pengetahuan lokal dan konflik ekologis

35
MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN SINAR RESMI: KEPEMIMPINAN, SOLIDARITAS SOSIAL, DAN KONFLIK EKOLOGIS Penulis : Rita Rahmawati Alamat : Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial, Pokitik dan Komunikasi PENDAHULUAN Kasepuhan Sinar resmi merupakan suatu organisasi sosial yang mengatur kehidupan masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi. Kasepuhan ini berada di wilayah Desa Sirna Resmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi. Lokasinya berada di sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Karena berada di sekitar hutan TNGHS inilah, keberadaan Kasepuhan Sinar Resmi menjadi menarik untuk dibahas. Apalagi lembaga Kasepuhan dan masyarakatnya mengembangkan suatu cara hidup yang khas terutama dalam memaknai hubungan manusia dengan alam. Kasepuhan Sinar resmi mempunyai fungsi mengatur setiap aspek kehidupan masyarakatnya terutama dalam memperlakukan alam. Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi mempunyai konsep pengetahuan dan cara sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Melalui konsep pancer pangawinan masyarakat mensandarkan kehidupannya pada 1

Transcript of pengetahuan lokal dan konflik ekologis

Page 1: pengetahuan lokal dan konflik ekologis

MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN SINAR RESMI: KEPEMIMPINAN, SOLIDARITAS SOSIAL, DAN

KONFLIK EKOLOGIS

Penulis : Rita Rahmawati

Alamat : Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu

Sosial, Pokitik dan Komunikasi

PENDAHULUAN

Kasepuhan Sinar resmi merupakan suatu organisasi sosial yang

mengatur kehidupan masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi.

Kasepuhan ini berada di wilayah Desa Sirna Resmi Kecamatan Cisolok

Kabupaten Sukabumi. Lokasinya berada di sekitar Taman Nasional

Gunung Halimun Salak (TNGHS). Karena berada di sekitar hutan TNGHS

inilah, keberadaan Kasepuhan Sinar Resmi menjadi menarik untuk

dibahas. Apalagi lembaga Kasepuhan dan masyarakatnya

mengembangkan suatu cara hidup yang khas terutama dalam memaknai

hubungan manusia dengan alam.

Kasepuhan Sinar resmi mempunyai fungsi mengatur setiap aspek

kehidupan masyarakatnya terutama dalam memperlakukan alam.

Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi mempunyai konsep pengetahuan

dan cara sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Melalui konsep

pancer pangawinan masyarakat mensandarkan kehidupannya pada

keterikatan atas tanah, dan melalui tanah tersebut mereka

mengembangkan system nafkah pertanian yang khas sesuai aturan

lembaga kasepuhan.

Dalam hal mengatur kelestarian lingkungan dan bagaimana

lingkungan tersebut dapat memberi manfaat untuk kehidupan masyarakat,

Kasepuhan memegang tradisi mengenai wewengkon, yaitu pengetahuan

lokal tentang zonasi hutan, dimana hutan dibagi ke dalam zonasi sebagai

berikut (1) Hutan titipan, (2) Hutan tutupan, dan (3) Hutan garapan.

1

Page 2: pengetahuan lokal dan konflik ekologis

Pengetahuan ini telah dikembangkan secara turun temurun dan mengatur

relasi masyarakat dengan alam (hutan).

Sejak diterbitkannya kebijakan perluasan Taman Nasioanal melalui

SK Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 telah menyebabkan

masyarakat adat Kasepuhan kehilangan akses terhadap hutan. Padahal

keberhasilan pengelolaan Taman Nasional sangat bergantung pada

penghargaan yang dapat diterima oleh masyarakat sekitar dari kawasan

yang dilindungi. Dimana, kalau sebuah kawasan yang dilindungi

dipandang sebagai penghalang, maka masyarakat setempat dapat

menggagalkan usaha pelestariannya. Tetapi bila dianggap sebagai

sesuatu yang positif manfaatnya, maka masyarakat senantiasa akan

sangat mendukung bahkan dapat menunjang kawasan yang dilindungi.

Dari hasil kajian Bulmer (1982), Rathakette (1984), Dove (1993),

Amadja (1993), Tjitradjaja dkk (1994) yang mewakili perspektif fungsional,

diketahui bahwa bagi penduduk lokal, hutan bukan hanya disikapi sebagai

sumber daya yang berguna untuk memenuhi hajat ekonomi semata,

melainkan juga berhubungan erat dengan aspek kepercayaan, ritual dan

institusi sosial. Lebih lanjut Bulmer (1982) mengungkapkan bahwa

kepercayaan dan pantangan ritual memungkinkan penduduk Papua New

Guinea mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang ada di hutan

sesuai asas konservasi.

Namun kenyataannya, masyarakat selalu dituduh sebagai perusak

hutan. Beberapa kebijakan kehutanan di negara dunia ketiga bahkan

sering memojokkan masyarakat lokal di sekitar hutan, sehingga

berdampak paa pengrusakan hutan itu sendiri. Kebanyakan sistem

pengelolaan hutan di dunia ketiga telah gagal mengatasi kemerosotan

hutan maupun kemiskinan pedesaan. Beberapa sistem negara bahkan

memperparah kemerosotan hutan karena makin merunyamkan

kemiskinan penduduk desa yang tinggal di pinggiran hutan. Hasil kontra

produktif demikian sebagian disebabkan oleh tata hukum dan

keorganisasian gaya kolonial yang masih mendominasi pengelolaan hutan

oleh negara (Blaikie 1985:53).

2

Page 3: pengetahuan lokal dan konflik ekologis

Persoalan tersebut terjadi karena realitas kehutanan hampir selalu

menghasilkan kondisi paradoks. Lima tahun sejak gerakan reformasi

kehutanan mengusung konsep ”forest for people”, namun pada

kenyataannya sistem dan praktek hutan Indonesia justru menunjukkan

gejala makin jauh dari eksistensi praktek-praktek pengelolaan hutan oleh

masyarakat (Iskandar, 2004). Sehingga konflik antara masyarakat dan

taman nasionalpun tidak terhindarkan.

Kasus mengenai kelembagaan Kasepuhan Sinar Resmi dalam

mengatur relasi manusia dan alam, dimana faktor-faktor kepemimpinan,

solidaritas sosial dan konflik ekologis mewarnai kehidupan masyarakat

tersebut dan berpengaruh terhadap lestari dan rusaknya hutan Taman

Nasional Gunung Halimun Salak, akan dikupas melalui pendekatan teori

Timur dan Barat.

PANDANGAN TIMUR DAN BARAT MENGENAI KEPEMIMPINAN DAN OTORITAS

Kasepuhan Sinar Resmi sebagai sebuah organisasi sosial

berfungsi mengatur peradaban masyarakat Kasepuhan terutama dalam

memenuhi kebutuhan hidupnya melalui mata pencaharian yang bertumpu

pada pertanian padi. Pola pertanian tradisional yang ditunjukkan warga

Kasepuhan memiliki hubungan yang sangat erat antara praktek pertanian,

organisasi sosial, sistem kepercayaan dengan unsur-unsur alam seperti

tanah, air, udara, sinar matahari, cuaca dan lain-lain.

Pemimpin tertinggi di Kasepuhan adalah Abah. Proses penunjukan

Abah menjadi ketua adat berdasarkan keturunan dan melalui mekanisme

mistis (wangsit). Wangsit itu dicirikan dengan kemampuan membaca do’a

amit (menanam padi) yang sebelumnya tidak pernah diajarkan melainkan

hanya diketahui oleh Abah (pemimpin adat sebelumnya). Namun

demikian, sebenarnya bahwa calon pemimpin di masa datang sudah

terlihat sejak kecil, dicirikan oleh sikap dan perilakunya yang lebih

bijaksana dan berwibawa dibandingkan saudara-saudara lainnya,

sehingga berdasarkan sifat-sifat tersebut, Kasepuhan (Abah dan

3

Page 4: pengetahuan lokal dan konflik ekologis

strukturnya) mempersiapkan anak tersebut untuk kelak menjadi seorang

pemimpin. Kewibawaan pemimpin adat lembaga Kasepuhan ini menjadi

ciri dominan. Legalitas pemimpin yang diangkat berdasarkan wangsit

dipertegas dengan sifat kewibawaan, sehingga dia mempunyai otoritas/

kewenangan atas organisasi sosial dan masyarakatnya.

Dalam pandangan Timur, pentingnya unsur kewibawaan menjadi

ciri utama sebuah kepemimpinan. Sebagaimana disampaikan Ibn

Khaldun (2001), bahwa ketika manusia telah mencapai organisasi

kemasyarakatan, dan ketika peradaban manusia telah menjadi kenyataan,

umat manusiapun memerlukan seorang yang akan melaksanakan

kewibawaan dan memelihara mereka, karena permusuhan dan kezaliman

adalah merupakan watak hewani yang dimiliki oleh manusia. Orang

melaksanakan kewibawaan itu haruslah salah seorang di antara mereka

sendiri. Ia harus menguasai mereka, dan mempunyai kekuatan dan

wibawa melebihi mereka, sehingga tak seorangpun diantara mereka

sanggup menyerang lainnya. Inilah yang dinamakan kekuasaan (mulk.

Ar.) atau kedaulatan. Makhluk manusia secara mutlak memerlukan

otoritas untuk melaksanakan kewibawaan. Dengan demikian bahwa

kewibawaan diperlukan untuk menjadikan seseorang memiliki legalitas

sebagai pemimpin, karena dengan kewibawaan, seorang pemimpin dapat

menyelesaikan masalah permusuhan menghindari kezaliman dan

mempertahankan diri dari serangan manusia lainnya.

Selanjutnya Ibn Khaldun mengemukakan bahwa kewibawaan

merupakan watak (tabiat) khusus manusia yang menonjol pada salah

satu diantara anggota kelompok organisasi sosial, yang memungkinkan

orang tersebut menjadi seorang pemimpin. Sifat kewibawaan ini terkait

erah dengan sifat nubuwah. Menurut Ibn Khaldun, ada beberapa

pemimpin manusia yang diberkahi nubuwah yaitu salah satu watak khas

manusia yang mencirikan sifat-sifat kewibawaan dan sifat-sifat baik

lainnya. Namun demikian selain kewibawaan dan nubuwah, seorang

pemimpin manusia haruslah mempunyai kemampuan yang berasal dari

fikrah (kemampuan berfikir) dan siyasah (politik).

4

Page 5: pengetahuan lokal dan konflik ekologis

Selain otoritas yang bersumber dari kewibawaan, ada juga otoritas

lain dimana eksistensi dan kehidupan manusia ada tanpa adanya

nubuwwah dan kewibawaan yaitu lewat peraturan yang dibuat oleh orang

yang berkuasa sesukanya (aspek legal formal/ atau rasional dalam

pandangan Barat), atau dengan bantuan solidaritas sosial (al’-ashabiyah)

yang memungkinkan baginya untuk memaksa orang lain agar

mengikutinya ke mana saja mereka ia bawa. Dengan demikian menurut

Ibn Khaldun, bahwa otoritas kepemimpinan bisa berasal dari kewibawaan

dan nubuwwah, peraturan (formal-legal/ rasional) maupun karena adanya

solidaritas sosial.

Konsep mengenai otoritas yang dimiliki oleh seorang pemimpin

dalam pandangan Timur memiliki kesamaan dan perbedaan dengan

pandangan Barat. Menurut Max Weber (dalam Ritzer dan Goodman,

2004), bahwa struktur otoritas hadir di setiap institusi sosial, dan otoritas

tersebut karena adanya dominasi sebagai probabilitas atas perintah

tertentu yang akan dipatuhi sekelompok orang. Dominasi dapat memiliki

beragam basis sah maupun tidak namun yang terutama menarik

perhatian Weber adalah bentuk dominasi yang sah yang disebutnya

otoritas. Weber menyebutkan lebih lanjut mengenai dasar yang digunakan

oleh para pengikut (anggota masyarakat) untuk melegitimasi sebuah

otoritas, yaitu rasional, tradisional dan kharismatik.

Otoritas yang mendapat legitimasi rasional bersandar pada

kepercayaan akan legalitas aturan tertulis dan hak mereka yang diberi

otoritas berdasarkan aturan untuk mengeluarkan perintah. Otoritas yang

mendapatkan legitimasi tradisional berdasarkan pada kepercayaan yang

telah mapan terhadap kesucian tradisi kuno dan legitimasi mereka yang

menjalankan otoritas berdasarkan tradisi tersebut. Adapun otoritas yang

mendapatkan legitimasi dari kharisma adalah didasarkan pada kesetiaan

para pengikutnya terhadap kesucian yang tidak lazim, sosok teladan,

heroisme, atau kekuatan khusus yang dimiliki pemimpin, maupun pada

tatanan normatif yang diberlakukannya.

5

Page 6: pengetahuan lokal dan konflik ekologis

Dengan melihat pandangan Timur dan Barat mengenai

kepemimpinan dan otoritas kepemimpinan, dapat dikatakan bahwa

kepemimpinan Abah Asep (Kasepuhan Sinar Resmi) adalah

kepemimpinan atas dasar otoritas tradisional yang dibangun melalui

tradisi turun temurun dengan diperkuat oleh keberadaan wangsit. Namun

kepemimpinan ini tidak akan kuat tanpa adanya sifat kewibawaan dari

Abah selaku ketua adat. Kewibawaan tersebut ditunjukkan dengan

adanya pandangan bahwa pemimpin adalah panutan. Hal ini begitu jelas

terlihat dalam praktek kehidupan sehari-hari. Apapun yang dilakukan oleh

masyarakat harus seijin Abah. Semua keputusan penting dalam keluarga

masyarakat kasepuhan selalu meminta restu dari Abah. Kondisi ini tentu

sangat berbeda dengan kepemimpinan dalam pandangan Barat yang

cenderung lebih rasional. Dengan demikian, terjadi dikhotomi antara

kepemimpinan Barat yang rasional dengan kepemimpinan Timur

9misalnya kepemimpinan kasepuhan Sinar Resmi) yang berlandaskan

solidaritas sosial.

Sekalipun pandangan Barat mengakui ada otoritas yang bersumber

dari kewibawaan/ kharisma, namun kepemimpinan Barat lebih menitik

beratkan pada unsur rasional baik ada kharisma atau tanpa kharisma.

Mengenai kharisma dalam pandangan Barat, dipahami secara berbeda-

beda oleh para ahli (lihat Bass, 1985; Conger & Kanungo, 1987). Namun

demikian, sekalipun berbeda-beda sampai pada satu pendekatan, bahwa

kharisma dipandang sebagai hasil dari persepsi bawahan/ anggota

organisasi tentang kualitas dan perilaku pemimpin. Weber (1974)

menggunakan kata kharisma sebagai pemimpin yang diberkahi dengan

kualitas yang lain daripada yang lain (luar biasa). Pemimpin yang

kharismatik mempunyai 3 karakter, yaitu adanya kepercayaan diri yang

sangat tinggi, sifat dominan dan keyakinan kuat terhadap kepercayaan/

nilai-nilai yang dianut. Kharisma adalah suatu kepercayaan yang tidak

perlu diragukan terhadap si pemimpin dan misinya, mengandung suatu

keterlibatan emosi yang mutlak dan keinginan untuk mengidentifikasi

dirinya dengan pemimpin tersebut (Wilner, 1968 dalam Bass, 1985).

6

Page 7: pengetahuan lokal dan konflik ekologis

Sekalipun ada konsep kharisma yaitu kewibawaan dalam

pandangan Barat, namun kharisma dalam pandangan Barat identik

dengan sifat individual dari pemimpin tersebut yang menjadikan individu

tersebut dipilih dan mendapat otoritas secara rasional. Hal ini sangat

berbeda dengan kondisi Masyarakat Kasepuhan, dimana pemimpin

diangkat secara tradisional melalui mekanisme wangsit. Pemimpin

mempunyai kewibawaan yang terbentuk sejak lahir dan dipelihara oleh

komunitasnya melalui kesadaran kolektif dan solidaritas bersama.

Kepemimpinan yang bersumber dari sikap kolektif ini mirip dengan model

kepemimpinan di Jepang. Di Jepang telah dikembangkan teori

kepemimpinan yang secara khusus mempertimbangkan sikap kolektif dari

bangsa tersebut. Teori ini dikembangkan pada akhir peran Dunia II, tetapi

hingga saat ini masih dianggap sebagai teori kepemimpinan yang makin

cocok untuk digunakan menjelaskan fenomena dalam konteks bangsa

Jepang.

PANDANGAN TIMUR DAN BARAT MENGENAI SOLIDARITAS SOSIAL

Kaitan antara kepemimpinan dan solidaritas sosial diterangkan

dalam pandangan Timur. Ibn Khaldun dengan mengambil contoh di

kalangan suku Badui, memperlihatkan adanya pengaruh wibawa yang

datang dari para syeikh dan pemuka suku. Kewibawaan para syekh ini

timbul karena adanya rasa hormat dan penghargaan dari rakyat terhadap

para syeikh dan pemuka suku tersebut, atau dengan kata lain adanya

solidaritas sosial diantara suku tersebut.

Dalam pandangan Timur, solidaritas sosial hanyalah didapati pada

golongan yang dihubungkan oleh pertalian darah atau pertalian lain yang

mempunyai arti sama, dan itu pulalah yang terjadi di masyarakat

Kasepuhan. Solidaritas sosial membentuk masyarakat ini tetap eksis

mempertahankan tradisi, memilih pemimpin dan struktur kelembagaannya

dan melalui kepemimpinan yang berwibawa tadi, semua tradisi dijalankan.

Keberadaan kepemimpinan, struktur kelembagaan yang didasarkan atas

7

Page 8: pengetahuan lokal dan konflik ekologis

keturunan dan ketaatan pengikut (masyarakat Kasepuhan) terhadap

lembaga Kasepuhan disebabkan karena pertalian darah diantara anggota

masyarakat Kasepuhan, yang menurut Ibn Khaldun mempunyai kekuatan

mengikat sehingga membuat setiap anggota masyarakat tersebut dapat

merasakan setiap kesakitan yang menimpa kaumnya. Ketika masyarakat

Kasepuhan menghadapi masalah (konflik) dengan taman nasional yang

menyebabkan hilangnya hak akses masyarakat terhadap sumber daya

hutan yang di klaim oleh masyarakat sebagai kawasan yang telah lama

mereka diami secara turun temurun jauh sebelum taman nasional itu ada,

telah menyatukan masyarakat Kasepuhan dalam suatu solidaritas,

merasakan kesakitan atas suatu penindasan.

Dalam menanggapi kondisi tersebut, mengacu pada pendapat Ibn

Khaldun bahwa orang membenci penindasan terhadap kaumnya, dan

dorongan untuk menolak tiap kesakitan yang mungkin menimpa kaumnya

itu adalah sesuai dengan kodratnya dan tertanam pada dirinya. Oleh

karena itu, solidaritas sosial menyebabkan setiap orang dapat merasakan

semua penderitaan dari anggota masyarakatnya dan menciptakan

ketaatan kepada pemimpinnya. Karena sebagaimana dikemukakan oleh

Ibn Khaldun, bahwa sifat kepemimpinan selalu dimiliki oleh orang tertentu

yang memiliki solidaritas sosial.

Pemimpin hanya dapat dilaksanakan dengan kekuasaan, maka

solidaritas sosial yang dimiliki oleh pemimpin harus lebih kuat daripada

solidaritas lain yang ada, sehingga dia memperoleh kekuasaan dan

sanggup memimpin rakyatnya dengan sempurna. Jika kewajiban atau

keharusan itu dia laksanakan, maka kepemimpinan akan tetap dimilikinya.

Namun apabila kepemimpinan itu keluar dari mereka dan berada dalam

solidaritas lain yang lepas dari golongan mereka, maka kepemimpinan itu

tidak akan berhasil. Dan dalam golongan itu, kepemimpinan akan terus

berpindah-pindah tangan dari satu golongan kepada golongan lain yang

lebih kuat. Kesatuan masyarakat dan solidaritas sosial menjadi semacam

sifat alam. Sifat itu tidak akan berguna apabila unsur-unsur yang ada

sama, tak berbeda. Maka di antara unsur itu ada yang berada di atas dan

8

Page 9: pengetahuan lokal dan konflik ekologis

menguasai unsur yang lain. Hanya dengan itulah penciptaan (alam) ini

berlangsung. Inilah rahasianya, mengapa solidaritas sosial menjadi syarat

bagi kekuasaan. Dan dari itu pulalah kepemimpinan dapat ditentukan

keberlangsungannya.

Lebih lanjut Ibn Khaldun mengemukakan bahwa kepemimpinan

yang dapat diterapkan kepada orang-orang yang memiliki solidaritas tidak

dapat diterapkan kepada mereka yang bukan satu keturunan. Sebabnya

ialah karena kepemimpinan ada karena adanya kekuasaan, dan

kekuasaan ada karena adanya solidaritas sosial. Maka didalam memimpin

kaum, harus ada satu solidaritas sosial yang berada di atas solidaritas

sosial masing-masing individu. Sebab, apabila solidaritas masing-masing

individu mengakui keunggulan solidaritas sosial sang pemimpin, mereka

akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya. Dengan demikian,

tujuan terakhir solidaritas sosial adalah kedaulatan. Namun demikian,

konsep solidaritas sosial Ibn Khaldun (dalam pandangan Timur) berbeda

dengan solidaritas di Barat, karena konsep solidaritas sosial Ibn Khaldun

mengandung kebanggaan: atas sumber daya alam dan kepemimpinan

yang menjadi panutan (poach dignity).

Solidaritas sosial dalam pandangan Barat berbeda dengan

pandangan Timur. Mengacu pada konsepnya Emile Durkheim, bahwa

solidaritas sosial dibagi dua, yaitu solidaritas organik dan solidaritas

mekanik. Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanik menjadi satu

dan padu karena seluruh orang adalah generalis. Ikatan dalam

masyarakat seperti ini terjadi karena mereka terlibat dalam aktivitas yang

sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Sebaliknya, solidaritas

organik bertahan bersama justru dengan perbedaan yang ada di

dalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan

tanggungjawab yang berbeda-beda. Dengan pemahaman solidaritas

semacam ini, maka kepentingan material juga bisa membangun

solidaritas sosial dalam konsep Barat.

Bukti solidaritas sosial mekanik yang dilandasi oleh adanya

aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab sama dapat

9

Page 10: pengetahuan lokal dan konflik ekologis

dicontohkan pada warga Desa Kalianjat (Sejarah hutan kaliaman). Warga

Kalianjat mempunyai aktivitas dan tanggungjawab yang sama dalam

memperjuangkan hak akses atas tanah mereka yang diklaim sebagai

hutan Kaliaman (lihat, Peluso, 2006). Kaliaman adalah hutan tropis

campuran, terdiri atas spesies kayu, dengan umbi-umbian, dan tumbuhan

obat atau bumbu. Bentuk pertanian berpindah terus bertahan hingga

1911, waktu Belanda menentukan batas hutan dan mencatat kepemilikan

lahan penduduk untuk kepentingan pajak. Sejarah hutan Kaliaman ini

pasang surut antara boleh dan tidaknya akses masyarakat terhadap

hutan. Kasus hutan Kaliaman dan penggunaan hutan di Desa Kaliajat

menggambarkan dengan jelas bagaimana petani secara bersama

melaksanakan kuasa melalui perlawanan berbasis tanah dan melestarikan

pelaksanaan pertanian di kawasan hutan negara. Pertarungan antara

petani dan rimbawan ini telah berdampak pada pengrusakan hutan.

Kondisi ini menunjukkan bahwa solidaritas mekanis ala pandangan Barat

tidak dapat menjamin akan kelestarian hutan.

Solidaritas mekanis tidak cukup kuat untuk menjaga hutan tetap

lestari, tetapi ada hal lain yaitu adaptasi ekologis, sebagaimana yang

dijelaskan oleh Netting (1981) dalam melihat kaitan antara dinamika

populasi dengan bentuk-bentuk penyesuaian organisasi sosial dan politik

orang Torbel yang hidup dalam lingkungan dengan sumber daya yang

terbatas di Pegunungan Alpen Swiss.

Kepemimpinan yang punya dasar panutan dan nilai-nilai non materi

dapat membangun solidaritas dan menjaga sumber daya alam, seperti

yang ditunjukkan oleh Kasepuhan Sinar Resmi. Masyarakat Kasepuhan

Sinar Resmi memiliki rasa solidaritas yang timbul karena adanya

kesadaran kolektif masyarakat atas norma dan kepercayaan bersama,

sehingga keberadaan solidaritas sosial melahirkan suatu kebersamaan

dalam memperjuangkan nasib bersama.

Namun demikian, ada juga tipe masyarakat yang memiliki

kepemimpinan tradisional dengan solidaritas mekanistik tetapi tetap

menjaga kelestarian lingkungan hutan, seperti yang terjadi di Thailan. Hal

10

Page 11: pengetahuan lokal dan konflik ekologis

ini disebabkan karena masyarakat tersebut memiliki kepercayaan tentang

keramat dan tabu, sebagaimana dikatakan oleh Rathakette (1984:364)

bahwa kepercayaan penduduk dan aturan tabu berkenaan dengan hutan

keramat yang dipercayai sebagai tempat hunian makhluk halus pelindung

desa (phipulu), sehingga terlarang untuk dieksploitasi, dan hal tersebut

memberikan dampak positif untuk konservasi sumber daya hutan.

Contoh lain adalah kehidupan masyarakat di sekitar hutan Sangeh

Bali, yang bercirikan kepemimpinan adat dan solidaritas mekanik dengan

gempuran modernisasi yang terus menerus namun tetap menjaga

kelestarian hutan, sebagai mana yang dikemukakan oleh Nengah B.

Atmadja (1993:4). Atmadja melihat peran desa adat dengan seperangkat

kepercayaan masyarakatnya berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial

untuk tetap menjamin kelestarian sumber daya di kawasan hutan wisata

Sangeh. Variabel ekologi, institusi sosial, ekonomi dan kepercayaan yang

dianut masyarakat sedemikian rupa sehingga mereka tetap dapat

mengelola dan mengambil manfaat ekonomis dari sumber daya tersebut

tanpa harus melakukan pengrusakan terhadap hutan.

Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam ini juga ditemukan

adanya masyarakat yang sebenarnya solidaritas sosialnya sudah

menurun, tetapi tetap menjaga kelestarian hutan. Petani damar di daerah

pesisir Krui (lampung Barat) adalah contoh komuniti lokal di sekitar hutan

yang oleh sejumlah peneliti terdahulu disebutkan mampu

mengembangkan suatu sistem pengelolaan sumber daya hutan secara

lestari. Jalinan fungsional antara faktor ekologi, pengetahuan dan

kepercayaan penduduk mengenai sumber daya, institusi sosial dan faktor

demografi memungkinkan pengelolaan wanatani repong damar di Krui

tampil dan bertahan sebagai sebuah sistem pengelolaan lokal (indigenous

forest management system) yang berkelanjutan (lihat Michon & Foresta

1992, 1994; Tjitradjaja dkk, 1994; Juhadi 1995, Nadapdap 1995; dan

Fikarwin 1996). Organisasi sosial dan kebudayaan dari populasi tertentu

dilihat sebagai adaptasi fungsional yang memungkinkan populasi tersebut

11

Page 12: pengetahuan lokal dan konflik ekologis

mengekploitasi lingkungannya secara baik tanpa melampaui batas daya

dukungnya (carrying capacity) (Orlove 1980:240).

Contoh lainnya adalah masyarakat Maring Tsembaga di Papua

New Guinea, dimana menurut Roy Rappaport (1968; 1969), bahwa

mekanisme adaptasi untuk tetap mempertahankan keseimbagnan antara

populasi, lahan dan sumber daya lain yang ada di lingkungannya

dilakukan melalui praktik ritual.

Seiring terjadinya gempuran modernisasi yang ditandai dengan

masuknya pengetahuan dan teknologi global, sedikit banyak telah

merubah gaya hidup masyarakat Kasepuhan, telah terjadi pergeseran

bentuk solidarita sosial di masyarakat yang semula berlandaskan pada

hubungan darah, keteladanan, ketaatan atas norma mulai bergeser

dengan adanya kepentingan material, kasepuhan menjadi jaminan atas

keberlanjutan kehidupan. Fungsi Abah bukan hanya sekedar pemimpin

adat, tapi sebagai pengayom masyarakat Abah juga memberikan jaminan

modal bagi masyarakatnya. Ketika Abah tidak bisa dijadikan tumpuan

material, beberapa pengikut Abah pindah kepengikutannya kepada

Kasepuhan yang lain (Abah Uum di Kasepuhan Cipta Mulya atau Abah

Ugi di Kasepuha Cipta Gelar), begitupun kepengikutan dari kedua

kasepuhan yang lain. Tentu saja, pergeseran ini telah memberikan

pandangan lain mengenai solidaritas, sehingga solidaritas sosial yang

semula mencirikan pandangan Timur mulai bergeser pad solidaritas

mekanik ala Barat. Namun demikian, sekalipun sudah terjadi pergeseran

ke arah orientasi materialistik, dan solidaritasnya mekanik, namun karena

dasar-dasarnya berlandaskan nilai-nilai yang mapan mengenai

hubungan manusia dengan alam, menjadikan masyarakat Kasepuhan

tetap memelihara lingkungan.

PANDANGAN TIMUR DAN BARAT MENGENAI KEKUASAAN DAN KONFLIK

Sejalan dengan perkembangan jaman, dimana telah terjadi

perubahan status kawasan gunung halimun menjadi taman nasional

12

Page 13: pengetahuan lokal dan konflik ekologis

gunung halimun salak (TNGHS), maka kehidupan masyarakat adat

Kasepuhan pun mulai terjadi perubahan. Sejak diterbitkannya SK Menteri

Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/ 2003 di tahun 2003 tentang perluasan

taman nasional, sehingga yang tadinya lahan perhutani sekarang menjadi

taman nasional yang berimplikasi pada hilangnya hak akses warga untuk

dapat menggarap lahan di wilayah eks perhutani tersebut.

Sejak terbitnya SK perluasan tersebut, pihak pengelola TNGHS

mengeluarkan perintah penghentian semua aktivitas pada areal yang

masuk ke dalam kawasan TNGHS. Pemukiman dan areal garapan

masyarakat yang masuk ke dalam kawasan juga harus ditinggalkan.

Peristiwa perluasan kawasan ini merupakan momentum yang menandai

awal terjadinya konflik antara masyarakat kasepuhan Sinar Resmi dan

beberapa masyarakat desa sekitar dengan pihak pengelola TNGHS.

Sikap keras pengelola TNGHS terhadap masyarakat lokal yang

menempati kawasan ini sedikit berbeda ketika menghadapi Perusahaan

perkebunan (Nirmala) yang letaknya persis berada pada enclave di

TNGHS (di tengah hutan TNGHS). Sikap keras pengelola TNGHS

terhadap masyarakat lokal yang menempati kawasan ini sedikit berbeda

ketika menghadapi Perusahaan perkebunan (Nirmala) yang letaknya

persis berada pada enclave di TNGHS (di tengah hutan TNGHS).

Watak tanggapan penduduk pedesaan terhadap kebijakan negara

yang membatasi akses pada hutan bersumber pada keadaan

sosiokultural dan politik ekonomi lokal, termasuk tafsir lokal terhadap

budaya dan mekanisme pengendalian sumber daya. Kedua belah pihak

masing-masing menolak perubahan struktural dan konsep pengelolaan

yang akan memberikan legitimasi kepada pihak lain (Peluso, 2006). Oleh

karena itu, sekalipun sedang terjadi konflik dengan taman nasional, sikap

masyarakat kasepuhan terhadap alam tidak berubah. Hubungan

masyarakat kasepuhan dengan alam dijalin secara harmonis. Masyarakat

Kasepuhan memperlakukan alam sebagaimana mereka memperlakukan

manusia lainnya. Konsep Ibu bumi, bapak langit dan guru mangsa

13

Page 14: pengetahuan lokal dan konflik ekologis

merupakan bukti dari pengetahuan masyarakat Kasepuhan dalam

memperlakukan alam secara lebih bijak.

Konsep ibu bumi berkenaan dengan perlakuan masyarakat

Kasepuhan atas tanah, dimana mereka menggarap tanah dan menanam

padi hanya satu kali dalam setahun. Hal itu mereka lakukan demi

penghormatan kepada Ibu Bumi. Bumi dianggap sebagai makhluk hidup,

sehingga perlakuan terhadap bumi dan padi yang ada di atasnya seperti

mereka memperlakukan manusia. Oleh karena itu, tradisi Kasepuhan

mengajarkan berbagai macam ritus pertanian, mulai dari mengolah tanah

sampai memetik hasil dan memasukkan hasil tersebut ke dalam lumbung

(leuit). Konsep Bapak langit dan guru mangsa yaitu patokan dengan

melihat bintang kerti dan kidang serta penentuan waktu/ bulan terbaik

dalam pengolahan lahan. Pengetahuan adat tersebut tentu saja

memberikan batasan kepada masyarakat untuk tidak mengekploitasi

lingkungan sumber daya alam. Masyarakat dengan kearifannya mengolah

lahan untuk hanya memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Pengetahuan masyarakat Kasepuhan tersebut bertentangan

dengan apa yang diajarkan oleh ekonnomi kapitalis yang mengambil

sebanyak-banyaknya dari sumber daya alam untuk memenuhi nafsu

keserakahan manusia. Menanggapi keserakahan manusia tersebut, Ibn

Khaldun mengemukakan bahwa manusia adalah anak kebiasaan-

kebiasaannya sendiri dan anak segala sesuatu yang ia ciptakan. Dia

bukan produk dari tabiat dan temperamennya. Kondisi-kondisi yang telah

menjadi kebiasaan, hingga menjadi sifat, adat dan kebiasaannya, turun

menduduki kedudukan tabiat. Dari pernyataan tersebut tersurat bahwa

apa yang dilakukan oleh masyarakat adat dalam kaitannya dengan alam

sudah menjadi tradisi yang dibangun atas tabiat dari masyarakatnya

secara turun temurun, yang jauh berbeda dari tabiat manusia kebanyakan

(di alam kapitalis) yang mengagungkan materi dan keserakahan.

Dalam melihat relasi manusia dan alam dalam pandangan Barat,

mengacu pada konsep Escobar (1998, 1999) tentang “actor in nature”,

dimana Escobar memperkenalkan konsep ‘tiga-alam’ untuk melihat relasi

14

Page 15: pengetahuan lokal dan konflik ekologis

manusia dan alam dan bagaimana manusia melakukan pengaturan

terhadap sumber daya alam. Ketiga alam itu adalah: “alam-organik”

(sistem alam yang dipelihara oleh komunitas lokal) yang menjadi domain

kekuatan lokalitas dalam rezim tata-kelola SDA. Kedua, “alam kapitalis”

yaitu sistem alam atau SDA yang dikolonisasi oleh kekuatan kapitalisme,

dan ketiga adalah “alam-teknologis” yaitu sistem alam yang dikuasai oleh

pemilik teknologi maju-Barat. Dalam konsepsi Escobar, hanya alam

organiklah yang sepenuhnya berada dalam kekuasaan lokal. Kedua alam

lainnya berada di domain tata-kelola SDA ala modernitas-Barat yang sarat

dengan muatan kepentingan global-transnasionalisme.

Berdasarkan konsep Escobar tersebut bahwa pengetahuan

masyarakat Kasepuhan yang mengatur relasi manusia dan alam ada

pada katagori alam organis, dimana manusia berusaha berdamai dengan

alam. Alam ditata berdasarkan pengetahuan masyarakat lokal, sedangkan

TNGHS diposisikan sebagai alam negara yang pada prinsipnya

menggunakan cara-cara alam kapitalis dan alam tekno, dimana cara-cara

kapitalis dipergunakan untuk mengusir keberadaan masyarakat lokal dari

sekitar kawasan. Hal ini dipahami karena adanya perlakuan berbeda

terhadap masyarakat lokal (alam organis) dan terhadap PT. Perkebunan

Nirmala (alam kapitalis) yang letaknya berada ditengah taman nasional

namun diakui sebagai enclave.

Dalam konsepnya TNGHS (rimbawan) bahwa konservasi hanya

dipahami sebagai pengetahuan yang datang dari Barat, sehingga tidak

memberi ruang pada pengetahuan lokal untuk bisa memelihara alam.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ahli bahwa kebanyakan

pengertian yang ada di dunia ketiga tentang konservasi dan pengelolaan

hutan “ilmiah” berasal dari Barat, yang kondisi politis ekonomis serta

ekologisnya berbeda, dan masih terus mencerminkan tafsir Barat tentang

produktivitas hutan dan konservasi sumber daya oleh rimbawan

“profesional” (Fernow, 1911; Fortmann dan Fairfax, 1985:2).

Warisan rimbawan Amerika Gifford Pinchot (1947) dikutif Peluso

(2006) adalah serangkaian kata ampuh yang kelak akan terus

15

Page 16: pengetahuan lokal dan konflik ekologis

melegitimasi pengelolaan hutan negara dalam masa modern. Pinchot

berpendapat bahwa hutan harus dikelola untuk memberikan

“kemaslahatan sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya orang untuk

masa sepanjang-panjangnya”. (Dana dan Fairfax, 1980:72). Beberapa

pandangan Barat tersebut menjadi alasan legitimasi negara untuk

menguasai hutan, dan masyarakat yang sudah lama hidup di hutan

dianggap hanya sebagai pengganggu dan pengrusak hutan, sehingga

solusi bagi masyarakat adalah keluar dari hutan dan kehilangan akses.

Ketika dihadapkan pada kondisi di atas, maka konflikpun tidak

dapat terhindarkan. “Klaim dan klaim tandingannya telah menjadi kondisi

kehutanan selama berabad-abad... Sudah berdarsawasa lamanya petani

dan petugas kehutanan saling bergesekan dan alam keadaan konflik terus

menerus, dan akan tetap begitu selama berdarsawarsa lagi ...

persoalannya bukanlah pemanfaatan lahan melainkan siapa yang

memanfaatkan lahan itu: tegasnya, masalahnya terletak pada kekuasaan

dan hak kepemilikan (E.P. Thompson, Whigs and Hunters).

Menanggapi kondisi konflik, Ibn Khaldun mengemukakan bahwa

tak seorangpun menguasai urusan-urusan pribadinya. Pernyataan itu

bermakna bahwa setiap urusan pribadi selalu berhadapan dengan urusan

pribadi yang lain, sehingga perebutan atas penguasaan urusan pribadi

tersebut dapat berdampak pada konflik.

Berkaitan dengan masalah yang dihadapi masyarakat Kasepuhan

yang sedang berkonflik dengan pemerintah dalam hal ini TNGHS, dimana

TNGHS memaksakan kehendak untuk mengeluarkan masyarakat

Kasepuhan dari kawasan TNGHS dan menutup hak akses masyarakat

telah menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah

menurun. ”manakala kepentingan negara dan kepentingan petani

berbenturan, sering kita temukan kerusakan lingkungan, kemiskinan dan

hubungan kekuasaan yang ambivalen, rancu” (Peluso, 2006).

Kajian mutakhir yang mengamati kuasa negara dan perlawanan

lokal dalam konteks pengelolaan hutan dunia ketiga ialah ulasan Guha

(1990) tentang dominasi dan perlawanan di kawasan Himalaya India,

16

Page 17: pengetahuan lokal dan konflik ekologis

Guha memusatkan perhatian pada wujud perlawanan petani yang muncul

berulang di bawah berbagai bentuk organisasi negara, yakni negara

kolonial Inggris dan kerajaan tradisional.

Dalam pandangan Timur, Ibn Khaldun menjelaskan bahwa para

pemimpin dan amir (pemerintah) yang menguasai urusan manusia sedikit

dibandingkan dengan yang lain-lainnya. Sehingga pemerintah

memaksakan kehendak suapaya urusan yang sedikit ini menjadi ada

dalam wilayah kekuasaan pemerintah, sepenti yang disampaikan Ibn

Khaldun lebih lanjut bahwa biasanya, dan bahkan seharusnya merupakan

satu kekuatan yang dipaksakan dan intimidasi, maka kekuasaan itu akan

merusak kepercayaan dan menghilangkan kemampuan bertahan yang

ada dalam diri sebagai akibat dari kemalasan yang ada di dalam jiwa yang

tertekan.

Ibn Khaldun mengisyaratkan bahwa paksaan atau intimidasi dapat

berakibat terhadap rusaknya kepercayaan masyarakat atas kekuasaan

pemerintah dan hilangnya kemampuan bertahan masyarakat karena jiwa

mereka yang tertekan, sehingga dampak yang mungkin timbul karenanya

adalah masyarakat mencoba bertahan dengan kondisi yang ada,

berjuang melawan dominasi pemerintah atau berubah sesuai dengan

tuntutan globalitas yang akhirnya dapat menghancurkan tradisi

Kasepuhan bahkan kehancuran diri mereka sendiri.

Hukum merumuskan dan menetapkan batasan kriminalitas, namun

hukum adat, aneka praktik dan kepercayaan setempat yang berdasarkan

adat kebiasaan, atau desakan kebutuhan materi, sering menyulitkan

penegakan hukum negara yang bertentangan dengan itu semua. Dalam

keadaan demikian, di mata rakyat pemaksaan penegakkan hukum itulah

kejahatan, dan ini berdampak pada apa yang disebut ”moral ekonomi”

mereka (Thompson 1963; Scott 1976) atau sekedar persepsi mereka

tentang apa yang benar, dan tentang pengertian ”pemanfaatan dan

pembagian sumber daya secara adil” itu (Kerkvliet 1990:17).

Seperti yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun bahwa apabila hukum-

hukum itu dipaksakan bersama penyiksaan-penyiksaan, maka ia akan

17

Page 18: pengetahuan lokal dan konflik ekologis

menghapus keteguhan jiwa itu sama sekali. Sebab penyiksaan yang

dilakukan terhadap seseorang yang tidak dapat mempertahankan diri, dia

akan merasa dihina, dan tak dapat diragukan lagi keteguhan jiwanya

akan hancur. Bahkan, apabila hukum itu dilaksanakan menurut tujuan

pendidikan dan pengajaran dan ditetapkan sejak kecil, lambat laun akan

timbul beberapa efek yang sama, sebab orang itu tumbuh dan

berkembang dalam ketakutan, tunduk dan patuh dan tentu dia tidak akan

percaya kepada keteguhan jiwanya. Dengan demikian pemaksaan atas

hukum dan dominasi pemerintah dapat membuat kehancuran bukan

hanya pada generasi sekarang tapi juga pada generasi yang akan datang

(anak-anak) sehingga dapat menghancurkan organisasi sosial secara

keseluruhan.

Oleh karena itu Ibn Khaldun menyarankan perlunya kesadaran

yang datang dari dalam diri manusia itu sendiri, bukan atas paksaan

hukum dan intimidasi pemerintah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh

Ibn Khaldun bahwa Kesadaran tumbuh dari dalam diri mereka sendiri.

Kesadaran itu tumbuh bukan dari hasil pendidikan sengaja diadakan atau

dari pengajaran ilmiah. Hukum pemerintahan dan pendidikan merusak

keteguhan jiwa, sebab kesadaran merupakan sesuatu yang datang dari

luar. Lain dari agama, tidak merusak kepada keteguhan jiwa, sebab

kesadaran untuk itu tumbuh dari sesuatu yang sifatnya inherent.

Dalam pandangan Barat, dalam hal ini karl marx, konflik selalu

identik dengan perbedaan kelas. Menurut Richard Miller (1991, 99),

menyatakan bahwa tidak ada aturan yang pada prinsipnya bisa digunakan

untuk mengelompokkan orang di dalam suatu masyarakat tanpa

mempelajari interaksi yang aktual di dalam proses ekonomi di satu sisi,

dan antara proses-proses politis di sisi lain. Dengan begitu konflik selalu

terkait dengan adanya perebutan kepentingan ekonomi, politis dan

budaya. Namun bagi Marx, suatu kelas akan benar-benar eksis ketika

menyadari bahwa dirinya sedang berkonflik dengan kelas yang lain.

Karl Marx (dalam Turner, 1998) menyebutkan bahwa semakin tidak

merata distribusi sumber daya alam yang langka dalam suatu masyarakat,

18

Page 19: pengetahuan lokal dan konflik ekologis

maka semakin besar dasar konflik kepentingan antara kelompok yang

dominan dengan sub ordinat. Dalam hal ini apa yang terjadi di masyarakat

Kasepuhan adalah hilangnya akses masyarakat Kasepuhan terhadap

sumber daya alam taman nasional menyebabkan kesadaran kolektif di

antara masyarakat Kasepuhan semakin kuat.

Selanjutnya Marx menyebutkan bahwa semakin kelompok

subordinat mempunyai kesadaran kolektif maka semakin

mempertanyakan legitimasi pola distribusi sumber daya yang ada.

Kelompok sub ordinat semakin besar kemungkinan sadar akan

kepentingan mereka ketika: perubahan dibuat kelompok dominan dalam

hal ini (TNGHS) mengganggu keberadaan hubungan diantara subordinat

(masyarakat Kasepuhan); tindakan-tindakan yang dilakukan kelompok

dominan menciptakan alienasi dan kesadaran anggota kelompok tersebut

menyebabkan terjadinya komunikasi diantara mereka. Lebih lanjut akan

terbangunnya ideologi bersama yang didorong oleh tokoh yang memiliki

kemampuan.

Tilly (1979;390) mendefinisikan ragam tindak kolektif sebagai

sarana alternatif untuk bertindak bersama-sama atas kepentingan

bersama. Ragam bentuk perlawanan kolektif berakar dalam- memang

merupakan produk dari- keadaan sejarah dan lingkungan tertentu. Bentuk

perlawanan bergantung pada sifat-hakekat dan generalitas keluhan dan

jenis “senjata” (sosial, politis atau teknologi secara luas) yang dipunyai

oleh para pembangkang (Scott 1985). Misalnya banyak kekerasan rakyat

timbul sebagai tanggapan terhadap kekerasan yang dilakukan kelas

penguasa atau negara (Crummey 1986:1)

Dalam konteks konflik masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi

dan Taman Nasional (TNGHS), maka ideologi bersama itu menjadi

semakin kuat manakalan kesadaran akan konflik semakin kuat.

Dalam konsepnya Ibn Khaldun, dominasi oleh pemerintah akan

menyebabkan kehancuran pada masyarakat yang didominasi, sedangkan

dalam pandangan Barat, konflik tidak selalu membawa kehancuran pada

masyarakat lokal. Ada beberapa sosusi yang mungkin terjadi (mengutif

19

Page 20: pengetahuan lokal dan konflik ekologis

dari pandangannya Arya Dharmawan, 2007), bahwa yang akan terjadi

kemungkinan adanya lokalitas defensif (koeksistensi), hibriditas budaya,

kehancuran atau dominasi (terkolonisasi). Namun demikian, posisi

masyarakat lokal yang lemah menyebabkan kemungkinan masyarakat

bisa bertahan dengan perjuangan kesadaran kolektifnya sangat kecil.

Bahkan menurut Escobar, kemungkinan terjadinya dominasi atau

kehancuran menjadi pilihan yang paling mungkin.

PENUTUP

Dengan mengambil kasus masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi,

ditinjau dari aspek organisasi sosial, kepemimpinan, solidaritas sosial,

kekuasaan dan konflik yang dihadapi oleh masyarakat Kasepuhan

tersebut dengan Taman Nasional (TNGHS) dalam perebutan akses

terhadap sumber daya hutan, berdasarkan pandangan Timur dan Barat

maka dapat disimpulkan bahwa ada beberapa kesamaan dan perbedaan

mendasar dalam konsep-konsep Timur dan Barat.

Dalam hal kepemimpinan, pandangan Timur mengenal otoritas

atas dasar tabiat kewibawaan dan nubuwah, legalitas formal dan

solidaritas sosial, sedangkan dalam pandangan Barat bersdasarkan atas

otoritas rasional (legal), tradisional dan kharismatik (kewibawaan).

Solidaritas sosial dalam pandangan Timur hanya satu yang didasarkan

atas kesadaran kolektif dimana dalam pandangan Barat dibagi dua atas

dasar mekanik atau organik.

Secara umum banyak ditemui bahwa pemimpin panutan dengan

solidaritas sosial atas pertalian darah dan norma-norma tradisional

mampu menguatkan relasi masyarakat dalam berhubungan dengan alam.

Namun yang terjadi pada kasepuhan Sinar Resmi, pemimpin yang

diangkat secara tradisional dengan cara yang tidak rasional dan meiliki

solidaritas yang sudah mulai bergeser pada mekanik dengan material

sebagai orientasi masyarakat dalam memilih keanggotaan kasepuhan

tetap menunjukkan adanya relasi masyarakat dengan alam yang dibangun

atas konsep Ibu Bumi, Bapak Langit dan Guru Mangsa, sehingga alam

20

Page 21: pengetahuan lokal dan konflik ekologis

masih bisa lestari, sekalipun terjadi kerusakan bukan disebabkan oleh

masyarakat adat, melainkan ekses dari adanya konflik dengan Taman

Nasional.

Konflik mengenai akses tanah dan hasil hutan pernah meletup

menjadi gerakan perlawanan terbuka dan penolakan untuk mentaati

peraturan hukum maupun kebijakan tentang hutan. Pertumbuhan yang

terus terjadi, intensitas dan keterbukaan oposisi berbasis hutan terhadap

establishmen kehutanan adalah akibat dari meningkatnya solidaritas dan

kekuatan sejumlah warga rakyat yang terorganisir, yang menentang

penguasaan ideologis maupun politis ekonomis oleh establismen

kehutanan yang semula dominan seperti yang dikemukakan oleh Tilly,

Tilly dan Tilly (1975:244)

Dalam melihat konflik, pandangan Timur melihat konflik terjadi

karena adanya dominasi/ intimidasi dari pemerintah (pihak yang

berkuasa). Konsep ini relatif sama dengan pandangan Barat dimana

konflik terjadi ketika kesadaran kolektif akan adanya kepentingan terhadap

sumber daya alam telah didominasi oleh penguasa (kelas yang dominan)

sehingga menyebabkan subordinat (masyarakat lokal) menjadi teralienasi

dari sumber daya alam tersebut. Hanya bedanya, kemungkinan dampak

dari konflik penguasa dan masyarakat lokal menurut pandangan Timur

hanya ada satu yaitu kehancuran, sedangkan menurut pandangan Barat

masih dimungkinkan adanya solusi lain selain kehancuran, yaitu

koeksistensi, cultural hibridation, dan dominasi (kolonisasi).

DAFTAR PUSTAKA

Atmadja, Nengah B., 1993. “Pengelolaan hutan wisata Kera Sangeh Oleh Desa Adat Sangeh”, dalam Ekonesia 1 : 1-22

Bass, B. M., 1985. Leadership and performance beyond expectation. New York: Free Press.

Blaikie, Piers, 1985. The Political Economy of Soil Erosion in Developing Countries. London: Longman.

21

Page 22: pengetahuan lokal dan konflik ekologis

Bulmer, R. N. H. 1982. Traditional conservation Practices In Papua New Guinea”, dalam L. Moranta Et. Al. (Eds.) Traditional conservation in Papua New Guinea: Implication For Today; PNG

Conger, J.A., & Kanungo, R.N., 1987. “Toward a Behavioral Theory of Charismatic Leadership in Organizational Setting”, Academy of Management Review, 12(4): 637-647

Crummey, Donald, 1986. Banditry, Rebelion, and Social Protest in Africa. London: J. Currey: Portsmouth, N. H. : Heinemann

Dharmawan, Arya Hadi, 2007, Otoritas Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam: Menatap Otonomi Desa dalam Perspektif Sosiologi Pembangunan dan Ekologi Politik. Makalah disampaikan pada “Seminar dan Lokakarya Menuju Desa 2030” diselenggarakan oleh PKSPL, PSP3IPB dan P4W LPPM IPB, dilaksanakan di Kampus Manajemen Bisnis IPB Gunung Gede, Bogor 9-10 Mei 2007.

Dove, Michael R. 1993. “Uncertainty, Humanity and Adaptation In The Tropical Forest: The Agricultural Augury Of The Kantu” dalam Ethnology 40 (2): 145-167.

Escobar, A., 1998, ‘Whose Knowledge, Whose Nature? Biodiversity, Conservation, and the Political Ecology of Sosial Movement’, dalam Journal of Political Ecology, Vol. 5, 1998.

_____, 1999, ‘After Nature: Steps to an Antiessentialist Political Ecology’, dalam Current Anthropology, Vol. 40/1, 1999.

Fikarwin, 1996. Reduplikasi dan Koalisi Internal Rumah Tangga : Proses Adaptasi Terhadap Perubahan Sistem Produksi dan Pasarisasi di Penengahan Krui, Lampung Barat. Tesis Master. Program Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia.

Guha, Ramachandra, 1990. The Uniquet Woods: Ecological Change and Peasant Resistance in the Indian Himalaya. Berkeley: University of California Press.

Iskandar, Untung dan Agung Nugraha, 2004. Politik pengelolaan Sumber Daya Hutan: Issue dan Agenda Mendesak. Jogjakarta: Debut Press

Juhadi, 1995. Repong Damar: Sistem Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berkelanjutan di Desa Way Sindi Krui, Lampung Barat. Tesis Master. Program Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia.

Khaldun, Ibn, 200. Muqaddimah Ibn Khaldun. Terjemahan Ahmadie Thoha. Jakarta: Pustaka Firdaus

Michon, Geneveive & Hubert de Foresta dan N. Widjayanto, 1992. Research On Agroforestry System In Sumatera: Some Result Interesting Silviculture. Bogor: SEAMEO-BIOTROP

Michon, Geneveive & Hubert de Foresta, 1994. Damar Agroforest in the Pesisir, Sumatera. Paper, tidak diterbitkan.

22

Page 23: pengetahuan lokal dan konflik ekologis

Nadapdap, Amir Syamsu, 1995. Konsepsi dan Pemanfaatan Ruang dan Sumber Daya: Studi Kasus Masyarakat Petani Damar di Krui, Lampung Barat. Program Penelitian dan Pengembangan Antropologi Ekologi, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Netting, Robert, 1981. Balancing On An Alp: Ecological Change & Continuity in a Swiss Mountain Community. Cambridge: Cambridge University Press.

Orlove, Benjamin, 1980. “Ecological Anthropology” dalam Annual Review in Anthropology 9: 235-273

Peluso, Nancy Lee, 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat. Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa. Terjemahan Landung Situmorang. Jakarta: Konphalindo.

Pinchot, Gifford, 1947. Breaking New Ground. New York: Harcourt, Brace.

Rappaport, Roy A., 1968. Pigs for the Ancestors : Ritual in the Ecology of a New Guinea People. New Haven: Yale University Press.

Rappaport, Roy A., 1969. “Ritual Regulation of Environmental Relations Among A New Guinea People” dalam A.P. Vayda (eds) Environment and Cultural Behavior: Ecological Studies in Cultural Anthropology. Garden City: Natural History Press.

Rathakette, Pagarat Et. Al. 1984. “Taboos And Tradition: Their Influence On The Conservation And Exploitation Of Tress In Sosial Forestry Projects In Northem Thailand”, Dalam Y.S. Rao Et. Al (Ed.), Community Forestry: Socio Economic Aspect. FAO-RAPA

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, 2004. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Scott, James C., 1985. Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. New Haven: Yale University Press.

Tilly, Charles, 1979. From Mobilization to Revolution. Mass: Addison-Wesley Publishing Company.

Tilly, Charles, Louise Tilly dan Richard Tilly, 1975. The Rebellious Century: 1830-1930. Cambridge, Mass: Harvard University Press.

Tjitradjaja, Iwan, dkk. 1994. Kajian Pengembangan Institusi Masyarakat Di Dalam dan Sekitar Hutan: Kasus Pengelolaan Hutan Damar di Krui Lampung Barat. Laporan Penelitian. Program Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia dan Departemen Kehutanan.

Turner, Jonathan H., 1998. The Structure Of Sociological Theory. USA: Wadsworth Publishing Company.

Weber, Max, 1974. Economy and Society, ed. Guenther Roth and Claus Wittich. Berkeley: University of California Press.

23