Pengembangan Rekayasa dan Penelitian Pesawat Terbang di LAPAN.docx

11
Pengembangan Rekayasa dan Penelitian Pesawat Terbang di LAPAN Pada tanggal 27 November 1963, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 236 Tahun 1963 tentang LAPAN, untuk melembagakan penyelenggaraan program-program pembangunan kedirgantaraan nasional. Sejak didirikan waktu itu, LAPAN telah melakukan rekayasa dan penelitian di bidang peroketan, antara lain rekayasa Roket Prima, Roket Kartika serta kerjasama dengan Jepang dalam proyek Roket Kappa. Pada tahun 1974, berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 18 Tahun 1974 tertanggal 9 April 1974 tentang susunan dan tugas LAPAN, LAPAN mempunyai fungsi merintis, membina, memajukan dan mengkoordinir kegiatan pengembangan dirgantara untuk kepentingan pembangunan khususnya, kepentingan nasional pada umumnya. Arti dirgantara telah dimengerti bersama yang terdiri dari penerbangan dan antariksa. Jadi tugas merintis dan memajukan pengembangan pesawat terbang merupakan salah satu fungsi LAPAN. Untuk melaksanakan fungsi LAPAN berdasarkan Keputusan Presiden tersebut, pada tahun 1974 itu pula dimulailah perekayasaan dan penelitian LAPAN dalam pengembangan pesawat terbang, ketika itu LAPAN melakukan Reverse Engineering (Kaji Ulang) pesawat LT-200 yang sedang dikembangkan oleh LIPNUR (Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio), tujuannya waktu itu adalah untuk melatih para peneliti LAPAN agar memahami proses rancang bangun pesawat terbang dan selanjutnya diharapkan mampu merancang pesawat terbang sendiri. LIPNUR Trainer LT-200 LIPNUR Trainer LT-200 adalah pesawat ringan 2 penumpang lisensi dari produk Pazmany PL-2 Amerika untuk keperluan sipil dan militer. Rancang bangun prototipenya dilakukan pada bulan september 1973 dan terbang perdana pada tgl 9 november 1974. Setelah mengalami beberapa kali proses modifikasi konstruksi, pada awal tahun 1975 mulai diproduksi masal dan diproses sertifikasinya. Selama dua tahun pertama, LIPNUR telah memproduksi kurang lebih 30 pesawat untuk kebutuhan sekolah penerbangan sipil, TNI-AU dan klub terbang di Indonesia.

Transcript of Pengembangan Rekayasa dan Penelitian Pesawat Terbang di LAPAN.docx

Pengembangan Rekayasa dan Penelitian Pesawat Terbang di LAPAN

Pada tanggal 27 November 1963, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 236 Tahun 1963 tentang LAPAN, untuk melembagakan penyelenggaraan program-program pembangunan kedirgantaraan nasional. Sejak didirikan waktu itu, LAPAN telah melakukan rekayasa dan penelitian di bidang peroketan, antara lain rekayasa Roket Prima, Roket Kartika serta kerjasama dengan Jepang dalam proyek Roket Kappa.

Pada tahun 1974, berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 18 Tahun 1974 tertanggal 9 April 1974 tentang susunan dan tugas LAPAN, LAPAN mempunyai fungsi merintis, membina, memajukan dan mengkoordinir kegiatan pengembangan dirgantara untuk kepentingan pembangunan khususnya, kepentingan nasional pada umumnya. Arti dirgantara telah dimengerti bersama yang terdiri dari penerbangan dan antariksa. Jadi tugas merintis dan memajukan pengembangan pesawat terbang merupakan salah satu fungsi LAPAN.

Untuk melaksanakan fungsi LAPAN berdasarkan Keputusan Presiden tersebut, pada tahun 1974 itu pula dimulailah perekayasaan dan penelitian LAPAN dalam pengembangan pesawat terbang, ketika itu LAPAN melakukan Reverse Engineering (Kaji Ulang) pesawat LT-200 yang sedang dikembangkan oleh LIPNUR (Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio), tujuannya waktu itu adalah untuk melatih para peneliti LAPAN agar memahami proses rancang bangun pesawat terbang dan selanjutnya diharapkan mampu merancang pesawat terbang sendiri.

LIPNUR Trainer LT-200LIPNUR Trainer LT-200 adalah pesawat ringan 2 penumpang lisensi dari produk Pazmany PL-2 Amerika untuk keperluan sipil dan militer. Rancang bangun prototipenya dilakukan pada bulan september 1973 dan terbang perdana pada tgl 9 november 1974. Setelah mengalami beberapa kali proses modifikasi konstruksi, pada awal tahun 1975 mulai diproduksi masal dan diproses sertifikasinya. Selama dua tahun pertama, LIPNUR telah memproduksi kurang lebih 30 pesawat untuk kebutuhan sekolah penerbangan sipil, TNI-AU dan klub terbang di Indonesia.

Data teknis pesawat: Configuration: Low wing monoplane Structure: Semi monocoque Powerplant: 1 x 150 HP Lycoming 0-320-E2A Seat: Side-by-side seat for one pilot and one passenger Empty weight: 202 lb Maximum payload: 380 lb Take-off run: 545 ft Range: 610 km

LAPAN XT-400

Pada tahun 1977, LAPAN melalui proyek SAINKON (Proyek Riset Desain dan Konstruksi Pesawat Udara) merancang bangun pesawat terbang penumpang yang dinamakan LAPAN XT 400 dibawah pimpinan Marsekal Ir. Soegito. LAPAN XT-400 adalah pesawat penumpang bermesin kembar yang mampu mengangkut 8 penumpang dan mempunyai kemampuan take-off dan landing pada landasan yang pendek dengan landasan rumput atau tanah. Sedianya akan terbang perdana pada tahun 1980.

Namun program ini dibatalkan sebelum prototipe selesai pada tahun 1978 melalui kebijakan pemerintah saat itu, yang mana semua program pengembangan pesawat terbang di ambil alih oleh IPTN.

Crew: One pilot Capacity: 7 passengers Length: 10.2 m (33 ft 6 in) Wingspan: 14.59 m (47 ft 11 in) Height: 4.30 m (14 ft 1 in) Wing area: 25.4 m2 (273 ft2) Empty weight: 1,422 kg (3,136 lb) Gross weight: 2,540 kg (5,600 lb) Powerplant: 2 Lycoming IO-540C, 187 kW (250 hp) each Maximum speed: 273 km/h (170 mph) Range: 965 km (600 miles) Service ceiling: 4,665 m (15,300 ft)

Pendirian Pusat Teknologi Penerbangan di LAPANSetelah 33 tahun vakum dari penelitian, pengembangan dan rekayasa pesawat terbang, dengan adanya organisasi baru Pusat Teknologi Penerbangan, LAPAN kembali melakukan riset teknologi penerbangan. Pendirian Pusat Teknologi Penerbangan di bawah LAPAN ini didorong oleh fakta bahwa selama beberapa tahun belakangan ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Senayan selalu bertanya mengenai kurangnya peran LAPAN dalam pengembangan teknologi penerbangan. Hal ini juga menjawab respon positif dari Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tentang kontribusi LAPAN dalam pembinaan teknologi penerbangan nasional.

Sejalan dengan hal tersebut, terbitlah Peraturan Presiden No. 28 tahun 2008, tentang penguatan, pendalaman dan penumbuhan 6 (enam) klaster industri prioritas, butir c, Industri alat angkut, No. 3, tentang Industri Kedirgantaraan, yang mengamanatkan:

Pengembangan pesawat berpenumpang kurang dari 30 orang dengan mengembangkan PT. DI sebagai pusat produksi dan litbang dan Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN) sebagai pusat R&D produk kedirgantaraan.

Kemudian juga, terbitnya Undang-Undang Penerbangan No. 1 tahun 2009, pasal 370 ayat 1 yang menyebutkan bahwa Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan wajib dilakukan oleh Pemerintah secara terpadu dengan dukungan semua sektor terkait untuk memperkuat transportasi udara nasional.

Untuk menjawab pertanyaan DPR, mematuhi peraturan presiden dan menjalankan amanat undangundang penerbangan tersebut di atas, berdasar Peraturan Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Nomor 02 Tahun 2011, dibentuklah Pusat Teknologi Penerbangan dibawah Kedeputian Bidang Teknologi Dirgantara, yang tugasnya melaksanakan penelitian, pengembangan dan perekayasaan teknologi Penerbangan serta pemanfaatannya.

Setelah reorganisasi, dengan adanya Pusat Teknologi Penerbangan pada tahun 2011, maka Lapan memulai kembali kegiatan Rancang Bangun Pesawat Terbang. Dimulai dengan keterlibatan Lapan dalam Program Nasional Pesawat Terbang N-219. Lapan bersama PTDI terlibat dalam Pengujian Power Off Model N-219 di Terowongan Angin LAGG Serpong, selanjutnya Lapan membuat model N-219 untuk pengujian Power On, juga di Terowongan Angin LAGG.

Untuk program Lapan sendiri, sebagai langkah awal mengembangkan pesawat LSA (LAPAN Surveilance Aircraft) yang merupakan pesawat ringan dual mode (berawak atau tidak berawak) yang mulai pertengahan tahun 2012 di buat conceptual design-nya dan saat ini sedang dalam tahap perancangan bersama dengan PTDI dan TU Berlin. Direncanakan akhir tahun 2013 akan menjalani flight test perdana.

Selain Pesawat Terbang, Lapan juga mngembangkan pesawat UAV, bekerja sama dengan Chiba University Jepang, TUM Jerman serta KARI Korea.

Program Pesawat Nasional N-219

Sesuai dengan Nota Kesepahaman antara LAPAN dan PTDI tentang kerjasama di bidang pengembangan teknologi dirgantara tahun 2009, melaksanakan Peraturan Presiden No. 28 tahun 2008 tentang penunjukan LAPAN sebagai pusat R&D produk kedirgantaraan untuk pesawat penumpang dibawah 30 orang serta didukung oleh terbitnya undang-undang penerbangan No. 1 tahun 2009 tentang pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan, LAPAN turut serta dalam pengembangan pesawat baru N-219.

Pesawat baru N-219 merupakan proyek nasional pesawat terbang kelas 19 penumpang. Proyek N-219 melibatkan banyak lembaga terkait di Indonesia dengan kegiatan-kegiatan yang meliputi: pemasaran, pendanaan, rancang bangun, sertifikasi dan penggunaan. Lembaga yang secara intensif pada saat ini berkoordinasi untuk mensukseskan proyek N-219 adalah Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, BAPPENAS, Kementerian Riset dan Teknologi, BPPT, dan LAPAN. Semua lembaga terkait diharapkan dapat memfungsikan diri sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing lembaga untukmendukung proses rancang bangun N-219.

Pada tahun 2008, BPPT telah melakukan perhitungan awal konfigurasi pesawat N-219 dengan Computational Fluid Dynamic (CFD) dan pengujian Wind Tunnel Power Off sebanyak 140 polar. Pada tahun 2011, LAPAN telah melanjutkan pengujian Wind Tunnel Power Off sebanyak 160 polar. Pada tahun 2012 ini, LAPAN membiayai pembuatan model uji wind tunnel pesawat N219 dan pengujian wind tunnel power on sebanyak 380 polar. Selain itu, LAPAN juga akan turut serta dalam melakukan analisa data hasil uji wind tunnel untuk pencapaian desain akhir konfigurasi pesawat N-219.

Program Pengembangan Airborne UAV

Pengembangan pesawat tanpa awak, UAV (Unmanned Aerial Vehicle) terdiri dari dua program:

Program penguasaan teknologi UAV. Program ini merupakan program kerjasama dengan Chiba University Jepang, dimana Universitas Chiba memerlukan sebuah UAV untuk menguji sistem muatan SAR yang dikembangkannya sebelum diterbangkan dengan satelit SAR mereka. Kegiatan ini difokuskan pada pengembangan UAV medium altitude dan long endurance yang mampu mengangkat payload seberat 20 - 25 kg. Program aplikasi UAV. Program ini lebih ditekankan pada sistem pemantauan untuk memvalidasi data yang telah dihasilkan oleh satelit penginderaan jauh.

Kegiatan pengembangan UAV ini merupakan kerjasama antara LAPAN dengan IKM R-Botix dari Bandung. Hingga saat ini, hasil yang telah didapat adalah kemampuan merancang bangun UAV dengan payload 10 kg. Sedangkan pada program aplikasi, mampu mengoperasikan UAV untuk keperluan pemantauan gunung berapi untuk melakukan manajemen mitigasi bencana, melakukan validasi sistem pemantauan satelit untuk kepentingan estimasi produksi padi, maupun validasi pada titik-titik kebakaran hutan. Aplikasi lainnya yang akan dilakukan adalah pemotretan lahan rawa dan lahan gambut.

Program Pengembangan LAPAN Light Surveillance Aircraft (LSA)

Program utama Pusat Teknologi Penerbangan LAPAN adalah program pengembangan LSA (Light Surveillance Aircraft) yang mempunyai misi untuk memperkuat sistem pemantauan nasional, sekaligus memperkuat penguasaan teknologi pesawat terbang.

Indonesia yang begitu luas, sangat sangat memerlukan sistem pemantauan baik melalui sistem satelit maupun sistem pamantauan yang lebih impresif dengan menggunakan pesawat terbang yang mampu menghadirkan hasil pemantauan dengan resolusi tinggi dan pemantauan secara terus menerus dengan kemampuan terbang yang lama dan automatik.

Program LSA ini dilakukan dengan bekerjasama antara LAPAN, PT DI, ITB dan TU Berlin (Tech nical University Berlin). Saat ini, tengah dilakukan kegiatan desain konsep pesawat LSA di Lapan, yang selanjutnya akan diteruskan di TU Berlin oleh para engineer Lapan dengan supervisi dari para ahli di Jerman. Di tahap awal, LSA yang akan dibangun berbasiskan pesawat ringan Stemme S15 yang akan mengalami modifikasi didalam sistem surveillance nya. Sedangkan pada tahap selanjutnya, akan dirancang bangun sebuah LSA baru dengan spesifikasi long endurance dan long distance, hybrid electric power, Automatic take off Landing (ATOL) dan modular structure.

Untuk kepentingan yang lebih luas dengan jangkauan yang lebih luas pula, pesawat ringan (LSA) ini nantinya dapat dimodifikasi menjadi sebuah UAV (Unmanned Aerial Vehicle) yang mampu terbang hingga 24 jam non stop, untuk memantau titik-titik perbatasan (border monitoring system), pencurian ikan (Ilegal Fishing) maupun pengamanan dari pencurian hutan (illegal lodging). Diharapkan LSA dapat menjadi komplemen akuisisi data penginderaan jauh untuk berbagai keperluan.

Referensi:1. Dokumentasi pribadi2. Dokumentasi LAPAN3. The Illustrated Encyclopedia of Aircraft (Part Work 1982-1985) (1985) Orbis Publishing, pp.26944. Taylor, Michael J. H. (1989). Janes Encyclopedia of Aviation. London: Studio Editions. pp.5645. Janes All the Worlds Aircraft 1980-81. London: Janes Publishing. pp. 91926. Janes All the Worlds Aircraft 1981-82. London: Janes Publishing. pp. 90