!!!Pengayaan Agra

45
MAKALAH TUGAS PENGAYAAN DOKTER MUDA COMPLETE SPINAL TRANSECTION: Patofisiologi, Diagnosis, dan Differential Diagnosis Oleh: Agra Dhira Narendraputra NIM. 0910710001 Pembimbing: dr. Badrul, Sp.S SMF/LABORATORIUM ILMU PENYAKIT SARAF

Transcript of !!!Pengayaan Agra

Page 1: !!!Pengayaan Agra

MAKALAH

TUGAS PENGAYAAN DOKTER MUDA

COMPLETE SPINAL TRANSECTION:

Patofisiologi, Diagnosis, dan Differential Diagnosis

Oleh:

Agra Dhira Narendraputra

NIM. 0910710001

Pembimbing:

dr. Badrul, Sp.S

SMF/LABORATORIUM ILMU PENYAKIT SARAF

RSU DR. SAIFUL ANWAR

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2013

Page 2: !!!Pengayaan Agra

2

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................

..........................................................................................................1

DAFTAR ISI........................................................................................

..........................................................................................................2

A. DEFINISI DAN LATAR BELAKANG...........................................

...................................................................................................3

B. ALGORITMA LUMPUH DUA KAKI............................................

...................................................................................................5

C. EPIDEMIOLOGI...........................................................................

...................................................................................................6

D. ETIOLOGI....................................................................................

...................................................................................................7

E. PATOFISIOLOGI.........................................................................

...................................................................................................8

F. KLASIFIKASI..............................................................................

.................................................................................................15

G. TANDA DAN GEJALA KLINIS...................................................

.................................................................................................16

H. PEMERIKSAAN FISIK................................................................

.................................................................................................18

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG...................................................

.................................................................................................22

J. DIAGNOSIS.................................................................................

.................................................................................................23

K. DIAGNOSIS BANDING...............................................................

.................................................................................................24

Page 3: !!!Pengayaan Agra

3

L. RINGKASAN...............................................................................

.................................................................................................25

M. PERTANYAAN............................................................................

.................................................................................................26

N. DAFTAR PUSTAKA....................................................................

.................................................................................................29

O. LAMPIRAN..................................................................................

.................................................................................................31

Page 4: !!!Pengayaan Agra

4

PENDAHULUAN

A. DEFINISI DAN LATAR BELAKANG

Complete Spinal Transection (Transeksi Medula

Spinalis) merupakan kerusakan total medula spinalis akibat lesi

transversal yang menyebabkan hilangnya seluruh fungsi

neurologis medula spinalis di bawah area yang terkena. Fungsi

neurologis yang dimaksud adalah sensoris, motoris, dan otonom.

Manifestasi yang paling terasa oleh penderita adalah

kelumpuhan (disfungsi motorik). Definisi asia menyebutkan

bahwa Complete injury merupakan hilangnya fungsi sensoris

dan motoris di segmen sacral terakhir (S4-S5), disebut dengan

klasifikasi ASIA A.1

Kelumpuhan merupakan salah satu morbiditas yang

paling ditakutkan manusia. Tubuh yang awalnya aktif dan enerjik

tiba-tiba tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya terbaring di

tempat tidur. Pekerjaan, pendidikan, kesenangan bermain

dengan teman akhirnya sirna akibat tidak berfungsinya organ

motorik tubuh. Apabila kelumpuhan diderita seorang ayah yang

menjadi tulang punggung keluarga, ia menjadi tidak bisa

melakukan fungsinya, bahkan akan menjadi beban dalam

keluarga. Kadangkala kelumpuhan menimbulkan komplikasi

psikologis yang justru lebih berat. Pasien menjadi depresi dan

kualitas hidupnya menjadi terus menurun, tak jarang pasien

mencoba bunuh diri akibat rasa malu dan tertekan. Perceraian

akibat kelumpuhan 2,5 kali lebih sering terjadi pada pasangan

suami istri akibat suami tak bisa memenuhi kebutuhan biologis

istri karena mengalami disfungsi seksual.2

Page 5: !!!Pengayaan Agra

5

Complete spinal transection (CST) merupakan salah

satu penyakit yang mengakibatkan kelumpuhan kedua kaki. CST

paling sering diakibatkan oleh trauma kecelakaan kendaraan

bermotor. Dengan berkembangnya ilmu pengobatan modern,

94% pasien dapat bertahan hidup dengan raawat inap awal,

dibandingkan pada tahun 1927 ketika perang dunia pertama,

hingga 80% korban dengan cedera medula spinalis meninggal

dalam beberapa minggu pertama akibat komplikasi.3

Permasalahannya kini, penyakit ini seringkali memerlukan

rehabilitasi seumur hidup yang membutuhkan biaya besar. Di

Amerika Serikat (AS) pembiayaan bagi pasien-pasien dengan

tetraplegia (lumpuh keempat anggota gerak) dan paraplegia

(lumpuh anggota gerak bawah) memerlukan biaya yang besar

seperti dapat dilihat di Tabel 1.2

Tabel 1. Pembiayaan Pasien-pasien dengan Tetraplegia dan Paraplegia di AS.2

Prognosis kelumpuhan pada cedera tulang belakang

termasuk buruk, karena regenerasi neuron hampir bisa

dikatakan mustahil terjadi. Karenanya, penanganan cedera

medula spinalis lebih dititikberatkan pada pencegahan primer

dan sekunder. Pada makalah ini akan dibahas Complete Spinal

Transection (CST) yang mengakibatkan manifestasi lumpuh

kedua kaki (paraplegia).

Page 6: !!!Pengayaan Agra

6

B. ALGORITMA

Masalah: lumpuh kedua kaki (paraplegia). Complete

Spinal Transection (Transeksi Medula Spinalis) memiliki gejala

paraplegia yang kelumpuhannya bersifat LMN dan topisnya

berasal dari medula spinalis. Algoritma Paraplegia dapat dilihat

di Gambar 1.

Gambar 1. Algoritma Lumpuh Kedua Kaki (Paraplegia)

Page 7: !!!Pengayaan Agra

7

COMPLETE SPINAL TRANSECTION

C. EPIDEMIOLOGI

Insiden tahunan Cidera Korda Spinalis/Spinal Cord

Injury (SCI) kira-kira 40 kasus per 1 juta populasi di AS atau

12.000 kasus per tahun. Jumlah populasi di AS pada tahun 2012

yang hidup dengan SCI sekitar 270.000 orang. Secara

keseluruhan, 80,6% SCI terjadi pada pria. Rata-rata penderita

mengalami SCI pada usia 16 –30 tahun. Gambar 2 memaparkan

berbagai penyebab SCI.2

Gambar 2. Penyebab Spinal Cord Injury di AS.2

Berdasarkan tingkat pendidikan, siswa SMA (high

school) merupakan korban cedera medula spinalis

terbanyakPada tahun 2005 kategori neurologis paling banyak

pada penderita SCI adalah incomplete tetraplegia (40,8%), diikuti

complete paraplegia (21.6%), incomplete paraplegia (21.4%)

dan complete tetraplegia (15.8%). Kurang dari 1% penderita

mengalami pemulihan neurologis sempurna setelah keluar dari

rumah sakit.2

Page 8: !!!Pengayaan Agra

8

D. ETIOLOGI4

Complete Spinal Transection/Transeksi Medula Spinalis

(TMS) dapat disebabkan oleh:

1. Kompresi Medula Spinalis:

Fraktur kompresi

Tumor

Herniasi diskus

Spondylosis

Epidural abcess

Pott’ disease (TB spinal)

Oklusi arteri

2. Systemic degeneration

Multiple sclerosis

Motor Neuron disease

Subacute combined degeneration of cord

3. Infeksi

Transverse myelitis

Akut: Staphylococcal, Kronis: Tuberculous, Syphilitic

(Neurosyphilis=Tabes Dorsalis)

Parasit: Hydatid, Cysticercosis, Schistosomiasis,

Falciparum Malaria

Viral: Thypus Fever, Spotted Fever

Fungal: Cryptococcus, Actinomycosis,

Coccidiomycosis

4. Autoimun

Guillain-Barre Syndrome (paraplegia without sensory

loss)

Kelainan autoimun

Sindrom post-vaksin (Rabies, Tetanus, Polio)

Page 9: !!!Pengayaan Agra

9

E. PATOFISIOLOGI

Respon awal setelah adanya trauma yang menyebabkan

SCI adalah stimulasi simpatis yang hebat dan aktivitas reflek

parasimpatis yang biasanya bertahan 3 – 4 menit dan dimediasi

oleh reseptor alfa-adrenergik. Efek hemodinamik yang

ditimbulkan adalah severe hypertension, reflek bradikardi

atau takiaritmia.5

Setelah respon awal ini muncul defisit fungsi neurologi

yang disebut spinal shock yang ditandai dengan flaccid paralysis

bersamaan dengan menghilangnya seluruh reflek di bawah

lesi termasuk reflek bulbocavernosus. Paralisis flasid di GI tract

dan kandung kemih menyebabkan ileus dan retensi urin.

Hilangnya inervasi autonomik menyebabkan vasodilatasi pada

area yang terkena. Lesi di atas T5 menyebabkan bradikardi dan

hipotensi arterial akibat terputusnya inervasi simpatis yang

menuju ke jantung. Fase spinal shock ini berlangsung beberapa

minggu dan bisa sampai berbulan-bulan.

Fase spinal shock diikuti fase peningkatan spastisitas

otot dan munculnya kembali reflek spinal (hyperreflexia phase).

Awalnya gerakan spastik spontan pada pasien dikira gerakan

sadar dan menyebabkan kesalahan asesmen proses

penyembuhan. Biasanya aktifitas hiperefleksia ini ditandai

dengan peningkatan ekstrim tekanan darah arteri selama

manipulasi kandung kemih dan saluran cerna dan diakibatkan

oleh hilangnya inhibisi dari aktifitas reflek di daerah di bawah

level lesi.6

Patofisiologi kerusakan sel neuron pada medula spinalis

dimulai dari cedera primer. Mekanisme cedera primer dibagi

menjadi empat: 1. Tumbukan ditambah dengan kompresi yang

Page 10: !!!Pengayaan Agra

10

menetap; 2. Tumbukan saja, tanpa kompresi; 3. Distraksi; dan 4.

Laserasi atau transeksi. Laserasi atau transeksi merupakan

bentuk akhir dari mekanisme primer cedera. Berbagai jenis

cedera primer ini menyebabkan hipoksia dan iskemia jaringan

yang akhirnya berujung pada infark yang diawali oleh substansia

grisea (gray matter) medula spinalis. Neuron-neuron yang

melawati daerah ini secara fisik terputur dan mengalami

penipisan myelin. Transmisi saraf juga lama kelamaan akan

terputus oleh karena microhemorrhage atau edema di sekitar

daerah cedera. Dalam satu jam gray matter rusak secara

irreversibel, sedangkan white matter dalam 72 jam.5

Cedera medula spinalis dapat menyebabkan neurogenic

shock (perfusi jaringan yang inadekuat akibat dari kelumpuhan

input vasomotor), ditandakan dengan bradikardi, hipotensi, dan

hipotermia dengan penurunan resistensi kapiler dan penurunan

cardiac output. Hal ini bisa memperparah kerusakan jaringan

saraf.5

Seperti dijelaskan sebelumnya peran vaskular dapat

memperparah cedera medula spinalis. Venul dan kapiler rusak di

sekitar tempat cedera baik ke arah rostral maupun kaudal akibat

cedera mekanis awal. Keberlanjutan iskemik postrauma ini

tergantung dari kemampuan aliran darak. Vasospasme sering

terjadi akibat trauma langsung. Trombosis intravaskular dapat

juga berkontribusi pada iskemik postrauma ini. Kelainan

autoregulasi homeostasis (penurunan kemampuan memelihara

aliran darah pada cakupan tekanan yang luas) dapat

memperparah iskemia akibat hipoperfusi sistemik (neurogenic

shock) atau dapat juga memperparah perdarahan dengan

peningkatan tajam tekanan darah sistemik. Proses reperfusi

Page 11: !!!Pengayaan Agra

11

dapat memperparah cedera dan kematian sel akibat

dihasilkannya radikal bebas dan produk toksik lainnya (cedera

sekunder).5

Kekacauan biokimia bersamaan dengan gangguan

cairan dan elektrolit berperan utama dalam mekanisme sekunder

pada cedera akut medula spinalis. Neurotransmiter excitator

dilepaskan dan terkumpul dan hal ini menyebabkan kerusakan

langsung pada jaringan medula spinalis bersamaan dengan

kerusakan tidak langsung akibat dari produksi ROS dan RNS,

juga dari perubahan fungsi mikrosirkulasi dan iskemia

sekunder.glutamat, neurotransmiter excitatory utama di CNS,

dilepaskan secara eksesif setelah cedera. Aktivasi reseptor

NMDA dan AMPA-kainate penting dalam mennyebabkan

iskemia. Proses ini disebut excitotoxicity yaitu aktivasi eksesif

reseptor glutamat yang menyebabkan cedera neuron. Lebih

lanjut, proses ini menyebabkan akumulasi awal natrium

intraseluler, sehingga menyebabkan edema sitotoksik dan

asidosis intraseluler. Kegagalan Na-K-ATPase memperparah

penumpukan air dan natrium intrasel dan hilangnya kalium

ekstrasel. Sebagai tambahan, kalsium intrasel menumpuk dan

menyebabkan perubahan fisiologi dan kerusakan yang akan

datang. Akumulasi kalsium intrasel ini disebut sebagai hasil akhir

toxic cell death di CNS.

Konsentrasi tinggi ion kalsium dalam sel berkontribusi

dalam kerusakan sekunder melalui berbagai mekanisme.

1. Bekerjasama dengan fungsi mitokondria. Keterkaitan ini

berperan dalam menghambat respirasi sel yang

sebelumnya sudah terganggu oleh hipoksia dan iskemia.

Page 12: !!!Pengayaan Agra

12

2. Stimulasi penyusunan calpain, fosfolipase A2,

lipooksigenase dan siklooksigenase.

a. Aktivitas dan ekspresi calpain meningkat pada sel-

sel glia dan inflamasi di penumbra pada lesi

medula spinalis. Calpain dapat menghancurkan

struktur penting di CNS termasuk protein di unit

akson-myelin.

b. Calcium-dependent protease dan kinse lainnya

menghancurkan membran sel dan berakibat pada

larutnya komponen ultrastruktur sel seperti

neurofilament.

c. Aktivasi Lipase, lipooksigenase, siklooksigenase

mengakibatkan konversi asam arakhidonat menjadi

tromboksan, prostaglandin, leukotrien, dan

peningkatan level metabolit-metabolit ini.

d. Peningkatan asam arakhidonat yang lambat

berhubungan dengan penghambatan Na-K-

ATPase dan edema jaringan.

e. COX-1 menumpuk menyebabkan penurunan aliran

darah dan menyebabkan agregasi platelet serta

vasokonstriksi.

f. Semuanya ini menyebabkan respon inflamasi dan

peroksidasi lipid dan akhirnya kerusakan membran

sel

g. Peroksidasi lipid menyebabkan pembentukan

radikal bebas. Lingkaran ini terus berputar kecuali

bila dihentikan dengan entioksidan endogen seperti

vitamin E dan SOD.

Page 13: !!!Pengayaan Agra

13

Setelah cedera, regulasi homeostasis oleh sel glia

gagal, menyebabkan asidosis jaringan dan proses excitotoxic.

Aktivitas sel glia yang lain yang berfungsi untuk membuang

debris sel menyebabkan peningkatan oksidatif tertentu dan

enzim lisosom yang menyebabkan kerusakan sel lebih lanjut.

Pada fase awal infiltrasi neutrofil mendominasi. Pelepasan

enzim lisis dari leukosit dapat memperparah kerusakan neuron,

sel glia dan pembuluh darah. Fase kedua berkaitan dengan

rekrutmen dan migrasi makrofag yang memfagosit jaringan

yang rusak.

Mekanisme ekstrinsik (receptor dependent) apoptosis

sel dipengaruhi sinyal TNF. Mekanisme intrinsik (receptor

independent) dipengaruhi sinyal intraseluler saat konsentrasi

kalsium dalam sel tinggi menginduksi kerusakan mitokondria,

pelepasan sitokrom c, dan aktivasi caspase.

Kerusakan mitokondria dapat menyebabkan kematian

sel secara langsung maupun tidak langsung melalui toleransi

kepada stress seluler. Trauma pada CNS menyebabkan

gangguan respirasi dan fosforilasi oksidatif.5

Page 14: !!!Pengayaan Agra

14

Gambar 3. Patofisiologi Spinal Cord Injury (Penekanan pada Peran Faktor Lokal)

IL6, TNF, IL1

Sitokin

Kerusakan membran sel

Neutrofil

Microglia

Reperfusi/ reoksigenasi

ROS

KEMATIAN SEL

APOPTOSIS

Perubahan pada ekspresi gen

Aktivasi reseptor glutamat: NMDA,

metabotrobik

Perubahan pada potensial membran dan

aktivasi kanal ion

EKSITOTOKSISITAS

Dampak vaskular

Faktor sistemik: syok neurogenik,

gagal napas

ISCHEMIA

Release Glutamat

Edema interstisial dan compresi medula

Kegagalan autoregulasi: vasospasm, thrombosis, hemorrhage

Peningkatan permeabilitas

Peradangan

FAKTOR LOKAL

CEDERA PRIMER

Page 15: !!!Pengayaan Agra

15

Gambar 4. Patofisiologi Spinal Cord Injury (Penekanan pada Peran Iskemia)

Pembengkakan sel

Faktor sistemik: syok neurogenik,

gagal napas

ISKEMIA

FAKTOR LOKAL: dampak vaskular,

kerusakan membran, kompresi medula, release glutamat,

edema, peradangan

CEDERA PRIMER

KEMATIAN SEL

APOPTOSIS

produksi ATP

Transisi permeabilitas,

release sitokrom C

Proteolisis dan kerusakan

sitoskeleton

Aktivasi caspase dan calpain Kerusakan mitokondria

Kerusakan oksidatif protein, lipid, DNA dan

degradasi membran

Lipolisis ROS

Ca 2+ INTRASEL

Vasospasme

Depolarisasi membran

O2, Kegagalan energi glukosa

Page 16: !!!Pengayaan Agra

16

F. KLASIFIKASI7

1. TMS Cervical

TMS cervical, di atas Ver. C.III fatal karena dapat

menghilangkan fungsi N. frenikus dan N. interkostales

secara total sehingga dapat menghentikan pernapasan.

Pasien hanya akan dapat bertahan apabila diberikan

ventilasi buatan dalam beberapa menit setelah trauma

penyebabnya. Keadaan ini sangat jarang dijumpai. Gejala

lain: nyeri hebat di occiput dan leher, bisa diikuti oleh gejala

N. V. Transeksi pada tingkat cervical di bawahnya (C5-C6)

dapat menyebabkan quadriparesis dengan keterlibatan otot-

otot intercostal, pernapasan dapat sangat terganggu. Muscle

wasting: deltoid, biceps, brakhioradialis, infraspinatus,

supraspinatus, rhomboideus.

Autonomic dysreflexia peningkatan tekanan darah

abnormal, berkeringat, dan respon otonom lainnya terhadap

gangguan sensoris. Ketidakmampuan untuk meregulasi

tekanan darah, pengeluaran keringat, dan suhu tubuh.

2. TMS Thoraks

TMS Thoraks bagian atas tidak mengganggu

ekstrimitas atas tapi mengganggu pernapasan dan

menimbulkan ileus paralitik melalui keterlibatan N.

splankhnikus. Cidera di atas T6 menimbulkan autonomic

dysreflexia (kehilangan regulasi kranial) hipertensi, retensi

urin/alvi, berkeringat, nyeri kepala. TMS thoraks bagian

bawah tidak mengganggu otot abdomen dan pernapasan.

3. TMS Lumbal

TMS Lumbal sering menyebabkan gangguan yang

berat karena diikuti kerusakan arteri utama yang menyuplai

Page 17: !!!Pengayaan Agra

17

medulla spinalis bagian bawah, arteri radikularis mayor

(Adamkiewicz). Hasilnya adalah infark seluruh medulla

spinalis lumbalis dan sakralis.

Efek cedera medula spinalis lumbal menyebabkan

disfungsi kandung kemih, usus, dan seksual.

4. Sindrom Epikonus

Sindrom epikonus isebabkan lesi medulla spinalis

setinggi L4-S1: kelemahan rotasi eksterna panggul, ekstensi

panggul, fleksi lutut, fleksi dan ekstensi pergelangan kaki

dan jari-jari kaki. Reflek Achilles menghilang, reflek lutut

tetap ada, potensi seksual hilang, pengosongan kandung

kemih dan rectum secara refleksif, kemampuan berkeringat

hilang sementara.

5. Sindrom Konus

Sindrom konus disebabkan oleh lesi medulla spinalis

S3 ke bawah. Sering disebabkan oleh tumor spinal, iskemia

atau herniasi diskus lumbal yang masif. Menifestasi:

arefleksia detrusor inkontinensia overflow, retensi urin,

inkontinensia alvi, impotensi, saddle anesthesia, hilangnya

reflek ani. Ekstrimitas bawah tidak paresis dan reflek Achilles

tetap ada.

G. TANDA DAN GEJALA KLINIS

Transeksi Medula Spinalis menyebabkan terputusnya

jaras sensoris dari bawah level lesi dan jaras desendens dari

atas lesi seperti terlihat pada Gambar 5.8 Meskipun kelainan

sensoris mencakup seluruh modalitas terjadi di bawah level lesi,

letak lesi sebenarnya dapat diketahui dari adanya nyeri radikuler

atau parestesia yang segmental.

Page 18: !!!Pengayaan Agra

18

Kelemahan, baik itu paraplegia maupun tetraplegia

muncul di bawah level lesi akibat terputusnya jaras corticospinal

desenden. Awalnya paralisis bisa berupa flaccid dan arefleksif

akibat spinal shock. Selanjutnya muncul hipertonus,

hiperrefleksia, paraplegia atau tetraplegia disertai dengan

menghilangnya reflek dinding abdomen dan cremaster. Pada

level lesi muncul manifestasi Lower Motor Neuron (paresis,

atrofi, fasciculasi, dan arefleksia) pada distribusi segmentalnya.

Disfungsi sfingter rektal dan uretral yang menyebabkan

inkontinensia, disfungsi seksual dan tanda-tanda disfungsi

otonom (anhidrosis, perubahan tropis kulit, kegagalan

mengontrol suhu tubuh, dan ketidakstabilan vasomotor) dibawah

level lesi juga muncul.8

Gambar 5. Modalitas Neurologis yang Terganggu pada Spinal Cord Injury dan Tanda serta Gejala Klinis Spinal Cord

Injury

Page 19: !!!Pengayaan Agra

19

H. PEMERIKSAAN FISIK

1. Inspeksi: deformitas pada tulang belakang (akibat trauma,

proses destruktif neoplasma atau infeksi)

2. Palpasi: nyeri radikuler, krepitasi, tenderness di tulang

belakang (akibat trauma, proses destruktif neoplasma atau

infeksi)

3. Pemeriksaan khusus sensoris: menggunakan pinprick dan

sentuhan ringan pada tubuh (Gambar 6)

4. Pemeriksaan khusus motoris: pasien diminta menggerakan

kelompok otot sesuai dengan miotom masing-masing radiks

medulla spinalis.9 (Tabel 2)

Page 20: !!!Pengayaan Agra

20

Gambar 6. Titik-titik Lokasi Pemeriksaan Pinprick dan

Sentuhan Ringan Pada Tubuh

Tabel 2. Otot-otot Kunci untuk Pemeriksaan Neurologis

Page 21: !!!Pengayaan Agra

21

Page 22: !!!Pengayaan Agra

22

Gambar 7. Bagan ASIA yang Digunakan untuk Mendeteksi

Kelumpuhan Neurologis

Page 23: !!!Pengayaan Agra

23

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Plain foto: Cervical, thoraks, abdomen/lumbal (AP/Lat) untuk

melihat adanya fraktur vertebrae. Dapat ditambah posisi

Odontoid (open mouth), Swimmer’s view (untuk melihat C7

dan T1).

Tanda degenerasi spina:

Ruang intervertebral menyempit

Foramina intervertebral menyempit

Bentukan osteofit

Pelebaran foramina

2. Darah lengkap, urin lengkap

3. Pungsi Lumbal analisis CSF

4. MRI Vertebral: merupakan definitive imaging technique

5. Neurofisiologi: EMG (untuk memeriksa continuitas myelin

dan akson)

6. Tes perspirasi menilai fungsi saraf otonom

Page 24: !!!Pengayaan Agra

24

J. DIAGNOSIS

1. Anamnesa

a. Cara kejadian: trauma, riwayat infeksi

b. Usia muda: penyakit bawaan

c. Usia tua: keganasan

d. Durasi: akut (GBS, transverse myelitis, kompresi),

kronis (MND, polyneuropathy, muscle dystrophy)

e. Gangguan sfingter retensi urin/alvi

f. Nyeri radikuler

g. Keluhan unilateral/bilateral

h. Nyeri kepala

i. Nyeri punggung

2. Pemeriksaan fisik

a. Kesadaran lesi cerebral/spinal shock

b. Meningeal sign tanda infeksi meningen

c. Penilaian skor ASIA (motoris dan sensoris)

d. Pemeriksaan tonus otot, reflek fisiologis dan reflek

patologis

3. Pemeriksaan penunjang

a. Tes perspirasi menilai fungsi saraf otonom

b. Analisis CSF

c. X-ray cervical, thoracal, lumbal, sacral (AP/Lat/Obl)

menilai abnormalitas tulang

d. MRI vertebrae menilai abnormalitas medula spinalis

(jaringan lunak)

Page 25: !!!Pengayaan Agra

25

K. DIAGNOSIS BANDING10

Diagnosis banding Transeksi Medula Spinalis adalah

penyakit-penyakit yang dapat bermanifestasi paraplegia yang

berasal dari medula spinalis seperti dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Differential Diagnosis Paraplegia

Page 26: !!!Pengayaan Agra

26

DDx. Penyakit-penyakit dengan manifestasi Paraplegia dengan tipe

LMN maupun yang berasal dari Cerebri 10:

1. Lesi LMN

a. Poliomyelitis

b. MND

c. Myasthenia gravis

d. Muscular dystrophy

2. Lesi UMN cerebral:

a. Tumor

b. Thrombosis

c. Hydrocephalus

L. RINGKASAN

Transeksi medula spinalis merupakan penyakit yang sering

mengakibatkan kecacatan, meskipun penangannyanya sudah

cukup baik. Kecacatan yang ditimbulkan seringkali membawa

dampak sosial dan ekonomi yang besar. Pencegahan primer

dan sekunder sangat diutamakan untuk mendapatkan kualitas

hidup yang lebih baik.

Transeksi medula spinalis merupakan kerusakan seluruh

penampang medula spinalis akibat trauma, inflamasi, kompresi,

dan lain-lain. Penyebab paling sering dari transeksi medula

spinalis adalah trauma saat kendaraan bermotor. Hal ini sering

dialami laki-lagi usia SMA dengan rentang usia 16 – 30 tahun.

Patofisiologi transeksi medula spinalis berkaitan dengan

primary injury dan secondary injury. Primary injury berasal dari

proses mekanis yang mengawali terjadinya cedera. Secondary

Page 27: !!!Pengayaan Agra

27

injury berasal dari proses vaskular dan imunitas yang

memperparah cedera yang terjadi pada medula spinalis.

Gejala yang ditimbulkan pada transeksi medula spinalis

adalah hilangnya seluruh modalitas neurologis (motoris,

sensoris, dan otonom) di bawah level lesi. Gejala ini bervariasi

sesuai dengan tinggi lesi, dan yang paling sering

membahayakan adalah lesi cervical atas (C2-C4) yang dapat

menimbulkan depresi napas dan sering menyebabkan kematian

secara cepat.

Diagnosis ditegakkan dari anamnesa singkat mengenai

cara kejadian (trauma), progresifitas keluhan, dan riwayat

penyakit dahulu, dilanjutkan pemeriksaan fisik yang berfokus

untuk mencari tinggi level cedera neurologis dengan

pemeriksaan sensoris (pinprick dan raba halus) dan motoris

sesuai miotom.

Differential diagnosis Transeksi Medula Spinalis adalah

penyakit-penyakit yang bermanifestasi paraplegia yang topisnya

berasal dari medula spinalis itu sendiri, dari cerebri maupun

paraplegia yang bertipe LMN.

M. PERTANYAAN

1. Pemeriksaan fisik relevan dengan diagnosis dan

hasilnya?

Pada pasien dengan cedera saraf komplit tulang belakang,

adanya hilang fungsi sensori dan motoris di bawah tingkat

tertentu. Jadi khusus pada pasien pada lumpuh kaki,

pemeriksaan fisik yang perlu adalah dari pemeriksaan tanda

tanda vital seperti tensi, nadi, respiratory rate dan suhu,

status interna dari kepala ke extremitas dan selanjutnya

Page 28: !!!Pengayaan Agra

28

pemerikasaan status neurologis dari pemeriksaan GCS,

nerve cranialis, motoris, sensoris dan autonom. Menurut

criteria ASIA Impairment Scale, debuah pemeriksaan

neurologis hati-hati, termasuk fungsi motorik, sensorik

evaluasi, refleks tendon dalam, dan evaluasi perineum,

sangat penting dan diperlukan untuk menetapkan ada atau

tidak adanya cedera tulang belakang dan mengklasifikasikan

lesi menurut sindrom kabel tertentu. Penilaian fungsi

sensorik membantu mengidentifikasi jalur yang berbeda

untuk sentuhan ringan, proprioception, getaran, dan nyeri.

Gunakan cocokan peniti untuk mengevaluasi sensasi rasa

sakit. Dan dari pemeriksaan ini kita dapat temukan parase

tipe flasid atau spastic pada kedua tungkai bawah bersertai

kehilangkan fungsi sensori seperti raba, sahu dan nyeri.

Membedakan cedera akar saraf dari cedera tulang belakang

bisa sulit. Adanya defisit neurologis yang menunjukkan

keterlibatan multilevel cedera tulang belakang banding

dengan cedera akar saraf. Dengan tidak adanya syok spinal,

kelemahan motor dengan refleks utuh menunjukkan cedera

tulang belakang, sedangkan kelemahan motor dengan

refleks absen menunjukkan lesi akar saraf. Tingkat cedera

didefinisikan oleh Skala Gangguan ASIA (dimodifikasi dari

klasifikasi Frankel), dengan menggunakan kategori berikut:

A = Lengkap: Tidak ada fungsi sensoris atau motoris

dipertahankan dalam segmen sakral S4-S5 [5]

B = Incomplete: Sensory, tetapi tidak motorik, fungsi

dipertahankan di bawah tingkat neurologis dan meluas

melalui segmen sakral S4-S5

Page 29: !!!Pengayaan Agra

29

C = Incomplete: Fungsi motorik dipertahankan di bawah

tingkat neurologis, dan otot yang paling utama di bawah

tingkat neurologis memiliki kelas otot kurang dari 3

D = Incomplete: Fungsi motorik dipertahankan di bawah

tingkat neurologis, dan otot yang paling utama di bawah

tingkat neurologis memiliki kelas otot yang lebih besar

dari atau sama dengan 3

E = normal: Sensory dan motorik fungsi normal

Dengan demikian, definisi cedera tulang belakang komplit

dan inkomplit, karena berdasarkan ASIA definisi di atas,

dengan sakral-sparing, adalah sebagai berikut:

Complete: Tidak adanya fungsi sensorik dan motorik di

segmen sacral terendah

Incomplete: Preservasi fungsi sensoris atau motoris di bawah

tingkat cedera, termasuk segmen sakral terendah

ASIA telah membentuk definisi yang bersangkutan. Tingkat

cedera neurologis adalah yang terendah (paling ekor) tingkat

dengan fungsi sensorik dan motorik normal.

2. Jenis pemeriksaan penunjang dan hasilnya?

Pemeriksaan penunjang adalah foto thorax sebagai

penafsiran semua penyakit, X foto vertebral seperti Foto

toraco/ thoracolumbal/ lumbosacral: AP/lateral (untuk lesi

thorakal/ torakal bawah/ lumbal/ sacral tergantung pasien

dicuragai mendapat lesi dimana. Pemeriksaan Ct scan/ MRI

Vetebral untuk memastikan apakah benar pada tulang

belakangnya mengalami kerusakkan disampaing

Page 30: !!!Pengayaan Agra

30

memastikan etiologi. Dan pemeriksaan lab lain untuk

mengekslusi diagnosis banding lain.

3. Bagaimana dengan prognosis? apakah bisa sembuh?

Pasien dengan cedera tulang belakang komplit memiliki

kesempatan kurang dari 5% dari pemulihan. Jika

kelumpuhan komplit berlanjut pada 72 jam setelah cedera,

tingkat kesembuhan adalah nol. Prognosis jauh lebih baik

untuk inkomplit cord sindrom .Jika beberapa fungsi sensorik

yang diselamatkan, kemungkinan bahwa pasien akhirnya

akan dapat berjalan lebih besar dari 50%. Pada akhirnya,

90% pasien dengan cedera tulang belakang kembali ke

rumah mereka dan menjadi independan. Memberikan

prognosis yang akurat untuk pasien dengan cedera batang

otak akut biasanya tidak mungkin di departemen darurat

(ED) dan sebaiknya dihindari. Sekitar 10-20% dari pasien

yang telah menderita cedera tulang belakang tidak bertahan

untuk mencapai rumah sakit akut, sedangkan sekitar 3% dari

pasien meninggal selama rawat inap akut.

N. DAFTAR PUSTAKA

1. Jacob dan Nash. 2004. Exercise Recommendations for

Individuals with Spinal Cord Injury. Sport Medicine 2004.

2. The National SCI Statistical Center. 2012. Spinal Cord

Injury Facts and Figures at a Glance. The University of

Alabama: Birmingham.

Page 31: !!!Pengayaan Agra

31

3. John F. Ditunno, Jr., and Christopher S. Formal, 1994,

Chronic Spinal Cord Injury, The New England Journal of

Medicine

4. Meenakshi. Syndrome of Spinal Cord. Departement of

Medicine, Stanley Medical College.

5. Dumont, et. Al., 2001. Acute Spinal Cord Injury, Part I:

Pathophysiologic Mechanisms dalam Clinical

Neuropharmacology. Vol. 24, No. 5, pp. 254–264.

Lippincott Williams & Wilkins, Inc. Philadelphia.

6. Gbandi, R dan Kanonidou Z. 2005. Management of

patients with transection injury of the spinal cord. Dept. of

Anesthesiology, Hippokratio General Hospital,

Thessaloniki, Greece.

7. M. Baehr dan M. Frotscher. 2010. Diagnosis Topik

Neurologi DUUS Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC:

Jakarta.

8. Gregory Gruener dan Jose Biller. 2008. Spinal Cord

Anatomy, Localization, And Overview Of Spinal Cord

Syndromes. American Academy of Neurology.

9. Veteran Health Initiative. 2001. Medical Care of Person

with Spinal Cord Injury. Departement of Veterans Affairs

Employee Education System. Washington DC.

10. Scheweinkreis, Peter et. al. 2006. Differential Diagnosis of

Acute and Subacute Non-Traumatic Paraplegia. Dtsch

Arztebl.

Page 32: !!!Pengayaan Agra

32

O. LAMPIRAN: LATIHAN9

1. What are the important tracts of the spinal cord? Where are

they located? What direction do they travel? What are their

functions?

2. What are the clinical signs and implications for upper motor

neuron injury vs. lower motor neuron injury? Where are

these types of injury most likely to occur? Which types of SCI

are likely to occur immediately? Which types of injury are

more likely to be subacute or secondary? What are some

types of nontraumatic injury?

3. List the key muscles to be tested for motor function along

with the movement and corresponding neurologic root.

4. How are the sensory and motor neurologic levels defined?

5. What are the characteristics of the five severity levels on the

ASIA Impairment Scale?

6. What are the differential diagnostic features of five SCI

syndromes?

7. Describe the effects of autonomic dysfunction on several

organ systems and the corresponding impairment of control.

8. 32 y.o. woman is hospitalized because of symptoms that

began as numbness and tingling in both feet and progressed

over few days to include gait instability, hand weakness,

diplopia, and dyspnea. The symptoms began 11 days after a

viral illness. On admission she has sinus tachycardia,

proximal and distal weakness in her upper and lower

extermities bilaterally, areflexia, and marked vibratory and

position sense loss in the toes and fingers. She cannot walk.

Which of the following is the most appropriate treatment?

Page 33: !!!Pengayaan Agra

33

a. Prednisone

b. Pyridostigmine

c. Plasma exchange

d. Intravenous methylprednisolone.