Pengelolaan Lahan Sulfat Asam

10
36 Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005 PENGELOLAAN LAHAN SULFAT MASAM UNTUK USAHA PERTANIAN Didi Ardi Suriadikarta Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123 ABSTRAK Luas lahan rawa di Indonesia diperkirakan 33,40 juta ha, yang terdiri atas 20 juta ha rawa pasang surut dan 13,40 juta ha rawa lebak. Lahan sulfat masam merupakan bagian dari lahan rawa pasang surut dan luasnya sekitar 6,70 juta ha. Lahan sulfat masam dapat diklasifikasikan menurut letak dan posisi bahan sulfidik di dalam pedon tanah. Kunci keberhasilan usaha pertanian di lahan pasang surut atau rawa adalah pengelolaan tanah dan air baik tingkat makro maupun mikro. Tata air makro meliputi pengaturan tata air pada saluran primer, sekunder dan tersier, sedangkan tata air mikro adalah pengelolaan tata air di lahan petani mulai dari saluran tersier, kuarter hingga ke lahan petani. Pengaturan tata air mikro bertujuan untuk mencuci lahan dari unsur yang beracun seperti Fe, Al, dan SO 4 . Pengelolaan tata air ini berkaitan dengan tipologi lahan dan tipe luapan. Lahan sulfat masam sesuai untuk sawah tergenang karena dengan penggenangan bahan sulfidik atau pirit akan stabil. Lahan sulfat masam dengan tipe luapan A atau B sesuai untuk sawah dengan sistem aliran satu arah, dan bila tipe luapannya C atau D maka saluran air perlu ditabat. Ameliorasi dan pengapuran diperlukan untuk meningkatkan produktivitas lahan sulfat masam. Bahan amelioran yang diperlukan adalah kaptan dengan takaran untuk tanah sulfat masam potensial 2 t/ha, sedangkan untuk tanah sulfat masam aktual 48 t/ha bergantung pada kadar pirit dalam tanah. Semakin tinggi kadar pirit maka kebutuhan kapur untuk meningkatkan pH tanah semakin tinggi pula. Rock Phospate (RP) dapat digunakan pada tanah sulfat masam sebagai pengganti pupuk SP-36 dengan takaran 200 kg RP/ha setara dengan 125 kg SP-36/ha. Pupuk kalium umumnya cukup diberikan 100 kg KCl/ha. Pada lahan sulfat masam yang tersedia sumber air tawar dapat digunakan untuk tambak udang atau bandeng. Kata kunci: Tanah sulfat masam, pengelolaan lahan, pembangunan pertanian ABSTRACT Management of acid sulphate soil for agricultural development The development of swampland in Indonesia is relatively slow due to low production of food crops caused by high input of agriculture materials. The area of swampland in Indonesia is about 33.40 million ha, and consists of 20 million ha of tidal land and 13.40 million ha of nontidal land. The acid sulphate soil is a part of tidal land and occupied about 6.70 million ha, and it is associated with peat soil and salin soil. Soil and water management is the success key to reclaim swampland for agricultural development. Soil and water management aimed to leach out toxic materials from the land like iron, aluminum, and sulphate. The design of water management on farming land is correlated with soil type and neap tide. If the soil type is actual acid sulphate soil and the type of neap tide is A, the design of soil and water management should be the one for lowland rice since in anaerobic condition pyrite will be stable. Soil ameliorant such as lime is required to increase soil pH and acid sulphate soil productivity. The general rate of lime for potential acid sulphate soil is about 2 t/ha, while for actual acid sulphate soil is 4–8 t/ha depends on the pyrite content of the soil. Furthermore, rock phosphate (RP) can replace SP-36 use; 200 kg RP/ha is required to replace 125 kg SP-36/ha. The use of adapted rice variety on acid sulphate soil is recommended to obtain high yield. Fisheries can also be done on acid sulphate soil if the surrounding areas have a source of fresh water. Keywords: Acid sulphate soil, soil management, agricultural development L ahan rawa di Indonesia cukup luas dan tersebar di tiga pulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua). Menurut Widjaja-Adhi et al. (1992), luas lahan rawa Indonesia sekitar 33,40 juta ha, yang terdiri atas rawa pasang surut 20 juta ha dan rawa lebak 13,40 juta ha. Pembukaan lahan rawa pasang surut dilakukan berkaitan dengan program transmigrasi yang dimulai tahun 1969 melalui Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S). Pemanfaatan lahan pasang surut untuk pertanian merupakan pilihan yang strategis untuk mengimbangi penciutan lahan produktif di Jawa akibat alih fungsi ke sektor nonpertanian, seperti perumahan dan industri. Menurut Suria- dikarta et al. (1999), lahan rawa yang telah dibuka mencapai 2,40 juta ha, yaitu 1,50 juta ha di Kalimantan dan 0,90 ha di Sumatera. Lahan rawa di Papua sampai saat ini belum dibuka untuk pertanian. Pengembangan lahan rawa memer- lukan perencanaan, pengelolaan, dan pemanfaatan yang tepat serta penerapan teknologi yang sesuai, terutama pe- ngelolaan tanah dan air. Dengan upaya seperti itu diharapkan lahan rawa dapat menjadi lahan pertanian yang produktif,

description

Pengelolaan lahan sulfat masam

Transcript of Pengelolaan Lahan Sulfat Asam

Page 1: Pengelolaan Lahan Sulfat Asam

36 Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005

PENGELOLAAN LAHAN SULFAT MASAMUNTUK USAHA PERTANIAN

Didi Ardi SuriadikartaPusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123

ABSTRAK

Luas lahan rawa di Indonesia diperkirakan 33,40 juta ha, yang terdiri atas 20 juta ha rawa pasang surut dan 13,40juta ha rawa lebak. Lahan sulfat masam merupakan bagian dari lahan rawa pasang surut dan luasnya sekitar 6,70 jutaha. Lahan sulfat masam dapat diklasifikasikan menurut letak dan posisi bahan sulfidik di dalam pedon tanah. Kuncikeberhasilan usaha pertanian di lahan pasang surut atau rawa adalah pengelolaan tanah dan air baik tingkat makromaupun mikro. Tata air makro meliputi pengaturan tata air pada saluran primer, sekunder dan tersier, sedangkantata air mikro adalah pengelolaan tata air di lahan petani mulai dari saluran tersier, kuarter hingga ke lahan petani.Pengaturan tata air mikro bertujuan untuk mencuci lahan dari unsur yang beracun seperti Fe, Al, dan SO4. Pengelolaantata air ini berkaitan dengan tipologi lahan dan tipe luapan. Lahan sulfat masam sesuai untuk sawah tergenangkarena dengan penggenangan bahan sulfidik atau pirit akan stabil. Lahan sulfat masam dengan tipe luapan A atauB sesuai untuk sawah dengan sistem aliran satu arah, dan bila tipe luapannya C atau D maka saluran air perlu ditabat.Ameliorasi dan pengapuran diperlukan untuk meningkatkan produktivitas lahan sulfat masam. Bahan amelioranyang diperlukan adalah kaptan dengan takaran untuk tanah sulfat masam potensial 2 t/ha, sedangkan untuk tanahsulfat masam aktual 4−8 t/ha bergantung pada kadar pirit dalam tanah. Semakin tinggi kadar pirit maka kebutuhankapur untuk meningkatkan pH tanah semakin tinggi pula. Rock Phospate (RP) dapat digunakan pada tanah sulfatmasam sebagai pengganti pupuk SP-36 dengan takaran 200 kg RP/ha setara dengan 125 kg SP-36/ha. Pupuk kaliumumumnya cukup diberikan 100 kg KCl/ha. Pada lahan sulfat masam yang tersedia sumber air tawar dapat digunakanuntuk tambak udang atau bandeng.

Kata kunci: Tanah sulfat masam, pengelolaan lahan, pembangunan pertanian

ABSTRACT

Management of acid sulphate soil for agricultural development

The development of swampland in Indonesia is relatively slow due to low production of food crops caused by highinput of agriculture materials. The area of swampland in Indonesia is about 33.40 million ha, and consists of 20million ha of tidal land and 13.40 million ha of nontidal land. The acid sulphate soil is a part of tidal land andoccupied about 6.70 million ha, and it is associated with peat soil and salin soil. Soil and water management is thesuccess key to reclaim swampland for agricultural development. Soil and water management aimed to leach outtoxic materials from the land like iron, aluminum, and sulphate. The design of water management on farming landis correlated with soil type and neap tide. If the soil type is actual acid sulphate soil and the type of neap tide is A,the design of soil and water management should be the one for lowland rice since in anaerobic condition pyrite willbe stable. Soil ameliorant such as lime is required to increase soil pH and acid sulphate soil productivity. The generalrate of lime for potential acid sulphate soil is about 2 t/ha, while for actual acid sulphate soil is 4–8 t/ha depends onthe pyrite content of the soil. Furthermore, rock phosphate (RP) can replace SP-36 use; 200 kg RP/ha is requiredto replace 125 kg SP-36/ha. The use of adapted rice variety on acid sulphate soil is recommended to obtain highyield. Fisheries can also be done on acid sulphate soil if the surrounding areas have a source of fresh water.

Keywords: Acid sulphate soil, soil management, agricultural development

Lahan rawa di Indonesia cukup luasdan tersebar di tiga pulau besar, yaitu

Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya(Papua). Menurut Widjaja-Adhi et al.(1992), luas lahan rawa Indonesia sekitar33,40 juta ha, yang terdiri atas rawapasang surut 20 juta ha dan rawa lebak13,40 juta ha.

Pembukaan lahan rawa pasang surutdilakukan berkaitan dengan program

transmigrasi yang dimulai tahun 1969melalui Proyek Pembukaan PersawahanPasang Surut (P4S). Pemanfaatan lahanpasang surut untuk pertanian merupakanpilihan yang strategis untuk mengimbangipenciutan lahan produktif di Jawa akibatalih fungsi ke sektor nonpertanian, sepertiperumahan dan industri. Menurut Suria-dikarta et al. (1999), lahan rawa yang telahdibuka mencapai 2,40 juta ha, yaitu 1,50

juta ha di Kalimantan dan 0,90 ha diSumatera. Lahan rawa di Papua sampaisaat ini belum dibuka untuk pertanian.

Pengembangan lahan rawa memer-lukan perencanaan, pengelolaan, danpemanfaatan yang tepat serta penerapanteknologi yang sesuai, terutama pe-ngelolaan tanah dan air. Dengan upayaseperti itu diharapkan lahan rawa dapatmenjadi lahan pertanian yang produktif,

Page 2: Pengelolaan Lahan Sulfat Asam

Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005 37

berkelanjutan, dan berwawasan ling-kungan (Widjaja-Adhi 1995a; 1995b).

Pengembangan lahan rawa yangdimulai dengan P4S tahun 1970-an dandilanjutkan dengan proyek Swamp I,Swamp II, kerja sama dengan Belanda(LAWOO) tahun 1980-an, Proyek Pe-nelitian Pengembangan Lahan RawaTerpadu (ISDP) dan Proyek PertanianPLG tahun 1990-an, telah menghasilkanberbagai teknologi pengelolaan lahan(Suriadikarta dan Abdurachman 1999).Teknologi itu antara lain adalah penge-lolaan tanah, tata air mikro, ameliorasitanah dan pemupukan, penggunaan va-rietas yang adaptif, pengendalian hamadan penyakit, dan model usaha tani.Namun, umumnya teknologi tersebuttidak dapat diterapkan secara berkelan-jutan karena adanya berbagai kendala,seperti modal petani yang rendah, infra-struktur yang terbatas, kelembagaanpedesaan yang kurang berkembang, dankurangnya perhatian pemerintah dalampemeliharaan jaringan tata air makro.

Berbagai kegagalan dan keberhasilantelah mewarnai kegiatan pengembanganlahan rawa. Terjadinya lahan bongkormisalnya, yaitu lahan yang ditinggalkanpetani karena telah mengalami oksidasipirit sehingga produksinya sangat ren-dah, merupakan akibat dari reklamasiyang kurang tepat. Kegagalan ini dapatmenjadi pelajaran dalam pengembanganlahan sulfat masam di masa yang akandatang.

Potensi lahan rawa yang demikianbesar dapat dimanfaatkan untuk me-nunjang pogram peningkatan ketahananpangan dan agribisnis yang menjadiprogram utama sektor pertanian. Se-bagaimana disampaikan oleh MenteriPertanian (Departemen Pertanian 1999),lahan rawa, baik rawa pasang surutmaupun lebak dapat menjadi basispengembangan ketahanan pangan untukkepentingan jangka pendek, menengahmaupun jangka panjang. Oleh karena itu,investasi pemerintah dan swasta dalampemanfaatan lahan rawa seyogianyadapat lebih ditingkatkan.

SIFAT TANAH SULFATMASAM

Tanah sulfat masam potensial mengan-dung pirit yang bila terbuka ke udara akanterjadi reaksi oksidasi membentuk asamsulfat dan oksida besi sehingga tanah

tidak dapat digunakan untuk pertanian.Tanah sulfat masam mempunyai pHrendah, kandungan yang bersifat toksisH+, Al, Fe (III), dan Mn tinggi. Keadaanini diikuti dengan P tersedia dan kejenu-han basa yang rendah serta kekahatanhara-hara lainnya (Andriesse dan Sukardi1990).

Reaksi oksidasi pirit menurut Boyd(1982) adalah sebagai berikut:

1) FeS2 + H2O + 3,5 O2 → FeSO4 + H2SO4

2) 2 FeSO4 + ½ O2 + H2SO4 → Fe2(SO4)3 +H2O

3) FeS2 + 7 Fe2(SO4)3 + 8 H2O → 15 FeSO4+ 8 H2SO4

Produksi ferri sulfat dari ferrosulfat sangat besar karena proses pem-bentukannya dipercepat oleh aktivitasbakteri Thiobacillus ferrooxidans (No. 2),dan pada kondisi yang masam reaksi piritdengan ferri sulfat (No. 3) berlangsungsangat cepat. Ferri sulfat juga dapat ter-hidrolisis sehingga menambah kemasam-an seperti diperlihatkan reaksi berikut:

Fe2(SO4)3 + 6 H2O → 2 Fe(OH)3 + 3 H2SO4

Asam sulfat akan melarutkan sejumlahbesar logam-logam berat antara lain Al,Mn, Zn, dan Cu. Dengan demikian aliranpermukaan (run off) atau air rembesan(sepage) dari galian tanah berpirit men-capai kemasaman sangat tinggi dan berisiion-ion yang berpotensi sebagai racun.

Menurut Widjaja-Adhi (1986), didalam lumpur yang anaerob, pirit tidakmembahayakan karena stabil, tetapi bilalumpur itu mengering, potensi redok (Eh)meningkat dan pirit tidak lagi stabil. Piritdiubah menjadi asam sulfat oleh bakteriThiobacillus thiooxidans. Pada keadaanagak masam sampai netral terjadi reaksi:

FeS2 + 3 H2O → Fe(OH)3 + S2 + 3 H+

Ferri hidroksida yang terjadi dicirikan olehwarna cokelat dan terlihat pada bahangalian baru dari lapisan yang mengandungpirit. Dalam keadaan masam (pH kurangdari 3), pirit berdisosiasi menjadi ion ferrodan sulfur:

FeS2 → Fe2+ + S2 + 2 e

Sulfur yang dilepas dari reaksi di atasoleh bakteri T. thiooxidans diubah men-jadi asam sulfat:

S2 + 8 H2O → 2 SO42- + 16 H+ + 12 e

Ion H+ yang terbentuk cukup banyakketika pirit terkena udara. MenurutDriessen dan Soepraptohardjo (1974),

penurunan pH dihalangi oleh tanah itusendiri melalui beberapa cara, yaitu: 1)pembentukan jarosit, 2) penetralan olehhasil disosiasi beberapa mineral hijauseperti khlorit, chamosit, dan glaukonit,3) reaksi pertukaran dengan kation padakompleks adsorpsi, dan 4) penetralanbahan kapur seperti kulit kering.

Selanjutnya van Breemen (1976)mengemukakan bahwa Fe2+, H+, dan SO4

2-

yang dihasilkan selama oksidasi piritbiasanya mengalami berbagai reaksi lanjutdi dalam tanah. Fe2+ dioksidasi menjadiFe3+, yang akan mengendap sebagaijarosit, goethite atau amorphous ferrioksida. Sejumlah besar sulfat dihasilkanselama pembentukan pirit, tetapi tetaptinggal dalam larutan dan hilang daritanah melalui pencucian dan difusi kepermukaan air. Sulfat yang tersisa se-bagian mengendap sebagai jarosit atausebagai Al sulfat (AlOHSO4), dan sebagiandiadsorpsi terutama oleh ferri oksida.

Dalam kondisi relatif kering, gip-sum (CaSO4.2H2O) akan terbentuk,sedangkan bila terjadi penguapan hebat,pada retakan permukaan terdapat sulfatyang masih dapat larut seperti sodiumalum (NaAl(SO4)2.12H2O), tamarugit (NaAl(SO4)2.6H2O), pickeringite (MgAl2(SO4). 22 H2O) dan rezenite (Fe SO4 .4H2O). Penggenangan akan mengurangikemasaman, membuat tanah menjadianaerob, serta memudahkan penguraianulang bahan organik, reduksi besi (III),sulfat dan oksida lainnya oleh bakterianaerob.1) SO4

2- + 2 H+ + 2 CH2O H2S + 2H2O + 2 CO2

2) Fe(OH)3 + 2 H+ + ¼ CH2O Fe2+

+ 1¼ H2O + ¼ CO2

Dalam kondisi anaerob (tergenang), asamsulfat tidak terbentuk tetapi sulfat dapatdireduksi lagi menjadi sulfida oleh bakteriDesulfovibrio sp., yang mungkin semen-tara terikat sebagai FeS. Pada tanah sulfatmasam yang sangat muda yang masih dibawah pengaruh pasang surut, sulfidamungkin kembali membentuk pirit.

TEKNOLOGI PENGELOLA-AN TANAH SULFAT MASAM

Pengelolaan Tanah dan Air

Pengelolaan tanah dan air (soil and watermanagement) merupakan kunci utamakeberhasilan pengembangan pertanian di

Page 3: Pengelolaan Lahan Sulfat Asam

38 Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005

lahan rawa pasang surut, termasuk tanahsulfat masam. Pengelolaan tanah dan airini meliputi jaringan tata air makro maupunmikro, penataan lahan, ameliorasi danpemupukan. Dalam tulisan ini tata airmakro tidak dibahas karena merupakankewenangan dari Departemen PekerjaanUmum.

Tata air mikroSistem pengelolaan tata air mikroberfungsi untuk: 1) mencukupi kebu-tuhan evapotranspirasi tanaman, 2)mencegah pertumbuhan gulma padapertanaman padi sawah, 3) mencegahterbentuknya bahan beracun bagi ta-naman melalui penggelontoran danpencucian, 4) mengatur tinggi muka air,dan (5) menjaga kualitas air di petakanlahan dan saluran. Untuk memperlancarkeluarmasuknya air pada petakan lahanyang sekaligus untuk mencuci bahanberacun, Widjaja-Adhi (1995a) meng-anjurkan pembuatan saluran cacing padapetakan dan di sekeliling petakan lahan.Oleh karena itu, pengelolaan tata air mikromencakup pengaturan dan pengelolaantata air pada saluran kuarter dan petakanlahan yang sesuai dengan kebutuhantanaman dan sekaligus memperlancarpencucian bahan beracun. MenurutSuriadikarta et al. (1999), saluran kuarterbiasanya dibuat di setiap batas pemilikanlahan, sedangkan saluran cacing di dalampetakan dengan jarak 3−12 m serta disekeliling petakan, bergantung padakondisi lahan. Semakin tinggi tingkatkeracunan, semakin rapat pula jaraksaluran cacing tersebut. Subagyono etal. (1999) menyatakan, pencucian bahanberacun dari petakan dilakukan denganmemasukkan air ke petakan sebelumtanah dibajak, kemudian air tersebutdikeluarkan setelah pengolahan tanahselesai. Pencucian akan berjalan baik bilaair cukup tersedia, baik dari hujan mau-pun air pasang. Oleh karena itu, air didalam petakan lahan perlu diganti setiapdua minggu pada saat pasang besar.

Pengelolaan air pada saluran tersierbertujuan untuk: 1) memasukkan air iri-gasi, 2) mengatur tinggi muka air padasaluran dan petakan, dan 3) mengaturkualitas air dengan membuang bahanberacun yang terbentuk di petakan sertamencegah masuknya air asin ke petakanlahan. Sistem pengelolaan air di tingkattersier dan mikro bergantung pada tipeluapan air pasang dan tingkat keracunan.

Pada lahan sulfat masam aktual, sistempengairannya harus ditabat dan tidakdisurjan agar besi dan pirit tidak meracunitanaman. Penataan air di lahan petanidilakukan dengan sistem aliran satu arah(one-way flow system) dan sistem aliranbolak-balik (two-way flow system). Halyang perlu mendapat perhatian khususdalam sistem tata air adalah sinkronisasiantara tata air makro dan mikro (Su-bagyono et al. 1999). Penerapan aliransatu arah hanya akan berjalan efektif jikakondisi saluran tersier, sekunder, danprimer dalam kondisi baik dan arah alirantidak bolak-balik.

Pada sistem aliran satu arah, saluranirigasi dan saluran drainase dirancangsecara terpisah. Pintu klep (flapgate)dipasang berlawanan arah. Pada saluranirigasi, pintu klep membuka ke arah dalamsedangkan pada saluran drainase pintuklep membuka ke arah luar sehinggapencucian lahan berlangsung efektif.

Tata air pada lahan yang bertipeluapan A dan B perlu diatur dalam sistemaliran satu arah (Gambar 1), sedangkanuntuk lahan bertipe luapan C dan D,saluran air perlu ditabat (disekat) denganstoplog (Gambar 2) untuk menjagapermukaan air sesuai dengan kebutuhan

Gambar 1. Jaringan tata air sistem saluran satu arah pada lahan pasang surut.

Gambar 2. Jaringan tata air sistem tabat untuk tipe luapan C dan D pada lahanpasang surut.

123456789012345678901234567890

Saluran primer (jalur)

Flapgate (inlet)

Flapgate (inlet)123123123123123123123123123123

Saluran tersier pemasukan

123123123123123123123123123123

123456789012345678901234567890Flapgate (outlet)

Saluran tersier pengeluaran

Saluran kuarter pengeluaran Flapgate (outlet)

AA

Salu

ran

seku

nder

Salu

ran

seku

nder

pen

gelu

aran

A

A

1234567890123456789012345678901234567890

Saluran primer (jalur)

Stoplog

Stoplog123123123123123123123123123123123

Saluran tersier pemasukan

123123123123123123123123123

123456789123456789123456789Stoplog

Saluran tersier pengeluaran

123412341234123412341234123412341234123412341234

123451234512345123451234512345123451234512345123451234512345

Saluran keliling

Salurancacing

Saluran tersier pengeluaran Stoplog

Saluran dangkal intensifSalu

ran

seku

nder

Salu

ran

seku

nder

pen

gelu

aran

A

A

s

ss

s

s

Page 4: Pengelolaan Lahan Sulfat Asam

Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005 39

tanaman serta memungkinkan air hujantertampung dalam saluran tersebut. Tataair ini memerlukan pintu-pintu yangberfungsi sebagai pengendali air. Pintu airtersebut dapat berupa stoplog maupunpintu ayun atau pintu engsel (flapgate).Di Karang Agung Ulu, penerapanpengelolaan tata air mikro pada lahansulfat masam dengan berbagai sistempenataan lahan dapat meningkatkankualitas lahan dan hasil tanaman(Djayusman et al. 1995).

Penerapan pengelolaan tata airdengan sistem tabat dan aliran satu arahdikombinasikan dengan pengolahan tanahdengan traktor tangan dan pemberiandolomit pada lahan sulfat masam (50 ha),dapat secara cepat meningkatkan kualitaslahan dan hasil tanaman padi dan palawija(ISDP 1997). Nilai pH air tanah meningkatdari rata-rata 4,20 sebelum pengolahantanah menjadi 4,80 pada saat penanamandan 5,40 pada saat panen (Widjaja-Adhidan Alihamsyah 1998). Kandungan Fe++

juga menurun dari 160 ppm pada saattanam menjadi 72 ppm pada panen. Hasilrata-rata ubinan padi varietas Cisadanemencapai 6,26 t/ha sedangkan varietasCisanggarung 9,44 t/ha.

Penataan lahan

Penataan lahan dimaksudkan untukmenciptakan kondisi lahan agar sesuaidengan kebutuhan tanaman yang akandikembangkan. Penataan lahan perlumemperhatikan hubungan antara tipo-

logi lahan, tipe luapan, dan pola pe-manfaatannya. Pada tipologi sulfatmasam potensial dengan tipe luapan A,penataan lahan sebaiknya untuk sawah(Tabel 1), karena pirit akan lebih stabil(tidak mengalami oksidasi) dan tanamanpadi dapat tumbuh dengan baik. Padatipe luapan B, pola pemanfaatan lahandilakukan dengan sistem surjan untuktanaman padi, palawija, sayuran ataubuah-buahan. Untuk tanah sulfat masampotensial, pengolahan tanah dan pem-buatan guludan sebaiknya dilakukansecara hati-hati dan bertahap. Tanahuntuk guludan diambil dari lapisan atasuntuk menghindari oksidasi pirit.

Sistem surjan merupakan salah satucontoh penataan lahan rawa melaluidiversifikasi tanaman. Lebar guludandibuat 3−5 m dan tinggi 0,50−0,60 m,sedangkan lebar tabukan 15 m. Setiaphektar lahan dapat dibuat 6−10 guludandan 5−9 tabukan. Tabukan ditanamipadi sawah, sedangkan guludan ditanamipalawija, sayuran, dan tanaman perke-bunan seperti kopi dan kelapa (Gambar 3).

Ameliorasi dan pemupukanProduktivitas tanah sulfat masam biasa-nya rendah karena pH tanah rendah,kelarutan Fe, Al, dan Mn tinggi serta

Tabel 1. Penataan dan pola pemanfaatan lahan berdasarkan tipologi lahan dan tipe luapan air di lahan pasangsurut.

Tipologi lahan Pemanfaatan lahan pada tipe luapan air

Kode Tipologi A B C D

SMP-1 Aluvial bersulfida dangkal Sawah Sawah Sawah -SMP-2 Aluvial bersulfida dalam Sawah Sawah (surjan) Sawah (surjan) Sawah (tegalan, kebun)SMP-3/A Aluvial bersulfida sangat - Sawah (surjan) Sawah (tegalan, Tegalan (kebun)

dalam kebun)SMA-1 Aluvial bersulfat 1 - Sawah (surjan) Sawah (surjan) Sawah (tegalan, kebun)SMA-2 Aluvial bersulfat 2 - Sawah (surjan) Sawah (surjan) Sawah (tegalan, kebun)SMA-3 Aluvial bersulfat 3 - - Sawah (kebun) Tegalan (kebun)HSM Aluvial bersulfida dangkal - Sawah Sawah (tegalan) Tegalan (kebun)

bergambutG-1 Gambut dangkal - Sawah Sawah (tegalan) Tegalan (kebun)G-2 Gambut sedang - - Kebun (kebun) KehutananG-3 Gambut dalam - - Kebun (kebun) Konservasi

SMP = sulfat masam potensial, SMA = sulfat masam aktual, HSM = histosol sulfat masam, G = gambut.Sumber: Widjaja-Adhi (1995a).

Gambar 3. Penampang tanah sulfat masam aktual.

Page 5: Pengelolaan Lahan Sulfat Asam

40 Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005

ketersediaan unsur hara terutama P danK dan kejenuhan basa rendah (Dent1986). Oleh karena itu, diperlukan bahanpembenah tanah (amelioran) untukmemperbaiki kesuburan tanah sehinggaproduktivitas lahan meningkat. Bahanamelioran yang dapat digunakan adalahkaptan untuk meningkatkan pH dan rockphosphate (RP) untuk memenuhi ke-butuhan hara P.

Beberapa faktor yang perlu di-pertimbangkan dalam menetapkan ke-butuhan kapur adalah derajat pelapukanbahan induk, kandungan liat, kandunganbahan organik, bentuk kemasaman, pHtanah awal, metode kebutuhan kapur, danwaktu (Mc.Lean 1982 dalam Al-Jabri2002). Penetapan kebutuhan kapur untuktanah sulfat masam dapat dilakukanberdasarkan metode inkubasi, titrasi, danAldd. Penetapan kebutuhan kapur denganmetode inkubasi dilakukan dengan men-campurkan kapur, tanah, dan air dalambeberapa dosis kapur selama beberapawaktu tertentu, biasanya satu minggu

sampai beberapa minggu, lalu kebutuhankapur ditentukan pada nilai pH tertentu.Menurut Mc.Lean. (1982) dalam Al-Jabri(2002), metode inkubasi memiliki ke-lemahan yaitu terjadi akumulasi garam(Ca, Mg, dan K) sehubungan denganaktivitas mikroba sehingga takaran kapurlebih dari yang seharusnya. Penetapankebutuhan kapur berdasarkan metodetitrasi dengan NaOH 0,05 N untukmencapai pH tertentu memerlukan kapurlebih rendah jika dibandingkan denganmetode inkubasi dan Aldd KCl 1 N, sertarelatif lambat sehingga tidak sesuai untukanalisis rutin (Al-Jabri 2002). Walaupunmetode titrasi memerlukan kapur lebihrendah, sebagian besar dari kemasamantanah tidak dinetralisir oleh basa, karenareaksi antara kation-kation asam yangdapat dititrasi berlangsung sangat lambat.Penetapan kebutuhan kapur berdasarkanAldd KCl 1 N jarang digunakan karenatingkat keracunan suatu jenis tanamansangat bervariasi pada tanah yangberbeda.

Hasil penelitian di rumah kaca dandi lapangan menunjukkan penentuantakaran kapur berdasarkan titrasi daninkubasi dapat diaplikasikan pada tanahsulfat masam potensial bergambut diLamunti, Kalimantan Tengah (Suriadikartadan Sjamsidi 2001). Tanah sulfat masamumumnya memiliki ketersediaan haraP dan K rendah, namun bila bahanorganiknya tinggi maka P dan K biasanyatinggi pula (Tabel 2).

Pada tanah sulfat masam aktual,kadar P dan K dalam tanah sangat rendahsehingga pemupukan P dan K sangatdiperlukan. Takaran pupuk P adalah 100kg TSP/ha atau 125 kg SP-36/ha yangsetara dengan 200 kg RP/ha (Hartatik etal. 1999; Supardi et al. 2000). RP yangbermutu baik untuk tanah sulfat masamaktual adalah RP Maroko Ground karenamempunyai kandungan Ca yang tinggiyaitu 27,65% dan P2O5 total 28,80%(Suriadikarta dan Sjamsidi 2001). Untukpupuk K cukup diberikan 100 kg KCl/hauntuk tanaman padi sawah.

Tabel 2. Sifat-sifat kimia tanah sulfat masam di Indonesia.

Lokasi TipologiKlasifikasi

pHC organik P-Bray

K (K2O)

P HClAl dd Kb

P2O5

25%USDA P2O5

(%)(ppm)

(mg/100 g) (%) (%)

(mg/100 g)

Sumatera SelatanKA I SMA Fluvaquentic 3,40 1,20 2,20 4 1 88,20 7P I TypicPS-I SulfaqueptKA I SMA Fluvaquentic 3,90 5,86 31,50 17 23 71,80 41PII bergambut SulfaqueptPS-14 SMA-2

Kalimantan TengahLamunti SMP Histic 4,10 7,53 45,70 12 68 70 16Ex PLG bergambut Sulfaquept

SMP-GPulau Petak SMA Typic 3,50 0,89 2,20 - - 15,42 54,95

Sulfaquept

Kalimantan BaratParit ampera SMP Typic - 4,99 10,20 80 24 1,35 68Sungai kakap Sulfaquent

Sumatera SelatanTelang, Muba SMP Typic 4,40 4,89 32,20 5 29 4,27 61

Sulfaquent

Kalimantan SelatanTabung Anen SMP Typic 4,90 3,83 19,60 40 22 0,66 > 100

Sulfaquent

Belawang SMA Histic 3,40 22,93 17,20 26 104 16,83 5Sulfaquept

SMA = Sulfat masam aktual, SMP = sulfat masam potensial.

Page 6: Pengelolaan Lahan Sulfat Asam

Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005 41

dilakukan dengan drainase dangkal,pencucian intensif tanah lapisan atas,yang dikombinasikan dengan pemberiankapur dan pupuk K.

Penggunaan Varietas yangAdaptif

Tanaman yang dapat diusahakan di lahansulfat masam antara lain adalah padi,palawija (jagung, kedelai, kacang tanah,dan kacang hijau), sayuran (cabai, kacangpanjang, kubis, tomat, dan terung), buah-buahan (rambutan, nenas, pisang, jeruk,nangka, dan semangka) dan tanamanperkebunan kelapa dan lada (Suwarno etal. 2000). Tanaman tersebut tumbuh baikpada tanah sulfat masam potensial de-ngan sistem tata air mikro seperti salurandrainase dan ameliorasi tanah.

Padi dan palawija

Padi sawah mempunyai daya adaptasiyang lebih baik di lahan pasang surutkhususnya tanah sulfat masam diban-dingkan pada tanah gambut dalam.Menurut Suwarno et al. (2000), sampaisaat ini telah dilepas 11 varietas padi yangcocok dengan lahan pasang surut (Tabel4). Varietas yang sesuai untuk lahan sulfatmasam adalah Mahakam, Kapuas, Lema-tang, Sei Lilin, Banyuasin, Lalan, Batang-hari, dan Dendang. Untuk tanah sulfatmasam aktual di mana kadar Al dan Fesangat tinggi, lebih sesuai ditanamvarietas lokal yang telah adaptif sepertiCeko, Jalawara, Talang, Gelombang, danBayur. Mengingat kesuburan tanah sulfatmasam sangat beragam maka pemupukanperlu disesuaikan dengan hasil analisistanah.

Tanaman palawija umumnya dita-nam di lahan pekarangan sebagai kebuncampuran dengan tanaman buah-buahandan sayuran. Varietas kedelai yang cocokuntuk tanah sulfat masam adalah Wilis,Rinjani, Lokon, dan Dempo. Hasil kedelaiberkisar 1,50–2,40 t/ha, kacang tanah 3,50t/ha, kacang hijau 1,20 t/ha, dan jagungArjuna 3–4 t/ha. Pada tanah sulfat masampotensial, selain perlu dipupuk, tanamanperlu pula diberi kapur sesuai dengantakaran anjuran (Tabel 5).

Sayuran dan buah-buahanPenggunaan amelioran, pengelolaanhara terpadu, serta penggunaan benihbermutu dengan waktu tanam yang tepat

Tanah sulfat masam di Pulau Petak,Kalimantan Tengah, sangat responsterhadap pemupukan P, baik yang berasaldari TSP maupun RP. Pemberian 135 kgP2O5/ha, 1.000 kg kaptan/ha, 50 kg K2O/ha, dan 120 kg N/ha dapat meningkatkanhasil padi menjadi 2,45 t/ ha (Manuelpillaiet al. 1986), meningkat delapan kalidibanding tanpa P dan kaptan. Pemberian90 kg P2O5/ha dan kaptan 500 kg/hamenghasilkan 2,21 t/ha, tidak berbedanyata dengan pemberian 135 kg P2O5/ha,dan kaptan 1.000 kg/ha. Pemberian RPpada tanah sulfat masam juga tidakberbeda nyata dengan penggunaan TSP.Hal ini disebabkan terjadinya prosespenyanggaan RP dalam media yang sa-ngat masam, yang menghasilkan bentukP yang metastabil seperti dikalsiumfosfat yang tersedia untuk tanaman.

Subiksa et al. (1990) menunjukkan,hasil padi dengan pemberian dolomit 2 t/ha dan SP-36 200–300 kg/ha rata-ratamencapai 4 t/ha pada tanah sulfat masampotensial di Kecamatan Telang Kabu-paten Muba, Sumatera Selatan. Padatanah sulfat masam potensial di TabungAnen, Kalimantan Selatan, hasil padidengan pemberian 43 kg P/ha, 52 kg K/ha, kapur 1 t/ha dan pupuk kandang 5 t/ha mencapai 3,24 t/ha. Pemberian kapurdidasarkan pada metode inkubasi untukmencapai pH 5 (Hartatik et al. 1999),sedangkan pemupukan P berdasarkankebutuhan P untuk mencapai 0,02 ppm Pdalam larutan tanah.

Di Belawang, Kalimantan Selatan,kebutuhan kapur lebih tinggi yaitu 4 t/hadan P optimum 100 kg P/ha dan 78 kg K/

ha. Hasil tertinggi diperoleh dari per-lakuan P optimum (100 kg P/ha), 78 kg K/ha dan 4 t kapur/ha. Di Belawang, piritpada tanah sulfat masam aktual telahmengalami oksidasi sehingga Aldd tinggidan P tersedia rendah (Tabel 3). P alamyang telah dicoba untuk tanah sulfatmasam dan memberikan hasil yang samabaiknya adalah P alam Tunisia, Ciamis, Palam Chrismast, dan P alam Aljazair. DiLamunti Kalimantan Tengah, pemberianP alam yang setara dengan 150 kg P2O5 /ha rata-rata dapat memberikan hasil 4,50 t/ha, tetapi kalau diberikan 75 kg P2O5/hahasil yang diperoleh hanya 3,79 t/ha. DiPalingkau Kalimantan Tengah, takaranyang sama dapat memberikan hasilmasing-masing 3,70 dan 3,40 t/ha (Supardiet al. 2000).

Hasil penelitian Konsten dan Sarwani(1990) di Pulau Petak menunjukkan bahwaoksidasi pirit setelah reklamasi membuattanah di daerah tersebut sangat masam,dijenuhi oleh Al dengan pH 3−4. Ada-nya garam-garam besi bebas dan Almenyebabkan keracunan tanaman dandefisiensi K dan Ca sangat sering terjadi.Kemasaman tanah aktual dari tanahsulfat masam di Pulau Petak didugadengan titrasi cepat pada pH 5,50, jum-lah Aldd sampai 60 mmol/g. Kemasamantanah aktual untuk tanah dengan pHkurang dari 4 adalah 20 mmol/100 g yangsetara dengan keperluan kapur 15 t/ha.Potensi kemasaman sangat tinggi dengankandungan pirit mencapai 8%. Selan-jutnya Konsten dan Sarwani (1990)mengemukakan bahwa untuk mengatasikemasaman aktual yang tinggi dapat

Tabel 3. Hasil padi dengan pemupukan dan pengapuran pada tanah sulfatmasam di Sumatera dan Kalimantan.

Lokasi Takaran pupuk (kg/ha) Kaptan Hasil

Varietas P2O5 K (K2O) (t/ha) (t/ha)

Kalimantan SelatanTabung Anen 43 52 K 1 3,24 IR64Belawang 100 86 K 4 3,25 IR64

Sumatera SelatanTelang Muba 300 60 K2O 2 * 4 IR64

Kalimantan TengahUnitalas 135 50 K2O 1 2,40 -Lamunti 56 60 K2O 2 2 IR64Ex PLG

* = dolomit.Sumber: Suriadikarta et al. (1999).

Page 7: Pengelolaan Lahan Sulfat Asam

42 Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005

merupakan kunci keberhasilan penanam-an sayuran di lahan rawa (Satsiyati etal. 1999). Tanaman buah-buahan sepertipisang, nangka, rambutan, dan jerukditanam di pekarangan pada guludan.Sayuran dan pisang relatif cepat mem-berikan kontribusi terhadap pendapatanpetani terutama pada tahun pertamamereka tinggal di pemukiman baru. Dilahan pekarangan lahan sulfat masamKarang Agung Ulu, tanaman sayuranmampu memberikan pendapatan lebihbesar daripada tanaman pangan, yaitu65,40% untuk sayuran dan 34,60% untuktanaman pangan (Subiksa dan Basa 1990).Hasil tomat varietas Ratna dan Intanmasing-masing mencapai 18,54 dan 13,40t/ha, sedangkan petsai varietas No. 82-157 sekitar 15,60 t/ha (Sutater et al. 1990).Bawang merah varietas Ampenan dan

Bima juga dapat beradaptasi cukup baikpada tanah sulfat masam dengan potensihasil masing-masing 6,40 dan 6,15 t umbikering/ha (Sutater et al. 1990). Takaranpupuk untuk tanaman sayuran dan buah-buahan di lahan sulfat masam disajikanpada Tabel 6.

Tanaman perkebunan

Di lahan sulfat masam Sumatera Selatandan Kalimantan Tengah, tanaman per-kebunan yang dapat beradaptasi adalahkopi, kelapa, dan lada.

Kelapa. Jenis kelapa yang sesuai adalahkelapa lokal, karena memiliki daya adap-tasi dan toleransi yang baik terhadaplingkungan. Kelapa dapat ditanam secara

tumpang sari dengan kopi, palawija, danhortikultura atau secara monokultur padaguludan. Di Karang Agung Ulu danKarang Agung Tengah, produktivitaskelapa masing-masing berkisar 7–18 butirdan 10–17 butir/pohon/periode petik.Pupuk diberikan sesuai dengan umurtanaman (Tabel 7), paling tinggi padaumur tanaman kelapa 3 tahun.

Temu-temuan. Tanaman temu-temuanseperti jahe, kencur, kunyit, temu lawak,lengkuas dan bangle tumbuh baik di lahanpasang surut. Penanamannya dapatdilakukan secara monokultur maupuntumpang sari dengan palawija atau ta-naman tahunan yang tidak terlalu tinggitingkat naungannya (Pusat PenelitianTanah dan Agroklimat 1993; PusatPenelitian dan Pengembangan Tanahdan Agroklimat 1999). Tanaman temu-temuan menghendaki tanah yang gemburdan subur, pH tanah normal dan tidaktergenang. Oleh karena itu, upaya per-baikan tanah yang meliputi pemberiankaptan, pemupukan, pembuatan salurancacing, dan penambahan lapisan gambutakan menjamin pertumbuhan dan hasilrimpang yang optimal.

Temu-temuan diharapkan dapatmenunjang sistem usaha tani di lahanpasang surut. Tanaman ini dapat di-manfaatkan sebagai bumbu dan obattradisional baik untuk manusia maupunternak. Kunyit, temu lawak, jahe, dankencur dapat digunakan sebagai obatreumatik dan pegel linu, lempuyanguntuk pegel linu, temu ireng dan banglesebagai obat cacing, serta temu giringuntuk obat panas dan batuk. Untukternak, jahe dapat mencegah penyakittetelo (ND), dan temu lawak dapatmenekan perkembangan bakteri padakotoran ternak sehingga mengurangibau limbah.

Hasil tanaman temu-temuan di lahansulfat masam cukup baik. Di KarangAgung Ulu (Pusat Penelitian Tanah danAgroklimat 1993), hasil jahe merah de-ngan pemupukan 45 kg N + 36 kg P2O5 +50 kg K2O + 200 kg kapur + 1,50 t gambut/ha berkisar 15,50–23,60 t/ha, sedangkanuntuk jahe putih kecil atau emprit 4,90–8,50 t/ha dan jahe putih besar varietasGajah 4,50–5,90 t/ha. Di KalimantanTengah, hasil jahe putih kecil juga cukupbaik, berkisar 14−20 t/ha. Untuk kencur,hasil di Karang Agung Ulu mencapai11,20–20,10 t/ha, dan di KalimantanTengah 200−300 g/rumpun.

Tabel 4. Varietas padi lahan pasang surut yang telah dilepas denganbeberapa sifat keunggulannya.

Varietas Tahun Umur Kadar Tekstur Sifat unggulpelepasan (hari) amilosa (%) nasi

IR64 1980 140 27 Pera Tahan WC2, HDB,blas, Fe

Barito 1981 140 21 Pulen Tahan WC1 dan HDBMahakam 1983 135 26 Pera Tahan HDB, Fe,

salinitasKapuas 1984 127 23 Pulen Tahan WC1, HDB, FeMusi 1988 135 24 Pera Tahan HDB, blas,

salinitasLematang 1991 130 27 Pera Tahan WC1, FeSei Lilin 1991 120 26 Pera Tahan WC1, FeBanyuasin 1997 120 22 Pulen Tahan HDB, blas, Fe,

AlLalan 1997 125 27 Pera Tahan WC2, blas,

salinitasBatanghari 1999 125 26 Pera Tahan WC2, HDB,

blas, FeDendang 1999 125 20 Pulen Tahan WC2, HDB,

blas, Fe, Al

WC 1, 2, 3: wereng coklat biotipe 1, 2, dan 3; HDB: hawar daun bakteri; Fe, Al: tahankeracunan Fe dan Al.Sumber: Suwarno et al. (2000).

Tabel 5. Takaran pupuk untuk tanaman palawija di lahan pasang surut.

Jenis tanamanTakaran pupuk (kg/ha)

Kaptan (t/ha)N P2O5 K2O

Kedelai 22,50–45 45 50 2–3Kacang tanah 22,50 45 50 1Kacang hijau 22,50–45 45–90 50–60 2Jagung 67,50 45–90 50 0,50–2

Sumber: Suwarno et al. (2000).

Page 8: Pengelolaan Lahan Sulfat Asam

Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005 43

Lada. Lada varietas Petaling I, PetalingII, dan Lampung Daun Kecil dapattumbuh dan beradaptasi baik di lahanpotensial maupun sulfat masam aktualKarang Agung Ulu. Pada lahan potensial,pengapuran dengan takaran 2−3 kg/tanaman dapat meningkatkan produksi

buah sampai panen ketiga (panenpertama sekitar 3 tahun) (Tabel 8).

Pembuatan saluran cacing di kanandan di kiri tanaman memberikan hasiltertinggi yaitu 140, 300, dan 230 g/pohonmasing-masing pada panen pertama,kedua, dan ketiga. Saluran cacing dapat

memperbaiki drainase sehingga kelem-bapan tanah sesuai bagi tanaman lada.Karena lada memerlukan bahan organiktinggi, maka pengembangannya dilahan bergambut tipis lebih sesuaiuntuk tanaman produktif. Pemupukantiga kali setahun dengan interval 4bulan sekali dengan takaran 512 gurea + 880 g TSP + 600 g KCl + 60 gkiserit/pohon memberikan hasil ter-tinggi yaitu 1,22 kg/pohon (PusatPenelitian Tanah dan Agroklimat 1993).Tiang panjat seperti lamtoro gung(Leucaena sp.) dan waru-waruan denganpemangkasan empat kali setahun mampumendukung pertumbuhan tanaman yangoptimal.

Perikanan

Penelitian ikan sebagai komponen sistemusaha tani di lahan pasang surut dan rawadilakukan sejak 1985 di lahan rawaKertamulia Patratani, rawa banjiran diLubuk Lampan, lahan pasang surut di tepisungai Musi Mariana, lahan potensial diKarang Agung Ulu, lahan sulfat masamsalin di Delta Upang dan lahan lebak diKayu Agung Sumatera Selatan, serta dilahan pasang surut dan sulfat masam ParitKeladi dan Palingkau, Kalimantan. Sistem

Tabel 6. Takaran pupuk dan kapur untuk tanaman sayuran dan buah-buahan di lahan sulfat masam.

Komoditas Takaran pupuk (kg/ha) Bahan KapurHasil (t/ha)

(varietas) Urea TSP KCl NPK organik (t/ha) (t/ha)

Tomat Ratna 200 200 100 50−75 5 (pukan) 1−1,50 18,54 Intan 200 200 100 50−75 5 (pukan) 1−1,50 13,48

Bawang merah 200 200 150 0 10−15 (pukan 1,80 5−6,50(Bisma, Brebes, sapi)Ampenan)

Petsai 200 200 150 0 5 1−2 8,70−15,60Asveg 82-156Sangihe- 200 200 150 0 5−10 3 Residu MT-2: 21,40Talaud (gambut)

Kubis 200 200 100 50 5 1−1,50 12−14

Cabai kriting 250 300 100 0 10 1−1,50 3,50−4,50

Pisang 600 400 160 0 25 500Ambon 14,20 kg/tandanMas 8,30 kg/tandanRajanangka 12 kg/tandanRajasere 7,80 kg/tandan

Sumber: Suriadikarta et al. (1999).

Tabel 7. Takaran pupuk tanaman kelapa Dalam Riau pada berbagai umurdi lahan sulfat masam.

Umur Takaran pupuk (g/pohon)

tanaman Urea SP-36 KCl Kieserit Kapur

1 bulan 100 100 100 50 1.500

1 tahun6 bulan ke-I 200 250 300 1006 bulan ke-II 200 250 300 100

2 tahun6 bulan ke-I 350 0 450 1506 bulan ke-II 350 600 450 150

3 tahun6 bulan ke-I 500 0 600 2006 bulan ke-II 500 800 600 200

BO = Memanfaatkan sisa-sisa tanaman dan gambut. Dicampur dalam lubang tanam denganperbandingan tanah : BO = 1:1, Pengapuran pada tahun ke-4 bila perlu diberikan 2−3 kg/pohon bersama-sama pemberian pupuk, Produksi = 80−110 butir/tahun/pohon.Sumber: Suriadikarta et al. (1999).

Page 9: Pengelolaan Lahan Sulfat Asam

44 Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005

usaha tani perikanan diartikan sebagaiusaha perikanan di lahan petani (Kasrynoet al. 1989; Partohardjono 1989) yangbertujuan untuk meningkatkan produksi,pendapatan dan pemanfaatan sumberdaya secara optimal guna meningkatkankesejahteraan petani. Tujuan tersebut da-pat dicapai melalui penerapan teknologiatau paket teknologi usaha tani yangsesuai dengan kondisi biofisik dan sosio-ekonomi yang ada di daerah.

Hasil ikan di lahan potensial, lahanlebak, dan lahan pasang surut yangmempunyai pH air relatif baik (4–5) lebihtinggi dibandingkan dengan hasil dilahan sulfat masam. Jumlah kapur yangditambahkan pada lahan potensialberkisar 5 t/ha, sedangkan pada lahansulfat masam 10 t/ha. Kendala padapembangunan kolam di lahan pasangsurut adalah rembesan air dari pematangdan masuknya air hujan dari tepi pe-matang ke dalam kolam sehingga pH airkolam turun dari 4 menjadi < 3 sehinggaikan mati.

Jenis ikan yang dapat dipelihara dikolam pasang surut antara lain adalahpatin, tembakang, lele, gurami, dan nilamerah. Jenis ikan tersebut dapat ber-

adaptasi dengan perubahan pH airkolam yang turun waktu hujan. Untukmengatasi penurunan pH air waktu hujan,pembuatan kolam dilakukan sebagaiberikut: 1) lapisan atas tanah 0–10 cmdikupas kemudian tanah kupasan di-tempatkan pada lokasi yang aman, 2)penggalian kolam dilakukan sampaikedalaman 1–1,20 m, 3), setelah peng-galian kolam selesai, dibuat galenganbersusun seperti tangga (2−3 tangga) laluguludan ditutup dengan tanah lapisanatas, 4) kolam dikapur dengan takaran 5–10 t kaptan/ha.

Pemeliharaan ikan dapat pula di-lakukan secara polikultur. Ikan nila dapatmemanfaatkan organisme plankton, se-dangkan ikan patin memakan organismeyang hidup di dasar kolam. Untukpemeliharaan ikan secara monokultur,ikan diberi tambahan pakan pelet dan sisamakanan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Lahan sulfat masam yang merupakanbagian dari lahan rawa pasang surutdengan luas ± 6,70 juta ha mempunyai

potensi untuk usaha pertanian terutamapadi sawah dan perikanan. Tanah sulfatmasam mempunyai kandungan bahanorganik P tersedia maupun P potensialyang umumnya rendah. Untuk tanahsulfat masam dengan kadar bahan organiksedang sampai tinggi, kadar P tersedia danpotensial juga tinggi. Pada tanah sulfatmasam yang dipengaruhi oleh pasangsurut air laut, kadar hara K umumnyatinggi.

Rock phosphate dapat mengganti-kan pupuk SP-36, dengan takaran 200 kgRP/ha yang setara dengan 125 kg SP-36/ha, pada tanah sulfat masam potensial.Perbaikan tata air mikro seperti pembuatansaluran keliling, saluran cacing, dandrainase dangkal sangat efektif dalammembuang bahan-bahan beracun sepertiFe, Al, dan sulfat.

Tanaman yang sesuai di lahan sulfatmasam adalah tanaman buah-buahan(pisang, nangka, rambutan, dan jeruk),palawija (kedelai varietas Wilis, Lokon,Rinjani Dempo, dan kacang hijau),tanaman perkebunan (kelapa, lada, dantemu-temuan), dan tanaman sayuran(tomat varietas Intan dan Ratna, petsaivarietas No. 82-157 dan bawang merahvarietas Ampenan dan Bima).

Kendala pengembangan lahan rawasulfat masam adalah terbatasnya sumberdaya manusia, sarana prasarana per-tanian, kelembagaan pedesaan, sertakebijakan pemerintah yang seringberubah-ubah dalam pengembanganpertanian di lahan rawa pasang surut.Untuk mengembangkan lahan rawapasang surut menjadi lahan pertanianyang produktif diperlukan kebijakanpemerintah yang mendukung upayatersebut, seperti subsidi benih dan pu-puk, pengolahan tanah, bahan ameliorantanah, serta pemeliharaan jaringan tata air.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jabri, M. 2002. Penetapan Kebutuhan Kapurdan Pupuk Fosfat untuk Tanaman Padi(Oryza sativa L.) pada Tanah Sulfat MasamAktual Belawang, Kalimantan Selatan.Disertasi. Program Pascasarjana. UniversitasPadjadjaran, Bandung.

Andriesse, W.M. and M. Sukardi. 1990. Surveycompound introduction, objection andoutline. Workshop on Acid Sulfate Soil inthe Humid Tropics, Bogor. Indonesia. 20–22 November. p. 10−17.

Departemen Pertanian. 1999. Sambutan MenteriPertanian Republik Indonesia dalam Pem-

Tabel 8. Produktivitas tanaman perkebunan pada lahan sulfat masamSumatera Selatan dan Kalimantan.

Tipologi lahan Komoditas Potensi hasil Lokasi

Sulfat masam Lada 1,22 kg/tanaman Karang Agung UluJahe merah 23,60 t/ha Karang Agung UluKelapa 4–10 butir/pohon Karang Agung Ulu

(Sumatera Selatan)7–11 butir/pohon Tarantang (Kalimantan

Selatan)7 butir/pohon Parit Keladi (Kalimantan

Barat)

Sulfat masam Kelapa 10 butir/pohon Lambur II (Jambi)potensial Rasau Jaya (Kalimantan

Barat)Pinrang Luar (Kalimantan Barat)

Bergambut Kelapa 8−12 butir/pohon Pinrang Luar6−15 butir/pohon Karang Agung Ulu

7−11 butir/pohon Sakalagun (Kalimantan Selatan)

Jahe kecil 0,70−11 kg/tanaman Lamunti (Kalimantan Tengah)

Kencur 0,20−0,30 kg/tanaman Lamunti, Dadahup

Kopi 0,40 kg/pohon/musim Pinrang Luar

Sumber: Suriadikarta et al. (1999).

Page 10: Pengelolaan Lahan Sulfat Asam

Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005 45

bukaan Temu Pakar dan Lokakarya NasionalDiseminasi dan Optimasi PemanfaatanSumber Daya Lahan Rawa, Jakarta, 23−26November 1999. hlm. 7−12.

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Managementfor Fish Pond Culture. Elsevier Sci.Publication Co., Amsterdam.

Dent, D. 1986. Acid Sulphate Soils: A baselinefor research and development. Inter-national Institute for Land Reclamation andImprovement Publication No. 39, Wage-ningen, the Netherland. p. 1−22.

Djayusman, M., S. Sastraatmaja, IG. Ismail, danIPG. Widjaja-Adhi. 1995. Penataan lahandan pengelolaan air untuk meningkatkanproduktivitas tanah sulfat masam. PusatPenelitian dan Pengembangan TanamanPangan. hlm. 20−27.

Driessen, P.M. and M. Soepraptohardjo. 1974.Soil for Agriculture Expansion in Indonesia.Bulletin 1. Soil Research Institute, Bogor.

Hartatik, W., I.B. Aribawa, dan J. Sri Adiningsih.1999. Pengelolaan hara terpadu pada lahansulfat masam. Prosiding Seminar NasionalSumberdaya Tanah, Iklim dan Pupuk, PusatPenelitian dan Pengembangan Tanah danAgroklimat, Bogor. 6−8 Desember 1999.hlm. 205−222.

ISDP. 1997. Gelar Teknologi Pertanian LahanPasang Surut Karang Agung Ulu, SumateraSelatan, 1997.

Kasryno, F., H. Nataatmadja, E. Pasandaran,E.A. Rasahan, and C.G. Swensen. 1989.Development an integrated farming systemresearch in Indonesia. Workshop on FSC inIndonesia. Sukamandi, 13−16 August 1989.

Konsten, C.J.M. and M. Sarwani. 1990. Actualand potential acidity and related chemicalcharacteristics of acid sulfate soil in PulauPetak Kalimantan. Workshop on AcidSulfate Soil in the Humid Tropies, 20−22November, Bogor Indonesia. p. 30−35.

Manuelpillai, R.G., M. Damanik, and R.S.Simatupang. 1986. Site specific soilcharacteristics and the amelioration of asulfic Tropaquepts (acid sulfate) in CentralKalimantan. Symposium on Lowland Devel-opment in Indonesia. Jakarta 24−31 August1986. p. 252−262.

Partohardjono, S. 1989. Pemantapan ProgramNasional Penelitian Sistem Usaha Tani.Makalah Latihan Metodologi PenelitianUsaha Tani, Sukamandi, 6−26 Februari 1989.Pusat Penelitian dan Pengembangan Ta-naman Pangan, Bogor.

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1993.Sewindu Penelitian di Lahan Rawa. Kontri-busi dan prospek pengembangan ProyekPenelitian Pertanian Lahan Pasang Surutdan Rawa Swamps II. Pusat Penelitian Tanahdan Agroklimat, Bogor. hlm. 13−33.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah danAgroklimat. 1999. Penelitian pengem-bangan sistem usaha tani lahan rawa pasangsurut di kawasan PLG sejuta hektar. KapetDAS Kakab. Kalimantan Tengah. PusatPenelitian dan Pengembangan Tanah danAgroklimat, Bogor.

Satsiyati, M. Januwati, dan H. Supriadi. 1999.Teknik budi daya dan potensi usaha tanisayuran lahan rawa di Kalimantan Tengah.Prosiding Temu Pakar dan LokakaryaNasional Diseminasi dan Optimasi Peman-faatan Sumber Daya Lahan Rawa, Jakarta23−26 November 1999. Pusat Penelitian danPengembangan Tanah dan Agroklimat. hlm.79−93.

Subagyono, H., I.W. Suatika, dan E.E. Ananto.1999. Penataan Lahan dan Tata Air Mikro:Pengembangan SUP Lahan Pasang Surut,Sumatera Selatan. Proyek PengembanganSistem Usaha Pertanian (SUP) Lahan PasangSurut Sumatera Selatan. Badan Penelitian danPengembangan Pertanian, Jakarta. hlm. 1−5.

Subiksa, I.G.M. dan I. Basa. 1990. KemajuanPenelitian Sistem Usaha Tani pada LahanSulfat Masam di Karang Agung Ulu, SumateraSelatan. Risalah Seminar Penelitian ProyekSwamps II. Bogor, 19−21 September 1990.Pusat Penelitian dan PengembanganTanaman Pangan. hlm. 31−38.

Subiksa, I.G.M., D.A. Suriadikarta, dan IPG.Widjaja-Adhi. 1990. Tata air dan jarakkemalir terhadap kimia tanah dan hasil padisawah pada tanah sulfic Tropaquents.Prosiding Seminar Penelitian Lahan PasangSurut dan Rawa Swamps-II, Palembang. 29−31 Oktober 1990. Pusat Penelitian danPengembangan Tanaman Pangan. hlm. 165−170.

Supardi, S., D.A. Suriadikarta, dan W. Hartatik.2000. Prospek P alam sebagai pengganti SP-36 di lahan sulfat masam. Prosiding SeminarNasional Penelitian dan PengembanganPertanian di Lahan Rawa, Cipayung 25–29Juli 2000. Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Tanah dan Agroklimat hlm. 433−440.

Suriadikarta, D.A. dan A. Abdurachman. 1999.Penelitian teknologi reklamasi untukmeningkatkan produktivitas tanah sulfatmasam potensial. Prosiding Temu Pakar danLokakarya Nasional Diseminasi OptimasiPemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa,Jakarta 23–26 November 1999. PusatPenelitian dan Pengembangan Tanah danAgroklimat. hlm. 135−143.

Suriadikarta, D.A., H. Supriadi, H. Malian, Z.Desmiyati, Suwarno, M. Januwati, dan H.K.Anang. 1999. Kesiapan teknologi dan ken-dala pengembangan usaha tani lahan rawa.Prosiding Temu Pakar dan LokakaryaNasional Diseminasi dan Optimasi

Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa.Jakarta, 23−26 November 1999. PusatPenelitian dan Pengembangan Tanah danAgroklimat. hlm. 1−32.

Suriadikarta, D.A. dan G. Sjamsidi. 2001. Tek-nologi peningkatan produktivitas tanahsulfat masam. Laporan akhir. Proyek SumberDaya Lahan Tanah dan Iklim, PusatPenelitian dan Pengembangan Tanah danAgroklimat. hlm. 6−12.

Sutater, T., Satsiyati, A.H. Permadi, dan D.Haryadi. 1990. Daya hasil tanah di lahansulfat masam. Risalah Hasil Penelitian.Proyek Swamps-II. Bogor 19–21 September1989. Pusat Penelitian dan PengembanganTanaman Pangan. hlm. 275–277.

Suwarno, T. Alihamsyah, dan I.G. Ismail. 2000.Optimasi pemanfaatan lahan rawa pasangsurut dengan penerapan sistem usaha taniterpadu. Prosiding Seminar Nasional Pe-nelitian dan Pengembangan Pertanian diLahan Rawa. Cipayung, 25–27 Juli 2000.Pusat Penelitian dan PengembanganTanaman Pangan. hlm. 176−186.

Van Breemen, N. 1976. Genesis and solutionchemistry of acid sulfate soils in Thailand.Center of Agricultural Publishing andDocumentation. Ph.D. Dessertation, Uni-versity of Wageningen.

Widjaja-Adhi, IPG. 1986. Pengelolaan lahanrawa pasang surut dan lebak. Jurnal Penelitiandan Pengembangan Pertanian V(1): 1–9.

Widjaja-Adhi, IPG., K. Nugroho, D.A. Suria-dikarta, dan A. Syarifudin. 1992. Sumber dayalahan rawa: Potensi, keterbatasan danpemanfaatan. Risalah. PERNAS Pengem-bangan Pertanian di Lahan Rawa PasangSurut dan Lebak, Cisarua 3−4 Maret 1992.Badan Penelitian dan Pengembangan Per-tanian, Jakarta. hlm. 19−38.

Widjaja-Adhi, IP.G. 1995a. Pengelolaan tanahdan air dalam pengembangan sumber dayalahan rawa untuk usaha tani berkelanjutandan berwawasan lingkungan. Makalah di-sampaikan pada Pelatihan Calon Pelatihuntuk Pengembangan Pertanian di DaerahPasang Surut, Karang Agung Ulu, SumateraSelatan, 26−30 Juni 1995. Pusat Penelitiandan Pengembangan Tanaman Pangan.

Widjaja-Adhi, IP.G. 1995b. Potensi peluang dankendala perluasan areal pertanian lahan rawadi Kalimantan Tengah dan Irian Jaya. Sopeng,7−8 November 1995. Pusat Penelitian danPengembangan Tanah dan Agroklimat. hlm.1−12.

Widjaja-Adhi. IP.G. dan T. Alihamsyah. 1998.Pengembangan lahan pasang surut; Poten-si, prospek, dan kendala serta teknologipengelolaannya untuk pertanian. ProsidingSeminar Nasional dan Pertemuan TahunanKomda HITI, 16–17 Desember 1998. hlm.51−72.