Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan tentang kognisi secara umum dan kesadaran akan.docx
-
Upload
irma-safitri -
Category
Documents
-
view
78 -
download
0
Transcript of Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan tentang kognisi secara umum dan kesadaran akan.docx
BAB IIPEMBAHASAN
Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila
mereka dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan.
Suryabrata (1990) berpendapat bahwa berpikir merupakan proses yang dinamis
yang dapat dilukiskan menurut proses atau jalannya. Proses berpikir itu pada
pokoknya terdiri dari 3 langkah, yaitu pembentukan pengertian, pembentukan
pendapat, dan penarikan kesimpulan. Pandangan ini menunjukkan jika seseorang
dihadapkan pada suatu situasi, maka dalam berpikir, orang tersebut akan
menyusun hubungan antara bagian-bagian informasi yang direkam sebagai
pengertian-pengertian. Kemudian orang tersebut membentuk pendapat-pendapat
yang sesuai dengan pengetahuannya. Setelah itu, ia akan membuat kesimpulan
yang digunakan untuk membahas atau mencari solusi dari situasi tersebut.
Ruggiero (1998) mengartikan berpikir sebagai suatu aktivitas mental untuk
membantu memformulasikan atau memecahkan suatu masalah, membuat suatu
keputusan, atau memenuhi hasrat keingintahuan (fulfill a desire to understand).
Pendapat ini menunjukkan bahwa ketika seseorang merumuskan suatu masalah,
memecahkan masalah, ataupun ingin memahami sesuatu, maka ia melakukan
suatu aktivitas berpikir.
Berpikir sebagai suatu kemampuan mental seseorang dapat dibedakan
menjadi beberapa jenis, antara lain berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan
kreatif. Berikut pembahasan tentang berpikir kreatif, berpikir kritis,berpikir
metakognisi, serta hubungannya.
A. Berpikir Kreatif
Berpikir kreatif dan berpikir kritis merupakan perwujudan dari berpikir
tingkat tinggi (Higher Order Thinking). Hal ini karena kemampuan berpikir
tersebut merupakan kompetensi kognitif tertinggi yang perlu dikuasai siswa di
kelas.
The (2003) memberi batasan bahwa berpikir kreatif (pemikiran kreatif)
adalah suatu rangkaian tindakan yang dilakukan orang dengan menggunakan akal
budinya untuk menciptakan buah pikiran baru dari kumpulan ingatan yang berisi
berbagai ide, keterangan, konsep, pengalaman, dan pengetahuan. Pengertian ini
menunjukkan bahwa berpikir kreatif ditandai dengan penciptaan sesuatu yang
baru dari hasil berbagai ide, keterangan, konsep, pengalaman, maupun
pengetahuan yang ada dalam pikirannya.
Evans (1991) menjelaskan bahwa berpikir kreatif adalah suatu aktivitas
mental untuk membuat hubungan-hubungan (conections) yang terus menerus
(kontinu), sehingga ditemukan kombinasi yang “benar” atau sampai seseorang itu
menyerah. Asosiasi kreatif terjadi melalui kemiripan-kemiripan sesuatu atau
melalui pemikiran analogis. Asosasi ide-ide membentuk ide-ide baru. Jadi,
berpikir kreatif mengabaikan hubungan-hubungan yang sudah mapan, dan
menciptakan hubungan-hubungan tersendiri. Pengertian ini menunjukkan bahwa
berpikir kreatif merupakan kegiatan mental untuk menemukan suatu kombinasi
yang belum dikenal sebelumnya.
Berpikir kreatif dapat juga dipandang sebagai suatu proses yang digunakan
ketika seorang individu mendatangkan atau memunculkan suatu ide baru. Ide baru
tersebut merupakan gabungan ide-ide sebelumnya yang belum pernah diwujudkan
(Infinite Innovation Ltd, 2001). Pengertian ini lebih menfokuskan pada proses
individu untuk memunculkan ide baru yang merupakan gabungan ide-ide
sebelumnya yang belum diwujudkan atau masih dalam pemikiran. Pengertian
berpikir kreatif ini ditandai adanya ide baru yang dimunculkan sebagai hasil dari
proses berpikir tersebut. Berdasar pendapat (Ruggiero, 1998; The, 2003; Evans,
1991; Infinite Innovation Ltd, 2001), maka berpikir kreatif dapat diartikan
sebagai “suatu kegiatan mental yang digunakan seorang untuk membangun ide-
ide atau gagasan yang baru.”
Jika ingin mengetahui kemampuan berpikir kreatif seseorang maka dapat
ditunjukkan melalui produk pemikiran atau kreativitasnya menghasilkan sesuatu
yang “baru”. Munandar (1999b) menunjukkan indikasi berpikir kreatif dalam
definisinya bahwa “kreativitas (berpikir kreatif atau berpikir divergen) adalah
kemampuan menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah,
dimana penekanannya pada kuantitas, ketepatgunaan, dan keberagaman jawaban.”
Pengertian ini menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kreatif seseorang makin
tinggi, jika ia mampu menunjukkan banyak kemungkinan jawaban pada suatu
masalah. Semua jawaban itu harus sesuai dengan masalah dan tepat. Selain itu
jawaban harus bervariasi.
“Misalkan anak diminta memikirkan penggunaan yang tidak lazim dari benda sehari-hari. Sebagai contoh “sapu ijuk”. Jika jawaban anak menyebut: untuk memukul ayam, main kuda-kudaan, untuk membuat rambut boneka, untuk menyumbat lubang, untuk menyaring air, atau membuat hiasan.”
Jawaban itu menunjukkan variasi atau keberagaman. Jika ia menyebut untuk
membersihkan lantai, menyapu halaman, membersihkan langit-langit, atau
mengambil sampah, maka jawaban tersebut tidak menunjukkan variasi meskipun
banyak, karena semua menyangkut sapu ijuk untuk membersihkan sesuatu. Olson
(1996) menjelaskan bahwa untuk tujuan riset mengenai berpikir kreatif,
kreativitas (sebagai produk berpikir kreatif) sering dianggap terdiri dari dua unsur,
yaitu kefasihan dan keluwesan (fleksibilitas). Kefasihan ditunjukkan dengan
kemampuan menghasilkan sejumlah besar gagasan pemecahan masalah secara
lancar dan cepat. Keluwesan mengacu pada kemampuan untuk menemukan
gagasan yang berbeda-beda dan luar biasa untuk memecahkan suatu masalah.
Indikasi kemampuan berpikir kreatif ini sama dengan Munandar (1999b) tidak
menunjukan secara tegas kriteria “baru” sebagai sesuatu yang tidak ada
sebelumnya. “Baru” lebih ditunjukkan dari keberagaman (variasi) atau perbedaan
gagasan yang dihasilkan.
Williams (dalam Al-Khalili, 2005) menunjukkan ciri kemampuan berpikir
kreatif yaitu :
1. Kefasihan adalah kemampuan untuk menghasilkan pemikiran atau
pertanyaan dalam jumlah yang banyak.
2. Fleksibilitas adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak macam
pemikiran, dan mudah berpindah dari jenis pemikiran tertentu pada jenis
pemikiran lainnya.
3. Orisionalitas adalah kemampuan untuk berpikir dengan cara baru atau
dengan ungkapan yang unik, dan kemampuan untuk menghasilkan
pemikiran-pemikiran yang tidak lazim daripada pemikiran yang jelas
diketahui.
4. Elaborasi adalah kemampuan untuk menambah atau memerinci hal-hal yang
detil dari suatu objek, gagasan, atau situasi.
Aspek-aspek itu banyak digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif
yang bersifat umum dan penekanannya pada produk kreatif.
Guilford (dalam The, 2003) mengemukakan 2 asumsi dalam berpikir kreatif,
yaitu: pertama, setiap orang dapat kreatif sampai suatu derajat tertentu dalam
suatu cara tertentu. Kedua, kemampuan berpikir kreatif merupakan keterampilan
yang dapat dipelajari. Jadi masing-masing orang mempunyai derajat kreativitas
yang berbeda-beda dan mempunyai cara tersendiri untuk mewujudkan
kreativitasnya. The (2003) menjelaskan bahwa kemampuan berpikir kreatif
seseorang dapat ditingkatkan dengan memahami proses berpikir kreatifnya dan
berbagai faktor yang mempengaruhi, serta melalui latihan yang tepat. Pengertian
ini menunjukkan bahwa kemampuan kreatif seseorang bertingkat (berjenjang) dan
dapat ditingkatkan dari satu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi. Cara untuk
meningkatkan tersebut dengan memahami proses berpikir kreatif dan faktor-
faktornya, serta melalui latihan.
Hurlock (1999) juga mengatakan bahwa kreativitas memiliki berbagai
tingkatan seperti halnya pada tingkatan kecerdasan. Karena kreativitas merupakan
perwujudan dari proses berpikir kreatif, maka berpikir kreatif juga mempunyai
tingkat. Tingkat kemampuan berpikir kreatif (TKBK) di sini diartikan sebagai
suatu jenjang berpikir yang hierarkhis dengan dasar pengkategoriannya berupa
produk berpikir kreatif (kreativitas).
De Bono (dalam Barak & Doppelt, 2000) mendefinisikan 4 tingkat
pencapaian dari perkembangan keterampilan berpikir kreatif, yaitu kesadaran
berpikir, observasi berpikir, strategi berpikir dan refleksi pemikiran.
Tabel 2.1: Tingkat Berpikir Kreatif dari De Bono
Level 1: Awareness of Thinking General awareness of thinking as a skill.
Willingness to think about something. Willingness to investigate a particular
subject. Willingness to listen to others.
Level 2: Observation of Thinking. Observation of the implications of action
and choice, consideration of peers’ points view, comparison of alternative.
Level 3: Thinking strategy. Intentional use of a number of thinking tools,
organization of thinking as a sequence of steps. Reinforcing the sense of
purpose in thinking.
Level 4: Reflection on thinking. Structured use of tools, clear awareness of
reflective thinking, assesment of thinking by thinker himself. Planning
thinking tasks and methods to perform them.
Tingkat 1 merupakan tingkat berpikir kreatif yang rendah, karena hanya
mengekspresikan terutama kesadaran siswa terhadap keperluan menyelesaikan
tugasnya saja. Tingkat 2 menunjukkan berpikir kreatif yang lebih tinggi karena
siswa harus menunjukkan bagaimana mereka mengamati sebuah implikasi
pilihannya, seperti penggunaan komponen-komponen khusus atau algoritma-
algoritma pemrograman. Tingkat 3 merupakan tingkat yang lebih tinggi
berikutnya karena siswa harus memilih suatu strategi dan mengkoordinasikan
antara bermacam-macam penjelasan dalam tugasnya. Mereka harus memutuskan
bagaimana tingkat detail yang diinginkan dan bagaimana menyajikan urutan
tindakan atau kondisi-kondisi logis dari sistem tindakan. Tingkat 4 merupakan
tingkat tertinggi karena siswa harus menguji sifat-sifat produk final
membandingkan dengan sekumpulan tujuan. Menjelaskan simpulan terhadap
keberhasilan atau kesulitan selama proses pengembangan, dan memberi saran
untuk meningkatkan perencanaan dan proses konstruksi. Tingkat kemampuan
berpikir kreatif ini menggambarkan secara umum strategi berpikir tidak hanya
dalam matematika. Barak dan Doppelt mengembangkan kriteria tingkat berpikir
berdasar ide ini untuk tugas portfolio siswa.
Proses berpikir kreatif digambarkan dalam tabel berikut :
Tabel 2.2: Perbandingan Pengertian Proses Berpikir Kreatif
Berdasar Tabel 2.2 tersebut tampak bahwa ciri pokok dari proses berpikir
kreatif terletak pada tahap pembangkitan/penciptaan ide (generating idea). Bila
pendapat-pendapat di atas dirangkum, maka akan didapat tahap, yaitu mensintesis
ide, membangun ide, merencanakan penerapan dan menerapkan ide. Dalam
penelitian ini, pengertian masing-masing tahap itu adalah:
1. Mensintesis ide artinya menjalin atau memadukan ide-ide (gagasan) yang
dimiliki yang dapat bersumber dari pembelajaran di kelas maupun
pengalamannya sehari-hari.
2. Membangun ide-ide artinya memunculkan ide-ide yang berkaitan dengan
masalah yang diberikan sebagai hasil dari proses sintesis ide sebelumnya.
3. Merencanakan penerapan ide artinya memilih suatu ide tertentu untuk
digunakan dalam menyelesaikan masalah yang diberikan atau yang ingin
diselesaikan.
4. Menerapkan ide artinya mengimplementasikan atau menggunakan ide yang
direncanakan untuk menyelesaikan masalah.
Untuk mengetahui apa yang terjadi ketika melakukan tahap-tahap itu, siswa atau
subjek akan diwawancarai secara mendalam hal-hal yang menyangkut keempat
tahap itu dan kaitan-kaitan yang mungkin mempengaruhinya.
B. Berpikir Kitis
C. Berpikir Metakognisi
Pengertian metakognisi yang dikemukakan para pakar pada umumnya
memberikan penekanan pada proses berpikir seseorang. Pengertian yang paling
umum dari metakognisi adalah berpikir tentang berpikir (Elaine & Sheila, 1990;
Huitt, 1997; NCREL, 1995; Kasper, 1993; O’Neil & Brown, 1997; Livington,
1997). Namun untuk dapat memahami lebih mandalam tentang pengertian
metakognisi, maka berikut dikemukakan pengertian metakognisi dari beberapa
pakar beserta penjelasannya.
O’Neil dan Brown (1997) mengemukakan pengertian metakognisi sebagai
proses di mana seseorang berpikir tentang berpikir mereka sendiri dalam rangka
membangun strategi untuk memecahkan masalah. Sejalan dengan pengertian di
atas, Mohamad Nur (2000) mengemukakan bahwa metakognisi berhubungan
dengan berpikir siswa tentang berpikir mereka sendiri dan kemampuan mereka
menggunakan strategi-strategi belajar tertentu dengan tepat. Huitt (1997)
mendefinisikan metakognisi sebagai pengetahuan seseorang tentang sistem
kognitifnya, berpikir seseorang tentang berpikirnya, dan keterampilan esensial
seseorang dalam “belajar untuk belajar’.
Flavel (Livington, 1997) mengemukakan bahwa metakognisi meliputi dua
komponen, yaitu (a) pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge), dan
(b) pengalaman atau regulasi metakognitif (metacognitive experiences or
reguloation). Pendapat yang serupa juga dikemuakan oleh Baker & Brown, 1984;
Gagne, E; 1993 dalam (Mohamad Nur, 2000) bahwa metakognisi memiliki dua
komponen, yaitu (a) pengetahuan tentang kognisi, dan (b) mekanisme
pengendalian diri dan monitoring kognitif. Sedangkan Huitt (1997)
mengemukakan dalam redaksi yang berbeda tentang dua komponen yang
termasuk dalam metakognisi, yaitu (a) apa yang kita ketahui atau tidak ketahui,
dan (b) regulasi bagaimana kita belajar. Gambaran lebih jelas tentang komponen-
komponen metakognisi dapat dipahami dalam pengertian metakognisi yang
dikemukakan oleh Flavel (1985) dalam Mohamad Nur (2000) sebagai berikut:
“ metakognisi adalah pengetahuan seseorang berkenaan dengan proses dan produk kognitif orang itu sendiri atau segala sesuatu yang berkaitan dengan proses dan produk tersebut. …… Metakognitif berhubungan, salah satu diantaranya, dengan pemonitoran aktif dan pengendalian yang konsekwen serta pengorganisasian proses pemonitoran dan pengendalian ini dalam hubungannya dengan tujuan kognitif, pada mana proses-proses tersebut menunjang, umumnya dalam mendukung sejumlah tujuan konkret.”
Pengetahuan metakognitif merujuk pada pengetahuan umum tentang
bagaimana seseorang belajar dan memproses informasi, seperti pengetahuan
seseorang tentang proses belajarnya sendiri. Anderson dan Krathwohl (2001)
mengemukakan bahwa pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan tentang
kognisi secara umum, seperti kesadaran-diri dan pengetahuan tentang kognisi diri
sendiri. Pengetahuan kognitif cenderung diterima sebagai pengetahuan tentang
proses kognitif yang dapat digunakan untuk mengontrol proses kognitif.
Sedangkan Mohamad Nur (2000) mengemukakan bahwa pengetahuan tentang
kognitif terdiri dari informasi dan pemahaman yang dimiliki seseorang pebelajar
tentang proses berpikirnya sendiri disamping pengetahuan tentang berbagai
strategi belajar untuk digunakan dalam situasi pembelajaran tertentu. Misalnya,
seseorang dengan tipe belajar visual mengetahui bahwa membuat suatu peta
konsep merupakan cara terbaik baginya untuk memahami dan meningat sejumlah
besar informasi baru.
Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan beberapa pakar di
atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa secara sederhana metakognisi adalah
pengetahuan seseorang tentang proses berpikirnya sendiri, atau pengetahuan
seseorang tentang kognisinya serta kemampuan dalam mengatur dan mengontrol
aktivitas kognisinya dalam belajar dan berpikir.
Anderson dan Krathwohl (2001) mengemukakan tiga aspek dari
pengetahuan metakognitif, yaitu (a) pengetahuan strategi (strategic knowledge),
(b) pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif, termasuk pengetahuan kontekstual
dan kondisional, dan (c) pengetahuan-diri (self-knowledge). Flavel (1979) dalam
Livingston, (1997) membagi pengetahuan kognitif ke dalam tiga kategori, yaitu
(a) variabel pengetahuan-diri (individu), (b) variabel tugas, dan (c) variabel
strategi.
Sedangkan indikator-indikator metakognisi menurut Hacker tergambar dari
pengertian metakognitif yang dikemukakannya dalam artikel yang berjudul
“Metacognition: Definitions and Empirical Foundations” bahwa metakognitif
adalah proses berpikir seseorang tentang tentang berpikirnya sendiri. Wujud dari
berpikir dalam pengertian ini adalah: apa yang seseorang ketahui (yaitu
pengetahuan metakognitif), apa yang dilakukan seseorang (yaitu keterampilan
metakognitif), dan bagaimana keadaan kognitif dan afektif seseorang (yaitu
pengalaman metakognitif).
Huitt (1997) mengemukakan bahwa metakognisi mencakup kemampuan
seseorang dalam bertanya dan menjawab beberapa tipe pertanyaan berkaitan
dengan tugas yang dihadapi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai
berikut:
(a) Apa yang saya ketahui tentang materi, topik, atau masalah ini?
(b) Tahukah saya apa yang dibutuhkan untuk mengetahuinya?
(c) Tahukah saya dimana dapat memperoleh informasi atau pengetahuan?
(d) Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempelajarinya?
(e) Strategi-strategi atau taktik-taktik apa yang dapat digunakan untuk
mempelajrinya?
(f) Dapatkah saya pahami dengan hanya mendengar, membaca, atau melihat?
(g) Akankah saya tahu jika saya mempelajarinya secara cepat?
(h) Bagaimana saya dapat membuat sedikit kesalahan jika saya membuat
sesuatu?
Marzano dkk (1988) menjelaskan bahwa metakognisi mencakup dua
komponen, yaitu (a) pengetahuan dan kontrol diri, dan (b) pengetahuan dan
kontrol proses. Siswa yang berhasil adalah siswa yang secara sadar dapat
memonitor dan mengontrol belajar mereka. Pusat dari pengetahuan-diri dan
regulasi-diri adalah komitmen, sikap, dan perhatian. Sedangkan elemen dari
pengetahuan dan kontrol proses adalah (a) pengetahuan penting dalam
metakognitif dan (b) kontrol pelakasana dari perilaku
Metakognisi sebagai pengetahuan dan keterampilan tentu dapat diajarkan,
dilatihkan, atau dikembangkan. Osman & Hannafin (1992) dalam Huitt (1997)
mengemukakan dua kriteria untuk mengklasifikasikan strategi-strategi pelatihan
metakognitif, yakni (a) pendekatan pelatihan (training approach), dan (b)
hubungan dengan isi pelajaran (relationship to lesson content). Mereka
menggambarkan strategi-strategi pelatihan metakognitif berdasarkan
pendekatannya, ada yang melekat (embedded) atau tergabung dalam isi pelajaran
dan ada yang diajarkan secara terpisah (detached) dari materi akademik.
Berdasarkan hubungannya dengan konten/isi pelajaran, startegi-strategi mungkin
tergantung pada (dependent on), atau bebas dari (independen of) konten/isi
pelajaran. Strategi content-dependent terfokus secara eksplisit pada konsep-
konsep yang dipelajari dari konten khusus. Sebaliknya strategi content-
independent adalah bebas dari konten, yakni strategi umum yang tidak spesifik
pada materi-materi akademik tertentu.
Blakey & Spence (1990) mengemukakan strategi-startegi atau langkah-
langkah untuk meningkatkan keterampilan metakognitif, yakni:
(a) Mengidentifikasi “apa yang kau ketahui” dan “apa yang kau tidak ketahui”
Memulai aktivitas pengamatan, siswa perlu membuat keputusan yang
disadari tentang pengetahuan mereka. Pertama-tama siswa menulis “ apa yang
sudah saya ketahui tentang ….” dan “apa yang ingin saya pelajari tentang ….”
Dengan menyelidiki suatu topik, siswa akan menverifikasi, mengklarivikasi dan
mengembangkan, atau mengubah pernyataan awal mereka dengan informasi yang
akurat.
(b) Berbicara tentang berpikir (Talking about thinking)
Selama membuat perencanaan dan memecahkan masalah, guru boleh
“menyuarakan pikiran” (think aloud), sehingga siswa dapat ikut
mendemonstrasikan proses berpikir. Pemecahan masalah berpasangan
merupakan strategi lain yang berguna pada langkah ini. Seorang siswa
membicarakan sebuah masalah, mendeskripsikan proses berpikirnya, sedangkan
pasangannya mendengarkan dan bertanya untuk membantu mengklarifikasi proses
berpikir.
(c) Membuat jurnal berpikir (keeping thinking journal)
Cara lain untuk mengembangkan metakognisi adalah melalui penggunaan
jurnal atau catatan belajar. Jurnal ini berupa buku harian dimana setiap siswa
merefleksi berpikir mereka, membuat catatan tentang kesadaran mereka terhadap
kedwiartian (ambiguities) dan ketidakkonsistenan, dan komentar tentang
bagaimana mereka berurusan/menghadapi kesulitan.
(d) Membuat perencanaan dan regulasi-diri
Siswa harus mulai bekerja meningkatkan responsibilitas untuk
merencanakan dan meregulasi belajar mereka. Sulit bagi pebelajar menjadi orang
yang mampu mengatur diri sendiri (self-directed) ketika belajar direncanakan dan
dimonitori oleh orang lain.
(e) Melaporkan kembali proses berpikir (Debriefing thinking process)
Aktivitas terakhir adalah menfokuskan diskusi siswa pada proses berpikir
untuk mengembangkan kesadaran tentang strategi-strategi yang dapat
diaplikasikan pada situasi belajar yang lain. Metode tiga langkah dapat digunakan;
Pertama: guru mengarahkan siswa untuk mereviu aktivitas, mengumpulkan data
tentang proses berpikir; Kedua: kelompok mengklasifikasi ide-ide yang terkait,
mengindentifikasi strategi yang digunakan; Ketiga: mereka mengevaluasi
keberhasilan, membuang strategi-strategi yang tidak tepat, mengindentifikasi
strategi yang dapat digunakan kemudian, dan mencari pendekatan alternatif yang
menjanjikan.
(f) Evaluasi-diri (Self-evaluation)
Mengarahkan pengalaman-pengalaman evaluasi-diri dapat diawali melalui
pertemuan individual dan daftar-daftar yang berfokus pada proses berpikir. Secara
bertahap, evaluasi-diri akan lebih banyak diplikasikan secara independen.
Huitt (1997) mengemukakan beberapa contoh strategi guru untuk
meningkatkan kemampuan metakognisi siswa, yakni:
(a) Mintalah siswa untuk memonitor belajar dan berpikir mereka sendiri.
(b) Mintalah siswa mempelajari strategi-strategi belajar, seperti SQ3R dan
SQ4R.
(c) Mintalah siswa membuat prediksi tentang informasi yang akan
dipresentasikan berdasarkan apa yang telah mereka baca.
(d) Mintalah siswa menghubungkan ide-ide untuk membentuk struktur
pengetahuan.
(e) Mintalah siswa membuat pertanyaan; bertanya pada diri mereka sendiri
tentang apa yang terjadi di sekeliling mereka.
(f) Bantulah siswa untuk mengetahui kapan bertanya untuk membantu.
(g) Tunjukkan siswa bagaimana mentransfer pengetahuan, sikap, nilai, dan
keterampilan pada situasi atau tugas lain.
Selanjutnya, Collins (1994) mengutip Armbruster (1983) bahwa
pengembangan metakognisi kelihatnya terkait dengan kecakapan dalam belajar.
Para peneliti menyarankan bahwa pebelajar pertama-tama harus menyadari
struktur dari teks sebagai pengetahuan tentang tugas dan karakteristik pribadi
mereka sendiri sebagai pebelajar, sebelum mereka dapat mengontrol secara
strategis proses belajar untuk mengoptimalkan pengaruh dari faktor-faktor
tersebut. Lebih jauh, Collins menyatakan bahwa kesadaran akan keterampilan
metakognitif dapat dikumpulkan sedikit demi sedikit melalui pengajaran. Guru
dapat membantu siswa belajar dari membaca, mereka dapat mendorong siswa
untuk berperan aktif dalam membaca, sehingga menjadi pebelajar yang
independen. Mengintegrasikan keterampilan metakognitif dalam pembelajaran di
kelas dapat membuat tujuan tersebut dapat dicapai.
Strategi peningkatan metakognisi yang dikemukakan di atas merupakan
strategi umum yang dapat diterapkan pada mata pelajaran apa saja, tentu setelah
diadakan penyesuaian dengan karakteristik mata palajaran yang bersangkutan
(pengetahuan tentang tugas) dan karakteristik pribadi siswa (pengetahuan-diri).
Misalnya, pada saat siswa diminta untuk membuat jurnal atau catatan belajar,
siswa dengan tipe belajar visual akan lebih efektif jika diarahkan untuk membuat
peta konsep atau diagram; Sebaliknya siswa dengan tipe belajar auditorial lebih
efektif jika diarahkan untuk membuat catatan dalam bentuk kata-kata atau
kalimat sehingga dapat dibaca dengan keras, baik oleh dia sendiri maupun dengan
bantuan temannya.
Faktor lain yang juga turut mempengaruhi penggunaan strategi tersebut di
atas adalah model disain instruksional yang dipergunakan oleh guru. Misalnya,
model disain instruksional yang dipergunakan akan menentukan pemilihan
pendekatan pelatihan metakognitif yang dipergunakan, apakah dilakukan terpisah
dari konten atau tergabung/terkait dalam konten.
Berpikir kritis dapat dipandang sebagai kemampuan berpikir siswa untuk membandingkan dua atau lebih informasi, misalkan informasi yang diterima dari luar dengan informasi yang dimiliki. Bila terdapat perbedaan atau persamaan, maka ia akan mengajukan pertanyaan atau komentar dengan tujuan untuk mendapatkan penjelasan. Berpikir kritis sering dikaitkan dengan berpikir kreatif.
Dalam memandang kaitan antara berpikir kreatif dan berpikir kritis terdapat dua pandangan. Pertama memandang berpikir kreatif bersifat intuitif yang berbeda dengan berpikir kritis (analitis) yang didasarkan pada logika, dan kedua memandang berpikir kreatif merupakan kombinasi berpikir yang analitis dan intuitif. Berpikir yang intuitif artinya berpikir untuk mendapatkan sesuatu dengan menggunakan naluri atau perasaan (feelings) yang tiba-tiba (insight) tanpa berdasar fakta-fakta yang umum. Pandangan pertama cenderung dipengaruhi oleh pandangan terhadap dikotomi otak kanan dan kiri yang mempunyai fungsi berbeda, sedang pandangan kedua melihat dua belahan otak bekerja secara sinergis bersama-sama yang tidak terpisah.