parfum online terpercaya, bibit parfum terlaris, 0813 1905 5748
PENGARUH VOLUME MOLASE DAN LAMA FERMENTASI …repository.ub.ac.id/5748/1/LUQI YULIAWAN .pdf ·...
Transcript of PENGARUH VOLUME MOLASE DAN LAMA FERMENTASI …repository.ub.ac.id/5748/1/LUQI YULIAWAN .pdf ·...
PENGARUH VOLUME MOLASE DAN LAMA FERMENTASI HIDROLISAT PROTEIN TANAMAN AZOLLA (Azolla pinnata) REBUS DENGAN STARTER
KHAMIR LAUT
SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI INDUSTRI HASIL PERIKANAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN
Oleh : LUQI YULIAWAN
NIM. 115080301111008
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2017
PENGARUH VOLUME MOLASE DAN LAMA FERMENTASI HIDROLISAT PROTEIN TANAMAN AZOLLA (Azolla pinnata) REBUS DENGAN STARTER
KHAMIR LAUT
SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI INDUSTRI HASIL PERIKANAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan Di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya
Oleh : LUQI YULIAWAN
NIM. 115080301111008
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2017
PERNYATAAN ORISINILITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya sendiri, dan sepanjang pengetahuan saya
juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh
orang lain kecuali yang tertulis oleh naskah ini dan disebut dengan daftar
pustaka.
Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil
penjiplakan (plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut, sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Malang, 8 Mei 2017
Mahasiswa
Luqi Yuliawan
NIM. 115080301111008
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini
dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Penulis menyampaikan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Mashudy (Ayah), Sumiati (Ibunda), dan Novan Avandi (Adik), serta
Keluarga Besar yang telah memberikan dukungan, semangat, dan do’a.
2. Prof. Ir. Sukoso, M.Sc. Ph. D selaku Dosen Pembimbing I yang telah
banyak memberikan bimbingan selama penyusunan skripsi ini,
memberikan kultur khamir laut serta molase yang sangat membantu
dalam penelitian saya.
3. Dr. Ir. Yahya, MP selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan
pengetahuan dan membimbing saya dengan sabar hingga saya dapat
memahami materi penelitian saya.
4. Dr. Ir. Hartati Kartikaningsih, MS dan Hefti Salis Yufidasari, S.Pi, MP
selaku Dosen Penguji yang telah banyak memberikan ilmu, kritik, dan
saran yang membangun dalam penyusunan skripsi ini.
5. Teman-teman THP 2011 yang telah memberikan masukan, semangat,
dukungan, tukar pikiran dan pengalaman.
6. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan dalam
menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Malang, 8 Mei 2017
RINGKASAN
LUQI YULIAWAN, (115080301111008). Pengaruh Volume Molase dan Lama Fermentasi Hidrolisat Protein Tanaman Azolla (Azolla Pinnata) Rebus dengan Starter Khamir Laut (di bawah bimbingan Prof. Ir. Sukoso, M.Sc. Ph.D dan Dr. Ir. Yahya, MP).
Azolla pinnata adalah sejenis tanaman paku air yang tumbuh di sawah atau kolam di daerah tropis yang bernilai gizi tinggi. Tanaman azolla potensial digunakan sebagai pakan karena banyak terdapat di perairan tenang seperti danau, kolam, rawa dan persawahan. Azolla pinnata rebus memiliki kadar air 94,91%, kadar abu 0,50%, kadar lemak 2,51%, kadar protein 1,39%, kadar karbohidrat 0,69%. Azolla pinnata dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan hidrolisat protein. Pembuatan hidrolisat protein dapat dilakukan dengan proses hidrolisis menggunakan mikroorganisme atau enzim, yaitu dengan cara fermentasi. Mikroorganisme yang dapat digunakan dalam proses fermentasi yaitu mikroorganisme non patogenik, tidak membutuhkan nutrisi secara spesifik, mudah untuk dikultur, dan dominan dalam pertumbuhannya, seperti khamir laut. Khamir laut merupakan salah satu jenis khamir yang diisolasi langsung dari laut. Merupakan organisme uniseluler dari golongan jamur, bersifat kemoorganotrof. Khamir laut membutuhkan nutrisi untuk kebutuhan hidupnya seperti sumber karbon dan sumber nitrogen. Sumber karbon yang digunakan sebagai media pertumbuhan khamir laut selama ini dilakukan dengan penambahan gula pasir dan masih relative sedikit yang menggunakan alternatif lain sebagai pengganti gula yakni molase. Molase merupakan limbah cair hasil samping yang berasal dari pembuatan gula tebu yang berupa cairan kental. Molase mengandung gula cukup tinggi yaitu 50-60%, sehingga molase dapat digunakan sebagai media fermentasi yang baik.
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode eksperimen. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yaitu pembuatan kultur khamir laut, penentuan volume molase dan khamir laut, dan penelitian utama. Penelitian utama dilakukan pembuatan hidrolisat protein Azolla pinnata rebus dengan starter khamir laut yang selanjutnya dianalisis kimia berupa analisis proksimat (kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat), pH, kapasitas emulsi, dan daya buih pada perlakuan terbaik. Penelitian ini dirancang dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yaitu dengan volume molase yang digunakan yaitu 100 ml, 150 ml dan 200 ml dan lama fermentasi yang digunakan yaitu 3, 6, 9, dan 12 hari serta dilakukan 3 kali pengulangan.
Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa pasta hidrolisat protein Azolla pinnata rebus terbaik yaitu pada perlakuan volume molase 200 ml dan lama fermentasi 12 hari dengan kandungan protein 23,83%, kadar air 16,96%, kadar abu 14,05%, kadar lemak 2,18%, kadar karbohidrat 42,96%, pH 4,35, daya buih 0,12%, dan emulsi 49,60%.
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi yang
berjudul “Pengaruh Volume Molase dan Lama Fermentasi Hidrolisat Protein
Tanaman Azolla (Azolla Pinnata) Rebus dengan Starter Khamir Laut”. Di dalam
tulisan ini, disajikan pokok-pokok bahasan yang meliputi pertumbuhan khamir
laut, volume molase, dan lama fermentasi, serta kualitas hidrolisat protein Azolla
pinnata rebus yang dihasilkan dari proses hidrolisis khamir laut dengan
menggunakan volume molase dan lama fermentasi yang berbeda.
Penulis menyadari adanya keterbatasan kemampuan dan pengetahuan
dalam menyusun laporan skripsi ini, walaupun telah dikerahkan segala
kemampuan untuk lebih teliti, tetapi masih dirasakan banyak kekurangtepatan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun agar tulisan ini bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Malang, 8 Mei 2017
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. ii
RINGKASAN ................................................................................................. iii
UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................. iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... x
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 3 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 4 1.4 Hipotesis .............................................................................................. 4 1.5 Kegunaan Penelitian ............................................................................ 5 1.6 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................. 5
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Azolla pinnata ...................................................................................... 6 2.2 Fermentasi ........................................................................................... 8 2.3 Khamir Laut ......................................................................................... 9 2.4 Molase ................................................................................................. 13 2.5 Perebusan .......................................................................................... 15
2.6 Hidrolisat Protein Ikan ......................................................................... 16
3. METODE 3.1 Materi Penelitian ................................................................................. 19
3.1.1 Bahan Penelitian ....................................................................... 19 3.1.2 Alat Penelitian ........................................................................... 19
3.2 Metode Penelitian ............................................................................... 20 3.2.1 Metode ...................................................................................... 20 3.2.2 Variabel ..................................................................................... 21 3.3 Prosedur Penelitian ............................................................................ 22
3.3.1 Prosedur Pembuatan Kultur Khamir ......................................... 22 3.3.2 Prosedur Penentuan Fase Log Khamir Laut ............................. 23 3.3.3 Prosedur Pembuatan Hidrolisat Protein Azolla pinnata ............. 25
3.4 Pengamatan dan Parameter Uji .......................................................... 28 3.4.1 Pengamatan ............................................................................. 28
3.4.2 Rendemen ................................................................................ 28 3.4.3 Analisa Proksimat ..................................................................... 28 3.4.3.1 Analisis Kadar Air ............................................................ 28 3.4.3.2 Analisis Kadar Lemak ..................................................... 29 3.4.3.3 Analisis Kadar Protein ..................................................... 31 3.4.3.4 Analisis Kadar Abu .......................................................... 31 3.4.3.5 Analisis Karbohidrat ........................................................ 32 3.4.4 Nilai pH ..................................................................................... 32 3.4.5 Kapasitas Emulsi ...................................................................... 33 3.4.6 Daya Buih ................................................................................. 33
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan ...................................................................... 35
4.1.1 Penentuan Fase Logaritmik ....................................................... 35 4.1.2 Penentuan Volume Molase dan Lama Fermentasi .................... 38 4.1.3 Komposisi Kimia Azolla pinnata Rebus ..................................... 40
4.2 Penelitian Utama ................................................................................ 40 4.2.1 Rendemen Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus ................... 41
4.2.1.1 Rendemen Cairan ........................................................... 41 4.2.1.2 Rendemen Pasta ............................................................ 42
4.2.2 Analisis Proksimat Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus ...... 43 4.2.2.1 Kadar Air ........................................................................ 43 4.2.2.2 Kadar Abu ....................................................................... 44 4.2.2.3 Kadar Lemak ................................................................... 46 4.2.2.4 Kadar Protein ................................................................. 47 4.2.2.5 Kadar Karbohidrat .......................................................... 49
4.2.3 Analisis pH ................................................................................ 50 4.2.4 Analisis Daya Buih ..................................................................... 51 4.2.5 Analisis Kapasitas Emulsi ........................................................ 53
4.3 Perlakuan Terbaik ............................................................................... 54
5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 56 5.2 Saran .................................................................................................. 56
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 57 LAMPIRAN .................................................................................................. 63
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Paku Air (Azolla pinnata) ......................................................................... 7 2. Khamir Laut ............................................................................................ 10 3. Proses Pengenceran Bertingkat Khamir Laut ........................................ 24 4. Skema Pembuatan Hidrolisat Azolla pinnata ......................................... 27 5. Foto pengamatan sel khamir laut dengan perbesaran 1000X ................ 35 6. Pertumbuhan sel khamir laut dengan pengamatan
setiap 12 jam sekali selama 108 jam ...................................................... 36 7. Rata-rata Rendemen Cairan Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus .... 41 8. Rata-rata Rendemen Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus ..... 42 9. Rata-rata Kadar Air Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus ........ 43 10. Rata-rata Kadar Abu Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus ...... 45 11. Rata-rata Kadar Lemak Pasta Hidrolisat Protein
Azolla pinnata Rebus .............................................................................. 46 12. Rata-rata Kadar Protein Pasta Hidrolisat Protein
Azolla pinnata Rebus .............................................................................. 48 13. Rata-rata Kadar Kabohidrat Pasta Hidrolisat Protein
Azolla pinnata Rebus .............................................................................. 49 14. Rata-rata pH Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus .................. 50 15. Rata-rata Daya Buih Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus ...... 52 16. Rata-rata Kapasitas Emulsi Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata
Rebus ..................................................................................................... 53
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Komposisi Kimia Azolla ............................................................................. 8 2. Kandungan Nutrisi Khamir Laut ................................................................ 10 3. Komposisi Kimia Molase ........................................................................... 13 4. Rancangan Percobaan Penelitian ............................................................. 21 5. Berbagai Perlakuan Pada Penelitian ........................................................ 25 6. Komposisi Kimia Azolla pinnata Rebus .................................................... 40 7. Selisih Kadar Air Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus
dibandingkan Kontrol Awal Fermentasi ..................................................... 44 8. Selisih Kadar Abu Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus
dibandingkan Kontrol Awal Fermentasi ..................................................... 45 9. Selisih Kadar Lemak Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus
dibandingkan Kontrol Awal Fermentasi ..................................................... 46 10. Selisih Kadar Protein Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus
dibandingkan Kontrol Awal Fermentasi ..................................................... 48 11. Selisih Kadar Karbohidrat Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata
Rebus dibandingkan Kontrol Awal Fermentasi .......................................... 49 12. Selisih pH Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus
dibandingkan Kontrol Awal Fermentasi ..................................................... 51 13. Selisih Daya Buih Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus
dibandingkan Kontrol Awal Fermentasi ..................................................... 52 14. Selisih Kapasitas Emulsi Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata
Rebus dibandingkan Kontrol Awal Fermentasi .......................................... 54 15. Komposisi Kimia Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus .............. 55
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Perhitungan dalam Kultur Khamir Laut ................................................... 63 2. Perhitungan Diagram Alir Pembuatan Kultur Khamir Laut ...................... 64 3. Perhitungan Pembuatan Media Pengenceran Khamir Laut .................... 65 4. Data Kepadatan Sel Khamir Laut ........................................................... 66 5. Perhitungan Kepadatan Sel Khamir Laut ............................................... 67 6. Data Pengamatan Volume Molase dan Lama Fermentasi
pada Penelitian Pendahuluan ................................................................. 69 7. Hasil Analisis Nilai Rendemen dan Kandungan Nutrisi kontrol
dan Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus .......................................... 72 8. Data Pengamatan dan Analisis Data Rendemen Cairan
Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus ................................................. 73 9. Data Pengamatan dan Analisis Data Rendemen Pasta
dan Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus ................................ 75 10. Data Pengamatan dan Analisis Data Kadar Air Kontrol
dan Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus ................................ 77 11. Data Pengamatan dan Analisis Data Kadar Abu Kontrol
dan Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus ................................ 79 12. Data Pengamatan dan Analisis Data Kadar Lemak Kontrol
dan Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus ................................ 81 13. Data Pengamatan dan Analisis Data Kadar Protein Kontrol
dan Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus ................................. 83 14. Data Pengamatan dan Analisis Data Kadar Karbohdirat Kontrol
dan Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus ................................ 85 15. Data Pengamatan dan Analisis Data pH Kontrol
dan Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus ................................ 87 16. Data Pengamatan dan Analisis Data Daya Buih Kontrol
dan Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus ................................. 89 17. Data Pengamatan dan Analisis Data Kapasitas Emulsi Kontrol
dan Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus ................................ 91 18. Dokumentasi Pembuatan Kultur Khamir Laut ........................................ 93 19. Dokumentasi Pembuatan Pasta Hidrolisat Protein
Azolla pinnata Rebus .............................................................................. 95 20. Dokumentasi Analisis Kadar Air Pasta Hidrolisat Protein
Azolla pinnata Rebus .............................................................................. 97 21. Dokumentasi Analisis Kadar Abu Pasta Hidrolisat Protein
Azolla pinnata Rebus .............................................................................. 98 22. Dokumentasi Analisis Kadar Lemak Pasta Hidrolisat Protein
Azolla pinnata Rebus .............................................................................. 99 23. Dokumentasi Analisis Kadar Protein Pasta Hidrolisat Protein
Azolla pinnata Rebus .............................................................................. 100 24. Dokumentasi Analisis pH Pasta Hidrolisat Protein
Azolla pinnata Rebus .............................................................................. 101 25. Dokumentasi Analisis Daya Buih Pasta Hidrolisat Protein
Azolla pinnata Rebus .............................................................................. 102 26. Dokumentasi Analisis Kapasitas Emulsi Pasta Hidrolisat Protein
Azolla pinnata Rebus .............................................................................. 103 27. Hasil Analisis Proksimat Azolla pinnata Rebus ...................................... 104
28. Hasil Analisis Protein Azolla pinnata Rebus Hari ke-12 ..................... 105
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanaman Azolla atau paku air merupakan tanaman yang biasa hidup di
atas permukaan air, Azolla mudah ditemukan di seluruh wilayah Indonesia
(Hidayat et al., 2011). tanaman Azolla pinnata merupakan tanaman air yang
dapat ditemukan dari daratan rendah sampai ketinggian 2200 m di atas
permukaan laut. Azolla banyak terdapat diperairan tenang seperti danau, kolam,
rawa dan persawahan. Selama ini Azolla dianggap sebagai gulma air karena
dalam waktu 3-4 hari dapat memperbanyak diri menjadi dua kali lipat dari berat
segarnya, sehingga dapat menutupi permukaan perairan yang mengakibatkan
mengurangi aktifitas fotosintesis mikroorganisme yang ada di dalam kolam
(Utami, 2013).
Hidrolisat protein merupakan hasil hidrolisis protein secara enzimatis atau
kimiawi yang mengandung peptida yang berat molekulnya lebih rendah dan
asam amino bebas. Pembuatan hidrolisat protein merupakan salah satu usaha
dalam menambah sumber protein yang kaya dengan asam amino (Purbasari,
2008). Hidrolisis secara enzimatis lebih dipilih karena efisien, murah,
menghasilkan hidrolisat protein ikan tanpa kehilangan asam amino esensial.
Reaksi hidrolisis ini akan menghasilkan hidrolisat protein yang berkualitas karena
pH, kondisi suhu, dan waktu hidrolisis yang dapat terkontrol. Penggunaan enzim
didalam menghidrolisis protein dianggap paling aman dan menguntungkan
karena dapat berlangsung secara spesifik sehingga dimungkinkan dapat
mempengaruhi pembentukan peptida dan asam-asam amino (Nurhayati et al.,
2014). Pembuatan hidrolisat protein dengan menggunakan enzim
mikroorganisme dapat dilakukan dengan cara fermentasi.
2
Fermentasi mempunyai pengertian aplikasi metabolisme mikroba untuk
mengubah bahan baku menjadi produk yang bernilai tinggi, seperti asam–asam
organik, protein sel tunggal, antibiotika, dan biopolymer (Juwita, 2012).
Fermentasi adalah proses perubahan substrat organik yang kompleks menjadi
komponen yang lebih sederhana dengan adanya aktivitas enzim dan mikroba
dalam keadaan terkontrol, dimana bahan-bahan atau komponen yang dihasilkan
dapat menghambat kegiatan mikroba pembusuk (Sastra, 2008). Lama fermentasi
yang berbeda dapat menghasilkan hasil hidrolisat yang berbeda karena dalam
selang waktu tersebut terjadi penguraian senyawa komplek menjadi sederhana.
Pada proses fermentasi tentunya terdapat mikroorganisme yang berperan
didalamnya. Pemilihan mikroorganisme harus disesuaikan dengan kebutuhan
yang akan dihasilkan yakni pembuatan hidrolisat protein. Mikroorganisme yang
akan digunakan dalam fermentasi adalah organisme yang non patogenik, tidak
membutuhkan nutrisi secara spesifik, mudah untuk dikultur, dan dominan dalam
pertumbuhannya, seperti khamir laut.
Khamir laut membutuhkan nutrisi untuk kebutuhan hidupnya seperti
sumber karbon dan sumber nitrogen. Khamir dapat hidup dalam gula sederhana
seperti glukosa, atau gula kompleks disakarida yaitu sukrosa. Khamir mempunyai
reaksi positif terhadap gula rafinosa, trehalosa, maltosa, galaktosa, galaktosa,
sukrosa, dan negatif pada gula laktosa (Ahmad, 2005). Sumber karbon yang
biasa digunakan sebagai media pertumbuhan khamir laut adalah gula pasir.
Molase banyak mengandung gula sehingga dapat digunakan sebagai energi dan
sumber karbon (Febriani, 2008).
Molase (tetes tebu) merupakan hasil samping dari industri pengolahan
gula yang masih mengandung gula cukup tinggi. Kandungan gula molase
terutama sukrosa berkisar 48 – 55%, sehingga merupakan bahan baku yang
cukup potensial untuk pembuatan etanol (Sebayang, 2006). Kandungan gula
3
yang tinggi pada molase merupakan sumber karbon untuk metabolisme dan
pertumbuhan mikroba, sehingga dapat ditambahkan pada proses fermentasi.
Salah satu sumber karbohidrat yang dapat digunakan sebagai prebiotik yaitu
molase yang merupakan limbah dari hasil produksi gula tebu. Molase yang
merupakan sumber nutrisi bagi bakteri probiotik diharapkan dapat meningkatan
populasi bakteri probiotik sehingga dapat memaksimalkan kerja dari bakteri
probiotik sebagai agen bioremediasi (Sartika et al., 2012).
Sejauh ini belum ada penelitian mengenai khamir laut sebagai starter dalam
pembuatan hidrolisat protein dari tanaman azolla rebus dengan fermentasi dan
penambahan sumber karbon berupa molase, maka perlu adanya penelitian
mengenai hal tersebut. Dari paparan yang telah dijelaskan maka diperlukan
kajian yang membahas tentang pemanfaatan khamir laut sebagai biokatalisator
dalam pembuatan hidrolisat protein azolla rebus.
1.2 Rumusan Masalah
Tanaman azolla memiliki kandungan protein yang cukup besar, namun
pemanfaatan tanaman azolla selama ini kurang optimal sehingga diperlukan
adanya diversifikasi dalam pengolahan tanaman azolla, misalnya hidrolisat
protein tanaman azolla. Adanya pengolahan tanaman azolla menjadi hidrolisat
protein dengan menggunakan fermentasi berpeluang dalam penyediaan pangan
yang memiliki nilai nutrisi yang tinggi. Pemanfaatan khamir laut yang
mengandung berbagai enzim (protease) dalam fermentasi berpotensi untuk
meningkatkan kandungan protein dalam pembuatan hidrolisat protein tanaman
azolla. Penggunaan volume molase dan lama fermentasi yang tepat sangat
menentukan kualitas hidrolisat protein tanaman azolla yang akan didapatkan.
Dari uraian diatas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
4
Bagaimana pengaruh penambahan volume molase yang berbeda
terhadap karakteristik hidrolisat protein tanaman azolla rebus?
Bagaimana pengaruh lama fermentasi yang berbeda terhadap
karakteristik hidrolisat protein tanaman azolla rebus?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian tentang pengaruh penambahan volume molase
yang berbeda terhadap karakteristik hidrolisat protein tanaman azolla (Azolla
pinnata) rebus selama masa fermentasi dengan starter khamir laut adalah:
Untuk mendapatkan volume molase yang tepat terhadap karakteristik
hidrolisat protein tanaman azolla rebus.
Untuk mendapatkan lama fermentasi yang tepat terhadap karakteristik
hidrolisat protein tanaman azolla rebus.
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang mendasari penelitian ini adalah:
Diduga volume molase berpengaruh terhadap kualitas hidrolisat protein
tanaman azolla rebus.
Diduga lama fermentasi berpengaruh terhadap kualitas hidrolisat protein
tanaman azolla rebus.
5
1.5 Kegunaan penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam
penggunaan volume molase dan lama fermentasi yang berbeda dengan starter
khamir laut terhadap kualitas hidolisat protein tanaman azolla (Azolla pinnata)
rebus.
1.6 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Keamanan Hasil Perikanan,
Laboratorium Perekayasaan Hasil Perikanan, dan Laboratorium Biokimia dan
Nutrisi Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Pengujian
Mutu dan Keamanan Pangan, dan Laboratorium Sentral Ilmu Hayati, Universitas
Brawijaya, Malang, pada bulan Januari - September 2016.
6
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Azolla pinnata
Azolla merupakan jenis tanaman pakuan air yang hidup di lingkungan
perairan dan mempunyai sebaran yang cukup luas. Tumbuhan ini tumbuh di
selokan dan air yang menggenang. Azolla berkembang biak secara vegetatif dan
tumbuh banyak sekali. Reproduksi seksual tidak biasa dilakukan sebagai
perkembangbiakan. Paku-pakuan biasanya berbentuk hijau kusut pada air yang
berlebih dapat menjadi kemerahan merupakan akumulasi dari pigmen antosianin
(Rao, 1993)
Menurut Sudjana (2014), para ahli taksonomi menggolongkan Azolla pinnata
sebagai berikut :
Regnum : Plantae
Divisio : Pteridophyta
Classis : Pteridopsida
Ordo : Salviniales
Familia : Salviniaceae
Genus : Azolla
Species : Azolla pinnata
Tanaman Azolla memiliki ciri-ciri: batang dan cabang mengapung di air dan
bercabang yang susunannya saling tumpang tindih. Akar terdapat pada ruas
cabang permukaan batang dan memiliki rambut-rambut akar dan tudung ruas
berselubung yang dapat gugur karena usia tua, akar memberi sambungan besar
terhadap berat basah total tanaman. Setiap daun Azolla terdiri dari helai daun
bawah dan helai daun atas merupakan daun yang bilobus (bagian atas tebal)
dan warna hijau mengandung klorofil atas dan bawah yang kontak dengan
bagian air tipis warna merah muda karena tidak mengandung klorofil. Daun
azolla selalu bergerombol yang menutupi seluruh permukaan tanaman, helaian
7
daun bawah sebagian tenggelam dalam air dan sedikit klorofil sedangkan helaian
daun atas di atas permukaan air mengandung klorofil yang tebal (Hasbi, 2005).
Gambar 1. Paku Air (Azolla pinnata)
Kelebihan yang dimiliki oleh tanaman mata lele A. pinnata ialah kemampuannya
bersimbiosis dengan alga hijau-biru Anabaena azollae STRASSB. Mekanisme
simbiotik dari proses fiksasi nitrogen yang terjadi, dapat membuat tanah yang
ditumbuhi menjadi subur dan kaya akan nutrisi, khususnya
senyawa golongan nitrogen. Selain itu, tanaman ini memiliki berbagai kelebihan,
diantaranya menyerap limbah cair, bahan uji ekotoksikologi, dan salah satu
bahan pakan ternak yang mempunyai nilai nutrisi tinggi (Husna, 2008).
Alasan mengapa menggunakan tanaman Azolla sebagai bahan baku
pembuatan hidrolisat protein adalah karena memiliki kandungan nutrisi yang
tinggi terutama kandungan protein yang tinggi. Lumpkin (1984) dan Pannaker
(1988) menyatakan bahwa Azolla kaya dengan protein, total protein kasarnya
mencapai 25 – 30%, Basak et al. (2002) menyatakan hal serupa bahwa
kandungan protein kasar Azolla adalah 25,78 %. Komposisi kimia tanaman
Azolla utuh dapat dilihat pada Tabel 1.
8
Tabel 1. Komposisi kimia tanaman Azolla Komposisi %
Protein Kasar 21,58
Serat Kasar 17,86
Lemak Kasar 2,22
Abu
Kalsium
Posfor
23,94
1,63
0,56
Sumber: Askar, (2001)
Dari data diatas tanaman Azolla dapat digunakan sebagai produk yang dapat
dikonsumsi oleh manusia karena kandungan nutrisinya yang tinggi, salah
satunya yaitu diolah menjadi produk Hidrolisat Protein.
2.2 Fermentasi
Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan
anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk
respirasi anaerobik, Fermentasi juga dapat diartikan sebagai proses dimana
komponen - komponen kimiawi dihasilkan sebagai akibat adanya pertumbuhan
maupun metabolisme mikroba. (Apriwinda, 2013). Fermentasi merupakan salah
satu upaya untuk mengubah senyawa karbohidrat menjadi etanol dengan
bantuan mikroorganisme, fermentasi juga dapat dikatakan sebagai sutu proses
perubahan kimia yang disebabkan oleh aktivitas mikroba ataupun oleh aktivitas
enzim yang dihasilkan mikroba (Sebayang, 2006).
Pada proses fermentasi selalu berhubungan dengan lama waktu atau
lama waktu fermentasi, perbedaan waktu fermentasi dapat menghasilkan
perbedaan pada pertumbuhan mikroorganisme. Semakin lama waktu fermentasi
maka akan semakin banyak pula mikroorganisme yang tumbuh sampai nutrisi
9
pada media tersebut habis. Proses pemecahan karbohidrat dipengaruhi oleh
aktivitas mikroorganisme yang digunakan pada fermentasi (Hidayati et al., 2013).
Fermentasi hidrolisat protein kepala udang rebus dengan penambahan
khamir laut dan molase sebagai substrat dilakukan selama 12 hari (Budy, 2014).
Pada penelitian hidrolisat protein tanaman Azolla rebus dengan volume molase
rebus difermentasi dengan menggunakan waktu 12 hari.
Pada proses fermentasi terjadi penguraian senyawa dari bahan-bahan
protein kompleks. Proses fermentasi yang terjadi pada ikan merupakan proses
penguraian secara biologis atau semibiologis terhadap senyawa-senyawa
kompleks terutama protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana,
dimana protein ikan akan terhidrolisis menjadi asam-asam amino dan peptida
yang akan diurai lanjut menjadi komponen-komponen lain yang berperan dalam
pembentukan cita rasa (Adawyah, 2007).
2.3 Khamir Laut
Khamir adalah organisme seluler dari golongan jamur, bersifat kemoorganotrof,
bereproduksi seksual dengan spora dan aseksual dengan pertunasan atau
pembelahan. Kultur khamir merupakan produk uniseluler yang dikeringkan
beserta dengan substratnya yang dapat digunakan sebagai pakan. Setelah
sampai pada alat pencernaan, khamir dapat hidup dan aktif kembali apabila
kondisi sesuai dengan kehidupannya. Dalam saluran pencernaan khamir mampu
memproduksi berbagai enzim protease (Febriani, 2006).
Khamir laut termasuk dalam salah satu jenis khamir yang diisolasi langsung dari
laut, yang merupakan organisme uniseluler dari golongan jamur, yang memiliki
sifat kemoorganotrof, bereproduksi seksual dengan spora dan aseksual dengan
pertunasan atau pembelahan (Febriani, 2010). Khamir laut juga termasuk dalam
golongan fungi dan dibedakan bentuknya uniseluler sebagai sel tunggal. Khamir
10
dapat tumbuh didalam larutan yang pekat, seperti gula dan garam serta lebih
menyukai suasana asam, serta adanya oksigen dilingkungan hidupnya (Baila,
2004). Gambar khamir laut dapat dilihat pada Gambar 2.
Khamir laut dapat menghasilkan berbagai enzim seperti proteinase, amilase,
deaminase, sukrose, maltose, fosfolipase, dan fosfatase, sehingga dapat
berperan dalam pembuatan hidrolisat protein (Sukoso, 2012). Adapun
kandungan nutrisi, asam amino, asam lemak, dan mineral kultur khamir laut
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Kimia Khamir Laut Kandungan Presentase (%) mg/100gr
Analisa Proksimat Bahan kering 71,85 -
Protein 28,29 -
Lemak 0,34 -
BETN 4,33 -
Abu 66,09 -
Asam amino essensial Arginin 0,206 -
Histidin 0,262 -
Isoleucin 0,310 -
Leucin 0,318 -
Lisin 0,463 -
Threonin 0,187 -
Gambar 2. Khamir Laut
11
Metionin+sistin 0,773 -
Valin 0,342 -
Phenylananin 0,274 -
Asam lemak Oleat 14,447 -
Linoleat 7,469 -
Linolenat 0,875 -
Stearat 28,726 -
Laurat 1,842 -
Palmitat 17,437 -
P 2,276
Cl 7,452,459
Zn 266,241
Mg 0,09 -
Sumber: Febriani, 2010
Didalam dinding sel khamir terdapat komponen-komponen seperti glukan
khamir, mannan, protein, kitin, dan lipid. Protein pada dinding sel khamir tersebut
jumlahnya relatif konstan yaitu: 6% - *% dari berat kering dinding sel. Protein ini
juga termasuk dalam enzim protease yang dapat memecah substrat (Fardiaz,
1989).
Peningkatan jumlah massa mikroba pada proses fermentasi dapat
menyebabkan meningkatnya kandungan protein pada produk fermentasi yang
merupakan refleksi dari jumlah massas sel. Mikroka dapat menghasilkan enzim
yang mendegradasis senyawa-senyawa komplek menjadi lebih sederhana serta
mensintesis protein. Jenis khamir laut dapat meningkatkan kandungan protein
yang ada didalam bahan dengan adanya aktifitas enzimatis dari enzim protease,
serta dengan lamanya waktu fermentasi memberikan kesempatan pada khamir
untuk tumbuh dan berkembang sehingga mampu meningkatkan massa mikrobial
protein (Anggorowati et al., 2012).
12
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan khamir laut
meliputi Faktor intrinsik yaitu pH, aktivitas air, kamampuan mengoksidasi-reduksi,
kandungan nutrien, dan bahan karbon. Sedangkan faktor ekstrinsiknya yaitu
suhu penyimpanan, kelembapan, dan tekanan gas (Rustan 2003).
Mikroorganisme yang digunakan dalam proses fermentasi akan
memberikan hasil optimum apabila ditambahkan pada substrat ketika memasuki
fase log. Fase log yaitu fase dimana mikroba membelah dengan cepat dan
konstan dan pada fase ini kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh
media tempat tumbuhnya seperti pH dan kandungan nutrien, juga kondisi
lingkungan termasuk suhu dan kelembapan udara (Yuliana, 2008). Pada waktu
pembiakan 72 jam ke-72 khamir laut menunjukkan pertumbuhan jumlah sel
terbanyak (Purwitasari et al., 2004). Sedangkan pada hari ke-3 khamir laut telah
memasuki fase stationer yaitu tidak melakukan pembiakan sel lagi (Kusmiati,
2011).
Khamir laut memerlukan substrat dan lingkungan yang sesuai untuk
pertumbuhan hidupnya dan perkembangbiakannnya. Salah satunya yaitu unsur
dasar yang dibutuhkan khamir yaitu sumber karbon dan karbon yang berasal dari
gula pereduksi, selain itu sumber karbon yang digunakan harus memiliki
kandungan yang cukup tinggi dan sesuai (Sari et al., 2014). Selain itu, khamir
laut juga dapat berkembang biak dalam gula sederhana seperti glukosa ataupun
gula kompleks disakarida yaitu sukrosa (Ahmad, 2005).
13
2.4 Molase
Molase merupakan limbah yang berasal dari pengolahan tebu yang
berbentuk cairan yang kental, dan berwarna coklat tua kehitaman, memiliki
aroma yang berbau manis atau harum khas. Molase termasuk medium
pertumbuhan kompleks yang kaya akan sukrosa, gula yang umumnya dapat
difermentasi oleh khamir laut adalah glukosa, galaktosa, maltosa, sukrosa,
laktosa, trehalosa, melibiosa, dan rafinosa (Noviati, 2007). Pemanfaatan molase
selain digunakan untuk memperoleh etanol juga akan meningkatkan nilai
ekonomis molase. Molase mengandung antara lain : Sukrosa 55%, Gula
mereduksi 18,27%, Abu sulfat 12,74%, Pol 29,25%, Brick 81,27% (Yusma,
1999). Komposisi kimia molase dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi kimia molase
Komposisi Kimia
Kandungan (%)
Molase Molase Rebus
Air 66,20 64,63
Protein 23,23 24,64
Karbohidrat 6,36 5,73
Abu 4,13 4,95
Kandungan Gula
Lemak
Fruktosa
Gula reduksi
Sukrosa
0,08
4,5652
1,5602
0,5299
0,05
3,9174
2,1615
0,3962
Asam Amino L-Asam Glutamat 2,912 3,594
L-Prolin 0,640 0,350
L-Alanin 0,610 0,512
L-Asam Aspartat 0,405 0,669
L-Serin 0,069 0,234
L-Glisin 0,051 0,187
L-Valin 0,046 0,124
14
L-Lisin 0,035 0,966
L-Leusin 0,027 0,121
L-Isoleusin 0,024 0,084
L-Treonin 0,021 0,112
L-Tirosin 0,015 0,060
L-Histidin 0,014 0,074
L-Fenilalanin 0,009 0,073
L-Metionin 0,008 0,034
L-Arginin 0,007 0,107
L-Sistein - 0,081
Sumber: (Rohim, 2014)
Molase dapat digunakan sebagai sumber karbon yang paling disukai oleh khamir
laut dibandingkan dengan glukosa, sukroso dan air beras. Molase (jumlah total
gula 9 mg/mL) yang ditambah dengan jumlah pepton (0,75%), ekstrak yeast
(0,5%), dan MgSO4 (0,25%), yang dapat mendukung pertumbuhan maksimum
dari strain jenis Debaryomyces hansenii (S8), Debaryomyces hansenii (S100),
Candida sake (S165), dan Candida tropicalis (S186) (Budy, 2014).
Molase lebih umum digunakan sebagai bahan baku industri etanol karena tidak
memerlukan proses awal terlebih dahulu seperti bahan berpati atau berselulosa.
Namun, penggunaan konsentrasi gula reduksi dalam molase sebagai sumber
karbon dan nutrisi tambahan berupa urea sebagai sumber nitrogen sangat
bervariasi pada tiap industri yang memanfaatkannya, jadi manfaat dari molase
terhadap pertumbuhan khamir yaitu sebagai sumber nutrisi dan sumber karbon
(Wiratno et al., 2008).
Pada proses pembuatan hidrolisat protein kepala udang vannamei secara
enzimatis dengan teknik fermentasi volume molase yang digunakan sebanyak 3
kali perlakuan yaitu 100 mL, 200 mL, dan 300 mL. Penggunaan volume molase
15
ini telah digandakan dua kali lipat dari volume 50 mL, 100 mL dan 150 mL
(Fathony, 2014).
Penambahan sumber karbohidrat seperti molase ini dimaksudkan untuk
mempercepat terbentuknya asam laktat serta menyediakan sumber energi yang
cepat terbentuk dan cepat tersedia bagi mikroba tersebut. Komposisi nutrisi
molase dalam 100% bahan kering adalah 0,3% lemak kasar, 0,4% serat kasar,
3,94% protein kasar dan 11% abu (Sutardi,1981).
2.5 Perebusan
Perebusan adalah proses pemasakan dengan menggunakan suhu panas (±
100ºC), dan termasuk dalam kategori pemanasan basah karena menggunakan
media air. Pemanasan dan air merupakan cara pengolahan yang dapat
menurunkan sifat sianogenik karena HCN dapat menguap dengan pemanasan
dan HCN juga luruh dengan adanya air. Melalui pemanasan enzim yang
bertanggung jawab terhadap pemecahan linamarin menjadi inaktif dan hidrogen
sianida tidak terbentuk (Ardiansari, 2012).
Pemasakan dengan melibatkan panas merupakan salah satu proses pengolahan
pangan yang banyak dilakukan baik pada skala rumah tangga atau skala
industri. Beberapa cara pemasakan yang umum dilakukan adalah perebusan,
pengukusan dan penumisan. Perebusan adalah proses pemasakan dalam air
mendidih sekitar 1000C, yang dimana air sebagai media penghantar panas.
Pengukusan merupakan proses pemasakan dengan medium uap air panas yang
dihasilkan oleh air mendidih, sedangkan penumisan merupakan proses
pemasakan dengan menggunakan sedikit minyak dan air (Aisyah, 2014).
Bahan makanan mengandung molekul-molekul berbagai senyawa yang terikat
satu sama lain melalui ikatan hidrogen. Proses perebusan atau pemanasan
dengan media air dapat mengurangi daya tarik-menarik antara molekul-molekul
16
air dan memberikan cukup energi kepada molekul-molekul air tersebut sehingga
dapat mengatasi daya tarik menarik antar molekul bahan pangan tersebut.
Perebusan juga dapat memberikan pengaruh dalam perubahan komponen kimia
dari molase, dimana molase merupakan hasil samping dari pembuatan gula
sehingga tinggi akan kandungan sukrosa. Pada saat perebusan molase, setiap
molekul sukrosa akan dipecah menjadi glukosa dan fruktosa yang disebut
dengan gula invert (Winarno, 2004).
2.6 Hidrolisat Protein Ikan
Hidrolisat protein ikan (HPI) adalah protein ikan yang telah terurai menjadi
turunan-turunan protein karena adanya proses hidrolisis oleh enzim asam
ataupun basa (Haslina, 2004). Hidrolisis protein mengalami degradasi hidrolitik
dengan asam, basa, atau dengan enzim proteolitik yang menghasilkan produk
berupa asam amino dan peptida. Pengunaan enzim dalam menghidrolisis protein
dianggap paling aman dan menguntungkan. Hal ini disebabkan kemampuan
enzim proteolitik dalam menghidrolisis protein dapat menghasilkan produk
hidrolisat yang terhindar dari perubahan dan kerusakan produk (Kurniawan,
2012).
Hidrolisat protein ikan merupakan produk yang dihasilkan dari penguraian
protein ikan menjadi senyawa-senyawa berantai pendek karena adanya proses
hidrolisis baik oleh enzim, asam maupun basa (Bernadetta et al., 2012) Pada
umumnya hidrolisat protein digunakan untuk memperbaiki karakteristik berbagai
produk pangan. Manfaat hidrolisat protein yaitu sebagai penyedap rasa, sebagai
lanjutan untuk isolasi asam amino, serta untuk pengobatan (Purbasari, 2008).
Faktor yang mempengaruhi terhadap kecepatan hidrolisis dan kekhasan
produk pada proses pembuatan hidrolisat protein yaitu, suhu, waktu hidrolisis,
dan konsentrasi enzim yang ditambahkan, sedangkan tingkat kerusakan asam
17
amino dipengaruhi oleh kemurnian protein dari bahan awal, serta kondisi dan
jenis bahan penghidrolisis yang digunakan. Lama proses hidrolisis merupakan
faktor yang paling berpengaruh terhadap mutu hidrolisat yang dihasilkan
(Haslina, 2004).
Hidrolisat protein dapat berbentuk cair, pasta, atau tepung yang bersifat
higroskopis. Produk hidrolisat mempunyai kelarutan tinggi pada air, kapasitas
emulsinya baik, serta kemampuan mengembang besar (Purbasari, 2008). Produk
hidrolisat protein memikiki rasa pahit yang merupakan ciri khas produk HPI yang
disebabkan oleh peptida berantai pendek sebagai produk hasil dari pemecahan
protein. Sedangkan rasa manis pada HPI disebabkan oleh asam amino glisin
selama hidrolisis, sedangkan rasa gurih yang dihasilkan disebabkan oleh
pembentukan oligipeptida yang tinggi dari asam glutamat selama proses
hidrolisis (Budy, 2014).
Semakin lama fermentasi maka semakin banyak gula yang dapat digunakan oleh
Saccharomyces cerevisiae. Penurunan total gula ini terjadi karena adanya
penggunaan glukosa oleh Saccharomyces cerevisiae untuk metabolisme.
Saccharomyces cerevisiae mampu menggunakan sejumlah gula diantaranya
adalah glukosa. Glukosa digunakan sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhan
khamir. Pengurangan kadar total gula di dalam medium fermentasi terjadi akibat
adanya penggunaan sumber karbon oleh Saccharomyces cerevisiae. Untuk
mempertahankan hidup, S. cerevisiae memerlukan energi diantaranya ATP
(Adenosin Triphosphat) dan untuk mendapatkannya maka S. cerevisiae
mengkonsumsi gula yang dapat berupa glukosa dan fruktosa serta gula
sederhana lainnya (Utami dan kindriari, 2008).
Pembentukan dan stabilitas busa dapat dipengaruhi oleh pH, suhu,
garam, gula, lemak dan sumber protein. Pada volume dan stabilitas busa akan
menjadi semakin bertambah dengan meningkatnya konsentrasi protein yang
18
diuji. Daya buih yang terbentuk pada konsentrasi bersifat padat dan stabil karena
lapisan permukaan lebih tebal. (Nurhayati et al., 2014). Didalam produk hidrolisat
protein daya buih sangat dipengaruhi oleh jumlah protein yang terhidrolisis
selama proses, tetapi tidak dapat untuk menentukan stabilitas buih atau
sebaliknya (Koesoemawardhani, 2011). Pada produk hidrolisat protein selain
daya buih karakteristik pada hidrolisat protein yaitu kapasitas emulsi.
Kapasitas emulsi pada dasarnya adalah suatu sistem yang tidak stabil,
karena masing-masing partikel mempunyai kecenderungan untuk bergabung
dengan partikel sesama lainnya membentuk suatu agregat yang akhirnya dapat
mengakibatkan emulsi tersebut pecah (Rita, 2011). Kestabilan emulsi akan lebih
baik pada derajat hidrolisis yang rendah. Hal ini karena peptida panjang yang
terserap dalam lapisan minyak dan memicu terbentuknya tetesan minyak yang
kecil, akibatnya kestabilan emulsi lebih tinggi. Perbedaan stabilitas emulsi pada
hidrolisat yang dihasilkan oleh masing-masing enzim yang digunakan bergantung
pada sifat spesifik enzim didalam memecah protein dan gugus aktifnya (Gbogouri
et al., 2004).
6
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Azolla pinnata
Azolla merupakan jenis tanaman pakuan air yang hidup di lingkungan
perairan dan mempunyai sebaran yang cukup luas. Tumbuhan ini tumbuh di
selokan dan air yang menggenang. Azolla berkembang biak secara vegetatif dan
tumbuh banyak sekali. Reproduksi seksual tidak biasa dilakukan sebagai
perkembangbiakan. Paku-pakuan biasanya berbentuk hijau kusut pada air yang
berlebih dapat menjadi kemerahan merupakan akumulasi dari pigmen antosianin
(Rao, 1993)
Menurut Sudjana (2014), para ahli taksonomi menggolongkan Azolla pinnata
sebagai berikut :
Regnum : Plantae
Divisio : Pteridophyta
Classis : Pteridopsida
Ordo : Salviniales
Familia : Salviniaceae
Genus : Azolla
Species : Azolla pinnata
Tanaman Azolla memiliki ciri-ciri: batang dan cabang mengapung di air dan
bercabang yang susunannya saling tumpang tindih. Akar terdapat pada ruas
cabang permukaan batang dan memiliki rambut-rambut akar dan tudung ruas
berselubung yang dapat gugur karena usia tua, akar memberi sambungan besar
terhadap berat basah total tanaman. Setiap daun Azolla terdiri dari helai daun
bawah dan helai daun atas merupakan daun yang bilobus (bagian atas tebal)
dan warna hijau mengandung klorofil atas dan bawah yang kontak dengan
bagian air tipis warna merah muda karena tidak mengandung klorofil. Daun
azolla selalu bergerombol yang menutupi seluruh permukaan tanaman, helaian
7
daun bawah sebagian tenggelam dalam air dan sedikit klorofil sedangkan helaian
daun atas di atas permukaan air mengandung klorofil yang tebal (Hasbi, 2005).
Gambar 1. Paku Air (Azolla pinnata)
Kelebihan yang dimiliki oleh tanaman mata lele A. pinnata ialah kemampuannya
bersimbiosis dengan alga hijau-biru Anabaena azollae STRASSB. Mekanisme
simbiotik dari proses fiksasi nitrogen yang terjadi, dapat membuat tanah yang
ditumbuhi menjadi subur dan kaya akan nutrisi, khususnya
senyawa golongan nitrogen. Selain itu, tanaman ini memiliki berbagai kelebihan,
diantaranya menyerap limbah cair, bahan uji ekotoksikologi, dan salah satu
bahan pakan ternak yang mempunyai nilai nutrisi tinggi (Husna, 2008).
Alasan mengapa menggunakan tanaman Azolla sebagai bahan baku
pembuatan hidrolisat protein adalah karena memiliki kandungan nutrisi yang
tinggi terutama kandungan protein yang tinggi. Lumpkin (1984) dan Pannaker
(1988) menyatakan bahwa Azolla kaya dengan protein, total protein kasarnya
mencapai 25 – 30%, Basak et al. (2002) menyatakan hal serupa bahwa
kandungan protein kasar Azolla adalah 25,78 %. Komposisi kimia tanaman
Azolla utuh dapat dilihat pada Tabel 1.
8
Tabel 1. Komposisi kimia tanaman Azolla Komposisi %
Protein Kasar 21,58
Serat Kasar 17,86
Lemak Kasar 2,22
Abu
Kalsium
Posfor
23,94
1,63
0,56
Sumber: Askar, (2001)
Dari data diatas tanaman Azolla dapat digunakan sebagai produk yang dapat
dikonsumsi oleh manusia karena kandungan nutrisinya yang tinggi, salah
satunya yaitu diolah menjadi produk Hidrolisat Protein.
2.2 Fermentasi
Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan
anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk
respirasi anaerobik, Fermentasi juga dapat diartikan sebagai proses dimana
komponen - komponen kimiawi dihasilkan sebagai akibat adanya pertumbuhan
maupun metabolisme mikroba. (Apriwinda, 2013). Fermentasi merupakan salah
satu upaya untuk mengubah senyawa karbohidrat menjadi etanol dengan
bantuan mikroorganisme, fermentasi juga dapat dikatakan sebagai sutu proses
perubahan kimia yang disebabkan oleh aktivitas mikroba ataupun oleh aktivitas
enzim yang dihasilkan mikroba (Sebayang, 2006).
Pada proses fermentasi selalu berhubungan dengan lama waktu atau
lama waktu fermentasi, perbedaan waktu fermentasi dapat menghasilkan
perbedaan pada pertumbuhan mikroorganisme. Semakin lama waktu fermentasi
maka akan semakin banyak pula mikroorganisme yang tumbuh sampai nutrisi
9
pada media tersebut habis. Proses pemecahan karbohidrat dipengaruhi oleh
aktivitas mikroorganisme yang digunakan pada fermentasi (Hidayati et al., 2013).
Fermentasi hidrolisat protein kepala udang rebus dengan penambahan
khamir laut dan molase sebagai substrat dilakukan selama 12 hari (Budy, 2014).
Pada penelitian hidrolisat protein tanaman Azolla rebus dengan volume molase
rebus difermentasi dengan menggunakan waktu 12 hari.
Pada proses fermentasi terjadi penguraian senyawa dari bahan-bahan
protein kompleks. Proses fermentasi yang terjadi pada ikan merupakan proses
penguraian secara biologis atau semibiologis terhadap senyawa-senyawa
kompleks terutama protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana,
dimana protein ikan akan terhidrolisis menjadi asam-asam amino dan peptida
yang akan diurai lanjut menjadi komponen-komponen lain yang berperan dalam
pembentukan cita rasa (Adawyah, 2007).
2.3 Khamir Laut
Khamir adalah organisme seluler dari golongan jamur, bersifat kemoorganotrof,
bereproduksi seksual dengan spora dan aseksual dengan pertunasan atau
pembelahan. Kultur khamir merupakan produk uniseluler yang dikeringkan
beserta dengan substratnya yang dapat digunakan sebagai pakan. Setelah
sampai pada alat pencernaan, khamir dapat hidup dan aktif kembali apabila
kondisi sesuai dengan kehidupannya. Dalam saluran pencernaan khamir mampu
memproduksi berbagai enzim protease (Febriani, 2006).
Khamir laut termasuk dalam salah satu jenis khamir yang diisolasi langsung dari
laut, yang merupakan organisme uniseluler dari golongan jamur, yang memiliki
sifat kemoorganotrof, bereproduksi seksual dengan spora dan aseksual dengan
pertunasan atau pembelahan (Febriani, 2010). Khamir laut juga termasuk dalam
golongan fungi dan dibedakan bentuknya uniseluler sebagai sel tunggal. Khamir
10
dapat tumbuh didalam larutan yang pekat, seperti gula dan garam serta lebih
menyukai suasana asam, serta adanya oksigen dilingkungan hidupnya (Baila,
2004). Gambar khamir laut dapat dilihat pada Gambar 2.
Khamir laut dapat menghasilkan berbagai enzim seperti proteinase, amilase,
deaminase, sukrose, maltose, fosfolipase, dan fosfatase, sehingga dapat
berperan dalam pembuatan hidrolisat protein (Sukoso, 2012). Adapun
kandungan nutrisi, asam amino, asam lemak, dan mineral kultur khamir laut
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Kimia Khamir Laut Kandungan Presentase (%) mg/100gr
Analisa Proksimat Bahan kering 71,85 -
Protein 28,29 -
Lemak 0,34 -
BETN 4,33 -
Abu 66,09 -
Asam amino essensial Arginin 0,206 -
Histidin 0,262 -
Isoleucin 0,310 -
Leucin 0,318 -
Lisin 0,463 -
Threonin 0,187 -
Gambar 2. Khamir Laut
11
Metionin+sistin 0,773 -
Valin 0,342 -
Phenylananin 0,274 -
Asam lemak Oleat 14,447 -
Linoleat 7,469 -
Linolenat 0,875 -
Stearat 28,726 -
Laurat 1,842 -
Palmitat 17,437 -
P 2,276
Cl 7,452,459
Zn 266,241
Mg 0,09 -
Sumber: Febriani, 2010
Didalam dinding sel khamir terdapat komponen-komponen seperti glukan
khamir, mannan, protein, kitin, dan lipid. Protein pada dinding sel khamir tersebut
jumlahnya relatif konstan yaitu: 6% - *% dari berat kering dinding sel. Protein ini
juga termasuk dalam enzim protease yang dapat memecah substrat (Fardiaz,
1989).
Peningkatan jumlah massa mikroba pada proses fermentasi dapat
menyebabkan meningkatnya kandungan protein pada produk fermentasi yang
merupakan refleksi dari jumlah massas sel. Mikroka dapat menghasilkan enzim
yang mendegradasis senyawa-senyawa komplek menjadi lebih sederhana serta
mensintesis protein. Jenis khamir laut dapat meningkatkan kandungan protein
yang ada didalam bahan dengan adanya aktifitas enzimatis dari enzim protease,
serta dengan lamanya waktu fermentasi memberikan kesempatan pada khamir
untuk tumbuh dan berkembang sehingga mampu meningkatkan massa mikrobial
protein (Anggorowati et al., 2012).
12
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan khamir laut
meliputi Faktor intrinsik yaitu pH, aktivitas air, kamampuan mengoksidasi-reduksi,
kandungan nutrien, dan bahan karbon. Sedangkan faktor ekstrinsiknya yaitu
suhu penyimpanan, kelembapan, dan tekanan gas (Rustan 2003).
Mikroorganisme yang digunakan dalam proses fermentasi akan
memberikan hasil optimum apabila ditambahkan pada substrat ketika memasuki
fase log. Fase log yaitu fase dimana mikroba membelah dengan cepat dan
konstan dan pada fase ini kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh
media tempat tumbuhnya seperti pH dan kandungan nutrien, juga kondisi
lingkungan termasuk suhu dan kelembapan udara (Yuliana, 2008). Pada waktu
pembiakan 72 jam ke-72 khamir laut menunjukkan pertumbuhan jumlah sel
terbanyak (Purwitasari et al., 2004). Sedangkan pada hari ke-3 khamir laut telah
memasuki fase stationer yaitu tidak melakukan pembiakan sel lagi (Kusmiati,
2011).
Khamir laut memerlukan substrat dan lingkungan yang sesuai untuk
pertumbuhan hidupnya dan perkembangbiakannnya. Salah satunya yaitu unsur
dasar yang dibutuhkan khamir yaitu sumber karbon dan karbon yang berasal dari
gula pereduksi, selain itu sumber karbon yang digunakan harus memiliki
kandungan yang cukup tinggi dan sesuai (Sari et al., 2014). Selain itu, khamir
laut juga dapat berkembang biak dalam gula sederhana seperti glukosa ataupun
gula kompleks disakarida yaitu sukrosa (Ahmad, 2005).
13
2.4 Molase
Molase merupakan limbah yang berasal dari pengolahan tebu yang
berbentuk cairan yang kental, dan berwarna coklat tua kehitaman, memiliki
aroma yang berbau manis atau harum khas. Molase termasuk medium
pertumbuhan kompleks yang kaya akan sukrosa, gula yang umumnya dapat
difermentasi oleh khamir laut adalah glukosa, galaktosa, maltosa, sukrosa,
laktosa, trehalosa, melibiosa, dan rafinosa (Noviati, 2007). Pemanfaatan molase
selain digunakan untuk memperoleh etanol juga akan meningkatkan nilai
ekonomis molase. Molase mengandung antara lain : Sukrosa 55%, Gula
mereduksi 18,27%, Abu sulfat 12,74%, Pol 29,25%, Brick 81,27% (Yusma,
1999). Komposisi kimia molase dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi kimia molase
Komposisi Kimia
Kandungan (%)
Molase Molase Rebus
Air 66,20 64,63
Protein 23,23 24,64
Karbohidrat 6,36 5,73
Abu 4,13 4,95
Kandungan Gula
Lemak
Fruktosa
Gula reduksi
Sukrosa
0,08
4,5652
1,5602
0,5299
0,05
3,9174
2,1615
0,3962
Asam Amino L-Asam Glutamat 2,912 3,594
L-Prolin 0,640 0,350
L-Alanin 0,610 0,512
L-Asam Aspartat 0,405 0,669
L-Serin 0,069 0,234
L-Glisin 0,051 0,187
L-Valin 0,046 0,124
14
L-Lisin 0,035 0,966
L-Leusin 0,027 0,121
L-Isoleusin 0,024 0,084
L-Treonin 0,021 0,112
L-Tirosin 0,015 0,060
L-Histidin 0,014 0,074
L-Fenilalanin 0,009 0,073
L-Metionin 0,008 0,034
L-Arginin 0,007 0,107
L-Sistein - 0,081
Sumber: (Rohim, 2014)
Molase dapat digunakan sebagai sumber karbon yang paling disukai oleh khamir
laut dibandingkan dengan glukosa, sukroso dan air beras. Molase (jumlah total
gula 9 mg/mL) yang ditambah dengan jumlah pepton (0,75%), ekstrak yeast
(0,5%), dan MgSO4 (0,25%), yang dapat mendukung pertumbuhan maksimum
dari strain jenis Debaryomyces hansenii (S8), Debaryomyces hansenii (S100),
Candida sake (S165), dan Candida tropicalis (S186) (Budy, 2014).
Molase lebih umum digunakan sebagai bahan baku industri etanol karena tidak
memerlukan proses awal terlebih dahulu seperti bahan berpati atau berselulosa.
Namun, penggunaan konsentrasi gula reduksi dalam molase sebagai sumber
karbon dan nutrisi tambahan berupa urea sebagai sumber nitrogen sangat
bervariasi pada tiap industri yang memanfaatkannya, jadi manfaat dari molase
terhadap pertumbuhan khamir yaitu sebagai sumber nutrisi dan sumber karbon
(Wiratno et al., 2008).
Pada proses pembuatan hidrolisat protein kepala udang vannamei secara
enzimatis dengan teknik fermentasi volume molase yang digunakan sebanyak 3
kali perlakuan yaitu 100 mL, 200 mL, dan 300 mL. Penggunaan volume molase
15
ini telah digandakan dua kali lipat dari volume 50 mL, 100 mL dan 150 mL
(Fathony, 2014).
Penambahan sumber karbohidrat seperti molase ini dimaksudkan untuk
mempercepat terbentuknya asam laktat serta menyediakan sumber energi yang
cepat terbentuk dan cepat tersedia bagi mikroba tersebut. Komposisi nutrisi
molase dalam 100% bahan kering adalah 0,3% lemak kasar, 0,4% serat kasar,
3,94% protein kasar dan 11% abu (Sutardi,1981).
2.5 Perebusan
Perebusan adalah proses pemasakan dengan menggunakan suhu panas (±
100ºC), dan termasuk dalam kategori pemanasan basah karena menggunakan
media air. Pemanasan dan air merupakan cara pengolahan yang dapat
menurunkan sifat sianogenik karena HCN dapat menguap dengan pemanasan
dan HCN juga luruh dengan adanya air. Melalui pemanasan enzim yang
bertanggung jawab terhadap pemecahan linamarin menjadi inaktif dan hidrogen
sianida tidak terbentuk (Ardiansari, 2012).
Pemasakan dengan melibatkan panas merupakan salah satu proses pengolahan
pangan yang banyak dilakukan baik pada skala rumah tangga atau skala
industri. Beberapa cara pemasakan yang umum dilakukan adalah perebusan,
pengukusan dan penumisan. Perebusan adalah proses pemasakan dalam air
mendidih sekitar 1000C, yang dimana air sebagai media penghantar panas.
Pengukusan merupakan proses pemasakan dengan medium uap air panas yang
dihasilkan oleh air mendidih, sedangkan penumisan merupakan proses
pemasakan dengan menggunakan sedikit minyak dan air (Aisyah, 2014).
Bahan makanan mengandung molekul-molekul berbagai senyawa yang terikat
satu sama lain melalui ikatan hidrogen. Proses perebusan atau pemanasan
dengan media air dapat mengurangi daya tarik-menarik antara molekul-molekul
16
air dan memberikan cukup energi kepada molekul-molekul air tersebut sehingga
dapat mengatasi daya tarik menarik antar molekul bahan pangan tersebut.
Perebusan juga dapat memberikan pengaruh dalam perubahan komponen kimia
dari molase, dimana molase merupakan hasil samping dari pembuatan gula
sehingga tinggi akan kandungan sukrosa. Pada saat perebusan molase, setiap
molekul sukrosa akan dipecah menjadi glukosa dan fruktosa yang disebut
dengan gula invert (Winarno, 2004).
2.6 Hidrolisat Protein Ikan
Hidrolisat protein ikan (HPI) adalah protein ikan yang telah terurai menjadi
turunan-turunan protein karena adanya proses hidrolisis oleh enzim asam
ataupun basa (Haslina, 2004). Hidrolisis protein mengalami degradasi hidrolitik
dengan asam, basa, atau dengan enzim proteolitik yang menghasilkan produk
berupa asam amino dan peptida. Pengunaan enzim dalam menghidrolisis protein
dianggap paling aman dan menguntungkan. Hal ini disebabkan kemampuan
enzim proteolitik dalam menghidrolisis protein dapat menghasilkan produk
hidrolisat yang terhindar dari perubahan dan kerusakan produk (Kurniawan,
2012).
Hidrolisat protein ikan merupakan produk yang dihasilkan dari penguraian
protein ikan menjadi senyawa-senyawa berantai pendek karena adanya proses
hidrolisis baik oleh enzim, asam maupun basa (Bernadetta et al., 2012) Pada
umumnya hidrolisat protein digunakan untuk memperbaiki karakteristik berbagai
produk pangan. Manfaat hidrolisat protein yaitu sebagai penyedap rasa, sebagai
lanjutan untuk isolasi asam amino, serta untuk pengobatan (Purbasari, 2008).
Faktor yang mempengaruhi terhadap kecepatan hidrolisis dan kekhasan
produk pada proses pembuatan hidrolisat protein yaitu, suhu, waktu hidrolisis,
dan konsentrasi enzim yang ditambahkan, sedangkan tingkat kerusakan asam
17
amino dipengaruhi oleh kemurnian protein dari bahan awal, serta kondisi dan
jenis bahan penghidrolisis yang digunakan. Lama proses hidrolisis merupakan
faktor yang paling berpengaruh terhadap mutu hidrolisat yang dihasilkan
(Haslina, 2004).
Hidrolisat protein dapat berbentuk cair, pasta, atau tepung yang bersifat
higroskopis. Produk hidrolisat mempunyai kelarutan tinggi pada air, kapasitas
emulsinya baik, serta kemampuan mengembang besar (Purbasari, 2008). Produk
hidrolisat protein memikiki rasa pahit yang merupakan ciri khas produk HPI yang
disebabkan oleh peptida berantai pendek sebagai produk hasil dari pemecahan
protein. Sedangkan rasa manis pada HPI disebabkan oleh asam amino glisin
selama hidrolisis, sedangkan rasa gurih yang dihasilkan disebabkan oleh
pembentukan oligipeptida yang tinggi dari asam glutamat selama proses
hidrolisis (Budy, 2014).
Semakin lama fermentasi maka semakin banyak gula yang dapat digunakan oleh
Saccharomyces cerevisiae. Penurunan total gula ini terjadi karena adanya
penggunaan glukosa oleh Saccharomyces cerevisiae untuk metabolisme.
Saccharomyces cerevisiae mampu menggunakan sejumlah gula diantaranya
adalah glukosa. Glukosa digunakan sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhan
khamir. Pengurangan kadar total gula di dalam medium fermentasi terjadi akibat
adanya penggunaan sumber karbon oleh Saccharomyces cerevisiae. Untuk
mempertahankan hidup, S. cerevisiae memerlukan energi diantaranya ATP
(Adenosin Triphosphat) dan untuk mendapatkannya maka S. cerevisiae
mengkonsumsi gula yang dapat berupa glukosa dan fruktosa serta gula
sederhana lainnya (Utami dan kindriari, 2008).
Pembentukan dan stabilitas busa dapat dipengaruhi oleh pH, suhu,
garam, gula, lemak dan sumber protein. Pada volume dan stabilitas busa akan
menjadi semakin bertambah dengan meningkatnya konsentrasi protein yang
18
diuji. Daya buih yang terbentuk pada konsentrasi bersifat padat dan stabil karena
lapisan permukaan lebih tebal. (Nurhayati et al., 2014). Didalam produk hidrolisat
protein daya buih sangat dipengaruhi oleh jumlah protein yang terhidrolisis
selama proses, tetapi tidak dapat untuk menentukan stabilitas buih atau
sebaliknya (Koesoemawardhani, 2011). Pada produk hidrolisat protein selain
daya buih karakteristik pada hidrolisat protein yaitu kapasitas emulsi.
Kapasitas emulsi pada dasarnya adalah suatu sistem yang tidak stabil,
karena masing-masing partikel mempunyai kecenderungan untuk bergabung
dengan partikel sesama lainnya membentuk suatu agregat yang akhirnya dapat
mengakibatkan emulsi tersebut pecah (Rita, 2011). Kestabilan emulsi akan lebih
baik pada derajat hidrolisis yang rendah. Hal ini karena peptida panjang yang
terserap dalam lapisan minyak dan memicu terbentuknya tetesan minyak yang
kecil, akibatnya kestabilan emulsi lebih tinggi. Perbedaan stabilitas emulsi pada
hidrolisat yang dihasilkan oleh masing-masing enzim yang digunakan bergantung
pada sifat spesifik enzim didalam memecah protein dan gugus aktifnya (Gbogouri
et al., 2004).
19
METODE PENELITIAN
3.1 Materi Penelitian
3.1.1 Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan untuk kultur khamir laut terdiri dari air laut,
gula pasir, pupuk daun (hortigro), starter khamir laut, kapas, plastik wrap, dan
plastik. Bahan-bahan yang digunakan untuk perhitungan kepadatan sel khamir
laut terdiri dari stok khamir laut, gula pasir, pupuk daun (hortigro), kapas, alkohol
dan tissue. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan hidrolisat protein
terdiri dari tanaman azolla (Azolla pinnata) yang didapatkan dari sawah-sawah
masyarakat yang terletak di Desa Tegalgondo Kecamatan Karangploso
Kabupaten Malang Jawa Timur, sebagian bahan dasar pembuatan hidrolisat
protein, bahan dasar lain yang digunakan yaitu molase, akuades dan inokulum
khamir laut.
Bahan-bahan yang digunakan analisis kimia terdiri dari silika gel, benang
kasur, kertas saring, PE, H2SO4 anhidrous, larutan OPA (O-Phtaldehyde), tablet
kjeldahl, akuades, H3BO3, NaOH, HCl, indikator metil orange, biuret, kertas label,
dan minyak jagung.
3.1.2 Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan kultur khamir laut terdiri dari
botol kaca, kompor, panci perebusan, spatula, pipet volume, bola hisap,
timbangan digital, aerator, selang, corong, dan beaker glass. Peralatan yang
digunakan untuk perhitungan kepadatan sel khamir laut terdiri dari mikroskop,
mikropipet, cover glass, rak tabung reaksi, tabung reaksi, vortex mixer, bola
hisap, pipet volume, erlenmeyer 250 mL, gelas ukur, timbangan digital, spatula,
sprayer, dan corong. Peralatan yang digunakan untuk pembuatan hidrolisat
protein Azolla rebus terdiri dari kompor, panci, waterbath, beaker glass,
20
timbangan digital, bola hisap, pipet volume, piring, , spatula, nampan, baskom,
sentrifuge, selang, aerator, botol, cuvet, blender, dan food processor.
Alat-alat yang digunakan untuk analisis kimia terdiri dari pH meter, oven,
desikator, botol timbang, loyang, crushable tang, gold fisch, sampel tube, gelas
piala, gelas ukur, corong, timbangan digital, cuvet, sentrifuge, pipet tetes, pipet
volume, bola hisap, cawan petri, spatula, tabung reaksi, rak tabung reaksi,
beaker glass, cawan porselin, destruksi, destilasi, statif, biuret, hot plate, mufflle,
dan High Performance Liquid Cromathography.
3.2 Metode Penelitian
3.2.1 Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode eksperimen.
metode penelitian eksperimen adalah metode sistematis guna membangun
hubungan yang mengandung fenomena dari sebab-akibat. Hal ini dilakukan
untuk memperoleh informasi tentang variabel mana yang menyebabkan sesuatu
terjadi dan variabel akibat dari terjadinya perubahan dalam suatu kondisi
eksperimen (Azizah, 2013)
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu pembuatan kultur
khamir laut untuk mendapatkan inokulum khamir laut yang dipanen pada fase
pertumbuhan atau log. Setelah itu, inokulum yang didapat digunakan sebagai
biokatalisator dengan tujuan untuk mengetahui hidrolisat protein Azolla rebus
berdasarkan analisis proksimat, pH kapasitas emulsi, dan daya buih.
21
3.2.2 Variabel
Variabel adalah segala faktor yang berperan atau berpengaruh terhadap
suatu percobaan. Menurut Brink dan Wood (2000), variabel adalah faktor yang
mengandung lebih dari satu nilai di dalam metode statik. Variabel terdiri dari
variabel bebas yang artinya variabel penyebab atau variabel yang
mempengaruhi dimana variabel dalam kelompok sampel dibedakan. Dalam kata
lain peneliti harus dappat memisahkan sampel dalam kelompok alternatif
didasarkan pada variabel. Sedangkan variabel terikat yaitu faktor yang
diakibatkan oleh pengaruh tersebut.
Penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel
terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah volume molase segar dan
lama fermentasi, sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah analisis
proksimat meliputi kadar air, kadar lemak, kadar protein, kadar abu, dan kadar
karbohidrat, pH, daya buih, kapasitas emulsi.
Penelitian ini di rancang dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL),
dengan tiga perlakuan dan tiga kali ulangan. Dengan perlakuan molase segar
100 mL, 150 mL dan 200mL dan lama fermentasi pada hari ke-0, hari ke-3,hari
ke-6, hari ke-9 dan hari ke-12. Model rancangan percobaan ini penelitian ini
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 . Rancangan Percobaan Penelitian Perlakuan Lama fermentasi Rerata Total
Volume 0 3 6 9 12
molase
100 mL
150 mL
200 mL
22
Data yang diperoleh akan dilakukan analisa dengan menggunakan ANOVA
(Analysis of Variance) menggunakan uji F dengan membandingkan antara F
hitung dengan F tabel.
Jika F hitung < F tabel 5%, maka perlakuan tidak berbeda nyata.
Jika F hitung > F tabel 1%, maka perlakuan menyebabkan hasil sangat
berbeda nyata.
Jika F tabel 5% < F hitung < F tabel 1%, maka perlakuan menyebabkan hasil
berbeda nyata.
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Prosedur Pembuatan Kultur Khamir
Prosedur yang dilakukan untuk menetukan fase log yaitu dapat dilakukan
dengan menggunakan haemocytometer dan mikroskop. pengamatan dilakukan
dengan mengamati setiap 12 jam sekali kultur khamir untuk diukur kepadatannya
dengan menggunakan haemocytometer dan mikroskop. Prosedur pertama yang
dilakukan dalam penentuan fase log yaitu mengkultur khamir laut. Tahapan
dalam mengkultur khamir laut menurut Sukoso (2012) yaitu menyiapkan bahan-
bahan seperti air laut, gula pasir, pupuk daun, dan biakan khamir laut. air laut
yang digunakan sebanyak 1000 mL disterilkan dengan pemanasan sampai
mendidih kemudian didinginkan pada suhu kamar. air laut steril yang sudah
dingin kemudian dimasukkan ke dalam botol gelas kaca, lalu ditambahkan gula
pasir 0,5% sebagai sumber nutrisi dan pupuk daun 0,2% sebagai sumber
nitrogen (v:b) serta dihomogenkan sehingga diperoleh media khamir laut. Lalu
ditambah starter khamir laut sebanyak 0,2% dari air laut yang digunakan (v:v)
dan dihomogenkan. Kultur khamir laut yang telah siap kemudian ditutup dengan
kapas dan dilapisi plastik wrap untuk menghindari kontaminasi yang tidak
diinginkan, lalu diberi aerasi yang cukup untuk menambah suplai oksigen dalam
23
pertumbuhan khamir laut. Aerasi dilakukan selama empat hari untuk dilakukan
pengamatan tingkat kepadatan sel khamir laut. Prosedur skema kerja pembuatan
khamir laut dapat dilihat pada lampiran 2.
3.3.2 Prosedur Penentuan Fase Log Khamir Laut
Penentuan fase log dilakukan dengan pengamatan melalui haemocytometer dan
mikroskop. Pengamatan dilakukan dengan mengamati setiap 12 jam sekali kultur
khamir laut untuk diukur kepadatannya dengan menggunakan haemocytometer
dan mikroskop.
Prosedur perhitungan kepadatan sel khamir laut yaitu pada hari pertama
sampai hari ke-empat kultur khamir laut yang telah diaerasi diambil sebanyak 1
mL untuk dilakukan penganceran dari 10-1 sampai 10-4. Namun terlebih dahulu
disiapkan media yang akan digunakan. prosedur pembuatan khamir laut menurut
Alkili (2012) yaitu air laut sebanyak 100 mL disterilkan dengan pemanasan
sampai mendidih kemudian didinginkan pada suhu kamar, kemudian diambil air
laut steril sebanyak 50 mL dan dimasukkan ke dalam enlemeyer, kemudian
ditambahin gula pasir sebanyak 0,25% (b/v) kemudian pupuk daun sebanyak
0,1% (b/v) serta dihomogenkan. perhitungan dan diagram alir pembuatan media
pengenceran khamir laut.
Setelah media yang akan digunakan sudah siap, langkah selanjutnya adalah
perhitungan kepadatan sel khamir laut dengan menggunakan haemocytomete.
Prosedur kerja yang digunakan yaitu diambil 9 mL media khamir laut kemudian
dimasukkan pada masing-masing lima tabung reaksi untuk diberi perlakuan
tingkat pengenceran 10-1 sampai 10-4 dan sebagai blanko. Tabung reaksi 10-1
yang telah berisi media diberi dengan kultur khamir laut sebanyak 1 mL yang
telah diaerasi, lalu dihomogenkan dengan menggunakan vortex mixer. Setelah
itu, dari tabung reaksi 10-1 yang telah dihomogenkan diambil sebanyak 1 mL.
untuk dimasukkan ke dalam tabung reaksi 10-2 dan dihomogenkan, serta
24
dilakukan dengan cara yang sama sampai tabung reaksi 10-4. Selanjutnya, dari
hasil pengenceran 10-4 diuji kepadatan khamir laut dengan haemocytometer.
Kultur khamir yang
telah diaerasi
Gambar 3. Proses Pengenceran Bertingkat Khamir Laut
Pengamatan kepadatan khamir laut juga dilakukan setiap hari dengan
menggunakan pengamatan mikroskop, yaitu dengan mengambil kultur khamir
laut yang telah diaerasi dengan menggunakan pipet tetes lalu diteteskan di objek
glass dan ditutup dengan cover glass. Preparate kultur khamir laut selanjutnya
diamati di bawah mikroskop.Pada pengamatan tingkat kepadatan khamir laut,
ada fase log yang ditandai dengan pertumbuhan sel yang paling tinggi
dibandingkan dengan fase lainnya. Fase log sendiri yakni fase dimana
mikroorganisme mengalami pertumbuhan yang sangat cepat dan dapat
dikatakan sebagai pertumbuhan eksponensial. Pada fase log ini kebutuhan
energi lebih tinggi dan sel menjadi lebih sensitif terhadap lingkungannya. Oleh
karena itu pada fase ini mikroba termasuk didalamnya khamir laut banyak
memproduksi zat-zat metabolit yang dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan
nutrisinya (Waluyo, 2007)
25
3.3.3 Prosedur Pembuatan Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus
Pada pembuatan hidrolisat protein Azolla pinnata Rebus, prosedur
pertama yang dilakukan yaitu membersihkan tanaman Azolla. Prosedur
penelitian disini mengacu pada penelitian Febriany (2011) adalah Pertama
Persiapan tepung azola yaitu tumbuhan azola yang masih segar dicuci terlebih
dahulu agar bersih dari lumpur, Setelah bersih kemudian azola
digiling/dihaluskan. Komposisi gizi suatu bahan pangan terdiri dari empat
komponen utama antara lain air, protein, karbohidrat dan lemak. Jumlah masing-
masing komponen berbeda tergantung dari sifat ilmiah bahan contohnya,
kekerasan, warna, dan citarasa (Winarno, 2007).
Pada penelitian ini juga menggunakan molase (tetes tebu). Pada
penelitian ini menggunakan penambahan molase segar dan lama fermentasi
yang berbeda. Perlakuan penelitian dengan variabel dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Tabel berbagai perlakuan pada penelitian Perlakuan Molase segar
LamaFermentasi
1 2 3
A A1 A2 A3
B B1 B2 B3
C C1 C2 C3
D D1 D2 D3
E E1 E2 E3
Keterangan : A = lama Fermentasi 0 hari 1 = volume molase 100 mL B = lama Fermentasi 3 hari 2 = volume molase 150 mL C = lama Fermentasi 6 Hari 3 = volume molase 200 mL D = lama Fermentasi 9 hari E = lama Fermentasi 12 hari
Pada penelitian ini molase yang digunakan menggunakan konsentrasi yang
berbeda-beda yaitu 100 mL, 150 mL dan 200 mL, tujuan diberikan konsentrasi
26
yang berbeda-beda adalah untuk mengetahui efektifitas molase terhadap proses
pembuatan hidrolisat protein azolla rebus. Kemudian ditambahkan inokulum
khamir laut sebanyak 20 mL. Khamir laut yang digunakan adalah khamir yang
mengalami fase logaritmik karena itu adalah fase pertumbuhan khamir laut
menuju pertumbuhan tertinggi. Tujuan dari penambahan khamir laut yaitu
sebagai starter dalam proses hidrolisis azolla rebus. Kemudian dilakukan proses
fermentasi dilakukan pengamatan pada hari ke 0, 3, 6, 9 dan 12 tujuan dari lama
fermentasi yang berbeda yaitu untuk mengetahui tingkat efektifitas fermentasi
dalam proses pembuatan hidrolisat protein azolla rebus. Langkah selanjutnya
yaitu dilakukan analisis terhadap hasil fermentasi hari ke 0, 3, 6, 9 dan hari ke-
12. Sebelum dilakukan analisis kandungan nilai gizi hidrolisat protein azolla
diperas terlebih dahulu menggunaan kain blancu. Tujuan dari dilakukan
pemerasan yaitu untuk memisahkan antara cairan dan endapan pada sampel
hidrolisat protein tersebut. Setelah itu cairan hidrolisat protein dioven vakum
selama ±8 jam dengan suhu 55oC, tujuan dari dilakukan pengovenan vakum
menggunakan suhu 55oC adalah supaya tidak merusak pada kadar protein
dalam hidrolisat protein. Selain itu, kadar air hidrolisat protein akan turun dan
menjadi bentuk pasta. Hal tersebut terjadi dikarenakan adanya proses evaporasi,
dimana pada prinsipnya adalah menguapkan air yang terdapat pada bahan
(larutan pekat) menggunakan vakum (tanpa ada udara) dengan tekanan tinggi.
Selanjutnya dilakukan analisi kimia antara lain analisis proksimat. Selain itu
dilakukan analisis pH, emulsi dan daya buih. Analisis tersebut adalah
karakteristik fisik dari hidrolisat protein. Prosedur skema kerja pembuatan
hidrolisat protein azolla rebus dapat dilihat pada Gambar 4.
27
Gambar 4. Diagram Alir Pembuatan Hidrolisat Protein Tanaman Azolla
Dicuci hingga bersih
Azolla yang sudah dihaluskan kemudian direbus dengan
menggunakan aquades 1:2 (b:v) suhu 60 0C selama 15 menit
Penghalusan dengan menggunakan blender
Ditimbang sebanyak 100 g
Penuangan ke dalam beaker glass
Penghomogenan
Substrat
Penghomogenan lalu dimasukkan ke dalam botol
Fermentasi selama 0, 3, 6, 9, 12 hari pada suhu ruang
Penyaringan dengan kain blancu
Cairan hidrolisat protein tanaman Azolla
Pengeringan dalam oven vakum pada suhu 550C
Penambahan molase
100 mL, 150 mL, 200
mL
Analisis :
1. Proksimat 2. pH 3. Daya buih 4. Kapasitas
emulsi
Penambahan inokulan khamir laut
sebanyak 10 mL
Pemberian aerasi
Pasta hidrolisat protein tanaman Azolla
Azolla pinnata
Molase
Padatan
28
3.4 Pengamatan dan Parameter
3.4.1 Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan meliputi rendemen, analisa proksimat (kadar
air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat by difference),
pH, daya buih, kapasitas emulsi.
3.4.2 Rendemen
Menurut Yunita (2009), rendemen merupakan persentase perbandingan
antara produk yang dihasilkan terhadap bahan bakunya. Purbasari (2008),
mengatakan bahwa rendemen adalah jumlah persentase sampel akhir setelah
proses dan dinyatakan dalam % (persen). Rendemen produk hidrolisat protein
merupakan persentase banyaknnya produk hidrolisat yang dihasilkan terhadap
bahan baku yang digunakan sebelum hidrolisis. Persamaan yang dapat
digunakan untuk menghitung rendemen adalah:
Rendemen (%) = x 100%
Keterangan : A = Berat akhir hidrolisat (setelah diperas dan dikeringkan) (g)
B = Berat awal sampel setelah pencampuran (g)
3.4.3 Analisis Proksimat
3.4.3.1 Analisis Kadar Air
Menurut Legowo et al., (2007), analisis yang digunakan adalah dengan
cara pengeringan. Metode pengeringan dengan oven didasarkan atas prinsip
perhitungan selisih bobot bahan (sampel) sebelum dan sesudah pengeringan.
Selisih bobot tersebut merupakan air yang teruapkan dan dihitung sebagai kadar
air bahan. Prinsip metode ini adalah mengeringkan sampel dalam oven dengan
suhu 100-1050C sampai bobot konstan dan selisih bobot awal dengan bobot
29
akhir dihitung sebagai kadar air. Prosedur dan perhitungan kadar air metode
pengeringan oven adalah sebagai berikut:
Siapkan cawan porselin yang telah diberi kode sesuai kode sampel,
kemudian panaskan dalam oven dengan suhu 100-1050C selama ± 1 jam.
Ambil cawan porselin, masukkan dalam desikator ± 15 menit, kemudian
cawan ditimbang.
Timbang sampel sebanyak 1-2 g dalam cawan porselin yang telah diketahui
beratnya.
Keringkan dalam oven pada suhu 100-1050C selama 4-6 jam. Ditimbang,
dioven kembali dan ditimbang hingga konstan. Bobot dianggap konstan
apabila selisih penimbangan tidak melebihi 0,2 mg.
Masukkan dalam desikator ± 15 menit, dilanjutkan dengan penimbangan
Kadar air dapat dihitung dengan rumus:
Dimana : A : berat botol timbang B : berat sampel C : berat akhir (botol timbang+sampel) yang telah dikeringkan.
3.4.3.2 Analisis Kadar Lemak
Menurut Sudarmadji et al., (1989), analisis kadar lemak meggunakan
metode goldfisch. Metode goldfisch adalah metode yang digunakan untuk
ekstraksi lemak, dimana labu ekstraksi dirancang supaya pelarut melewati
sampel tanpa merendam sampel. Prinsip metode goldfisch adalah sampel yang
telah dihaluskan, dimasukkan ke dalam thimble kemudian dipasang dalam
tabung penyangga yang berlubang pada bagian bawah. Pelarut diletakkan dalam
gelas piala yang terdapat di bawah tabung penyangga. Saat dipanaskan, pelarut
naik dan dinginkan oleh kondensor sehingga terdapat embun dan menetes pada
30
sampel, sehingga bahan dibasahi oleh pelarut dan lemak terekstraksi yang
kemudian akan tertampung dalam gelas piala kembali. Prosedur dan perhitungan
analisis kadar abu adalah sebagai berikut:
Ditimbang ± 5 g sampel kering dan halus serta dipindahkan ke dalam kertas
saring kemudian dibungkus sampai sampel terbungkus.
Pasanglah sampel pada sampel tube, yakni gelas penyangga yang bagian
bawahnya terbuka tepat di bawah kondensor alat destilasi Goldfisch.
Dimasukkan pelarut (petroleum-eter) secukupnya ke dalam gelas piala.
Pasanglah gelas piala berisi pelarut pada kondensor sampai tepat, dan tak
dapat diputar lagi.
Hidupkan aliran air pendingin dan kondensor.
Naikkan pemanas listrik sampai menyentuh bagian bawah gelas piala dan
nyalakan pemanas listriknya.
Proses ekstraksi 3-4 jam.
Setelah selesai ekstraksi, pemanas dimatikan dan diturunkan. Setelah
sekiranya tidak ada tetesan pelarut, diambil thimble dan sisa dalam gelas
penyangga.
Kemudian residu yang ada dalam beaker glass yang dipasang dikeringkan
dalam oven 1000C sampai berat konstan. Berat residu ini dinyatakan
sebagai minyak atau lemak yang ada pada bahan.
Kadar emak dapat dihitung dengan rumus:
Kadar Lemak(%)=berat sampel + berat kertas saring berat akhir
berat awal sampelx100%
31
3.4.3.3 Analisis Kadar Protein
Menurut Sudarmaji et al., (2003), pada prinsipnya penentuan kadar
protein dilakukan dengan metode Kjeldahl. Dimana dengan cara menghitung
presentase Nitrogen (N) terlarut yang terkandung oleh suatu bahan pangan.
Prosedur penentuan kadar protein dengan metode Kjedahl sebagai berikut:
Diambil bahan yang telah dihaluskan sebanyak 0,2-0,5 g dan dimasukkan
kedalam labu kjedahl.
Ditambah 15 mL H2SO4 pekat dan 2 g tablet kjedahl sebagai katalisator.
Dipanaskan dalam ruang asam selama 2-3 jam pada suhu 3700C sampai
jernih kehijauan.
Setelah dingin ditambahkan akuades 100 mL dan 50 mL NaOH.
Dilakukan destilasi dan menampung destilasi dalam enlemeyer yang telah
diberi 50 mL H3BO3 dan 1 tetes indikator MO (Metyl Orange).
Destilasi berakhir dan dilakukan titrasi dengan larutan H2SO4 N hingga
warna merah muda tidak pudar.
Kadar protein dapat dihitung dengan rumus:
3.4.3.4 Analisis Kadar Abu
Menurut Sudarmadji et al., (1989) analisis kadar abu adalah zat anorganik
sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Prinsip analisis kadar abu adalah
mengoksidasi zat organik pada suhu tinggi sekitas suhu 500-600oC kemudian
melakukan penimbangan zat yang masih tertinggal setelah proses pembakaran.
Prosedur dan perhitungan analisis kadar abu adalah sebagai berikut:
32
Ambil cawan yang digunakan terlebih dahulu dioven selama 30 menit pada
suhu 100-1050C, kemudian didinginkan dalam desikator untuk
menghilangkan uap air dan ditimbang sebagai beratnya.
Sampel ditimbang sebanyak 2 g dalam cawan yang sudah dioven.
Sampel dibakar diatas hot plate sampai tidak berasap.
Dilakukan pengabuan sampel didalam muffle bersuhu 550-6000C sampai
pengabuan sempurna. Lama pengabuan berbeda-beda dan berkisar antara
2-8 jam.
Sampel yang sudah diabukan didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
3.4.3.5 Analisis Karbohidrat
Menurut Winarno (2004), prinsip penentuan kadar karbohidrat dapat
diketahui dengan cara menghitung selisih % total kadar air, kadar lemak, kadar
abu dan kadar protein atau dengan cara perhitungan Carbohydrate by
Difference.
3.4.4 Nilai pH
` Menurut Sudarmadji et al., (1989), penetapan nilai pH dilakukan setelah pH
meter dikalibrasi terlebih dahulu. Sampel sebanyak 1 mL ditambahkan dengan
aquades perbandingan 1:10 (v:v), lalu dihomogenkan. Setelah itu, elektroda
dibilas dengan menggunakan aquades dan dikeringkan. Elektroda dicelupkan ke
dalam larutan sampel dan pengukuran pH dapat di set. Elektroda dibiarkan
33
tercelup beberapa saat sampai diperoleh nilai pH yang stabil dan kemudian
dicatat nilai pH sampel yang didapat.
3.4.5 Kapasitas Emulsi
Menurut Rieuwpassa et al., (2013), kapasitas emulsi yang baik bila bahan
dapat menyerap air dan minyak secara seimbang. Prinsip dari kapasitas emulsi
protein bergantung pada keseimbangan ikatan hidrofilik dan lipofilik. Kapasitas
emulsi diukur dengan cara 5 g sampel ditambahkan dengan 20 mL aquades dan
20 mL minyak jagung, kemudian dihomogenkan selama 1 menit. Lalu disentrifus
dengan kecepatan 7500 rpm selama 5 menit.
Prosedur pengujian kapasitas emulsi adalah sebagai berikut:
Timbang sampel sebanyak 1 g.
Tambahkan 5 mL air dan 5 mL minyak jagung.
Homogenkan selama 1 menit dan disentrifus dengan 7500 rpm selama 5
menit.
Rumus kapasitas emulsi dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Kapasitas emulsi = (volume emulsi setelah disentrifus/volume awal) x 100 %
3.4.6 Daya Buih
Buih merupakan bentuk dispersi koloida gas dalam cairan. Prinsip dari
daya buih yaitu kekuatan protein dalam memerangkap gas, dimana kapasitas
buih bergantung pada fleksibilitas molekul dan sifat fisiko kimia protein. Sampel
sebanyak 1 g ditambahkan dengan 10 mL akuades dan dihomogenkan selama 1
menit. Kapasitas busa dilihat dari busa yang terbentuk dibandingkan dengan
kapasitas volume awal. Stabilitas busa merupakan rasio dari kapasitas busa
selama waktu observasi dibandingkan dengan kapasitas busa awal.
34
Prosedur Pengujian daya buih adalah sebagai berikut:
Timbang sampel sebanyak 1 gram
Tambahkan 10 mL air dan dihomogenisasi selama 1 menit.
Campuran larutan sampel dipindahkan ke dalam 25 mL beaker glass.
Kapasitas busa dilihat dari busa yang terbentuk dibandingkan dengan
kapasitas volume awal. Stabilitas busa merupakan rasio dari kapasitas busa
selama waktu observasi dibandingkan dengan kapasitas busa awal.
35
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penelitian Pendahuluan
4.1.1 Penentuan Fase Logaritmik
Fase logaritmik adalah fase peningkatan aktivitas pertumbuhan sel khamir
laut, sehingga pada fase ini sel khamir laut mengalami peningkatan populasi
yang maksimum. Peningkatan aktivitas ini biasanya dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain: sifat mikoorganisme, kandungan hara pada media kultur,
kadar oksigen, suhu, dan lain – lain. Penentuan fase logaritmik dilakukan dengan
cara melakukan pengamatan terhadap tingkat kepadatan sel khamir laut dengan
menggunakan hemocytometer dan mikroskop. Hasil pengamatan dari
pertumbuhan sel khamir laut dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Pertumbuhan sel khamir laut dengan pengamatan setiap 12 jam sekali selama 108 jam
Pada Gambar 5 menunjukkan pertumbuhan khamir laut mulai dari fase
lag sampai fase menuju kematian. Fase lag terjadi pada jam ke-0 sampai jam ke-
12 ditandai dengan pertumbuhan yang berjalan secara lambat. Fase logaritmik
y = -0.0314x2 + 0.3958x + 9.8425R² = 0.8511
10
10.2
10.4
10.6
10.8
11
11.2
11.4
11.6
11.8
12
0 12 24 36 48 60 72 84 96 108
Jum
lah
sel/
ml
Waktu (Jam)
36
terjadi jam ke-72, ditandai dengan tingkat kepadatan sel khamir laut yang
semakin tinggi dikarenakan banyakanya sel khamir laut yang tumbuh dan
melakukan pembelahan diri secara cepat.
Tingkat pertumbuhan sel khamir laut tertinggi terjadi pada jam ke-72,
dibuktikan dengan hasil pengamatan hemocytometer melalui mikroskop. Berikut
ini adalah sel-sel khamir laut yang telah mengalami pertumbuhan dan
pembelahan selama masa pengamatan yang telah dilakukan setiap 12 jam
sekali. Sel-sel khamir laut ini dapat dilihat pada Gambar 6.
(a) (b) (c)
(d) (e) (f)
(g) (h) (i)
Gambar 6. Mikrograf kepadatan Khamir Laut pada Berbagai Lama Waktu Kultur denganPembesaran 1000x pada Jam ke 0 (a), Jam ke 12 (b), Jam ke 24 (c), Jam ke36 (d), Jam ke 48 (e), Jam ke 60 (f), Jam ke 72 (g), Jam ke 84 (h), Jam ke 96(i), dan Jam ke 108 (j).
37
Gambar 6 menunjukkan bahwa sel khamir laut telah mengalami
pertumbuhan serta pembelahan selama masa pengamatan yang dilakukan
setiap 12 jam. Gambar juga menunjukkan bahwa bentuk dari sel khamir laut yaitu
bulat ovale dan terdapat tonjolan berukuran kecil yang menempel disampingnya.
Hal tersebut menunjukkan bahwa sedang terjadi pertunasan. Flahuddin (2008)
mengatakan bahwa khamir merupakan mikroorganisme bersel satu yang
berukuran 5-20 mikron, bentuknya oval, atau bulat tak beraturan. Khamir dapat
diisolasi dari manusia atau hewan berdarah panas, namun yang utama diisolasi
dari tanah, air laut, produk fermentasi, hewan berdarah dingin dan sebagainya.
Sel khamir memiliki beberapa organel seperti badan golgi, inti sel, mitokondria,
dan vakuola sebagai tempat menyimpan cadangan nutrisi, sitoplasma, dinding
sel yang mengandung glukan dan manan yang terdiri atas lipid dan protein.
Fase pertumbuhan dari khamir laut dapat dilihat pada Gambar a. Pada
Gambar (a) jam ke-0 dan Gambar (b) jam ke-12 mengalami peningkatan pada
pertumbuhan sel khamir laut. Hal tersebut menunjukkan bahwa sel khamir laut
menuju fase log pada jam ke 12. Sel khamir laut tidak mengalami fase adaptasi
tetapi langsung mengalami pada fase log karena sel khamir laut mampu secara
optimal dan efisien memanfaatkan pupuk yang ditambahkan pada kultur khamir
laut sebagai sumber nitrogen sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama
untuk mengalami pertumbuhan (Sugoro, 2006).
Pertumbuhan pada sel khamir laut terus mengalami peningkatan, hal ini
dapat dilihat pada Gambar (b) jam ke-12 sampai jam ke-72 Gambar (g) terus
mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari perubahan pada sel khamir laut
yang jumlah dan bentuknya semakin besar. Kemudian didukung juga dengan
perhitungan kepadatan sel khamir laut dengan menggunakan haemocytometer
pada mikroskop. Fase pada pertumbuhan sel khamir ini disebut dengan fase
logaritmik, Fase logaritmik adalah fase dimana mikroba membelah dengan cepat
38
dan konstan dan pada fase ini kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh
media tempat tumbuhnya seperti pH dan kandungan nutrien, juga kondisi
lingkungan termasuk suhu dan kelembapan udara (Yuliana, 2008). Fase
pertumbuhan inilah yang digunakan pada penelitian utama di dalam proses
pembutan hidrolisat protein tanaman azolla.
4.1.2 Penentuan Volume Molase, Khamir Laut, dan Lama Fermentasi
Penentuan volume molase dan lama fermentasi bertujuan untuk
mengetahui konsentrasi terbaik yang selanjutnya digunakan sebagai acuan
untuk melakukan penelitian utama. Pada penentuan volume molase segar dan
lama fermentasi dilakukan dalam tiga kali percobaan dengan bahan baku Azolla
pinnata rebus sebanyak 50 g. Pada percobaan pertama (volume molase
sebanyak 50 dengan khamir laut sebanyak 2,5 ml). Pada percobaan kedua
(volume molase sebanyak 50 ml, 100 ml, dan 150 ml dengan khamir laut
sebanyak 2,5 ml). Pada percobaan ketiga (volume molase sebanyak 100 ml, 150
ml, dan 200 ml dengan khamir laut sebanyak 2,5 ml).
Pada percobaan pertama yaitu menggunakan volume molase sebanyak
50 ml dengan khamir laut sebanyak 2,5 ml didapatkan hasil sampel mengalami
pembusukan setelah proses fermentasi selama 5 hari dengan ciri-ciri warna
coklat pekat dan aroma agak busuk. Hal tersebut dikarenakan kurangnya volume
molase yang digunakan sebagai media substrat khamir laut untuk tumbuh dan
berkembang biak sehingga sampel yang dihasilkan terlalu padat dan sulit untuk
dilakukannya proses aerasi yang menyebabkan suplai oksigen tidak dapat
tersebar secara sempurna dan proses agitasi tidak berjalan secara baik. Machfud
et al., (1989) menjelaskan sebagian besar fermentasi berlangsung secara
aerobik yang memerlukan suplai oksigen yang dapat dipacu dengan
penambahan pengadukan atau agitasi.
39
Pada percobaan kedua yaitu menggunakan volume molase sebanyak 50
ml, 100 ml, dan 150 ml dengan khamir laut sebanyak 2,5 ml didapatkan hasil
pada sampel dengan volume molase sebanyak 50 ml mengalami penurunan
kadar cairan sehingga menjadi agak kering setelah megalami proses fermentasi
selama 6 hari dengan ciri-ciri warna coklat pekat dan bau agak busuk. Hal ini
dikarenakan volume molase yang digunakan terlalu sedikit sehingga proses
fermentasi tidak berlangsung hingga waktu yang ditentukan. Pada sampel
dengan volume molase sebanyak 100 ml dapat bertahan sampai 12 hari setelah
mengalami proses fermentasi dengan ciri-ciri bau khas fermentasi, dan warna
coklat segar namun cairan yang terdapat pada sampel sudah mulai habis.
Menurut Budy (2014), Hal ini dimungkinkan selama fermentasi berlangsung akan
menghasilkan asam-asam dan CO2 yang bersifat mudah menguap sehingga
dapat keluar melalui selang pembuangan dan cairan yang terdapat pada
sampelakan berkurang.
Pada percobaan ketiga yaitu menggunakan volume molase sebanyak 100
ml, 150 ml, dan 200 ml dengan khamir laut sebanyak 2,5 ml berjalan dengan
baik, ditandai dengan proses fermentasi dapat bertahan sampai hari ke-12
dengan ciri-ciri produk yang dihasilkan berwujud cair agak kental, berbau khas
fermentasi, dan berwarna coklat segar. Oleh karena itu, pada penelitian utama
bahan baku Azolla pinnata rebus yang digunakan sebanyak 50 g dengan volume
molase 100 ml, 150 ml, dan 200 ml. Sedangkan lama fermentasi yang digunakan
dalam penelitian utama yaitu 3, 6, 9, dan 12 hari.
4.1.3 Komposisi Kimia Azolla pinnata Rebus
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah Azolla pinnata.
Bahan baku berasal dari area persawahan Kelurahan Karangploso, Malang,
Jawa Timur. Selanjutnya Azolla pinnata yang telah direbus dilakukan analisis
40
proksimat di Laboratorium Pengujian Mutu dan Keamanan Pangan, Universitas
Brawijaya, Malang. Hasil analisis proksimat Azolla pinnata rebus dapat dilihat
pada Lampiran 27. Tujuan dari analisis kimia ini adalah untuk mengetahui
kandungan gizi Azolla pinnata rebus. Hasil analisis kimia Azolla pinnata rebus
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Komposisi Kimia Azolla pinnata Rebus
4.2 Penelitian Utama
Berdasarkan peneilitian pendahuluan yang telah dilakukan didapatkan
hasil bahwa pada proses pembuatan hidrolisat protein Azolla pinnata rebus
dilakukan penambahan volume molase sebanyak 100 ml, 150 ml, 200 ml dan
lama fermentasi yang digunakan yaitu 3, hari, 6 hari, 9 hari, dan 12 hari.
Inokulum khamir laut pada fase logaritmik yang ditambahkan yaitu sebanyak 2,5
ml. Produk hidrolisat protein Azolla pinnata rebus pada penelitian ini yaitu
berbentuk pasta yang bertujuan untuk mempermudah proses analisis dan
penyimpanan produk. Melihat kemungkinan pemakaian hidrolisat protein Azolla
pinnata rebus sebagai suplemen pakan maka hasil dari penelitian utama akan
dilakukan analisis yang meliputi rendemen, analisis proksimat, pH, daya buih
serta kapasitas emulsi.
4.2.1 Rendemen Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus
4.2.1.1 Rendemen Cairan
Data pengamatan dan analisis data rendemen cairan hidrolisat protein
Azolla pinnata rebus dengan volume molase dan lama fermentasi berbeda dapat
Parameter Azolla pinnata RebusKadar Air (%) 94,91 Kadar Abu (%) 0,5 Kadar Lemak Kasar (%) 2,51 Kadar Protein Kasar (%) 1,39 Kadar Karbohidrat (%) 0,69
41
dilihat pada Lampiran 8. Rata-rata Rendemen cairan hidrolisat protein Azolla
pinnata rebus dengan volume dan lama fermentasi yang berbeda dapat dilihat
pada Gambar 7.
Gambar 7. Rata-rata Rendemen Cairan Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus
Gambar 7 menunjukkan semakin lama proses fermentasi akan
mengakibatkan rendemen cairan hidrolisat protein Azolla pinnata rebus menjadi
semakin rendah. Hal ini dimungkinkan semakin lama proses metabolisme khamir
laut dalam fermentasi maka semakin banyak kandungan air dan nutrisi lainnya
yang digunakan khamir laut untuk menghasilkan enzim-enzim yang dapat
menghidrolisis protein dan lemak pada substrat. Aktivitas hidrolisis yang tinggi
menyebabkan terurainya protein menjadi asam amino yang kemudian berubah
menjadi H2O, CO2, dan senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen (NH3,
skatol, indol, kadaverin, dan putresin). Semakin lama fermentasi akan berpotensi
terjadinya penguapan senyawa-senyawa volatil sehingga nilai rendemen cairan
akan mengalami penurunan (Liawati, 1992). Selama proses hidrolisis akan
menyebabkan terlarutnya komponen gizi seperti protein, lemak, dan mineral yang
dapat mempengaruhi besarnya rendemen produk hidrolisat yang dihasilkan
(Shahidi et al., 1994).
90.5
28
82.3
43
73.0
76
67.6
64
91.2
61
85.7
58
77.1
56
73.6
7091.6
73
89.6
38
83.0
24
75.9
76
0102030405060708090
100
3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari
Ren
dem
en C
aira
n (%
)
Lama Fermentasi (Hari)
Molase 100 ml
Molase 150 ml
Molase 200 ml
42
Pada perhitungan statistik didapatkan hasil sebagai berikut, untuk
perlakuan volume molase 100 ml berbeda nyata dengan perlakuan volume
molase 150 ml, perlakuan 150 ml tidak berbeda nyata dengan perlakuan 200 ml.
Pada penggunaan lama fermentasi yang berbeda berpengaruh nyata terhadap
nilai rendemen cairan hidrolisat protein azolla rebus. Data hasil perhitungan
rendemen cairan hidrolisat protein azolla rebus dapat dilihat pada lampiran 8.
4.2.1.2 Rendemen Pasta
Data pengamatan dan analisis data rendemen pasta hidrolisat protein
Azolla pinnata rebus dengan volume molase dan lama fermentasi berbeda dapat
dilihat pada Lampiran 9. Rata-rata Rendemen pasta hidrolisat protein Azolla
pinnata rebus dengan volume dan lama fermentasi yang berbeda dapat dilihat
pada Gambar 8.
Gambar 8. Rendemen Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus
Gambar 8 menunjukkan semakin lama proses fermentasi akan
mengakibatkan rendemen pasta hidrolisat protein Azolla pinnata rebus menjadi
semakin rendah. Hal ini berkaitan dengan besarnya persentase rendemen cairan
yang dihasilkan sebelumnya, dimana rendemen pasta berbanding lurus dengan
rendemen cairan. Pada saat proses pengeringan untuk mendapatkan rendemen
42.1
53
41.1
87
38.6
08
38.1
02
41.9
02
41.1
10
39.8
75
38.9
84
45.1
87
44.2
47
41.3
01
40.7
11
34
36
38
40
42
44
46
3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari
Ren
dem
en P
asta
(%)
Lama Fermentasi (Hari)
Molase 100 ml
Molase 150 ml
Molase 200 ml
43
pasta dilakukan akan mengakibatkan komponen air dalam produk berkurang dan
meningkatkan komponen lain seperti abu, lemak, dan protein (Masduqi et al.,
2014). Pengeringan pada produk hidrolisat hanya bertujuan untuk
menghilangkan kandungan air pada sampel (Hidayat, 2005). Hal inilah yang
menyebabkan rendemen pasta lebih rendah dibanding rendemen cairan
hidrolisat protein Azolla pinnata rebus.
Pada perhitungan statistik didapatkan hasil sebagai berikut, untuk
perlakuan volume molase 100 ml tidak berbeda nyata dengan perlakuan volume
molase 150 ml, perlakuan 150 ml berbeda nyata dengan perlakuan 200 ml. Pada
penggunaan lama fermentasi yang berbeda berpengaruh nyata terhadap nilai
rendemen pasta hidrolisat protein azolla rebus. Data hasil perhitungan rendemen
pasta hidrolisat protein azolla rebus dapat dilihat pada lampiran 9.
4.2.2 Analisis Proksimat Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus
4.2.2.1 Kadar Air
Data pengamatan dan analisis data kadar air kontrol dan hidrolisat protein
Azolla pinnata rebus dengan volume molase dan lama fermentasi yang berbeda
dapat dilihat pada Lampiran 10. Rata-rata kadar air kontrol dan pasta hidrolisat
protein Azolla pinnata rebus dengan volume molase dan lama fermentasi yang
berbeda dapat dilihat pada Gambar 9.
44
Gambar 9. Rata-rata Kadar Air Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus
Tabel 7. Selisih Kadar Air Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus dibandingkan Kontrol Awal Fermentasi
Volume Molase
Lama Fermentasi (Hari) 3 6 9 12
100 ml 2,0944 2,1822 2,3961 2,8170 150 ml 0,5444 0,9221 0,6344 1,4842 200 ml 1,1041 1,4432 2,2251 3,0516
Gambar 9 menunjukkan semakin lama proses fermentasi akan
mengakibatkan kadar air hidrolisat protein Azolla pinnata rebus menjadi semakin
rendah. Bila dilihat pada Tabel 7 terjadi penurunan kadar air dengan selisih
sebesar 0,5-3%. Hal ini dimungkinkan selama fermentasi terjadi hidrolisis
sehingga menyebabkan molekul-molekul air menjadi bebas. Pada fermentasi
lebih dari 24 jam terjadi penguraian senyawa-senyawa organik oleh adanya
aktivitas enzim yang menghasilkan senyawa sederhana juga hasil lain dari
proses metabolisme yaitu H2O, energi dalam bentuk panas dan bahan-bahan
lainnya. Hal ini menunujukkan proses fermentasi pada hidrolisat protein Azolla
pinnata rebus dapat menurunkan kadar air dan akan meningkatkan kandungan
nutrisi lainnya (Setiavani, 2010).
Pada perhitungan statistik didapatkan hasil sebagai berikut, untuk
perlakuan volume molase 100 ml, 150 ml, dan 200 ml tidak berpengaruh nyata
terhadap nilai kadar air hidrolisat protein azolla rebus. Pada penggunaan lama
20.4
83
18.3
89
18.3
01
18.0
87
17.6
66
18.6
53
18.1
09
17.7
31
18.0
19
17.1
69
19.1
07
18.0
03
17.6
64
17.8
82
16.0
56
0
5
10
15
20
25
0 Hari (Kontrol)
3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari
Kad
ar A
ir (%
)
Lama Fermentasi (Hari)
Molase 100 ml
Molase 150 ml
Molase 200 ml
45
fermentasi yang berbeda, untuk nilai sampel dengan lama fermentasi 0 hari
berpengaruh nyata terhadap nilai pada sampel dengan lama fermentasi 3, 6, 9
dan 12 hari. Data hasil perhitungan kadar air hidrolisat protein azolla rebus dapat
dilihat pada lampiran 10.
4.2.2.2 Kadar Abu
Data pengamatan dan analisis data kadar abu kontrol dari hidrolisat
protein Azolla pinnata rebus dengan volume molase dan lama fermentasi yang
berbeda dapat dilihat pada Lampiran 11. Rata-rata kadar abu kontrol dari
hidrolisat protein Azolla pinnata rebus dengan volume molase dan lama
fermentasi yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10.Rata-rata Kadar Abu Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus
Tabel 8. Selisih Kadar Abu Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus dibandingkan Kontrol Awal Fermentasi
Volume Molase
Lama Fermentasi (Hari) 3 6 9 12
150 ml 2,0944 2,1822 2,3961 2,817 200 ml 0,5444 0,9221 0,0656 0,4842 250 ml 1,1041 1,4432 1,2251 2,1516
Gambar 10 menunjukkan semakin lama proses fermentasi akan
mengakibatkan kadar abu hidrolisat protein Azolla pinnata rebus menjadi
semakin rendah. Bila dilihat pada Tabel 8 terjadi penurunan kadar abu dengan
15.8
54
15.4
67
14.9
31 15.5
53
14.2
49
15.1
61
14.8
56
15.0
83
14.0
77
14.0
77
15.4
86
13.9
05
14.0
06
13.8
00
14.0
59
12.513
13.514
14.515
15.516
16.5
0 Hari (Kontrol)
3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari
Kad
ar A
bu (%
)
Lama Fermentasi (Hari)
Molase 100 ml
Molase 150 ml
Molase 200 ml
46
selisih sebesar 0,5-2%. Hal ini dimungkinkan pertumbuhan khamir laut semakin
meningkat sehingga membutuhkan banyak mineral sebagai nutrisinya.
Penurunan kadar abu ini dipengaruhi oleh penggunaan mineral untuk
mempertahankan hidup mikroorganisme. Karena mikroorganisme membutuhkan
mineral untuk mempertahankan hidupnya meskipun dalam jumlah yang sedikit
(Nisa dan Wardani, 2015). Zat makanan utama bagi pertumbuhan
mikroorganisme adalah sumber karbon, nitrogen, dan komponen mineral
terutama fosfat (Budiman dan Setyawan, 2009). Mineral dibutuhkan
mikroorganisme sebagai akseptor elektron dalam metabolisme glukosa dan gula
lainnya. Mikroba membutuhkan zat-zat nutrisi untuk sintesa komponen sel dan
menghasilkan energi (Malaka et al., 2006).
Pada perhitungan statistik didapatkan hasil sebagai berikut, untuk
perlakuan volume molase 100 ml, 150 ml, dan 200 ml tidak berpengaruh nyata
terhadap nilai kadar abu hidrolisat protein azolla rebus. Pada penggunaan lama
fermentasi yang berbeda, untuk nilai sampel dengan lama fermentasi 0 hari
berpengaruh nyata terhadap nilai pada sampel dengan lama fermentasi 3, 6, 9
dan 12 hari. Data hasil perhitungan kadar abu hidrolisat protein azolla rebus
dapat dilihat pada lampiran 11.
4.2.2.3 Kadar Lemak
Data pengamatan dan analisis data kadar lemak kontrol dan hidrolisat
protein Azolla pinnata rebus dengan volume molase dan lama fermentasi yang
berbeda dapat dilihat pada Lampiran 12. Rata-rata kadar lemak kontrol dan
hidrolisat protein Azolla pinnata rebus dengan volume molase dan lama
fermentasi yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 11.
47
Gambar 11. Rata-rata Kadar Lemak Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnataRebus
Tabel 9. Selisih Kadar Lemak Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus dibandingkan Kontrol Awal Fermentasi
Volume Molase
Lama Fermentasi (Hari) 3 6 9 12
150 ml 0,6842 1,0615 1,1202 1,3707 200 ml 0,0104 0,4932 0,761 0,924 250 ml 0,5123 0,8443 1,0134 1,0053
Gambar 11 menunjukkan semakin lama proses fermentasi akan
mengakibatkan kadar lemak hidrolisat protein Azolla pinnata rebus menjadi
semakin rendah. Bila dilihat pada Tabel 9 terjadi penurunan kadar lemak dengan
selisih sebesar 0,01-1,3%. Hal ini dimungkinkan hidrolisat protein Azolla pinnata
rebus yang diberi perlakuan mengalami hidrolisis sehingga semakin banyak
lemak yang terdegradasi menjadi asam lemak dan gliserol. Selama fermentasi
terjadi hidrolisis lemak kira-kira 35% (Deliani, 2008). Penurunan kandungan
lemak pada proses fermentasi disebabkan oleh waktu inkubasi yang cukup lama
sehingga dapat meningkatkan aktivitas enzim lipase yang dihasilkan oleh khamir
untuk merombak kandungan lemak substrat sebagai sumber energi bagi
pertumbuhannya (Umiyasih dan Anggiraeny, 2008). Penguraian bahan organik
oleh khamir disebabkan aktivitas enzim lipase dan amilase yang bekerja dalam
pemecahan lemak dan amilum dari substrat sehingga kandungan bahan organik
3.57
9
2.89
5
2.51
8
2.45
9
2.20
93.06
3
3.05
3
2.57
0
2.30
2
2.13
9
3.19
4
2.68
1
2.34
9
2.18
0
2.18
8
00.5
11.5
22.5
33.5
4
0 Hari (Kontrol)
3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari
Kad
ar L
emak
(%)
Lama Fermentasi (Hari)
Molase 100 ml
Molase 150 ml
Molase 200 ml
48
selama fermentasi mengalami penurunan. Bahan organik yang mengalami
penurunan selama fermentasi tersebut adalah pati dan lemak kasar karena
digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi sebagai pertumbuhan (Umiyasih
dan Anggiraeny, 2008).
Pada perhitungan statistik didapatkan hasil sebagai berikut, untuk
perlakuan volume molase 100 ml, 150 ml, dan 200 ml tidak berpengaruh nyata
terhadap nilai kadar lemak hidrolisat protein azolla rebus. Pada penggunaan
lama fermentasi yang berbeda, untuk nilai sampel dengan lama fermentasi 0 hari
berpengaruh nyata terhadap nilai pada sampel dengan lama fermentasi 3 hari,
untuk sampel dengan lama fermentasi 3 hari berpengaruh nyata terhadap nilai
pada sampel dengan lama fermentasi 6, 9, dan 12 hari. Data hasil perhitungan
kadar lemak hidrolisat protein azolla rebus dapat dilihat pada lampiran 12.
4.2.2.4 Kadar Protein
Data pengamatan dan analisis data kadar protein kontrol dan hidrolisat
protein Azolla pinnata rebus dengan volume molase dan lama fermentasi yang
berbeda dapat dilihat pada Lampiran 13. Rata-rata kadar protein kontrol dan
hidrolisat protein Azolla pinnata rebus dengan volume molase dan lama
fermentasi yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 12.
49
Gambar 12. Rata-rata Kadar Protein Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnataRebus
Tabel 10. Selisih Kadar Protein Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus dibandingkan Kontrol Awal Fermentasi
Volume Molase
Lama Fermentasi (Hari) 3 6 9 12
150 ml 1,4561 4,3946 5,4701 6,0151 200 ml 0,9042 3,8409 6,5299 7,3753 250 ml 2,8799 4,0009 6,2839 8,8607
Gambar 12 menunjukkan semakin lama proses fermentasi akan
mengakibatkan kadar protein hidrolisat protein Azolla pinnata rebus menjadi
semakin tinggi. Bila dilihat pada Tabel 10 terjadi peningkatan kadar protein
dengan selisih sebesar 0,9-8,8%. Hal ini dimungkinkan terjadi proses hidrolisis
pada substrat Azolla pinnata rebus oleh enzim protease hasil dari metabolit
khamir laut. Selain itu, selama proses hidrolisis dapat meningkatkan protein
karena terjadi pemecahan protein menjadi senyawa yang lebih sederhana yaitu
asam amino. Proses hidrolisis dapat meningkatkan kadar protein karena terjadi
pemecahan protein menjadi asam amino dan ikut terdeteksinya enzim karena
enzim adalah protein (Savitri, 2011). Kandungan protein pada khamir laut yaitu
sebesar 28,29% (Febriani, 2010). Semakin tinggi volume molase dan lama
fermentasi akan memberikan kesempatan pada khamir laut untuk tumbuh dan
berkembang sehingga meningkatkan jumlah sel khamir laut, dimana khamir laut
14.9
28
16.3
84
19.3
23
20.3
98
20.9
43
15.6
61
16.5
65
19.5
02
22.1
91
23.0
36
14.9
74
17.8
54
18.9
75
21.2
58
23.8
35
0
5
10
15
20
25
30
0 Hari (Kontrol)
3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari
Kad
ar P
rote
in (%
)
Lama Fermentasi (Hari)
Molase 100 ml
Molase 150 ml
Molase 200 ml
50
merupakan penghasil protein sel tunggal. Peningkatan jumlah sel–sel khamir laut
setiap harinya secara signifikan juga dapat meningkatkan kadar protein pada
hidrolisat protein Azolla pinnata (Anggraeny dan Umiyasih, 2009).
Pada perhitungan statistik didapatkan hasil sebagai berikut, untuk
perlakuan volume molase 100 ml berbeda nyata dengan perlakuan volume
molase 150 ml, perlakuan 150 ml tidak berbeda nyata dengan perlakuan 200 ml.
Pada penggunaan lama fermentasi yang berbeda berpengaruh nyata terhadap
kadar protein pasta hidrolisat protein azolla rebus. Data hasil perhitungan kadar
protein hidrolisat protein azolla rebus dapat dilihat pada lampiran 13.
4.2.2.5 Kadar Karbohidrat
Data pengamatan dan analisis data kadar karbohidrat kontrol dan
hidrolisat protein Azolla pinnata rebus dengan volume molase dan lama
fermentasi yang berbeda dapat dilihat pada Lampiran 14. Rata-rata kadar
karbohidrat kontrol dan hidrolisat protein Azolla pinnata rebus dengan volume
molase dan lama fermentasi yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Rata-rata Kadar Karbohidrat Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnataRebus
45.1
58 46.8
65
44.9
28
43.5
02 44.9
32
47.4
65
46.4
18
45.1
14
42.5
79
42.5
79
47.2
39
46.0
56 47.0
06
42.9
63
42.9
63
404142434445464748
0 Hari (Kontrol)
3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari
Kad
ar K
arbo
hidr
at (%
)
Lama Fermentasi (Hari)
Molase 100 ml
Molase 150 ml
Molase 200 ml
51
Tabel 11. Selisih Kadar Karbohidrat Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnataRebus dibandingkan Kontrol Awal Fermentasi
Volume Molase
Lama Fermentasi (Hari) 3 6 9 12
150 ml 1,7063 0,2307 1,6563 0,2259 200 ml 1,0472 2,3504 5,203 4,8861 250 ml 1,1826 0,2332 1,3595 4,2761
Gambar 13 menunjukkan semakin lama proses fermentasi akan
mengakibatkan kadar karbohidrat hidrolisat protein Azolla pinnata rebus menjadi
semakin rendah. Bila dilihat pada Tabel 11 terjadi penurunan kadar karbohidrat
dengan selisih sebesar 0,2-5,2%. Hal ini dimungkinkan sumber utama khamir
laut untuk pertumbuhannya yaitu karbohidrat. Nutrient yang paling dibutuhkan
oleh mikroba baik untuk tumbuh maupun untuk menghasilkan produk fermentasi
adalah karbohidrat. Karbohidrat merupakan sumber karbon yang berfungsi
sebagai penghasil energi bagi mikroba (Azizah et al., 2012). Khamir laut memiliki
berbagai enzim, salah satunya enzim amilase. Aktivitas enzim amilase inilah
yang berperan dalam memecah karbohidrat menjadi senyawa lebih sederhana
sehingga kadar karbohidrat akan mengalami penurunan (Bharathi, 2011).
Pada perhitungan statistik didapatkan hasil sebagai berikut, untuk
perlakuan volume molase 100 ml, 150 ml, dan 200 ml tidak berpengaruh nyata
terhadap kadar karbohidrat pasta hidrolisat protein azolla rebus. Pada
penggunaan lama fermentasi yang berbeda, untuk nilai sampel dengan lama
fermentasi 0 hari berpengaruh nyata terhadap nilai pada sampel dengan lama
fermentasi 3 hari, untuk sampel dengan lama fermentasi 3 hari berpengaruh
nyata terhadap nilai pada sampel dengan lama fermentasi 6, 9, dan 12 hari. Data
hasil perhitungan kadar karbohidrat hidrolisat protein azolla rebus dapat dilihat
pada lampiran 14.
52
4.2.3 Analisis pH
Data pengamatan dan analisis data pH kontrol dan hidrolisat protein
Azolla pinnata rebus dengan volume molase dan lama fermentasi yang berbeda
dapat dilihat pada Lampiran 15. Rata-rata nilai pH kontrol dan hidrolisat protein
Azolla pinnata rebus dengan volume molase dan lama fermentasi yang berbeda
dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Rata-rata pH Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus
Tabel 12. Selisih pH Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus dibandingkan Kontrol Awal Fermentasi
Volume Molase
Lama Fermentasi (Hari) 3 6 9 12
150 ml 0,02 0,07 0,12 0,13 200 ml 0,07 0,08 0,15 0,19 250 ml 0,02 0,08 0,1 0,14
Gambar 14 menunjukkan semakin lama proses fermentasi akan
mengakibatkan pH hidrolisat protein Azolla pinnata rebus menjadi semakin
rendah. Bila dilihat pada Tabel 12 terjadi penurunan kadar abu dengan selisih
sebesar 0,02-0,2%. Hal ini dimungkinkan hasil dari produk fermentasi yaitu
asam. Semakin lama fermentasi maka semakin rendah pH yang dihasilkan. Hal
ini menunjukkan bahwa aktivitas khamir laut semakin meningkat seiring lama
fermentasi dan memicu mengeluarkan enzim yang banyak (Savitri, 2011).
Penurunan pH selama proses fermentasi diakibatkan terbentuknya asam-asam
4.51
4.49
4.44
4.39
4.38
4.53
4.46
4.45
4.38
4.34
4.49
4.47
4.41
4.39
4.35
4.2
4.25
4.3
4.35
4.4
4.45
4.5
4.55
0 Hari (Kontrol)
3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari
pH
Lama Fermentasi (Hari)
Molase 100 ml
Molase 150 ml
Molase 200 ml
53
selama proses fermentasi berlangsung. Asam-asam yang terbentuk seperti asam
asetat, asam piruvat, dan asam laktat dapat menurunkan pH (Nurul et al., 2013).
Enzim yang lebih banyak akan meningkatkan proses hidrolisis protein pada
substrat menjadi peptida dan asam-asam amino sehingga pH semakin menurun
(Simanjarong et al., 2012). Karbohidrat dapat mempercepat penurunan pH,
karena karbohidrat merupakan energi bagi pertumbuhan mikroba pembentuk
asam laktat dan asam laktat yang dihasilkan bereaksi dengan NH3. Selain itu
mikroba juga dapat memfiksasi NH3 sebagai sumber N untuk
perkembangbiakannya, sehingga mengurangi jumlah amonia (NH3) yang
terlepas ke atmosfer Nurul et al., (2013).
Pada perhitungan statistik didapatkan hasil sebagai berikut, untuk
perlakuan volume molase 100 ml, 150 ml, dan 200 ml tidak berpengaruh nyata
terhadap nilai pH pasta hidrolisat protein azolla rebus. Pada penggunaan lama
fermentasi yang berbeda, untuk nilai sampel dengan lama fermentasi 0 hari
berpengaruh nyata terhadap nilai pada sampel dengan lama fermentasi 3 hari,
untuk sampel dengan lama fermentasi 3 hari berpengaruh nyata terhadap nilai
pada sampel dengan lama fermentasi 6, 9, dan 12 hari. Data hasil perhitungan
nilai pH hidrolisat protein azolla rebus dapat dilihat pada lampiran 15.
4.2.4 Analisis Daya Buih
Data pengamatan dan analisis daya buih kontrol dan hidrolisat protein
Azolla pinnata rebus dengan volume molase dan lama fermentasi yang berbeda
dapat dilihat pada Lampiran 16. Rata-rata daya buih kontrol dan hidrolisat protein
Azolla pinnata rebus dengan volume molase dan lama fermentasi yang berbeda
dapat dilihat pada Gambar 15.
54
Gambar 15. Rata-rata Daya Buih Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus
Tabel 13. Selisih Daya Buih Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus dibandingkan Kontrol Awal Fermentasi
Volume Molase
Lama Fermentasi (Hari) 3 6 9 12
150 ml 0,0142 0,0287 0,0426 0,0601 200 ml 0,0008 0,0128 0,0252 0,0485 250 ml 0,0003 0,0148 0,0215 0,036
Gambar 15 menunjukkan semakin lama proses fermentasi akan
mengakibatkan daya buih hidrolisat protein Azolla pinnata Rebus menjadi
semakin tinggi. Bila dilihat pada Tabel 13 terjadi peningkatan nilai daya buih
dengan selisih sebesar 0,01-0,06%. Hal ini dimungkinkan selama proses
fermentasi terjadi hidrolisis protein yang membentuk asam-asam amino. Semakin
banyak jumlah protein yang terhidrolisis maka asam amino hidrofobik akan
terbentuk yang kemudian mengabsorbsi fase udara dan air sehingga terbentuk
buih yang banyak. Daya buih dipengaruhi oleh jumlah protein yang terhidrolisis
selama proses fermentasi (Koesoemawardani et al., 2011). Protein yang
terhidrolisis semakin banyak menyebabkan banyaknya asam amino hidrofobik
yang terbentuk dan berpengaruh pada semakin banyaknya daya buih. Asam
amino hidrofobik akan mengabsorbsi fase udara dan air sehingga terbentuk buih
yang banyak (Budy, 2014).
0.04
8
0.06
2
0.07
6
0.09
0 0.10
8
0.06
5
0.06
4
0.07
8
0.09
0 0.11
3
0.07
9
0.07
9 0.09
4
0.10
1
0.11
5
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
0 Hari (Kontrol)
3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari
Day
a B
uih
(%)
Lama Fermentasi (Hari)
Molase 100 ml
Molase 150 ml
Molase 200 ml
55
Pada perhitungan statistik didapatkan hasil sebagai berikut, untuk
perlakuan volume molase 100 ml tidak berbeda nyata dengan perlakuan volume
molase 150 ml, perlakuan 150 ml berbeda nyata dengan perlakuan 200 ml. Pada
penggunaan lama fermentasi yang berbeda, untuk nilai sampel dengan lama
fermentasi 0 hari tidak berbeda nyata terhadap nilai pada sampel dengan lama
fermentasi 3 hari, untuk sampel dengan lama fermentasi 3 hari berpengaruh
nyata terhadap nilai pada sampel dengan lama fermentasi 6, 9, dan 12 hari. Data
hasil perhitungan daya buih hidrolisat protein azolla rebus dapat dilihat pada
lampiran 16.
4.2.5 Analisis Kapasitas Emulsi
Data pengamatan dan analisis kapasitas emulsi kontrol dan hidrolisat
protein Azolla pinnata rebus dengan volume molase dan lama fermentasi yang
berbeda dapat dilihat pada Lampiran 17. Rata-rata kapasitas emulsi kontrol dan
hidrolisat protein Azolla pinnata rebus dengan volume molase dan lama
fermentasi yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Rata-rata Kapasitas Emulsi Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnataRebus
50.7
57
50.2
04
50.1
53
50.1
00
49.8
07
52.4
98
51.6
15
51.1
79
49.9
72
49.1
60
53.7
33
52.9
79
51.6
88
50.9
38
49.6
03
46474849505152535455
0 Hari (Kontrol)
3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari
Kap
siat
Em
ulsi
(%)
Lama Fermentasi (Hari)
Molase 100 ml
Molase 150 ml
Molase 200 ml
56
Tabel 14. Selisih Kapasitas Emulsi Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata Rebus dibandingkan Kontrol Awal Fermentasi
Volume Molase
Lama Fermentasi (Hari) 3 6 9 12
150 ml 0,5526 0,6035 0,6573 0,95 200 ml 0,8829 1,3191 2,5258 3,338 250 ml 0,7535 2,0445 2,7949 4,1293
Gambar 16 menunjukkan semakin lama proses fermentasi akan
mengakibatkan kapasitas emulsi hidrolisat protein Azolla pinnata rebus menjadi
semakin rendah. Bila dilihat pada Tabel 14 terjadi penurunan kapasitas emulsi
dengan selisih sebesar 0,5-4%. Hal ini sesuai dengan penelitian Fathony (2014)
yang melaporkan bahwa semakin lama fermentasi maka kapasitas emulsi
semakin menurun. Kapasitas emulsi disebabkan karena kemampuan bahan
dalam menyerap air dan minyak yang berkaitan dengan keseimbangan asam
amino hidrofobik (yang dapat berinteraksi dengan minyak) dan asam amino
hidrofilik (yang dapat berinteraksi dengan air) (McCarthy et al., 2013). Asam
amino memiliki gugus polar (hidrofilik) dan gugus non polar (hidrofobik). Oleh
karena itu, gugus polar pada asam amino akan berikatan dengan gugus polar
pada air dan gugus non polar pada asam amino akan berikatan dengan gugus
non polar pada minyak sehingga terbentuklah emulsi. Asam amino hasil hidrolisis
sebagian akan diserap oleh minyak yang memicu terbentuklah emulsi pada
hidrolisat protein (Koesoemawardani et al., 2011).
Pada perhitungan statistik didapatkan hasil sebagai berikut, untuk
perlakuan volume molase 100 ml tidak berbeda nyata dengan perlakuan volume
molase 150 ml, perlakuan 150 ml berbeda nyata dengan perlakuan 200 ml. Pada
penggunaan lama fermentasi yang berbeda, untuk nilai sampel dengan lama
fermentasi 0 hari berbeda nyata terhadap nilai pada sampel dengan lama
fermentasi 3, 6, 9, dan 12 hari. Data hasil perhitungan kapasitas emulsi hidrolisat
protein azolla rebus dapat dilihat pada lampiran 17.
57
4.3 Perlakuan Terbaik
Berdasarkan hasil analisis proksimat dan parameter hidrolisat protein
Azolla pinnata rebus diperoleh hasil tertinggi yaitu pada lama fermentasi 12 hari
dengan volume molase 200 ml. Hal ini ditinjau dari kandungan protein tertinggi
yang diperoleh dari pasta hidrolisat protein Azolla pinnata rebus dengan berbagai
perlakuan. Protein merupakan salah satu unsur yang paling penting dalam
produk hidrolisat karena tujuan memproduksi produk hidrolisat adalah untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani. Tingkat mutu dari produk hidrolisat sangat
ditentukan dari kadar protein yang dikandung pada produk (Amalia, 2007).
Komposisi kimia pasta hidrolisat protein Azolla pinnata rebus dapat dilihat pada
Tabel 15.
Tabel 15. Komposisi Kimia Pasta Hidrolisat Protein Azolla pinnata rebus
Tabel 15 menunjukkan kadar air Azolla pinnata rebus sebesar 94,91%
dan kadar protein sebesar 1,39%, kadar air Azolla pinnata rebus mengalami
penurunan yaitu menjadi 16,96%. Tabel 14 juga menunjukkan kadar air pasta
hidrolisat protein Azolla pinnata rebus sebesar 16,96% dan kadar protein
sebesar 19,92%. ketika sudah menjadi pasta hidrolisat protein Azolla pinnata
rebus kadar protein mengalami peningkatan dari 1,39% ke 23,83. Hal ini
menunjukkan terjadinya hidrolisis protein Azolla pinnata rebus oleh enzim
protease khamir laut. Konsentrasi enzim proteolitik semakin meningkat dalam
proses hidrolisis akan menyebabkan peningkatan kandungan nitrogen terlarut
Parameter Pasta Hidrolidsat Protein Azolla pinnata Rebus Azolla pinnata rebus
Kadar Air (%) 16,96 94,91 Kadar Abu (%) 14,05 0,5 Kadar Lemak Kasar (%) 2,18 2,51 Kadar Protein Kasar (%) 23,83 1,39 Kadar Karbohidrat (%) 42,96 0,69 pH 4,35 - Daya Buih (%) 0,12 - Emulsi (%) 49,60 -
58
dalam produk hidrolisat protein (Kurniawan et al., 2012). Semakin lama waktu
hidrolisis menyebabkan konsentrasi protein hasil hidrolisis dapat meningkat
(Maulana et al., 2012). Pada penelitian ini, hasil kandungan protein yang didapat
masih relatif rendah karena dilakukan perebusan pada sampel sehingga
kandungan protein hidrolisat protein azolla menjadi turun. Perbedaan kadar
protein pada sampel dikarenakan protein yang terdapat dalam sampel yang
sudah direbus mengalami denaturasi protein. Denaturasi protein dapat
disebabkan oleh : pH, suhu tinggi, ion logam berat, gerakan mekanik, alkohol,
aseton, eter. Perbedaan protein disebabkan karena proses perebusan pada suhu
yang terlalu tinggi sehingga pada sampel yang belum direbus kadar proteinnya
lebih tinggi (Agustina dan Rahmawati, 2016).
59
5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari penelitian tentang pengaruh penambahan
volume molase dan lama fermentasi yang berbeda terhadap kualitas hidrolisat
protein Azolla pinnata rebus dengan starter khamir laut adalah sebagai berikut:
- Kualitas pasta hidrolisat protein Azolla pinnata rebus terbaik yaitu pada
volume molase 200 ml dan lama fermentasi 12 hari dengan kandungan
protein 23,83%, kadar air 16,96%, kadar abu 14,05%, kadar lemak 2,18%,
kadar karbohidrat 42,96%, pH 4,35, daya buih 0,12%, dan emulsi 49,60%.
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah untuk hidrolisat
protein Azolla pinnata rebus dengan hasil terbaik yaitu dengan penambahan
volume molase segar 200 mL dan lama fermentasi 12 hari perlu dilakukan
penelitian lanjutan dan pengujian tingkat keamanan produk yang selanjutnya
dapat dimanfaatkan sebagai pakan ataupun pangan.
60
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. PT. Bumi Aksara: Jakarta. 159 hlm.
Agustina, A dan Rahmawati, D. 2016. Pengaruh Proses Perebusan terhadap Kadar Protein yang Terkandung dalam Tauge Biji Kacang Hijau (Phaseolus Radiatus). Jurnal Ilmiah Manuntung, 2(1), 44-50.
Ahmad, R. Z. 2005. Pemanfaatan Khamir Saccaromyces cerevisiae untuk Ternak. Balai Penelitian Veteriner. Bogor. Hlm 49-53.
Aisyah, Y., Rasdiansyah, dan Muhaimin. 2014. Pengaruh Pemanasan Terhadap Aktivitas pada Beberapa Jenis Sayuran. Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala: Darussalam Banda Aceh. Hlm 6-7.
Alkili, Y. R. R. 2012. Karakteristik Ekstrakseluler Khamir Laut yang dipanen pada Fase Log dan Aktivitas Hidrolisisnya Terhadap Kualitas Protein Ikan Peperek (Leiognathus sp.). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya: Malang. 97 hlm.
Amalia, E. 2007. Pemanfaatan Kerang Hijau (Mytilus viridis) dalam Pembuatan Hidrolisat Protein Menggunakan Enzim Papain. Jurnal Sumberdaya Perairan. 5(1): 32-33.
Anggorowati, D. A., Setyawati H., dan Purba, A. B. P. 2012. Peningkatan Kandungan Protein Abon Nangka Muda. Jurnal Teknik Kimia. 7(1):17-21.
Apriwinda. 2013. Studi Fermentasi Nira Batang Sorgum Manis (Sorghum bicolor (L) Moench)Untuk Produksi Etanol. Fakultas Pertanian. Universitas Hasanudin: Semarang. 94 hlm.
Ardiansari, Y. M. 2012. Pengaruh Jenis Gadung dan Lama Perebusan Terhadap Kadar Sianida Gadung. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Jember: Jember. Hlm:20-21.
Askar, S. 2001. Potensi Hijauan Air Azolla pinnata Sebagai Pakan Sumber Protein. Teknis Fungsional. Balai Penelitian Ternak, Bogor. hlm: 11-12.
Azizah, N. 2013. Pengaruh Metode Pembelajaran Terhadap Hasil Belajar Mata Pelajaran Dasar Kompetensi Kejujuran Di SMK Wongsorejo Gombong. Skripsi. Fakultas Teknik. Universitas Negeri Yogyakarta. Hlm: 5-6.
Baila, R, L. 2004. Potensi dan Prospek Yeast (Khamir) dalam Meningkatkan Diversifikasi Pangan di Indonesia. Depdiknas. Universitas Padjajaran: Bandung. Hlm:21-25.
Bharathi, S., D. Saravanan, M. Radhakrishnan, dan R. Balagurunathan. 2011. Bioprospecting of Marine Yeast with Special Reference to Inulinase Production. International Journal of ChemTech Research. 3 (3): 1514-1519.
61
Basak, B., A.H. Pramanik, M.S. Rahmnan, S., Taradar dan B.C. Roy. 2002. Azolla (Azolla pinnata) as a feed ingredient in broiler ration. Int. J. Poult. Sci. 1(1): 29 – 24.
Bernadeta, P. A. dan Imelda, H. S. 2012. Penentuan Kondisi Optimum Hidrolisat Protein dari Limbah Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) Berdasarkan Karakteristik Organoleptik. Jurnal Kimia Khatulistiwa. UNTAN. 1(1): 26-30.
Brink, P. J dan M. J. Wood. 2000. Langkah Dasar dalam Perencanaan Riset Keperawatan. Penerbit Buku Kedokteran: Jakarta. 391 hlm.
Budiman, A., dan S. Setyawan. 2009. Pengaruh Konsentrasi Substrat, Lama Inkubasi dan pH dalam Proses Isolasi Enzim Xylanase dengan Menggunakan Media Jerami Padi. Jurusan Teknik Kimia. Fakultas Teknik. Universitas Diponegoro: Semarang. hlm: 19-22.
Budy, D. 2014. Pengaruh Volume Molase Rebus dan Lama Fermentasi yang Berbeda dengan Starter Khamir Laut Terhadap Kualitas Hidrolisat Protein Kepala Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Rebus. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya: Malang. 174 hlm.
Deliani. 2008. Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kadar Protein, Lemak, Komposisi Asam Lemak dan Asam Fitat pada Pembuatan Tempe. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Universitas Sumatera Utara: Medan
Falahudin, Dede. 2008. Penghambatan Peroksidasi Lipid Sel Khamir Candida sp. Y390. Oleh Ekstrak Daging Buah Salak Bongkok (Salacca edulis Reinew). Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor: Bogor. 104 hlm.
Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor: Bogor. 308 hlm.
Fathoni, A. 2014. Pengaruh Volume Molase Rebus dan Lama Fermentasi yang Berbeda dengan Starter Khamir Laut Terhadap Kualitas Hidrolisat Protein Kepala Udang vannamei (Litopenaeus vannamei). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya: Malang. hlm: 5-6.
Febriani, M. 2006. Substitusi Protein Hewani dengan Tepung Kedelai dan Khamir Laut untuk Pakan Ikan Patin (Pangasius sp) dan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis). Jurnal Perikanan Indonesia. 8(2): 169-176. ISSN: 0853-6384.
Febriani, M. 2008. Penggunaan Khamir Laut sebagai Biokatalisator dalam Pembuatan Silase Ikan Peperek (Leiognathus splendens) dan Silase Tanaman Azolla (Pomaceae sp.). Prosiding Bidang Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan. Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan: Malang. hlm 532-525.
Febriani, M. 2010. Penggunaan Khamir Laut sebagai Biokatalisator dalam Pembuatan Silase Daun Mengkudu (Morinda citrifolia) sebagai Salah
62
Satu Bahan Alternatif Pakan Ikan. Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Hang Tuah: Surabaya. hlm 775-780.
Gbogouri, G. A., M. Linder, J. Fanni, dan M. Parmentier. 2004. Influence of Hydrolysis Degree on the Functional Properties of Salmon Byproducts Hydrolysates. Journal of Food Science. 69(8): 615-622.
Haslina. 2004. Nilai Gizi Daya Cerna Protein dan Daya Terima Patilo Sebagai Makanan Jajanan yang Diperkaya dengan Hidrolisat Protein Ikan Mujair (Oreochromis mosambicus). Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas Diponegoro: Semarang.
Hidayat, T. 2005. Pembuatan Hidrolisat Protein dari Ikan Selar Kuning (Caranxleptolepis) dengan Menggunakan Enzim Papain. Skripsi. Institut Pertanian Bogor: Bogor
Hidayat, C., Fanindi, S., Sopiyana Dan Komarudin. 2011. Peluang Pemanfaatan Tepung Azolla Sebagai Bahan Pakan Sumber Protein Untuk Ternak Ayam. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011.
Hidayati, D., Baido, D. dan Hastuti, S. 2013. Pola Pertumbuhan Ragi Tape pada Fermentasi Kulit Singkong. Jurnal Agrointek. Teknologi Industri Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura. Jurnal Agrointek. 7(1): 6-10.
Hasbi, H. 2005. Pemanfaatan Azolla pada Sistem Pertanian Terpadu. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiah Jember. hlm 7-8.
Husna, N. 2008. Pertumbuhan Tanaman Air Azolla pinnata R. Br. (Mata Lele) pada Medium Pertumbuhan Berbeda. Skripsi. Program Studi Sarjana Biologi SITH. Bandung. 98 hlm.
Juwita, R. 2012. Studi Produksi Alkohol dari Tetes Tebu (Saccharum officinarum L) Selama Proses Fermentasi. Skripsi. Jurusan Teknologi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Hasanuddin: Makassar. hlm :16.
Koesoemawardhani, D., Fibra N. dan Hidayati, S. 2011. Proses Pembuatan Hidrolisat Protein Ikan Rucah. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Lampung: Lampung. Jurnal Natur Indonesia. 13(3): 256-261.
Kurniawan, S. L., Hanggita S. R. J. 2012. Hidrolisat Protein Tinta Cumi (Loligo sp) dengan Enzim Papain. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Universitas Sriwijaya. Fistech. 1(1): 41-54.
Kusmiati, Thontowi, A., dan Nuswantara S. 2010. Efek Sumber Karbon Berbeda terhadap Produksi â-Glukan oleh Saccharomyces Cerevisiae pada Fermentor Air Lift. Jurnal Natur Indonesia 13(2), Februari 2011: 138-145. ISSN 1410-9379. Pusat Penelitian Bioteknologi–LIPI.
Legowo, A. M., Nurwantoro, dan Sutaryo. 2007. Analisis Pangan. Buku Ajar Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro: Semarang. 48 hlm.
Liawati. 1992. Mempelajari Pengaruh Perbedaan Perendaman dengan Mumbuekstrak dan Larutan Garam Terhadap daya Awet Cumi-Cumi
63
(Loligo edulis) Asap. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor: Bogor. hlm 67-68.
Lumpkin, T. A. and D. L. Plucknet. 1982. Azolla a Green Manure: Use abd Management in Crop Production. Westview Tropical Agriculture Series.230 hlm. ISBN: 978-0891584513.
Machfud, E., S. Gembira, dan Krisnani. 1989. Petunjuk Laboratorium Fermentor. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor: Bogor
McCarthy, A. L., C. O. Yvonne, dan M. O. Nora. 2013. Protein Hydrolysates from Agricultural Crops-Bioactivity and Potential for Functional Food Development. Journal Agriculture. 3(1): 112-130.
Malaka, R., Metusalach, dan E. Abustam. 2006. Pengaruh Jenis Mineral terhadap Produksi Eksopolisakarida dan Karakteristik Pertumbuhan Lactobacillus bulgaricus Strain Ropy dalam Media Susu. Fakultas Peternakan dan Fakultas Perikanan. Universitas Hasanuddin: Makasar. Hlm 65-66.
Masduqi, A. F., M. Izzati, dan E. Prihastanti. 2014. Efek Metode Pengeringan terhadap Kandungan Bahan Kimia dalam Rumput Laut Sargassum polycystum. Buletin Anatomi dan Fisiologi. 12(1): 1-9.
Maulana, N. P., N. Sari, dan C. S. Budiyati. 2012. Pembuatan Kecap dari Ikan Gabus secara Hidrolisis Enzimatis Menggunakan Sari Nanas. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri. 1(1): 270-276.
Nisa, A. N., dan A. K. Wardani. 2015. Pengaruh Lama Pengasapan dan Lama Fermentasi terhadap Sosis Fermentasi Ikan Lele (Clarias gariepinus).Jurnal Pangan Dan Agroindustri. 4(1): 367-376
Noviati. 2007. Optimasi Kadar Molase dalam Medium Ekstrak Ubi Jalar untuk Pertumbuhan Isolat Khamir R1 dan R2 Pada Fermentor Air Lift 18 Liter. Universitas Sains dan Bioteknologi. Universitas Islam Syarif Hidayatullah: Jakarta. 69 hlm.
Nurhayati, T., Ella, S., Cholifah, dan Roni, N. 2014. Optimasi Proses Pembuatan Hidrolisat Jeroan Ikan Kakap Putih. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia (JPHPI). 17(1): 43-44.
Nurul, A. F., M. Junus, dan M. Nasich. 2013. The Effects of Molasses Addition on Crude Protein and Crude Fibre Content of Biogas Sludge Solids. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Brawijaya: Malang. 8 hlm.
Purbasari, D. 2008. Produk dan Karakterisasi Hidrolisat Protein dari Kerang Mas Ngur (Atactodea striata). Program Studi Teknologi Hasil Perikanan . Institut Pertanian Bogor: Bogor. 77 hlm.
Purwitasari, E., Pangastuti, A., dan Ratna S. 2004. Pengaruh Media Tumbuh Terhadap Kadar Protein Saccharomyces cerevisiae dalam Pembuatan Protein Sel Tunggal. Jurnal Bioteknologi 1(2): 37-42, Nopember 2004. ISSN: 0216-6887, DOI: 10.13057/biotek/c010202.
64
Rao, N. S. 1993. Biofertilizers in Agriculture and Forestry: Third Revised Edition. Science Publisher, Inc. USA. hlm 152-159 .
Rieuwpassa, F. J., J. Santoso, dan Trilaksani, W. 2013. Karakterisasi Sifat Fungsional Konsentrat Protein Telur Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan.
Rita, I. 2011. Proses Emulsifikasi dan Analisis Biaya Produksi Minuman Emulsi Minyak Sawit Merah. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor: Bogor. 25(2):136-142.
Rohim, A. 2014. Pengaruh Perbedaan Penambahan Kadar Molase Rebus pada Medium Gula Terhadap Biomassa Sel Khamir Laut. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya: Malang. 116 hlm.
Rustan, I. R. 2013. Studi Isolasi dan Identifikasi Asam Laktat dari Fermentasi Cabai Rawit (Capsium frutencens L). Skripsi. Jurusan Teknologi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Hasanuddin Makassar: Makassar. hlm 31-32.
Sari, S. P. 2014. Substitusi Molase Rebus dengan Kadar yang Berbeda pada Medium Fermentasi Khamir Laut. Laporan Skripsi. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya: Malang. 96 hlm.
Sartika, D., Esti, H., Rara, D. 2012. Pemberian Molase Pada Aplikasi Probiotik Terhadap kualitas Air, Pertumbuhan Dan Tingkat Kelangsungan hidup Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio). Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan. 1(1):125-127.
Sastra, W. 2008. Fermentasi Rusip. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Savitri, R. D. 2011. Aplikasi Proses Hidrolisis Enzimatis dan Fermentasi dalam Pengolahan Condiment Kupang Putih (Corbula faba H.). Skripsi. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor: Bogor. 101 hlm.
Sebayang, F. 2006. Pembuatan Etanol dari Molase Secara Fermentasi Menggunakan Sel Saccaromyces serevisiae yang Terimobilisasi pada Kalsium Alginat. Jurnal Teknologi Proses. 5(2): 68-74.
Setiawan, B. dan Purnomo, D. 2011. Validasi HPLC untuk Analisis Anion Fosfat dan Sulfat dalam Proses Pemurnian Torium dari Pasir Monasit. Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan – BATAN. Babarsari: Yogyakarta.
Setiavani, G. 2010. Kajian Pembuatan Tepung Cassava Modifika. STTP Medan: Medan. 56 hlm.
Shahidi, F. B. J. R. 1994. Seafood: Chemistry, Processing Technology and Quality. Blackie Academic And Professional: Glasgow. 115 hlm.
65
Simanjarong, E., K. Nia, dan H. Zahidah. 2012. Pengaruh Penggunaan Enzim Papain dengan Konsentrasi yang Berbeda terhadap Karakteristik Kimia Kecap Tutut. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3(4): 209-220.
Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi, 1989. Analisa Bahan Makanan dan dan Pertanian. Liberty Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. 2003. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Sudjana, B. 2014. Pengunaan Azolla untuk Pertanian Berkelanjutan. Jurnal Ilmiah Solusi, 1(2) April-Juni 2014. Agroteknologi Fakultas Pertanian Unsika. Universitas Singaperbangsa Karawang.
Sugoro, I. 2006. Optimasi Sumber Nitrogen Probiotik Khamir R1 dan R110 dalam Medium Ekstrak Singkong. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 38 hlm.
Sukoso. 2012. Eksplorasi Potensi Khamir Laut. PPSUB. Malang. 72 hlm.
Sutardi, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Umiyasih, U., dan Y.N. Anggraeny. 2008. Pengaruh Fermentasi Saccharomyces Cerevisiae terhadap Kandungan Nutrisi dan Kecernaan Ampas Pati Aren (Arenga pinnata Merr.). Seminar Nasional Teknologi Peternakan Dan Veteriner. hlm 241-247.
Utami, D., Yuniarti, A., Sinung, P. 2013. Variasi Kombinasi Tepung Labu Kuning (Cucurbita moschata D.) dan Tepung Azolla (Azolla pinnata R.Br.) Pada Kecerahan Warna Ikan Koi (Cyprinus carpio L.). Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Utami, I. dan Kindari. 2008. Pembuatan Ethanol dan Biji Kapas dengan Proses Hidrolisa dan Fermentasi. Jurnal Penelitian Ilmu Teknik. 1(2):136-138.
Waluyo, L. 2007. Mikrobiologi Umum. UMM Press: Malang. 372 hlm.
Winarno, F. G. 2004.Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. 239 hlm.
Winarno, F. G. 2007.Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. 253 hlm.
Wiratno, E N., T Ardyanti., A K Wardani. 2008. Pengaruh Gula Reduksi dan Total Nigrogen Terhadap Densitas dan Viabilitas Sel Saccaromyces serevixiae dalam Fermentasi Etanol dan Molase. Laboratorium Mikrobiologi FMIPA. Universitas Brawijaya: Malang. 115 hlm.
Yuliana, N. 2008. Kinetika Pertumbuhan Bakteri Asam Laktat Isolat T5 yang Berasal dari Tempoyak. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung: Lampung.
66
Yunita, A. 2009. Analisis Konsistensi Mutu dan Rendemen CPO (Crude palm oil)di Pabrik Kelapa Sawit Adolina. PT Perkebunan Nusantara IV (Persero). Fakultas Pertanian. Universitas Sumatra Utara. Hlm 4-5.
Yusma. 1999. Pemanfaatan Limbah Molase dalam Pembuatan Etanol Secara Fermentasi. Puslitbang Farmasi, Badan Litbangkes, DepKes RI: Jakarta.