Pengertian Perbuatan Administrasi Negara
-
Upload
hamzah-ansori -
Category
Documents
-
view
1.510 -
download
3
Transcript of Pengertian Perbuatan Administrasi Negara
A. Pengertian Perbuatan Administrasi Negara
Administrasi negara memiliki beberapa tindakan atau perbuatan. Berikut ini
beberapa definisi tentang perbuatan administrasi negara :
1. Komisi Van Poelje “ Publiekrechtelijke handeling “ (tindakan dalam hokum
publik) adalah “ rechtshandeling door de overheid in haar bestuursfunctie
verricht “ (tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh penguasa dalam
menjalankan fungsi pemerintahan). Van poelje berpendapat, bahwa tindak
pemerintahan itu merupakan manifestasi atau perwujudan bestuur.
2. Romeyn : Tindak-pengreh (bestuurshandeling) adalah tiap-tiap tindakan atau
perbuatan dari suatu alat perlengkapan pemerintahan (bestuursorgaan), juga
diluar lapangan hukum tata pemerintahan, misalnya keamanan, peradilan, dan
lain-lain, yang bermaksud untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum
administrasi
3. Pendapat Van Vollenhoven tentang “Besturen” adalah “het spontaan en
zelfstanding behartigen van het belang van land en volk door hogere en lagere
overheden” (pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat secara sepontan dan
tersendiri ole penguasa tinggi dan rendahan) (prinsip hierarki).
Dari 3 bentuk diatas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perbuatan
administrasi negara dijalankan oleh penguasa untuk menjalankan fungsi
pemerintahan, menimbulkan akibat hukum serta memelihara kepentingan publik.
Sehingga perbuatan administrasi negara meliputi segala bentuk kegiatan/pekerjaan
pemerintah dalam menjalankan pemerintahan untuk mencapai tujuan pemerintah.
B. Macam-Macam Perbuatan
Adapun bentuk perbuatan administrasi negara yang diklasifikasikan
berdasarkan teori. Berikut ini adalah penjelasannya.
1. Teori Donner
Dalam suatu negara hukum modern, teori Donner membagi pekerjaan
pemerintah ke dalam bentuk sebagai berikut :
a. Menetapkan tugas (taak stelling) atau tugas politik.
b. Mewujudkan atau melaksanakan tugas (taak verwezenlijking) atau tugas
teknik.
Jika teori ini diterapkan kedalam praktek administrasi negara, maka secara
kualitatif perbuatan administrasi negara dapat dibagi menjadi :
a. Perbuatan membentuk undang-undang dan peraturan. Merupakan
pekerjaan elit politik pemerintah.
b. Perbuatan melaksanakan undang-undang dan peraturan. Merupakan
pekerjaan aparat pemerintah.
2. Teori Hans Kelsen
Hans Kelsen membagi pekerjaan pemerintah menjadi :
a. Tugas politik als ethiek, adalah tugas dari elit politik pemerintah.
b. Tugas politik als techniek, adalah tugas dari birokrat pemerintah.
Sehingga dalam melaksanakan undang-undang dan peraturan
pemerintah/administrasi negara melakukan beberapa perbuatan konkret. Perbuatan
tersebut dapat dibedakan menjadi :
a. Perbuatan biasa, yaitu perbuatan yang tidak membawa akibat hukum.
Contoh : membuat rumah, membuat mesjid, dll.
b. Perbuatan hukum, adalah perbuatan maupun akibatnya diatur oleh
hukum, baik perdata maupun publik.
3. Teori Utrecht
Dalam buku “Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia”, Utrecht
membagi perbuatan dalam hukum publik kedalam dua macam, yaitu :
a. Perbuatan hukum public yang bersegi dua, yaitu suatu perjanjian
berdasarkan hukum publik. Contoh : adanya perjanjian kontrak antara
pihak swasta dengan pemerintah dalam pembangunan jalan tol.
b. Perbuatan hukum publik yang bersegi satu, yaitu suatu hubungan yang
diatur oleh hukum publik hanya 1 pihak saja yang dapat menentukan
kehendakknya, yaitu pihak pemerintah. Perbuatan hukum public bersegi
satu inilah yang menjadi dasar ketetapan.
C. Ketetapan Administrasi Negara
Dikalangan sarjana hukum adminitrasi terdapat perbedaan mendefinisikan
istilah ketetapan antara lain:
1. Suatu pernyataan kehendak yang disebabkan oleh surat permohonan yang
diajukan setidak-tidaknya keinginan atau keperluan yang dinyatakan (H.J.
Romeijn).
2. Suatu tindakan hukum publik sepihak dari orga pemerintah yang ditujukan pada
peristiwa konkret (Versteden).
3. Keputusan hukum publik yang bersifat konkret dan individual, keputusan itu
berasal dari organ pemerintahan yang didasarkan pada kewenangan hukum
publik. Dibuat untuk satu atau lebih individu berkenaan dengan satu atau lebih
perkara atau keadaan. Keputusan itu memberikan suatu kewajiban pada
seseoarang atau organisasi, memberikan kewenangan atau hak kepada mereka
(J.B.J.M Ten Berge)
4. Keputusan yang berasal dari organ pemerintahan yang ditujukan untuk
menimbulkan akibat hukum (Huisman).
5. Keputusan tertulis dari administrasi negara yang mempunyai akibat hukum
(Sjahran Basah).
6. Perbuatan hukum publik yang bersegi satu yang dilakukan oleh alat-alat
pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan istimewa (Utrecht).
7. Suatu tindakan hukum yang bersifat sepihak dalam bidang pemerintahan yang
dilakukan oleh suatu badan pemerintahan berdasarkan wewenang yang luar biasa
( Prins).
D. Macam-Macam Ketetapan
Secara teoritis, dalam hokum administrasi, dikenal ada beberapa macam dan
sifat ketetapan, yaitu sebagai berikut :
1. Ketetapan Deklaratoir dan Ketetapan Konstitutif
Ketetapan deklaratoir adalah ketetapan yang tidak mengubah hak dan
kewajiban yang telah ada, tetapi sekadar menyatakan hak dan kewajiban tersebut
(rechtsvaststellende beschikking ).
Ketetapan mempunyai sifat deklaratoir ketika ketetapan itu dimaksudkan
untuk menetapkan mengikatnya suatu hubungan hokum atau ketetapan itu maksudnya
mengakui suatu hak yang sudah ada, sedangkan ketika ketetapan itu melahirkan atau
menghapuskan suatu hubungan hukum atau ketetapan itu menimbulkan suatu hak
baru yang sebelumnya tidak dipunyai oleh seseorang yang namanya tercantum dalam
ketetapan itu, ia disebit dengan ketetapan yang bersifat konstitutif.
Ketetapan yang bersifat konstitutif dapat berupa hal – hal diantaranya :
a. Ketetapan-ketetapan yang meletakkan kewajiban untuk melakukan sesuatu, tidak
melakukan sesuatu, atau memperkenankan sesuatu.
b. Ketetapan-ketetapan yang memberikan status pada seseorang, lembaga, atau
perusahaan itu dapat menerapkan aturan hokum tertentu.
c. Ketetapan-ketetapan yang meletakkan prestasi atau harapan pada perbuatan
pemerintah = subsidi atau bantuan, pen.
d. Ketetapan yang mengizinkan sesuatu yang sebelumnya tidak diizinkan.
e. Ketetapan-ketetapan yang menyetujui atau membatalkan berlakunya ketetapan
organ yang lebih rendah = pengesahan atau pembatalan.
2. Ketetapan yang Menguntungkan dan yang Memberi Beban
Ketetapan yang menguntungkan ketetapan itu memberikan hak-hak atau
memberikan kemungkinan untuk memperoleh sesuatu yang tanpa adanya ketetapan
itu tidak akan ada atau bila ketetapan itu memberikan keringanan beban yang ada atau
mungkin ada. Sementara itu, ketetapan yang member beban adalah ketetapan yang
meletakkan kewajiban yang sebelumnya tidak ada atau ketetapan mengenai
penolakan terhadap permohonan untuk memperoleh keringanan.
3. Ketetapan Eenmalig dan Ketetapan yang Permanen
Ketetapan Eenmalig adalah ketetapan yang hanya berlaku sekali atau
ketetapan sepintas lalu, yang dalam istilah lain disebut ketetapan yang bersifat kilat
seperti IMB atau izin untuk mengadakan rapat umum, sedangkan ketetapan permanen
adalah ketetapan yang memiliki masa berlaku yang relatif lama.
4. Ketetapan yang Bebas dan yang Terikat
Ketetapan yang bersifat bebas adalah ketetapan yang didasarkan pada
kewenangan bebas atau kebebasan bertindak yang dimiliki oleh pejabat tata usaha
Negara baik dalam bentuk kebebasan kebijaksanaan maupun kebebasan imterprestasi.
Sementara itu, ketetapan yang terikat adalah ketetapan yang didasarkan pada
kewenangan pemerintahan yang bersifat terikat, berarti ketetapan itu hanya
melaksanakan ketentuan yang sudah ada tanpa adanya ruang kebebasan bagi pejabat
yang bersangkutan.
5. Ketetapan Positif dan Negatif
Ketetapan positif adalah ketetapan yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi
yang dikenai ketetapan, sedangkan ketetapan negative adalah yang tidak
menimbulkan perubahan keadaan hokum yang telah ada.
6. Ketetapan Perorangan dan Kebendaan
Ketetapan perorangan adalah ketetapan yang diterbitkan berdasarkan kualitas
pribadi orang tertentu atau ketetapan yang berkaitan dengan orang, seperti ketetapan
tentang pengangkatan atau pemberhentian seseorang sebagai pegawai negeri atau
sebagai pejabat Negara. Sementara itu ketetapan kebendaan adalah keputusan yang
diterbitkan atas dasar kualitas kebendaan atau ketetapan yang berkaitan dengan
benda, misalnya sertifikat atas hak tanah.
E. Pengertian Dan Syarat-Syarat Ketetapan
Menurut UU No.5 Tahun 1986 jo. UU No.9 Tahun 2004 Undang-undang No.
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa Keputusan
Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata. Dari definisi menurut UU Nomor 5 Tahun 1986 tersebut dapat
dirumuskan unsur-unsur keputusan sebagai berikut, yaitu;
1. penetapan tersebut tertulis dan dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara,
2. berisi tindakan hukum dalam bidang Tata Usaha Negara,
3. berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
4. bersifat konkrit, individual, dan final,
5. serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Dalam UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No.5 Tahun 1986
tentang peradilan tata usaha Negara, khususnya dalam pasal 2 menjelaskan secara
tegas bahwa terdapat tujuh hal yang tidak tergolong suatu keputusan Negara dalam
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yaitu :
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai
hasil pemilihan umum.
Syarat syah Keputusan Tata Usaha Negara.
Suatu Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) dapat dikatakan sah
apabila memenuhi 2 (dua) syarat. Syarat-syarat sahnya suatu Keputusan Tata Usaha
Negara tersebut menurut Prof. Muchsan adalah:
1. Syarat materiil,
Yaitu syarat yang berkaitan dengan isi. Syarat materil dibagi menjadi 3 (tiga),
yaitu:
a. Harus dibuat oleh aparat yang berwenang;
b. Keputusan Tata Usaha Negara tidak mengalami kekurangan yuridis;
Suatu produk hukum dikatakan mengalami kekurangan yuridis apabila
didalam pembuatannya terdapat unsur:
1. Adanya paksaan
Paksaan terjadi apabila adanya perbedaan antara kenyataan dengan
kehendak, sebagai akibat dari adanya unsur eksternal.
2. Adanya kekhilafan
Kekhilafan terjadi apabila adanya perbedaan antara kenyataan dengan
kehendak, tetapi tanpa adanya unsur kesengajaan.
3. Adanya penipuan
Penipuan terjadi apabila adanya perbedaan antara kenyataan dengan
kehendak, sebagai akibat dari tipu muslihat.
c. Tujuan ketetapan sama dengan tujuan yang mendasarinya.
2. Syarat formil
yaitu syarat yang berkaitan dengan bentuk. Syarat formil dibagi menjadi 3
(tiga), yaitu:
a. Bentuk ketetapan harus sama dengan bentuk yang dikehendaki oleh
peraturan yang mendasarinya.
b. Prosedur harus sama dengan bentuk yang diatur dalam peraturan yang
mendasarinya.
c. Syarat khusus yang dikehendaki oleh peraturan dasar harus tercermin
dalam keputusan.
F. Delegasi Perundang-Undangan
Hiererki dan pendelegasian peraturan perundang-undangan diperlukan karena
ketentuan yang lebih tinggi hanya mengatur ketentuan yang bersifat umum,
sedangkan ketentuan yang bersifat teknis didelegasikan ke peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah.
Pendelegasian tersebut diatur dalam lampiran II Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 angka 198 sampai dengan 216. Adapun perinciannya adalah sebagai
berikut:
1. Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan
kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan Perundang-undangan yang
lebih rendah.
2. Pendelegasian kewenangan dapat dilakukan dari suatu Undang-Undang kepada
Undang-Undang yang lain, dari Peraturan Daerah Provinsi kepada Peraturan
Daerah Provinsi yang lain, atau dari Peraturan Daerah Kabupaten/Kota kepada
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang lain.
3. Pendelegasian kewenangan mengatur harus menyebut dengan tegas:
a. ruang lingkup materi muatan yang diatur; dan
b. jenis Peraturan Perundang-undangan.
4. Jika materi muatan yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-pokoknya di
dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan tetapi materi muatan
itu harus diatur hanya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang
didelegasikan dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-
undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat “Ketentuan lebih
lanjut mengenai … diatur dengan ….”
5. Jika pengaturan materi muatan tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut
(subdelegasi), gunakan kalimat “Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur
dengan atau berdasarkan ….
6. Jika materi muatan yang didelegasikan sama sekali belum diatur pokok-
pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan dan
materi muatan itu harus diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan yang
diberi delegasi dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan
Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat
“Ketentuan mengenai … diatur dengan ….”
7. Jika pengaturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut
(subdelegasi) digunakan kalimat “Ketentuan mengenai … diatur dengan atau
berdasarkan …."
8. Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan dan materi muatan
tersebut tercantum dalam beberapa pasal atau ayat tetapi akan didelegasikan
dalam suatu Peraturan Perundang-undangan, gunakan kalimat “Ketentuan
mengenai … diatur dalam …."
9. Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan maka materi muatan
yang didelegasikan dapat disatukan dalam 1 (satu) peraturan pelaksanaan dari
Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan, gunakan kalimat “(jenis
Peraturan Perundang-undangan) … tentang Peraturan Pelaksanaan ...”
10. Untuk mempermudah dalam penentuan judul dari peraturan pelaksanaan yang
akan dibuat, rumusan pendelegasian perlu mencantumkan secara singkat tetapi
lengkap mengenai apa yang akan diatur lebih lanjut.
11. Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan dimuat pada
ayat terakhir dari pasal yang bersangkutan.
12. Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan dapat
dipertimbangkan untuk dimuat dalam pasal tersendiri, karena materi
pendelegasian ini pada dasarnya berbeda dengan apa yang diatur dalam
rangkaian ayat-ayat sebelumnya.
13. Dalam pendelegasian kewenangan mengatur tidak boleh adanya delegasi
blangko.
14. Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada menteri,
pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat
dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.
15. Kewenangan yang didelegasikan kepada suatu alat penyelenggara negara tidak
dapat didelegasikan lebih lanjut kepada alat penyelenggara negara lain, kecuali
jika oleh Undang-Undang yang mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka
kemungkinan untuk itu.
16. Pendelegasian kewenangan mengatur dari suatu Peraturan Perundang-undangan
tidak boleh didelegasikan kepada direktur jenderal, sekretaris jenderal, atau
pejabat yang setingkat.
G. Kasus