dengan tanda lain. Tanda lain yang bisa berhubungan secara
paradigmatik adalah tanda-tanda satu kelas atau satu sistem. Hubungan
yang kedua adalah hubungan Syntagmatic (sintagmatik atau hubungan
aktual). Hubungan ini menunjuk hubungan suatu tanda dengan tanda-
tanda lainnya, baik yang mendahului atau mengikutinya. Hubungan
sintagmatik mengajak kita mengimajinasikan ke depan atau memprediksi
apa yang terjadi kemudian. Hubungan-hubungan ini terdapat pada kata-
kata sebagai rangkaian bunyi-bunyi maupun kata-kata sebagai konsep
(Sobur, 2003:54).
26
II. 4. Pendekatan Gender
Dalam membahas kaum laki-laki dan perempuan konsep penting
yang perlu dipahami adalah membedakan konsep seks (jenis kelamin)
dan konsep gender. Pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan
konsep gender sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk
memahami persoalan-persoalan ketidak adilan sosial baik yang menimpa
kaum laki-laki maupun perempuan. Hal ini disebabkan karena ada kaitan
yang erat antara perbedaan gender (gender difference) dan ketidak
adilan gender (gender inequalities) dengan struktur ketidak adilan
masyarakat secara lebih luas. Dengan demikian pemahaman dan
pembedaan yang jelas antara konsep seks dan gender sangat diperlukan
dalam membahas masalah ketidak adilan sosial. Maka sesungguhnya
terjadi keterkaitan antara persoalan gender dengan persoalan ketidak
adilan sosial lainnya.
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan antara kata
gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin
adalah pembedaan terhadap manusia yang didasarkan pada alat-alat
biologis yang melekat padanya. Misalnya, laki-laki adalah manusia yang
memiliki penis, memiliki jakala (kalamenjing), dan memproduksi
sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim
dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan
mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat
pada manusia jenis laki-laki dan perempuan selamanya dan tidak dapat
27
dipertukarkan atau disebut juga dengan kodrat. Sebagaimana menurut
Mansour Fakih sebagai berikut:
”Secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat.”
Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender, yaitu: sifat yang
melekat pada kaum laki-laki maupun kaum perempuan yang dikonstruksi
secara sosial kultural, dimana sifat-sifat ini dapat dipertukarkan. Masih
menurut Mansour Fakih, diberikan beberapa contoh:
”Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan. Sementara ada juga perempuan yang kuat, rasional, perkasa.” (1996:8)
Sejarah perbedaan gender (gender difference) antara manusia
jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat
panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender
dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan,
diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial maupun kultural, melalui
ajaran keagamaan maupun negara (Fakih1996:6). Perbedaan gender
(gender difference) dapat saja muncul karena struktur masyarakat yang
kebanyakan patriarki. Yang paling tidak menyimpan asumsi dasar bahwa
manusia pertama adalah laki-laki sedangkan dalam hal perbuatan dosa,
28
perempuanlah makhluk yang pertama. Menurut Prof. Riffat Hassan
(Ridjal, 1993:13) beberapa asumsi yang mendasari perbedaan gender,
yaitu:
1. “Manusia pertama adalah laki-laki, dan perempuan
diciptakan darinya. Sehingga perempuan adalah makhluk
sekunder.
2. Walaupun perempuan adalah makhluk kedua dalam
prosedur penciptaan, ia adalah makhluk pertama dalam
perbuatan dosa, dialah yang menggoda Adam sehingga
akhirnya terusir dari surga.
3. Perempuan bukan saja dari laki-laki tetapi juga untuk
laki-laki.”
Asumsi ketiga ini berimplikasi pada munculnya anggapan bahwa
perempuan tidak mempunyai hak untuk mendefinisikan status, hak, dan
martabatnya, kecuali apa yang telah disediakan oleh kaum laki-laki
untuknya. Kehadiran perempuan di dunia ini bersifat instrumental bagi
kepentingan laki-laki dan bukan fundamental.
Secara langsung maupun tidak langsung proses sosialisasi gender
itu pada akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan. Dimana jenis
kelamin laki-laki harus bersikap maskulin dan jenis kelamin perempuan
harus bersikap feminin, sebagaimana stereotipe yang telah
dikonstruksikan. Setiap penyimpangan akan ditolak dalam peran
struktural masyarakat.
29
II. 4. 1. Konsep Gender
Selama ini orang menganggap bahwa perbedaan antara laki-laki
dan perempuan didasarkan pada konsep jenis kelamin (seks) saja.
Konsep jenis kelamin (seks) adalah persifatan atau pembagian dua jenis
kelamin manusia yang ditentukan secara biologis pada jenis kelamin
tertentu. Misalnya manusia jenis kelamin laki-laki adalah manusia yang
mempunyai penis, memiliki jakala (kalamenjing), dan memproduksi
sperma. Sedangkan manusia jenis kelamin perempuan mempunyai alat
reproduksi seperti rahim, dan saluran vagina, serta mempunyai alat
untuk menyusui. Semua alat tersebut tidak dapat dipertukarkan antara
alat biologis yang melekat pada laki-laki dan perempuan secara
permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis, atau sering
dikatakan sebagai ketentuan Tuhan, atau kodrat (Fakih, 1996:8).
Istilah sex (dalam kamus Bahasa Indonesia juga berarti ”jenis
kelamin”) lebih berkonsentrasi pada aspek biologis seseorang, meliputi
perbedaan komposisi harmone dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi
dan karakteristik tubuh seseorang (www.mediaisnet.org).
Konsep laki-laki dan perempuan tidak hanya dibagi berdasarkan
perbedaan biologis saja. Pada masyarakat ternyata berkembang suatu
sistem yang membedakan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan
stereotipe dan nilai-nilai yang ditanamkan (disosialisasikan) sejak kecil,
konsep ini dikenal dengan nama gender.
30
Kata gender berasal dari Bahasa Inggris yang berarti ”jenis
Kelamin”. Dalam kamus Webster’s New Dictionary, gender diartikan
sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan yang
dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Dalam Women’s Studies
Encyclopedia dijelaskan bahwa peran gender adalah suatu konsep
kultural yang merupaya membuat perbedaan (distinction) dalam peran,
perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Hillary M. Lips dalam bukunya yang terkenal ”sex and gender: An
Introduction” mengartikan gender sebagai suatu harapan-harapan
budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectation for
women and men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis
seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal
penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk
bidang kajian gender (what a given society defines as masculine or
feminine is a component af gender).
Kata gender belum masuk dalam pembendaharaan kamus besar
Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan,
khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, dengan
istilah ”jender”. Jender diartikan sebagai interpretasi mental dan
kultural terhadap perbedan kelamin yakni laki-laki dan perempuan.
Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja
yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan. Studi gender lebih
31
menekankan pada aspek maskulinitas (masculinity) atau feminitas
(feminity) seseora (www.mediaisnet.org).
Kemudian muncul bias gender yang berkembang dimana-mana,
antara lain:
1. Perbedaan gender laki-laki dan perempuan, apa yang sesuai untuk
laki-laki dan perempuan meliputi pekerjaan / kegiatan, pendidikan,
penampilan, sikap perilaku.
2. Perbedaan antara apa yang ideal untuk perempuan dan laki-laki,
bahkan minat mereka pun berbeda.
3. Perbedaan status sosial antara laki-laki dan perempuan.
Akibatnya, muncul beberapa stereotipe antara lain laki-laki adalah
pencari nafkah, dan perempuan mengasuh anak, dan lain-lain
(Harijani,2001:2).
Menurut Kreitner dan Kinicki (2003:218) stereotipe adalah
kayakinan yang membedakan sifat dan kemampuan antara peran
perempuan dan laki-laki untuk peran-peran yang berbeda. Misalnya
stereotipe gender menganggap bahwa perempuan sebagai sosok yang
ekspresif, kurang independent, lebih emosional, kurang logis, secara
kuantitatif kurang orientasi dan lebih partisipatif daripada laki-laki.
Sebaliknya laki-laki lebih sering dianggap menentukan, orientasinya
kuantitatif, dan lebih otokrasi serta terarah daripada perempuan.
Pandangan stereotipe mengaburkan pandangan terhadap manusia
secara pribadi, karena memasukkan setiap jenis manusia kotak
32
stereotipe. Oleh karena itu seorang pribadi, baik perempuan dan laki-
laki merasa tidak pantas apabila ”keluar dari kotak” tersebut. Ia akan
merasa bersalah apabila tidak memenuhi kehendak sosial, memenuhi
label yang telah diciptakan untuk mereka. Pandangan ini telah
dibakukan melalui tradisi selama berabad-abad sehingga dianggap kodrat
yang tidak dapat dirubah, seolah ciri-ciri perempuan dan laki-laki sudah
terkunci mati (Murniati,2004:XVIII).
Konstruksi sosial bahwa perempuan itu lemah lembut, emosional,
keibuan, cantik, menyebabkan mereka mendapat tugas untuk bekerja di
lingkungan rumah tempat tinggal, seperti melakukan pekerjaan rumah
tangga, mengasuh anak, serta tergantung pada laki-laki. Sedangkan laki-
laki dikonstruksikan sebagai seorang yang kuat, rasional, jantan dan
perkasa sehingga laki-laki mendapat tugas untuk bekerja di luar rumah.
Sebenarnya sifat tersebut dapat dipertukarkan antara laki-laki dan
perempuan untuk berada di lingkungan luar atau dalam rumah
(Fakih,1996:9).
II. 4. 2. Konstruksi Sosial Gender
Proses konstruksi yang berlangsung secara mapan dan lama inilah
yang mengakibatkan masyarakat kita sulit untuk membedakan apakah
sifat-sifat gender tersebut dibentuk oleh masyarakat ataukah kodrat
biologis yang ditetapkan dari Tuhan. Namun, Mansour Fakih menegaskan
bahwa setiap sifat melekat pada jenis kelamin tertentu dan sepanjang
33
sifat itu bias dipertukarkan, maka sifat tersebut adalah hasil konstroksi
masyarakat dan sama sekali bukan kodrat (Fakih,1996:10).
Menurut Wijaya, keberadaan konstruksi gender yang berlangsung
dalam masyarakat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain:
1. Adat kebiasaan.
2. Kultur.
3. Lingkungan dan pranata membesarkan dan mendidik anak.
4. Lingkungan dan pranata gender, differensiasi (perbedaan gender).
5. Struktur yang berlaku.
6. Kekuasaan.
Dari beberapa hal diatas, kemudian terjadi pembentukan stereotipe
yaitu pelabellan atau penandaan yang dilekatkan pada jenis kelamin,
antara lain stereotipe laki-laki (maskulinitas) dan stereotipe perempuan
(feminitas) secara obyektif, terdapat butir-butir stereotipe maskulin
yang bernilai positif, yaitu: mandiri, sangat agresif, tidak emosional,
sangat obyektif, tidak mudah dipengaruhi, aktif, logis, lugas, tahu
bagaimana bertindak, tegar, pandai membuat keputusan, percaya diri,
ambisius, dan sebagainya. Disamping terdapat butir-butir stereotipe
maskulinitas yang positif, terdapat pula butir-butir stereotipe feminin
yang bernilai positif seperti: tidak suka bicara kasar, halus, lembut, peka
pada perasaan orang lain, bicara pelan, mudah mengekspresikan diri,
dan sebaginya (Wijaya,1991:156-157).
34
Jika dilihat secara umum, stereotipe adalah pelabellan atau
penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Celakanya stereotipe
selalu merugikan dan menimbulkan ketidak adilan. Stereotipe yang
diberikan suku bangsa tertentu, misalnya Yahudi di Barat, Cina di Asia
Tenggara, telah merugikan suku bangsa tersebut (Fakih,1996:16). Salah
satu jenis stereotipe diatas adalah yang bersumber dari pandangan
gender. Banyak sekali ketidak adilan pada jenis kelamin tertentu, yang
bersumber dari penandaan (stereotipe) yang dilekatkan pada mereka.
Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa laki-laki adalah
mata keranjang dan tidak berperasaan, maka setiap ada kasus kekerasan
atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengean stereotipe ini. Bahkan
jika ada pemerkosaan yang dialami oleh perempuan, masyarakat
berkecenderungan menyalahkan laki-laki (Siregar, 2002:2).
Mansour Fakih (1996:17) juga menegaskan bahwa masyarakat
memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah
melayani suami. Stereotipe ini berakibat wajar sekali jika pendidikan
perempuan di nomorduakan. Stereotipe terhadap perempuan ini terjadi
dimana-mana dan gender merupakan akar dari ketidak adilan akibat
stereotipe tersebut. Hal ini semakin dilanggengkan oleh kultur
masyarakat yang menganggap stereotipe gender yang dilekatkan
tersebut adalah kodrat Tuhan.
Gender sebagai konsep merupakan hasil pemikiran atau hasil
rekayasa manusia, sehingga sama sekali tidak bisa disebut sebagai kodrat
35
Tuhan, karena sifat-sifat yang ada di dalamnya bisa dipertukarkan.
Sebagai pendapat Caplan dalam Fakih (1996:72):
” Perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologi, namun melalui proses sosial dan kultural. Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis (sex) akan tetap tidak berubah.”
Seperti uraian diatas, struktur patriarki memiliki peran yang
penting dalam melanggengkan keberadaan gender. Hal ini sebenarnya
tidak terlepas dari sejarahnya dimana pengaruh ideologi patriarki dalam
tatanan hidup sehari-hari kemasyarakatan kita yang meletakkan secara
tegas peran antara laki-laki dan perempuan, seperti yang dikemukakan
oleh Mosse (1996:65):
”Pada awalnya, patriarki memang untuk menunjukkan bahwa sebagai kepala rumah tangga, laki-laki mempunyai kekuasaan, namun pada akhirnya, istilah patriarki mulai digunakan di seluruh dunia untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak di dalam keluarga dan ini berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya.”
Dari pendapat Julia Claves Mosse diatas dapat disimpulkan bahwa
konstruksi sosial gender yang berasal dari patriarki mengakibatkan
struktur sosial yang tidak adil bersifat tidak setara antara mayoritas dan
minoritas. Minoritas disini tidak didasarkan pada jumlah melainkan posisi
dalam konstruksi sosial dimana perempuan pada posisi subordinasi
terhadap laki-laki akibat nilai yang mendasari peran-peran sosial,
36
karenanya berada pada posisi minoritas. Sehingga timbulnya ketidak
adilan gender adalah implikasi dari konstruksi sosial yang bersifat
menindas terhadap minoritas.
II. 5. Gerakan Feminisme Dalam Budaya Patriarki
Dalam sistem patriarki yang berlaku hampir di seluruh
masyarakat, telah menganggap sebuah asumsi bahwa kodrat seorang
perempuan itu lebih rendah derajatnya daripada laki-laki demi
terciptanya kehidupan keluarga dan masyarakat yang harmonis
(Mustaqim, 2003:1). Patriarki merupakan aturan yang berasal dari Ayah
(Bapak) atau kepala keluarga. Ini mengacu pada sistem sosial, dimana
Bapak memegang kontrol (kendali) atas seluruh anggota keluarga,
kepemilikan barang, sumber pendapatan dan pemegang keputusan
utama. Sehubungan dengan sistem sosial ini, diyakini (dijadikan ideologi)
bahwa pria lebih superior dibanding perempuan, sehingga perempuan
sudah seharusnya dikendalikan (dikontrol) oleh pria dan menjadi bagian
dari properti pria. Pemikiran ini membentuk dasar dari banyaknya
peraturan agama dan kenyataan sekaligus menjelaskan semua tindakan
sosial yang “memenjarakan” perempuan di rumah serta mengontrol
kehidupan mereka. Selain itu, standar dobel moralitas dan hukum, yang
memberikan hak lebih pada pria dibanding perempuan, didasarkan atas
patriarki (www.sekitarkita.com).
37
Dengan adanya perbedaan konstruksi sosial gender yang
diakibatkan oleh sistem patriarki menimbulkan sebuah pemikiran dan
gerakan dalam perempuan yang disebut sebagai gerakan feminisme.
Gerakan feminisme memiliki berbagai macam aliran yang masing-masing
memiliki titik tekan dalam memperjuangkan tujuan sosial yang ingin
dicapainya. Gerakan feminisme berangkat dari fakta ketertindasan dan
penindasan terhadap kaum perempuan oleh struktur sosial yang ada dan
diikuti dengan kesadaran yang dimunculkannya untuk melanggengkan
posisi perempuan yang terpinggirkan (www.parasindonesia.com).
Menurut Aquarini, Julia Kristeva dalam Women’s Time melihat
bahwa feminisme bergerak dalam gelombang. Menurut Kristeva,
subjektivitas perempuan berhubungan dengan waktu yang berulang
(cylical-repetation) dan waktu monumental (keabadian). Keduanya
merupakan cara untuk mengoseptualisasi waktu berdasarkan perspektif
motherhood dan reproduksi. Waktu dalam sejarah, dilain pihak, adalah
waktu yang linear: waktu sebagai proyek, kemajuan, kedatangan, dan
sebagainya. Tiga gelombang feminisme itu menurut Kristeva adalah :
1. Feminis egalitarian yang menuntut hak yang sejajar dengan laki-laki,
dengan perkataan lain, hak-haknya untuk memperoleh tempat dalam
waktu yang linear, misalnya feminisme liberal dan feminisme marxis.
2. Generasi kedua adalah yang muncul setelah tahun 1968, yang
menekankan perbedaan radikal perempuan dari laki-laki dan
38
menuntut hak perempuan untuk tetap berada di luar waktu linear
sejarah dan politik, misalnya feminisme radikal.
3. Feminisme generasi ketiga adalah yang mendorong eksistensi yang
pararel yang menggabungkan ketiga pendekatan feminisme yang
memungkinkan perbedaan individual untuk tetap ada tanpa menjadi
kehilangan feminisannya, misalnya, terutama posmodernisme
(Adlin,2006:218).
Munculnya sebuah gerakan feminisme yang merubah pemikiran
dari masyarakat tentang persamaan dan kesetaraan gender, maka
semakin banyak gerakan-gerakan dari kaum perempuan yang menuntut
hak-hak mereka supaya disamakan dengan kaum laki-laki. Pada gerakan
feminisme generasi kedua muncul pemikiran dari para pefeminis radikal
yang beberapa dari mereka lebih cenderung pada androgini, menekankan
pada semua jenis hubungan seks (heteroseksual, lesbian, atau otoerotik),
dan memandang teknologi pembantu reproduksi, dan juga teknologi lama
pengendali reproduksi, sebagai anugerah mutlak bagi perempuan.
Perempuan berhak mengkontrol dan mengambil alih kendali kekuasaan
yang selama ini didominasi oleh laki-laki. Menurut Rosemarie Tong,
perempuan dalam pemikiran feminis radikal berhak menentang budaya
patriarkal yang menggunakan peran gender secara kaku dengan
mengklaim dan memastikan bahwa perempuan tetap pasif (“penuh kasih
sayang, penurut, tanggap terhadap simpati dan persetujuan, ceria, baik
dan ramah”) dan laki-laki tetap aktif (“kuat, agresif, penuh rasa ingin
39
tahu, ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab, orisinil, dan
kompetitif”). Karena itu, cara bagi perempuan untuk menghancurkan
kekuasaan laki-laki yang tidak layak atas perempuan, adalah dengan
pertama-tama menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk
menjadi pasif, seperti juga laki-laki tidak ditakdirkan untuk menjadi
aktif, dan kemudian mengembalikan kombinasi apapun dari sifat-sifat
feminin dan maskulin yang paling baik merefleksikan kepribadian unik
mereka masing-masing (Tong,2006:3,73).
II. 5. 1. Posfeminisme Sebagai Pemikiran Feminis Baru
Pada era feminis gelombang kedua, muncul sebuah pemikiran
feminis baru yang dipahami sebagai perjumpaan kritis dengan patriarki
yang disebut sebagai posfeminisme. Pelabelan pos, mengundang
berbagai pertanyaan, problematika dalam pendefinisiannya, terutama
pada istilah yang dilebelinya. Posfeminisme, dengan demikian juga
mengundang pertanyaan. Pada beberapa decade, posfeminisme yang
merupakan ekspresi kontinu dari tahapan evolusi gerakan feminisme
dipandang sebagai antifeminis. Terutama oleh media dan pers, yang
terus-menerus menggembar-gemborkan semangat posfeminisme sebagai
anti feminisme. Sehingga tak bisa dihindarkan bila pengertian tentang
posfeminisme banyak disumbang oleh media dan pers tersebut. Istilah
posfeminisme bergulir di tengah kesadaran populer pada akhir 1980-an
dan awal 1990-an, seperti dinyatakan oleh Alice bahwa posfeminisme
40
telah memiliki nilai baru, yang sering kali bermusuhan dan diarahkan
terutama kepada feminis. Padahal bila dilihat dari kemunculannya
pertama kali, masih menurut Alice, bahwa posfeminisme tercipta antara
periode tercapainya hak pilih perempuan di Amerika Serikat dan
kebangkitan feminisme “gelombang kedua” selama tahun 1960-an. Hal
ini ditunjukkan oleh keberhasilan perjuangan hak pilih kaum perempuan,
kesempatan menempati ruang public, dan pilihan untuk menggunakan
lebih banyak ruang personalnya (Adlin,2006:228).
Menurut Ann Brooks, salah satu penganjur utama konsepsi
mengenai “posfeminisme” ini adalah Susan Faludi, di dalam bukunya
Backlash (1992). Faludi merujuk pada tulisan Brenda Polan di Guardian
untuk membangun kepercayaan atas klaim yang dibuatnya. Plan
berkeyakinan bahwa posfeminisme merupakan reaksi buruk, karena
menurutnya semua gerakan atau filsafat yang mendefinisikan dirinya
sebagai pos, maka apapun yang datang sebelumnya akan menjadi relasi
yang terikat dan reaktif. Bahkan dalam kebanyakan kasus, gerakan
tersebut juga bersifat reaksioner (Brooks,1997:3).
Yang pada kemudian Faludi pun menegaskan bahwa sementara
media memperkenalkan “reaksi buruk pada khalayak nasional” pada
tahun 1980-an melalui penggunaan istilah “kekurangan pria”, “jam
biologis”, dan “posfeminisme”, kenyataannya pers mengekspresikan
pandangan sebagai antifeminis jauh lebih awal. Faludi beranggapan
bahwa sentiment-sentimen posfeminisme pertama kali dimunculkan,
41
bukan di media tahun 1980-an, melainkan di pers tahun 1920-an.
Dibawah serangkaian kata-kata media, dengan cepat keanggotan
organisasi-organisasi feminis terjungkal, dan kelompok perempuan yang
serta tersisa dengan serta-merta mencela Amandemen Persamaan Hak
atau dengan mudah mengubah diri mereka menjadi klub-klub sosial.
“Eks-feminis” mulai menerbitkan pengakuan kesalahan mereka.
Pendefinisian lainnya tentang posfeminisme adalah kerangka referensi
konseptual yang penting mencakup pertemuan antara feminisme dengan
sejumlah gerakan antifondasionalis lainnya, termasuk posmodernisme,
posrtukturalisme, dan poskolonialisme. Posfeminisme memperlihatkan,
sebagaimana yang dinyatakan Yeatman, “Telah tiba waktunya bagi
feminisme, kematangannya menjadi suatu tubuh teori dan politik yang
percaya diri, merepresentasikan pluralisme dan perbedaan, serta
merefleksikan posisinya dalam hubungannya dengan gerakan filsafat dan
politik yang sama-sama menuntut perubahan” (Adlin,2006:229-230).
Konsep “pos” pun merujuk pada transformasi dan perubahan
yang sedang berlangsung. Sehingga posfeminisme dapat dipahami
sebagai perjumpaan kritis dengan patriarki. Posfeminisme juga
menempati posisi kritis dalam memandang kerangka feminis sebelumnya,
yang pada saat bersamaan melawan secara kritis terhadap wacana
patriarki dan imperialis. Dalam praktiknya, posfeminisme menantang
asumsi-asumsi hegemonik yang dipegang oleh epistemologi feminis
gelombang kedua bahwa penindasan patriarki dan imperialis adalah
42
pengalaman penindasan yang universal (Brooks,1997:2). Pertentangan
dalam pemikiran posfeminisme kepada feminisme yang mengkritisi
pertanyaan yang dihadapi bahwa seberapa jauh feminisme bertemu
dengan perdebatan teoritis kontemporer mengenai posmodernisme dan
postrukturalisme (Brooks,1997:65). Dalam pandangan feminisme,
pembacaan postrukturalis inilah yang memunculkan posfeminisme, aliran
dalam feminisme yang disebut-sebut sebagai feminisme tanpa
membicarakan perempuan. Kenapa demikian? Karena “perempuan”
adalah sebuah pembacaan yang juga mengimplikasikan struktur oposisi
biner, karena ketika kita bicara “perempuan” maka selalu
mengimplikasikan ada oposisinya, yaitu “laki-laki”. Posfeminisme
berfokus pada singularitas, karena dalam singularitas itulah terdapat
tanggung jawab dan keunikan masing-masing nama dalam hidup ini.
Ketika struktur oposisi biner bisa didekonstruksi oleh pembacaan
postrukturalis maka kultur pemikiran yang dipengaruhi oposisi biner,
seperti dikotomi patriarki-matriarki, maskulin-feminin, laki-perempuan
juga bisa dilampaui. Dan oleh karenanya persoalan “marjinalisasi”
perempuan juga terlampaui karena yang ada tinggal singularitas, nama
demi nama (http://www.mail-archive.com/reformasitotal@yahoogroups.
com/msg01513.htm). Layak apabila posfeminis dipandang sebagai
gerakan yang berseberangan dengan feminisme atau bahkan banyak yang
menyebut posfeminisme sebagai gerakan antifeminis karena
43
posfeminisme telah memiliki nilai baru yang seringkali bermusuhan dan
diarahkan terutama kepada para feminis.
Posfeminisme Setelah dipandang sebagai sesuatu yang sinonim
dengan antifeminis, posfeminisme kini dipahami sebagai dasar
pertemuan teoretik antara gerakan feminisme dan anti fondasionalis
seperti posmodern, postrukturialisme, dan poskolonialisme. Teori dan
praktik feminisme telah bergeser dari penekanan teori dominasi ke
diferensi dan heterogenitas. Budaya posmodern di tahun 90-an telah
memperlihatkan kemunculan ikon perempuan baru, yaitu perempuan
yang tangguh, seksi, dan acuh tak acuh, tidak melihat diri sendiri sebagai
korban, dan menginginkan “kuasa.” Singkatnya, mendekonstruksi
women's culture. Menurut pendapat Gadis Arivia dalam sebuah bukunya,
bahwa dalam konteks pop culture (budaya pop), contoh-cotoh ikon
posfeminisme adalah seperti Spice Girl, Madonna, dan lain sebagainya.
Posfeminisme dalam konteks kajian feminisme merupakan istilah yang
dipakai untuk menolak perempuan yang digambarkan sebagai korban,
tidak otonom, dan bertanggung jawab. Penggambaran yang terus-
menerus menjadi korban menggambarkan perempuan yang tidak
memiliki karakter dan kontrol atas hidupnya sendiri (Arivia, 2006:128).
Sosok perempuan posfeminisme digambarkan sebagai sosok
seorang perempuan yang mandiri atau “independent” tetapi juga tetap
membutuhkan sosok laki-laki dalam hidupnya sebagai pelengkap
hidupnya baik secara biologis maupun secara emosional, karena seorang
44
perempuan posfeminis “sadar” bahwa dia merupakan “seorang
perempuan” yang juga menjadi objek seks bagi laki-laki disamping dia
sebagai sosok perempuan mandiri yang dengan kepercayaan diri yang
tinggi yang bisa meraih segalanya (karir, kekayaan, kekuasaan, dan
kejayaan), bukan perempuan mandiri yang tanpa laki-laki seperti
pemikiran feminisme pada umumnya terutama para pefeminis radikal.
Seperti yang dikutip di dalam buku Posfeminisme & Cultural Studies
menanggapi serial Sex In The City. Dimana digambarkan bahwa seorang
Samantha yang merupakan karakter perempuan tangguh dan “memiliki
semuanya” yang berkarir sebagai seorang penulis di salah satu majalah
lifestyle di kota New York dalam salah satu episodenya, mempunyai
kebimbangan dan terhukum oleh dirinya sendiri akibat kepercayaan diri
yang terlalu berlebihan dengan tidak menikah atau mempunyai seorang
kekasih, dia merasa menderita karena tidak ada seorang laki-laki yang
berada disisinya ketika dia membutuhkan sebuah hubungan secara
“biologis” maupun hubungan secara emosional (Brooks,1997:vii).
II. 5. 2. Perempuan Dalam Budaya Pop
Era posmodern di tahun 90-an telah memperlihatkan kemunculan
ikon perempuan baru, yaitu perempuan yang tangguh, seksi, dan acuh
tak acuh, tidak melihat diri sendiri sebagai korban, dan menginginkan
“kuasa.” Singkatnya, mendekonstruksi women's culture. Dalam konteks
45
pop culture (budaya pop), contoh-cotoh ikon posfeminisme adalah
seperti Spice Girl, Madonna, dan lain sebagainya (Arivia, 2006:128).
Kebudayaan pop merupakan budaya massa yang sebenarnya
merupakan istilah yang mengandung nada mengejek atau merendahkan,
istilah ini merupakan pasangan dari high culture (kebudayaan elite atau
kebudayaan tinggi) yang pada perkembangannya akibat media
komunikasi dan teknologi informasi, tidak lagi hanya ditujukan bagi
orang miskin atau kelas bawah (seperti awal terbentuknya), melainkan
merata pada setiap lapisan yang dikhawatirkan menggilas semuanya dan
menjadi satu-satunya “kebudayaan” yang menguasai semua bangsa di
dunia. Dalam artian, semua kebudayaan akan diseragamkan oleh
kebudayaan massa atau biasa disebut budaya pop (Ibrahim,1997:6).
Dalam sebuah kajian budaya sendiri menegaskan bahwa
penciptaan budaya pop („praktik produksi‟) bisa menentang pemahaman
dominant terhadap dunia serta menjadi pemberdayaan bagi mereka yang
subordinat. Namun, bukan berarti bahwa budaya pop selamanya
memberdayakan dan menentang. Menyangkal pasivitas konsumsi bukan
berarti menampik bahwa kadangkala konsumsi itu pasif; mengingkari
bahwa kensumen budaya pop bukan korban penipuan budaya bukan
berarti menyangkal bahwa sekali waktu kita semua bisa menjadi korban
penipuan. Melainkan ini berarti menolak bahwa budaya pop sama sekali
tak lebih daripada budaya yang terdegradasi, yang berhasil ditimpakan
46
dari atas, untuk meraup keuntungan dan menjamin control ideologis
(Storey, 2007:7).
Perempuan “pop” yang hidup pada era posmodernisme dan
konsumerisme, adalah perempuan yang “beresiko” terjebak sebagai
“korban” sebuah komodifikasi suatu gaya hidup dengan simbol
“kemewahan, kekayaan, dan kesuksesan.” Bre Redana menguraikan
narasi kondisi masyarakat “konsumerisme” yang dikontrol oleh gaya
hidup sebagai sebuah tuntutan “zaman”, bahwa pada era sekarang (era
posmodernisme dan konsumerisme) tengah terjadi “perang” besar-
besaran, semboyan besar-besaran, untuk mendewakan kekuatan materi,
kekuatan uang, perpacuan bukan saja untuk menjadi kaya, tetapi juga
bagaimana tampil dan dihormati sebagai orang kaya (Ibrahim,1997:141).
Dalam artian, kebudayaan pop di era posmodern menampilkan sebuah
kecenderungan baru akan sebuah “gaya” yang dikultuskan dan dipuja
sebagai sebuah kebutuhan, bukan lagi sebagai sebuah keinginan.
Masyarakat dalam era posmodern memandang bahwa pencitraan atau
“image” sangatlah penting. Seperti halnya seorang perempuan “pop”,
telah terjadi pergeseran orientasi atau nilai-nilai yang menciptakan
sebuah pencitraan diri. Sebagai suatu contoh, bahwa bila zaman dahulu
seseorang bisa mendapatkan uang karena status, maka zaman sekarang
seseorang bisa mendapatkan sebuah status karena uang
(Ibrahim,1997:193).
47
II. 5. 3. Perempuan, Kekuasaan, Posfeminisme, dan Foucauldian
Penggambaran “tangguh” dan “serba lebih” dari perempuan
menunjukkan adanya keinginan untuk berperan dalam banyak hal,
terutama di ruang publik. Singkatnya, seorang perempuan tidak ingin
menjadi marjinal ataupun inferior lagi, tetapi “mereka” menginginkan
sebuah pengakuan dan perlakuan sebagai sebuah dominasi atau superior,
bukan lagi sebagai subordinasi. Pemikiran feminis yang masih
menganggap patriarki sebagai penyebab utama dari ketidak adilan
gender dianggap belum cukup untuk memperjuangkan hak-hak
perempuan. Pemikiran feminis masih menganggap perempuan masih
diposisikan sebagai kaum yang dirugikan dan sebagai korban dari
patriarki. Perjuangan menjadi “a super woman” dari feminisme,
mendapat pandangan baru sebagai jalan lain dari perjuangan
perempuan. Untuk itulah pemikiran posfeminisme muncul sebagai jalan
lain dalam gerakan perempuan. Posfeminsme menganggap bahwa
pemikiran feminis terlalu berlebih dalam memperjuangkan perempuan
dengan hak-haknya. Seperti pendapat Ann Brooks, Alice dalam bukunya
mengatakan bahwa mungkin pesan paling persuasif bagi posfeminisme
populer bahwa feminisme telah mendorong perempuan untuk
menginginkan terlalu banyak. Posfeminisme ditawarkan sebagai pelarian
dari beban “perempuan super” dalam rangka memenuhi citra sukses
kaum feminis.(Brooks,1997:5). Atau dengan kata lain, posfeminisme
memberikan wacana baru dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.
48
Seorang perempuan tidak perlu untuk menjadi “laki-laki” seperti pada
pemikiran feminisme radikal dalam artian bahwa perempuan tidak perlu
“bermaskulinitas” untuk suatu persamaan hak, dengan
“keperempuanan” yang dia miliki, dia bisa merasakan hak yang sama
dengan apa yang didapatkan laki-laki. Wacana posfeminis tidak begitu
menghiraukan sistem patriarki seperti yang dianggap oleh pemikiran para
feminis. Dengan menggunakan sebuah feminitas yang melekat dalam
dirinya, seorang perempuan dapat sama berhak meraih apa yang dimiliki
oleh para “laki-laki”, yaitu kekuasaan. Menurut wikipedia, kekuasaan
adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi
tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari
pelaku, atau dengan kata lain kekuasaan merupakan kemampuan
mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan
kehendak yang mempengaruhi(http://id.wikipedia.org/wiki/Kekuasaan).
Audifax menjelaskan dalam sebuah bukunya, bahwa menurut
Foucault, kekuasaan itu terlaksana bukan pertama-tama melalui
kekerasan atau hasil persetujuan, melainkan melalui struktur tindakan
yang menekan dan mendorong munculnya tindakan-tindakan lain melalui
rangsangan, persuasi atau bisa juga melalui paksaan dan larangan.
Kekuasaan bukan instisusi, dan bukan struktur, bukan pula kekuatan yang
dimiliki; tetapi nama yang diberikan pada situasi strategis kompleks
dalam suatu masyarakat. Kekuasaan ada dimana-mana; tetapi bukan
49
berarti mencakup semua; melainkan kekuasaan datang dari mana-mana
(Audifax, 2006:227).
Dalam stereotip klasik, perempuan dan dimensi feminin tidak
mencantumkan gagasan kekuasaan. Umumnya stereotip perempuan
meliputi kesimpatikan, kepekaan terhadap kebutuhan sesama,
memahami, merawat, hangat, lembut, ramah, setia, dan tidak berbicara
kasar. Sedangkan gagasan kekuasaan menurut konsep Barat meliputi
ketegaran dan keperkasaan. Akibatnya, menjadi wajar jika dalam budaya
Barat secara tradisional perempuan tidak memikirkan kekuasaan dalam
diri mereka sebagaimana laki-laki mendefinisikan kata tersebut. Kualitas
feminin justru sangat berlawanan dengan definisi tradisional kekuasaan
(Handayani-Novianto,2004:168).
Ketika banyak bentuk feminisme mengikat diri pada suatu
organisasi massa perempuan, disatukan oleh penindasan yang sama dan
pergulatan yang sama melawan patriarki, Foucault akan berpendapat
bahwa bahkan jika gerakan massa yang demikian mungkin terjadi,
mereka tidak mungkin merupakan bentuk paling efektif bagi perubahan.
Seperti Grosz menyatakan, kelompok yang lebih kecil dengan baik
memposisikan sebagai militant mungkin lebih berhasil dalam mengubah
secara efektif daripada organisasi dengan skala besar. Foucault mengakui
pentingnya hubungan antara bentuk lokal dan global dari kuasa. Seperti
yang dinyatakannya, “ yang lokal dan yang global secara bersamaan
mengkondisikan satu sama lain....Tidak ada bentuk kuasa lokal yang
50
dapat menjaga dirinya sendiri untuk waktu yang lama tanpa konteks
global yang lebih luas melampaui penjajaran” (Brooks,1997:86).
Foucault mengandaikan bahwa kekuasaan itu banyak dan
tersebar serta tidak mengacu pada satu sistem umum dominasi oleh
seseorang atau suatu kelompok terhadap yang lain, tetapi menunjuk
pada beragamnya hubungan kekuasaan. Kekuasaan dipahami bukan
dalam keterpusatan satu titik atau satu sumber otoritas, namun berasal
dari adanya perbedaan dalam hubungan (Audifax, 2006:227).
Kekuasaan bukan hanya dimiliki oleh laki-laki, karena sebuah
kekuasaan bersifat jamak yang bisa dimiliki oleh siapapun dan bukan
milik yang “itu-itu” saja. Menurut Ann Brooks dalam bukunya, Foucault
secara implisit menggugat gagasan bahwa laki-laki memiliki kuasa atas
perempuan. Sebagaimana ditunjukkan oleh Ransom, teori kuasa ini
menyokong pluralisme Foucault; kuasa dipahami bersifat plural, tidak
bekerja pada “lintasan tunggal” atau dengan referensi pada pertanyaan
tertentu. Foucault memahami kuasa sebagai “bersifat kapiler” menyebar
melalui wacana, tubuh, dan hubungan di dalam metaphor suatu jaringan
(ibid.). Foucault mengakui pelaksanaan kuasa laki-laki atas perempuan,
tetapi menolak bahwa laki-laki memegang kuasa. Ramazanoglu dan
Holland menyatakan bahwa terdapat analisis yang tidak memadai
terhadap garis tengah relasi kuasa, misalnya antara politik-mikro
kehidupan sehari-hari dan konsolidasi yang sangat kukuh dari privilese
laki-laki dalam keseluruhan kehidupan sosial. Foucault sendiri
51
menyatakan bahwa cara di mana kuasa bekerja dan dijalankan sangat
sedikit dipahami. Dia menyarankan untuk memusatkan pada teknik
tertentu dari kuasa untuk menunjukkan bagaimana mereka yang
berkuasa mengambil keputusan tertentu (Brooks,1997:85).
Cinta dalam pengertian kekasih sebenarnya merupakan sensasi
erotis yang timbul dari drive untuk penyatuan. Drive ini berasal dari
hasrat yang timbul akibat keterpisahan yang dialami manusia.
Kekosongan atau jeda dalam relasi pandangan, di mana manusia mengisi
jeda itu dengan pelbagai pemaknaan. Suatu kondisi yang lebih
merupakan inderstanding ketimbang understanding, karena begitu
banyak yang “stand between” dalam kekosongan itu. Cinta lantas
menjadi salah satu episode bahasa yang menurut Barthes selalu merujuk
pada “sensasi akan kebenaran.” Manusia yang mengalami dalam
memikirkan cintanya, karena ia percaya ialah satu-satunya yang bisa
melihat objek yang dicintainya “dalam kebenaran.” Sisi lain dari
fenomena ini adalah penilaian mengenai apa yang baik dan pengetahuan
yang dimiliki: hanya aku yang tahu dia, hanya aku yang membuatnya
eksis sebagai kebenaran. Hanya dengan orang lain aku bisa merasakan
diriku sendiri. Pada titik ini pameo “cinta adalah buta” adalah salah.
Cinta membuka mata lebar-lebar, cinta memproduksi penglihatan jernih:
“Saya memiliki dirimu, segalanya tentangmu, sebagai pengetahuan
absolut. Kamu menguasai segalanya dariku tetapi aku memiliki
pengetahuan atasmu.” Ini berarti cinta di satu sisi menjebak dalam
52
kekuasaan, namun disisi lain ia juga membuka pengetahuan baru,
memberi nilai baru dalam kehidupan (Audifax, 2006:234).
Analisis Foucauldian, bagi kebanyakan pluralis feminis,
memberikan kerangka untuk mengenali dan mengartikulasikan
perbedaan dan kesamaan. Feminisme dengan demikian, diterjemahkan
menjadi “feminisme-feminisme” atau “posfeminisme” dan menjadi,
seperti Ransom menunjukkan, dalam serangkaian strategi diskursif
subversif di antara yang lainnya, yang diidentifikasi oleh Foucault
sebagai “pemberontakan dari pengetahuan yang ditaklukkan.”
Sebagaimana Hartsock mencatat, hal ini menyajikan, menurut Foucault,
satu-satunya bentuk pengetahuan radikal yang bersifat potensial atau
aksi politik dalam dunia kontemporer (Brooks,1997:99).
II. 5. 4. Kekuasaan Dapat Diraih Dengan “Cantik” Secara Tubuh
Tidak bisa dipungkiri bahwa secara genetikal atau fisik, seorang
perempuan itu sangatlah menarik. FIsik seorang perempuan memang
diciptakan dengan sangat indah oleh Tuhan sehingga dapat membuat
rasa ketertarikan bagi siapapun yang melihatnya. Entah ketertarikan
secara alamiah berupa pujian tentang keindahan tubuhnya dari sesama
perempuan, ataukah laki-laki. Begitu juga bagi yang tertarik secara
seksual. Tak bisa dihindari bahwa perempuan dimana-mana selalu
menjadi objek seks bagi laki-laki, terutama di dalam media. Iklan
contohnya, iklan sebagai bagian dari bisnis komersial adalah komoditas
53
yang fungsinya menjual komoditas. Banyak jenis komoditas dijual
melalui seksualitas dan tubuh perempuan. Dengan demikian komodifikasi
itu pada akhirnya bermuara pada komodifikasi tubuh dan seksualitas
perempuan (Prabasmoro,2006:303). Maka tak layak dalam adat Timur
bahkan mungkin adat Barat, seorang perempuan diwajibkan berhati-hati
terhadap “auratnya”. Karena dengan terbukanya bagian-bagian tubuh
perempuan yang seharusnya tertutup maka perempuan bisa menjadi
objek seks yang dilecehkan oleh laki-laki. Oleh karena itu dalam
perbedaan gender oleh patriarki, penempatan perempuan menjadi kanca
wingking bagi laki-laki untuk menjaga kehormatan keluarga dengan tidak
melibatkan perempuan dalam aktivitas di ruang publik. Perempuan
hanya ditempatkan di ruang privat hanya sebatas rumah dan keluarga,
karena takut anggota keluarga perempuan dilecehkan oleh laki-laki di
luar lingkungan rumah dan keluarga. Dari hal tersebutlah yang ditentang
oleh para feminis, bahwa menjadi perempuan secara tubuh bukanlah
pilihan, melainkan kodrat. Cantik mempunyai banyak definisi, karena
cantik dilihat dari banyak “mata” dan sudut pandang yang berbeda bagi
setiap orang. Secara tidak sadar bahwa perempuan yang menjadi objek
seks karena “aurat” yang cantik, yang membuat laki-laki jatuh bertekuk
lutut pada perempuan. Dan kekalahan laki-laki pada kecantikan “tubuh”
perempuan secara tidak langsung menimbulkan kuasa dalam diri
perempuan atas laki-laki. Banyak contoh seperti, seorang Julius Caesar
54
yang jatuh hati pada kecantikan Cleopatra, Ken Arok jatuh cinta pada
Ken Dedes yang konon sangat cantik, dan lain sebagainya.
Seperti yang diceritakan oleh Aquarini Priyatna Prabasmoro
tentang menjadi perempuan dengan tubuh :
“Ketika saya besar dan mulai mengendarai mobil sendiri. Saya tidak dapat mencuci mobil sendiri di depan rumah kecuali saya yakin kakek tua tetangga di depan rumah sedang tidak ada di rumah. Seperti banyak orang yang saya temui, dia pun memastikan bahwa saya tidak “memamerkan” gerakan-gerakan tubuh saya dengan mencuci mobil. Mungkin ada gerakan-gerakan erotis ketika seorang perempuan mencuci mobil dan dia khawatir ada yang memerhatikan saya berjinjit untuk mencapai atap mobil, membungkuk, berjongkok, atau bergetar-getar
ketika saya menyikat dan mengelap atau berbasah-basah terkena cipratan air. Apapun alasannya, tubuh saya kemudian belajar berdisiplin untuk tidak terlalu banyak bergerak. Dan ini yang saya tahu belakangan. Saya tidak seharusnya banyak bergerak apalagi jika gerakan-gerakan itu dicurigai dapat menggugah hasrat laki-laki.” (Prabasmoro,2006:78)
Ketika Foucault mengatakan bahwa kekuasaan justru bisa lahir
dari dalam tubuh, maka kekuasaan juga dapat eksis dalam cinta,
pemikiran dan peran. Ketika kekuasaan eksis dalam tubuh, maka
menjadi masuk akal ketika manusia lahir ke dunia, maka saat itulah dia
terjebak terjebak dalam kekuasaan tubuh yang menifes dalam segala
keterbatasannya. Keterbatasan-keterbatasan inilah yang kemudian
diperkuat oleh budaya dalam suatu masyarakat, sehingga muncul tubuh-
tubuh tertentu yang di-sub-ordinasi (Audifax, 2006:229).
Kecantikan, tubuh, dan seks merupakan “setali tiga uang” yang
tidak dapat dihindari oleh siapapun yang bernyawa di muka bumi ini.
55
Membicarakan masalah kecantikan tentu tak hanya berbicara tentang
“inner beauty”, tetapi juga kecantikan secara fisik yang dianalogikan
berbeda-beda tergantung dari sudut pandang dan selera setiap orang.
Termasuk keindahan tubuh yang merupakan bagian dari “partikel-
partikel” dari kecantikan secara fisik. Kecantikan tubuh dan seksualitas
mempunyai hubungan yang erat. Seorang yang tertarik pada “lawan
jenisnya” yang lain secara fisik tentu tak pernah lepas dari seks dan
seksualitas. Wacana seks dan seksualitas sendiri tampaknya bersifat
taksa dan ambivalen. Seks memancarkan daya tarik yang sedemikian
kuat sehingga dapat menciptakan ketakutan tetapi pada saat yang sama
melahirkan rasa ingin tahu. Pembicaraan tentang seks kemudian
bergerak antara keinginan untuk menyalurkan hasrat dan usaha untuk
mengekangnya. Ketaksaan dan ambivalensi itu kemudian sering ditujukan
kepada perempuan. Selain lirik lagu, “Wanita dijajah pria sejak dulu,
dijadikan perhiasan sangkar madu. Namun ada kala pria berkuasa, tekuk
lutut di sudut kerling wanita” merefleksi hasrat terhadap perempuan dan
pada saat yang sama ketakutan akan kekuatan (seksual) perempuan.
Pancaran antara keinginan dan ketakutan itu terutama terasa dalam
banyak etik, tabu dan mitos yang berkenaan dengan seks dan seksualitas,
salah satunya mitos keperawanan. Dengan ambivalensi itu, tubuh
perempuan serta hasrat yang hidup di dalam serta melaluinya juga
dimaknai sebagai “monster.” Tubuh perempuan menjadi vagina dentata,
sebuah gerbang perempuan yang lembut, sensual dan menggoda tetapi
56
penuh dengan gigi gerigi yang siap menerkam dan menghabisi apa dan
siapapun yang tergoda untuk memasukinya. Vagina dentata
menyimbolkan ambivalensi laki-laki terhadap seksualitas perempuan.
Tetapi lebih dari itu, vagina dentata adalah simbol ketakutan laki-laki
akan “keliyanan” perempuan yang diciptakannya sendiri. Sigmund Freud
yang “menemukan” teori ini mengklaim bahwa vagina dentata adalah
ketakutan universal yang bersembunyi di dalam ketidak sadaran setiap
laki-laki. Vagina dentata juga merepresentasi ketakutan kehilangan diri
(laki-laki) terisap oleh kekuatan yang tidak dikenal, yang penuh lorong
dan gelap; tubuh dan seksualitas perempuan. Selain itu, karena seks dan
seksualitas adalah suatu konstruksi, maka seks dan seksualitas bukanlah
wacana mengenai tubuh dan keinginan atau kebutuhan biologis semata,
melainkan juga merupakan wacana mengenai kekuasaan. Melalui slogan
feminis yang dikembangkannya, Kate Millett berargumentasi bahwa
bahkan hal yang sangat pribadi sesungguhnya tidak sungguh-sungguh
pribadi. Lebih dari itu, bahkan wacana seksual adalah wacana politis
(sexual is political). Menurutnya, seksual politik mencakup sosialisasi
baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki ke dalam kategori yang
berhubungan dengan temperamen, peran, dan status
(Prabasmoro,2006:291-292).
57
II. 5. 5. Kekuasaan, Madonna, Dan Politik “Material Girl”
Perempuan yang hidup pada era posmodernisme dan
konsumerisme, adalah perempuan yang “beresiko” terjebak sebagai
“korban” sebuah komodifikasi suatu gaya hidup dengan simbol
“kemewahan, kekayaan, dan kesuksesan.” Bre Redana menguraikan
narasi kondisi masyarakat “konsumerisme” yang dikontrol oleh gaya
hidup sebagai sebuah tuntutan “zaman”, bahwa pada era sekarang (era
posmodernisme dan konsumerisme) tengah terjadi “perang” besar-
besaran, semboyan besar-besaran, untuk mendewakan kekuatan materi,
kekuatan uang, perpacuan bukan saja untuk menjadi kaya, tetapi juga
bagaimana tampil dan dihormati sebagai orang kaya (Ibrahim,1997:141).
Menyoroti sosok Madonna sebagai pop icon yang “sukses” dan
menjadi semacam “influence” bagi banyak perempuan posfeminis yang
hidup di era posmodernisme dan konsumerisme saat ini, Ann Brooks
berpendapat dalam bukunya, bahwa tingginya ukuran kesuksesan
Madonna sebagai suatu “fenomena posmodern” menyoroti saling
pengaruh antara posmodernisme dan konsumerisme, dan identitas
transformatifnya dapat dipahami pada tingkatan materialitas dan
simulasi. Pada tingkatan material, kemampuan Madonna untuk
memasarkan dirinya sendiri dan untuk mengakomodasi “pasar kapitalis
akhir” menunjukkan kebutuhan permintaan “industri media, kecantikan,
dan musik” bagi fleksibilitas dalam keperluannya atas respons “tak
autentik dan reinvesionis” bagi strategi pemasaran. Tetzlaff
58
menguraikan narasi “metatekstual” dari “material girl” yang
menegksplorasi bagaimana kuasa adalah “persoalan material” dan
dihubungkan dengan sukses Madonna. Masih menurut Ann Brooks,
Pribram mengambil konsep posmodernis tentang “simulasi” dan
“bujukan” sebagaimana dikembangkan di dalam karya Jean Baudrillard.
Dia menentang materialitas kritik “realis” terhadap Madonna dan
mengklaim bahwa penggunaan “teknik bujukan yang disimulasikan” oleh
Madonna mengungkap “ukuran luas kontrol atas citranya sendiri”(ibid.).
(Brooks,1997:228). Namun sebuah “bujukan yang disimulasikan” dalam
sebuah industri media, kecantikan, seks, musik, maupun teks yang
merupakan sebuah pertunjukan “budaya” yang diciptakan oleh seorang
Madonna selalu mengungkap ukuran luas kontrol atas citra dirinya
dengan bukti kesuksesan dalam setiap penjualan album, pertunjukan,
film, dan penyebaran budaya pop, dengan citra diri seorang Madonna
yang dianggap sebagai citra diri perempuan posmodern mampu untuk
“membujuk umatnya” untuk mengikuti dan menjadikannya sebagai
inspirasi untuk menyuarakan kebebasan sebagai seorang perempuan era
posmodern.
Mandzuik berpendapat bahwa teks Madonna secara konstan
menyamakan kenikmatan dengan kuasa dan seksualitas dengan kontrol.
Dia mencatat bahwa tuntutan Madonna bahwa kebebasan personal dan
seksualitas memiliki hubungan yang tidak bisa dipisahkan merupakan
bagian dari perdebatan yang lebih luas tentang artikulasi politik dalam
59
teori feminis kontemporer. Mandzuik menyatakan bahwa “Madonna
adalah representasi perjuangan teoretis feminisme yang tepat untuk
sampai pada pengertian tentang persimpangan antara citra budaya dan
praktik politik” (Brooks,1997:229).
Fenomena Madonna, adalah ikon dalam semangat membalik
poskolonial. Kapitalisme dan tubuhnya ia gunakan untuk menjadi
kekuasaannya. Di sini Madonna sebagai tubuh perempuan tidak lagi
menjadi korban eksploitasi, ia mengeksploitasinya untuk menjadi
kekuasaan menundukan wacana yang tidak membebaskan perempuan
meraih diriya sendiri. Madonna adalah imaji atas dirinya sendiri, yang
dapat memperlihatkan gender dan seksualitas kepada generasi pada
waktu itu. Kebangkitan popularitasnya sejak 1980-an dengan smash hit
lagunya Like A Virgin dan Material Girl di awal 90-an merupakan
transformasi lambang tentang “kesadaran diri” atas kebingungan gender.
Penggemarnya yang kebanyakan perempuan, dan kritik-kritik
terhadapnya menjadi intelektual, bahkan banyak membawa studi
tentang gender, seksualitas dan media massa. Madonna menjadi simbol
perempuan dalam post-gender. Semangat membalik Madonna menjadi
semangat post dan menjadi contoh penting dalam melihat persoalan seks
perempuan di tengah perlawanan dan kehadirannya. Gerakan-gerakan
post memang menjadi kontroversial karena tidak sealur dengan standar
nilai masyarakat dan agama, kemunculannya sering mengejutkan dan
awalnya akan dianggap sebagai kehadiran yang melenceng. Namun bila
60
dipahami dan dipelajari lebih dalam, pemahaman post termasuk
postkolonial sesungguhnya melengkapi perlawanan kolonialisme itu
sendiri(http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/postcolo
nial.html). Secara kesimpulan, bahwa seorang perempuan seperti
layaknya Madonna, dalam konteks perempuan posmodern, menginginkan
sebuah kekayaan yang merupakan ujud dari “kekuasaannya” yang
didapatkan dari “kecerdasannya” dengan mengeksploitasi “kecantikan”
sebagai citra dirinya.
II. 6. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir penelitian ini tidak terlepas dari metode
semiotik Ferdinand De Saussure untuk menginterpretasikan makna lirik
lagu ”Pria Dijajah Wanita” oleh grup band indie Kaimsasikun pada album
”Kaimsasikun.” Metode semiotika yang digunakan didalam penelitian ini
bersifat deskriptif kualitatif-interpretatif (interpretation), penelitian ini
akan mendekonstruksi tanda – tanda dengan menggunakan dikotomi-
dikotomi dari Saussurean, yaitu pandangan tentang signifier (penanda)
dan signified (petanda); langue (bahasa) dan parole (ujaran); serta
syntagmatic (sintagmatik) dan associative (paradigmatik). Yang
kemudian hasil dari pandangan Sussurean tersebut akan ditafsirkan
dengan teori perspektif gender, feminisme dan posfeminisme, dan
wacana kekuasaan perempuan. Dan pada akhirnya, akan menghasilkan
suatu interpretasi berupa muatan pesan yang terkandung dari hasil
61
“pembongkaran” dalam lirik lagu ”Pria Dijajah Wanita” oleh grup band
indie Kaimsasikun pada album ”Kaimsasikun.”
62
Bab III
METODE PENELITIAN
III. 1 Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Artinya data
yang digunakan merupakan data kualitatif (data yang tidak terdiri atas
angka-angka) melainkan berupa pesan-pesan verbal (tulisan ) yang
terdapat pada lirik lagu “Pria Dijajah Wanita” oleh Band Indie
Kaimsasikun dalam album “Kaimsasikun.” Data-data kualitatif tersebut
berusaha diinterpretasikan dengan rujukan, acuan, atau referensi-
referensi secara ilmiah.
Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif ini di
gunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan
metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan
ganda; kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat peneliti
dan yang di teliti ; dan ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat
menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama
terhadap pola – pola yang di hadapi (Moleong, 2002:5)
Metode semiotika yang digunakan didalam penelitian ini bersifat
deskriptif kualitatif-interpretatif (interpretation), penelitian ini akan
mendekonstruksi tanda – tanda dengan menggunakan dikotomi-dikotomi
dari Saussurean, yaitu pandangan tentang signifier (penanda) dan
signified (petanda); langue (bahasa) dan parole (ujaran); serta
63
syntagmatic (sintagmatik) dan associative (paradigmatik). Melalui
pandangan dari Saussurean itulah baru kemudian dijelaskan lewat
penafsiran dengan menggunakan teori perspektif gender, teori
feminisme dan posfeminisme, dan teori–teori wacana kekuasaan
perempuan. Yang pada akhirnya kemudian dapat ditarik suatu makna
yang sebenarnya dari lirik lagu tersebut. Sesuai dengan „paradigma‟
konstruktivisme, analisis semiotika bersifat kualitatif, jenis penelitian ini
memberi peluang besar bagi dibuatnya interpretasi - interpretasi
alternatif (Sobur, 2001:147).
Metode semiotika ini adalah sebuah metode yang memfokuskan
dirinya pada tanda dan teks sebagai objek kajiannya, serta bagaimana
peneliti menafsirkan dan memahami kode (decoding) dibalik tanda dan
teks tersebut (Piliang, 2003:270). Penggunaan semiotika sebagai metode
pembacaan didalam berbagai cabang keilmuan dimungkinkan, oleh
karena ada kecenderungan dewasa ini untuk memandang berbagai
diskursus sosial, politik, ekonomi, budaya, dan seni sebagai fenomena
bahasa. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktek sosial
dianggap sebagai fenomena bahasa, maka ia dapat pula dipandang
sebagai tanda (Piliang, 2003:257).
Dengan semiotika kita berurusan dengan tanda , dengan tanda –
tanda kita mencoba mencari keteraturan ditengah dunia yang centang -
perenang ini, setidaknya agar kita mempunyai pegangan. “Apa yang
dikerjakan oleh semiotika adalah mengajarkan kita bagaimana
64
menguraikan aturan –aturan tersebut dan „membawanya pada sebuah
kesadaran” (Sobur, 2003:16).
III. 2 Kerangka Konseptual
III. 2. 1 Unit Analisis
Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanda-
tanda berupa tulisan, yang terdiri atas kata-kata yang membentuk
kalimat yang ada pada lirik lagu “Pria Dijajah Wanita.”
III. 2. 2 Korpus penelitian
Korpus adalah sekumpulan bahan yang terbatas yang ditentukan
pada perkembangannya oleh analisis dengan semacam kesemenaan,
bersifat sehomogen mungkin (Kurniawan, 2001:70). Korpus atau data
yang dikumpulkan berujud tulisan. Pada penelitian ini yang menjadi
korpus adalah lirik lagu yang berjudul “Pria Dijajah Wanita” oleh Band
Indie Kaimsasikun dalam album “Kaimsasikun.”
Alasan pengambilan lagu diatas sebagai korpus adalah
dikarenakan dalam lagu tersebut dalam liriknya terdapat penggambaran
seorang perempuan yang dapat mencapai kuasa atas laki-laki, sementara
stereotipe yang berkembang dalam masyarakat patriarki berpendapat
bahwa perempuan merupakan subordinasi yang tidak berhak atas kuasa
apapun. Dan berikut adalah lirik lagu “Pria Dijajah Wanita.”
65
“PRIA DIJAJAH WANITA”
Terpujilah kamu, di mata hatinya
Bibirmu yg manis, sepenuhnya bisa
Masihkah dia, kau peras darahnya
Wajahmu yg manis, sesatkan jiwa
Reff : Harta, kau buta karnanya
Kau anggap semua sama
Pria dijajah wanita
Wanita seperti kamu
Tak berbisa layaknya
Wajahmu yg manis
Namun kau sadis
Akhiri semua
Sadarkan dirimu
Bila kau memang wanita
III. 2. 3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data didalam penelitian ini berasal dari data primer
dan sekunder:
1. Data primer, Korpus atau data yang dikumpulkan oleh peneliti,
berujud tulisan yaitu lirik lagu yang berjudul “Pria Dijajah
Wanita”. Data primer diperoleh melalui lirik lagu yang terdapat
66
dalam cover CD Album Kaimsasikun, yang kemudian ditulis
kembali oleh peneliti untuk dijadikan sebagai bahan penelitian.
2. Data sekunder berasal dari bahan – bahan referensi seperti buku,
artikel – artikel, internet yang berhubungan dengan objek kajian
yang diteliti.
III. 3 Analisis Data
Pertama, data yang telah dikumpulkan dan dideskripsikan.
Kedua, dilakukan "pembongkaran” dari lirik lagu tersebut dengan
menggunakan pandangan dari Saussurean, yaitu dikotomi-dikotomi dari
Saussurean tentang signifier (penanda) dan signified (petanda); langue
(bahasa) dan parole (ujaran); serta syntagmatic (sintagmatik) dan
associative (paradigmatik) untuk mencari tahu makna yang terkandung
dalam lirik lagu tersebut menurut pandangan Saussurean.
Yang kemudian dari dikotomi-dikotomi Sussurean tersebut akan
dijelaskan lewat penafsiran dengan menggunakan teori perspektif
gender, teori feminisme dan posfeminisme, dan teori–teori wacana
kekuasaan perempuan. Analisis atau penafsiran tanda-tanda komunikasi
digunakan sebagai upaya untuk menguak makna dibalik lirik lagu
tersebut. Dengan cara, menganalisa lirik lagu “Pria Dijajah Wanita”
dengan menggunakan teori-teori tersebut untuk dapat mengetahui
bagaimana seorang perempuan dapat berkuasa atas laki-laki seperti yang
digambarkan dalam lirik lagu tersebut, apa yang menjadi dasar
67
pemikiran perempuan tersebut, apa hubungannya dengan feminisme dan
posfeminisme, apa yang menjadi tujuan dari kekuasaan yang dia miliki,
dan dengan cara apa dia melakukan kuasa terhadap laki-laki yang
”ternyata” merupakan kekasihnya sendiri. Dari penafsiran-penafsiran
tersebut kemudian dapat ditarik suatu makna yang sebenarnya dari lirik
lagu “Pria Dijajah Wanita” oleh Band Indie Kaimsasikun dalam album
“Kaimsasikun.”
68
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. 1 Gambaran Umum Objek Penelitian
IV. 1. 1 Kaimsasikun Sebagai Band Indie
Band-band indie dikenal lewat lagu-lagunya yang tidak mengikuti
selera pasar. Mereka cenderung menciptakan sebuah lagu menurut
keinginan mereka sendiri tanpa ada campur tangan pihak lain yang dalam
hal ini merupakan pihak label atau perusahaan rekaman. Para
“pemainnya” lebih mengutamakan sebuah idealisme dalam bermusik
daripada “mengkomersialkan” lagu-lagunya. Berdasarkan Wikipedia,
yang dimaksud dengan independent atau indie di sini adalah tidak terikat
atau tidak adanya campur tangan dalam perusahaan rekaman komersil
atau biasa disebut major label, baik dalam proses penciptaan ide dan
kreativitas, produksinya, maupun secara finansial atau masalah keuangan
seperti pembagian royalti (http://en.wikipedia.org /wiki/Indie_(music)
#Definitions_of_.22indie.22).
Sebuah band indie mempunyai cara tersendiri dalam
memperkenalkan lagunya untuk dapat didengar oleh masyarakat, mulai
dengan mengcopy hasil rekaman untuk dapat dijual kepada masyarakat,
membiarkan lagu mereka dibajak oleh masyarakat luas dengan dalih
supaya musik mereka dapat diterima oleh “telinga” banyak orang tanpa
memperdulikan hasil royalti yang mereka dapat, sampai
69
mendistribusikan lagu-lagunya lewat internet. Pada perkembangannya
saat ini banyak dari para band indie lebih menggunakan sarana internet
sebagai jalur pendistribusian dari lagu-lagunya sekaligus mempromosikan
ke-eksisan mereka dalam dunia musik. Salah satunya melalui situs
www.myspace.com. Ada orang-orang yang aktif dibelakang profile-
profile Social Network seperti myspace, friendster, dan lain-lain.
Memanfaatkan media internet alternatif sebagai alat bantu distribusi
adalah mutlak bagi musisi atau band pendatang baru atau yang
memutuskan untuk tetap di jalur Indie pada saat ini
(http://www.saylows.com/category/indie/).
Salah satu band indie yang berada di Indonesia adalah
Kaimsasikun. Di tengah gelombang munculnya band-band indie,
Kaimsasikun hadir lewat album perdananya yang mengusung single “Pria
Dijajah Wanita.” Kaimsasikun kedengarannya aneh, namun dengan nama
ini M Ferry Sanny Ismail (bas), Ian JS (vokal), Zulkarnaen Aldino Tayeb
(gitar), Narendra Gautama (drummer), dan Pandu Gantoro Robby (gitar)
memantapkan diri untuk memasuki industri musik dalam negeri. Dengan
harapan musik yang mereka usung dapat ikut mewarnai genre rock
alternatif. Kelompok ini terdiri dari empat pemuda asal Bali dan satu
asal Bandung, yakni Pandu. Impian mereka sederhana, menjadi musisi
yang menghasilkan karya. "Dengan berdirinya band ini, maka kami
menganggap sebuah harapan dan rasa percaya telah berbuah menjadi
kenyata-an," kata mereka saat peluncuran album debut bertajuk Pria
70
Dijajah Wanita yang diluncurkan baru-baru ini di Jakarta.
Band ini awalnya berbasis di Bali dengan nama Jimmy Rubbernek
and His Car Battery Band. Selama itu mereka berkiprah di berbagai ajang
festival dan telah beberapa kali meraih penghargaan. Bahkan pada tahun
2000 lalu, mereka berhasil meraih Band Lima Terbaik se-Bali dalam A
Mild Live Band Festival. Hanya saja, di luar festival mereka masih dikenal
sebagai band cover song alias tampil membawakan musik dan lagu orang
lain yang populer. Namun mereka tetap merintis untuk membentuk jati
diri dan menghasilkan karya sendiri. Harapan itu mulai berbuah ketika
mereka mengubah nama menjadi Kaimsasikun. Menurut Ferry Sanny yang
akrab dipanggil Sanny nama Kaimsasikun diperoleh dari sebuah mimpi.
"Waktu itu, tanggal 11 Februari 2003. Saya bermimpi mendapatkan ilham
untuk mengganti nama band yang panjang dengan nama Kaimsasikun.
Saat dihitung, huruf K adalah huruf ke-sebelas dalam urutan alfabet.
Kata kaimsasikun sendiri mengandung 11 huruf. Karena semuanya selalu
mengandung makna sebelas, maka kami mencoba untuk menyatakan
kaimsasikun sendiri berarti sebelas," kata Sanny. Sanny mengaku saat
menyampaikan mimpi ini pada teman-temannya, semua menyambut
dengan antusias. "Hari itu akhirnya kami ganti nama," ujarnya.
Tampaknya nama ini memang membawa hoki. Demo tape mereka
langsung diterima oleh Pay BIP dan langsung dibawa ke Jakarta. Kelima
sekawan ini pun kemudian didaulat untuk rekaman.
Memiliki album sendiri jelas jauh lebih menyenangkan dari pada
71
hanya terkenal sebagai pembawa lagu ciptaan orang lain. Namun,
memasuki blantika musik yang serius sempat mereka kaget. Awalnya
mereka sendiri mengaku merasa belum siap. Namun, Pay yang menjadi
produser sekaligus supervisor terus mendesak dan memberikan
semangat. “Pay tak hanya menegakkan karakter Kaimsasikun tapi juga
mau turun tangan sebagai music director yang langsung berperan sebagai
sound engineer juga sehingga jadilah album perdana Kaimsasikun yang
bertitel sama dengan nama band kami,” ujar Sanny lagi. Lagu andalan
mereka antara lain Pria Dijajah Wanita yang liriknya ditulis oleh Sanny.
Lagu ini becorak pop alternatif dengan style menyanyi yang kaya teknik
falsetto dari Ian. Selain lagu berbahasa Indonesia, mereka juga membuat
lagu berbahasa Inggris antara lain Minor, Laugh At dan juga Tired of
Being Blind. "Kami ingin mencoba menembus blantika musik
internasional," tutur Sanny dengan wajah berseri. Harapan yang butuh
perjuangan panjang. (http://www.suarapembaruan.com/News/2004/10
/14/Hiburan/hib02.htm)
IV. 2 Penyajian Data
Sebuah lirik lagu mempunyai struktur judul lagu, song, reff,
bridge, interlude, dan coda. Akan tetapi, dalam lirik lagu “Pria Dijajah
Wanita” hanya mempunyai struktur judul lagu yang menjadi tema dari
lagu, song yang merupakan isi cerita dalam lirik lagu, reff yang
merupakan inti dari cerita dalam lirik lagu atau dengan kata lain inti dari
72
lagu, dan bridge merupakan jembatan antara reff yang kemudian
menaikkan emosi dari lagu untuk dikembalikan lagi dalam reff lagu.
Judul lagu terdapat pada bait “PRIA DIJAJAH WANITA.” Struktur
song terdapat pada bait pertama yaitu “Terpujilah kamu, di mata
hatinya”, bait kedua yaitu ” Bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa”, bait
ketiga yaitu ” Masihkah dia, kau peras darahnya”, dan bait keempat
yaitu ” Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa.”
Struktur reff terdapat pada bait pertama yaitu “Harta, kau buta
karnanya”, bait kedua “Kau anggap semua sama”, bait ketiga “Pria
dijajah wanita”, bait keempat “Wanita seperti kamu”, bait kelima “Tak
berbisa layaknya”, bait keenam “Wajahmu yang manis”, dan bait
ketujuh “Namun kau sadis.”
Struktur bridge terdapat pada bait pertama “Akhiri semua”, bait
kedua “Sadarkan dirimu”, dan bait ketiga “Bila kau memang wanita.”
“PRIA DIJAJAH WANITA” Terpujilah kamu, di mata hatinya
Bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa
Masihkah dia, kau peras darahnya
Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa
Reff: Harta, kau buta karnanya
Kau anggap semua sama
Pria dijajah wanita
Wanita seperti kamu
Tak berbisa layaknya
Wajahmu yang manis
73
Namun kau sadis
Akhiri semua
Sadarkan dirimu
Bila kau memang wanita
IV. 3 Pemaknaan Lirik Lagu “Pria Dijajah Wanita” Menurut Dikotomi-
dikotomi Saussurean
Objek dari penelitian ini adalah lirik lagu “Pria Dijajah Wanita”
yang secara keseluruhan dapat “dibedah” dengan menggunakan
dikotomi-dikotomi dari Saussurean, yaitu pandangan tentang signifier
(penanda) dan signified (petanda); langue (bahasa) dan parole (ujaran);
serta syntagmatic (sintagmatik) dan associative (paradigmatik). Pada
lirik lagu ini akan dimaknai menurut struktur lagunya.
1. Judul Lagu
“Pria Dijajah Wanita”
Pada judul lagu tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda
yang kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep
mental yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah
teks yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap
kata yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan
bahwa dalam penanda “Pria Dijajah Wanita” merupakan ujud dari
petanda yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu
74
sehingga menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi “Pria Dijajah
Wanita.”
Langue merupakan sekumpulan tanda yang terletak pada setiap
kata yang tersusun dari bait kalimat dalam judul ”Pria Dijajah Wanita”,
yaitu “Pria”; “Dijajah”; “Wanita.” Parole-nya sendiri terletak pada
kalimat yang menjadi bait judul dari lagu tersebut, yaitu ”Pria Dijajah
Wanita”. Pada bait judul “Pria Dijajah Wanita” merupakan bait kalimat
yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata “Pria”; “Dijajah”;
“Wanita.” Sehingga menghasilkan sebuah bait kalimat “Pria Dijajah
Wanita” yang kemudian menghasilkan sebuah tanda yang dapat
dimaknai. Bait kalimat “Pria Dijajah Wanita” tidak akan menjadi “Pria
Dijajah Wanita” tanpa adanya sekumpulan tanda dari kata-kata “Pria”;
“Dijajah”; “Wanita”, dan hal tersebut tidak akan menjadi sebuah tanda
yang bermakna dalam bait kalimat, karena tidak adanya sebuah kata
yang membentuk sebuah kalimat.
Berdasarkan petanda, penanda, parole, dan langue-nya bait judul
”Pria Dijajah Wanita” mempunyai makna yaitu, seorang yang berjenis
kelamin laki-laki atau gender yang distereotipekan oleh masyarakat
sebagai sosok maskulin sedang diperlakukan yaitu dengan dijajah oleh
seorang yang berjenis kelamin perempuan atau gender yang
distereotipekan oleh masyarakat sebagai sosok yang feminin demi
mendapatkan suatu kekuasaan atau menguasai laki-laki tersebut, atau
75
dengan kata lain seorang perempuan ingin menguasai seorang laki-laki
dengan cara menjajah laki-laki tersebut.
2. Song Bait Pertama
“Terpujilah kamu, di mata hatinya”
Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang
kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental
yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks
yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata
yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa
dalam penanda “Terpujilah kamu, di mata hatinya” merupakan ujud dari
petanda yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu
sehingga menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi “Terpujilah
kamu, di mata hatinya.”
Langue merupakan sekumpulan tanda yang terletak pada setiap
kata yang tersusun dari bait kalimat pada bait pertama ”Terpujilah
kamu, di mata hatinya”, yaitu ”Terpujilah”; ”Kamu”; ”Di”; ”Mata”;
”Hati”; ”Nya.” Parole-nya sendiri terletak pada kalimat yang menjadi
sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu ”Terpujilah kamu, di mata
hatinya.” Pada bait ”Terpujilah kamu, di mata hatinya” merupakan
sebuah bait kalimat yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata
”Terpujilah”; ”Kamu”; ”Di”; ”Mata”; ”Hati”; ”Nya.” Sehingga
menghasilkan sebuah bait kalimat ”Terpujilah kamu, di mata hatinya”
76
yang kemudian menghasilkan sebuah tanda yang dapat dimaknai. Bait
kalimat ”Terpujilah kamu, di mata hatinya” tidak akan menjadi
”Terpujilah kamu, di mata hatinya” tanpa adanya sekumpulan tanda
dari kata-kata ”Terpujilah”; ”Kamu”; ”Di”; ”Mata”; ”Hati”; ”Nya.”
Dalam bait lagu ”Terpujilah kamu, di mata hatinya” terdapat dua
buah kata atau tanda yang dapat disintagmakan. Kata ”mata”
merupakan yang dapat disintagmakan dengan alat indera atau panca
indera atau dengan kata lain mempunyai paradigma dengan ”hidung”;
”telinga”; dan lain sebagainya. Kata ”hati” dapat disintagmakan dengan
organ tubuh atau dengan kata lain mempunyai paradigma dengan
”jantung”; ”paru-paru”; ”lambung”; dan lain sebagainya.
Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue, sintagmatik, dan
paradigmatiknya, bait lirik pertama ”Terpujilah kamu, di mata hatinya”
mempunyai makna, yaitu seorang perempuan yang digambarkan dalam
lirik lagu ini dengan kata ”kamu” mendapatkan suatu semacam
penghargaan karena dianggap istimewa atau mempunyai suatu
kelebihan, dari seorang laki-laki yang digambarkan dengan kata ”nya”
atau berarti ”dia” (laki-laki) yang berasal dari perasaannya yang
terdalam (baca: timbul akibat dari perasaan cinta).
77
3. Song Bait Kedua
“Bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa”
Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang
kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental
yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks
yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata
yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa
dalam penanda “Bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa” merupakan ujud
dari petanda yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik
lagu sehingga menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi
“Bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa.”
Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait
kalimat pada song bait kedua ”Bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa”,
yaitu “Bibir”; “Mu”; “Yang”; “Manis”; “Sepenuhnya”; “Bisa.” Parole-nya
sendiri terletak pada kalimat yang menjadi sebuah bait pada lirik lagu
tersebut, yaitu ”Bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa.” Pada bait
“Bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa” merupakan sebuah bait kalimat
yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata “Bibir”; ”Mu”; “Yang”;
“Manis”; “Sepenuhnya”; “Bisa.” Sehingga menghasilkan sebuah bait
kalimat “Bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa” yang kemudian
menghasilkan sebuah tanda yang dapat dimaknai. “Bibirmu yang manis,
sepenuhnya bisa” tidak akan menjadi “Bibirmu yang manis, sepenuhnya
78
bisa” tanpa adanya sebuah kata “Bibir”; ”Mu”; “Yang”; “Manis”;
“Sepenuhnya”; “Bisa.”
Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue-nya, bait lirik
kedua “Bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa” mempunyai makna, yaitu
sebuah ucapan atau tutur kata yang lemah lembut dan ramah dari
karakter seorang perempuan yang diceritakan dalam lirik lagu ini
ternyata mempunyai sifat merusak dan sebagai sesuatu yang bersifat
buruk atau jahat atau dengan kata lain sebuah ucapan atau tutur kata
yang lemah lembut dari seorang perempuan ternyata merupakan sebuah
”penipuan” (dapat mempengaruhi seseorang) yang bersifat jahat dan
tidak selembut dan seindah seperti apa yang diucapkan.
4. Song Bait Ketiga
”Masihkah dia, kau peras darahnya”
Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang
kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental
yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks
yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata
yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa
dalam penanda ”Masihkah dia, kau peras darahnya” merupakan ujud
dari petanda yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik
lagu sehingga menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi
”Masihkah dia, kau peras darahnya.”
79
Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait
kalimat pada song bait ketiga ”Masihkah dia, kau peras darahnya”, yaitu
”Masihkah”; ”Dia”; ”Kau”; ”Peras”; ”Darah”; ”Nya.” Parole-nya sendiri
terletak pada kalimat yang menjadi sebuah bait pada lirik lagu tersebut,
yaitu ”Masihkah dia kau peras darahnya.” Pada bait ”Masihkah dia, kau
peras darahnya” merupakan sebuah bait kalimat yang tersusun oleh
sekumpulan tanda dari kata ”Masihkah”; ”Dia”; ”Kau”; ”Peras”;
”Darah”; ”Nya.” Sehingga menghasilkan sebuah bait kalimat ”Masihkah
dia, kau peras darahnya” yang kemudian menghasilkan sebuah tanda
yang dapat dimaknai. ”Masihkah dia, kau peras darahnya” tidak akan
menjadi ”Masihkah dia, kau peras darahnya” tanpa adanya sebuah kata
”Masihkah”; ”Dia”; ”Kau”; ”Peras”; ”Darah”; ”Nya.”
Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue-nya, bait lirik
”Masihkah dia, kau peras darahnya” mempunyai makna, yaitu sebuah
pertanyaan terhadap perempuan (baca: kau) tentang perlakuannya yang
menghancurkan hidup laki-laki atau dengan kata lain mengambil apa
yang dimiliki laki-laki tersebut (baca: peras darahnya) yang sebagai
kekasihnya.
5. Song Bait Keempat
”Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa”
Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang
kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental
80
yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks
yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata
yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa
dalam penanda ”Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa” merupakan ujud
dari petanda yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik
lagu sehingga menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi
”Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa.”
Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait
kalimat pada song bait keempat ”Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa”,
yaitu ”Wajah”; ”Mu”; ”Yang”; ”Manis”; ”Sesatkan”; ”Jiwa.” Parole-nya
sendiri terletak pada setiap kalimat yang menjadi sebuah bait pada lirik
lagu tersebut, yaitu ”Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa.” Pada bait
”Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa” merupakan sebuah bait kalimat
yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata ”Wajah”; ”Mu”; ”Yang”;
”Manis”; ”Sesatkan”; ”Jiwa.” Sehingga menghasilkan sebuah bait kalimat
”Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa” yang kemudian menghasilkan
sebuah tanda yang dapat dimaknai. ”Wajahmu yang manis, sesatkan
jiwa” tidak akan menjadi ”Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa” tanpa
adanya sebuah kata ”Wajah”; ”Mu”; ”Yang”; ”Manis”; ”Sesatkan”;
”Jiwa.”
Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue-nya, bait lirik
”Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa” mempunyai makna, yaitu sebuah
wajah yang cantik dari perempuan yang disimbolkan dengan kata
81
”manis” ternyata ”menipu” dan dapat mempengaruhi orang lain dengan
membawa ke arah yang salah dalam kehidupan batin seseorang.
6. Reff Bait Pertama
”Harta, kau buta karnanya”
Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang
kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental
yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks
yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata
yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa
dalam penanda ”Harta, kau buta karnanya” merupakan ujud dari
petanda yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu
sehingga menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi ”Harta, kau
buta karnanya.”
Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait
kalimat pada reff bait pertama ”Harta, kau buta karenanya”, yaitu
”Harta”; ”Kau”; ”Buta”; ”Karenanya.” Parole-nya sendiri terletak pada
setiap kalimat yang menjadi sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu
”Harta, kau buta karnanya.” Pada bait ”Harta, kau buta karnanya”
merupakan sebuah bait kalimat yang tersusun oleh sekumpulan tanda
dari kata ”Harta”; ”Kau”; ”Buta”; ”Karenanya.” Sehingga menghasilkan
sebuah bait kalimat ”Harta, kau buta karnanya” yang kemudian
menghasilkan sebuah tanda yang dapat dimaknai. ”Harta, kau buta
82
karnanya” tidak akan menjadi ”Harta, kau buta karnanya” tanpa adanya
sebuah kata ”Harta”; ”Kau”; ”Puja”; ”Karenanya.”
Kata ”harta” merupakan sebuah sintagma yang bisa
diparadigmakan dengan ”uang”; ”emas”; ”mobil”; ”rumah” dan lain
sebagainya.
Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue, sintagmatik, dan
paradigmatiknya, reff bait pertama mempunyai makna, yaitu seorang
perempuan yang telah dibutakan oleh harta. Pandangannya hanya
tertuju dan terobsesi akan suatu harta (kekayaan) untuk dimiliki.
Pada bait ini, terdapat makna ambigu yang bisa membuat setiap
orang akan mempunyai pemaknaan yang berbeda, maka dari itu
pemaknaan pada bait ini akan dimaknai dengan digabungkan bersamaan
dengan pemaknaan pada bait-bait selanjutnya yaitu bait ”kau anggap
semua sama” dan bait ”pria dijajah wanita.”
7. Reff bait kedua
”Kau anggap semua sama”
Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang
kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental
yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks
yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata
yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa
dalam penanda ”Kau anggap semua sama” merupakan ujud dari petanda
83
yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu sehingga
menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi ”Kau anggap semua
sama.”
Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait
kalimat pada reff bait kedua ”Kau anggap semua sama”, yaitu ”Kau”;
”Anggap”; ”Semua”; ”Sama.” Parole-nya sendiri terletak pada setiap
kalimat yang menjadi sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu ”Kau
anggap semua sama.” Pada bait ”Kau anggap semua sama” merupakan
sebuah bait kalimat yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata
”Kau”; ”Anggap”; ”Semua”; ”Sama.” Sehingga menghasilkan sebuah bait
kalimat ” ”Kau anggap semua sama” yang kemudian menghasilkan
sebuah tanda yang dapat dimaknai. ”Kau anggap semua sama” tidak
akan menjadi ”Kau anggap semua sama” tanpa adanya sebuah kata
”Kau”; ”Anggap”; ”Semua”; ”Sama.”
Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue-nya, bait lirik ”Kau
anggap semua sama” mempunyai makna, yaitu seorang perempuan
(baca: kau) yang memandang segalanya sebagai hal yang serupa (baca:
sama). Kalimat ”Kau anggap semua sama” dalam reff bait ketiga dari
lirik lagu ini mempunyai makna ambigu. Kalimat tersebut akan dapat
diketahui maknanya secara keseluruhan setelah dimaknai bait
selanjutnya, yaitu ”Pria dijajah wanita.”
84
8. Reff bait ketiga
”Pria dijajah wanita”
Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang
kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental
yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks
yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata
yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa
dalam penanda ”Pria dijajah wanita” merupakan ujud dari petanda yang
disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu sehingga
menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi ”Pria dijajah wanita.”
Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait
kalimat pada reff bait ketiga ”Pria dijajah wanita”, yaitu “Pria”;
“Dijajah”; “Wanita.” Parole-nya sendiri terletak pada setiap kalimat
yang menjadi sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu ”Pria dijajah
wanita.” Pada bait ”Pria dijajah wanita” merupakan sebuah bait kalimat
yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata “Pria”; “Dijajah”;
“Wanita.” Sehingga menghasilkan sebuah bait kalimat ”Pria dijajah
wanita” yang kemudian menghasilkan sebuah tanda yang dapat
dimaknai. ”Pria dijajah wanita” tidak akan menjadi ”Pria dijajah
wanita” tanpa adanya sebuah kata “Pria”; “Dijajah”; “Wanita.”
Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue-nya, bait lirik
”Pria dijajah wanita” mempunyai makna, yaitu seorang yang berjenis
kelamin laki-laki atau gender yang distereotipekan oleh masyarakat
85
sebagai sosok maskulin sedang diperlakukan yaitu dengan dijajah oleh
seorang yang berjenis kelamin perempuan atau gender yang
distereotipekan oleh masyarakat sebagai sosok yang feminin demi
mendapatkan suatu kekuasaan atau menguasai laki-laki tersebut, atau
dengan kata lain seorang perempuan ingin menguasai seorang laki-laki
dengan cara menjajah laki-laki tersebut.
9. Pemaknaan reff bait pertama ”harta, kau buta karnanya”, reff bait
kedua ”kau anggap semua sama”, dan reff bait ketiga ”pria dijajah
wanita.”
Pada reff pertama ”harta, kau buta karnanya” dan reff kedua
”kau anggap semua sama” mempunyai makna ambigu, karena
mempunyai makna yang banyak dan bermacam-macam. Oleh karena itu
untuk dapat memaknai isi pesan dari lirik lagu ini dapat diketahui pesan
yang terkandung setelah dimaknai tiga bait reff dengan pemaknaan reff
bait pertama ”harta, kau buta karnanya” digabungkan dengan
pemaknaan reff bait kedua ”kau anggap semua sama” dan pemaknaan
pada reff bait ketiga ”pria dijajah wanita.”
Makna yang terkandung secara keseluruhan dari ketiga bait
tersebut adalah seorang perempuan (baca: kau) yang telah terobsesi
akan suatu harta (kekayaan) untuk dimilikinya, dan karena hal tersebut
(baca: harta) seorang perempuan telah tertutup hati nuraninya (baca:
buta) dengan memandang bahwa semua laki-laki (baca: pria) seharusnya
86
diperlakukan sama, yaitu dijajah oleh perempuan (baca: wanita), atau
dengan kata lain semua laki-laki dalam segala hal seharusnya dikuasai
(baca: kekuasaan merupakan tujuan dari segala bentuk penjajahan) oleh
perempuan dengan sebuah tujuan yaitu untuk menguasai harta yang
dimiliki oleh laki-laki tersebut.
10. Reff bait keempat
”Wanita seperti kamu”
Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang
kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental
yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks
yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata
yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa
dalam penanda ”Wanita seperti kamu” merupakan ujud dari petanda
yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu sehingga
menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi ”Wanita sperti
kamu.”
Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait
kalimat pada reff bait keempat ”Wanita sperti kamu”, yaitu “Wanita”;
“Seperti”; “Kamu.” Parole-nya sendiri terletak pada setiap kalimat yang
menjadi sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu ”Wanita seperti
kamu.” Pada bait ”Wanita sperti kamu” merupakan sebuah bait kalimat
yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata “Wanita”; “Seperti”;
87
“Kamu.” Sehingga menghasilkan sebuah bait kalimat ”Wanita seperti
kamu” yang kemudian menghasilkan sebuah tanda yang dapat dimaknai.
”Wanita seperti kamu” tidak akan menjadi ”Wanita seperti kamu”
tanpa adanya sebuah kata “Wanita”; “Seperti”; “Kamu.”
Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue-nya, bait lirik
”Wanita seperti kamu” mempunyai makna, yaitu sebuah harapan yang
ditujukan kepada perempuan untuk menjadi perempuan seharusnya
sesuai dengan yang distereotipekan oleh konstruksi sosial dalam
masyarakat sebagai sosok yang feminin yaitu sosok yang tidak suka bicara
kasar, halus, lembut, peka pada perasaan orang lain, bicara pelan,
mudah mengekspresikan diri, dan sebaginya.
11. Reff bait kelima
”Tak berbisa layaknya”
Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang
kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental
yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks
yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata
yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa
dalam penanda ”Tak berbisa layaknya” merupakan ujud dari petanda
yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu sehingga
menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi ”Tak berbisa
layaknya.”
88
Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait
kalimat pada reff bait kelima ”Tak berbisa layaknya”, yaitu “Tak”;
“Berbisa”; “Layaknya.” Parole-nya sendiri terletak pada setiap kalimat
yang menjadi sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu ”Tak berbisa
layaknya.” Pada bait ”Tak berbisa layaknya” merupakan sebuah bait
kalimat yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata “Tak”;
“Berbisa”; “Layaknya.” Sehingga menghasilkan sebuah bait kalimat ”Tak
berbisa layaknya” yang kemudian menghasilkan sebuah tanda yang dapat
dimaknai. ”Tak berbisa layaknya” tidak akan menjadi ”Tak berbisa
layaknya” tanpa adanya sebuah kata “Tak”; “Berbisa”; “Layaknya.”
Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue-nya, bait lirik ”Tak
berbisa layaknya” mempunyai makna, yaitu sebuah harapan untuk tidak
berbuat jahat atau berbuat suatu keburukan seperti yang sepatutnya.
12. Reff bait keenam
”Wajahmu yang manis”
Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang
kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental
yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks
yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata
yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa
dalam penanda ”Wajahmu yang manis” merupakan ujud dari petanda
yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu sehingga
89
menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi ”Wajahmu yang
manis.”
Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait
kalimat pada reff bait keenam ”Wajahmu yang manis”, yaitu “Wajah”;
“Mu”; “Yang”; “Manis.” Parole-nya sendiri terletak pada setiap kalimat
yang menjadi sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu ”Tak berbisa
layaknya.” Pada bait ”Wajahmu yang manis” merupakan sebuah bait
kalimat yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata “Wajah”; “Mu”;
“Yang”; “Manis.” Sehingga menghasilkan sebuah bait kalimat ”Wajahmu
yang manis” yang kemudian menghasilkan sebuah tanda yang dapat
dimaknai. ”Wajahmu yang manis” tidak akan menjadi ”Wajahmu yang
manis” tanpa adanya sebuah kata “Wajah”; “Mu”; “Yang”; “Manis.”
Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue-nya, bait lirik
”Wajahmu yang manis” mempunyai makna, yaitu wajah seorang
perempuan yang dianggap cantik (baca: manis).
13. Reff bait ketujuh
”Namun kau sadis”
Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang
kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental
yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks
yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata
yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa
90
dalam penanda ”Namun kau sadis” merupakan ujud dari petanda yang
disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu sehingga
menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi ”Namun kau sadis.”
Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait
kalimat pada reff bait ketujuh ”Namun kau sadis”, yaitu “Namun”;
“Kau”; “Sadis.” Parole-nya sendiri terletak pada setiap kalimat yang
menjadi sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu ”Tak berbisa
layaknya.” Pada bait ”Namun kau sadis” merupakan sebuah bait kalimat
yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata “Namun”; “Kau”;
“Sadis.” Sehingga menghasilkan sebuah bait kalimat ”Namun kau sadis”
yang kemudian menghasilkan sebuah tanda yang dapat dimaknai.
”Namun kau sadis” tidak akan menjadi ”Namun kau sadis” tanpa
adanya sebuah kata “Namun”; “Kau”; “Sadis.”
Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue-nya, bait lirik
”Namun kau sadis” mempunyai makna, yaitu seorang perempuan
mempunyai sifat yang kejam.
14. Pemaknaan reff bait keempat ”wanita seperti kamu”, reff bait
kelima ”tak berbisa layaknya”, reff bait keenam ”wajahmu yang manis”,
dan reff bait ketujuh ”namun kau sadis.”
Pada reff bait kelima ”tak berbisa layaknya” mempunyai makna
ambigu, karena mempunyai makna yang banyak dan bermacam-macam.
Oleh karena itu untuk dapat memaknai isi pesan dari lirik lagu ini dapat
91
diketahui pesan yang terkandung setelah dimaknai empat bait reff
dengan pemaknaan reff bait keempat ”wanita seperti kamu”
digabungkan dengan pemaknaan reff bait kelima ”tak berbisa layaknya”,
pemaknaan pada reff bait keenam ”wajahmu yang manis”, dan
pemaknaan pada reff bait ketujuh ”namun kau sadis.”
Makna yang terkandung secara keseluruhan dari keempat bait
tersebut adalah, sebuah harapan terhadap seorang perempuan yang
seharusnya menjadi perempuan yang sesuai dengan yang distereotipekan
oleh konstruksi sosial dalam masyarakat sebagai sosok yang feminin yaitu
sosok yang tidak suka bicara kasar, halus, lembut, peka pada perasaan
orang lain, bicara pelan, mudah mengekspresikan diri, dan sebaginya
untuk tidak berbuat jahat atau mempunyai sifat yang jahat (baca:
berbisa) seperti halnya seorang perempuan tersebut mempunyai wajah
yang cantik (baca: manis) namun mempunyai sifat yang kejam (baca:
sadis).
15. Bridge bait pertama
”Akhiri semua”
Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang
kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental
yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks
yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata
yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa
92
dalam penanda ”Akhiri semua” merupakan ujud dari petanda yang
disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu sehingga
menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi ”Akhiri semua.”
Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait
kalimat pada bridge bait pertama ”Akhiri semua”, yaitu “Akhiri”;
“Semua.” Parole-nya sendiri terletak pada setiap kalimat yang menjadi
sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu ”Akhiri semua.” Pada bait
”Wajahmu yang manis” merupakan sebuah bait kalimat yang tersusun
oleh sekumpulan tanda dari kata “Akhiri”; “Semua.” Sehingga
menghasilkan sebuah bait kalimat ”Akhiri semua” yang kemudian
menghasilkan sebuah tanda yang dapat dimaknai. ”Akhiri semua” tidak
akan menjadi ”Akhiri semua” tanpa adanya sebuah kata “Akhiri”;
“Semua.”
Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue-nya, bait lirik
”Akhiri semua” mempunyai makna, yaitu sebuah harapan untuk
menyudahi (baca: mengakhiri atau memberhentikan) semua apa yang
telah diperbuat.
Bait ini mempunyai makna yang belum jelas dan ambigu, maka
dari itu untuk mengetahui makna secara keseluruhan, akan digabungkan
dengan pemaknaan pada bait-bait selanjutnya.
93
16. Bridge bait kedua
”Sadarkan dirimu”
Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang
kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental
yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks
yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata
yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa
dalam penanda ”Sadarkan dirimu” merupakan ujud dari petanda yang
disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu sehingga
menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi ”Sadarkan dirimu.”
Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait
kalimat pada bridge bait kedua ”Sadarkan dirimu”, yaitu “Sadarkan”;
“Diri”; ”Mu.” Parole-nya sendiri terletak pada setiap kalimat yang
menjadi sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu ”Sadarkan dirimu.”
Pada bait ”Sadarkan dirimu” merupakan sebuah bait kalimat yang
tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata “Sadarkan”; “Diri”; ”Mu.”
Sehingga menghasilkan sebuah bait kalimat ”Sadarkan dirimu” yang
kemudian menghasilkan sebuah tanda yang dapat dimaknai. ”Sadarkan
dirimu” tidak akan menjadi ”Sadarkan dirimu” tanpa adanya sebuah kata
“Sadarkan”; “Diri”; ”Mu.”
Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue-nya, bait lirik
”Sadarkan dirimu” mempunyai makna, yaitu sebuah harapan kepada
94
seorang perempuan (baca: dirimu) untuk sadar atau insyaf (baca:
sadarkan).
Bait ini mempunyai makna yang belum jelas dan ambigu, maka
dari itu untuk mengetahui makna secara keseluruhan, akan digabungkan
dengan pemaknaan pada bait-bait selanjutnya.
16. Bridge bait ketiga
”Bila kau memang wanita”
Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang
kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental
yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks
yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata
yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa
dalam penanda ”Bila kau memang wanita” merupakan ujud dari petanda
yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu sehingga
menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi ”Bila kau memang
wanita.”
Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait
kalimat pada bridge bait ketiga ”Bila kau memang wanita”, yaitu “Bila”;
“Kau”; ”Memang”; ”Wanita.” Parole-nya sendiri terletak pada setiap
kalimat yang menjadi sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu ”Bila
kau memang wanita.” Pada bait ”Bila kau memang wanita” merupakan
sebuah bait kalimat yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata
95
“Bila”; “Kau”; ”Memang”; ”Wanita.” Sehingga menghasilkan sebuah bait
kalimat ”Bila kau memang wanita” yang kemudian menghasilkan sebuah
tanda yang dapat dimaknai. ”Bila kau memang wanita” tidak akan
menjadi ”Bila kau memang wanita” tanpa adanya sebuah kata “Bila”;
“Kau”; ”Memang”; ”Wanita.”
Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue-nya, bait lirik
”Bila kau memang wanita” mempunyai makna, yaitu sebuah ungkapan
yang menunjukkan terhadap perempuan (baca: wanita) jika mungkin
perempuan tersebut benar-benar seorang perempuan seperti yang telah
distereotipekan oleh konstruksi sosial dalam masyarakat sebagai sosok
feminin, yaitu seorang yang ekspresif, kurang independent, lebih
emosional, kurang logis, secara kuantitatif kurang orientasi dan lebih
partisipatif daripada laki-laki.
Bait ini mempunyai makna yang belum jelas dan ambigu, maka
dari itu untuk mengetahui makna secara keseluruhan, akan digabungkan
dengan pemaknaan pada bait-bait selanjutnya.
17. Pemaknaan bridge bait pertama ”akhiri semua”, bridge bait kedua
”sadarkan dirimu”, dan bridge bait ketiga bila kau memang wanita.”
Pada bridge bait pertama ”akhiri semua”, bridge bait kedua
”sadarkan dirimu”, dan bridge bait ketiga bila kau memang wanita”
mempunyai makna yang ambigu. Maka dari itu untuk mengetahui makna
keseluruhan dari ketiga bridge ini harus dimaknai dengan
96
menggabungkan makna dari bridge bait pertama ”akhiri semua”, bridge
bait kedua ”sadarkan dirimu”, dan bridge bait ketiga bila kau memang
wanita.”
Secara keseluruhan, makna dari ketiga bait bridge ini yaitu sebuah
harapan terhadap seorang perempuan (baca: wanita) untuk menyadarkan
diri atau menginsyafkan diri dan mengakhiri semua kejahatan yang telah
diperbuat (seperti yang dimaknakan pada bait-bait sebelumnya) jika
memang perempuan tersebut (baca: kau) adalah benar-benar seorang
perempuan seperti yang telah distereotipekan oleh konstruksi sosial
dalam masyarakat sebagai sosok feminin, yaitu seorang yang ekspresif,
kurang independent, lebih emosional, kurang logis, secara kuantitatif
kurang orientasi dan lebih partisipatif daripada laki-laki, atau dengan
kata lain seorang perempuan yang seperti yang telah distereotipekan
dalam konstuksi sosial dalam masyarakat sebagai sosok yang feminin
tidak seharusnya berbuat atau mempunyai sifat yang jahat seperti yang
telah dilakukannya (baca: perempuan).
IV. 4 Penggambaran Kekuasaan Perempuan
Setelah lirik lagu ”pria Dijajah Wanita” dimaknai, kemudian dari
pemaknaan tersebut akan dicari penggambaran tentang kekuasaan
perempuan, atau dengan kata lain bagaimana bentuk-bentuk kekuasaan
dari seorang perempuan digambarkan :
97
1. Song bait pertama
”Terpujilah kamu, di mata hatinya”
Bait tersebut menggambarkan seorang perempuan yang
mempunyai karakter yang kuat. Penggambaran karakter seorang
perempuan yang kuat tersebut dapat disimak dalam kalimat ”terpujilah
kamu.” Dari kalimat tersebut, mempunyai makna seorang perempuan
yang mendapatkan suatu semacam penghargaan dari orang lain karena
dianggap istimewa atau mempunyai suatu kelebihan. Atau dengan kata
lain yang berarti suatu bentuk pengakuan dari orang lain terhadap
kelebihan yang dimiliki oleh perempuan tersebut.
Sosok perempuan yang berkarakter kuat, merupakan sosok
perempuan masa kini yang hidup di era posmodern yang telah
dikonstruksi oleh budaya pop (populer). Kebudayaan pop sendiri
merupakan budaya massa yang sebenarnya merupakan istilah yang
mengandung nada mengejek atau merendahkan, istilah ini merupakan
pasangan dari high culture (kebudayaan elite atau kebudayaan tinggi)
yang pada perkembangannya akibat media komunikasi dan teknologi
informasi, tidak lagi hanya ditujukan bagi orang miskin atau kelas bawah
(seperti awal terbentuknya), melainkan merata pada setiap lapisan yang
dikhawatirkan menggilas semuanya dan menjadi satu-satunya
“kebudayaan” yang menguasai semua bangsa di dunia. Dalam artian,
semua kebudayaan akan diseragamkan oleh kebudayaan massa atau biasa
disebut budaya pop (Ibrahim,1997:6). Perempuan ”pop” merupakan ikon
98
baru dalam era posmodern seperti yang terjadi di saat ini. Perempuan
”pop” digambarkan sebagai sosok perempuan yang tangguh, seksi, dan
acuh tak acuh, tidak melihat diri sendiri sebagai korban, dan
menginginkan “kuasa.” Singkatnya, mendekonstruksi women's culture.
Dalam konteks pop culture (budaya pop), contoh-cotoh ikon
posfeminisme adalah seperti Spice Girl, Madonna, dan lain sebagainya
(Arivia, 2006:128).
Seperti yang diceritakan pada song bait pertama ”Terpujilah
kamu, di mata hatinya”, perempuan yang digambarkan sebagai sosok
perempuan ”pop” yang merupakan ikon dari posfeminisme merupakan
sosok seorang perempuan yang mandiri, akan tetapi dalam
kemandiriannya, seorang perempuan posfeminis juga tetap
membutuhkan sosok laki-laki dalam hidupnya sebagai pelengkap
hidupnya baik secara biologis maupun secara emosional, karena seorang
perempuan posfeminis “sadar” bahwa dia merupakan “seorang
perempuan” yang juga menjadi objek seks bagi laki-laki disamping dia
sebagai sosok perempuan mandiri yang dengan kepercayaan diri yang
tinggi yang bisa meraih segalanya (Brooks,1997:vii). Dan hal ini
tergambar dari kalimat ”di mata hatinya.” Dari kalimat tersebut
terdapat gambaran siapa yang dimaksud dengan ”nya” yaitu seorang
laki-laki yang merupakan kekasih dari perempuan ”pop” yang diceritakan
dalam lirik lagu ini, dan penggambaran ”nya” atau ”dia” yang
merupakan laki-laki dapat disimak dalam bait-bait selanjutnya, karena
99
dalam lagu ini menceritakan kisah percintaan antara laki-laki dan
perempuan.
2. Song bait kedua
”Bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa”
Dalam kalimat ”bibirmu yang manis” yang mempunyai makna
sebuah ucapan atau tutur kata yang lembut dan ramah, menunjukkan
penggambaran karakter perempuan yang feminin. Seorang perempuan
yang distereotipekan oleh konstruksi sosial dalam masyarakat sebagai
sosok yang tidak suka bicara kasar, halus, lembut, peka pada perasaan
orang lain, bicara pelan, mudah mengekspresikan diri, dan sebagainya.
Pembahasan masalah feminitas merupakan stereotipe gender yang
dikonstruksikan oleh masyarakat. Pandangan stereotipe mengaburkan
pandangan terhadap manusia secara pribadi, karena memasukkan setiap
jenis manusia kotak stereotipe. Oleh karena itu seorang pribadi, baik
perempuan dan laki-laki merasa tidak pantas apabila ”keluar dari kotak”
tersebut. Ia akan merasa bersalah apabila tidak memenuhi kehendak
sosial, memenuhi label yang telah diciptakan untuk mereka. Pandangan
ini telah dibakukan melalui tradisi selama berabad-abad sehingga
dianggap kodrat yang tidak dapat dirubah, seolah ciri-ciri perempuan
dan laki-laki sudah terkunci mati (Murniati,2004:XVIII).
Dalam bait kalimat ini juga menunjukkan sebuah pertentangan
terhadap stereotipe feminin yang berlaku di dalam masyarakat. Seperti
100
yang terdapat pada kalimat selanjutnya pada bait ini yaitu ”sepenuhnya
bisa.” Sebuah kata ”bisa” mempunyai makna sebuah racun yang berarti
sebagai hal yang bersifat jahat. Pertentangan terhadap stereotipe
tersebut sangat mempertanyakan, bagaimana mungkin seorang
perempuan yang feminin dapat melakukan sesuatu yang bersifat jahat
yang tidak seharusnya ”dia” lakukan seperti stereotipe yang berkembang
dalam masyarakat bahwa perlakuan tersebut (hal yang bersifat jahat)
bukan termasuk karakter seorang perempuan? Akan tetapi pertentangan
tersebut dapat dijawab dengan mudah bahwa seorang perempuan
mempunyai suatu ”tujuan” tertentu yang harus dipenuhi, dan dalam
pencapaian hal itu ”dia” mampu untuk melakukan sebuah ”penipuan”
nyata dengan mengkaburkan pandangan terhadap sebuah konstruksi
sosial yang telah distereotipekan. Bahwa perempuan yang
distereotipekan dengan feminin mempunyai karakter tidak suka bicara
kasar, halus, lembut, peka pada perasaan orang lain, bicara pelan,
mudah mengekspresikan diri, dan sebagainya ternyata menginginkan
sebuah kuasa dengan mengandalkan kefeminitasannya, yaitu sebuah
bujukan dan rayuan yang sangat menjerumuskan ke dalam suatu hal yang
bersifat jahat. Hal-hal yang bersifat jahat tersebut dalam artian sebagai
hal yang merugikan tentunya bagi tokoh kedua yang digambarkan dalam
lirik lagu tersebut yaitu laki-laki yang menjadi kekasihnya.
Perempuan yang berani keluar dari ”kotak” stereotipe gender
tersebut merupakan perempuan ”pop” yang menjadi ikon dari
101
posfeminisme. Para perempuan posfeminis beranggapan bahwa tidak ada
sesuatu yang bersifat biner, semuanya bersifat singular karena dalam
singularitas itulah terdapat tanggung jawab dan keunikan masing-masing
nama dalam hidup ini. Ketika struktur oposisi biner bisa didekonstruksi
oleh pembacaan postrukturalis maka kultur pemikiran yang dipengaruhi
oposisi biner, seperti dikotomi patriarki-matriarki, maskulin-feminin,
laki-perempuan juga bisa dilampaui. Dan oleh karenanya persoalan
“marjinalisasi” perempuan juga terlampaui karena yang ada tinggal
singularitas, nama demi nama (http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg01513.htm).
Secara garis besar dalam song bait kedua ”bibirmu yang manis,
sepenuhnya bisa” terdapat sebuah gambaran perempuan yang
seharusnya berkarakter feminin seperti yang telah distereotipekan oleh
konstruksi sosial masyarakat telah melakukan suatu yang ”menipu”
karena tidak seperti tampaknya (kelembutan). Bahwa suatu ucapan atau
tutur kata yang lembut ternyata kenyataannya tidak seperti itu atau
dengan kata lain, sebuah kelembutan yang mematikan, dan kelembutan
tersebut merupakan cara-cara bujukan dan rayuan dari seorang
perempuan. Bujukan dan rayuan tersebut merupakan salah satu cara
sebuah pencapaian sebuah kekuasaan. Kekuasaan tidak hanya dapat
diraih dengan sebuah kekerasan, tetapi juga melalui sebuah persuasi.
Audifax menjelaskan dalam sebuah bukunya, bahwa menurut Foucault,
kekuasaan itu terlaksana bukan pertama-tama melalui kekerasan atau
102
hasil persetujuan, melainkan melalui struktur tindakan yang menekan
dan mendorong munculnya tindakan-tindakan lain melalui rangsangan,
persuasi atau bisa juga melalui paksaan dan larangan (Audifax,
2006:227). Sedangkan kekuasaan sendiri menurut wikipedia merupakan
kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku
orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku, atau
dengan kata lain kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak
lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang
mempengaruhi (http://id.wikipedia.org/wiki/Kekuasaan). Maka tak
layak bahwa tokoh perempuan yang digambarkan di lirik lagu ini
mempunyai suatu tujuan ”tertentu” (”sepenuhnya bisa”) yang harus dia
dapatkan dan penuhi, dan dengan sebuah kekuasaan yang didapatkan
dengan bujukan dan rayuan (”bibirmu yang manis”), dia dapat
memenuhi keinginan yang menjadi tujuan dia, dan itu merupakan
gambaran seorang perempuan ”pop” yang digambarkan dalam lirik lagu
ini.
3. Song bait ketiga
”Masihkah dia, kau peras darahnya”
Pada bait ini menggambarkan sebuah pertanyaan terhadap
seorang perempuan (baca: kau) tentang perlakuan yang merugikan
terhadap laki-laki yang menjadi kekasihnya yaitu dengan mengambil
secara paksa sesuatu yang dimiliki laki-laki (baca: dia) tersebut dan hal
103
itu sama saja dengan menghancurkan hidup laki-laki tersebut (”Masihkah
dia, kau peras darahnya”). Akan tetapi tampaknya laki-laki tersebut
seperti tidak sadar bahwa dia diperlakukan dengan tidak baik atau dalam
artian dipermainkan cintanya dengan mengambil apa yang dimiliki laki-
laki tersebut. Hal ini juga terlihat dalam song bait pertama ”Terpujilah
kamu, di mata hatinya”, dalam bait ini laki-laki tersebut tetap
menganggap perempuan tersebut istimewa dan mempunyai banyak
kelebihan atau dengan kata lain ”berkarakter”, dan hal tersebut
menunjukkan kelebihan seorang perempuan akan bujukan dan rayuan
yang dia lancarkan terhadap laki-laki seolah-olah mengetahui area titik
lemah laki-laki sehingga laki-laki tersebut tidak sadar bahwa dia sedang
diperlakukan dengan tidak baik yang dapat menghancurkan hidupnya
(”kau peras darahnya”).
Pada bait ini juga menunjukkan penggambaran tentang sebuah
kekuasaan yang dimiliki perempuan terhadap laki-laki yang menjadi
kekasihnya. Dalam kalimat ”kau peras darahnya” mempunyai makna
mengambil secara paksa apa yang dimiliki dan yang berharga dari laki-
laki tersebut, merupakan suatu bentuk kuasa yang didapatkan, dan
bentuk-bentuk kekuasaannya tentu tidak ditempuh secara kekerasan,
melainkan secara persuasi dan penonjolan terhadap kecantikan fisiknya
yang dimiliki yang dapat menimbulkan paksaan dengan ”tidak sadar.”
Bentuk persuasi tersebut merupakan bujukan dan rayuan dari seorang
perempuan.
104
4. Song bait keempat
”Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa”
Pada bait ini menggambarkan sosok perempuan yang cantik
(”wajahmu yang manis”), kata ”manis” di sini dimaknai dengan
keindahan yang disinonimkan dengan kecantikan. Kecantikan yang
dimaksud adalah merupakan kecantikan secara fisik yang dapat disimak
dari kata ”wajahmu.” Dengan kecantikannya, seorang perempuan
mampu untuk merayu dan membujuk laki-laki lawan jenisnya untuk
mempengaruhinya (”sesatkan jiwa”) dan bentuk pengaruh-
mempengaruhi merupakan bentuk-bentuk sebuah kuasa. Dalam sebuah
percintaan, kekuasaan bisa muncul dan eksis. Seperti yang diungkapkan
Foucault, ketika Foucault mengatakan bahwa kekuasaan justru bisa lahir
dari dalam tubuh, maka kekuasaan juga dapat eksis dalam cinta,
pemikiran dan peran. Ketika kekuasaan eksis dalam tubuh, maka
menjadi masuk akal ketika manusia lahir ke dunia, maka saat itulah dia
terjebak terjebak dalam kekuasaan tubuh yang menifes dalam segala
keterbatasannya. Keterbatasan-keterbatasan inilah yang kemudian
diperkuat oleh budaya dalam suatu masyarakat, sehingga muncul tubuh-
tubuh tertentu yang di-sub-ordinasi (Audifax, 2006:229). “Tubuh-tubuh
yang di-sub-ordinasi yang diakibatkan oleh keterbatasan yang diperkuat
oleh budaya dalam suatu masyarakat” di sini yang dimaksud adalah
sebuah perempuan. Menjadi seorang perempuan secara tubuh, atau
dalam kata lain secara sex merupakan seorang perempuan. Dalam
105
pemahaman patriarki, seorang perempuan tidak berhak mempunyai
bentuk kuasa atas apapun. Dalam sistem patriarki yang berlaku hampir di
seluruh masyarakat, telah menganggap sebuah asumsi bahwa kodrat
seorang perempuan itu lebih rendah derajatnya daripada laki-laki demi
terciptanya kehidupan keluarga dan masyarakat yang harmonis
(Mustaqim, 2003:1). Sehubungan dengan sistem sosial ini, diyakini
(dijadikan ideologi) bahwa pria lebih superior dibanding perempuan,
sehingga perempuan sudah seharusnya dikendalikan (dikontrol) oleh pria
dan menjadi bagian dari properti pria. Pemikiran ini membentuk dasar
dari banyaknya peraturan agama dan kenyataan sekaligus menjelaskan
semua tindakan sosial yang “memenjarakan” perempuan di rumah serta
mengontrol kehidupan mereka. Selain itu, standar dobel moralitas dan
hukum, yang memberikan hak lebih pada pria dibanding perempuan,
didasarkan atas patriarki (www.sekitarkita.com). Maka dari itu timbul
sebuah stereotipe bahwa perempuan merupakan sebuah subordinasi yang
tidak bisa mendominasi, dengan kata lain bahwa perempuanlah yang
seharusnya dikendalikan atau dikontrol. Pengendalian atau pengontrolan
merupakan salah satu dari bentuk sebuah kuasa.
Akan tetapi hal tersebutl yang memunculkan sebuah pergerakan
yang bisa dikatakan sebagai pemberontakan dari budaya patriarki yang
disebut sebagai gerakan feminisme. Dari mulai feminisme gelombang
pertama hingga gelombang ketiga. Sehingga dari banyaknya gerakan
feminisme tersebut, muncul sebuah gerakan dan pemikiran yang
106
dianggap kontroversial dan menentang gerakan feminisme itu sendiri,
yaitu posfeminisme pada era feminisme gelombang kedua yang kemudian
memunculkan ikon baru yang disebut sebagai perempuan “pop” seperti
yang dijelaskan diatas (pada song bait pertama). Kenapa dianggap
kontroversial? Karena “perempuan” adalah sebuah pembacaan yang juga
mengimplikasikan struktur oposisi biner, karena ketika kita bicara
“perempuan” maka selalu mengimplikasikan ada oposisinya, yaitu “laki-
laki”. Posfeminisme berfokus pada singularitas, karena dalam
singularitas itulah terdapat tanggung jawab dan keunikan masing-masing
nama dalam hidup ini. Ketika struktur oposisi biner bisa didekonstruksi
oleh pembacaan postrukturalis maka kultur pemikiran yang dipengaruhi
oposisi biner, seperti dikotomi patriarki-matriarki, maskulin-feminin,
laki-perempuan juga bisa dilampaui. Dan oleh karenanya persoalan
“marjinalisasi” perempuan juga terlampaui karena yang ada tinggal
singularitas, nama demi nama (http://www.mail-
archive.com/reformasitotal@yahoogroups. com/msg01513.htm).
Sebuah bujukan dan rayuan, merupakan sebuah cara penggapaian
kekuasaan dari perempuan. Dan pada bait ini, penggambaran kekuasaan
perempuan yang dijalankan melalui “tubuh” yang cantik menjadi wacana
tersendiri terhadap kaum laki-laki. Kecantikan secara tubuh atau bisa
dikatakan cantik secara fisik merupakan “aset” bagi seorang perempuan
untuk bisa melanggeng bebas dan dapat melakukan apa saja yang
diinginkannya. Tak bisa dihindari bahwa perempuan dimana-mana selalu
107
menjadi objek seks bagi laki-laki, terutama di dalam media. Iklan
contohnya, iklan sebagai bagian dari bisnis komersial adalah komoditas
yang fungsinya menjual komoditas. Banyak jenis komoditas dijual
melalui seksualitas dan tubuh perempuan. Dengan demikian komodifikasi
itu pada akhirnya bermuara pada komodifikasi tubuh dan seksualitas
perempuan (Prabasmoro,2006:303).
Wacana bagi kaum laki-laki terhadap kecantikan yang kemudian
dihubungkan dengan ketertarikan secara seksual. Wacana seks dan
seksualitas sendiri tampaknya bersifat taksa dan ambivalen. Seks
memancarkan daya tarik yang sedemikian kuat sehingga dapat
menciptakan ketakutan tetapi pada saat yang sama melahirkan rasa ingin
tahu. Pembicaraan tentang seks kemudian bergerak antara keinginan
untuk menyalurkan hasrat dan usaha untuk mengekangnya. Ketaksaan
dan ambivalensi itu kemudian sering ditujukan kepada perempuan.
Pancaran antara keinginan dan ketakutan itu terutama terasa dalam
banyak etik, tabu dan mitos yang berkenaan dengan seks dan seksualitas,
salah satunya mitos keperawanan. Dengan ambivalensi itu, tubuh
perempuan serta hasrat yang hidup di dalam serta melaluinya juga
dimaknai sebagai “monster.” Tubuh perempuan menjadi vagina dentata,
sebuah gerbang perempuan yang lembut, sensual dan menggoda tetapi
penuh dengan gigi gerigi yang siap menerkam dan menghabisi apa dan
siapapun yang tergoda untuk memasukinya. Vagina dentata
menyimbolkan ambivalensi laki-laki terhadap seksualitas perempuan.
108
Tetapi lebih dari itu, vagina dentata adalah simbol ketakutan laki-laki
akan “keliyanan” perempuan yang diciptakannya sendiri. Sigmund Freud
yang “menemukan” teori ini mengklaim bahwa vagina dentata adalah
ketakutan universal yang bersembunyi di dalam ketidak sadaran setiap
laki-laki. Vagina dentata juga merepresentasi ketakutan kehilangan diri
(laki-laki) terisap oleh kekuatan yang tidak dikenal, yang penuh lorong
dan gelap; tubuh dan seksualitas perempuan. Selain itu, karena seks dan
seksualitas adalah suatu konstruksi, maka seks dan seksualitas bukanlah
wacana mengenai tubuh dan keinginan atau kebutuhan biologis semata,
melainkan juga merupakan wacana mengenai kekuasaan. Melalui slogan
feminis yang dikembangkannya, Kate Millett berargumentasi bahwa
bahkan hal yang sangat pribadi sesungguhnya tidak sungguh-sungguh
pribadi. Lebih dari itu, bahkan wacana seksual adalah wacana politis
(sexual is political). Menurutnya, seksual politik mencakup sosialisasi
baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki ke dalam kategori yang
berhubungan dengan temperamen, peran, dan status
(Prabasmoro,2006:291-292).
Maka dari itu, pada bait ini digambarkan adanya ketakutan (secara
tidak sadar) dari seorang laki-laki terhadap perempuan sehingga bentuk-
bentuk sebuah rayuan dan bujukan dengan “senjata” kecantikan seorang
perempuan yang dapat melenakan atau membuai (”wajahmu yang
manis”) akan diterima olehnya (baca: laki-laki) walaupun bujukan dan
rayuan tersebut sangat merugikannya (”sesatkan jiwa”) seperti layaknya
109
kisah seorang Julius Caesar yang jatuh hati pada kecantikan Cleopatra,
atau Ken Arok yang jatuh cinta pada Ken Dedes yang konon sangat
cantik. Cinta dalam pengertian kekasih sebenarnya merupakan sensasi
erotis yang timbul dari drive untuk penyatuan. Drive ini berasal dari
hasrat yang timbul akibat keterpisahan yang dialami manusia.
Kekosongan atau jeda dalam relasi pandangan, di mana manusia mengisi
jeda itu dengan pelbagai pemaknaan. Suatu kondisi yang lebih
merupakan inderstanding ketimbang understanding, karena begitu
banyak yang “stand between” dalam kekosongan itu. Cinta lantas
menjadi salah satu episode bahasa yang menurut Barthes selalu merujuk
pada “sensasi akan kebenaran.” Manusia yang mengalami dalam
memikirkan cintanya, karena ia percaya ialah satu-satunya yang bisa
melihat objek yang dicintainya “dalam kebenaran.” Sisi lain dari
fenomena ini adalah penilaian mengenai apa yang baik dan pengetahuan
yang dimiliki: hanya aku yang tahu dia, hanya aku yang membuatnya
eksis sebagai kebenaran. Hanya dengan orang lain aku bisa merasakan
diriku sendiri. Pada titik ini pameo “cinta adalah buta” adalah salah.
Cinta membuka mata lebar-lebar, cinta memproduksi penglihatan jernih:
“Saya memiliki dirimu, segalanya tentangmu, sebagai pengetahuan
absolut. Kamu menguasai segalanya dariku tetapi aku memiliki
pengetahuan atasmu.” Ini berarti cinta di satu sisi menjebak dalam
kekuasaan, namun disisi lain ia juga membuka pengetahuan baru,
memberi nilai baru dalam kehidupan (Audifax, 2006:234).
110
Pada song bait kedua dan song bait keempat mempunyai sebuah
hubungan, bahwa dengan kelembutan dalam bertutur kata (”bibirmu
yang manis”) dan dengan kecantikan fisik (”wajahmu yang manis”)
seorang karakter perempuan dalam lirik lagu ini dapat mempengaruhi
laki-laki yang diceritakan sebagai kekasihnya, dan dengan proses
mempengaruhi tersebut merupakan cara-cara penggapaian kekuasaan
oleh perempuan (baca: wanita) dari laki-laki yang sebagai kekasihnya
(baca: pria).
5. Reff bait pertama ”harta, kau buta karnanya”, reff bait kedua ”kau
anggap semua sama”, dan reff bait ketiga ”pria dijajah wanita.”
Ketiga bait tersebut mempunyai makna yang terkandung secara
keseluruhan bahwa seorang perempuan (baca: kau) yang telah terobsesi
akan suatu harta (kekayaan) untuk dimilikinya, dan karena hal tersebut
(baca: harta) seorang perempuan telah tertutup hati nuraninya (baca:
buta) dengan memandang bahwa semua laki-laki (baca: pria) seharusnya
diperlakukan sama, yaitu dijajah oleh perempuan (baca: wanita), atau
dengan kata lain semua laki-laki dalam segala hal seharusnya dikuasai
(baca: kekuasaan merupakan tujuan dari segala bentuk penjajahan) oleh
perempuan dengan sebuah tujuan yaitu untuk menguasai harta yang
dimiliki oleh laki-laki tersebut.
Berdasarkan pemaknaan tersebut terdapat sebuah gambaran
tentang tujuan dari sebuah kekuasaan yang diinginkan oleh perempuan
111
(baca: wanita) kepada kekasihnya. Keinginan akan sebuah harta
(kekayan) merupakan suatu contoh bagi masyarakat yang hidup di era
posmodernisme dan konsumerisme seperti saat ini. Sama hal-nya dalam
menyoroti sosok Madonna sebagai pop icon yang “sukses” dan menjadi
semacam “influence” bagi banyak perempuan posfeminis yang hidup di
era posmodernisme dan konsumerisme saat ini, Ann Brooks berpendapat
dalam bukunya, bahwa tingginya ukuran kesuksesan Madonna sebagai
suatu “fenomena posmodern” menyoroti saling pengaruh antara
posmodernisme dan konsumerisme, dan identitas transformatifnya dapat
dipahami pada tingkatan materialitas dan simulasi. Pada tingkatan
material, kemampuan Madonna untuk memasarkan dirinya sendiri dan
untuk mengakomodasi “pasar kapitalis akhir” menunjukkan kebutuhan
permintaan “industri media, kecantikan, dan musik” bagi fleksibilitas
dalam keperluannya atas respons “tak autentik dan reinvesionis” bagi
strategi pemasaran. Tetzlaff menguraikan narasi “metatekstual” dari
“material girl” yang menegksplorasi bagaimana kuasa adalah “persoalan
material” dan dihubungkan dengan sukses Madonna. Masih menurut Ann
Brooks, Pribram mengambil konsep posmodernis tentang “simulasi” dan
“bujukan” sebagaimana dikembangkan di dalam karya Jean Baudrillard.
Dia menentang materialitas kritik “realis” terhadap Madonna dan
mengklaim bahwa penggunaan “teknik bujukan yang disimulasikan” oleh
Madonna mengungkap “ukuran luas kontrol atas citranya sendiri”(ibid.).
(Brooks,1997:228).
112
Dalam konteks lirik lagu ini, yang dimaksud adalah seorang
perempuan yang dikonstruksi oleh budaya pop (seperti song bait
pertama). Perempuan “pop” yang hidup pada era posmodernisme dan
konsumerisme, adalah perempuan yang “beresiko” terjebak sebagai
“korban” sebuah komodifikasi suatu gaya hidup dengan simbol
“kemewahan, kekayaan, dan kesuksesan.” Bre Redana menguraikan
narasi kondisi masyarakat “konsumerisme” yang dikontrol oleh gaya
hidup sebagai sebuah tuntutan “zaman”, bahwa pada era sekarang (era
posmodernisme dan konsumerisme) tengah terjadi “perang” besar-
besaran, semboyan besar-besaran, untuk mendewakan kekuatan materi,
kekuatan uang, perpacuan bukan saja untuk menjadi kaya, tetapi juga
bagaimana tampil dan dihormati sebagai orang kaya (Ibrahim,1997:141).
Dalam artian, kebudayaan pop di era posmodern menampilkan sebuah
kecenderungan baru akan sebuah “gaya” yang dikultuskan dan dipuja
sebagai sebuah kebutuhan, bukan lagi sebagai sebuah keinginan.
Masyarakat dalam era posmodern memandang bahwa pencitraan atau
“image” sangatlah penting. Seperti halnya seorang perempuan “pop”,
telah terjadi pergeseran orientasi atau nilai-nilai yang menciptakan
sebuah pencitraan diri. Sebagai suatu contoh, bahwa bila zaman dahulu
seseorang bisa mendapatkan uang karena status, maka zaman sekarang
seseorang bisa mendapatkan sebuah status karena uang
(Ibrahim,1997:193).
113
Keinginan terhadap sebuah status tersebutlah yang menjadikan
seorang perempuan tersebut menginginkan harta dari laki-laki yang
menjadi kekasihnya. Pencitraan akan sebuah “status” yang dipandang
penting bagi perempuan “pop” menjadikan seorang perempuan
mempunyai pergeseran nilai dalam bersikap dan berpandangan. Bahwa
semuanya bersifat singular. Tak ada sebuah perbedaan antara dominasi
atau sub ordinasi (“kau anggap semua sama”), semua mempunyai hak
yang sama (ciri perempuan “pop” posfeminis) termasuk juga dalam hal
berkuasa. Seperti menurut Ann Brooks dalam bukunya, Foucault secara
implisit menggugat gagasan bahwa laki-laki memiliki kuasa atas
perempuan. Sebagaimana ditunjukkan oleh Ransom, teori kuasa ini
menyokong pluralisme Foucault; kuasa dipahami bersifat plural, tidak
bekerja pada “lintasan tunggal” atau dengan referensi pada pertanyaan
tertentu. Foucault memahami kuasa sebagai “bersifat kapiler” menyebar
melalui wacana, tubuh, dan hubungan di dalam metaphor suatu jaringan
(ibid.). Foucault mengakui pelaksanaan kuasa laki-laki atas perempuan,
tetapi menolak bahwa laki-laki memegang kuasa. Ramazanoglu dan
Holland menyatakan bahwa terdapat analisis yang tidak memadai
terhadap garis tengah relasi kuasa, misalnya antara politik-mikro
kehidupan sehari-hari dan konsolidasi yang sangat kukuh dari privilese
laki-laki dalam keseluruhan kehidupan sosial. Foucault sendiri
menyatakan bahwa cara di mana kuasa bekerja dan dijalankan sangat
sedikit dipahami. Dia menyarankan untuk memusatkan pada teknik
114
tertentu dari kuasa untuk menunjukkan bagaimana mereka yang
berkuasa mengambil keputusan tertentu (Brooks,1997:85), dan pemikiran
Foucault tersebut dapat dilihat pada bait sebelumnya dalam lirik lagu ini
(song bait kedua, ketiga, dan keempat). Foucault mengandaikan bahwa
kekuasaan itu banyak dan tersebar serta tidak mengacu pada satu sistem
umum dominasi oleh seseorang atau suatu kelompok terhadap yang lain,
tetapi menunjuk pada beragamnya hubungan kekuasaan. Kekuasaan
dipahami bukan dalam keterpusatan satu titik atau satu sumber otoritas,
namun berasal dari adanya perbedaan dalam hubungan (Audifax,
2006:227). Dan semboyan-semboyan kekuasaan tersebut “dicantumkan”
dengan cara penjajahan terhadap laki-laki (“pria dijajah wanita”), yang
merupakan cara dalam pencapaian sebuah kekuasaan dengan tujuan
untuk menguasai harta (kekayaan) dari laki-laki tersebut (”harta, kau
buta karnanya”).
115
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan
Berdasarkan pemaknaan yang kemudian dicari penggambarannya,
kesimpulan dari peneliti tentang bentuk kekuasaan perempuan dalam
lirik lagu “Pria Dijajah Wanita” dari grup band indie Kaimsasikun
digambarkan dengan:
1. Terdapat sosok perempuan “pop” Indonesia masa kini yang
merupakan perempuan posfeminis yang terdapat dalam song bait
pertama “Terpujilah kamu, di mata hatinya.” Karakter
perempuan ”pop” dapat disimak dari kalimat bait “Terpujilah
kamu” yang mempunyai makna seorang perempuan yang
mendapatkan suatu semacam penghargaan dari orang lain karena
dianggap istimewa atau mempunyai suatu kelebihan. Sosok
perempuan yang berkarakter kuat, yang merupakan sosok
perempuan masa kini yang hidup di era posmodern yang telah
dikonstruksi oleh budaya pop (populer). Perempuan ”pop”
digambarkan sebagai sosok perempuan yang tangguh, seksi, dan
acuh tak acuh, tidak melihat diri sendiri sebagai korban, dan
menginginkan “kuasa.”
2. Dengan sebuah persuasi yang berupa rayuan dan bujukan, seorang
perempuan ”pop” dapat melakukan suatu bentuk kekuasaan
116
dengan suatu tujuan. Bujukan dan rayuan tersebut merupakan
salah satu cara dalam pencapaian sebuah kekuasaan. Hal ini dapat
disimak dalam song bait kedua ”Bibirmu yang manis, sepenuhnya
bisa.”
3. Terdapat suatu petanyaan bagi sosok perempuan ”pop” tentang
eksistensinya dalam menggapai sebuah kuasa, yaitu dengan
mengambil secara paksa sesuatu yang dimiliki laki-laki (baca: dia)
tersebut dan hal itu sama saja dengan menghancurkan hidup laki-
laki tersebut. Hal tersebut dapat disimak dalam song bait ketiga
”Masihkah dia, kau peras darahnya.”
4. Dengan kecantikan secara fisik (sosok yang digambarkan sangat
cantik), perempuan ”pop” dapat meraih sebuah kekuasaan.
Kekuasaan tersebut dapat diraih dengan sebuah bujukan dan
rayuan dengan mengandalkan kecantikannya sehingga membuat
laki-laki yang diceritakan dalam lirik lagu menjadi kekasihnya
terbuai akan kecantikannya dan ”tak sadar” bahwa dia sedang
dikuasai oleh kekasihnya sendiri. Hal ini dapat disimak dalam song
bait keempat ”Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa.”
5. Dengan sebuah persuasi berupa bujukan dan rayuan serta
kecantikan yang dimiliki yang dipergunakan untuk mempengaruhi
agar dapat menggapai sebuah kekuasaan, seorang perempuan
”pop” ternyata mempunyai sebuah tujuan dalam penggapaian
kekuasaannya terhadap laki-laki yang diceritakan dalam lirik lagu
117
sebagai kekasihnya, yaitu ingin menguasai harta atau kekayaan
yang dimiliki oleh laki-laki tersebut. Dengan alasan sebuah status
atas citra diri yang lebih, bahwa dengan sebuah kekayaan
seseorang dapat dipandang oleh orang lain dan tidak dipandang
sebelah mata. Karena perempuan ”pop” merupakan perempuan
yang hidup di era konsumerisme yang dapat terjebak pada suatu
gaya hidup, dan dengan sebuah kekayaan dia dapat mempunyai
gaya hidup yang dia ingini. Dari pandangan akan harta tersebut
yang menyebabkan seorang perempuan ”pop” mempunyai
pandangan dan pemikiran bahwa semua manusia sama yang tidak
dibedakan. Bahwa laki-laki adalah sebuah dominasi dan
perempuan merupakan subordinasi, merupakan stereotipe yang
”dipatahkan” olehnya. Dan hal tersebut sah-sah saja apabila
seorang perempuan ”pop” mempunyai sebuah kuasa dari laki-laki
yang menjadi kekasihnya dengan tujuan, menguasai harta yang
dimiliki laki-laki tersebut. Hal ini dapat disimak dalam reff bait
pertama ”harta, kau buta karnanya”, reff bait kedua ”kau anggap
semua sama”, dan reff bait ketiga ”pria dijajah wanita.”
V.2. Saran
Adapun saran dari peneliti bahwa seorang perempuan harusnya
dikembalikan dalam kodratnya sebagai perempuan layaknya dalam
sistem patriarki yang menganggap seorang perempuan tidak berhak atas
118
kuasa apapun. Laki-laki tetap merupakan pemimpin terutama dalam
sebuah rumah tangga. Akan tetapi bukan berarti sangat membatasi
”gerak” seorang perempuan, yang dimaksud adalah bahwa seorang
perempuan harus menyadari akan kodratnya. Mana yang harus dia
lakukan dan mana yang harus dia batasi, supaya ”kekurang ajaran”
seperti yang digambarkan dalam lirik lagu ini tidak dilakukan.
Seorang perempuan walaupun dia mempunyai ”batas-batas”
dalam sebuah stereotipe yang dikonstruksi oleh masyarakat, dia dapat
menjadi sebuah penentu. Seperti hal-nya sebuah pepatah ”perempuan
adalah tiang negara.” Sama hal-nya seorang ibu yang dapat
membesarkan anaknya dengan baik sehingga anaknya dapat menjadi
tumbuh dewasa dan menjadi orang yang berguna. Dan perempuan yang
kembali ke kodratnya adalah seorang perempuan yang menyadari akan
”batas-batas” yang diberikan padanya. Dengan ”batas-batas” tersebut
seorang perempuan bukannya ditindas atau dijajah, melainkan
dilindungi.
119
DAFTAR PUSTAKA
Adlin, Alfathri, 2006. Resistensi Gaya Hidup: Teori Dan Realitas, Yogyakarta : Jalasutra.
Arivia, Gadis, 2006. Feminisme: Sebuah Kata Hati, Jakarta : Penerbit
Buku Kompas. Audifax, 2006. Imagining Lara Croft: Psikosemiotika, Hiperealitas dan
Simbol-simbol Ketaksadaran, Yogyakarta : Jalasutra. Bainar, 1998, Wacana Perempuan Dalam Ke Indonesiaan dan
Kemoderenan, Yogyakarta : PT. Pustaka Cidesindo. Bertens, K, 2001, Filsafat barat Kontemporer Prancis, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.
Brooks, Ann, 1997. Posfeminisme & Cultural Studies: Sebuah Pengantar Paling Komperhensif, Yogyakarta : Jalasutra.
Budiman, Kris, 2004. Semiotika Visual, Yogyakarta : Penerbit Buku Baik. Fakih, Mansour, 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Handayani, Christina S. – Ardhian Novianto, 2004. Kuasa Wanita Jawa,
LkiS Yogyakarta. Harijani, Donirckro, 2001. Etos Kerja Perempuan Desa, Yogyakarta :
Philosophy Press Harland, Richard. 2006. Superstrukturalisme: Pengantar Komperhensif
Kepada Semiotika, Strukturakisme, dan Postrukturalisme, Yogyakarta : Jalasutra.
Ibrahim, Idi Subandy 1997. Lifestyle Ecstasy: kebudayaan pop dalam masyarakat komoditas Indonesia, Yogyakarta : Jalasutra.
Kurniawan, 2001. Semiologi Roland Barthes, Penerbit Yayasan
INDONESIATERA. Moleong, Lexy, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya.
120
Mosse, Julia Cleves, 1996. Gender dan Pembangunan, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar. Mulyana, Deddy, 2001. Pengantar Ilmu Komunikasi, Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya. Mustaqim, Abdul, 2003. Tafsir Feminisme Vs Tafsir Patriarki,
Yogyakarta : PT. Sabda Persada. Prabasmoro, Aquarini Priyatna, 2006. Kajian Budaya Feminis: Tubuh,
Sastra, dan Budaya Pop, Yogyakarta : Jalasutra. Purwasito, Andik, 2003. Komunikasi Multikultural, Surakarta:
Muhhamadiyah University Press Rakhmat, Jalaludin, 2003. Psikologi Komunikasi, Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya. Ridjal, Fauzie, 1993. Dinamika Gerakan Perempuan Di Indonesia,
Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya. Piliang, Yasraf Amir, 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas
Matinya Makna, Yogyakarta : Jalasutra. Sarup, Madan, 2003. Post-Strukturalism End Postmodernism, Jendela,
Yogyakarta. Storey, John, 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Yogyakarta
: Jalasutra. Sobur, Alex, 2003. Semiotika Komunikasi, Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya. Sylado, Remi, 1991. Seni Dalam Masyarakat Indonesia, Yogyakarta :
Duta Wacana University Press ___________, 2001. Analisis Teks Media, Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya. Tong, Rosemarie Putnam, 2004. Feminist Thought: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, Yogyakarta : Jalasutra.
Van Zoest, Aart.1993. Semiotika Tentang Tanda, Cara Bekerjanya dan
Apa Yang Kita Lakukan Dengannya, Jakarta : Yayasan Sumber Agung
121
Non Buku :
Haryogo, Dhimas, 2006. SEMIOLOGI MURAL GRAFITTI (Studi semiologi
gambar mural grafitti, versi tulisan Surabaya di dinding Jl.Gubeng Pojok), Skripsi, Surabaya : FIA, Jurusan Ilmu Komunikasi UPN “Veteran.”
Setianingsih, Ida, 2003. Penggambaran Perempuan Dalam Lirik Lagu,
Skripsi, Surabaya : FIA, Jurusan Ilmu Komunikasi UPN “Veteran.” http://en.wikipedia.org/wiki/Indie_(music) http://www.Geocities.Com www.sekitarkita.com www.parasindonesia.com www.mediaisnet.org http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg01513.htm http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/postcolonial.html http://www.suarapembaruan.com/News/2004/10/14/Hiburan/hib02.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Kekuasaan