Pengertian Dan Ruang Lingkup Hukum Kesehatan Bwt Metii

15
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM KESEHATAN / HUKUM KEDOKTERAN 1. Pengertian Hukum Kesehatan Hukum merupakan peraturan perundangan yang dibuat oleh suatu kekuasaan. Hukum kesehatan merupakan peraturan perundangan yang menyangkut pelayanan kesehatan baik untuk penyelenggaraan maupun penerimaan pelayanan kesehatan. Hukum kesehatan hadir dalam perkembangan dan peningkatan upaya pemeliharaan dan pelayanan kesehatan dimana diperlukan pengetahuan dan aturan hukum. Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI) merupakan semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapan hak dan kewajiban baik bagi perseorangan maupun sebagai pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspek organisasi, sarana, pedoman standar pelayanan medik, ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum, serta sumber hukum lain. Hukum kesehatan mencangkup komponen hukum bidang kesehatan yang bersinggungan satu sama lain, yaitu hukum kedokteran/kedokteran gigi, hukum keperawatan, hukum farmasi

description

hukum kesehatan

Transcript of Pengertian Dan Ruang Lingkup Hukum Kesehatan Bwt Metii

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM KESEHATAN / HUKUM KEDOKTERAN1. Pengertian Hukum KesehatanHukum merupakan peraturan perundangan yang dibuat oleh suatu kekuasaan. Hukum kesehatan merupakan peraturan perundangan yang menyangkut pelayanan kesehatan baik untuk penyelenggaraan maupun penerimaan pelayanan kesehatan. Hukum kesehatan hadir dalam perkembangan dan peningkatan upaya pemeliharaan dan pelayanan kesehatan dimana diperlukan pengetahuan dan aturan hukum. Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI) merupakan semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapan hak dan kewajiban baik bagi perseorangan maupun sebagai pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspek organisasi, sarana, pedoman standar pelayanan medik, ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum, serta sumber hukum lain.Hukum kesehatan mencangkup komponen hukum bidang kesehatan yang bersinggungan satu sama lain, yaitu hukum kedokteran/kedokteran gigi, hukum keperawatan, hukum farmasi klinik, hukum rumah sakit, hukum kesehatan masyarakat, hukum kesehatan lingkungan, dsb (Konas PERHUKI, 1993)

Undang-undang Praktik Kedokteran (2004) merupakan aturan hukum atas ketentuan hukum yang mengatur tentang pelayanan kedokteran/kesehatan.2. Hubungan Hukum dalam Pelayanan Kesehatan

Semakin meningkatnya peranan hukum dalam pelayanan kesehatan, disebabkan oleh semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan pelayananan kesehatan, meningkatnya perhatian terhadap hak yang dimiliki manusia untuk memperoleh pelayanan kesehatan, pertumbuhan di bidang ilmu kedokteran dihubungkan dengan kemungkinan penanganan secara lebih luas dan mendalam terhadap manusia, adanya sepsialisasi dan pembagian kerja yang telah membuat pelayanan kesehatan itu lebih merupakan kerjasama dengan pertanggungjawaban diantara sesama pemberi bantuan dan pertanggungjawaban terhadap pasien, meningkatnya pembentukan lembaga pelayanan kesehatan. Timbulnya hubungan hukum dalam pelayanan medik

Pada dasarnya tujuan pemberian pelayanan medik adalah memberi bantuan atau pertolongan kepada individu untuk meningkatkan kemampuannya menolong dirinya sendiri dalam menghadapi masalah kesehatannya. Untuk itu diperlukan adanya persetujuan dari individu yang ditolong, sehingga terciptalah hubungan hukum yang didasarkan kerjasama yang baik, kejujuran serta sikap saling percaya.

Timbulnya hubungan hukum dalam pelayanan medik disamping disebabkan adanya kewajiban setiap induividu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, juga adanya kewajiban dokter terhadap seseorang yang membutuhkan pertolongannya selaku profesional sampai orang tersebut mampu untuk berusaha mengatasi masalah kesehatannya melalui kerjasama dengan dokter yang merawatnya. Dasar hukum hubungan pelayanan medik

Menurut King, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara dokter dan pasien yang perlu diperhatikan bukan ada atau tidaknya suatu kontrak yang melandasinya, melainkam adanya hubungan profesional dalam pelayanan medik yang dititkberatkan pada kewajiban memberikan perawatan dan pengobatan.

Menurut Lieenen, bahwa didasarkan atas prinsip penentuan nasib sendiri, dan prinsip bahwa setiapa orang bertanggung jawab atas kesehatannya terhadap dirinya sendiri, maka setiap penduduk mempunyai hak untuk menentukan apakah akan memanfaatkan pelayanan hidup yang tersedia atau tidak. Oleha karena itu, jika seseorang datang kepada dokter untuk memanfaatkan pelayanan medik yang tersedia maka berarti tindakannya itu didasarkan tanggung jawabnya atas kesehatannya sendiri. Disinilah timbul prinsip hubungan kerjasama antara dokter dan pasien, bukan jual-beli jasa.

- Kedudukan hukum para pihak dalam pelayanan medik

Dalam pelayanan medik, dokter dilihat sebagai pelaku profesional di bidang medik yang harus berperan aktif dan pasien sebagai penerima pelayanan medik yang mempunyai penilaian terhadap penampilan dan mutu pelayanan medik yang diterimanya. Hal ini karena, dokter tidak hanya melakukan pelayanan medik semata, tetapi juga melaksanakan pekerjaan profesi (ahli) yang terikat pada suatu kode etik.

Disamping itu, masyarakat umum semakin terdidik dan semakin kritis terhadap pelayanan medik yang diterimanya. Kesenjangan pengetahuan antara pasien dan dokter semakin mengecil dan mempengaruhi penilaian awam terhadap dokter. Dan juga, makin besar pembagian tugas (division labour) dalam bidang kedokteran kepada berbagai jenis tenaga paramedik dan tenaga nonmedik, maka makin berkurang pula wewenang dokter, dan makin terbuka tehadap penilaian dan kritik (lumenta, 1989 : 84).

Dengan demikian baik dokter maupun pasien mempunyai hak dan kewajiban yang dilindungi oleh undang-undang sehingga kedudukan hukumnya seimbang dan sederajat. Hal ini tercantum dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, sebagai berikut :

Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal (Pasal 2)

Setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perseorangan, keluarga dan lingkungannya (Pasal 3)

Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya (Pasal 53 : 1)

Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien (Pasal 53 : 2)

Ada berbagai macam faktor yang berperan terjadinya perubahan pada hubungan antara dokter dan pasien, misalnya faktor ekonomis, pertumbuhan dalam masyarakat itu sendiri, sikap pribadi pasien terhaap dokter baik terhadap pelayanannya itu sendiri ataupun dalam berkomunikasi. Selain itu seorang dokter seringkali mempunyai perasaan tertentu yang tidak dapat ditunjukkan dalam hubungannya dengan pasien, misalnya kekecewaan mengenai hasil perawatan yang telah diberikannya, antipati dan simpati, perasaan takut, khawatir untuk mengatakan yang sebenarnya.

Demikian juga sikap pasien adakalanya mempengaruhi hubungan antara dokter dan pasien. Pasien seringkali kurang terbuka terhadap dokter yang merawatnya karena kurangnya pengertian. Karena itu menurut Leenen (1997 : 67), hubungan antara dokter dan pasien harus dipandang sebagai suatu hubungan kerjasama yang berada di bawah pengaruh faktor-faktor tersebut diatas, sehingga dapat dikatakan bahwa kedudukan para pihak dalam kerjasama yang demikian adalah tidak sederajat.

Walaupun menurut pandangan Leenen diatas merupakan kenyataan yang dapat ditemukan dalam masyarakat indonesia, namun sebenarnya kedudukan dokter dan pasien dalam pemberian pelayanan medik jika dilihat dari sudut hukum perdata adalah sederajat.

Pelaksanaan profesi dokter tidak terlepas dari kemajuan ilmu kedokteran yang bertumpu pada penelitian yang pada akhirnya sebagian harus didasarkan pada percobaan pada manusia. Penelitian yang langsung menyangkut diri manusi harus bertujuan untuk menyempurnakan tata cara diagnostik (penentuan jenis penyakit yang diderita), terapeutik (cara pengobatan), pencegahan serta pengetahuan etiologi (asal mulu atau penyebab penyakit) dan patogenesis (perjalanan atau perkembangan penyakit).

Karena itu dalam bidang kedokteran ada dua macam penelitian yang dibedakan secara mendasar (Pedoman Etik Kedokteran Indonesia, 1987 : 5-12), yaitu :

(1) Penelitian kedokteran yang tujuan utamanya adalah diagnostik atau terapeutik bagi pasien. Penelitian ini adalah kombinasi antara penelitian kedokteran dan perawatan profesional, atau disebut riset klinis.

(2) Penelitian kedokteran yang tujuannya utamanya adalah ilmiah murni tanpa nilai diagnostik dan terapeutik bagi subjek yang diteliti itu sendiri. Penelitian ini merupakan penelitian kedokteran nonterapeutik, atau disebut riset biomedik non-klinis.

Karena itu kebanyakan prosedur diagnostik dan terapeutik ataupun pencegahan penyakit dalam praktek kedokteran masa kini mengandung berbagai resiko, terlebih dalam penelitian keokteran yang langsung menyangkut manusia, maka World Medical Association telah menyusun rekomendasi sebagai pedoman bagi setiap dokter dalam penelitian atau riset biomedik atau riset kedokteran yang melibatkan subjek manusia, yaitu dikenal sebagai Declaratio of Helsinki yang disempurnakan oleh World Medical Assembly ke-29 di Tokyo pada tahun 1975, dan oleh World Medical Assembly ke-35 di Venesia, Italia tahun 1983.

Namun hal ini hanya merupakan pedoman umum bagi seluruh dokter didunia, sehingga para dokter tetap terikat dengan hukum yang berlaku di negara masing-masing. Hubungan antara dokter dan subjek penelitian juga merupakan suatu perikatan. Masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik dan bertanggung jawab atas pemenuhannya. Akan tetapi mengingat adanya resiko yang cukup tinggi, maka dalam prinsip dasar ditentukan bahwa tanggungjawab atas manusia yang diteliti harus selalu terletak pada tenaga medik yang kompeten, meskipun subjek penelitian yang bersangkutan mempunyai kebebasan kehendak untuk memberikan persetujuannya. Dengan demikian, penelitian hanya dapat dilakukan secara sah apabila kepentingan tujuan penelitian itu sepadan atau seimbang dengan resiko terkait (inherent) yang akan dihadapai subjek.

Dalam pasal 69 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 ditegaskan bahwa penelitian dan pengembangan kesehatan dilaksanakan untuk memilih dan menetapkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna untuk diperlukan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan. Untuk itu penelitian, pengembangan dan penerapan hasil penelitian pada manusia dilaksanakan dengan memperhatikan etik penelitian dan norma yang berlaku dalam masyarakat, yaitu norma hukum, nrma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan.Dalam pasal 71 ditegaskan bahwa penyelenggaraan kesehatan merupakan tanggungjawab bersama dari pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat tidaklah objek semata, tetapi sekaligus merupakan subjek penyelenggaraan upaya kesehatan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum para pihak dalam pelayanan medik adalah seimbang sesuai dengan tanggungjawabnya masing-masing. Pasien bertanggungjawab atas kesehatannya dan atas segala upaya kesehatan yang dilakukan terhadap dirinya, dan dokter bertanggungjawab selaku profesional di bidang medik yang memeiliki ciri pelayanan berupa pemberian bantuan atau pertolongan yang seharusnya berupaya meningkatkan keahlian dan keterampilannya melalui penelitian.

- Tanggungjawab hukum dan eksonerasi dalam pelayanan medikTanggungjawab hukum yang dimaksud disini adalah tanggungjawab hukum dari dokter, khususnya dalam hubungan hukum yang ditimbulkan selama menjalani profesinya. Yang akan dijelaskan adalah mengenai ketentuan hukum perikatan yang berlaku, yang merupakan dasar hukum pertanggungjawaban dokter dalam menjalankan profesinya di Indonesia.

Dalam pelaksanaan suatu profesi ditemukan argumentasi yang mengatakan bahwa dengan ditetapkannya suatu tanggungjawab yang berat, maka seorang profesional akan menghormati profesinya. Akan tetapi harus dijaga jangan sampai para pengemban profesi takut menjalankan profesinya karena tanggungjawab yang berat itu. Karena argumentasi itu, para dokter sebagai kelompok profesi yang menjalankan pekerjaan dengan resiko yang cukup tinggi dalam pelayanan medik, akhirnya akan takut mengambil resiko yang cukup tinggi dalam pelayanan medik, akhirnya akan takut mengambil keputusan medik meskipun demi kepentingan pasiennya. Kenyataan menunjukan bahwa tanggungjawab hukum pada umumnya semata-mata dikaitkan dengan kesalahan dalam menjalankan profesi atau terhadap akibatnya sehingga dokter harus bertanggungjawab.

Dasar pertanggungjawaban hukum dokter dapat berupa :

(1) Pertanggungjawaban karena kesalahan, yaitu bentuk klasik pertanggungjawaban yang didasarkan atas tiga prinsip (sutrisno, 1989 : 39), sebagai berikut :

(a) Setiap tindakan yang mangakibatkan kerugian atas diri orang lain, menyebabkan orang yang melakukannya harus membayar kompensasi sebagai pertanggungjawaban kerugian.

(b) Seseorang harus bertanggungjawab tidak hanya karena kerugian yang dilakukannya dnegan sengaja, tetapi juga dengan kelalaian dan kurang hati-hati

(c) Seseorang harus memberikan pertanggungjawaban tidak hanya atas kerugian yang dilakukannya sendiri, tetapi juga karena tindakan orang lain yang berada dibawah pengawasannya.

Adapun ketiga prinsip tersebut terkandung dalam rumusan Pasal 1365, 1366, 1367 KUH Perdata.

a. Pertanggungjawaban karena resiko, sebagai kebalikan dari pertanggungjawaban karena kesalahan. Dalam pertanggungjawaban ini, biasanya juga dihubungkan dengan produk tertentu, misalnya obat, peralatan medik atau alat-alat lainnya.

Fungsi hukum dalam melindungi kepentingan manusia akan berorientasi pada tanggungjawab atau kewajiban dan resiko. Akan tetapi karena berkembangannya suatu hubungan hukum yang terjadi didalam masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor, sehingga terjadi ketimpangan atau ketidakseimbangan antara tanggungjawab atau kewajiban dan resiko. Oleh karena itu berdasarkan asas kebebasan kehendak yang berlaku dimungkinkan dilakukannya syarat untuk membatasi, mengurangi atau membebaskan tanggungjawab atau kewajiban tertentu dari salah satu pihak, atau memebagi beban resiko yang layak.

Menurut Hoge Raad ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menguji diperlukannya exoneratieclausule dalam suatu hubungan hukum yaitu (1) beratnya kesalahan, (2) sifat dan isis perjanjian, (3) kedudukan dalam masyarakat serta hubungan antara para pihak satu sama lain, (4) cara terjadinya syarat eksonerasi. (5) besarnya kesadaran pihak lain akan maksud dan syarat yang bersangkutan (Mertokusumo, 1988 : 9).

Dapat disimpulkan bahwa syarat eksonerasi dalam pelayanan medik hanya dimungkinkan pada pertanggungjawaban karena resiko, dan pada asasnya hanya berlaku bagi para pihak. Sama halnya dengan tujuan utama dari pertanggungan (asuransi), yaitu mengalihkan resiko yang ditimbulkan dari peristiwa yang tidak dapat diharapkan terjadinya.

Pertanggungan yang dapat digunakan dalam profesi dokter tersebut merupakan Professional Liability Insurance yang juga dikenal dengn nama Malpractice Liability Insurance. Jenis Liability Insurance ini ditutup atas resiko finansial responsibility dari orang-orang yang didalam profesinya menimbulkan kerugia kepada orang lain (Pangaribuan, 1995 : 18).