PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKS

8
PENGENDALIANPENYAKITANTRAKS :DIAGNOSIS,VAKSINASI DANINVESTIGASI RAHMATSETYAADJI dan LILY NATALIA BalaiBesarPenelitian V eteriner,Jl. RE .MartadinataNo.30, Bogor 16114 ABSTRAK Antraksadalahpenyakitbakterial yang disebabkanoleh Bacillus anthracis yang menyeranghewandanmanusia (zoonosis).Penyakitiniumumnyamenyeranghewandomestik,sepertidomba,kambingdansapi,tetapimanusiajugadapat terinfeksikarenaterpaparataumengkonsumsihewan yang terinfeksi . Program pengendalianantrakspadahewandanmanusia meliputipengembanganmetodediagnostikuntukdeteksi B . anthracis danujikonfirmasipenyakitantraks,pencegahanpenyakit denganvaksinasidaninvestigasipenyakit.Teknologi diagnosis antraks yang cepatdanlebihakuratharusdikembangkanuntuk menggantikanmetodekonvensional yang sekarangmasihdigunakandi Indonesia. Penggunaanvaksincukupefektifuntuk pencegahanpenyakitantraks .Vaksinantraks yang masihdigunakandi Indonesia adalahsuspensispora B. anthracis galurSterne 34F2, tidakberkapsuldantoksigenik.Penggunaanvaksininiterkadangmenimbulkanrasasakitdannekrosisditempatsuntikan, oedema subkutandankematianhewanpascavaksinasi .Beberapavaksintelahdikembangkan,antara lain vaksinsubunit, anthrax vaccineabsorbed (AVA), yang mengandungkomponen antigen protektif (PA)yang merupakankomponenutamatoksinantraks yang bersifatimunogenikdanseringdigunakansebagaivaksinpadamanusia .Didaerahendemikantraks,hampirsetiaptahun masihterjadiletupanwabahpenyakitini .Pemantauanperubahandalamgambaranpolaepidemiologipenyakitperludilakukan denganmelakukaninvestigasilapangan . Katakunci : Antraks, Bacillus anthracis, penyakitzoonosis,pengendalianpenyakit ABSTRACT THECONTROLOFANTHRAXDISEASE :DIAGNOSIS,VACCINATIONANDINVESTIGATION Anthraxisabacterialdiseasecausedby Bacillusanthracis attackingbothanimalandhuman(zoonosis) .Thediseaseis normallyassociatedwithdomesticlivestocksuchassheep,goats,andcattle,buthumansarealsoinfectedduetoexposureor comsuminginfectedanimals .Thecontrolofanthraxinhumansandanimalsinvolvesdevelopingadiagnosticmethodfor B. anthracis detectionandconfirmationofanthrax,preventionbyvaccines,anddiseaseinvestigation .Rapidandmoreaccurate diagnosistechniquesforanthraxshouldbedevelopedforimprovingtheconventionalmethodusedinIndonesia .Vaccinesare effectiveagainstanthrax .CurrentanthraxvaccineusedinIndonesiaissporesvaccineproducedfromanon-encapsulated, toxigenic.Sternestrain34F2of B.anthracis . Theuseofthisvaccineoccasionallycauseslocalpain,necrosesattheinoculation site,subcutaneousoedemaandoccasionallydeathoftheanimal .Severalvaccineshavebeendevelopedrecentlysuch as subunit vaccine,anthraxvaccineabsorbed(AVA),thatcontainsaprotectiveantigen(PA)componentoftheanthraxtoxin as themajor protectiveimmunogenandisusuallyusedinhumans .Inendemicareasofanthrax,outbreaksstillroutinelyoccuralmostyearly . Monitoringoftheepidemiologicalpatternsofthediseasehastobecarriedoutbyfieldinvestigation . Keywords: Anthrax, Bacillusanthracis, zoonoticdisease,diseasecontrol 198 PENDAHULUAN Antraksadalahpenyakit yang disebabkan Bacillus anthracis . Penyakit ini dapat menyeranghewan domestikmaupun liar, terutamahewanherbivora, sepertisapi,domba,kambing,beberapaspesiesunggas dandapatmenyerangmanusia(zoonosis)(OIE, 2000 ; ToDAR, 2002). Antraksmerupakanpenyakitzoonosis pentingdanstrategissehinggaperluditanganidengan baik .Tingkatkematiankarenaantrakssangattinggi terutama pada hewan herbivora, mengakibatkan kerugian ekonomi dan mengancamkeselamatan manusia (WHO,1998). UntukmewaspadaipenyakitantraksdiIndonesia, perludikembangkancarapengendalianpenyakityang efektifyangperludidukungdenganmetodediagnosis cepatdanakuratsehinggapenanganankasuspenyakit dapatdilaksanakandengansegera .Metodediagnosis yangdigunakandiBBalitvetadalahidentifikasiagen, ujiserologidanAscoli,sedangkantekniklainyang lebihcepatdanakuratdandirekomendasikanoleh OIE/WHO(1998 ;2000)antaralain : lysis gamma phage, immunochromatographic assay, Direct FlourescenceAssay (DFA)dan PolymeraseChain Reaction (PCR) .Penyempurnaanmetodediagnosis dirasakansangatmendesakkarenasampaisaatinicara

description

antraks

Transcript of PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKS

Page 1: PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKS

PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKS: DIAGNOSIS, VAKSINASIDAN INVESTIGASI

RAHMAT SETYA ADJI dan LILY NATALIA

Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R E. Martadinata No. 30, Bogor 16114

ABSTRAK

Antraks adalah penyakit bakterial yang disebabkan oleh Bacillus anthracis yang menyerang hewan dan manusia(zoonosis). Penyakit ini umumnya menyerang hewan domestik, seperti domba, kambing dan sapi, tetapi manusia juga dapatterinfeksi karena terpapar atau mengkonsumsi hewan yang terinfeksi . Program pengendalian antraks pada hewan dan manusiameliputi pengembangan metode diagnostik untuk deteksi B. anthracis dan uji konfirmasi penyakit antraks, pencegahan penyakitdengan vaksinasi dan investigasi penyakit. Teknologi diagnosis antraks yang cepat dan lebih akurat harus dikembangkan untukmenggantikan metode konvensional yang sekarang masih digunakan di Indonesia. Penggunaan vaksin cukup efektif untukpencegahan penyakit antraks . Vaksin antraks yang masih digunakan di Indonesia adalah suspensi spora B. anthracis galur Sterne34F2, tidak berkapsul dan toksigenik. Penggunaan vaksin ini terkadang menimbulkan rasa sakit dan nekrosis di tempat suntikan,oedema subkutan dan kematian hewan pascavaksinasi . Beberapa vaksin telah dikembangkan, antara lain vaksin subunit, anthraxvaccine absorbed (AVA), yang mengandung komponen antigen protektif (PA) yang merupakan komponen utama toksin antraksyang bersifat imunogenik dan sering digunakan sebagai vaksin pada manusia . Di daerah endemik antraks, hampir setiap tahunmasih terjadi letupan wabah penyakit ini . Pemantauan perubahan dalam gambaran pola epidemiologi penyakit perlu dilakukandengan melakukan investigasi lapangan .

Kata kunci : Antraks, Bacillus anthracis, penyakit zoonosis, pengendalian penyakit

ABSTRACT

THE CONTROL OF ANTHRAX DISEASE: DIAGNOSIS, VACCINATION AND INVESTIGATION

Anthrax is a bacterial disease caused by Bacillus anthracis attacking both animal and human (zoonosis) . The disease isnormally associated with domestic livestock such as sheep, goats, and cattle, but humans are also infected due to exposure orcomsuming infected animals . The control of anthrax in humans and animals involves developing a diagnostic method for B.anthracis detection and confirmation of anthrax, prevention by vaccines, and disease investigation . Rapid and more accuratediagnosis techniques for anthrax should be developed for improving the conventional method used in Indonesia . Vaccines areeffective against anthrax . Current anthrax vaccine used in Indonesia is spores vaccine produced from a non-encapsulated,toxigenic. Sterne strain 34F2 ofB. anthracis . The use of this vaccine occasionally causes local pain, necroses at the inoculationsite, subcutaneous oedema and occasionally death of the animal . Several vaccines have been developed recently such as sub unitvaccine, anthrax vaccine absorbed (AVA), that contains a protective antigen (PA) component of the anthrax toxin as the majorprotective immunogen and is usually used in humans. In endemic areas of anthrax, outbreaks still routinely occur almost yearly .Monitoring of the epidemiological patterns of the disease has to be carried out by field investigation .

Key words: Anthrax, Bacillus anthracis, zoonotic disease, disease control

198

PENDAHULUAN

Antraks adalah penyakit yang disebabkan Bacillusanthracis . Penyakit ini dapat menyerang hewandomestik maupun liar, terutama hewan herbivora,seperti sapi, domba, kambing, beberapa spesies unggasdan dapat menyerang manusia (zoonosis) (OIE, 2000 ;ToDAR, 2002). Antraks merupakan penyakit zoonosispenting dan strategis sehingga perlu ditangani denganbaik. Tingkat kematian karena antraks sangat tinggiterutama pada hewan herbivora, mengakibatkankerugian ekonomi dan mengancam keselamatanmanusia (WHO, 1998).

Untuk mewaspadai penyakit antraks di Indonesia,perlu dikembangkan cara pengendalian penyakit yangefektif yang perlu didukung dengan metode diagnosiscepat dan akurat sehingga penanganan kasus penyakitdapat dilaksanakan dengan segera . Metode diagnosisyang digunakan di BBalitvet adalah identifikasi agen,uji serologi dan Ascoli, sedangkan teknik lain yanglebih cepat dan akurat dan direkomendasikan olehOIE/WHO (1998; 2000) antara lain : lysis gammaphage, immunochromatographic assay, DirectFlourescence Assay (DFA) dan Polymerase ChainReaction (PCR). Penyempurnaan metode diagnosisdirasakan sangat mendesak karena sampai saat ini cara

Page 2: PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKS

diagnosis yang digunakan di Indonesia pada umumnyamasih konvensional .

Pencegahan penyakit sangat penting dilakukan didaerah endemik penyakit antraks, seperti Jawa Baratdan D.I. Yogyakarta . Program vaksinasi masih seringmengalami hambatan karena adanya efek samping darivaksin spora hidup yang saat ini digunakan diIndonesia (HARDJOUTOMO et al., 1993). Pengembanganatau perbaikan dalam pembuatan vaksin antraks perludilakukan sehingga dapat diperoleh vaksin yang efektiftetapi aman digunakan dan tidak mempunyai efeksamping yang sering dikeluhkan petemak di Indonesia .

Investigasi merupakan salah satu langkah dalamcara pengendalian penyakit antraks, khususnya didaerah endemik untuk menekan kejadian penyakit ituberulang kembali . Untuk memprediksi kejadianpenyakit, kita harus mengetahui sejarah dan daerah-daerah endemik antraks serta mengetahui kapan sajakasus antraks muncul. Tindakan yang perlu dilakukanadalah dengan cara memonitoring tingkat kejadian dantingkat cemaran spora di daerah tersebut (WHO et al.,1998) .

DIAGNOSIS PENYAKIT

Diagnosis antraks umumnya dapat dilakukanberdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan dilaboratorium untuk mengisolasi agen penyebab, ujiserologis dan molekuler .

Gejala penyakit pada hewan

Hewan dapat tertular antraks melalui pakan(rumput) atau minum yang terkontaminasi spora. Sporayang masuk ke dalam tubuh melalui oral dan akanmengalami germinasi, multiplikasi di sistem limfe danlimpa, menghasilkan toksin sehingga menyebabkankematian (biasanya mengandung ± 109 kuman/mldarah) (OIE, 2000) . Antraks pada hewan dapatditemukan dalam bentuk perakut, akut, subakut sampaidengan kronis. Untuk ruminansia biasanya berbentukperakut dan akut; kuda biasanya berbentuk akut ;sedangkan anjing, kucing dan babi biasanya berbentuksubakut sampai dengan kronis. Gejala penyakit padabentuk perakut berupa demarn tinggi (42°C), gemetar,susah bernafas, kongesti mukosa, konvulsi, kolaps danmati. Darah yang keluar dari lubang kumlah (anus,hidung, mulut atau vulva) berwarna gelap dan sukarmembeku. Bentuk akut biasanya menunjukan gejaladepresi, anoreksia, demam, nafas cepat, peningkatandenyut nadi, kongesti membran mukosa . Pada kudaterjadi enteritis, kolik, demam tinggi, depresi dankematian terjadi dalam waktu 48 - 96 jam . Sedangkanpada bentuk subakut sampai dengan kronis, terlihatadanya pembengkakan pada lymphoglandula

WARTAZOA Vol. 16 No . 4 Th. 2006

pharyngeal karena kumnn antraks terlokalisasi didaerah itu (OIE, 2000) . Di Indonesia, kejadian antraksbiasanya perakut, yaitu : demam tinggi, gemetar,kejang-kejang, konvulsi, kolaps dan mati .

Gejala klinis pada manusia

Antraks pada manusia dibedakan menjadi tipekulit, tipe pencernaan, tipe pulmonal dan tipemeningitis . Pada tipe kulit, B. anthracis masuk melaluikulit yang lecet, abrasi, luka atau melalui gigitanserangga dengan masa inkubasi 2 sampai 7 hari . Gejalaklinis yang terlihat adalah demam tinggi, sakit kepala,ulcus dengan jaringan nekrotik warna hitam di tengahdan dikelilingi oleh vesikel-vesikel dan oedema . Jikatidak diobati tingkat kematian dapat mencapai 10 - 20%dan jika diobati kurang dari 1% (DEPARTEMENKESEHATAN, 2003 ; WHO, 1998 ; APIC, 2005) . Padatipe pencernaan (gastrointestinal anthrax), B . anthracisdapat masuk melalui makanan terkontaminasi, danmasa inkubasinya 2 sampai 5 hari. Mortalitas tipe inidapat mencapai 25 - 60% dan dibedakan menjadiantraks intestinal dan antraks oropharingeal . Padaantraks intestinal, gejala utama adalah demam tinggi,sakit perut, diare berdarah, asites, dan toksemia .Antraks oropharingeal, gejala utamanya demam tinggi,sakit tenggorokan, pembesaran limfoglandula regional,dan toksemia (DEPARTEMEN KESEHATAN, 2003; WHO,1998 ; APIC, 2005) . Tipe pernafasan (Pulmonaryanthrax) terjadi karena terhirupnya spora B. anthracisdengan masa inkubasi 2 - 6 hari. Jalannya penyakitperakut sulit bernafas, sianosis, koma dan mati . Tingkatkematian bisa mencapai 86% dalam waktu 24 jam(DEPARTEMEN KESEHATAN, 2003; WHO, 1998 ; APIC,2005). Tipe meningitis, merupakan komplikasi gejalademam tinggi, sakit kepala, sakit otot, batuk, susahbernafas atau lanjutan dari ke-3 bentuk antraks yangtelah disebutkan di atas . Tingkat kematian dapatmencapai 100% dengan gejala klinik pendarahan otak(WHO, 1998) .

Gambar I menggambarkan jumlah kejadianantraks pada manusia baik yang meninggal maupuntidak. Kejadian antraks pada manusia di Indonesiapaling banyak adalah tipe kulit dan beberapa tipepencernaan (penyebab kematian).

Agen penyebab

Penyakit ini disebabkab oleh B . anthracis, bakteriberbentuk batang, gram positif, ukuran (I - 1,5) sm X(3 - 5) pm, non motil, non hemolitik, membentukspora, dapat membentuk kapsul dan menghasilkantoksin (OIE, 2000). Spora akan terbentuk jika tereksposoksigen (02), spora ini relatif tahan terhadap panas,dingin, pH, radiasi dan desinfektan sehingga sangat

1 99

Page 3: PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKS

Gambar 1 . Kejadian antraks pada inanusia

Sumber: DEPARTEMEN KESEHATAN (2003)

sulit untuk dihilangkan jika terjadi kontaminasi . Sporamungkin akan germinasi, multiplikasi dan resporulasikembali di luar tubuh hewan jika kondisinyamemungkinkan, yaitu : suhu 8 - 45°C, pH antara 5 - 9,kelembaban di atas 95% dan adanya zat makanan yangcukup (WHO et al., 1998 ; POBomws I, 2004) .

Secara parenteral, Lethal Dose50 (LD50) antraksuntuk tiap hewan berbeda-beda, yaitu : marmot (< 10spora), primata (3 x 103 spora), tikus (106 spora),mencit (5 spora), babi (10 spora) dan anjing (5 x 1010spora), sedangkan LD50 untuk Antraks pernafasan padamanusia kira-kira 8.000 - 10.000 spora.

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan atau pengujian spesimen dilaboratorium adalah untuk meneguhkan diagnosa yangdibuat berdasarkan gejala klinis. Pengujian yangdilakukan pada dasarnya merupakan deteksi agenpenyakit dan deteksi antibodi .

Pengiriman spesimen dari suatu tempat kelaboratorium pemeriksaan juga perlu diperhatikankarena dapat mempunyai resiko penyebaran agenpenyakit . Untuk itu, WHO (1998) juga telahmerekomendasikan tentang cara pengmman,pengemasan, pelabelan dan dokumentasi sehubungandengan pengiriman barang-barang infeksius .

Metode isolasi dan identifikasi dilakukan untukmenentukan agen penyebab telah direkomendasikanWHO (1998) dan Central for Disease Control andPrevention (CDC, 2002) . Metode ini dilakukan denganberbagai teknik tergantung jenis spesimen, yaitu : (1)

200

RAHMAT SETYA ADTI PAN LILY NATALIA : Pengendalian Penyakit Antraks: Diagnosis, Vaksinasi dan Investigasi

140120100806040200 n n

1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

0 Penderita

Meninggal

spesimen yang masih bare dan hewan atau manusiatanpa pengawet, (2) spesimen yang masih bare danhewan atau manusia dengan pengawet, dan(3) spesimen yang sudah lama, karkas yang sudahmembusuk, material yang sudah diproses atau danlingkungan (tennasuk tanah) .

Untuk sampel yang masih bare, hal yang biasadilakukan adalah dengan melihat adanya kapsulmaupun bentuk kuman dengan pewamaan polychromemethylene blue (M fahdeyan 's reaction) . Bakteriberbentuk batang berantai dengan ujung siku berwarnabiro dengan kapsul berwama merah muda. B. anthracisyang virulen dapat diinduksi untuk memproduksikapsul dengan menumbuhkan kuman tersebut padsmedia agar bikarbonat 0,7%. diinkubasi 37°C dengankandungan COZ 5 - 20%. B. anthracis dapat tumbuhpath media agar darah setelah diinkubasikan 37 °Cselama 16 - 24 jam. Koloni B. anthracis berwarnaputih keabu-abuan, tepi tidak rata dan beraturan(medusa head), kasar, suram, non hemolitik, non motildan konsistensi hat. Pads media broth, koloni B.anthracis seperti kapas, dengan media tampak bening .Uji lisis gamma phage maupun kepekaan terhadappenicillin tapat dijadikan sebagai uji konfirmasi talamidentifikasi (ODE, 2000) .

Untuk sampel yang sudah lama, sudah busuk,yang sudah diproses atau sampel tanah, sampel terlebihdahulu hams dipanaskan pads 65°C selama 15 menituntuk kemudian ditanam pads media agar darah atauagar yang mengandung polymyxin, lysoryme, EDTA,thallous acetat (PLET), dan diinkubasikan 37°C selama16 - 48 jam (01E, 2000; WHO, 1998) .

Page 4: PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKS

Uji Ascoli digunakan untuk mendeteksi adanyaantigen yang terdapat dalam sampel . Prinsip teknik inireaksi antara antibodi (serum Ascoli) dengan antigen,di mana hasil positif akan terbentuk cincin warna putihdi antara serum dan ekstrak sampel . Uji ini hanya baikdigunakan untuk sampel dari hewan yang tersangkaantraks dan tidak balk digunakan untuk sampellingkungan, sebab terjadi reaksi silang dengan Bacilluslain .

Anthraxin merupakan antigen antraks yangdiinaktivasi dan dimurnikan dan banyak digunakandalam mengevaluasi vaksinasi dan studi retrospektifpada hewan dan manusia. Teknik ini diaplikasikandengan cara menyuntikkan 0,1 ml Anthraxin secaraintradermal dan diamati dalam waktu 48 jam . Adanyapembengkakan dan kemerahan kulit menunjukkanreaksi positif (OIE, 2000).

Teknik PCR mulai digunakan secara luas untukmendeteksi adanya gen faktor virulensi (kapsul dantoksin PA) . Jadi dalam hal ini dapat dipastikan suatuisolat adalah virulen atau tidak . Metode ini relatif cepatdengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (OlE,2000; WHO, 1998) .

Teknik DFA juga dilaporkan mempunyaisensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Uji ini dapat

Prosedur pemeriksaanIsolasi dan identifikasi

MikroskopikPolvchrom methvlene blueVisualisasi kapsul

KulturMorfologi koloniHemolisisMotilitasSporulasiLisis gamma-phageSensitifitas terhadap penisilin

Deteksi antibodiUji Serologi : ELISA antibodi

Deteksi antigenUji ascoliDirect Flourescence Assay (DFA)Immunochromatoghrafic assay

Polvmerase Chain Reaction (PCR)

Hipersensitivity test (Anthraxin)

Sumber : OIE (2000)

WARTAZOA Vol. 16 No . 4 Th. 2006

Tabel 1 . Prosedur pengujIan untuk diagnosis antraks di laboratorium

mendeteksi B. anthracis dalam waktu beberapa jamsaja dan dapat membedakan B. anthracis dari Bacillusspp. lainnya. Uji ini mendeteksi 2 komponen dari B.anthracis, yaitu kapsul dan dindingnya . Uji inimenggunakan antibodi yang dilabel denganFluorescence lsothiocyanate (FITC). Teknik DFAyang mampu mendeteksi 2 komponen B. anthracis inidilaporkan sensitif, spesifik dan merupakan ujikonfirmatif yang cepat dan sangat berguna untukmendeteksi B. anthracis secara langsung dari spesimenlapangan (DE et al., 2002; OlE, 2000 ; WHO, 1998) .

Deteksi antigen yang lebih sensitif dan spesifikadalah dengan teknik immunochromatographic assay .Teknik ini menggunakan antibodi monoklonal anti-PAyang dilekatkan pada membran nitroselulosa dan dapatmendeteksi adanya PA dalam sampel dengan jumlahyang sangat kecil yaitu 25 ng/ml (OlE, 2000 ; MULLERet al., 2004) .

Enzyme linked immuno-sorbent assay (ELISA)digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi yang adadalam sampel serum dan banyak digunakan untukevaluasi vaksinasi, studi epidemiologi pada manusia,hewan ternak maupun hewan liar . Jika uji ini digunakanuntuk diagnosa harus juga dilakukan pemeriksaanlaboratorium yang lain (OIE, 2000 ;WHO, 1998) .

KeteranganB. anthracis mempunyai bentuk batang berantai wama biru denganujung siku-siku dengan kapsul berwama merah muda

B. anthracis mempunyai bentuk koloni kasar, liat, warna abu-abu .non hemolisis, non motil dan membentuk spora

Koloni B. Anthracis akan lisis jika ditetesi gamma-phage, padaumumnya B. anthracis sensitif terhadap penisilin

Uji ELISA untuk deteksi antibodi anti-PA yang ada dalam sampelserum . Jarang digunakan untuk diagnosisUntuk deteksi antigen B. anthracis . Pada uji ascoli terbentuk cincinputih diantara serum dan ekstrak sampel . Uji DFA untuk deteksidinding sel dan kapsul (berwarna hijau jika dilihat di bawahmikroskopfourescence). Pada uji immunochromatografic assayakan ada dua garis coklat pada kertas netroselulosa

Untuk konfirmasi virulensi, adanya dua pita yaitu PA (pXOI) dankapsul (pXO2)Suntikan intradermal 0,1 ml Anthraxin, diamati 48 jam pascasuntikan, adanya pembengkakan dan kemerahan pada kulitmenunjukkan positif

20 1

Page 5: PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKS

Metode diagnosis di atas berdasarkan target yangdideteksi . Diagnosis antraks dengan cepat dan akuratdapat mengurangi resiko kematian dan melakukanlangkah dalam pengendalian antraks, baikdekontaminasi daerah terkena, vaksinasi dan penutupanwilayah serta pengawasan lalu lintas ternak . Diagnosisyang lambat memberikan resiko penyebaran dankontaminasi daerah lebih luas serta penanganan hewandan manusia yang terkena juga akan mengalamiketerlambatan sehingga dapat menyebabkan kematian .

INVESTIGASI

Investigasi merupakan salah satu langkah dalamcara pengendalian antraks, khususnya di daerahendemik untuk menekan kejadian penyakit itu berulangkembali. Untuk memprediksi kejadian penyakit, harusdiketahui sejarah dan daerah-daerah endemik antraksserta diketahui kapan saja kasus antraks pernahmuncul . Tindakan yang perlu dilakukan dalaminvestigasi adalah melakukan monitoring tingkatkekebalan ternak hasil vaksinasi, tingkat kejadian dantingkat cemaran spora pada tanah dan pakan di daerahtersebut (OIE, 2000) .

Kejadian antraks seringkali dipengaruhi musim,iklim, suhu dan curah hujan yang tinggi (WHO, 1998).Kasus antraks seringkali muncul pada awal musimhujan di mana rumput sedang tumbuh, hal ini yangmenyebabkan terjadinya kontak dengan spora yang adadi tanah. Belum pernah ada laporan bahwa antraksdapat menular dari hewan ke hewan atau dari manusiake manusia (WHO, 1998) . Spora akan terbentuk jikaterekspos oksigen (02 ), spora ini relatif tahan terhadappanas, dingin, pH .

Penyakit ini tetap enzootic di hampir semuanegara Afrika dan Asia, beberapa negara di Eropa(Inggris, Jerman dan Italia), beberapa negara bagianAmerika Serikat (South Dakota, Nebraska, Louisiana,Arkansas, Texas, Misissipi dan California) danbeberapa daerah di Australia (Victoria dan New SouthWales) (WHO, 1998 ; TODAR, 2002). Sampai saat ini,masih banyak daerah endemik antraks di Indonesiaseperti di Provinsi Sumatera Barat, Jambi, Jawa Barat,Jawa Tengah, D .I. Yogyakarta, Sulawesi Selatan,Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, NTT, NTB danPapua . Di Jawa Barat (Kabupaten Bogor), NusaTenggara Barat (Bima dan Sumbawa Besar) dan NusaTenggara Timur hampir setiap tahun dilaporkan adanyakejadian antraks (SIREGAR, 2002 ; DEPARTEMENKESEHATAN, 2003) . Pada akhir tahun 2004 antrakskembali menyerang kambing di daerah CitaringgulBabakan Madang Kabupaten Bogor dan menyebabkan6 orang meninggal dunia (laporan kasus) . Tahun 2005,Makassar juga terserang antraks dan menyebabkan+ 28 ekor sapi dan kerbau mati (laporan kasus) . PadaHari Raya Idul Fitri tahun 2006, Depok juga terserang

202

RAHMAT SETYA ADJI DAN LILY NATALIA : Pengendalian Penyakit Antraks: Diagnosis, Vaksinasi dan Investigasi

antraks yang menyebabkan 3 ekor sapi mati dan 7orang terinfeksi (1 orang meninggal dunia) (laporankasus) .

Untuk mengantisipasi timbulnya kembali kasusantraks di daerah endemik, hal yang perlu dikerjakanadalah dengan pengambilan sampel di lingkungantersebut, hal ini bertujuan untuk mengidentifikasisumber kontaminasi spora B. anthracis sehingga dapatmenyebabkan hewan/manusia terinfeksi, menelusurirute infeksi/paparan, memperoleh galur B. anthracisdari daerah tertentu, membuat prosedur dan petunjukaktivitas pembersihan suatu daerah terhadap B.anthracis, mengantisipasi letupan antraks di daerahendemik, dan membuat prosedur pengamanan(biosafety) di laboratorium yang menangani antraks(CDC, 2002).

Untuk koleksi sampel, harus diketahui peta daerahendemik, situasi geografik, kondisi tanah dan vegetasisuatu daerah dan juga diketahui suhu serta iklimnya .Ketinggian permukaan tanah, pH dan komposisi tanahkemungkinan juga mempunyai pengaruh yang cukupberarti bagi daya hidup spora B. anthracis di suatudaerah. Beberapa hal yang perlu dicatat adalah tipepadang gembalaan, kondisi pengairan, keluarmasuknya ternak, kebiasaan merumput, sumber air,kontrol serangga dan sebagainya (PARKINSON et al.,2003) . Koleksi sampel untuk tindakan ini adalahdengan pengambilan tanah di tempat kejadian antraksdan daerah sekitarnya, tempat pengambilan rumputatau padang pengembalaan ternak, tempat bekaskuburan hewan yang mati karena antraks, sumber airdan daerah rendah yang mempunyai hubungan dengandaerah kasus antraks .

VAKSINASI

Pencegahan dan pengendalian antraks di daerahendemik dilakukan dengan cara vaksinasi. Vaksinantraks yang digunakan di Indonesia sampai saat iniadalah vaksin aktif. Daya proteksi vaksin antraks padaternak ditentukan oleh respon imun terhadap protectiveantigen (PA), sedangkan 2 komponen toksin lainnyayaitu LF dan EF hanya berperan kecil dalammemberikan proteksi . Antigen lainnya (kapsul dandinding sel) belum diidentifikasi berperan dalamproteksi (WHO, 1998) . Vaksin antraks masamendatang harus dapat menstimulasi imun responseluler dan imun respon humoral (WHO, 1998) .

Vaksinasi pada ternak di Indonesia padaumumnya masih menggunakan vaksin spora hidup ataulive spora vaccine, yang mengandung B. anthracisgalur 34F2, bersifat toksigenik, dan tidak berkapsul .Vaksin ini mengandung kira-kira 10 juta spora per mililiter yang disuspensikan dalam larutan 50% gliserin-NaCI fisiologis mengandung 0,5% saponin . Vaksin inidibuat sesuai dengan Requirements for anthrax spore

Page 6: PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKS

vaccine (live for Veterinary use) ; requirements forbiological substance no. 13 (WHO, 1967) . yangmenunjukkan dapat terjadinya berbagai perbedaankualitas di antara vaksin antraks yang ada. Gliserin dansaponin yang digunakan sebagai pelarut dan adjuvandalam vaksin ini, juga dapat mempengaruhi kinerja darivaksin. Bibit vaksin harus dipelihara secara hati-hatiagar supaya varian B. anthracis yang tidak berkapsuldapat kehilangan kemampuan imunogeniknya padasubkultur (STERNE, 1959). Namun demikian, galurbibit vaksin tersebut juga dapat mempertahankanvirulensinya pada ternak seperti kambing, domba danlama sehingga dapat menyebabkan efek shockanaphilaktik karena masih dapat menghasilkan toksinPenggunaan vaksin pada hewan tersebut perluperhatian dan kehati-hatian, karena dapat menyebabkanshock anaphilaktik (WHO, 1998) .

Efikasi vaksin hidup lebih baik dibandingkandengan vaksin mati, tetapi ada juga hal yang kurangbaik dari vaksin hidup. karena B. anthracis galur 34F2masih dapat mempertahankan virulensinya dan dapatmemberikan efek samping yang buruk pada hewanyang divaksin. Sehubungan rentang waktu tanggapkebal sangat terbatas, yaitu antara 6 - 12 bulan danpada hewan di daerah endemik harus divaksinasi tiaptahun dengan aplikasi vaksin hares diberikan secaraparenteral (disuntik) . Jika terjadi kesalahan kecil saatmemproduksinya, maka dapat terjadi efek sampingyang merugikan (WHO, 1998) . Di Indonesia vaksinyang digunakan adalah vaksin spora yang diberikandengan suntikan/parenteral dan memberikan durasikekebalan selama ± 6 - 12 bulan sehingga vaksinasiulang hams dilakukan dengan interval 6 - 12 bulan.Pembuatan vaksin dengan kandungan spora yangterlalu tinggi ataupun penggunaan seed vaksin yangtidak benar dapat menyebabkan efek proteolitik dantoksin yang dihasilkan tidak dapat dinetralisasi olehtubuh sehingga dapat menyebabkan reaksi anaphilaksisdan shock .

Penggunaan vaksin antraks pada manusia padasaat ini masih dilaporkan beresiko tinggi . Di Cina danRusia, vaksinasi pada manusia menggunakan live sporavaccine dari B. anthracis galur A16R (Cina) dan galurSTI (Rusia) . Vaksin ini diaplikasikan dengan earndigoreskan pada kulit dengan dosis 20 µl.Pemberiannya adalah 2 kali dengan interval 21 harisetelah vaksinasi pertama (WHO, 1998). Di AmerikaSerikat, anthrax vaccine absorbed (AVA) dibuat darifiltrat kultur B . anthracis galur V770, toksigenik, tidakberkapsul, tidak proteolitik yang diberi formaldehidadengan konsentrasi akhir 0,02% dan diabsorbsi denganalumunium hidroksida . Aplikasi secara subkutan, dosis0,5 ml, diberikan path 0, 2 dan 4 minggu dan 6, 12, 18bulan dengan ulangan tiap tahun . Sedangkan di Inggrisvaksin filtrat dibuat dari kultur B . anthracis galur 34F2yang diberi formalin dengan konsentrasi akhir 0,02%

W.4RTAZOA bbl. 16 No. 4 Th . 2006

dan dipresipitasi dengan menggunakan kaliumalumunium sulfat. Aplikasi vaksin secara subkutan,dosis 0,5 ml, diberikan pada 0. 3 dan 6 minggu dan 6 .12, 18 dan 24 bulan dengan ulangan tiap tahun (WHO,1998) . Vaksin inaktif tersebut dapat melindungi hewanpercobaan di laboratorium dan sapi yang ditantangdengan B. anthracis baik melalui kulit maupunpernafasan (LEPPLA et al., 2002) .

Meskipun aman dan protektif, AVA mempunyaiketerbatasan, antara lain : standarisasi vaksin yangdidasarkan pada proses pembuatan dan uji potensi yangdilakukan dengan hewan marmot yang ditantang secaraintrakutan dengan spora B. anthracis, kandungan PAdalam vaksin tidak pernah diukur dan tidak adastandarisasi uji antibodi anti PA pada hewan ataumanusia yang divaksinasi dengan vaksin tersebut .Vaksin AVA dapat mengandung elemen seluler yangmungkin menyebabkan reaksi sistemik atau reaksilokal. Selain itu, jadwal pemberian vaksin yangberulang dengan interval waktu yang pendek. mungkinbelum optimal untuk memberikan proteksi (LEPPLAet al., 2002) .

Pengembangan vaksin antraks untuk masamendatang harus dapat meminimalisasi efek samping .Vaksin juga harus efektif dan mempunyai dayaproteksi yang baik, aman dan tidak ada efek sampinguntuk semua spesies, dapat memberikan dayaperlindungan yang lama, dan mudah dalam aplikasinya .Pengembangan vaksin antraks yang dapat diberikansecara oral pada hewan ternak dan hewan liar yangberesiko tinggi perlu dilakukan. Disamping itu, vaksinantraks tersebut diharapkan murah harganya dan ramahlingkungan atau tidak menimbulkan pencemaranlingkungan (WHO, 1998) .

Vaksin antraks yang direkomendasikan WHO(1998) untuk masa depan, antara lain adalah vaksinsubunit, vaksin rekombinan. deleted mutants, danvaksin DNA. Vaksin subunit merupakan vaksin inaktifyang hanya mengandung PA. PA rekombinan pada B.subtilis perlu dikembangkan untuk meminimalisasikontaminasi toksin lain yang dihasilkan oleh B.anthracis dan menghindari bahaya yang disebabkanoleh bakteri tersebut. Aplikasi vaksin ini dapat secaraaerosol atau parenteral dengan pemilihan adjuvan yangbaik, seperti alumunium hidroksida 0,3% (WHO, 1998 ;BROSSIER et al., 2002 ; FLICK-SMITH et al ., 2002) .Vaksinasi secara aerosol dengan rekombinan antigenprotektif (rPA) dapat menginduksi kekebalan mukosal,kekebalan ini tidak didapatkan jika diberikan secaraparenteral. Kekebalan mukosal ini sangat efektifmelindungi jika infeksi B. anthracis melalui pernafasan(BoYAKA et al., 2003).

Vaksin rekombinan merupakan hasil manipulasisecara genetik suatu milroorganisme tertentu yangdapat membawa gen PA dari B. anthracis .Mikroorganisme yang biasanya digunakan untuk

203

Page 7: PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKS

RAHMAT SETYA ADII T).AN LILY NATALIA : Pengendalian Penyakit Antraks: Diagnosis, Vaksinasi dan Investigasi

keperluan ini adalah B. subtitis, Salmonellatyphimurium, baculovirus dan virus vaccinia. (WINS etal., 1990 ; IACONO-CONNORS et al., 1991 ; COULSON etal., 1994 ; SPLINO et al., 2005) . Di samping itu, dapatdilakukan manipulasi genetik kuman B. anthracis yangtidak berkapsul untuk dapat tnenghasilkan ataumengekspresikan gen PA dan tidak mempuyai sifatuntuk memproduksi LF dan EF. Attenuatedrecombinant B. anthracis ini telah dikembangkan untukvaksinasi secara oral dan dapat menginduksi kekebalanhutnoral dan kekebalan mukosal (BARNARD danFRIEDLANDER, 1999 ; COHEN et al., 2000 ; GRINSTEINet al., 2005) . Spesies Salmonella atau Lactobacillusmerupakan bakteri yang baik dan potensial untukpengembangan vaksin rekombinan antraks dan dapatdigunakan untuk vaksinasi secara oral (WHO, 1998) .

Vaksin DNA merupakan vaksin yang mengandungplasmid DNA B. anthracis . Fragmen plasmid DNA B.anthracis ini dapat membuat sandi untuk mensintesisPA, gen tersebut masuk pada tubuh hewan dan dapatmenginduksi dan menstimulasi respon imun humoraldan respon imun seluler, sehingga dapat memberikanproteksi (Gu et al., 1999 ; BREY, 2005) .

Dewasa ini, BBalitvet sedang mengembangkanuntuk membuat vaksin suburiit (PA) . BBalitvet telahmelakukan purifikasi PA dari B. anthracis sebagaikandidat vaksin. Selanjutnya PA yang murni ini akandibuat sebagai bahan pembuatan vaksin subunit danakan diuji coba penggunaannya pada hewan percobaandi laboratorium dan lapangan .

KESIMPULAN

Program pengendalian antraks pada hewan danmanusia harus diawali dengan penggunaan teknikdiagnosis cepat dan akurat, vaksinasi dan investigasidan surveilans . Pengembangan teknik diagnosis cepatdan lebih akurat ditnaksudkan untuk melengkapimetode diagnosis yang sekarang masih digunakansehingga dapat lebih cepat dalam diagnosis,penanganan dan pengendalian antraks di Indonesia .Untuk lebih meningkatkan hasil vaksinasi antraks,dibutuhkan pengembangan vaksin antraks yang lebihaman, mudah diaplikasikan dan protektif.

DAFTAR PUSTAKA

ASSOCIATION FOR PROFESSIONALS IN INFECTION CONTROL andEPIDEMIOLOGY (APIC) . 2005 . Anthrax : Current,Comprehensive Information on Pathogenesis,Microbiology, Epidemiology, Diagnosis, Treatment,and Prophylaxis, Center for Infectious DiseaseResearch and Policy, University ofMinnesota, USA.

204

BARNARD, J.P. and A.M. FRIEDLANDER . 1999 . Vaccinationagainst anthrax with attenuated recombinant strains ofBacillus anthracis that produce protective antigen .Infect. hmmunol . -- : 562 - 567 .

BOYAKA, P.N ., A. TAFARO, R . FISCHER, S.H . LEPPLA, K .FUJIHASHI and JR. Mc GEE . 2003 . Effective mucosalimmunity to anthrax neutralizing antibodies and thecell response following nasal immunization withprotective antigen . J . Immunol . 176: 5636 - 5643 .

BREY, R.N. 2005 . Molecular basic for improved anthraxvaccines. Adv . Drug Deliv . Rev . 57(9): 1266 - 1269 .

BROSSIER. F ., M. LEVY and M . MOCK. 2002 . Anthrax sporesmake an essential contribution to vaccine efficacy .

KRONMAN, B. VELAN and A . SHAFFERMAN . 2000 .Attenuated nontoxigenic and nonencapsulatedrecombinant Bacillus anthracis spore vaccines protectagainst anthrax. Infect. Immunol . 68: 4549 - 4558 .

CONTAGIOUS DISEASE CENTER (CDC) . 2002 . ComprehensiveProcedure for Collecting Environmental Samples forCulturing Bacillus anthracis, EmergencyPreparedness & Response, Atlanta, GA, USA .

COULSON, N.M., M. FuLOP and R.W. TITBALL . 1994. Bacillusanthracis protective antigen, expressed in Salmonellatyphimurium SL 3261, affords protections againtsanthrax spore challenge . Vaccine 12: 1395 -1401 .

DE, B.K ., S.L. BRAGG, G.N. SANDEN. K.E. WILSON. L.A.DIEM, C.K. MARSTON, A.R. HOFFMASTER, G .A .BARNETT, R.S. WEYANT, T.G. ABSHIRE, J.W. EZZELLand T. Popovic . 2002 . Two component directfluorescent antibody asay for rapid identification ofB. anthracis . Emerg. Infect. Dis . 8(10) : 1060 - 1065 .

DEPARTEMEN KESEHATAN. 2003 . Pedoman Tata LaksanaKasus dan Pemeriksaan Laboratorium PenyakitAntraks di Rumah Sakit. Dirjen PemberantasanPenyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan .Departemen Kesehatan RI .

FLICK-SMITH, H.C ., E .J. EYLES, R. HEBDON, E .L. WATERS,R.J. BEEDHAM, T.J . STAGG, J. MILLER, H.O . ALPAR,L.W.J. BAILLIE and E.D. WILLIAMSON . 2002 . Mucosalor parenteral administration on microsphereassociated Bacillus anthracis protective antigenprotects against anthrax infection in mice . Infect .Immure . 70(4) : 2022 - 2028 .

GRINSTEIN, A.R., O. GAT, Z . ALTHOUM, B . VELAN, S . COHENand A. SHAFFERMAN . 2005 . Oral spora vaccine basedon live attenuated nontoxigenic Bacillus anthracisexpression recombinant mutant protective antigen .Infect. Immunol . 73(7): 4043 - 4053 .

Gu, M.L ., S.H . LEPPLA and D .M. KLmivIAN . 2004 . Protectionagainst anthrax toxin by vaccination with a DNAplasmid encoding anthrax protective antigen . Vaccine17: 340 - 344 .

Infect Immun . &0(2) : 661 - 664 .

COHEN, S., 1 . MENDELSON, Z. ALTHOUM. D. KOHLER, E .ETHANANY, T BIND, M LEITNER, I . INBAR, H.ROSENBERG, Y. GOZES, R. BARAK, M. FISHER, C .

Page 8: PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKS

HARDJOUTOMO, S ., M.B. POERWADIKARTA, B .E. PATTEN andK. BARKAH . 1993. The application of ELISA tomonitor the vaccinal response of anthrax vaccinatedruminants . Penyakit Hewan Ed. Khusus 46A .25 : 7- 10 .

IACONO-CONNORS, L.C ., S .L. WELKOS, B .E. IVINS and J .M.DALRYMPLE . 1991 . Protection against anthrax withrecombinant virus-expressed protective antigen inexperimental animals. Infect. Immunol. 59: 1961 -1965 .

IVINS, B.E, S.L. WELKOS, G .B. KNUDSON and S.F. LITTLE .1990. Immunization againts anthrax with aromaticcompound-dependent (aro) mutants of Bacillusanthracis and with recombinant strains of Bacillussubtilis that produce anthrax protective antigen .Infect . Immunol . 58 : 303 - 308 .

LEPPLA, S.H ., J .B . ROBBINS, R. SCHNEERSON and J . SHILOACH .2002. Development of an improved vaccine foranthrax. J. Clin. Invest. 110(2): 141 - 144.

MULLER, J.D ., C.R. WILKS, K .J. O'RILEY , R.J. CONDRON,R. BULL and A. MATECzUN . 2004 . Specificty of animmunochromatographic test for anthrax. Aust. Vet .J. 82(4) : 220 - 222 .

OFFICE INTERNATIONAL DES EPIZOOTIES (OIE) . 2000 .Anthrax. In: Manual of Standards Diagnostic andVaccines, World Health Organization. pp . 235 - 239 .

PARKINSON, R ., A . RAJIC and C . JENSON . 2003 . Investigationof a anthrax outbreak in Alberta in 1999 usinggeographic information system. Can. Vet. J . 44(4) :315-318 .

W.ART.AZOA Vol. 16No . 4 Th. 2006

POBOJEWSKI, S. 2004 . Anthrax Spore can Germinate, Growand Reproduce in Soil . University of Michigan.

SIREGAR, E.A. 2002 . Antraks : Sejarah masa lalu, situasi padasaat inn, sejarah diagnosa dan kecenderunganperkembangan ilmu di masa depan. SimposiumSehari Penyakit Antraks: Antraks di Indonesia, MasaLain, Masa Kim dan Masa Depart. Bogor, 17 Juli2002. Balitvet, Bogor .

SPLINO, M., J . PATOCKA, R. PRYMULA and R. CHLIBEK. 2005 .Anthrax vaccine . Ann Saudi Med. 25(2) : 143 - 149 .

STERNE, M. 1959. Diseases due to bacteria . In : InfectiousDiseases of Animals Vol . 1 . STABLEFORTH, A . W . andI.A. GALLOWAY (Eds.). Butterworths, London . UK .

ToDAR, K. 2002 . Bacillus anthracis and Anthrax,Departement of Bacteriology, University ofWisconsin, Madison, USA .

WORLD HEALTH ORGANIZATION (WHO). 1998. Guidelines forthe surveillance and control of anthrax in humans andanimals, 3`d Ed. Departement of CommunicableDisease Surveillance and Response. TURNBULL,P.C.B ., R. BOHM, O. CosIvi . M. DoGANAY, M .E .HUGH JONES, D .D. Josw, M.K. LALITHA and V . DEVOS . (Eds .). World Health Organization.

WORLD HEALTH ORGANIZATION (WHO) . 1967. Requirementsfor Anthrax Spore Vaccine (Live - for VeterinaryUse) (Requirements for Biological Substances no .13). World Health Organization Technical ReportSeries 1967 No. 361 .

205