Pengelolaan keuangan publik

110
PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK DI ACEH Mengukur Kinerja Pemerintah Daerah di Aceh 40711 Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized

description

..

Transcript of Pengelolaan keuangan publik

  • PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK DI ACEH

    Mengukur Kinerja Pemerintah Daerah di Aceh

    40711

    Publi

    c Disc

    losur

    e Au

    thor

    ized

    Publi

    c Disc

    losur

    e Au

    thor

    ized

    Publi

    c Disc

    losur

    e Au

    thor

    ized

    Publi

    c Disc

    losur

    e Au

    thor

    ized

  • WORLD BANK OFFICE JAKARTA Jakarta Stock Exchange Building Tower II/12 th floor Jl. Jenderal Sudirman Kav. 52-53 Jakarta 12910 Tel: (+62-21) 5299-3000 Fax: (+62-21) 5299-3111 Website: www.worldbank.or.id Website: www.decentralizationindonesia.org Dicetak pada bulan Maret 2007 Laporan ini disusun oleh staf Bank Dunia. Penemuan, interpretasi dan kesimpulan yang terdapat dalam laporan ini tidak selalu mencerminkan pandangan dari Dewan Eksekutif Direktur Bank Dunia atau pemerintah-pemerintah yang mereka wakili.

  • PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK DI ACEH Mengukur Kinerja Pemerintah Daerah di Aceh

  • Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh Mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah di Aceh

    v

    Ucapan Terima Kasih Laporan ini disusun oleh Bank Dunia bekerja sama dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR). Laporan ini ditulis oleh Peter Rooney (Bank Dunia, Jakarta) dengan bimbingan Ahya Ihsan dan Enrique Blanco Armas (Bank Dunia, Banda Aceh). Proses pembuatan laporan ini berada dibawah pengarahan Wolfgang Fengler (Bank Dunia). Kami ingin berterima kasih kepada Victor Bottini (Bank Dunia, Resident Representative, Banda Aceh) atas dukungan dan bantuan yang diberikan terhadap penelitian dan diseminasi laporan, juga kepada Cut Dian Rahmi, Ahmad Zaki, Sylvia Njotomihardjo dan Niltha Mathias atas kontribusi yang telah diberikan. Selain itu kami ingin berterima kasih kepada fotographer Ramli, Damrudin, Athaillah dan YanAli Zebua. Kami juga ingin menyampaikan rasa terima kasih kami kepada BRR atas segala dukungan yang telah diberikan, terutama kepada Tedy Jiwantara Sitepu dan Sudirman Said. Kami juga berterima kasih kepada USAID-LGSP, terutama kepada Andrew Urban, untuk dukungan beliau, atas pelatihan untuk para peneliti dan atas pengorganisiran tahap pertama dari penelitian. Task Manager untuk persiapan kerangka PKP adalah Rajiv Sondhi, Senior Financial Management Specialist di Bank Dunia. Jessica Ludwig berperan sangat penting dalam pembuatan kerangka dan masukan-masukan beliau dalam pelaksanaan sangat berharga. Kami berterima kasih atas dukungan dan masukan yang telah diberikan oleh Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, AusAID, Asian Development Bank, Canadian International Development Agency, GTZ, USAID dan DSF.

  • Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh Mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah di Aceh

    vi

    Kata Pengantar Pemerintah daerah memainkan peran yang semakin penting dalam pelayanan publik di Indonesia. Dengan semakin banyaknya tanggung jawab fiskal yang diserahkan ke daerah saat ini, pemerintah daerah memiliki peran yang jauh lebih besar dalam pelayanan publik. Di Aceh, pemerintah daerah memainkan peranan penting. Sejak penandatanganan kesepakatan perdamaian pada bulan Agustus 2005 dan pemilihan kepala daerah yang telah berhasil dilaksanakan pada Agustus 2006, dua puluh satu pemerintah daerah di Aceh memiliki momentum berharga untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui perbaikan akses terhadap pendidikan yang berkualitas, layanan kesehatan yang lebih baik dan kesempatan untuk pembangunan ekonomi. Pemerintah daerah Aceh, bersama-sama dengan pemerintah propinsi, mengendalikan dana dalam jumlah besar. Sekarang adalah saatnya untuk memastikan bahwa dana tersebut dikelola dengan bijaksana untuk kepentingan semua masyarakat Aceh. Dengan pengelolaan sumber daya publik yang efisien, transparan, dan efektif pada tingkat daerah, dana ini memiliki potensi untuk merubah Aceh. Laporan penelitian ini merupakan hasil kerjasama antara BRR NAD-Nias, Bank Dunia, Unsyiah dan USAID-LGSP. Laporan ini mewakili sebagian dari upaya kolektif yang tengah dijalankan untuk membangun kembali Aceh dan Nias yang lebih baik. Laporan ini disusun terutama untuk pemerintah-pemerintah daerah di Aceh, yang merupakan pemimpin perubahan. Dengan adanya laporan ini diharapkan pemerintah daerah dapat mengidentifikasi dan menangani aspek-aspek pengelolaan keuangan yang membutuhkan perhatian segera. Nilai yang buruk tidak berarti kegagalan, namun suatu kesempatan untuk memperbaharui upaya dan mencari cara untuk memperbaiki kinerja. Dengan pendekatan ini, kita dapat bergerak dari penelitian ke rencana kerja yang komprehensif. BRR berterima kasih atas dukungan dari semua pihak yang terlibat, dan khususnya kepada pemerintah-pemerintah daerah Aceh sendiri yang telah banyak memberikan kontribusi dalam laporan ini. Assalamu alaikum. Deputi Kelembagaan dan Pengembangan SDM

  • Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh Mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah di Aceh

    vii

    Daftar Isi Bab 1 Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh ........................................................................ 1

    Bab 2 Kerangka PKP: Bidang strategis, hasil, dan indikator ................................................. 3

    Bab 3 Survei PKP di Aceh........................................................................................................ 9

    Bab 4 Rincian Hasil dan Analisis ..........................................................................................19 4.1 Bidang Strategis 1: Kerangka peraturan perundangan daerah.....................................21 4.2 Bidang Strategis 2: Perencanaan dan Penganggaran....................................................23 4.3 Bidang Strategis 3: Pengelolaan kas ...............................................................................25 4.4 Bidang Strategis 4: Pengadaan barang dan jasa............................................................27 4.5 Bidang Strategis 5: Akuntansi dan pelaporan.................................................................29 4.6 Bidang Strategis 6: Audit Internal ....................................................................................30 4.7 Bidang Strategis 7: Hutang dan Investasi .......................................................................32 4.8 Bidang Strategis 8: Pengelolaan Aset..............................................................................33 4.9 Bidang Strategis 9: Audit Eksternal..................................................................................35

    Bab 5 Isu-isu Utama ..............................................................................................................37

    Bab 6 Langkah ke depan ......................................................................................................43

    Lampiran 1: Kerangka Pengukuran Bidang Strategis dan Indikator ...............................................47 Lampiran 2: Kerangka Pengukuran, Bidang, Hasil Dan Indikator.......................................................49 Lampiran 3: Hasil PKP di setiap kabupaten/kota................................................................................70 Lampiran 4: Metodologi .........................................................................................................................93 Lampiran 5: Universitas dan Peneliti ....................................................................................................95 Lampiran 6: Hasil PKP di setiap pemerintah daerah di Aceh..............................................................96 Daftar Gambar, Tabel dan Diagram Gambar 1. Struktur kerangka PKP.............................................................................................. 6 Tabel 1. Pedoman penilaian kerangka PKP...........................................................................12 Tabel 2. Nilai PKP berdasarkan bidang strategis untuk pemerintah daerah di Aceh...............13 Diagram 1. Jumlah indikator pada setiap bidang strategis........................................................... 6 Diagram 2. Nilai PKP untuk masing-masing 21 Pemerintah Kabupaten/Kota dan Propinsi ........12 Diagram 3. Pebandingan Pemerintah Daerah dengan Kinerja Terbaik dan Kinerja Terburuk ......15 Diagram 4. Perbandingan Kinerja Pemerintah Daerah yang sudah lama terbentuk dengan

    Pemerintah Daerah yang baru terbentuk.................................................................16 Diagram 5. Rata-Rata nilai PKP berdasarkan bidang strategis ...................................................14 Diagram 6. Kerangka Peraturan Perundangan Daerah ..............................................................22 Diagram 7. Perencanaan dan Penganggaran ............................................................................23 Diagram 8. Pengelolaan Kas.....................................................................................................26 Diagram 9. Pengadaan .............................................................................................................28 Diagram 10. Akuntansi dan Pelaporan ........................................................................................29 Diagram 11. Audit Internal ..........................................................................................................31 Diagram 12. Hutang dan Investasi publik ....................................................................................32 Diagram 13. Pengelolaan aset ....................................................................................................34 Diagram 14. Audit eksternal dan pengawasan ............................................................................36

  • Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh Mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah di Aceh

    viii

    Daftar Istilah: Akronim dan Singkatan APEA Kajian Pengeluaran Publik Aceh (Aceh Public Expenditure Analysis) BPK Badan Pengawasan Keuangan BPKP Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Bappeda Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bawasda Badan Pengawasan Daerah BPKD Badan Pemeriksa Keuangan Daerah BUMD Badan Usaha Milik Daerah DAU Dana Alokasi Umum Dana Otsus Dana Otonomi Khusus Dispenda Dinas Pendapatan Daerah DPRD Dewan Perwakilan Raykat Daerah DSF Decentralized Support Facility Inpres Instruksi Presiden Juknis/Juklak Petunjuk Teknis/Petunjuk Pelaksana Kepmendagri Keputusan Menteri Dalam Negeri Keppres Keputusan Presiden KPPU Komite Pengawas Persaingan Usaha LGSP Local Government Support Program LKPJ Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Depkeu Departemen Keuangan Depdagri Departemen Dalam Negeri Musbangdes Musyawarah Pembangunan Desa PAD Pendapatan Asli Daerah PDAM Perusahaan Daerah Air Minum Perda Peraturan Daerah PKP Pengelolaan Keuangan Publik Qanun Peraturan Daerah (Syariah Islam) Renstra Rencana Stategis RKA-SKPD Rencana Kerja dan Anggaran-Satuan Kerja Pemerintah Daerah RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Sekda Sekretariat Daerah SK Bupati Surat Keputusan Bupati SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah SKO Surat Keputusan Otorisasi SPM Surat Perintah Membayar SPP Surat Permohonan Pembayaran USAID United States Agency for International Development

  • Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh Mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah di Aceh

    ix

    Ikhtisar Kapasitas pengelolaan keuangan di Aceh sangat beragam antar pemerintah daerah yang satu dengan yang lain. Beberapa pemerintah daerah memiliki hasil yang cukup baik dalam kapasitas pengelolaan keuangan, sementara beberapa pemerintah daerah lainnya masih tertinggal. Perbedaan kapasitas pengelolaan keuangan juga ditemui di dalam masing-masing pemerintah daerah. Hasil rata-rata menunjukkan kelemahan, terutama di dalam bidang akuntansi dan pelaporan, pengelolaan kas dan audit eksternal. Kerangka Pengelolaan Keuangan Publik (PKP) Survei Pengelolaan Keuangan Publik dilaksanakan di setiap pemerintah daerah di Aceh antara Mei sampai November 2006. Penilaian kapasitas didasarkan pada sembilan bidang utama pengelolaan keuangan: (1) Kerangka peraturan perundangan daerah; (2) Perencanaan dan penganggaran; (3) Pengelolaan kas; (4) Pengadaan; (5) Akuntasi dan pelaporan; (6) Audit internal; (7) Hutang dan investasi publik; (8) Pengelolaan aset; dan (9) Audit eksternal dan pengawasan. Setiap bidang strategis dibagi menjadi satu sampai lima hasil dan terdapat serangkaian indikator yang membutuhkan jawaban ya/tidak untuk setiap hasil. Hasil-hasil ini mencerminkan pencapaian yang diharapkan pada setiap bidang strategis dan indikator digunakan untuk menilai sejauh mana keberhasilan pemerintah kabupaten dalam mencapai hasil tersebut. Kerangka PKP memberikan gambaran sekilas atas kapasitas pengelolaan keuangan untuk setiap pemerintah daerah, dengan fokus terhadap kebijakan, prosedur dan peraturan, dalam arti lingkungan pengelolaan keuangan dalam pemerintah daerah. Bidang-bidang yang menjadi kelemahan pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan sengaja di garis bawahi, sehingga dapat menunjukkan aspek-aspek apa saja yang perlu diperbaiki. Sebelum survei PKP dilaksanakan, pengetahuan mengenai kapasitas pemerintah daerah sangat terbatas. Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya laporan ini beserta analisisnya dapat memberikan masukan untuk penilaian kapasitas keuangan yang lebih efektif di Aceh dan dampaknya terhadap proses desentralisasi dalam propinsi. Hasil PKP Secara keseluruhan, pemerintah daerah dengan nilai tertinggi adalah Aceh Utara (69 persen) dan yang terendah adalah Aceh Jaya (15 persen); sehingga nilai berada dalam rentang baik sampai dengan sangat buruk, berdasarkan panduan kerangka penilaian. Nilai rata-rata adalah 41 persen. Delapan pemerintah daerah mendapatkan nilai antara 39 sampai 42 persen dan enam pemerintah daerah mendapatkan nilai di bawah 39 persen. Semua pemerintah daerah, kecuali tiga diantaranya, mendapat nilai yang buruk pada sedikitnya satu bidang strategis. Selama lebih dari lima tahun, setelah pelaksanaan desentralisasi, kapasitas pengelolaan keuangan di empat belas pemerintah daerah di Aceh masih relatif lemah.

  • Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh Mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah di Aceh

    x

    Implikasi Kebijakan Hasil PKP ini memiliki empat aplikasi potensial. Pertama, dan yang paling penting, kerangka PKP ini beserta hasil PKP untuk masing-masing pemerintah lokal, dapat membantu pemerintah daerah dalam mengatasi kelemahan mereka dalam pengelolaan keuangan. Dengan mengidentifikasi bidang-bidang yang menjadi kelemahan mereka, pemerintah daerah dapat mengembangkan strategi untuk meningkatkan kapasitas pada bidang-bidang tersebut. Oleh sebab itu, langkah pertama yang harus diambil oleh pemerintah daerah adalah memastikan bahwa kebijakan, prosedur dan peraturan sudah tersedia dan kemudian memastikan hal-hal tersebut ditaati dan praktek-praktek pengelolaan keuangan yang baik dilembagakan dan dikembangkan lebih jauh lagi. Tanpa adanya ketaatan dan pelembagaan, upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas akan menjadi tidak efektif. Hasil PKP ini juga akan memungkinkan pembelajaraan sesama pemerintah lokal. Lembaga non-pemerintah dapat mendukung pemerintah daerah dalam mengembangkan kapasitas mereka dengan cara memberikan bantuan teknis dan pelatihan untuk peningkatan kapasitas, apabila diperlukan. Pemerintah propinsi bisa mengambil peran utama dalam mengembangkan strategi untuk semua pemerintah daerah di Aceh. Kedua, dengan menggaris bawahi bidang-bidang utama yang memiliki kelemahan kapasitas,, akan memungkinkan badan-badan yang merencanakan untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mengikutsertakan kapasitas pengelolaan keuangan dan pemerintah daerah tertentu dalam bentuk kerja sama yang spesifik.. Ketiga, dalam rangka mendorong pendekatan yang pro-aktif oleh pemerintah daerah perlu diberikan insentif untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan keuangan, sebagai contoh dengan mengaitkan sebagian alokasi dana otonomi khusus dengan perbaikan kapasitas. Yang terakhir, dengan mengikuti perubahan kapasitas pengelolaan keuangan, pemerintah Indonesia dapat membuat penilaian yang lebih akurat terhadap dampak desentralisasi di Aceh. Dengan demikian, hal kebijakan dan peraturan dalam konteks desentralisasi dapat lebih diidentifikasi, juga dalam kemajuan reformasi dan pelayanan publik dapat dipantau lebih baik.

  • Bab 1 Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh

  • Bab 1: Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh

    1

    Sejak tahun 2001, Indonesia telah menjalani transformasi yang mendasar dari pemerintahan yang tersentralisasi menjadi pemerintahan yang terdesentralisasi. Namun, sampai saat ini, pemahaman mengenai transisi kekuasaan dan tanggung jawab menyangkut sumber daya publik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam berbagai kapasitas masih sangat terbatas. Terutama, status otonomi khusus Aceh telah memberikan propinsi ini persentase sumber daya keuangan yang bahkan lebih besar lagi bagi pemerintah daerah. Ketiadaan informasi yang sistematis baik kualitatif maupun kuantitatif mengenai bagaimana desentralisasi fiskal ini dikelola oleh kabupaten telah menjadi pemicu untuk mengembangan kerangka pengukuran untuk pemerintah daerah di Indonesia. Kerangka PKP merupakan salah satu dari empat pilar kerangka pengukuran pemerintah daerah. Pilar-pilar lainnya adalah pemberian layanan publik, iklim investasi, dan kesehatan fiskal. Dengan mengukur kinerja dalam empat bidang utama ini, penilaian yang sistematis terhadap kinerja pemerintah daerah dapat dilakukan. Untuk Aceh, kapasitas pengelolaan keuangan yang efektif di tingkat pemerintah daerah penting untuk pencapaian tujuantujuan pembangunan jangka panjang. Beberapa faktor telah membatasi kapasitas pengelolaan keuangan di Aceh. Pertama, desentralisasi yang dilakukan secara cepat di Indonesia yang merupakan pengalihan tanggung jawab fiskal dan penyerahan sumber daya keuangan kepada pemerintah daerah tidak diikuti oleh peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya tersebut. Mengingat sebelum desentralisasi tugas utama pemerintah daerah hanyalah menjalankan proritas pembangunan pemerintah pusat, sistem pengelolaan keuangan tidak dirancang untuk mengatasi perubahan pengaturan fiskal. Kedua, Aceh telah mengalami peningkatan jumlah pemerintah daerah sejak tahun 2000. Sampai bulan November 2006, dari 21 pemerintah daerah yang ada, 11 diantaranya dibentuk setelah tahun 2000. Walaupun hal ini tidak serta merta berarti kapasitas pengelolaan keuangan akan selalu lebih rendah pada pemerintah daerah yang baru dibentuk, hasil dari survei PKP mengindikasikan bahwa, secara rata-rata, hasil pengelolaan keuangan lebih rendah pada pemerintah daerah yang baru, Sebelum diadakannya survei PKP, pengetahuan mengenai kapasitas pengelolaan keuangan pemerintah daerah di Aceh dan di seluruh Indonesia pada umumnya masih kurang. Apabila keefektivitasan atas desentralisasi hendak dinilai secara efektif, salah satu komponen utama penilaian ini adalah kapasitas pemerintah daerah untuk mengelola keuangan mereka. Jika pengelolaan keuangan masih lemah setelah lima tahun sejak perubahan yang dibawa oleh desentralisasi, hal ini berarti tujuan-tujuan desentralisasi masih belum tercapai di Aceh. Yang lebih penting dari penilaian pengelolaan keuangan secara keseluruhan adalah tujuannya untuk membuat gambaran yang rinci mengenai kapasitas pengelolaan keuangan masing-masing pemerintah daerah di seluruh Aceh, dan di Indonesia pada umumnya, karena pada saat ini pemerintah daerahlah yang memiliki pengaruh paling besar terhadap kehidupan masyarakat. Berangkat dari argumen ini, kerangka PKP dibuat untuk menfasilitasi penilaian dan analisis kapasitas pengelolaan keuangan pada tingkat daerah. Pengetahuan ini memiliki beberapa aplikasi. Pertama, hasil dan analisis akan disebarkan kepada pemerintah daerah itu sendiri. Sehingga, pemerintah daerah akan mendapatkan penilaian yang akurat dan independen mengenai kapasitas pengelolaan keuangan mereka sendiri dan dapat berfokus untuk memperbaiki bidang-bidang utama yang menjadi kelemahan mereka. Kedua, badan-badan pemerintah lainnya, seperti BRR dan pemerintah propinsi, dapat menggunakan hasil yang diperoleh untuk merancang intervensi peningkatan kapasitas dan juga untuk merancang program yang lebih baik dengan memperhitungkan

  • Bab 1: Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh

    2

    kekuatan dan kelemahan tertentu dalam kapasitas pengelolaan keuangan. Begitu juga donor akan dapat merancang intervensi peningkatan kapasitas dan mengakomodasi kapasitas pemerintah daerah dalam berbagai bentuk program secara lebih baik. Ketiga, hasil dan analisis juga dapat digunakan untuk memberikan insentif bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitas PKP mereka. Sebagai contoh, apabila survei ini diadakan kembali setiap tahun atau setiap dua tahun, perubahan kapasitas PKP dapat diidentifikasi. Pemerintah daerah dengan kinerja yang bagus dapat diberikan penghargaan berupa tambahan pendapatan melalui dana otonomi khusus untuk mendorong perbaikan yang lebih jauh, sementara pemerintahan yang terus menerus berkinerja buruk dapat dikecualikan dari menerima sumber tambahan pendapatan ini. Hal ini dapat menjadi bagian dari keseluruhan strategi untuk memberikan bantuan bagi pemerintah daerah dalam mengembangkan kapasitas pengelolaan keuangan mereka.

  • Bab 2 Kerangka PKP: Bidang strategis, hasil, dan indikator

  • Bab 2: Kerangka PKP: Bidang strategis, hasil dan indikator

    5

    Kerangka PKP dikembangkan oleh Bank Dunia dan Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia untuk menilai kapasitas pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Kerangka ini terbagi menjadi sembilan bidang strategis yang utama untuk pengelolaan keuangan publik yang efektif pada tingkat pemerintah daerah: (1) kerangka peraturan perundangan daerah; (2) perencanaan dan penganggaran; (3) pengelolaan kas; (4) pengadaan; (5) akuntasi dan pelaporan; (6) audit internal; (7) hutang dan investasi publik; (8) pengelolaan aset; dan (9) audit eksternal dan pengawasan. Setiap bidang stragis terbagi atas satu hingga lima hasil, dan sebuah daftar indikator diberikan untuk setiap hasil. Hasil-hasil ini mencerminkan pencapaian yang diharapkan pada setiap bidang strategis dan indikator-indikator digunakan untuk menilai sejauh mana pemerintah daerah telah berhasil mencapai hasil-hasil ini. Walaupun kerangka ini menggunakan beberapa konsep dan perangkat dari PKP nasional dan internasional, kerangka PKP ini telah khusus dirancang untuk pemerintah daerah di Indonesia. Sehingga, walaupun standar minimum internasional telah ditetapkan, standar tersebut tidak dijadikan dasar dalam mengidentifikasi hasil-hasil yang ideal, atas pertimbangan bahwa standar-standar tersebut terlalu tinggi untuk membuat penilaian yang valid terhadap pemerintah daerah dalam konteks Indonesia. Responden diminta untuk memberikan jawaban ya atau tidak untuk setiap pernyataan pada masing-masing indikator. Respon positif dijumlahkan pada setiap hasil dan nilai diperhitungkan berdasarkan persentase atas jawaban ya. Persentase nilai kemudian diberikan untuk setiap hasil yang diinginkan yang mencerminkan sejauh mana pemerintah daerah telah berhasil mencapai hasil ini. Dengan menjumlahkan semua jawaban positif pada setiap bidang strategis, didapatkan nilai yang mencerminkan kapasitas pemerintah daerah pada aspek pengelolaan keuangan tersebut. Hasil penilaian didapatkan melalui wawancara dan kelompok diskusi terarah dengan perwakilan pemerintah daerah pada departemen-departemen terkait. Perwakilan pemerintah termasuk: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), bagian keuangan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dinas pendapatan daerah, kantor kas daerah dan Badan Pengawasan Daerah (lihat Lampiran 4). Untuk memastikan keakuratan data jawaban ya harus didukung oleh dokumen yang relevan atau/dan diperiksa silang dengan responden tambahan. Sebagian besar hasil dapat dikumpulkan dalam tempo tiga atau empat hari.

  • Bab 2: Kerangka PKP: Bidang strategis, hasil dan indikator

    6

    Gambar di bawah ini menunjukkan struktur kerangka, dengan fokus pada salah satu bidang strategis sebagai contoh.

    Gambar 1. Struktur Kerangka PKP

    Beberapa bidang strategis memiliki lebih banyak indikator dibanding bidang strategis lainnya. Sebagai contoh, perencanaan dan penganggaran memiliki 53 indikator, sedangkan hutang dan investasi publik hanya memiliki 8 indikator. Nilai keseluruhan untuk masing-masing pemerintah daerah adalah perhitungan rata-rata dari sembilan bidang strategis, sehingga, setiap bidang strategis memiliki bobot yang sama dalam perhitungan.

    Diagram 1. Jumlah indikator pada setiap bidang strategis

    25

    53

    4450

    27

    18

    8

    229

    Kerangka peraturan perundangandaerahPerencanaan dan penganggaran

    Pengelolaan kas

    Pengadaan

    Akuntansi dan pelaporan

    Audit internal

    Hutang dan investasi

    Pengelolaan aset

    Audit dan eksternal danpengawasan

    Pemerintah Daerah

    Kapasitas Pengelolaan Keuangan

    Bidang Strategis 1: Kerangka peraturan perundangan daerah

    2 3 4 5 6 7 8 9

    Hasil 1: Kerangka peraturan daerah menyediakan dasar penegakan hukum dan struktur organisasi yang efektif

    Hasil 3: Kerangka peraturan daerah mencakup pengukuran untuk meningkatkan tranparansi dan partisipasi masyarakat

    Hasil 2: Kerangka peraturan daerah yang komprehensif diharuskan oleh perundangan nasional mengenai pengelolaan keuangan daerah

    12 indikator 7 indikator 6 indikator

  • Bab 2: Kerangka PKP: Bidang strategis, hasil dan indikator

    7

    Keterbatasan kerangka ini Kerangka pengukuran ini dirancang untuk menjadi sekomprehensif mungkin. Namun, beberapa kekurangan tidak dapat dihindari. Kerangka ini tidak dapat mengukur semua hal yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan dan akuntabilitas pemerintah daerah. Kerangka ini mempertimbangkan apa yang mungkin dan yang realistis untuk dilakukan dalam pemerintah daerah Indonesia. Oleh sebab itu, indikator-indikator mengarah kepada dasar yang bukan saja dibutuhkan tetapi juga dinilai memungkinkan untuk dicapai. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan model terhadap perbaikan yang relatif kecil dalam bidang PKP yang kemungkinan dapat direalisasikan oleh banyak pemerintah daerah di Indonesia, setidaknya dalam jangka pendek. Kerangka ini dirancang agar mudah digunakan. Tingkat selektivitas tertentu diterapkan dalam mengikutsertakan hasil, indikator, dan pertanyaan-pertanyaan diagnostik tertentu dan mengesampingkan yang lainnya, sehingga kerangka ini dapat dengan mudah digunakan oleh surveyor. Lingkungan kontrol internal di beberapa institusi kunci PKP tidak tercakup sepenuhnya dalam model ini. Melaksanakan penilaian atas kontrol/pengendalian internal bisa menjadi suatu latihan yang sangat rumit. Oleh sebab itu, pada institusi-institusi utama PKP regional, seperti bagian akuntansi dan kas daerah hanya beberapa pertanyaan utama yang dimasukkan yang mencerminkan indikator-indikator secara luas di bidang pengendalian. Selain penting untuk memiliki prosedur dan kebijakan yang benar di tempat, penting juga untuk memastikan bahwa prosedur dan kebijakan ini benar-benar dijalankan di lapangan. Kerangka ini lebih mengarah kepada penilaian mengenai apakah kebijakan dan prosedur yang ada telah memadai, dan secara umum bergantung pada diskusi antara enumerator dan pegawai pemerintahan daerah. Terdapat kesulitan dalam mengindentifikasi praktek-praktek yang tidak sejalan dengan peraturan, kebijakan dan prosedur yang mengatur pengelolaan keuangan. Sehingga, hal ini berarti, nilai yang tinggi untuk misalnya audit internal tidak selamanya berarti audit internal dijalankan dengan tepat atau secara efektif. Melainkan, hal ini hanya berarti bahwa terdapat kebijakan dan prosedur untuk melakukan audit internal secara tepat. Perlu untuk dicatat bahwa pembuatan kerangka pengukuran disiapkan tanpa adanya informasi pendukung yang lengkap mengenai proses PKP yang saat ini dilakukan oleh pemerintah-pemerintah daerah di Indonesia. Karena pada saat kerangka ini dibuat informasi-informasi tersebut tidak tersedia. Sehubungan dengan pengalaman mengaplikasikan kerangka ini di seluruh Aceh, penyesuaianpenyesuaian perlu untuk dilakukan pada masa yang akan datang agar kerangka ini lebih sesuai dengan konteks Indonesia dan lebih fokus untuk mendapatkan hasil-hasil PKP yang dapat diukur.

  • Bab 3 Survei PKP di Aceh

  • Bab 3: Survei PKP di Aceh

    11

    Survei PKP di Aceh dilaksanakan dalam tiga tahap. Tahap pertama melibatkan lima pemerintah daerah: Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat dan Nagan Raya. Survei dilakukan selama bulan Mei sampai bulan Juni 2006. Kelima wilayah ini dipilih karena USAID-LGSP (Local Governance Support Program) memiliki program di lima pemerintahan daerah yang terkena dampak tsunami ini. LGSP mendanai survei tahap pertama ini dan memberikan pelatihan bagi para peneliti (suatu lokakarya tiga hari dilaksanakan di Medan pada bulan April 2006). LGSP dan Bank Dunia mengkoordinasikan kegiatan survei dan mengawasi pelaksanaan survei tersebut. Tahap kedua dilakukan pada empat pemerintah daerah: Aceh Utara, Aceh Timur, Pidie dan Bireuen. Bank Dunia mendanai dan mengorganisir survei tahap kedua ini, yang dilakukan pada bulan Juli 2006. Tahap ketiga dilaksanakan pada 12 pemerintah daerah lainnya serta pemerintah propinsi pada bulan November 2006. Survei tahap ke-tiga ini didanai oleh BRR dan diorganisir oleh Bank Dunia. Laporan ini berfokus pada 21 pemerintah kabupaten maupun kota. Survei ini dilaksanakan oleh peneliti dari empat universitas di Indonesia: UNSYIAH di Banda Aceh, USU di Medan, dan UNHAS di Makassar dan UNAND di Padang. Beberapa peneliti juga dikontrak dari LSM-LSM yang ada di Aceh. Peneliti-peneliti ini memiliki latar belakang akademis yang solid di bidang pengelolaan keuangan, sebagian besar dengan gelar MSc yang relevan, dan beberapa diantara mereka bergelar PhD. Hasil awal telah dipublikasikan pada Analisa Pengeluaran Publik Aceh1 yang diterbitkan oleh Bank Dunia dan Aceh and Nias Two Years after the Tsunami2 yang diterbitkan oleh BRR. Diharapkan bahwa pelaksanaan kerangka PKP di masa yang akan datang dapat mencakup semua wilayah Indonesia. LGSP juga telah melakukan survei terhadap beberapa pemerintah daerah di luar Aceh, dengan fokus kepada bidang-bidang strategis yang berkaitan dengan program-program peningkatan kapasitas yang dimiliki oleh LGSP. Hasil-hasil PKP di Aceh Radar di bawah ini (Diagram 2) menunjukan perbedaan kapasitas pengelolaan keuangan di Aceh. Nilai rata-rata untuk semua 21 pemerintah daerah di Aceh adalah 41 persen. Yang segera menjadi perhatian adalah sembilan pemerintah daerah mendapatkan nilai di bawah 40 persen dan lima pemerintah daerah mendapatkan nilai antara 40 sampai 42 persen. Hanya satu, Aceh Utara yang mendapatkan nilai di atas 60 persen. Banyak faktor yang dapat menyebabkan hasil yang kurang baik dalam pengelolaan keuangan, seperti kabupaten dipimpin oleh seorang pejabat bupati sementara, kualitas pegawai di daerah terpencil, insiden konflik di masa lalu, dampak langsung dari tsunami, sejarah pengelolaan yang kurang baik dari pemerintahan sebelumnya, dan kurangnya sumber daya keuangan. Rendahnya tingkat kapasitas pengelolaan keuangan di beberapa pemerintah daerah saat ini perlu mendapatkan perhatian segera dan berkelanjutan. Kelemahan-kelemahan tertentu menunjukkan bidang-bidang yang memerlukan upaya peningkatan kapasitas. Perubahan yang diharapkan nanti, dapat dikaitkan dengan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab. Perbaikan-perbaikan tersebut harus mendapatkan pengakuan dan diberikan penghargaan, sebaliknya, kegagalan juga perlu disadari dan dipertanggung jawabkan.

    1 Analisa Pengeluaran Publik Aceh Belanja untuk rekonstruksi dan pengentasan kemiskinan. Bank Dunia, 2006. 2 Aceh and Nias Two Years after the Tsunami, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi, 2006.

  • Bab 3: Survei PKP di Aceh

    12

    Ringkasan hasil Nilai PKP untuk semua 21 pemerintah daerah dan pemerintah propinsi disajikan di bawah ini. Panduan penilaian juga diberikan untuk menunjukkan tingkatan nilai dari sangat baik sampai sangat buruk.

    Tabel 1: Pedoman penilaian kerangka PKP

    Pedoman penilaian 81 - 100% Sangat baik/Dapat diterima sepenuhnya 61 - 80% Baik/Secara umum dapat diterima 41 - 60% Sedang/Sebagian dapat diterima 21 - 40% Buruk/Sebagian besar tidak dapat diterima 0 - 20% Sangat buruk/Tidak dapat diterima

    Diagram 2: Nilai PKP untuk masing-masing 21 pemerintah kabupaten/kota dan propinsi

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    Aceh

    Utara

    Band

    a Ace

    h

    Aceh

    Bes

    ar

    Aceh

    Tim

    ur

    Lang

    sa

    Simeu

    lue

    Singk

    ilNA

    D

    Gayo

    Lues

    Pidie

    Saba

    ng

    Aver

    age

    A. Ten

    ggar

    a

    Aceh

    Sela

    tan

    Bire

    uen

    A. Tam

    iang

    Aceh

    Bar

    at

    Aceh

    Ten

    gah

    Naga

    n Ra

    ya

    Lhok

    seum

    awe

    A. B

    arat

    Day

    a

    Bene

    r Mer

    iah

    Aceh

    Jaya

    has

    il (

    %)

  • Bab 3: Survei PKP di Aceh

    13

    Tabel 2: Nilai PKP berdasarkan bidang strategis untuk pemerintah daerah di Aceh Bidang Strategis

    Pemerintah Hasil terakhir

    Kerangka peraturan

    perundangan daerah

    Perencanaan dan

    penganggaran

    Pengelolaan kas

    Pengadaan Akuntansi dan

    pelaporan

    Audit internal

    Hutang dan

    investasi

    Pengelolaan aset

    Audit eksternal dan pengawasan

    1 Aceh Utara 69 68 74 57 78 63 78 63 68 67 2 Banda Aceh 56 48 53 61 68 59 56 50 41 67 3 Aceh Besar 54 56 42 48 62 59 67 38 45 67 4 Aceh Timur 52 68 51 34 64 52 78 50 36 33 5 Langsa 50 56 55 43 66 48 61 50 36 33 6 Simeulue 49 36 51 43 76 52 56 25 50 56 7 Singkil 47 44 51 39 68 33 50 50 36 56 8 Gayo Lues 42 36 51 34 58 74 39 25 32 33 9 Pidie 42 32 36 48 72 41 67 0 50 33 10 Sabang 41 36 34 41 54 59 50 0 41 56 11 A. Tenggara 40 48 49 27 74 19 50 38 32 22 12 Aceh Selatan 40 24 49 16 58 22 44 38 50 56 13 Bireuen 39 32 47 36 72 41 44 12 36 33 14 A. Tamiang 39 44 30 39 58 37 44 38 27 33 15 Aceh Barat 39 8 26 50 70 19 61 50 64 0 16 Aceh Tengah 33 32 40 23 56 30 33 13 27 44 17 Nagan Raya 29 12 25 23 64 19 67 12 41 0 18 Lhokseumawe 29 24 33 36 32 33 50 0 18 33 19 A. Barat Daya 26 24 42 14 48 15 44 25 14 11 20 Bener Meriah 25 20 30 18 38 15 33 13 27 33 21 Aceh Jaya 15 20 25 14 34 11 11 0 14 11 Rata-rata 41 37 43 35 60 38 52 28 37 37

    NAD 43 36 46 41 52 56 61 0 41 56

  • Bab 3: Survei PKP di Aceh

    14

    Radar di bawah ini menunjukkan nilai rata-rata pada sembilan bidang strategis untuk seluruh 21 pemerintah daerah. Rentang nilai rata-rata untuk bidang strategis jauh lebih sempit dibandingkan dengan rentang nilai untuk pemerintah daerah. Nilai rata-rata tertinggi adalah untuk pengadaan (60 persen) disusul oleh audit internal (52 persen). Nilai paling rendah terdapat pada hutang dan investasi publik (28 persen) disusul oleh pengelolaan kas (35 persen)

    Diagram 5: Rata-rata nilai PKP berdasarkan bidang strategis

    Pemerintah daerah dengan kinerja terbaik dan kinerja terburuk Nilai keseluruhan tertinggi untuk pengelolaan keuangan diraih oleh Aceh Utara (69 persen), sementara nilai paling rendah dihasilkan oleh Aceh Jaya (15 persen). Radar di bawah ini membandingkan nilai-nilai untuk pemerintah daerah dengan nilai tertinggi dan terendah, menunjukkan perbedaan besar dalam hasil pengelolaan keuangan di antara pemerintah-pemerintah daerah di Aceh.

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    Kerangka peraturan perundangan daerah

    Perencanaan dan penganggaran

    Pengelolaan kas

    Pengadaan

    Akuntansi dan pelaporan

    Audit internal

    Hutang dan investasi

    Pengelolaan aset

    Audit dan pengawsan eksternall

  • Bab 3: Survei PKP di Aceh

    15

    Diagram 3: Pebandingan pemerintah daerah dengan kinerja terbaik dan kinerja terburuk

    0

    20

    40

    60

    80

    100Regulatory framework

    Planning & budgeting

    Cash management

    Procurement

    Accounting & reportingInternal audit

    Public debt & investment

    Asset management

    External audit & oversight

    Aceh Utara Aceh Jaya Tim peneliti untuk Aceh Utara mengidentifikasi kemauan politik dan komitmen bupati merupakan pendorong utama kinerja pengelolaan keuangan yang baik. Memiliki pegawai dengan kualifikasi baik mendukung upaya peningkatan kapasitas pengelolaan keuangan. Selain itu, dukungan dari dewan perwakilan rakyat daerah, LSM dan kelompok masyarakat, mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan kinerjanya. Kinerja buruk Aceh Jaya sebagian disebabkan karena status kabupaten yang relatif baru, sehingga menyebabkan sumber daya manusia dan sumber daya keuangan yang dimiliki oleh daerah ini kurang memadai. Sebagai tambahan, dampak tsunami yang memprihatinkan di Aceh Jaya, (ibukota Aceh Jaya, Calang, hancur sepenuhnya) tentu saja berdampak pada hasil pengelolaan keuangan dalam jangka menengah. Kinerja PKP di pemerintahan daerah yang sudah lama terbentuk dan yang baru terbentuk Pemerintah daerah yang banyak baru terbentuk belakangan ini mendapatkan nilai lebih rendah, secara rata-rata, untuk masing-masing sembilan bidang strategis. Sebelas dari 21 kabupaten/kota baru dibentuk setelah tahun 2000. Hal ini merupakan bagian dari pola pemekaran kebupaten yang terjadi di seluruh Indonesia serta pembentukan administrasi kota yang secara fiskal independen sebagai akibat dari desentralisasi. Di Aceh terdapat sembilan kabupaten dan dua kota yang baru terbentuk. Kapasitas pengelolaan keuangan yang lebih rendah dapat disebabkan oleh beberapa faktor: kurangnya pra-sarana pemerintah dalam kabupaten/kota yang baru untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan secara efektif (atau setidaknya, sama baiknya dengan sebelum pemekaran) di kabupaten baru; kurangnya tenaga-tenaga terlatih apabila kebanyakan pegawai negeri tetap berada pada kabupaten asal; kurangnya waktu untuk mengembangkan praktek-praktek

  • Bab 3: Survei PKP di Aceh

    16

    pengelolaan keuangan; dan tidak cukupnya waktu untuk mengesahkan peraturan-preaturan yang mendukung. Namun, kabupaten/kota yang baru terbentuk tidak semuanya mendapatkan nilai yang lebih rendah dibandingkan kabupaten asal. Jelas bahwa, pemekaran daerah memerlukan pertimbangan yang seksama untuk memastikan standar-standar pengelolaan keuangan setidaknya dapat dipertahankan. Beberapa dari pemerintah daerah yang baru terbentuk mendapatkan hasil yang sangat buruk, mengindikasikan kurangnya persiapan untuk memastikan bahwa standar-standar dapat dipertahankan. Bahkan tiga sampai lima tahun setelah pemekaran, kapasitas beberapa pemerintah daerah yang baru dibentuk masih jauh lebih rendah dibandingkan kabupaten asal.

    Diagram 4: Perbandingan kinerja pemerintah daerah yang sudah lama terbentuk dengan pemerintah daerah yang baru terbentuk

    0

    20

    40

    60

    80

    100Kerangka peraturan perundangan daerah

    Perencanaan dan penganggaran

    Pengelolaan kas

    Pengadaan

    Akuntansi dan pelaporan Audit internal

    Hutang dan investasi

    Pengelolaan aset

    Audit eksternal dan pengawasan

    Pemerintah lama Pemerintah baru

    Kinerja PKP di kabupaten dan kota Sebelum diadakannya survei, kota diharapkan memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan kabupaten karena beberapa alasan. Pertama, sebagai pusat perkotaan, kota-kota dapat menarik lebih banyak pegawai yang berkualitas yang lebih memilih untuk hidup dan bekerja di pusat-pusat keramaian. Kota memiliki pra-sarana yang lebih baik untuk menjalankan fungsi pemerintahan, terutama apabila dibandingkan dengan pemerintahan kabupaten di sekitarnya yang relatif baru terbentuk. Hasil survei PKP mangindikasikan bahwa kota, secara rata-rata, memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan kabupaten, walaupun terdapat satu perbedaan yang jelas. Empat dari pemerintah daerah di Aceh merupakan kota. Banda Aceh dan Sabang telah memiliki administrasi yang terpisah untuk cukup lama sedangkan Langsa dan Lhokseumawe keduanya baru terbentuk pada tahun 2001 ketika desentralisasi baru dimulai. Perbandingan

  • Bab 3: Survei PKP di Aceh

    17

    antara kota dan kabupaten tidak menunjukkan perbedaan yang besar, walaupun rata-rata nilai PKP untuk kota jauh lebih rendah dari yang seharusnya disebabkan kinerja Lhokseumawe yang buruk (29 persen). Kebalikannya, Langsa, mendapatkan nilai yang lebih tinggi pada setiap bidang strategis kecuali audit eksternal, dengan nilai keseluruhan sebesar 50 persen.

  • Bab 4

    Rincian Hasil dan Analisis

  • Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

    21

    Nilai-nilai yang ditunjukkan di atas untuk ke sembilan bidang strategis di dalam pemerintahan daerah hanya menunjukkan selintas dari kapasitas PKP di bidang-bidang kunci ini. Gambaran yang lebih rinci menunjukkan perbedaan signifikan pada indikator tingkat individual dan hasil (outcome). Bagian berikutnya akan menganalisis masing-masing bidang strategis secara mendetil dan membandingkan nilai pemerintah daerah pada tingkat hasil dan juga indikator, apabila dipandang berarti. Mengingat analisis mendetail untuk bidang strategis di setiap pemerintah daerah akan terlalu berlebihan mengingat jumlah pemerintah lokal yang ada (21) dan jumlah indikator-indikator (256), perbandingan antara nilai tertinggi dan terendah untuk setiap bidang merupakan bagian terbesar dari analisis. Dengan jalan ini, diharapkan bahwa pemerintah daerah dengan kinerja terburuk akan menyadari sejauh mana kapasitas pengelolaan keuangan perlu untuk ditingkatkan. 4.1 Bidang Strategis 1: Kerangka peraturan perundangan daerah Baik di Aceh maupun di daerah-daerah lain di Indonesia, kerangka hukum untuk pengelolaan keuangan yang komprehensif, yang sejalan dengan perundang-undangan nasional dan ditegakkan secara efektif, merupakan hal yang penting dalam konteks desentralisasi di Indonesia. Sejak desentralisasi, pemerintah daerah diwajibkan (UU No. 22/ 1999 dan UU No. 17/ 2003) untuk memiliki peraturan daerah yang mengatur pengelolaan keuangan pada pemerintah daerah. Sebelum desentralisasi, undang-undang nasional menjadi payung hukum bagi administrasi keuangan tetapi dengan penyerahan kewenangan dan tanggung jawab fiskal ke pemerintah daerah, peraturan-peraturan baru yang mendukung diperlukan keberadaannya. Pemerintah daerah telah menjawab kebutuhan ini dengan berbagai cara. Beberapa di antaranya bergegas dan menerbitkan Perda sesuai dengan kewajiban nasional, sementara yang lainnya menerbitkan SK Bupati (Surat Keputusan Bupati) untuk menjawab keperluan yang sama, sedangkan yang lainnya masih bergantung pada peraturan tingkat nasional yang ada sekarang. Perbedaan utama antara Perda dengan SK Bupati adalah Perda perlu disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sementara SK Bupati, sesuai dengan namanya, diterbitkan oleh badan eksekutif tanpa adanya persetujuan legislatif. Pada prakteknya, SK Bupati memiliki beban hukum yang lebih ringan dan hal ini berdampak pada ketaatan dan penegakan hukum. Tujuan strategis secara keseluruhan adalah untuk menciptakan kerangka peraturan perundangan daerah yang mendukung untuk mendorong tata kelola keuangan yang efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional. Bidang strategis kerangka peraturan perundangan daerah terbagi menjadi tiga hasil yang diiginkan: (1) terdapat kerangka peraturan perundangan daerah yang komprehensif mengenai pengelolaan keuangan daerah; (2) kerangka ini memfasilitasi penegakan hukum dan struktur organisasi yang efektif; dan (3) kerangka ini meliputi cara-cara untuk meningkatkan transparansi dan keterlibatan publik. Sementara bidang strategis ini berfokus pada peraturan daerah, termasuk Perda dan SK Bupati, bidang strategis lainnya lebih berfokus pada kebijakan dan prosedur. Sebagai contoh, Hasil Satu, meliputi indikator-indikator mengenai keberadaan peraturan daerah mengenai Rencana Pembangunan Jangka Mengenah Daerah (RPJMD) dan peraturan daerah mengenai dana cadangan dan perubahan anggaran tahunan. Hasil Tiga meliputi indikator-indikator yang menyangkut transparansi dan proses konsultasi.

  • Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

    22

    Diagram 6: Kerangka peraturan perundangan daerah

    0

    20

    40

    60

    80

    100Aceh Utara

    Banda Aceh

    Aceh Besar

    Aceh Timur

    Langsa

    Simeulue

    Singkil

    Gayo Lues

    Pidie

    SabangA. TenggaraAceh Selatan

    Bireuen

    A. Tamiang

    Aceh Barat

    Aceh Tengah

    Nagan Raya

    Lhokseumawe

    A. Barat Daya

    Bener Meriah

    Aceh Jaya

    Kerangka peraturan perundangan daerah Rata rata

    Nilai rata-rata untuk bidang strategis ini bagi 21 pemerintah daerah yang disurvei adalah 37 persen, di bawah rata-rata keseluruhan 41 persen. Tiga belas pemerintah daerah mendapatkan nilai buruk atau sangat buruk. Hanya dua pemerintah daerah yang mendapatkan nilai baik. Kerangka peraturan perundangan daerah yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baik Aceh Utara, pemerintah daerah dengan nilai tertinggi, mendapatkan nilai 68 persen untuk bidang strategis ini. Untuk hasil yang pertama semua, kecuali dua, dari ke dua belas indikator terpenuhi. Telah ada Perda kecuali untuk peraturan obligasi daerah, dan investasi publik dan swasta. Untuk hasil yang kedua mengenai penegakan hukum dan struktur organisasi, empat dari tujuh indikator terpenuhi. Dari ketiga indikator-indikator yang tidak tercapai, kekurangan meliputi ketiadaan pengukuran kinerja dan ketiadaan struktur insentif/ sanksi bagi para pegawai. Untuk hasil ketiga mengenai transparansi dan partisipasi publik, Aceh Utara mendapatkan nilai sebesar 50 persen. Walaupun terdapat tanda-tanda mengenai keberadaan prosedur keterlibatan publik dalam penganggaran dan proses pembuatan kebijakan, tidak ada prosedur formal untuk partisipasi bottom-up dalam perencanaan dan tidak ada peraturan mengenai proses konsultasi atau transparansi. Perlu untuk dicatat bahwa walaupun secara formal masyarakat mendapatkan akses terhadap sesi-sesi anggaran di DPRD, kerangka ini tidak menegaskan sejauh mana masyarakat dapat melakukan observasi atas sesi-sesi anggaran. Aceh Jaya baru mensahkan peraturan mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan baru mensahkan dua SK Bupati sebagai pengganti Perda yang berkaitan dengan ke sebelas indikator pada hasil satu. Hal yang serupa juga terjadi untuk hasil dua, hanya satu SK Bupati yang tercatat, yang hanya membahas aspek teknis dari pengelolaan

  • Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

    23

    keuangan secara parsial. Hasil tiga mendapatkan nilai nol, karena tidak ada satupun dari ke enam indikator yang dicapai. Kekurangan kerangka hukum untuk memastikan adanya transparansi dan keterlibatan masyarakat perlu mendapatkan perhatian segera. Status Aceh Jaya sebagai kabupaten yang baru dibentuk mungkin dapat dijadikan sebagian dari penjelasan mengenai rendahnya nilai yang didapatkan (20 persen) untuk kerangka peraturan perundangan daerah, tetapi ketiadaan SK Bupati sebagai pengganti Perda menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak memberikan tekanan untuk pembuatan dan pengesahan peraturan-peraturan pendukung bahkan setelah enam tahun setelah desentralisasi atau pemerintah daerah tidak dapat mengeluarkan peraturan. Terdapat kasus-kasus di mana pemerintah daerah bergantung pada Keppres (Keputusan Presiden). Sebagai contoh, Aceh Barat masih menggunakan Keppres untuk pengadaan barang dan jasa. Di Aceh Barat dan Nagan Raya hanya tiga indikator yang dipenuhi untuk hasil yang berkaitan dengan kerangka peraturan perundangan daerah untuk pengelolaan keuangan. Hambatan dan penghalang perlu untuk diidentifikasi dan diatasi secara komprehensif, apakah karena kurangnya dorongan dari pemimpin, kekurangan keahlian teknis atau hubungan yang tidak harmonis antara pemerintah daerah dengan DPRD. 4.2 Bidang Strategis 2: Perencanaan dan Penganggaran Perencanaan dan penganggaran yang efektif merupakan inti dari pengelolaan keuangan yang efektif. Pemerintah daerah tidak akan dapat mengelola keuangannya secara efektif apabila sistem perencanaan dan penganggaran yang dimiliki buruk. Tujuan strategisnya adalah untuk pembuatan anggaran daerah multi tahun yang seksama yang secara jelas terkait dengan rencana daerah. Dari enam hasil, hasil yang pertama mengenai konsistensi antara proses perencanaan partisipatif bottom-up, pembangunan daerah, perencanaan sektoral dan APBD merupakan sepertiga dari total nilai bidang strategis ini.

    Diagram 7: Perencanaan dan Penganggaran

    0

    20

    40

    60

    80

    100Aceh Utara

    Banda Aceh

    Aceh Besar

    Aceh Timur

    Langsa

    Simeulue

    Singkil

    Gayo Lues

    Pidie

    Sabang

    A. TenggaraAceh Selatan

    Bireuen

    A. Tamiang

    Aceh Barat

    Aceh Tengah

    Nagan Raya

    Lhokseumawe

    A. Barat Daya

    Bener Meriah

    Aceh Jaya

    Perencanaan dan penganggaran Rata rata

  • Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

    24

    Perencanaan dan Penanggaran: yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baik Nilai rata-rata untuk bidang strategis ini adalah 43 persen. Sembilan pemerintah daerah mendapatkan angka buruk atau sangat buruk. Aceh Utara adalah satu-satunya pemerintah daerah yang mendapatkan nilai di atas 60 persen, dengan nilai 74 persen untuk perencanaan dan penganggaran. Aceh Utara mendapatkan nilai yang baik untuk dua di antara empat hasil. Untuk hasil yang pertama mengenai konsistensi antara proses perencanaan partisipatif bottom-up, perencanaan sektoral dan APBD Aceh Utara memenuhi 14 dari total 17 indikator. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dinilai realistis, dengan strategi yang jelas dan program-program yang berdasarkan target. Perencaaan sektoral didasarkan pada RPJMD dan mencerminkan prioritas-prioritas pembangunan. Standar pelayanan minimum digunakan untuk keperluan penganggaran dan dokumen-dokumen perencanaan dan kegiatan-kegiatan di APBD menggunakan struktur yang konsisten. Namun dokumen perencanaan tidak didukung oleh biaya proyek sejalan dengan keterbatasan anggaran dan dokumen perencanaan tidak meliputi kegiatan-kegiatan yang didanai di luar APBD. Untuk catatan, dalam bidang strategis kerangka peraturan perundangan daerah, proses perencanaan bottom-up tidak dimasukkan ke dalam peraturan daerah. Hasil dua mengenai penganggaran jangka menengah tidak mendapatkan nilai yang baik (hanya satu dari antara tiga indikator yang dicapai). Laporan pertanggung jawaban lima tahunan diserahkan kepada DPRD tetapi kerangka pengeluaran jangka mengenagan tidak dilaksanakan dan tataran waktu multu tahun tidak digunakan dalam perencanaan dan proyeksi anggaran. Hasil tiga mengenai proses pembuatan anggaran yang realistis mendapatkan nilai yang relatif buruk, hanya empat dari sebelas indikator yang terpenuhi. Seringkali anggaran belum disetujui pada tanggal 31 Desember, strategi untuk meningkatkan pendapatan yang sejalan dengan peraturan nasional tidak ada, dan perbedaan antara pengeluaran dan pendapatan yang direncanakan dan yang terealisasi melebihi 10 persen. Perencanaan partisipatif bottom-up mendapatkan nilai yang baik, dengan bukti bahwa RPJMD merupakan suatu usulan yang realistis, sementara dokumen perencanaan yang didasarkan pada RPJMD mencerminkan prioritas-prioritas pembangunan. Anggaran sepertinya memihak kelompok miskin dan semua indikator dipenuhi. Data-data kualitatif dan kuantitatif mengenai kemiskinan dikumpulkan dengan menggunakan pendekatan partisipatif dan kebijakan yang memihak kepada kelompok miskin dicerminkan pada SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah, atau Dinas, anggaran rencana kerja) dan RPJMD. Prioritas-prioritas anggaran juga secara umum memihak kepada kelompok miskin dengan pengeluaran pada layanan publik meningkat dari tahun sebelumnya dan pengeluaran pada sektor kesehatan, pendidikan dan infrastruktur merupakan 50 persen dari total anggaran. Walaupun masih terdapat aspek-aspek perencanaan dan penganggaran yang perlu ditingkatkan, terutama dalam perencanaan dan peanggaran jangka menengah, nilai Aceh Utara yang tinggi secara keseluruhan dapat dijadikan standar bagi pemerintah-pemerintah daerah lainnya di Aceh untuk aspek utama pengelolaan keuangan ini. Kebalikannya Aceh Jaya dan Nagan Raya, mendapatkan nilai terendah untuk perencanaan dan penganggaran (25 persen). Dari enam hasil, Nagan Raya hanya mendapatkan nilai baik pada hasil enam mengenai pengendalian pengeluaran untuk memastikan output anggaran. Hasil satu mengenai konsistensi antara proses perencanaan partisipatif bottom-up, perencanaan sektoral dan APBD mendapatkan nilai yang sangat buruk, hanya berhasil

  • Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

    25

    memenuhi dua dari total 17 indikator. Responden mengindikasikan bahwa Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes) tidak didasarkan pada kebutuhan masyarakat , dan usulan perencanaan bottom-up berisikan jumlah item yang tidak realistis dan perencanaan sektoral tidak didasarkan pada RPJMD dan tidak mencerminkan prioritas-prioritas pembangunan. Kelemahan lainnya meliputi inkonsistensi pada struktur dokumen perencanaan dan kegiatan di APBD dan ketiadaan indikator-indkator yang dapat diukur. Hasil dua mengenai perencanaan jangka menengah mendapatkan nilai nol dan untuk hasil tiga mengani proses pembuatan anggaran yang realistis hanya satu dari 11 indikator yang berhasil dipenuhi. Anggaran tidak disetujui pada waktunya (anggaran tahun 2006 disetujui pada bulan Mei 2006, terlambat lima bulan), proyeksi pendapatan bulanan dan catur wulan tidak terdapat pada anggaran, tidak ada strategi untuk meningkatakan pendapatan dan peraturan mengenai penggunaan dana darurat dan penggunaan dana non-bujeter tidak jelas. Sebagian dari anggaran memihak pada kelompok miskin, Nagan Raya memenuhi empat dari sembilan indikator. Data mengenai kemiskinan sedikit, walaupun kebijakan-kebijakan yang memihak pada kelompok miskin tercermin dalam Renstra (Rencana Strategis) SKPD dan RPJMD. Pengeluaran pada pelayanan publik telah meningkat dalam tiga tahun terakhir dan pengeluaran pada sektor kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur merupakan bagian terbesar anggaran.3 Hasil lima mengenai pengawasan partisipatori dan sistem evaluasi yang komprehensif untuk proses perencanaan dan penganggaran mendapatkan nilai buruk, hanya memenuhi dua dari sembilan indikator. Masyarakat tidak dilibatkan dalam pengawasan dan evaluasi kegiatan, tidak ada peraturan daerah mengenai sistem evaluasi perencanaan dan pengawasan, dan dokumen perencanaan dan kegiatan tidak dibuka untuk publik atau tidak dibuat mudah untuk diakses oleh publik. Dengan sembilan pemerintah daerah mendapatkan nilai di bawah tingkat sedang, komponen utama pengelolaan keuangan ini merupakan prioritas apabila hasil-hasil pengelolaan keuangan akan ditingkatkan. Pedoman yang jelas perlu dibuat untuk pemerintah daerah yang berisikan strategi untuk meningkatkan hasil-hasil di bidang perencanaan dan penggangaran sejalan dengan hasil-hasil yang diharapkan. Reformasi di bidang ini tidak mudah dilakukan dan membutuhkan perbaikan bukan hanya pada proses tetapi juga pada sikap-sikap pemerintah daerah. Kenyataan bahwa anggaran sering tidak disetujui pada waktunya, dengan penundaan terkadang sampai tahun berikutnya, menunjukkan bahwa hal ini perlu untuk segera diatasi. Hal ini tidak hanya menimbulkan masalah dalam perencanaan dan pelaksanan tetapi juga mengurangi kepercayaan publik terhadap proses anggaran. Transparansi perlu untuk berubah dari hanya sekedar kata-kata mutiara di lingkungan pemerintah daerah menjadi suatu kenyataan. Pemberian informasi secara berkala pada waktu-waktu yang tepat, membuat informasi ini dapat diakses dengan mudah dan memberikan ruang untuk diskusi dan perbedaan pendapat akan menjadi langkah maju ke depan yang besar. 4.3 Bidang Strategis 3: Pengelolaan kas Penempatan pengelolaan kas sebagai bidang strategis yang terpisah mencerminkan pentingnya menginstitusionalisasikan praktek-praktek penanganan kas yang tepat di pemerintah daerah. Hal ini dapat menjadi bidang strategis yang paling mudah untuk 3 Data anggaran tidak tersedia untuk Kabupaten Nagan Raya, Bener Meriah, Aceh Jaya dan Aceh Singkil (APEA, 2006); sehingga jawaban ini tidak dapat diverifikasi.

  • Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

    26

    mendapatkan nilai baik, karena pengelolaan kas yang efektif dan tepat merupakan komponen dasar pengelolaan keuangan yang mantap. Namun, ke 21 pemerintah daerah hanya mendapatkan nilai rata-rata 35 persen (buruk), dengan 14 pemerintah daerah mendapat nilai buruk/ sangat buruk dan hanya satu yang mendapat nilai baik.

    Diagram 8: Pengelolaan Kas

    0

    20

    40

    60

    80

    100Aceh Utara

    Banda Aceh

    Aceh Besar

    Aceh Timur

    Langsa

    Simeulue

    Singkil

    Gayo Lues

    Pidie

    Sabang

    A. TenggaraAceh Selatan

    Bireuen

    A. Tamiang

    Aceh Barat

    Aceh Tengah

    Nagan Raya

    Lhokseumawe

    A. Barat Daya

    Bener Meriah

    Aceh Jaya

    Pengelolaan kas Rata rata

    Pengelolaan kas: yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baik Banda Aceh mendapatkan nilai yang paling tinggi untuk pengelolaan kas (61 persen). Banda Aceh mendapatkan nilai yang cukup baik untuk ke empat hasil. Untuk hasil satu, kebijakan, prosedur dan kendali untuk mengelola pengelolaan kas sebagian telah ada, pemerintah daerah memenuhi enam dari 10 indikator. Pedoman tertulis mengenai kebijakan dan prosedur pengelolaan kas tersedia dan didukung oleh peraturan daerah mengenai pengelolaan kas yang sejalan dengan peraturan nasional. Namun, pelatihan pegawai secara rutin dalam pengelolaan kas tidak diadakan dan Bawasda (Badan Pengawasan Daerah) tidak melaksanakan evaluasi kepatuhan pengelolaan kas tahunan. Pemasukan dan pengeluaran kas dikelola dengan cukup efisien, memenuhi delapan dari 11 indikator. Penerimaan kas di simpan pada suatu rekening bank yang ditunjuk pada hari penerimaan atau satu hari setelahnya. Rekonsiliasi harian dibuat untuk penerimaan kas dan penyimpanan, dan pembayaran di atas Rp 5 juta tidak dilakukan secara tunai melainkan ditransfer atau dibayar dengan menggunakan cek. Namun, belum ada sistem yang terkomputerisasi dan rekonsiliasi rekening bank, deposito, piutang dan hutang belum dibuat secara teratur.

  • Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

    27

    Hasil tiga berfokus pada sistem penagihan dan pengumpulan pendapatan daerah dan, dengan 17 indikator, aspek ini dianggap penting. Banda Aceh memenuhi 10 indikator mengenai Pendapatan Asli Daerah atau PAD. Kebijakan mengenai retribusi dan pajak daerah diatur dalam peraturan daerah, yang sejalan dengan peraturan nasional. Dasar dari pendapatan daerah dievaluasi setiap tahunnya untuk menghitung kapasitas pendapatan untuk setiap item pendapatan. Konsumen ditagih tepat pada waktunya dan tersedia layanan untuk menangani pertanyaan- pertanyaan dari wajib pajak. Namun sistem pembuatan tanda terima tidak memadai untuk mencegah penggelapan dan sistem ini kurang bisa memberikan kejelasan pada saat timbul masalah. Dan juga sistem penagihan dan pengumpulan tidak terintegrasi dan sanksi-sanksi tidak dijatuhkan kepada debitor yang menunggak. Aceh Jaya dan Aceh Barat Daya mendapatkan nilai paling rendah (14 persen). Aceh Barat Daya tidak berhasil memenuhi indikator manapun mengenai kebijakan, prosedur dan kendali pengelolaan kas. Hal ini dikarenakan karena digunakannya SK Bupati dan bukan peraturan daerah untuk mengatur pengelolaan kas. Sehingga kerangka hukum tersedia walaupun belum terinstitusionalisasi melalui penerbitan peraturan daerah. Hasil dua mengenai penerimaan dan pembayaran kas memenuhi empat dari 11 indikator. Penerimaan kas disimpan di rekening bank khusus dan pembayaran senilai lebih dari Rp 5 juta ditransfer ke sebuah rekening bank. Kontraktor dibayar sesuai dengan persyaratan dan laporan berkala mengenai neraca kas diberikan kepada bupati, bendahara dan kepala bagian keuangan. Namun kas seringkali tidak disetorkan pada hari yang sama dengan penerimaan, tidak ada rekonsiliasi penerimaan dan penyetoran harian, dan kelebihan kas tidak ditempatkan pada investasi jangka pendek secara teratur. Untuk hasil tiga mengenai sistem penagihan dan pengumpulan pendapatan daerah, Aceh Barat Daya hanya memenuhi dua dari 17 indikator. Terdapat kekurangan peraturan dan pedoman mengenai hal ini, sekali lagi karena bergantung pada SK Bupati sebagai pengganti Perda. Pemberitahuan tagihan tidak disampaikan kepada wajib pajak, sistem penerimaan tidak dirancang untuk mencegah penggelapan, seringkali pembayaran tidak diambil tepat pada waktunya, denda tidak dikenakan atas pembayaran yang terlambat dan sistem penagihan dan pengumpulan tidak terintegrasi. Hasil empat mengenai PAD mendapatkan nilai nol. 4.4 Bidang Strategis 4: Pengadaan barang dan jasa Tujuan strategis secara keseluruhan adalah untuk mendorong pengadaan barang yang jasa yang efisien dan kompetitif melalui kebijakan, prosedur dan kendali. Hasil satu dengan 47 indikator berfokus pada nilai uang pada pengeluaran daerah, transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan pengadaan. Hasil dua, dengan tiga indikator, menyangkut sistem penanganan keluhan.

  • Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

    28

    Diagram 9: Pengadaan

    0

    20

    40

    60

    80

    100Aceh Utara

    Banda Aceh

    Aceh Besar

    Aceh Timur

    Langsa

    Simeulue

    Singkil

    Gayo Lues

    Pidie

    Sabang

    A. TenggaraAceh Selatan

    Bireuen

    A. Tamiang

    Aceh Barat

    Aceh Tengah

    Nagan Raya

    Lhokseumawe

    A. Barat Daya

    Bener Meriah

    Aceh Jaya

    Pengadaan Rata rata

    Pengadaan: yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baik Dengan nilai rata-rata 60 persen pengadaan adalah bidang strategis dengan nilai tertinggi. Dua belas pemerintah daerah mendapatkan nilai dapat diterima atau baik dan hanya dua yang mendapatkan nilai buruk. Aceh Utara sekali lagi mendapatkan nilai tertinggi (78 persen) dan Lhokseumawe mendapatkan nilai terendah (32 persen). Aceh Utara mendapatkan nilai yang sangat tinggi untuk hasil satu. Terdapat sebuah peraturan daerah untuk mengatur pengadaan barang dan jasa, terdapat pedoman formal mengenai tata cara pelaksanaan pengadaan, rencana pengadaan di buat setiap tahunnya, estimasi biaya dibuat dan dokumen-dokumen penawaran dirahasiakan. Namun, indikator-indikator yang belum terpenuhi penting untuk memastikan praktek pengadaan yang baik. Anggota DPRD secara berkala terlibat dalam panitia pengadaan, kurang dari 75 persen pengadaan dilakukan dengan penawaran umum terbuka dan tidak ada aturan dan/atau penegakan yang mengatur keterlibatan anggota panitia pengadaan dan pejabat dengan hubungan keluarga dengan pejabat yang menunjuk mereka. Hasil kedua sepenuhnya dipenuhi menyangkut pelaksanaan prosedur keluhan. Terdapat sebuah Perda yang mengatur prosedur keluhan dan keluhan dicatat dan diproses sejalan dengan Perda. Di Lhokseumawe, tidak ada peraturan yang mengatur pengadaan, tidak ada pedoman mengenai prosedur, biaya rencana pengadaan tidak dibuat dan direvisi setiap tahunnya, dan pegawai bagian pengadaan tidak memenuhi kualifikasi dan kompetensi. Hal-hal yang baik adalah dokumen tender dirahasiakan, sesi pengarahan dilakukan secara terbuka, dan pengumuman mengenai pengadaan diterbitkan di media. Namun, tidak ada sistem untuk menangani keluhan.

  • Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

    29

    Terlepas dari nilai yang seringkali tinggi, hal ini tidak serta merta berarti bahwa proses pengadaan dilakukan secara transparan dan efisien. Kerangka PKP hanya melihat lingkungan dari praktek-praktek pengadaan dan tidak mengevaluasi praktek-praktek pengadaan di setiap kabupaten dan kota. Walaupun terdapat prosedur, kepatuhan masih lemah dan kebocoran dan korupsi masih dapat terjadi walaupun telah ada prosedur formal di lingkungan di mana kepatuhan dan penegakan lemah. Namun, beberapa pemerintah daerah telah melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki bidang kegiatan pemerintahan yang banyak dikritisi ini. Langkah pertama adalah menciptakan kerangka hukum, menegakkan prosedur dan secara ketat menindak lanjuti keanehaan-keanehan yang dicurigai. 4.5 Bidang Strategis 5: Akuntansi dan pelaporan Akuntansi dan pelaporan merupakan komponen yang tidak dapat dihindarkan pada pengelolaan keuangan. Bidang ini memerlukan prosedur yang tertata dengan baik dan pegawai yang terlatih untuk melakukan pencatatan data-data keuangan. Tujuan strategis adalah untuk membuat sebuah sistem akuntansi yang memastikan akuntansi yang cepat untuk semua transaksi keuangan dan membuat laporan keuangan eksternal dan internal yang terpercaya, berimbang dan tepat waktu. Bidang ini meliputi empat hasil: kapasitas sumber daya manusia dan institusi, sistem akuntansi dan pelaporan yang terintegrasi; pencatatan yang cepat dan akurat untuk semua transaksi keuangan pemerintah daerah; dan, laporan informasi pengelolaan keuangan yang terpercaya.

    Diagram 10: Akuntansi dan pelaporan

    0

    20

    40

    60

    80

    100Aceh Utara

    Banda Aceh

    Aceh Besar

    Aceh Timur

    Langsa

    Simeulue

    Singkil

    Gayo Lues

    Pidie

    Sabang

    A. TenggaraAceh Selatan

    Bireuen

    A. Tamiang

    Aceh Barat

    Aceh Tengah

    Nagan Raya

    Lhokseumawe

    A. Barat Daya

    Bener Meriah

    Aceh Jaya

    Akuntansi dan pelaporan Rata rata

  • Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

    30

    Akuntansi dan pelaporan: yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baik Akuntansi dan pelaporan mendapatkan nilai di bawah rata-rata keseluruhan (38 persen dari 41 persen). Gayo Lues mendapatkan nilai tertinggi (74%) dan Aceh Jaya mendapatkan nilai terendah (11%). Aceh Utara mendapatkan nilai yang cukup tinggi (64%). Aceh Utara membuat perubahan solid, perkembangan yang dicapai oleh Aceh Jaya di bidang ini sangat sedikit, kalaupun ada, sejak pembentukan kabupaten ini pada tahun 2002. Terlepas dari nilai keseluruahn untuk akuntansi dan pelaporan yang tinggi, Aceh Utara tidak memiliki Badan Pengawasan Keuangan Daerah atau BPKD) dan, sehingga kabupaten ini mendapatkan angka nol untuk hasil satu. Namun Aceh Utara mendapatkan angka yang tinggi untuk hasil transaksi dan neraca tercatat secara akurat dan tepat waktu dan juga untuk laporan keuangan dan informasi pengelolaan dapat diandalkan. Aset dinilai secara sesuai dan didokumentasikan, sistem pembukuan double-entry diterapkan dan pencatatan akuntansi dan catatan bank direkonsiliasi secara berkala. Untuk hasil 4, neraca,, realisasi anggaran dan laporan arus kas dan laporan keuangan tahunan dibuat dan diserahkan kepada badan audit secara tepat waktu. Kebalikannya, Aceh Jaya mendapatkan nilai nol untuk tiga hasil. Kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan sangat lemah, sistem akuntansi dan manajemen tidak terintegrasi dan transaksi keuangan dan neraca tidak dicatat secara tepat waktu dan akurat. Dengan sistem akuntansi dan pelaporan yang lemah, Aceh Jaya membutuhkan dukungan untuk membuat sistem yang dibutuhkan dan mendukung pengembangan staf-staf yang terampil. Walaupun Aceh Jaya memberikan gambaran yang sangat bertolak belakang, Aceh Jaya bukanlah satu-satunya pemerintah daerah di Aceh dengan hasil yang buruk untuk akuntansi dan pelaporan. Bener Meriah, Aceh Tenggara, Nagan Raya dan Aceh Barat Daya semuanya mendapat nilai di bawah 20 percent (sangat buruk). 4.6 Bidang Strategis 6: Audit Internal Audit internal yang efektif merupakan aspek penting dalam pengelolaan keuangan. Audit internal pemerintah daerah yang efektif memerlukan sistem pencatatan yang tepat dan efisiensi di departemen-departemen yang ada di pemerintahan daerah, dan penurunan korupsi dan kebocoran. Tujuan strategis audit internal adalah pembuatan dan pemeliharaan fungsi-fungsi audit internal yang efektif dan efisien. Untuk menilai sejauh mana tujuan strategis berhasil dicapai dalam hal ini terdapat tiga hasil: (1) badan audit pemerintah daerah terorganisir dan berdaya untuk beroperasi secara efektif; (2) standar dan prosedur-prosedur yang digunakan dapat diterima; dan (3) temuan-temuan ditindaklanjuti secara memadai. Kerangka PKP hanya dapat melihat pengaturan formal untuk audit internal. Kerangka PKP tidak mengevaluasi efektifitas audit. Laporan tahunan audit internal, yang tidak menemukan bukti-bukti kejanggalan keuangan atau penyalahgunaan dana, tidak berarti bahwa audit internal dilakukan dengan benar.

  • Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

    31

    Diagram 11: Audit Internal

    0

    20

    40

    60

    80

    100Aceh Utara

    Banda Aceh

    Aceh Besar

    Aceh Timur

    Langsa

    Simeulue

    Singkil

    Gayo Lues

    Pidie

    Sabang

    A. TenggaraAceh Selatan

    Bireuen

    A. Tamiang

    Aceh Barat

    Aceh Tengah

    Nagan Raya

    Lhokseumawe

    A. Barat Daya

    Bener Meriah

    Aceh Jaya

    Audit internal Rata rata Audit Internal: yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baik Secara keseluruhan audit internal mendapatkan nilai rata-rata 52 persen. Aceh Timur dan Aceh Utara mendapatkan nilai 78 persen dan sekali lagi Aceh Jaya mendapatkan nilai terendah yaitu 11 persen. Di Aceh Timur peran dan tanggung jawab Bawasda terdefinisi dengan jelas dan Bawasda memiliki kewenangan untuk menjalankan fungsinya dan didukung dengan pelatihan pegawai secara berkala. Namun, kualifikasi pegawai berada di bawah rata-rata dan peralatan-peralatan yang ada tidak memadai. Untuk hasil dua mengenai standar dan prosedur yang dapat diterima, Aceh Timur mendapatkan nilai baik karena Aceh Timur melakukan tindak lanjut atas temuan-temuan audit. Sementara Aceh Jaya hanya memenuhi indikator mengenai peran dan tanggung jawab yang terdefinisi dengan baik, dan kewenangan untuk menjalankan tugasnya. Standar dan prosedur yang dapat diterima benar-benar kurang dan temuan-temuan audit internal tidak ditindak lanjuti secara memadai.

  • Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

    32

    4.7 Bidang Strategis 7: Hutang dan Investasi Bidang strategis hutang dan investasi hanya memiliki satu hasil dengan delapan indikator. Tujuan strategsinya adalah mengimplementasikan pengelolaan hutang dan investasi pemerintah daerah secara berhati-hati termasuk pengelolaan BUMD. Hasil yang diharapkan adalah pembuatan dan penerapan kebijakan, prosedur dan kendali atas pengelolaan hutang dan investasi daerah.

    Diagram 12: Hutang dan investasi Publik

    0

    20

    40

    60

    80

    100Aceh Utara

    Banda Aceh

    Aceh Besar

    Aceh Timur

    Langsa

    Simeulue

    Singkil

    Gayo Lues

    Pidie

    Sabang

    A. TenggaraAceh Selatan

    Bireuen

    A. Tamiang

    Aceh Barat

    Aceh Tengah

    Nagan Raya

    Lhokseumawe

    A. Barat Daya

    Bener Meriah

    Aceh Jaya

    Hutang dan investasi Rata rata Hutang dan investasi hanya mendapatkan nilai 28 persen yang terendah di antara bidang-bidang strategis lainnya. Beberapa pemerintah daerah tidak memiliki hutang dan juga tidak memiliki investasi jangka panjang. Sebagai contoh, Aceh Barat Daya, dengan nilai 25 persen, tidak memiliki catatan hutang dan investasi selama masa berdirinya yang relatif baru. Tujuh pemerintah daerah memiliki catatan pinjaman: Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Timur, Aceh Utara dan Banda Aceh. Ke tujuh pemerintahan daerah itu mendapatkan angka di atas rata-rata kecuali Aceh Tengah. Data Departemen Keuangan tahun 20044 menunjukkan bahwa pemerintah daerah meminjam sebesar Rp 25 milyar, sedangkan pemerintah propinsi meminjam Rp 24 milyar. PDAM di kabupaten dan kota meminjam dana Rp 40 milyar, sedangkan PDAM di propinsi tidak melakukan pinjaman. Beberapa Perusahaan Daerah Air Minum atau PDAM meminjam dana Rp 40 milyar, dari pemerintah daerah masing-masing. Total hutang pemerintah daerah yang ada pada tahun 2004 mencapai Rp 66 milyar. Total pinjaman meningkat dari Rp 55 milyar pada tahun 2001 4 Departemen Keuangan

  • Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

    33

    menjadi Rp 90 milyar pada tahun 2004 (gabungan antara pemerintah daerah dan propinsi). Penambahan ini dilakukan oleh pemerintah daerah dan tidak ada penambahan hutang oleh pemerintah propinsi. Terlepas dari peningkatan tersebut, hutang yang diakumulasi masih berada jauh di bawah rata-rata hutang propinsi secara nasional. Undang-undang nasional membatasi jumlah hutang yang diizinkan, beberapa pemerintah daerah dilarang untuk melakukan pinjaman tambahan. Bahkan dengan pembatasan ini, pemerintah daerah Aceh masih dapat meminjam sampai dengan Rp 500 milyar (lihat: Analisis Pengeluaran Publik Aceh, Bank Dunia, 2006). Hutang dan investasi: yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baik Aceh Utara mendapatkan nilai tertinggi (63 persen) dan Aceh Tengah mendapatkan nilai terendah (13 persen) dari semua pemerintah daerah yang memiliki catatan pinjaman. Lima pemerintah daerah lainnya mendapatkan nilai nol dengan tidak adanya kerangka untuk mengelola hutang dan investasi. Di Aceh Utara, peran dan kewenangan anggota DPRD dan pejabat pemerintah terdefinisi dengan baik, anggaran tahunan (APBD) meliputi usulan pinjaman dan investasi jangka panjang, investasi jangka panjang harus mendapatkan persetujuan dari DPRD terlebih dahulu, dan transaksi-transaksi hutang dan investasi dicatat dengan baik pada laporan keuangan yang ditujukan kepada bupati. Namun, kebijakan pengelolaan tidak konsisten dengan kerangka kebijakan nasional, tidak ada tingkat spesifik pinjaman yang diperbolehkan dan tidak ada kebijakan yang menyebutkan tujuan pinjaman tertentu sehingga pinjaman dan jaminan dapat dilakukan. Di Aceh Tengah hanya satu dari delapan indikator yang dipenuhi: DPRD harus menyetujui transaksi investasi jangka panjang. Mengingat cakupan pinjaman dan investasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah (dan pemerintah propinsi), penting bagi pemerintahan-pemerintahan sub-nasional ini untuk memiliki kerangka pengelolaan hutang dan investasi mereka secara efektif. Mengingat cukup tingginya arus keuangan untuk pemerintah daerah di Aceh pada tahun-tahun mendatang, penting bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan strategi yang jelas untuk membuat investasi jangka panjang yang efektif. 4.8 Bidang Strategis 8: Pengelolaan Aset Tujuan strategis dari pengelolaan aset adalah untuk pengelolan aset daerah secara efektif melalui penggunaan rencana pengelolaan aset jangka panjang. Secara eksplisit penekanan dilektakan pada pengelolaan jangka panjang dan aset-aset ini harus mendukung tujuan pemberian layanan publik daerah. Kerangka penelitian ini tidak mengukur nilai dari aset terhadap ekonomi daerah, atau apakah mereka merupakan kontributor atau penyerap pendapatan tetapi penelitian ini mengevaluasi cara-cara pengelolaan aset-aset ini. Kapasitas pengelolaan aset dibagi menjadi empat hasil: hasil pertama menyangkut prosedur dan mekanisme untuk memastikan BUMD dikelola secara efektif; hasil dua menyangkut kebijakan, prosedur dan kontrol untuk pembelian aset baru dan pengelolaan aset jangka panjang secara efektif; hasil tiga menyangkut dasar informasi untuk mendukung pengelolaan aset; dan hasil empat menyangkut kaitan antara pengelolaan aset dengan rencana dan anggaran.

  • Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

    34

    Diagram 13: Pengelolaan Aset

    0

    20

    40

    60

    80

    100Aceh Utara

    Banda Aceh

    Aceh Besar

    Aceh Timur

    Langsa

    Simeulue

    Singkil

    Gayo Lues

    Pidie

    Sabang

    A. TenggaraAceh Selatan

    Bireuen

    A. Tamiang

    Aceh Barat

    Aceh Tengah

    Nagan Raya

    Lhokseumawe

    A. Barat Daya

    Bener Meriah

    Aceh Jaya

    Pengelolaan aset Rata rata

    Pengelolaan aset: yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baik Nilai rata-rata adalah 37 persen. Lagi-lagi Aceh Utara mendapatkan nilai paling tinggi untuk pengelolaan aset (68 persen). Aceh Jaya dan Aceh Barat Daya mendapatkan nilai terendah (14 persen). Aceh Utara mendapatkan nilai yang baik untuk hasil satu, dengan adanya konsistensi antara kegiatan yang diusulkan untuk Badan Usaha Milik Daerah dengan rencana pembangunan strategis, rencana bisnis dievaluasi oleh pemerintah daerah untuk mempertimbangkan pembentukan perusahaan baru dan transaksi-transaksi perusahaan dievaluasi oleh auditor internal. Hasil dua mendapatkan nilai buruk dengan dua dari tiga indikator tidak dipenuhi. Aceh Utara tidak memiliki peraturan daerah untuk dijadikan sebagai kebijakan dan rencana pengelolaan aset daerah dan juga tidak memiliki panduan pengelolaan aset dan prosedur untuk dijadikan rujukan pengelolaan aset. Hasil tiga sebagian besar terpenuhi, dengan adanya deskripsi fisik aset yang memadai yang disertakan pada catatan aset-aset secara tepat. Hasil empat, dengan hanya satu indikator rencana dan anggaran kabupaten mencerminkan biaya perawatan aset yang tercatat dalam rencana perawatan tidak terealisasi. Aceh Barat Daya mendapatkan angka nol untuk hasil satu, dua dan empat. Untuk hasil dua yang menyangkut kebijakan, prosedur dan kendali Aceh Barat Daya mendapatkan angka nol karena pemerintah daerah mengunakan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) dan SK Bupati dan bukan membuat Perda baru. Hasil tiga mendapatkan nilai yang lebih baik, karena aset diberikan nomor pengenal yang berbeda satu dengan yang lain, lokasi-lokasi aset dicatat dengan baik dan nama pejabat yang bertanggung jawab atas aset tersebut juga dicatat dengan baik. Semua indikator-indikator lainnya untuk bidang strategis pengelolaan aset tidak terealisasi. Sejak pemisahan dengan Aceh Barat, hampir semua aset di kabupaten baru ini masih berada di bawah kewenangan kabupaten asal. Tidak ada

  • Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

    35

    perusahaan daerah yang tercatat walaupun sedang dilakukan pembentukan dan pemilihan. Kota Lhokseumawe juga mendapatkan nilai yang buruk (18 persen) tetapi angka yang rendah ini sebagian disebabkan karena ketiadaan Badan Usaha Milik Daerah sampai dengan akhir tahun 2006 dan dalam rencana pembangunan jangka menengah tidak ada rencana untuk membentuk Badan Usaha Milik Daerah. Aceh Utara, sebagai kabupaten induknya, mempertahankan kendali atas semua Badan Usaha Milik Daerah. Pergantian walikota dan kepala kantor dinas yang sering terjadi mengakibatkan kurangnya perencanaan strategis di wilayah ini. Aset-aset pemerintah yang lain seperti kantor, kurang memadai dan prosedur untuk memastikan perawatan aset kurang. Dua belas pemerintah daerah di Aceh mendapatkan nilai di bawah 40 persen (buruk/ sangat buruk) untuk pengelolaan aset. Hal ini berarti lebih dari separuh dari pemerintahan gagal dalam bidang pengelolaan keuangan ini. Buruknya pengelolaan keuangan aset yang dimiliki oleh kabupaten berarti bahwa aset-aset ini memiliki kinerja kurang. Hal ini perlu dikhawatirkan mengingat skala rekonstruksi di Aceh pada saat ini dan pentingnya merawat aset-aset yang baru didapat ini. Perlu dilakukan peningkatan kapasitas pada bidang ini dan peraturan dan kebijakan perlu untuk dibuat dan dilaksanakan segera untuk memastikan pemerintah daerah dapat mengelola aset-aset ini dengan baik 4.9 Bidang Strategis 9: Audit Eksternal Mekanisme audit eksternal yang efektif memainkan peranan penting dalam menciptakan dan mempertahankan pemerintah daerah yang akuntabel. Badan Pemeriksaan Keuangan atau BPK memiliki tugas untuk melaksanakan audit eksternal dan hasil dari audit tersebut diserahkan dan seharusnya dibahas oleh DPRD. Peran utama dari DPRD adalah untuk memberikan pengawasan independen terhadap fungsi pemerintah daerah, eksekutif. Semakin lemah audit internal, semakin penting peran audit eksternal. Audit eksternal memiliki dua hasil dan sembilan indikator. Hasil satu menyangkut pelaksanaan audit eksternal secara berkala untuk memberikan akuntabilitas kepada pemerintah daerah secara efektif. Hasil dua berfokus pada keberadaan pengawasan independen terhadap pengelolaan keuangan pemerintah daerah yang efektif.

  • Bab 4: Rincian Hasil dan Analisis

    36

    Diagram 14: Audit eksternal dan Pengawasan

    0

    20

    40

    60

    80

    100Aceh Utara

    Banda Aceh

    Aceh Besar

    Aceh Timur

    Langsa

    Simeulue

    Singkil

    Gayo Lues

    Pidie

    Sabang

    A. TenggaraAceh Selatan

    Bireuen

    A. Tamiang

    Aceh Barat

    Aceh Tengah

    Nagan Raya

    Lhokseumawe

    A. Barat Daya

    Bener Meriah

    Aceh Jaya

    Audit dan eksternal dan pengawasan Rata rata

    Audit Eksternal: yang berkinerja baik dan yang berkinerja kurang baik Nilai rata-rata untuk audit eksternal adalah 36 persen. Tiga pemerintah daerah mendapatkan nilai diterima dan 13 mendapatkan nilai buruk/sangat buruk Banda Aceh, Aceh Besar dan Aceh Utara semuanya mendapatkan nilai 67 persen, memenuhi enam dari sembilan indikator. Aceh Barat dan Nagan Raya tidak memenuhi satupun indikator, dan mendapatkan nilai nol untuk audit eksternal. Aceh Besar memenuhi tiga dari empat indikator pada hasil satu. Laporan keuangan tahunan diserahkan untuk pemeriksaan ke BPK dalam batas waktu yang ditetapkan menurut hukum, masyarakat dapat menghadiri sidang DPRD pada saat laporan pemeriksaan dibahas dan laporan audit eksternal berisikan opini pemeriksaan yang dapat dipahami oleh masyarakat awam. Namun laporan audit tidak dipublikasikan di media-media setempat atau dipasang pada papan pengumuman resmi agar dapat dilihat oleh masyarakat. Untuk hasil yang diharapkan mengenai pengawasan independen yang efektif, DPRD mengawasi dan mengevaluasi kinerja pemerintah daerah, memberikan persetujuan kepada laporan tahunan terakhir tanpa catatan, tidak memberikan sanksi atau memastikan sanksi ditegakkan dan laporan audit tidak menyarankan untuk dimulainya investigasi mengenai korupsi. Nagan Raya dan Aceh Barat tidak memiliki sistem audit eksternal. Walaupun nilai untuk audit internal di kedua wilayah ini di atas 60 persen, ketiadaaan mekanisme audit eksternal oleh badan independen perlu untuk dijadikan perhatian.

  • Bab 5 Isu-isu Utama

  • Bab 5: Isu-isu Utama

    39

    Kerangka hukum yang tidak lengkap Lima tahun semenjak pelaksanaan desentralisasi, kapasitas pengelolaan keuangan masih lemah di beberapa pemerintah daerah di Aceh. Salah satu prioritas mendesak bagi pemerintah daerah adalah untuk memastikan bahwa mereka memiliki kerangka hukum yang lengkap, tepat secara keseluruhan dan dapat ditegakkan. Praktek-praktek pengelolaan keuangan perlu untuk mematuhi peraturan-peraturan ini dan praktek-praktek yang baik harus dijadikan sebagai norma- bagian dari budaya pemerintah daerah. Penerbitan SK Bupati dan penggunaan Keppres nasional yang telah ada sebelumnya tidak memuaskan, karena hal ini berarti menisbikan DPRPD. Secara khusus, SK Bupati tidak dibahas dan diperdebatkan secara memadai sebelum diterbitkan. Sehingga, kemungkinan besar SK Bupati akan gagal menjadi bagian dari budaya kerangka hukum daerah, terutama karena bupati/ walikota baru mungkin tidak mengakui SK yang diterbitkan oleh Bupati sebelumnya. Oleh karena itulah, SK Bupati merupakan jalan singkat yang tidak memuaskan untuk memenuhi kewajiban hukum yang ditetapkan pada tingkat nasional.

    Kurangnya tenaga yang memiliki keterampilan dan kualifikasi yang memadai

    Tenaga yang memiliki kualifikasi dan/atau keterampilan yang tidak memadai merupakan hambatan besar dalam meraih kinerja yang baik. Tim peneliti di Aceh Utara mengidentifikasi kualitas sumber daya manusia yang baik merupakan faktor pendorong utama hasil pengelolaan keuangan yang baik di berbagai bidang-bidang strategis. Pelatihan di tempat kerja dapat berguna untuk memberikan keterampilan sebagai contoh pembukuan dengan sistem komputerisasi. Walaupun pelatihan tambahan yang diberikan oleh pemerintah daerah sendiri ataupun pemerintah pusat bisa memberikan manfaat, permasalahan yang mendasar adalah untuk mendorong dan apabila memungkinkan membantu pemerintah daerah untuk menarik calon-calon pegawai dengan keterampilan teknis yang diperlukan untuk pengelolaan keuangan yang efektif. Solusi jangka panjang adalah untuk melatih kandidat-kandidat sampai standar minimum yang diidentifikasi sebelum mereka menjadi pegawai negeri dan juga memastikan bahwa seleksi dan promosi pegawai negeri berdasarkan kemampuan dan kompetensi untuk tugas yang diberikan. Hal ini bahkan lebih penting lagi untuk badan audit internal, yang jelas-jelas membutuhkan tenaga dengan kompetensi tingkat tinggi di bidang pengelolaan keuangan. Berkaitan dengan hal ini, insentif yang terdefinisikan dengan jelas dan struktur sanksi untuk pegawai perlu ditetapkan dan dipatuhi dengan ketat dalam rangka mendorong perbaikan kinerja pegawai.

    Kurangnya sumber daya keuangan

    Kekurangan sumber daya keuangan untuk membeli peralatan-peralatan seperti komputer dapat menurunkan cakupan perbaikan dalam kapasitas pengelolaan keuangan. Responden sering mengidentifikasi hal ini sebagai hambatan untuk mencapai hasil pengelolaan keuangan yang baik. Namun, seperti yang diidentifikasi dalam Aceh Public Expenditure Analysis (Bank Dunia, 2006), pengeluaran rutin terus meningkat, sedangkan pengeluaran pembangunan berkurang. Oleh karena itu, pengeluaran rutin harus benar-benar dikaitkan dengan perbaikan kinerja pemerintah daerah.

    Kurangnya transparansi

    Satu hal lagi yang penting dalam pengelolaan keuangan yang efektif adalah garis akuntabilitas yang jelas. Bagian utama dari hal ini adalah keterlibatan publik dan pengawasan keuangan oleh publik. Walaupun dijanjikan, informasi keuangan

  • Bab 5: Isu-isu Utama

    40

    pemerintah daerah terkadang sulit diakses oleh anggota masyarakat, media dan kelompok-kelompok masyarakat. Walaupun telah terdapat perkembangan dalam mendorong partisipasi publik yang lebih besar, standar yang lebih tinggi tidak dapat ditemukan pada pemerintah daerah. Sementara pemerintah daerah mengatakan telah mendorong partisipasi publik, tidak terlihat adanya keterlibatan yang berarti. Merubah budaya pemerintahan dalam hal ini merupakan suatu proyek jangka panjang dan perkembangan lebih lanjut dapat dicapai dengan memberikan tekanan kepada pemerintah daerah secara internal melalui media setempat dan kelompok-kelompok masyarakat.

    Audit internal yang lemah

    Audit internal yang lemah mungkin belum terealisasi bahkan di pemerintah daerah dengan nilai PKP yang tergolong baik. Sebagai contoh, salah satu pemerintah daerah mendapat nilai yang cukup baik untuk bidang strategis ini, tetapi berdasarkan pengamatan singkat pada laporan audit tahunan kesan yang dapat ditangkap adalah tidak ada audit internal yang efektif. Tugas untuk memberdayakan badan pemeriksa, untuk merekrut pegawai yang tepat, untuk memastikan pemisahan antara pemeriksa dengan yang diperiksa, untuk memastikan kejanggalan dan penyalahgunaan ditindak lanjuti secara tepat dan sanksi dijatuhkan apabila terbukti bersalah bukanlah tugas yang mudah. Namun perbaikan benar-benar dibutuhkan, terutama di Aceh mengingat skala pendanaan yang besar pada tahun-tahun kedepan, dengan pendapatan minyak dan gas, pendapatan rekonstruksi dan pendapatan DAU tambahan. Kesalahan pengelolaan dana ini akan menimbulkan kehilangan kesempatan yang sangat disayangkan untuk Aceh. Audit internal yang lebih efektif dapat setidaknya memberikan upaya untuk memastikan dana-dana yang ada dicatat dengan baik dan dapat dilacak kembali.

    Penganggaran yang realistis dan berpihak kepada kelompok miskin

    Walaupun beberapa pemerintah daerah sepertinya mengalami perkembangan dalam membuat anggaran yang berpihak kepada kelompok miskin, yang lain hanya menjadikan perencanaan dan penganggaran yang memperhatikan kaum miskin sebagai kedok saja dan yang lainnya bahkan tidak melakukan apa-apa. Beberapa pemerintahan daerah tidak memiliki kapasitas untuk melakukan analisis kemiskinan yang mendetil dan kekurangan kapasitas untuk memastikan anggaran benar-benar berpihak pada kaum miskin. Dan juga, seringkali perbedaan besar antara pengeluaran yang direncanakan dan terealisasi pada beberapa siklus anggaran menunjukkan kurangnya kapasitas untuk membuat anggaran yang realistis.

    Pemekaran daerah

    Aceh Utara dan Lhokseumawe memberikan perbandingan yang bisa menarik, karena mereka mendapatkan nilai yang sangat jauh berbeda (69 persen dibandingkan dengan 29 perse