Pengertian Genre

4
Pengertian Genre Untuk tujuan tersebut, definisi genre yang diberikan Johns (2004) perlu dirujuk untuk mengawali bagian ini, di mana dia menyatakan bahwa genre adalah sesuatu yang abstrak, yang merupakan gambaran mental tentang suatu jenis atau tipe teks. Sebagaimana dibahas sebelumnya, genre bukan teks, tetapi sesuatu yang dapat digunakan untuk mengkategorikan teks ke dalam jenis atau tipe yang berbeda-beda. Seperti ada suatu kesepakatan di antara para penulis dan peneliti dalam penetapan status suatu genre, yaitu dengan menggunakan sedikitnya tiga kriteria: (1) tujuan sosial yang hendak dicapai, (2) struktur retorika, skematik, atau generik, dan (3) bentuk kebahasaan yang digunakan. Menurut Martin dan Rothery (1986: 243), genre adalah “the staged purposeful social processes through which a culture is realized in a language.” Definisi tersebut selaras dengan hasil pengamatan John M. Swales terhadap berbagai pembahasan tentang genre di bidang kebahasaan dan keaksaraan. Dia katakan bahwa genre merupakan kejadian komunikatif (communicative events) yang dilakukan untuk mencapai satu tujuan. Selanjutnya, tujuan tersebut menjadi dasar untuk menentukan isi atau makna yang akan diutarakan, penempatan makna dalam teks, dan bentuk kebahasaan yang digunakan untuk mengutarakan makna tersebut (190: 52-53). Swales memberikan contoh penggunaan surat good news (untuk menyampaikan pesan yang diharapkan akan menyenangkan si penerima) dan surat bad news (untuk menyampaikan pesan sebaliknya). Keterkaitan antara ketiga unsur yang membentuk genre dapat dilihat sebagai hubungan sebab akibat. Karena adanya suatu kebutuhan, orang perlu bertindak dengan cara berwacana. Jadi, tujuan berwacana ditentukan oleh kebutuhan yang dihadapi penutur. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan teks untuk mengungkapkan makna yang diperlukan. Adalah bagian dari sifat manusia, pengungkapan makna tidak dapat dilakukan dengan cara lain kecuali secara linear, makna demi makna. Berdasarkan pertimbangan efektivitas dan efisiensi dalam pencapaian tujuan, penutur menentukan urutan penyampaiannya, serta kosakata dan tatabahasa yang dianggap paling tepat. Dalam buku “Making Sense of Functional Grammar”, yang tujuannya adalah memberikan pemaparan praktis tentang SFL bagi guru bahasa asing atau bahasa kedua, Gerot dan Wignell (1994) memberikan paparan secara rinci 13 genre, yaitu Uraian Kejadian (Recount), Spoof (atas dasar pertimbangan makna, istilah tersebut serta beberapa istilah asing

description

nonurah

Transcript of Pengertian Genre

Page 1: Pengertian Genre

Pengertian Genre

Untuk tujuan tersebut, definisi genre yang diberikan Johns (2004) perlu dirujuk untuk mengawali bagian ini, di mana dia menyatakan bahwa genre adalah sesuatu yang abstrak, yang merupakan gambaran mental tentang suatu jenis atau tipe teks. Sebagaimana dibahas sebelumnya, genre bukan teks, tetapi sesuatu yang dapat digunakan untuk mengkategorikan teks ke dalam jenis atau tipe yang berbeda-beda.

Seperti ada suatu kesepakatan di antara para penulis dan peneliti dalam penetapan status suatu genre, yaitu dengan menggunakan sedikitnya tiga kriteria: (1) tujuan sosial yang hendak dicapai, (2) struktur retorika, skematik, atau generik, dan (3) bentuk kebahasaan yang digunakan. Menurut Martin dan Rothery (1986: 243), genre adalah “the staged purposeful social processes through which a culture is realized in a language.” Definisi tersebut selaras dengan hasil pengamatan John M. Swales terhadap berbagai pembahasan tentang genre di bidang kebahasaan dan keaksaraan. Dia katakan bahwa genre merupakan kejadian komunikatif (communicative events) yang dilakukan untuk mencapai satu tujuan. Selanjutnya, tujuan tersebut menjadi dasar untuk menentukan isi atau makna yang akan diutarakan, penempatan makna dalam teks, dan bentuk kebahasaan yang digunakan untuk mengutarakan makna tersebut (190: 52-53). Swales memberikan contoh penggunaan surat good news (untuk menyampaikan pesan yang diharapkan akan menyenangkan si penerima) dan surat bad news (untuk menyampaikan pesan sebaliknya).

Keterkaitan antara ketiga unsur yang membentuk genre dapat dilihat sebagai hubungan sebab akibat. Karena adanya suatu kebutuhan, orang perlu bertindak dengan cara berwacana. Jadi, tujuan berwacana ditentukan oleh kebutuhan yang dihadapi penutur. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan teks untuk mengungkapkan makna yang diperlukan. Adalah bagian dari sifat manusia, pengungkapan makna tidak dapat dilakukan dengan cara lain kecuali secara linear, makna demi makna. Berdasarkan pertimbangan efektivitas dan efisiensi dalam pencapaian tujuan, penutur menentukan urutan penyampaiannya, serta kosakata dan tatabahasa yang dianggap paling tepat.

Dalam buku “Making Sense of Functional Grammar”, yang tujuannya adalah memberikan pemaparan praktis tentang SFL bagi guru bahasa asing atau bahasa kedua, Gerot dan Wignell (1994) memberikan paparan secara rinci 13 genre, yaitu Uraian Kejadian (Recount), Spoof (atas dasar pertimbangan makna, istilah tersebut serta beberapa istilah asing lainnya tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia), Laporan Pengamatan (Report), Eksposisi Analitis, Berita, Anekdot, Naratif, Prosedur, Deskripsi, Eksposisi Hortatory, Penjelasan, Diskusi atau Pembahasan, dan Ulasan (Review). Setiap genre disampaikan secara skematik dalam tiga bagian yang diberi judul (1) Social Function, (2) Generic (Schematic) Structure, dan (3) Significant Lexicogrammatical Features. Di bawah judul Social Function disebutkan tujuan yang hendak dicapai, di bawah judul Generic Structure disebutkan daftar langkah atau tahapan secara berurutan, dan di bawah judul Significant Lexicogrammatical Features disebutkan daftar kosakata dan tatabahasa yang menjadi penciri genre yang bersangkutan. Pemaparan ciri-ciri tatabahasa tampak jelas menggunakan Functional Grammar Halliday (1985, 1994). Pemaparan setiap genre dilengkapi dengan sebuah contoh teks yang utuh, namun telah dipenggal-penggal ke dalam beberapa bagian, yang masing-masing merepresentasikan langkah atau tahapan. Oleh karena itu setiap tahapan diberikan judul yang sesuai.

Kekhawatiran Gerot dan Wignell (1994) bahwa guru akan memperlakukan pemaparan genre di atas sebagai rumus yang harus ditaati tesirat dalam paragraf yang mengingatkan guru bahwa genre bukan

Page 2: Pengertian Genre

sesuatu yang kaku dan tetap, tetapi bervariasi sesuai konteks penggunaannya. Bahkan disebutkan dalam pernyataan berikut bahwa kreativitas individu dalam menerapkan suatu genre perlu dilatihkan.

Kelenturan genre dalam mengakomodasi tuntutan sosial dan prakarsa individu menjadi pokok bahasan dalam seksi berikut.

Genre sebagai Suatu Tindakan Sosial

Berbagai tulisan yang dirujuk dalam membahas konsep genre di atas jelas menunjukkan bahwa genre adalah satu bentuk tindakan sosial, sehingga sangat dipengaruhi oleh konteks sosiokultural yang dihadapi. Oleh karena itu, genre bersifat fleksibel dalam mengakomodasi tuntutan masyarakat penggunanya (discourse community), termasuk keinginan dari dalam diri individu yang menggunakannya. Karena pertimbangan sosial tersebut, genre cenderung bervariasi dari waktu ke waktu, tempat ke tempat, orang ke orang. Swales mengatakan “exemplars or instances of genres vary in their prototypicality” (1990: 49). Fairclough (1995: 89) dan Freedman dan Medway (1994: 87) bahkan sering menemukan suatu teks yang menerapkan beberapa genre atau ciri-ciri dari beberapa genre sekaligus. Selain itu, Fowler (1989) juga jarang menemukan teks yang tergolong dalam satu genre memiliki secara lengkap semua unsur dan aturan yang dianggap sebagai ciri dari genre tersebut (hal. 215). Meale (1981: 52) bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa genre bukanlah ‘sistem’, tetapi proses membangun suatu sistem (systematization).

Sebagai satu tindakan sosial, genre tidak dapat dilihat sebagai bentuk atau aturan yang khas dari suatu jenis, tipe atau kategori teks, yang memiliki rumus yang pasti, sehingga dapat disamakan dengan cetakan yang siap digunakan untuk mereproduksi teks-teks yang sebangun. Karena pemilihan genre terkait dengan usaha untuk mencapai tujuan berwacana secara efektif, genre akan selalu berubah sesuai dengan konteks wacana yang ada. Pare dan Smart (1994) menganggap genre sebagai “a complex pattern of repeated social activity and rhetorical performance arising in response to recurrent situation” (hal. 146). Gerot dan Wignell (1994: 191) juga secara tegas menyatakan bahwa paparan genre yang ada dalam bukunya menggambarkan suatu kecenderungan atau probabilitas, bukan suatu kepastian.

Menurut Halliday (1985: 12-14), pemilihan bentuk atau struktur teks oleh penutur untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu kegiatan sosial komunikatif ditentukan oleh konteks situasi yang dihadapi, atau register. Register merupakan kesatuan dari tiga unsur yang tidak dapat terpisahkan dan saling mempengaruhi satu sama lain, yaitu field, tenor, dan mode. Field mengacu pada apa yang sedang terjadi atau mengenai hal-hal yang sedang dibicarakan. Tenor mengacu pada siapa yang terlibat dalam pembicaraan tersebut, sifat dan peran masing-masing, serta sifat hubungan antara satu dengan lainnya. Modemengacu pada media atau tatanan simbol yang digunakan, statusnya, serta fungsinya dalam konteks pembicaraan. Termasuk dalam unsur mode antara lain saluran yang digunakan (tertulis, lisan, atau kombinasi keduanya), struktur retorikanya, atau tujuan sosialnya (persuasive, ekspositori, deduktif, dsb.).

Celce-Murcia, Dornyei, dan Thurrell (2001) membahas kompleksitas bahasa sebagai suatu alat untuk melakukan tindakan sosial dari sudut pandang lain. Menurut mereka, kemampuan menentukan bahasa yang tepat untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan komunikatif yang sebenarnya di masyarakat (berwacana) diperlukan lima kompetensi dasar yang merupakan satu kesatuan yang utuh yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Kelima unsur tersebut adalah (1) kompetensi wacana, (2) kompetensi kebahasaan, (3) kompetensi tindak bahasa, (4) kompetensi sosiokultural, dan (5)

Page 3: Pengertian Genre

kompetensi strategik. Kelima kompetensi dasar tersebut menjadi syarat untuk dapat menghasilkan suatu teks yang memiliki bentuk dan susunan yang oleh lingkungan sosialnya dianggap tepat dan efektif untuk mencapai suatu tujuan sosial yang hendak dicapai oleh penuturnya.

Kompetensi wacana mengacu pada kemampuan memilih, menata, dan mengurutkan makna (yang terungkap dalam bentuk kata, kalimat, pargraf) serta konstruksi lainnya. Kompetensi kebahasaan mengacu pada kemampuan memilih unsur-unsur kebahasaan yang selama ini menjadi fokus pembelajaran bahasa asing (yaitu tata bahasa, kosakata, lafal, intonasi, ejaan, dan tanda baca) yang dianggap tepat. Kompetensi tindak bahasa mengacu pada kemampuan mengungkapkan dan memahami tindakan komunikatif yang sedang dilakukan. Kompetensi sosiokultural mengacu pada kemampuan memahami dan menerapkan aturan-aturan dan tatacara yang dianggap tepat dan patut menurut konteks budaya yang bersangkutan. Kompetensi strategik mengacu pada kemampuan memahami dan menerapkan strategi komunikatif yang tepat untuk mencapai tujuan komunikatif secara efektif dan efisien.

Di samping faktor-faktor sosial tersebut, variasi genre tidak dapat terlepas dari pengetahuan dasar yang dimiliki oleh para penuturnya. Pengetahuan ini disebut sebagai skemata, yang menurut Carell (1983) terdiri atas dua jenis, yaitu “content schemata,” yang mengacu pada pengetahuan umum tentang dunia, dan “formal schemata,” yang mengacu pada genre yang menjadi dasar pembentukan teks. Biasa dikatakan dalam budaya Indonesia, bahwa cipta, rasa, dan karsa individu akan selalu mempengaruhi apapun yang dilakukan ataupun dihasilkan dalam hidupnya.