PENGEMBANGAN SISTEM CARA PRODUKSI MAKANAN … · Enteral yang Baik) ... Makanan (11) Pelatihan (12)...

156
PENGEMBANGAN SISTEM CARA PRODUKSI MAKANAN ENTERAL YANG BAIK (CPMEB) DAN APLIKASINYA DI RSPAD GATOT SOEBROTO DITKESAD JAKARTA AMIROH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Transcript of PENGEMBANGAN SISTEM CARA PRODUKSI MAKANAN … · Enteral yang Baik) ... Makanan (11) Pelatihan (12)...

PENGEMBANGAN SISTEM CARA PRODUKSI MAKANAN ENTERAL

YANG BAIK (CPMEB) DAN APLIKASINYA

DI RSPAD GATOT SOEBROTO DITKESAD JAKARTA

AMIROH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir Pengembangan SistemCara

Produksi Makanan Enteral yang Baik (CPMEB) dan Aplikasinya di RSPAD Gatot

Soebroto Ditkesad Jakarta adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi

manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tugas Akhir ini.Saya

menyatakan bahwa saya telah mendapatkan izin tertulis dari instansi tempat

pengambilan data.

Bogor, Januari 2013

Amiroh

ABSTRACT

AMIROH. Development of Good Manufacturing Practices System for enteral

food and its application at Gatot Soebroto Hospital Jakarta. Under the supervision

of WINIATI P. RAHAYU and RATIH DEWANTI-HARIYADI.

Hospital formula enteral food is a ready to eat (RTE) food categorized as a

special food because it is targeted specifically for group of people with health risk.

Therefore, the safety of this enteral food needs to be controlled more stringenly

than other RTE food. One of the basic food safety management that can be

applied is GMP (Good Manufacturing Practices). Presently guidelines for good

processing method for enteral food is not available yet. This research was aimed

to develop a GMP system for enteral food or CPMEB (Cara Produksi Makanan

Enteral yang Baik) consisting a guideline as well as the auditing system,

and its application in Gatot Soebroto Hospital Jakarta. The system

was development based on the Indonesian Health Ministry Regulation Number:

1096/MenKes/PER/VI/2011 on hygiene and food services sanitation; The National

Agency of Drug and Food Control Regulation2011 Number:

HK.03.1.23.12.11.10720 on the guidelines for the production of processed food

products for baby powder formula and advanced powder formula; The National

Agency of Drug and Food Control Decree2003 Number: HK. 00.05.5.1639 on

the guidelines for food production for home industry; and other relevant

references. Based on the literature review and trials, the CPMEB guideline and its

audit system applicable to the enteral production unit of the hospital were

developed. Thirteen aspects were defined for the requirements; including four

main aspects. The main aspects were criteria with higher priority. The aspects

belong to this group were the production room, production equipment, process

control and workers' hygiene. The rest of the aspects include building and its

facilities, sanitation facility, raw materials storage, monitoring management, pest

control, enteral food distribution, training, and patient feeding. The trial at Gatot

Soebroto hospital shows that the enteral food production unit can be categorized

as good; with improvements needed for several aspects such as: production

equipment storage, hygiene and sanitation maintenance, blender handling

sanitation procedure, process control for type of container, volume of container,

production notes, enteral food storage, food distribution and training.

Keywords: aspects, the CPMEB guideline, enteral food, main aspects.

RINGKASAN

AMIROH.Pengembangan Sistem Cara Produksi Makanan Enteral yang Baik

(CPMEB) dan Aplikasinya di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad

Jakarta.Dibimbing oleh WINIATI P. RAHAYU dan RATIH DEWANTI-

HARIYADI.

Makanan enteral yaitu semua makanan cair yang dimasukkan ke dalam

tubuh lewat saluran cerna, baik melalui mulut (oral), selang nasogastrik, maupun

selang melalui lubang stoma gaster (gastrotomi) atau lubang stoma jejunum

(jejunostomi). Konsumen (pasien) yang mengonsumsi makanan enteral

mempunyai kondisi kesehatan lebih rendah dibandingkan pasien lain.

Berdasarkan hasil penelitian Oliveira et al (2001) penerapan sistem HACCP

(Hazard Analysis Critical Control point) dapat menurunkan jumlah bakteri pada

makanan enteral di rumah sakit dari 105

CFU/mL menjadi < 101

CFU/mL. Hal

tersebut mengindikasikan bahwa perlu diterapkan sistem pengendalian keamanan

pangan.Sebelum diterapkan sistem HACCP, industri pengolahan pangan harus

sudah mampu menerapkan sistem GMP (Good Manufacturing Practices) atau

CPPB (Cara Produksi Pangan yang Baik). Saat ini pedoman cara produksi

makanan enteral yang baik (CPMEB) belum tersedia.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengembangkan pedoman dan panduan

audit Cara Produksi Makanan Enteral yang Baik (CPMEB). Pedoman CPMEB

diperlukan sebagai pedoman unit penyedia makanan enteral di rumah sakit untuk

memproduksi makanan enteral yang aman, bermutu dan layak untuk dikonsumsi

secara konsisten. Panduan audit CPMEB digunakan untuk mengevaluasi

pemenuhan persyaratan CPMEB. (2) Mengaplikasikan panduan audit CPMEB

yang dikembangkan dalam penelitian untuk mengevaluasi pemenuhan persyaratan

CPMEB unit penyedia makanan enteral RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad. Hasil

audit dijadikan acuan untuk menentukan skala prioritas dalam rangka perbaikan

sarana produksi. (3) Menyusun rekomendasi untuk pemenuhan persyaratan

CPMEB pada unit penyedia makanan enteral RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad

berdasarkan hasil audit.

Penelitian dilakukan di rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad

Jakarta melalui 4 (empat) tahap sebagai berikut : (1) Menyusun pedoman dan

panduan audit CPMEB. (2) Melaksanakan uji coba hasil pengembangan pedoman

dan audit CPMEB di rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.

(3) Mengaplikasikan panduan audit CPMEB di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad

Jakarta. (4) Menyusun rekomendasi untuk pemenuhan persyaratan CPMEB di

RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta. Mekanisme penyusunan dilakukan

melalui pengkajian bahan pustaka yang relevan untuk menyusun pedoman

CPMEB. Pustaka tersebut antara lain Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor : 1096/MenKes/PER/VI /2011 tentang higiene sanitasi jasaboga;

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia tahun

2011 Nomor: HK.03.1.23.12.11.10720 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan

Olahan yang Baik untuk Formula Bayi dan Formula Lanjutan Bentuk Bubuk;

Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia tahun

2003 Nomor: HK. 00.05.5.1639 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan yang

Baik untuk Industri Rumah Tangga; hasil penelitian Oliveira et al (2000) dan

(2001). Berdasarkan kajian bahan pustaka ditetapkan aspek dan parameter beserta

persyaratan yang berpengaruh terhadap pengendalian keamanan makanan enteral.

Penyusunan panduan audit CPMEB didasarkan pada pedoman pemeriksaan

sarana produksi perusahaan pangan industri rumah tangga (IRT) tahun 2003.

Oleh karena itu susunan panduan audit sarana produksi pada unit penyedia

makanan enteral rumah sakit terdiri dari pendahuluan yang berisi penjelasan

tentang persiapan yang harus dilakukan oleh auditor sebelum melaksanakan

audit; formulir pemeriksaan sarana produksi; kriteria penilaian masing-masing

parameter; cara penilaian; dan tindak lanjut/saran perbaikan. Cara penilaian

dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan bobot pada aspek dan selanjutnya

menentukan cara penetapan kategori atau menyimpulkan hasil pemeriksaan.

Pedoman dan audit yang tersusun diuji cobakan dan disempurnakan sehingga

tersusun pedoman dan panduan audit CPMEB yang siap untuk digunakan.

Hasil kajian bahan pustaka menghasilkan 13 (tiga belas) aspek yang

menjadi persyaratan CPMEB draf 1. Aspek yang dimaksud adalah (1) Bangunan

dan Fasilitas (2) Ruang Produksi (3) Peralatan Produksi (4) Fasilitas Sanitasi

(5) Penyimpanan bahan baku (6) Pengendalian Proses (7) Manajemen

Pengawasan (8) Pengendalian Hama (9) Higiene Karyawan (10) Penyaluran

Makanan (11) Pelatihan (12) Pemberian Makanan Enteral kepada Pasien

(13) Pencatatan dan Dokumentasi. Beberapa parameter penyusun aspek

dipersyaratkan lebih ketat dibandingkan pangan siap saji karena makanan enteral

termasuk pangan kategori khusus yaitu pangan yang ditujukan bagi orang

sakit.Persyaratan yang diperketat antara lain pada aspek pengendalian proses

untuk parameter jenis wadah dan parameter volume wadah; aspek ruang produksi

untuk parameter kondisi ruangan dan parameter letak ruangan. Penentuan bobot

pada aspek dalam rangka menyusun panduan audit CPMEB draf 1 menghasilkan

bahwa yang termasuk aspek utama yaitu higiene karyawan; penyimpanan;

peralatan produksi; dan ruang produksi. Penetapan kategori hasil pemeriksaan

CPMEB dilakukan dengan cara menghitung nilai total dan sebaran nilai aspek.

Penetapan kategori dikelompokkan ke dalam kategori baik (B); cukup (C); dan

kurang (K). Kriteria kategori B bila nilai total minimal 35 dengan sebaran aspek,

seluruh aspek utama bernilai B dan minimal 5 (lima) aspek yang lain juga

memperoleh nilai B serta tanpa ada nilai K (4B dan 5B-4C); kategori C bila nilai

total minimal 30 dengan sebaran aspek, seluruh aspek utama bernilai baik dan

minimal 9 (sembilan) aspek yang lain memperoleh nilai C serta tanpa ada nilai K

(4B dan 9C); dan kategori K bila tidak mencapai nilai cukup.

Hasil uji coba pedoman dan panduan audit CPMEB menunjukkan perlu

adanya (1) penyempurnaan persyaratan dan kriteria penilaian beberapa aspek dan

parameter, (2) perubahan aspek penyimpanan menjadi aspek penyimpanan bahan

baku, (3) perubahan kelompok aspek utama. Kelompok aspek utama hasil

penyempurnaan terdiri dari ruang produksi; peralatan produksi; pengendalian

proses; dan higiene karyawan.

Hasil aplikasi pedoman dan panduan audit CPMEB di RSPAD Gatot

Soebroto Ditkesad Jakarta menunjukkan bahwa unit penyedia makanan enteral

rumah sakit tergolong dalam kategori baik (B), dengan beberapa saran perbaikan.

Aspek dan parameter yang perlu diperbaiki antara lain aspek peralatan produksi

untuk parameter penyimpanan peralatan, pemeliharaan kebersihan dan sanitasi,

serta prosedur penanganan sanitasi blender; aspek pengendalian proses untuk

parameter jenis wadah, volume wadah, keterangan produksi, dan penyimpanan

makanan enteral; aspek penyaluran makanan untuk parameter kondisi makanan

saat penyaluran; dan aspek pelatihan.

Berdasarkan hasil aplikasi pedoman dan audit CPMEB di RSPAD Gatot

Soebroto Ditkesad Jakarta direkomendasikan beberapa hal yaitu melengkapi rak

piring tertutup dan kompor di ruang produksi; memperbaiki hot & cool

thermobox; mengadakan blender tahan panas; menggunakan wadah dengan

volume satu porsi dan mudah disanitasi; selalu menempelkan keterangan produksi

pada wadah; dan mewajibkan penanggung jawab dan seluruh penjamah makanan

enteral mendapatkan kursus higiene sanitasi jasaboga dan keamanan pangan.

Setelah persyaratan CPMEB unit penyedia makanan enteral (dapur sonde)

di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta terpenuhi sebaiknya distribusi

makanan enteral dilakukan secara sentralisasi agar pengawasan pengendalian

keamanan makanan enteral lebih mudah dilakukan.Selanjutnya penerapan

keamananan pangan dapat ditingkatkan melalui penerapan HACCP.Draf CPMEB

yang tersusun ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pembuatan peraturan

CPMEB di Indonesia.

Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

PENGEMBANGAN SISTEM CARA PRODUKSI MAKANAN ENTERAL

YANG BAIK (CPMEB) DAN APLIKASINYA

DI RSPAD GATOT SOEBROTO DITKESAD JAKARTA

AMIROH

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Profesi Teknologi Pangan

pada Program Studi Teknologi Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

Penguji Luar Komisi Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc

Judul Tugas Akhir : Pengembangan Sistem Cara Produksi Makanan Enteral

yang Baik (CPMEB) dan Aplikasinya di RSPAD Gatot

Soebroto Ditkesad Jakarta

Nama Mahasiswa : Amiroh

Nomor Pokok : F 252100185

Program Studi : Teknologi Pangan

Menyetujui ,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, MS Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc

Ketua Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Profesi Teknologi Pangan

Prof. Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan

tugas akhir ini. Tugas akhir ini berjudul Pengembangan Sistem Cara Produksi

Makanan Enteral yang Baik (CPMEB) dan Aplikasinya di RSPAD GatotSoebroto

Ditkesad Jakarta, sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Teknologi Pangan.

Penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, MS dan Dr. Ir. Ratih Dewanti-

Haryadi, MSc selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah

membimbing dan memberikan pemahaman akan kaidah-kaidah ilmiah

mulai dari awal penyusunan hingga selesainya tesis ini.

2. Prof. Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc dan Prof. Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc

sebagai tim penguji yang telah memberikan masukan berharga bagi

penyempurnaan tesis ini.

3. Kepala RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta yang telah memberikan

izin bagi peneliti untuk melaksanakan penelitian di dapur sonde Unit Gizi

RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.

4. Kepala Unit Gizi RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta Letkol Ckm

Prima Haris, S.Sos serta pembimbing lapang Mayor Ckm Ishiko Herianto,

SPd, M.Kes.

5. Sdr. Nathan Nael Hery Susanto, S.Gz, Letda Erna Rumdani, AMG,

Sdri. Cipa Aipa AMd serta seluruh karyawan Unit Gizi yang telah

membantu pelaksanaan penelitian.

6. Ibu Fatikhaturohmah AMd, yang selalu memberikan semangat selama

berlangsungnya studi ini.

7. Keluarga tercinta, yang telah memberikan dukungan baik moril maupun

materiil dalam penyelesaian tugas akhir ini.

8. Mbak Siwi dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian tugas ini

dan kepada pihak-pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Januari 2013

Penulis

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Brebes, tepatnya di kecamatan Ketanggungan Timur

pada tanggal 20 Juni 1958 anak dari almarhum Fadholi Wahab dan almarhumah

Bachriyah. Penulis merupakan anak ke lima dari delapan bersaudara. Lulus dari

Sekolah Menengah Atas Negeri Tegal pada tahun 1977 dan melanjutkan di

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi dan Mekanisasi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1978 dan lulus tahun 1982. Pada tahun

itu juga penulis bekerja di Balai Besar Industri Hasil Pertanian (BBIHP) yang

sekarang telah berubah nama menjadi Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor.

Tahun 1983 penulis pindah ke Surabaya dan mengajar di Fakultas Pertanian

Universitas Pembangunan Nasional Veteran Surabaya.Tahun 1988 penulis pindah

ke Mataram dan mengajar di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian

Universitas Muhamadiyah Mataram.Akhir tahun 1991 pindah ke Jakarta dan

tahun 1993 mengajar diAkademi Gizi Yayasan Pendidikan MH.Thamrin

sekaligus diberi tanggung jawab sebagai Pembantu Direktur bidang administrasi

dan keuangan. Tahun 2005, setelah Akademi Gizi dan Akademi Kesehatandi

lingkungan Yayasan Pendidikan MH.Thamrin bergabung menjadi Sekolah Tinggi

Ilmu Kesehatan MH.Thamrin (STIKes MH.Thamrin) penulis diberi tanggung

jawab sebagai Pembantu Ketua Sekolah Tinggi bidang adminstrasi dan

keuangan.Tahun 2010 bulan November bersamaan dengan diterimanya penulis

untuk melanjutkan kuliah di Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, penulisdiberi tanggung jawab

sebagai Ketua Program Studi Diploma III Gizi STIKes MH.Thamrin Jakarta

sampai sekarang.

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT................................................................................................ ii

RINGKASAN............................................................................................. iii

KATA PENGANTAR ............................................................................... ix

DAFTAR ISI ............................................................................................. xi

DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiv

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xv

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................

xvi

I. PENDAHULUAN............................................................................ 1

A. LATAR BELAKANG ............................................................. 1

B. TUJUAN .................................................................................. 3

C. RUANG LINGKUP ................................................................. 3

D. MANFAAT PENELITIAN ..................................................... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................

5

A. MAKANAN ENTERAL ......................................................... 5

B. PANGAN SIAP SAJI (PSS) ................................................... 7

C. KEAMANAN PANGAN ........................................................ 7

D. GMP (Good Manufacturing Practices) ................................... 8

III. METODOLOGI

13

A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ................................ 13

B. BAHAN PENELITIAN............................................................ 13

C. METODE PENELITIAN ......................................................... 13

1. Penyusunan pedoman CPMEB .......................................... 15

a. Pengkajian bahan pustaka untuk penentuan CPMEB.. 15

b. Penetapan aspek dan parameter ................................... 17

2. Penyusunan panduan audit CPMEB...................................

17

a. Penentuan bobot pada aspek ...................................... 17

b. Penetapan kategori hasil pemeriksaan......................... 18

3. Uji coba pedoman dan panduan audit CPMEB di rumah

sakit ………………………………………………………

19

4. Penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB…..

20

5. Aplikasi panduan audit CPMEB pada unit penyedia

makanan enteral di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad

Jakarta ................................................................................

20

Halaman

6. Penyusunan rekomendasi untuk pemenuhan persyaratan

CPMEB pada unit penyedia makanan enteral di RSPAD

Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.........................................

21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................

23

A. PENYUSUNAN PEDOMAN CPMEB .................................... 23

Penetapan aspek dan parameter ......................................... 23

B. PENYUSUNAN PANDUAN AUDIT CPMEB………………

26

1. Penentuan bobot pada aspek .............................................. 26

2. Penetapan kategori hasil pemeriksaan ............................... 30

C. HASIL UJI COBA PEDOMAN DAN PANDUAN AUDIT

CPMEB DI RUMAH SAKIT

33

1. Gambaran unit penyedia makanan enteral di rumah

sakit X………………………………………………

33

a. Penanggung jawab unit penyedia makanan enteral .... 33

b. Tata letak unit penyedia makanan enteral .................. 34

c. Bahan baku, peralatan dan proses produksi .............. 34

d. Distribusi produk dan pengawasan ............................ 36

e. Pengendalian hama .................................................... 36

2. Gambaran unit penyedia makanan enteral di RSPAD

Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.......................................

36

a. Penanggung jawab unit penyedia makanan enteral ... 37

b. Tata letak unit penyedia makanan enteral .................. 38

c. Bahan baku dan peralatan .......................................... 39

d. Jenis dan proses produksi ........................................... 40

e. Alur pemesanan bahan baku dan distribusi produk.... 41

f. Perawatan kebersihan dan sanitasi ............................. 45

g. Pengendalian hama .................................................... 45

3. Uji coba pedoman CPMEB ...............................................

46

4. Uji coba panduan audit CPMEB .......................................

47

D. PENYEMPURNAAN PEDOMAN DAN PANDUAN

AUDIT CPMEB ……………………………………………...

55

E. APLIKASI PANDUAN AUDIT CPMEB PADA UNIT

PENYEDIA MAKANAN ENTERAL DI RSPAD GATOT

SOEBROTO DITKESAD JAKARTA ...

59

1. Peralatan produksi ............................................................. 61

2. Pengendalian proses .......................................................... 63

Halaman

3. Penyaluran makanan ......................................................... 65

4. Pelatihan karyawan ........................................................... 66

F. REKOMENDASI UNTUK PEMENUHAN

PERSYARATAN CPMEB DI RSPAD GATOT

SOEBROTO DITKESAD JAKARTA……………………….

66

1. Aspek peralatan produksi .................................................. 67

2. Aspek pengendalian proses ............................................... 67

3. Aspek pelatihan ................................................................. 68

V. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................

69

A. KESIMPULAN ........................................................................ 69

B. SARAN .................................................................................... 70

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................

73

LAMPIRAN .............................................................................................. 77

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Peraturan pemerintah dan pustaka yang terkait dengan

penyusunan pedoman dan panduan audit CPMEB .................

16

Tabel 2.

Perbandingan kelompok yang sangat berpengaruh terhadap

keamanan pangan pada CPPSSB 2011, CPPB-IRT 2003 dan

pustaka pendukung ..................................................................

26

Tabel 3.

Cara penilaian akhir yang diterapkan pada CPPSSB-2011,

CPPB-IRT 2003 serta yang dirancang untuk CPMEB ...........

31

Tabel 4.

Hasil uji coba pemeriksaan sarana pada unit makanan cair di

rumah sakit X dan dapur sonde di RSPAD Gatot Soebroto

Ditkesad Jakarta.......................................................................

47

Tabel 5.

Penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB

berdasarkan uji coba yang dilakukan di rumah sakit X dan

RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta................................

56

Tabel 6.

Hasil evaluasi penerapan pedoman CPMEB di dapur sonde

RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta……………………

59

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.

Tahapan penelitian…………………………………............ 14

Gambar 2. Tahap penyusunan pedoman dan panduan audit CPMEB…

14

Gambar 3. Skema proses pembuatan makanan saring tanpa susu dan

makanan cair formula susu (makanan cair rumah sakit)…...

43

Gambar 4. Skema proses pembuatan makanan cair formula susu

untuk diet lambung 1 dan formula WHO…………………..

44

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Uji kelaikan fisik untuk higiene sanitasi makanan

jasaboga ………………………………………………...

78

Lampiran 2.

Formulir pemeriksaan sarana produksi perusahaan

pangan industri rumah tangga (IRT) ................................

81

Lampiran 3.

Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1096/

Men.Kes/Per/VI/201 (CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB

untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk

tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta

pustaka-pustaka yang mendukung ...................................

82

Lampiran 4.

Pedoman cara produksi makanan enteral yang baik

(CPMEB) di rumah sakit draf 1 dan draf 2 .....................

111

Lampiran 5.

Panduan audit sarana produksi pada unit penyedia

makanan enteral rumah sakit draf 1 dan draf 2 ..............

119

Lampiran 6.

Denah ruang produksi makanan cair di rumah sakit X.....

136

Lampiran 7.

Denah dapur Unit Gizi RSPAD Gatot Soebroto

Ditkesad Jakarta................................................................

137

Lampiran 8.

Denah unit penyedia makanan enteral (dapur sonde) di

RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta ........................

138

Lampiran 9.

Prosedur pembuatan makanan enteral formula WHO

(diet tinggi kalori tinggi protein) .....................................

139

Lampiran 10.

Prosedur penyajian (rekonstitusi) makanan enteral

formula WHO ..................................................................

140

Lampiran 11.

Prosedur pmbuatan makanan enteral formula rumah

sakit ..................................................................................

141

Lampiran 12.

Prosedur makanan enteral formula rumah sakit (diet

hati)...................................................................................

142

Lampiran 13.

Alur pemenuhan makanan pasien ....................................

143

Halaman

Lampiran 14.

Alur permintaan bahan baku di pengolahan makanan

enteral/sonde ....................................................................

144

Lampiran 15.

Prosedur pemeriksaan kualitas telur (candling) ...............

145

Lampiran 16.

Prosedur tes kit metanil yellow ........................................

146

Lampiran 17.

Prosedur tes kit rhodamin B .............................................

147

Lampiran 18.

Prosedur tes kit boraks .....................................................

148

Lampiran 19.

Prosedur tes kit formalin ..................................................

149

Lampiran 20.

Laporan hasil uji film/plastik pembungkus......................

150

Lampiran 21.

Laporan hasil pemeriksaan kualitas air bersih secara

fisik...................................................................................

151

Lampiran 22.

Laporan hasil pemeriksaan kualitas air bersih secara

kimiawi ............................................................................

152

Lampiran 23.

Laporan hasil pemeriksaan kualitas air bersih secara

bakteriologi .....................................................................

153

Lampiran 24. Hasil pemantauan pekerjaan pest control pengendalian

kucing ...............................................................................

154

1. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia

untuk mempertahankan hidup dan kehidupan, terutama bagi orang yang sedang

sakit (pasien). Makan bagi seorang pasien merupakan salah satu terapi untuk

memulihkan dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak. Kebutuhan zat gizi

seorang yang sedang sakit sering lebih besar karena pada saat sakit terdapat

peningkatan hormon stres yang memerlukan tambahan energi. Di lain pihak,

banyak kendala atau kesulitan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi karena pasien

tidak mau makan (selera makan kurang) atau tidak mampu makan karena

penyakitnya. Hal tersebut dapat diatasi dengan memberikan makanan yang

berbentuk lunak atau cair.

Makanan cair adalah makanan yang mempunyai konsistensi cair hingga

kental. Makanan ini diberikan kepada pasien yang mengalami gangguan

mengunyah, menelan dan mencernakan makanan disebabkan oleh menurunnya

kesadaran, suhu badan meningkat, rasa mual, muntah, pasca perdarahan saluran

cerna, serta pra dan pasca bedah. Makanan cair dapat diberikan secara oral atau

enteral.

Jalur pemberian makanan melalui oral adalah jalur asupan zat gizi melalui

jalan normal sebagaimana mestinya, sedangkan jalur pemberian makanan melalui

enteral adalah jalur asupan zat gizi melalui selang nasogastrik, gastronomi

maupun jejunostomi. Jalur ini tidak melalui proses menelan. Cara ini diberikan

apabila asupan oral tidak memungkinkan tetapi sistem saluran cerna masih

bekerja dengan baik. Namun jika tingkat gangguan atau kegagalan fungsi usus

menyebabkan pemberian makanan enteral pun tidak dapat dilakukan atau tidak

memadai, maka pemberian makanan dilakukan melalui pembuluh darah yang

disebut dengan pemberian secara parenteral.

Ditinjau dari cara pembuatannya, ada 2 (dua) jenis makanan enteral yaitu

makanan enteral yang diproduksi oleh rumah sakit dan yang diproduksi oleh

industri pangan. Makanan enteral formula rumah sakit (FRS) dalam bentuk semi

2

padat hasil blender ataupun makanan cair, diper` siapkan untuk langsung

dikonsumsi sehingga dapat diklasifikasikan sebagai pangan siap saji, sedangkan

makanan enteral komersial (FK) yaitu yang diproduksi oleh industri pangan,

tersedia dalam bentuk bubuk dan dijual dalam kemasan sehingga diklasifikasikan

sebagai pangan olahan.

Selain memenuhi kebutuhan gizi, makanan yang dikonsumsi pasien harus

terjamin keamanannya. Bahkan jaminan keamanan makanan enteral seharusnya

lebih baik dibandingkan makanan lain di rumah sakit karena kondisi sistem imun

pasien yang mengonsumsi makanan enteral jauh lebih rendah dibandingkan

pasien yang mampu mengonsumsi makanan padat. Menurut hasil penelitian

Oliveira et al. (2001) bahwa sebelum unit penyedia makanan enteral di rumah

sakit menerapkan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point), hasil

analisis mikrobiologi pada makanan enteral menunjukkan adanya coliform,

Enterococcus sp. dan mikroba aerobik mesofilik sejumlah 105

CFU/mL. Jumlah

tersebut berada diatas persyaratan (> 104

CFU/mL). Sesudah diterapkan HACCP,

hasil analisis mikrobiologi menunjukkan perbedaan yang nyata yaitu jumlah

mikroba menjadi < 101 CFU/mL. Oleh karena itu sangat diperlukan pengendalian

keamanan pangan untuk produksi makanan enteral di rumah sakit.

Industri pengolahan pangan yang akan menerapkan sistem keamanan

pangan model HACCP harus merencanakan, merancang/mendisain dan

mengimplementasikan suatu program persyaratan kelayakan dasar atau sering

disebut dengan istilah pre-requisite program. Secara umum pre-requisite program

adalah hal-hal yang berkaitan dengan operasi sanitasi dan higiene pangan suatu

proses produksi atau penanganan pangan yang dikenal dengan GMP (Good

Manufacturing Practices). GMP merupakan suatu pedoman bagi industri pangan

tentang cara berproduksi makanan dan minuman yang baik untuk menjamin agar

produk yang dihasilkannya aman, bermutu dan layak untuk dikonsumsi secara

konsisten.

Pedoman cara produksi pangan siap saji yang baik telah ditetapkan oleh

Menteri Kesehatan melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor: 1096/MenKes/PER/VI/2011 tentang higiene sanitasi jasaboga. Makanan

enteral FRS, dapat diklasifikasikan sebagai pangan siap saji yang diproduksi oleh

3

rumah sakit sehingga berdasarkan peraturan menteri kesehatan tersebut di atas

unit penyedia makanan enteral FRS, termasuk ke dalam jasaboga golongan B

(jasaboga yang melayani kebutuhan masyarakat khusus). Oleh karena itu cara

produksi makanan enteral FRS yang baik dapat mengacu pada persyaratan higiene

sanitasi jasaboga golongan B. Tetapi karena jaminan keamanan makanan enteral

harus lebih baik dibandingkan makanan lain di rumah sakit maka persyaratan

keamanan pangan untuk produksi makanan enteral FRS juga harus mengacu pada

produk sejenis yang mempunyai risiko tinggi terhadap gangguan kesehatan,

misalnya pedoman cara produksi formula bayi yang baik.

Saat ini pedoman cara produksi makanan enteral yang baik (CPMEB) di

Indonesia belum tersedia. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dikembangkan

pedoman CPMEB. Pedoman perlu disertai dengan sistem auditnya agar evaluasi

pemenuhan persyaratan keamanan pangan dapat dilakukan dengan mudah dan

terukur dengan jelas. Untuk mengkaji apakah pedoman yang dikembangkan dapat

diaplikasikan di rumah sakit, perlu dilakukan uji coba. Dalam hal ini uji coba

dilaksanakan di rumah sakit X Jakarta Timur dan di RSPAD Gatot Soebroto

Ditkesad Jakarta sebelum pelaksanaan aplikasi. Rumah sakit tersebut dipilih

karena keduanya merupakan rumah sakit besar di wilayah Jakarta yang setiap

harinya memproduksi makanan enteral dan telah mempunyai ruang khusus untuk

memproduksi makanan enteral.

B. TUJUAN

1. Mengembangkan pedoman Cara Produksi Makanan Enteral yang Baik

(CPMEB) termasuk panduan auditnya.

2. Mengaplikasikan panduan audit CPMEB yang dikembangkan dalam

penelitian untuk unit penyedia makanan enteral RSPAD Gatot Soebroto

Ditkesad Jakarta.

3. Menyusun rekomendasi untuk pemenuhan persyaratan CPMEB pada unit

penyedia makanan enteral RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.

4

C. RUANG LINGKUP

Ruang lingkup penelitian ini adalah mengembangkan pedoman CPMEB dan

panduan audit khususnya untuk FRS dan rekonstitusi FK. Pengembangan

pedoman CPMEB dan panduan auditnya mengacu pada Cara Produksi Pangan

yang Baik (CPPB) dari pangan lain yang sejenis dan relevan. Pedoman dan

panduan audit diuji cobakan, disempurnakan kemudian diaplikasikan di lapangan

yakni di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.

D. MANFAAT PENELITIAN

Tersedianya pedoman CPMEB dapat digunakan sebagai rujukan oleh

unit penyedia makanan enteral di rumah sakit untuk memproduksi makanan

enteral yang aman, bermutu dan layak untuk dikonsumsi secara konsisten.

Evaluasi pemenuhan persyaratan CPMEB menggunakan panduan audit.

Terevaluasinya pemenuhan persyaratan CPMEB dapat dijadikan acuan

untuk menentukan skala prioritas dalam rangka perbaikan sarana produksi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. MAKANAN ENTERAL

Pemberian makanan yang tepat pada pasien akan meningkatkan kualitas

hidup, mencegah malnutrisi serta menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.

Ditinjau dari teksturnya makanan dapat berupa makanan padat, lunak ataupun

cair. Sedangkan jalur pemberian makanan dapat melalui oral, enteral dan

parenteral (Almatsier 2005).

Pada kondisi tertentu kebutuhan gizi tidak dapat dipenuhi dalam bentuk

makanan padat bahkan kadang-kadang tidak dapat melalui jalur oral yaitu jalur

normal melalui mulut. Jika hal ini terjadi maka pemberian makanan enteral dapat

menjadi pilihan. Menurut Escot-Stump (1998) yang dimaksud makanan enteral

yaitu semua makanan cair yang dimasukkan ke dalam tubuh lewat saluran cerna,

baik melalui mulut (oral), selang nasogastrik, maupun selang melalui lubang

stoma gaster (gastrotomi) atau lubang stoma jejunum (jejunostomi). Disamping

itu, dikenal pula makanan yang diberikan melalui parenteral yaitu pemberian

makanan melalui vena dalam bentuk cairan formula khusus (Almatsier 2005).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pemberian nutrisi enteral ialah jalur

masuknya makanan, ukuran pipa makanan yang digunakan, volume formula yang

digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasien, toleransi sistem saluran cerna dan

kondisi klinis pasien (Lukito et al. 2008).

Makanan enteral dapat diklasifikasikan berdasarkan penggunaan pada

situasi klinik yaitu makanan enteral standar yang digunakan untuk pasien dengan

fungsi saluran cerna yang normal dan makanan enteral spesifik yang digunakan

pada pasien dengan kondisi penyakit yang membutuhkan nutrisi khusus misalnya

kelainan ginjal, diabetes mellitus dan kondisi kritis (Lukito et al. 2008)

Berdasarkan formulanya makanan enteral juga dapat diklasifikasikan

menjadi dua jenis formula yaitu formula rumah sakit (FRS) dan formula

komersial (FK). Makanan enteral FRS, dibuat dari beberapa bahan pangan yang

diracik dan dibuat di rumah sakit dengan menggunakan blender. Konsistensi

larutan, kandungan zat-zat gizi, dan osmolaritas dapat berubah pada setiap

6

pembuatan dan rentan terhadap kontaminasi. Sedangkan makanan enteral FK,

berupa bubuk yang siap dicairkan atau berupa cairan yang dapat segera dipakai.

Nilai gizinya bermacam-macam sesuai kebutuhan; konsistensi dan osmolaritasnya

tetap; praktis menyiapkannya dan tidak mudah terkontaminasi (Simadibrata

2009).

Ditinjau dari jenis diet dan bahan bakunya, Simadibrata (2009)

mengelompokan makanan enteral FRS menjadi: 1). Makanan cair tinggi energi

dan tinggi protein dengan bahan baku terdiri dari susu full cream, susu skim, susu

rendah laktosa, telur, glukosa, gula pasir, tepung beras, minyak kacang dan sari

buah; 2). Makanan cair rendah laktosa dengan bahan baku terdiri dari susu rendah

laktosa, telur, gula pasir, maizena dan minyak kacang; 3). Makanan cair tanpa

susu (bebas laktosa) dengan bahan baku terdiri dari telur, kacang hijau, wortel

jeruk, tepung beras dan gula pasir; dan 4). Makanan khusus untuk penyakit hati,

rendah protein untuk penyakit ginjal, rendah purin untuk penyakit gout dan diet

diabetes.

Berdasarkan konsistensinya, Almatsier (2005) mengelompokkan makanan

cair menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu makanan cair jernih, makanan cair penuh dan

makanan cair kental. Ada dua formula makanan cair penuh yaitu formula rumah

sakit (FRS) dan formula komersial (FK). Makanan cair penuh formula rumah

sakit terdiri dari: 1) Formula dengan susu full cream atau skim diperuntukkan bagi

pasien dengan gangguan lambung, usus halus tetapi kolon bekerja normal;

2) Makanan hasil blender bila pasien memerlukan tambahan makanan berserat;

3) Formula rendah laktosa untuk pasien yang tidak tahan terhadap laktosa (laktose

intolerance); dan 4) Formula tanpa susu untuk pasien yang tidak tahan protein

susu.

Mahan et. al (2012) mensyaratkan makanan enteral sebagai berikut:

1) Memiliki kepadatan kalori tinggi dengan kepadatan ideal yaitu 1 kcal/mL;

2) Kandungan nutrisinya seimbang yaitu memenuhi kebutuhan energi per hari dan

kebutuhan komponen gizi yang lain; 3) Osmolaritas makanan enteral sesuai

dengan osmolaritas cairan tubuh; 4) Komponen penyusun bahan baku makanan

enteral mudah diabsorpsi sehingga sedikit atau tanpa memerlukan pencernaan;

dan 5) Tanpa atau kurang mengandung serat maupun laktosa. Sedangkan

7

USFDA (1995) menetapkan batas maksimum mikroba aerobik dalam pangan

rumah sakit baik dalam bentuk cair maupun tepung yaitu 104 CFU/g dan Moffit

et al. (1997) menyatakan bahwa CFU/g makanan enteral equivalen ke CFU/mL.

B. PANGAN SIAP SAJI (PSS)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2004 tentang

keamanan, mutu dan gizi pangan menyebutkan bahwa pangan siap saji adalah

makanan dan/atau minuman yang sudah diolah dan siap untuk langsung disajikan

di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan (BPOM 2004). Pada

umumnya, pengendalian mutu dan keamanan pangan siap saji meliputi empat

tahap, yaitu saat pembelian dan penerimaan bahan pangan; saat penyimpanan;

penyiapan dan pengolahan; dan penyajian pangan (Rahayu 2010 ).

Menurut Rahayu (2010) ada delapan prinsip penanganan pangan siap saji

yang dapat diaplikasikan untuk menjaga keamanan pangannya yaitu praktek

higiene karyawan yang ketat; pengendalian waktu dan suhu pengolahan;

memastikan bahan pangan segar disimpan terpisah dengan pangan siap konsumsi;

memastikan kebersihan dan sanitasi permukaan kerja yang kontak dengan pangan;

memasak hingga atau lebih besar dari suhu internal minimum pangan;

mempertahankan suhu pangan panas pada suhu sama atau lebih dari 60 0C atau

suhu pangan dingin pada 5 0C atau lebih rendah; mendinginkan pangan matang

yang panas hingga 5 0C dalam waktu selambatnya 4 jam; memanaskan kembali

pangan untuk disajikan selama lebih dari 15 detik pada suhu internal 74 0C dalam

selang waktu dua jam.

C. KEAMANAN PANGAN

Definisi keamanan pangan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun

2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan adalah kondisi dan upaya yang

diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia,

dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan

manusia. Bahaya adalah suatu faktor yang keberadaannya pada bahan pangan

dapat menimbulkan masalah kesehatan konsumen yaitu meliputi bahaya biologis,

kimia atau fisik (BPOM 2004).

8

Bahaya biologis berasal dari benda hidup; umumnya mikroba, yang

keberadaannya pada bahan pangan menimbulkan masalah kesehatan konsumen.

Mikroba yang dimaksud adalah mikroba patogen yang dapat menyebabkan diare,

sakit perut, muntah sampai gagal ginjal dan dapat menyebabkan kematian

(Hariyadi & Dewanti-Hariyadi 2011). Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi

bahaya biologis yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri

dari pH, kadar air, aktivitas air (aw), nutrien, senyawa anti mikroba, struktur

biologis dan lain-lain. Faktor ekstrinsik terdiri dari suhu, kelembaban, gas (karbon

dioksida, ozon, sulfur dioksida ) dan lain-lain (Winarno 2011b).

Bahaya kimia adalah segala bahan kimia yang bersifat racun; sehingga

mengancam kesehatan manusia. Bahaya kimia ini dapat berasal dari bahan pangan

sendiri, maupun berasal dari luar. Bahaya kimia yang berasal dari bahan itu dapat

berasal dari proses metabolisme bahan ataupun hasil metabolisme mikroba yang

berada pada bahan pangan tersebut. Sedangkan bahaya kimia yang berasal dari

luar, dapat digolongkan dalam bahan bahaya yang masuk secara sengaja

(intentionally) ataupun yang secara tidak sengaja ditambahkan (non-intentionally)

pada bahan pangan (Hariyadi & Dewanti- Hariyadi 2011).

Bahaya fisik bisa berupa fisik bahan pangan itu sendiri ataupun bahan fisik

lain yang keberadaannya dapat mengancam keselamatan konsumen. Bahaya fisik

benda asing dapat berupa pecahan atau patahan tulang, logam, kaca, batang kayu

yang dapat menyebabkan kesehatan atau kecelakaan bagi konsumen. Bahaya fisik

yang disebabkan oleh kondisi fisik bahan pangan itu sendiri, misalnya tekstur dan

ukuran produk (Hariyadi & Dewanti-Hariyadi 2011).

D. GMP (Good Manufacturing Practices)

GMP adalah persyaratan minimum sanitasi dan pengolahan untuk menjamin

pangan yang diroduksinya aman dan bermutu. Tujuan dan perlunya menerapkan

GMP adalah untuk memberikan panduan tata cara khusus (Specific Codes) yang

diperlukan bagi setiap rantai pangan, proses pengolahan, atau penanganan

komoditi bahan pangan untuk mencegah terjadinya kesalahan dan meningkatkan

prinsip pelaksanaan persyaratan higiene yang spesifik bagi masing-masing bidang

tersebut (Winarno 2011a). Panduan tata cara khusus produksi pangan yang baik

dituangkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor

9

75/M-IND/PER/7/2010 yaitu tentang Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan

yang Baik (Good Manufacturing Practices). Ruang lingkup pedoman tersebut

meliputi lokasi, bangunan, fasilitas sanitasi, mesin dan peralatan, bahan,

pengawasan proses, produk akhir, laboratorium, karyawan, pengemas, label dan

keterangan produk, penyimpanan, pemeliharaan dan program sanitasi,

pengangkutan, dokumen dan catatan, pelatihan, penarikan produk dan

pelaksanaan pedoman (Kementerian Perindustrian 2010).

Cara produksi pangan yang baik untuk pangan siap saji menurut Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu

dan Gizi Pangan yaitu cara produksi yang memperhatikan aspek keamanan

pangan, antara lain dengan cara mencegah tercemarnya pangan siap saji oleh

cemaran biologis, kimia dan benda lain yang mengganggu, merugikan dan

membahayakan kesehatan; mematikan atau mencegah hidupnya jasad renik

patogen, serta mengurangi jumlah jasad renik lainnya; dan mengendalikan proses

antara lain pemilihan bahan baku, penggunaan bahan tambahan pangan,

pengolahan, pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan serta cara penyajian

(BPOM 2004).

Pedoman cara produksi pangan siap saji yang baik tersebut dituangkan

dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1096/MenKes/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga. Menurut

peraturan tersebut jasaboga adalah usaha pengelolaan makanan yang disajikan di

luar tempat usaha atas dasar pesanan yang dilakukan oleh perseorangan atau

badan usaha. Pengelolaan makanan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi

penerimaan bahan makanan mentah atau terolah, pembuatan, pengubahan bentuk,

pengemasan, pewadahan, pengangkutan dan penyajian (Kementerian Kesehatan

2011).

Peraturan tersebut menggolongkan jasaboga kedalam tiga kelompok yaitu

golongan A, B dan C. Jasaboga golongan A merupakan jasaboga yang melayani

kebutuhan masyarakat umum, golongan B melayani kebutuhan masyarakat dalam

kondisi tertentu dan golongan C melayani kebutuhan masyarakat di dalam alat

angkut umum internasional dan pesawat udara (Kementerian Kesehatan 2011).

10

Pelayanan jasaboga golongan B meliputi a) asrama haji, asrama transito atau

asrama lainnya, b) industri, pabrik, pengeboran lepas pantai, c) angkutan umum

dalam negeri selain pesawat udara dan d) fasilitas pelayanan kesehatan. Jasaboga

golongan ini akan mendapatkan sertifikat kelaikan fisik higiene sanitasi antara

lain bila telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan minimal 90,2 % dan hasil

pemeriksaan laboratorium terhadap pangan yang dihasilkan menunjukkan

cemaran kimia pada makanan negatif; bakteri E.coli 0/gram contoh; dan tidak

dijumpai adanya mikroba patogen pada penjamah makanan yang diperiksa dengan

cara usap dubur/rectal swab (Kementerian Kesehatan 2011).

Makanan enteral FRS diproduksi oleh unit penyelenggara makanan pada

pelayanan kesehatan. Oleh karena itu pedoman cara produksi makanan enteral

FRS yang baik mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor: 1096/MenKes/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga

khususnya untuk jasaboga golongan B. Persyaratan tersebut meliputi persyaratan

teknis higiene dan sanitasi, cara pengolahan makanan yang baik dan kursus

higiene sanitasi makanan bagi pengusaha/pemilik/penanggungjawab dan

penjamah makanan yang bekerja di jasaboga. Persyaratan tersebut terdiri dari

beberapa parameter. Parameter yang dimaksud tercantum pada Lampiran 1 yaitu

uji kelaikan fisik untuk higiene sanitasi makanan jasaboga (Kementerian

Kesehatan 2011).

Berdasarkan hasil penelitian Oliveira et. al (2000) menyebutkan bahwa

blender yang dipergunakan untuk merekonstitusi makanan enteral menjadi

penyebab utama terjadinya kontaminasi. Oleh karena itu disarankan pencucian

blender dilakukan dengan cara membongkar peralatan dan diikuti dengan sanitasi

menggunakan disinfektan, setiap kali selesai proses. Sumber kontaminasi yang

lain yaitu higiene karyawan, wadah makanan enteral, air atau lingkungan.

Oliveira et al. (2001) juga menyebutkan bahwa hasil penelitian yang

dilakukan terhadap penerapan HACCP makanan enteral di rumah sakit

menemukan bahwa rata-rata suhu lemari pendingin yang dipergunakan untuk

menyimpan makanan enteral siap konsumsi menunjukkan suhu diatas yang

disarankan, yaitu di atas 7 0

C. Menurut Jay et al. (2005) bahwa suhu untuk

penyimpanan dingin idealnya adalah 4,4 0C atau diantara 0 dan 7

0C. Hasil

11

penelitian itu juga menyarankan agar sistem distribusi makanan enteral ke pasien

dilakukan dengan sistem sentralisasi. Ruang pengolahan dibagi menjadi dua

dengan jendela sebagai penghubungnya. Ruang pertama dipergunakan untuk

membersihkan dan mensanitasi peralatan dan ruang kedua hanya untuk

mempersiapkan dan memblender makanan enteral (Oliveira et al. 2001).

12

III. METODOLOGI

A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2012

meliputi tahap penyusunan pedoman dan panduan audit CPMEB, pelaksanaan uji

coba dan aplikasi panduan audit. Uji coba pedoman dan audit dilaksanakan di

rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta. Aplikasi panduan

audit CPMEB dan evaluasi pemenuhannya dilaksanakan di RSPAD Gatot

Soebroto Ditkesad Jakarta setelah pelaksanaan uji coba.

B. BAHAN PENELITIAN

Bahan penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain :

(1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :

1096/MenKes/PER/VI/2011 tentang higiene dan sanitasi jasa boga (CPPSSB-

2011) (2) Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik

Indonesia tahun 2011 Nomor: HK.03.1.23.12.11.10720 tentang Pedoman Cara

Produksi Pangan Olahan yang Baik untuk Formula Bayi dan Formula Lanjutan

Bentuk Bubuk ( CPPOB Formula Bayi-2011b) (3) Keputusan Kepala Badan

Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia tahun 2003 Nomor: HK.

00.05.5.1639 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri

Rumah Tangga (CPPB-IRT 2003).

C. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan melalui pengkajian bahan pustaka tentang pangan

enteral dan peraturan terkait di Indonesia sehingga tersusun pedoman CPMEB

beserta panduan auditnya. Pedoman dan panduan audit diujicobakan di dua rumah

sakit dan berdasarkan hasil uji coba dilakukan penyempurnaan. Aplikasi panduan

audit pemenuhan persyaratan CPMEB dilakukan menggunakan panduan audit

yang telah disempurnakan. Tahapan penelitian tergambar pada Gambar 1

sedangkan tahap penyusunan pedoman dan panduan audit CPMEB tercantum

pada Gambar 2.

14

Pengkajian bahan pustaka

Uji coba di RS X Uji coba di RSPAD Gatot Soebroto

Penyempurnaan

Penerapan di RSPAD Gatot Soebroto

Hasil Evaluasi

REKOMENDASI

Gambar 1. Tahapan penelitian

.

Gambar 2. Tahap penyusunan pedoman dan panduan audit CPMEB

Aspek dan parameter

Pustaka dan

peraturan

yang terkait

Persyaratan - Kriteria penilaian

- Pembobotan

- Penetapan

kategori PEDOMAN

CPMEB

PANDUAN AUDIT

15

1. Penyusunan pedoman CPMEB

Penyusunan pedoman dilakukan melalui dua tahap yaitu pengkajian bahan

pustaka dan peraturan yang terkait; serta penetapan aspek dan parameter yang

dianggap sebagai penentu keamanan makanan enteral.

a. Pengkajian bahan pustaka untuk penentuan CPMEB

Bahan pustaka dan peraturan yang terkait untuk penyusunan pedoman

CPMEB tertera pada Tabel 1. Perihal yang mendasari penetapan bahan pustaka

dan peraturan tersebut adalah sebagai berikut ini:

Makanan enteral FRS dan FK yang telah direkonstitusi termasuk kelompok

pangan siap saji karena setelah diolah langsung dikonsumsi. Hal ini sesuai dengan

yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun

2004 yang menyebutkan bahwa pangan siap saji adalah makanan dan atau

minuman yang sudah diolah dan siap untuk langsung disajikan (BPOM 2004).

Peraturan pemerintah yang mengatur tentang cara produksi pangan siap saji yang

baik (CPPSSB) tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor : 1096/MenKes/PER/VI/2011 tentang higiene sanitasi jasaboga,

Unit pengelola makanan enteral termasuk jasaboga golongan B, sehingga

CPPSSB yang menjadi acuan terutama adalah yang ditujukan untuk jasaboga

golongan B.

Makanan enteral FRS dan FK yang telah direkonstitusi, termasuk pangan

dengan kategori khusus karena konsumennya adalah populasi berisiko terhadap

gangguan kesehatan yaitu orang sakit dengan daya tahan tubuh terbatas. Oleh

karena itu bahan pustaka yang ke dua adalah peraturan cara produksi pangan yang

baik untuk produk dengan kategori khusus. Dalam hal ini pustaka yang

dipergunakan yaitu Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan

Republik Indonesia tahun 2011 Nomor: HK.03.1.23.12.11.10720 tentang

Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik untuk Formula Bayi dan

Formula Lanjutan Bentuk Bubuk (BPOM 2011b).

Perusahaan yang memproduksi formula bayi umumnya adalah perusahaan

besar sedangkan produksi makanan enteral sangat sederhana baik proses maupun

peralatannya. Oleh karena itu mengacu juga pada Pedoman Cara Produksi Pangan

16

yang Baik untuk Industri Rumah Tangga tahun 2003. Peraturan tersebut

tercantum dalam Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan

Republik Indonesia tahun 2003 Nomor: HK. 00.05.5.1639 tentang Pedoman Cara

Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT) (BPOM

2003). Disamping itu juga karena unsur pada pedoman CPPB-IRT 2003

terdeskripsi dengan jelas dibandingkan pada CPPSSB-2011 dan pedoman

pemeriksaan sarana produksinya tersusun secara simpel, praktis dan mudah

dipahami.

Tabel 1. Peraturan pemerintah dan pustaka yang terkait dengan penyusunan

pedoman dan panduan audit CPMEB.

No.

Bahan Pustaka

Perihal/judul

Penyusun/penulis,

tahun terbit

1

2.

3.

Utama

Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor :

1096/MenKes/PER/VI/2011

Peraturan Kepala Badan Pengawas

Obat dan Makanan Republik

Indonesia tahun 2011 Nomor:

HK.03.1.23.12.11.10720.

Keputusan Kepala Badan

Pengawas Obat dan Makanan

Republik Indonesia tahun 2003

Nomor: HK. 00.05.5.1639

Higiene sanitasi jasaboga

Pedoman Cara Produksi

Pangan Olahan yang Baik

untuk Formula Bayi dan

Formula Lanjutan Bentuk

Bubuk

Pedoman Cara Produksi

Pangan yang Baik untuk

Industri Rumah Tangga

(CPPB-IRT).

Kementerian

Kesehatan, 2011

Badan Pengawas

Obat dan Makanan,

2011

Badan Pengawas

Obat dan Makanan

2003

1.

2.

Pendukung

J Nutrition 16: 729-733

J Human Nutr Dietetic 14:397-403

Microbiological quality

of reconstituted enteral

formulation used in

hospital.

Application of Hazard

Analysis Critical Control

Pointsystem to enteral

tube feeding in hospital.

Oliveira MH, Bonelli

R, Aidoo KE, Batista

CRV, 2000

Oliveira MR, Batista

CRV, Aidoo KE,

2001.

17

b. Penetapan aspek dan parameter

Penetapan aspek dan parameter yang menjadi persyaratan CPMEB

dilakukan dengan cara menyandingkan, mengkaji dan menggabungkan bahan

pustaka yang tertera pada Tabel 1. Aspek dan parameter pada CPPSSB-2011

disebut dengan uraian, item atau obyek pemeriksaan. Obyek pemeriksaan yang

harus dinilai tercantum pada formulir 3 peraturan tersebut. Formulir tersebut

berjudul uji kelaikan fisik untuk higiene sanitasi makanan jasaboga seperti

tercantum pada Lampiran 1. Ada beberapa obyek pemeriksaan yang tercantum

pada pedoman dan berpengaruh terhadap persyaratan CPMEB tetapi tidak

tercantum pada formulir 3. Obyek tersebut ikut disandingkan untuk dikaji.

Aspek dan parameter yang terdapat pada CPPOB Formula Bayi-2011 tidak

tersusun khusus dalam satu formulir tetapi masih dalam bentuk uraian pedoman.

Oleh karena itu dalam rangka menyandingkan dengan aspek dan parameter dari

pedoman yang lain diambil inti sari yang tercantum dalam pedoman.

Aspek dan parameter pada CPPB-IRT 2003 disebut dengan group dan

unsur. Group dan unsur yang harus diperiksa tercantum dalam formulir

pemeriksaan sarana produksi perusahaan pangan industri rumah tangga (IRT).

Formulir yang dimaksud dapat dilihat pada Lampiran 2.

Aspek dan parameter yang berasal dari pustaka pendukung yaitu faktor

yang berdasarkan penelitiannya mempengaruhi keamanan makanan enteral.

Kumpulan aspek dan parameter hasil kajian, selanjutnya dilengkapi dengan

persyaratan-persyaratan yang dapat mengendalikan keamanan makanan enteral

sehingga tersusun pedoman. Pedoman yang tersusun disebut pedoman CPMEB

draf 1.

2. Penyusunan panduan audit CPMEB.

Penyusunan panduan audit CPMEB dalam hal ini yaitu menyusun panduan

audit sarana produksi unit penyedia makanan enteral di rumah sakit dan disusun

berdasarkan pedoman CPPB-IRT 2003. Maksud dan tujuannya adalah agar

evaluasi pemenuhan persyaratan CPMEB dapat dilakukan dengan mudah dan

terukur. Susunan panduannya yaitu sebagai berikut: pendahuluan yang berisi

18

penjelasan tentang persiapan yang harus dilakukan oleh auditor sebelum

melaksanakan audit; formulir pemeriksaan sarana produksi; kriteria penilaian

masing-masing parameter; cara penilaian; dan tindak lanjut/saran perbaikan. Pada

uraian cara penilaian, diperlukan skala penilaian (bobot) setiap aspek dan cara

menentukan kategori atau menyimpulkan hasil pemeriksaan. Oleh karena itu perlu

diuraikan metode penentuan bobot dan penetapan kategori atau pengambilan

kesimpulan hasil pemeriksaan.

a. Penentuan bobot pada aspek.

Penentuan bobot pada CPMEB dimaksudkan untuk menentukan kelompok

aspek utama yaitu aspek-aspek yang dianggap mempunyai peluang risiko

keamanan makanan enteral lebih besar dibandingkan aspek yang lain.

Pembobotan yang diterapkan CPPSSB-2011 yaitu dengan memberikaan bobot

pada setiap obyek pemeriksaan dengan bobot terendah 1 (satu) dan tertinggi

5 (lima). Obyek pemeriksaan yang berbobot 3, 4 dan 5 harus segera diperbaiki

jika ternyata mengalami penyimpangan (Kementerian Kesehatan 2011). Dengan

kata lain obyek pemeriksaan yang berbobot 3, 4 dan 5 adalah obyek pemeriksaan

yang dianggap sangat berpengaruh terhadap pengendalian keamanan makanan

jasaboga. Sedangkan dalam pedoman pemeriksaan sarana produksi perusahaan

pangan IRT 2003 ditentukan bahwa ada 4 (empat) aspek yang dianggap lebih

penting dibandingkan dengan 8 (delapan) aspek lainnya. Keempat aspek ini

dikategorikan sebagai kelompok utama dalam pemeriksaan (BPOM 2003).

Penentuan aspek utama pada CPMEB dilakukan dengan cara

menyandingkan dan mengkaji kelompok yang sangat berpengaruh terhadap

keamanan makanan jasaboga pada CPPSSB 2011 yaitu obyek pemeriksaan yang

berbobot 3, 4 dan 5; kelompok utama pada CPPB-IRT 2003; dan pustaka

pendukung terkait makanan enteral di rumah sakit. Selanjutnya kelompok hasil

kajian dan gabungan, disebut kelompok aspek utama untuk persyaratan CPMEB.

b. Penetapan kategori hasil pemeriksaan.

Penetapan kategori hasil audit sarana produksi unit penyedia makanan enteral

di rumah sakit dikaji dari yang diterapkan pada CPPSSB-2011 dan CPPB-IRT

19

2003. Pada CPPSSB-2011 penilaian dilakukan terhadap obyek pemeriksaan. Nilai

berkisar antara 0 dan 5 tergantung bobot obyek pemeriksaan. Obyek pemeriksaan

yang berbobot 1 diberi penilaian 0 atau 1. Obyek pemeriksaan yang berbobot 2

diberi penilaian 0, 1 atau 2 dan seterusnya sesuai keadaan di lapangan. Dalam

pedoman tersebut tidak tercantum penjelasan tentang kriteria penilaian masing-

masing obyek pemeriksaan. Sedangkan dalam pedoman pemeriksaan sarana

produksi perusahaan pangan IRT 2003 penilaian dilakukan pada unsur. Penilaian

didasarkan pada sejauh mana kondisi yang dinilai memenuhi persyaratan yang

telah ditetapkan. Kondisi baik diberi nilai B atau 3, kondisi cukup diberi nilai C

atau 2 dan kondisi kurang diberi nilai K atau 1. Petunjuk nilai B, C atau K

terdeskripsi dalam kriteria penilaian unsur. Selanjutya penilaian terhadap

parameter direkapitulasi dan dirata-ratakan menjadi penilaian aspek. Cara

penilaian parameter dan aspek CPMEB dibuat mirip dengan yang termuat dalam

CPPB-IRT 2003 karena penilaian unsur dalam CPPB-IRT 2003 lebih terdiskripsi

dengan baik dan mudah diterapkan dibandingkan penilaian obyek pemeriksaan

yang terdapat dalam CPPSSB 2011. Pedoman dan panduan audit sarana produksi

unit penyedia makanan enteral di rumah sakit yang tersusun (draf 1) selanjutnya

di ujicobakan di rumah sakit .

3. Uji coba pedoman dan panduan audit CPMEB di rumah sakit.

Uji coba pedoman CPMEB dilakukan di dua rumah sakit. Uji coba pertama

dilakukan di rumah sakit yang kondisinya mirip dengan kondisi rumah sakit yang

akan dijadikan tempat penelitian yaitu rumah sakit X di Jakarta Timur. Kemiripan

tersebut yaitu tersedianya ruangan khusus untuk produksi makanan enteral. Uji

coba ke dua dilakukan di rumah sakit yang akan dijadikan tempat penelitian dan

dilakukan sebelum pelaksanaan penelitian yang sebenarnya yakni di RSPAD

Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.

Petugas yang akan melaksanakan penilaian harus telah mempelajari dan

menguasai draf pedoman cara produksi makanan enteral yang baik (CPMEB) dan

panduan auditnya. Data uji coba diperoleh dari wawancara dengan petugas dan

juga peninjauan langsung di unit penyedia makanan cair di rumah sakit X dan

RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.

20

Di rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta belum ada

tim audit khusus untuk memonitor proses produksi makanan enteral. Oleh karena

itu uji coba pedoman CPMEB di rumah sakit X dilakukan oleh 2 (dua) orang ahli

gizi yang bertanggungjawab memonitor pelaksanaan produksi makanan cair.

Sesuai tanggungjawabnya satu orang melakukan uji coba pada aspek pengolahan

dan yang lain pada aspek higiene dan sanitasi. Penilaian dua orang tersebut

dikompilasi menjadi satu. Di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta juga

dilakukan oleh 2 (dua) orang ahli gizi. Satu orang pernah bertanggungjawab

mengawasi pelaksanaan proses makanan enteral dan satu orang lainnya masih

aktif melaksanakan tanggungjawab tersebut. Hasil penilaian tidak dikompilasi

karena masing-masing ahli gizi berwenang memonitor seluruh aspek proses

produksi makanan enteral.

4. Penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB

Berdasarkan hasil uji coba pedoman CPMEB, diinventarisasi aspek dan

parameter yang belum cocok untuk mengevaluasi penerapan CPMEB; yang tidak

mudah dipahami oleh petugas terkait; dan yang menimbulkan persepsi berbeda

antar penilai. Selanjutnya aspek dan parameter tersebut disempurnakan sehingga

tersusun pedoman dan panduan audit CPMEB draf 2.

5. Aplikasi panduan audit CPMEB pada unit penyedia makanan enteral di

RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.

Aplikasi panduan audit CPMEB dimaksudkan untuk mengevaluasi

pemenuhan persyaratan CPMEB pada unit penyedia makanan enteral di RSPAD

Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta. Pelaksanaan evaluasi menggunakan panduan

audit sarana produksi pada unit penyediaan makanan enteral di rumah sakit draf 2

seperti yang tercantum pada Lampiran 5. Hasil evaluasi dibandingkan dengan

persyaratan standar yang telah dikembangkan yaitu pedoman CPMEB draf 2.

Evaluasi dilakukan terhadap kesenjangan antara hasil pemeriksaan dan

persyaratan. Data diperoleh dengan cara mengamati keadaan nyata di unit

penyedia makanan enteral, wawancara dan pencatatan data yang ada di rumah

sakit.

21

Seperti disebutkan sebelumnya bahwa tim audit internal CPMEB di

RSPAD Gatot Soebroto Dirkesad Jakarta secara resmi belum ada, tetapi ada

karyawan yang diberi tugas untuk melakukan pengecekan, pengawasan dan

evaluasi. Karyawan ini bertanggungjawab untuk memberikan masukan perbaikan

penerapan CPMEB. Oleh karena itu pelaksanaan audit pada penelitian ini

dilakukan oleh karyawan tersebut ditambah 2 (dua) orang yang pernah bertugas

sebagai penanggungjawab pelaksanaan dapur sonde dan peneliti. Selanjutnya

hasil penilaian tersebut dirata-ratakan sebagai hasil akhir evaluasi.

6. Penyusunan rekomendasi untuk pemenuhan persyaratan CPMEB pada

unit penyedia makanan enteral di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad

Jakarta.

Rekomendasi disusun berdasarkan hasil evaluasi pemenuhan CPMEB.

Aspek utama menjadi prioritas untuk segera diperbaiki jika ternyata berdasarkan

hasil audit ditemukan terjadi penyimpangan dari persyaratan yang seharusnya.

Selanjutnya diikuti dengan perbaikan aspek lainnya.

22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENYUSUNAN PEDOMAN CPMEB

Penetapan aspek dan parameter.

Proses dan hasil penetapan aspek serta parameter CPMEB dapat dilihat

pada Lampiran 3 yang berisi perbandingan peraturan pemerintah CPPSSB-2011,

CPPOB Formula bayi-2011, CPPB-IRT 2003, serta pustaka-pustaka yang

mendukung. Hasil kajian menunjukkan bahwa ada 13 aspek yang dianggap

sebagai penentu keamanan makanan enteral. Aspek tersebut adalah (1) Bangunan

dan Fasilitas (2) Ruang Produksi (3) Peralatan Produksi (4) Fasilitas Sanitasi

(5) Penyimpanan (6) Pengendalian Proses (7) Manajemen Pengawasan

(8) Pengendalian Hama (9) Higiene Karyawan (10) Penyaluran Makanan

(11) Pelatihan (12) Pemberian Makanan Enteral kepada Pasien (13) Pencatatan

dan Dokumentasi.

Aspek lokasi pada ketiga peraturan yang dijadikan acuan pada prinsipnya

mensyaratkan hal yang sama yaitu berada di daerah yang jauh dari sumber

kontaminasi. CPMEB tidak mensyaratkan aspek lokasi sebagai sarana yang harus

diperiksa karena unit makanan enteral merupakan bagian dari unit gizi rumah

sakit dan persyaratan lokasi unit gizi sudah termasuk dalam persyaratan rumah

sakit.

Diantara 13 aspek tersebut ada beberapa aspek yang persyaratannya

mengikuti CPPSSB-2011 dan CPPB-IRT 2003 karena pada prinsipnya

kebutuhannya sama. Aspek yang dimaksud antara lain bangunan dan fasilitas;

fasilitas dan sanitasi; manajemen pengawasan; pengendalian hama; higiene

karyawan; pelatihan; serta pencatatan dan dokumentasi.

Aspek peralatan produksi; penyimpanan; dan pengendalian proses

sebagian parameter penyusunnya dipersyaratkan sama dengan CPPSSB-2011

ditambah dengan parameter khusus tentang makanan enteral. Aspek peralatan

produksi untuk parameter prosedur pengelolaan sanitasi blender menjadi

parameter tersendiri tidak tergabung dalam parameter pemeliharaan kebersihan

dan sanitasi peralatan. Hal ini disebabkan karena berdasarkan penelitian Oliveira

et al. (2000) penyebab utama terjadinya kontaminasi pada penyiapan makanan

24

enteral berasal dari blender yang dipergunakan untuk merekonstitusi makanan

enteral. Oleh karena itu pengelolaan sanitasi blender diamati secara khusus. Pada

aspek penyimpanan terdapat parameter makanan enteral. Kadang-kadang

makanan enteral FRS maupun FK yang telah direkonstitusi tidak langsung

dikonsumsi. Pada kasus seperti ini makanan enteral harus segera disimpan pada

suhu antara 0 dan 7

0C seperti yang disebutkan oleh Jay et al. (2005). Suhu

penyimpanan makanan enteral harus dikendalikan dan menjadi parameter kritis.

Berdasarkan penelitian Oliveira et al. (2001) ditemukan bahwa rata-rata suhu

lemari pendingin di rumah sakit yang dipergunakan untuk menyimpan makanan

enteral siap konsumsi menunjukkan suhu diatas 70C. Tingginya suhu lemari

pendingin disebabkan karena lemari pendingin sering dibuka dan ditutup karena

dipergunakan untuk menyimpan makanan lain. Aspek pengendalian proses

didefinisikan sebagai tahap yang harus diamati mulai dari bahan baku sampai

dengan siap dikonsumsi pasien. Parameter penyimpanan makanan enteral tidak

masuk ke aspek ini karena penyimpanan makanan enteral bukan proses yang

harus selalu dijalani sehingga dimasukkan ke dalam aspek penyimpanan. Istilah

kemasan pada CPPB-IRT 2003 menjadi wadah pada CPMEB, karena pada

dasarnya makanan enteral FRS tidak dikemas tetapi ditempatkan dalam suatu

wadah dan siap untuk dikonsumsi. Pengamatan terhadap wadah terbagi menjadi

parameter jenis wadah; dan volume wadah. Persyaratan sanitasi wadah diperketat

dengan mengacu pada CPPOB Formula bayi-2011 dalam hal panduan untuk

menyiapkan dan menyajikan formula bayi, khususnya cara membersihkan dan

sanitasi peralatan. Volume wadah dimunculkan dalam parameter tersendiri dan

persyaratan dibuat lebih ketat yaitu hanya berisi satu porsi untuk menghindari

dilakukannya penuangan. Penuangan berisiko terjadi kontaminasi. Beattie dan

Anderton (2001) menyarankan agar makanan enteral yang telah direkonstitusi

di dalam blender dimasukkan secara kontinyu ke dalam wadah steril tertutup.

Penuangan makanan enteral dari blender secara tidak kontinyu akan

meningkatkan jumlah mikroba dari ≤ 20 CFU/mL menjadi 1,8 X 103 sampai

9,3 X 103 CFU/mL. Parameter lain yang khas untuk CPMEB yaitu keterangan

produksi yang harus dicantumkan pada setiap wadah. Produksi makanan enteral

sangat bervariasi dan kekeliruan peruntukkan sangat membahayakan pasien oleh

25

karena itu keterangan produksi harus ditempel pada setiap wadah dan dilakukan

ssecara konsisten..

Aspek penyaluran (distribusi) makanan pada CPPB-IRT tidak

disyaratkan secara khusus dan pada CPPSSB-2011 hanya merupakan bagian dari

obyek pemeriksaan perlindungan makanan. Pada CPMEB dimunculkan dalam

aspek tersendiri agar teramati secara konsisten. Pada proses pembuatan makanan

enteral FRS sebagian besar tidak ada proses yang bersifat mengawet dan makanan

enteral termasuk kategori pangan khusus sehingga kontaminasi harus selalu

dicegah. Menurut Jorge (2000) mikroba penyebab penyakit tumbuh dan

berkembang biak pada suhu 5 sampai 60 0C, sehingga untuk menjaga agar

makanan aman, jangan biarkan makanan berada pada suhu tersebut lebih dari

4 jam.

Pemberian makanan enteral kepada pasien harus dilakukan mengikuti

langkah-langkah yang telah ditetapkan dalam Standard Operational Procedure

(SOP). Isi SOP harus mengandung unsur higiene sanitasi dan harus selalu ditaati.

Aspek ini tidak dipersyaratkan pada CPPSSB-2011 maupun CPPB-IRT 2003.

Pada CPMEB dimunculkan pada aspek tersendiri karena berdasarkan penelitian

Best (2008) walaupun makanan enteral telah tersedia dalam keadaan steril dan

pedoman sistem penyajian makanan enteral juga tersedia tetapi tetap terjadi

kontaminasi. Terindikasi bahwa sebagai sumber utama terjadinya kontaminasi

adalah terjadinya kesenjangan antara praktek di lapangan oleh perawat sebagai

petugas pemberian makanan enteral kepada pasien dengan standar yang

direkomendasikan.

Persyaratan aspek ruang produksi khususnya parameter kondisi ruangan

dan parameter letak ruangan dibuat lebih ketat dibandingkan dengan persyaratan

pada CPPSSB-2011 maupun CPPB-IRT 2003. Hal ini disebabkan karena

akreditasi rumah sakit mensyaratkan ruang khusus untuk ruang sonde (terpisah

dari dapur gizi). Makanan enteral termasuk pangan berkategori khusus dan ruang

produksi dapat menjadi sumber kontaminasi silang yang potensial jika kebersihan

dan sanitasi tidak terpelihara dengan baik sehingga ruang produksi dikondisikan

sebagai high higiene area (HHA). Persyaratan mengacu pada persyaratan

26

CPPOB Formula bayi-2011. Hasil penyusunan pedoman CPMEB tercantum pada

Lampiran 4.

B. PENYUSUNAN PANDUAN AUDIT CPMEB

Hasil penyusunan panduan audit CPMEB tercantum pada Lampiran 5 yaitu

panduan audit sarana produksi pada unit penyedia makanan enteral di rumah sakit.

Sedangkan pembahasan penentuan bobot pada aspek dan penetapan kategori hasil

pemeriksaan dibahas pada sub bab ini.

1. Penentuan bobot pada aspek.

Penentuan bobot pada aspek dilakukan dengan cara menetapkan kelompok

aspek utama. Penetapan kelompok aspek utama dilakukan dengan cara

menyandingkan, mengkaji dan menggabungkan obyek pemeriksaan pada

CPPSSB-2011, group utama pada CPPB-IRT 2003 dan titik kritis dalam HACCP.

Proses dan hasil penetapan kelompok utama CPMEB dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan kelompok yang sangat berpengaruh terhadap keamanan

pangan pada CPPSSB 2011, CPPB-IRT 2003 dan pustaka pendukung.

CPPSSB- 2011 CPPB-IRT 2003 Pustaka

pendukung

Usulan

CPMEB

No. Obyek pemeriksaan

Group

Group & unsur (*) Aspek

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

9.

11.

AIR BERSIH

Sumber air bersih

aman, jumlah cukup

dan bertekanan.

FASILITAS CUCI

TANGAN DAN

TOILET

Jumlah cukup,

tersedia sabun,

nyaman dipakai dan

mudah dibersihkan.

D.

SUPLAI AIR

1.Sumber air

2.Penggunaan air

3.Air yang kontak

langsung dengan

pangan.

_

Fasilitas

sanitasi

27

Tabel 2. Perbandingan kelompok yang sangat berpengaruh terhadap keamanan

pangan pada CPPSSB 2011, CPPB-IRT 2003 dan pustaka pendukung

(lanjutan).

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

15.

KARYAWAN

Semua karyawan

yang bekerja bebas

dari penyakit menular

seperti penyakit kulit,

bisul, luka terbuka

dan ISPA.

G.

KESEHATAN DAN

HIGIENE

KARYAWAN

1.Kesehatan karyawan

meliputi pemeriksaan

kesehatan dan

kesehatan karyawan

Higiene

karyawan

16.

Tangan selalu dicuci

bersih, kuku dipotong

pendek, perilaku

higienis dan bebas

kosmetik

2.Kebersihan karyawan

meliputi kebersihan

badan, pakaian dan

tangan serta

perawatan luka.

3.kebiasaan karyawan

meliputi perilaku

karyawan

18.

MAKANAN

Sumber makanan,

keutuhan dan tidak

rusak.

H.

PENGENDALIAN

PROSES 1.Penetapan spesifikasi

bahan baku.

2.Penetapan komposisi

dan formulasi bahan.

3.Penetapan cara

produksi yang baku.

4.Penetapan spesifikasi

Kemasan.

5.Penetapan tanggal

kadaluarsa dan kode

produksi.

_

Pengendali

an Proses.

20.

PERLINDUNGAN

MAKANAN

Penanganan makanan

yang potensi

berbahaya pada suhu,

cara dan waktu yang

memadai selama

penyimpanan,

peracikan, persiapan

penyajian dan

pengangkutan

makanan serta

melunakkan makanan

beku sebelum

dimasak (thawing).

Suhu

penyimpan-

an makanan

enteral

Penyimpan

an

28

Tabel 2. Perbandingan kelompok yang sangat berpengaruh terhadap keamanan

pangan pada CPPSSB 2011, CPPB-IRT 2003 dan pustaka pendukung

(lanjutan).

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

40. Tersedia Lemari

pendingin mencapai

suhu – 100C

dilengkapi dengan

thermometer

pengontrol

24.

PERALATAN

MAKAN DAN

MASAK

Proses pencucian

melalui tahapan

mulai dari

pembersihan sisa

makanan,

perendaman,

pencucian dan

pembilasan

Pencucian

dan sanitasi

blender

Peralatan

produksi

25.

26.

Bahan racun/

pestisida disimpan

tersendiri di tempat

yang aman,

terlindung,

menggunakan label/

tanda yang jelas

untuk digunakan.

Perlindungan

terhadap serangga,

tikus, hewan

peliharaan dan hewan

pengganggu lainnya.

F.

PENGENDALIAN

HAMA

1.Hewan peliharaan

2.Pencegahan

masuknya hama

3.Pemberantasan hama

_

Pengen-

dalian

hama

35.

Tersedia kendaraan

khusus pengangkut

makanan

_

_

Penyaluran

makanan

Akreditasi rumah

sakit mensyaratkan

ruang khusus bagi

dapur sonde.

_

Ruang

pengolahan

hanya untuk

mempersiap

kan dan

memblender

makanan

enteral

Ruang

produksi

(*) Sumber : Oliveira et al (2001)

29

Berdasarkan kajian data pada Tabel 2, obyek pemeriksaan pada

CPPSSB-2011, group & unsur pada CPPB-IRT 2003 dan pustaka pendukung

dapat dikonversikan kedalam aspek dan parameter CPMEB. Dengan demikian

aspek yang kemungkinan dapat dikelompokkan dalam aspek utama CPMEB

adalah fasilitas sanitasi; higiene karyawan; pengendalian proses; penyimpanan;

peralatan produksi; pengendalian hama; penyaluran makanan; dan ruang

produksi.

Aspek fasilitas sanitasi dan aspek pengendalian hama sudah menjadi

persyaratan pada penyelenggaraan makanan unit gizi secara menyeluruh sehingga

tidak sulit untuk dipenuhi. Dengan demikian aspek fasilitas sanitasi dan aspek

pengendalian hama tidak dijadikan sebagai aspek utama. Higiene karyawan, pada

CPPSSB-2011 berbobot 5 dan pada CPPB-IRT 2003 menjadi aspek utama

sehingga pada CPMEB pun perlu dimasukkan dalam aspek utama. Proses

pembuatan makanan enteral sangat sederhana, distribusi pendek, konsumennya

jelas, mudah dilaksanakan dan jika dibuatkan SOP mudah dipahami sehingga

mudah diterapkan. Penetapan spesifikasi bahan baku sudah menjadi persyaratan

pengadaan bahan baku makanan pasien secara keseluruhan. Oleh karena itu

kelompok aspek pengendalian proses tidak dijadikan kelompok utama.

Suhu penyimpanan makanan enteral merupakan titik kritis dalam HACCP

(Oliveira et al 2001), obyek pemeriksaan perlindungan makanan pada CPPSSB-

2011 mempunyai bobot 5 (lima) sehingga aspek penyimpanan layak dimasukkan

kedalam aspek utama. Peralatan pada proses pembuatan makanan enteral sebagian

besar bersentuhan langsung dengan produk dan setelah terjadi kontak tidak ada

proses yang dapat membunuh mikroba sehingga aspek peralatan perlu

dimasukkan dalam aspek utama. Makanan enteral umumnya dibuat 1 (satu) jam

sebelum jadwal distribusi. Jarak antara ruang produksi makanan enteral ke ruang

rawat inap umumnya ditempuh paling lama setengah jam dan dikonsumsi paling

lama 1 (satu) jam kemudian. Waktu antara proses dan konsumsi kurang dari

4 (empat) jam sehingga risiko keamanan pangan rendah karena peningkatan

jumlah mikroorganisme sedikit. Oleh karena itu aspek penyaluran tidak

dimasukkan dalam aspek utama. Ruang produksi harus dikondisikan sebagai high

higiene area sehingga ruang produksi harus menjadi aspek utama. Dengan

30

demikian aspek yang ditetapkan sebagai aspek utama pada pedoman CPMEB draf

1 adalah ruang produksi; peralatan produksi; higiene karyawan; dan penyimpanan.

2. Penetapan kategori hasil pemeriksaan

Penetapan kategori hasil pemeriksaan dipergunakan untuk menyimpulkan

pemenuhan persyaratan CPMEB. Kesimpulan didasarkan pada nilai total dan

sebaran nilai aspek. Nilai aspek dihitung dengan cara menjumlahkan nilai

parameter pada setiap aspek, dirata-ratakan dan dibulatkan ke atas atau ke bawah.

Nilai total yaitu menjumlahkan nilai seluruh aspek dirata-ratakan dan dibulatkan

ke atas atau ke bawah. Sebaran nilai aspek yaitu menentukan kategori nilai untuk

aspek utama dan aspek lainnya. Penilaian akhir dikelompokkan ke dalam kategori

B (baik), C (cukup) dan K (kurang). Dengan memadukan cara penilaian akhir

CPPSSB-2011 dan CPPB-IRT 2003, maka pada CPMEB dapat dilakukan dengan

cara seperti yang tercantum pada Tabel 3.

Pada CPPSSB-2011 disebutkan bahwa persyaratan higiene dan sanitasi

perusahaan jasaboga golongan B dinyatakan memenuhi persyaratan jika mendapat

nilai akhir minimal 83 dari nilai total 92 atau 90,2 %. Jika nilai akhir dibawah

70 % maka kepada pengusaha jasaboga diminta untuk menghentikan kegiatannya

dan segera memperbaiki diri dalam waktu 24 jam. Bila tidak dapat memenuhi

peringatan tersebut dapat berakibat pencabutan sementara izin usaha dari

Pemerintah Daerah/Administrator Pelabuhan. Jika nilai akhir berada diantara

keduanya maka harus segera memperbaiki, didahului dengan aspek utama

(Kementerian Kesehatan 2011).

Penilaian akhir pada CPPB-IRT 2003 diklasifikasikan menjadi tiga

golongan yaitu golongan baik bila empat group utama semuanya mendapat nilai

baik dan group lainnya maksimum 2 (dua) yang mendapat nilai kurang; golongan

cukup bila 4 (empat) group utama mendapat nilai baik atau cukup dan group

lainnya minimal 5 (lima) yang mendapat nilai cukup; golongan kurang bila tidak

memenuhi kriteria cukup (BPOM 2003). Panduan penilaian akhir CPMEB

disusun berdasarkan pada perpaduan antara pedoman penilaian akhir CPPSSB

2011 dan CPPB-IRT 2003.

31

Tabel 3. Cara penilaian akhir yang diterapkan pada CPPSSB-2011,

CPPB-IRT 2003 serta yang dirancang untuk CPMEB.

CPPSSB-2011 CPPB-IRT 2003 CPMEB

Kisaran nilai tergantung bobot:

Bobot 1 : nilai 0 atau 1

Bobot 2 : nilai 0, 1 atau 2

Bobot 3 : nilai 0,1,2 atau 3

Dan seterusnya. Tidak terdapat

penjelasan kriterian nilai.

Penilaian dikategorikan:

B (baik), C (cukup) atau K

(kurang).

Terdapat penjelasan tentang

kriteria nilai.

Penilaian dikategorikan

B (baik), C (cukup) atau K

(kurang).

Disusun penjelasan tentang

kriteria nilai.

Penetapan bobot :

Obyek yang berbobot 3, 4 dan 5

harus segera diatasi jika terjadi

penyimpangan (obyek utama)

Penetapan bobot :

Telah ditetapkan group

utama yaitu group yang

menjadi prioritas utama

untuk diperbaiki.

Penetapan bobot:

Ditetapkan aspek utama

yaitu aspek yang menjadi

prioritas utama untuk

diperbaiki.

Penilaian akhir

Sertifikat laik higiene untuk

jasaboga golongan B diberikan

bila:

-memperoleh nilai 83 dari 92 nilai

total atau mencapai nilai 90,2%.

-Harus segera memperbaiki

penyimpangan obyek yang

berbobot 3, 4 dan 5 paling lama

10 hari.

-Jika score penyimpangan ≤15%

semua penyimpangan bobot 1 & 2

harus segera diperbaiki sampai

waktu pemeriksaan berikutnya.

-Jika penyimpangan 16-30%

objek berbobot 1 & 2 harus segera

diperbaiki dengan waktu

maksimal 30 hari.

-Jika penyimpangan > 30%

kegiatan harus dihentikan dan

segera memperbaiki diri dalam

waktu 24 jam. Jika tidak

dilaksanakan ijin dicabut

Penilaian akhir didasarkan

atas sebaran nilai aspek

utama dan aspek lainnya.

B (baik) jika 4 group utama

semuanya mendapat nilai B

dan group lainnya maksimal

2 yang mendapat nilai

kurang (4B dan 6C-2K) .

C (cukup) jika 4 group

utama mendapat nilai B atau

C dan group lainnya

minimal 5 yang mendapat

nilai cukup (4C dan 5C-3K).

K (kurang jika tidak

memenuhi kategori cukup.

Penilaian akhir didasarkan

atas nilai total dan sebaran

nilai aspek utama dan

aspek lainnya. Nilai total

maksimal 39 (13 aspek

x 3)

B (baik) jika mencapai

nilai minimal 90% dari

total yaitu 35. Jika

dikonversi kedalam

sebaran nilai aspek yaitu

bila seluruh aspek utama

bernilai B dan minimal 5

(lima) aspek yang lain juga

memperoleh nilai B serta

tanpa ada nilai K (4B dan

5B-4C )

C (cukup) jika mencapai

nilai minimal 77% dari

nilai total yaitu 30. Jika

dikonversi ke dalam

sebaran nilai aspek yaitu

bila seluruh aspek utama

bernilai baik dan minimal

9 (sembilan) aspek yang

lain memperoleh nilai C

serta tanpa ada nilai K (4B

dan 9C ).

K (kurang) jika tidak

mencapai nilai cukup.

32

Makanan enteral termasuk pangan dengan kategori khusus sehingga

dalam penentuan penilaian akhir dibuat lebih ketat dibandingkan dengan

pangan siap saji dan industri rumah tangga. Bentuk pengetatan mengacu pada

peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia

Nomor HK.03.1.52.08.11.07235 tahun 2011 tentang Pengawasan Formula Bayi

dan Formula Bayi untuk keperluan Medis Khusus pasal 6 ayat 1. Pada pasal

tersebut disebutkan bahwa pelaku usaha yang memproduksi Formula Bayi

dan/atau Formula Bayi untuk keperluan Medis Khusus wajib menerapkan Cara

Produksi yang Baik dan Sistem Pengendalian Bahaya Pada Titik Kritis (Hazard

Analysis and Critical Control Point/HACCP) (BPOM 2011a). Bentuk pengetatan

pada CPMEB yaitu seluruh aspek utama harus bernilai B (baik) dan tidak

diperbolehkan ada nilai K (kurang) untuk seluruh aspek lainnya. Persyaratan ini

hanya dapat dipenuhi oleh rumah sakit yang pelayanan gizinya telah terakreditasi.

Pemenuhan persyaratan akreditasi pelayanan gizi yaitu antara lain dapur sonde

harus terpisah dari dapur gizi.

Pada CPMEB terdapat 13 aspek yang harus dinilai. Total nilai akhir

maksimum dicapai bila semua aspek mempunyai kategori baik (B) yaitu nilai 3.

Dengan demikian total nilai akhir maksimum menjadi 39. Mengacu pada CPPSSB

2011 yaitu bahwa jasaboga golongan B akan mendapatkan sertifikat kelaikan

fisik higiene sanitasi antara lain bila telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan

minimal 90,2 % maka total nilai akhir minimal yang harus dicapai untuk

mendapatkan kategori baik pada pemenuhan CPMEB yaitu 90% dari 39 sama

dengan 35. Jika dikonversi ke dalam sebaran nilai aspek yaitu bila seluruh aspek

utama bernilai B dan minimal 5 (lima) aspek yang lain juga memperoleh nilai B

serta tanpa ada nilai K (4B dan 5B-4C).

Mengacu pada CPPSSB 2011 kembali yaitu bahwa perusahaan/unit

pengelolan tidak boleh beroperasi bila nilainya kurang dari 70 % , maka

pemenuhan persyaratan CPMEB dikatakan cukup bila total nilai akhir minimal

yang harus dicapai 70 % dari 39 sama dengan 27. Konversi nilai tersebut ke dalam

sebaran nilai aspek menjadi 1B-3C dan 9C. CPMEB mensyaratkan seluruh aspek

utama bernilai B dan tanpa nilai K oleh karena itu minimal sebaran nilai aspek

yaitu 4B dan 9C=30 atau 77 % dari 39. Dengan demikian pemenuhan

33

persyaratan CPMEB dikatakan berkategori cukup bila total nilai akhir

minimal 30. Jika dikonversi ke dalam sebaran nilai aspek yaitu seluruh aspek

utama bernilai baik dan minimal 9 (sembilan) aspek yang lain memperoleh nilai C

serta tanpa ada nilai K (4B dan 9C); dan dikatakan kurang bila belum memenuhi

kategori cukup.

C. HASIL UJI COBA PEDOMAN DAN PANDUAN AUDIT CPMEB DI

RUMAH SAKIT.

1. Gambaran unit penyedia makanan enteral di rumah sakit X.

a. Penanggungjawab unit penyedia makanan enteral

Di lingkungan rumah sakit X yang bertanggungjawab terhadap

penyelenggaraan makanan pasien adalah instalasi gizi. Instalasi gizi memproduksi

makanan dalam bentuk padat, lunak dan cair. Unit penyedia makanan enteral di

rumah sakit X disebut dengan unit produksi makanan cair karena pada dasarnya

makanan enteral adalah makanan dalam bentuk cair.

Petugas yang mengolah makanan cair berjumlah dua orang dengan jadwal

terbagi menjadi 2 (dua) shift. Shift pagi mulai pukul 07.00 sampai pukul 14.00

dan shift sore mulai pukul 13.00 sampai pukul 20.00. Dengan demikian dalam

ruang tersebut hanya ada satu orang setiap shiftnya. Latar belakang pendidikan

petugas tersebut yaitu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan tataboga/gizi

dengan dilengkapi pelatihan pelayanan prima yaitu pelatihan dengan materi

kursus higiene sanitasi makanan. Persyaratan kesehatan karyawan dan

pemeriksaan kesehatan telah ditetapkan sebagaimana mestinya yaitu dengan

adanya pemeriksaan kesehatan secara rutin setahun sekali. Kebersihan karyawan

dirawat dengan baik dan selalu diingatkan oleh beberapa tulisan yang ditempel di

ruang produksi. Tulisan tersebut antara lain: “cuci dahulu tangan anda sebelum

menjamah makanan”, “ gunakan alat pelindung diri (celemek/topi)”, “ perhatian-

setiap selesai bekerja semua peralatan wajib dibersihkan”.

Dalam melaksanakan tugasnya, pengolah makanan cair dimonitor oleh

2 (dua) orang ahli gizi. Satu orang ahli gizi memonitor tentang proses produksi

mulai dari peracikan sampai dengan distribusi dan ahli gizi yang lain memonitor

34

penerapan higiene dan sanitasi. Racikan atau resep disusun oleh ahli gizi sesuai

dengan kebutuhan diet yang direkomendasikan dokter.

b. Tata letak unit penyedia makanan enteral.

Produksi makanan cair harus dalam ruang khusus yang dijaga higiene dan

sanitasinya atau disebut high higiene area (HHA). Hal ini sudah diterapkan oleh

rumah sakit X. Unit produksi makanan cair menempati ruang khusus yang masih

berada dalam lingkungan dapur gizi. Antara ruang produksi makanan cair dan

lingkungan dapur gizi dipisahkan oleh sebuah pintu. Ruang tersebut terbagi

menjadi dua ruangan. Antar ruangan juga dipisahkan oleh sebuah pintu. Luas

ruang pertama 7,6 m2, dipergunakan untuk pembuatan snack (tidak ada

hubungannya dengan produksi makanan enteral). Ruangan ke dua adalah ruang

yang benar-benar dipergunakan untuk produksi makanan enteral. Luas ruangan

tersebut 10,64 m2. Sarana yang terdapat dalam ruangan ini yaitu tempat cuci

tangan (wastafel), meja persiapan, meja produksi, meja distribusi, lemari gantung

untuk menyimpan bahan baku kering dan peralatan serta alat pemanas air yang

dilengkapi dengan filter. Luas ruangan yang dipergunakan untuk penempatan

sarana seluas 3.7 m2 sehingga ruang kosong yang digunakan untuk karyawan

bekerja seluas 6,94 m2. Karyawan yang bertugas dalam ruangan tersebut satu

orang setiap shift, sehingga berdasarkan persyaratan luas ruang telah cukup

memadai. Suhu ruangan berkisar antara 25 sampai 30 0C. Sumber penerangan

selain berasal dari lampu juga berasal dari sinar yang masuk dari jendela. Ruang

produksi dilengkapi dengan jendela dorong yang menghadap ke bagian ruang

distribusi makanan. Ruang distribusi makanan adalah ruang dimana petugas yang

akan mendistribusikan makanan antri untuk mengambil makanan yang harus

didistribusikan ke pasien sesuai dengan pesanan. Denah ruang produksi makanan

cair dapat dilihat pada Lampiran 6.

c. Bahan baku, peralatan dan proses produksi

Penerimaan bahan baku di rumah sakit X didasarkan pada standar

spesifikasi yang telah ditetapkan. Bahan baku makanan cair diperoleh dari gudang

bahan baku yang juga menyimpan bahan baku untuk makanan lain. Tidak ada

35

standar spesifikasi yang dikhususkan untuk bahan baku makanan cair. Air yang

dipergunakan untuk mengolah makanan cair sama dengan yang digunakan untuk

keperluan lain dan telah memenuhi persyaratan air minum. Sebelum dipergunakan

untuk mengolah makanan cair, air tersebut dilewatkan ke dalam filter dan

selanjutnya masuk ke dalam alat pemanas air yang dapat memanaskan air hingga

suhu 90 0C. Filter air dibersihkan secara berkala. Fasilitas sanitasi yang lain yaitu

tempat sampah untuk kebutuhan seluruh dapur gizi jumlahnya cukup tetapi ada

beberapa yang terbuka.

Peralatan yang dipergunakan untuk memproduksi makanan cair di rumah

sakit X terdiri dari dua buah gelas ukur yang terbuat dari plastik, pengaduk dari

plastik, pisau, pemeras jeruk dari bahan plastik, saringan dari bahan plastik, alat

penghasil air panas dan blender. Blender yang digunakan terbuat dari bahan

stainless steel dengan volume cup sebesar 2,5 liter. Semua peralatan disimpan di

lemari tertutup kecuali blender. Blender diletakkan di luar ruang produksi yaitu di

dapur gizi, dipasang secara permanen di tempatnya, tidak dapat dipindah-pindah.

Makanan enteral yang diproduksinya hanya makanan enteral FRS dengan

jenis produksi dan bahan baku yang dipergunakan antara lain : a). makanan cair

untuk diabetes melitus (DM), bahan bakunya adalah susu rendah lemak, susu

full cream, kuning telur, tepung maizena, pemanis buatan tak berkalori dan jeruk;

b) makanan cair rendah protein (RP), bahan bakunya adalah tepung maizena, gula

pasir, susu full cream dan jeruk; c) makanan cair DM rendah laktosa, bahan

bakunya adalah susu rendah laktosa, pemanis buatan tak berkalori dan jeruk;

d) makanan cair biasa, bahan bakunya adalah susu full cream, gula pasir, kuning

telur, jeruk dan beberapa jenis makanan cair yang lain dengan bahan baku hampir

sama. Secara umum pengolahan makanan cair dilakukan dengan cara mencampur

bahan baku kering kemudian menambahkan air panas 90 0C dan diaduk rata.

Pencampuran dilakukan dalam gelas ukur plastik. Setelah pencampuran suhu

makanan cair berkisar antara 70 sampai 80 0C. Proses produksi makanan cair yang

prosesnya harus menggunakan blender misalnya makanan cair bebas laktosa

dengan bahan baku telur, kacang hijau, wortel, jeruk, tepung beras dan gula pasir

pemasakan dan pemblenderan dilakukan di luar ruang produksi karena dalam

ruang produksi tidak terdapat kompor dan blender telah terpasang secara

36

permanen di luar ruang produksi. Makanan enteral siap konsumsi ditempatkan

dalam plastik bening jenis PE (Polietilene) dengan volume sekitar 250 mL (untuk

satu kali konsumsi). Sebetulnya tersedia alur proses produksi yang baku dan

ditaati tetapi alur proses belum berupa SOP, hanya berupa catatan sederhana

dalam buku besar.

d. Distribusi produk dan pengawasan

Jumlah makanan enteral yang diproduksi didasarkan pada pemesanan

perawat di unit ruang rawat inap ke ahli gizi di unit ruang rawat inap. Pesanan

tersebut diterjemahkan ke dalam jenis diet makanan enteral dan penetapan bahan

baku. Selanjutnya pesanan diserahkan ke ahli gizi unit penyelenggaraan makanan

yang dalam hal ini adalah unit makanan cair untuk diolah. Hasil olahan

didistribusikan sesuai dengan catatan/pesanan dari ruang rawat inap. Alat yang

dipergunakan untuk mendistribusikan makanan enteral yaitu rantang. Pemberian

makanan cair maupun makanan lunak kepada pasien dilakukan oleh perawat.

Makanan diberikan pada jam yang telah ditentukan. Tersedia SOP pemberian

makanan enteral kepada pasien.

e. Pengendalian hama

Pengendalian hama untuk seluruh unit di rumah sakit X dilakukan oleh

perusahaan out sourcing dibawah koordinasi urusan rumah tangga. Jika ada

permasalahan, unit yang bersangkutan akan melaporkan ke urusan rumah tangga

dan dilanjutkan ke perusahaan tersebut untuk ditangani.

2. Gambaran unit penyedia makanan enteral di RSPAD Gatot Soebroto

Ditkesad Jakarta.

Pada tanggal 14 Mei 2009 RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta

mendapatkan sertifikat akreditasi sebagai pengakuan bahwa rumah sakit telah

memenuhi standar pelayananan. Pelayanan yang terakreditasi meliputi

administrasi dan manajemen; pelayanan medis; pelayanan gawat darurat;

pelayanan keperawatan; rekam medis; farmasi; K3; radiologi; laboratorim; kamar

operasi; pengendalian infeksi di rumah sakit; perinatal risiko tinggi; pelayanan

37

rehabilitasi medik; pelayanan gizi; pelayanan intensif dan pelayanan darah. Pada

tahun 2012 meningkatkan visinya menjadi rumah sakit berstandar internasional,

rujukan utama dan rumah sakit pendidikan serta merupakan kebanggaan prajurit

dan masyarakat.

Dalam rangka mencapai visi rumah sakit dan mempertahankan sertifikat

akreditasi, Unit Gizi menyusun misi yang isinya adalah menyelenggarakan

pelayanan gizi yang berorientasi pada kebutuhan dan kepuasan pasien untuk

menunjang aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta meningkatkan

kualitas hidup; meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia;

mengembangkan penelitian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi (IPTEK) terapan. Pelaksanaan misi antara lain berpedoman pada

persyaratan akreditasi rumah sakit. Dalam akreditasi rumah sakit tahun 2005

standar 4 pedoman 1 (P1) dipersyaratkan tersedia tempat yang cukup untuk

melaksanakan pelayanan gizi. Ada 12 item yang dipersyaratkan dalam standar 4

P1 tersebut, salah satu diantaranya yaitu tersedianya ruang/tempat dapur susu

(item g). Dapur susu adalah suatu ruangan yang dipergunakan untuk

memproduksi makanan cair baik yang dikonsumsi melalui oral maupun enteral.

Dalam rangka memenuhi persyaratan akreditasi, pada tahun 2005 dibangun

ruangan khusus untuk dapur susu. Di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta

dapur susu ini disebut dengan dapur sonde yaitu unit yang memproduksi makanan

enteral.

a. Penanggungjawab unit penyedia makanan enteral.

Pengelolaan unit penyedia makanan enteral atau dalam hal ini dapur sonde,

dimonitor oleh ahli gizi yang bertugas di urusan penyediaan makanan diet

(Ur Diamak Diet). Petugas yang mengelola dapur sonde terdiri dari pengatur

administrasi penyediaan makanan enteral /sonde dan pengatur pelayanan penyedia

makanan enteral/sonde. Tugas pokok pengatur administrasi yaitu membantu

menghitung macam diet dan jumlah orang yang dilayani; membantu

menginventarisasi peralatan dan perlengkapan dapur enteral/sonde yang tersedia;

membuat etiket makanan enteral/sonde; serta membantu dalam pencatatan dan

pelaporan. Sedangkan tugas pengatur pelayanan penyedia makanan enteral /sonde

38

yaitu mengecek stok bahan dan mengambil bahan di gudang apabila bahan

tersebut kurang; berkoordinasi dengan ahli gizi di Ur Diamak Diet dan pelayanan

ruang rawat inap; mengolah makanan dengan jumlah sesuai pesanan dan diolah

berdasarkan SOP yang ada; mempersiapkan distribusi makanan enteral yang telah

diolah; membersihkan peralatan masak; dan mengecek persediaan bahan baku dan

melengkapinya untuk dinas berikutnya dengan cara memesan kepada bagian

gudang.

Tingkat pendidikan pengatur administrasi adalah diploma tiga gizi dan

tingkat pendidikan pengatur pelayanan adalah SMK jurusan tataboga. Jadwal

tugas pegawai terbagi menjadi 3 (tiga) shift. Shift pertama pukul 07.00 sampai

dengan pukul 15.30, shift kedua pukul 12.00 sampai dengan pukul 19.30 dan shift

ketiga pukul 20.00 sampai dengan pukul 07.00. Pengatur administrasi selalu

bertugas pada shift pertama dibantu oleh seorang pengatur pelayanan. Pada shift

kedua dan ketiga yang bertugas hanya satu orang yaitu pengatur pelayanan

penyedia makanan enteral/sonde.

b. Tata letak unit penyedia makanan enteral

High higiene area sudah diterapkan di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad

Jakarta. Dapur sonde dibangun dalam ruangan khusus yang masih terletak di

dalam lingkungan dapur gizi dengan dipisahkan oleh pintu. Pintu dibuat membuka

keluar. Dapur sonde terbagi menjadi tiga ruangan yaitu ruang untuk cuci tangan,

ruang untuk cuci bahan baku dan peralatan serta ruang untuk pengolahan. Petugas

dan siapapun yang masuk ruang tersebut alas kaki harus dilepas.

Ruang cuci tangan terletak paling depan dengan ukuran 2,1 m x 1 m

(2,1 m2). Ruangan ini berisi wastafel, lap basah, lap kering, sabun cuci tangan dan

keset. Terdapat pedoman cara cuci tangan yang baik ditempel diatas wastafel.

Ruang sebelah dalamnya sesudah ruang cuci tangan adalah ruang pengolahan.

Antara ruang cuci tangan dan ruang pengolahan dipisahkan oleh sebuah pintu

yang membuka ke dalam ruang pengolahan. Luas ruang pengolahan 12,8m2

dan

dipergunakan untuk peralatan seluas 3,84 m2 sehingga luas ruangan yang bebas

dari peralatan adalah 8,96 m2. Peralatan yang terdapat di dalamnya antara lain

pendingin ruangan 1 PK; lemari penyimpanan hot & cool thermobox; tempat

39

sampah; meja persiapan sekaligus sebagai meja proses yang terbuat dari bahan

stainlesteel; meja distribusi terbuat dari stainlessteel; meja kerja dan kursi; dan

lemari penyimpan formulir. Di bawah meja persiapan dipergunakan untuk

menyimpan telur yang sudah tertata dalam rak telur dan kontainer plastik besar.

Kontainer plastik berisi gula pasir, tepung maizena, susu bubuk yang masih

terkemas dan beberapa stoples. Stoples dipergunakan untuk mewadahi produk

kering yang telah terbuka dari kemasannya. Di bawah meja distribusi dibuat

lemari tertutup untuk menyimpan makanan enteral FK, margarin dan bahan kering

lainnya yang masih terkemas utuh.

Ruang cuci bahan baku dan peralatan terletak disamping ruang cuci tangan

memanjang ke belakang sehingga terhubung dengan ruang pengolahan. Kedua

ruangan tersebut dihubungkan oleh sebuah pintu yang terbuka ke arah ruang

pengolahan. Luas ruang cuci bahan baku dan peralatan yaitu 3,8m2. Dalam ruang

cuci bahan baku dan peralatan terdapat bak cuci piring terbuat dari stainlesteel

yang dilengkapi dengan sabun dan sabut cuci piring; rak piring terbuka; selang

pipa gas yang tidak berfungsi karena dimatikan alirannya. Lampu yang terpasang

di ruang produksi ada tiga kotak setiap kotak berisi dua lampu setiap lampu

mempunyai kekuatan penerangan 25 watt, ruangan terlihat cukup terang ditambah

dengan cahaya matahari yang masuk ke dalam ruang produksi. Denah dapur gizi

dapat dilihat pada Lampiran 7 dan denah dapur sonde dapat dilihat pada

Lampiran 8.

c. Bahan baku dan peralatan

Bahan baku makanan enteral diperoleh dari gudang bahan baku yang juga

menyimpan bahan baku untuk makanan lain. Tidak ada standar spesifikasi yang

dikhususkan untuk bahan baku makanan enteral.

Bahan baku yang dipergunakan untuk memproduksi makanan enteral di

dapur sonde terbagi menjadi dua yaitu bahan baku basah dan kering. Bahan baku

basah antara lain daging sapi, ayam, tempe, tahu, wortel, labu siam dan telur.

Bahan baku kering antara lain beras, susu full cream, susu skim, gula pasir, garam,

tepung maizena, tepung beras, mineral mix, makanan enteral formula komersial.

Dapur sonde selain sebagai tempat untuk memproduksi makanan enteral juga

40

kadang-kadang untuk mempersiapkan menu sarapan pagi seperti roti bakar

sehingga di dalam ruangan tersebut juga tersedia bahan baku roti tawar dan

margarin yang bukan untuk keperluan makanan enteral.

Peralatan yang dipergunakan untuk memproduksi makanan enteral yaitu

antara lain blender, timbangan digital, lemari penyimpanan hot & cool thermobox,

teko plastik volume 2 liter dan 4 liter, gelas ukur plastik volume 2 liter dan 1 liter,

plastik wrapping film, plastik bening jenis PE dan sendok kayu. Semua peralatan

tersebut disimpan di rak piring terbuka yang terletak di ruang cuci bahan baku dan

peralatan.

d. Jenis dan proses produksi

Makanan enteral yang sering diproduksi dapur sonde dengan menggunakan

pengelompokkan yang diterapkan oleh Almatsier (2005) yaitu makanan cair

penuh FRS hasil blender dan makanan cair penuh FRS dengan susu full cream

atau skim. Di dapur sonde RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta makanan cair

penuh FRS hasil blender dikenal dengan nama makanan saring tanpa susu,

sedangkan produk makanan cair penuh FRS dengan susu terdiri dari makanan cair

rumah sakit, makanan cair formula WHO dan makanan cair diet lambung 1.

Makanan cair tersebut dikonsumsi melalui rute oral atau enteral tergantung

kondisi pasien. Setiap hari dapur sonde memproduksi kurang lebih 50 porsi

makanan enteral siap konsumsi. Makanan enteral formula WHO (untuk pasien

yang memerlukan diet tinggi energi dan tinggi protein) didistribusikan dalam

bentuk kering, dikemas per porsi dalam plastik bening jenis PE dan siap untuk

dicairkan. Pencairan dilakukan di ruang rawat inap. Makanan enteral FK

didistribusikan masih dalam kemasan primer (kemasan sekunder dilepas).

Pencairan dilakukan di ruang rawat inap dengan prosedur pencairan mengikuti

petunjuk penyajian atau sesuai saran dokter.

Proses pembuatan makanan enteral yang dihasilkan dapur sonde pada

prinsipnya sama yaitu seluruh bahan dicampurkan, penambahan air, dimasak bila

perlu, dihaluskan (diblender) bila perlu dan disaring bila perlu. Bahan baku

makanan saring tanpa susu adalah beras putih giling, daging sapi atau ayam,

tempe atau tahu, wortel, labu siam, sedikit kecap dan santan. Karena bahan

41

bakunya adalah bahan mentah dan tidak halus maka diperlukan pemasakan dan

pemblenderan. Seluruh bahan kecuali beras dicampur menjadi satu, ditambah

dengan air dan dimasak. Setelah masak, ditunggu sampai dingin kemudian

ditambah nasi dan diblender. Selanjutnya hasil blenderan tersebut disaring. Bahan

baku makanan cair rumah sakit yaitu susu full cream, susu rendah lemak, gula

pasir, kuning telur ayam dan minyak jagung. Proses pembuatan makanan cair

rumah sakit tidak melalui pemasakan karena bahan bakunya siap untuk

dikonsumsi. Bahan baku kering dicampur menjadi satu, ditambah kuning telur dan

minyak jagung sambil diaduk lagi sampai homogen dan ditambah air mendidih.

Proses pembuatan makanan cair formula WHO juga tidak melalui pemasakan.

Seluruh bahan baku yang terdiri dari susu full cream, gula pasir, minyak kelapa

dan mineral mix dicampur kemudian ditambah air mendidih. Pencampuran

dilakukan di ruang rawat inap. Proses pembuatan makanan cair diet lambung 1

melalui pemasakan karena salah satu bahan bakunya tidak siap untuk langsung

dikonsumsi yaitu tepung maizena. Bahan baku lainnya adalah susu full cream,

gula pasir. Skema proses produksi masing-masing makanan cair dapat dilihat pada

Gambar 3 dan 4 serta SOP dapat dilihat pada Lampiran 9, 10, 11 dan 12.

e. Alur pemesanan bahan baku dan distribusi produk

Jumlah dan jenis produksi makanan enteral yang diolah di dapur sonde

didasarkan pada pesanan makanan pasien di ruang rawat inap. Berdasarkan

rekomendasi dari dokter, penanggungjawab ruang rawat inap memesan makanan

enteral ke seksi penyedia makanan Unit Gizi kemudian dilanjutkan ke penyedia

makanan diet. Pengatur administrasi penyedia makanan diet dibantu pengatur

administrasi penyedia makanan enteral akan menterjemahkan kebutuhan gizi yang

direkomendasikan dokter ke dalam kebutuhan bahan pangan. Selanjutnya

pengatur administrasi makanan enteral menyusun bahan-bahan yang dibutuhkan

untuk pesanan tersebut dan pengatur pelayanan penyedia makanan enteral akan

memesan bahan baku ke bagian gudang. Telur, susu, tepung maizena, tepung

beras, garam, gula pasir, dipesan untuk keperluan dua hari sedangkan makanan

enteral FK dipesan untuk keperluan satu minggu. Selanjutnya bahan baku tersebut

disimpan di dapur sonde. Bahan baku basah seperti sayur, tempe, tahu, ayam dan

42

daging sapi disimpan di dapur gizi. Bahan baku basah datang setiap pagi dan

disimpan di lemari pendingin untuk bahan yang akan diolah siang atau sore.

Sayur-sayuran disimpan di lemari pendingin dengan suhu 4,50C, daging dengan

suhu 5 0 C dan ayam disimpan di freezer dengan suhu 20

0 C. Tempe dan

tahu disimpan pada suhu ruang. Alur pemenuhan makanan pasien dapat dilihat

pada Lampiran 13 dan alur permintaan bahan baku di pengolahan makanan enteral

dapat dilihat pada Lampiran 14.

Pengadaan bahan baku untuk makanan enteral bergabung dengan bahan

baku untuk makanan lain. Penentuan rekanan sebagai suplier dilakukan oleh

Perbekalan dan Angkutan Angkatan Darat (BEKANGAD), akan tetapi rumah

sakit diberi hak untuk memeriksa kembali mutu bahan baku yang diterima. Acuan

mutu bahan baku menggunakan standar spesifikasi yang telah dibuat oleh rumah

sakit. Contoh prosedur pemeriksaan telur sebagai bahan baku dapat dilihat pada

Lampiran 15. Selanjutnya diikuti dengan tes untuk bahan baku yang mungkin

menggunakan bahan tambahan terlarang seperti rhodamin B, metanil yellow,

boraks dan formalin. Tes bahan tambahan terlarang menggunakan metode

screening cepat yaitu test kit. Prosedur test kit bahan tambahan terlarang bagi

makanan dapat dilihat pada Lampiran 16, 17, 18 dan 19.

Sistem distribusi yang diterapkan di dapur sonde menggunakan sistem

desentralisasi dan sentralisasi. Desentralisasi diterapkan untuk makanan enteral

FK dan makanan cair tinggi energi dan tinggi protein (formula WHO). Formula

tersebut akan dicairkan di ruang rawat inap. Sentralisasi diterapkan untuk formula

lain yang membutuhkan pemasakan/perebusan dalam prosesnya. Distribusi

dilakukan dengan cara menempatkan makanan enteral ke dalam wadah rantang,

mangkok atau botol dan ditutup dengan film/plastik pembungkus (wrapping film).

Laporan hasil pengujian tentang film/plastik pembungkus dapat dilihat pada

Lampiran 20. Wadah dipersiapkan oleh bagian ruang rawat inap dan dibawa ke

dapur sonde satu jam sebelum makanan enteral akan disajikan. Makanan enteral

akan dipindahkan ke tempat penyajian yang tersedia di ruang rawat inap.

Pemberian makanan enteral kepada pasien dilakukan oleh perawat dengan

mengikuti SOP yang telah ditetapkan.

43

*) Bahan :

- Daging sapi/ayam

- Tempe/tahu

- Wortel

- Labu siam

- Kecap

- Santan

*) Bahan :

- Susu full cream

- Susu skim

- Gula pasir

- Minyak jagung

PPPe

Bahan baku *)

Perebusan

Penghancuran dengan blendr

Pencampuran bahan kering

Penempatan di wadah

Distribusi ke pantry R. rawat inap

Pembagian per satu porsi

Pemberian kepada pasien

Air

mendidih

Makanan saring tanpa

susu

Penyaringan

Pencampuran sampai merata

Penambahan kuning telur

Penempatan di wadah

Pemberian kepada pasien

Distribusi ke pantry R. rawat inap

Bahan baku *)

Pembagian persatu porsi

Makanan cair

rumah sakit

Air

mendidih

Penyaringan

Nasi

Ampas

Ampas

Gambar 3 : Skema proses pembuatan makanan saring tanpa susu (kiri) dan

makanan cair formula susu (makanan cair rumah sakit) (kanan).

44

*) Bahan :

- Susu full cream

- Gula pasir

- Tepung maizena

*) Bahan :

- Susu full cream

- Gula pasir

- Mineral mix

Bahan baku *)

Air

mendidih

Makanan cair diet

lambung

Distribusi ke pantry R. rawat inap

Pembagian persatu porsi

Bahan baku per satu porsi *)

Pencampuran bahan kering

Minyak

Pencampuran

Penempatandalam plastik

Distribusi ke pantry R. rawat inap

Air

mendidih

Pengenceran

Makanan cair formula

WHO

Pemberian kepada pasien

Perebusan

Penyaringan

Penempatan di wadah

Minyak

goreng

Pemberian kepada pasien

Ampas

Penyaringan

Ampas

Gambar 4 : Skema proses pembuatan makanan cair formula susu yaitu diet

lambung 1 (kiri) dan formula WHO (kanan)

45

f. Perawatan kebersihan dan sanitasi

Sumber air yang dipergunakan untuk pengolahan makanan cair, makanan

biasa dan keperluan lain bersumber dari air tanah dan telah memenuhi persyaratan

kesehatan air minum ditunjukkan dengan adanya laporan hasil pemeriksaan

kualitas air bersih secara fisik pada Lampiran 21, secara kimia pada Lampiran 22,

dan secara bakteriologi pada Lampiran 23.

Perawatan kebersihan dan sanitasi ruang produksi dan sarana produksi

makanan enteral dilakukan secara rutin oleh pengatur administrasi dan pengatur

pelayanan dibantu oleh cleaning service. General cleaning (kurve) dilakukan

seminggu sekali pada hari kamis dan dilakukan serentak antara dapur gizi dan

dapur sonde.

g. Pengendalian hama

Pengendalian hama diperlukan untuk menjaga agar lingkungan tidak

menjadi sumber yang kondusif untuk pertumbuhan hama. Serangga, tikus, hewan

peliharaan dan hewan pengganggu lainnya dapat menjadi sumber kontaminasi

mikroba. Menurut Hariyadi dan Dewanti-Hariyadi (2011) anjing, kucing

seringkali terkontaminasi oleh salmonella. Kucing juga merupakan inang bagi

protozoa Toxoplasma gondii yang dapat menyebabkan toksoplasmosis pada

manusia. Serangga, terutama lalat dan kecoa dapat mengkontaminasi makanan

dengan berbagai patogen penyebab tifus, disentri, diare, dan lain-lain. RSPAD

Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta selalu melakukan penangkapan kucing yang

berada di sekitar rumah sakit. Hasil pemantauan pekerjaan pest control

pengendalian kucing dapat dilihat pada Lampiran 24. Pengendalian hama tikus

dilaksanakan dengan cara membuat saringan hama tikus di dalam dan di luar got

tempat pembuangan air limbah.

Ruang produksi makanan enteral atau dapur sonde di RSPAD Gatot

Soebroto Ditkesad Jakarta selalu dalam keadaan bersih, tidak terlihat adanya hama

serangga maupun tikus dan tidak terlihat adanya sarang hama. Beberapa usaha

yang dilakukan untuk menjaga kebersihan dan sanitasi ruang produksi antara lain

alas kaki karyawan selalu dilepas sebelum memasuki ruang produksi; pintu selalu

tertutup dan dipampang tulisan “tutup kembali pintu”; sebelum memasuki ruang

46

pengolahan terpampang tulisan peringatan “ cucilah tangan sebelum dan sesudah

melakukan pengolahan makanan”; dan “cara mencuci tangan yang baik”. .

3. Uji coba pedoman CPMEB

Uji coba pedoman CPMEB dimaksudkan untuk mengkaji apakah pedoman

dapat diterapkan di unit penyedia makanan enteral rumah sakit dan mudah

dipahami oleh petugas yang terkait. Oleh karena itu pembahasan ditujukan pada

aspek dan parameter yang dianggap belum cocok dan tidak mudah dipahami. Data

hasil uji coba pedoman CPMEB diperoleh dari wawancara dengan penilai dan

pengamatan terhadap kondisi di lapangan. Berdasarkan hasil uji coba yang telah

dilakukan, aspek dan parameter yang dianggap belum cocok dan perlu

penyempurnaan antara lain aspek bangunan dan fasilitas; fasilitas sanitasi;

penyimpanan; dan pengendalian proses.

a. Bangunan dan Fasilitas

Proses makanan cair sangat sederhana sehingga kemungkinan makanan

cair jatuh ke lantai sangat sedikit. Lantai mudah dibersihkan walaupun tidak

dibuat miring. Oleh karena itu pedoman yang menyatakan bahwa lantai

seharusnya dibuat miring dihilangkan sedangkan pedoman lainnya tetap berlaku.

b. Fasilitas Sanitasi

Pemenuhan persyaratan air minum untuk proses pengolahan maupun

ingredient makanan enteral di rumah sakit tidak terlalu sulit sehingga yang semula

mensyaratkan air bersih untuk proses pengolahan dan air minum untuk ingredient

digabung menjadi satu yaitu memenuhi syarat kesehatan air minum. Hal ini

seperti yang tercantum pada keputusan menteri kesehatan nomor 907/2002

tentang syarat dan pengawasan kualitas air minum.

c. Penyimpanan

Pada aspek penyimpanan termasuk di dalamnya adalah pedoman

penyimpanan bahan berbahaya. Hal ini mengacu pada CPPB-IRT 2003. Setelah

47

dilakukan uji coba ternyata hal ini dirasa tidak sinkron sehingga pedoman untuk

penyimpanan bahan berbahaya dialihkan ke aspek pengendalian hama.

d. Pengendalian proses

Pada pedoman disebutkan bahwa tujuan bank sampel adalah untuk

konfirmasi bila terjadi gangguan atau tuntutan konsumen. Jumlah produksi

makanan enteral di rumah sakit setiap jenisnya tidak banyak, sehingga adanya

bank sampel tidak efektif. Proses produksi sangat sederhana, rantai distribusi

sangat pendek yaitu dari tempat produksi, perawat langsung ke pasien. Konsumen

dan petugas yang memproduksi sangat jelas karena terdokumentasi datanya

sehingga tanpa bank sampelpun konfirmasi mudah dilakukan bila terjadi

gangguan atau tuntutan konsumen. Oleh karena itu parameter bank sampel tidak

perlu ada.

4. Uji coba panduan audit CPMEB

Uji coba panduan audit CPMEB dimaksudkan untuk mengkaji

kemungkinan adanya perbedaan persepsi antar penilai terhadap panduan audit

sarana unit penyedia makanan enteral yang dikembangkan. Perbedaan persepsi

ditunjukkan oleh adanya perbedaan hasil penilaian audit antar penilai pada kondisi

yang sama. Hasil uji coba audit secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil uji coba audit sarana pada unit makanan cair di rumah sakit X

dan dapur sonde di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.

No.

PARAMETER RS I RS II

P1 P2 P3 P4 P5

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

I BANGUNAN DAN FASILITAS

1. Kontruksi lantai B/3 B/3 B/3 - B/3

2. Kebersihan lantai B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

3. Kontruksi dinding B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

4. Kebersihan dinding B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

5. Kontruksi langit-langit C/2 C/2 B/3 B/3 B/3

6. Kebersihan langit-langit B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

7. Kontruksi pintu, jendela, dan lubang

angin.

B/3

B/3

B/3

B/3

B/3

48

Tabel 4. Hasil uji coba audit sarana pada unit makanan cair di rumah sakit X

dan dapur sonde di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta

(lanjutan).

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

8. Kebersihan pintu, jendela dan

lubang angin

B3

B3

B3

B3

B3

Huruf mutu/nilai rata-rata

B/ 2,9 B/ 2,9 B/3 B/3 B/3

II RUANG PRODUKSI

1. Luas ruangan B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

2. Kondisi ruangan B/3 C/2 B/3 B/3 B/3

3. Letak ruangan B/3 C/2. B/3 B/3 B/3

4. Penerangan B/3 B/3 B/3 K/1 B/3

Huruf mutu/nilai rata-rata

B/ 3 C/2,5 B/3 C/2,5 B/3

III. PERALATAN PRODUKSI

1. Peralatan produksi B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

2. Penyimpanan peralatan B/3 B/3 B/3 C/2 C/2

3. Pemeliharaan kebersihan dan

sanitasi B/3 K/1 B/3 B/3 K/1

4. Prosedur penanganan sanitasi

blender B/3 C/2 B/3 B/3 C/2

Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 C/2,3 B/3 B/2,8 C/2

IV. FASILITAS SANITASI

1. Penggunaan air B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

2. Air yang kontak langsung dengan

pangan

B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

3. Tempat sampah C/2 C/2 B/3 B/3 B/3

4. Tempat cuci tangan B/3 K/1 B/3 B/3 B/3

5. Tempat cuci bahan baku dan

peralatan B/3 C/2 B/3 B/3 B/3

6. Alat cuci/pembersih B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

7. Jadwal kegiatan sanitasi B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

Huruf mutu/nilai rata-rata

B/ 2,9 C/2,4 B/3 B/3 B/3

V. PENYIMPANAN

1. Penyimpanan bahan baku B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

2. Tata cara penyimpanan B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

3. Penyimpanan makanan enteral - - B/3 C/2 K/1

4. Penyimpanan bahan berbahaya B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 B/3 B/3 B/2,8 C/2,5

VI.

PENGENDALIAN PROSES

1. Penetapan spesifikasi bahan baku B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

2. Proses produksi makanan enteral B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

3. Jenis wadah B/3 K/1 B/3 B/3 K/1

4. Volume wadah B/3 B/3 B/ 3 B/3 K/1

5. Keterangan produksi B/3 B/3 K/1 B/3 K/1

6. Bank sampel - K/1 - C/2 K/1

Huruf mutu/nilai rata-rata

B/3 C/2,3 B/2,6 B/2,7 C/1,7

49

Tabel 4. Hasil uji coba audit sarana pada unit makanan cair di rumah sakit X

dan dapur sonde di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta

(lanjutan).

(1) (2) (3) (4) (4) (5) (6)

VII. MANAJEMEN PENGAWASAN

1. Penanggung jawab proses produksi B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

2. Pengawasan proses produksi dan

higiene sanitasi

B/3

B/3

B/3

B/3

B/3

Huruf mutu/nilai rata-rata

B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

VIII. PENGENDALIAN HAMA

1. Pencegahan masuknya hama B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

2. Pemberantasan hama B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

Huruf mutu/nilai rata-rata

B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

IX. HIGIENE KARYAWAN

1. Kebersihan karyawan B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

2. Kebersihan tangan B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

3. Pemeriksaan kesehatan B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

4. Kesehatan karyawan B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

5. Perilaku karyawan B/3 B/3 B/3 K/1 B/3

6. Perhiasan dan asesoris lainnya B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

Huruf mutu/nilai rata-rata

B/3 B/3 B/3 B/2,7 B/3

X. PENYALURAN MAKANAN

1. Suhu saat penyaluran makanan B/3 K/1 B/3 B/3 K/1

2. Alat penyaluran B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

Huruf mutu/nilai rata-rata

B/3 C/2 B/3 B/3 C/2

XI. PELATIHAN

1. Pengetahuan karyawan B/3 B/3 B/3 C/2 C/2

Huruf mutu/nilai rata-rata

B/3 B/3 B/3 C/2 C/2

XII. PEMBERIAN MAKANAN

ENTERAL KEPADA PASIEN

1. SOP pemberian makanan enteral

kepada pasien.

B/3

B/3

B/3

B/3

B/3

Huruf mutu/nilai rata-rata

B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

XIII. PENCATATAN DAN

DOKUMENTASI

1. Pelaksanaan pencatatan dan

dokumentasi

B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

2. Penyimpanan catatan B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

Huruf mutu/nilai rata-rata

B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

Total nilai

Keterangan : Kolom P1 adalah penilaian hasil kompilasi dua orang ahli gizi di rumah sakit X

Kolom P2 adalah penilaian peneliti di rumah sakit X .

Kolom P3 dan P4 adalah penilaian ahli gizi di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad

Kolom P5 adalah penilaian peneliti di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad.

RS I adalah rumah sakit X.

RS II adalah RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.

50

Berdasarkan data pada Tabel 4, perbedaan penilaian untuk uji coba

evaluasi pemenuhan persyaratan CPMEB di rumah sakit X (RS I) yaitu (1) aspek

ruang produksi untuk parameter kondisi ruangan; dan letak ruangan, (2) aspek

peralatan produksi untuk parameter pemeliharaan kebersihan dan sanitasi; dan

prosedur penanganan sanitasi blender, (3) aspek fasilitas sanitasi untuk parameter

tempat cuci tangan; dan tempat cuci bahan baku dan peralatan, (4) aspek

penyimpanan untuk parameter penyimpanan makanan enteral, (5) aspek

pengendalian proses untuk parameter jenis wadah; dan bank sampel, (6) aspek

penyaluran makanan untuk parameter suhu saat penyaluran makanan. Sedangkan

di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta (RS II) yaitu (1) aspek bangunan dan

fasilitas untuk parameter konstruksi lantai, (2) aspek ruang produksi untuk

parameter penerangan, (3) aspek peralatan produksi untuk parameter

penyimpanan peralatan; pemeliharaan kebersihan dan sanitasi; dan parameter

prosedur penanganan sanitasi blender, (4) aspek penyimpanan untuk parameter

penyimpanan makanan enteral (5) aspek pengendalian proses untuk parameter

jenis wadah; volume wadah; keterangan produksi; dan bank sampel, (5) aspek

higiene karyawan untuk parameter perilaku karyawan, (6) aspek penyaluran

makanan untuk parameter suhu saat penyaluran makanan, (7) aspek pelatihan

untuk parameter pengetahuan karyawan.

a. Bangunan dan Fasilitas

Penilaian kosong pada parameter konstruksi lantai sebetulnya bukan karena

perbedaan persepsi tetapi disebabkan karena ada kata-kata yang membingungkan

yaitu kata “dibuat miring sehingga mudah dibersihkan”. Hal ini sudah dibahas

pada hasil uji coba pedoman CPMEB.

b. Ruang Produksi

Perbedaan persepsi penilaian aspek ruang produksi terdapat pada parameter

kondisi ruang produksi dan parameter letak ruang produksi. Ruang produksi

disyaratkan HHA. Di RS I petugas maupun tamu yang akan memasuki ruang

produksi makanan cair menggunakan sandal khusus. Akan tetapi sandal tersebut

sudah mulai dipakai sejak memasuki dapur di pintu depan. Hal ini memungkinan

51

adanya kotoran dari lantai dapur yang menempel di sandal dan terbawa ke dalam

ruang produksi makanan cair sehingga menjadi sumber kontaminasi. Sebagian

penilai menganggap hal tersebut masih memenuhi persyaratan karena dianggap

sandal dalam keadaan bersih. Ewen et al. (2010) mengatakan bahwa memasuki

ruang persiapan makanan sebaiknya berganti dengan seragam khusus karena

pakaian yang dikenakan sebelumnya dapat membawa mikroba patogen dari luar.

Dalam hal sandalpun kemungkinan demikian juga. Oleh karena itu sebaiknya

memasuki ruang produksi makanan cair menggunakan sandal yang hanya

digunakan untuk ruang produksi makanan cair atau alas kaki dilepas.

Letak ruang produksi makanan cair di RS I sudah terpisah dengan ruang

produksi makanan biasa (dapur gizi) dan dilengkapi dengan pintu pemisah. Akan

tetapi pintu pemisah tersebut terbuka ke dalam ruang produksi sehingga hal ini

memungkinkan debu dan kotoran dari luar dapat terbawa masuk melalui udara ke

dalam ruang produksi. Sebagian penilai menganggap hal tersebut masih

memenuhi persyaratan. Menurut Ewen et al. (2010) pula dikatakan bahwa

penghalang fisik dapat meminimalkan mikroba yang tidak diinginkan berpindah.

Penghalang fisik yang dimaksud adalah rancangan dinding dan pintu.

Perbedaan penilaian pada parameter penerangan di RS II sebetulnya bukan

karena perbedaan persepsi tetapi karena saat penilaian yang tidak sama. Seorang

penilai menilai pada sore hari sehingga tidak ada bantuan sinar matahari dan ada

sebuah lampu yang mati, sementara yang lain melakukan pada siang hari. Tentang

kasus adanya lampu mati seharusnya penilaian yang paling akhir yang dipakai

sedangkan untuk kasus penilaian saat ada dan tidak ada sinar matahari penilaian

dilakukan dengan cara merata-ratakan penilaian yang ada.

c. Peralatan Produksi

Perbedaan persepsi penilaian aspek peralatan produksi terdapat pada

parameter penyimpanan peralatan, parameter pemeliharaan kebersihan dan

sanitasi serta parameter prosedur penanganan sanitasi blender. Peralatan produksi

makanan enteral di RS II disimpan di rak piring terbuka yang diletakkan di ruang

cuci bahan baku dan peralatan yang lebih sering tertutup. Pedoman mensyaratkan

bahwa peralatan harus disimpan di tempat tertutup dengan maksud agar tidak

52

terjadi kontaminasi dari debu sekitarnya. Rak yang terbuka walaupun terdapat

dalam ruang tempat penyimpanan tertutup akan ada kemungkinan terkontaminasi

oleh debu yang berada di sekitar ruangan.

Pembersihan dan sanitasi peralatan serta prosedur penanganan sanitasi

blender yang diterapkan di RS I dan RS II sama yaitu dengan cara dicuci

menggunakan sabun cuci piring, setelah kering disimpan dalam lemari. Pada saat

akan dipergunakan dibilas dengan air bersuhu 90 0C di RS I dan air mendidih di

RS II. Penanganan sanitasi blender dilakukan dengan cara melepas pisaunya,

dicuci dengan sabun cuci piring, dikeringkan dan dipasang pada tempatnya

dengan cup tertutup. Pada saat akan digunakan dibilas dengan air bersuhu 90 0C.

Perlakuan semacam itu telah memenuhi persyaratan pembersihan tetapi penerapan

sanitasi belum memadai. Menurut Haryadi dan Dewanti-Haryadi (2011) yaitu

bahwa secara umum, pemanasan yang baik untuk sanitasi alat dilakukan hingga

permukaan alat mencapai suhu ≥ 82 0C selama beberapa menit. Jika merujuk pada

CPPOB Formula bayi-2011 yaitu pada panduan untuk menyiapkan dan

menyajikan formula bayi maka peralatan penyajian perlu direbus pada air

mendidih selama 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) menit (BPOM 2011b). Pembilasan

dengan air suhu 90 0

C maupun air mendidih tidak akan membuat permukaan alat

mencapai suhu ≥ 82 0C. Oleh karena itu sebaiknya alat yang permukaannya

kontak langsung dengan makanan enteral dan sesudah itu tidak ada perlakuan

selanjutnya terhadap makanan enteral yang dapat membunuh mikroba, peralatan

tersebut direbus terlebih dahulu sebelum dipergunakan. Memperhatikan

pembahasan ini, kriteria penilaian pada parameter pemeliharaan kebersihan dan

sanitasi dirasa kurang. Kriteria penilaian untuk parameter pemeliharaan

kebersihan dan sanitasi hanya ada B (baik) dan K (kurang). Kriteria B (baik) yaitu

untuk kondisi bila pencucian dan sanitasi alat selalu menggunakan bahan

pembersih dan saniter yang memadai. Kriteria K (kurang) yaitu kondisi bila

pencucian dan sanitasi alat tidak selalu menggunakan bahan pembersih dan saniter

yang memadai. Perlu ditambah kriteria C (cukup) yaitu untuk kondisi bila

peralatannya telah dibersihkan dengan benar tetapi sanitasi belum memadai.

53

d. Fasilitas sanitasi

Perbedaan persepsi penilaian aspek fasilitas sanitasi terjadi di RS I untuk

parameter tempat cuci tangan dan parameter tepat cuci bahan baku dan peralatan.

Persyaratan kedua parameter tersebut yang tercantum pada kriteria penilaian yaitu

bahwa kedua fasilitas tersebut harus terpisah. Di RS I kedua fasilitas tersebut

menyatu. Bahan baku yang dipergunakan sebagian besar bahan baku kering yang

tidak perlu untuk dicuci. Peralatan yang dipergunakan juga jumlahnya sedikit dan

sangat sederhana sehingga menyatunya dua fasilitas tersebut dianggap tidak

menjadi masalah untuk menjaga kebersihan dan sanitasi.

e. Penyimpanan

Perbedaan persepsi penilaian aspek penyimpanan terutama terjadi pada

penilaian parameter penyimpanan makanan enteral. Di RS I tidak dilakukan

penyimpanan makanan enteral sehingga penilaian parameter penyimpanan

makanan enteral dikosongkan. Bagi unit penyedia makanan enteral yang tidak

melakukan penyimpanan makanan enteral maka parameter tersebut tidak perlu

dinilai dan tidak diperhitungkan dalam penilaian.

Di RS II sebetulnya tidak dilakukan penyimpanan makanan enteral sejak

lemari penyimpanan hot & cool thermobox tidak berfungsi. Akan tetapi ada

makanan enteral siap santap yang tidak langsung didistribusikan yaitu makanan

enteral tanpa laktosa yang dipergunakan untuk cadangan. Makanan enteral

disimpan dalam teko plastik ditutup film/plastik pembungkus di suhu ruang

(25 – 30 0C) selama dua sampai tiga jam untuk memastikan ada tidaknya pesanan

tambahan. Jika tidak ada pesanan tambahan, makanan tersebut dibuang.

Perbedaan penilaian terjadi pada memperkirakan lamanya makanan enteral di

zona berbahaya. Pada prinsipnya makanan enteral bila tidak langsung dikonsumsi

diusahakan agar suhu penyimpanan di bawah 5 0C atau di atas 65

0C untuk

mencegah terjadinya kontaminasi. Penyimpanan makanan enteral sangat berisiko

terhadap penurunan keamanan pangan, sehingga parameter penyimpanan

makanan enteral seharusnya dimasukkan ke dalam kelompok aspek utama.

Parameter lain yang berada pada aspek penyimpanan mudah terkendali. Oleh

54

karena itu parameter penyimpanan makanan enteral dipindahkan ke aspek

pengendalian proses dan dijadikan aspek utama.

f. Pengendalian proses

Perbedaan persepsi penilaian aspek pengendalian proses terjadi pada

parameter jenis wadah; volume wadah; keterangan produksi; dan bank sampel.

Persyaratan jenis wadah yaitu inert dan mudah disanitasi. Di RS I jenis wadah

yang digunakan yaitu plastik jenis PE. Plastik jenis PE yang dalam hal ini yaitu

LDPE (Low Density PE) kurang tahan pada suhu tinggi (Rahayu 2004).

Sedangkan mangkok, salah satu wadah makanan enteral yang digunakan di RS II

diragukan ketahanan panasnya saat direbus sehingga tidak mudah disanitasi.

Perbedaan persepsi pada penilaian parameter volume wadah yaitu adanya

anggapan bahwa wadah yang digunakan sudah aman dari kontaminasi karena

tertutup rapat setelah dilakukan penempatan. Sebetulnya ada faktor lain yang

harus diperhatikan yaitu volume wadah. Semakin besar volume wadah berarti

semakin sering dilakukan penuangan. Menurut Beattie dan Anderton (2001)

penuangan merupakan salah satu penyebab terjadinya kontaminasi.

Keterangan produksi harus selalu ditempel pada setiap wadah, tetapi karena

di RS II ada beberapa wadah yang tidak memungkinkan untuk ditempel wadah

maka kadang-kadang wadah tidak ditempel keterangan produksi. Buku catatan

keterangan produksi di bagian dapur dan pada petugas distribusi makanan enteral

kadang-kadang dianggap cukup untuk menghindari terjadinya kekeliruan

penyaluran. Setiap petugas distribusi umumnya membawa makanan enteral lebih

dari satu porsi sehingga memungkinan akan terjadi kekeliruan pemberian. Oleh

karena itu keterangan produksi harus selalu ditempel di setiap wadah. Banyaknya

parameter yang harus dikendalikan dengan ketat pada aspek pengendalian proses,

dirasa perlu memasukkan pengendalian proses menjadi aspek utama.

g. Higiene Karyawan

Pada penilaian aspek higiene karyawan sebetulnya tidak terjadi perbedaan

persepsi. Perbedaan penilaian disebabkan saat pengamatan yang berbeda. Salah

seorang penilai mendapati ada karyawan yang mengunyah makanan saat bekerja

55

sementara yang lain tidak melihatnya. Jika terjadi kasus seperti ini maka penilaian

harus dikompilasi antar penilai.

h. Penyaluran Makanan

Pada penilaian aspek penyaluran makanan sebetulnya tidak terjadi

perbedaan persepsi. Perbedaan penilaian disebabkan karena perbedaan

menghitung perkiraan waktu makanan enteral berada di zona berbahaya. Faktor

yang harus diperhatikan pada saat menilai parameter suhu penyaluran yaitu suhu

dan waktu. Menurut Jorge (2000) untuk menjaga agar makanan aman, jangan

biarkan makanan berada pada zona berbahaya lebih dari 4 jam. Pada panduan

audit sarana produksi, belum tercantum faktor waktu. Oleh karena itu parameter

untuk aspek penyaluran makanan perlu disempurnakan menjadi parameter kondisi

makanan saat penyaluran makanan dan parameter kondisi alat saat penyaluran

makanan.

i. Pelatihan

Pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan karyawan tentang higiene dan

sanitasi sangat diperlukan agar setiap karyawan selalu termotivasi untuk

menerapkan hasil pelatihannya. Perbedaan persepsi untuk aspek pelatihan terletak

pada hal ini. Di RS II berdasarkan informasi lisan masih ada karyawan penjamah

makanan enteral atau pengatur pelayanan makanan enteral yang belum mengikuti

kursus higiene dan sanitasi. Pengetahuan diperolehnya dari karyawan yang telah

berpengalaman. Hal ini tentu belum termasuk kriteria baik (B).

D. PENYEMPURNAAN PEDOMAN DAN PANDUAN AUDIT CPMEB.

Berdasarkan pembahasan hasil uji coba pedoman CPMEB maupun hasil uji

coba panduan audit, perlu adanya penyempurnaan draf yang telah disusun.

Rekapitulasi penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB dapat dilihat

pada Tabel 5.

56

Tabel 5. Penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB berdasarkan uji

coba yang dilakukan di rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto

Ditkesad Jakarta.

No. Aspek dan Parameter Justifikasi Penyempurnaan

(1) (2) (3) (4)

1. Bangunan dan

Fasilitas

Konstruksi lantai

Kotoran yang jatuh di lantai

tidak banyak sehingga lantai

mudah dibersihkan walaupun

tidak miring.

Konstruksi lantai

B : kedap air, rata, halus

tetapi tidak licin, kuat dan

mudah dibersihkan.

(kata “dibuat miring” pada

pedoman maupun kriteria

penilaian dihilangkan)

2.

Peralatan Produksi

Pemeliharaan

kebersihan dan

sanitasi

Kriteria penilaian untuk

parameter pemeliharaan

kebersihan dan sanitasi belum

menampung penilaian yang

peralatannya telah dibersihkan

dengan benar tetapi sanitasi

belum memadai sehingga perlu

ditambah kriteria C untuk

menampung hal ini.

Pemeliharaan kebersihan

dan sanitasi

B : sesuai kriteria semula

C :pencucian alat selalu

menggunakan bahan

pembersih yang memadai

tetapi ada sebagian alat yang

belum dilakukan sanitasi

secara memadai. (kriteria

tambahan).

K : sesuai kriteria semula

3.

Fasilitas Sanitasi Penggunaan air

Air yang kontak

langsung dengan

pangan

Pemenuhan persyaratan air

minum untuk proses

pengolahan maupun ingredient

makanan enteral di rumah sakit

tidak terlalu sulit

Parameter penggunaan air

dan parameter air yang

kontak langsung dengan

pangan dijadikan satu

menjadi:

penggunaan air

B : air untuk pengolahan

makanan dan untuk

keperluan lain memenuhi

persyaratan kesehatan air

minum.

K : air untuk pengolahan

makanan dan untuk

keperluan lain tidak

memenuhi persyaratan

kesehatan air minum

57

Tabel 5. Penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB berdasarkan uji

coba yang dilakukan di rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto

Ditkesad Jakarta (lanjutan).

(1) (2) (3) (4)

4.

Penyimpanan Penyimpanan bahan

berbahaya

Penyimpanan

makanan enteral

Tidak sinkron dengan jenis

penyimpanan yang lain.

Sangat berpengaruh terhadap

risiko keamanan pangan

sehingga perlu dimasukkan ke

aspek utama sementara

parameter lain pengaruhnya

tidak besar. Oleh karena itu

parameter penyimpanan

makanan enteral dipindahkan

dari aspek penyimpanan.

Aspek penyimpanan akhirnya

hanya terdiri dari parameter

tempat penyimpanan bahan

baku dan parameter tata cara

penyimpanan. Kedua parameter

tersebut tidak besar

pengaruhnya terhadap risiko

keamanan pangan.

Parameter penyimpanan

bahan berbahaya

dipindahkan ke aspek

pengendalian hama.

Parameter penyimpanan

makanan enteral

dipindahkan ke aspek

pengendalian proses.

Aspek penyimpanan

disempurnakan menjadi

aspek penyimpanan bahan

baku dan tidak termasuk

aspek utama

5.

Pengendalian

proses

Bank sampel

Adanya bank sampel tidak

efektif karena jumlah produksi

tidak banyak. Proses sangat

sederhana, rantai distribusi

sangat pendek, konsumen dan

pertugas yang memproduksi

sangat jelas sehingga tanpa

bank sampelpun konfirmasi

mudah dilakukan bila terjadi

gangguan atau tuntutan

konsumen.

Parameter penyimpanan

makanan enteral dari aspek

penyimpanan masuk ke aspek

pengendalian proses.

Sebagian besar parameter

penyusun aspek pengendalian

proses perlu dikendalikan

dengan cermat

Parameter bank sampel

dihilangkan

Ada tambahan parameter

yaitu parameter

penyimpanan makanan

enteral

Aspek pengendalian proses

dimasukkan ke dalam aspek

utama.

58

Tabel 5. Penyempurnaan pedoman dan panduan audit CPMEB berdasarkan uji

coba yang dilakukan di rumah sakit X dan RSPAD Gatot Soebroto

Ditkesad Jakarta (lanjutan).

(1) (2) (3) (4)

Penyaluran

makanan

Risiko terjadinya kontaminasi

saat penyaluran makanan

dipengaruhi oleh faktor suhu

dan waktu. Oleh karena itu

perlu penyempurnaan

parameter dan kriterianya

Aspek penyaluran makanan

disempurnakan, menjadi

terdiri dari parameter

kondisi makanan saat

penyaluran, dengan kriteria

penilaian :

B : Kondisi makanan selalu

berada pada suhu < 50C atau

> 650C.

C : kondisi makanan berada

pada suhu 5 – 650C kurang

dari 4 jam.

K : kondisi makanan berada

pada suhu 5 – 650C lebih

dari 4 jam.

Parameter kondisi alat

penyaluran makanan tidak

mengalami perubahan

kriteria.

7.

Pengendalian hama

Parameter penyimpanan bahan

berbahaya dipindah ke aspek

pengendalian hama

Ada tambahan parameter

yaitu parameter

penyimpanan bahan

pemberantas hama.

Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa terjadi perubahan aspek utama. Aspek

penyimpanan tidak lagi menjadi aspek utama dan aspek pengendalian proses

berpindah menjadi aspek utama. Dengan demikian yang termasuk aspek

utama setelah dilakukan penyempurnaan adalah aspek ruang produksi;

peralatan produksi; pengendalian proses; dan higiene karyawan. Penyempurnaan

selengkapnya pedoman CPMEB draf 1 menjadi draf 2 dapat dilihat pada

Lampiran 4 sedangkan penyempurnaan panduan audit dapat dilihat pada

Lampiran 5.

59

E. APLIKASI PANDUAN AUDIT CPMEB PADA UNIT PENYEDIA

MAKANAN ENTERAL DI RSPAD GATOT SOEBROTO DITKESAD

JAKARTA.

Evaluasi kesesuaian dilakukan menggunakan panduan audit sarana produksi

pada unit penyedia makanan enteral di rumah sakit draf 2 seperti yang tercantum

pada Lampiran 4. Hasil evaluasi dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil evaluasi aplikasi panduan audit CPMEB pada dapur sonde di

RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.

No

ASPEK/PARAMETER HASIL PENILAIAN HA

P1 P2 P3 P4

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

I BANGUNAN DAN FASILITAS

1.Kontruksi lantai B/3 B/3 B/3 B/3

2.Kebersihan lantai B/3 B/3 B/3 B/3

3.Kontruksi dinding B/3 B/3 B/3 B/3

4.Kebersihan dinding B/3 B/3 B/3 B/3

5.Kontruksi langit-langit B/3 B/3 B/3 B/3

6.Kebersihan langit-langit B/3 B/3 B/3 B/3

7.Kontruksi pintu, jendela, dan lubang

angin

B/3 C/2 B/3 B/3

8.Kebersihan pintu, jendela dan lubang

angin

B/3 B/3 B/3 B/3

Huruf mutu/nilai rata-rata B/ 3 B/ 2,9 B/3 B/3 B/3

II

RUANG PRODUKSI

1. Luas ruangan B/3 B/3 B/3 B/3

2. Kondisi ruangan B/3 B/3 C/ 2 B/3

3. Letak ruangan B/3 B/3 B/3 B/3

4. Penerangan B/3 B/3 B/3 B/3

Huruf mutu/nilai rata-rata B/ 3 B/ 3 B/ 2,8 B/3 B/3

III.

PERALATAN PRODUKSI

1. Peralatan produksi B/3 B/3 B/3 B/3

2. Penyimpanan peralatan C/2 C/2 C/2 C/2

3. Pemeliharaan kebersihan dan sanitasi B/3 B/3 B/3 C/2

4. Prosedur penanganan sanitasi blender B/3 B/3 B/3 C/2

Huruf mutu/nilai rata-rata B/ 2,8 B/ 2,8 B/ 2,8 C/2,3 B/2.7

IV.

FASILITAS SANITASI

1. Penggunaan air B/3 B/3 B/3 B/3

2. Tempat sampah B/3 B/3 B/3 B/3

3. Tempat cuci tangan B/3 B/3 B/3 B/3

4. Tempat cuci bahan baku dan peralatan B/3 B/3 B/3 B/3

5. Alat cuci/pembersih B/3 B/3 B/3 B/3

6. Jadwal kegiatan sanitasi B/3 B/3 B/3 B/3

Huruf mutu/nilai rata-rata B/ 3 B/3 B/3 B/3 B/3

60

Tabel 6. Hasil evaluasi aplikasi panduan audit CPMEB pada dapur sonde di

RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta (lanjutan).

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

V.

PENYIMPANAN BAHAN BAKU

1. Penyimpanan bahan baku B/3 B/3 B/3 B/3

2. Tata cara penyimpanan B/3 B/3 B/3 B/3

Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

VI.

PENGENDALIAN PROSES

1. Penetapan spesifikasi bahan baku B/3 B/3 B/3 B/3

2. Proses produksi makanan enteral B/3 B/3 B/3 B/3

3. Jenis wadah B/3 B/3 B/3 K/1

4. Volume wadah B/3 B/3 B/3 C/2

5. Keterangan produksi B/3 B/3 B/3 C/2

6. Penyimpanan makanan enteral B/3 B/3 B/3 K/1

Huruf mutu/nilai rata-rata B/ 3 B/3 B/3 C/ 2 B/2.8

VII.

MANAJEMEN PENGAWASAN

1. Penanggung jawab proses produksi B/3 B/3 B/3 B/3

2. Pengawasan proses produksi dan

higiene sanitasi

B/3

B/3

B/3

B/3

Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

VIII

PENGENDALIAN HAMA

1. Pencegahan masuknya hama B/3 B/3 B/3 B/3

2. Pemberantasan hama B/3 B/3 B/3 B/3

3. Penyimpanan bahan pemberantas

hama

B/3 B/3 B/3 B/3

Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 B/3 B/3 B/ 3 B/3

IX.

HIGIENE KARYAWAN

1.Kebersihan karyawan B/3 B/3 B/3 B/3

2.Kebersihan tangan B/3 B/3 B/3 B/3

3.Pemeriksaan kesehatan B/3 B/3 B/3 B/3

4.Kesehatan karyawan B/3 B/3 B/3 B/3

5.Perilaku karyawan B/3 B/3 B/3 B/3

6.Perhiasan dan asesoris lainnya B/3 B/3 B/3 B/3

Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

X.

PENYALURAN MAKANAN

1.Kondisi makanan saat penyaluran B/3 B/3 K/1 K/1

2.Kondisi alat penyaluran B/3 B/3 B/3 B/3

Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 B/3 C/2 C/2 C/2,5

XI.

PELATIHAN

1.Pengetahuan karyawan B/3 B/3 C/2 C/2

Huruf mutu/nilai rata-rata

B/3 B/3 C/2 C/2 C/2,5

XII. PEMBERIAN MAKANAN ENTERAL

KEPADA PASIEN

1. SOP pemberian makanan enteral

kepada pasien

B/3

B/3

B/3

B/3

Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

61

Tabel 6. Hasil evaluasi aplikasi panduan audit CPMEB pada dapur sonde di

RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta (lanjutan).

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

XIII

PENCATATAN DAN DOKUMENTASI

1. Pelaksanaan pencatatan dan

dokumentasi

B/3 B/3 B/3 B/3

2. Penyimpanan catatan B/3 B/3 B/3 B/3

Huruf mutu/nilai rata-rata B/3 B/3 B/3 B/3 B/3

Total nilai 38,8 38,7 36,6 35,3 37,5

Keterangan : P1, P2 dan P3 : penilai dari rumah sakit B : Baik

P4 : peneliti C : Cukup

HA : hasil akhir evaluasi K : Kurang

Berdasarkan data yang tercantum pada Tabel 6 rata-rata hasil penilaian

akhir adalah 37,5 dengan sebaran nilai aspek 4B dan 7B-2C dan dikategorikan

baik (B). Namun demikian masih ada beberapa aspek yang perlu disempurnakan

untuk mencapai persyaratan yang maksimal. Hal ini ditunjukkan oleh kategori B

untuk beberapa aspek tapi nilai belum mencapai 3 (tiga) atau bahkan masuk ke

kategori C. Aspek yang dimaksud adalah aspek peralatan produksi untuk

parameter penyimpanan peralatan, pemeliharaan kebersihan dan sanitasi, serta

prosedur penanganan sanitasi blender; aspek pengendalian proses untuk

parameter jenis wadah, volume wadah, keterangan produksi, dan penyimpanan

makanan enteral; aspek penyaluran makanan untuk parameter kondisi makanan

saat penyaluran; dan aspek pelatihan.

1. Peralatan produksi.

Peralatan produksi makanan enteral disimpan pada rak piring terbuka. Rak

piring ditempatkan di ruang cuci bahan baku dan peralatan yang lebih sering

tertutup. Walaupun ruangan tertutup tetapi memungkinkan terjadi kontaminasi

yaitu berasal dari udara disekitarnya. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya

kontaminasi mikroba dari udara sekitar ke peralatan yang akan digunakan untuk

mengolah makanan enteral, sebaiknya digunakan rak piring tertutup.

Peralatan yang dipergunakan untuk mengolah makanan enteral terbuat dari

bahan yang tidak bereaksi dengan produk (inert). Pencucian menggunakan bahan

pembersih yang memadai yaitu menggunakan sabun cuci piring dan dibantu

dengan sabut cuci piring. Pencucian blender juga sudah dilakukan sebagaimana

62

mestinya yaitu dengan cara membongkar peralatan untuk memastikan seluruh

bagian permukaan yang kontak dengan produk tercuci dengan bersih. Akan tetapi

sanitasi peralatan yang kontak dengan produk, termasuk blender belum dilakukan

sebagaimana mestinya. Sanitasi dilakukan dengan cara membilas peralatan

dengan air panas mendidih. Demikian juga sanitasi yang dilakukan terhadap

blender. Menurut Haryadi dan Dewanti-Haryadi (2011) yaitu bahwa secara

umum, pemanasan yang baik untuk sanitasi alat dilakukan hingga permukaan alat

mencapai suhu ≥ 82 0C selama beberapa menit. Pembilasan dengan air mendidih

tidak akan membuat permukaan alat bersuhu ≥ 82 0C. Sebaiknya alat yang

permukaannya kontak langsung dengan makanan enteral dan sesudah itu tidak ada

perlakuan selanjutnya terhadap makanan enteral yang dapat membunuh mikroba,

peralatan tersebut direbus terlebih dahulu sebelum dipergunakan agar permukaan

alat dapat mencapai suhu ≥ 82 0C. Penanganan ini seperti yang dianjurkan pada

CPPOB Formula bayi-2011 terhadap botol susu bayi yang akan digunakan.

Dalam ruang produksi makanan enteral RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad

Jakarta, tidak terdapat kompor. Kebutuhan air panas diambil dari dapur gizi yang

berarti harus keluar ruang produksi dan membutuhkan waktu untuk mendapatkan

air panas. Hal ini akan menyebabkan suhu air turun pada saat akan dipergunakan

untuk membilas peralatan. Jika peralatan yang dibawa ke tempat sumber air

panas, perjalanan dari tempat bilas ke ruang produksi setelah mensanitasi

peralatan, membutuhkan waktu yang akhirnya berpeluang terjadi kontaminasi

silang yang berasal dari debu ruangan.

Dalam ruang cuci bahan baku dan peralatan sebetulnya tersedia aliran pipa

gas yang saat ini tidak difungsikan. Pengaktifan pipa gas dan atau penambahan

kompor gas akan dapat mengatasi hal tersebut. Apabila diadakan kompor gas

perlu dilengkapi dengan pengisap asap kompor karena tidak ada ventilasi di ruang

cuci bahan baku dan peralatan. Pada kran tempat pencucian bahan baku dan

peralatan menurut informasi juga sebetulnya difasilitasi dengan pipa air panas

tetapi saat ini dalam keadaan rusak. Perbaikan alat ini juga dapat mengatasi

pananganan sanitasi yang belum memadai.

63

2. Pengendalian proses

Tersedia alur proses produksi yang baku dan dituangkan dalam SOP.

Diantara prosedur makanan cair yang ada, terdapat salah satu prosedur yang perlu

mendapat perhatian yaitu prosedur pembuatan makanan cair rumah sakit. Proses

tersebut tidak melalui perebusan hanya menambahkan air mendidih ke dalam

campuran bahan kering meskipun salah satu bahan bakunya adalah kuning telur.

Menurut Blackburn et al. (2003) salah satu mikroba patogen yang dikhawatirkan

berada dalam telur adalah Salmonella Enteritidis. Keberadaan mikroba tersebut

berasal dari induknya, menerobos dan menjalar ke jaringan reproduksi unggas

akhirnya dapat menembus telur dan anak ayam. Penambahan air mendidih ke

dalam campuran bahan baku makanan enteral tanpa dilakukan perebusan hanya

akan meningkatkan suhu sampai dengan 40-50 0C. Menurut Jay et al (2005)

Amerika telah merekomendasi untuk menghindari konsumsi telur mentah atau

setengah matang terutama pada anak-anak, orang tua dan orang sakit. Telur harus

direbus pada suhu ≥ 63 0C selama 15 detik atau sampai kuning telur dan putihnya

menggumpal. Jika telur akan disimpan dilakukan pada suhu ≤ 7,2 0C.

Rekomendasi Chantarapanont et al. (2000) tentang cara merebus telur

sehingga dapat menginaktifkan Samonella Enteritidis yaitu masukkan telur dalam

air sampai dengan telur tersebut terendam oleh air, dipanaskan sampai

air mendidih (100 0C), dipertahankan pada suhu tersebut selama 15 menit.

Perebusan dengan cara seperti ini, akan meningkatkan suhu kuning telur mencapai

62,3 ± 2 0C. Jika tidak akan dilakukan perebusan pada proses pembuatan makanan

cair rumah sakit, telur dapat diganti dengan tepung telur yang telah tersertifikasi.

Wadah yang dipergunakan untuk makanan enteral antara lain rantang

dengan bahan baku stainless steel, mangkok dengan bahan baku kaca, kemasan

plastik kedap udara dengan bahan baku plastik jenis LDPE dan botol dengan

bahan baku kaca. Ditinjau dari bahan bakunya, semua wadah yang digunakan

tidak mudah bereaksi dengan produk tetapi salah satu wadah tersebut yaitu

mangkok tidak mudah disanitasi. Mangkok terbuat dari bahan yang tidak tahan

panas sehingga berisiko pecah pada saat dilakukan perebusan.

Permasalahan lain berkaitan dengan wadah yaitu wadah disiapkan oleh

petugas dari ruang rawat inap. Sanitasi dilakukan di masing-masing ruang rawat

64

inap dengan cara dibilas air panas, kemudian dibawa ke dapur sonde. Di dapur

sonde tidak dilakukan sanitasi ulang. Tenggang waktu antara sanitasi dan

pengisian maupun perjalanan dari ruang rawat inap ke dapur sonde berpeluang

terjadi kontaminasi silang dari lingkungan sekitarnya. Sebaiknya wadah disanitasi

di dapur sonde agar dapat segera dilakukan pengisian setelah wadah disanitasi.

Wadah disyaratkan mempunyai volume satu porsi dengan tujuan agar tidak

sering dilakukan penuangan. Menurut Oliveira et al. (2000) kontaminasi proses

rekonstitusi makanan enteral dapat terjadi pada saat persiapan, penyimpanan,

penuangan dan saat pemberian kepada pasien. Hal ini didukung oleh penelitian

Beattie dan Anderton (2001) bahwa penuangan makanan enteral dari blender

secara tidak kontinyu akan meningkatkan jumlah mikroba dari ≤ 20 CFU/mL

menjadi 1,8 X 103 sampai 9,3 X 10

3 CFU/mL. Wadah makanan enteral yang

dipergunakan di dapur sonde mempunyai volume bervariasi mulai dari satu

sampai dengan tiga porsi. Mangkok mempunyai volume satu porsi, kemasan

plastik kedap udara 1–2 porsi , rantang dan botol 2-3 porsi. Wadah yang

bervolume besar seandainya diisi sedikit akan tersisa ruang kosong yang cukup

banyak berarti banyak udara yang terperangkap dan udara tersebut dapat menjadi

sumber kontaminasi. Seandainya dipergunakan untuk mewadahi dua atau tiga

porsi berarti diperlukan tahapan tambahan berupa pemorsian dan penuangan ke

tempat lain saat akan menyajikan. Permasalahan lain sehubungan dengan risiko

penuangan terhadap kontaminasi yaitu bahwa wadah yang dipergunakan bukan

wadah yang digunakan untuk penyajian sehingga perlu penuangan ke dalam

wadah penyajian. Hal ini juga memberikan peluang terjadinya kontaminasi. Oleh

karena itu berkaitan dengan wadah sebaiknya wadah mudah untuk disanitasi,

volume wadah hanya untuk satu porsi dan dapat langsung dipergunakan sebagai

wadah penyajian.

Keterangan produksi atau dalam hal ini label yang berisi minimal

keterangan nama pasien, umur, jenis kelamin, jenis diet, ruang dan kamar pasien

sangat diperlukan untuk menghindari salah sasaran. Penggunaan wadah seperti

yang sekarang digunakan tidak mudah untuk menempelkan label, sehingga

kadang-kadang tidak ditempel keterangan produksi.

65

Sebetulnya RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta saat ini tidak

melakukan penyimpanan makanan enteral. Pada saat lemari penyimpanan

hot & cool thermobox berfungsi, makanan enteral disimpan di bagian yang panas

(hot) apabila belum segera dikonsumsi (seperti yang tercantum pada SOP

makanan enteral formula rumah sakit diet rendah laktosa pada Lampiran 11).

Makanan enteral dapat diproduksi sekaligus untuk dua atau tiga frekwensi jika

tersedia lemari penyimpanan yang dapat mempertahankan suhu makanan enteral

di luar “danger zone”. Saat ini karena thermobox rusak, tidak dilakukan

penyimpanan. Akan tetapi ada perlakuan menyimpan makanan enteral untuk

mengatasi pesanan yang mendadak karena penambahan pasien. Dapur sonde

selalu menyediakan cadangan makanan saring tanpa susu sebanyak 2-3 porsi.

Proses pembuatan makanan saring tanpa susu yaitu perebusan, pemblenderan dan

penyaringan. Blender yang tersedia di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta

tidak dapat digunakan untuk meblender bahan dalam keadaan panas (70-80 0C),

oleh karena itu bahan makanan saring tanpa susu yang telah direbus diturunkan

suhunya menjadi sekitar 40 0C sebelum diblender. Waktu tunggu penurunan suhu

sekitar satu jam. Setelah pemblenderan, dilakukan penyaringan dan selanjutnya

makanan enteral yang digunakan sebagai cadangan ditempatkan dalam teko

plastik, ditutup wrapping film dan disimpan pada suhu ruang selama 2-3 jam. Jika

tidak ada pesanan, setelah 2-3 jam kemudian, makanan enteral tersebut dibuang.

Waktu tunggu berisiko meningkatkan pertumbuhan mikroba karena berada

pada zona berbahaya. Oleh karena itu tahap tersebut seharusnya dihindari dengan

cara langsung dilakukan pemblenderan setelah perebusan Hal ini dapat dilakukan

jika blender yang digunakan tahan terhadap panas. Perbaikan thermobox juga

diperlukan agar penyimpanan makanan enteral dapat diterapkan sebagaimana

mestinya sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba. . Disamping itu juga

perbaikan thermobox akan dapat mengurangi jumlah makanan yang terbuang.

3. Penyaluran makanan.

Penyaluran makanan enteral dari dapur sonde ke ruang rawat inap

menggunakan troly. Troly selalu bersih sehingga terjamin tidak akan terjadi

kontaminasi silang. Jarak antara dapur sonde ke ruang rawat inap paling pendek

66

kurang lebih 50 meter dan paling jauh 400 meter dengan waktu tempuh kurang

lebih antara 5 sampai dengan 25 menit. Waktu tempuh yang lama akan

menyebabkan suhu makanan turun dan menyebabkan suhu makanan berada pada

“danger zone”. Hal ini akan memberikan peluang besar terjadinya peningkatan

pertumbuhan mikroba. Menurut Rahayu (2010) satu diantara delapan prinsip

penanganan pangan siap saji yang dapat diaplikasikan untuk menjaga keamanan

pangannya yaitu mempertahankan suhu pangan panas pada suhu sama atau lebih

dari 60 0 C atau suhu pangan dingin pada 5

0 C atau lebih rendah.

4. Pelatihan karyawan

Pemahaman tentang pentingnya prinsip-prinsip serta praktek higiene

sanitasi serta proses pengolahan makanan enteral harus dimiliki oleh

penanggungjawab dan pelaksana (penjamah) unit penyedia makanan enteral. Di

RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta penanggungjawab dan sebagian

penjamah telah mengikuti kursus higiene dan sanitasi sesuai dengan peraturan

yang berlaku. Sebagian penjamah yang lain berdasarkan informasi lisan

mendapatkan pengetahuan higiene dan sanitasi dari orang yang telah

berpengalaman. Kondisi demikian berdasarkan persyaratan dikategorikan kedalam

penilaian C (cukup). Agar mendapatkan kriteria B (baik), penanggungjawab dan

penjamah harus telah mengikuti kursus higiene dan sanitasi sesuai dengan

peraturan yang berlaku yaitu kursus higiene sanitasi jasaboga sesuai kurikulum

yang ditetapkan dalam Permenkes Nomor : 1096/Menkes/PER/VI/2011.

Berdasarkan evaluasi tersebut di atas, ada beberapa parameter yang dinilai

baik tetapi berdasarkan kajian pustaka hal tersebut belum memenuhi syarat.

Contoh dalam hal ini yaitu pemahaman sanitasi peralatan dan wadah. Demikian

juga dengan proses pembuatan makanan cair rumah sakit yaitu proses dilakukan

tanpa perebusan walaupun menggunakan kuning telur.

F. REKOMENDASI UNTUK PEMENUHAN PERSYARATAN CPMEB DI

RSPAD GATOT SOEBROTO DITKESAD JAKARTA.

Dalam rangka tercapainya visi yang baru RSPAD Gatot Soebroto

Ditkesad Jakarta yaitu menjadi rumah sakit berstandar internasional, rujukan

67

utama dan rumah sakit pendidikan serta merupakan kebanggaan prajurit dan

masyarakat maka unit penyedia makanan enteral juga perlu ikut mendukung.

Salah satu bentuk dukungan adalah menerapkan pemenuhan persyaratan CPMEB

untuk menjamin keamanan makanan enteral secara konsisten. Berdasarkan hasil

evaluasi pemenuhan persyaratan CPMEB, direkomendasikan hal-hal sebagai

berikut :

1. Aspek peralatan produksi

a) Melakukan sanitasi peralatan yang kontak dengan produk secara memadai.

Cara yang paling aman yaitu merebus peralatan sampai dengan suhu

permukaan peralatan ≥ 82 0C sebelum dipergunakan. Oleh karena itu di

ruang produksi perlu dilengkapi dengan kompor dan disertai pengisap

asap.

b) Menggunakan rak piring tertutup untuk mencegah terjadinya kontaminasi

silang dari debu sekitar ruangan.

2. Aspek pengendalian proses

a) Menambah tahap perebusan pada proses pembuatan makanan cair rumah

sakit sehingga makanan mencapai suhu 74 0C atau mengganti telur ayam

segar yang digunakan dengan tepung telur tersertifikasi.

b) Menggunakan wadah yang mudah disanitasi dengan volume satu porsi

(200-300 mL) dan layak digunakan sebagai wadah penyajian.

c) Mensanitasi wadah di ruang dapur sonde bukan di ruang rawat inap

maupun di dapur gizi sehingga selesai proses sanitasi dapat langsung

dilakukan pengisian. Dengan demikian tenggang waktu antara sanitasi dan

pengisian lebih pendek yang akhirnya meminimalisir terjadinya

kontaminasi silang yang berasal dari lingkungan sekitar.

d) Selalu menempelkan keterangan produksi pada setiap wadah per satu

porsi untuk menghindari salah sasaran dan untuk mempermudah

penelusuran apabila dibutuhkan konfirmasi dari konsumen (traceability).

e) Memperbaiki lemari penyimpanan hot & cool thermobox agar makanan

enteral cadangan dapat tersimpan pada suhu yang aman yaitu di luar

68

“danger zone”. Disamping itu juga untuk mengurangi jumlah makanan

enteral yang terbuang.

f) Menyediakan blender stainless steel yang dapat dipergunakan untuk

memblender dalam keadaan panas sehingga proses pembuatan makanan

saring tanpa susu tidak harus melalui tahap waktu tunggu. Tahap waktu

tunggu berisiko meningkatkan pertumbuhan mikroba.

3. Aspek pelatihan

a) Mewajibkan penanggung jawab dan seluruh penjamah makanan enteral

mendapatkan kursus higiene sanitasi jasaboga sesuai kurikulum yang

ditetapkan dalam Permenkes Nomor : 1096/Menkes/ PER/VI/2011.

b). Senantiasa meningkatkan pengetahuan keamanan pangan secara umum

agar selalu dapat mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1). Pedoman Cara Produksi Makanan Enteral yang baik (CPMEB) yang

dikembangkan dapat digunakan sebagai pedoman pemenuhan persyaratan

GMP unit penyedia makanan enteral di rumah sakit. Evaluasi pemenuhan

persyaratan menggunakan pedoman audit sarana produksi pada unit

makanan enteral di rumah sakit. Ada 13 (tiga belas) aspek yang harus

diperiksa.

2). Setelah dilakukan uji coba, jumlah aspek yang harus diperiksa tidak

mengalami perubahan tetapi aspek penyimpanan yang semula dimasukkan

ke dalam kelompok aspek utama dipindahkan ke kelompok aspek bukan

utama. Aspek penyimpanan diubah menjadi aspek penyimpanan bahan

baku setelah memindahkan parameter penyimpanan makanan enteral ke

aspek pengendalian proses dan parameter penyimpanan bahan berbahaya

ke aspek pengendalian hama. Aspek pengendalian proses dipindahkan ke

aspek utama.

3). Aspek dalam CPMEB yang harus diperiksa untuk mengevaluasi kondisi

sarana produksi makanan enteral meliputi 13 aspek meliputi bangunan dan

fasilitas; ruang produksi; peralatan produksi; fasilitas sanitasi;

penyimpanan bahan baku; pengendalian proses; manajemen pengawasan;

pengendalian hama; higiene karyawan; penyaluran makanan; pelatihan;

pemberian makanan enteral kepada pasien; serta pencatatan dan

dokumentasi. Diantara 13 (tiga belas) aspek tersebut yang dimasukkan ke

dalam kelompok aspek utama yaitu 4 (empat) aspek diantaranya adalah

ruang produksi; peralatan produksi; pengendalian proses; dan higiene

karyawan.

4). Persyaratan CPMEB yang diperketat dibandingkan dengan CPPSSB-2011

dan CPPB-IRT 2003 yaitu ruang produksi khususnya untuk parameter

kondisi dan letak ruang produksi; persyaratan sanitasi bagi wadah maupun

peralatan yang kontak langsung dengan makanan enteral dan sesudahnya

70

tidak ada penanganan yang dapat mematikan mikroba; seluruh aspek

utama harus bernilai B dan setiap parameter tidak boleh ada nilai kurang.

5). Berdasarkan hasil evaluasi pemenuhan CPMEB, unit penyedia makanan

enteral di rumah sakit Gatot Soebroto dikategorikan baik (B). Namun

demikian masih ada beberapa aspek yang perlu disempurnakan untuk

mencapai persyaratan yang maksimal. Oleh karena itu direkomendasikan

perbaikan beberapa aspek tersebut yaitu aspek peralatan produksi untuk

parameter penyimpanan peralatan, parameter pemeliharaan kebersihan dan

sanitasi serta parameter prosedur penanganan sanitasi blender; aspek

pengendalian proses untuk parameter jenis wadah, parameter volume

wadah, parameter keterangan produksi, parameter penyimpanan makanan

enteral; aspek penyaluran makanan; serta aspek pelatihan.

B. SARAN

1) Setelah persyaratan CPMEB unit penyedia makanan enteral (dapur sonde)

di rumah sakit Gatot Soebroto terpenuhi sebaiknya distribusi makanan

enteral dilakukan secara sentralisasi agar pengawasan pengendalian

keamanan makanan enteral lebih mudah dilakukan. Kemudian selanjutnya

keamanan pangan ditingkatkan melalui penerapan sistem Hazard Analysis

Critical Control Point (HACCP).

2) Perlu disusun SOP dan SSOP (Standard Sanitation Operation Procedures)

lengkap sesuai dengan kebutuhan operasional kegiatan dapur sonde. SOP

dan SSOP tersebut sebaiknya terdokumentasi dengan baik agar penerapan

persyaratan CPMEB terlaksana secara kontinyu dan konsisten.

3) Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengembangkan CPMEB pada

unit penyedia makanan enteral di catering diet.

4) Dengan menggunakan metode serupa perlu dikembangkan panduan audit

cara produksi makanan yang baik di penyelenggara makanan rumah sakit

maupun catering diet agar evaluasi pemenuhan GMP terukur dengan

jelas.

71

5) Setelah diterapkan CPMEB perlu dilakukan verifikasi terhadap uji

mikrobiologi produk (makanan enteral), uji sanitasi peralatan yang

permukaannya kontak dengan produk dan uji sanitasi ruangan.

6) Draf CPMEB yang tersusun ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan

pembuatan peraturan CPMEB di Indonesia.

72

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2005. Penuntun Diet. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Beattie TK, Anderton A. 2001. Decanting versus sterile pre-filled nutrient

containers-the microbiological risks in enteral feeding. Int J Environ

Health Res 11:81-93. http://search.proquest.com [19 Januari 2012].

Blackburn CW, McClure PJ. 2003. Foodborne pathogens hazard, risk analysis

and control. Woodhead Publishing Ltd and CRC Press LLC.

Best. 2008. Enteral tube feeding and infection control: how safe is our practice?

Br J Nurs 17(16):1036, 1038-41 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed

[11 Agustus 2012].

[BPOM]. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2003. Keputusan Kepala Badan

Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor: HK.

00.05.5.1639 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan yang Baik untuk

Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT). Jakarta: Badan POM Republik

Indonesia.

[BPOM]. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Peraturan Pemerintah (PP)

Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan

Gizi Pangan. Jakarta: Badan POM Republik Indonesia.

[BPOM]. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2011a. Peraturan Kepala Badan

POM Republik Indonesia Nomor HK. 03.1.52.08.11.07235 Tahun 2011

tentang Pengawasan Formula Bayi dan Formula Bayi untuk keperluan

Medis Khusus. Jakarta: Badan POM Republik Indonesia.

[BPOM]. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2011b. Peraturan Kepala Badan

POM Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.12.11.10720 Tahun 2011

tentang Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik untuk Formula

Bayi dan Formula Lanjutan Bentuk Bubuk. Jakarta: Badan POM Republik

Indonesia.

Chantarapanont W, L Slutsker, RV Tauxe, LR Beuchat. 2000. Factors influencing

inactivation of Salmonella enteritidis in hard-cooked eggs. J Food Prot.

63:36-43. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed [10 Desember 2012].

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Petunjuk Teknis Tatalaksana

Anak Gizi Buruk Buku II. Jakarta : Direktorat Jendral Bina Kesehatan

Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat.

Departemen Kesehatan. 2002. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan

Kualitas Air Minum. Jakarta : Menteri Kesehatan.

74

Escot-Stump S. 1998. Nutrition and Diagnosis-Related Care. Williams &

Wilkins.

Ewen CDT, Barry SM, Judy DG, Debra S, John H, Charles AB. 2010. Outbreaks

where food workers have been implicated in the spread of foodborne

disease. Part 7. Barriers to reduce contamination of food by workers.

J Food Prot 73 (8) 1552-1565.

http://www.ingentaconnect.com/search/article [10 September 2012].

Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia Jakarta.

Hariyadi P, Dewanti-Hariyadi R. 2011. Memproduksi Pangan yang Aman. Dian

Rakyat. Jakarta.

Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Modern Food Microbiology, 7th

edn.

Springer Science + Business Media Inc .

Jorge H. 2000. To keep food safe, stay out of the danger zone [abstract].

Food Mgmt 35:88-94. http://search.proquest.com [6 Agustus 2012].

Kementerian Kesehatan. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor : 1096/Men/Kes/Per/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga.

Jakarta: Menteri kesehatan.

Kementerian Perindustrian. 2010. Peraturan Menteri Perindustrian Republik

Indonesia Nomor: 75/M-IND/PER/7/2010 tentang Pedoman Cara Produksi

Pangan Olahan yang Baik (Good Manufacturing Practices). Jakarta:

Menteri Perindustrian.

Lukito W, Tambunan V, Gunawan I, Ambarwati FD. (editor). 2008. Pedoman

Praktis Pemilihan Formula Nutrisi Enteral. Jakarta : Perhimpunan Dokter

Spesialis Gizi Klinik Indonesia.

Mahan LK, Escott-Stump S, Raymond JL. 2012. Krause’s Food and the nutrition

care process, 13th

ed. Saunders, an imprint of Elsevier Inc

Moffit SK, Gohman SM, Sass KM & Faucher KJ. 1997. Clinical and laboratory

evaluation of a closed enteral feeding system under cyclic feeding

condtions: a microbial and cost evaluation. Nutrition 13:622-628.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed [6 Agustus 2012].

Oliveira MH, Bonelli R, Aidoo KE, Batista CRV. 2000. Microbiological quality

of reconstituted enteral formulation used in hospital [abstract]. Nutrition

16:729-733. http://web.ebscohost.com/ehost [ 19 Januari 2012].

Oliveira MR, Batista CRV, Aidoo KE. 2001. Application of hazard analysis

critical control point system to enteral tube feeding in hospital.

J Human Nutr Dietetic 14:397-403. http://web.ebscohost.com/ehost

[19 Januari 2012].

75

Rahayu WP, Arpah M. 2004. Pengetahuan Kemasan Plastik (produk industri

pangan dan jasaboga). Departemen Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas

Teknologi Pertanian IPB.

Rahayu WP. 2010. Keamanan Pangan untuk Mendukung Industri Jasaboga. Di

dalam: Rahayu WP dkk, Keamanan Pangan Peduli Kita Bersama. IPB

Press, Bogor.

Simadibrata M. 2009. Nutrisi Enteral. Di dalam: Sudoyo A, Bambang S, Idrus A,

Marcellus S, Siti S, editor, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V.

Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta.

[USFDA]. US Food and Drug Administration. 1995. Compliance program

guidance manual, Chapter 21 Program 7321.002. Washington DC : FDA

http://www.fda.gov/ICECI/EnforcementActions/BioresearchMonitoring

[22 Januari 2012].

Winarno FG. 2011a. GMP Cara Pengolahan Pangan Yang Baik. M-Brio Press,

Bogor

Winarno FG. 2011b. HACCP dan Penerapannya Dalam Industri Pangan. M-Brio

Press, Bogor.

76

LAMPIRAN

78

Lampiran 1 : Uji kelaikan fisik untuk higiene sanitasi makanan jasaboga *

No URAIAN BOBOT X No URAIAN BOBOT X 1

LOKASI, BANGUNAN, FASILITAS Halaman bersih, rapi, tidak becek, dan berjarak sedikitnya 500 meter dari sarang lalat / tempat pembuangan sampah, serta tidak tercium bau busuk atau tidak sedap yang berasal dari sumber pencemaran.

1

8

PENGHAWAAN Ruang kerja maupun peralatan dilengkapi ventilasi yang baik sehingga terjadi sirkulasi udara dan tidak pengap

1

2 Konstruksi bangunan kuat, aman, terpelihara, bersih dan bebas dari barang-barang yang tidak berguna atau barang sisa.

1 9

. AIR BERSIH Sumber air bersih aman, jumlah cukup dan bertekanan

5

3 Lantai kedap air, rata, tidak licin, tidak retak, terpelihara dan mudah dibersihkan.

1

10

AIR KOTOR Pembuangan air limbah dari dapur, kamar mandi, WC dan saluran air hujan lancar, baik dan tidak menggenang

1

4 Dinding dan langit-langit dibuat dengan baik, terpelihara dan bebas dari debu (sarang laba-laba)

1

11

FASILITAS CUCI TANGAN DAN TOILET

Jumlah cukup, tersedia sabun, nyaman dipakai dan mudah dibersihkan.

3

5 Bagian dinding yang kena percikan air dilapisi bahan kedap air setinggi 2 (dua) meter dari lantai

1

12

PEMBUANGAN SAMPAH Tersedia tempat sampah yang cukup, bertutup, anti lalat, kecoa, tikus dan dilapisi kantong plastik yang selalu diangkat setiap kali penuh.

2

6 Pintu dan jendela dibuat dengan baik dan kuat. Pintu dibuat menutup sendiri,membuka kedua arah dan dipasang alat penahan lalat dan bau. Pintu dapur membuka ke arah luar.

1

13

14

RUANG PENGOLAHAN

MAKANAN Tersedia luas lantai yang cukup untuk pekerja pada bangunan, dan terpisah dengan tempat tidur atau tempat mencuci pakaian Ruangan bersih dari barang yang tidak berguna. (barang tersebut disimpan rapi di gudang)

1 1

7

P E N C A H A Y A A N Pencahayaan sesuai dengan kebutuhan dan tidak menimbulkan bayangan. Kuat cahaya sedikitnya 10 fc pada bidang kerja.

1

15

16

17

KARYAWAN Semua karyawan yang bekerja bebas dari penyakit menular, seprti penyakit kulit, bisul, luka terbuka dan infeksi saluran pernafasan atas ISPA). Tangan selalu dicuci bersih, kuku dipotong pendek, bebas kosmetik dan perilaku yang higienis. Pakaian kerja, dalam keadaan bersih, rambut pendek dan tubuh bebas perhiasan.

5 5 1

79

Lampiran 1 : Uji kelaikan fisik untuk higiene sanitasi makanan jasaboga * (lanjutan) No URAIAN BOBOT X No. URAIAN BOBOT X 18 19

MAKANAN Sumber makanan, keutuhan dan tidak rusak. Bahan makanan terolah dalam kemasan asli, terdaftar, berlabel dan tidak kadaluwarsa.

5 1

26 Perlindungan terhadap serangga, tikus, hewan pelihara-an dan hewan pengganggu lainnya.

JUMLAH

4

65

20

PERLINDUNGAN

MAKANAN Penanganan makanan yang potensi berbahaya pada suhu, cara dan waktu yang memadai selama penyimpanan peracikan, persiapan penyajian dan pengangkutan makanan serta melunakkan makanan beku sebelum dimasak (thawing).

5

27

28

KHUSUS GOLONGAN A.1 Ruang pengolahan makanan tidak dipakai sebagai ruang tidur. Tersedia 1 (satu) buah lemari es (kulkas)

JUMLAH

1 4

70

21

Penanganan makanan yang potensial berbahaya karena tidak ditutup atau disajikan ulang.

4

29

30

31

KHUSUS GOLONGAN A.2 Pengeluaran asap dapur dilengkapi dengan alat pembuang asap. Fasilitas pencucian dibuat dengan tiga bak pencuci. Tersedia kamar ganti pakaian dan dilengkapi dengan tempat penyimpanan pakaian (loker).

JUMLAH

1 2 1

74

22 23

PERALATAN MAKAN DAN

MASAK

Perlindungan terhadap peralatan makan dan masak dalam cara pembersihan, penyimpanan, penggunaan dan pemeliharaan-nya. Alat makan dan masak yang sekali pakai tidak dipakai ulang.

2 2

32

33

34

KHUSUS GOLONGAN A.3 Saluran pembuangan limbah dapur dilengkapi dengan penangkap lemak ( grease trap) Tempat memasak terpisah secara jelas dengan tempat penyiapan makanan matang. Lemari penyimpanan dingin dengan suhu -5°C dilengkapi dengan ermometer

1 1 4

80

pengontrol.

24 25

Proses pencucian melalui tahapan mulai dari pembersihan sisa makanan, perendaman, pencucian dan pembilasan. Bahan racun / pestisida disimpan tersendiri di tempat yang aman, terlindung, mengguna-kan label / tanda yang jelas untuk digunakan

5 5

35 Tersedia kendaraan khusus pengangkut makanan

JUMLAH

3

83

Lampiran 1 : Uji kelaikan fisik untuk higiene sanitasi makanan jasaboga * (lanjutan) No URAIAN BOBOT X No. URAIAN BOBOT X 36 37 38 39 40

KHUSUS GOLONGAN B Pertemuan sudut lantai dan dinding lengkung (konus). Tersedia ruang belajar. Alat pembuangan asap dilengkapi filter (penyaring) Dilengkapi dengan saluran air panas untuk pencucian. Lemari pendingin dapat mencapai suhu – 10 °C.

JUMLAH

1 1 1 2 4

92

41 42 43 44

KHUSUS GOLONGAN C Ventilasi dilengkapi dengan alat pengatur suhu. Air kran bertekanan 15 psi. Lemari penyimpanan dingin tersedia untuk tiap jenis bahan dengan suhu yang sesuai dengan suhu yang sesuai kebutuhan. Rak pembawa makanan/alat dilengkapi dengan roda penggerak.

1 2 4 1

J U M L A H 100

*) sumber : Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 1096/Men/Kes/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga (Kementerian Kesehatan 2011)

81

Lampiran 2. Formulir pemeriksaan sarana produksi perusahaan pangan industri rumah tangga (IRT).

Nama dan alamat perusahaan Nama Pemilik/penanggungjawab :

Jenis Pangan : Nomor izin : Jumlah Karyawan : Umur Bangunan :

Kode: B : baik C : Cukup K : Kurang GROUP A. LINGKUNGAN PRODUKSI

3 Air yang kontak langsung dengan pangan

2 Perhiasan dan asesoris lainnya

1 Semak GROUP E. FASILITAS DAN KEGIATAN HIGIENE DAN SANITASI

GROUP H. PENGENDALIAN PROSES 2 Tempat sampah

3 Sampah 1 Penetapam spesifikasi bahan baku 4 Selokan E. 1. Alat Cuci/pembersih

GROUP B. BANGUNAN DAN FASILITAS

1 Ketersediaan alat 2 Penetapam komposisi dan formulasi bahan E.2 Fasilitas higiene karyawan

B.1. Ruang Produksi 1 Tempat cuci tangan 3 Penetapam cara produksi yang baku 1 Konstruksi lantai 2 Jamban/toilet

2 Kebersihan lantai E.3 Kegiatan hiegiene dan sanitasi

4 Penetapam spesifikasi kemasan 3 Konstruksidinding

4 Kebersihan dinding 1 Penanggungjawab 5 Penetapam tanggal kadaluarsa dan kode produksi

5 Konstruksi langit-langit Penggunaan detergen dan 6 Kebersihan langit-langit 2 Disenfektan 7 Konstruksi pintu,

jendela, dan lubang angin

GROUP F. PENGENDALIAN HAMA

GROUP I. LABEL PANGAN 1 Persyaratan label 1 Hewan peliharaan GROUP J. PENYIMPANAN

8 Kebersihan pintu, jendela, dan lubang angin

2 Pencegahan masuknya hama 1 Penyimpanan bahan dan produk 3 Pemberantasan hama

GROUP G. KESEHATAN DAN HIGIENE KARYAWAN

2 Tata cara penyimpanan B.2. Kelengkapan Ruang Produksi

3 Penyimpanan bahan berbahaya G.1. Kesehatan karyawan

1 Penerangan 1 Pemeriksaan kesehatan 4 Penyimpanan label dan kemasan 2 PPPK 2 Kesehatan karyawan

B.3. Tempat penyimpanan G.2. Kebersihan karyawan 5 Penyimpanan peralatan 1 Tempat penyimpanan

bahan dan produk 1 Kebersihan badan GROUP K. MANAJEMEN

PENGAWASAN 2 Kebersihan pakaian 2 Tempat penyimpanan

bahan bukan pangan 3 Kebersihan tangan 1 Penanggung jawab

4 Perawatan luka 2 pengawasan GROUP C. PERALATAN G.3. Kebiasaan Karyawan PRODUKSI 1 Perilaku karyawan GROUP L. PENCATATAN DAN 1 Konstruksi DOKUMENTASI 2 Tata letak 1 Pencatatan dan

dokumentasi 3 kebersihan GROUP D. SUPLAI AIR 2 Penyimpanan catatan

dan dokumentasi 1 Sumber air 2 Pengguna air GROUP M. PELATIHAN KARY. 1 PENGETAHUAN

KARYAWAN

Lampiran 3. Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1096/ Men.Kes/Per/VI/201 (CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung

82

CPPSSB tahun 2011

(1)

CPPOB Formula Bayi tahun 2011

(2)

CPPB-IRT tahun 2003

(3)

Pustaka yang mendukung

(4)

Draf Formulir audit GMP makanan enteral

(5)

Justifikasi

(6) LOKASI, BANGUNAN, FASILITAS Halaman bersih, rapi, tidak becek, dan berjarak sedikitnya 500 meter dari sarang lalat / tempat pembuangan sampah, serta tidak tercium bau busuk atau tidak sedap yang berasal dari sumber pencemaran. (1)

(1)

LOKASI Sarana produksi harus berada di daerah yang jauh dari tempat yang dapat membahayakan kesehatan.

Lokasi penyimpanan peralatan dan perlengkapan harus memperhatikan kemudahan proses pembersihan dan perawatan ; dapat digunakan sesuai dengan fungsinya ; menunjang cara higiene yang baik.

LINGKUNGAN PRODUKSI (A) 1.Semak 2.Tempat sampah 3.Selokan

Sarana jalan Jalan menuju sarana produksi dan sekitarnya dibuat sedemikian rupa sehingga tidak terjadi genangan air atau debu berterbangan jika dilewati kendaraan.

Persyaratan lokasi untuk unit penyedia makanan enteral merupakan bagian dari persyaratan unit gizi rumah sakit sehingga lokasi tidak menjadi aspek yang harus diamati secara khusus.

(2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

83

Lingkungan dan Pekarangan Ada seorang yang bertanggung jawab mencegah pencemaran di lingkungan sarana produksi

BANGUNAN DAN FASILITAS Konstruksi bangunan kuat, aman, terpelihara, bersih dan bebas dari barang-barang yang tidak berguna atau barang sisa. (2) Lantai kedap air, rata, tidak licin, tidak retak, terpelihara dan mudah dibersihkan(3) Dinding dan langit-langit dibuat dengan baik, terpelihara dan bebas dari debu (sarang laba-

(1)

BANGUNAN DAN FASILITAS Bangunan beserta fasilitasnya merupakan kontruksi yang baik; dihindari penggunaan bahan yang tidak dapat dibersihkan dengan baik dan didisinfeksi; dirancang sedemikian rupa sehingga mencegah masuk dan bersarangnya hama ; masuknya cemaran lingkungan seperti asap, debu, dll ; terhindar dari pencemaran silang dan sanitasi dapat terlaksana

(2)

BANGUNAN DAN FASILITAS (B) Ruang Produksi (B1) 1. Konstruksi lantai 2. Kebersihan lantai 3. Konstruksi dinding 4. Kebersihan dinding 5. Konstruksi langit-

langit 6. Kebersihan langit-

langit 7. Konstruksi pintu,

jendela dan lubang angin.

8. Kebersihan pintu, jendela dan lubang angin

(3)

(4)

BANGUNAN DAN FASILITAS 1. Konstruksi lantai 2. Kebersihan lantai 3. Konstruksi dinding 4. Kebersihan dinding 5. Konstruksi langit-

langit 6. Kebersihan langit-

langit 7. Konstruksi pintu,

jendela dan lubang angin.

8. Kebersihan pintu, jendela dan lubang angin

(5)

Persyaratan bangunan dan fasilitas untuk produksi makanan enteral pada prinsipnya sama dengan CPPSSB-2011 dan CPPB-IRT 2003 yaitu kuat, bersih dan mudah dibersihkan.

(6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

84

laba)(4). Bagian dinding yang kena percikan air dilapisi bahan kedap air setinggi 2 (dua) meter dari lantai (5) dan dinding lengkung (konus) (untuk golongan B) (36)

dengan mudah yaitu dengan cara mengatur alir proses.

PERALATAN MAKANAN Perlindungan terhadap peralatan makan dan masak dalam cara pembersihan, penyimpanan, penggunaan dan pemeliharaannya (22) Alat makan dan masak yang sekali pakai tidak dipakai ulang (23)

PERALATAN DAN PERLENGKAPAN Peralatan dan perlengkapan yang bersentuhan dengan pangan harus dirancang sedemikian rupa sehingga mudah dibersihkan, di disinfeksi dan tidak mencemari pangan ; mudah dipindahkan atau dibongkar sehingga memudahkan perawatan ; terbuat dari bahan yang tidak beracun ; tahan untuk digunakan sesuai peruntukkannya.

PERALATAN PRODUKSI (C) 1. Konstruksi 2. Tata letak 3. Kebersihan

Oliveira et al. (2000) Penyebab utama terjadinya kontaminasi pada penyiapan makanan enteral berasal dari blender yang dipergunakan untuk merekonstitusi makanan enteral

PERALATAN PRODUKSI 1. Peralatan produksi 2. Penyimpanan

peralatan 3. Pemeliharaan

kebersihan dan sanitasi

4. Prosedur penanganan sanitasi blender

Peralatan produksi makanan enteral sama seperti halnya peralatan jasaboga. Akan tetapi karena makanan enteral diperuntukkan bagi kelompok orang rentan maka selain persyaratan kebersihan dan penyimpanan pada ruang tertutup juga dipersyaratkan saniter.

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

85

Proses pencuciaan melalui tahapan mulai dari pembersihan sisa makanan, perendaman, pencucian dan pembilasan (24)

Rancangan, konstruksi dan penggunaan peralatan dan perlengkapan harus dapat mencegah pangan dari pencemaran oleh minyak pelumas, bahan bakar, pecahan-pecahan logam, air yang tercemar atau bahan pencemar lainnya. Celah antara peralatan dan perlengkapan harus terawat dan mudah dibersihkan. Peralatan dan perlengkapan yang digunakan untuk pemasakan, pemanasan, pendinginan, pembekuan dan penyimpanan harus dirancang sehingga dapat mencapai suhu yang dikehendaki.

Oliveira et al. (2001) Pencucian blender di lakukan dengan cara membongkar peralatan dan diikuti dengan sanitasi menggunakan disinfektan, setiap kali proses

Blender merupakan salah satu sumber kontaminasi yang harus mendapat perhatian oleh karena itu dicantumkan dalam parameter tersendiri tidak digabungkan dengan parameter peralatan produksi yang lain.

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

86

Perlengkapan dibagian atas tempat produksi formula bubuk harus dipasang sedemikian rupa sehingga mencegah pencemaran langsung maupun tidak langsung oleh tetesan air yang terkontaminasi dan tidak boleh menghalangi pembersihan

AIR BERSIH Sumber air bersih aman, jumlah cukup dan bertekanan (9). AIR KOTOR Pembuangan air limbah dari dapur, kamar mandi, WC dan saluran air hujan lancar, baik dan tidak menggenang (10) Fasilitas pencucian dibuat dengan tiga bak pencuci (untuk golongan A2) (30)

FASILITAS SANITASI Air yang dipergunakan pada penanganan pangan adalah air yang memenuhi persyaratan air minum (sebagaimana di tetapkan dalam keputusan Men.Kes tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum) Harus tersedia pasokan air yang memenuhi persyaratan air minum dengan tekanan, jumlah dan suhu yang cukup. Harus ada sistem yang

SUPLAI AIR (D) 1. Sumber air 2. Penggunaan air. 3. Air yang kontak langsung dengan pangan

FASILITAS SANITASI 1. Penggunaan air 2. Air yang kontak

langsung dengan pangan

3. Tempat sampah 4. Tempat cuci tangan 5. Tempat cuci bahan

pangan dan peralatan

6. Alat cuci/pembersih 7. Jadwal kegiatan

sanitasi

Fasilitas sanitasi yang diperlukan untuk produksi makanan enteral mirip dengan yang dibutuhkan untuk industri rumah tangga

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

87

Dilengkapi dengan saluran air panas untuk pencucian (untuk golongan B) (39) Air kran bertekanan 15 psi (untuk golongan C) (42). PEMBUANGAN SAMPAH Tersedia tempat sampah yangcukup, bertutup, anti lalat, kecoa, tikus dan dilapisi kantong plastik yang selalu diangkat setiap kali penuh (12) Saluran pembuangan limbah dapur dilengkapi dengan penangkap lemak ( grease trap) (untuk golongan A3) (32)

terpisah untuk air yang dapat diminum dan tidak dapat diminum serta dapat diidentifikasi. Uap yang tidak bersentuhan langsung dengan pangan atau bagian dari peralatan dan perlengkapan yang bersentuhan dengan pangan tidak boleh mengandung zat atau bahan yang membahayakan kesehatan atau yang dapat mencemari pangan. SELOKAN DAN SAMPAH Sarana produksi harus mempunyai sistem saluran buangan dan pembuangan sampah yang efisien dan harus dirawat dan diperbaiki.

LINGKUNGAN PRODUKSI (A) 1.Semak. 2.Tempat sampah 3.Sampah 4.Selokan

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

88

FASILITAS CUCI TANGAN DAN TOILET Jumlah cukup, tersedia sabun, nyaman dipakai dan mudah dibersihkan (11)

FASILITAS CUCI TANGAN DI RUANG PRODUKSI Di tempat penanganan bahan yang dapat dimakan yang tidak terkemas perlu disediakan fasilitas cuci tangan dan alat pengeringnya. Harus disediakan air panas dan air dingin, sabun ; tissue atau alat pengering tangan. Bila tersedia air panas dan air dingin, perlu disediakan kran pencampur. Peralatan untuk cuci tangan sebaiknya dirancang dalam bentuk yang tidak mencemari kembali tangan yang sudah bersih atau sudah disanitasi.

FASILITAS DAN KEGIATAN HIGIENE DAN SANITASI (E). Ketersediaan alat cuci/pembersih dan terawat baik (E1) Fasilitas higiene karyawan berupa tempat cuci tangan dan jamban/toilet dalam hal ketersediaan dan jumlah (E2). Ada penanggung jawab kegiatan higiene dan sanitasi serta pengawasan dilakukan secara rutin (E3). Penggunaan deterjen dan disinfektan seperti yang dianjurkan (E3)

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

89

Tersedia keterangan cara mencuci atau mensanitasi pangan yang mudah dimengerti. Tersedia fasilitas untuk pembersihan dan disinfeksi peralatan dan perlengkapan diseluruh tempat produksi yang memerlukannya. Dalam rangka mempertahankan area risiko tinggi sebaiknya dilakukan prosedur pembersihan kering. Jika tidak dimungkinkan dapat dilakukan proses pembersihan basah yang dikontrol dengan baik disertai dengan pelaksanaan pengeringan yang tepat dan menyeluruh

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

90

PENCAHAYAAN Pencahayaan sesuai dengan kebutuhan dan tidak menimbulkan bayangan. Kuat cahaya sedikitnya 10 fc pada bidang kerja (7)

PENERANGAN Sarana produksi harus mendapat penerangan yang memadai dari cahaya matahari maupun lampu. Bila perlu, cahaya tersebut tidak boleh merubah warna. Intensitasnya diatur sesuai kegiatan yang dilakukan, sekurang-kurangnya harus sebagai berikut : Setiap tempat : 540 Lux (50”foot candles) Ruangan kerja : 220 Lux (20”foot candles) Ruangan lain : 110 Lux (10”foot candles) Lampu dan perlengkapannya yang berada diatas pangan pada tiap tahap produksi harus dari jenis yang aman dan diberi pelindung, agar bila pecah tidak mencemari pangan.

KELENGKAPAN RUANG PRODUKSI (B2) 1.Penerangan 2.PPPK

Penerangan

Parameter penerangan masuk kedalam aspek ruang produksi. P3K tidak dimasukkan sebagai parameter CPMEB karena sudah menjadi persyaratan dapur gizi

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

91

PENGHAWAAN Ruang kerja maupun peralatan dilengkapi ventilasi yang baik sehingga terjadi sirkulasi udara dan tidak pengap (8)

VENTILASI Harus tersedia ventilasi yang memadai untuk : • Mencegah panas uap

air kondensasi dan debu yang berlebihan dan untuk menghilangkan udara yang tercemar

Pengeluaran asap dapur dilengkapi dengan alat pembuang asap (untuk golongan A2 ) (29) Alat pembuangan asap dilengkapi filter (penyaring) (untuk golongan). B (38) Ventilasi dilengkapi dengan alat pengatur suhu (untuk golongan C) (41)

• Mengontrol suhu

ruangan • Mengontrol bau yang

dapat mempengaruhi kelayakan formula bubuk

• Mengontrol kelembaban

Pengolahan makanan enteral sangat sederhana sehingga asap tidak banyak. Oleh karena itu ventilasi cukup berasal dari jendela, pintu dan lubang angin.

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

92

(1) (2) (3) (4) (5) (6) PERLINDUNGAN MAKANAN Penanganan makanan yang potensi berbahaya pada suhu, cara dan waktu yang memadai selama penyimpanan peracikan, persiapan penyajian dan pengangkutan makanan serta melunakkan makanan beku sebelum dimasak (thawing) (20) Penanganan makanan yang potensial berbahaya karena tidak ditutup atau disajikan ulang (21) Penyimpanan harus memperhatikankan prinsip FIFO dan atau FEFO (*)

FASILITAS PENYIMPANAN Harus disediakan fasilitas penyimpanan pangan, ingridien dan bahan kimia non-pangan (contohnya bahan pembersih, pelumas dan bahan bakar). Fasilitas tersebut sebaiknya dirandang untuk : • Memudahkan kegiatan

pembersihan dan perawatan

• Mencegah masuknya hama dan hewan pengganggu lainnya

• Mencegah kerusakan pangan (contohnya dengan melakukan pengaturan suhu dan kelembaban ruangan)

PENYIMPANAN (J) 1. Penyimpanan

bahan dan produk 2. Tata cara

penyimpanan 3. Penyimpanan

bahan berbahaya 4. Penyimpanan label

dan kemasan. 5. Penyimpanan

peralatan

Oliveira et al. (2001) menyebutkan bahwa hasil penelitian yang dilakukan terhadap penerapan HACCP makanan enteral di rumah sakit ditemukan bahwa rata-rata temperatur lemari pendingin yang dipergunakan untuk menyimpan makanan enteral siap konsumsi menunjukkan temperatur 7o

PENYIMPANAN

C. Menurut Jay et al. (2005) suhu yang direkomendasikan untuk penyimpanan makanan enteral yang telah

1. Tempat penyimpanan bahan baku

2. Tata cara penyimpanan

3. Penyimpanan makanan enteral

4. Penyimpanan bahan berbahaya

Penyimpanan bahan baku, tata cara penyimpanan dan penyimpanan bahan berbahaya mirip dengan CPPB-IRT. Kadang-kadang makanan enteral FRS maupun FK yang telah direkonstitusi tidak langsung dikonsumsi. Pada kasus seperti ini makanan enteral harus segera disimpan pada suhu 0-70C dengan lama penyimpanan maksimal 24 jam..

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

93

Tersedia 1 (satu) buah kulkas (untuk golongan A1) (28). Tersedia lemari penyimpanan dingin dengan suhu 5oC dilengkapi dengan termometer pengontrol (untuk golongan A3) (34). Lemari pendingin dapat mencapai suhu -10o

Bahan baku dan bahan lain harus disimpan sedemikian rupa sehingga terhindar daripencemaran, kerusakan, dan penurunan mutu. Stok bahan baku dan ingredien yang digunakan harus diatur rotasi stoknya dengan sistem First Expiry First Out (FEFO) dan atau First In First Out (FIFO) dan bahan tertentu harus disimpan dalam kondisi dingin. C

(untuk golongan B) (40). Lemari pendingin tersedia untuk tiap jenis bahan dengan suhu yang sesuai kebutuhan (untuk golongan C) (43)

TEMPAT PENYIMPANAN (B3) 1. Tempat

penyimpanan bahan dan produk

2. Tempat penyimpanan bahan bukan produk.

direkonstitusi yaitu antara 0oC sampai dengan 7oC dengan suhu optimum 4,4o

C.

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

94

PRIORITAS DALAM MEMASAK Dahulukan memasak makanan yang tahan lama, makanan rawan seperti makanan berkuah dimasak paling akhir (*) MAKANAN Sumber makanan, keutuhan dan tidak rusak (18). Bahan makanan terolah dalam kemasan asli, terdaftar, berlabel dan tidak kadaluwarsa (19).

PENERIMAAN BAHAN Penerimaan bahan harus sesuai dengan spesifikasi, harus memiliki prosedur verifikasi yang dapat memastikan kinerja pemasok. BAHAN BAKU DAN BAHAN LAIN Perusahaan harus menyiapkan pedoman tertulis untuk pelaksanaan penanganan, penyimpanan dan pengangkutan bahan baku dan bahan lain disertai dengan lembar kerja untuk pemantauan pelaksanaan kegiatan tersebut. Pedoman tersebut harus memuat cara pencegahan kerusakan melalui pengaturan suhu, kelembaban serta lainnya.

PENGENDALIAN PROSES (H) 1. Penetapan

spesifikasi bahan baku.

2. Penetapan komposisi dan formulasi bahan.

3. Penetapan cara produksi yang baku.

4. Penetapan spesifikasi kemasan.

5. Penetapan tanggal kadaluarsa dan kode produksi.

PENGENDALIAN PROSES 1. Penetapan spesifikasi

bahan baku 2. Proses produksi

makanan enteral 3. Jenis wadah 4. Volume wadah 5. Keterangan produksi 6. Bank sampel

Produk yang bermutu berasal dari bahan baku yang bermutu dan proses yang benar oleh karena itu diperlukan spesifikasi bahan baku dan standar proses. Hasil penelitian Beattie et al. (2001) menyatakan bahwa penuangan merupakan sumber kontaminasi maka untuk mengurangi frekuensi penuangan digunakan wadah dengan volume satu kali konsumsi (porsi)

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

95

Bahan baku dan bahan lain yang disuplai harus dapat dijaga sehingga tidak dapat mengandung cemaran pada produk akhir dalam jumlah yang dapat menyebabkan penyakit pada bayi dan anak. Bahan baku yang disuplai oleh perusahaan tidak boleh mengandung parasit, mikroba atau toksin, bahan-bahan pencemar lainnya yang tidak dapat dikurangi jumlahnya sampai batas yang dapat diterima/aman, melalui proses sortasi, persiapan dan atau pengolahan.

Setiap kali produksi unit penyedia makanan enteral akan memproduksi makanan enteral yang bervariasi tergantung diet pasien. Untuk menghindari kekeliruan pemberian, perlu ditulis keterangan produksi pada bagian luar kemasan. Keterangan yang diperlukan antara lain jam produksi, diet dan peruntukan. Kadang-kadang makanan enteral FRS maupun FK yang telah direkonstitusi tidak langsung dikonsumsi. Pada kasus seperti ini makanan enteral harus segera disimpan pada suhu (0OC - 7 OC) dengan lama penyimpanan maksimum 24 jam.

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

96

PENGENDALIAN PROSES Waktu dan suhu pemanasan, pendinginan, proses dan penyimpanan perlu di atur dengan tepat untuk menjaga keamanan dan kualitas pangan. Seluruh tipe proses yang digunakan harus dilakukan kegiatan untuk menghindari pencemaran pada saat proses pembuatan formula bubuk. Tindakan yang efektif harus dilakukan untuk mencegah pencemaran bahan pangan secara langsung atau tidak langsung dengan bahan lain pada tahap proses yang seawal mungkin.

Seperti halnya pangan siap saji, makanan enteral mempunyai peluang terkontaminasi. Bank sampel diperlukan untuk konfirmsi bila terjadi gangguan atau tuntutan konsumen.

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

97

Pencegahan pencemaran mikroba dapat dilakukan dengan cara : bahan baku yang belum diolah harus dipisahkan dari produk akhir, jalan masuk ke ruang produksi harus dibatasi dan dikontrol, untuk area berisiko tinggi operator harus memakai pakaian khusus termasuk alas kaki serta mencuci tangan sebelum memasuki ruangan.

PENGEMASAN Bahan pengemasan harus bermutu baik dan memberikan perlindungan yang cukup terhadap pencemaran.

LABEL PANGAN (I) 1. Persyaratan label

Parameter pengemasan atau dalam hal CPMEB disebut dengan wadah masuk ke dalam pengendalian proses, karena pada dasarnya wadah untuk makanan enteral merupakan wadah yang digunakan hanya dalam waktu pendek (max. 24 jam).

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

98

Kemasan harus diperiksa segera sebelum digunakan untuk menjamin kebersihannya. Pengemasan harus dilaksanakan dalam kondisi yang dapat mencegah terjadinya pencemaran terhadap formula bahan. Setiap kemasan harus diberikan tanda yang jelas dan permanen dalam bentuk kode atau tulisan yang menunjukkan “lot/batch” Panduan untuk menyiapkan dan menyajikan formula bayi, formula lanjutan dan formula untuk keperluan medis khusus bagi bayi.

Wadah harus dalam keadaan tersanitasi untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang.

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

99

MANAJEMEN DAN SUPERVISI Pengawasan produk akhir formula bubuk harus sesuai dengan standar mutu atau persyaratan yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia atau regulasi teknis yang terkait. Mutu dan keamanan produk akhir harus dipantau secara berkala dengan melakukan pengujian organoleptik, fisik, kimia, mikrobiologi dan atau biologi.

MANAJEMEN PENGAWASAN (K) 1. Penanggung jawab 2. Pengawasan

MANAJEMEN PENGAWASAN 1. Penanggung jawab

proses produksi 2. Pengawasan proses

produksi dan higiene sanitasi

Pelaksanaan manajemen pengawasan proses produksi dan higiene sanitasi mirip pada CPPB-IRT

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

100

PROSEDUR PENARIKAN Manajemen perusahaan harus menjamin prosedur penarikan produk dilaksanakan tepat dan efektif untuk menangani bahaya keamanan pangan dan untuk melakukan penarikan produk bermasalah dengan mudah dan cepat dari peredaran. PEMELIHARAAN DAN PEMBERSIHAN SARANA PRODUKSI Residu bahan pembersih pada permukaan perlengkapan atau peralatan yang bersentuhan dengan pangan harus dihilangkan melalui pembilasan dengan air yang memenuhi persyaratan air minum sebelum digunakan.

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

101

Lantai termasuk saluran pembuangan, dinding dan bagian dari tempat produksi pangan harus dibersihkan segera setelah pekerjaan selesai atau pada waktu yang ditentukan. PROGRAM PEMBERSIHAN Program pembersihan harus mampu menjamin kebersihan semua perlengkapan, peralatan dan bangunan sarana produksi. Perlengkapan harus dikeringkan secepatnya untuk mencegah pertumbuhan pada perlengkapan. Perlengkapan yang sulit dikeringkan sehingga memungkinkan terjadi pertumbuhan mikroba, harus didisinfeksi segera sebelum digunakan.

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

102

Perlindungan terhadap serangga, tikus, hewan peliharaan dan hewan pengganggu lainnya (25). Ruang pengolahan makanan tidak dipakai sebagai ruang tidur (26).

SISTEM PENGENDALIAN HAMA

Praktek kebersihan yang baik harus diterapkan untuk menghindari terbentuknya lingkungan yang kondusif untuk hama. Sanitasi yang baik, pemeriksaan bahan yang masuk dan pemantauan yang baik dapat meminimalkan kemungkinan serangan hama, dengan demikian mengurangi kebutuhan pestisida. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain bangunan selalu dijaga dalam keadaan terawat dan kondisi baik untuk mencegah akses hama dan menghilangkan tempat yang berpotensi untuk berkembang biak hama.

PENGENDALIAN HAMA (F) 1. Hewan peliharaan. 2. Pencegahan

masuknya hama 3. Pemberantasan

hama

PENGENDALIAN HAMA 1. Pencegahan

masuknya hama 2. Pemberantasan

hama

Cara mengendalikan hama pada prinsipnya mirip dengan CPPSSB-2011 dan CPPB-IRT 2003.

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

103

Pemantauan dan deteksi harus dilakukan secara berkala terhadap tanda infestasi hama. Infestasi hama harus ditangani dengan segera dan tanpa mempengaruhi keamanan atau kelayakan pangan.

PENANGANAN DAN PENGOLAHAN LIMBAH Limbah harus ditangani sedemikian rupa untuk menghindari pencemaran terhadap pangan atau air minum.

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

104

PEMANTAUAN KEEFEKTIFAN Pemantauan keefektifan prosedur pembersihan dan disinfeksi dilakukan secara mikrobiologi terhadap pangan dan permukaan yang bersentuhan dengan pangan.

KARYAWAN Semua karyawan yang bekerja bebas dari penyakit menular, seprti penyakit kulit, bisul, luka terbuka dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) (15) Tangan selalu dicuci bersih, kuku dipotong pendek, bebas kosmetik dan perilaku yang higienis (16)

HIGIENE KARYAWAN Setiap karyawan yang bersentuhan dengan pangan, dengan bagian peralatan dan perlengkapan yang bersentuhan dengan pangan dan dengan pengendalian penyakit, kebersihan dan kebiasaan karyawan untuk menjamin higiene karyawan. Kebersihan, kesehatan dan perilaku sehat karyawan harus dipersyaratkan sejak proses penerimaan.

KESEHATAN DAN HIGIENE KARYAWAN (G) Karyawan selalu dalam keadaan sehat ditunjukkan oleh hasil pemeriksaan kesehatan secara berkala (G1) Kebersihan karyawan di tinjau dari (G2) : 1.Kebersihan badan 2.Kebersihan pakaian 3.Kebersihan tangan 4.Perawatan luka

HIGIENE KARYAWAN 1. Kebersihan

karyawan 2. Kebersihan tangan 3. Pemeriksaan

kesehatan 4. Kesehatan karyawan 5. Perilaku karyawan 6. Perhiasan dan

asesoris lainnya

Persyaratan kesehatan dan higiene karyawan pengolah makanan enteral pada dasarnya sama dengan penjamah makanan pada jasaboga maupun industri rumah tangga.

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

105

Pakaian kerja, dalam keadaan bersih, rambut pendek dan tubuh bebas perhiasan (17)

Kebiasaan karyawan ditinjau dari perilaku karyawan dan pemakaian perhiasan (G3).

Tenaga/karyawan pengolah makanan (*): Memiliki sertifikat 1. kursus higiene

sanitasi makanan. 2. Berbadan sehat yang dibuktikan dengan surat dokter. 3. Tidak mengidap penyakit menular seperti tipus, kolera, TBC, hepatitis dan lain-lain atau pembawa kuman (carrier). 4. Setiap karyawan

harus memiliki buku pemeriksaan

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Karyawan yang bertanggung jawab dalam mengidentifikasi kesalahan sanitasi atau pencemaran pangan harus memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan.

PELATIHAN KARYAWAN (M) Pengetahuan karyawan

PELATIHAN 1. Pengetahuan

karyawan

Pelatihan karyawan diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan dan ktrampilan yang akhirnya mendorong karyawan untuk menerapkan hasil pelatihan. Kebutuhan pelatihan pada prinsipnya sama dengan CPPSSB-2011 dan CPPB-IRT 2003.

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

106

5. kesehatan yang berlaku

6. Semua kegiatan pengolahan makanan harus dilakukan dengan cara terlindung dari kontak langsung dengan tubuh.

7. Perilaku selama bekerja/mengolah makanan tidak merokok,tidak makan atau mengunyah, tidak memakai perhiasan, tidak memakai peralatan dan fasilitas yang bukan untuk keperluannya, selalu mencuci tangan sebelum dan setelah bekerja dan setelah keluar dari toilet/jamban, selalu memakai pakaian kerja yang bersih, tidak banyak

Penanganan pangan dan supervisor harus menerima pelatihan dan pendidikan mengenai teknik dan prinsip penanganan pangan yang baik, serta dijelaskan bahaya yang dapat timbul dari higiene karyawan yang buruk. Supervisor atau penanggungjawab pengolahan PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Karyawan yang bertanggung jawab dalam mengidentifikasi kesalahan sanitasi atau pencemaran pangan harus memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan. Penanganan pangan dan

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

107

berbicara dan selalu menutup mulut pada saat batuk atau bersin dengan menjauhi makanan atau keluar ruangan, tidak menyisir rambut di dekat makanan yang akan dan telah diolah.

supervisor harus menerima pelatihan dan pendidikan mengenai teknik dan prinsip penanganan pangan yang baik, serta dijelaskan bahaya yang dapat timbul dari higiene karyawan yang buruk. Supervisor atau penanggungjawab pengolahan Pengolahan pangan harus memiliki pengetahuan yang dibutuhkan mengenai prinsip higiene dan sanitasi pangan serta pelaksanaan cara produksi yang baik untuk dapat memperkirakan risiko yang dapat muncul dan untuk mengambil langkah penanggulangan yang diperlukan.

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

108

Pelatihan Penyegaran Diperlukan penjadwalan pelatihan lanjutan untuk perbaikan atau penyegaran terhadap prosedur yang sudah dilakukan.

Tersedia kendaraan khusus pengangkut makanan (untuk golongan A3) (35) Rak pembawa makanan/alat dilengkapi dengan roda penggerak (untuk golongan C) (44).

TRANSPORTASI Proses transportasi formula bubuk harus sesuai dengan cara distribusi pangan yang baik.

PENYALURAN MAKANAN 1. Suhu saat penyaluran

makanan. 2. Alat penyaluran

Makanan enteral diperuntukkan bagi orang yang rentan terhadap kesehatan. Selama prosesnya tidak ada perlakuan yang ditujukan untuk mengawet. Oleh karena itu perlu dijaga agar tidak mudah terjadi kontaminasi selama penyaluran. Pencegahan dilakukan dengan cara menghindari “danger zone” dan mengusahakan sehigienis mungkin pada saat penyaluran.

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

109

Pengangkutan bahan baku maupun makanan jadi tidak bercampur dengan bahan berbahaya, beracun, menggunakan kendaraan khusus pengangkut bahan makanan yang higiene, suhu bahan makanan harus menjamin tidak terjadi kontaminasi (*)

INFORMASI PRODUK DAN PENDIDIKAN KONSUMEN Informasi produk yang dimaksud di dalam pedoman ini adalah pelabelan termasuk keterangan mengenai lot atau batch produk. Pemberian label yang jelas dan informatif memudahkan konsumen untuk memilih, menangani, menyimpan, mengolah dan mengkonsumsi produk,

PEMBERIAN MAKANAN ENTERAL KEPADA PASIEN SOP pemberian makanan enteral kepada pasien.

Berdasarka penelitian Best (2008) terindikasi bahwa terjadi kesenjangan antara standar sistem penyajian makanan enteral dan praktek di lapangan sehingga diperlukan SOP untuk mengontrol bahwa pemberian makanan enteral sudah dilakukan sebagaimana mestinya.

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Lampiran 3 : Perbandingan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Men.Kes/Per/VI/2011(CPPSSB 2011), Pedoman CPPOB untuk formula bayi dan formula lanjutan bentuk bubuk tahun 2011, Pedoman CPPB-IRT thn 2003, serta pustaka-pustaka yang mendukung (lanjutan)

110

sedangkan keterangan lot/batch diperlukan produsen untuk dokumentasi produk. Pendidikan konsumen- perlu disusun dokumen yang bersifat edukatif mengenai cara penyiapan dan penggunaan formula bubuk untuk didistribusikan kepada seluruh konsumen.

PENCATATAN DAN DOKUMENTASI Pencatatan dan dokumentasi yang harus dibuat adalah mengenai proses pengolahan dan produksi dari setiap lot/batch ; untuk verifikasi dalam rangka pengendalian proses produksi dan mengenai karyawan yang mengikuti pendidikan dan pelatihan

PENCATATAN DAN DOKUMENTASI ( L) 1. Pencatatan dan

dokumentasi. 2. Penyimpanan

catatan dan dokumentasi

PENCATATAN DAN DOKUMENTASI 1. Pelaksanaan

pencatatan dan dokumentasi.

2. Penyimpanan catatan

Mekanisme pencatatan dan dokumentasi mirip dengan CPPB – IRT 2003.

`Keterangan : (*) parameter yang tercantum pada pedoman umum tetapi tidak tercantum pada formulir uji kelaikan fisik.

111

PEDOMAN CARA PRODUKSI MAKANAN ENTERAL YANG BAIK (CPMEB) DI RUMAH SAKIT

I. BANGUNAN DAN FASILITAS RUANG PRODUKSI

Bangunan dan fasilitas ruang produksi seharusnya didesain dan dikonstruksi sedemikian rupa sehingga kuat, mudah dibersihkan serta dapat menjamin terciptanya mutu dan keamanan pangan.

1) Disain dan Tata Letak

Ruang produksi seharusnya cukup luas dan mudah dibersihkan.

2) Lantai a) Lantai seharusnya dibuat dari bahan kedap air, rata, halus

tetapi tidak licin, kuat, mudah dibersihkan dan dibuat miring untuk memudahkan pengaliran air.

b) Lantai seharusnya dibuat dari bahan kedap air, rata, halus tetapi tidak licin, kuat, mudah dibersihkan.

c) Lantai harus selalu dalam keadaan bersih dari debu, lendir dan kotoran lainnya.

3) Dinding

a) Dinding seharusnya dibuat dari bahan kedap air, rata, halus, berwarna terang, tahan lama, tidak mudah megelupas, kuat dan mudah dibersihkan.

b) Dinding harus selalu dalam keadaan bersih dari debu, lendir, dan kotoran lainnya.

4) Langit- langit

a) Konstruksi langit-langit seharusnya didisain dengan baik untuk mencegah penumpukan debu, pertumbuhan jamur, pengelupasan, bersarangnya hama, memperkecil terjadinya kondensasi, serta terbuat dari bahan tahan lama dan mudah dibersihkan.

b) Langit-langit harus selalu dalam keadaan bersih dari debu, sarang labah-labah dan kotoran lainnya.

5) Pintu, Jendela dan Lubang Angin

a) Pintu dan jendela seharusnya dibuat dari bahan tahan lama, tidak mudah pecah, rata, halus, berwarna terang dan mudah dibersihkan.

b) Pintu, jendela dan lubang angin seharusnya dilengkapi dengan kawat kasa yang dapat dilepas untuk memudahkan pembesihan dan perawatan.

112

c) Pintu seharusnya didisain membuka ke luar/ ke samping

sehingga debu atau kotoran dari luar tidak terbawa masuk melalui udara ke dalam ruangan pengolahan.

d) Pintu seharusnya dapat ditutup dengan baik dan selalu dalam keadaan tertutup.

e) Lubang angin harus cukup sehingga udara segar selalu mengalir di ruang produksi.

f) Lubang angin harus selalu dalam keadaan bersih, tidak berdebu dan tidak dipenuhi sarang laba-laba.

II. RUANG PRODUKSI

Ruang produksi seharusnya dipersiapkan dan dirawat sedemikian rupa sehingga karyawan leluasa dalam bekerja dan senantiasa terpelihara kebersihannya dan tidak menjadi sumber kontaminasi silang. 1) Luas ruangan

a) Luas ruang produksi harus sesuai dengan jumlah karyawan yang bekerja dan peralatan yang ada di ruang produksi.

b) Luas lantai ruang produksi yang bebas dari peralatan, minimal dua meter persegi (2m2

) untuk setiap orang pekerja.

2) Kondisi ruangan a) Ruang produksi harus selalu dijaga dalam keadaan bersih dan

tersanitasi agar tidak terjadi pencemaran. b) Pintu ruang produksi harus dapat mencegah terjadinya

kontaminasi. c) Hanya karyawan yang berkepentingan yang berada di dalam

ruang produksi dengan selalu menerapkan higiene sesuai ketentuan.

d) Tindakan pengamanan harus dilakukan terhadap pengunjung yang memasuki ruang produksi agar tidak terjadi pencemaran.

e) Ruang produksi seharusnya cukup terang sehingga karyawan dapat mengerjakan tugasnya dengan teliti.

3) Letak ruang produksi

a) Ruang produksi makanan enteral harus terpisah dari ruang pengolahan makanan biasa.

b) Ruang produksi tidak boleh berhubungan langsung dengan toilet/jamban, peturasan dan kamar mandi.

113

III. PERALATAN PRODUKSI

Peralatan produksi yang kontak langsung dengan makanan enteral seharusnya didesain, dikonstruksi dan diletakkan sedemikian untuk menjamin mutu dan keamanan makanan enteral yang dihasilkan.

a) Peralatan produksi seharusnya terbuat dari bahan yang kuat dan

tidak bereaksi dengan produk. b) Permukaan yang kontak langsung dengan produk seharusnya

halus, tidak bercelah, tidak mengelupas dan tidak menyerap air. c) Semua peralatan seharusnya dipelihara agar berfungsi dengan

baik dan selalu dalam keadaan bersih. d) Peralatan yang kontak langsung dengan makanan enteral dan

sesudahnya tidak ada perlakuan yang dapat membunuh mikroba, seharusnya dalam keadaan tersanitasi sebelum digunakan.

e) Pencucian blender dilakukan dengan membongkar wadah dan telah tersanitasi sebelum digunakan.

f) Sebaiknya penyimpanan peralatan dilakukan dalam ruang yang terlindung dari debu, kotoran atau pencemaran lainnya.

IV. FASILITAS SANITASI

Fasilitas sanitasi diperlukan untuk menjamin agar ruang pengolahan dan peralatan selalu dalam keadaan bersih sehingga tidak terjadi kontaminasi silang terhadap produk.

1) Air

a) Air yang digunakan harus air bersih dan jumlahnya cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan proses pengolahan.

b) Air yang dipergunakan sebagai ingredien harus memenuhi persyaratan air minum.

c) Air yang digunakan untuk proses pengolahan maupun ingredien harus memenuhi syarat kesehatan air minum.

d) Jumlah air cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan proses pengolahan.

2) Fasilitas sanitasi

a) Tersedia tempat sampah yang cukup dan diletakkan sedekat mungkin dengan sumber produksi sampah.

b) Tempat sampah selalu dalam keadaan tertutup. c) Sampah tidak menjadi sumber pemcemaan. d) Alat cuci/pembersih seperti sikat, pel, deterjen dan bahan sanitasi

harus tersedia dan terawat dengan baik.

114

3) Kegiatan sanitasi

a) Kegiatan pembersihan, pencucian dan penyucihamaan peralatan harus dilakukan secara rutin.

b) Harus ada karyawan yang bertanggung jawab terhadap kegiatan pembersihan, pencucian dan penyucihamaan.

V. PENYIMPANAN BAHAN BAKU

Penyimpanan yang baik dapat mempertahankan mutu dan keamanan bahan baku serta produk yang dihasilkan.

Penyimpanan bahan baku dan produk a) Penyimpanan bahan baku dan produk dilakukan di tempat yang

bersih. b) Penyimpanan bahan baku dan produk harus sesuai dengan

persyaratan suhu penyimpanannya. c) Bahan-bahan yang mudah menyerap air harus disimpan di

tempat kering, misalnya garam, gula, susu dan tepung. d) Bahan baku yang digunakan diatur stoknya dengan sistem First

In First Out (FIFO) dan atau First Expiry First Out (FEFO). Penyimpanan bahan berbahaya.

Bahan berbahaya seperti pemberantas serangga, tikus, kecoa, bakteri dan bahan berbahaya lainnya harus disimpan dalam ruangan terpisah dan harus selalu diawasi penggunaannya.

VI. PENGENDALIAN PROSES

Pengendalian proses dimulai dari pemilihan bahan baku sampai dengan produk siap dikonsumsi yang diperlukan untuk menjamin mutu dan keamanan pangan senantiasa konsisten pada setiap tahap.

1) Pemilihan bahan baku

a) Bahan baku berasal dari tempat resmi yang terawasi. b) Pemilihan bahan baku berdasarkan standar spesifikasi yang

menjamin mutu bahan.

2) Penetapan cara produksi yang baku a) Harus menentukan proses produksi makanan enteral yang baku. b) Proses produksi harus memperhatikan keamanan pangan dan

pemenuhan gizi pasien. c) Harus membuat bagan alirnya atau urut-urutan prosesnya secara

jelas.

115

3) Produk (makanan enteral)

a) Makanan bebas dari cemaran fisik, kimia dan biologi. b) Makanan enteral harus sesuai dengan kebutuhan gizi pasien. c) Ada bank sampel untuk konfirmasi bila terjadi gangguan

atau tuntutan konsumen.

4) Wadah makanan enteral a) Wadah makanan enteral terbuat dari bahan yang tidak mudah

bereaksi dengan produk. b) Wadah mudah untuk disanitasi. c) Volume wadah harus sesuai dengan volume makanan enteral

untuk kebutuhan satu kali konsumsi.

5) Keterangan produksi Keterangan produksi dicantumkan pada wadah diperlukan untuk memudahkan distribusi. Keterangan produksi minimal terdiri dari keterangan jam produksi, jenis diet, nama pasien.

6) Jika dilakukan penyimpanan makanan enteral siap konsumsi,

a) Penyimpanan makanan enteral dilakukan di tempat yang bersih.

b) Penyimpanan makanan enteral harus sesuai dengan persyaratan suhu penyimpanan.

c) Lamanya penyimpanan harus menjamin makanan enteral tetap dalam keadaan aman untuk dikonsumsi.

VII. MANAJEMEN PENGAWASAN

Kegiatan pengawasan terhadap seluruh tahap proses produksi dan pengendaliannya diperlukan untuk menjamin diterapkannya proses dan pengendalian yang sudah ditentukan.

a) Penanggung jawab minimal harus mempunyai pengetahuan

tentang prinsip-prinsip dan praktek higiene dan sanitasi pangan serta proses produksi pangan yang ditanganinya.

b) Kegiatan pengawasan hendaknya dilakukan secara rutin.

VIII. PENGENDALIAN HAMA Hama (tikus, serangga dan lain-lain) merupakan pembawa cemaran biologis yang dapat menurunkan mutu dan keamanan pangan. Kegiatan pengendalian hama dilakukan untuk mengurangi kemungkinan masuknya hama ke ruang produksi yang akan mencemari pangan.

116

1). Pencegahan masuknya hama

a). Lubang-lubang dan selokan yang memungkinkan masuknya hama harus selalu dalam keadaan tertutup. b). Bahan pangan tidak boleh tercecer karena dapat mengundang masuknya hama. 2). Pemberantasan hama a). Hama harus diberantas dengan cara yang tidak mempengaruh mutu dan keamanan pangan. b). Pemberantasan hama dapat dilakukan secara fisik seperti perangkap tikus atau secara kimia seperti racun tikus. c). Perlakuan dengan bahan kimia harus dilakukan dengan pertimbangan tidak mencemari pangan.

3). Penyimpanan bahan pemberantas hama. Bahan pemberantas hama seperti pemberantas serangga,

tikus, kecoa, bakteri dan bahan berbahaya lainnya harus disimpan dalam ruangan terpisah dan harus selalu diawasi penggunaannya.

IX. HIGIENE KARYAWAN

Higiene karyawan meliputi kebersihan, kesehatan dan perilaku sehat, diperlukan untuk menjamin tidak terjadi kontaminasi silang dari karyawan terhadap produk.

1) Kebersihan karyawan

a) Karyawan harus selalu menjaga kebersihan badannya. b) Pakaian dan perlengkapannya (celemek, penutup kepala)

hanya dipakai untuk bekerja. c) Karyawan harus menutup luka dan perban. d) Karyawan harus selalu mencuci tangan dengan sabun

sebelum memulai kegiatan mengolah pangan, sesudah menangani bahan mentah atau bahan/alat yang kotor dan sesudah ke luar dari toilet/jamban.

e) Tidak terjadi kontak langsung antara anggota tubuh dengan makanan

2) Kesehatan karyawan

a) Karyawan memiliki sertifikat higiene sanitasi makanan. b) Berbadan sehat yang dibuktikan dengan surat keterangan

dokter.

117

c) Tidak mengidap penyakit menular seperti tipus, kolera,

TBC, hepatitis, dll atau pembawa kuman. d) Setiap karyawan harus memiliki buku pemeriksaan

kesehatan yang berlaku. e) Tidak diperoleh adanya carrier (pembawa kuman patogen)

dibuktikan dengan hasil usap dubur (rectal swab).

3) Kebiasaan karyawan Karyawan tidak boleh bekerja sambil mengunyah, makan dan minum, merokok, menyisir rambut dekat makanan, tidak boleh meludah, tidak boleh bersin atau batuk ke arah pangan, tidak boleh mengenakan perhiasan seperti giwang, cincin, gelang, kalung, arloji dan peniti.

X. PENYALURAN MAKANAN

Penyaluran makanan enteral adalah proses memindahkan makanan enteral dari tempat proses ke ruang rawat inap harus dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kontaminasi silang.

a) Menggunakan tempat khusus penyaluran makanan enteral yang selalu dalam keadaan higienis.

b) Suhu makanan enteral selama penyaluran harus diatas 65oC atau dibawah 5 o

c) Jangan biarkan makanan berada pada suhu kisaran 5 – 65C.

0

C selama lebih dari 4 (empat) jam.

XI. PELATIHAN KARYAWAN Penanggung jawab unit penyedia dan penjamah makanan enteral harus mempunyai pengetahuan dasar mengenai prinsip-prinsip dan praktek higiene dan sanitasi pangan serta proses pengolahan makanan enteral agar dapat memproduksi pangan yang bermutu dan aman.

a). Penanggung jawab harus sudah pernah mengikuti kursus higiene

sanitasi makanan bagi pengusaha/pemilik/penanggung jawab jasaboga.

b) Penjamah makanan harus sudah mengikuti kursus sanitasi makanan bagi penjamah makanan.

c) Penanggung jawab tersebut harus menerapkan serta mengajarkan pengetahuan dan ketrampilannya kepada karyawan lain.

118

XII. PEMBERIAN MAKANAN ENTERAL KEPADA PASIEN

Pemberian makanan enteral kepada pasien harus selalu berdasarkan Standard Operational Procedure (SOP) yang benar agar pasien merasa nyaman dan aman.

a) Standard Operational Procedure (SOP) disusun dengan

mempertimbangkan kenyamanan dan keamanan pasien pada saat mengkonsumsi. b). Petugas yang bertanggungjawab memberikan makanan enteral kepada pasien harus menjaga higiene sesuai dengan yang ditentukan.

XIII. PENCATATAN DAN DOKUMENTASI Pencatatan dan dokumentasi yang baik diperlukan untuk memudahkan penelusuran masalah yang berkaitan dengan proses produksi.

a). Pencatatan dan dokumentasi dilakukan pada bahan baku, jenis dan tanggal produksi serta peruntukkan produk. b). Catatan dan dokumen harus disimpan paling tidak selama satu tahun.

Keterangan : : Keterangan ada pada draf 1 dan dihilangkan pada draf 2. : Keterangan yang ditambahkan pada draf 2.

136

Lampiran 6 : Denah unit penyedia makanan enteral (unit produksi makanan cair) di rumah sakit X

Ruang 1 : ruang persiapan snack (bukan untuk keperluan makanan enteral) terdiri dari :

Keterangan :

a. Meja persiapan snack (diatasnya terdapat lemari gantung untuk menyimpan peralatan pengolahan makanan enteral).

Ruang 2 : ruang pengolahan, terdiri dari : b. Meja persiapan merangkap meja kerja c. Meja distribusi d. Meja pengolahan e. Pemanas air dilengkapi difilter f. Washtafel g. Kulkas

Ruang 3 : ruang distribusi (tempat petugas distribusi antri)

3 c

d e f g

2

a 1

b

137

Lampiran 7. Denah dapur Unit Gizi RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.

138

Lampiran 8 : Denah unit penyedia makanan enteral (dapur sonde) di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta.

c b

i

h 3

g

4

j k

1 a

4,5

6

9

11,5

4

7

2

d

f

e

Ϲ Ϲ

Ϲ

Ruang 1 : Ruang cuci tangan, terdiri dari ; a. Washtafel b. Lap basah c. Lap kering

Ruang 2 : Ruang pencucian bahan baku dan peralatan d. Rak piring e. Pipa aliran gas f. Tempat pencucian bahan baku dan peralatan

Ruang 3 : Ruang pengolahan g. Meja persiapan dan pengolahan h. Meja distribusi i. Meja kerja j. Rak penyimpanan formulir k. Lemari penyimpanan hot&cool thermobox

Ruang 4 : ruang distribusi

139

Lampiran 9 : Prosedur pembuatan makanan enteral formula WHO (diet tinggi kalori tinggi protein)

RSPAD GATOT SOEBROTO

PROSEDUR PEMBUATAN FORMULA WHO

NO.DOKUMEN NO.REVISI HALAMAN 1/1

PETUNJUK PELAKSANAAN TANGGAL TERBIT

Disetujui : A.n Kepala RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad

Ketua Komite Medik

dr. Hary Utomo Muhammad, Sp.Jp Brigadir Jenderal TNI

PENGERTIAN

Pembuatan formula WHO adalah Tahapan kegiatan pembuatan formula WHO sesuai dengan standar di dapur susu Unit Gizi RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad

TUJUAN Memberikan makanan tinggi energi, tinggi protein dan cukup vitamin,mineral secara bertahap sesuai dengan standart

DASAR • Pedoman tata laksana KEP pada anak di Rumah sakit Kabu[aten /

Kodya Depkes RI tahun 1999 • Buku bagan tata laksana anak gizi buruk buku I, depkes RI 2006

PROSEDUR

Bahan : • Susu full cream, skim. gula, minyak goreng. Peralatan : • Timbangan elektrik dengan ketelitian 0,1 gram • Alat pelindung diri (APD) • Sendok, Mangkok, Etiket • Rak penyimpanan Cara pembuatan : • Mencuci tangan sesuai dengan prosedur mencuci tangan yang benar • Menggunakan Alat Peindung Diri (APD) • Menghitung komposisi bahan sesuai dengan permintaan berdasarkan

standart formula WHO • Menyiapkan alat dan bahan makanan pembuatan formula WHO • Menimbang susu, gula pasir, minyak sayur sesuai dengan standart yang

telah ditentukan • Mencampur gula dan minyak sayur aduk sampai rata, kemudian

masukan susu sedikit demi sedikit aduk sampai tercampur rata (kalis) • Membagi dan menimbang formula tersebut sesuai dengan jumlah yang

diberikan per hari • Memasukkan formula kedalam plastic sesuai dengan jumlah yang

dibutuhkan • Memberikan label (nama, nomor cm, ruangan, diagnose, jenis formula) • Mendistribusikan formula ke petugas gizi ruangan • Membersihkan ruangan • Membuat pencatatan dan pelaporan Lama waktu pembuatan • Lama waktu yang dibutuhkan dalam proses pembuatan formula WHO ±

15 menit

UNIT TERKAIT • Dirbinyanmed RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad • Kepala Instalasi Rawat Inap RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad

140

Lampiran 10 : Prosedur penyajian (rekonstitusi) makanan enteral formula WHO

RSPAD GATOT SOEBROTO

PROSEDUR PENYAJIAN DAN PENYIMPANAN FORMULA WHO

NO. DOKUMEN

NO.REVISI HALAMAN 1/1

PETUNJUK PELAKSANAAN

TANGGAL TERBIT

Disetujui : A.n Kepala RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad

Ketua Komite Medik

dr. Hary Utomo Muhammad, Sp.Jp Brigadir Jenderal TNI

PENGERTIAN

Penyajian dan Penyimpanan formula WHO adalah tahapan kegiatan penyajian dan penyimpanan formula WHO pada pasien sesuai dietnya diruang perawatan RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad

TUJUAN

Menyajikan formula WHO kepada pasien sesuai dengan standart sehingga menghasilkan formula yang optimal dalam rangka perbaikan gizi pasien

DASAR

• Pedoman tata laksana KEP pada anak di Rumah sakit Kabu[aten / Kodya Depkes RI tahun 1999

• Buku bagan tata laksana anak gizi buruk buku I, depkes RI 2006

PROSEDUR

I. Penyajian a. Mencuci tangan sesuai dengan prosedur mencuci tangan

yang benar b. Menggunakan alat pelindung diri (APD) c. Menyiapkan alat penyajian yang telah dibersihkan d. Memasukan formula WHO ke dalam wadah e. Mengencerkan formula dengan air hangat sedikit demi sedikit

sambil diaduk sampai homogen dan mencapai volume yang ditentukan

f. Menyajikan formula WHO ke pasien g. Membersihkan alat yang telah digunakan h. Membersihkan ruangan

II. Penyimpanan a. Penyimpanan formula WHO ditempat yang kering pada suhu

ruang

UNIT TERKAIT • Dirbinyanmed RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad • Kepala Instalasi Rawat Inap RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad

141

Lampiran 11 : Prosedur pembuatan makanan enteral formula rumah sakit

RSPAD GATOT SOEBROTO

PROSEDUR PROSES PRODUKSI MAKANAN ENTERAL CAIR RUMAH SAKIT

NO. DOKUMEN

NO.REVISI HALAMAN 1/1

PETUNJUK PELAKSANAAN

TANGGAL TERBIT

Disetujui : A.n Kepala RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad

Ketua Komite Medik

dr. Hary Utomo Muhammad, Sp.Jp Brigadir Jenderal TNI

PENGERTIAN

Makanan cair adalah makanan yang mempunyai kosistensi cair hingga kental, makanan ini diberikan kepada pasien, yang mengalami gangguan mengunyah

TUJUAN

Makanan ini diberikan kepada pasien, yang mengalami gangguan mengunyah, menelan,mencerna makanan yang disebabkan oleh menurunnya kesadaran, suhu tinggi,rasa mual, muntah, pasca pendarahan saluran cerna serta pra dan pasca bedah, makanan dapat diberikan secara oral atau enteral.

DASAR Buku Penuntun Diet edisi baru DR. Sunita Almatsier, M.Sc., tahun 2007

PROSEDUR

I. Bahan : Susu full cream, susu skim, telur ayam negeri, gula pasir, minyak jagung Air panas 100°C

II. Peralatan : Timbangan elektrik dengan ketelitian 0,1 gram, kompor, saringan, gelas ukur Pengaduk kayu / sodet kayu, panci, tempat penyimpanan bahan enteral, sendok,mangkok, botol ukur untuk distribusi makanan enteral Kulkas dengan dua suhu (hot and cool), wrapping film.

III. Cara pembuatan a. Timbang bahan sesuai kebutuhan b. Campurkan seluruh bahan kecuali air,aduk sampai rata c. Tambahkan air panas sesuai takaran aduk rata kembali, d. Saring masuk kedalam botol distribusi makanan cair,tutup botol

dengan wrapping film. e. Tempelkan etiket sesuai permintaan ruangan

IV. Lama waktu pembuatan a. Lama waktu yang dibutuhkan dalam proses pembuatan makanan

enteral cair ± 15 menit

UNIT TERKAIT • Dirbinyanmed RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad • Kepala Instalasi Rawat Inap RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad

142

Lampiran 12 : Prosedur makanan enteral formula rumah sakit (diet hati).

RSPAD GATOT SOEBROTO

PROSEDUR PROSES PRODUKSI MAKANAN ENTERAL DH I (SARI BUAH PEPAYA) RUMAH SAKIT

NO. DOKUMEN

NO.REVISI HALAMAN 1/1

PETUNJUK PELAKSANAAN

TANGGAL TERBIT

Disetujui : A.n Kepala RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad

Ketua Komite Medik

dr. Hary Utomo Muhammad, Sp.Jp Brigadir Jenderal TNI

PENGERTIAN

Diet Hati I diberikan bila pasien dalam keadaan akut atau bila prekoma sudah dapat diatasi dan pasien sudah mempunyai nafsu makan

TUJUAN

DASAR Buku Penuntun Diet edisi baru DR. Sunita Almatsier, M.Sc., tahun 2007

PROSEDUR

I. Bahan : a. Buah Pepaya b. Gula Pasir c. Air matang suhu ruang

II. Peralatan a. Blender b. Pisau c. Talenan d. Saringan e. Timbangan elektrik dengan ketelitian 0,1 gram f. Sendok g. Mangkok h. Botol ukur untuk distribusi makanan enteral a. Kulkas dengan dua suhu (hot and cool) b. wrapping

III. Cara pembuatan a. Kupas buah papaya kemudian bersihkan dan potong – potong b. Timbang bahan kecuali air c. Blender bahan kemudian tambahkan air d. Saring bahan e. Sajikan dibotol distribusi tutup dengan plastic wrapping f. Tempelkan Etiket dibotol distribusi

IV. Lama waktu pembuatan a. Lama waktu yang dibutuhkan dalam proses pembuatan makanan

enteral DH I (Sari Buah Pepaya) ± 15 menit

UNIT TERKAIT • Dirbinyanmed RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad • Kepala Instalasi Rawat Inap RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad

143

Lampiran 13. Alur pemenuhan makanan pasien.

144

Lampiran 14. Alur permintaan bahan baku di pengolahan makanan enteral/sonde

145

145

Lampiran 15. Prosedur pemeriksaan kualitas telur (candling).

146

Lampiran 16. Prosedur tes kit metanil yellow

147

Lampiran 17. Prosedur tes kit rhodamin B

148

Lampiran 18. Prosedur tes kit boraks

149

Lampiran 19. Prosedur tes kit formalin

150

Lampiran 20. Laporan hasil uji tentang film/plastik pembungkus.

151

Lampiran 21. Laporan hasil pemeriksaan kualitas air bersih secara fisik.

152

Lampiran 22. Laporan hasil pemeriksaan kualitas air bersih secara kimiawi

153

Lampiran 23. Laporan hasil pemeriksaan kualitas air bersih secara bakteriologi.

154

Lampiran 24. Hasil pemantauan pekerjaan pest control pengendalian kucing