Pengertian Filsafat Huku 4
-
Upload
anggi-misaful-bewani -
Category
Documents
-
view
49 -
download
6
description
Transcript of Pengertian Filsafat Huku 4
PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM
Triya Indra Rahmawan
Untuk membahas mengenai pengertian daripada filsafat hukum, ada baiknya kita
tahu lebih dahulu sekelumit tentang apa yang dimaksud dengan fisafat itu sendiri
dan apa pula pengertian daripada hukum.
Filsafat adalah merupakan suatu perenungan atau pemikiran secara mendalam
terhadap sesuatu hal yang telah kita lihat dengan indera penglihatan, kita rasakan
dengan indera perasa, kita cium dengan indera penciuman ataupun kita dengar
dengan indera pendengaran samapai pada dasar atau hakikat daripada sesuatu hal
tersebut. Louis O Kattsoff mengatakan di dalam bukunya, bahwa filsafat bertujuan
untuk mengumpulkan penegtahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik
dan menilai pengetahuan ini, menemukan hakikatnya, dan menerbitkan serta
mengatur semuanya itu di dalam bentuk yang sistematis. Katanya lebih lanjut,
filsafat membawa kita pada pemahaman dan pemahaman membawa kita kepada
tindakan yang lebih layak (1992 : 03). Filsafat dapat kita jadikan sebagai pisau
analisis dalam menganalisa suatu masalah dan menyususn secara sistematis suatu
sudut pandang ataupun beberapa sudut pandang, yang kemudian dapat menjadi
dasar untuk melakukan suatu tindakan.
Sedangkan hukum sendiri, menurut seorang ahli hokum Indonesia Wirjono
Prodjodikoro (1992:9), adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-
orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari
hokum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam
masyarakat itu. Kemudian, Notohamidjojo (1975:21) berpendapat, bahwa hokum
adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya
bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat Negara serta
antarnegara, yang berorientasi pada dua asas yaitu keadilan dan dayaguna, demi
tata tertib dan damai dalam masyarakat. Secara umum hukum dapat dipandang
sebagai norma, yaitu norma yang mengandung nilai-nilai tertentu (Darji
Darmodiharjo, shidarta, 2004:13).
Selanjutnya filsafat hukum dapat disebut juga sebagai filsafat tingkah laku atau
nilai-nilai etika, yang mempelajari hakikat hukum. Filsafat hukum ialah merupakan
ilmu yang mengkaji tentang hukum secara mendalam sampa kepada inti atau
dasarnya yang disebut dengan hakikat (Darji Darmodiharjo, shidarta, 2004:11).
Seorang filsuf hukum pasti akan mencari apa inti atau hakikat daripada hukum,
ingin mengetahui apa yang ada di belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi
di dalam hukum, menyelidiki kaidah-kaidah hokum sebagai pertimbangan nilai,
memberi penjelasan tentang nilai-nilai, postulat-postulat (dasar-dasar) hokum
sampai pada dasar-dasarnya filsafat yang terakhir, dan berusaha mencapai akar
dari hokum (Mr. Soetikno, 1986:02). Jadi, filsafat hukum adalah suatu perenungan
atau pemikiran secara ketat, secara mendalam tentang pertimbangan nilai-nilai di
balik gejala-gejala hokum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindera manusia
mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
Makna Filsafat Hukum Oleh Para Ahli
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1979 : 11). Misalnya, merumuskan
filsafat hukum itu sebagai perenungan dan perumusan nilai-nilai; kecuali itu,
filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya penyeresaian
antara ketertiban dan ketentraman, antara kebendaan dengan keakhlakan, dan
antara kelanggengan atau konservatisme dengan pembaharuan.
Satjipto Rahardjo (1982 : 321) mengemukakan pendapatnya bahwa filsafat hukum
itu mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum.
Pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat hukum, tentang dasar-dasar bagi kekuatan
mengikat dari hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang mendasar itu.
Gustav Rdbruch (1952) merumuskannya dengan sederhana, yaitu bahwa filsafat
hukum itu adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar, sedangkan
Langemeyer (1948) mengatakannya pembahasan secara filosofis tentang hukum.
Van Apaldoorn (1975) menguraikan sebagai berikut: “Filsafat hukum menghendaki
jawaban atas pertanyaan: apakah hukum? Ia menghendaki agar kita berpikir
masak-masak tentang tanggapan kita dan bertanya pada diri sendiri, apa yang
sebenarnya kita tanggap tentang “hukum”. Tak dapatkah ilmu pengetahuan hukum
menjawabnya? Dapat, hanya, tak dapat memberikan jawaban yang serba
memuaskan karena tak lain daripada jawaban yang sepihak, karena ilmu
pengetahuan hukum hanya melihat gejala-gejala hukum belaka. Ia tak melihat
“hukum”; hanya ia melihat apa yang dapat dilihat dengan panca indera, bukan
melihat dunia hukum yang tak dapat dilihat, yang tersembunyi didalamnya; ia
semata-mata melihat hukum sebagai dan sepanjang ia menjelma dalam perbuatan-
perbuatan manusia, dalam kebiasaan-kebiasaan hukum. Kaidah-kaidah hukum
sebagai pertimbangan nilai terletak di luar pandangannya.
E. Utrecht (1966). Ia mengetengahkan sebagai berikut: ‘Filsafat hukum member
jawaban atas pertanyaan seperti: Apakah hukum itu sebenarnya? (persoalan:
adanya tujuan hukum) Apakah sebabnya maka kita menaati hukum? (persoalan:
berlakunya hukum) Apakah keadilan menjadi ukuran untuk baik buruknya hukum
itu? (persoalan:keadilan) Inilah pertanyaan yang sebetulnya juga dijawab ilmu
hukum. Akan tetapi, bagi orang banyak jawaban ilmu hukum tidak memuaskan.
Ilmu hukum sebagi suatu empiris hanya melihat hukum sebagai suatu gejala saja,
yaitu menerima hukum sebagai suatu gegebenheit belaka.
Kusumadi Pudjosewojo (1961), yang mengajukan beberapa pertanyaan penting
yang harus diselidiki oleh filsafat hukum. Pertanyaan yang dikemukakan, karena
sifatnya yang sangat mendasar, tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan
hukum. Pertanyaan yang dikemukakan adalah: “Dan seekali mempersoalkan hal-
hal dari ilmu hukum, dekatlah orang kepada pertanyaan seperti: Apakah tujuan
dari hukum itu? Apakah semua syarat keadilan? Apakah keadilan itu?
Bagaimanakah hubungannya antara hukum dan keadilan?. Dengan pertanyaan
demikian, orang sudah melewati batas-batas ilmu pengetahuan hukum
sebagaimana arti lazimnya, dan menginjak lapangan “filsafat hukum” sebagian
ilmu pengetahuan filsafat.
L. Bender O.P. (1948) sebagai berikut: “Filsafat hukum adalah suatu ilmu yang
merupakan bagian dari filsafat. Filsafat itu terdiri dari barbagai bagian. Salah satu
bagian utamanya adalah filsafat moral, yang disebut etika. Objek dari bagian
utama ini ialah tingkah laku manusoa, yaitu baik atau buruk menurut kesusilaan.
Menurut keyakinan saya, filsafat hukum adalah bagian dari filsafat moral atau
etika
Objek Kajian Filsafat Hukum;
Ruang Lingkup Objek pengkajian filsafat hukum Bambang Sutiyoso,SH. M.Hum.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa karena filsafat hukum merupakan bagian
khusus dari filsafat pada umumnya, maka berarti filsafat hukum hanya
mempelajari hukum secara khusus. Sehingga, hal-hal non hukum menjadi tidak
relevan dalam pengkajian filsafat hukum. Penarikan kesimpulan seperti ini
sebetulnya tidak begitu tepat. Filsafat hukum sebagai suatu filsafat yang khusus
mempelajari hukum hanyalah suatu pembatasan akademik dan intelektual saja
dalam usaha studi dan bukan menunjukkan hakekat dari filsafat hukum itu sendiri.
Sebagai filsafat, filsafat hukum tunduk pada sifat-sifat, cara-cara dan tujuan-tujuan
dari filsafat pada umumnya. Di samping itu, hukum sebagai obyek dari filsafat
hukum akan mempengaruhi filsafat hukum. Dengan demikian secara timbal balik
antara filsafat hukum dan filsafat saling berhubungan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat,
yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan
perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara
filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan obyek tersebut dikaji secara
mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.
Pertanyaan tentang apa apa hakikat hukum itu sekaligus merupakan pertanyaan
filsafat hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab oleh ilmu
hukum, tetapi jawaban yang diberikan ternyata serba tidak memuaskan. Menurut
Apeldorn , hal tersebut tidak lain karena ilmu hukum hanya memberikan jawaban
yang sepihak. Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat
diamati oleh pancaindra manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Sementara itu pertimbangan nilai di balik gejala-
gejala hukum, luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma atau kaidah hukum,
tidak termasuk dunia kenyataan (sein), tetapi berada pada dunia nilai (sollen),
sehingga norma hukum bukan dunia penyelelidikan ilmu hukum.
Hakikat hukum dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu definisi tentang
hukum. Sampai saat ini menurut Apeldorn, sebagaimana dikutip dari Immanuel
Kant, para ahli hukum masih mencari tentang apa definisi hukum. Definisi
(batasan) tentang hukum yang dikemukakan para ahli hukum sangat beragam,
tergantung dari sudut mana mereka melihatnya.
Ahli hukum Belanda J. van Kan, mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan
ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi
kepentingan-kepentingan orang dalam mayarakat. Pendapat tersebut mirip dengan
definisi dari Rudolf von Ihering, yang menyatakan bahwa hukum bahwa hukum
adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu
negara. Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana
orang harus berperilaku. Pendapat ini di dukung oleh ahli hukum Indonesia,
Wiryono Prodjodikoro, yang menyatakan hukum adalah rangkaian peraturan
mengenai tingkah lau orang-orangsebgai anggota suatu masyarakat, sedangkan
satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan
tata tertib dalam masyarakat itu. Selanjutnya Notohamidjoyo berpendapat bahwa
hukum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulisyang biasanya
bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antar
negara, yang berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya guna, demi tata
tertib dan kedamaian dalam masyarakat.
Definisi-definisi tersebut menunjukkan betapa luas sesungguhnya hukum itu.
Keluasan bidang hukum itu dilukiskan oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono
Soekanto dengan menyebutkan sembilan arti hukum. Menurut mereka, hukum
dapat diartikan sebagai : (1) ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun
secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran; (2) disiplin, yakni suatu sistem
ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi ; (3) norma, yakni
pedoman atau patokan siakap tindak atau perikelakuan yang pantas atau
diharapkan; (4) tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat norma-norma
hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk
tertulis; (5) petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang
berhubungan erat dengan penegakan hukum (law enforcement officer) ; (6)
keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi ; (7) proses pemerintahan, yaitu
proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan;
(8) sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yakni perikelakuan yang
diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk untuk mencapai
kedamaian; (9) jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak
tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
Dengan demikian, apabila kita ingin mendefinisikan hukum secara memuaskan,
kita harus dapat merumuskannya dalam suatu kalimat yang cukup panjang yang
meliputi paling tidak sembilan arti hukum di atas.
Mengingat objek filsafat hukum adalah hukum, maka masalah atau pertanyaan
yang dibahas oleh filsafat hukum itupun antara lain berkaitan dengan hukum itu
sendiri, seperti hubungan hukum dengan kekuasaan, hubungan hukum kodrat
dengan hukum positif, apa sebab orang menaati hukum, apa tujuan hukum, sampai
pada masalah-masalah kontemporer seperti masalah hak asasi manusia, keadilan
dan etika profesi hukum.
Selanjutnya Apeldorn, menyebutkan tiga pertanyaan penting yang dibahas oleh
filsafat hukum, yaitu: (1) adakah pengertian hukum yang berlaku umum; (2)
apakah dasar kekuatan mengikat dari hukum; dan (3) adakah sesuatau hukum
kodrat. Lili Rasyidi menyebutkan pertanyaan yang menjadi masalah filsafat hukum,
antara lain : (1) hubungan hukum dengan kekuasaan ; (2) hubungan hukum
dengan nilai-nilai sosial budaya ; (3) apa sebabnya negara berhak menghukum
seseorang ; (4) apa sebab orang menaati hukum ; (5) masalah
pertanggungjawaban ; (6) masalah hak milik ; (7) masalah kontrak ; (8) dan
masalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Apabila kita perbandingkan antara apa yang dikemukakan oleh Apeldorn dan Lili
Rasyidi tersebut, tampak bahwa masalah-masalah yang dianggap penting dalam
pembahasan filsafat hukum terus bertambah dan berkembang, seiring dengan
perkembangan zaman. Demikian pula karena semakin banyaknya para ahli hukum
yang menekuni dunian filsafat hukum.
Manfaat Belajar FilsafatHukum Urgensi dan relevansi filsafat hukum
Bambang Sutiyoso, SH., Hum.
Berfilsafat adalah berfikir. Hal ini tidak berarti setiap berfikir adalah berfilsafat,
karena berfilsafat itu berfikir dengan ciri-ciri tertentu. Ada beberapa ciri berpikir
secara kefilsafatan, yaitu:
1. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara radikal. Radikal berasal dari kata
Yunani, radix yang berarti “akar”. Berfikir secara radikal adalah berfikir
sampai ke akar-akarnya. Berfikir sampai ke hakikat, essensi, atau samapai ke
substansi yang dipikirkan. manusia yang berfilsafat tidak puas hanya
memperoleh pengetahuan lewat indera yang selalu berubah dan tidak tetap.
Manusia yang berfilsafat dengan akalnya berusaha untuk dapat menangkap
pengetahuan hakiki, yaitu pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan
inderawi.
2. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara universal (umum). Berfikir secara
universal adalah berfikir tentang hal-hal serta proses-proses yang bersifat
umum. Filsafat bersangkutan dengan pengalaman umum dari ummat manusia
(common experience of mankind). Dengan jalan penjajakan yang radikal,
filsafat berusaha untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang universal.
Bagaimana cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai sasaran
pemikirannya dapat berbeda-beda. Akan tetapi yang dituju adalah keumuman
yang diperoleh dari hal-hal khusus yang ada dalam kenyataan.
3. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara konseptual. Yang dimaksud dengan
konsep di sini adala hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang
hal-hal sertya proses-proses individual. Berfilsafat tidak berfikir tentang
manusia tertentu atau manusia khusus, tetapi berfikir tentang manusia secara
umum. Dengan ciri yang konseptual ini, berfikir secara kefilsafatan melampoi
batas pengalaman hidup sehari-hari.
4. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara koheren dan konsisten. Koheren
artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir (logis). Konsisten artinya tidak
mengandung kontradiksi. Baik koheren maupun konsisten, keduanya dapat
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu runtut. Adapun yang dimaksud
runtut adalah bagan konseptual yang disusun tidak terdiri atas pendapat-
pendapat yang saling berkontradiksi di dalamnya.
5. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara sistematik. Sistematik berasal dari
kata sistem yang artinya kebulatan dari sejumlah unsur yang saling
berhubungan menurut tata pengaturan untuk mencapai sesuatu maksud atau
menunaikan sesuatu peranan tertentu. Dalam mengemukakan jawaban
terhadap sesuatu masalah, digunakan pendapat atau argumen yang
merupakan uraian kefilsafatan yang saling berhubungan secara teratur dan
terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
6. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara komprehensif. Komprehensif
adalah mencakup secara menyeluruh. Berfikir secara kefilsafatan berusaha
untuk menjelaskan fenomena yang ada di alam semesta secara keseluruhan
sebagai suatu sistem.
7. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara bebas. Sampai batas-batas yang
luas, setiap filsafat boleh dikatakan merupakan suatu hasil dari pemikiran yang
bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, atau religius.
Sikap-sikap bebas demikian ini banyak dilukiskan oleh filsuf-filsuf dari segala
zaman. Socrates memilih minum racun dan menatap maut daripada harus
mengorbankan kebebasannya untuk berpikir menurut keyakinannya. Spinoza
karena khawatir kehilangan kebebasannya untuk berfikir, menolak
pengangkatannya sebagai guru besar filsafat pada Universitas Heidelberg.
8. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan dengan pemikiran yang
bertanggungjawab. Pertangungjawaban yang pertama adalah terhadap hati
nuraninya. Di sini tampak hubungan antara kebebasan berfikir dalam filsafat
dengan etika yang melandasinya.
Sebagaimana berfikir secara kefilsafatan, maka pemikiran filsafat hukum juga
memiliki beberapa sifat atau karakteritik khusus yang membedakannya dengan
ilmu-ilmu lain. Pertama, filsafat hukum memiliki karakteristik yang bersifat
menyeluruh dan universal. Dengan cara berfikir holistik tersebut, maka siapa
saja yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan
terbuka. Mereka diajak untuk menghargai pemikiran, pendapat dan pendirian
orang lain. Itulah sebabnya dalam filsafat hukumpun dikenal pula berbagai
aliran pemikiran tentang hukum, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Dengan demikian diharapkan para cendekiawan hukum, tidak bersikap arogan
dan apriori, bahwa disiplin ilmu yang dimilikinya lebih tinggi dengan disiplin
ilmu yang lainnya.
Kemudian filsafat hukum dengan sifat universalitasnya, memandang kehidupan
secara menyeluruh, tidak memandang hanya bagian-bagian dari gejala
kehidupan saja atau secara partikular. Dengan demikian filsafat hukum dapat
menukik pada persoalan lain yang relevan atau menerawang pada keseluruhan
dalam perjalanan reflektifnya, tidak sekedar hanya memecahkan masalah-
masalah yang dihadapinya. Dalam filsafat hukum, pertimbangan-pertimbangan
di luar obyek adalah salah satu ciri khasnya. Filsafat hukum tidak bersifat
bebas nilai. Justru filsafat hukum menimba nilai yang berasal dari hidup dan
pemikiran.
Ciri yang kedua, filsafat hukum juga memiliki sifat yang mendasar atau
memusatkan diri pada pertanyaan-pertanyaan mendasar (basic or fundamental
questions). Artinya dalam menganalisis suatu masalah, seseorang diajak untuk
berpikir kritis dan radikal. Dengan mempelajari dan memahami filsafat hukum
berarti diajak untuk memahami hukum tidak dalam arti hukum positif belaka.
Orang yang mempelajari hukum dalam arti positif belaka, tidak akan mampu
memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik. Apabila orang itu
menjadi hakim misalnya, dikhawatirkan ia akan menjadi hakim yang bertindak
selaku “corong undang-undang” semata.
Ciri berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sifat filsafat yang
spekulatif. Sifat ini tidak boleh diartikan secara negatif sebagai sifat gambling.
Sebagai dinyatakan oleh Suriasumantri , bahwa semua ilmu yang berkembang
saat ini bermula dari sifat spekulatif tersebut. Sifat ini mengajak mereka yang
mempelajari filsafat hukum untuk berpikir inovatif, selalu mencari sesuatu
yang baru. Memang, salah satu ciri orang yang berpikir radikal adalah senang
kepada hal-hal yang baru. Tentu saja tindakan spekulatif yang dimaksud di sini
adalah tindakan yang terarah, yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Dengan berpikir spekulatif dalam arti positif itulah hukum dapat
dikembangkan ke arah yang dicita-citakan bersama. Secara spekulatif, filsafat
hukum terjadi dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat
hukum. Pertanyaan-pertanyaan itu menimbulkan rasa sangsi dan rasa
terpesona atas suatu kebenaran yang dikandung dalam suatu persoalan.
Apabila jawaban-jawabannya diperoleh maka jawaban-jawaban itu disusun
dalam suatu sistem pemikiran yang universal dan radikal.
Kemudian ciri yang lain lagi adalah sifat filsafat yang reflektif kritis. Melalui
sifat ini, filsafat hukum berguna untuk membimbing kita menganalisis masalah-
masalah hukum secara rasional dan kemudian mempertanyakan jawaban itu
secara terus menerus. Jawaban tersebut seharusnya tidak sekedar diangkat
dari gejala-gejala yang tampak, tetapi sudah sampai kepada nilai-nilai yang ada
dibalik gejala-gejala itu. Analisis nilai inilah yang membantu kita untuk
menentukan sikap secara bijaksana dalam menghadapi suatu masalah
kongkret. Secara kritis, filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-
gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespodensi dan
fungsinya. Filsafat hukum berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-
pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai hukum.
Filsafat itu juga bersifat introspektif atau mempergunakan daya upaya
introspektif. Artinya, filsafat tidak hanya menjangkau kedalaman dan keluasan
dari permasalahan yang dihadapi tetapi juga mempertanyakan peranan dari
dirinya dan dari permasalahan tersebut. Filsafat mempertanyakan tentang
struktur yang ada dalam dirinya dan permasalahan yang dihadapinya. Sifat
introspektif dari filsafat sesuai dengan sifat manusia yang memiliki hakekat
dapat mengambil jarak (distansi) tidak hanya pada hal-hal yang berada di
luarnya tetapi juga pada dirinya sendiri.
Sebagai bahan perbandingan, Radhakrisnan dalam bukunya The History of
Philosophy, mengemukakan pula tentang arti penting mempelajari filsafat,
termasuk dalam hal ini mempelajari filsafat hukum, bukanlah sekedar
mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbing kita
untuk maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan
tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya
mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menopang dunia baru, mencetak
manusia-manusia yang tergolong ke dalam berbagai bangsa, ras dan agama itu
mengabdi kepada cita-cita mulia kemanusiaan. Filsafat tidak ada artinya sama
sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam
semangatnya.
Adanya karakteristik khusus dari pemikiran filsafat hukum di atas sekaligus
juga menunjukkan arti pentingnya. Dengan mengetahui dan memahami filsafat
hukum dengan berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka sebenarnya
filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk ikut membantu
memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap berbagai krisis
permasalahan yang menimpa bangsa Indonesia dalam proses reformasi ini.
Tentu saja kontribusi yang dapat diberikan oleh filsafat hukum dalam bentuk
konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang hendak dipakai dalam
penyelesaian masalah-masalah yang terjadi. Pendekatan mana didasarkan pada
sifat-sifat dan karakter yang melekat pada filsafat hukum itu sendiri.
Dengan pendekatan dan analisis filsafat hukum, maka para para pejabat, tokoh
masyarakat, pemuka agama dan kalangan cendekiawan atau siapapun juga
dapat bersikap lebih arif dan bijaksana serta mempunyai ruang lingkup
pandangan yang lebih luas dan tidak terkotak-kotak yang memungkinkan dapat
menemukan akar masalahnya. Tahap selanjutnya diharapkan dapat
memberikan solusi yang tepat. Karena penyelesaian krisis yang terjadi di
negara kita itu tidak mungkin dapat dilakukan sepotong-potong atau hanya
melalui satu bidang tertentu saja, tapi harus meninjau melalui beberapa
pendekatan lain sekaligus (interdisipliner.atau multidisipliner).
Tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa dirinya paling benar atau paling jago
dengan pendapatnya sendiri dan menafikan pendapat yang lain. Atau dengan kata
lain hanya ingin menangnya sendiri tanpa mau menghargai pendapat orang lain.
Karena masing-masing bidang atau cara pandang tertentu, mempunyai kelebihan
dan keterbatasannya masing-masing. Justru pandangan-pandangan yang berbeda
kalau dapat dikelola dengan baik, dapat dijadikan alternatif penyelesaian masalah
yang saling menopang satu sama lain.
Apalagi krisis permasalahan yang melanda bangsa Indonesia sesungguhnya amat
kompleks dan multidimensional sifatnya, mulai krisis ekonomi, politik, hukum,
pemerintahan serta krisis moral dan budaya, yang satu sama lain berkaitan
sehingga diperlukan cara penyelesaian yang terpadu dan menyeluruh yang
melibatkan berbagai komponen bangsa yang ada. Dalam konteks ini diperlukan
adanya kerjasama dan sinergi yang erat dari berbagai komponen tersebut. Maka
pejabat pemerintah harus mendengar aspirasi dari rakyat, para pakar mau
mendengar pendapat pakar lainnya, tokoh masyarakat harus saling menghormati
terhadap dengan tokoh masyarakat yang lain. Semua bekerja bahu membahu dan
menghindarkan diri dari rasa curiga, kebencian dan permusuhan. Dengan
pendekatan dan kerangka berfikir filsafati seperti di atas, diharapkan dapat
membantu ke arah penyelesaian krisis yang sedang menerpakan bangsa Indonesia
saat ini.
ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT HUKUM
Sepanjang sejarah hukum mulai dari zaman yunani atau romawi hingga dewasa ini
kita dihadapkan dengan berbagai teori hukum. Dari hasil kajian antropologi sendiri
telah terbukti bahwa hukum berkembang dalam masyarakat, ³Ibi ius ibi societas´
dimana ada masyarakatdisitu ada hukum. Para pakar telah mengklasifikasikan
aliran-aliran filsafat hukum adalah sebagai berikut:
a. Soerjono Soekanto membagi aliran filsafat hukum, adalah sebagai berikut:
Mazhabformalitas, Mazhab sejaran dan kebudayaan, Aliran utilitarianisme,
Aliran sociological yurisprudence dan Aliran realism hukum.
b. Satjipto Rahardjo, mengemukakan berbagai aliran filsafat hukum adalah sebagai
berikut; Teori Yunani dan Romawi, Hukum alam, Positivisme dan utilitarianisme,
Teori hukummurni, Pendekatan sejarah dan antropologis, dan Pendekatan
sosiologis.
c. Lili Rasdji, mengemukakan aliran-aliran yang paling berpengarus saja adalah
sebagai berikut; Aliran hukum alam, Aliran hukum positif, Mazhab sejarah,
Sociological jurisprudence, Pragmatic legal realism. Adapun berbagai teori
tentang hukum adalah sebagai berikut:
1. Aliran Hukum
Alam Aliran hukum alam adalah hukum yang berlaku universal dan abadi
yang bersumber dari Tuhan, filsafat keadilan sebagaimana dikembangkan
oleh teori plato/aristoteles dan Thomas Aquino.
a. Plato mengutarakan pandangan tentang harmoni suasana yang alami
tentram
b. Aristoteles mengutarakan (membagi dua adalah hukum alam dan hukum
positif) teoridualisme, sebagai kontribusi (manusia bagian dari alam,
manusia adalah majikan dari alam)
c. Thomas Aquino: ³Summa Theologica´ dan ³De Regimene Principum´.
Membagi asas
hukum alam menjadi dua adalah sebagai berikut:
Principia Prima adalah merupakan asas yang dimiliki oleh manusia
semenjak lahir
dan bersifat mutlak.
Principia Secundaria adalah merupakan asas yang tidak mutlak dan dapat
berubah
menurut tempat dan waktu
d. Immanuel Kant mengutarakan pandangan tentang hukum kodrat metafisis
yaitu tentangkodrat dan kebebasan. Kodrat adalah merupakan lapangan dari
akal budi, yang tersusunatas kategori kategori pikiran, yang terdiri atas
empat komponen dasar, yaitu kualitet, kuantitet, relasi dan modalitet, tetapi
dibatasi ruang dan waktu. Kebebasan adalah lapangan dari dan bagi akal
budi praktis, wilayah moralitas, yaitu kebebasan normativeetis dari manusia,
yang menampilkan ideal kepribadian manusia.
Hukum Alam Irasional
Filsafat Thomas Aquinas mengakui bahwa disamping kebenaran wahyu juga
terdapat kebenaran akal. Adanya pengetahuan yang tidak ditembus aleh
akal dan untuk itulah diperlukan iman.Dengan demikian, menurut Aquinas,
ada dua pengetahuan yang berjalan bersama-sama, yaitupengetahuan
alamiah dan pengetahuan iman.
Mengenai pembagian hukum, Friedmann menggambarkan pemikiran
Aquinas dengan menyatakan ada empat macam hukum yang diberikan
Aquinas, yaitu lex aeterna (hukum rasioTuhan yang tidak dapat ditangkap
oleh pancaindera manusia), lex divina (hukum rasio Tuhanyang bisa
ditangkap oleh pancaindera manusia), lex naturalis (hukum alam, yaitu
penjelmaan lexaeterna ke dalam rasio manusia) dan lex positivis (penerapan
lex naturalis dalam kehidupanmanusia di dunia).
Hukum alam merupakan sebagai metode tertua yang dapat dikenali sejak
zaman sampai abad pertengahan (abad 7 dan ke-18). Hukum alam adalam
merupakan sebagai substansi (isi) yaituberisikan norma-norma, peraturan-
peraturan dapat diciptakan dari asas-asas hak sasasi manusia.Hukum alam
menganggap pentingnya hubungan antara hukum dan moral.
2. Aliran Hukum Positifisme
Aliran Positifisme menganggap bahwa keduanya hukum dan moral dua hal
yang harus
dipisahkan. Dan aliran ini dikenal sadnya dua subaliran yang terkenal yaitu:
I. Aliran hukum positif yang analitis, pendasarnya adalah John Austin.
Ada empat unsure penting menurut Austin dinamakan sebagai hukum;
Ajarannya tidak berkaitan dengan penelitian baik-buruk, sebab penelitian
ini berada
di luar bidang hukum.
Kaidah moral secara yuridis tidak penting bagi hukum walaupun diakui ad
pengaruhnya pada masyarakat.
Pandangannya bertentangan baik dengan ajaran hukum alam maupun
dengan mazhab sejarah.
Masalah kedaulatan tak perlu dipersoalkan, sebab dalam ruang lingkup
hubungan
politik sosiologi yang dianggap suatu yang hendak ada dalam kenyataan.
Akan tetapi aliran hukum positif pada umumnya kurang atau tidak
memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat. Austin
mengemukakan cirri-ciri positivism, adalah sebagai berikut:
- Hukum adalah perintah manusia (command of human being).
- Tidak ada hubungan mutlak antar hukum moral dan yang lainnya.
- Analitis konsepsi hukum dinilai dari studi historis dan sosiologis.
- System hukum adalah merupakan system yang logis, tetap, dan bersifat
tertutup dan di dalamnya terhadap putusan-putusan yang tetap.
II. Aliran hukum positif murni, dipelopori oleh Hans Kelsen.
Latar belakang ajaran hukum murni merupakan suatu pemberontakan
terhadap ilmu idiologis, yaitu mengembangkan hukum sebagai alat
pemerintah dalam negara totaliter. Dan dikatakan murni karena hukum
harus bersih dari anasir-anasir yang tidak yuridis yaitu anasir etis,
sosiologis,politis, dan sejarah. Maka menurut Hans Kelsen hukum itu berada
dalam dunia ³sollen´dan bukan dalam dunia ³sain´. Sifatnya adalah hipotetis,
lahir karena kemauan dan akal manusia.
Ajaran Hans Kelsen mengemukakan Stufenbau des Recht (hukum itu tidak
boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih atas derajatnya). Dan John
Austin mengemukakan ada dua bentuk hukum, adalah sebagai berikut;
Positif law dan Positif morality.
3. Aliran Mazhab Sejarah
Aliran Mazhab sejarah dipelopori Friedrich Carl von Savigny (Volk geist)
hukum kebiasaan sumber hukum formal. Hukum tidak dibuat melainkan
tumbuh dan berkembang bersama samadengan masyarakat. Pandangannya
bertitik tolak bahwa di dunia ini terdapat banyak bangsa dantiap-tiap bangsa
memiliki ³volksgeist´ jiwa rakyat. Dia berpendapat hukum semua
hukumberasal dari adat-istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari
pembentukan undang undang.
4. Aliran Sociological Yurisprudence
Sociological Yurisprudence (living law) dipelopori Eugen Ehrlich (german)
tapi berkembang diAmerika Serikat (Roscoe) konsep hukum, hukum yang
dibuat agar memperhatikan hukum yanghidup dalam masyarakat baik
tertulis maupun tidak tertulis. Mengakui sumber hukum formalbaik undang
undang maupun bukan undang undang asal. Dipengaruhi oleh aliran
positifsosiologis dan August Comte yang orientasinya sosiologis.
Inti pemikiran Roscoe Pound hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yanghidup di dalam masyarakat. Berpegang kepada
pendapat pentingnya, baik akal maupun pengalaman.
5. Aliran Pragmatic Legal Realism
Aliran Pragmatic Legal Realism dipelopori oleh Roscoe Pound konsep
hukumnya (Law as a tool of social engineering) sub aliran positivisme
hukum Wiliam James dan Dewey
mempengaruhi lahirnya aliran ini. Titik tolaknya pada pentingnya rasio atau
akal sebagai sumber hukum. Menurut Liewellyn, aliran realism adalah
merupakan bukan aliran dalam filsafat hukum, tetapi merupakan suatu
gerakan ³movement´ dalam cara berfikir tentang hukum.
6. Aliran Antropolitica Yurisprudence
- Northrop dan Mac Dougall. Northrop mengutarakan pendapatnya bahwa
hukum
mencerminkan nilai sosial budaya.
- Mac dougall dan Values system mengutarakan pendapatnya bahwa
hukum mengandung sistem nilai. Mempengaruhi pendapat Mochtar
Kusumaatmadja
7. Aliran Utilitarianisme
Aliran Utilitarianisme dikemukakan tokoh aliran ini dalah Jeremy Bentham
dan mengutarakan pendapatnya memegang prinsip manusia akan
melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-
besarnya dan mengurangi penderitaan (hukum itu harus bermanfaatbagi
masyarakat, guna mencapai hidup bahagia).
Merupakan aliran yang meletakkan dasar dasar ekonomi bagi pemikiran
hukum, prinsip utamanya adalah tujuan dan evaluasi hukum. Bentham dan
Jhon Stuart Mill memiliki pendapat yang sejalan yaitu pembentukan undang-
undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang dapat
mencerminkan keadilan bagi semua individu.
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM DARI BERBAGAI MAZHAB/ALIRAN
oleh: Imran Nating, SH.
I. Mazhab Hukum Alam
Hukum alam sesungguhnya merupakan suatu konsep yang mencakup banyak
teori di dalamnya. Berbagai anggapan dan pendapat yang dikelompokkan ke
dalam hukum alam bermunculan dari masa ke masa.
Mempelajari sejarah hukum alam, maka kita akan mengkaji sejarah manusia
yang berjuang untuk menemukan keadilan yang mutlak di dunia ini serta
kegagalan-kegagalannya. Pada suatu saat hukum alam muncul dengan kuatnya,
pada saat yang lain ia diabaikan, tetapi yang pasti hukum alam tidak pernah
mati.
Hukum Alam adalah hukum yang normanya berasal dari Tuhan Yang Maha Esa,
dari alam semesta dan dari akal budi manusia, karenanya ia di gambarkan
sebagai hukum yang berlaku abadi.
Hukum alam dimaknai dalam berbagai arti oleh beberapa kalangan pada masa
yang berbeda. Berikut ini akan di paparkan pandangan hukum alam dari
Aristoteles, Thomas Aquinas, dan Hugo Grotius;
Aristoteles;
Aristoteles merupakan pemikir tentang hukum yang petama-tama membedakan
antara hukum alam dan hukum positip.
Hukum alam adalah suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena
hubungannya dengan aturan alam. Hukum itu tidak pernah berubah, tidak
pernah lenyap dan berlaku dengan sendirinya. Hukum alam dibedakan dengan
hukum positif, yang seluruhnya tergantung dari ketentuan manusia.
Hukum harus ditaati demi keadilan. Keadilan selain sebagai keutamaan umum
(hukum alam) juga keadilan sebagai keutamaan moral khusus. Keadilan
menentukan bagaimana hubungan yang baik antara sesama manusia, yang
meliputi keadilan dalam pembagian jabatan dan harta benda publik, keadilan
dalam transaksi jual beli, keadilan dalam hukum pidana, keadilan dalam hukum
privat.
Thomas aquinas;
Dalam membahas hukum Thomas membedakan antara hukum yang berasal dari
wahyu dan hukum yang dijangkau akal budi manusia. Hukum yang didapat
wahyu disebut hukum ilahi positif (ius divinum positivum). Hukum yang
didapatkan berdasarkan akal budi adalah ‘hukum alam (ius naturale), hukum
bangsa-bangsa(ius gentium), dan hukum positif manusiawi (ius positivum
humanum).
Menurut Aquinas hukum alam itu agak umum, dan tidak jelas bagi setiap orang,
apa yang sesuai dengan hukum alam itu. Oleh karenanya perlu disusun undang-
undang negara yang lebih kongkret mengatur hidup bersama. Inilah hukum
posisif. Jika hukum positif bertentangan dengan hukum alam maka hukum alam
yang menang dan hukum positif kehilangan kekuatannya. Ini berarti bahwa
hukum alam memiliki kekuatan hukum yang sungguh-sungguh. Hukum positif
hanya berlaku jika berasal dari hukum alam. Hukum yang tidak adil dan tidak
dapat diterima akal, yang bertentangan dengan norma alam, tidak dapat disebut
sebagai hukum, tetapi hukum yang menyimpang
Hugo grotius;
Grotius adalah penganut humanisme, yang mencari dasar baru bagi hukum alam
dalam diri manusia sendiri. Manusia memiliki kemampuan untuk mengerti
segala-galanya secara rasional melalui pemikirannya menurut hukum-hukum
matematika. Manusia dapat menyusun daftar hukum alam dengan
menggunakan prinsip-prinsip a priori yang dapat diterima secara umum. Hukum
alam tersebut oleh Grotius dipandang sebagai hukum yang berlaku secara real
sama seperti hukum positif.
Hukum alam tetap berlaku, juga seandainya Allah tidak ada. Sebabnya adalah
bahwa hukum alam itu termasuk akal budi manusia sebagai bagian dari
hakekatnya. Dilain pihak Grotius tetap mengaku, bahwa Allah adalah pencipta
alam semesta. Oleh karena itu secara tidak langsung Allah tetap merupakan
pundamen hukum alam. Hak-hak alam yang ada pada manusia adalah:
- hak untuk berkuasa atas diri sendiri, yakni hak atas kebebasan.
- hak untuk berkuasa atas orang lain
- hak untuk berkuasa sebagai majikan
- hak untuk berkuasa atas milik dan barang-barang.
Grotius juga memberikan prinsip yang menjadi tiang dari seluruh sistem hukum
alam yakni:
- prinsip kupunya dan kau punya. Milik orang lain harus dijaga
- prinsip kesetiaan pada janji
- prinsip ganti rugi
- prinsip perlunya hukuman karena pelanggaran atas hukum alam.
Sebagaimana telah di utarakan di muka, hukum alam ini selalu dapat dikenali
sepanjang abad-abad sejarah manusia, oleh karena ia merupakan usaha manusia
untuk menemukan hukum dan keadilan yang ideal.
II. Mazhab Formalistis
Hukum dan moral merupakan dua bidang terpisah dan harus dipisahkan.
Salah satu cabang dari aliran yang menganut pendapat diatas adalah mazhab
formalistik yang teorinya lebih dikenal dengan nama analytical jurisprudence.
Diantara tokoh terkemuka dari mazhab ini adalah John Austin dan Hans Kelsen.
John Austin;
Austin mendefenisikan hukum sebagai; “Peraturan yang diadakan untuk
memberi bimbingan kepada mahluk yang berakal oleh mahluk yang berkuasa
atasnya”.
Hukum merupakan perintah dari yang mereka yang memegang kekuasaan
tertinggi, atau dari yang memegang kedaulatan. Austin menganggap hukum
sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup.
Hukum yang sebenarnya mengandung 4 unsur menurut Austin:
1. Perintah
2. Sanksi (sesuatu yang buruk melekat pada perintah)
3. Kewajiban
4. Kedaulatan.
Ajaran Austin sama sekali tidak menyangkut kebaikan-kebaikan atau
keburukan-keburukan hukum, oleh karena penilaian tersebut dianggapnya
sebagai persoalan yang berbeda di luar hukum. Walaupun Austin mengakui
hukum Alam atau moral yang mempengaruhi warga masyarakat, tetapi itu
tidak penting bagi hukum.
Hans Kelsen;
Adalah tokoh mazhab Formalistis yang terkenal dengan teori murni tentang
hukum (pure Thory of law).
Sistem hukum adalah suatu sistem pertanggapan dari kaidah-kaidah, dimana
suatu kaidah hukum tertentu akan dapat dicari sumbernya pada kaidah hukum
yang lebih tinggi derajatnya. Kaidah yang merupakan puncak dari sistem
pertanggapan adalah kaidah dasar atau Grundnorm. Grundnorm ini semacam
bensin yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah yang menjadi dasar
mengapa hukum harus di patuhi.
Proses konkretisasi setapak demi setapak mulai dari grundnorm hingga
penerapannya pada situasi tertentu. Proses ini melahirkan Stufenbau theori.
Menurut Kelsen dalam ajaran hukum murninya, hukum tidak boleh dicampuri
oleh masalah-masalah politik, kesusilaan, sejarah, kemasyarakatan dan etika.
Juga tak boleh di campuri oleh masalah keadilan. Keadailan menurut Kelsen
adalah masalah ilmu politik.
III. MAZHAB KEBUDAYAAN DAN SEJARAH
Mazhab hukum historis lahir pada awal aabad XIX, yakni pada tahun 1814,
dengan diterbitkannya suatu karangan dari F. Von Savigny, yang berjudul: ‘Vom
Beruf unserer Zeit fur Gezetgebung und Rechtwissenchaft’ (tentang seruan
Zaman kini akan undang-undang dan ilmu hukum). Tokoh mazhab ini ialah F.
Von Savigny dan Sir Henry Maine
Friedrich Carl Von Savigny;
Menurut Savigny hukum merupakan salah satu faktor dalam kehidupan bersama
suatu bangsa, seperti bahasa, adat, moral, dan tatanegara. Oleh karena itu
hukum merupakan sesuatu yang bersifat supra-individual, suatu gejala
masyarakat.
Pada permulaan, waktu kebudayaan bangsa-bangsa masih bertaraf rendah,
hukum timbul secarah spontan dengan tidak sadar dalam jiwa warga bangsa.
Kemudian sesudah kebudayaan berkembang, semua fungsi masyarakat
dipercayakan pada suatu golongan tertentu. Demikianlah pengolahan hukum
dipercayakan kepada kepada kaum yuris sebagai ahli-ahli bidangnya.
Hakikat dari sistem hukum menurut Savigny adalah sebagai pencerminan jiwa
rakyat yang mengembangkan hukum itu. Semua hukum berasal dari adat
istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari pembentuk undang-undang.
Sir Henry Maine;
Aliran sejarah telah membuka jalan bagi perhatian yang lebih besar terhadap
sejarah dari suatu tata hukum dan dengan demikian mengembangkan
pengertian, bahwa hukum itu merupakan suatu unikum. Keadaan yang demikian
ini menyuburkan dilakukannya penelitian-penelitian serta karya-karya yang
bersifat anthropologis. Maine dianggap sebagai yang pertama-tama melahirkan
karya yang demikan.
Maine mengatakan masyarakat ada yang “statis” dan ada yang “progresip”.
Masyarakat progresip adalah yang mampu mengembangkan hukum melalui tiga
cara, yaitu: fiksi, equity dan perundang-undangan. Perubahan masyarakat tidak
selalu menuju kepada yang lebih baik. Perjalanan masyarakat menjadi proresip,
disitu terlihat adanya perkembangan dari suatu situasi yang ditentukan oleh
status kepada penggunaan kontrak.
IV. MAZHAP UTILITARIANISM
Pada mazhap ini tokohnya adalah Jeremy Bentham dan Rudolph Von Jhering.
Jeremy Bentham;
Bentham adalah pejuang yang gigih untuk hukum yang dikodifikasikan dan
untuk merombak hukum Inggris yang baginya merupakan suatu yang kacau.
Sumbangan terbesarnya terletak dalam bidang kejahatan dan pemidanaan.
Dalilnya adalah, bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa
sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan
serendah-rendahnya penderitaan. Standar penilaian yang di pakai adalah
“apakah suatu tindakan menghasilkan kebahagiaan”.
Selanjutnya Betham mengemukakan agar pembentuk hukum harus membentuk
hukum yang adil bagi segenap warga masyarakat secara individual.
Rudolph von Jhering;
Ia dikenal dengan ajarannya yang biasa disebut social utilitarianism.
Hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya.
Hukum adalah sarana untuk mengendalikan individu-individu, agar tujuannya
sesuai dengan tujuan masyarakat dimana mereka menjadi warganya.
Hukum merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan
perubahan-perubahan sosial.
V. MAZHAB SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
Tokoh mazhab ini adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound
Eugen Ehrlich;
Penulis yang pertama kali menyandang judul sosiologi hukum (Grundlegung der
Soziologie des Recht, 1912). Menurut Ehrlich pusat gaya tarik perkembangan
hukum tidak terletak pada perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, tetapi
di dalam masyarakat sendiri. Ajaran berpokok pada pembedaan antara hukum
positif dengan hukum yang hidup, atau dengan kata lain pembedaan antara
kaidah-kaidah hukum dgn kaidah-kaidah sosial lainnya.
Hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat.
Roscoe Pound;
Hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, dan adalah tugas ilmu hukum
untuk mengembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan
sosial dapr terpenuhi secara maksimal.
Pound juga menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law
in action), yang dibedakan dengan hukum yang tertulis(law in the books).
Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum
substantif, maupun hukum ajektif. Ajaran tersebut menonjolkan masalah apakah
hukum yang ditetapkan sesuai dengan pola-pola perikelakuan.
VI. MAZHAB REALISME HUKUM
Tokoh yang terkenal dalamaliran ini adalah hakim agung Oliver Wendell
Holmes, Jerome Frank dan Karl Llewellyn.
Kaum realis tersebut mendasarkan pemikirannya pada suatu konsepsi radikal
mengenai proses peradilan. Menurut mereka hakim itu lebih layak disebut
sebagai pembuat hukum daripada menemukannya. Hakim harus selalu
melakukan pilian, asas mana yang akan diutamakan dan pihak mana yang akan
dimenangkan.
Aliran realis selalu menekankan pada hakikat manusiawi dari tindakan
tersebut. Holmes mengatakan bahwa kewajiban hukum hanyalah merupakan
suat dugaan bahwa apabila seseorang berbuat atau tidak berbuat, maka dia
akan menderita sesuai dengan keputusan suatu pengadilan. Lebih jauh Karl
Llewellyn menekankan pada fungsi lembaga-lembaga hukum.
Pokok-pokok pendekatan kaum realis antara lain; hukum adalah alat untuk
mencapai tujuan-tujuan sosial dan hendaknya konsepsi hukum itu menyinggung
hukum yang berubah-ubah dan hukum yang diciptkan oleh pengadilan.
MEMAHAMI FILSAFAT HUKUM
FILSAFAT HUKUM
Pengertian
Filsafat: berasal dari bahasa Yunani yaitu : Philosophia. Philo atau philein
artinya cinta.
Sophia artinya kebijaksanaan.
Filsafat: berasal dari bahasa Yunani yaitu : Philosophia. Philo atau philein
artinya cinta. Sophia artinya kebijaksanaan.
Filsafat membicarakan tentang dasar-dasar sesuatu mengenai keberadaannya.
Filsafat membicarakan tentang dasar-dasar sesuatu mengenai keberadaannya.
Obyek Filsafat
Materi: maksudnya adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada.
Materi: maksudnya adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada.
Filsafat mempelajari apa saja yang menjadi isi alam semesta mulai dari benda
mati, tumbuhan, hewan, manusia dan Sang Pencipta.
Filsafat mempelajari apa saja yang menjadi isi alam semesta mulai dari benda
mati, tumbuhan, hewan, manusia dan Sang Pencipta.
Forma: maksudnya realita atau kenyataan.
Unsur Filsafat
Unsur internal: meliputi struktur ilmu pengetahuan dan metodologi.
Unsur eksternal: meliputi ilmu dan nilai yang meliputi agama, etika dan
ideologi.
PENGERTIAN
E. Utrecht:
Filsafat hukum hendak melihat hukum sebagai kaidah dalam arti kata ethisch
waardeoordeel.
Ilmu hukum sebagai ilmu empiris, hanya melihat hukum sebagai gejala saja,
yaitu menerima hukum sebagai gegebenheit belaka
Menurut Mr. Soetika, Filsafat hukum adalah:
Mencari hakikat dari hukum;
Mengetahui apa yang ada dibelakang hukum;
Menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai.
Memberikan pertimbang an dan nilai; penjelasan mengenai nilai.
Postulat (dasar-dasar) hukum sampai pada dasarnya;
Berusaha mencapai akar akar dari hukum.
Menurut Mahadi, Filsafat Hukum adalah falsafah tentang hukum, falsafah tentang
segala sesuatu di bidang hukum sampai ke akar-akarnya secara mendalam.
Menurut Satjipto Raharjo, Filsafat Hukum mempelajari pertanyaan-pertanyaan
yang bersifat mendasar dari hukum;
Filsafat hukum menggarap bahan hukum dari sudut yang berbeda;
Ilmu Hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu.
Menurut Lili Rasjidi, Filsafat hukum berusaha membuat dunia ethis yang menjadi
latar belakang yang tidak diraba oleh panca indera, sehingga filsafat hukum
menjadi ilmu normatif.
Filsafat hukum berusaha mencari cita hukum yang dapat menjadi “dasar hukum”
dan “ethis” bagi berlakunya sistem hukum positif suatu masyarakat (seperti
Grundnorm yang telah dijabarkan oleh sarjana hukum bangsa Jerman yang
menganut aliran-aliran Neo kantianisme).
Menurut Gustav Radbruch, Filsafat Hukum mengandung 3 aspek:
1. Aspek keadilan, keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan
pengadilan;
2. Aspek tujuan , finalitas yaitu menentukan isi hukum, sebab isi hukum
memang sesuai dengan tujuan hukum yang hendak dicapai;
3. Aspek kepastian hukum atau legalitas, yaitu menjamin bahwa hukum dapat
berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.
Filsafat hukum adalah filsafat umum yang diterapkan pada hukum atau gejala
gejala hukum.
Dalam filsafat pertanyaan pertanyaan yang paling dalam dibahas hubungannya
dengan: makna, landasan, struktur dan sejenisnya dari kenyataan.
Batasan Pengertian:
• Filsafat hukum adalah menganalisis asas hukum dari suatu peraturan,
serta menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan hukum,
baik dalam bentuk yuridis normatif maupun empiris, sehingga tujuan hukum
dapat tercapai, yaitu memperbaiki kehidupan manusia.
Hukum dapat menumbuhkan nilai kebaikan diantara manusia.
Telaah Filsafat Hukum
Menurut Jan Gijssels & Mark van Hoeke Filsafat Hukum memiliki telaah sebagai
berikut:
• Ontologi hukum: kajian tentang hakekat dari hukum ( hakekat demokrasi,
hubungan hukum dengan moral.
• Epistemologi hukum: ajaran pengetahuan hukum ( bentuk metafilsafat );
• Aksiologi hukum: kajian penentuan isi dan nilai dalam hukum (seperti
kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan, hak dsb).
• Logika hukum.
• Ideologi hukum: ajaran tentang ide.
• Teleologi hukum: kajian tentang makna & tujuan hukum.
• Ajaran ilmu dari hukum: meta-teori dari ilmu hukum.
Ruang lingkup Filsafat Hukum
• Tujuan hukum merupakan obyek filosof hukum masa lalu.
Masa kini obyek filsafat hukum berkembang meliputi masalah hukum yang
mendasar dan memerlukan pemecahan/solusi, antara lain:
1. Hubungan hukum dengan kekuasaan.
2. Hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya.
3. Apa sebab negara berhak menghukum orang.
4. Apa sebab orang mentaati hukum.
5. Pertanggungjwaban.
6. Hak
7. Kontrak.
8. Peran hukum sebagai pembaharuan masyarakat.
9. Hukum sebagai sosial kontrol dalam masyasyarakat.
10.Sejarah hukum.
Fungsi Filsafat Hukum:
- Pada masa Yunani kuno, hukum berfungsi untuk mengatur hidup manusia agar
mengikuti peraturan sesuai dengan hakekatnya.
- Pada abad pertengahan, hukum tetap dipertahankan dalam fungsinya semula,
yaitu menciptakan aturan. Aturan hukum adalah aturan Tuhan ( Allah ) yang
berfungsi untuk menjamin suatu aturan hidup sebagaimana yang dikehendaki
oleh Tuhan.
- Pada zaman modern, hukum dipandang sebagai ciptaan manusia, karena yang
menentukan hukum adalah manusia sendiri, manusia menentukan aturan
dalam kehidupannya. Dalam realitasnya manusia merupakan makhluk yang
bebas.
- Fungsi hukum adalah mewujudkan suatu kehidupan bersama yang teratur
sehingga dapat menunjang perkembangan pribadi manusia.
Manfaat mempelajari filsafat hukum
1. Dapat menjelaskan secara praktis peran hukum dalam pembangunan yang
berfokus pada ajaran sociological jurisprudence dan legal realisme.
2. Untuk pengembangan wawasan pengetahuan dan pemahaman hukum, baik
dalam bentuk pendekatan yuridis normatif mapun empiris.
3. Untuk menempatkan hukum dalam tempat dan perspektif yang tepat
sebagai bagian dari usaha manusia menjadikan dunia ini suatu tempat yang
pantas didiaminya