Pengelolaan DAS
-
Upload
heri-apriyanto -
Category
Documents
-
view
40 -
download
11
description
Transcript of Pengelolaan DAS
-
MONITORING DAN EVALUASI KINERJA DAERAH ALIRAN SUNGAI CILIWUNG BAGIAN TENGAH
Heri Apriyanto
I. PENDAHULUAN
Bencana banjir pada tahun-tahun belakangan ini sangat sering melanda Indonesia
dan telah menimbulkan kerugian yang cukup signifikan, baik korban jiwa maupun harta
benda. Kota Jakarta sebagai barometer gambaran Indonesia pada awal bulan Februari
2007 diterjang banjir yang cukup dahsyat. Banjir dan genangan terjadi dalam tempo
yang relatif lama, yaitu lebih dari sepekan di beberapa tempat, genangan air tidak cepat
menyurut. Para ahli banjir memperkirakan bahwa salah satu faktor yang dominan
penyebab banjir di Jabodetabek adalah adanya faktor alih fungsi lahan, khususnya dari
hutan, perkebunan, pertanian dan rawa menjadi kawasan permukiman, industri dan
komersial (kawasan terbangun) di Kawasan Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur) yang
sebagian besar merupakan kawasan konservasi DAS Ciliwung. Hal itu tidak terlepas
bahwa Kawasan Jabodetabek dan Kawasan Bopunjur merupakan satu kesatuan sistem
hidrologi, dimana input air dari daerah hulu dan tengah akan mengalir ke bawah/hilir.
Data Kementerian Negara Lingkungan Hidup (Pikiran Rakyat, 21 Januari 2009)
menyebutkan, dalam kurun waktu delapan tahun terakhir telah terjadi perubahan fungsi
lahan di kawasan lindung Kecamatan Cisarua secara signifikan, yakni sekitar 74%.
Ditahun 2000, luas kawasan lindung masih sekitar 4.918 ha, kini tersisa 1.265 ha (tahun
2009). Sementara pemukiman bertambah 44%, yakni dari 24.833 ha menjadi 35.750 ha.
Adanya perkerasan (seperti jalan, bangunan rumah/pabrik/mal, lapangan golf, dan
perkantoran) maka kapasitas daya resap air hujan kawasan yang mengalami perubahan
penggunaan lahan tersebut menjadi semakin kecil dibandingkan dengan kondisi semula.
Infiltrasi air hujan ke dalam tanah berkurang, sehingga proporsi air hujan yang langsung
dilimpaskan semakin besar. Selain itu karena kapasitas infiltrasi menjadi kecil maka
penambahan air ke airtanah menjadi semakin berkurang sehingga pada musim kemarau,
persediaan airtanah semakin menurun. Hal ini bertolak belakang dengan fungsi utama
Kawasan Bopunjur yang menjadi kawasan konservasi lingkungan, yakni sebagai
kawasan penyangga dan resapan air.
-
Guna mencegah tidak terkendalinya penyimpangan pemanfaatan ruang di
Kawasan Bopunjur yang semestinya difungsikan sebagai daerah konservasi, maka perlu
diatur dengan penataan ruangnnya. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
(Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008) disebutkan bahwa Daerah Bogor,
Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabekpunjur) ditetapkan sebagai
Kawasan Strategis Nasional (KSN). Sebagai tindak lanjut penetapan kawasan tersebut
tersebut, maka diperlukan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang secara terpadu. Amanat dari RTRWN tersebut
kemudian diwujudkan dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang
Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur. Dengan adanya PERPRES ini maka
diharapkan dapat terwujudnya pembangunan berkelanjutan serta mengembangkan
perekonomian wilayah yang produktif, efektif, dan efisien berdasarkan karakteristik
kawasan Jabodetabekpunjur. Salah satu sasaran dari perutaran tersebut adalah
tercapainya keseimbangan antara fungsi lindung dan fungsi budi daya. Selanjutnya,
dalam perpres ini juga mengatur kebijakan dan strategi penataan ruang, rencana tata
ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, arahan pemanfaatan ruang kawasan, arahan
pengendalian pemanfaatan ruang kawasan, pengawasan pemanfaatan ruang kawasan.
Salah satu bagian yang diatur dalam PERPRES No. 54 Tahun 2008 tersebut,
yakni arahan pengendalian ruang kawasan akan digunakan sebagai acuan dalam
pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan ini. Dalam arahan pengendalian
ruang kawasan tersebut didasarkan pada peraturan zonasi, dimana peraturan ini
didasarkan pada indeks konservasi alami dan indeks konservasi aktual (Pasal 49).
Pengertian indeks konservasi alami adalah parameter yang menunjukkan kondisi
hidrologis ideal untuk konservasi yang dihitung berdasarkan variabel curah hujan, jenis
batuan, kemiringan, ketinggian, dan guna lahan. Sedangkan indeks konservasi aktual
adalah parameter yang menunjukkan kondisi hidrologis yang ada untuk konservasi yang
dihitung berdasarkan variabel curah hujan, jenis batuan, kemiringan, ketinggian, dan
guna lahan (Pasal 1). Lebih lanjut kedua indeks ini digunakan untuk menentukan
alokasi pemanfaatan ruang yang meliputi permukiman, ruang terbuka hijau (RTH),
perkantoran, dan kegiatan pertanian; amplop ruang yang meliputi koefisien dasar ruang
hijau, KDB, KLB, dan garis sempadan bangunan; dan rekayasa teknologi yang
diperlukan. Perlu diketahui bahwa rencana tata ruang wilayah baik
-
provinsi/kabupaten/kota yang berada di Kawasan Jabodetabekpunjur harus
mengimplementasikan Rencana Tata Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur ini.
Kota Depok yang sebagian besar wilayahnya terletak di DAS Ciliwung
(khususnya bagian tengah) merupakan kawasan hulu bagi wilayah DKI Jakarta. Sebagai
wilayah yang tercakup dalam Perpres No. 54 tahun 2008, maka kota ini berkewajiban
untuk mengevaluasi wilayahnya dengan menggunakan parameter Indeks Konservasi ini.
Kota Depok berdasarkan fungsinya dalam sistem pengelolaan DAS, wilayah ini
berperan penting sebagai kawasan konservasi tanah dan air. Namun fenomena yang
terjadi di kota ini adalah semakin berkembangnya lahan terbangun, berdasarkan data
tahun 2008 (BPS, 2009) disebutkan bahwa dari luas wilayah Kota Depok sebesar
20.029 Ha, maka lahan yang terbangun sekitar 51% atau seluas 10.305 Ha dan sisanya
adalah lahan tidak terbangun. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan
pembangunan maka luasan lahan yang terbangun akan semakin meningkat pula. Seiring
dengan hal itu, maka dikuatirkan akan meningkatkan kebutuhan akan ruang, sehingga
lahan terbangun akan semakin meningkat, yang pada akhirnya akan mengokupasi
kawasan-kawasan yang sebelumnya berfungsi sebagai kawasan resapan air.
Upaya monitoring dan evaluasi kinerja pengelolaan DAS, khususnya untuk
pengendalian kawasan resapan Kota Depok yang terletak di Kawasan DAS Ciliwung
bagian Tengah sangat diperlukan, mengingat tingkat alih fungsi lahan terjadi cukup
pesat. Wilayah ini yang strategis mendorong terjadinya banyak terjadi alih fungsi lahan
non terbangun menjadi lahan terbangun. Salah satu upaya yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi kawasan resapan adalah dengan pendekatan Indeks Konservasi (IK).
Dengan mengetahui indeks konservasi maka besaran kapasitas resapan kawasan
terhadap intensitas air hujan yang ada dapat di ketahui. Kemampuan suatu wilayah
untuk meresapkan air merupakan salah satu parameter untuk digunakan dalam rangka
penyusunan rencana tata ruang suatu kawasan, khususnya untuk indikator pengendalian
pemanfaatan ruang.
II. KONSEP INDEKS KONSERVASI (IK) 2.1 Pengertian
Alih fungsi lahan dari penggunaan lahan hutan, pertanian, permukiman, dan
perkotaan berturut-turut akan menurunkan imbuhan air tanah yang dapat dinyatakan
Monev Kinerja DAS............................. Halaman | 2
-
dengan Indeks Konservasi (IK). IK mempunyai kisaran nilai 0 IK 1. Secara umum
lahan hutan mempunyai IK berkisar 0,8 - 0,9; pertanian berkisar 0,4 - 0,5; permukiman
berkisar 0,3 - 0,4; dan urban metropolitan berkisar 0 - 0,1 (Sabar, 1999). Nilai 0,8
berarti menunjukkan 80% dari curah hujan yang jatuh ke permukaan tanah akan
meresap ke dalam tanah. IK ini digunakan sebagai instrumen baru untuk pengendalian
dan pemanfaatan ruang suatu DAS yang terkait dengan keseimbangan air.
Indeks Konservasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : (1) Indeks Konservasi
Alami (IKA), yakni suatu koefisien yang menunjukkan kemampuan alamiah suatu
wilayah untuk menyerap air hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan menjadi imbuhan
air tanah yang dihitung berdasarkan variabel curah hujan, batuan, kemiringan lereng,
dan tanah, dan (2) Indeks Konservasi Aktual (IKC), yakni suatu koefisien yang
menunjukkan kemampuan yang ada/aktual pada suatu wilayah untuk menyerap air
hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan menjadi imbuhan air tanah yang dihitung
berdasarkan variabel curah hujan, batuan, kemiringan lereng, tanah dan penggunaan
lahan (Apriyanto dan Sabar, 2001).
2.2 Model Indeks Konservasi
Pengendalian fungsi konservasi air dilakukan dalam satu satuan hidrologis dari
fase tanggapan air, fase sungai dan fungsi kualitas ruang (pemanfaatan ruang), yang
digambarkan dengan model fisik hidrologis seperti pada Gambar 1 (Sabar, 1999).
Gambar 1. Model Fisik Hidrologi (Sabar, 1999)
Keseimbangan air dari pengendalian pemanfaatan ruang di fase lahan dan fase
sungai sangat tergantung pada indeks konservasi air dari pemanfaatan ruang, yang
diekspresikan dengan :
-
bAPIQ k += .. ... (pers. 1) dimana :
Q = debit air sungai, A= luas daerah tangkapan air, P = besarnya curah hujan, b = aliran dasar (limpasan air di fase sungai melalui akuifer dan mata air) Ik = Indeks konservasi
Dimensi lain untuk menyatakan besarnya Q adalah dengan memperhitungkan
kualitas ruangnya seperti tanah, batuan, kemiringan lereng dan penggunaan lahan yang
diindikasikan sebagai koefisien limpasan (C).
bAPCQ += .. (pers. 2)
Persamaan 2 ini merupakan dasar bagi pembuatan persamaan 3. Hal ini dapat
diterangkan seperti berikut :
Hubungan antar komponen hidrologi berdasarkan Hukum Kekekalan Massa
sebagai berikut :
IROP += . (pers. 3)
dimana : P = besarnya curah hujan, RO = limpasan permukaan (runoff), I = infiltrasi
Apabila persamaan 3 seluruh komponennya dibagi dengan P maka persamaannya
menjadi :
+
=
PI
PROI . (pers. 4)
kICI += .... (pers. 5) CI k = 1 . (pers. 6)
Indeks Konservasi dibedakan menjadi dua, yaitu Indeks Konservasi Alami (IKA)
dan Indeks Konservasi Aktual (IKC). Aspek-aspek yang berpengaruh terhadap Indeks
Konservasi adalah kemiringan lereng, jenis tanah, jenis geologi, dan intensitas curah
hujan (aspek alami) dan penggunaan lahan (aspek aktual). Bentuk penggunaan lahan
bersifat dinamis karena berada di bawah pengaruh aktivitas makhluk hidup, khususnya
manusia, sedangkan alih fungsi lahan akan mempunyai implikasi yang berbeda terhadap
besaran air yang dapat diserap ke dalam tanah. Jika curah hujan, jenis batuan dan
kemiringan lereng menyangkut aspek alami yang relatif tidak berubah (statis)
Monev Kinerja DAS............................. Halaman | 4
-
mencerminkan kondisi potensial disebut juga sebagai daya dukung lingkungan, maka
aspek penggunaan lahan mencerminkan kondisi aktual. Aspek penggunaan lahan
tersebut mencerminkan kondisi aktual kemampuan infiltrasi/daya resap terhadap air
hujan di suatu daerah. Dengan menumpangsusunkan resultante aspek-aspek tersebut
(yang sudah ditransformasikan dalam bentuk nilai tingkat kemampuan meresapkan air
ke dalam tanah) dapat diperoleh peta kesesuaian lahan yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi lahan mana yang sesuai/baik atau tidak sesuai/kritis.
Indeks Konservasi Alami oleh Apriyanto dan Sabar (2001) diekspresikan dengan:
IKA = f (curah hujan, batuan, morfologi/topografi)
IKA = aX1 + bX2 + cX3 + E (pers. 7)
a = ( 12, 13, 23), b = ( 12, 13, 23), c = ( 12, 13, 23) R = 1 - E dimana : IKA = variabel besaran konservasi air alami X1 = variabel hujan X2 = variabel batuan X3 = variabel kemiringan lereng a,b,c,d = koefisien partial ketergantungan antar variabel 12 = koefisien korelasi antar variabel E = faktor koreksi R = koefisien determinasi (0,5 < R
-
dilakukan diskretisasi indeks konservasi dan variabel yang mempengaruhinya ke dalam
5 (lima) kelas. Jika dalam evaluasi suatu kawasan ternyata terdapat pemanfaatan lahan
yang tidak sesuai (IKC < IKA) maka harus dilakukan upaya untuk merehabilitasi fungsi
konservasi air dan tanah untuk menjadi IKC IKA di antaranya dengan menggunakan
rekayasa teknologi.
III. GAMBARAN UMUM DAS CILIWUNG TENGAH DI KOTA DEPOK Secara umum wilayah DAS Ciliwung Bagian Tengah meliputi sebagian Kota
Depok, Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. DAS Ciliwung bagian tengah ini dimulai
dari Stasiun Katulampa (merupakan outlet dari DAS Ciliwung bagian hulu) dan
mempunyai outlet di Stasiun Sugutamu. Luas keseluruhan DAS ini sekitar 11.714 Ha,
dimana untuk wilayah Kota Depok 4.805,88 Ha atau 41% nya. Tingkat prosentase
sebesar itu maka pengaruh kondisi Kota Depok cukup besar terhadap sistem hidrologi
Sungai Ciliwung dan anak-anak sungainya, terutama yang akan masuk ke Kota Jakarta.
Kondisi iklim wilayah Depok beriklim tropis yang dipengaruhi oleh iklim
Munson, dengan wilayah hujan antara 2.000 - 4.000 mm pertahun dengan curah hujan
rata-rata 3.814 mm per tahun dan jumlah hari hujan berkisar antara 101 - 159 hari.
Kemiringan lereng Kota Depok secara topografi dikategorikan datar dan dengan
ketinggian berkisar antara + 70 m 90 m dari permukaan laut. Kota Depok berada
pada kemiringan lereng antara 0 15%.
Secara umum sebagian besar wilayah Kota Depok berada pada satuan pedataran
alluvium sungai. Daerah ini merupakan ujung dan bagian tengah dari kipas alluvial
Bogor yang terbentuk dari produk gunung api dengan relief permukaan sedang dan
halus. Pola pengaliran sungai menunjukkan pola meander. Batuan penyusunnya terdiri
dari endapan sedimen berupa Tufa Greksi, lempung lanauan dan batu pasir tufaan.
Kondisi hidrogeologis wilayah Sungai Ciliwung Bagian Tengah berdasarkan Peta
Hidrogeologi Indonesia (DGTL, 1986), berada pada Kelompok terdapatnya Air Tanah
dan Produktivitas Akuifier. Menurut potongan melintang dapat diketahui bahwa pada
kedalaman 0 250 m, akuifer dengan aliran melalui antar butir, merupakan akuifer
dengan produktivitassedang dan sebarannya luas. Debit air tanah < 5 ltr/detik.
Sedangkan pada kedalaman > 250 m, akuifer ( bercelah atau bersarang ) produktif kecil,
Monev Kinerja DAS............................. Halaman | 6
-
daerah air tanah langka dan merupakan akuifer dengan produktivitas kecil serta
setempat. Debit air tanah < 1 ltr/ detik.
Penggunaan lahan di Kota Depok hingga saat ini sudah sangat intensif, yaitu
seluruh ruang sudah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Hal ini merupakan salah
satu dampak dijadikannya Kota Depok sebagai kawasan hinterland Kota Jakarta.
Kenaikan lahan terbangun secara langsung mengurangi lahan-lahan yang terbuka dan
dapat berfungsi sebagai kawasan peresapan air seperti sawah, kebun dan lahan kosong.
Berdasarkan analisa peta penggunaan lahan dan citra landsat tahun 1990 dan 2005
sangat nampak semakin berkurangnya kawasan non terbangun, seperti pertanian,
tegalan dan perkebunan yang ada pada DAS Ciliwung bagian tengah. Kawasan
terbangun (permukiman, komersial, jalan, industri, dan lain-lain) di sisi lain semakin
bertambah. Perubahan penggunaan lahan dari tahun sebelum tahun 1990 sampai dengan
tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Penggunaan Lahan DAS Ciliwung Bagian Tengah di Kota Depok (1990-2005)
Penggunaan Lahan
Tahun 1990 Tahun 2005 Perubahan Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) %
Hutan 0 0 0 0 0 0 Kebun 1266,83 26,36 945,01 19,7 -321,82 -6,70 Tegalan 2291,64 47,68 905,78 18,8 -1385,86 -28,84 Persawahan 745,98 15,52 118,98 2,5 -627,00 -13,05 Pemukiman 501,43 10,43 2836,11 59,0 2334,68 48,58 Total 4805,88 100 4805,88 100
Sumber : Apriyanto, 2007.
IV. EVALUASI KAWASAN RESAPAN DENGAN MENGGUNAKAN
INDEKS KONSERVASI (IK)
4.1. Indeks Konservasi Alami (IKA) dan Indeks Konservasi Aktual (IKC)
Telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya bahwa IK dibedakan menjadi dua,
yakni IKA dan IKC. Pemanfaatan lahan dikatakan sesuai dengan fungsi sebagai kawasan
konservasi jika mempunyai nilai IKC IKA (kesesuaian lahan sesuai/baik) dan
sebaliknya jika IKC < IKA dikatakan kondisi kritis (kesesuaian lahan jelek/kritis).
Pendekatan yang digunakan untuk menentukan nilai IK ini adalah tingkat kemampuan
dari parameter fisik tersebut untuk meningkatkan imbuhan air ke dalam tanah, sehingga
dapat menambah kuantitas air tanah dan menurunkan limpasan air permukaan.
-
Kemampuan dari parameter ini diasumsikan dengan tingkat kemampuan untuk infiltrasi
dan permeabilitas dari variabel-variabel pengaruh di atas. IKA dan IKC dibagi dalam 5
(lima) kelas seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi Kelas Indeks Konservasi (IK)
No Kelas Indeks Konservasi (IK)
Kisaran Hasil Pembobotan Variabel Pengaruh
1. Sangat Tinggi IK 0,799 2. Tinggi 0,648 IK < 0,799 3. Sedang 0,497 IK < 0,648 4. Rendah 0,347 IK < 0,497 5. Sangat Rendah IK < 0,347
Sumber : Apriyanto dan Sabar, 2001 Guna mengevaluasi kesesuaian kondisi alam dan pemanfaatan lahan maka dibuat
klasifikasi kesesuaian lahan yang didasarkan pada perbandingan antara IKA dan IKC
Kriteria klasifikasi kesesuaian lahan tersebut disajikan pada Tabel 3
Tabel 3. Kelas Kesesuaian Lahan berdasarkan Perbandingan IKA dan IKC
No Kelas kesesuaian lahan Keterangan 1. Sangat Baik kategori IKC lebih tinggi dua
tingkat atau lebih dari kategori IKA 2. Baik kategori IKC lebih tinggi satu
tingkat dari kategori IKA 3. Sesuai kategori IKC sama tingkat atau tetap
seperti kategori IKA 4. Jelek kategori IKC lebih rendah satu
tingkat dari kategori IKA 5. Sangat Jelek kategori IKC lebih rendah dua
tingkat atau lebih dari kategori IKA
Sumber : Apriyanto dan Sabar, 2001
Berdasarkan persamaan (7) dan (8) maka variabel-variabel yang digunakan perlu
diberi pembobotan. Berdasarkan analisis berdasarkan data lapangan dan peta tematik
(kemiringan lereng, geologi, tanah dan isohyet serta penggunaan lahan) yang ada, maka
variabel-variabel yang sesuai dan eksisting di wilayah kajian dapat dilihat pada Tabel 4.
Monev Kinerja DAS............................. Halaman | 8
-
Tabel 4. Pembobotan Kondisi Fisik DAS Ciliwung di Kota Depok
Kelas Kemiringan Lereng Bobot < 8% 0,95 8 15 % 0,80 15 25 % 0,70
Jenis geologi/batuan Aluvial 0,95 Kipas Aluvial 0,95 Endapan Gunungapi Muda 0,78
Jenis tanah Aluvial Kelabu 0,95 Kompleks Aluvial Coklat dan Aluvial Coklat Kekelabuan
0,95
Latosol Merah 0,20 Latosol Coklat Kemerahan 0,20
Intensitas CH (mm/th) 2500 - 3000 0,50 < 2500 0,20
Penggunaan Lahan Perkebunan/kebun 0,80 Tegalan/ladang 0,70 Persawahan 0,50 Permukimam/lahan terbangun 0,2
Sumber : Apriyanto, 2007.
Pada penelitian ini masing-masing variabel pengaruh dianggap memiliki
pengaruh yang sama terhadap Indeks Konservasi sehingga besar koefisien regresinya
sama, sehingga persamaan (7) menjadi :
IKA = 0.25 X1 + 0.25 X2 + 0.25 X3 + 0.25 X4 1.021.10-3 . (9)
Selanjutnya dengan melakukan tumpang susun peta-peta tematik (lereng,
geologi, tanah, penggunaan lahan dan curah hujan) dengan masing-masing
pembobotannya, maka dapat dihitung IKA masing-masing kawasan, yang selanjutnya
dibagi ke dalam 5 kelas dengan masing-masing luasnya seperti yang disajikan pada
Tabel 5.
IKC selain dipengaruhi oleh variabel seperti pada IKA, juga dipengaruhi oleh
faktor penggunaan lahan. Dengan menggunakan metoda yang sama dengan perhitungan
IKA, maka persamaan regresi IKC (persamaan (8) sebagai berikut :
IKC = 0.20 X1 + 0.20 X2 + 0.20 X3 + 0.20 X4 + 0.20 X5 - 1.043.10-3 .. (10)
-
Hasil perhitungan Kelas IKC beserta luasnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Indeks Konservasi di DAS Ciliwung Tahun 1990 dan 2005
Kelas Indeks Konservasi IK Alami
IK Aktual Tahun 1990 Tahun 2005
(IK) Luas (Ha) % Luas (Ha) % Luas (Ha) % Sangat Tinggi 623,16 13,00 0 0 0 0 Tinggi 965,68 20,10 1962,397 40,83 750,568 15,62 Sedang 3217,04 66,90 2463,72 51,26 1740,87 36,22 Rendah - - 177,012 3,68 1799,38 37,44 Sangat Rendah - - 202,752 4,22 515,06 10,72 Total 4805,88 100,00 4805,88 100,00 4805,88 100,00
Rata-rata IKA = 0,68 IKC (1990) = 0,64 IKC (2005) = 0,51
Sumber : Hasil perhitungan
Berdasarkan Tabel 5 nampak bahwa sebagian besar wilayah kajian mempunyai
IKA dan IKC yang termasuk kategori sedang, yang berarti secara alami kawasan ini masih
cukup potensial menyerap air. Namun dalam beberapa kurun waktu tahun 1990 2005
telah terjadi pergeseran kelas indeks konservasi, misalnya dari kawasan yang
mempunyai indeks konservasi aktual kelas tinggi berubah menjadi kelas sedang dan
bahkan langsung ke kelas rendah. Hal ini dibuktikan dengan adanya kenaikan sekitar
33,7% pada kelas rendah dan 6,5% pada kelas sangat rendah, yang diikuti penurunan
kelas di atasnya (tinggi dan sedang). Bukan tidak mungkin bila pada tahun-tahun
berikutnya akan terjadi pergeseran kelas ke yang lebih rendah.
4.2. Evaluasi Kawasan Resapan Air
Evaluasi Kesesuaian Lahan berdasarkan pada perbandingan Indeks Konservasi
Alami (IKA) dan Indeks Konservasi Aktual (IKC). Dengan pendekatan kemampuan lahan
untuk menyerap air yang dinyatakan dengan kemampuan untuk infiltrasi dan atau
permeabilitas dari jenis lahan tersebut serta besarnya curah hujan melalui metoda
pembobotan dan tumpang susun, diharapkan dapat mendekati kondisi yang sebenarnya.
Gambaran kesesuaian lahan wilayah penelitian dapat dilihat pada Peta Kesesuaian lahan
Tahun 1990 dan 2005 (Gambar 2 dan 3) dan secara matematis luasnya disajikan pada
Tabel 6 dan.
Monev Kinerja DAS............................. Halaman | 10
-
Gambar 2. Peta Kesesuaian Lahan Kawasan Resapan Air di Kota Depok Tahun 1990
-
Gambar 3. Peta Kesesuaian Lahan Kawasan Resapan Air di Kota Depok Tahun 2005
Monev Kinerja DAS............................. Halaman | 12
-
Tabel 6 Evaluasi Kawasan Resapan Air DAS Ciliwung di Kota Depok
Kawasan Resapan
Tahun 1990 Tahun 2005 Perubahan % Luas (Ha) % Luas (Ha) %
Sangat Baik - - - - - Baik 618,35 12,90 120,63 2,51 -10,39 Sesuai 3470,87 72,20 2335,66 48,60 -23,60 Jelek 716,67 14,90 2349,59 48,89 33,99 Sangat Jelek - - - - - Total 4805,88 100,00 4805,88 100,00
Sumber : Hasil pengolahan
Secara umum pemanfaatan lahan di daerah penelitian masih dalam kondisi belum
banyak terganggu atau sesuai. Namun di sisi lain belum nampak adanya tindakan untuk
menjadikannya ke tingkat yang lebih tinggi (kelas baik dan sangat baik). Berdasarkan
luasan masing-masing kelas dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2005 telah
menampakkan indikasi terjadinya penurunan tingkat kesesuaian lahan di daerah
penelitian. Kelas Kesesuaian Lahan baik dan sesuai telah mengalami penurunan sebesar
10,39% dan 23,60% dari luasnya semula, sedangkan kondisi jelek/kritis mengalami
peningkatan sebesar 33,99% sehingga luasnya menjadi lebih sekitar 48,89% dari luas
wilayah perencanaan. Hal ini perlu diperhatikan lebih lanjut, sehingga penurunan ini
dapat dicegah dan dengan penanganan lebih lanjut wilayah-wilayah yang kondisinya
jelek dapat dikembalikan lagi pada fungsi hidrologinya. Secara spatial sangat nampak
bahwa di wilayah perencanaan telah terjadi degradasi kelas kesesuaian lahan, dimana
sebagian besar telah menjadi kawasan yang terbangun. Hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya pengembang yang membangun perumahan.
V. PENUTUP DAS adalah suatu ekosistem (Asdak, 2007) sehingga bisa dijadikan sebagai unit
satuan monitoring dan evaluasi (monev) karena setiap ada masukan (inputs) ke dalam
ekosistem tersebut dapat dievaluasi proses yang telah dan sedang berlangsung dengan
melihat keluaran (outputs) dari ekosistem tersebut. Wilayah DAS yang terdiri dari
komponen tanah, vegetasi dan air/sungai berperan sebagai prosesor. Salah satu
instrumen yang dapat digunakan untuk melakukan monev adalah Indeks Konservasi
(IK). Indeks Konservasi (IK) ini terdiri Indeks Konservasi Alami (IKA) dan Indeks
Konservasi Aktual (IKC). IK didasarkan atas kemampuan wilayah tersebut untuk
-
menyerap air hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan menjadikan imbuhan air tanah.
Indeks Konservasi Alami (IKA), yakni suatu koefisien yang menunjukkan kemampuan
alamiah suatu wilayah untuk menyerap air hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan
menjadi imbuhan air tanah, sedangkan Indeks Konservasi Aktual (IKC), yakni suatu
koefisien yang menunjukkan kemampuan yang ada/aktual pada suatu wilayah untuk
menyerap air hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan menjadi imbuhan air tanah.
Alih fungsi lahan di DAS Ciliwung bagian tengah, khususnya yang berada di
Kota Depok pada dekade 15 tahun terakhir (tahun 1990 sampai 2005) terjadi sangat
pesat. Kawasan yang dahulu lebih tertutup dan non terbangun seperti kebun, tegalan dan
sawah jumlahnya telah menyusut. Di sisi lain lahan terbangun seperti permukiman,
industri, komersial (toko, mal), jalan, tempat wisata, dan sebagainya telah meningkat
tajam, menjadi sekitar 51 % dari luas Kota Depok.
Berdasarkan perbandingan antara IKC dan IKA maka disusun klasifikasi
kesesuaian lahan. Secara umum daerah penelitian didominasi oleh kelas kesesuaian
lahan rendah, yang berarti daerah tersebut masih potensi untuk menyerap air sudah
sangat berkurang. Berdasarkan perkembangan dari tahun 1990 sampai 2005 pada daerah
penelitian telah menunjukkan pergeseran kelas kesesuaian lahan. Kondisi jelek/tidak
sesuai mengalami peningkatan sebesar 33,99% sehingga luasnya menjadi 48,89% dari
luas daerah penelitian. Hasil monev ini dapat dimanfaatkan untuk bahan masukan
rencana pengendalian pemanfaatan ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Depok dan rekayasa teknologi yang diperlukan
Monev Kinerja DAS............................. Halaman | 14
-
DAFTAR PUSTAKA
.............., 2008, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Jakarta.
.............., 2008. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, Jakarta.
.............., 21 Januari 2009, Penyimpangan Tata Guna Lahan Puncak Mengkhawatirkan, Pikiran Rakyat.
Asdak, C., 2007, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Apriyanto, H., Sabar, A., 2001, Kajian Indeks Konservasi sebagai Indikator Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Konservasi DAS Ciliwung di Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur), ITB, Bandung.
Apriyanto, H., 2007, Evaluasi Kawasan Resapan Air dengan Pendekatan Indeks Konservasi, Jurnal Alami Vol. 12 Nomor 1, BPPT, Jakarta.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Kota Depok dalam Angka Tahun 2009, Depok. Sabar, A., 1999, Indeks Konservasi sebagai Instrumen Pengendalian Pemanfaatan
Ruang di Kawasan Bopunjur dalam Rangka Rancangan Keppres, Makalah Bahan Diskusi di Bappenas (tidak diterbitkan), ITB Bappenas, Bandung.